Anda di halaman 1dari 30

10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Pengetahuan

1. Pengetahuan

Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang

terhadap objek melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung, telinga, dan

sebagainya). Dengan sendirinya, pada waktu penginderaan sampai

menghasilkan pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian

dan persepsi terhadap objek. Sebagian besar pengetahuan seseorang diperoleh

melalui indera pendengaran (telinga), dan indera penglihatan (mata)

(Notoatmodjo, 2016).

Benjamin bloom (1956) Pengetahuan seseorang terhadap objek

mempunyai intensitas yang berbeda-beda. Secara garis besar dibagi dalam 6

tingkatan pengetahuan yaitu :

a. Tahu (know)

Tahu diartikan hanya sebagai recall (memanggil) memori yang telah ada

sebelumnya setelah mengamati sesuatu.

b. Memahami (comprehension) Memahami suatu objek bukan sekedar tahu

objek tersebut, tidak sekedar dapat menyebutkan, tetapi orang tersebut harus

dapat menginterpretasi-kan secara benar tentang objek yang diketahui.


11

c. Aplikasi (application)

Aplikasi diartikan apabila orang yang telah memahami objek yang

dimaksud dapat menggunakan atau mengaplikasikan prinsip yang

diketahui tersebut pada situasi yang lain.

d. Analisis (analysis)

Analisis adalah kemampuan seseorang untuk menjabarkan dan/atau

memisahkan, kemudian mencari hubungan antara komponen-komponen

yang terdapat dalam suatu masalah atau objek yang diketahui. Indikasi

bahwa pengetahuan seseorang itu sudah sampai pada tingkat analisis

adalah apabila orang tersebut telah dapat membedakan, atau memisahkan,

mengelompokkan, membuat diagram (bagan) terhadap pengetahuan atas

objek tersebut.

e. Sintesis (synthesis)

Sintesis menunjukkan suatu kemampuan seseorang untuk

merangkum atau meletakkan dalam satu hubungan yang logis dari

komponen-komponen pengetahuan yang dimiliki.

f. Evaluasi (evaluation)

Evaluasi berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk melakukan

justifikasi atau penilaian terhadap suatu objek tertentu. Penilaian ini

dengan sendirinya didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri

atau norma-norma yang berlaku di masyarakat.


12

g. Dalam penelitian ini, peneliti akan mengetahui tentang pengetahuan orang

tua pada tingkat “tahu” artinya responden hanya mengingat sesuatu yang

pernah ia ketahui.

Pengukuran tingkat pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara

atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari

subjek penelitian.

Green (2000) menganalisis perilaku manusia berangkat dari tingkat

kesehatan. Perilaku terbentuk dari tiga faktor, yakni:

a. Faktor-faktor predisposisi (predisposing factors), yang terwujud dalam

pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai, dan sebagainya.

b. Faktor-faktor pendukung (enabling factors), yang terwujud dalam

lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas atau

sarana-sarana kesehatan, misalnya Puskesmas, obat-obatan, alat-alat

kontrasepsi, jamban, dan sebagainya.

c. Faktor-faktor pendorong (reinforcing factors) yang terwujud dalam sikap

dan perilaku petugas kesehatan, atau petugas yang lain, yang merupakan

kelompok referensi dari perilaku masyarakat.

B. Tinjauan Umum Demam Tifoid

1. Pengertian Demam Tifoid

Demam tifoid adalah penyakit yang bersifat akut tetapi tetap berpotensi

untuk mengancam keselamatan jiwa seseorang. Demam tifoid adalah penyakit

yang disebabkan adanya infeksi dari bakteri Salmonella Enterica Serotype


13

Typhi yang bias masuk ke tubuh manusia lalu menginfeksi melalui jalur feses-

oral (Alba et al,2016).

Demam tifoid adalah infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella

typhi, biasanya melalui konsumsi makanan atau air yang terkontaminasi.

Penyakit akut ditandai dengan demam berkepanjangan, sakit kepala, mual,

kehiangan nafsu makan, dan sembelit atau kadang-kadang diare. Gejala

seringkali tidak spesifik dan secara klinis tidak dapat dibedakan dari penyakit

demam lainnya. Namun, tingkat keparahan klinis bervariasi dan kasus yang

parah dapat menyebabkan komplikasi serius atau bahkan kematian. Ini terjadi

terutama dalam kaitannya dengan sanitasi yang buruk dan kurangnya air

minum bersih. Dalam masyarakat penyakit ini dikenal dengan tipes atau

thypus, tetapi dalam dunia kedokteran disebut typhoid fever atau thypus

abdominalis karena berhubungan dengan usus didalam perut (WHO, 2018).

2. Etiologi Demam Tifoid

Penyakit demam tifoid disebabkan oleh infeksi kuman Salmonella

typhi (WHO, 2018). Salmonella enteric serotype typhi adalah bakteri gram

negative, berbentuk batang, berflagela yang satu-satunya reservoir adalah

tubuh manusia. Bakteri menyebar dari usus untuk menyebabkan penyakit

sistemik (Ashurst, Troung, & Woodbury, 2019).


