Anda di halaman 1dari 7

Judul : Sang Pemimpi

Pengarang : Andrea Hirata

Penerbit : Yogyakarta : Bentang 2008

ISBN : 978-3062-92-4

Sang Pemimpi adalah novel kedua dalam tetralogi Laskar Pelangi karya Andrea
Hirata yang diterbitkan oleh Bentang Pustaka pada Juli 2006. Dalam novel ini,
Andrea mengeksplorasi hubungan persahabatannya dengan dua anak yatim piatu, Arai
Ichsanul Mahidin dan Jimbron, serta kekuatan mimpi yang dapat membawa Andrea
dan Arai melanjutkan studi ke Sorbonne, Paris, Prancis.

Dalam novel Sang Pemimpi, Andrea Hirata bercerita tentang kehidupannya di


Belitong pada masa SMA. Tiga tokoh utama dalam karya ini adalah Ikal, Arai dan
Jimbron. Ikal tidak lain adalah Andrea Hirata sendiri, sedangkan Arai Ichsanul
Mahidin adalah saudara jauhnya yang menjadi yatim piatu ketika masih kecil. Arai
disebut simpai keramat karena dalam keluarganya ia adalah orang terakhir yang
masih hidup dan ia pun diangkat menjadi anak oleh ayah Ikal. Jimbron merupakan
teman Arai dan Ikal yang sangat terobsesi dengan kuda dan gagap bila sedang
antusias terhadap sesuatu atau ketika gugup. Ketiganya melewati kisah persahabatan
yang terjalin dari kecil hingga mereka bersekolah di SMA Negeri Bukan Main, SMA
pertama yang berdiri di Belitung bagian timur.

Latar peristiwa

Andrea mengenali Arai yang hidup yatim piatu dan harus hidup sebatang kara
("Simpai Keramat"). Karena, ayahnya satu-satunya anggota keluarganya, meninggal
dunia. Sedangkan, Andrea dan Arai mengenali Jimbron di Masjid Al-Hikmah.
Jimbron diasuh oleh Pendeta Geovanny, keluarga dekat Jimbron yang berbeda agama,
karena Jimbron juga anak yatim piatu, sama seperti Arai. Gaya berbicara Jimbron
agak sedikit gagap, dan Jimbron terobsesi pada kuda, karena gemar menonton serial
televisi "The Lone Ranger". Dari serial televisi tersebut, Jimbron mengagung-
agungkan kuda sebagai hewan yang memenangkan perang Badar.
Masjid Al-Hikmah memiliki struktur organisasi yang terdiri dari Haji Satar, Haji
Marhaban Hamim bin Muktamar Aminudin (Taikong Hamim), dan Haji Hazani. Haji
Satar adalah pembuat peraturan, Taikong Hamim adalah pelaksana peraturan, dan
Haji Hazani adalah pengawas peraturan. Namun, sebagai pelaksana peraturan,
Taikong Hamim juga memiliki watak yang sama tegasnya dengan Pak Mustar, wakil
kepala sekolah SMA Negeri Bukan Main. Dan, jika sampai tamat SD belum hafal Juz
Amma, maka akan dimasukkan ke dalam beduk yang dipukul sekeras-kerasnya,
sehingga ketika keluar akan berjalan zig-zag seperti "ayam keracunan kepiting batu".
(Bab 5: "Tuhan Tahu, Tapi Menunggu", hal. 59)

Ikal dan Arai sering dihukum Taikong Hamim. Karena, mereka mengaji dengan nafas
yang lemah sehingga tidak terdengar tajwid-nya. Namun, ketika Taikong Hamim
menjadi imam shalat, ketika Taikong sampai pada ayat terakhir Surah al-Fathihah
"waladh dhaaliin", Arai membalasnya dengan mengucapkan "amin" dengan suara
yang panjang. Hal tersebut terjadi kembali ketika Arai menimba ilmu di Eropa, shalat
di salah satu masjid di Austria dengan imam Oruzgan Mourad Karzani. (Edensor. Bab
38: "Enam Belas Tahun Tuhan Menunggu", hal 243)

