Anda di halaman 1dari 246

Hubungan Faktor Individu Dengan Kejadian Diare Pada Bayi Usia 6-12 Bulan

Di Wilayah Pedesaan 3 Provinsi Indonesia (Analisis Data SDKI Tahun 2012)

Skripsi

(Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan


Masyarakat)

Oleh :

Nurrizky Wisudawati 1111101000126

Peminatan Epidemiologi 2011

Program Studi Kesehatan Masyarakat

Fakultas Kedokteran Dan Ilmu Kesehatan

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

1438 H/2017

0
i
ii
iii
iv

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
PEMINATAN EPIDEMIOLOGI
Skripsi, 11 Desember 2017

Nurrizky Wisudawati, NIM: 1111101000126


Hubungan Faktor Individu Dengan Kejadian Diare Pada Bayi Usia 6-12
Bulan di Wilayah Pedesaan 3 Provinsi Indonesia (Analisis Data SDKI 2012)
+200 Halaman + 25 Tabel + 7 Bagan + 1 Gambar

ABSTRAK

Latar Belakang: Angka kesakitan diare pada balita berdasarkan Survei Dasar
Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012 mengalami kenaikan dari
13,7% pada tahun 2007 menjadi 14 % pada tahun 2012. Di Indonesia prevalensi
diare pada balita tertinggi terjadi di Provinsi Kalimantan Barat, Gorontalo, dan
Sulawesi Barat. Sebagian besar diare banyak ditemukan pada bayi usia ≥ 6 bulan
yang tinggal di wilayah pedesaan. Faktor individu merupakan salah satu faktor
yang mempengaruhi bayi 6-12 bulan menderita diare hingga menunjukkan gejala-
gejala klinis. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan
faktor individu dengan kejadian diare pada bayi usia 6-12 bulan di wilayah
pedesaan 3 Provinsi Indonesia. Metode: Penelitian ini adalah analisis lanjut dari
SDKI 2012 sehingga desain studi yang digunakan mengikuti SDKI 2012, yaitu
cross sectional. Jumlah sampel dalam penlitian ini sebanyak 108 bayi berusia 6-
12 bulan. Hubungan antara faktor individu dengan kejadian diare dianalisis
menggunakan uji chi-square.
Hasil: Jenis Kelamin [PRR 0.80 95% CI (0.42-1.54)]; MPASI Dini [PRR 0.86
95% CI (0.44-1.66)]; ASI Eksklusif [PRR 1.1 95% CI (0.55-2.10)]; Susu Formula
[PRR 0.57 95% CI (0.29-1.10)]; Vitamin A [PRR 0.71 95% CI (0.36-1.39)]; dan
Vaksinasi campak [PRR 0.83 95% CI (0.32-2.11)] adalah faktor individu yang
tidak berhubungan bermakna dengan kejadian diare pada bayi usia 6-12 bulan di
wilayah Pedesaan 3 Provinsi Indonesia. Simpulan: Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa bayi usia 6-12 bulan dengan diare cenderung dialami oleh
bayi dengan jenis kelamin laki-laki, menerima MPASI dini, dan tidak vaksinasi
campak. Saran: Bagi Kementrian Kesehatan RI diperlukan kebijakan pada upaya
mengkampanyekan Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga

Kata Kunci: Bayi Usia 6-12 bulan, Diare, Pedesaan.


Daftar Bacaan: (1984-2017)
v

STATE ISLAMIC UNIVERSITY SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


FACULITY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCE
PUBLIC HEALTH DEPARTEMENT
SPECIALIZATION OF EPIDEMIOLOGY

Undergraduate Thesis, 11 Desember 2017

Nurrizky Wisudawati,
NIM: 1111101000126

RELATIONSHIP BETWEEN INDIVIDUAL FACTORS AND DIARRHEA


AMONG INFANT 6-12 MONTHS IN RURAL AREAS OF 3 PROVINCES
INDONESIA
+ 243 Pages + 28 Tabels + 7 Chart + 1 Picture

ABSTRAK

Background: The rate morbidity of diarrhea among under-fives based on


Indonesia Demographic and Health Survey (IDHS) 2012 increased from 13.7% in
2007 to 14% in 2012. In Indonesia the highest prevalence of diarrhea among
children under five in West Kalimantan Province, Gorontalo, and West Sulawesi.
Most diarrhea is found among infants aged ≥ 6 months whose living in rural
areas. Individual factors is one of the factors that affect infants 6-12 months
suffering from diarrhea with clinical symptoms. Therefore this study aims to
determine relationship between individual factors and diarrhea among infant 6-12
months in rural areas of 3 Provinces Indonesia. Methods: This study is an
advanced data analysis of IDHS 2012, so that the study design is the same as
IDHS 2012, cross sectional. The number of samples in this study is 108 babies
aged 6-12 months. The relationship between individual factors and diarrhea is
analyzed using a chi-square test. Result: Sex [PRR 0.80 95% CI (0.42-1.54)];
Early Complementary Feeding [PRR 0.86 95% CI (0.44-1.66)]; Exclusive
Breastfeeding [PRR 1.1 95% CI (0.55-2.10)]; Formula Milk [PRR 0.57 95% CI
(0.29-1.10)]; Vitamin A [PRR 0.71 95% CI (0.36-1.39)]; and Measles
Vaccination [PRR 0.83 95% CI (0.32-2.11)] are individual factors that not related
to diarrhea among infants aged 6-12 months in rural areas of 3 Provinces
Indonesia. Conclusion: The results of this study indicate that infants aged 6-12
months with male gender, received early complementary food, and without
measles vaccination have a tendency to have diarrhea. Suggestion: The Ministry
of Health required a policy on efforts to campaign Healthy Indonesia Program
with Family Approach

Keywords: Infant 6-12 Months, Diarrhea, Rural Areas


Reading List: ( 1984-2017)
vi

Daftar Riwayat Hidup

A. Identitas Pribadi

Nama : Nurrizky Wisudawati


Tempat & Tanggal Lahir : Jakarta, 28 Maret 1992
Alamat : Jalan. Purnawarman Kompleks
Griya Mandiri Blok A3 No.19
Pisangan- Ciputat Timur,
Tangerang Selatan
Agama : Islam
No HP : 081314137597
Email : Kiikyy3am@gmail.com

B. Riwayat Pendidikan

2011-2017 : Mahasiswi Peminatan Epidemiologi, Program Studi


Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan, Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta
2007-2010 : SMAN 70, Jakarta Selatan
2004-2007 : SMPN 86, Jakarta Selatan
1998-2004 : SDN 01 Cirendeu, Tangerang Selatan
1996-1998 : TK Dahlia Cirendeu, Tangerang Selatan

C. Pengalaman Organisasi

2005-2006 : Anggota Ekstrakulikuler Palang Merah Remaja (PMR)


SMPN 86, Jakarta Selatan
2008-2009 : Anggota Ekstrakulikuler Bulungan Arsitektur Club (BAC)
SMAN 70 Bulungan, Jakarta Selatan
2007-2010 : Anggota Ekstrakulikuler Rohani Islam (ROHIS) SMAN 70
Bulungan, Jakarta Selatan
2012-2013 : Anggota Divisi Pengembang Ekonomi (PE) Komisariat
Dakwah (KOMDA) FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2013-2014 : Bendahara Komisariat Dakwah (KOMDA) FKIK UIN
vii

Syarif Hidayatullah Jakarta


2013-2014 : Anggota Divisi Pengembang Ekonomi (PE) Epidemiology
Student Association (ESA)
2014-2015 : Anggota Divisi Keputrian Lembaga Dakwah Kampus
(LDK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2015-2016 : Ketua Tim Kajian Komunitas Online One Day Half Juz
(ODALF) Fasil 3.

D. Pengalaman Kerja

2012-2013 : Guru Private Sekolah Dasar (SD) Bimbingan Belajar


Gemilang
2013-2014 : Survei Cepat Epidemiologi di Kelurahan Pondok Cabe Udik
2013-2014 : Pengalaman Belajar Lapangan (PBL) I
2013-2014 : Pengalaman Belajar Lapangan (PBL) II
2014 : Orientasi Kerja (OK) di Rumah Sakit Umum Daerah
(RSUD) Kota Depok
2014-2015 : Magang di Puskesmas Rangkapan Jaya Baru (RJB) Kota
Depok
2017 : Guru Bimbingan Belajar Al-Barokah
viii

Kata Pengantar

Assalamu‟alaikum. Wr. Wb.

Alhamdulillah, puji syukur kehadirat ALLAH SWT yang Maha Pengasih lagi

Maha Penyayang, atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis

dapat menyelesaikan proposal penelitian ini. Shalawat serta salam selalu

tercurahkan pada junjungan nabi besar Muhammad SAW yang merupakan suri

tauladan bagi umatnya sepanjang masa.

Proposal penelitian yang berjudul “Hubungan Faktor Individu dengan

Kejadian Diare Pada Bayi Usia 6-12 Bulan Di Wilayah 3 Provinsi Pedesaan

Indonesia (Analisis Data SDKI Tahun 2012)” ini disusun dalam rangka memenuhi

salah satu kompentensi mahasiswa Program Studi Kesehatan Masyarakat semester VIII.

Proposal penelitian ini dibuat untuk menjelasakan secara ilmiah mengenai hubungan faktor

individu dengan kejadian diare pada bayi usia 6-12 bulan di wilayah pedesaan Indonesia.

Diharapakan kedepannya dapat dijadikan bahan evaluasi dalam intervensi pencegahan

penyakit diare pada bayi usia 6-12 bulan dari aspek individunya.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada :

1. ALLAH SWT Tuhan Yang Maha Esa, yang memberikan anugrah, rahmat dan

karunia-Nya yang tak terhingga kepada peneliti.

2. Bapak dan Ibu, yang selalu memberikan kasih sayang, semangat dan doa pada

penulis di setiap waktunya.

3. Ibu Ratri Ciptaningtyas, MHS; Ibu Hanun Siregar, M.Kes, Ibu Hoirun Nisa,

Ph.D dan Ibu Narila Mutia Nasir, Ph.D selaku dosen pembimbing skripsi yang
ix

telah sabar dan penuh kasih sayang dalam memberikan arahan serta

bimbingannya.

4. Semua pihak terkait lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu,

terimakasih atas bantuan dan dukungannya.

Penulis menyadari bahwa proposal penelitian ini masih sangat jauh dari

sempurna. Oleh karena itu, penulis megharapkan kritik dan saran yang

membangun agar dimasa mendatang penulis dapat menyusun proposal yang lebih

baik lagi. Semoga dengan disusunnya proposal ini akan memberikan manfaat bagi

banyak pihak, khusunya bagi penulis sendiri dan pembaca.

Wassalamu‟alaikum Wr.Wb.

Jakarta, 24 November 2017

Nurrizky Wisudawati
x

Daftar Isi

ABSTRAK ............................................................................................................. iv

Daftar Riwayat Hidup ............................................................................................ vi

Kata Pengantar ..................................................................................................... viii

Daftar Isi.................................................................................................................. x

Daftar Tabel .......................................................................................................... xii

Daftar Bagan ........................................................................................................ xiv

Daftar Gambar ....................................................................................................... xv

Daftar Singkatan................................................................................................... xvi

Bab I Pendahuluan ................................................................................................. 1

A. Latar Belakang ............................................................................................. 1


B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 9
C. Pertanyaan Penelitian ................................................................................. 10
D. Tujuan Penelitian ....................................................................................... 10
1. Tujuan Umum ....................................................................................... 10
2. Tujuan Khusus ...................................................................................... 10
E. Manfaat Penelitian ..................................................................................... 11
F. Ruang Lingkup ........................................................................................... 14
BAB II Tinjauan Pustaka ..................................................................................... 12

A. Diare Bayi .................................................................................................. 12


1. Pengertian ............................................................................................. 12
2. Klasifikasi ............................................................................................. 12
3. Gejala .................................................................................................... 15
4. Etiologi ................................................................................................. 16
5. Cara Penularan ...................................................................................... 19
6. Masa Inkubasi ....................................................................................... 22
7. Patogenesis dan Patofisiologi ............................................................... 22
8. Dampak ................................................................................................. 29
xi

B. Epidemiologi Diare Bayi............................................................................ 31


C. Faktor Risiko Diare pada Bayi ................................................................... 33
D. Kerangka Teori........................................................................................... 94
Bab III Kerangka Konsep..................................................................................... 96

A. Kerangka Konsep ....................................................................................... 96


B. Definisi Operasional................................................................................. 101
C. Uji Hipotesis ............................................................................................ 103
Bab IV Metodologi Penelitian ........................................................................... 104

A. Desain Penelitian ...................................................................................... 104


B. Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................................... 104
C. Populasi dan Sampel Penelitian ............................................................... 105
D. Instrumen penelitian ................................................................................. 113
E. Pengumpulan Data ................................................................................... 116
F. Kualitas Data SDKI 2012......................................................................... 116
G. Pengolahan Data....................................................................................... 122
H. Analisis Data ............................................................................................ 124
1. Analisis Univariat ............................................................................... 124
2. Analisis Bivariat ................................................................................. 124
BAB V Hasil ....................................................................................................... 127

Bab VI Pembahasan ........................................................................................... 141

Bab VII Penutup ................................................................................................. 172

Daftar Pustaka ..................................................................................................... 176

Lampiran 1 .......................................................................................................... 192

Lampiran 2 .......................................................................................................... 193

Lampiran 3 .......................................................................................................... 203


xii

Daftar Tabel

Tabel 2. 1 Klasifikasi Tanda-Tanda Diare ............................................................ 15

Tabel 2. 2 Jenis Diare Berdasarkan Penyebab Infeksi Patogen ............................ 18

Tabel 2. 3 Masa Inkubasi Patogen Penyebab Diare .............................................. 22

Tabel 2. 4 Perbandingan ASI dan Susu Formula .................................................. 46

Tabel 2. 5 Jarak Minimum Sumur dari Sumber Pencemar Potensial ................... 77

Tabel 2. 6 Standar Persyaratan Kualitas Air Minum Sehat .................................. 79

Tabel 2. 7 Standar Persyaratan Kualitas Air Bersih Sehat ................................... 80

Tabel 3. 1 Definisi Operasional .......................................................................... 101

Tabel 4. 1 Klasifikasi Perkotaan Dan Pedesaan Di Indonesia ............................ 106

Tabel 4. 2 Jumlah Rumah Tangga yang Dikunjungi dan WUS yang Diwawancarai

............................................................................................................ 108

Tabel 4. 3 Jumlah Sampel untuk Setiap Variabel ............................................... 113

Tabel 4. 4 Daftar Variabel dan Pengukurannya .................................................. 114

Tabel 4. 5 Kualitas Data SDKI 2012 Yang Diteliti ............................................ 122

Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Bayi Usia 6-12 Bulan Berdasarkan Kejadian Diare
Di Wilayah Pedesaan 3 Provinsi Indonesia Tahun 2012 ................................... 127

Tabel 5 2 Distribusi Frekuensi Bayi Usia 6-12 Bulan dengan Diare Berdasarkan
Diagnosis Fasyankes Di Wilayah Pedesaan 3 Provinsi Indonesia Tahun 2012 . 128

Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Bayi Usia 6-12 Bulan Berdasarkan Jenis Kelamin
Di Wilayah Pedesaan 3 Provinsi Indonesia Tahun 2012 .................................... 129
xiii

Tabel 5. 4 Distribusi Frekuensi Bayi Usia 6-12 Bulan Berdasarkan Pemberian


ASI Eksklusif Di Wilayah Pedesaan 3 Provinsi Indonesia Tahun 2012 ........... 130

Tabel 5.5 Distribusi Frekuensi Bayi Usia 6-12 Bulan Berdasarkan Pemberian
Susu Formula Di Wilayah Pedesaan 3 Provinsi Indonesia Tahun 2012 ............ 132

Tabel 5.6 Distribusi Frekuensi Bayi Usia 6-12 Bulan Berdasarkan Pemberian
Vitamin A Di Wilayah Pedesaan 3 Provinsi Indonesia Tahun 2012 .................. 133

Tabel 5.7 Distribusi Frekuensi Bayi Usia 9-12 Bulan Berdasarkan Pemberian
Vaksinasi Campak Di Wilayah Pedesaan 3 Provinsi Indonesia Tahun 2012 ..... 134

Tabel 5. 8 Hubungan Jenis Kelamin Dengan Diare Pada Bayi Usia 6-12 Bulan Di
Wilayah Pedesaan 3 Provinsi Indonesia Tahun 2012 ........................................ 135

Tabel 5. 9 Hubungan Pemberian MPASI Dini Dengan Diare Pada Bayi Usia 6-12
Bulan Di Wilayah Pedesaan 3 Provinsi Indonesia Tahun 2012 .......................... 136

Tabel 5.10 Hubungan Pemberian ASI Eksklusif Dengan Diare Pada Bayi Usia 6-
12 Bulan Di Wilayah Pedesaan 3 Provinsi Indonesia Tahun 2012 ..................... 137

Tabel 5.11 Hubungan Pemberian Susu Formula Dengan Diare Pada Bayi Usia 6-
12 Bulan Di Wilayah Pedesaan 3 Provinsi Indonesia Tahun 2012 ..................... 138

Tabel 5.12 Hubungan Pemberian Vitamin A Dengan Diare Pada Bayi Usia 6-12
Bulan Di Wilayah Pedesaan 3 Provinsi Indonesia Tahun 2012 .......................... 139

Tabel 5.13 Hubungan Pemberian Vaksinasi Campak Dengan Diare Pada Bayi
Usia 9-12 Bulan Di Wilayah Pedesaan 3 Provinsi Indonesia Tahun 2012 ......... 140
xiv

Daftar Bagan

Bagan 2. 1 Penyebab Diare ................................................................................... 17

Bagan 2. 2 Patogenesis Diare ................................................................................ 23

Bagan 2. 3 Patogenesis Diare Persisten (Kronis) .................................................. 25

Bagan 2. 4 Kerangka Teori ................................................................................... 95

Bagan 3. 1 Kerangka Konsep ................................................................................ 96

Bagan 4. 1 Alur Pemilihan Sampel ..................................................................... 110


xv

Daftar Gambar

Gambar 2. 1 Transmisi Melalui Anus Dan Mulut................................................. 20


xvi

Daftar Singkatan

SDKI : Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia

IDHS : Indonesia Demographic Helath Survey

SEAR : South East Asia Region

GAPPD : Global Action Plan for the Prevention and Control of Pneumonia

and Diarrhea

KLB : Kejadian Luar Biasa

CFR : Case Fatality Rate

KEP : Kurang Energi Protein

ISPA : Infeksi Saluran Pernafasan Akut

4f : finger,flies, fluid, field

Vipoma : vasoaktive intestinal peptide

ASI : Air Susu Ibu

SigA : Secretory Imunnoglobulin A

MPASI : Makanan Pendamping ASI

FAO : Food and Agriculture Oganization

FDA : Food And Drug Administration

DHA : docohexanoic acid

RHA : arachidonix
xvii

USDA : United State Departement of Agriculture

BPS : Badan Pusat Statistik

BKKBN : Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional

Kemenkes : Kementerian Kesehatan

USAID : U.S. Agency For International Development

TK : Taman Kanak-Kanak

SMP : Sekolah Menengah Pertama

SMU : Sekolah Menengah Umum

PSU : Primary Sampling Unit

WUS : Wanita Usia Subur

IMD : Inisiasi Menyusui Dini

CI : Confidence Interval

SAB : Sarana Air Bersih

SPAL : Saluran Pembuangan Air Limbah

Riskesdas : Riset kesehatan dasar

PRR : Prevalence Relative Risk

BABS : Buang Air Besar Sembarangan

ODF : Open Defecation Free


Bab I
Pendahuluan

A. Latar Belakang

Diare merupakan salah satu masalah kesehatan global dengan

angka kesakitan dan kematian yang tinggi terutama pada kelompok balita.

Setiap tahun sekitar 2,5 milyar kasus diare terjadi pada balita. Selama

hampir dua dekade kejadian diare pada balita tetap relatif stabil. Sebanyak

760.000 balita meninggal karena diare setiap tahunnya. Pada tahun 2012

angka kematian balita akibat diare sebesar 15%. World Health Statistic

menunjukkan di tahun 2012 balita yang mengalami kematian akibat diare

tersebut berturut-turut banyak terjadi di wilayah Afrika (10%), Amerika

(4%), Asia Tenggara (10%), Eropa (4%), Mediterania Timur (10%), dan

Pasifik Barat (5%) (UNICEF, 2010; 2012 dan WHO, 2010; 2013; 2014).

Pada tahun 2012 diantara sebelas negara yang termasuk dalam

WHO South East Asia Region (SEAR) terdapat lima negara dengan

distribusi kematian balita tertinggi karena diare. Negara di urutan pertama

adalah India (11%). Selanjutnya urutan kedua adalah Timor-Leste (9%).

Urutan ketiga dan keempat adalah Bhutan (8%) dan Myanmar (7%).

Kemudian Indonesia (6%) di urutan kelima (WHO, 2014).

Di Indonesia, penyakit diare adalah penyakit endemis. Indonesia

menjadi satu-satunya negara dari kawasan Asia Tenggara yang termasuk

kedalam 15 negara yang menyumbang 75% angka kematian akibat diare

1
2

pada balita di dunia. Indonesia bersama keempat belas negara lainnya

menjadi perhatian utama dalam Global Action Plan for the Prevention and

Control of Pneumonia and Diarrhea (GAPPD) yang dilakukan oleh WHO

dan UNICEF. Di Indonesia penyakit diare juga merupakan penyakit

berpotensial Kejadian Luar Biasa (KLB) yang sering ditandai dengan

kematian. Hasil survei mordibitas diare didapatkan bahwa angka kesakitan

diare pada balita selama tahun 2000-2010 tidak menunjukkan pola

kenaikan maupun pola penurunan (berfluktuasi). Proporsi terbesar

penderita diare berada pada bayi usia 6-11 bulan, yaitu sebesar 21,65%

(IVAC, 2014; Anthony dan Mullerbeck, 2013; Kemenkes RI, 2011d,

2013a).

KLB diare masih terjadi dengan Case Fatality Rate (CFR) yang

tinggi. Pada tahun 2008 terjadi KLB diare di 69 Kecamatan dengan

jumlah kasus 8133 orang, kematian 239 orang (CFR 2,94%). Tahun 2009

terjadi KLB diare di 24 Kecamatan dengan jumlah kasus 5.756 orang,

dengan kematian 100 orang (CFR 1,74%), sedangkan tahun 2010 terjadi

KLB diare di 33 kecamatan dengan jumlah penderita 4.204 dengan

kematian 73 orang (CFR 1,74 %). Pada tahun 2011 terjadi penurunan

CFR sebanyak 1,34% menjadi 0,4%. Kemudian CFR diare mengalami

peningkatan kembali menjadi 1,45% pada tahun 2012.

Kondisi tersebut memperlihatkan bahwa dari tahun ke tahun diare

masih menjadi penyebab utama kematian dimana sebagian besar dialami

oleh kelompok balita. Sementara salah satu langkah dalam pencapaian


3

target MDG‟s (Goal ke-4) adalah menurunkan kematian anak menjadi

2/3 bagian dari tahun 1990 sampai pada 2015. Maka dari itu dengan

meningkatnya CFR diare pada tahun 2012 menunjukkan bahwa diare

masih menjadi masalah kesehatan masyarakat terutama pada kelompok

balita (Kemenkes RI, 2011b; 2013a)

Hasil Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun

2012 menunjukkan 14% balita usia 0-59 bulan mengalami diare dalam

waktu 2 minggu sebelum survei. Angka tersebut 0,3 % lebih tinggi dari

hasil temuan SDKI tahun 2007 (13.7%). Adapun tiga provinsi di

Indonesia dengan prevalensi diare tertinggi pada balita terdapat di

Provinsi Kalimantan Barat (24%), Gorontalo (20.8%) dan Sulawesi Barat

(19.9%) . Balita dengan diare diwilayah-wilayah tersebut lebih banyak

dialami pada kelompok bayi usia diatas 6 bulan dan bertempat tinggal di

daerah pedesaan (ICF, 2013; Kemenkes RI, 2013b).

