Anda di halaman 1dari 55

Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 tahun 2014 tentang Hak

Cipta, sebagaimana yang telah diatur dan diubah dari Undang-Undang Nomor 19
Tahun 2002, bahwa:

Kutipan Pasal 113

(1) Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara
Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau
pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah).
(2) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau
pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau
huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara
paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.
500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).
(3) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau peme-
gang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g
untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling
lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,-
(satu miliar rupiah).
(4) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang
dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.
4.000.000.000,- (empat miliar rupiah).
Dr. Muhamad Arif, M.Pd.
Prof. Dr. H. Chairul Anwar, M.Pd.
Dr. H. Lebba, S.Ag., M.Si.

PENDIDIKAN
KEWARGANEGARAAN
Pendidikan Kewarganegaraan

Penulis : Dr. Muhamad Arif, M.Pd.


Prof. Dr. H. Chairul Anwar, M.Pd.
Dr. H. Lebba, S.Ag., M.Si.
Editor : Dr. Siti Fatimah, M.Hum.
Layout : Mahmudin
Design Cover : Agus Munzir, M.I.Kom.

Cet. Pertama, Desember 2021


x, 290 hal.; 15 x 23 cm
ISBN 978-623-97709-2-1

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang


Dilarang memperbanyak dan menerjemahkan sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit

Diterbitkan:
PARA CITA MADINA
Pamulang Elok Jl. Melati Blok A No. 9
Pondok Petir, Bojongsari - Depok
Email: paracitapress1@gmail.com
Fb: Paracita Press
KATA PENGANTAR

Syukur alhamdulillah, segala puji hanyalah milik Allah


SWT, yang telah melimpahkan Rohmat, Taufik, Hidayah, dan
Inayah, sehingga buku Pendidikan Kewarganegaraan ini dapat
diselesaikan sesuai harapan.
Buku Pendidikan Kwarganegaraan ini diselesaikan
sebagai bagian dari upaya menunaikan amanat Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
terutama Pasal 37 Ayat (2) di mana Pendidikan Kewarganegara-
an merupakan salah satu kurikulum inti yang wajib diseleng-
garakan pada semua jenjang perguruan tinggi. Demikian juga
amanah yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun
2012 tentang Pendidikan Tinggi yang menjelaskan bahwa
Pendidikan Kewarganegaaan merupakan mata kuliah wajib di
perguruan tinggi.
Untuk level perguruan tinggi, Pendidikan Kewarganegara-
an diselenggarakan agar mahasiswa dapat melakukan peng-
kajian, analisis-sintesis, serta memberikan pemecahan masalah
terkait beberapa poin yang berhubungan dengan: identitas
nasional, Pancasila sebagai dasar negara, Pancasila sebagai
sistem etika, negara, konstitusi, hak dan kewajiban warga negara
Indonesia, demokrasi Indonesia, geopolitik Indonesia, geo-
strategi Indonesia, good governance, otonomi daerah, dan
Indonesia di tengah arus global.
Pada dasarnya Pendidikan Kewarganegaraan merupakan
pendidikan karakter kewarganegaraan yang diformulasikan se-
demikian rupa sehingga generasi muda Indonesia dapat berkem-
bang sebagai warga negara Indonesia yang baik perilakunya,
cerdas intelektualitasnya, mengetahui sepenuhnya akan hak dan
kewajibannya sebagai warga negara, serta berpartisipasi aktif
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Pendidikan Kewarganegaraan v
Pendidikan Kewarganegaraan diselenggarakan untuk menyiap-
kan generasi muda agar tumbuh dan berkembang menjadi warga
negara yang baik dengan menguasai pengetahuan kewarga-
negaraan (knowledge), meyakini, dan mengamalkan nilai-nilai
dan kebenaran yang menjadi pandangan hidup bangsa dan
negara (virtues), serta mampu menerapkan keterampilan ber-
warga negara (citizenship skill). Dengan demikian, Pendidikan
Kewarganegaraan diselenggarakan sebagai bagian dari upaya
membentuk warga negara yang baik (good citizenship), yakni
warga negara yang memiliki kemampuan berpikir yang kompre-
hensif terkait hak dan kewajibannya sebagai warga negara,
menunaikan hak dan kewajiban sebagai warga negara dengan
baik, sekaligus dapat memberikan solusi terhadap pemasalahan
yang muncul dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.
Penulis menyadari bahwa buku Pendidikan Kewarga-
negaraan ini masih menyisakan kekurangan di sana-sini. Oleh
karena itu, saran dan kritik yang bersifat membangun sangat
penulis harapkan sehingga penulis dapat melakukan perbaikan
pada edisi berikutnya. Terakhir, semoga buku ini dapat mem-
berikan manfaat bagi para pembaca.

Jakarta, 21 Desember 2021


Penulis,

Tim Penulis

vi Bab I Pendahuluan
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ---------------------------------------- v


DAFTAR ISI --------------------------------------------------- vii
BAB I
PENDAHULUAN ---------------------------------------------- 1
A. Latar Belakang ------------------------------------------- 1
B. Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Pendidikan
Karakter --------------------------------------------------- 5
C. Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan ----------------- 14
D. Fungsi dan Capaian Pembelajaran dalam Pendidikan
Kewarganegaraan ---------------------------------------- 15
Referensi --------------------------------------------------------- 17
BAB II
IDENTITAS NASIONAL ------------------------------------ 19
A. Pengertian Identitas Nasional -------------------------- 19
B. Identitas Nasional sebagai Kepribadian Bangsa -------- 22
C. Proses Pembentukan Bangsa dan Negara Indonesia --- 24
D. Unsur-unsur Identitas Nasional ------------------------ 26
E. Nasionalisme Indonesia --------------------------------- 29
F. Faktor-faktor Pembentuk Identitas Nasional --------- 33
Referensi --------------------------------------------------------- 36
BAB III
PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA ------------ 37
A. Pendahuluan ---------------------------------------------- 37
B. Perumusan Pancasila ------------------------------------ 39
C. Pancasila pada Era Kemerdekaan ---------------------- 44
D. Pancasila pada Era Orde Lama ------------------------- 46
E. Pancasila pada Era Orde Baru -------------------------- 48
F. Pancasila pada Era Reformasi -------------------------- 51
Referensi --------------------------------------------------------- 54

Pendidikan Kewarganegaraan vii


BAB IV
PANCASILA SEBAGAI SISTEM ETIKA --------------- 57
A. Pendahuluan ---------------------------------------------- 57
B. Nilai-nilai Pancasila ------------------------------------- 58
C. Sistem Etika ----------------------------------------------- 61
D. Etika Pancasila ------------------------------------------- 64
E. Urgensi Pancasila sebagai Sistem Etika -------------- 67
Referensi --------------------------------------------------------- 70
BAB V
NEGARA -------------------------------------------------------- 71
A. Konsep Dasar Negara ----------------------------------- 71
B. Unsur-unsur Negara ------------------------------------- 73
C. Teori-teori Terbentuknya Negara ---------------------- 78
D. Tujuan dan Fungsi Negara ------------------------------ 80
E. Bentuk-bentuk Negara ---------------------------------- 83
F. Agama dan Negara Republik Indonesia -------------- 84
Referensi --------------------------------------------------------- 92
BAB VI
KONSTITUSI -------------------------------------------------- 95
A. Pengertian Konstitusi ------------------------------------ 95
B. Sejarah Lahirnya Konstitusi ---------------------------- 97
C. Kedudukan dan Unsur-unsur Konstitusi -------------- 99
D. Peranan dan Tujuan Konstitusi dalam Kehidupan
Bernegara ------------------------------------------------- 100
E. Perubahan Konstitusi ------------------------------------ 103
F. Perkembangan Konstitusi di Indonesia --------------- 108
G. Lembaga Negara Pasca Amandemen Undang-Undang
Dasar 1945 ------------------------------------------------ 115
Referensi --------------------------------------------------------- 119
BAB VII
HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA --------- 121
A. Pendahuluan ---------------------------------------------- 121
B. Pengertian Hak dan Kewajiban ------------------------ 124
C. Hubungan Negara dan Warga Negara ----------------- 130
D. Hak dan Kewajiban Warga Negara Indonesia ------- 131
E. Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Warga Negara
Indonesia -------------------------------------------------- 139
Referensi --------------------------------------------------------- 143

viii Bab I Pendahuluan


BAB VIII
DEMOKRASI -------------------------------------------------- 145
A. Pendahuluan ---------------------------------------------- 145
B. Pengertian Demokrasi ----------------------------------- 146
C. Demokrasi sebagai Bentuk Pemerintahan ------------ 147
D. Demokrasi sebagai Sistem Politik --------------------- 149
E. Demokrasi sebagai Sikap Hidup ----------------------- 152
F. Prinsip-prinsip Demokrasi ------------------------------ 154
G. Indikator Demokrasi ------------------------------------- 157
H. Unsur-unsur Demokrasi --------------------------------- 159
I. Penerapan Demokrasi di Indonesia -------------------- 163
Referensi --------------------------------------------------------- 175
BAB IX
WAWASAN NUSANTARA SEBAGAI GEOPOLITIK
INDONESIA ---------------------------------------------------- 177
A. Pendahuluan ---------------------------------------------- 177
B. Latar Belakang Konsepsi Wawasan Nusantara ------ 178
C. Pengertian Wawasan Nusantara ------------------------ 182
D. Landasan, Dasar Hukum, dan Kedudukan Wawasan
Nusantara ------------------------------------------------- 184
E. Fungsi, Tujuan, dan Peranan Wawasan Nusantara -- 185
F. Dimensi-dimensi Wawasan Nusantara ---------------- 187
G. Wawasan Nusantara sebagai Geopolitik Indonesia -- 193
H. Implementasi dan Perwujudan Wawasan Nusantara - 195
I. Tantangan Perwujudan Wawasan Nusantara --------- 198
Referensi --------------------------------------------------------- 199
BAB X
KETAHANAN NASIONAL SEBAGAI GEOSTRATEGI
INDONESIA ---------------------------------------------------- 203
A. Pendahuluan ---------------------------------------------- 203
B. Konsep dan Hakikat Ketahanan Nasional Indonesia - 205
C. Sejarah Ketahanan Nasional Indonesia --------------- 209
D. Azas dan Sifat Ketahanan Nasional ------------------- 215
E. Aspek-aspek Ketahanan Nasional --------------------- 218
F. Syarat Keberhasilan Ketahanan Nasional ------------ 225
G. Ketahanan Nasional Indonesia dalam Percaturan Global 230
Referensi --------------------------------------------------------- 233

Pendidikan Kewarganegaraan ix
BAB XI
GOOD GOVERNANCE ------------------------------------- 235
A. Pendahuluan ---------------------------------------------- 235
B. Pengertian Good Governance -------------------------- 236
C. Tujuan Good Governance ------------------------------ 241
D. Prinsip-prinsip, Ciri-ciri, dan Manfaat
Good Governance ---------------------------------------- 242
E. Indikator Good Governance --------------------------- 248
Referensi --------------------------------------------------------- 252
BAB XII
OTONOMI DAERAH ---------------------------------------- 255
A. Pendahuluan ---------------------------------------------- 255
B. Pengertian Otonomi Daerah ---------------------------- 255
C. Latar Belakang Otonomi Daerah ---------------------- 258
D. Prinsip Otonomi Daerah -------------------------------- 263
E. Asas-asas Otonomi Daerah ----------------------------- 267
F. Tujuan dan Indikator Otonomi Daerah ---------------- 270
Referensi --------------------------------------------------------- 272
BAB XIII
INDONESIA DI TENGAH ARUS GLOBAL
(SUATU PENUTUP) ------------------------------------------ 275
A. Pendahuluan ---------------------------------------------- 275
B. Tinjauan Historis Peran Bangsa Indonesia dalam
Perspektif Global ----------------------------------------- 276
C. Sikap Dasar Bangsa Indonesia terhadap Masyarakat
Global ----------------------------------------------------- 278
D. Globalisasi ------------------------------------------------ 281
E. Dampak Globalisasi ------------------------------------- 283
F. Sikap terhadap Globalisasi ----------------------------- 288
Referensi --------------------------------------------------------- 289

x Bab I Pendahuluan
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Reformasi sudah bergulir lebih dari dua dasa warsa lama-
nya, namun tidak sedikit dari cita-cita reformasi yang sulit di-
capai. Terbukti dengan masih banyaknya persoalan serius yang
membebani perjalanan bangsa dan negara kita (Wicaksono, P. &
Hantoro, J, 2018). Sebut saja misalnya terkait lonjakan demok-
ratisasi yang sangat tinggi, revolusi teknologi informasi dan
komunikasi yang membuka hampir seluruh keran transparansi
dan liberalisasi yang berkelindan dengan demokratisasi politik,
sistem multi partai yang tidak efisien dan tidak efektif, pemi-
lihan presiden dan wakil presiden secara langsung yang sangat
dinamis oleh berbagai kepentingan, kepercayaan rakyat terhadap
pemerintah yang kadang kontroversial, penegakan hukum yang
kontroversial arah ketajamannya, pemberantasan korupsi yang
semakin rumit, spirit primordialisme yang masih menjadi
ancaman disintegrasi, angka pengangguran yang berdampak
pada angka kemiskinan yang tinggi, pembangunan yang kurang
memperhatikan kelestarian lingkungan, serbuan paham-paham
dan produk-produk kebudayaan asing yang mengancam kepri-
badian bangsa, tantangan globalisme yang melemahkan konsep
kebangsaan, dan sebagainya (Sulaiman, A.I, 2013: 119-122).
Fenomena kebangsaan yang perlu mendapat perhatian
pada era globalisme adalah komitmen masyarakat terhadap kon-
sensus nasional berupa nilai-nilai dasar yang disepakati sebagai
sebagai dasar dan bahkan pandangan hidup dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Pertama karena globalisasi telah me-
nyebabkan negeri ini kebanjiran berbagai macam paham asing
seperti liberalisme, kapitalisme, komunisme, dan sebagainya
yang lambat laun dapat mempengaruhi kehidupan ekonomi,