Drs. Julian Ichsan Balia adalah kepala SMA Negeri Bukan Main. Beliau adalah tokoh
yang kharismatik. Digambarkan dalam bab 1 "What A Wonderful World" di halaman
9, dalam percakapannya dengan Pak Mustar, Pak Balia memang masih belia, tetapi
beliau adalah "pengibar panji" Akhlaqul Karimah dan integritasnya tak tercela. Jika
wakil rakyat zaman sekarang berwatak seperti Pak Balia, maka republik ini tidak akan
berkenalan dengan istilah studi banding. Pak Balia menetapkan Nilai Ebtanas Murni
(NEM) untuk diterima di SMA Negeri Bukan Main, minimal 42. Namun, seorang
tauke yang anaknya memiliki NEM 28 dan sampai tamat SMP tidak tahu ibu kota
provinsi Sumatra Selatan, mulai menguji kredibilitas Pak Balia. (Bab 1: "What A
Wonderful World", hal. 7)

“ Tauke : "...Ngai mau sumbang kapur, jam dinding, pagar, tiang bendera..." ”
Pak Balia : "Aha! Tawaran yang menggiurkan!! Seperti Nicholas Beaurain
digoda berbuat dosa di bawah pohon?! Kau tahu 'kan kisah itu? "Gairah
Cinta Di Hutan"? Guy de Maupassant? Bijaksana kalau kau sumbangkan jam
dindingmu itu ke kantor pemerintah, agar abdi negara tak bertamasya ke
warung kopi waktu jam dinas! Bagaimana pendapatmu?"

Mustar M. Dja'idin, B.A. adalah pendiri SMA Negeri Bukan Main, Manggar, yang
mana beliau adalah wakil kepala sekolah tersebut. Namun, Pak Mustar berubah
menjadi tempramental justru karena anak laki-laki semata wayangnya tidak diterima
di SMA yang ia dirikan sendiri tersebut. Nilai Ebtanas Murni (NEM)-nya ternyata
41,75. Sedangkan, Pak Balia menetapkan NEM minimal 42. Rupanya, Pak Balia
"mencium bau" konspirasi antara Pak Mustar dengan anak tunggalnya. (Bab 1: "What
A Wonderful World", hal. 8-9)

“ Pak Balia : "Tak pantas kita berdebat di depan para orang tua murid.
Bicaralah baik-baik ..."
Pak Mustar : "... Sok idealis, anak muda bau kencur, tahu apa ... Saya berani
bertaruh, angka 0,25 tidak akan membedakan kualifikasi anak saya dibanding
anak-anak lain yang diterima, apalah artinya angka 0,25 itu?!"
Pak Balia : "0,25 itu berarti segala-galanya, Pak. Angka kecil seperempat itu
adalah simbol yang menyatakan lembaga ini sama sekali tidak menoleransi
persekongkolan!"
Pak Mustar : "Bagaimana para orang tua?? Setuju dengan pendapat itu?!
Tanpa saya, SMA ini tak 'kan pernah berdiri!! Saya babat alas di sini!!"
Pak Balia : "Tak ada pengecualian!! Tak ada kompromi, tak ada katebelece,
dan tak ada akses istimewa untuk mengkhianati aturan. Inilah yang terjadi
dengan bangsa ini, terlalu banyak kongkalikong!! Seharusnya Bapak bisa
melihat tidak diterimanya anak bapak sebagai peluang untuk menunjukkan
kepada khalayak bahwa kita konsisten mengelola sekolah ini. NEM minimal
42, titik!! Tak bisa ditawar-tawar!!" ”

Pak Mustar dikenal tegas. Tidak ada yang berani macam-macam dengannya. Salah
satu ketegasan Pak Mustar adalah setelah berbicara di hadapan para orang tua murid
dengan Pak Balia, ia "menumpahkan kekesalan"-nya pada siswa yang diterima. (Bab
1: "What A Wonderful World", hal. 10)

“  "Disiplin yang keras!! Itulah yang diperlukan anak-anak muda Melayu ”


zaman sekarang. Masalah-masalah orang muda seperti akar rumput yang
kusut. Jika dibiarkan, pasti berlarut-larut. Harus cepat diselesaikan dengan
gunting yang tajam!!"