Berdasarkan hasil SDKI tahun 2002, 2007 dan 2012 tren

prevalensi diare pada balita di tiga provinsi tersebut cenderung

mengalami peningkatan. Di Provinsi Kalimantan Barat prevalensi diare

pada SDKI 2002 sebesar 8.3% menjadi 15.2% pada SDKI 2007 dan

meningkat menjadi 24% pada SDKI 2012. Kemudian di Provinsi

Gorontalo dari 12.2% menjadi 16.7% dan meningkat menjadi 20.8%.

Pada tahun 2002 belum ada data terkait prevalensi diare pada balita di

Provinsi Sulawesi Barat. Hal ini karena Provinsi Sulawesi Barat masih

menjadi bagian dari Provinsi Sulawesi Selatan dan belum menjadi


4

Provinsi tersendiri. Selanjutnya di Provinsi Sulawesi Barat pada SDKI

2007 dari 22.2% menurun menjadi 19.9% pada SDKI 2012 (ORC, 2003;

Macro, 2008; ICF, 2013).

Kemudian sebagai pembanding besaran masalah diare pada

kelompok bayi di wilayah pedesaan provinsi Kalimantan Barat,

Gorontalo dan Sulawesi Barat berdasarkan data SDKI 2012 digunakan

juga data berdasarkan hasil survey lainnya. Hasil riset kesehatan dasar

(Riskesdas) tahun 2013 menunjukkan penurunan angka periode

prevalensi diare dari 9% pada tahun 2007 menjadi 3.5 % tahun 2013.

Berdasarkan karakteristik penduduk, kelompok usia balita adalah

kelompok usia yang paling tinggi menderita diare.

Insiden diare pada kelompok balita adalah 6.7 %. Lima provinsi

dengan Insiden diare tertinggi pada kelompok balita terjadi di Aceh

(10.2%), Papua (9.6%), DKI Jakarta (8.9%), Sulawesi Selatan (8.1%)

dan Banten (8%). Adapun insiden diare pada balita di Provinsi

Kalimantan Barat, Gorontalo dan Sulawesi Barat, masing-masing sebesar

4.4%, 5.9% dan 7.2% . Karakteristik diare balita tertinggi terjadi pada

kelompok usia 12-23 bulan (7.6%), laki-laki (5.5%) dan tinggal di daerah

pedesaan (5.3%) (Kemenkes RI, 2013c).

Lainnya menurut Profil Kesehatan Indonesian tahun 2016

diketahui bahwa terdapat 173 kasus diare pada tahun 2016, dimana

jumlah penderita 198 orang dan kematian 6 orang (CFR 3,04 %). Pada

tahun 2016 CFR diare meningkat menjadi 3,04% dari tahun 2011 (0.40
5

%). Pada tahun 2016 terjadi 3 kali KLB diare yang tersebar di 3 provinsi

dan 3 kabupaten, yaitu NTT Kabupaten/Kota Kupang kasus 107

kematian 3 (CFR 2.8%), Jawa Tengah Kabupaten/Kota Purworejo kasus

56 kematian 3 (CFR 5.36%), Sumatera Utara Kabupaten/Kota Binjai

kasus 35 kematian 0 (CFR 0%). Insidensi diare di fasilitas kesehatan

pada tahun 2016 sebanyak 6.897.463 orang. Sementara insidensi diare di

fasilitas kesehatan di Provinsi Kalimantan Barat (129.319 kasus),

Gorontalo (30.596 kasus), dan Sulawesi Barat (34.619 kasus) (Kemenkes

RI, 2017).

Masalah diare pada balita harus ditangani dengan tepat. Bila

tidak diatasi dengan tepat akan menyababkan kekurangan cairan

(dehidrasi). Dehidrasi dapat menyebabkan penurunan berat badan balita

apabila tidak diberikan makan dan minum. Kekurangan asupan makan

dan minum akan membuat balita mengalami malnutrisi. Akibat lainnya

yang ditimbulkan adalah balita berisiko mengalami penyakit infeksi lain,

kerusakan usus halus, diare lebih akut dan persisten, malnutrisi berat dan

gangguan pertumbuhan dan kognitif. Bagi balita dengan malnutrisi berat

(marasmus atau kwashiokor) atau HIV/AIDS diare dapat memperburuk

kondisi mereka. Balita yang mengalami diare berkepanjangan atau

disertai komplikasi penyakit lain dapat mengalami kematian (CDC, 2012;

WHO, 2010; Adisasmito, 2007).

Faktor individu bayi adalah faktor yang paling menentukan kuat

dan lemahnya daya tahan tubuh seorang bayi dalam melawan timbulnya
6

diare. Faktor individu juga merupakan salah satu faktor yang

mempengaruhi bayi menderita diare hingga menunjukkan gejala-gejala

klinis (Adisasmito, 2007; Hung, 2006; Zwane dan Kremer, 2007). Faktor

individu dalam kaitannya dengan diare pada bayi dan balita dengan

menggunakan data SDKI 2012 pernah diteliti sebelumnya oleh Ade

(2015) dan Susanti dan Sunarsih (2016).

Ade (2015) dari Universitas Andalas melakukan analisis lanjutan

dengan data SDKI 2012 terkait kejadian diare. Populasi yang diteliti

adalah bayi usia 6 bulan di seluruh Indonesia. Ade meneliti faktor

individu bayi dalam hubungannya dengan kejadian diare yang dilihat dari

varibel pemberian ASI eksklusif. Lainnya Ade meneliti faktor

sosiodemografi ibu bayi yang dilihat dari varibel pendidikan, tempat

tinggal dan pekerjaan ibu.

Susanti dan Sunarsih (2016) juga melakukan analisis lanjutan

dengan data SDKI 2012 terkait kejadian diare pada seluruh balita usia 0-

59 bulan di Indonesia yang berjumlah 14.752 balita. Faktor individu

balita yang diteliti oleh Susanti dkk adalah jenis kelamin balita.

Kemudian lainnya Susanti dan Sunarsih meneliti faktor sosiodemografi

ibu balita dan faktor lingkungan. Pada penelitian ini yang membedakan

dengan penelitian Ade (2015) dan Susanti dan Sunarsih (2016) adalah

faktor individu yang akan diteliti lebih banyak. Faktor individu yang

mempengaruhi daya tahan tubuh bayi terhadap penyakit diare

diantaranya adalah jenis kelamin; MPASI dini; pemberian ASI eksklusif;


7

pemberian susu formula; pemberian vitamin A dan vaksinasi campak

(Adisasmito, 2007; Hung, 2006; Zwane dan Kremer, 2007).

Penelitian Siziya dkk (2013) di Sudan menunjukkan bahwa jenis

kelamin berhubungan dengan kejadian diare pada balita dimana prevalensi

tertinggi pada usia 6-24 bulan yang tinggal di wilayah pedesaan. Namun

penelitian Paramanik dkk (2015) dan Stanly dkk (2009) menunjukkan

bahwa jenis kelamin tidak berhubungan dengan kejadian diare pada balita

yang sebagian besar berada pada kisaran usia 0-11 dan 7-12 bulan di

wilayah pedesaan. Penelitian Maharani (2016) di wilayah pedesaan

Kecamatan Dampal yang menyatakan bahwa bayi usia 0-12 bulan yang

diberikan MPASI dini berpeluang 7,8 kali mengalami diare. Sedangkan

penelitian Ernawati dkk (2013) di pedesaan Grabag Kabupaten Magelang

memperlihatkan hubungan yang tidak bermakna antara pemberian MPASI

dini dengan kejadian diare pada bayi usia < 6 bulan.

Kemudian penelitian di pedesaan wilayah kerja Puskesmas

Galesong Utara Provinsi Sulawesi Selatan (Mohamad dkk, 2014).

memperlihatkan hubungan yang signifikan antara pemberian ASI

eksklusif dengan kejadian diare pada bayi 0-11 bulan. Sebaliknya

penelitian di Desa Banguntapan Provinsi Yogyakarta memperlihatkan

hubungan yang tidak signifkan antara pemberian ASI eksklusif dengan

diare bayi usia 7-12 bulan (Aminatun, 2015).

Penelitian Aningsih (2010) dan Estiana dkk (2014) di Provinsi

Kalimantan Selatan memperlihatkan salah satu jenis MPASI yaitu


8

pemberian susu formula berhubungan dengan kejadian diare pada balita

usia 0-24 bulan dan bayi usia 1-12 bulan. Berbeda dengan hasil

penelitian yang dilakukan Mauliku dkk (2008) di Desa Batujajar Provinsi

Bandung Barat bahwa pemberian susu formula tidak berhubungan

dengan kejadian diare pada bayi usia 6-12 bulan. Kemudian penelitian

Arnisam (2013) di Desa Tunong Meunasah Provinsi Aceh didapatkan

hasil bahwa balita yang mengalami diare diketahui tidak memiliki

hubungan yang bermakna dengan defisiensi vitamin A.

Sementara penelitian Umamaheswari dkk (2010) dan Tielsch

dkk (2007) juga menunjukkan bahwa bayi yang mengalami diare

diketahui memiliki hubungan yang bermakna dengan defisiensi vitamin

A. Selanjutnya penelitian Azage dkk (2016) menyatakan tidak ada

hubungan antara status vaksinasi campak dengan kejadian diare yang

banyak dialami oleh balita di wilayah pedesaan Etiopia. Sedangkan

penelitian Kurniawati dan Martini (2016) menghasilkan hubungan antara

status vaksinasi campak dengan kejadian diare akut diantara balita usia

12-59 bulan .

Melihat beberapa hasil penelitian diatas bahwa terdapat

kontradiksi antara hubungan faktor individu dengan kejadian diare pada

bayi di daerah pedesaan. Adapun penelitian terkait hubungan faktor

individu dengan kejadian diare pada bayi usia 6-12 bulan di wilayah

pedesaan 3 Provinsi Indonesia belum banyak dilakukan. Selain itu

populasi dan sampel SDKI 2012 mewakili seluruh masyarakat di


9

Indonesia sehingga dapat mendeskripsikan kejadian diare pada bayi usia

6-12 bulan di wilayah pedesaan 3 Provinsi Indonesia. Oleh karena itu

dengan tersedianya data terkait diare pada bayi usia 6-12 bulan dalam

SDKI Tahun 2012 maka penelitian tentang hubungan faktor individu

dengan kejadian diare pada bayi usia 6-12 bulan di wilayah pedesaan 3

Provinsi Indonesia dengan menganalisis data SDKI Tahun 2012 penting

untuk dilakukan.

B. Rumusan Masalah

Diare masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di beberapa

negara berkembang di dunia. Indonesia merupakan salah satu negara

berkembang dengan prevalensi diare pada balita mengalami kenaikan dari

13,7% pada tahun 2007 menjadi 14 % pada tahun 2012. Di Indonesia

prevalensi diare pada balita tertinggi terjadi di 3 Provinsi, yaitu Provinsi

Kalimantan Barat, Gorontalo, dan Sulawesi Barat. Sebagian besar diare

banyak ditemukan pada bayi usia ≥ 6 bulan yang bertempat tinggal di

wilayah pedesaan (15,4%). Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi

bayi mengalami diare hingga menimbulkan gejala-gejala klinis diare

adalah faktor individu. Oleh karena itu, penelitian tentang hubungan faktor

individu dengan kejadian diare pada bayi usia 6-12 bulan di wilayah

pedesaan 3 Provinsi Indonesia penting untuk dilakukan.


10

C. Pertanyaan Penelitian

1) Bagaimanakah distribusi kejadian diare pada bayi usia 6-12 bulan di

wilayah pedesaan 3 Provinsi Indonesia pada tahun 2012?

2) Bagaimanakah distribusi frekuensi faktor individu (jenis kelamin;

MPASI dini; pemberian ASI eksklusif; pemberian susu formula;

pemberian vitamin A dan vaksinasi campak) pada bayi usia 6-12 bulan

di wilayah pedesaan 3 Provinsi Indonesia tahun 2012?

3) Apakah terdapat hubungan antara faktor individu (jenis kelamin;

MPASI dini; pemberian ASI eksklusif; pemberian susu formula;

pemberian vitamin A dan vaksinasi campak) dengan kejadian diare

pada bayi usia 6-12 bulan di wilayah pedesaan 3 Provinsi Indonesia

tahun 2012?

D. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Diketahuinya hubungan faktor individu dengan kejadian diare pada

bayi usia 6-12 bulan di wilayah pedesaan 3 Provinsi Indonesia

berdasarkan data SDKI tahun 2012.

2. Tujuan Khusus

1) Diketahuinya distribusi kejadian diare pada bayi usia 6-12 bulan di

wilayah pedesaan 3 Provinsi Indonesia tahun 2012.


11

2) Diketahuinya distribusi frekuensi faktor individu (jenis kelamin;

MPASI dini; pemberian ASI eksklusif; pemberian susu formula;

pemberian vitamin A dan vaksinasi campak) pada bayi usia 6-12

bulan di wilayah pedesaan 3 Provinsi Indonesia tahun 2012.

3) Diketahuinya hubungan antara faktor individu (jenis kelamin;

MPASI dini; pemberian ASI eksklusif; pemberian susu formula;

pemberian vitamin A dan vaksinasi campak) dengan kejadian diare

pada bayi usia 6-12 bulan di wilayah pedesaan 3 Provinsi Indonesia

tahun 2012.

E. Manfaat Penelitian

Berikut adalah berbagai manfaat dari penelitian ini :

1. Bagi Kementrian Kesehatan RI

Bagi Kementrian Kesehatan RI hasil penelitian ini diharapkan dapat

menjadi masukan untuk menentukan kebijakan kesehatan dalam

perencanaan, pembuatan, perbaikan ataupun pengintergasian program

Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) dalam mencegah kejadian diare pada

bayi di seluruh wilayah pedesaan Indonesia. Selain itu juga diharapkan

dapat menjadi masukan untuk meningkatkan perannya dalam

penyelenggaraaan kebijakan kesehatannya yang menjadi kewenangan

daerah.
12

2. Bagi Penyelenggara SDKI

Bagi penyelenggara SDKI hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi

masukan dan pertimbangan untuk menyempurnakan pelaksanaan SDKI

pada tahun yang akan datang, khususnya yang berhubungan dengan

masalah Diare pada bayi di wilayah pedesaan Indonesia.

3. Bagi Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota di 3 Provinsi Indonesia

Bagi Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota di wilayah Provinsi Kalimantan

Barat, Gorontalo, dan Sulawesi Barat di harapkan hasil penelitian ini

dapat menjadi bahan masukan untuk meningkatkan perannya dalam

upaya pencegahan dan pengendalian kejadian diare pada bayi di

wilayah pedesaan, sehingga dapat menurunkan angka kesakitan diare

pada bayi.

4. Bagi Puskesmas Bagi Puskesmas di Wilayah Pedesaan 3 Provinsi

Indonesia.

Bagi Puskesmas di wilayah pedesaan Provinsi Kalimantan Barat,

Gorontalo, dan Sulawesi Barat di harapkan hasil penelitian ini dapat

menjadi bahan masukan untuk meningkatkan perannya dalam

meningkatkan kesehatan masyarakat, khususnya dalam upaya

pencegahan dan pengendalian kejadian diare pada bayi.

5. Bagi Institusi Pendidikan dan Peneliti Selanjutnya


13

a. Bagi UIN Syarif Hidayatullah, penelitian ini dapat dijadikan sebagai

sumber bacaan dan kajian pustaka untuk melakukan penelitian

selanjutnya terkait hubungan faktor individu dengan kejadian diare

menggunakan data SDKI atau data primer pada masa yang akan

datang.

b. Bagi peneliti selanjutnya hasil penelitian ini diharapkan dapat

menjadi refrensi untuk dasar pengembangan dan pembanding

penelitian analisis lebih lanjut terkait hubungan faktor individu

dengan kejadian diare menggunakan data SDKI atau data primer

pada masa yang akan datang.

6. Bagi Masyarakat

Bagi masyarakat Indonesia penelitian ini diharapkan dapat menjadi

sumber informasi untuk memperkaya pengetahuan mengenai masalah

diare pada bayi, dan faktor risikonya dari segi individu bayi. Kedepan

dengan informasi yang didapat tersebut, diharapkan masyarakat

Indonesia khususnya masyarakat di wilayah pedesaan Provinsi

Kalimantan Barat, Gorontalo, dan Sulawesi Barat dapat lebih

menyadari akan pentingnya meningkatkan kesehatan individu bayinya

serta mampu mencegah dan menanggulangi masalah diare pada bayinya

maupun pada lingkup komunitas yang ada di masyarakat.


14

F. Ruang Lingkup

Penelitian ini merupakan penelitian epidemiologi analitik dengan

desain cross sectional. Penelitian ini dilakukan oleh Mahasiswi

Epidemiologi Program Studi Kesehatan Masyarakat FKIK UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta. Penelitian ini dilakukan karena untuk mengetahui

hubungan faktor individu dengan kejadian diare pada bayi usia 6-12

bulan di wilayah pedesaan 3 Provinsi Indonesia berdasarkan data SDKI

tahun 2012. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari - Oktober tahun

2017 di Ciputat, Kota Tangerang Selatan. Analisis data SDKI tahun 2012

dilakukan dengan software pengolah data. Analisis yang digunakan

adalah analisis univariat dan bivariat. Pada penelitian ini jumlah sampel

yang akan dianalisis sebanyak 108 bayi berusia 6-12 bulan.


BAB II
Tinjauan Pustaka

A. Diare Bayi

1. Pengertian

Diare adalah suatu kondisi dimana seseorang buang air dimana

frekuensinya melebihi normal yaitu lebih sering (biasanya tiga kali atau

lebih dalam satu hari) yang disertai perubahan konsistensi tinja menjadi

lembek atau cair, bahkan dapat berupa air saja dengan atau tanpa darah

dan atau lendir. Diare menyebabkan penderitanya kehilangan cairan

atau elektrolit. Diare terjadi karena adanya gejala infeksi pada saluran

pecernaan terutama pada bagian usus kecil dan besar yang

menyebabkan ketidakseimbangan dalam proses penyerapan ion, air dan

substrak organik. Pada penderita diare kadar air dalam tinjanya diatas

normal yaitu sekitar 10 ml/kg pada bayi, balita dan anak-anak (WHO,

2016; Kemenkes RI, 2011a; Guandalini dkk, 2015)

2. Klasifikasi

Berikut adalah kalsifikasi diare berdasarkan gejalanya, ada atau

tidaknya infeksi gastroenteris (diare dan muntah), organ yang terkena

infeksi, dan derajat dehidrasi (WHO, 2010; Nisa, 2007; Kemenkes RI,

2002, 2011a) :

a. Berdasarkan Gejalanya

Jenis diare berdasarkan gejalanya dibedakan kedalam empat

kelompok, yaitu :

12
13

1) Diare akut, termasuk kolera adalah suatu kondisi buang air

besar lembek/cair bahkan dapat berupa cairan saja yang

membuat kehilangan cairan (dehidrasi) yang signifikan dan

cepat pada individu yang terinfeksi. Biasanya berlangsung

selama beberapa jam atau kurang dari 14 hari.

2) Diare berdarah atau yang disebut juga dengan disentri, adalah

buang air besar yang melebihi normal disertai dengan darah

dan tanpa lendir karena terjadinya kerusakan usus dan

kekurangan nutrisi pada individu yang terinfeksi.

3) Diare kronik (persisten) adalah diare akut yang berlanjut

sampai selama 14 hari atau lebih. Faktor risiko berlanjutnya

diare akut menjadi diare persisten adalah : usia bayi kurang

dari 4 bulan; tidak mendapat ASI; kekurangan gizi; Kurang

Energi Protein (KEP); diare akut dengan etiologi bakteri

invasif; tatalaksana diare akut yang tidak tepat, dapat terjadi

karena pemakaian antibiotik yang tidak rasional dan pemusaan

penderita; dan AIDS.

4) Diare dengan masalah lain adalah diare yang disertai dengan

penyakit lain, seperti Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA),

campak, alergi, demam, gangguan gizi atau penyakit lainnya.

b. Berdasarkan Ada atau Tidaknya Infeksi Gastroenteris (Diare

dan Muntah)

Jenis diare berdasarkan ada atau tidaknya infeksi gastroenteris

(diare dan muntah) dibagi menjadi dua, yaitu:


14

1) Diare infeksi spesifik adalah diare yang disebabkan oleh

bakteri Shigella, Enterokolitis staphylococcus.

2) Diare non spesifik adalah diare yang disebabkan karena

faktor dietetic.

c. Berdasarkan Organ yang Terkena Infeksi

Jenis diare berdasarkan organ yang terkena infeksi dibagi menjadi

dua, yaitu:

1) Diare infeksi enteral atau diare karena infeksi di usus yang

disebabkan oleh berbagai patogen (bakteri, virus, parasit)

2) Diare infeksi parental atau diare karena infeksi diluar usus

(infeksi saluran pernafasan, infeksi saluran urin)

d. Berdasarkan Derajat Dehidrasi

Salah satu dampak dari diare secara umum adalah

kehilangan cairan (dehidrasi). Ada tiga jenis derajat dehidrasi

dalam diare, yaitu: diare tanpa dehidrasi, diare dengan dehidrasi

ringan/sedang, dan diare dengan dehidrasi berat. Dehidrasi

merupakan salah satu cara yang dapat digunakan untuk menilai

anak diare. Berikut adalah klasifikasi tanda-tanda diare sesuai

dengan derajat dehidrasinya (Kemenkes RI, 2011b) :


15

Tabel 2. 1 Klasifikasi Tanda-Tanda Diare

Gejala/derajat Diare tanpa Diare dehidrasi Diare dehidrasi


dehidrasi dehidrasi ringan/sedang berat
Bila terdapat Bila terdapat dua Bila terdapat dua
dua tanda atau tanda atau lebih tanda atau lebih
lebih
Keadaan Baik, sadar Gelisah, rewel Lesu, lunglai/tidak
umum sadar
Mata Tidak cekung Cekung Cekung
Keinginan Normal, tidak Ingin minum terus, Malas minum
untuk minum ada rasa haus ada rasa haus
Turgor Kembali segera Kembali lambat Kembali sangat
lambat
Sumber : (Kemenkes RI, 2011b)

3. Gejala

Semua jenis diare pada umumnya memiliki gejala klinik yang

sama. Biasanya pasien hanya mengeluh mencret, perut penuh, mual,

keringat dingin dan lain-lain. Berikut adalah gejala klinik diare yang

dibagi kedalam tiga fase, yaitu prodromal (pra-diare), diare dan

penyembuhan ( Nisa, 2007 dan Sulaiman dkk, 1997):

1) Fase prodromal, disebut juga sebagai sindrom pra diare. Gejala

yang timbul pada fase ini adalah perut terasa penuh, mual, bisa

sampai muntah, keringat dingin, dan pusing.

2) Fase diare, pada fase ini gejala yang timbul adalah dehidrasi,

asidosis syok, mules (nyeri pada perut dan poros usus), dapat

sampai kejang, dengan atau tanpa panas, pusing.

