Cipta, sebagaimana yang telah diatur dan diubah dari Undang-Undang Nomor 19
Tahun 2002, bahwa:
(1) Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara
Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau
pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah).
(2) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau
pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau
huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara
paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.
500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).
(3) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau peme-
gang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g
untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling
lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,-
(satu miliar rupiah).
(4) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang
dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.
4.000.000.000,- (empat miliar rupiah).
Dr. Muhamad Arif, M.Pd.
Prof. Dr. H. Chairul Anwar, M.Pd.
Dr. H. Lebba, S.Ag., M.Si.
PENDIDIKAN
KEWARGANEGARAAN
Pendidikan Kewarganegaraan
Diterbitkan:
PARA CITA MADINA
Pamulang Elok Jl. Melati Blok A No. 9
Pondok Petir, Bojongsari - Depok
Email: paracitapress1@gmail.com
Fb: Paracita Press
KATA PENGANTAR
Pendidikan Kewarganegaraan v
Pendidikan Kewarganegaraan diselenggarakan untuk menyiap-
kan generasi muda agar tumbuh dan berkembang menjadi warga
negara yang baik dengan menguasai pengetahuan kewarga-
negaraan (knowledge), meyakini, dan mengamalkan nilai-nilai
dan kebenaran yang menjadi pandangan hidup bangsa dan
negara (virtues), serta mampu menerapkan keterampilan ber-
warga negara (citizenship skill). Dengan demikian, Pendidikan
Kewarganegaraan diselenggarakan sebagai bagian dari upaya
membentuk warga negara yang baik (good citizenship), yakni
warga negara yang memiliki kemampuan berpikir yang kompre-
hensif terkait hak dan kewajibannya sebagai warga negara,
menunaikan hak dan kewajiban sebagai warga negara dengan
baik, sekaligus dapat memberikan solusi terhadap pemasalahan
yang muncul dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.
Penulis menyadari bahwa buku Pendidikan Kewarga-
negaraan ini masih menyisakan kekurangan di sana-sini. Oleh
karena itu, saran dan kritik yang bersifat membangun sangat
penulis harapkan sehingga penulis dapat melakukan perbaikan
pada edisi berikutnya. Terakhir, semoga buku ini dapat mem-
berikan manfaat bagi para pembaca.
Tim Penulis
vi Bab I Pendahuluan
DAFTAR ISI
Pendidikan Kewarganegaraan ix
BAB XI
GOOD GOVERNANCE ------------------------------------- 235
A. Pendahuluan ---------------------------------------------- 235
B. Pengertian Good Governance -------------------------- 236
C. Tujuan Good Governance ------------------------------ 241
D. Prinsip-prinsip, Ciri-ciri, dan Manfaat
Good Governance ---------------------------------------- 242
E. Indikator Good Governance --------------------------- 248
Referensi --------------------------------------------------------- 252
BAB XII
OTONOMI DAERAH ---------------------------------------- 255
A. Pendahuluan ---------------------------------------------- 255
B. Pengertian Otonomi Daerah ---------------------------- 255
C. Latar Belakang Otonomi Daerah ---------------------- 258
D. Prinsip Otonomi Daerah -------------------------------- 263
E. Asas-asas Otonomi Daerah ----------------------------- 267
F. Tujuan dan Indikator Otonomi Daerah ---------------- 270
Referensi --------------------------------------------------------- 272
BAB XIII
INDONESIA DI TENGAH ARUS GLOBAL
(SUATU PENUTUP) ------------------------------------------ 275
A. Pendahuluan ---------------------------------------------- 275
B. Tinjauan Historis Peran Bangsa Indonesia dalam
Perspektif Global ----------------------------------------- 276
C. Sikap Dasar Bangsa Indonesia terhadap Masyarakat
Global ----------------------------------------------------- 278
D. Globalisasi ------------------------------------------------ 281
E. Dampak Globalisasi ------------------------------------- 283
F. Sikap terhadap Globalisasi ----------------------------- 288
Referensi --------------------------------------------------------- 289
x Bab I Pendahuluan
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Reformasi sudah bergulir lebih dari dua dasa warsa lama-
nya, namun tidak sedikit dari cita-cita reformasi yang sulit di-
capai. Terbukti dengan masih banyaknya persoalan serius yang
membebani perjalanan bangsa dan negara kita (Wicaksono, P. &
Hantoro, J, 2018). Sebut saja misalnya terkait lonjakan demok-
ratisasi yang sangat tinggi, revolusi teknologi informasi dan
komunikasi yang membuka hampir seluruh keran transparansi
dan liberalisasi yang berkelindan dengan demokratisasi politik,
sistem multi partai yang tidak efisien dan tidak efektif, pemi-
lihan presiden dan wakil presiden secara langsung yang sangat
dinamis oleh berbagai kepentingan, kepercayaan rakyat terhadap
pemerintah yang kadang kontroversial, penegakan hukum yang
kontroversial arah ketajamannya, pemberantasan korupsi yang
semakin rumit, spirit primordialisme yang masih menjadi
ancaman disintegrasi, angka pengangguran yang berdampak
pada angka kemiskinan yang tinggi, pembangunan yang kurang
memperhatikan kelestarian lingkungan, serbuan paham-paham
dan produk-produk kebudayaan asing yang mengancam kepri-
badian bangsa, tantangan globalisme yang melemahkan konsep
kebangsaan, dan sebagainya (Sulaiman, A.I, 2013: 119-122).
Fenomena kebangsaan yang perlu mendapat perhatian
pada era globalisme adalah komitmen masyarakat terhadap kon-
sensus nasional berupa nilai-nilai dasar yang disepakati sebagai
sebagai dasar dan bahkan pandangan hidup dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Pertama karena globalisasi telah me-
nyebabkan negeri ini kebanjiran berbagai macam paham asing
seperti liberalisme, kapitalisme, komunisme, dan sebagainya
yang lambat laun dapat mempengaruhi kehidupan ekonomi,
Pendidikan Kewarganegaraan 1
politik, dan sosial budaya bangsa Indonesia. Faktanya, paham-
paham tersebut dapat menyusup dan mempengaruhi kehidupan
setiap bangsa di dunia internasional, oleh karenanya tidak ter-
tutup kemungkinan dapat mempengaruhi Pancasila sebagai
dasar negara dan pandangan hidup bangsa. Dalam hubungan ini
Irianto Widisuseno (2004: 4) mencatat bahwa saat ini kehidupan
setiap bangsa diwarnai oleh ketegangan yang disebabkan oleh
tarik ulur sistem nilai yang dianut oleh setiap warga bangsa.