Demi memenuhi kebutuhan hidup mereka, Ikal dan Arai harus bekerja sebagai kuli di
pelabuhan ikan milik Lam Nyet Pho. Namun begitu, mereka tetap gigih belajar
sehingga selalu berada dalam peringkat lima teratas dari 160 murid di sekolahnya.
Sekolah mereka merupakan SMA negeri pertama yang bergengsi di Belitong,
sebelumnya satu-satunya SMA yang terdekat berada di Tanjung Pandan. Sekolah
tersebut berada 30 kilometer dari rumah Ikal dan Arai sehingga mereka harus
menyewa kamar dan hidup jauh dari orang tua.

Lam Nyet Pho adalah ketua preman pasar ikan, keturunan prajurit Hupo, semacam
capo. Nyonya Pho memiliki 16 perahu motor dan memiliki ratusan anak buah yang
tidak pernah melepaskan badik dari pinggangnya. Ketika Ikal dan Arai dikejar-kejar
karena mengejek Pak Mustar ketika upacara bendera, Ikal dan Arai bersembunyi di
balik peti es bau busuk milik Nyonya Pho.

Nyonya Pho juga memiliki gedung bioskop yang mana anak-anak sekolah dilarang
masuk, karena bioskop itu memuat film-film yang mengandung maksiat seperti
"Beranak Dalam Kubur". Oleh karena itu, Pak Mustar melarang keras murid-murid
SMA Negeri Bukan Main untuk mendekati apalagi masuk ke dalam bioskop tersebut.
Padahal, kontrakan Ikal dan Arai berdekatan dengan bioskop "terlarang" tersebut.
(Bab 9: "Bioskop", hal. 96)

“ "Sangat berbahaya .... Sangat berbahaya dan menjatuhkan martabatmu, anak-


anak Melayu bangsa pujangga, jika menonton film yang dengan melihat
nama pemainnya saja kita sudah dapat menduga ceritanya. Film tak pakai
otak! Akting tak tahu malu!! Tak ada mutunya sama sekali. Lihatlah
posternya itu! Aurat diumbar ke mana-mana, Film seperti itu akan merusak
jiwamu. Pakai waktumu untuk belajar!! Awas!! Sempat tertangkap tangan
kau nonton di situ, rasakan akibatnya!!" ”
Semasa SMA, banyak kenakalan yang dilakukan oleh Arai dan Ikal. Mereka pernah
mengejek Pak Mustar ketika upacara bendera, sehingga Pak Mustar marah dan
mengejar mereka hingga mereka bersembunyi di balik peti es bau busuk milik
Nyonya Pho. Mereka juga pernah menyusup ke bioskop yang juga dimiliki oleh
Nyonya Pho, yang tidak mengizinkan anak sekolah masuk untuk menonton film
dewasa. Pak Mustar mengetahui hal tersebut sehingga Arai, Jimbron, dan Ikal diberi
hukuman keesokan harinya. (Bab 10: "Action!!", hal. 118-119)

“ "Setelah kuteliti baik-baik, SMA ini rupanya memiliki sebuah geng tengik
beranggotakan tiga orang cecunguk, yang tak pernah berhenti membuat
kerusakan-kerusakan!! Ketiga orang itu adalah kampiun masalah, para juara
pembuat onar!! Menonton bioskop mengandung risiko seperti menelan buah
khuldi, hukumannya diusir!! Hanya karena dua di antaranya penghuni garda
depan dan sudah kelas tiga, maka kalian tidak kudepak dari SMA ini,
paham?!! Ikal dan Jimbron, bersihkan WC lama itu!! Agar bisa dipakai lagi,
sikat lantainya sampai mengilap!! Dan kau, Arai, bersihkan kotoran
kelelawar di langit-langit seluruh sekolah!! Dan untuk pemanasan, pagi ini
kalian akan sedikit berakting!! Kalian akan menjadi bintang film Indonesia
murahan itu!! Hebat, bukan??" ”

Jimbron, yang sangat terobsesi pada kuda, akhirnya ditawari bekerja di peternakan
kuda milik Nyonya Pho. Namun, Ikal dan Arai memutuskan untuk merantau ke Jawa.
Jimbron memberikan salam perpisahan kepada Ikal dan Arai berupa celengan
berbentuk kuda, yang diharapkan dapat membantu mereka berdua untuk melanjutkan
studi ke Eropa. Ikal dan Arai akhirnya memutuskan untuk mengadu nasib di Jakarta.
Ikal berhasil mendapatkan pekerjaan mejadi pegawai pos, lalu melanjutkan studi ke
Universitas Indonesia. Ikal mengambil jurusan ekonomi. Sedangkan Arai pergi
merantau ke Kalimantan dan diterima di Universitas Mulawarman, jurusan biologi. Ia
lulus dengan gelar cum laude. Kemudian, mereka membuat proposal untuk
melanjutkan studi ke luar negeri. Dari situlah, Ikal dan Arai bertemu kembali.