3) Fase penyembuhan, pada fase ini biasanya gejala seperti diare

makin jarang, mules berkurang, penderita merasa lemas/lesu.


16

Pada diare kronis (persisten) diare diikuti dengan dehidrasi.

Dehidrasi adalah kehilangan banyak cairan dan elektrolit yang

mengandung garam, potasium, dan sodium. Adapun gejala

dehidrasi adalah sebagai berikut: rasa haus, jarang berkemih, kulit

kering, kelelahan dan rasa pusing dan urine berwarna gelap.

4. Etiologi

Secara klinis penyebab diare dapat dibagi menjadi enam kelompok,

yaitu infeksi patogen (bakteri, virus dan parasit), malabsorpsi, alergi,

keracunan, imunodefisiensi, penggunaan antibiotik dan sebab-sebab

lainnya (Kemenkes RI, 2011a; WHO, 2010; Nisa, 2007; Widjaja,

2002). Berikut adalah bagan 2.1 penyebab diare :


17

Shigella Salmonella E.coli Gol. Vibrio


Bakteri
P
Bacillus cereus C.botulinum S. aureus Campylobacter Aeromonas
E
Infeksi Virus Rotavirus Adenovirus Norwalk+Norwalk like agent
N

Y
Protozoa E. histolityca Giardia lambia Balantidium coli Criytosporidum
E
Parasit
B Cacing perut Ascaris Trichiuris Strongyloides Balantissitis hominis

A
Alergi makanan susu sapi
B
Malabsorpsi karbohidrat lemak protein

Keracunan bahan-bahan
Kercunan kimia
D Makanan
Keracunan oleh racun Jasad renik Sayur-sayuran
I yang dikandung dan
diproduksi
A Penggunaan Ikan Buah-buahan Sayur-sayuran
Antibiotik
R

E Imunodefisiensi AIDS Bagan 2.1 Penyebab Diare

Sumber : (Kemenkes RI, 2011a; Widoyono, 2008; Nisa, 2007)


Sebab-sebab lain
18

Sebagian besar penyebab diare yang sering ditemukan di

lapangan ataupun secara klinis adalah yang disebabkan infeksi dan

keracunan. Berikut adalah berbagai jenis diare yang disebabkan oleh

infeksi patogen :

Tabel 2. 2 Jenis Diare Berdasarkan Penyebab Infeksi Patogen

Jenis Diare Penyebab patogen

Shigella, Salmonella, V. cholerae, dan strain


tertentu dari E. coli (ETEC, EIEC, dan
Diare Akut
EPEC), Campilobacter jejuni, dan
Crystopridium.

Shigella, Campilobacter jejuni, EIEC,


Disentri
Salmonella, Entamoeba histolityca

Diare Kronik
EAEC, Shigella dan Crystopridium.
(Persisten)

Sumber : (Nisa, 2007; WHO, 2010; Juffrie dkk, 2015)

Beberapa tahun terakhir sekitar 40 % rumah sakit melaporkan

bahwa virus merupakan penyebab diare akut pada sebagaian besar

anak-anak didunia yang sebagian besar berasal dari negara

berikembang. Dalam beberapa tahun lima kelompok virus yang telah

diakui sebagai penyebab diare pada kalangan anak-anak adalah

rotavirus, adenovirus, asrovirus, coronavirus, dan virus Norwalk.

Sementara penyebab diare berdarah atau disentri yang paling sering

ditemukan pada anak-anak adalah Shigella. Bakteri tertentu juga dapat

menyebabkan diare berdarah atau disentri dikalangan anak-anak, tetapi

kasusnya jarang ditemukan (WHO, 2010; Acra dkk, 1984; Juffrie dkk,

2015).
19

Menurut Widjaja (2002) penyebab malabsorpsi yang paling sering

terjadi pada balita adalah malabsorpsi karbohidrat dan lemak.

Malabsorpsi karbohidrat biasanya terjadi pada balita yang diberi susu

formula. Susu formula mengandung laktoglobulis yang sulit dicerna

oleh saluran pencernaan balita sehingga membuat bayi mengalami

diare. Sedangkan malabsorpsi lemak terjadi karena balita mengalami

kerusakan mukosa usus yang menyebabkan enzim lipase tidak dapat

diproduksi. Tidak adanya enzim lipase membuat trigliserida yang

berasal dari makanan berlemak tidak dapat diubah menjadi banyak

misel yang siap diabsorpsi usus. Hal ini membuat balita mengalami

diare. Selain itu faktor psikologis seperti rasa takut, cemas, dan tegang

turut mempengaruhi terjadinya diare kronis pada balita.

5. Cara Penularan

Penularan diare dapat terjadi melalui anus dan mulut. Sumber

patogen diare dapat berasal dari air, kotoran manusia dan hewan.

Kemudian transmisi terjadi melalui tangan, lalat, kecoak, kondisi

sanitasi yang buruk hingga membuat makanan dan minuman tercemar.

Selain itu penularan kemungkinan juga dapat terjadi melalui transmisi

dari orang ke orang yang disebabkan karena kebersihan diri yang buruk.

Transmisi penularan diare pada balita hingga ke anus dan mulut dikenal

dengan transmisi melalui 4F (finger,flies, fluid, field) (Juffrie dkk.,

2015; WHO, 2013; Yin, 2008; Widoyono, 2008; Pruess dkk., 2002).

Transmisi melalui jalur anus dan mulut dapat dilihat pada gambar 2.1

berikut (Pruess dkk., 2002):


20

Sumber: (Pruess dkk, 2002)

Gambar 2. 1 Transmisi Melalui Anus Dan Mulut

Pada gambar 2.1 diatas diketahui bahwa faktor risiko seperti

air bersih, sanitasi dan kebersihan memiliki jumlah jalur transmisi

penularan yang rumit, saling terkait, bersaing dan melengkapi satu

sama lain yang akhirnya menyebabkan banyak penyakit infeksi

berbasis air dan lingkungan. Penyakit infeksi yang menjadi

penyumbang terbesar untuk beban penyakit dari air, sanitasi dan

kebersihan adalah diare. Penyakit diare tidak sepenuhnya dapat

dikaitkan dengan dengan air, sanitasi dan kebersihan. Hal ini karena

diare juga dapat ditularkan dengan ekskresi manusia dan hewan yang

dapat mencemari air minum, makanan, dan kontak tidak langsung

melalui berbagai jalur yang dibawa oleh vektor seperti lalat.


21

Selain itu ODF (Open Defecation Free) juga memiliki

keterkaitan dengan penularan diare. ODF biasa disebut juga dengan

Stop Buang Air Besar Sembarangan (Stop BABS). ODF adalah suatu

kondisi ketika setiap individu masyarakat disuatu

komunitas/desa/kecamatan tidak buang air besar (BABS) di sembarang

tempat. Individu masyarakat dalam suatu komunitas/desa/kecamatan

yang telah mendapat verifikasi ODF berarti telah memiliki dan BAB di

tempat yang tepat yaitu, jamban sehat serta dapat memeliharanya

dengan baik. Jamban sehat merupakan fasilitas pembuangan tinja yang

dapat mencegah kontaminasi ke badan air, mencegah antara kontak

manusia dan tinja, membuat tinja tersebut tidak dapat dihinggapi lalat,

atau serangga vektor lainnya, serta binatang liar atau binatang

peliharaan (Dinkes Jatim, 2005; Kemenkes RI, 2014).

Sebaliknya jika tinja yang dibuang sembarangan dan

mengkontaminasi badan air, menyebabkan air tercemar. Air

merupakan media penularan utama dari penyakit diare. Seseorang

dapat mengalami diare bila menggunakan air yang sudah tercemar

dengan tinja yang telah mengandung patogen diare.Sementara apabila

tinja yang dibuang sembarangan ditempat terbuka akan terinfeksi oleh

bakteri atau virus yang menjadi patogen diare. Kemudian biasanya

akan dihinggapi lalat. Lalat yang hinggap di tinja membuat virus atau

bakteri yang menjadi patogen diare menempel di tubuh lalat. Lalat

yang sudah membawa patogen diare lalu hinggap di makanan, maka

dapat menularkan diare pada orang yang mengkonsumsinya (Widyono,


22

2008). Pembuangan tinja yang dilakukan secara saniter akan

memutuskan rantai penularan penyakit dan menjadi penghalang

sanitasi (sanitation barrier) virus atau kuman penyakit yang menjadi

patogen diare untuk berpindah dari tinja ke inang yang potensial

(Anderson dan Arnstein, 2002 dalam Falasifa, 2015).

6. Masa Inkubasi

Masa inkubasi adalah waktu yang diperlukan dari paparan suatu

agen (mikroorganisme) hingga timbulnya tanda-tanda dan gejala

penyakit tertentu (Dhar dan Sharma, 2009). Beberapa patogen seperti

virus, bakteri, dan parasit yang menjadi penyebab diare banyak.

Masing-masing patogen yang menjadi agen diare pada balita memiliki

masa inkubasi yang berbeda-beda. Berikut adalah masa inkubasi

beberapa patogen penyebab diare pada bayi :

Tabel 2. 3 Masa Inkubasi Patogen Penyebab Diare


Masa
Patogen
Inkubasi
S. aureus
< 6 Jam
Bacillus cereus
C.perfringens
6-24 Jam
Bacillus cereus
Noroviruses,
Shigella, E. coli,
ETEC, Cyclospora,
16-72 Jam Campylobacter, Giardia
Vibrio, Cryptosporidium
Yersinia lambia
Salmonella
Sumber : (Farthing dan Salam, 2012)

7. Patogenesis dan Patofisiologi

Patogenesis adalah kemampuan untuk menghasilkan penyakit

dengan gejala klinik yang jelas (Noor, 2009). Sementara patofisiologi

adalah studi terhadap menifestasi penyakit fisiologis dan biologis serta


23

adaptasi yang dibuat tubuh terhadap perubahan yang ditimbulkan oleh

proses penyakit tertentu (Tambayong, 2000). Berikut adalah

patogenesis dan patofisiologi diare pada balita :

a. Patogenesis

Sebagian besar diare disebabkan oleh infeksi patogen (virus,

bakteri, parasit). Berikut adalah bagan 2.2 patogenesis beberapa

patogen yang menyebabkan diare pada balita :

Salmonella Shigella E.coli V.cholerae Virus

jujenum, ileum, Kolon ileosekal duodenum, jujenum Usus halus


kolon
Menembus sel
Menebus sel + Menebus sel + tidak menembus tanpa
adakan lisis sedikit adakan lisis banyak mengadakan
Faktor keterlibatan E.coli lisis

memproduksi
eretoksin Enterovirus
Berkembang di Berkembang di sel
lamina propria epitel Adenovirus
parvovirus rotavirus

penyakit karena
toksin ?
Viraemia ? Infeksi
Infeksi lokal
Lokal
Penyebaran Infeksi
sistematis lokal
Mekanisme tidak
diketahui
Mikroskopis Polimorf ++ Polimorf ++++ Tidak ada sel Jarang atau tidak ada sel
Tinja Monosit ++ Eritrosit ++++
Eritrosit ±

Sumber : (Marshall, 1976 dalam Sulaiman dkk, 1997)

Bagan 2. 1 Patogenesis Diare


24

Pada diare yang disebabkan oleh virus patogenesisnya

adalah virus secara selektif menginfeksi dan menghancurkan sel-sel

ujung-ujung vilus pada usus halus. Usus halus terdiri dari berbagai

tingkat penumpulan vilus dan inflitrasi sel bundar pada lamina

propria. Virus kemudian akan menginfeksi lapisan epitelium dan

vilus di usus halus. Hal ini menyebabkan fungsi absorpsi usus halus

terganggu. Vilus mengalami atrofi dan tidak dapat mengabsorbsi

cairan dan makanan dengan baik. Selanjutnya cairan dan makanan

yang tidak terserap/tercerna akan meningkatkan tekanan koloid

osmotik usus dan terjadi hiperperistaltik usus sehingga cairan

beserta makanan yang tidak terserap terdorong keluar usus melalui

anus menimbulkan diare osmotik dari penyerapan air dan nutrien

yang tidak sempurna (Juffrie dkk, 2015).

Sementara pada diare yang disebabkan oleh bakteri terjadi

melalui salah satu mekanisme yang berhubungan dengan

pengaturan transpor ion dalam sel-sel usus cAMP, cGMP dan Ca

dependen. Patogenesis terjadinya diare oleh salmonella, shigella, E

coli agak berbeda dengan patogenesis diare oleh virus, tetapi

prinsipnya hampir sama. Bedanya bakteri ini dapat menembus

(invasi) sel mukosa usus halus sehingga dapat menyebabkan reaksi

sistemik. Toksin shigella juga dapat masuk kedalam serabut otak

sehingga menimbulkan kejang. Diare oleh kedua bakteri ini dapat

menyebabkan adanya darah dalam tinjanya atau disebut dengan

disentri (Juffrie dkk, 2015).


25

Pada diare persisten (kronis) melibatkan berbagai faktor

yang sangat kompleks. Commonwealth Association of Pediatric

Gastrointestinal and Nutrition (CAPGAN) menghasilkan konsep

patogenesis diare yang menjelaskan bahwa paparan berbagai faktor

predisposisi, baik infeksi maupun non infeksi akan memicu

kerusakan mukosa usus dan mengakibatkan diare kronis. Berikut

adalah bagan 2.3 patogenesis diare persisten (kronis) :

Interkuren Infeksi Penurunan status Alergi makanan


imun
Faktor predisposisi utama

Kemiskinan Malnutrisi Kerusakan mukosa


Penyapihan dini
Terapi Puasa Insufisiensi Kolonisasi kuman Malabsorpsi asam
Organisme patogen pankreas di usus halus empedu

Diare kronis

Sumber: (Juffrie dkk., 2015)

Bagan 2. 2 Patogenesis Diare Persisten (Kronis)

b. Patofisiologi

Pada dasarnya diare terjadi bila terdapat gangguan transpor

terhadap air dan elektrolit pada saluran cerna. Adapun mekanisme

patofisiologinya gangguan tersebut hingga menimbulkan diare adalah

sebagai berikut (Sulaiman dkk., 1997; Aljadoa dan Aljebreen, 2012):


26

1) Diare akibat gangguan osmotik

Diare osmotik timbul karena beberapa penyebab berikut :

a. Keadaan intorelansi makanan, baik sementara maupun

menetap.

Diare timbul bila seseorang makan berbagai jenis

makanan dalam jumlah besar secara sekaligus. Kemudian

makanan tersebut masuk ke usus kecil dalam keadaan

osmotik yang sangat tinggi dimana campur aduknya berbagai

jenis makanan tidak menguntungkan untuk suatu proses

pencernaan. Selain itu saluran pencernaan mengalami kondisi

hipertonik akibat kandungan disakaridase yang berlebihan.

Keadaan diatas membuat sekresi air yang berlebihan,

sehingga timbullah diare.

b. Waktu pengosongan lambung yang cepat.

Pada keadaan fisiologis, makanan yang masuk ke

lambung selalu dalam keadaan hipertonis. Kemudian oleh

lambung diaduk dengan cairan lambung dan menjadi bahan

yang isotonis atau hipertonis. Hal ini diatur oleh

osmoreseptor di duodenum yang berfungsi mengosongkan

lambung. Pada seseorang dengan gastrektomi atau

piloroplasti atau gastroenterostomi makanan yang mesih

hipertonik akan masuk ke usus halus akibatnya timbul sekresi

air dan elektrolit ke usus. Keadaan ini menimbulkan volume

isi intestin bertambah dengan tiba-tiba sehingga


27

menimbulkan distensi usus yang kemudian menimbulkan

diare berat disertai hipovolemi intra vaskuler dan depresi.

c. Sindrom malbasorpsi atau kelainan absorpsi intestinal

Diare ini timbul salah satunya pada seseorang dengan

penyakit seliak (gluten enteropathy). Akibat reaksi antigen

antibodi terhadap protein gandum (gluten), mengakibatkan

kerusakan pada mukosa intestin karena proses absorpsi

monosakarida dan oligosakarida yang terganggu yang

menimbulkan suasana hipertonik pada intestin. Keadaaan ini

menimbulkan diare.

d. Defisiensi enzim

Diare ini timbul akibat defisiensi enzim tertentu, misalnya

enzim laktase. Laktase adalah enzim yang disekresi oleh

intestin untuk mencerna disakarida laktase menjadi

monosakarida glukosa dan galaktose. Laktase diproduksi dan

disekresi oleh sel epitel intestin sejak dalam kandungan dan

diproduksi maksimum pada waktu lahir sampai masa anak-

anak kemudian menurun sejalan dengan usia. Pada orang

Eropa dan Amerika, produksi enzim ini tetap bertahan hingga

usia tua. Pada orang Asia dan India produksi enzim ini cepat

menurun. Maka dari itu banyak orang Asia yang tidak tahan

banyak minum susu, berbeda dengan orang Eropa.

e. Laksan osmotik
28

Diare ini timbul karena pengaruh berbagai laksan tertentu

(misalnya: magnesium sulfat atau garam inggris). Laksan

tersebut bila diminum dapat menarik air dari dinding usus ke

lumen.

2) Diare akibat gangguan sekretorik

Diare sekretori terbagi menjadi dua, yaitu : diare sekretori

pasif dan aktif. Diare sekretori pasif timbul akibat tekanan

hidrostatik dalam jaringan saat ekspansi air dari jaringan ke

lumen usus. Hal ini terjadi pada proses peninggian tekanan vena

mesenterial, obstruksi sistem limfosik, intestinal iskemia, dan

peradangan. Sementara diare sekretori aktif timbul bila terdapat

gangguan (hambatan) aliran (absorpsi) dari lumen ke plasma

atau percepatan cairan air dari plasma ke lumen. Selain itu diare

ini juga dapat timbul karena pengaruh hormon seperti yag terjadi

pada gastrinoma atau sindrom Zollinger Ellison, Vipoma

(vasoaktive intestinal peptide) dan pada penyakit Menitriere.

3) Diare akibat gangguan absorpsi elektrolit

Diare ini biasanya terjadi dengan komplikasi penyakit lain

seperti pada penyakit seliak (gluten ethrophaty) dan sprue

tropik. Kedua jenis penyakit ini menimbulkan kerusakan vili

pada mukosa usus secara difus dan menyeluruh hingga merusak

semua mekanisme absorpsi elektrolit dan air sehingga timbul

diare yang terus-menerus. Selain itu diare seperti ini dapat


29

timbul akibat jenis laksan dalam asam lemak misalnya kastroli

yang dapat merusak mukosa usus dan metabolit asam empedu

akibat degradasi asam empedu oleh bakteri.

4) Diare akibat tingginya motilitas (peristalsis) usus

Diare jenis ini sering dialami oleh penderita dengan

sindrom klon iritable dan hipertiroid. Selain itu diare ini dialami

juga oleh penderita dengan sindrom karsinoid yang disebabkan

karena tingginya peristalsis usus akibat pengaruh serotonin.

5) Diare akibat eksudasi cairan, elektrolit dan mukus

Diare ini terjadi pada kolitis ulserosa dan pada penderita

dengan penyakit Crohn. Diare ini timbul akibat infeksi

Entamoeba histolytica, Shigella, Campilobacter, Yersinia yang

mengenai mukosa usus sehingga menimbulkan peradangan dan

eksudasi serta mukus.

8. Dampak

Berikut adalah dampak diare pada balita (Nursalam, 2008):

a. Kehilangan air dan elektrolit (Dehidrasi)

Kondisi ini dapat mengakibatkan gangguan keseimbangan asam

basa (metabolik asidosis). Hal ini terjadi karena kehilangan natrium

bikarbonat bersama tinja, adanya ketosis kelaparan dan metabolisme

lemak yang tidak sempurna sehingga menyebabkan keton tertimbun

dalam tubuh, terjadi penimbunan asam laktat karena adanya anoksia

jaringan, produk metabolisme yang bersifat asam meningkat karena


30

tidak dapat dikeluarkan oleh ginjal, dan pemindahan ion natrium dan

cairan ekstraseluler ke dalam cairan intraseluler. Secara klinis, asidosis

dapat diketahui dengan memperhatikan pernafasan yang cepat, teratur

dan dalam.

b. Hipoglikemia

Hipoglikemia terjadi pada 2-3% anak-anak yang menderita diare.

Kondisi ini terjadi karena penyimpanan persediaan glikogen dalam hati

yang terganggu dan adanya gangguan absorpsi glukosa. Gejala

hipoglikemia akan muncul jika kadar glukosa dalam darah menurun

sampai 40% pada balita. Gejalanya dapat berupa lemas, apatis, peka

rangsangan, tremor, berkeringat, pucat, syok, kejang sampai koma.

c. Gangguan Gizi

Balita dengan diare biasanya akan mengalami gangguan gizi

sehingga menyebabkan penurunan berat badan. Hal ini karena saat diare

orang tua sering menghentikan asupan makanan kepada anak dan

diganti dengan teh saja karena khawatir diare atau muntah yang

bertambah hebat. Adapun ada beberapa orang tua yang tetap

memberikan anaknya susu namun susu yang diberikan telah mengalami

pengenceran dalam waktu yang lama.

d. Gangguan Sirkulasi

Sebagai akibat diare dengan atau tanpa disertai muntah, maka

dapat terjadi gangguan sirkulasi darah berupa renjatan atau syok

hipovolemik. Rejatan atau syok hipovolemik mengakibatkan perfusi


31

jaringan berkurang dan terjadinya hipoksia, asidosis bertambah berat

sehingga menyebabkan pendarahan didalam otak, kesadaran menurun,

dan bila penderita tidak segera ditolong dapat meninggal.

e. Komplikasi

Balita dengan diare yang mengakibatkan kehilangan cairan dan

elektrolit secara mendadak dapat mengalami komplikasi seperti:

dehidrasi (ringan, sedang, berat, hipotonik, isotonik, atau hipertonik);

renjatan hipovolemik; hipokalemia (gejala mateorismus, hipotoni otot

lemah, dan bradikardi); dan intolerensi sekunder akibat kerusakan vili

mukosa usus dan difesiensi enzim laktosa.

B. Epidemiologi Diare Bayi

Berikut adalah epidemiologi diare pada bayi berdasarkan karakteristik

orang, tempat dan waktu :

1. Orang

Diare membunuh 2.195 anak-anak setiap harinya melebihi AIDS,

malaria dan diare yang disertai campak. Sebagian besar episode diare

terjadi pada 2 tahun pertama kehidupan. Insiden tertinggi banyak

dialami kelompok bayi usia 6-23 bulan. Hal ini karena usia tersebut

merupakan periode berat yang paling rentan mengalami penyakit

infeksi disebabkan kondisi kesehatannya yang masih belum stabil dan

fungsi perkembangan fisiologis serta imunitasnya yang masih lemah.

Diare lebih banyak dialami oleh bayi dengan jenis kelamin laki-laki
32

dibanding perempuan. Bayi dengan jenis kelamin laki-laki memiliki

daya tahan tubuh yang lebih rendah dari perempuan (Widjaja, 2002;

CDC, 2012; Kemenkes RI, 2013a; Juffrie dkk, 2015).

Diare dapat dialami oleh bayi karena tidak diberi ASI secara

eksklusif, tidak mendapat vaksinasi rotavirus secara rutin, kebersihan

dan sanitasi yang buruk. Bayi dengan penyakit lainnya seperti HIV,

kejadian diare yang menyertainya bahkan dapat membuatnya

mengalami kematian. Besarnya angka kematian dapat mencapai 11 kali

lebih tinggi dibandingkan bayi diare tanpa HIV (CDC, 2012).