Sebagian tetap berkomitmen untuk mempertahankan sistem nilai
yang telah menjadi identitas kebangsaan. Sementara sebagian
yang lainnya ingin menjalani kehidupan secara pragmatis dan
larut dalam paham-paham asing dari manapun asalnya
(Widisuseno, I, et.al, 2007).
Belakangan ini makin menguat kekawatiran jika bangsa
ini semakin melupakan prinsip-prinsip dasar yang telah disepa-
kati sebagai konsensus nasional pada tanggal 18 Agustus 1945,
yakni Pancasila. Nilai-nilai Pancasila dikawatirkan semakin ter-
geser dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara. Keber-
adaan Pancasila memang masih terpampang secara formal se-
bagai dasar negara. Akan tetapi daya spiritnya dikawatirkan
semakin memudar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sejarah mencatat adanya perbedaan perspektif tentang
Pancasila. Ada pemahaman Pancasila ala regim Orde Lama
yang khas sehingga dikoreksi oleh regim Orde Baru. Sementara
pada saat reformasi berkembang anggapan bahwa Pancasila
tidak lebih sebagai alat legitimasi kekuasaan regim Orde Baru.
Setelah era reformasi, cara pandang terhadap Pancasila pun ter-
kesan mengalami pergeseran oleh dari statusnya sebagai dasar
negara menjadi salah satu dari empat pilar negara. Fenomena
seperti ini mengindikasikan adanya pergeseran pemahaman
(epistemology) terhadap Pancasila, sehingga diperlukan penguat-
an nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan ber-
negara.
Memang, saat ini kebanyakan negara-negara yang sedang
berkembang, termasuk Negara Kesatuan Republik Indonesia,
cukup rentan dalam menghadapi kedatangan paham-paham
asing. Derasnya pengaruh paham asing perlu disikapi dengan
2 Bab I Pendahuluan
prinsip yang kuat. Dalam kaitan ini, menarik untuk mengikuti
prinsip Tri-Kon yang dikembangkan oleh Ki hajar Dewantara.
Dalam sebuah artikel yang berjudul “Kebudayaan dan
Pengajaran dalam Hubungan Antarnegara”, Ki Hadjar
Dewantara memberikan uraian bahwa tiap-tiap bangsa akan
saling bertemu satu sama lain secara natural. Pertemuan antar-
bangsa tersebut pada gilirannya akan membuka kemungkinan
bagi terjadinya proses pertukaran budaya (Arif, M, 2022).
Dalam kaitannya dengan pertemuan antarbangsa dan pertukaran
antarbudaya tersebut, Ki Hadjar Dewantara memikirkan bagai-
mana suatu bangsa dapat mengambil keuntungan semaksimal
mungkin dan sekaligus menekan kerugian seminimal mungkin.
Pemikiran seperti itu mendorong Ki Hadjar Dewantara membuat
formulasi berupa prinsip-prinsip dasar yang dikenal sebagai
Azas Trikon.
Pertama, kontinuitas, yakni sebuah penekanan pemahaman
bahwa keberadaan suatu bangsa saat ini merupakan kesinam-
bungan dari kehidupan bangsa tersebut pada masa yang silam,
bukan merupakan peniruan jati diri dari bangsa lain. Kedua,
konvergensi, yakni sebuah kesadaran akan pentingnya bergaul
dengan bangsa lain dan sekaligus menghindari sikap meng-
isolasi diri sendiri, sehingga membuka kemungkinan terjadinya
pertemuan antara keunggulan budaya bangsa sendiri dengan ke-
unggulan budaya bangsa lain. Pertemuan antara dua keunggulan
tersebut untuk kemudian diramu menjadi kebudayaan baru yang
lebih unggul dan sekaligus bermanfaat bagi kelangsungan hidup
suatu bangsa. Ketiga, konsentris, yakni sebuah kesadaran untuk
tetap berpegang teguh pada jati diri atau kepribadian bangsa
sendiri, meskipun telah bergaul dan sekaligus menyerap bebe-
rapa unsur budaya bangsa lain. Dengan kata lain, sungguhpun
suatu bangsa telah bergaul dengan bangsa-bangsa lain sedunia,
namun dalam lingkaran-lingkaran yang konsentris itu, bangsa
tersebut harus mempunyai sirkelnya sendiri.
Azas kontinuitas (keberlanjutan) mengingatkan pada hasil
penelitian (Chandler, M.J, & Lalonde, C, 2008: 17-19) menyu-
guhkan sebuah laporan tentang adanya risiko bunuh diri pada
para pemuda “first nations”. Isiko bunuh diri tersebut terkait
Pendidikan Kewarganegaraan 3
dengan cara-cara dan kemampuan para pemuda “first nations”
tersebut dalam mempertahankan dan membangun identitas yang
memungkinkan mereka dapat bertahan hidup secara terus-
menerus, meskipun harus menghadapi perubahan budaya yang
dramatis. Dalam rangka mempertahankan dan membangun
identitas tersebut, hal terpenting yang dilakukan oleh para pe-
muda “first nations” adalah proses pembentukan identitas
dengan menjamin kontinuitas mereka secara memadai. Kegagal-
an dalam proses pembentukan identitas akan berujung pada rasa
putus asa dan bahkan mengarah pada tindakan bunuh diri.
Dijelaskan bahwa proses penemuan identitas dalam momen-
momen transisional berhubungan erat dengan kontinuitas pri-
badi dan budaya mereka. Artinya, masyarakat yang telah meng-
ambil langkah untuk melestarikan dan bahkan mengembangkan
budaya mereka sendiri –meskipun berada di tengah-tengah
komunitas baru dengan budaya yang berbeda—akan menjadi
faktor penting bagi kontinuitas mereka.
Terdapat tiga hal penting yang perlu digarisbawahi dari
penelitian Michael J. Chandler dan Christopher Lalonde, yakni:
(1) tentang bagaimana langkah-langkah proses kontinuitas suatu
masyarakat tradisional terhadap kebudayaan modern, (2) tentang
bagaimana menandai kelangsungan budaya yang terjadi dalam
kehidupan nyata mereka, dan (3) tentang bagaimana upaya me-
rekonseptualisasi kemungkinan makna keberlanjutan masyarakat
tradisional ketika memutuskan untuk beradaptasi dengan masya-
rakat modern.