14

(J.P. Duguid dan J.F. Wilkinson, 2020)


Gambar 2.1 bakteri Salmonella typhi

3. Klasifikasi Demam Tifoid

Menurut WHO dalam Hasta (2020) terdapat 3 macam klasifikasi pada

demam thypoid dengan perbedaan gejala klinik

a. Demam thyfoid akut non komplikasi

Adanya demam yang berkepanjangan pada demam thypoid akut

terjadi konstipasi pada penderita dewasa, diare pada anak-anak.

Anoreksia, Malaise, serta nyeri kepala atau sakit kepala.

b. Demam tifoid dengan komplikasi

Demam tifoid akan menjadi komplikasi yang parah tergantung

pada kualitas dalam pengobatan yang diberikan kepada penderita,

komplikasi yang terjadi biasanya seperti perforasi, usus, melena dan

peningkatan ketidaknyamanan abdomen.


15

c. Keadaan karier

Penderita demam thypoid dengan keadaan karier terjadi pada 1-5

% tergantung pada umur pasien, yang kronis dalam hal sekresi salmonella

typhi di feses.

4. Epidemiologi Demam Tifoid

Demam tifoid menyerang penduduk disemua Negara. Demam tifoid

lebih sering terjadi pada anak-anak dan dewasa muda yang berhubungan

dengan daerah berpenghasilan rendah dengan sanitasi yang buruk. Pada tahun

2000, demam tifoid diperkirakan menyebabkan 21,7 juta penyakit dan

216.000 kematian secara global, dan International Vaccine Institute

memperkirakan bahwa ada 11,9 juta kasus demam tifoid dan 129.000

kematian pada negara berpenghasilan rendah hingga menengah pada tahun

2010. Di Amerika Serikat sekitar 200-300 kasus Salmonella enteric serotype

typhi dilaporkan setiap tahun, dan sekitar 80% dari kasus ini berasal dari

wisatawan yang kembali dari daerah endemis , pada era pra-antibiotik, angka

kematian adalah 15% atau lebih besar. Namun angka kematian telah turun

menjadi kurang dari 1% dengan diperkenalkannya antibiotic (Ashurst,

Troung, & Woodbury, 2019).

Insiden terjadinya demam tifoid diperkirakan lebih dari 100 per

100.000 penduduk. Sekitar tujuh juta orang terkena dampak setiap tahun di

Asia dengan sekitar 75.000 kematian (Chang, Song, & Galan, 2016).
16

5. Faktor Resiko Demam Tifoid

Faktor resiko yang mempengaruhi kejadian demam thypoid adalah

antara lain seperti jenis kelamin, usia, status gizi, kebiasaan jajan diluar

rumah, pendidikan orang tua dan penghasilan orang tua. Dari faktor tersebut

dapat memicu kejadian demam thypoid pada anak. (Rustam, 2018).

Rustam (2018) Adapun faktor lain yang mempengaruhi demam

thypoid adalah sebagai berikut :

a. Kebiasaan mencuci tangan sesudah buang air besar dirumah anggota

dengan riwayat demam thypoid itu sangat berpengaruh, oleh karena itu

dalam keluarga harus memelihara dan menjaga kesehatan dengan

menyediakan sabun cuci tangan agar terhindar berbagai bakteri.

b. Kondisi kuku jari atau tangan

Kuku yang panjang bisa menyimpan bakteri yang berbahaya

sehingga dapat menyebabkan bakteri dan kuman bersarang.

c. Frekuensi jajan

Kebiasaan makanan yang tidak baik dapat menyebabkan terjadinya

demam typhoid, karena anak yang selalu menghabiskan waktu untuk

bermain diluar rumah dan kurang dipantau oleh orang tua sehingga

membiarkan anak leluasa dalam membeli makan jajanan tanpa

memikirkan kesehatan.
17

d. Kemasan jajan

Hal ini juga mempengaruhi karena makanan dengan kemasan

piring atau gelas terbuka akan sangat berpengaruh besar kemungkinan

lalat yang telah terkontaminasi bakteri salmonella typhi hinggap dan

mencemari peralatan makanan.

Selain itu, Als dkk, membagi faktor resiko terjadinya demam tifoid

menjadi 3 yaitu (Als et al., 2018) :

a. Faktor lingkungan

Sanitasi yang buruk, waduk, perbedaan musim dan iklim, praktek

pertanian dan pengolahan limbah.

b. Faktor sosiodemografi

Status social ekonomi yang rendah, kemiskinan, kurangnya teknik

penanganan makanan, kepadatan penduduk rumah, dan pekerjaan.

c. Karkteristik individu

Diet, malnutrisi, mikroflora, usus, usia, status karier, imunitas parsial,

pengetahuan tentang praktik kebersihan dan koinfeksi/penggunaan

antibiotic sebelumnya.