2. Tempat

Bayi yang mengalami kesakitan dan kematian akibat diare banyak

yang tinggal di daerah–daerah miskin pedesaan dan pinggiran kota. Hal

ini karena kepadatan penduduk yang berlebihan, rendahnya kualitas air

bersih dan sanitasi yang buruk. Selain itu perbedaan geografis yang

mencolok memperlihatkan bayi di kawasan provinsi timur Indonesia,

seperti Sulawesi Barat lebih banyak yang mengalami kematian akibat

diare (UNICEF, 2012b).

3. Waktu

Kejadian diare terjadi karena variasi pola musiman menurut

letak geografisnya. Di daerah sub tropik, diare yang disebabkan oleh

bakteri sering terjadi pada musim panas, sedangkan diare karena virus

terutama rotavirus puncaknya terjadi pada musim dingin. Di daerah

tropik (termasuk Indonesia), diare yang disebabkan oleh rotavirus dapat


33

terjadi sepanjang tahun dengan peningkatan kasus di sepanjang musim

kemarau, sedangkan diare karena bakteri cenderung meningkat pada

musim hujan (Juffrie dkk., 2015).

C. Faktor Risiko Diare pada Bayi

Terdapat berbagai faktor yang mempengaruhi bayi mengalami

diare yang dilihat dari aspek individunya. Adapun faktor-faktor tersebut

adalah sebagai berikut (Adisasmito, 2007):

1. Faktor Individu

a. Jenis Kelamin

Jenis kelamin merupakan perbedaan biologis dalam hal alat

reproduksi, dimana pria memiliki penis (buah zakar) serta

memproduksi sperma. Sedangkan wanita memiliki alat reproduksi

seperti rahim, payudara (untuk menyusui), dan vagina (saluran untuk

melahirkan), serta memproduksi sel telur. Jenis kelamin biologis ini

merupakan ciptaan Tuhan, bersifat kodrat, tidak dapat berubah, tidak

dapat dipertukarkan dan berlaku sepanjang zaman (Puspitawati,

2013).

Pada penelitian Diouf dkk (2014) yang dilakukan di wilayah

pedesaan Burundi menunjukkan bahwa balita berjenis kelamin laki-

laki lebih bersiko mengalami diare dibanding dengan balita berjenis

kelamin perempuan pada kisaran usia 0-11 bulan dan 12-24 bulan.

Namun jenis kelamin tidak berhubungan dengan prevalensi diare


34

pada balita pada kisaran usia berbeda. Sama halnya dengan

penelitian Wilunda dan Panza (2009) di pedesaan Thailand dimana

ditemukan bayi usia 6-24 bulan yang mengalami diare cenderung

lebih banyak terjadi pada bayi berjenis kelamin laki-laki (8.9%)

dibandingkan perempuan (7.9%). Secara statistik memperlihatkan

bahwa tidak ada pengaruh yang sigifikan antara jenis kelamin

dengan kejadian diare pada bayi di wilayah tersebut.

Penelitian lainnya adalah penelitian yang dilakukan

Cahyaningrum (2015) dipedesaan Sleman didapatkan perbandingan

diare pada balita berjenis kelamin laki-laki hampir sama dengan

perempuan. Menurutnya dalam penelitiannya selama dilapangan

ditemukan bahwa antara balita laki-laki maupun perempuan tidak

ada perlakuan yang berbeda dalam perawatan yang diberikan oleh

orangtuanya. Perawatan tersebut dalam hal pemenuhan gizi maupun

kebersihan balitanya. Selain itu kontrol yang umumnya hampir sama

diberikan orang tua terhadap balitanya membuat balita laki-laki

maupun perempuan memiliki aktifitas yang hampir sama dalam

kesehariannya. Maka dari itu penelitiannya menunjukkan jenis

kelamin yang berbeda bukan salah satu faktor yang menyebabakan

terjadinya diare pada balita.

Hasil berbeda di tunjukkan oleh penelitian yang dilakukan oleh

Ahmed dkk. (2008) yang dilakukan di wilayah pedesaan Khasmir

dimana jenis kelamin berhubungan signifikan dengan prevalensi

poin diare pada bayi kisaran usia 6-35 bulan. Bayi laki-laki lebih
35

banyak yang mengalami diare dibandingkan dengan bayi

perempuan. Hal ini karena bayi berjenis kelamin laki-laki lebih

rentan berisiko mengalami diare dibandingkan dengan bayi berjenis

kelamin perempuan. Pada penelitian Yilgwan dan Okolo (2012)

menjelaskan bahwa tingginya prevalensi diare pada bayi berjenis

kelamin laki-laki daripada perempuan di wilayah pedesaan Nigeria

berhubungan dengan praktek-praktek budaya tertentu yang

mempengaruhi dalam pemberian perawatan. Dimana perawatan yang

jauh lebih baik diberikan orang tua pada bayi berjenis kelamin

perempuan dibandingkan pada bayi berjenis kelamin laki-laki.

Sementara Hung (2006) dalam penelitiannya menjelaskan

bahwa tingginya distribusi diare pada balita berjenis kelamin laki-

laki daripada perempuan di wilayah pedesaan Vietnam disebabkan

laki-laki jauh lebih aktif dibanding perempuan. Balita laki-laki

cenderung bergerak dan bermain hingga menyentuh benda-benda

yang ada disekitarnya termasuk di tanah. Sedangkan balita

perempuan cenderung dekat dengan ibu mereka dan ketika bermain

lebih banyak menyentuh barang-barang yang lebih higienis. Oleh

karena itu balita laki-laki lebih mudah terserang diare karena

peluangnya terpapar patogen penyebab diare lebih besar

dibandingkan balita perempuan.

Menurut Mølbak dkk (1997) secara biologis laki-laki pada masa

balita memasuki masa membangun massa otot yang jauh lebih besar

daripada perempuan. Akibatnya laki-laki lebih besar kebutuhannya


36

dalam pemenuhan mikronutrien tertentu seperti vitamin A atau zink

dibandingkan perempuan. Bila balita berjenis kelamin laki-laki tidak

mendapat pemenuhan mikonutrien tersebut secara optimal. Hal ini

meningkatkan risiko yang negatif dalam hal keseimbangan

tubuhnya termasuk mengakibatkan balita berjenis kelamin laki-laki

lebih rentan mengalami diare.

Menurut Wapnir (2000) pada kelompok bayi dengan defisiensi

zink didalam tubuhnya terjadi peningkatan regulasi neuropeptida,

seperti siklus monofosfat guanosin dan fase akut reaktan, seperti

interleukulin 1 yang menciptakan kondisi sekretorik dalam usus

yang mengarah pada kejadian episode diare. Sementara menurut

Kulkarni (2012) dan Canani dkk peran zink dalam mengatasi diare

yaitu dalam hal penstabilan pengangkutan regulasi cairan usus,

integritas mukosa, dan modulasi ekspresi gen yang mengkode

penting enzim dependen zink seperti sitoksin yang membantu sistem

kekebalan tubuh dan modulasi stress oksidatif.

Sedangkan menurut Juffrie dkk (2015) pengobatan diare akut

dengan zink didasarkan pada efeknya terhadap fungsi imun atau

terhadap struktur dan fungsi saluran cerna serta terhadap proses

perbaikan epitel saluran cerna selama diare. Pemberian zink pada

diare akan meningkatkan aborpsi air dan elektrolit oleh usus halus,

meningkatkan kecepatan regenerasi epitel usus, meningkatkan

jumlah brush border apical, dan meningkatkan respon imun yang

mempercepat pembersihan patogen dari usus.


37

b. Pemberian ASI eksklusif

Air Susu Ibu (ASI) merupakan makanan bayi berupa cairan hasil

sekresi kelenjar payudara yang secara khusus diciptakan untuk

memenuhi kebutuhan bayi baik fisik, psikologi, sosial maupun

spiritual. ASI mengandung hormon, unsur kekebalan, anti alergi,

serta berbagai macam zat gizi lainnya yang diperlukan untuk

pertumbuhan dan perkembangan bayi dalam masa kehidupannya.

Zat-zat tersebut menjamin status gizi bayi baik yang dapat

menurunkan angka kesakitan dan kematian pada bayi (Purwanti,

2003; PERSAGI, 2009; Kemenkes RI, 2013b, 2014).

Salah satu pola pemberian ASI pada bayi yang

direkomendasikan oleh WHO adalah menyusui secara eksklusif.

Menyusui eksklusif adalah pemberian ASI sedini mungkin pada bayi

saat setelah persalinan. Selama pemberian ASI eksklusif bayi hanya

diberikan ASI saja dan tidak diberikan makanan lain apapun

termasuk air putih, obat-obatan, vitamin, buah-buahan, susu formula

dan lain-lain sampai berusia 6 bulan. Setelah 6 bulan, bayi baru

diperbolehkan diberikan makanan tambahan lainnya dengan tetap

memberikan ASI sampai berusia 2 tahun (Kemenkes RI, 2014;

Purwanti, 2003).

Penelitian Hajeebhoy dkk (2014) yang dilakukan di Vietnam

dimana sebagian besar responden berasal dari wilayah pedesaan

didapatkan hasil bahwa mayoritas (73.3%) bayi berusia 0-6 bulan


38

sudah diberikan makanan berupa susu formula, air putih, madu, dan

makanan semi padat sampai makanan padat tertentu disamping ASI.

Sebanyak 32,4 % bayi 0-6 bulan diberikan ASI secara predominan

dan 47.4% bayi 0-6 bulan diberikan ASI secara parsial. Pemberian

makanan pendamping ASI baik berupa cairan, semi-padat maupun

padat sedini mungkin pada bayi meningkatkan risiko

ketidakseimbangan gizi dan penyakit menular tertentu seperti ISPA

dan Diare. Secara statistik penelitian ini berhubungan signifikan

antara diare pada bayi 0-6 bulan dengan pemberian ASI predominan

dan ASI parsial.

Penelitian Rahmadhani dkk (2013) di wilayah pedesaan wilayah

kerja Puskesmas Kuranji Kota Padang menunjukkan bahwa dari 135

bayi usia 0-11 bulan. Terdapat 57 bayi yang mengalami diare akut

dan 78 bayi yang tidak mengalami diare. Bayi berusia 0-5 bulan 29

hari yang mendapat ASI saja sebanyak 41 (59.4%) bayi dan yang

mendapat campuran lain selain ASI sebanyak 28 bayi (40.6%).

Sementara bayi usia 6-12 bulan dengan ASI eksklusif sebanyak 34

bayi (51.5%) dan 32 bayi lainnya (48.5%) non ASI eksklusif. Pada

bayi usia 6-12 bulan dari sebanyak 66 bayi diantaranya 35 bayi

(53%) mengalami diare akut dan 31 bayi (47%) tidak mengalami

diare akut. Sejumlah 35 bayi (53%) yang mengalami diare akut,

diantaranya 9 bayi (26.5%) diberikan ASI eksklusif dan 26 (74.3%)

bayi tidak diberikan ASI eksklusif. Penelitian ini secara statistik


39

menunjukkan bahwa bayi yang tidak menerima ASI esklusif

berhubungan dengan kejadian diare akut (p=0.001).

Sementara penelitian Rohmah dkk (2015) di dua belas desa

wilayah Jatinangor menunjukan bahwa dari 66 bayi berusia 6 bulan

yang menjadi sampel diantaranya sebanyak 44 bayi mengalami diare

dan 22 lainnya tidak pernah mengalami diare. Total sebanyak 48

bayi yang tidak diberi ASI eksklusif dan 18 bayi diberi ASI

eksklusif. Proporsi pemberian ASI eksklusif tertingi adalah Desa

Cileles. Sedangkan di Desa Jatimukti, Cisempur, dan Cibeusi tidak

ada bayi yang disusui secara eksklusif. Sejumlah 48 bayi yang tidak

menerima ASI eksklusif ditemukan 37 bayi dengan diare dan 11

bayi tidak pernah diare. Hubungan signifikan di dapatkan antara bayi

dengan ASI eksklusif dan tidak dengan kejadian diare, yaitu p ≤

0,05. Sebagian besar bayi dengan tidak ASI ekslusif karena

menerima MPASI dini.

Penelitian lainnya yang sejalan adalah penelitian Gedefaw dan

Berhe (2015). Penelitian yan dilakukan Gedefaw dan Berhe di

Distrik Utara Achefer, Barat Laut Etiopia menghasilkan bayi usia 7-

24 bulan yang diberi ASI eksklusif kemungkinannya 8.3 kali lebih

kecil mengalami penyakit diare dibandingkan dengan yang tidak

diberi ASI eksklusif. Penelitian Biswas dan Mandal (2016) juga

menyatakan hanya 55,6% balita < 60 bulan di blok pedesaan Bengal

Barat India yang diberi ASI eksklusif dan 76.5% yang menerima

kolostrum. Sebanyak 36 balita (44,4%) memiliki setidaknya satu


40

episode diare dalam tiga bulan terakhir, diantaranya 7 balita

menderita disentri dan 19 lainnya mengalami muntah. Analisis

statistik menunjukkan hubungan yang signifikan antara pemberian

ASI eksklusif dan pemberian kolostrum dengan peran protektifnya

pada diare.

WHO (2003) menyatakan bahwa ASI eksklusif melindungi bayi

dari penyakit diare dengan dua cara. Pertama karena ASI eksklusif

mengandung kedua faktor imun yaitu faktor imun spesifik dan non

spesifik antimi-krobial. Kedua ASI eksklusif menghilangkan asupan

makanan dan air yang berpotensi terkontaminasi oleh patogen

tertentu. Selain itu pemberian ASI eksklusif yang dilanjutkan selama

bayi sakit diare akan mencegah bayi dari status gizi buruk.

Hegar and Sahetapy (2013) menyebutkan bahwa kandungan

unik yang terdapat dalam ASI salah satunya adalah Oligosakarida.

Oligosakarida mampu menciptakan suasana asam dalam saluran

cerna. Suasana asam yang didalamnya terdapat SigA (Secretory

Imunnoglobulin A) berfungsi sebagai sinyal pertahanan dalam

saluran cerna. SigA dapat mengikat mikroba patogen, mencegah

perlekatannya pada sel enterosit di usus dan mencegah reaksi imun

yang bersifat inflamasi sehingga diare tidak terjadi. Suradi (2008)

juga mengatakan bahwa bayi yang mendapat ASI jarang terkena

diare karena zat protektif saluran cerna seperti Lactobacillus bifidus,

lisozim, faktor alergi, serta limfosit T dan B. Zat protektif ini

berfungsi sebagai daya tahan tubuh imunologik terhadap zat asing


41

termasuk patogen diare yang masuk dalam tubuh bayi. ASI juga

mengandung epidermal growth factor (EGF) yang membantu proses

maturasi dari epitel intestinal dan laktoferin, suatu glikoprotein

pengikat besi yang dapat melawan bakteri, virus dan jamur (Ballard,

2013; Duijts L, dkk, 2010).

Sementara itu Pun (2010) mengatakan bahwa bayi terutama

yang berusia kurang dari 3 bulan diketahui jarang menderita diare

rotavirus karena diduga berhubungan dengan antibodi ibu terhadap

rotavirus yang disalurkan melalui plasenta dan air susu ibu. Selain

itu kandungan Lactadherin pada air susu ibu beperan menghambat

proses replikasi rotavirus (Banerjee dkk., 2006). Kelompok usia

bayi kisaran 6-11 bulan adalah yang paling rentan terkena infeksi

rotavirus karena menurunnya imunitas yang terjadi melalui

menyusui (Kurugöl dkk., 2003). Pada kelompok usia ini kadar

antibodi ibu yang bayi peroleh dari ASI mulai menurun karena bayi

mulai memasuki "fase oral" dari fase perkembangan normalnya yang

menyebabkan bayi tidak penuh dalam menyusui, namun beralih

mulai memasukkan hampir semua benda-benda yang dipegangnya

ke dalam mulut (Jiang dkk, 2010).

c. Pemberian Makanan Pendamping ASI (MPASI)

Pemberian Makanan Pendamping ASI (MPASI) adalah

memberikan bayi makanan lain disamping ASI setelah bayi berusia


42

6 bulan. Jenis-jenis makanan lain yang dapat diberikan kepada bayi

disamping ASI dapat berupa buah-buahan yang dapat

dihaluskan/dalam bentuk sari buah seperti pisang ambon, pepaya,

jeruk, tomat; makanan lunak dan lembek seperti bubur susu, nasi

tim; makanan bayi yang dikemas dalam kaleng/karton/sachet.

Adapun tujuan pemberian makanan pendamping ASI adalah untuk

melengkapi zat gizi ASI yang sudah mulai berkurang pada bayi,

mengembangkan kemampuan bayi untuk mengunyah dan menelan

dan menerima macam-macam makanan dalam berbagai rasa dan

bentuk serta mencoba untuk beradaptasi dengan makanan yang

mengandung kadar energi yang lebih tinggi (Nugroho, 2011).

Sebelum memberikan MPASI petugas kesehatan maupun orang

tua harus mampu menilai kesiapan bayi untuk menerima MPASI

berdasarkan perkembangan oromotor, yaitu sudah dapat duduk

dengan kepala tegak; bisa mengkoordinasikan mata, tangan dan

mulut untuk menerima makananan; dan mampu menelan makanan

padat. Secara alamiah kemampuan ini sudah dapat dicapai bayi

pada usia 4-6 bulan. MPASI tidak boleh lebih lambat diberikan dari

usia 6 bulan (27 minggu) karena setelah usia 6 bulan ASI eksklusif

sudah tidak dapat memenuhi kebutuhan nutrisi bayi. MPASI secara

kualitas dan kuantitas harus diberikan sesuai dengan kebutuhan

makronutrien dan mikronutrien bayi (Sjarif dkk, 2015).

Penelitian Nutrisiani (2010) di wilayah pedesaan Kecamatan

Purwodadi Kabupaten Grobogan menunjukkan bahwa balita usia


43

0-24 bulan yang diberi MPASI berisiko 14,043 kali mengalami

diare daripada balita yang tidak diberi MPASI. Hal ini berhubungan

dengan usia pemberian MPASI yang terlalu dini yaitu pada usia 0-6

bulan. Sejalan dengan penelitian Maharani (2016) di wilayah

pedesaan Kecamatan Dampal yang menyatakan bahwa bayi usia 0-

12 bulan yang diberikan MPASI dini berpeluang 7,8 kali

mengalami diare. Sebagian besar bayi yang mengalami diare karena

bayi terlalu dini dalam menerima MPASI yaitu pada usia < 6 bulan.

Menurut Juffrie dkk, (2015) bahwa pemberian MPASI yang terlalu

dini meningkatkan risiko kontaminasi patogen diare sehingga

insiden diare persisten semakin tinggi khusunya pada bayi pada

kelompok usia < 12 bulan.

Jenis MPASI juga merupakan faktor resiko yang dapat

menyebabkan diare pada bayi usia 6-12 bulan. Jenis MPASI yang

dapat diberikan pada bayi usia > 6 bulan dapat berupa susu formula.

Susu formula adalah susu komersil yang terbuat dari susu sapi atau

susu kedelai yang komposisi nutrisinya diubah sedemikian rupa

yang disesuaikan mendekati komposisi nutrisi ASI. Susu formula

biasanya disajikan dalam botol susu. Susu formula banyak di jual

di bagian farmasi fasilitas pelayanan kesehatan, pasar, pasar

swalayan, maupun toko (Khasanah, 2011).

Menurut Food and Agriculture Oganization (FAO) (2004)

bahwa bayi yang mengkonsumsi susu formula berisiko

terkontaminasi patogen tertentu. Pada Bubuk susu formula


44

ditemukan beberapa bakteri tertentu seperti Enterbacter sakazakii,

Salmonella spp., Pantoeaagglomerans, Escherichia vulneris, Hafnia

alvei, Klebsiella spp., Citrobacter spp., Enterobacter cloacae,

Bacillus cereus, Clostridium spp., Staphylococcus aureus dan

Listeria monocytogenes. Walaupun banyak ditemukan berbagai

spesies bakteri dalam bubuk susu formula namun sebagian besar

kontaminasi yang terjadi hanya disebabkan oleh Enterbacter

sakazakii dan Salmonella spp (Gribble dan Hausman, 2012).

Menurut Linnecar (2010) bakteri Enterbacter sakazakii dan

Salmonella spp yang terdapat pada bubuk susu formula bila

dicampur dengan air hangat dapat berkembang biak pada tingkat

yang berbahaya. Kemudian membuat pakan pada susu yang sudah

diseduh. Beberapa otoritas kesehatan menyatakan bahwa wabah

Salmonellosis yang terjadi dikalangan bayi diakibatkan karena

mengkonsumsi susu formula (Jourdan dkk, 2008; Usera dkk, 1996).

Selain itu bubuk susu formula mengandung bahan kimia dan

bahan berbahaya tertentu lainnya. Pada tahun 2008 kontaminasi

dengan melamine ditemukan pada bubuk susu formula yang

menyebabkan bayi di China mengalami kesakitan dan kematian.

Diketahui melamine ditambahkan ke dalam bubuk susu formula agar

kadar protein tampak meningkat.

Menurut Badan POM Amerika Serikat atau Food And Drug

Administration (FDA) (2009) susu formula juga telah terkontaminasi

oleh partikel kaca dan plastik PVC. Sebanyak lebih dari satu juta
45

kontainer susu formula di USA ditarik kembali karena telah

ditemukan bagian tubuh kumbang (Walker, 2010). Bahan kimia

lainnya yang dapat mengkontaminasi bubuk susu formula adalah

perklorat dan flouride. Susu formula yang diseduh dengan air kran

akan mengalami peningkaatan pencemaran flouride sebesar dua kali

lipat (Schier dkk., 2010).

Mekanisme infeksi yang terjadi pada bayi saat mengkonsumsi

susu formula yaitu bayi yang menelan protein asing yang ada pada

susu formula akan terangsang oleh kolonisasi patogen kemudian

merusak selaput lendir pelindung usus. Hal ini mengakibatkan

peningkatan risiko kesakitan pada bagian gastrointestinal bayi yang

salah satunya menyebabkan diare (Gribble dan Hausman, 2012).

Selain itu susu formula juga dapat meningkatkan resiko penyakit

non-infeksi lainnya seperti alergi. Menurut Indiarti dan Sukaca

(2009) dalam Atika dkk (2014) bayi yang diberikan susu formula

biasanya terjadi alergi pada organ pencernaannya dengan gejala

muntah dan diare kronik.

Sementara Khasanah (2011) menjelaskan bahwa bayi yang

diberi susu formula, saluran pencernaannya dapat terganggu akibat

dari pembuatan susu formula yang kurang tepat. Pembuatan susu

formula baik yang terlalu encer maupun yang terlalu kental dapat

membuat usus bayi susah mencerna. Usus bayi yang susah mencerna

susu formula akan kembali mengeluarkan susu formulanya sebelum

dicerna melalui anus yang mengakibatkan bayi mengalami diare.