Azas konvergensi mengingatkan penjelasan Erich B.
Bergiel, et al. (2011: 77) dalam sebuah artikelnya terkait
hubungan pengaruh antarbudaya pada era globalisasi yang tak
dapat dihindari. Bahwa kebudayaan justru berevolusi dan ber-
ubah sebagai akibat dari pertemuan dan penyesuaiannya dengan
kebudayaan yang lain. Seperti pernyataannya berikut ini: “…
With the increase in globalization the subsequent influence of
cultures on one another is inevitable. As these cultures evolve
and change under this influence it is imperative that we stay
abreast of these changes. As noted, we suggest that a number of
these cultural changes have already occurred.” (2011: 77).
4 Bab I Pendahuluan
Pandangan Erich B. Bergiel, et al. di atas menunjukkan
adanya realitas yang terkait dengan fenomena konvergensi
budaya dalam kehidupan masyarakat. Sementara Kenny Smith
(2001: 9-10), dalam artikelnya yang berjudul “The Importance
of Rapid Cultural Convergence in the Evolution of Learned
Symbolic Communication” menjelaskan adanya dua faktor yang
mempengaruhi kecepatan konvergensi, yakni (1) semakin me-
ningkatnya interaksi antarbudaya, dan (2) semakin meningkat-
nya jumlah peristiwa pembelajaran selama proses transmisi
budaya.
Melalui Prinsip Tri-Kon tersebut diharapkan bangsa
Indonesia dapat membangun sikap yang tepat, pada satu sisi
tetap komitmen mempertahankan karakter kebangsaan, namun
pada sisi yang lain juga dapat menyesuikan dengan perkem-
bangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Prinsip Tri-
Kon tersebut dapat menjadi pedoman agar kita tidak terkooptasi
sistem nilai asing akibat sikap pragmatis yang rentan menggeser
prinsip-pinsip dasar dalam Pancasila.
Uraian di atas menegaskan bahwa Pendidikan Kewarga-
negaraan berada dalam posisi yang urgen, yakni sebagai wahana
membangun karakter kebangsaan di kalangan generasi penerus
serta menggugah semangat kebangsaan dan kecintaan mereka
terhadap bangsa dan tanar air. Di samping itu, Pendidikan Ke-
warganegaraan menempati posisi yang urgen untuk membentuk
generasi penerus yang memiliki wawasan kebangsaan yang luas
sehingga terampil dalam menyikapi dinamika kebangsaan yang
terus berkembang, menumbuhkan jiwa kemandirian dan sealigus
kecintaan pada tanah air dan bangsa.
Pendidikan Kewarganegaraan 5
an, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,
serta keterampilan yang diperlukan bagi dirinya, masyarakat,
bangsa dan negara. Oleh karena itu ujung dari proses pendidikan
adalah pembentukan sikap spiritual dan sikap sosial (aspek
afektif), pengembangkan kecerdasan intelektual (aspek kogni-
tif), dan pengembangan keterampilan (aspek psikomotorik).
Pendidikan Kewarganegaraan bukan substansi yang baru
dalam sistem pendidikan nasional di Indonesia. Meskipun secara
nomenklatur memang sempat mengalami beberapa kali per-
ubahan, yakni Civics (1957-1962), Kewarganegaraan (1964),
Pendidikan Kewargaan Negara (1968-1969), Pendidikan Ke-
warganegaraan, Civics, dan Hukum (1973), Pendidikan Moral
Pancasila (1975-1984), Pendidikan Pancasila dan Kewarga-
negaraan (1994), Pendidikan Kewargangaraan (2004-2012),
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (2013-2020), dan
kembali menjadi Pendidikan Kewarganegaraan (2021-sekarang).
Pendidikan Kewarganegaraan tidak kurang sebagai pen-
didikan karakter kewarganegaraan dalam pengertian melalui
Pendidikan Kewarganegaraan diharapkan generasi muda bangsa
Indonesia dapat berkembang sebagai warga negara Indonesia
yang baik perilakunya, cerdas intelektualitasnya dalam arti
mengetahui sepenuhnya akan hak dan kewajibannya sebagai
warga negara Indonesia, serta terampil dalam berpartisipasi aktif
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan demikian,
peran Pendidikan Kewarganegaraan sangat signifikan dalam
menyiapkan generasi penerus sebagai warga negara yang baik,
cerdas, dan terampil. Dalam hubungan ini Bunyamin Maftuh
(2009: 123) menjelaskan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan
menyiapkan siswa untuk menjadi warga negara yang baik
dengan menguasai pengetahuan kearganegaraan (knowledge)
yang berasal dari konsep dan teori berbagai disiplin ilmu, me-
yakini, mentransformasikan, dan mengamalkan nilai-nilai dan
kebenaran yang menjadi pandangan hidup bangsa dan negara
(virtues) dan mampu menerapkan keterampilan berwarga negara
(citizenship skill). Dengan demikian, orientasi Pendidikan
Kewarganegaraan adalah pembentukan sikap kewarganegaraan
(civic disposition). Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP)
6 Bab I Pendahuluan
Tahun 2007 menjelaskan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan
memiliki dua aspek yang harus dinilai, yaitu aspek kognitif dan
aspek afektif peserta didik.
Uraian di atas menunjukkan bahwa Pendidikan Kewarga-
negaraan menghendaki bahan ajar berupa pengetahuan dan nilai-
nilai karakter yang diperlukan bagi pembentukan sikap kewarga-
negaraan (civic disposition). Quigley dkk (1991: 11) menjelas-
kan bahwa sikap kewarganegaraan (civic disposition) adalah
sikap dan kebiasaan berpikir warga negara yang menopang ber-
kembangnya fungsi sosial yang sehat dan jaminan kepentingan
umum dalam sistem demokrasi (those attitudes and habit of
mind of the citizen that are conducive to the healthy functioning
and common good of the democratic system).
1. Nilai-nilai Karakter
Kehidupan manusia diwarnai oleh sistem nilai, yakni
sesuatu yang dipandang prinsipil, tinggi, berharga, dan sekaligus
penting bagi kehidupan. The Oxford American Dictionary
menjelaskan nilai sebagai standar atau prinsip yang dipandang
berharga atau penting dalam kehidupan (Maftuh, 2009: 65).