Tokoh-tokoh

Tokoh Utama
1. Ikal: Andrea Hirata sendiri, tokoh utama dalam cerita
2. Arai: anak yatim piatu, disebut sebagai "Simpai Keramat" karena ayahnya,
satu-satunya anggota keluarganya, meninggal dunia. Arai diangkat sebagai
sepupu Ikal.
3. Jimbron: anak yatim piatu. Ia diasuh oleh Pendeta Geovanny, anggota
keluarganya yang berbeda agama. Meskipun demikian, Pendeta Geovanny
menginginkan Jimbron taat menjalankan Islam.

Tokoh Lain

· eman Said Harun: ayah Ikal, pekerja PN Timah, kuli yang menyekop xenotim di
wasrai (instalasi pencucian timah)
· Pendeta Geovanny: paman Jimbron setelah menjadi yatim piatu. Meskipun ia
berbeda agama namun ia menginginkan Jimbron taat menjalankan Islam
· Mustar M. Djai'din. BA.: pendiri dan wakil kepala SMA Negeri Bukan Main.
Sejak anak semata wayangnya tidak diterima karena NEM-nya kurang, ia berubah
menjadi tempramental. Sehingga, wataknya tegas dan sering menghukum murid-
murid karena melakukan kesalahan.
· Drs. Julian Ichsan Balia: Kepala SMA Negeri Bukan Main, seorang bumiputera,
amtenar pintar lulusan IKIP Bandung
· Zakiah Nurmala, putri dari Berahim Matarum: gadis pujaan Arai, "karatan" di
kursi nomor satu sejak kelas satu (Bab 15: "Ekstrapolasi Kurva yang Menanjak", hal.
209)
· Laksmi: gadis pujaan Jimbron, ia menjadi yatim piatu dan bekerja di pabrik cincau
· Lam Nyet Pho: ketua preman pasar ikan, keturunan prajurit Hupo, semacam capo.
Ia memiliki 16 perahu motor dan dikawal oleh ratusan anak buah yang tidak pernah
melepaskan badik dari pinggangnya
· Haji Marhaban Hamim bin Muktamar Aminudin: guru mengaji. Dalam struktur
organisasi Masjid Al-Hikmah, ia merupakan pelaksana peraturan, di antara Haji Satar
selaku pembuat peraturan dan Haji Hazani selaku pengawas peraturan. Taikong
Hamim memiliki watak yang sama tegasnya seperti Pak Mustar di SMA Negeri
Bukan Main, dan juga sering menghukum. Terutama, jika sampai tamat SD belum
hafal Juz Amma, maka akan dimasukkan ke dalam beduk yang dipukul keras-keras.
· Bang Zaitun: seniman musik pemimpin sebuah kelompok orkes Melayu. Memiliki
banyak pacar dan empat kali menikah. Bang Zaitun mengajari Arai cara menaklukkan
wanita
· Mak Cik Maryamah: wanita paruh baya, tetapi hidupnya agak lebih miskin
dibanding keluarga Ikal
· Nurmi: putri dari Mak Cik Maryamah, seorang pemain biola
· A Kiun: pekerja loket karcis bioskop
· Pak Cik Basman: tukang sobek karcis bioskop
· A Siong: pemilik toko kelontong, tempat Ikal dan Arai berselisih tentang
penggunaan uang tabungan
· Deborah Wong: Istri A Siong, perempuan asal Hongkong yang tambun dan
berkulit putih
· Mei Mei: putri dari A Siong dan Deborah Wong
· Bang Rokib: kernet bis kota yang mengantar Ikal dan Arai ke Ciputat, Ikal dan
Arai sedang merantau ke Jawa

Anda mungkin juga menyukai