46

Adapun perbandingan antara susu formula dan ASI ditunjukkan

pada tabel 2. 4 berikut ini :

Tabel 2. 4 Perbandingan ASI dan Susu Formula

ASI Susu Formula


Kandungan zat gizi ASI sangat Susu formula mengandung
bervariasi dan seimbang; Semakin banyak zat gizi namun tidak
sering menyusui maka ASI akan seimbang. Hal ini akan
semakin banyak diproduksi. menyulitkan bayi untuk
mengkonsumsi zat gizi lainnya.
Anti bodi dan sel hidup dalam Susu formula tidak
ASI membantu melindungi bayi mengandung anti bodi dan sel
terhadap infeksi. Antibodi ini hidup yang berfungsi
dihasilkan dari ASI untuk melindungi bayi.
melawan kuman yang mungkin Imunoglobulin yang berasal
dihadapi ibu dan bayi. Bayi dari susu sapi bukan tipe yang
dilindungi oleh sistem kekebalan dibutuhkan manusia dan
tubuh ibu yang sudah lebih kebanyakan rusak saat
matang. diproses.
Karena ASI mengandung anti Susu formula dapat
bodi, lebih dapat mencegah menyebabkan infeksi melalui
infeksi seperti gastroenteritris kontaminasi air atau botol jika
tidak bersih. Untuk itu
kebersihan saat proses
menyiapkan dan pemberiannya
perlu diperhatikan supaya
steril.
Mengandung kolesterol lemak Tidak mengandung kolesterol
yang tinggi; ASI mengandung lemak; tidak mengandung
asam lemak penting yaitu asam lemak penting, yaitu
docohexanoic acid (DHA), omega DHA dan ARA; beberapa merk
3 dan arachidonix acid (ARA) susu fomula sudah
yang sangat vital untuk otak dan mengandung asam tertentu;
perkembangan penglihatan; susu formula juga ada yang
kadarnya berubah selama masa mengandung lemak sayuran;
pemberian makanan sebagai kadarnya tetap konstan selama
respons terhadap isapan bayi; masa pemberian makanan,
kadarnya menurun seiring tidak menyesuaiakan diri
bertambahnya usia bayi; lemak dengan perubahan kebutuhan
dapat diserap sepenuhnya. bayi; lemak tidak dapat diserap
sepenuhnya, sehingga lemak
berakhir di kotoran bayi.
ASI mudah dicerna usus bayi Susu formula tidak mudah
karena ASI mengandung enzim dicerna usus bayi karena tidak
lipase mengandung enzim lipase
Zat besi dari ASI mudah diserap Susu formula adakalanya
47

usus bayi. Penyerapan zat besi mengandung zat besi lebih


dari ASI dan penggunaannya oleh tinggi dari ASI serta vitamin K
usus bayi sekitar 50-75%. (Vitamin K sangat berguna
untuk penggumpalan darah).
Namun zat besi dari susu
formula hanya bisa terserap
usus bayi sekitar 5-10 % saja.
Berisi protein air dadih yang Banyak yang mengandung
mudah dicerna usus bayi. Protein protein kasein sehingga
tersebut mengandung membentuk dadih karet dalam
keseimbangan ideal dari berbagai perut bayi. Proteinnya berasal
tipe asam amino bagi dari susu sapi dan dapat
pertumbuhan otak, perkembangan menyebabkan alergi. Kadar
jaringan dan pembangunan tubuh. protein yang tinggi sangat berat
Beberapa jenis protein khusus bagi ginjal bayi. Profil asam
tertentu seperti laktoferin, lisosim, amino yang berbeda dari ASI
dan protein khusus lainnya dapat mempengaruhi
mencegah berkembangbiaknya perkembangan jaringan. Susu
virus dan bakteri dalam usus bayi. formula mengandung protein
Protein pada ASI juga khusus tertentu seperti
menyebabkan bayi tidur. laktoferin, lisosim, dan protein
khusus lainnya dengan jumlah
minimal atau tidak ada sama
sekali. Selain itu susu formula
tidak mengandung banyak
protein penyebab tidur.
ASI kaya laktosa. Kadar laktosa Susu formula tidak
tinggi dapat mendorong mengandung banyak laktosa
pertumbuhan Lactobacillus sebagaimana ASI. Laktosa dan
bifidus dalam usus bayi yang sirup jagung ditambahkan pada
menyebabkan tinja bayi yang susu formula untuk bayi. Hal
tidak terlalu bau dan ini membuat susu formula
meningkatkan daya tahan tubuh kurang bersahabat dengan usus
terhadap infeksi pencernaan. bayi.
Vitamin dan mineral yang Jumlah vitamin dan mineral
terdapat ekstra ditambahkan pada susu
pada ASI dapat berupa zink, formula untuk menggantikan
kalsium dan zat besi. penyerapan yang buruk.
Keseimbangan yang tepat untuk Kompleksitas kerjasama antara
berbagai vitamin dan mineral vitamin dan mineral dalam
dalam ASI membuat semua dapat susu formula dapat dipahami.
diserap dengan baik. Kadar vitamin dan mineral
Kompleksitas kerjasama antara dalam susu formula bayi
vitamin dan mineral dalam ASI didasarkan pada yang
tidaklah dipahami. terkandung dalam ASI, dengan
tambahan unsur pengaman.
Susu formula bayi dapat
mengandung lebih banyak
48

vitamin dan mineral, namun


tidak seperti yang ada dalam
ASI.
Mengandung enzim pencernaan Enzim-enzim dan hormon-
yang membantu bayi hormon dari susu sapi telah
memanfaatkan semua gizi yang rusak saat proses pemanasan di
terkandung dalam ASI; berisi pabrik.
banyak hormon yang berperan
dalam pertumbuhan dan
perkembangan.
ASI tidak akan menyebabkan bayi Susu formula mudah
kelebihan konsumsi karena menyebabkan bayi kelebihan
pemberiannya disesuaikan dengan konsumsi karena rasanya
kemauan bayi. manis sehingga membuat anak
cenderung mengkonsumsi
lebih. Hal ini membuat bayi
yang mengkonsumsi susu
formula dapat berisiko
mengalami obesitas saat
dewasa.
Tingkat kesehatan ibu, makanan, Kualitas susu formula bayi
stress atau obat-obatan serta tidak dipengaruhi oleh status
konsumsi alkohol dapat kesehatan dan makanan ibu.
berpengaruh pada ASI
ASI mengurangi risiko bayi untuk Susu formula tidak
terkena asma, eksim dan alergi menunjukkan pengurangan
lainnya serta intoleransi terhadap risiko pada gangguan
susu sapi pada usia berikutnya. kesehatan yang umumnya
ASI juga mengurangi risiko dialami oleh bayi.
insiden beberapa kelainan seperti
infeksi, kolitis, diabetes dan
lainnya.
ASI selalu tersedia dimana saja. Susu formula harus
Ibu selalu berada dengan dipersiapkan dan jika perlu
temperatur yang sesuai untuk disimpan di dalam lemari es
bayi. serta memerlukan waktu untuk
menghangatkan kembali.
ASI tidak memerlukan waktu Susu formula bayi memerlukan
khusus dalam persiapan serta waktu dan peralatan untuk
peralatan sehingga disebut susu diberikan pada bayi.
ekspres.
ASI tidak perlu beli Susu formula harus beli
Pemanfaatan ASI hanya ibu Susu formula bayi memang
sendiri yang dapat melakukannya, akan memudahkan orang lain
tanpa memanfaatkan orang lain. untuk mempersiapkannya,
Tetapi dipastikan bersih dan tetapi perlu pengawasan ketat
aman. agar kebersihannya tetap
terjamin.
49

Sumber : (Soenardi, 2008 & Sears dkk., 2003)

Penelitian yang dilakukan oleh Patel dkk (2015) menunjukkan

bahwa pemberian jenis MPASI berupa susu formula berhubungan

signifikan dengan kejadian diare pada bayi. Bayi yang ikut dalam

penelitian ini sebagian besar berusia 6-24 bulan. Menurut Patel dkk

botol susu terutama dot sebagai tempat penyajian susu formula yang

tidak steril dapat menjadi media perkembangbiakkan

mikroorganisme yang bersifat patogen, termasuk patogen penyebab

diare. Penelitian lainnya yang sejalan dengan penelitian Patel dkk

(2015) adalah penelitian yang dilakukan oleh Aningsih dkk (2013)

dan Estiana dkk (2014)

Penelitian Aningsih dkk (2013) di pedesaan wilayah kerja

Puskesmas Banjarbaru menyatakan bahwa sebagian besar bayi usia

7-12 yang mengalami diare (20.6%) diantara kelompok usia lainya.

Adapun mayoritas ibu bayi memberikan anaknya susu formula

(76.5%). Penelitan ini menghasilkan hubungan bermakna antara

pemberian susu formula dengan kejadian diare pada balita. Sama

halnya dengan penelitian Estiana dkk (2014) yang menunjukkan

bahwa pemberian susu formula berhubungan dengan kejadian diare

pada bayi usia 1-12 bulan dengan (p=0.000).

Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Pawennari

(2011) di wilayah kerja Puskesmas Kassi-Kassi Makassar bahwa

dari 35 bayi usia 6-12 yang mengkonsumsi susu formula. Terdapat

diantaranya 19 (54.3%) bayi mengalami diare dan 16 (45.7%) bayi


50

tidak mengalami diare. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara

statistik ada pengaruh yang signifikan (p=0.004) antara cara

membersihkan/mensterilkan botol susu dengan kejadian diare pada

bayi usia 6-12 bulan yang mengkonsumsi susu formula. Diketahui

dari 35 responden, sebanyak 22 orang yang cara membersihkan/

mensterilkan botol susu yang tidak sesuai syarat kesehatan,

sebanyak 16 orang (45,7%) yang diare, dan 6 orang ( 17,1%) yang

tidak diare. Sedangkan dari 13 orang yang cara membersihkan/

mensterilkan botol susu yang sesuai syarat kesehatan hanya 3 orang

( 8,6 %) yang menderita diare dan sebanyak 10 orang (28,6 %) yang

tidak diare.

Hasil statistik lainnya menunjukkan tidak ada pengaruh yang

signifikan antara penyajian susu formula dengan kejadian diare

pada bayi usia 6-12 bulan yang mengkonsumsi susu formula.

Sebanyak 24 orang yang cara menyiapkan susu formula tidak

memenuhi syarat kesehatan, sebanyak 15 orang (42,9 %) yang

menderita diare dan 9 (25,7 %) yang tidak diare. Sedangkan dari 11

orang yang cara menyiapkan susu formula memenuhi syarat

kesehatan, sebanyak 4 orang (11,4 %) yang menderita diare dan

yang tidak diare sebanyak 7 orang (20.0 %).

Penelitian lainnya tekait hubungan pemberian susu formula

dengan diare pada bayi juga ditunjukkan oleh penelitan Suherna

dkk (2009). Suherna dkk (2009) meneliti kejadian diare pada bayi

usia 0-24 bulan di wilayah kerja puskesmas Balai Agung Sekayu.


51

Pada penelitiannya ini sebagian besar bayi yang berusia > 6 bulan

lebih banyak dibandingkan dengan bayi yang berusia 0-6 bulan.

Penelitiannya di peroleh hasil bahwa cara pengenceran susu

formula, cara penyimpanan sisa susu di dalam botol dan cara

penyimpanan susu setelah pengenceran masing-masing tidak

mempunyai hubungan yang bermakna dengan kejadian diare pada

bayi usia 0-24 bulan. Sedangkan penggunaan air untuk

mengencerkan susu formula, cara membersihkan botol susu,

kebiasaan cuci tangan sebelum mengencerkan susu dan jenis susu

formula masing-masing mempunyai hubungan dengan kejadian

diare pada bayi usia 0-24 bulan.

Jenis MPASI lainnya dapat berupa jus buah. Menurut Plessis

(2013) dan United State Departement of Agriculture USDA (2009)

jus buah tertentu (termasuk jus tanpa gula) pada bayi usia 6-12

bulan pemberiannya harus dibatasi sekitar 10 ml/kg berat badan

atau 120-180 ml/kg berat badan perhari. Hal ini karena ada

beberapa jus tertentu misalnya jus apel, prune dan pir yang

mengandung sejumlah besar sorbitol, gula alkohol, dan

proporsional lebih fruktosa dari glukosa. Sebagian dari gugus

glukosa (karbohidrat) seperti sorbitol hanya bisa diserap usus bayi

sekitar 10% saja. Sementara fruktosa tidak dapat diserap sama

sekali. Hal ini membuat fermentasi yang rendah dari karbohidarat

sehingga dapat menyebabkan diare, sakit perut dan kembung pada

bayi.
52

Sama halnya dengan pernyataan USDA (2016) bahwa jus buah

dapat diberikan pada bayi sebagai minuman sehari-hari. Namun jus

buah dapat diberikan pada ukuran 2-4 ons saja. Bayi tidak

direkomendasikan menerima lebih dari 4 ons dalam sehari karena

jus buah mengandung sangat sedikit nutrisi dibandingkan dengan

makanan bergizi lainnya. Terlalu banyak jus buah dapat merusak

selera makan bayi untuk makan makanan bergizi lainnya dan dapat

menyebabkan diare, gas, sakit perut dan kembung. Sementara itu

menurut Wham dkk (2012) jus buah lainnya seperti jus lemon

terkadang digunakan untuk pengobatan berbagai jenis gangguan

usus termasuk diare dan kolik. Hal ini tidak direkomendasikan

sebab tingginya konsentrasi karbohidrat pada lemon akan menarik

cairan dalam usus yang menyebabkan diare dan dehidrasi lebih

parah.

Selanjutnya jenis MPASI lainnya seperti makanan dengan kaya

serat, makanan nabati dengan asam fitat tinggi dapat menurunkan

bioavailabilitas besi dan seng dalam tubuh. Tingginya asupan

makanan seperti ini akan menyebabkan terjadinya kekurangan

kadar besi dan zink yang mengakibatkan balita berisiko mengalami

diare. Balita di Swedia yang menerima bubur dengan kandungan

fitat biasa berisiko 0,77 kali mengalami diare dibandingkan dengan

balita berusia 12-17 bulan yang menerima bubur dengan kandungan

fitat yang kurang. Bubur sebagai MPASI yang mengandung fitat

dengan rasio bioavailabilitas besi dan seng yan tinggi dapat


53

ditemukan pada yang berbasis tanaman jagung ketimbang beras

(Plessis, 2013)

d. Pemberian Vitamin A

Vitamin A adalah salah satu zat gizi penting yang larut dalam lemak,

disimpan dalam hati, dan tidak dapat diproduksi oleh tubuh sehingga harus

dipenuhi dari luar tubuh. Salah satu manfaat vitamin A diantaranya adalah

meningkatkan daya tahan tubuh. Vitamin A dapat mengurangi durasi,

keparahan dan kompilkasi pada kejadian diare. Selain itu vitamin A dapat

mengurangi dan mencegah kematian akibat diare. Tubuh dapat memperoleh

vitamin A salah satunya melalui suplemen kapsul vitamin A dosis tinggi

(Kemenkes RI, 2009; WHO, 2010; Juffrie dkk, 2015).

Suplemen kapsul vitamin A dosis tinggi dapat diberikan pada balita di

usia 6-59 bulan. Balita direkomendasikan menerima kapsul vitamin A dosis

tinggi sebanyak 2 kali dalam setahun. Sasaran suplementasi kapsul vitamin A

berwarna biru dengan dosis 100.000 SI diberikan pada bayi usia 6-11 bulan

sebanyak satu kali. Sedangkan sasaran suplementasi kapsul vitamin A

berwarna merah dengan dosis 200.000 SI diberikan pada balita usia 12-59

bulan sebanyak dua kali (Kemenkes RI, 2009).

Menurut panduan manajemen suplementasi Vitamin A bahwa

pemberian vitamin A pada bayi adalah sebagai berikut : (1) Suplementasi

diberikan kepada seluruh anak balitausia 6-59 bulan secara serentak (Pada

bulan Februari dan Agustus); (2) Tenaga yang memberikan suplementasi

vitamin A dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan (dokter, bidan, perawat,


54

tenaga gizi, dll) atau kader kesehatan terlatih; (3) Berikan kapsul biru

(100.000 SI) pada bayi usia 6-11 bulan dan kapsul merah (200.000 SI) untuk

bayi ≥ 12 bulan; (4) Potong ujung kapsul dengan gunting yang bersih; (5)

pencet kapsul dan pastikan bayi menelan semua isi kapsul (dan tidak

membuang sedikitpun isi kapsul); (6) Pemberian kapsul vitamin A dicatat

pada KMS/Buku KIA dan direkapitulasi dalam buku bantu (Kemenkes RI,

2009).

Nel (2010) mengatakan bahwa beberapa penelitian di negara-negara

berkembang menunjukkan bahwa suplemen vitamin A dapat mengurangi

jumlah episode diare yang parah dan kematian akibat diare pada kalangan

anak-anak terutama balita. Namun di lain sisi ditemukan bukti bahwa vitamin

A kurang dapat bermanfaat bagi anak-anak yang menderita diare. Vitamin A

diketahui dapat mengurangi permeabilitas usus pada balita di negara

berkembang yang membuat fungsi usus dalam sistem pencernaan terhambat.

Berbeda dengan Truswell (1985) yang menyatakan bahwa vitamin A

memberikan perlindungan pada epithelium usus dari berbagai patogen

tertentu dalam menjalankan fungsinya pada sistem pencernaan.

Kemudian penelitian Stanly dkk (2009) yang dilakukan di pedesaan

India Selatan menunjukkan bahwa bayi yang sebagian besar berada pada usia

7-12 bulan yang tidak menerima suplemen vitamin A meningkatkan risiko

diare akut sebesar 7.4 kali dibandingkan dengan yang tidak menerima

vitamin A. Penelitian Chisti dkk. (2013) juga menyatakan bahwa bayi

dibawah usia 6 bulan yang tidak menerima vitamin A berhubungan


55

signifikan dengan usia bayi muda, durasi diare >4 hari, dehidrasi dan rawat

inap di rumah sakit >7 hari.

Menurutnya tingginya proporsi dehidrasi kilinik pada bayi yang tidak

menerima vitamin A dapat dilihat dari tingginya rata-rata isolasi V.cholerae

yang terdapat pada tubuh bayi itu sendiri, namun pada penelitian ini tidak

ditemukan perbedaan yang signifikan pada rata-rata isolasi V.cholerae pada

kelompok bayi yang diberi vitamin A dan bayi yang tidak diberi vitamin A.

Penelitian lainnya yang dilakukan Long dkk (2006) pada bayi usia 5-15

bulan didapatkan hasil bahwa efek suplemen vitamin A dalam kaitannya

dengan kekebalan mukosa gastrointestinal tidaklah seragam melainkan

tergantung pada patogen diare yang menginfeksi dan proses patologis yang

terjadi didalam tubuh bayi itu sendiri.

Sementara itu menurut Mason dkk (2015) bahwa walaupun distribusi

pemberian suplementasi kapsul vitamin A meluas namun memiliki efek

yang perlahan dalam mempengaruhi sekitar sepertiga dari anak-anak di

negara-negara berkembang dari kejadian diare. Uji khasiat suplemen kapsul

vitamin A sejak tahun 1994 dikonfirmasi tidak berdampak pada

pengurangan kematian pada balita karena diare. Hal ini menurutnya karena

kadar serum retinol yang rendah dan kemungkinan periodik dosis tinggi

kapsul vitamin A memiliki sedikit relevansi dengan perubahan pola penyakit

diare itu sendiri. Maka dari itu untuk mengatasi diare karena kekurangan

vitamin A maka pemenuhan asupan vitamin A dapat dipenuhi dengan

pendekatan berbasis pangan dan fortifikasi disamping pemberian suplemen

kapsul vitamin A dosis tinggi .


56

e. Status Vaksinasi Rotavirus

Istilah imunisasi dan vaksinasi seringkali diartikan sama.

Imunisasi adalah teknologi yang sangat berhasil dalam dunia

kedokteran sebagai satu upaya meningkatkan kesehatan yang paling

efektif dan efisien bagi masyarakat dalam bidang imunologi.

Imunisasi dibagi menjadi dua yaitu imunisasi pasif dan aktif.

Imunisasi pasif adalah suatu pemindahan atau transfer antibodi

secara pasif (Ranuh dkk, 2011).

Sedangkan imunisasi aktif atau yang sering disebut dengan

vaksinasi adalah suatu tindakan pemberian vaksin (antigen) yang

dapat merangsang pembentukan imunitas (antibodi) dari sistem imun

didalam tubuh (Ranuh dkk, 2011). Vaksin (antigen) dimasukkan

kedalam tubuh agar dapat membentuk zat anti untuk mencegah

penyakit tertentu. Bayi yang telah divaksinasi diharapkan dapat

kebal terhadap penyakit tertentu sehingga menurukan angka

morbiditas dan mortalitas serta mengurangi kecacatan akibat

penyakit yang dapat dicegah dengan vaksinasi (Hidayat, 2008).

Rotavirus menyerang kelompok balita pada musim-musim

tertentu (Ngabo dkk, 2016). Rotavirus menjadi penyebab paling

utama diare parah yang terjadi pada balita didunia. Setiap tahunnya

diare rotavirus menyebabkan lebih dari satu juta kematian pada

balita (Parashar dkk., 2006; 2009). Demi mengurangi penularan

rotavirus yang mengakibatkan diare parah pada balita, maka pada


57

bulan April 2009, WHO merekomendasikan semua lembaga

kesehatan di dunia untuk melindungi sistem imun balita dari

rotavirus dengan memberikan vaksinasi rotavirus secara rutin.

Program vaksinasi rotavirus secara rutin berpotensi menghindari

488.547 kasus rawat jalan, 176.375 kasus rawat inap, dan 8.148

kematian akibat diare pada sebanyak 4,2 juta balita sejak usia lahir

sampai usia 5 tahun (Wahab dan Julia, 2002; Ranuh dkk., 2011).

Banyak hasil penelitian kesehatan yang menyatakan bahwa

vaksinasi rotavirus dapat mencegah bayi mengalami diare yang

disebabkan oleh rotavirus. Penelitian yang dilakukan oleh Carmo

dkk (2011) di Brazil menyatakan bahwa setelah pemberian vaksinasi

rotavirus secara rutin terjadi penurunan yang signifikan yang

diamati selama tiga tahun terakhir untuk kematian dan penerimaan

kasus diare pada balita di negara Brazil. Penurunan terbesar terjadi

pada bayi pada usia ≤ 2 tahun. Diperkirakan penurunan kasus

sebesar 40.000 setiap tahunnya diantara anak-anak dibawah usia 5

tahun selama tahun 2007-2009.

Penelitian yang dilakukan oleh Laryea dkk (2014) di Ghana juga

menyatakan bahwa pemberian vaksinasi rotavirus berhubungan

signifikan dengan semua kejadian diare dan penyakit salurna cerna

akibat rotavirus pada balita berusia ≥ 59 bulan dirumah sakit.

Laryea dkk meneliti sebanyak 5847 bayi dengan diare dengan

berbagai tipe selama 74 bulan (Januari 2008 – Februari 2014),

diantaranya sebanyak 3963 (67.8%) bayi telah direkrut oleh


58

surveilan rotavirus dimana sebanyak 3160/3963 (79.7%) spesimen

tinja telah diuji mengandung rotavirus. Hasilnya menunjukkan rata-

rata rawat inap bulanan untuk semua penyebab diare sebesar 84

selama 52 bulan pengenalan pra-vaksinasi rotavirus kemudian

megalami penurunan menjadi 46 dalam waktu 22 bulan setelah

pelaksanaan vaksinasi rotavirus pada bayi.

Hasil penelitian lainnya yang sejalan dengan hasil penelitian

Carmo dkk (2011) dan Laryea dkk (2014) adalah penelitian yang

dilakukan oleh (Madhi dkk, 2016); (Cortes dkk., 2011); dan (Ngabo

dkk, 2016). Penelitian Madhi dkk (2016) menunjukkan bahwa

sebanyak 4939 bayi terdaftar kemudian dimasukkan kedalam tiga

kelompok, yaitu 1647 bayi menerima dua dosis vaksin rotavirus,

1651 bayi menerima tiga dosis vaksin rotavirus dan 1641 menerima

plasebo. Sebanyak 4417 bayi termasuk dalam analisis efektivitas

per-protokol. Hasilnya gastroenteritis rotavirus parah terjadi pada 4,9

% bayi pada kelompok plasebo dan 1,9 % pada kelompok vaksin

rotavirus gabungan (keampuhan vaksin: 61,2%, interval kepercayaan

95% ,CI 44 -73.2).