Bagi bangsa Indonesia, sila-sila dalam Pancasila merupakan
nilai-nilai karakter yang sangat mendasar dan menjadi konsen-
sus nasional sejak tanggal 18 Agustus 1945 sehingga menjadi
dasar negara dan pandangan hidup bangsa. Dengan adanya kon-
sensus nasional tersebut, maka pola pikir, pola sikap, dan pola
perilaku segenap elemen bangsa Indonesia dilandaskan pada sila
pertama (Ketuhanan Yang Maha Esa), sila kedua (Kemanusiaan
yang adil dan beradab), sila ketiga (Persatuan Indonesia), sila
keempat (Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaraan/perwakilan), dan sila kelima (Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia).
Masalahnya sekarang adalah membanjirnya berbagai
macam informasi asing pada era globalisasi yang perlahan-lahan
menggeser orientasi generasi muda bangsa Indonesia. Saat ini
muncul kecenderungan di kalangan generasi muda yang mulai
mengabaikan nilai-nilai Pancasila yang sudah disepakati sebagai
konsensus nasional. Kenyataan seperti ini menunjukkan perlu-
Pendidikan Kewarganegaraan 7
nya penguatan pengetahuan dan pemahaman generasi muda ter-
hadap nilai-nilai moral dan karakter kebangsaan melalui Pen-
didikan Kewarganegaraan. Pendidikan Kearganegaraan merupa-
kan wahana pembelajaran yang berorientasi pada pembentukan
pengetahuan, pemahaman, sikap kewarganegaraan (civic
disposition), serta perilaku kewarganegaraan yang didasarkan
pada nilai-nilai Pancasila. Dengan demikian diharapkan generasi
muda Indonesia akan memiliki karakter kebangsaan yang tang-
guh. Jaenudin (2012: 160) menjelaskan bahwa karakter merupa-
kan watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang
terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues)
yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk mem-
bangun cara pandang, cara berpikir, cara bersikap, dan cara ber-
tindak. Berikut ini merupakan nilai-nilai karakter bangsa yang
dirumuskan berdasarkan nilai-nilai Pancasila.
Setiap sila dalam Pancasila merupakan nilai-nilai dasar
yang perlu dipedomani, dihayati, dan diamalkan dalam kehi-
dupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, setiap warga
negara Indonesia hendaknya memiliki pengertian dan pema-
haman tentang makna nilai dalam Pancasila dimaksud.
Pertama, nilai ketuhanan, yakni sebuah keyakinan dan
sekaligus pengakuan segenap unsur bangsa Indonesia tentang
keberadaan Tuhan pencipta alam semesta. Nilai ini sekaligus
menegaslan bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa yang
religius, bukan bangsa yang sekuler, terlebih bangsa yang atheis.
Selanjutnya segenap unsur bangsa Indonesia juga menjunjung
tinggi kebebasan memeluk agama, menghormati kemerdekaan
beragama, serta tidak berlaku diskriminatis terhadap kelompok
agama tertentu.
Kedua, nilai kemanusiaan, bahwa segenap unsur bangsa
Indonesia menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan nilai-
nilai peradaban. Dengan demikian bangsa Indonesia akan terus
bergerak secara dinamis dalam menumbuh-kembangkan harkat
dan dan martabat kemanusiaan yang berperadaban.
Ketiga, nilai persatuan, bahwa segenap unsur bangsa
Indonesia bersatu dalam upaya menuju persatuan dalam bingkai
8 Bab I Pendahuluan
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Nilai persatuan dimaksud
tidak diarahkan pada penghilangan keragaman, melainkan justru
diarahkan untuk mengakui dan menghargai adanya keragaman.
Dengan demikian semboyan Bhinneka Tunggal Ika merupakan
penegasan bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa yang
besar yang di dalamnya terdapat mozaik yang mencakup aneka
suku, bangsa, bahasa, agama, dan adat-istiadat yang sangat kaya.
Keempat, nilai kerakyatan, bahwa segenap unsur bangsa
Indonesia menghendaki sebuah sistem yang dipandu oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Bahwa pe-
merintahan berasal dari rakyat, diselenggarakan melalui meka-
nisme permusyawaratan/perwakilan, dan berkinerja untuk kese-
jahteraan rakyat.
Kelima, nilai keadilan, bahwa segenap unsur bangsa
Indonesia bersatu padu dalam rangka tercapainya masyarakat
Indonesia yang adil dan makmur secara lahiriah dan batiniah
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Kelima nilai dasar di atas dapat dikembangkan sebagai
nilai-nilai karakter bangsa yang lebih operasional sebagaimana
yang dikembangkan oleh Jaenuddin (2012: 162) berikut ini.
Tabel 1.1
Nilai-nilai Karakter Bangsa
Nilai-nilai Karakter
No. Keterangan
Bangsa
1 Religius Sikap dan perilaku yang taat
dalam melaksanakan ajaran
agama yang dianut, toleran
terhadap pemeluk agama yang
berbeda, serta dapat hidup ber-
dampingan secara rukun dan
damai dengan pemeluk agama
lain.
2 Jujur Perilaku yang didasarkan pada
komitmen dan upaya untuk selalu
menjaga kepercayaan, baik dalam
perkataan maupun tindakan
(pekerjaan).
Pendidikan Kewarganegaraan 9
3 Toleransi Sikap dan tindakan yang meng-
hargai perbedaan agama, suku,
etnis, pendapat, sikap, dan tin-
dakan orang lain yang berbeda
dengan dirinya.
4 Disiplin Tindakan yang menunjukkan
perilaku yang tertib dan patuh
pada ketentuan dan peraturan.
5 Tangguh (Kerja Keras) Perilaku yang menunjukkan
upaya yang sungguh-sungguh
dalam mengtasi berbagai ham-
batan dalam belajar dan tugas,
serta menyelesaikan tugas
dengan sebaik-baiknya.
6 Kreatif Berpikir dan melakukan sesuatu
untuk menghasilkan menghasil-
kan cara bru atau produk baru
dari sesuatu yang elah dimiliki.
7 Mandiri Sikap dan perilaku yang tidak
mudah tergantng pada orang lain
dalam menyelesaikan tugas dan
kewajiban.
8 Cerdas Mencari dan menerapkan infor-
masi dari lingkungan sekitar dan
sumber-sumber lain secara logis,
kritis, dan kreatif.
9 Demokratis Cara berpikir, bersikap, dan ber-
tindak yang menjunjung tinggi
persamaan antara hak dan ke-
wajiban dirinya dan orang lain.