Pendidikan Kewarganegaraan 1
politik, dan sosial budaya bangsa Indonesia. Faktanya, paham-
paham tersebut dapat menyusup dan mempengaruhi kehidupan
setiap bangsa di dunia internasional, oleh karenanya tidak ter-
tutup kemungkinan dapat mempengaruhi Pancasila sebagai
dasar negara dan pandangan hidup bangsa. Dalam hubungan ini
Irianto Widisuseno (2004: 4) mencatat bahwa saat ini kehidupan
setiap bangsa diwarnai oleh ketegangan yang disebabkan oleh
tarik ulur sistem nilai yang dianut oleh setiap warga bangsa.
Sebagian tetap berkomitmen untuk mempertahankan sistem nilai
yang telah menjadi identitas kebangsaan. Sementara sebagian
yang lainnya ingin menjalani kehidupan secara pragmatis dan
larut dalam paham-paham asing dari manapun asalnya
(Widisuseno, I, et.al, 2007).
Belakangan ini makin menguat kekawatiran jika bangsa
ini semakin melupakan prinsip-prinsip dasar yang telah disepa-
kati sebagai konsensus nasional pada tanggal 18 Agustus 1945,
yakni Pancasila. Nilai-nilai Pancasila dikawatirkan semakin ter-
geser dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara. Keber-
adaan Pancasila memang masih terpampang secara formal se-
bagai dasar negara. Akan tetapi daya spiritnya dikawatirkan
semakin memudar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sejarah mencatat adanya perbedaan perspektif tentang
Pancasila. Ada pemahaman Pancasila ala regim Orde Lama
yang khas sehingga dikoreksi oleh regim Orde Baru. Sementara
pada saat reformasi berkembang anggapan bahwa Pancasila
tidak lebih sebagai alat legitimasi kekuasaan regim Orde Baru.
Setelah era reformasi, cara pandang terhadap Pancasila pun ter-
kesan mengalami pergeseran oleh dari statusnya sebagai dasar
negara menjadi salah satu dari empat pilar negara. Fenomena
seperti ini mengindikasikan adanya pergeseran pemahaman
(epistemology) terhadap Pancasila, sehingga diperlukan penguat-
an nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan ber-
negara.
Memang, saat ini kebanyakan negara-negara yang sedang
berkembang, termasuk Negara Kesatuan Republik Indonesia,
cukup rentan dalam menghadapi kedatangan paham-paham
asing. Derasnya pengaruh paham asing perlu disikapi dengan

2 Bab I Pendahuluan
prinsip yang kuat. Dalam kaitan ini, menarik untuk mengikuti
prinsip Tri-Kon yang dikembangkan oleh Ki hajar Dewantara.
Dalam sebuah artikel yang berjudul “Kebudayaan dan
Pengajaran dalam Hubungan Antarnegara”, Ki Hadjar
Dewantara memberikan uraian bahwa tiap-tiap bangsa akan
saling bertemu satu sama lain secara natural. Pertemuan antar-
bangsa tersebut pada gilirannya akan membuka kemungkinan
bagi terjadinya proses pertukaran budaya (Arif, M, 2022).
Dalam kaitannya dengan pertemuan antarbangsa dan pertukaran
antarbudaya tersebut, Ki Hadjar Dewantara memikirkan bagai-
mana suatu bangsa dapat mengambil keuntungan semaksimal
mungkin dan sekaligus menekan kerugian seminimal mungkin.
Pemikiran seperti itu mendorong Ki Hadjar Dewantara membuat
formulasi berupa prinsip-prinsip dasar yang dikenal sebagai
Azas Trikon.
Pertama, kontinuitas, yakni sebuah penekanan pemahaman
bahwa keberadaan suatu bangsa saat ini merupakan kesinam-
bungan dari kehidupan bangsa tersebut pada masa yang silam,
bukan merupakan peniruan jati diri dari bangsa lain. Kedua,
konvergensi, yakni sebuah kesadaran akan pentingnya bergaul
dengan bangsa lain dan sekaligus menghindari sikap meng-
isolasi diri sendiri, sehingga membuka kemungkinan terjadinya
pertemuan antara keunggulan budaya bangsa sendiri dengan ke-
unggulan budaya bangsa lain. Pertemuan antara dua keunggulan
tersebut untuk kemudian diramu menjadi kebudayaan baru yang
lebih unggul dan sekaligus bermanfaat bagi kelangsungan hidup
suatu bangsa. Ketiga, konsentris, yakni sebuah kesadaran untuk
tetap berpegang teguh pada jati diri atau kepribadian bangsa
sendiri, meskipun telah bergaul dan sekaligus menyerap bebe-
rapa unsur budaya bangsa lain. Dengan kata lain, sungguhpun
suatu bangsa telah bergaul dengan bangsa-bangsa lain sedunia,
namun dalam lingkaran-lingkaran yang konsentris itu, bangsa
tersebut harus mempunyai sirkelnya sendiri.
Azas kontinuitas (keberlanjutan) mengingatkan pada hasil
penelitian (Chandler, M.J, & Lalonde, C, 2008: 17-19) menyu-
guhkan sebuah laporan tentang adanya risiko bunuh diri pada
para pemuda “first nations”. Isiko bunuh diri tersebut terkait

Pendidikan Kewarganegaraan 3
dengan cara-cara dan kemampuan para pemuda “first nations”
tersebut dalam mempertahankan dan membangun identitas yang
memungkinkan mereka dapat bertahan hidup secara terus-
menerus, meskipun harus menghadapi perubahan budaya yang
dramatis. Dalam rangka mempertahankan dan membangun
identitas tersebut, hal terpenting yang dilakukan oleh para pe-
muda “first nations” adalah proses pembentukan identitas
dengan menjamin kontinuitas mereka secara memadai. Kegagal-
an dalam proses pembentukan identitas akan berujung pada rasa
putus asa dan bahkan mengarah pada tindakan bunuh diri.
Dijelaskan bahwa proses penemuan identitas dalam momen-
momen transisional berhubungan erat dengan kontinuitas pri-
badi dan budaya mereka. Artinya, masyarakat yang telah meng-
ambil langkah untuk melestarikan dan bahkan mengembangkan
budaya mereka sendiri –meskipun berada di tengah-tengah
komunitas baru dengan budaya yang berbeda—akan menjadi
faktor penting bagi kontinuitas mereka.
Terdapat tiga hal penting yang perlu digarisbawahi dari
penelitian Michael J. Chandler dan Christopher Lalonde, yakni:
(1) tentang bagaimana langkah-langkah proses kontinuitas suatu
masyarakat tradisional terhadap kebudayaan modern, (2) tentang
bagaimana menandai kelangsungan budaya yang terjadi dalam
kehidupan nyata mereka, dan (3) tentang bagaimana upaya me-
rekonseptualisasi kemungkinan makna keberlanjutan masyarakat
tradisional ketika memutuskan untuk beradaptasi dengan masya-
rakat modern.
Azas konvergensi mengingatkan penjelasan Erich B.
Bergiel, et al. (2011: 77) dalam sebuah artikelnya terkait
hubungan pengaruh antarbudaya pada era globalisasi yang tak
dapat dihindari. Bahwa kebudayaan justru berevolusi dan ber-
ubah sebagai akibat dari pertemuan dan penyesuaiannya dengan
kebudayaan yang lain. Seperti pernyataannya berikut ini: “…
With the increase in globalization the subsequent influence of
cultures on one another is inevitable. As these cultures evolve
and change under this influence it is imperative that we stay
abreast of these changes. As noted, we suggest that a number of
these cultural changes have already occurred.” (2011: 77).

4 Bab I Pendahuluan
Pandangan Erich B. Bergiel, et al. di atas menunjukkan
adanya realitas yang terkait dengan fenomena konvergensi
budaya dalam kehidupan masyarakat. Sementara Kenny Smith
(2001: 9-10), dalam artikelnya yang berjudul “The Importance
of Rapid Cultural Convergence in the Evolution of Learned
Symbolic Communication” menjelaskan adanya dua faktor yang
mempengaruhi kecepatan konvergensi, yakni (1) semakin me-
ningkatnya interaksi antarbudaya, dan (2) semakin meningkat-
nya jumlah peristiwa pembelajaran selama proses transmisi
budaya.
Melalui Prinsip Tri-Kon tersebut diharapkan bangsa
Indonesia dapat membangun sikap yang tepat, pada satu sisi
tetap komitmen mempertahankan karakter kebangsaan, namun
pada sisi yang lain juga dapat menyesuikan dengan perkem-
bangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Prinsip Tri-
Kon tersebut dapat menjadi pedoman agar kita tidak terkooptasi
sistem nilai asing akibat sikap pragmatis yang rentan menggeser
prinsip-pinsip dasar dalam Pancasila.
Uraian di atas menegaskan bahwa Pendidikan Kewarga-
negaraan berada dalam posisi yang urgen, yakni sebagai wahana
membangun karakter kebangsaan di kalangan generasi penerus
serta menggugah semangat kebangsaan dan kecintaan mereka
terhadap bangsa dan tanar air. Di samping itu, Pendidikan Ke-
warganegaraan menempati posisi yang urgen untuk membentuk
generasi penerus yang memiliki wawasan kebangsaan yang luas
sehingga terampil dalam menyikapi dinamika kebangsaan yang
terus berkembang, menumbuhkan jiwa kemandirian dan sealigus
kecintaan pada tanah air dan bangsa.

B. Pendidikan Kewarganegaraan sebagai


Pendidikan Karakter
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pen-
didikan Nasional menyatakan bahwa pendidikan adalah usaha
sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan pro-
ses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembang-
kan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagama-

Pendidikan Kewarganegaraan 5
an, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,
serta keterampilan yang diperlukan bagi dirinya, masyarakat,
bangsa dan negara. Oleh karena itu ujung dari proses pendidikan
adalah pembentukan sikap spiritual dan sikap sosial (aspek
afektif), pengembangkan kecerdasan intelektual (aspek kogni-
tif), dan pengembangan keterampilan (aspek psikomotorik).
Pendidikan Kewarganegaraan bukan substansi yang baru
dalam sistem pendidikan nasional di Indonesia. Meskipun secara
nomenklatur memang sempat mengalami beberapa kali per-
ubahan, yakni Civics (1957-1962), Kewarganegaraan (1964),
Pendidikan Kewargaan Negara (1968-1969), Pendidikan Ke-
warganegaraan, Civics, dan Hukum (1973), Pendidikan Moral
Pancasila (1975-1984), Pendidikan Pancasila dan Kewarga-
negaraan (1994), Pendidikan Kewargangaraan (2004-2012),
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (2013-2020), dan
kembali menjadi Pendidikan Kewarganegaraan (2021-sekarang).
Pendidikan Kewarganegaraan tidak kurang sebagai pen-
didikan karakter kewarganegaraan dalam pengertian melalui
Pendidikan Kewarganegaraan diharapkan generasi muda bangsa
Indonesia dapat berkembang sebagai warga negara Indonesia
yang baik perilakunya, cerdas intelektualitasnya dalam arti
mengetahui sepenuhnya akan hak dan kewajibannya sebagai
warga negara Indonesia, serta terampil dalam berpartisipasi aktif
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan demikian,
peran Pendidikan Kewarganegaraan sangat signifikan dalam
menyiapkan generasi penerus sebagai warga negara yang baik,
cerdas, dan terampil. Dalam hubungan ini Bunyamin Maftuh
(2009: 123) menjelaskan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan
menyiapkan siswa untuk menjadi warga negara yang baik
dengan menguasai pengetahuan kearganegaraan (knowledge)
yang berasal dari konsep dan teori berbagai disiplin ilmu, me-
yakini, mentransformasikan, dan mengamalkan nilai-nilai dan
kebenaran yang menjadi pandangan hidup bangsa dan negara
(virtues) dan mampu menerapkan keterampilan berwarga negara
(citizenship skill). Dengan demikian, orientasi Pendidikan
Kewarganegaraan adalah pembentukan sikap kewarganegaraan
(civic disposition). Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP)

6 Bab I Pendahuluan
Tahun 2007 menjelaskan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan
memiliki dua aspek yang harus dinilai, yaitu aspek kognitif dan
aspek afektif peserta didik.
Uraian di atas menunjukkan bahwa Pendidikan Kewarga-
negaraan menghendaki bahan ajar berupa pengetahuan dan nilai-
nilai karakter yang diperlukan bagi pembentukan sikap kewarga-
negaraan (civic disposition). Quigley dkk (1991: 11) menjelas-
kan bahwa sikap kewarganegaraan (civic disposition) adalah
sikap dan kebiasaan berpikir warga negara yang menopang ber-
kembangnya fungsi sosial yang sehat dan jaminan kepentingan
umum dalam sistem demokrasi (those attitudes and habit of
mind of the citizen that are conducive to the healthy functioning
and common good of the democratic system).