Efektifitas vaksin lebih rendah di Malawi daripada di Afrika

Selatan (49.4% vs 76.9%). Namun jumlah episode gastroenteritis

rotavirus parah yang dapat dicegah lebih besar di Malawi

dibandingkan di Afrika Selatan (6,7 kasus diantaranya hanya 4.2

kasus dicegah per 100 bayi divaksinasi per tahun). Khasiat terhadap

semua penyebab gastroenteritis berat adalah 30.2%. Paling sedikit


59

satu kejadian buruk yang serius dilaporkan terjadi pada 9.7% bayi

pada kelompok vaksin rotavirus gabungan dan 11.5% bayi kelompok

plasebo. Vaksin rotavirus pada penelitian ini terbukti secara

signifikan mengurangi kejadian gastroenteritis rotavirus parah

diantara bayi di Afrika di awal pertama kehidupannya.

Penelitian Cortes dkk. (2011) menyatakan bahwa di Amerika

Serikat sejak diperkenalkannya vaksin rotavirus, penggunaan

perawatan kesehatan terkait diare dan pengeluaran medis untuk

balita telah menurun secara substansial. Secara nasional untuk

periode 2007-2009, diperkirakan ada pengurangan 64.855 rawat inap

akibat diare pada balita dimana sebagian besar terjadi pada usia < 1

tahun. Amerika Serikat juga dapat menghemat sekitar $ 278 juta

biaya pengobatan diare pada balita yang disebabkan oleh rotavirus.

Selanjutnya penelitian Ngabo dkk (2016) di Rumah Sakit

Rwanda juga didapatkan hasil yang sejalan. Ngabo dkk melaporkan

bahwa setelah pengenalan vaksinasi pentavalen rotavirus jumlah

penerimaan pasien ke rumah sakit Rwanda untuk diare yang tercatat

oleh Sistem Informasi Manajemen Kesehatan (SIK) turun 17- 29 %.

Median pra-vaksin turun sebanyak 4051 sampai 2881 pada tahun

2013 dan 3371 pada tahun 2014. Penerimaan untuk gastroenteritis

akut yang tercatat di registrasi bagian balita menurun dari 48-49%.

Penerimaan khusus untuk rotavirus yang tercatat oleh surveilans

aktif turun 61-70%. Efek terbesar yang tercatat pada balita yang

memenuhi syarat untuk di vaksinasi. Namun kami mencatat


60

penurunan proporsi balita dengan diare postiif untuk rotavirus

hampir pada kelompok usia.

f. Status Vaksinasi Campak

Campak merupakan penyakit yang sangat infeksius yang

disebabkan oeleh virus campak yang ditularkan melalui perantara

droplet. Penyakit campak dapat dicegah dengan vaksinasi campak.

Vaksinasi campak dianjurkan diberikan dalam satu dosis 0,5 ml

secara sub-kutan dalam padausia 9 bulan Selanjutnya vaksinasi

penguat dapat diberikan pada usia 2 tahun. Pemberian vaksinasi

campak secara langsung berdampak pada pencegahan terhadap

penyakit diare (IDAI, 2000; Halim, 2016; Hidayat, 2008)

Penelitian Kurniawati dan Martini (2016) di Puskesmas Panca

Keling Surabaya menujukkan bahwa status vaksinasi campak

berhubungan dengan kejadian diare diakut pada balita. Sebanyak 152

balita (76 kasus: 76 kontrol) yang menjadi sampel. Balita berusia

12-24 bulan lebih banyak diantara kelompok usia lainnya. Hasil

statistik memperlihatkan risiko untuk terkena diare akut pada anak

balita yang tidak memiliki status vaksinasi campak sebesar 12,69

kali lebih besar dibanding dengan anak balita yang memiliki status

vaksinasi campak.
61

Penelitian Agustin (2008) di wilayah kerja Puskesmas Subuh

Kabupaten Situbondo juga menyatakan vaksinasi campak

berhubungan dengan kejadian diare pada bayi usia 12-24. Sebesar

78.33% bayi sudah divaksinasi campak dan sisanya 21.67% tidak

divaksinasi campak. Sebagian besar balita (53.33%) tidak

mengalami diare, 15% mengalami diare ringan dan 31,67%

mengalami diare pada tingkat sedang.

Lainnya Bawankule dkk (2017) melakukan penelitian dengan

menggunakan analisis regresi logistik biner multivariabel untuk

menentukan efek vaksinasi campak pada diare diantara balita usia

12-59 bulan di beberapa negara seperti Republik Demokratik Kongo,

Etiopia, India, Nigeria, dan Pakistan. Bawankule dkk memperoleh

hasil bahwa lebih dari 60 persen balita berusia 12-59 bulan diberi

vaksin campak sebelum survei di Negara Kongo, Ethiopia, India dan

Pakistan. Balita yang diberi vaksin campak cenderung memiliki

risiko diare lebih rendah daripada mereka yang tidak menerimanya

di semua negara yang dipilih kecuali Etiopia. Vaksinasi campak

dapat menurunkan kasus diare sebesar 12-22 % di Republik

Demokratik Kongo, India, Nigeria dan Pakistan.

Adapun pentingnya pemberian vaksinasi campak dalam

kaitannya dengan kejadian diare pada bayi, yaitu apabila bayi sedang

mengalami diare, maka bayi yang tidak menerima vaksinasi campak

akan semakin bertambah parah kondisinya dengan dialaminya

penyakit campak dalam empat minggu terakhir. Hal tersebut


62

diakibatkan oleh adanya penurunan kekebalan tubuh penderita yang

disebabkan oleh virus campak yang menyerang sistem mukosa tubuh

dan saluran cerna (Kemenkes RI, 2007). Selain itu ditemukan bahwa

1-7 % balita yang mengalami diare bersaamaan dengan campak

umumnya mengalami kondisi yang lebih berat dan lebih lama dalam

pengobatannya. Hal ini terjadi karena susah diobati dan cenderung

menjadi kronis yang diakibatkan adanya kelainan pada epitel usus

(Suraatmaja, 2007).

g. Riwayat Penyakit Lain

Penyakit tertentu diketahui dapat menjadi faktor risiko penyakit

diare. Salah satu penyakit yang berhubungan dengan kejadian diare

adalah ISPA. ISPA adalah penyakit infeksi akut yang menyerang

salah satu bagian dan atau lebih dari saluran nafas mulai dari hidung

(saluran atas) hingga alveoli (saluran bawah) termasuk jaringan

adneksanya seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura. Penyakit

ini mengenai saluran pernafasan atas dan bawah secara stilmultan

atau berurutan. Tanda dan gejala peyakit ISPA dapat berupa batuk,

kesukaran bernafas, sakit tenggorokan, pilek, sakit telinga dan

demam (Kemenkes RI, 2011c; Kemenkes RI., 2011d; Nelson, 2000).

Walker dkk. (2013) dalam penelitiannya menemukan anak-anak

di India dan Nepal dapat mengalami diare dan infeksi saluran

pernafasan bawah secara bersamaan. Hubungan keduanya dapat


63

semakin meningkat dengan beratnya infeksi yang terjadi. Infeksi

akut saluran pernafasan bawah dapat berisiko pada kejadian diare

dan sebaliknya. Hubungan signifikan yang lebih kuat terlihat pada

diare yang berisiko menyebabkan infeksi akut saluran pernafasan

bawah, sedangkan Infeksi akut saluran pernafasan bawah sebagai

faktor risiko diare memperlihatkan hubungan signifikan hanya pada

musim-musim tertentu saja seperti musim panas dan hujan diantara

bayi di wilayah india selatan. Selain itu berdasarkan analisis yang

dilakukannya dengan regresi probit bivariat bahwa model yang

menunjukkan diare dan infeksi akut saluran pernafasan bawah

memiliki korelasi positif yang kecil dan hanya terjadi bersamaan

karena kebetulan saja.

Sejalan dengan penelitian Fenn dkk (2005) di pedesaan Ghana

didapatkan hasil bahwa kesakitan simultan yang terjadi antara diare

dan pneumonia terjadi karena kebetulan saja. Korelasi kesakitan

akibat infeksi gabungan lebih besar seiring dengan meningkatnya

tingkat keparahan masing-masing penyakit. Fenn dkk juga

menemukan bahwa tidak ada bukti secara statistik terjadinya diare

dengan dehidrasi berat dan pneumonia berat ditandai dengan efek

sinergis pada risiko kematian. Berbeda dengan hasil penelitian Myint

dkk (2016) yang menyatakan bahwa bayi usia 24-59 bulan yang

menderita diare akut 2,1 kali lebih berisiko menderita ISPA

dibandingkan dengan bayi yang tidak menderita diare akut.


64

Diare mungkin juga dapat terjadi karena diikuti dengan penyakit

penyerta lainnya seperti saluran susunan saraf (meningitis,

enfasilitis, dll); infeksi saluran kemih; infeksi sistem lain (sepsis,

campak, dll) dan kurang gizi (KEP, kurang vitamin A, dll)

(Kemenkes RI, 2011d). Menurut Juffrie dkk (2015) riwayat diare

akut dalam waktu dekat dan riwayat diare persisten sebelumnya

khususnya pada bayi < 12 bulan dapat mempengaruhi bayi

mengalami diare berulang. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan

oleh Bahartha dan Alezzi (2015) bahwa kejadian diare berulang

selama tiga bulan terakhir berisiko 2,02 kali akan menyebabkan bayi

mengalami diare kembali.

2. Faktor Ibu

a. Usia
Usia adalah satuan waktu yang mengukur waktu

keberadaan suatu benda atau makhluk, baik yang hidup maupun

yang mati. Usia dihitung beradasakan masa hidup seseorang dalam

tahun dengan pembulatan kebawah atau waktu ulang tahun terakhir.

Penggolongan usia dikategorikan menjadi 4, yaitu anak-anak (< 10

tahun), remaja (10-24 tahun), dewasa (25-59 tahun), dan lanjut usia

(>60 tahun) (Depkes RI, 2009; Kemenkes RI, 2008).

Penelitian Papikyan (2009) didapatkan hasil bahwa

berdasarkan analisis regresi linear sederhana (SLR) menunjukkan


65

bahwa rata-rata durasi diare lebih tinggi dikalangan bayi yang

berusia kurang dari 9 bulan dan memiliki ibu yang berusia dibawah

30 tahun. Sebuah asosiasi ditemukan antara usia ibu dengan nilai

pengetahuan ibu. Rata-rata untuk setiap kenaikan usia ibu satu tahun

terjadi peningkatan skor pengetahuan ibu sebesar 0,1 unit. Maka

semakin muda usia ibu makin sedikit pula pengetahuan dan

pengalaman ibu dalam mencegah, merawat, mengelola diare pada

bayinya.

Sementara menurut Wijaya (2012) usia ibu bukan

merupakan tolak ukur kemampuan ibu dalam melakukan perawatan

terhadap balitanya, termasuk dalam kemampuan preventif ibu dalam

melindungi balitanya dari diare. Ada beberapa faktor lain yang

menunjukkan tingkat kematangan ibu balita dalam merawat

balitanya ketika mengalami diare terutama saat dehidrasi terjadi

yaitu faktor lingkungan, perilaku, pelayanan kesehatan dan faktor

personal. Keempat faktor tersebut memungkinkan untuk saling

berinteraksi sehingga berperan lebih besar terhadap kejadian diare.

b. Pendidikan

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan

suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara

aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan

spriritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,


66

akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,

masyarakat, bangsa dan negara. Pendidikan di Indonesia terbagi atas

pendidikan formal dan non formal. Pendidikan formal adalah jalur

pendidikan yang terstruktur dan berjenjang, terdiri atas pendidikan

pada tingkat dasar , menengah dan tinggi. Pendidikan non formal

adalah jalur pendidikan yang dilaksanakan diluar pendidikan formal

yang dapat dilaksnakan secara terstruktur dan berjenjang (UU RI

No.12, 2012; UU RI No.9, 2009; Kemendikbud, 2014).

Pendidikan akan membantu seseorang memperoleh informasi-

informasi baru yang dapat menambah wawasan. Pendidikan juga

merupakan suatu faktor yang mempengaruhi seseorang dalam

menyerap dan memahami pengetahuan yang telah diperoleh.

Semakin tinggi pendidikan ibu makan akan lebih mudah menerima

pesan-pesan kesehatan dan cara-cara pencegahan penyakit. Maka

dari itu semakin banyak informasi yang masuk, maka semakin

banyak pula pengetahuan yang diperoleh, termasuk pengetahuan

kesehatan. Ibu dengan banyak pengetahuan kesehatan akan mampu

merawat bayinya lebih baik lagi termasuk dalam melindungi bayinya

dari diare (Chisty, 2014).

Pada penelitian yang dilakukan oleh Lasning (2012) diketahui

bahwa sebanyak 13% ibu yang berpendidikan tinggi baik pada

balita pada kelompok diare maupun tidak diare. Sementara ibu yang

berpendidikan rendah sebesar 87% baik pada balita kelompok diare

dan tidak diare. Hasil statistik menunjukkan tidak ada perbedaan


67

antara balita yang ibunya berpendidikan tinggi maupun rendah

dengan kejadian diare balita. Ibu balita yang berpendidikan rendah

tidak memiliki risiko dengan kejadian diare pada balita.

c. Pengetahuan

Pengetahuan merupakan kemampuan untuk membetuk

model mental yang menggambarkan obyek dengan tepat dan

merepresentasikannya dalam aksi yang dilakukan terhadap suatu

objek. Pengetahuan dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu

pengetahuan prosedural (procedural knowledge), pengetahuan

deklaratif (declarative knowledge), dan pegetahuan tacit (tacit

knowledge). Pengetahuan prosedural lebih menekankan pada

bagaimana melakukan sesuatu. Pengetahuan deklaratif menjawab

pertanyaan apakah sesuatu bernilai benar atau salah. Pengetahuan

tacit merupakan pengetahuan yang tidak dapat diungkapkan dengan

bahasa (Martin dan Oxman, 1988; Kusrini, 2006).

Pengetahuan dalam hubungannya dengan kejadian diare

pada balita adalah ibu mengetahui tentang gejala penyakit, cara

penularan penyakit, tanda-tanda dehidrasi, pertolongan pertama saat

balita menderita diare dan cara pencegahannya, serta kapan harus

membawa balitanya ke tempat pelayanan kesehatan jika balitanya

terkena diare. Pengetahuan yang didapatkan ibu tersebut sangatlah

penting karena dapat menentukan upaya pencegahan dan


68

penanggulangan diare yang nantinya mempengaruhi balitanya

terhadap kesakitan diare. Pengetahuan ibu tentang perjalanan

penyakit, tanda-tanda penyakit, akibat dari penyakit, dan cara

pencegahannya harus diprioritaskan untuk dapat mengurangi angka

kesakitan dan kematian yang diakibatkan oleh diare. Tindakan yang

dilakukan ibu dirumah merupakan faktor keberhasilan dalam

pengasuhan balita untuk dapat menghindari akibat yang lebih fatal

karena diare (Nuraeni, 2011).

Mauliku dan Wulansari (2008) dalam penelitiannya di

Puskesmas Batujajar Kabupaten Bandung Barat menunjukkan

adanya hubungan yang signifikan antara pengetahuan ibu dengan

kejadian diare pada balita di Puskesmas Batujajar Kabupaten

Bandung Barat. Hasil berbeda ditunjukkan oleh penelitian Anindita

(2015) di Puskesmas Colomadu Karanganyar Kota Surakarta.

Anindita mendapatkan hasil bahwa secara statistik memperlihatkan

tidak adanya hubungan yang signifikan antara pengetahuan ibu

tentang diare dengan kejadian diare pada bayi usia 8-12 bulan di

Puskesmas Colomadu Karanganyar.

d. Perilaku

Perilaku manusia mencakup dua komponen, yaitu sikap

atau mental dan tingkah laku. Sikap atau mental adalah sesuatu yang

melekat pada diri manusia dan sebagai reaksi manusia terhadap


69

sesuatu keadaan atau peristiwa. Sedangkan tingkah laku merupakan

perbuatan tertentu dari manusia sebagai reaksi terhadap keadaan atau

situasi yang dihadapi. Perilaku ditinjau dari segi biologis dapat

diartikan sebagai suatu kegiatan atau aktivitas organisme yang

bersangkutan. Perilaku manusia juga dapat diartikan sebagai

aktivitas yang kompleks sifatnya, antara lain perilaku dalam

berbicara, berpakaian, berjalan dan sebagainya. Perilaku ini dapat

diamati oleh orang lain. Namun ada pula perilaku yang tidak dapat

diamati oleh lain, antara lain presepsi, emosi, pikiran dan motivasi

(Herijulianti dkk, 2001).

Ibu adalah orang yang paling dekat dengan bayinya. Ibu

sebagai pengasuh dan perawat bayinya dapat menyebabkan bayinya

terken diare. Hal ini disebabkan karena perilaku ibu yang kurang

baik dalam memanfaatkan sarana sanitasi, keadaan gizi, sosial

ekonomi dan budaya yang sangat berpengaruh dengan terjadinya

diare. Perilaku ibu yang kurang baik tersebut yang dapat memicu

terjadinya diare pada bayinya diantaranya adalah kurang optimal

dalam pemberian ASI eksklusif, pemberian makanan pendamping

ASI yang tidak sesuai dengan kebutuhan bayi, tidak memberikan

imunisasi campak, tidak mencuci tangan dengan sabun baik sebelum

dan sesudah makan juga sebelum menjamaah makanan dan

minuman, penggunaan jamban yang tidak saniter oleh seluruh

anggota keluarga, pemilihan tempat bermain anak yang kurang

tepat, tidak memenuhi syarat kesehatan dalam pengelolaan air


70

bersih, pengolahan makanan, dan pengelolaan sampah dan tinja

(Depkes RI, 2011 c; Nugraha, 2014; Pati dkk, 2013).

Penelitian Laksmi dkk ( 2013) memperlihatkan bahwa ibu

yang tidak mencuci tangan dengan sabun sebelum memberi makan

anaknya, 84,2% balitanya mengalami diare. Kebiasaan mencuci

tangan dengan sabun memiliki hubungan yang bermakna dengan

kejadian diare. Ibu yang tidak memasak air sebelum diminum,

84,6% balitanya mengalami diare. Perilaku ibu yang tidak

memasak air yang sebelum diminum juga memiliki hubungan yang

bermakna dengan kejadian diare. Kasaluhe dkk (2014) dalam

penelitiannya di Wilayah Kerja Puskesmas Tahuna Timur

Kabupaten Kepulauan Sangihe menyebutkan bahwa penggunaan

air bersih dan perilaku mencuci tangan yang dilakukan ibu

berhubungan dengan kejadian diare pada balita.

Sementara penelitian lainnya Pati dkk (2013) diantara 35

ibu dengan bayi berusia 6-24 bulan yang menderita diare akut di

RSUP dr. Kariadi, Semarang didapatkan hasil bahwa korelasi

skor total KPA (knowledge, attitude, practice) ibu terhadap durasi

pendek didapatkan korelasi positif (0,157) dengan kekuatan

korelasi lemah. Dengan demikian tidak didapatkan hubungan

antara peran ibu dengan durasi diare akut bayi usia 6-24 bulan

selama perawatan diare.


71

e. Status Pekerjaan Ibu

Pekerjaan atau profesi adalah sesuatu yang dilakukan

manusia dengan cara yang baik dan benar dengan tujuan mendapat

imbalan berbentuk uang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Manusia bekerja selain untuk mendapatkan uang adalah untuk

mengembangkan potensi atau kemampuan dirinya. Namun, terdapat

juga pekerjaan yang dilakukan untuk kepentingan bersama dan tidak

menghasilkan uang, seperti seorang ibu rumah tangga yang bekerja

untuk mengurus rumah dan mengatur keperluan keluarganya

(Sofianty, dkk, 2007).

Pada saat ini banyak para ibu yang bekerja di luar rumah

karena perekonomian keluarga yang semakin sulit. Ibu bekerja guna

menambah penghasilan suami dalam memenuhi kebutuhan hidup.

Ibu yang bekerja di luar rumah cukup memakan banyak waktu,

sehingga mengurangi perhatiannya pada bayinya. Perhatian ibu

yang kurang akan berdampak pada bayi kurang maksimal dalam

mendapat pengasuhan dan perawatan sesuai yang dibutuhkannya.

Misalnya seperti bayi tidak mendapat ASI eksklusif secara optimal

karena ibu bekerja. Bayi yang tidak mendapat ASI eksklusif secara

optimal berisiko terhadap kejadian diare (Chisty, 2014).

Penelitian Lasning ( 2012) memperoleh hasil balita dengan

ibu yang bekerja tidak mempunyai risiko dengan kejadian diare.

Sama halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Evayanti dkk


72

(2014) yang dilakukan di Rumah Sakit Umum Tabanan

menunjukkan bahwa sebagian besar ibu yang balitanya menderita

diare berstatus bekerja (88.57%). Ibu yang bekerja menjadikan

kegiatan untuk mengasuh dan merawat balitanya terbatas dan

dibantu oleh anggota keluarganya. Hasil statistik menunjukkan ibu

dengan status bekerja tidak berhubungan dengan kejadian diare pada

balitanya. Penelitiannya tidak berhubungan dimungkinkan karena

anggota keluarganya juga mampu memberikan perhatian yang

hampir sama dengan yang ibunya berikan pada balitanya yang

menderita diare berdasarkan pengalaman sebelumya.

3. Faktor Sosial Ekonomi

a. Jenis pekerjaan Bapak

Karakteristik pekerjaan seseorang menggambarkan

pendapatan, status sosial, pendidikan, status ekonomi, risiko masalah

kesehatan dalam suatu populasi. Pekerjaan juga suatu prediktor

status kesehatan dan kondisi tempat suatu populasi bekerja

(Timmreck, 2004) . Jenis pekerjaan menentukan dalam kemampuan

akses pelayanan kesehatan. Seseorang dengan pekerjaan dan

pendapatan yang baik akan lebih mudah untuk memenuhi kebutuhan

pangan, sandang, papan dan pelayanan kesehatan daripada mereka

yang berpenghasilan rendah ( Listiono, 2010).


73

Kelompok yang tidak bekerja atau bekerja dengan kategori

jenis pekerjaan yang memiliki pendapatan rendah kurang dapat

memenuhi kebutuhan sehingga praktek hygiene tidak maksimal

yang akhirnya dapat menyebabkan diare. Sebesar 8,7% penduduk

Indonesia mengalami diare dialami oleh kelompok tidak bekerja

dan bekerja sebagai petani/nelayan/buruh (Kemenkes RI, 2011c).

Menurut penelitian yang dilakukan Chineke (2017) yang

dilakukan di Negria bahwa jenis pekerjaan bapak berhubungan

dengan kejadian diare pada bayi yang sebagian besar berada pada

rentang usia 0-11 bulan. Jenis pekerjaan bapak paling banyak

berturut-turut adalah pedagang (39,6%), pekerja sipil (22,4%) dan

pekerja seni (20%). Hasil analisis multivariat menunjukkan

pekerjaan bapak adalah faktor prediktor dimana ayah yang

pengangguran menjadi faktor yang paling memungkinkan

menyebabkan anaknya menderita diare.

b. Pendapatan Keluarga

Pendapatan adalah hak seseorang berupa imbalan yang

diterima baik berbentuk uang maupun barang yang dibayarkan oleh

pihak perusahaan/kantor/ majikan setelah seseorang telah

menjalankan kewajibannya menyelesaikan pekerjaan yang diberikan

pihak perusahaan/kantor/ majikan (BPS, 2013). Pendapatan keluarga

erat kaitannya dengan kejadian diare pada kelompok balita. Hal ini
74

karena balita dengan diare banyak ditemukan pada keluarga dengan

pendapatan rendah (Kemenkes RI, 2011c).