10 Rasa Ingin Tahu Sikap dan tindakan yang selalu
berupaya untuk mengetahui lebih
mendalam dan meluas dari se-
suatu yang dipelajari, dilihat, dan
didengar.
11 Semangat Kebangsaan Cara berpikir, bersikap, bertin-
dak, dan berwawasan yang me-
nempatkan kepentingan bangsa
dan negara di atas kepentingan
pribadi dan golongan.
10 Bab I Pendahuluan
12 Cinta Tanah Air Cara berpikir, bersikap, dan ber-
tindak yang menunjukkan kese-
tiaan, kepedulian, dan pengharga-
an yang tinggi terhadap Bahasa,
lingkungan fisik, sosial, budaya,
ekonomi, dan politik bangsa.
13 Menghargai Prestasi Sikap dan tindakan yang men-
dorong diri untuk menghasilkn
sesuatu yang berguna bagi
masyarakat, dan mengaui serta
menghormati keberhasilan orang
lain.
14 Bersahabat/Komunikatif Tindakan yang memperlihatkan
rasa senang berbicara, bergaul,
dan bekerja sama dengan orang
lain.
15 Cinta Damai Sikap, perkataan, dan tindakan
yang menyebabkan orang lain
merasa senang dan aman atas
kehadirannya.
16 Gemar Membaca Kebiasaan menyediakan waktu
untuk membaca berbagai bacaan
yang memberikan kebajikan bagi
dirinya.
17 Peduli Lingkungan Sikap dan tindakan yang selalu
berupaya mencegah kerusakan
pada lingkungan alam sekitarnya,
dan mengembangkan upaya-
upaya unuk memperbaiki keru-
sakan alam yang sudah terjadi.
18 Peduli Sosial Sikap dan tindakan yang selalu
ingin memberi bantuan pada
orang lain dan masyarakat yang
membutuhkan.
19 Tanggung Jawab Sikap dan perilaku seseorang
untuk melaksanakan tugas dan
kewajiban yang seharusnya di-
lakukan terhadap dirinya sendiri,
masyarakat, lingkungan (alam,
sosial, dan budaya), negara, dan
Tuhan Yang Maha Esa.
Pendidikan Kewarganegaraan 11
Nilai-nilai karakter bangsa di atas menjadi landasan alam
pengembangan Pendidikan Kewaranegaraan sehingga akan ter-
wujud sikap kewarganegaraan (civic disposition) di kalangan
generasi muda Indonesia.
12 Bab I Pendahuluan
adaan sikap kewarganegaraan sangat penting sebagai suatu
kebebasan yang berada pada hati manusia, baik pria maupun
wanita. Jika kebebasan tersebut hilang maka hilang pulalah
konstitusi, hukum, dan pengadilan yang dapat menyelamatkan.
Bahkan konstirusi, hukum, dan pengadilan tidak dapat berbuat
apa-apa jika tidak dibarengi dengan sikap kewarganegaraan
(Branson, 1998: 12). Adapun sikap kewarganegaraan (civic
disposition) yang harus dimiliki warga negara adalah sebagai
berikut.
Pertama, menjadi anggota masyarakat yang indepenen.
Karakter ini meliputi kesadaran pribadi untuk bertanggung
jawab sesuai ketentuan, bukan karena keterpaksaan atau peng-
awasan dari luar untuk menerima konsekuensi dari tindakan
yang pernah dilakukan serta memenuhi kewajiban moral sebagai
anggota masyarakat.
Kedua, memenuhi tanggung jawab personal dalam bidang
ekonomi dan politik. Tanggung jawab dimaksud meliputi
kemampuan untuk mandiri, menjaga dan menafkahi keluarga,
merawat dan mendidik anak, dan sebagainya. Termasuk di
dalamnya mengikuti informasi terkait isu-isu politik, mengguna-
kan hak pilih secara benar secara pemilu, membayar pajak, ber-
partisipasi dalam kegiatan masyarakat, dan sebagainya.
Ketiga, menghormati harkat dan martabat kemanusiaan.
Artinya memiliki kompetensi untuk mendengarkan pendapat
dari pihak lain, bersikap sopan, menghargai hak dan kewajiban
sesama warga negara, memiliki kapasitas untuk melakukan
musyawarah demi mencapai mufakat, dan sebagainya.
Keempat, berpartisipasi dalam urusan kewarganegaraan.
Artinya memiliki kesadaran pentingnya informasi sebelum
berpartisipasi di ranah publik, terlibat dalam pembahasan terkait
tema-tema kewarganegaraan, sanggup memegang peranan kepe-
mimpinan sesuai proporsinya, sanggup memilih secara propor-
sional untuk mengutamakan kepentingan umum dibandingkan
dengan kepentingan pribadi, menjunjung tinggi prinsip-prinsip
konstitusional yang berlaku dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara, dan sebagainya.
Pendidikan Kewarganegaraan 13
Kelima, mengembangkan fungsi demokrasi konstitusional
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Karakter ini men-
cakup kepekaan terhadap urusan-urusan publik, melakukan
telaah terhadap prinsip-prinsip konstitusional, mencermati kepu-
tusan yang diambil oleh para pejabat publik dan para politisi,
mengambil keputusan dan langkah-langkah yang diperlukan,
dan sebagainya. Karakter ini mendorong warga negara agar
melakukan aktivitas secara cerdas, damai, dan konstitusional
(Budimansyah, 2010: 9).
Uraian di atas merupakan penjelasan bahwa sikap ke-
warganegaraan (civic disposition) merupakan materi yang
sangat penting dan mendasar dalam Pendidikan Kewarganegara-
an. Ini sekaligus menegaskan bahwa setiap warga negara perlu
memiliki pengetahuan kewarganegaraan yang baik, memiliki
keterampilan berpikir dan keterampilan berpartisipasi dalam
dimensi sosial. Pengetahuan dan keterampilan tersebut akan
membentuk karakter yang mapan dan melekat dalam sikap dan
kebiasaan kehidupan sehari-hari. Sikap dan karakter yang men-
cerminkan warga negara yang baik, seperti religius, toleran,
jujur, adil, demokratis, taat hukum, menghormati pihak lain,
memiliki rasa setia kawan, dan sebagainya.
14 Bab I Pendahuluan
siapkan warga negara yang cerdas, bertanggung jawab, berke-
adaban, dan berkarakter.