Konsumsi obat atau keadaan-keadaan yang menurunkan asam

lambung seperti antasida, antagonis reseptor histamine-2 (penghambat

H2), penghambat pompa proton, gastrektomi, dan achlorhydria juga bisa


18

menjadi faktor resiko terjadi demam tifoid, karena Salmonella Typhi bisa

bertahan pada PH serendah 1,5 (Brusch, 2019)

6. Patofisiologi Demam Tifoid

Salmonella typhi merupakan bakteri yang dapat hidup di dalam tubuh

manusia. Manusia yang terinfeksi bakteri Salmonella typhi dapat

mengekskresikannya melalui secret saluran nafas, urin, dan tinja dalam jangka

waktu yang bervariasi (Ardiaria, 2019). Infeksi Salmonella enteric serotype

typhi pada orang sehat berkisar antara 1000 dan 1 juta organism tetapi

tergantung kondisi imun tubuh manusia (Ashurst, Troung, & Woodbury,

2019).

Pathogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses mulai dari

penempelan bakteri ke lumen usus, bakteri bermultiplikasi di makrofag

Peyer’s patch, bertahan hidup dialiran darah, dan menghasilkan enterotoksin

yang menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke lumen intestinal. Bakteri

Salmonella typhi bersama makanan atau minuman masuk kedalam tubuh

melalui mulut. Pada saat melewati lambung dengan suasana asam banyak

bakteri yang mati. Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus,

melekat pada sel mukosa kemudian menginvasi dan menembus dinding usus

tepatnya di ileum dan jejunum. Sel M, sel epitel yang melapisi peyer’s patch

merupakan tempat bertahan hidup dan multiplikasi Salmonella typhi. Bakteri

mencapai folikel limfe usus halus menimbulkan tukak pada mukosa usus.
19

Tukak dapat mengakibatkan perdarahan dan perforasi usus. Kemudian

mengikuti aliran ke kelenjar limfe mensentrika bahkan ada yang melewati

sirkulasi sistemik sampai ke jaringan reticulo endoteliall system (RES) di

organ hati dan limpa. Setelah periode inkubasi, Salmonella typhi keluar dari

habitatnya melalui duktus torasikus masuk ke sirkulasi sistemik mencapai

hati, limpa, sumsum tulang, kandung empedu dapat menginvasi ulang dinding

usus atau dikeluarkan melalui feses. Endotoksin merangsang makrofag di

hati, limpa, kelenjar limfoid intestinal, dan mensentrika untuk melepaskan

produknya yang secara local menyebabkan nekrosis intestinal ataupun sel

hati dan secara sistemik menyebabkan gejala klinis demam tifoid (Ardiaria,

2019).

(de Jong HK et al., 2012)


20

Gambar 2.2 Siklus penularan bakteri Salmonella typhi

Penularan Salmonella typhi sebagian besar jalur fecal-oral, yaitu

melalui makanan atau minuman yang tercemar oleh bakteri yang berasal dari

penderita atau pembawa kuman, biasanya kluar bersama dengan feses. Dapat

juga terjadi transmisi transplasental dari seorang ibu hamil yang berada pada

keadaan bakteremia kepada bayinya (Pruss, 2016)

7. Manifestasi Klinis

Demam Tifoid adalah salah satu penyakit menular yang memiliki

gejala nonspesifik, mulai dari gejala ringan (yang kadang terjadi

misdiagnosis), gejala khas hingga gejala berat yang disertai dengan

komplikasi. Gambaran klinis yang didapatkan juga akan bervariasi yakni

berdasarkan daerah serta waktu tertentu (Bhandari et al., 2020).

a. Demam

Demam atau panas adalah gejala utama Tifoid (sekitar 96% kasus).

Demam tifoid 7-14 hari setelah menelan organisme. Pada awal sakit,

pasien mengalami demam dengan mengikuti pola “step-ladder” yakni

meningkat satu hari, lalu akan turun keesokan paginya. Puncak dari

demam perlahan akan meningkat dari hari ke hari yang bisa disertai

banyak gejala seperti sakit kepala (pusing-pusing) yang sering dirasakan

didaerah frontal, malaise, nyeri otot, pegal-pegal, dan insomnia. Kira-kira


21

pada akhir minggu pertama penyakit, demam akan menurun pada 103-

1040F (39-400C). pada minggu kedua intensitas demam makin tinggi,

kadang-kadang terus menerus (demam kontinyu). Bila pasien membaik

maka pada minggu ke-3 suhu badan berangsur-angsur turun dan dapat

normal kembali pada akhir minggu ke-3.