1. Nilai-nilai Karakter
Kehidupan manusia diwarnai oleh sistem nilai, yakni
sesuatu yang dipandang prinsipil, tinggi, berharga, dan sekaligus
penting bagi kehidupan. The Oxford American Dictionary
menjelaskan nilai sebagai standar atau prinsip yang dipandang
berharga atau penting dalam kehidupan (Maftuh, 2009: 65).
Bagi bangsa Indonesia, sila-sila dalam Pancasila merupakan
nilai-nilai karakter yang sangat mendasar dan menjadi konsen-
sus nasional sejak tanggal 18 Agustus 1945 sehingga menjadi
dasar negara dan pandangan hidup bangsa. Dengan adanya kon-
sensus nasional tersebut, maka pola pikir, pola sikap, dan pola
perilaku segenap elemen bangsa Indonesia dilandaskan pada sila
pertama (Ketuhanan Yang Maha Esa), sila kedua (Kemanusiaan
yang adil dan beradab), sila ketiga (Persatuan Indonesia), sila
keempat (Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaraan/perwakilan), dan sila kelima (Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia).
Masalahnya sekarang adalah membanjirnya berbagai
macam informasi asing pada era globalisasi yang perlahan-lahan
menggeser orientasi generasi muda bangsa Indonesia. Saat ini
muncul kecenderungan di kalangan generasi muda yang mulai
mengabaikan nilai-nilai Pancasila yang sudah disepakati sebagai
konsensus nasional. Kenyataan seperti ini menunjukkan perlu-

Pendidikan Kewarganegaraan 7
nya penguatan pengetahuan dan pemahaman generasi muda ter-
hadap nilai-nilai moral dan karakter kebangsaan melalui Pen-
didikan Kewarganegaraan. Pendidikan Kearganegaraan merupa-
kan wahana pembelajaran yang berorientasi pada pembentukan
pengetahuan, pemahaman, sikap kewarganegaraan (civic
disposition), serta perilaku kewarganegaraan yang didasarkan
pada nilai-nilai Pancasila. Dengan demikian diharapkan generasi
muda Indonesia akan memiliki karakter kebangsaan yang tang-
guh. Jaenudin (2012: 160) menjelaskan bahwa karakter merupa-
kan watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang
terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues)
yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk mem-
bangun cara pandang, cara berpikir, cara bersikap, dan cara ber-
tindak. Berikut ini merupakan nilai-nilai karakter bangsa yang
dirumuskan berdasarkan nilai-nilai Pancasila.
Setiap sila dalam Pancasila merupakan nilai-nilai dasar
yang perlu dipedomani, dihayati, dan diamalkan dalam kehi-
dupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, setiap warga
negara Indonesia hendaknya memiliki pengertian dan pema-
haman tentang makna nilai dalam Pancasila dimaksud.
Pertama, nilai ketuhanan, yakni sebuah keyakinan dan
sekaligus pengakuan segenap unsur bangsa Indonesia tentang
keberadaan Tuhan pencipta alam semesta. Nilai ini sekaligus
menegaslan bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa yang
religius, bukan bangsa yang sekuler, terlebih bangsa yang atheis.
Selanjutnya segenap unsur bangsa Indonesia juga menjunjung
tinggi kebebasan memeluk agama, menghormati kemerdekaan
beragama, serta tidak berlaku diskriminatis terhadap kelompok
agama tertentu.
Kedua, nilai kemanusiaan, bahwa segenap unsur bangsa
Indonesia menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan nilai-
nilai peradaban. Dengan demikian bangsa Indonesia akan terus
bergerak secara dinamis dalam menumbuh-kembangkan harkat
dan dan martabat kemanusiaan yang berperadaban.
Ketiga, nilai persatuan, bahwa segenap unsur bangsa
Indonesia bersatu dalam upaya menuju persatuan dalam bingkai

8 Bab I Pendahuluan
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Nilai persatuan dimaksud
tidak diarahkan pada penghilangan keragaman, melainkan justru
diarahkan untuk mengakui dan menghargai adanya keragaman.
Dengan demikian semboyan Bhinneka Tunggal Ika merupakan
penegasan bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa yang
besar yang di dalamnya terdapat mozaik yang mencakup aneka
suku, bangsa, bahasa, agama, dan adat-istiadat yang sangat kaya.
Keempat, nilai kerakyatan, bahwa segenap unsur bangsa
Indonesia menghendaki sebuah sistem yang dipandu oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Bahwa pe-
merintahan berasal dari rakyat, diselenggarakan melalui meka-
nisme permusyawaratan/perwakilan, dan berkinerja untuk kese-
jahteraan rakyat.
Kelima, nilai keadilan, bahwa segenap unsur bangsa
Indonesia bersatu padu dalam rangka tercapainya masyarakat
Indonesia yang adil dan makmur secara lahiriah dan batiniah
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Kelima nilai dasar di atas dapat dikembangkan sebagai
nilai-nilai karakter bangsa yang lebih operasional sebagaimana
yang dikembangkan oleh Jaenuddin (2012: 162) berikut ini.
Tabel 1.1
Nilai-nilai Karakter Bangsa
Nilai-nilai Karakter
No. Keterangan
Bangsa
1 Religius Sikap dan perilaku yang taat
dalam melaksanakan ajaran
agama yang dianut, toleran
terhadap pemeluk agama yang
berbeda, serta dapat hidup ber-
dampingan secara rukun dan
damai dengan pemeluk agama
lain.
2 Jujur Perilaku yang didasarkan pada
komitmen dan upaya untuk selalu
menjaga kepercayaan, baik dalam
perkataan maupun tindakan
(pekerjaan).

Pendidikan Kewarganegaraan 9
3 Toleransi Sikap dan tindakan yang meng-
hargai perbedaan agama, suku,
etnis, pendapat, sikap, dan tin-
dakan orang lain yang berbeda
dengan dirinya.
4 Disiplin Tindakan yang menunjukkan
perilaku yang tertib dan patuh
pada ketentuan dan peraturan.
5 Tangguh (Kerja Keras) Perilaku yang menunjukkan
upaya yang sungguh-sungguh
dalam mengtasi berbagai ham-
batan dalam belajar dan tugas,
serta menyelesaikan tugas
dengan sebaik-baiknya.
6 Kreatif Berpikir dan melakukan sesuatu
untuk menghasilkan menghasil-
kan cara bru atau produk baru
dari sesuatu yang elah dimiliki.
7 Mandiri Sikap dan perilaku yang tidak
mudah tergantng pada orang lain
dalam menyelesaikan tugas dan
kewajiban.
8 Cerdas Mencari dan menerapkan infor-
masi dari lingkungan sekitar dan
sumber-sumber lain secara logis,
kritis, dan kreatif.
9 Demokratis Cara berpikir, bersikap, dan ber-
tindak yang menjunjung tinggi
persamaan antara hak dan ke-
wajiban dirinya dan orang lain.
10 Rasa Ingin Tahu Sikap dan tindakan yang selalu
berupaya untuk mengetahui lebih
mendalam dan meluas dari se-
suatu yang dipelajari, dilihat, dan
didengar.
11 Semangat Kebangsaan Cara berpikir, bersikap, bertin-
dak, dan berwawasan yang me-
nempatkan kepentingan bangsa
dan negara di atas kepentingan
pribadi dan golongan.

10 Bab I Pendahuluan
12 Cinta Tanah Air Cara berpikir, bersikap, dan ber-
tindak yang menunjukkan kese-
tiaan, kepedulian, dan pengharga-
an yang tinggi terhadap Bahasa,
lingkungan fisik, sosial, budaya,
ekonomi, dan politik bangsa.
13 Menghargai Prestasi Sikap dan tindakan yang men-
dorong diri untuk menghasilkn
sesuatu yang berguna bagi
masyarakat, dan mengaui serta
menghormati keberhasilan orang
lain.
14 Bersahabat/Komunikatif Tindakan yang memperlihatkan
rasa senang berbicara, bergaul,
dan bekerja sama dengan orang
lain.
15 Cinta Damai Sikap, perkataan, dan tindakan
yang menyebabkan orang lain
merasa senang dan aman atas
kehadirannya.
16 Gemar Membaca Kebiasaan menyediakan waktu
untuk membaca berbagai bacaan
yang memberikan kebajikan bagi
dirinya.
17 Peduli Lingkungan Sikap dan tindakan yang selalu
berupaya mencegah kerusakan
pada lingkungan alam sekitarnya,
dan mengembangkan upaya-
upaya unuk memperbaiki keru-
sakan alam yang sudah terjadi.
18 Peduli Sosial Sikap dan tindakan yang selalu
ingin memberi bantuan pada
orang lain dan masyarakat yang
membutuhkan.
19 Tanggung Jawab Sikap dan perilaku seseorang
untuk melaksanakan tugas dan
kewajiban yang seharusnya di-
lakukan terhadap dirinya sendiri,
masyarakat, lingkungan (alam,
sosial, dan budaya), negara, dan
Tuhan Yang Maha Esa.

Pendidikan Kewarganegaraan 11
Nilai-nilai karakter bangsa di atas menjadi landasan alam
pengembangan Pendidikan Kewaranegaraan sehingga akan ter-
wujud sikap kewarganegaraan (civic disposition) di kalangan
generasi muda Indonesia.

2. Sikap Kewarganegaraan (Civic Disposition)


Quiqley dkk. (1991: 11-13) menjelaskan bahwa sikap
kewarganegaraan (civic dispsition) merupakan sikap atau ke-
biasaan berpikir warga negara yang menopang berkembangnya
fungsi sosial yang sehat dan jaminan kepentingan umum bagi
keberlangsungan sistem demokrasi (... those attitudes and habit
of mind of the citizen that are conducive to the healty
functioning and common good of the democratic system). Oleh
karena itu, sikap kewarganegaraan (civic disposition) merupakan
bentuk kesopanan yang mencakup penghormatan dan interaksi
manusiawi, tanggung jawab pribadi, disiplin diri, kepedulin ter-
hadap masyarakat, keterbukaan pikiran, toleran pada kebe-
ragaman, kesabaran dan stabilitas, kemurahan hati, kesetiaan
dan loyalitas terhadap bangsa dan negara.
Menurut Branson (1998: 23) menjelaskan bahwa sikap
kewarganegaraan (civic disposition) merupakan karakter pribadi
dan karakter publik untuk memelihara dan mengembangkan
demokrasi yang konstitusional. Karakter pribadi misalnya berupa
tanggung jawab moral, disiplin diri, penghargaan terhadap
harkat dan martabat kemanusiaan, dan sebagainya. Sementara
karakter publik misalnya kepedulian sebgaai warga negara,
menjunjung tinggi hukum (rule of law), kemampuan negosiasi
dan kompromi, dan sebagainya. Kenyataan seperti ini menun-
jukkan bahwa demokrasi mensyaratkan adanya karakter pribadi
dan karakter publik yang memadai. Sikap kewarganegaraan
(civic disposition) berkembang secara perlahan-lahan sebagai
akibat dari apa yang telah dipelajari dan dialami oleh seseorang,
baik di rumah, sekolah, komunitas, maupun organisasi kemasya-
rakatan.
Karakter pribadi dan karakter publik menjadi landasan
penting bagi sistem demokrasi. Dengan demikian kita menemu-
kan logika tentang pentingnya sikap kewarganegaraan. Keber-

12 Bab I Pendahuluan
adaan sikap kewarganegaraan sangat penting sebagai suatu
kebebasan yang berada pada hati manusia, baik pria maupun
wanita. Jika kebebasan tersebut hilang maka hilang pulalah
konstitusi, hukum, dan pengadilan yang dapat menyelamatkan.
Bahkan konstirusi, hukum, dan pengadilan tidak dapat berbuat
apa-apa jika tidak dibarengi dengan sikap kewarganegaraan
(Branson, 1998: 12). Adapun sikap kewarganegaraan (civic
disposition) yang harus dimiliki warga negara adalah sebagai
berikut.
Pertama, menjadi anggota masyarakat yang indepenen.
Karakter ini meliputi kesadaran pribadi untuk bertanggung
jawab sesuai ketentuan, bukan karena keterpaksaan atau peng-
awasan dari luar untuk menerima konsekuensi dari tindakan
yang pernah dilakukan serta memenuhi kewajiban moral sebagai
anggota masyarakat.
Kedua, memenuhi tanggung jawab personal dalam bidang
ekonomi dan politik. Tanggung jawab dimaksud meliputi
kemampuan untuk mandiri, menjaga dan menafkahi keluarga,
merawat dan mendidik anak, dan sebagainya. Termasuk di
dalamnya mengikuti informasi terkait isu-isu politik, mengguna-
kan hak pilih secara benar secara pemilu, membayar pajak, ber-
partisipasi dalam kegiatan masyarakat, dan sebagainya.
Ketiga, menghormati harkat dan martabat kemanusiaan.
Artinya memiliki kompetensi untuk mendengarkan pendapat
dari pihak lain, bersikap sopan, menghargai hak dan kewajiban
sesama warga negara, memiliki kapasitas untuk melakukan
musyawarah demi mencapai mufakat, dan sebagainya.
Keempat, berpartisipasi dalam urusan kewarganegaraan.
Artinya memiliki kesadaran pentingnya informasi sebelum
berpartisipasi di ranah publik, terlibat dalam pembahasan terkait
tema-tema kewarganegaraan, sanggup memegang peranan kepe-
mimpinan sesuai proporsinya, sanggup memilih secara propor-
sional untuk mengutamakan kepentingan umum dibandingkan
dengan kepentingan pribadi, menjunjung tinggi prinsip-prinsip
konstitusional yang berlaku dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara, dan sebagainya.

Pendidikan Kewarganegaraan 13
Kelima, mengembangkan fungsi demokrasi konstitusional
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Karakter ini men-
cakup kepekaan terhadap urusan-urusan publik, melakukan
telaah terhadap prinsip-prinsip konstitusional, mencermati kepu-
tusan yang diambil oleh para pejabat publik dan para politisi,
mengambil keputusan dan langkah-langkah yang diperlukan,
dan sebagainya. Karakter ini mendorong warga negara agar
melakukan aktivitas secara cerdas, damai, dan konstitusional
(Budimansyah, 2010: 9).
Uraian di atas merupakan penjelasan bahwa sikap ke-
warganegaraan (civic disposition) merupakan materi yang
sangat penting dan mendasar dalam Pendidikan Kewarganegara-
an. Ini sekaligus menegaskan bahwa setiap warga negara perlu
memiliki pengetahuan kewarganegaraan yang baik, memiliki
keterampilan berpikir dan keterampilan berpartisipasi dalam
dimensi sosial. Pengetahuan dan keterampilan tersebut akan
membentuk karakter yang mapan dan melekat dalam sikap dan
kebiasaan kehidupan sehari-hari. Sikap dan karakter yang men-
cerminkan warga negara yang baik, seperti religius, toleran,
jujur, adil, demokratis, taat hukum, menghormati pihak lain,
memiliki rasa setia kawan, dan sebagainya.

C. Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan


Pada dasarnya hampir seluruh negara di dunia menye-
lenggarakan Pendidikan Kewarganegaraan. Semua negara yang
menganut sistem demokrasi menerapkan Pendidikan Kewarga-
negaraan dengan berbagai muatan seperti demokrasi, penegakan
hukum, hak asasi manusia, serta muatan-muatan lain yang di-
sesuaikan dengan konstitusi yang berlaku, pendidikan demok-
rasi, misalnya, dipandang penting untuk keberhasilan pengem-
bangan dan pemeliharaan pemerintahan. Sementara, salah satu
tujuan Pendidikan Kewarganegaraan adalah untuk mengatasi
apatism democracy (Azyumardi Azra, 2002: 12). Tentu istilah
yang digunakan berbada-beda seperti civic education, citizenship
education, democracy education, dan sebagainya. Seperti yang
dijelaskan pada bagian sebelumnya, Pendidikan Kewarga-
negaraan memiliki peran yang sangat strategis dalam memper-

14 Bab I Pendahuluan
siapkan warga negara yang cerdas, bertanggung jawab, berke-
adaban, dan berkarakter.
Mengacu pada konsep Tri Pusat Pendidikan sebagaimana
yang ditekankan oleh Ki Hajar Dewantara, maka Pendidikan
Kewarganegaraan di Indonesia pada dasarnya merupakan tang-
gung jawab semua pihak, baik unsur pemerintah, lembaga swa-
daya masyarakat, organisasi keagamaan, perusahaan, keluarga,
dan sebagainya (Hamdan Mansoer, 2004: 4).
Pendidikan Kewarganegaraan merupakan salah satu bagian
terpenting dalam sistem pendidikan nasional Indonesia. Tidak
lain karena Pendidikan Kewarganegaraan bersentuhan secara
langsung dalam pembentukan karater kewarganegaraan bagi
generasi penerus Indonesia. Dengan demikian Pendidikan Ke-
warganegaraan diformulasikan sebagai wahana akademik se-
hingga generasi penerus dapat melakukan kegiatan pengkajian,
analisis-sintesis, dan bahkan pemecahan masalah terkait isu-isu
kebangsaan dan kenegaraan yang dilakukan berdasarkan nilai-
nilai Pancasila. Artinya, Pendidikan Kewarganegaraan di
Indonesia harus mengacu pada pengembangan pengetahuan, pe-
mahaman, sikap dan perilaku kewarganegaraan yang didasarkan
pada nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan,
dan keadilan.
Untuk level perguruan tinggi, Pendidikan Kewarganegara-
an akan mendorong mahasiswa agar dapat melakukan kegiatan
pengkajian, analisis-sintesis, dan bahkan pemecahan masalah
terkait beberapa poin sebagai berikut: (1) identitas nasional, (2)
Pancasila sebagai dasar negara, (3) Pancasila sebagai sistem
etika, (4) negara Indonesia, (5) konstitusi Indonesia, (6) hak dan
kewajiban warga negara Indonesia, (7) demokrasi Indonesia, (8)
geopolitik Indonesia, (9) geostrategi Indonesia, (10) good
governance, (11) otonomi daerah, dan (12) Indonesia di tengah
arus global.

D. Fungsi dan Capaian Pembelajaran dalam PKn


Tujuan-tujuan seperti di terlihat pada uraian di atas mene-
gaskan betapa Pendidikan Kewarganegaraan memiliki fungsi
yang sangat penting dalam sistem pendidikan nasional Indonesia,

Pendidikan Kewarganegaraan 15
yakni sebagai orientasi generasi muda Indonesia dalam
mengembangkan jati diri sebagai warga negara Indonesia,
menguatkan wawasan dan semangat kebangsaan, cinta tanah air,
demokrasi, kesadaran hukum, serta mengembangkan kehidupan
yang normal sebagai warga negara Indonesia yang berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945.
Sejalan dengan fungsi seperti di atas, maka Pendidikan
Kewarganegaraan memformulasikan serangkaian materi yang
mencakup: (1) identitas nasional, (2) Pancasila sebagai dasar
negara, (3) Pancasila sebagai sistem etika, (4) negara Indonesia,
(5) konstitusi Indonesia, (6) hak dan kewajiban warga negara
Indonesia, (7) demokrasi Indonesia, (8) geopolitik Indonesia, (9)
geostrategi Indonesia, (10) good governance, (11) otonomi
daerah, dan (12) Indonsia di tengah arus global.
Adapun capaian pembelajaran dalam Pendidikan Kewar-
ganegaraan setidaknya mencakup poin-poin sebagai berikut.
Pertama, memiliki kemampuan untuk berpikir rasional,
analitis, dan kritis dalam menghadapi persoalan-persoalan yang
terjadi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan ber-
negara.
Kedua, memiliki kemampuan memahami dan menjelaskan
kebenaran Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi bangsa
Indonesia yang multikultural (Bhinneka Tunggal Ika).
Ketiga, memiliki kemampuann mengaktualisasikan kebe-
naran Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.
Keempat, memiliki kemampuan dan sekaligus tanggung
jawab intelektual dalam mengenali dan memahami masalah-
masalah kemasyarakatan, kebangsaan, kenegaraan, sekaligus
memberikan solusi berdasarkan nilai-nilai Pancasila.
Kelima, memiliki kemampuan berpikir dan berkarakter
ilmiah yang memiliki komitmen untuk memahami dan meng-
aktualisasikan nilai-nilai Pancasila serta memiliki komitmen
untuk menjaga dan memperjuangkan kesinambungan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.

16 Bab I Pendahuluan
Keenam, memiliki kemampuan menganalisis masalah-
masalah kewarganegaraan serta mengembangkan sikap dan
perilaku yang positif dalam konteks cinta terhadap tanah air dan
bangsa.
Ketujuh, memiliki kemampuan menganalisis masalah-
masalah bangsa dan negara Indonesia di tengah-tengah era
global, sekaligus memecahkan masalah-masalah keindonesiaan,
terutama yang terkait dengan pertemuan antara tradisionalitas
dan modenrnitas.

Referensi
Azra, A, 2002, Paradigma Baru Pendidikan Nasional Rekon-
struksi dan Demokratisasi. Jakarta: Buku Kompas.
Budimansyah, D, 2010, Penguatan Pendidikan Kewarganegara-
an Untuk Membangun Karakter Bangsa, Bandung: Widya
Aksara Press.
Bergiel, E.B. et al. 2011, Revisiting Hofstede’s Dimensions:
Examining the Cultural Convergence of the United States
and Japan. University of West Georgia: American Journal
of Management vol. 12(1).
Branson, M.S, 1998, The Role of Civic Education, Calabasas:
CCE.
Jaenudin, R, 2012, Pendidikan Budaya dan Karakter bangsa,
serta Implementasinya dalam Pembelajaran, Jurnal Forum
Sosial, Palembang: UNSRI.
Maftuh, B, 2009, Pendidikan Umum dan Pendidikan Nilai,
Bandung: SPS UPI.
Mansoer, H, et al, 2004, Materi Instruksional Pendidikan Agama
Islam di Perguruan Tinggi Umum, Jakarta: Direktorat
Perguruan Tinggi Agama Islam Depag.
Quigley, C.N, et al, 1991, Civitas: A Frame Work for Civic
Education, Calabasas: Center for Civic Education.

Pendidikan Kewarganegaraan 17
Smith, K, 2001, The importance of rapid cultural convergence
in the evolution of learned symbolic communication,
Language Evolution and Computation. Research Unit,
Department of Theoretical and Applied Linguistics, The
University of Edinburgh, Adam Ferguson Building, 40
George Square, Edinburgh EH89LL.
Sulaiman, A.I, 2013, Komunikasi Politik dalam Demokratisasi,
Jurnal Observasi Vol. 11 No. 2 Tahun 2013, Bandung:
Balai Pengkajian dan Pengembangan Komunikasi dan
Informasika (BPPKI).
Wicaksono, P. & Hantoro, J, 2018, 20 Tahun Reformasi, Amien
Rais: 4 Cita-cita Ini Berhasil Terwujud, Jakarta: tempo.co:
https://nasional.tempo.co/read/1087699/20-tahun-
reformasi-amien-rais-4-cita-cita-ini-berhasil-terwujud,
tersedia: Sabtu, 16 Juli 2022.
Widisuseno, I, et.al, 2007, Pendidikan Pancasila, Semarang:
Universitas Diponegoro.

18 Bab I Pendahuluan
BAB VI
KONSTITUSI

A. Pengertian Konstitusi
Istilah konstitusi dapat ditelusuri dari kata constituer
(bahasa Perancis) yang berarti membentuk, yakni membentuk
negara. Istilah konstitusi juga bisa ditelusuri dari kata institution
(bahasa Inggris), juga dapat ditelusuri dari kata constitutie
(bahasa Belanda) yang berarti undang-undang dasar (Thaib,
2008: 7). Dalam tradisi bahasa Latin, istilah konstitusi merupa-
kan gabungan dari dua kata, yaitu cume yang berarti bersama
dengan sesuatu yang lain, dan kata statuere yang berarti berdiri.
Istilah ini mengantarkan pada pengertian yaitu membuat sesuatu
agar berdiri atau mendirikan atau menetapkan (Thaib, 1999: 7).
Berdasarkan beberapa istilah di atas, dapt dilihat bahwa
inti konstitsi adalah suatu upaya untuk membentuk, mendirikan,
menetapkan, untuk kemudian berkembang menjadi pemben-
tukan, penyusunan suatu negara. Dengan kata lain, konstitusi
dapat diartikan sebagai suatu pernyataan tentang bentuk dan
suasana suatu negara yang dipersiapkan sebelum maupun se-
sudah berdirinya suatu negara (Jazim, 2009: 87).
Dalam kamus hukum Indonesia terdapat istilah ”hukum
dasar” yang mengandung pengertian yang lebih luas dari
undang-undang. Hukum dasar merupakan aturan hukum yang
tertulis dan tidak tertulis, sementara undang-undang merupakan
aturan hukum yang tertulis. Pengertian konstitusi lebih mengacu
pada hukum dasar, yakni hukum dasar yang bersifat tertulis dan
tidak tertulis. Undang-undang dasar merupakan hukum dasar
yang tertulis atau yang tertuang dalam suatu naskah atau
dokumen. Sedangkan hukum dasar yang tidak tertulis disebut
dengan konvensi atau kebiasaan dalam ketatanegaraan. Kon-

Pendidikan Kewarganegaraan 95
vensi merupakan hukum dasar yang timbul dari praktik penye-
lenggaraan negara secara tidak tertulis.
Secara terminologi, istilah konstitusi dapat dipahami se-
cara lebih luas mengingat semakin kompleksnya permasalahan
terkait keberadaan suatu negara. Oleh karena itu, pendekatan
untuk memahami konstitusi tidak cukup dipahami menurut per-
spektif hukum tata negara saja, melainkan juga harus dipahami
menurut perspektif ilmu politik. Bahkan dalam perkembangan-
nya, tidak menutup kemungkinan konstitusi lebih bermuatan
politis dibandingkan dengan muatan yuridisnya. Selain itu, ter-
hadap istilah konstitusi tesebut, di kalangan para ahli hukum tata
negara pun terdapat perbedaan pemahaman, sebagian mengata-
kan bahwa konstitusi sama dengan undang-undang dasar.
Bahwa semua peraturan hukum itu harus ditulis, dan konstitusi
yang tertulis merupakan undang-undang dasar.
Ada pula ahli yang berpendapat bahwa konstitusi tidak
sama dengan undang-undang dasar. Bahwa tidak semua hal
yang penting harus dimuat dalam konstitusi, melainkan hal-hal
yang bersifat pokok dan mendasar saja. Secara prinsipil pen-
dapat ini tidak berbeda dengan pendapat pertama mengingat
istilah konstitusi disamakan dengan undang-undang dasar,
sementara pendapat kedua menekankan pada sisi materi yang
terdapat pada konstitusi atau undang-undang dasar (Radjab,
2005: 5). Jadi perbedaan antara kelompok pertama dan kelom-
pok kedua hanya menyangkut pada persoalan penting atau tidak
pentingnya substansi peraturan hukum untuk ditulis atau dimuat
dalam undang-undang dasar. Artinya, perbedaan pandangan ter-
sebut tidak bersifat prinsipil dalam pemahaman konstitusi. CF
Strong menjelaskan tiga unsur dalam konstitusi, yaitu: (1)
prinsip-prinsip yang terkait dengan kekuasaan pemerintahan, (2)
prinsip-prinsip yang terkait dengan hak-hak warga negara, dan
(3) prinsip-prinsip yang terkait dengan hubungan antara warga
dengan pemerintahan (Jazim, 2009: 88).
Konstitusi mengandung dua pengertian, yakni pengertian
yang luas dan pengertian yang sempit. Dalam pengertian yang
sempit, konstitusi mengacu pada ketentuan-ketentuan dasar yang
tertuang dalam dokumen tetulis, yaitu undang-undang dasar,

96 Bab VI Konstitusi
sehingga kita mengenal Konstitusi Perancis, Konstitusi Swiss,
Konstitusi Indonesia, dan sebagainya. Dalam pengertian yang
luas, konstitusi mencakup kebiasaan ketatanegaraan yang dijadi-
kan sebagai suatu kaidah yang bersifat tidak tertulis, sehingga
tidak sedikit yang berpandanga bahwa konstiusi sama penger-
tiannya dengan undang-undang dasar. Tidak lain merupakan
pengertian konstitusi dalam pengertian sempit (Martosoewignjo,
1981: 62).
Secara umum konstitusi memiliki sifat formil dan materiil.
Sifat formil dari konstitusi merupakan konstitusi yang tertulis
dalam sistem ketatanegaraan suatu negara. Dalam hubungan ter-
sebut, suatu konstitusi baru memiliki makna jika konstitusi
tersebut telah berbentuk naskah tertulis dan telah diundangkan,
misalnya Undang-Undang Dasar 1945. Sifat materiil dari
konstitusi merupakan sifat konstitusi ditinjau dari segi isinya.
Bahwa isi konstitusi pada dasarnya menyangkut hal-hal yang
bersifat pokok dan mendasar bagi rakyat dan negara (Tutik,
2006: 2).
Uraian di atas memberikan pemahaman bahwa undang-
undang dasar merupakan bagian dari konstitusi. Adapun penger-
tian konstitusi dan undang-undang dasar secara lebih detail
dapat diperhatikan pada penjelasan sebagai berikut.
Konstitusi merupakan suatu kerangka masyarakat politik
yang diorganisir melalui hukum (Strong, 2008: 15). Konstitusi
merupakan aturan-aturan hukum atau ketentuan-ketentuan
hukum yang bersifat pokok dan mendasar, baik yang bersifat
tertulis maupun yang tidak tertulis, yang memberikan gambaran
tentang sistem ketatanegaraan suatu negara. Sementara undang-
undang dasar merupakan suatu kitab atau suatu dokumen yang
memuat aturan-aturan hukum atau ketentuan-ketentuan hukum
yang pokok dan mendasar yang bersifat tertulis yang memberi-
kan gambaran tentang sistem ketatanegaraan suatu negara
(Soehino, 1985: 182).