Mengacu pada konsep Tri Pusat Pendidikan sebagaimana
yang ditekankan oleh Ki Hajar Dewantara, maka Pendidikan
Kewarganegaraan di Indonesia pada dasarnya merupakan tang-
gung jawab semua pihak, baik unsur pemerintah, lembaga swa-
daya masyarakat, organisasi keagamaan, perusahaan, keluarga,
dan sebagainya (Hamdan Mansoer, 2004: 4).
Pendidikan Kewarganegaraan merupakan salah satu bagian
terpenting dalam sistem pendidikan nasional Indonesia. Tidak
lain karena Pendidikan Kewarganegaraan bersentuhan secara
langsung dalam pembentukan karater kewarganegaraan bagi
generasi penerus Indonesia. Dengan demikian Pendidikan Ke-
warganegaraan diformulasikan sebagai wahana akademik se-
hingga generasi penerus dapat melakukan kegiatan pengkajian,
analisis-sintesis, dan bahkan pemecahan masalah terkait isu-isu
kebangsaan dan kenegaraan yang dilakukan berdasarkan nilai-
nilai Pancasila. Artinya, Pendidikan Kewarganegaraan di
Indonesia harus mengacu pada pengembangan pengetahuan, pe-
mahaman, sikap dan perilaku kewarganegaraan yang didasarkan
pada nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan,
dan keadilan.
Untuk level perguruan tinggi, Pendidikan Kewarganegara-
an akan mendorong mahasiswa agar dapat melakukan kegiatan
pengkajian, analisis-sintesis, dan bahkan pemecahan masalah
terkait beberapa poin sebagai berikut: (1) identitas nasional, (2)
Pancasila sebagai dasar negara, (3) Pancasila sebagai sistem
etika, (4) negara Indonesia, (5) konstitusi Indonesia, (6) hak dan
kewajiban warga negara Indonesia, (7) demokrasi Indonesia, (8)
geopolitik Indonesia, (9) geostrategi Indonesia, (10) good
governance, (11) otonomi daerah, dan (12) Indonesia di tengah
arus global.
Pendidikan Kewarganegaraan 15
yakni sebagai orientasi generasi muda Indonesia dalam
mengembangkan jati diri sebagai warga negara Indonesia,
menguatkan wawasan dan semangat kebangsaan, cinta tanah air,
demokrasi, kesadaran hukum, serta mengembangkan kehidupan
yang normal sebagai warga negara Indonesia yang berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945.
Sejalan dengan fungsi seperti di atas, maka Pendidikan
Kewarganegaraan memformulasikan serangkaian materi yang
mencakup: (1) identitas nasional, (2) Pancasila sebagai dasar
negara, (3) Pancasila sebagai sistem etika, (4) negara Indonesia,
(5) konstitusi Indonesia, (6) hak dan kewajiban warga negara
Indonesia, (7) demokrasi Indonesia, (8) geopolitik Indonesia, (9)
geostrategi Indonesia, (10) good governance, (11) otonomi
daerah, dan (12) Indonsia di tengah arus global.
Adapun capaian pembelajaran dalam Pendidikan Kewar-
ganegaraan setidaknya mencakup poin-poin sebagai berikut.
Pertama, memiliki kemampuan untuk berpikir rasional,
analitis, dan kritis dalam menghadapi persoalan-persoalan yang
terjadi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan ber-
negara.
Kedua, memiliki kemampuan memahami dan menjelaskan
kebenaran Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi bangsa
Indonesia yang multikultural (Bhinneka Tunggal Ika).
Ketiga, memiliki kemampuann mengaktualisasikan kebe-
naran Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.
Keempat, memiliki kemampuan dan sekaligus tanggung
jawab intelektual dalam mengenali dan memahami masalah-
masalah kemasyarakatan, kebangsaan, kenegaraan, sekaligus
memberikan solusi berdasarkan nilai-nilai Pancasila.
Kelima, memiliki kemampuan berpikir dan berkarakter
ilmiah yang memiliki komitmen untuk memahami dan meng-
aktualisasikan nilai-nilai Pancasila serta memiliki komitmen
untuk menjaga dan memperjuangkan kesinambungan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
16 Bab I Pendahuluan
Keenam, memiliki kemampuan menganalisis masalah-
masalah kewarganegaraan serta mengembangkan sikap dan
perilaku yang positif dalam konteks cinta terhadap tanah air dan
bangsa.
Ketujuh, memiliki kemampuan menganalisis masalah-
masalah bangsa dan negara Indonesia di tengah-tengah era
global, sekaligus memecahkan masalah-masalah keindonesiaan,
terutama yang terkait dengan pertemuan antara tradisionalitas
dan modenrnitas.
Referensi
Azra, A, 2002, Paradigma Baru Pendidikan Nasional Rekon-
struksi dan Demokratisasi. Jakarta: Buku Kompas.
Budimansyah, D, 2010, Penguatan Pendidikan Kewarganegara-
an Untuk Membangun Karakter Bangsa, Bandung: Widya
Aksara Press.
Bergiel, E.B. et al. 2011, Revisiting Hofstede’s Dimensions:
Examining the Cultural Convergence of the United States
and Japan. University of West Georgia: American Journal
of Management vol. 12(1).
Branson, M.S, 1998, The Role of Civic Education, Calabasas:
CCE.
Jaenudin, R, 2012, Pendidikan Budaya dan Karakter bangsa,
serta Implementasinya dalam Pembelajaran, Jurnal Forum
Sosial, Palembang: UNSRI.
Maftuh, B, 2009, Pendidikan Umum dan Pendidikan Nilai,
Bandung: SPS UPI.
Mansoer, H, et al, 2004, Materi Instruksional Pendidikan Agama
Islam di Perguruan Tinggi Umum, Jakarta: Direktorat
Perguruan Tinggi Agama Islam Depag.
Quigley, C.N, et al, 1991, Civitas: A Frame Work for Civic
Education, Calabasas: Center for Civic Education.
Pendidikan Kewarganegaraan 17
Smith, K, 2001, The importance of rapid cultural convergence
in the evolution of learned symbolic communication,
Language Evolution and Computation. Research Unit,
Department of Theoretical and Applied Linguistics, The
University of Edinburgh, Adam Ferguson Building, 40
George Square, Edinburgh EH89LL.
Sulaiman, A.I, 2013, Komunikasi Politik dalam Demokratisasi,
Jurnal Observasi Vol. 11 No. 2 Tahun 2013, Bandung:
Balai Pengkajian dan Pengembangan Komunikasi dan
Informasika (BPPKI).