Perlu diperhatikan bahwa demam yang khas tifoid tersebut tidak

selalu ada. Tipe demam menjadi tidak beraturan. Hal ini mungkin karena

intervensi pengobatan atau komplikasi yang dapat terjadi lebih awal. Pada

anak khusunya balita, demam tinggi dapat menimbulkan kejang.

b. Gangguan saluran pencernaan

Gangguan pada saluran pencernaan bisa terlihat sejak minggu

pertama penyakit ini terjadi. Keluhan enterokolitis bisa didapakan setelah

12 jam sampai 48 jam inokulasi. Penderita awalnya dating dengan mual-

muntah yang jika terus berlanjut akan mengeluh nyeri perut difus, bahkan

hingga nyeri kolik terutama di region epigastrik (nyeri ulu hati). Sering

juga terjadi meteorismus (kembung), anoreksia ataupun diare (dengan

kasus besar sekitar 66%) yang bisa bervariasi mulai dari diare ringan

hingga diare berat dengan atau tanpa darah. Juga bisa terjadi konstipasi

karena adanya infiltrasi dari monositik Peyer’s patch seingga terjadi

hipertrofi dan akhirnya mempersempit lumen dari usus.


22

Pada pasien HIV atau orang yang menderita gangguan kekebalan

tubuh, utamanya mereka yang jumlah CD4nya rendah, keluhan diare berat

lebih sering terjad bahkan cenderung sampai memiliki infeksi metastasis

yang lebih serius.

c. Hepatosplenomegali

Saat dilakukan palpasi, bisa didapatkan pembesaran dari hati dan

limfa. Hati terasa kenyal dan ada nyeri tekan.

d. Bradikardia relatif

Selama minggu kedua, bisa terjadi bradikardia relative sekalipun

jarang ditemukan, mungkin karena teknis pemeriksaan yang sulit

dilakuan. Bradikardia relative adalah peningatan suhu tubuh yang tidak

diikuti oleh peningkatan frekuensi nadi. Patokan yang sering dipakai

adalah bahwa setiap peningkatan suhu 10C tidak diikuti peningkatan

frekuensi nadi 8 denyut dalam 1 menit.

Selain itu juga bisa terjadi dikrotik yakni adanya denyut ganda,

dimana denyut kedua labih lemah dari denyut pertama.

8. Gambaran klinis lain

Gambaran klinis lain yang dapat ditemukan pada demam tifoid adalah

rosse spot atau bintik-bintik mawar biasanya pada region abdomen keatas,
23

bentuk batang, pucat, warna salmon, efflorosensi makulopapula dengan lebar

sekitar 1-4 cm dan hilang dalam 2-5 hari. Rose spot terjadi oleh karena emboli

dari bakteri ke lapisan dermis kulit. Pada anak-anak, rose spot sangat jarang

ditemukan, malah lebih sering epitaksis (Bhandari et al., 2020).

Pada pinggu ke 3, pasien mengalami demam akan menjadi semakin

toksik, anoreksia yang semakin parah, serta juga penularan berat badan yang

signifikan. Pasien akan menjadi takipnea dangan adanya ronki diatas paru saat

dilakukan auskultasi. Tanda-tanda komplikasi metastasis muncul dan juga

kemungkinan terjadi perforasi usus akan meningkat sehingga memperburuk

keadaan distensi abodomen dan peritonitis. Komplikasi ini sering tidak

diketahui atau mungkin ditutupi oleh penggunaan kortikosteroid. Bisa juga

didapatkan adanya gangguan kesadaran yang umumnya kebanyakan berupa

penurunan kesadaran rigan. Sering didapatkan kesadaran apatis dengan

kesadaran seperti berkabut (tifoid). Bila klinis berat, tak jarang penderita

sampai somnolen dan koma atau mengalami gejala-gejala Psychosis (Organic

Brain Syndrom). Pada penderita yang mengalami toksik, gejala delirium

kelihatan lebih menonjol. Gejala lain yang juga bisa didapatkan adalah nyeri

hebat pada epigastrik akibat dari pancreatitis yang bisa menjalar ke punggung,

nyeri tulang karena terjadi osteomyelitis, dan juga abses. Pada fase ini,

terjadinya perdarahan usus ataupun toksemia bisa menyebabkan kematian.

Pada kasus-kasus yang berlanjut hingga minggu keempat, beberapa

gejala yang dialami seperti demam atau meteorismus perlahan akan membaik
24

selama beberapa hari. Tapi penurunan berat badan terus terjadi bahkan hingga

mengalami kelemahan. Sedangkan untuk komplikasi yang terjadi pada usus

dan neurologis akan masih bertahan jika tidak mendapatkan penanganan yang

baik.

9. Pemeriksaan Penunjang Demam Tifoid

Pencegahan diagnosis untuk demam tifoid sebenarnya bisa dilakukan

dengan melihat manifestasi klinis dari pasien seperti mengalami demam

selama tiga hari lalu disertai kelainan gastrointestinal (ada sembelit atau diare)

atau mungkin disertai gangguan kesadaran. Selain itu juga dengan melihat

faktor-faktor resiko yang mungkin bisa menunjang diagnosis. Misalnya

keadaan tempat tinggal pasien (sanitasi buruk, kurang tersedia air bersih) atau

riwayat perjalanan pasien dari daerah endemic tifoid (Bhandari et al., 2020).