Pendapatan keluarga menentukan ketersediaan fasilitas

kesehatan di dalam rumah. Bagi keluarga dengan pendapatan yang

rendah hanya dapat memenuhi kebutuhan fasilitas kesehatan apa

adanya sesuai dengan kemampuannya. Sama halnya dalam

pemenuhan asupan pangan keluarga. Keluarga dengan pendapatan

yang rendah akan sulit dalam memenuhi kebutuhan gizi anggota

keluarganya sehingga akan berdampak pada status gizi kurang atau

buruk. Anggota keluarga dengan status gizi kurang atau buruk

berisiko terhadap kejadian diare. Maka dari itu balita dari keluarga

berpendapatan rendah biasanya sulit untuk memenuhi syarat

kesehatan sesuai yang dibutuhkannya sehingga memudahkannya

mengalami diare (Berg, 1986; Kemenkes RI, 2006).

Hasil penelitian Marissa (2015) yang dilakukan di wilayah

kerja Puskesmas Mangkang Kota Semarang, diperoleh hasil nilai

OR: 5,47 (95% CI= 1,627-18, 357) yang berarti keluarga dengan

pendapatan rendah mempunyai risiko 5,47 kali lebih besar

menyebabkan balitanya diare daripada keluarga dengan pendapatan

tinggi. Pendapatan ibu rendah bila < UMR Kota Semarang (Rp

1.685.000) dan pendapatan ibu tinggi bila > UMR Kota Semarang

(1.685.000).
75

c. Jumlah anggota keluarga

Godana dan Mengiste (2013) dalam penelitiannya di Pedesan

Derashe, Ethiophia Selatan menunjukkan bahwa jumlah angota

keluarga tidak berhubungan dengan kesakitan diare akut yang

dialami balitanya. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang

dilakukan oleh Gedamu dkk (2017) yang menyatakan bahwa

besarnya jumlah anggota keluarga tidak berisiko terhadap kejadian

diare pada sebagian besar bayi yang berusia 6-11 bulan di Wilayah

Pedesaan Farta Wereda Barat Laut Ethiopia.

Berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Okour

dkk (2012) bahwa besarnya angota keluarga berhubungan dengan

kejadian diare pada balita di komunitas pedesaan di Lembah Jordan.

Sebagian besar rumah tangga yang ditemukan balitanya mengalami

diare terdapat 6-10 anggota keluarga di dalam rumahnya. Penelitian

Chineke dkk (2017) juga menyebutkan bahwa besarnya jumlah

anggota keluarga berhubungan signifikan dengan kejadian diare pada

bayi yang sebagian besar berada pada kisaran usia 0-11 bulan. Bayi

sebagian besar berasal dari keluarga dengan pernikahan monogami

dan poligami. Adapun ukuran keluarga didalam rumah sebagian

besar paling banyak 6-8 anggota.


76

4. Faktor Lingkungan

a. Sarana Air Bersih (SAB)

Air adalah substansi dasar yang sangat dibutuhkan oleh

manusia. Manusia sendiri tubuhnya terdiri dari tiga per empat air.

Manusia tidak dapat bertahan hidup lebih dari 4-5 hari tanpa minum

air. Volume air dalam tubuh manusia rata-rata 65% dari total berat

badannya. Volume ini bervariasi untuk masing-masing organ tubuh

manusia, seperti otak 74,5%, tulang 22%, ginjal 82,7%, otot 75,6%

dan darah 83%. Volume rata-rata kebutuhan air tiap individu per

hari berkisar antara 150-200 liter atau 35- 40 galon. Manusia dalam

kehidupannya mempergunakan air untuk kepentingan rumah tangga,

seperti memasak, mencuci, mandi, dan membersihkan kotoran yang

ada dilingkungannya; kepentingan pertanian; ekonomi dan industri.

Kebutuhan air tergantung keadaan iklim, standar kehidupan, dan

kebiasan masyarakat (Solihin, 2017; Chandra, 2005).

Air yang berada di permukaan bumi ini berdasarkan letak

sumbernya dapat dibagi menjadi air angkasa (hujan), air permukaan

dan air tanah. Air angkasa (hujan) merupakan sumber air utama di

muka bumi. Walaupun pada saat presipitasi merupakan air yang

paling bersih, air tersebut cenderung mengalami pencemaran ketika

berada di atmosfer. Pencemaran yang berlangsung di atmosfer

tersebut itu dapat disebabkan oleh partikel debu, mikroorganisme,


77

dan gas, misalnya karbon dioksida, nitrogen dan amonia (Chandra,

2005).

Air permukaan adalah air hujan yang jatuh ke permukaan

bumi. Air hujan yang jatuh ke permukaan bumi tersebut kemudian

akan mengalami pencemaran baik oleh tanah, sampah, maupun

lainnya. Air permukaan meliputi badan-badan air semacam sungai,

danau, telaga, waduk, rawa, terjun, dan sumur permukaan.

Sedangkan air tanah berasal juga berasal dari air hujan yang jatuh

ke permukaan bumi yang kemudian mengalami perkolasi atau

penyerapan ke dalam tanah dan mengalami proses filtrasi secara

alamiah. Proses-proses yang dialami air hujan tersebut membuat air

tanah jauh lebih murni dibandingkan air permukaan. Air tanah

memiliki beberapa kelebihan dibandingkan sumber air lainnya. Air

tanah bebas dari kuman penyakit dan tidak perlu mengalami proses

purfikasi atau penjernihan. Persediaan air tanah juga cukup tersedia

sepanjang tahun, saat musim kemarau sekalipun (Chandra, 2005).

Sementara itu, air tanah juga memiliki beberapa kerugian

dibandingkan sumber air lainnya. Air tanah mengandung zat-zat

mineral dalam konsentrasi yang tinggi. Konsentrasi yang tinggi dari

zat-zat mineral semacam magnesium, kalsium, dan logam berat

seperti besi dapat menyebabkan kesadahan air. Selain itu untuk

untuk mengalirkannya ke atas permukaan, diperlukan pompa. Air

bersih yang berasal dari sumber air tanah dapat diambil dari sumur

dangkal dan sumur dalam. Sumur yang akan dibuat harus


78

mempertimbangkan pemilihan lokasi guna menentukan jarak dari

sumber pencemar potensial (Chandra, 2009; Gehrels, 2004).

Tabel 2.5 Jarak Minimum Sumur Dari


Sumber Pencemar Potensial
Jarak (m) Sumber pencemar potensial
100 Tempat pembuangan sampah, bengkel, pompa
bensin , kegiatan industri yang menghasilkan zat
pencemar, penyimpanan bahan B3
59 Sumur peresapan air limbah
30 WC cubluk, kandang ternak, sawah atau tegal yang
diberi pupuk buatan ataupun pupuk kompos
15 Tangki septik, badan air (sungai, rawa, danau)
7 Saluran drainase, selokan atau rumah.
Sumber: (Drilling and well construction manual, life water, 2004)

Masyarakat Indonesia di tiap rumah tangga biasanya

mengakses air bersih dari air kemasan, air isi ulang, leding sampai

rumah, leding eceran, pompa, sumur terlindungi, sumur tidak

terlindungi, mata air terlindungi, mata air tidak terlindungi,

sungai/danau dan mata air. Adapun cara menjaga sumber air bersih

tetap sehat adalah (BPS, 2015; Gunawan, 2009) :

1. Sumber mata air harus dilindungi dari bahan-bahan pencemar,

baik cemaran fisik, cemaran biologi maupun cemaran kimawi.

2. Sumur gali, sumur pompa, kran-kran umum dan juga mata air

harus dijaga bangunannya agar tidak rusak, seperti lantai sumur

tidak boleh retak, tidak rusak, bibir sumur diplester.

3. Lingkungan sumber air harus dijaga kebersihannya, seperti tidak

boleh untuk tempat pembuangan sampah, tidak ada genangan

air, dan lain-lain.


79

4. Gayung, timba dan ember pengambil air harus dijaga tetap

bersih, tidak diletakkan di lantai.

5. Jarak sumber air (misal sumur) tidak boleh berdekatan dengan

tangki jamban keluarga atau kandang ternak. Jarak antara

sumber air dengan tangki jamban keluarga atau kandang

ternak minimal 10 m.

6. Menjaga tempat penampungan air hujan tetap bersih, jangan

menggunakan tempat bekas oli atau bahan kimia beracun.

Air bersih agar aman untuk diminum harus bebas dari

kuman. Meskipun air terlihat bersih, namun air tersebut belum tentu

bebas dari kuman penyakit. Ada beberapa cara untuk membunuh

kuman dalam air, yaitu dengan cara merebus air hingga mendidih

100° C, membasmi kuman dengan sinar matahari, memberi bahan-

bahan kimia terbatas yang aman bagi kesehatan (klorine) dan

memberi air jeruk limau atau lemon.

Menurut peraturan menteri kesehatan nomor :

416/men.kes/per/ix/1990 air minum dan air bersih yang sehat harus

memenuhi persyaratan mikrobiologi, fisik, kimia dan radioaktif.

Berikut adalah standar kualitas air minum dan air bersih yang sehat:

Tabel 2.6 Standar Persyaratan Kualitas Air Minum Sehat


Kadar Maksimum yang
No Parameter Keterangan
diperbolehkan
A. Fisika
1. 1
1 Bau - Tidak Berbau
2 Jumlah Zat Padat terlarut 1.000 mg/L -
(TDS)
3 Kekeruhan 5 Skala NTU -
80

4 Rasa - Tidak Berasa


5 Suhu Suhu Udara ± 3 °C -
6 Warna 15 Skala TCU -

B. Kimia
a. Kimia Organik
1 Air Raksa 0,001 mg/L
2 Alumunium 0,2 mg/L
3 Arsen 0,05 mg/L
4 Barium 1,0 mg/L
5 Besi 0,3 mg/L
6 Fluorida 1,5 mg/L
7 Kadnium 0,005 mg/L
8 Kesadahan (CaCO3) 500 mg/L
9 Klorida 250 mg/L
10 Kromonium, Valensi 6 0,05 mg/L
11 Mangan 0,1 mg/L
12 Natrium 200 mg/L
13 Nitrat, sebagai NO2 10 mg/L
14 Nitrit, sebagai NO3 1,0 mg/L
15 Perak 0,05 mg/L
16 Ph 6,5-8,5 mg/L Merupakan batas
minimum dan
maksimum
17 Selenium 0,01 mg/L
18 Seng 5,0 mg/L
19 Sianida 0,1 mg/L
20 Sulfat 400 mg/L
21 Sulfida (sebagai H2S) 0,05 mg/L
22 Tembaga 1,0 mg/L
23 Timbal 0,05 mg/L

b. Kimia Organik
1 Aldrin dan Dieldrin 0,0007 mg/L
2 Benzena 0,01 mg/L
3 Benzo (a) pyrene 0,00001 mg/L
4 Chlordane (total isomer) 0,0003 mg/L
5 Coloroform 0,03 mg/L
6 2,4 D 0,10 mg/L
7 DDT 0,03 mg/L
8 Detergen 0,05 mg/L
9 1,2 Discloroethane 0,01 mg/L
10 1,1 Discloroethane 0,0003 mg/L
11 Heptaclor dan Heptaclor 0,003 mg/L
epoxide
12 Hexachlorobenzene 0,00001 mg/L
13 Gamma-HCH (Lindane) 0,004 mg/L
14 Methoxychlor 0,03 mg/L
15 Pentachlorophanol 0,01 mg/L
16 Pestisida Total 0,10 mg/L
17 2,4,6 urichlorophenol 0,01 mg/L
18 Zat organik (KMnO4) 10 mg/L

C. Mikrobiologi
1 Koliform Tinja 0
2 Total koliform 0 95% dari sampel
81

yang diperiksa
selama setahun.
Kadang-kadang
boleh ada 3 per
100 ml sampel air,
tetapi tidak
berturut-turut

D. Radioaktif
1 Aktivitas Alpha (Gross 0,1 Bq/L
Alpha Activity)

2 Aktivitas Beta (Gross 1,0 Bq/L


Beta Activity)

Sumber: Kemenkes RI, 1990

Tabel 2.7 Standar Persyaratan Kualitas Air Bersih Sehat


No Parameter Kadar Maksimum Keterangan
yang
diperbolehkan
A. Fisika
2. 1
1 Bau - Tidak Berbau
2 Jumlah Zat Padat 1.500 mg/L -
terlarut (TDS)
3 Kekeruhan 25 Skala NTU -
4 Rasa - Tidak Berasa
5 Suhu Suhu Udara ± 3 °C -
6 Warna 50 Skala TCU -

B. Kimia

b. Kimia Organik
1 Air Raksa 0,001 mg/L
2 Arsen 0,05 mg/L
3 Besi 1,0 mg/L
4 Fluorida 1,5 mg/L
5 Kadnium 0,005 mg/L
6 Kesadahan (CaCO3) 500 mg/L
7 Klorida 600 mg/L
8 Kromonium, Valensi 6 0,05 mg/L
9 Mangan 0,5 mg/L
10 Nitrat, sebagai N 10 mg/L
11 Nitrit, sebagai N 1,0 mg/L
12 Ph 6,5 – 9,0 mg/L Merupakan batas
minimum dan
maksimum
13 Selenium 0,01 mg/L
14 Seng 15 mg/L
15 Sianida 0,1 mg/L
16 Sulfat 400 mg/L
17 Timbal 0,05 mg/L

b. Kimia Organik
82

1 Aldrin dan Dieldrin 0,0007 mg/L


2 Benzena 0,01 mg/L
3 Benzo (a) pyrene 0,00001 mg/L
4 Chlordane (total 0,0003 mg/L
isomer)
5 Coloroform 0,007 mg/L
6 2,4 D 0,03 mg/L
7 DDT 0,10 mg/L
8 Detergen 0,03 mg/L
9 1,2 Discloroethane 0,5 mg/L
10 1,1 Discloroethene 0,01 mg/L
11 Heptaclor dan 0,0003 mg/L
heptaclor epoxide
12 Hexachlorobenzene 0,003 mg/L
13 Gamma-HCH 0,00001 mg/L
(Lindane)
14 Methoxychlor 0,004 mg/L
15 Pentachlorophanol 0,10 mg/L
16 Pestisida Total 0,01 mg/L
17 2,4,6 0,10 mg/L
urichlorophenol
18 Zat organik 0,01 mg/L
(KMnO4)

E. Mikrobiologi
1 Koliform Tinja 50 per 100 ml Bukan air perpipaan
2 Total koliform 10 per 100 ml Air perpipaan

F. Radioaktif
1 Aktivitas Alpha 0,1 Bq/L
(Gross Alpha
Activity)

2 Aktivitas Beta 1,0 Bq/L


(Gross Beta
Activity)

Sumber: Kemenkes RI, 1990

Pada penelitian yang dilakukan oleh Sinta (2006)

didapatkan hasil bahwa balita yang tidak mempunyai sarana air bersih

berisiko 2,06 kali lebih besar untuk terkena diare daripada balita yang

mempunyai sarana air bersih. Kemudian balita dengan frekuensinya

rendah dalam memanfaatkan sarana air bersih berisiko 2,55 kali terkena

diare. Balita dengan frekuensi tinggi dalam memanfaatkan sarana air

bersih merupakan faktor protektif terhadap kejadian diare. Penelitian


83

(Komarulzaman dkk, 2017) di Indonesia bahwa diare paling banyak

dialami oleh balita dengan usia 6-24 bulan dan ditemukan di daerah

lingkungan yang miskin.

Pada penelitiannya dihasilkan bahwa pada tingkat rumah

tangga air pipa bermakna meningkatkan prevalensi diare balita sebesar

0,797 kali; pengolahan air tidak memiliki hubungan bermakna dengan

kejadian diare pada balita; peningkatan persediaan cakupan air juga

tidak memiliki efek langsung dengan prevalensi diare; rumah tangga

dengan air ledeng lebih baik memiliki kemungkinan diare yang lebih

rendah; dan perawatan air menigkatkan risiko diarepada balita. Secara

keseluruhan sebagian besar koefisien signifikan dan mendukung

hipotesis bahwa memperbaiki air mengurangi risiko diare di kalangan

balita.

b. Jamban Keluarga

Jamban merupakan tempat yang aman dan nyaman untuk

digunakan sebagai tempat buang air. Berbagai jenis jamban dapat

digunakan di rumah tangga, sekolah, rumah ibadat, dan lembaga-

lembaga lainnya. Jamban sehat adalah fasilitas pembuangan tinja yang

(Kemenkes RI, 2009):

1) Mencegah kontaminasi ke badan air

2) Mencegah kontak antara manusia dan tinja


84

3) Membuat tinja tersebut tidak dapat dihinggapi serangga serta

binatang lainnya.

4) Mencegah bau yang tidak sedap

5) Konstruksi dudukannya dibuat dengan baik, aman dan mudah

dibersihkan

Berikut adalah macam-macam jamban yang lazim digunakan di

wilayah pedesaan Indonesia (Notoatmodjo, 2007; Chandra, 2009 dan

Gunawan, 2009):

1) Jamban Cemplung/Kakus/Pit Latrine

Jamban ini mempunyai pit latrine atau lubang penampung

tinja yang kedalamannya berkisar 1,5-3 m. Bagian atas yang rata

tanah di tutup untuk lantai pijakan. Tutup bisa terbuat dari bambu

atau semen dengan diberi lubang untuk membuang kotoran. Lubang

ini bisa diberi tutup yang dapat diangkat.

2) Jamban Cemplung Berventilasi (Ventilasi Improved Pit Latrine/VIP

Latrine)

Jamban jenis sama dengan jamban cemplung. Tetapi

jamban ini menggunakan pipa pada lubang pit latrine. Pipa

berdiameter 11 cm dan panjang 50 cm diatas atap. Lubang pipa

ditutup dengan kawat nyamuk. Keunggulan penggunaan pipa ini

dapat mengurangi bau dan lalat.

3) Jamban Empang (fiehpond latrine)

Jamban ini dibangun diatas empang, kolam, selokan, kali,

rawa dan sebagainya. Bentuknya seperti rumah-rumahan. Tinja dari


85

penggunaan jamban ini langsung dimakan ikan. Dampak negative

dari penggunaan jamban ini adalah mengotori air permukaan dan

dapat menyebarkan bibit penyakit yang terkandung dalam tinja

melalui air yang dapat menimbulkan wabah penyakit.

4) Jamban Pupuk (the compost privy)

Jamban pupuk ini prinsipnya sama dengan jamban

cemplung, bedanya lubang pembuangan pada jamban pupuk ini

lebih dangkal daripada jamban cemplung. Jamban ini disebut juga

dengan toilet ekologis. Toilet ekologis mengubah tinja dan air

buangan menjadi pupuk dan bahan pengubah struktur tanah.

Terdapat 2 jenis toilet ekologis, yaitu toilet kompos dan toilet

kering. Toilet kering memisahkan air seni dan tinja. Toilet kering ini

tidak lazim di gunakan di Indonesia.

5) Septic tank

Septic tank adalah salah satu jenis latrine yang dianjurkan

karena paling memenuhi syarat kesehatan. Septic tank terdiri dari

tangki sendimentasi kedap air. Tinja dan air buangan yang masuk di

dalamnya akan mengalami proses kimiawi dan biologis, kemudian

dihasilkanlah cairan “enfluent” yang sudah tidak mengandung

bagian-bagian tinja yang akhirnya cairan ini dialirkan melalui pipa

keluar ke tempat perembesan.

Model septic tank double chamber lebih bagus

dibandingkan dengan biasanya karena tinja dan air buangan


86

mengalami proses purifikasi secara alamiah di dalam ruangan

kedua dan tidak langsung dialirkan ke selokan serta tidak

mencemari sumur yang ada disekitarnya. Model ini dapat bertahan

10-15 tahun.

6) Jamban kimia (chemical toilet)

Jamban jenis ini biasanya digunakan bagi orang yang ingin

melakukan perjalanan jauh dalam kendaraan umum seperti pesawat

udara, kereta api. Tapi dapat pula di guanakan di dalam rumah.

Jamban ini berbentuk bejana yang berisi caustic soda sehingga tinja

yang ditampung didalamnya dapat dihancurkan dan didesinfeksi

serta hilang baunya karena ditambahkan bahan penghilang bau.

Godana dan Mengiste (2013) dalam penelitiannya di Pedesan

Derashe, Ethiophia Selatan memperoleh hasil bahwa kepemilikan

jamban memiliki hubungan signifikan dengan diare akut pada balita.

Menurut Godana dan Mengiste balita dari rumah tangga tanpa jamban

lebih cenderung mengalami diare akut dibandingkan balita dari rumah

tangga jamban. Kehadiran jamban meningkatkan kemungkinan

pemanfaatannya yang pada gilirannya memfasilitasi pembuangan tinja

yang aman. Ini adalah salah satu cara untuk mengurangi kontak antara

organisme penyebab diare akut dan tuan rumah.


87

c. Saluran Pembuangan Air Limbah (SPAL)

Limbah adalah konsep buatan dan konsekuensi dari adanya

aktivitas manusia. Limbah biasanya muncul hasil dari kegiatan

industri dan kegiatan rumah tangga. Limbah yang lebih dikenal juga

dengan sampah, kehadirannya pada suatu saat dan tempat tertentu

tidak dikhendaki lingkungan karena tidak memiliki nilai ekonomis.

Bila ditinjau secara kimiawi, limbah ini terdiri dari bahan kimia

senyawa organik dan senyawa anorganik. Limbah dengan

konsentrasi dan kuantitas tertentu, kehadirannya dapat berdampak

negatife terhadap lingkungan karena mengandung berbagai bahan

yang membahayakan kehidupan manusia, hewan, serta makhluk

hidup lainnya, sehingga perlu dilakukan penanganan terhadap

limbah. Tingkat bahaya keracunan yang ditimbulkan oleh limbah

tergantung pada jenis dan karakteristik limbah (Aryulina, 2006;

Widjajanti, 2009).

Berikut adalah persyaratan pembuangan limbah yang baik

(Notoatmodjo, 2007) :

a. Tidak menimbulkan kontaminasi terhadap sumber air minum

b. Tidak menimbulkan pencemaran tanah

c. Tidak mencemari sumber air minum

d. Tidak menjadi sumber berkembang biaknya bibit penyakit

e. Tidak menjadi tempat bermain anak-anak

f. Tidak menimbulkan bau yang mengganggu


88

Dalam penelitiannya Sharfina dkk (2016) menyatakan bahwa

ada hubungan antara pembuangan air limbah dengan kejadian diare

pada balita. Ibu yang melakukan pembuangan air limbah yang tidak

memenuhi syarat kesehatan berisiko 19,6 kali balitanya terkena

diare. Aryatiningsih (2014) berasumsi bahwa penularan diare secara

tidak langsung dapat terjadi melalui vektor yang berkembang biak di

SPAL yang tidak memenui syarat kesehatan, misalnya karena

keadaannya terbuka. Kondisi demikian dapat mencemari air dan

permukaan tanah. Selain itu vektor yang berkembang biak di SPAL

tersebut dapat mengkontaminasi makanan dan minuman, lalu

makanan dan minuman yang sudah terkontaminasi tersebut

dikonsumsi manusia sehingga dapat menimbulkan penyakit diare.

d. Sarana Pembuangan Sampah

Sampah adalah sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau proses

alam yang berbentuk padat yang terdiri atas sampah rumah tangga

maupun sampah sejenis sampah rumah tangga Sampah rumah tangga

adalah sampah yang berasal dari kegiatan sehari-hari dalam rumah

tangga yang sebagian besar terdiri dari sampah organik, tidak

termasuk tinja dan sampah spesifik. Sampah sejenis sampah rumah

tangga adalah sampah yang tidak berasal dari rumah tangga dan

berasal dari kawasan pemukiman, kawasan komersial, kawasan


89

industri, kawasan khusus, fasilitas umum, fasilitas sosial, dan/atau

fasilitas lainnya (Kemendagri, 2010).