Wicaksono, P. & Hantoro, J, 2018, 20 Tahun Reformasi, Amien
Rais: 4 Cita-cita Ini Berhasil Terwujud, Jakarta: tempo.co:
https://nasional.tempo.co/read/1087699/20-tahun-
reformasi-amien-rais-4-cita-cita-ini-berhasil-terwujud,
tersedia: Sabtu, 16 Juli 2022.
Widisuseno, I, et.al, 2007, Pendidikan Pancasila, Semarang:
Universitas Diponegoro.
18 Bab I Pendahuluan
BAB VI
KONSTITUSI
A. Pengertian Konstitusi
Istilah konstitusi dapat ditelusuri dari kata constituer
(bahasa Perancis) yang berarti membentuk, yakni membentuk
negara. Istilah konstitusi juga bisa ditelusuri dari kata institution
(bahasa Inggris), juga dapat ditelusuri dari kata constitutie
(bahasa Belanda) yang berarti undang-undang dasar (Thaib,
2008: 7). Dalam tradisi bahasa Latin, istilah konstitusi merupa-
kan gabungan dari dua kata, yaitu cume yang berarti bersama
dengan sesuatu yang lain, dan kata statuere yang berarti berdiri.
Istilah ini mengantarkan pada pengertian yaitu membuat sesuatu
agar berdiri atau mendirikan atau menetapkan (Thaib, 1999: 7).
Berdasarkan beberapa istilah di atas, dapt dilihat bahwa
inti konstitsi adalah suatu upaya untuk membentuk, mendirikan,
menetapkan, untuk kemudian berkembang menjadi pemben-
tukan, penyusunan suatu negara. Dengan kata lain, konstitusi
dapat diartikan sebagai suatu pernyataan tentang bentuk dan
suasana suatu negara yang dipersiapkan sebelum maupun se-
sudah berdirinya suatu negara (Jazim, 2009: 87).
Dalam kamus hukum Indonesia terdapat istilah ”hukum
dasar” yang mengandung pengertian yang lebih luas dari
undang-undang. Hukum dasar merupakan aturan hukum yang
tertulis dan tidak tertulis, sementara undang-undang merupakan
aturan hukum yang tertulis. Pengertian konstitusi lebih mengacu
pada hukum dasar, yakni hukum dasar yang bersifat tertulis dan
tidak tertulis. Undang-undang dasar merupakan hukum dasar
yang tertulis atau yang tertuang dalam suatu naskah atau
dokumen. Sedangkan hukum dasar yang tidak tertulis disebut
dengan konvensi atau kebiasaan dalam ketatanegaraan. Kon-
Pendidikan Kewarganegaraan 95
vensi merupakan hukum dasar yang timbul dari praktik penye-
lenggaraan negara secara tidak tertulis.
Secara terminologi, istilah konstitusi dapat dipahami se-
cara lebih luas mengingat semakin kompleksnya permasalahan
terkait keberadaan suatu negara. Oleh karena itu, pendekatan
untuk memahami konstitusi tidak cukup dipahami menurut per-
spektif hukum tata negara saja, melainkan juga harus dipahami
menurut perspektif ilmu politik. Bahkan dalam perkembangan-
nya, tidak menutup kemungkinan konstitusi lebih bermuatan
politis dibandingkan dengan muatan yuridisnya. Selain itu, ter-
hadap istilah konstitusi tesebut, di kalangan para ahli hukum tata
negara pun terdapat perbedaan pemahaman, sebagian mengata-
kan bahwa konstitusi sama dengan undang-undang dasar.
Bahwa semua peraturan hukum itu harus ditulis, dan konstitusi
yang tertulis merupakan undang-undang dasar.
Ada pula ahli yang berpendapat bahwa konstitusi tidak
sama dengan undang-undang dasar. Bahwa tidak semua hal
yang penting harus dimuat dalam konstitusi, melainkan hal-hal
yang bersifat pokok dan mendasar saja. Secara prinsipil pen-
dapat ini tidak berbeda dengan pendapat pertama mengingat
istilah konstitusi disamakan dengan undang-undang dasar,
sementara pendapat kedua menekankan pada sisi materi yang
terdapat pada konstitusi atau undang-undang dasar (Radjab,
2005: 5). Jadi perbedaan antara kelompok pertama dan kelom-
pok kedua hanya menyangkut pada persoalan penting atau tidak
pentingnya substansi peraturan hukum untuk ditulis atau dimuat
dalam undang-undang dasar. Artinya, perbedaan pandangan ter-
sebut tidak bersifat prinsipil dalam pemahaman konstitusi. CF
Strong menjelaskan tiga unsur dalam konstitusi, yaitu: (1)
prinsip-prinsip yang terkait dengan kekuasaan pemerintahan, (2)
prinsip-prinsip yang terkait dengan hak-hak warga negara, dan
(3) prinsip-prinsip yang terkait dengan hubungan antara warga
dengan pemerintahan (Jazim, 2009: 88).
Konstitusi mengandung dua pengertian, yakni pengertian
yang luas dan pengertian yang sempit. Dalam pengertian yang
sempit, konstitusi mengacu pada ketentuan-ketentuan dasar yang
tertuang dalam dokumen tetulis, yaitu undang-undang dasar,
96 Bab VI Konstitusi
sehingga kita mengenal Konstitusi Perancis, Konstitusi Swiss,
Konstitusi Indonesia, dan sebagainya. Dalam pengertian yang
luas, konstitusi mencakup kebiasaan ketatanegaraan yang dijadi-
kan sebagai suatu kaidah yang bersifat tidak tertulis, sehingga
tidak sedikit yang berpandanga bahwa konstiusi sama penger-
tiannya dengan undang-undang dasar. Tidak lain merupakan
pengertian konstitusi dalam pengertian sempit (Martosoewignjo,
1981: 62).
Secara umum konstitusi memiliki sifat formil dan materiil.
Sifat formil dari konstitusi merupakan konstitusi yang tertulis
dalam sistem ketatanegaraan suatu negara. Dalam hubungan ter-
sebut, suatu konstitusi baru memiliki makna jika konstitusi
tersebut telah berbentuk naskah tertulis dan telah diundangkan,
misalnya Undang-Undang Dasar 1945. Sifat materiil dari
konstitusi merupakan sifat konstitusi ditinjau dari segi isinya.
Bahwa isi konstitusi pada dasarnya menyangkut hal-hal yang
bersifat pokok dan mendasar bagi rakyat dan negara (Tutik,
2006: 2).