B. Sejarah Lahirnya Konstitusi


Konstitusi merupakan suatu kerangka kehidupan politik
pada setiap negara modern yang berkomitmen membangun

Pendidikan Kewarganegaraan 97
pemerintahan yang konstitusional. Adapun ciri-ciri pemerin-
tahan yang konstitusional antara lain memperluas partisipasi
politik, memberi kekuasaan legislatif pada rakyat, menolak
pemerintahan yang otoriter, dan sebagainya (Nasution & Tiwon,
1995: 16).
Terbentuknya konstitusi Indonesia diawali dari janji
Jepang yang ditindaklanjuti dengan pembentukan Badan Penye-
lidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)
atau dikenal dengan istilah Dokuritsu Jumbi Choosakai pada
tanggal 29 April 1945. Pengurus BPUPKI dilantik pada tanggal
28 Mei 1945 dan mulai bekerja pada tanggal 299 Mei 1945.
Keberadaan BPUPKI sekaligus menunjukkan bahwa bangsa
Indonesia secara legal mempersiapkan kemerdekaan, sekaligus
merumuskan syarat-syarat yang harus dipenuhi sebagi sebuah
negara yang merdeka (Darmodihrjo, 1991: 26). Bahwa sebagai
sebuah negara yang merdeka, tidak mungkin Indonesia dapat
membentuk dan menjalankan pemerintahan jika tidak memiliki
konstitusi atau undang-undang dasar. Sementara konstitusi kita
menjelaskan bahwa pemerintah membentuk pemerintahan seperti
terurai dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea
keempat, bahwa: ”Kemudian daripada itu untuk membentuk
suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia ... .”
Indonesia merupakan negara hukum sehingga memiliki
ciri-ciri sebagai berikut: (1) asas pengakuan dan perlindungan
hak-hak asasi manusia, (2) asas legalitas, (3) asas pembagian
kekuasaan, (4) asas peradilan yang bebas dan tidak memihak,
(5) asas kedaulatan akyat, (6) asas demokrasi, dan (7) asas
konstitusional (Fajar, 2005: 43).
Asas legalitas dan asas konstitusional merupakan ciri yang
harus dimiliki oleh sebuah negara hukum, sedangkan konstitusi
dan undang-undang dasar merupakan bentuk legalitas dari per-
aturan yang tertulis. Undang-Undang Dasar 1945 sebagai
konstitusi Indonesia merpakan hukum tertinggi yang ditetapkan
secara konstitusional, sementara hukum merupakan produk
politik mengingat setiap produk hukum merupakan produk
politik. Artinya, hukum dapat dilihat sebagai kristalisasi dari pe-

98 Bab VI Konstitusi
mikiran politik dari para politisi (Santoso, 2009: 9). Mengingat
kehidupan politik yang sarat dengan kepentingan, maka tidak
heran jika produk hukum juga tidak bisa terhindar dari per-
ubahan, tidak terkecuali konstitusi Indonesia.

C. Kedudukan dan Unsur-unsur Konstitusi


Savornin Lohman menjelaskan 3 (tiga) kedudukan konsti-
tusi, yaitu sebagai perwujudan perjanjian masyarakat (kontrak
sosial), sebagai piagam yang menjamin hak-hak asasi manusia,
serta sebagai kerangka bangunan pemerintahan. Sebagai per-
wujudan perjanjian masyarakat (kontrak sosial), pada dasarnya
konstitusi merupakan hasil atau konsklusi dari persepakatan
masyarakat dalam rangka membangun negara dan pemerintahan
yang akan mengatur masyarakat. Sebagai piagam yang men-
jamin hak-hak asasi manusia berarti konstitusi merupakan
jaminan perlindungan atas hak-hak warga negara, sekaligus
menentukan batas-batas hak dan kewajiban bagi warga negara
maupun aparatur pemerintah. Sebagai kerangka bangunan
pemerintahan (forma regimenis), konstitusi memuat ketentuan-
ketentuan dasar terkait struktur dan prinsip kinerja pemerintahan
(Lubis, 1982: 38).
Sri Sumantri menyatakan bahwa muatan konstitusi men-
cakup 3 (tiga) substansi, yaitu: (1) pengaturan tentang perlin-
dungan hak asasi manusia dan hak warga negara, (2) pengaturan
tentang susunan ketatanegaraan suatu negara secara mendasar,
dan (3) pembatasan dan pembagian tugas-tugas ketatanegaraan
secara mendasar (Al-Chaidar, 2007: 38). Sementara CF Strong
menyatakan bahwa konstitusi memuat beberapa substansi seba-
gai berikut: (1) cara pengaturan berbagai jenis institusi pemerin-
tahan, (2) jenis kekusaan yang diberikan kepada institusi-insti-
tusi pemerintahan, dan (3) prinsip-prinsip terkait cara-cara ke-
kuasaan dilaksanakan (Strong, 2008: 16).
Beberapa pendapat di atas secara implisit menunjukkan
bahwa unsur-unsur yang terdapat dalam konstitusi mencakup
ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan: (1) struktur organi-
sasi negara dengan lembaga-lembaga negara yang ada di dalam-
nya, (2) tugas dan wewenang masing-masing lembaga negara

Pendidikan Kewarganegaraan 99
dan hubungan tata kerja antara suatu lembaga dengan lembaga
lainnya, serta (3) jaminan hak asasi manusia dan hak warga
negara.

D. Peranan dan Tujuan Konstitusi dalam


Kehidupan Bernegara
Sebagaimana yang dijelaskan pada uraian sebelumnya,
konstitusi memiliki peranan yang sangat mendasar sebagai
pedoman dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara sehingga
selalu dalam keadaan yang tertib, teratur, serta tidak terjadi tin-
dakan kesewenang-wenangan dari aparatur pemerintahan ter-
hadap rakyat. Untuk itu di dalam konstitusi terdapat rumusan
terkait kerangka atau struktur pemerintahan, tugas dan kewe-
nangan pemerintah, hak dan kewajiban negara, serta hak dan
kewajiban warga negra.
Lord Bryce (2007: 30) menjelaskan bahwa terbentuknya
konstitusi dilandasi oleh beberapa motif sebagai berikut.
Pertama, adanya keinginan warga negara untuk mengamankan
hak-hak mereka sendiri dari ancaman kesewenang-wenangan
kekuasaan (Tedesire of the citizens to sucure their own rights
when threatened, and to restrain the action of the ruler). Kedua,
adanya kinginan dari pihak yang diperintah dan adanya keingin-
an dari penguasa yang ingin menyenangkan rakyat yang diperin-
tah, berdasarkan bentuk dan sistem pemerintahan yang terhindar
dari tindakan yang sewenang-wenang (The desire on the part
either of the ruled, or of the ruler wishing to please his people,
to set out of the form of the existing system in government, hither
to in an indefinite form, in positive terms in order that in future
there shall be no possibility of arbitrary action). Ketiga, adanya
keinginan dari mereka yang menciptakan komunitas politik baru
untuk mengamankan metode pemerintahan dalam bentuk yang
permanen dan dapat dipahami oleh rakyat (The desireof those
creating a new political community to secure the method of
government in a form which shall have permanence and be
comprehensible to the subjects). Keempat, adanya keinginan
untuk mengamankan tindakan bersama yang efektif untuk me-
misahkan komunitas pada saat yang sama ingin mempertahan-

100 Bab VI Konstitusi


kan hak dan kepentingan tertentu untuk diri mereka sendiri
secara terpisah (The desire to secure effective joint action by
hither to eparate communities, ehich at the same time wish to
retain rights and interest to themselves separately).
Uraian di atas memberikan pemahaman kepada kita ten-
tang peranan konstitusi bagi kehidupan bernegara, yakni untuk
memberikan landasan atau pedoman dasar dalam penyelengga-
raan ketatanegaraan suatu negara, membatasi tindakan pemerin-
tah agar terhindar dari perilaku yang sewenang-wenang, serta
memberikan jaminan atas hak asasi bagi seluruh warga negara.
CF Strong menjelaskan tujuan konstitusi yang mencakup
beberapa dimensi sebagai berikut: (1) membatasi tindakan
pemerintah agar terhindar dari kesewenang-wenangan, (2) men-
jamin pemenuhan hak-hak warga negara, serta (3) menetapkan
pelaksanaan kekuasaan negara yang berdaulat penuh (2008: 16).
Sering ditemukan dalam catatan sejarah bahwa para penguasa
pada zaman feodal sering melakukan tindakan yang sewenang-
wenang dengan mengatasnamakan kekuasaan. Kenyataan seperti
tersebut memang tidak bisa dielakkan karena tidak ada konsti-
tusi yang membatasi kekuasaan. Dalam hal ini, keberadaan
konstitusi sangat fundamental untuk mencegah kesewenang-
wenangan kekuasaan yang dimiliki oleh pemerintah. Tindakan
pemerintah harus didasarkan pada ketentuan-ketentuan dasar
yang terdapat dalam konstitusi. Penyimpangan konstitusi oleh
pemerintah tentu akan menimbulkan dampak yuridis sesuai
dengan hukum dasar yang berlaku. Sementara, rakyat banyak
akan mendapatkan perlindungan sesuai dengan hak-hak warga
negara yang tercantum dalam konstitusi.
Seperti yang dijelaskan pada bagian sebelumnya, konsti-
tusi merupakan hukum dasar yang dijadikan pegangan dalam
penyelenggaraan suatu negara. Konstitusi bisa berupa hukum
dasar yang tertulis, yakni undang-undang dasar, dan bisa pula
berupa hukum dasar tidak tertulis. Konstitusi memiliki beberapa
tujuan, antara lain sebagai pembatasan dan pengawasan terhadap
kekuasaan politik dan sebagai jaminan terhadap hak dan ke-
wajiban warga negara.

Pendidikan Kewarganegaraan 101


1. Konstitusi sebagai pembatasan dan
pengawasan terhadap kekuasaan politik
Sebagai hukum dasar bagi keberlangsungan suatu negara,
konstitusi memberikan rule of the game bagi negara tersebut.
Konstitusi menjadi instrumen untuk mengontrol pemerintah agar
tidak berlaku sewenang-wenang atau melampaui batas kewe-
nangan. Pembatasan dan pengawasan terhadap kekuasaan politik
bisa dilakukan jika terdapat keseimbangan kekuasaan secara
proporsional di antara para aparatur negara. Dalam hal ini,
Montesquieu membagi kekuasaan menjadi tiga bagian sebagai
berikut: (1) legislatif, yaitu pemegang kekuasaan membentuk
undang-undang, (2) yudikatif, yaitu pemegang kekuasaan dalam
bidang kehakiman, dan (3) eksekutif, yaitu pemegang kekuasaan
dalam bidang pemerintahan.
Dalam UUD 1945, pembagian kekuasaan pemerintahan
dalam susunan ketatanegaraan bersumber pada ketatanegaraan
asli Indonesia. Tentu ada pengaruh dari pemikiran dan falsafah
yang berkembang di negara Arab, Inggris, Perancis, Amerika
Serikat, Rusia, dan sebagainya. Pemikiran dan falsafah dari
berbagai negara tersebut menginspirasi para pendiri bangsa
(founding fathers) saat menyusun konstitusi terutama yang ber-
hubungan dengan pembagian kekuasaan pemerintahan. Perlu
diketahui bahwa sejak tahun 1945 pembagian kekuasaan dalam
sistem konstitusi yang berlaku di Indonesia mengalami beberapa
kali perubahan sebagai berikut. Pertama, periode 18 Agustus
1945 hingga 27 Desember 1949 berlaku UUD 1945. Kedua,
periode 27 Desember 1945 hingga 7 Agustus 1950, berlaku
Konstitusi RIS 1949. Ketiga, periode 17 Agustus 1950 hingga 5
Juli 1959, berlaku UUDS 1950. Keempat, periode 5 Juli 1959
hingga 19 Oktober 1999, berlakunya kembali UUD 1945.
Kelima, periode 19 Oktober 1999 hingga sekarang, terjadinya
beberapa kali amandemen terhadap UUD 1945. Seperti dike-
tahui bahwa sejak 19 Oktober 1999 sampai sekarang UUD 1945
telah mengalami empat kali amandemen.