Pada minggu pertama demam tifoid, diagnosis masih sulit untuk

dilakukan sehingga kadang masih terjadi misdiagnosa. Oleh karena itu,

pemeriksaan penunjang dibutuhkan sebagai pegangan untuk penegakan

diagnosis secara pasti.

a. Kultur darah

Kultur darah tetap menjadi standar baku untuk demam tifoid.

Karena merupakan tes yang paling sering dilakukan, mudah dilakukan,

tersedia disemua tingkat layanan kesehatan, dan juga tentunya tidak


25

mahal. Tapi harus diperhatikan beberapa hal karena bisa didapatkan hasil

negative palsu jika pasien sebelum tes dilakukan sudah mengonsumsi

antibiotik ataupun volume darah yang digunakan sedikit (<5 cc).

Kultur darah dan aspirasi sum-sum tulang dibiakkan dalam media

selektif (misalnya, 10% air oxgall) atau media bergizi (misalnya, kaldu

kedelai tryptic) dan diinkubasi pada suhu 370C selama minimal 7 hari.

Sedangkan untuk identifikasi organism dengan teknik kultur konvensional

biasanya membutuhkan waktu 48-72 jam sejak dilakukan inkuisisi.

b. Kultur feses

Kultur feses maksimalnya hanya bisa dilakukan pada minggu

kedua dan ketiga dengan sensitivitas <50%. Sensitivitasnya bergantung

pada lama penyakit dan jumlah sampel feses yang diambil. Selain itu dari

beberapa sumber, diperkirakan bahwa hasil positif hanya didapatkan pada

sekitar 37% pasien yang terapi antibiotik.

c. Kultur sumsum tulang

Kultur sumsum tulang menjadi gold standar untk penegakan

diagnosis tifoid dengan sensitivitas sekitar 90% (sampai setidaknya 5 hari

setelah dimulainya terapi antibiotik) dan lebih sensitive disbanding kultur

darah. Hal ini disebabkan didalam sumsum tulang terdapat lebih banyak
26

mikroorganisme. Akan tetapi tidak menjadi pilihan pertama yang

dilakukan karena tesnya sangat invasive dan mahal.

d. Tes Widal

Tes widal adalah tes serologis untuk demam tifoid tapi tidak bisa

diandalkan untuk diagnosis pasti karena bisa didapatkan hasil positif palsu

(didaerah-daerah endemic) dan hasil negative palsu (pada kasus yang

terbukti biakan darah positif). Tes widal mendeteksi reaksi aglutinasi

antara antigen dari bakteri S. Typhi dengan serum antibody yang disebut

agglutinin. Untuk diagnosis demam tifoid, agglutinin yang digunakan

adalah agglutinin O (dari tubuh bakteri) dan agglutinin H (flagella

bakteri).

Untuk titer agglutinin yang bermakna diagnostic sendiri belum ada

satu kesepakatan pasti, yang digunakan biasanya hanya berlaku disatu

tempat dan bisa berbeda di masing-masing laboratorium. Tapi daerah

endemic dikatakan bahwa titer yang digunakan harus lebih tinggi untuk

membuat diagnosis yang lebih baik.

e. Uji Typhoid

Tes ini dilakukan jika ingin mendeteksi adanya antibody IgM dan

IgG spesifik terhadap antigen bakteri S. Typhi dan hasilnya positif pada 2-

3 hari setelah infeksi.


27

Kasus infeksi akut dengan reinfeksi tidak bisa dibedakan hanya

dengan memeriksa IgG bisa bertahan hingga 2 tahun dan pada kasus-kasus

reinfeksi bisa teraktivasi secara berlebih sehingga IgG sendiri sulit

terdeteksi. Oleh karena itu, modifikasi terhadap tes ini dilakukan yaitu

dengan inaktivasi dari total IgG pada sampel serum yang kemudian

disebut dengan uji Typhoidot-M. tes ini memungkinkan terjadi ikatan

antara antigen danga IgM spesifik yang pada serum pasien, disebutkan

juga bahwa disbanding kultur tes ini lebih sensitive (mencapai 100%) dan

lebih cepat (3 jam).

f. Uji IgM Distick

Tes mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap S.Typhi pada

specimen serum atau whole blood. Tes mudah dilakukan tanpa peralatan

khusus dan terhitung cepat (dalam 1 hari), tapi untuk hasil yang akurat

hanya bisa didapatkan jika dilakukan 1 minggu setelah timbul gejala.

g. Tes snip kulit

Tes ini dilakukan dengan cara melakukan biopsi pada rose spot

atau bintik-bintik mawar yang muncul. Tingkat sensitivitas untuk tes ini

mencapai 63%.
28

h. Polymerase Chan Reaction (PCR)

Konsentrasi dari bakteri yang rendah selama proses bakteremia

menyebabkan rendahnya juga kepekaan dari PCR terhadap keberadaan

bakteri. PCR dapat memberikan identifikasi gen berbasis DNA dari

beberapa serotype seperti gen antigen H dan gen antigen O. namun,

hingga saat ini tidak ada jenis PCR yang tersedia secara luas untuk

diagnosis klinis demam tifoid. Pengkujian ini juga mahal di banyak

pengaturan sumber daya rendah.