Uraian di atas memberikan pemahaman bahwa undang-
undang dasar merupakan bagian dari konstitusi. Adapun penger-
tian konstitusi dan undang-undang dasar secara lebih detail
dapat diperhatikan pada penjelasan sebagai berikut.
Konstitusi merupakan suatu kerangka masyarakat politik
yang diorganisir melalui hukum (Strong, 2008: 15). Konstitusi
merupakan aturan-aturan hukum atau ketentuan-ketentuan
hukum yang bersifat pokok dan mendasar, baik yang bersifat
tertulis maupun yang tidak tertulis, yang memberikan gambaran
tentang sistem ketatanegaraan suatu negara. Sementara undang-
undang dasar merupakan suatu kitab atau suatu dokumen yang
memuat aturan-aturan hukum atau ketentuan-ketentuan hukum
yang pokok dan mendasar yang bersifat tertulis yang memberi-
kan gambaran tentang sistem ketatanegaraan suatu negara
(Soehino, 1985: 182).
Pendidikan Kewarganegaraan 97
pemerintahan yang konstitusional. Adapun ciri-ciri pemerin-
tahan yang konstitusional antara lain memperluas partisipasi
politik, memberi kekuasaan legislatif pada rakyat, menolak
pemerintahan yang otoriter, dan sebagainya (Nasution & Tiwon,
1995: 16).
Terbentuknya konstitusi Indonesia diawali dari janji
Jepang yang ditindaklanjuti dengan pembentukan Badan Penye-
lidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)
atau dikenal dengan istilah Dokuritsu Jumbi Choosakai pada
tanggal 29 April 1945. Pengurus BPUPKI dilantik pada tanggal
28 Mei 1945 dan mulai bekerja pada tanggal 299 Mei 1945.
Keberadaan BPUPKI sekaligus menunjukkan bahwa bangsa
Indonesia secara legal mempersiapkan kemerdekaan, sekaligus
merumuskan syarat-syarat yang harus dipenuhi sebagi sebuah
negara yang merdeka (Darmodihrjo, 1991: 26). Bahwa sebagai
sebuah negara yang merdeka, tidak mungkin Indonesia dapat
membentuk dan menjalankan pemerintahan jika tidak memiliki
konstitusi atau undang-undang dasar. Sementara konstitusi kita
menjelaskan bahwa pemerintah membentuk pemerintahan seperti
terurai dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea
keempat, bahwa: ”Kemudian daripada itu untuk membentuk
suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia ... .”
Indonesia merupakan negara hukum sehingga memiliki
ciri-ciri sebagai berikut: (1) asas pengakuan dan perlindungan
hak-hak asasi manusia, (2) asas legalitas, (3) asas pembagian
kekuasaan, (4) asas peradilan yang bebas dan tidak memihak,
(5) asas kedaulatan akyat, (6) asas demokrasi, dan (7) asas
konstitusional (Fajar, 2005: 43).
Asas legalitas dan asas konstitusional merupakan ciri yang
harus dimiliki oleh sebuah negara hukum, sedangkan konstitusi
dan undang-undang dasar merupakan bentuk legalitas dari per-
aturan yang tertulis. Undang-Undang Dasar 1945 sebagai
konstitusi Indonesia merpakan hukum tertinggi yang ditetapkan
secara konstitusional, sementara hukum merupakan produk
politik mengingat setiap produk hukum merupakan produk
politik. Artinya, hukum dapat dilihat sebagai kristalisasi dari pe-
98 Bab VI Konstitusi
mikiran politik dari para politisi (Santoso, 2009: 9). Mengingat
kehidupan politik yang sarat dengan kepentingan, maka tidak
heran jika produk hukum juga tidak bisa terhindar dari per-
ubahan, tidak terkecuali konstitusi Indonesia.
Pendidikan Kewarganegaraan 99
dan hubungan tata kerja antara suatu lembaga dengan lembaga
lainnya, serta (3) jaminan hak asasi manusia dan hak warga
negara.
E. Perubahan Konstitusi
Perkembangan zaman telah menimbulkan berbagai per-
ubahan dalam kehidupan manusia. Pengaruh perubahan tersebut
tidak sebatas pada dimensi personal-individual, melainkan juga
menyentuh dimensi sosial, bahkan berpengaruh pada kehidupan
berbangsa dan bernegara. Konstitusi yang berperan sebagai lan-
dasan dalam pengelolaan kehidupan berbangsa dan bernegara
tentu juga akan menerima imbasnya. Sesempurna apapun
konstitusi, tentu pada saatnya juga akan ketinggalan zaman atau
tidak sesuai lagi dengan dinamika kehidupan berbangsa dan ber-
Referensi
Adhari, A, 2010, Konstitusi sebagai Pembatas Kekuasaan, Available:
https://agusadharry.wordpress.com/2010/10/27/ 10/.
Al-Chaidar, et al, 2000, Telaah Awal Wacana Unitaris versus
Federalis dalam Perspektif Islam, Nasionalisme, dan Sosial
Demokrasi, Jakarta: Madani Press.
Bryce, L.J, 1941, The Holy Roman Empire, Macmillan.
Darmodiharjo, D, 1991, Santiaji Pancasila, Surabaya: Usaha Nasional.
Fajar, M, 2005, Tipe Negara Hukum, Malang: Bayumedia.
Hamadi, J, 2009, Hukum Perbandingan Konstitusi, Jakarta: Prestasi
Pustaka Publiser.
Humaidi, J, et al, 2012, Teori dan Hukum Perancangan Perda,
Malang: UB Press.
Hidayat, M.T, 2009, Peran Mahkamah Konstitusi dalam Perselisihan
Hasil Pemilu, Jurnal Konstitusi Vol. 2 No. 1 Juni 2009, Jakarta:
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
Huda, N, 2005, Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
Koesnardi, M, 1985, Ilmu Negara, Jakarta: Perintis Press.
Lubis, M.S, 1983, Pergeseran Garis Politik dan Perundang-undangan
mengenai Pemerintah Daerah, Bandung: Alumni.
Mahfud MD, M, 2003, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Studi
tentang Interaksi Politik dan Kehidupan Ketatanegaraan,
Jakarta: Rineka Cipta.
Manullang, E.C, 2015, Pembagian Kekuasaan sesuai Sistem
Konstitusi di Indonesia, Available: https://id.scribd.com/
doc/251568291/Pembagian-Kekuasaan-Sesuai-Sistem-
Konstitusi-di-Indonesia-REVISI3-docx.