102 Bab VI Konstitusi


2. Konstitusi sebagai jaminan terhadap hak dan
kewajiban warga negara
Pada dasarnya di dalam UUD 1945 telah memuat keten-
tuan tentang hak asasi manusia dan hak warga negara. Seperti
yang tampak pada Pasal 28 yang menetapkan bahwa warga
negara dan penduduk memiliki kemerdekaan dalam berserikat,
berkumpul, dan mengeluarkan pendapat baik secara lisan mau-
pun tulisan, dan sebagainya, dengan syarat-syarat yang akan
diatur menurut undang-undang. Pasal ini menegaskan bahwa
negara Republik Indonesia berkewajiban untuk menunaikan hak
dan kewajiban secara seimbang, sekaligus juga menunjukkan
bahwa negara Republik Indonesia merupakan negara demokrasi.
Realisasi hak dan kewajiban bukanlah perkara yang seder-
hana. Misalnya yang terkait dengan hak warga negara untuk
mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak, akan
tetapi dalam kenyataannya masih banyak kalangan warga negara
yang belum memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang
layak. Mengapa kenyataan seperti tersebut terjadi? Salah satu-
nya disebabkan karena adanya oknum-oknum pemerintahan
yang mengutamakan kepentingan pribadi dan golongan daripada
mendahulukan kewajiban melayani urusan rakyat banyak. Arti-
nya, keseimbangan antara hak dan kewajiban perlu dijaga.
Bahwa setiap warga negara perlu mengetahui hak dan kewa-
jibannya. Setiap warga negara juga perlu membangun kesadaran
untuk mendahulukan kewajiban daripada hak semata (Rosyida,
2019; Adhari, 2010; Manullang: 2015).

E. Perubahan Konstitusi
Perkembangan zaman telah menimbulkan berbagai per-
ubahan dalam kehidupan manusia. Pengaruh perubahan tersebut
tidak sebatas pada dimensi personal-individual, melainkan juga
menyentuh dimensi sosial, bahkan berpengaruh pada kehidupan
berbangsa dan bernegara. Konstitusi yang berperan sebagai lan-
dasan dalam pengelolaan kehidupan berbangsa dan bernegara
tentu juga akan menerima imbasnya. Sesempurna apapun
konstitusi, tentu pada saatnya juga akan ketinggalan zaman atau
tidak sesuai lagi dengan dinamika kehidupan berbangsa dan ber-

Pendidikan Kewarganegaraan 103


negara. Terdapat beberapa persoalan baru dalam kehidupan ber-
bangsa dan bernegara yang tidak terpecahkan oleh konstitusi
yang ada. Jika terjadi hal yang demikian, maka amandemen
konstitusi merupakan sebuah keniscayaan. Namun demikian,
amandemen konstitusi tidak dapat dilaksanakan secara sem-
barangan. Terdapat beberapa pertimbangan yang tidak dapat di-
abaikan. Antara lain harus didasarkan pada kepentingan bangsa
dan negara, bukan kepentingan politik sesaat akibat desakan
kelompok atau golongan tertentu. Di samping itu, amandemen
konstitusi tidak boleh menyimpang dari nilai-nilai Pancasila
sebagai dasar negara dan ideologi bangsa.
CF Strong (2008) menjelaskan 4 (empat) cara terkait
amandemen konstitusi, yaitu: (1) dilakukan oleh kekuasaan
legislatif dengan pembatasan-pembatasan tertentu, (2) dilakukan
oleh rakyat melalui referendum, (3) untuk negara yang berben-
tuk federal, dilakukan oleh sejumlah negara bagian, dan (4)
dilakukan berdasarkan kebiasaan ketatanegaraan atau dilakukan
oleh suatu badan yang dibentuk secara khusus oleh negara untuk
tujuan melakukan amandemen konstitusi. Tampaknya CF Strong
melihat cara amandemen konstitusi ditinjau dari subyek yang
melakukan perubahan. Sementara KC Wheare (2010) menjelas-
kan bahwa amandemen konstitusi dapat terjadi melalui berbagai
cara, yakni: (1) perubahan resmi, (2) perubahan hakim, dan (3)
kebiasaan ketatanegaraan (konvensi). Pandangan KC Wheare ini
lebih ditekankan pada amandemen konstitusi ditinjau dari sifat
perubahannya.
Terkait dengan amandemen terhadap UUD 1945, Pasal 37
menjelaskan ketentuan-ketentuan terkait perubahan sebagai
berikut. Pertama, usul perubahan pasal-pasal dalam undang-
undang dasar dapat diagendakan dalam sidang Majelis Per-
musyawaratan Rakyat (MPR) apabila diajukan oleh sekurang-
kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR. Kedua, setiap usul
perubahan pasal-pasal undang-undang dasar diajukan secara ter-
tulis dan ditunjukkan dengan jelas yang diusulkan untuk diubah
beserta alasannya. Ketiga, untuk mengubah pasal-pasal undang-
undang dasar, sidang MPR dihadiri oleh sekurang-kurangnya
2/3 dari jumlah anggota MPR. Keempat, putusan untuk meng-

104 Bab VI Konstitusi


ubah pasal-pasal undang-undang dasar dilakukan dengan perse-
tujuan sekurang-kurangnya lima puluh persen ditambah satu
anggota dari seluruh anggota MPR. Kelima, khusus mengenai
bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat
dilakukan perubahan.
Pada era reformasi semakin berkembang pemikiran untuk
meninjau beberapa poin dalam UUD 1945. Pemikiran tersebut
berkisar pada poin-poin sebagai berikut. Pertama, bahwa UUD
1945 mengandung rumusan pasal yang membuka peluang
timbulnya penafsiran ganda. Kedua, bahwa UUD 1945 memiliki
sifat executive heavy, yakni memberikan kekuasaan yang terlalu
besar kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif,
sehingga kekuasaan yang lain (legislatif dan yudikatif) seperti
tersubordinasi oleh kekuasaan eksekutif. Ketiga, bahwa sistem
pemerintahan dalam UUD 1945 tidak memberikan penjelasan
yang tegas antara sistem pemerintahan presidensiil dan sistem
pemerintahan parlementer. Keempat, bahwa daerah perlu di-
dorong untuk mengembangkan diri sesuai potensinya masing-
masing, sehingga perlu diberikan kekuasaan yang lebih luas
kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan menyelenggara-
kan rumah tangganya sendiri. Kelima, bahwa rumusan pasal-
pasal tentang hak asasi manusia yang terdapat dalam UUD 1945
dipandang kurang memadai untuk mewadahi tuntutan perlin-
dungan terhadap hak asasi manusia dan hak warga negara.
Pemikiran-pemikiran seperti di atas semakin mengerucut
pada era reformasi sehingga menjadi latar belakang dan sekali-
gus mewarnai amandemen terhadap UUD 1945. Artinya, aman-
demen terhadap UUD 1945 pada dasarya dilakukan untuk men-
jawab persoalan-persoalan yang berkembang terkait kejelasan
sistem pemerintahan berikut proporsi kewenangan kekuasaan,
serta pemenuhan hak asasi manusia dan/atau hak warga negara.
Selanjutnya, amandemen terhadap UUD 1945 dapat dijelaskan
sebagai berikut.
Bahwa terdapat pasal-pasal dalam UUD 1945 yang masih
multi tafsir, maka perlu dilakukan amandemen dengan membuat
rumusan baru yang lebih jelas, rinci, dan eksplisit. Masa jabatan
Presiden dan Wakil Presiden, misalnya, di mana sebelum aman-

Pendidikan Kewarganegaraan 105


demen rumusannya adalah: ”Presiden dan Wakil Presiden me-
megang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih
kembali.” Rumusan ini masih kurang jelas dan kurang rinci
menyangkut dapat dipilih kembali untuk beberapa masa jabatan.
Artinya, tidak ada kejelasan bagi seorang Presiden atau Wakil
Presiden untuk dipilih kembali dalam satu kali, dua kali, tiga
kali, atau bahkan tanpa batas sebagai Presiden dan Wakil
Presiden selanjutnya. Oleh karena itu, dalam amandemen UUD
1945 dibuat rumusan yang rinci, tegas, dan eksplisit bahwa
Presiden dan Wakil Presiden hanya dapat dipilih kembali untuk
satu kali masa jabatan. Artinya, sosok yang sama memiliki
peluang untuk memegang jabatan sebagai Presiden dan Wakil
Presiden maksimal dua kali masa jabatan.
Bahwa terdapat terdapat rumusan UUD 1945 yang bersifat
executive heavy, yakni memberikan kekuasaan yang terlalu
besar kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif
sehingga kekuasaan yang lain (legislatif dan yudikatif) seperti
tersubordinasi oleh kekuasaan eksekutif, maka pada amandemen
telah dilakukan perubahan terhadap Pasal 5 Ayat (1), Pasal 7,
Pasal 9, Pasal 13 Ayat (2), Pasal 14, Pasal 15, Pasal 17 Ayat (2),
Pasal 20, dan Pasal 21. Perubahan tersebut secara prinsipil
mengatur pembatasan jabatan Presiden, mengubah kewenangan
legislatif yang semula berada di tangan Presiden dialihkan
menjadi kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Selain
itu juga dibuat rumusan tentang beberapa substansi yang mem-
batasi kewenangan Presiden (Hidayat, 2009: 1). Setelah dilaku-
kan amandemen, beberapa kewenangan tertentu yang sebelum-
nya dilakukan sendiri oleh Presiden, dibuat rumusan baru
sehingga harus memperhatikan pertimbangan dari lembaga lain-
nya. Dalam hal mengangkat duta dan konsul, misalnya, harus
memperhatikan pertimbangan DPR. Dalam hal memberi grasi
dan rehabilitasi harus memperhatikan pertimbangan Mahkamah
Agung. Dalam hal memberikan amnesti dan abolisi harus mem-
perhatikan pertimbangan DPR.
Bahwa rumusan sistem pemerintahan dalam UUD 1945
tidak jelas antara presidensiil atau parlementer, maka dalam
amademen UUD 1945 dibuat rumusan sistem pemerintahan
presidensiil yang lebih jelas, yakni dengan munculnya ketentuan

106 Bab VI Konstitusi


bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara langsung oleh
rakyat sebagaimana yang tertera pada Pasal 6A Ayat (1). Pemi-
lihan secara langsung oleh rakyat menimbulkan konsekuensi
bahwa pertanggung-jawaban Presiden dan Wakil Presiden tidak
lagi dilakukan terhadap MPR. Pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden secara langsung oleh rakyat membawa konsekuensi
bahwa Presiden dan Wakil Presiden tidak lagi bertanggung
jawab kepada MPR. Namun MPR dapat memberhentikan
Presidan dan Wakil Presiden selama masa jabatannya jika
Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan adanya keputusan atau
tindakan yang melanggar hukum, antara lain berupa peng-
khianatan terhadap negara, korupsi, perbuatan tercela, tindak
pidana berat, serta tidak lagi memenuhi syarat untuk menduduki
dan melanjutkan kinerja sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
Presiden juga tidak bertanggung jawab kepada DPR, baik secara
langsung atau tidak langsung, sehingga Presiden tidak dapat
dijatuhkan oleh DPR.
Bahwa dipandang perlu untuk memberikan kesempatan
yang lebih luas bagi daerah untuk mengatur urusan daerahnya
sendiri, maka dilakukan amandemen terhadap Pasal 18 UUD
1945 dengan menambahkan beberapa ayat serta menambahkan
Pasal 18 A dan Pasal 18 B. Melalui amandemen seperti itu,
pemerintah daerah diberikan otonomi sehingga memiliki kesem-
patan yang lebih luas untuk mengembangkan dan menjalankan
program pembangunan di wilayah daerahnya. Artinya, Peme-
rintah Pusat memberikan penghargaan dan kesempatan kepada
pemerintah daerah, terutama jika dikaitkan dengan keragaman
dan sekaligus kekhususan potensi yang dimiliki oleh tiap-tiap
daerah. Selain itu, juga dirumuskan pembagian keuangan yang
lebih proporsional antara Pemerintah Pusat dan pemerintah
daerah.
Terkait dengan hak asasi manusia dan/atau hak warga
negara, amandemen UUD 1945 telah membuat rumusan-
rumusan baru terkait hak asasi manusia dan/atau hak warga
negara, yakni dengan menambahkan Pasal 28 A sampai Pasal 28
J. Amandemen terhadap UUD 1945 kemudian menyentuh ber-
bagai aspek, seperti aspek sistem perubahan dan prosedur per-
ubahannya, aspek bentuk hukum perubahannya, serta aspek

Pendidikan Kewarganegaraan 107


substansi materi yang diubah (Hidayat, 2009: 4). Terkait dengan
sistem perubahan dan prosedur perubahannya, amandemen ter-
hadap UUD 1945 menggunakan landasan sistem atau prosedur
yang ditentukan pada Pasal 37. Terkait dengan bentuk hukum-
nya, dilakukan amandemen terhadap teks UUD 1945 yang lama
yang secara teoritis dan praktik ketatanegaraan mengadopsi
model Eropa Kontinental. Substansi perubahannya dituangkan
dalam suatu naskah yang mengikuti model Amerika Serikat.

F. Perkembangan Konstitusi di Indonesia


Konstitusi yang dituangkan dalam bentuk tertulis meng-
hasilkan undang-undang dasar. Selain aspek hukum, konstitusi
juga memuat aspek politik. Sementara politik selalu dinamis
dalam arti selalu mengalami perkembangan sejalan dengan
faktor-faktor yang mempengaruhi. Bahwa konfigurasi politik
tertentu sering mempengaruhi perkembangan ketatanegaraan
suatu bangsa, tidak terkecuali Indonesia yang mengalami dina-
mika politik dari periode ke periode. Dinamika ketatanegaraan
tersebut tentu mempengaruhi konstitusi.
Jauh sebelum proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia,
para pendiri bangsa (founding fathers) telah menyelesaikan
rumusan lima dasar negara Indonesia merdeka, yakni Pancasila,
serta rumusan konstitusi yang kemudian disahkan menjadi UUD
1945, tepatnya pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indokesia (Dokuritsu Junbi Inkai).
Batang Tubuh UUD 1945 terbilang sangat singkat mengingat
hanya terdisi atas 37 pasal. Tidak heran jika dalam perkem-
bangannya ditemukan beberapa substansi dalam UUD 1945
yang kurang jelas, kurang rinci, dan dalam beberapa hal menim-
bulkan penafsian ganda.
Jauh sebelumnya, tokoh-tokoh penyusun UUD 1945 sudah
melihat adanya kemungkinan untuk melakukan perubahan atau
penyesuaian terhadap UUD 1945. Hal ini terlihat pada rumusan
Pasal 37 UUD 1945 tentang perubahan UUD 1945. Namun ter-
lebih dahulu kita akan gunakan kesempatan ini untuk meninjau
perkembangan konstitusi di Indonesia. Bahwa dalam sejarah

108 Bab VI Konstitusi


perkembangan ketatanegaraan Indonesia terdapat empat macam
undang-undang dasar yang pernah berlaku, yaitu: (1) UUD 1945
yang berlaku pada periode 18 Agustus 1945 hingga 27
Desember 1949, (2) Konstitusi Republik Indonesia Serikat yang
berlaku pada periode 27 Desember 1949 hingga 17 Agustus
1949, (3) UUDS 1950 yang berlaku pada 17 Agustus 1950
hingga 5 Juli 1959, (4) UUD 1945 yang berlaku kembali sejak 5
Juli 1959 hingga 19 Oktober 1999, dan (5) UUD 1945 hasil
Amandemen yang berlaku pada periode 19 Oktober 1999 hingga
sekarang.