Disbanding dengan biakan darah, PCR lebih spesifik dan sensitive.

Hasil dari PCR juga bisa didapatkan hanya dalam beberapa jam, tapi

karena biayanya mahal sehingga cukup jarang digunakan.

i. Enzyme-Linked Immunosobent Assay (ELISA)

ELISA jarang berfungsi secara maksimal pada penyakit akut.

Pemeriksaan ini mengidentifikasi adanya antibody terhadap antigen Vi

(kapsul polisakarida) untuk identifikasi pasien-pasien yang merupakan

karier.

10. Prognosis Demam Tifoid

Prognosis dari demam tifoid bergantung pada bebarapa hal, seperti

ketepatan terapi yang dilakukan, usia dari pasien, keadaan kesehatan

sebelumnya, serta ada tidaknya komplikasi yang sudah terjadi (Soedarmo et


29

al., 2008). Pada pasien yang tidak mendapatkan pengobatan, sekitar 10%

mengalami kekambuhan serta 4% akan menjadi karier kronis. Untuk

menghindari komplikasi yang tidak diinginkan, kecepatan diagnosis serta

ketepatan pengobatan harus diperhatikan (Bhandari et al., 2020).

11. Komplikasi Demam Tifoid

a. Perdarahan Intestinal

Pada bagian usus yang mengalami infeksi bisa terjadi tukak atau

luka dengan bentuk lonjong dan memanjang. Jika luka yang terjadi sampai

pada lumen usus hingga mengenai pembuluh darah, maka bisa ditemukan

adanya perdarahan. Faktor lain penyebab terjadinya perdarahan adalah

karena adanya gangguan koagulasi darah (KID) atau bisa karena gabungan

dari keduanya. Mortalitas akibat perdarahan cukup tinggi jika tidak

tertangani dengan baik, sekitar 10-32 % bahkan ada yang melaporkan

hingga 80% (Bhandari et al., 2020).

b. Perforasi Usus

Perforasi usus terjadi jika perdarahan intestinal tidak tertangani

dengan baik. Yaitu jika luka sampai menembus dinding usus, maka terjadi

perforasi. Gejala-gejala yang bisa didapatkan adalah adanya nyeri perut

hebat utamanya didaerah kuadran kanan bawah. Tanda yang lain seperti

denyut nadi cepat, tekanan darah turun atau bahkan syok juga bisa
30

ditemukan. Selain itu, pemeriksaan foto polos abdomen juga bisa

menunjang diagnosis jika terjadi perforasi (Bhandari et al., 2020).

c. Komplikasi Hematologi

1) Trombositopenia

Jika proses infeksi sampai menyebabkan berkurangnya

produksi trombosit atau meningkat destruksi trombosit di system

retikuloendotelisl.

2) Koagulasi Intravaskular Diseminata (KID)

Disebutkan bahwa bisa terjadi oleh karena endotoksin aktifkan

system koagulasi dan fibrinolisis.

3) Hepatitis

Didapatkan pada sekitar 50% kasus, bisa pada pasien yang

mengalami malnutrisi dan system imun yang lemah. Hepatitis pada

demam tifoid bisa didapat ada peningkatan dari enzim transaminase

(bisa dengan ikterus ataupun tidak) yang tidak relevan dengan

peningkatan dari serum bilrubin (Untuk bedakan hepatitis akibat

virus).
31

4) Pankrearitis

Penegakan diagnosis bisa dibantu dengan melakukan

pemeriksaan enzim amylase dan enzim lipase, juga dengan CT-Scan

ataupun USG.

5) Miokariditis, endokarditis, perikarditis

Terjadi jika bakteri Salmonella Typhi mencapai jantung dan

menyebabkan kerusakan pada miokardium, endocardium ataupun

pericardium dan pada banyak kasus sering menjadi penyebab

kematian. Pasien biasanya dating tanpa ada keluhan, atau jika ada bisa

berupa sakit dada, gagal jantung kongestif, aritmia syok kardiogenik,

perubahan ST-T pada EKG, nekrosis pada jantung.

6) Pneumonia

Terjadi jika bakteri S. Typhi menetap dan menginfeksi paru.

Pada anamnesis bisa didapat gejala pneumonia atau bisa dilakukan

pemeriksaaan foto toraks.