1. Undang-Undang Dasar 1945 (Periode 18


Agustus 1945 hingga 27 Desember 1949)
Sehari setelah proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia,
tepatnya pada hari Sabtu, 18 Agustus 1945, Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia mengesahkan UUD 1945 sebagai
konstitusi Indonesia. Menurut UUD 1945 kedaulatan berada di
tangan rakyat dan dilaksanakan oleh MPR yang merupakan lem-
baga tertinggi negara.
Di dalam UUD 1945 dijelaskan bahwa MPR terdiri dari
DPR, Utusan Daerah, dan Utusan Golongan. Guna melaksana-
kan kedaulatan rakyat, MPR memiliki tugas dan wewenang
menetapkan UUD, Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN),
memilih dan mengangkat Presiden dan Wakil Presiden, serta
mengubah UUD. Selain itu terdapat beberapa lembaga tinggi
negara lainnya di bawah MPR, yakni DPR yang membuat
undang-undang, Presiden yang melaksanakan pemerintahan,
Dewan Pertimbangan Agung (DPA), dan Mahkamah Agung
(MA).
Mengingat negara Republik Indonesia yang baru saja ber-
diri, sementara situasi masih genting karena ancaman dari tetara
Sekutu dan Netherlands Indische Civil Administration (NICA)
datang bertubi-tubi, maka konstitusi belum bisa dilaksanakan
sepenuhnya oleh pemerintah. Misalnya, berdasarkan hasil kese-
pakatan yang termuat dalam Pasal 3 Aturan Peralihan yang
menyatakan: “Untuk pertama kali Presiden dan Wakil Presiden
dipilih oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).”

Pendidikan Kewarganegaraan 109


Dalam menjelaskan tugasnya, Presiden dibantu oleh Komite
Nasional, dengan sistem pemerintahan presidensiil, yakni
kabinet bertanggung jawab pada Presiden.
Pada periode ini konstitusi belum dijalankan secara kon-
sisten. Misalnya, sistem ketatanegaraan berubah-ubah, terutama
saat dikeluarkan Maklumat Wakil Presiden No. X tanggal 6
Oktober 1945, bahwa Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP),
sebelum terbentuknya MPR dan DPR, diserahi tugas legislatif
dan menetapkan GBHN bersama Presiden, menetapkan undang-
undang bersama Presiden, dan dalam menjalankan tugas sehari-
hari dibentuklah Badan Pekerja yang bertanggung jawab kepada
Komite Nasional Pusat (Tutik, 2006: 67).

2. Konstitusi Republik Indonesia Serikat (Periode


27 Desember 1949 hingga 17 Agustus 1950)
Meskipun pada tanggal 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia
telah memproklamasikan kemerdekaan dan mendirikan sebuah
negara bernama Republik Indonesia, namun tidak berarti bangsa
Indonesia telah terbebas sama sekali dari belenggu penjajahan.
Justru tidak lama setelah proklamasi kemerdekaan, sekutu men-
darat di berbagai kota di Indonesia dengan diboncengi oleh
Nethlerlands Indische Civil Administration (NICA) dengan
motif utama untuk mengambil kembali kekuasaan atas wilayah
Indonesia. Berbagai upaya dilakukan oleh Belanda dalam
rangka mengambil alih kekuasaan, salah satunya adalah dengan
mendirikan negara-negara boneka seperti Negara Sumatera
Timur, Negara Indonesia Timur, Negara Jawa Timur, Negara
Paundan, dan sebagainya. Sejalan dengan upaya tersebut,
Belanda juga melancarkan agresi militernya sebanyak dua kali.
Agresi militer Belanda I dilancarkan pada tahun 1947 dan agresi
militer Belnda II dilancarkan pada tahun 1948. Pasca agresi
militer Belanda II itulah antara pemerintah Republik Indonesia
dengan pemerintah Kerajaan Belanda mengadakan Konferensi
Meja Bundar (KMB). Sebagai upaya menguasai Indonesia,
Belanda memang menggunakan berbagai cara untuk memecah
belah Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi beberapa
negara kecil. Tidak heran jika hasil KMB di Den Haag Belanda

110 Bab VI Konstitusi


adalah: (1) mendirikan negara Republik Indonesia Serikat, (2)
penyerahan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat, dan
(3) didirikan uni antara Republik Indonesia Serikat dengan
Kerajaan Belanda (Tutik, 2006: 69).
Konsekuensi dari keberadaan Republik Indonesia Serikat
(RIS) adalah diberlakukannya Konstitusi RIS sejak 27 Desember
1949 hingga 17 Agutus 1950. Dengan demikian bentuk negara
kesatuan pun berubah menjadi bentuk serikat atau federal, yaitu
negara yang tersusun dari beberapa negara yang semula berdiri
sendiri-sendiri kemudian mengadakan ikatan kerja sama secara
efektif. Dengan kata lain, negara serikat adalah negara yang
tersusun dari negara-negara bagian. Kekuasaan RIS dipegang
oleh pemerintah bersama-sama dengan DPR dan Senat. Sistem
pemerintahan presidensiil berubah menjadi parlementer di mana
menteri-menteri bertanggung jawab kepada parlemen, yakni
DPR. Namun konstitusi RIS belum dilaksanakan secara efektif
mengingat belum terbentuknya lembaga-lembaga negara se-
bagaimana yang diamanatkan oleh Konstitusi RIS.

3. Undang-Undang Dasar Sementara 1950


(Periode 7 Agustus 1950 hingga 5 Juli 1959)
KMB pada dasarnya merupakan bagian strategi yang di-
jalankan oleh pemerintah Republik Indonesia untuk memperoleh
pengakuan kemerdekaan dari pemerintah Kerajaan Belanda.
Sementara bentuk negara RIS merupakan salah satu dari hasil
KMB yang diterima tidak dengan sepenuh hati. Tidak lain
karena para pendiri bangsa (founding fathers) lebih menghen-
daki bentuk negara kesatuan. Konstitusi RIS pun tidak berumur
panjang mengingat substansi konstitusi tersebut tidak berakar
pada kehendak rakyat, juga bukan merupakan kehendak politik
rakyat Indonesia, melainkan merupakan rekayasa dari pihak
Belanda maupun PBB. Kenyataan seperti inilah yang menye-
babkan timbulnya tuntutan untuk kembali pada bentuk Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tidak heran jika bentuk
negara RIS tidak bertahan lama terutama setelah terjadi proses
penggabungan beberapa negara bagian dengan Republik
Indonesia. Proses penggabungan tersebut pada akhirnya menge-
rucut pada kesepakatan untuk kembali pada bentuk NKRI.

Pendidikan Kewarganegaraan 111


Karena bentuk negara kesatuan dimaksud memerlukan undang-
undang dasar baru, maka dibentuk panitia guna menyusun ran-
cangan undang-undang dasar yang kemudian disahkan oleh
Badan Pekerja Komite Nasional Pusat pada tanggal 12 Agustus
1950 dan oleh Senat RIS pada tanggal 14 Agustus 1945, untuk
kemudian berlaku sejak tanggal 17 Agustus 1950.
Bentuk negara pada UUDS 1950 adalah negara kesatuan,
yakni negara yang bersusun tunggal, alias tidak ada negara
dalam negara sebagaimana yang terjadi pada negara serikat.
Ketentuan negara kesatuan dinyatakan pada Pasal 1 Ayat (1)
UUDS 1950 yang menyatakan bahwa Republik Indonesia yang
merdeka dan berdaulat ialah negara hukum yang demokrasi dan
berbentuk kesatuan. Pelaksanaan dari UUDS 1950 merupakan
penjelmaan dari NKRI berdasarkan Proklamasi 17 Agustus
1945. Sistem pemerintahannya adalah sistem pemerintahan par-
lementer mengingat tugas-tugas eksekutif dipertanggungjawab-
kan oleh para menteri kepada DPR. Presiden merupakan pucuk
pimpinan pemerintahan yang tidak dapat diganggu gugat karena
dianggap tidak pernah melakukan kesalahan, kemudian apabila
DPR dianggap tidak representatif, maka Presiden berhak mem-
bubarkan DPR (Radjab, 2005: 202).

4. Undang-Undang Dasar 1945 (Periode 5 Juli


1959 hingga 19 Oktober 1999)
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 menandai berlakunya kembali
UUD 1945 menggantikan UUDS 1950. Ketentuan ketatanegara-
an, dekrit presiden diperbolehkan ketika negara berada dalam
keadaan darurat atau bahaya. Pada saat itu, Presiden yang
sekaligus sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Perang perlu
mengambil tindakan untuk menyelamatkan bangsa dan negara.
Berlakunya kembali UUD 1945 berarti mengubah kembali
sistem ketatanegaraan. Bahwa Presiden yang sebelumnya se-
batas sebagai kepala negara, selanjutnya juga memegang fungsi
sebagai kepala pemerintahan. Dalam hal kinerja pemerintahan,
Presiden dibantu oleh menteri-menteri kabinet yang bertang-
gung jawab kepada Presiden. Dengan demikian, sistem pemerin-
tahan yang sebelumnya bersifat parlementer berubah menjadi
sistem pemerintahan presidensiil.

112 Bab VI Konstitusi


Namun dalam praktiknya UUD 1945 tidak diberlakukan
secara murni dan konsekuen, setidaknya hingga awal tahun
1966. Beberapa lembaga negara yang baru dibentuk tidak ber-
dasarkan konstitusi yang berlaku. Pada periode ini cukup banyak
indikasi penyimpangan terhadap konstitusi hingga terjadilah
peristiwa berdarah yang dikenal sebagai Gerakan 30 September
1965 yang hendak mengganti dasar negara Pancasila digantikan
dengan dasar komunis. Atas kenyataan seperti itu, besar dugaan
bahwa gerakan tersebut diaktori oleh Partai Komunis Indonesia
(PKI). Peristiwa kelam tersebut selanjutnya popular dengan
istilah G30S/PKI. Salah satu konsekuensi dari G30S/PKI adalah
terbitnya Surat Perintah 11 Maret 1966 yang berlanjut dengan
peristiwa pergantian kepemimpinan nasional dari Presiden
Soekarno ke Presiden Soeharto.
Terjadilah babak baru dalam sistem pemerintahan peme-
rintahan yang dikenal dengan Pemerintah Orde Baru, di mana
sistem ketatanegaraan didasarkan pada konstitusi, diselenggara-
kan pemilihan umum setiap 5 tahun sekali, dimulainya peren-
canaan dan pelaksanaan pembangunan yang sistematis bernama
Pembangunan Lima Tahun (Pelita), dan sebagainya. Namun
pada sisi yang lain, berkembang sistem yang mengarah pada
keditaktoran dengan alasan memelihara stabilitas nasional dalam
rangka menyukseskan pembangunan ekonomi. Artinya, sistem
demokrasi yang dikehendaki oleh konstitusi tidak berjalan
dengan baik. Sistem kepartaian dibatasi hanya untuk tiga partai
sehingga tidak tercipta ruang kebebasan bagi rakyat banyak
untuk mengekspresikan aspirasi. Upaya menciptakan stabilitas
nasional cenderung menciptakan kekuasaan negara berada pada
seorang Presiden. Kenyataan seperti ini pada akhirnya menim-
bulkan kejenuhan politik dan pada akhirnya meletus dalam
bentuk aksi demonstrasi menuntut reformasi politik pada per-
tengahan 1998. Aksi demonstrasi tersebut menghasilkan sesuatu
yang fundamental, yakni terjadinya pergantian kepemimpinan
nasional.