7) Komplikasi neuropsikiatri

a) Gangguan kesadaran

b) Disorientasi

c) Delirium

d) Psikosis akut
32

e) Stupor

f) Koma

g) Thrombosis serebral

h) Afasia

i) Ataksis serebral akut

j) Mielitis transversal

k) Meningitis

l) Ensefalopati

m) Sindrom Guillain barre (Bhandari et al., 2020).

8) Komplikasi Lain

a) Osteomielitis, arthritis

b) Kanker kandung empedu

c) Pielonefritis, orkhitis

n) Peradangan ditempat lain (Bhandari et al., 2020).

12. Pencegahan Demam Tifoid

a. Memperbaiki ketersediaan air bersih agar bisa dikonsumsi secara luas

oleh semua kalangan dan lapisan masyarakat, baik itu dinegara maju atau

Negara berkembang, di desa ataupun dikota.

b. Menjaga sanitasi atau kebersihan diri, makanan minuman dan juga

lingkungan sekitar. Seperti rajin cuci tangan, mengusahakan membuat WC

dirumah masing-masing dan menjaga kebersihannya.

c. Melakukan vaksinasi tifoid.


33

1) Pada bulan desember 2017 oleh WHO, sebuah vaksin konjugat tifoid

(TCV) yang baru telah diperkualifikasikan untuk digunakan oleh usia

mulai 6 bulan dengan kekebalan yang lebih tahan lama. Dibanding

dengan vaksin unconjugated Vi polisakarida, profil imunogenisitas

TCV dikatakan lebih baik.

2) Melakukan vaksinasi kepadaa para wisatawan yang akan melakukan

perjalanan ke daerah endemic untuk mengurangi resiko penularan

infeksi.

3) 3 jenis vaksin ada di Indonesia, yaitu :

d. Vaksin polisakarida Typhim Vi Aventis Pasteur Marrieux, mengandung

polisakarida Vi dengan daya proteksi 60-70%. Bisa diberikan untuk usia

>5 tahun dan harus dilakukan kembali setiap 3 tahun. Mulai bekerja

setelah 2-3 minggu pemberian, tersedia dalam bentuk suntikan 0,5 ml

yang berisi 25 mikrogram antigen Vi dalam buffer fenol isotonic dan

diberikan secara IM di deltoid.

e. Vaksin oral Ty21 a Vivotif berna, mengandung S. Typhi galur Ty-21a

(bakteri Salmonella Typhi yang dilemahkan) dengan tingkat proteksi di

Indonesia hanya 36-66% dan lama proteksi 6 tahun. Tersedia dalam

bentuk kapsul yang diminum selang sehari dalam 1 minggu, 1 jam

sebelum makan.

f. Vaksin parenteral sel utuh : Typa io Farma, mengandung S.Typhi yang

dimatikan dan terdiri dari 2 jenis yaitu K Vaccine (Acetone in activated)

dan L Vaccine (Heat in activated-Phenol preserved). Tersedia dalam


34

bentuk suntikan dengan dosis yang bisa diberikan untuk dewasa : 0,5 ml,

usia 6-12 tahun : 0,25 ml dan usia 1-5 tahun : 0,1 ml.

13. Penatalaksanaan Demam Tifoid

Terapi Non Farmakologis

Tabel 2.1 Terapi non farmakologis demam tifoid

Non Farmakologis Keterangan

Tirah baring Dilakukan sampai minimal 7 hari


bebas demam atau kurang lebih
sampai 14 hari

Diet lunak rendah serat Asupan serat maksimal 8


gram/hari, menghindari susu,
daging berserat kasar, lemak,
terlalu manis, asam, berbumbu
tajam serta diberikan dalam porsi
kecil.

Menjaga kebersihan Tangan harus dicuci sebelum


menangani makanan, selama
persiapan makan, dan setelah
menggunakan toilet.

Terapi Farmakologis

Tabel 2.2 Terapi antibiotik penyakit demam tifoid kecuali untuk ibu dan ibu

menyusui

Antibiotik Dosis Keterangan

Ciprofloxacin PO 5-7 hari Dewasa 1 Tidak direkomendasikan


(Grouzard, V., Rigal J., gram/ hari dalam 2 pada anak-anak usia
and Sutton M. 2016) dosis terbagi anak- dibawah 15 tahun akan
35

anak : 30 mg/kg/hari tetapi risiko yang


dalam 2 dosis terbagi mengancam jiwa dari
typhoid melebihi risiko
efek samping
(alternative 2, fully
sensitive multidrug
resistant)

Cefixime (Grouzard, V., PO 7 hari Anak-anak Dapat menjadi


Rigal J., and Sutton M. (lebih dari usia 3 bulan) alternative dari
2016). 20 mg/kg/hari dalam 2 Ciprofloxacin bagi anak-
dosis terbagi anak dibawah 15 tahun

Amoksilin (Grouzard, PO 14 hari dewasa : 3 Jika tidak adanya


V., Rigal J., and Sutton gram/ hari dalam 3 resisten (fully sensitive)
M. 2016). dosis terbagi Anak-anak
: 75-100 mg/kg/hari
dalam 3 dosis terbagi

Kloramfenikol PO 10-14 hari Jika tidak adanya


(Rampengan, N.H. (tergantung tingkat resisten (pilihan utama,
2013) keparahan) Anak-anak fully sensitive)
1-12 tahun : 100
mg/kg/hari dalam 3
dosis terbagi >13
tahun : 3 gram/hari
dalam 3 dosis terbagi

Tiamfenikol PO 5-6 hari Efek samping


(Rampengan, N.H. 75mg/kg/hari hematologis pada
2013) penggunaan tiamfenikol
lebih jarang daripada
kloramfenikol
(alternative 1)

Azitromisin (Grouzard, PO6 hari 20mg/kg/hari


V., Rigal J., and Sutton
M. 2016).

Ceftriaxon (Grouzard, IM/IV (3 menit) 10-14 Salmonella typhi dengan


V., Rigal J., and Sutton hari (tergantung tingkat cepat berkembang
M. 2016). keparahan) Dewasa : 2- resisten terhadap
4 gram sehari sekali kuinolon (quinolon
Anak-anak: 75 mg/kg resisten). Pada kasus ini
36

sehari sekali gunakan ceftriaxon.

Tabel 2.3 Terapi antibiotik penyakit demam tifoid untuk ibu dan ibu

menyusui

Antibiotik Dosis Keterangan

Amoksilin (Grouzard, PO 14 hari Dewasa : 3 Jika tidak adanya


V., Rigal J., and Sutton gram/hari dalam 3 resisten
M. 2016). dosis terbagi

Ceftriaxon (Grouzard, IM/IV (3 menit) infuse Jika adanya resisten


V., Rigal J., and Sutton (30 menit) 10-14 namun jika gagal
M. 2016). (tergantung tingkat direkomendasikan
keparahan) Dewasa : ciprofloxacin
2-4 gram/ sehari sekali (umumnya tidak
direkomendasikan
bagi ibu hamil dan
menyusui) PO 5-7 hari
Dewasa: 1 gram/ hari
dalam 2 dosis terbagi
akan tetapi risiko yang
mengancam jiwa dari
typhoid melebihi
risiko efek samping

Pelarut ceftriaxone untuk injeksi IM menggunakan Lidocaine (tidak boleh

diberikan dengan rute IV : untuk pemberian IV menggunakan pelarut air

untuk injeksi.

Tabel 2.4 Terapi kortikosteroid penyakit demam tifoid

Kortikosteroid Dosis Keterangan


37

Dexamethasone IV 2 hari Dosis Pada pasien yang


(Grouzard, V., Rigal awal : 3 mg/kg mengalami tifoid berat
J., and Sutton M. kemudian 1 mg/kg dengan keadaan
2016). setiap 6 jam (halusinasi, perubahan
kesadaran atau
perdarahan usus)

14. Kerangka Konsep

Bagian Kerangka Konsep

Variable independen Variable dependen

Tindakan pencegahan demam


tifoid
Tingkat pengetahuan orangtua
tentang demam tifoid
\
Penatalaksanaan demam
tifoid
Faktor yang mempengaruhi
pengetahuan

1. Pendidikan
2. Informasi / media masa
3. Social, budaya dan ekonomi
4. Lingkungan
5. pengalaman
6. usia

Keterangan :

: variable yang tidak diteliti

: variable yang diteliti

Gambar2.3 Kerangka Konsep

15. Hipotesis Penelitian


38

Hipotesis Penelitian adalah jawaban sementara terhadap pertanyaan-

pertanyaan penelitian. Umumnya pengertian yang banyak digunakan bahwa

hipotesis adalah jawaban sementara penelitian. Jadi secara umum, hipotesis

adalah jawaban sementara yang oleh peneliti tetapkan untuk kemudian dapat

dibuktikan kebenarannya melalui langkah-langkah ilmiah penelitian. Jadi

dalam penelitian ini penulisan mengajukan hipotesis sebagai berikut :

Ho :

1. “Tidak ada hubungan tingkat pengetahuan orangtua tentang demam

tifoid dengan tindakan pencegahan demam tifoid pada anak di

Puskesmas Rarang”

2. “Tidak ada hubungan tingkat pengetahuan orangtua tentang demam

tifoid dengan penatalaksanaan demam tifoid pada anak di Puskesmas

Rarang”

Ha.

1. “Ada hubungan tingkat pengetahuan orangtua tentang demam tifoid

dengan tindakan pencegahan demam tifoid pada anak di Puskesmas

Rarang”

2. “Ada hubungan tingkat pengetahuan orangtua tentang demam tifoid

dengan penatalaksanaan demam tifoid pada anak di Puskesmas

Rarang”
39

Anda mungkin juga menyukai