Pendidikan Kewarganegaraan 113


5. Undang-Undang Dasar 1945 hasil Amandemen
(Periode 19 Oktober 1999 hingga Sekarang)
Periode 19 Oktober 1999 sampai 10 Agustus 2002
merupakan masa-masa di mana terjadi beberapa perubahan pada
UUD 1945, yang merupakan konsekuensi dari tuntutan refor-
masi pada tahun 1998. Adapun yang menjadi dasar hukum per-
ubahan UUD 1945 adalah Pasal 3 dan Pasal 37 UUD 1945 yang
dilakukan oleh MPR sesuai dengan kewenangannya, dengan
tujuan untuk menegakkan prinsip-prinsip demokrasi. Dalam
melakukan perubahan terhadap UUD 1945, MPR menyepakati
lima poin, yaitu: (1) tidak mengubah Pembukaan UUD 1945, (2)
tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia, (3)
mepertegas sistem pemerintahan presidensiil, (4) penjelasan
UUD 1945 yang memuat hal-hal normatif akan dimasukkan ke
dalam pasal-pasal (batang tubuh), dan (5) melakukan perubahan
dengan cara addendum.
Pada periode ini dilakukan perubahan terhadap UUD 1945
sebanyak empat kali, yakni berlangsung antara tahun 1999
hingga tahun 2002. Naskah resmi UUD 1945 terdiri atas lima
bagian, yaitu: (1) UUD 1945 sebagai naskah asli, (2) perubahan
UUD 1945 kesatu, (3) perubahan UUD 1945 kedua, (4) per-
ubahan UUD 1945 ketiga, dan (5) perubahan UUD 1945 kelima.
Selanjutnya perubahan terhadap UUD 1945 tersebut menjadi
dasar dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Terhitung mulai tanggal 10 Agustus 2002 merupakan periode
berlakunya UUD 1945 hasil amandemen.
UUD 1945 hasil amandemen telah mendorong jaminan
nuansa demokrasi dalam sistem politik Indonesia. Poin men-
dasarnya adalah keberadaan lembaga negara yang sejajar, yakni
lembaga eksekutif (Presiden), lembaga legislatif (MPR yang
terdiri dari DPR dan DPD), lembaga yudikatif (MA, MK, dan
KY), serta lembaga auditif (BPK). Saat ini lembaga-lembaga
negara tersebut memiliki peran yang lebif jelas dan lebih
definitif dibandingkan dengan yang terjadi pada masa-masa
sebelumnya. Masa jabatan Presiden yang dipilih secara langsung
oleh rakyat dibatasi hanya untuk dua periode saja. Setelah
amandemen terhadap UUD 1945, terlaksana sistem otonomi

114 Bab VI Konstitusi


daerah secara lebih serius, sehingga tiap-tiap daerah dapat me-
maksimalkan pembangunan sesuai dengan potensi yang dimiliki
oleh daerah dimaksud. Pemilihan kepala daerah pun dilaksana-
kan secara demokratis sesuai dengan undang-undang yang ber-
laku. Terdapat jaminan terhadap hak asasi manusia dan hak
warga negara karena diatur secara lebih rinci di dalam UUD
1945 hasil amandemen.

G. Lembaga Negara Pasca Amandemen


Undang-Undang Dasar 1945
Amandemen UUD 1945 menyentuh pada beberapa hal
mendasar sebagai berikut. Pertama, mempertegas prinsip negara
berdasarkan atas hukum dengan menempatkan kekuasaan ke-
hakiman sebagai kekuasaan yang merdeka, penghormataan
kepada hak asasi manusia, serta kekuasaan yang dijalankan atas
prinsip due process of law. [Lihat: Pasal 1 Ayat (1)]. Kedua,
mengatur mekanisme pengangkatan dan pemberhentian para
pejabat negara, misalnya hakim. Ketiga, sistem konstitusional
berdasarkan perimbangan kekuasaan (check and balances), yaitu
setiap kekuasaan dibatasi oleh undang-undang berdasarkan
fungsi masing-masing. Keempat, setiap lembaga negara sejajar
kedudukannya di bawah UUD 1945. Kelima, menata kembali
lembaga-lembaga negara yang ada serta membentuk beberapa
lembaga negara baru agar sesuai dengan sistem konstitusional
dan prinsip negara berdasarkan hukum. Keenam, penyempur-
naan pada sisi kedudukan dan kewenangan masing-masing
lembaga negara disesuaikan dengan perkembangan negara
demokrasi modern.
Uraian di atas menunjukkan terjadinya beberapa per-
ubahan prinsipil pada UUD 1945 hasil amandemen, antara lain
MPR bukan lagi sebagai lembaga tertinggi negara, melainkan
sebagai lembaga negara yang setara dengan Presiden, BPK,
DPA, MA, MK, dan DPD. Pasal 1 Ayat (2) menyebutkan bahwa
kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut
undang-undang dasar. Dengan demikian MPR tidak lagi men-
jadi pelaksana kedaulatan rakyat. Selain itu, susunan keanggota-
an MPR juga mengalami perubahan, yakni terdiri atas anggota

Pendidikan Kewarganegaraan 115


DPR dan DPD yang dipilih secara langsung melalui pemilihan
umum.
UUD merupakan hukum tertinggi di mana kedaulatan
berada di tangan rakyat dan dijalankan sepenuhnya menurut
UUD. UUD memberikan pembagian kekuasaan (separation of
power) kepada 6 lembaga negara dengan kedudukan yang sama
dan sejajar. Dengan demikian, susunan ketatanegaraan juga
mengalami perubahan, yakni terdapat lembaga negara yang di-
hapus maupun lembaga negara yang baru dibentuk. Lembaga
legislatif terdiri atas MPR, DPR, dan DPD. Lembaga eksekutif
terdiri atas Presiden dan Wakil Presiden. Sedangkan lembaga
yudikatif terdiri atas kekuasaan kehakiman, yaitu MK, MA, dan
KY. Keberadaan BPK diatur menurut peraturan tersendiri,
sementara DPA merupakan lembaga negara yang dihapus.
Mu’min Ma’ruf (2015) menuliskan tugas-tugas lembaga negara
sesudah amandemen keempat sebagai berikut.
1. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
 Lembaga tinggi negara sejajar kedudukannya dengan
lembaga tinggi negara lainnya seperti Presiden, DPR,
DPD, MA, MK, BPK, dan KY.
 Menghilangkan supremasi kewenangannya.
 Menghilangkan kewenangannya menetapkan GBHN.
 Menghilangkan kewenangannya mengangkat Presiden
(karena Presiden dipilih secara langsung melalui
pemilu).
 Tetap berwenang menetapkan dan mengubah UUD.
 Susunan keanggootaannya berubah, yaitu terdiri dari
anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih secara
langsung melalui pemilu.
2. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
 Posisi dan kewenangannya diperkuat.
 Mempunyai kekuasaan membentuk undang-undang
(sebelumnya ada di tangan Presiden, sedangkan DPR
hanya memberikan persetujuan saja) sementara peme-
rintah berhak mengajukan RUU.
 Proses dan mekanisme membentuk undang-undang
antara DPR dan Pemerintah.

116 Bab VI Konstitusi


 Mempertegas fungsi DPR, yaitu fungsi legislasi,
fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan sebagai
mekanisme kontrol antar lembaga negara.
3. Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
 Lembaga negara baru sebagai langkah akomodasi
bagi keterwakilan kepentingan daerah dalam badan
perwakilan tingkat nasional setelah ditiadakannya
utusan daerah dan utusan golongan yang diangkat se-
bagai anggota MPR.
 Keberadaannya dimaksudkan untuk memperkuat ke-
satuan Negara Republik Indonesia.
 Dipilih secara langsung oleh masyarakat di daerah
melalui pemilu.
 Mempunyai kewenangan mengajukan dan ikut mem-
bahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah,
hubungan pusat dan daerah, RUU lain yang berkatan
dengan kepentingan daerah.
4. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
 Anggota BPK dipilih DPR dengan memperhatikan
pertimbangan DPD.
 Berwenang mengawasi dan memeriksa pengelolaan
keuangan negara (APBN) dan daerah (APBD) serta
menyampaikan hasil pemeriksaan kepada DPR dan
DPD dan ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum.
 Berkedudukan di ibukota negara dan memiliki per-
wakilan di setiap provinsi.
 Mengintegrasi peran BPKP sebagai instansi pengawas
internal departemen yang bersangkutan ke dalam
BPK.
5. Presiden
 Membatasi beberapa kekuasaan Presiden dengan
memperbaiki tata cara pemilihan dan pemberhentian
Presiden dalam masa jabatannya serta memperkuat
sistem pemerintahan presidensiil.
 Kekuasaan legislatif sepenuhnya diserahkan kepada
DPR.

Pendidikan Kewarganegaraan 117


 Membatasi masa jabatan Presiden maksimum menjadi
dua periode saja.
 Kewenangan pengangkatan duta dan menerima duta
harus memperhatikan pertimbangan DPR.
 Kewenangan pemberian grasi, amnesti, dan abolisi
harus memperhatikan pertimbangan DPR.
 Memperbaiki syarat dan mekanisme pengangkatan
calon presiden dan wakil presiden menjadi dipilih
secara langsung oleh rakyat melalui pemilu, juga
mengenai pemberhentian jabatan Presiden dalam
masa jabatannya.
6. Mahkamah Agung (MA)
 Lembaga negara yang melakukan kekuasaan keha-
kiman, yaitu kekuasaan yang menyelenggarakan per-
adilan untuk menegakkan hukum dan keadilan [Pasal
24 Ayat (1)].
 Berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji
peraturan perundang-undangan di bawah undang-
undang dan wewenang lain yang diberikan undang-
undang.
 Di bawahnya terdapat badan-badan peradilan dalam
lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan
Agama, lingkungan Peradilan Militer, dan lingkungan
Peradilan Tata Usaha Negata (PTUN).
 Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan
kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang,
seperti: kejaksaan, kepolisian, advokat/pengacara, dan
lain-lain.
7. Mahkamah Konstitusi (MK)
 Keberadaannya dimaksudkan sebagai penjaga kemur-
nian konstitusi (the guardian of the conctitution).
 Mempunyai kewenangan: menguji UU terhadap UUD,
memutus sengketa kewenangan antarlembaga negara,
memutus pembubaran partai politik, memutus seng-
keta hasil pemilu, dan memberikan putusan atas pen-
dapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh
Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD.

118 Bab VI Konstitusi


 Hakim Konstitusi terdiri dari 9 orang yang diajukan
masing-masing oleh MA, DPR, dan pemerintah dan
ditetapkan oleh Presiden, sehingga mencerminkan
perwakilan dari 3 cabang kekuasaan negara, yaitu
yudikatif, legislatif, dan eksekutif.
8. Komisi Yudisial (KY)
 Tugasnya mencalonkan Hakim Agung dan melakukan
pengawasan moralitas dan kode etik para hakim.

Referensi
Adhari, A, 2010, Konstitusi sebagai Pembatas Kekuasaan, Available:
https://agusadharry.wordpress.com/2010/10/27/ 10/.
Al-Chaidar, et al, 2000, Telaah Awal Wacana Unitaris versus
Federalis dalam Perspektif Islam, Nasionalisme, dan Sosial
Demokrasi, Jakarta: Madani Press.
Bryce, L.J, 1941, The Holy Roman Empire, Macmillan.
Darmodiharjo, D, 1991, Santiaji Pancasila, Surabaya: Usaha Nasional.
Fajar, M, 2005, Tipe Negara Hukum, Malang: Bayumedia.
Hamadi, J, 2009, Hukum Perbandingan Konstitusi, Jakarta: Prestasi
Pustaka Publiser.
Humaidi, J, et al, 2012, Teori dan Hukum Perancangan Perda,
Malang: UB Press.
Hidayat, M.T, 2009, Peran Mahkamah Konstitusi dalam Perselisihan
Hasil Pemilu, Jurnal Konstitusi Vol. 2 No. 1 Juni 2009, Jakarta:
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
Huda, N, 2005, Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
Koesnardi, M, 1985, Ilmu Negara, Jakarta: Perintis Press.
Lubis, M.S, 1983, Pergeseran Garis Politik dan Perundang-undangan
mengenai Pemerintah Daerah, Bandung: Alumni.
Mahfud MD, M, 2003, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Studi
tentang Interaksi Politik dan Kehidupan Ketatanegaraan,
Jakarta: Rineka Cipta.
Manullang, E.C, 2015, Pembagian Kekuasaan sesuai Sistem
Konstitusi di Indonesia, Available: https://id.scribd.com/
doc/251568291/Pembagian-Kekuasaan-Sesuai-Sistem-
Konstitusi-di-Indonesia-REVISI3-docx.

Pendidikan Kewarganegaraan 119


Martosoewignjo, S.S, 1981, Pengantar Perbandingan antar Hukum
Tata Negara, Jakarta: Rajawali.
Ma’ruf, M, 2015, Lembaga-lembaga Negara Pasca Amandemen UUD
1945, Bandung: IPDN.
Mukhsin, 2005, Ikhtisar Hukum Indonesia, Jakarta: Badan Penerbit
IBLAM.
Nasution, A.B. & Tiwon, S, 1995, Aspirasi Pemerintahan Konsti-
tusional di Indonesia: Studi Sosio-Legal atas Konstituante
1956-1959, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Nasution, A.B, 1995, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di
Indonesia, Jakarta: Grafiti.
Radjab, D, 2005, Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: Rineka
Cipta.
Rosyida, D.F, 2019, Hak dan Kewajiban Warga Negara dalam
Konstitusi, Available: https://www.academia.edu/
11013885/Hak_dan_Kewajiban_Warga_Negara_Dalam_
Konstitusi, tersedia 17 Desember 2019.
Santoso, M.A, 2011, Kajian tentang Manfaat Penelitian Hukum bagi
Pembanguan Daerah, Jurnal Ilmiah Hukum “YURISKA” Vol. 3
No. 01 Agustus 2011, Samarinda: UWGM.
Santoso, M.A, 2009, Kajian Hubungan Timbal Balik Antara Politik
dan Hukum, Jurnal Ilmiah Hukum “YURISKA” Vol. I No. I
Aguatus 2009, Samarinda: UWGM.
Soehino, 1985, Ilmu Negara, Yogyakarta: Penerbit Liberty.
Strong, C.F, 2008, Konstitusi-konstitusi Politik Modern: Kajian
tentang Sejarah dan Bentuk-bentuk Konstitusi Dunia, Cetakan
2, Bandung: Nusa Media.
Thaib, D, 2008, Teori dan Hukum Konstitusi, Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Thaib, D, 1999, Teori dan Hukum Konstitusi Edisi 1, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Tutik, T.T, 2006, Pokok-pokok Hukum Tata Negara, Jakarta: Prestasi
Pustaka Publiser.
Undang-Undang Dasar 1945 (sebelum perubahan).
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Serikat.
Undang-Undang Dasar Sementara 1950.
Undang-Undang Dasar 1945 (setelah mengalami perubahan sampai
keempat kali).
Wheare, K.C, 1958, Modern Constitution, London: Oxford University
Press.

120 Bab VI Konstitusi

Anda mungkin juga menyukai