Sampah terdiri dari beberapa jenis, yaitu (Junias dan Balelay, 2008

& Notoadmodjo, 1997)

a. Berdasarkan zat kimia, terbagi menjadi:

1) Sampah organik adalah sampah yang mudah membusuk,

seperti sisa makanan, daun, sayur dan buah.

2) Sampah an organik adalah sampah yang umumnya tidak

dapat membusuk, seperti logam, pecahan gelas, kaca, plastic,

dan lain-lain.

b. Berdasarkan dapat tidaknya dibakar, terbagi menjadi:

1) Sampah yang mudah dibakar

2) Sampah yang tidak mudah dibakar, misalnya kaleng-kaleng

bekas, pecahan beling, logam dan lain sebagainya.

c. Berdasarkan karakteristik sampah, terbagi menjadi:

1) Garbage adalah sampah yang umumnya dapat membusuk

dan berasal dari hasil pengolahan makanan atau pembuatan

makanan.

2) Rubbish adalah sampah yang mudah terbakar maupun tidak

terbakar berasal dari perkantoran.

3) Ashes adalah sisa-sisa pembakaran dari yang mudah terbakar

(abu).

4) Street sweeping adalah sampah yang berasa dari pembersihan

jalan yang terdiri dari bermacam-macam sampah.


90

5) Sampah Industri adalah sampah yang berasal dari pabrik

atau industri.

6) Sampah bangkai binatang adalah sampah binatang yang telah

mati karena alam, ditabrak atau dibuang manusia.

7) Sampah pembangunan yaitu smapah proses pembangunan

gedung, rumah berupa puing-puing dan potongan kayu

Sampah merupakan sumber penyakit dan tempat berkembang

biaknya vektor penyakit seperti lalat, nyamuk, tikus, kecoa dan

sebagainya. Selain itu sampah dapat mencemari tanah dan

menimbulkan gangguan kenyaman dan estetika seperti bau yang

tidak sedap dan pemandangan yang tidak enak dilihat. Oleh karena

itu pengelolaan sampah sangat penting untuk mencegah penularan

penyakit tesebut. Tempat sampah harus disediakan, sampah harus

dikumpulkan setiap hari dan dibuang ke tempat penampungan

sementara. Bila tidak terjangkau oleh pelayanan pembuangan

sampah ke tempat pembuangan akhir dapat dilakukan pemusnahan

sampah dengan cara ditimbun atau dibakar (Kemenkes RI, 2011b).

Penelitian Falasifa (2015) di wilayah kerja Puskesmas Kepil 2

Kecamatan Kepil Kabupaten Wonosobo diperoleh adanya hubungan

antara pengelolaan sampah dengan kejadian diare pada balita.

Menurutnya pengelolaan sampah berhubungan dengan diare

disebabkan beberapa responden yang ditemukan saat penelitian tidak

membuang sampah tiap hari, tidak melakukan pemisahan sampah


91

organik dan anoragnik, masih membuang sampah sembarangan di

sungai dan dan di kebun dan konstruksi tempat sampah yang

digunakan belum saniter, seperti masih terbuka dan tidak kuat dan

tidak kedap air.

e. Kepadatan Hunian

Rumah adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat

tinggal hunian, dan sarana pembinaan keluarga. Rumah yang sehat

salah satunya harus memiliki luas yang cukup bagi penghuninya.

Luas bangunan rumah minimal (2,5 x 2,5) m2 sampai (3x3) m2 bagi

tiap penghuninya. Luas lantai minimal untuk penghuni pertama 14

m2 dan untuk penghuni selanjutnya 9 m2. Rumah dikatakan tidak

padat penghuninya bila luas lantai kamar tidur ≥ 8 m2/orang.

Kepadatan hunian rumah sangat berpengaruh terhadap jumlah

koloni kuman penyebab penyakit menular, seperti diare (Kemenkes

RI, 1999; Notoatmodjo, 2007).

Penelitian dilakukan Lasning (2012) diperoleh hasil bahwa

hunian yang padat (< 9 m2) tidak memiliki risiko dengan kejadian

diare sebesar 0,80 kali. Menurutnya responden sebagian besar

memiliki rumah dengan kepadatan hunian yang cukup ( > 9 m2),

yaitu 86% pada kasus dan 83% pada kontrol. Sehingga rata-rata

masyarakat dapat membangun rumah dengan luas yang cukup.


92

Kepadatan hunian dalam keadaan darurat dan bencana alam

juga behubungan dengan kejadian diare. Hal ini disebabkan

pemidahan populasi menjadi tempat penampungan sementara dan

penuh sesak berkaitan dengan sumber air tercemar, sanitasi tidak

memadai, praktik kebersihan yang buruk, makanan yang

terkontaminasi dan malnutris. Faktor-faktor yang berkaitan tersebut

semuanya mempengaruhi penyebaran dan tingkat keparahannya

diare (WHO, 2010).

Pada penelitian yang dilakukan oleh Siziya dkk (2013) bahwa

kepadatan hunian berhubungan dengan kejadian diare pada sebagian

besar balita di wilayah pedesaan Sudan. Siziya dkk dalam

penelitiannya berasumsi bahwa mungkin karena fakta penduduk

pedesaan cenderung lebih miskin daripada penduduk perkotaan,

yang berdampak pada tingkat kebersihan. Terutama di daerah

dimana ada kekeringan siklik yang mungkin mempengaruhi lebih

banyak penduduk pedesaan yang rentan.

f. Jenis Lantai Rumah

Rumah yang sehat sebaiknya memiliki jenis lantai rumah

yang tidak berdebu dan kedap air. Lantai yang berbahan tanah

(tidak kedap air) biasanya berdebu pada musim kemarau dan basah

pada musim hujan. Tanah apabila basah dapat menjadi tempat

berkembang biak kuman/parasit atau tercemar kotoran seperti tinja


93

yang mengadung patogen diare. Lantai rumah dari tanah agar tidak

berdebu maka dilakukan penyimaran air kemudian dipadatkan . Jenis

lantai lainnya yang baik dapat terbuat dari bahan berupa ubin,

semen dan kayu. Jenis lantai yang baik adalah berbahan kering ,

tidak lembab, kedap air dan mudah dibersihkan (Notoatmodjo, 2007;

Kemenkes RI, 2002; Sanropie, 1989)

Penelitian Kadaruddin (2014) di wilayah kerja Puskesmas

Pallangga didapatkan hasil bahwa jenis lantai rumah tidak

berpeluang menyebabkan diare pada bayi. Menurutnya jenis lantai

tidak berhubungan dengan kejadian diare dimungkinkan karena

kebiasaan aktivitas bayi dilantai yang sudah jarang dilakukan . Hal

ini membuat kontaminasi dengan patogen diare terputus, sehingga

risiko diare pada bayi dapat ditiadakan.

Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Mohammed dan

Tamiru (2013) di 29 pedesaan wilayah Arba Minch Zuria, Ethiopia

Selatan diperoleh hasil bahwa bayi berusia 6-23 bulan paling

banyak kedua yang mengalami diare pada kelompok balita diare.

Kelompok balita diare sebagian besar diketahui jenis lantai

rumahya terbuat dari lumpur (33%). Terdapat hubungan yang

signifikan antara jenis lantai dengan kejadian diare pada balita.


94

D. Kerangka Teori

Kerangka teori ini disusun berdasarkan teori maupun hasil

penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan kejadian Diare pada bayi.

Berikut adalah kerangka teori pada penelitian ini :


Faktor Lingkungan

1. Sarana Air Bersih (SAB)


2. Jamban Keluarga
3. Saluran Pembuangan Air Limbah Patogen penyebab diare
(SPAL)
4. Sarana Pembuangan Sampah
5. Kepadatan Hunian Rumah
6. Jenis Lantai

Faktor Ibu
Kebersihan
1. Usia
Makanan/minuman

2. Pendidikan

3. Pengetahuan

4. Perilaku
Diare pada Bayi
5. Status Pekerjaan Ibu Usia 6-12 Bulan

Faktor Sosial Ekonomi

1. Jenis Pekerjaan bapak


2. Pendapatan Keluarga
3. Jumlah Anggota Keluarga

Faktor Individu Bayi

1. Jenis Kelamin
2. MPASI Dini
3. ASI Eksklusif
4. MPASI
5. Vitamin A
6. Vaksinasi Rotavirus
7. Vaksinasi Campak
8. Riwayat Penyakit Lain
Bagan 2. 4 Kerangka Teori

Keterangan:

: Tidak diteliti : Di teliti

95
96

Bab III
Kerangka Konsep

A. Kerangka Konsep

Kerangka konsep penelitian adalah sebuah konsep berwujud

abstraksi bagian dari suatu kerangka teori yang dapat menjelaskan

keterkaitan antarvariabel (dependen dan indepeden) yang diteliti maupun

yang tidak diteliti. Kerangka konsep penelitian membantu peneliti

menghubungkan hasil penemuan dengan teori dan mengarahkan peneliti

dalam mencari data yang dibutuhkan (Kemenkes RI, 2013a; Nursalam,

2008).

Pada penelitian ini tidak semua variabel independen yang terdapat

pada kerangka teori dapat diteliti. Variabel independen yang tidak dapat

diteliti dalam penelitian ini adalah faktor individu [jenis MPASI (Bubur

berbahan padi dan jus buah); status vaksinasi rotavirus, riwayat penyakit

lain], faktor ibu, faktor sosial ekonomi, dan faktor lingkungan. Variabel

jenis MPASI berupa makanan kaya serat dan nabati dengan kandungan

fitat tinggi seperti bubur tidak diteliti karena diketahui dari penelitian

sebelumnya yang berhubungan dengan diare adalah pemberian bubur

berbahan dasar padi. Namun dari data SDKI tahun 2012 yang diperoleh

tidak ada penjelasan bubur berbahan jenis apa yang diberikan pada bayi.

Lainnya jenis MPASI berupa jus buah juga tidak dapat diteliti karena

berdasarkan hasil penelitian sebelumnya jus buah berhubungan dengan

kejadian diare jika dikonsumsi yang berlebihan dalam porsi tertentu.


97

Namun tidak ada data SDKI tahun 2012 terkait porsi pemberian jus buah

pada bayi. Sama halnya dengan variabel status vaksinasi rotavirus juga

tidak dapat diteliti karena tidak adanya data SDKI tahun 2012 terkait

variabel ini.

Variabel riwayat penyakit lain yang tersedia datanya dalam SDKI

tahun 2012 dan memungkinkan untuk diteliti karena berhubungan dengan

kejadian diare pada bayi adalah ISPA. Namun pada penelitian ini variabel

ISPA tidak diteliti karena jarang ditemukan hasil penelitian sebelumnya

terkait hubungan ISPA dengan kejadian diare pada bayi. Adapun

penelitian yang ditemukan adalah diare yang berisiko menyebabkan ISPA,

bukan sebaliknya. Penelitian sebelumnya yang ditemukan menyatakan

ISPA mungkin dapat berhubungan dengan diare dikarenakan faktor

kebetulan saja dan kejadian ini jarang terjadi. Selanjutnya faktor ibu,

faktor sosial ekonomi, dan faktor lingkungan juga tidak diteliti

dikarenakan sudah ada peneliti sebelumnya yang meneliti dengan data

SDKI 2012 dan populasi studi balita di wilayah Indonesia.

Sementara variabel independen yang dapat diteliti dalam penelitian

ini adalah variabel jenis kelamin, pemberian ASI eksklusif, pemberian

jenis MPASI berupa susu formula, pemberian vitamin A dan vaksinasi

campak. Adapun alasan pentingnya variabel-variabel tersebut untuk diteliti

dalam hubungannya dengan kejadian diare pada bayi usia 6-12 bulan

adalah sebagaimana berikut:


98

a) Jenis kelamin

Jenis kelamin penting untuk diteliti karena kemungkinan memiliki

hubungan dengan kejadian diare sebagai akibat dari perbedaan daya

tahan tubuh dimana sistem kekebalan tubuh bayi laki-laki lebih rendah

dalam melawan patogen penyebab diare dibanding bayi perempuan.

Bayi laki-laki juga sedang mengalami masa pembangunan masa otot

yang lebih besar sehingga kekurangan dalam pemenuhan mikronutrien

tertentu berisiko mengalami diare.

Bayi laki-laki juga lebih aktif bermain dalam kesehariannya yang

berpeluang besar menyentuh berbagai benda yang ada disekitarnya

yang kemungkinan lebih mudah terpapar patogen penyebab diare.

Selain itu perbedaan pola asuh orang tua yang kurang protektif pada

bayi laki-laki sehingga lebih banyak bermain pada lingkungan yang

kurang higienis yang juga kemungkinan membuat bayi laki-laki lebih

mudah terpapar patogen penyebab diare sehingga mengalami diare.

b) Pemberian MPASI Dini

Pada masa bayi berusia 0-6 bulan yang seharusnya diberikan ASI

saja dimungkinkan juga responden memberikan minuman atau

makanan lain selain ASI baik disamping tetap memberikan ASI atau

tidak. Pemberian minuman atau makanan selain ASI pada rentang usia

0-6 bulan disebut dengan pemberian MPASI Dini. Pemberian MPASI

dini penting untuk diteliti karena kemungkinan berubungan dengan

diare. Hal ini karena berdasarkan sebagian besar hasil penelitian


99

sebelumya usia pemberian MPASI dini yang berhubungan dengan

kejadian diare adalah usia < 6 bulan.

c) Pemberian ASI Eksklusif

ASI merupakan asupan yang sangat sesuai dengan masa

pertumbuhan dan perkembangan bayi di tahun pertama kehidupannya.

ASI mengandung berbagai zat gizi dan zat protektif tertentu yang

sangat dibutuhkan bayi dalam melawan berbagai penyakit infeksi.

Pemberian ASI eksklusif penting untuk diteliti karena dimungkinkan

berhubungan dengan kejadian diare. Pemberian ASI secara eksklusif

selama 0-6 bulan dapat meningkatkan status gizi dan meningkatkan

daya tahan tubuh bayi yang membuat bayi terhindar dari berbagai

penyakit infeksi termasuk diare.

d) Pemberian Susu Formula

MPASI penting untuk diteliti pada bayi usia 6-12 bulan. Salah

satu jenis MPASI yang penting untuk diteliti adalah pemberian susu

formula. Bubuk susu formula diketahui mengandung mikroorganisme

tertentu yang bersifat patogen penyebab diare yang memungkinkan

berhubungan dengan kejadian diare. Selain itu pemberian susu formula

juga dapat meningkatkan resiko diare karena kemungkinan pembuatan

susu formula yang kurang tepat baik dapat terlalu encer maupun kental.

Lainnya penggunaan botol susu sebagai tempat penyajian susu formula

yang tidak steril dapat menjadi media perkembangbiakkan patogen

diare juga memungkinkan berhubungan dengan kejadian diare.


100

e) Pemberian Vitamin A

Vitamin A merupakan salah satu mikronutrien penting yang

dibutuhkan bayi untuk meningkatkan daya tahan tubuh. Selain itu

vitamin A dapat membantu berjalannya sistem saluran cerna karena

melindungi epithelium usus dari berbagai patogen tertentu, termasuk

patogen diare yang dapat menyerang saluran cerna. Kekurangan

vitamin A dapat membuat bayi berisiko terjangkit diare. Maka dari itu

pentingnya vitamin A untuk diteliti.

f) Vaksinasi Campak

Pentingnya pemberian vaksinasi campak dalam kaitannya dengan

kejadian diare pada bayi adalah apabila bayi mengalami diare, maka

bayi yang tidak mendapat vaksinasi campak akan semakin bertambah

parah kondisinya karena disaat yang bersamaan terkena penyakit

campak. Hal ini terjadi diakibatkan oleh adanya penurunan kekebalan

tubuh bayi yang sebelumnya mengalami diare yang disebabkan oleh

virus campak yang menyerang sistem mukosa tubuh dan saluran cerna.

Oleh karena itu pemberian vaksinasi campak penting untuk diteliti

dalam penelitian ini.

Berikut adalah kerangka konsep dari penelitian ini:

Faktor Individu :

1. Jenis kelamin
2. MP ASI dini Kejadian Diare pada
3. Pemberian ASI Eksklusif Bayi usia 6-12 bulan
4. Pemberian Susu Formula
5. Pemberian Vitamin A
6. Vaksinasi Campak Bagan 3. 1 Kerangka Konsep
101

B. Definisi Operasional

Definisi Opersional adalah penjelasan mengenai bagaimana suatu

variabel yang akan diteliti akan diukur serta alat ukur apa yang akan

digunakan untuk mengukurnya (Oktavia, 2015). Definisi operasional

dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

Tabel 3. 1 Definisi Operasional

Variabel Dependen
Cara Skala
No Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Hasil Ukur
pengambilan data Ukur
1. Diare Bayi yang mengalami Kuesioner Observasi data 0. Diare Ordinal
buang-buang air besar SDKI12- sekunder 1.Tidak Diare
(mencret) setiap saat WUS No.
dalam waktu dua 514 dan (Kemenkes
minggu terakhir dan 519. RI, 2013b)
telah diperiksa oleh
tenaga kesehatan di
fasilitas pelayanan
kesehatan
berdasarkan
pengakuan ibu bayi
saat diwawancarai
oleh petugas
pengambil data SDKI
tahun 2012.
(SDKI, 2012)

Variabel Independen
1. Jenis Perbedaan jenis Kuesioner Observasi data 0. Laki-laki Ordinal
Kelamin kelamin bayi SDKI12- sekunder 1. Perempuan
berdasarkan WUS No.
pengakuan ibu bayi 213 (Kemenkes
yang diperkuat RI, 2013b)
dengan keterangan
kelahiran tertulis saat
diwawancarai oleh
petugas pengambil
data SDKI tahun
2012.
(SDKI, 2012)
102

2. Pemberian Bayi yang diberikan Kuesioner Observasi data 0. Ya Ordinal


MPASI minuman lain SDKI12- sekunder 1. Tidak
Dini disamping tetap WUS No.
memberikan ASI atau No. 456- (Kemenkes
tidak setelah 3 hari 457; RI, 2013b)
dilahirkan
berdasarkan
pengakuan ibu bayi
saat diwawancarai
oleh petugas
pengambil data SDKI
tahun 2012.
(SDKI, 2012)

2. Pemberian Bayi yang diberikan Kuesioner Observasi data 0. Tidak ASI Ordinal
ASI ASI saja tanpa disertai SDKI12- sekunder Eksklusif
Eksklusif pemberian cairan dan WUS No. 1. ASI
makanan apapun 453-459; Eksklusif
selama 6 bulan 558-561.
pertama kehidupan. (Kemenkes
RI, 2013b)
(SDKI, 2012)

3. Pemberian Bayi yang diberikan Kuesioner Observasi data 0. Ya Ordinal


Susu makanan pendamping SDKI12- sekunder 1. Tidak
Formula ASI lainnya berupa WUS No.
susu formula 558 poin (Kemenkes
berdasarkan (e) RI, 2013b)
pengakuan ibu bayi
saat diwawancarai
oleh petugas
pengambil data SDKI
tahun 2012.
(SDKI, 2012)
103

4. Pemberian Bayi yang diberikan Kuesioner Observasi data 0. Tidak Ordinal


Vitamin A satu kapsul vitamin A SDKI12- sekunder 1. Ya
berwarna biru atau WUS No.
merah dalam waktu 6 511 (Jika bayi usia
bulan terakhir 6-11 bulan
berdasarkan diberikan
pengakuan ibu bayi kapsul vitamin
saat diwawancarai A berwarna
oleh petugas biru.
pengambil data SDKI Sedangkan
tahun 2012. bayi usia ≥ 12
bulan
(SDKI, 2012) diberikan
kapsul vitamin
A berwarna
merah)
(Kemenkes
RI, 2013b;
Kemenkes RI,
2009)

5. Vaksinasi Bayi yang diberikan Kuesioner Observasi data 0. Tidak Ordinal


Campak vaksinasi campak SDKI12- sekunder 1. Ya
dilengan kiri bagian WUS No.
atas pada saat berusia 504, 506, (Kemenkes
9-12 bulan sebanyak 508, 509, RI, 2013b)
satu kali berdasarkan dan 510G.
pengakuan ibu bayi
saat diwawancarai
oleh petugas
pengambil data SDKI
tahun 2012.
(SDKI, 2012)

C. Uji Hipotesis

1. Adanya hubungan antara faktor individu (jenis kelamin, MPASI dini,

pemberian ASI eksklusif, pemberian susu formula, pemberian vitamin

A dan vaksinasi campak) dengan kejadian diare pada bayi usia 6-12

bulan di wilayah pedesaan 3 Provinsi Indonesia tahun 2012.


Bab IV
Metodologi Penelitian

A. Desain Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian epidemiologi analitik dengan

desain cross-sectional. Desain penelitian ini mengikuti desain SDKI tahun

2012. Desain cross-sectional merupakan desain penelitian yang digunakan

untuk mengukur hubungan variabel independen individu (jenis kelamin;

pemberian ASI eksklusif; pemberian susu formula; pemberian vitamin A

dan vaksinasi campak) dan dependen (Diare pada bayi usia 6-12 bulan)

pada waktu yang bersamaan (Chandra, 2006). Penelitian ini dilakukan

dengan mengobservasi dan menganalisis lanjutan data SDKI tahun 2012.

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

SDKI tahun 2012 dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS)

bekerja sama dengan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana

Nasional (BKKBN) dan Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Pembiayaan

survei disediakan oleh Pemerintah Indonesia. ICF International

menyediakan dan memberikan bantuan teknis melalui MEASURE DHS,

sebuah program yang didanai oleh U.S. Agency For International

Development (USAID) dalam pelaksanaan survei kependudukan dan

kesehatan di banyak negara, termasuk Indonesia.

Penelitian ini merupakan analisis lanjut hasil SDKI tahun 2012.

SDKI tahun 2012 dilaksanakan di 33 Provinsi. Lokasi penelitian ini adalah

104
105

3 Provinsi Indonesia yang memiliki prevalensi diare tertinggi pada balita,

yaitu di Provinsi Kalimantan Barat (24%), Gorontalo (20.8%) dan

Sulawesi Barat (19.9%). Observasi dan analisis lanjutan data SDKI tahun

2012 dilakukan pada bulan Januari - Oktober tahun 2017 di Ciputat Timur,

Kota Tangerang Selatan.

C. Populasi dan Sampel Penelitian

Sampel SDKI tahun 2012 dirancang untuk memberikan angka

estimasi tingkat nasional, provinsi, perkotaan, dan pedesaan. Penentuan

wilayah perkotaan dan pedesaan di Indonesia yang tercatat dalam SDKI

tahun 2012 adalah mengikuti hasil sensus penduduk tahun 2010. Menurut

BPS wilayah perkotaan adalah status suatu wilayah setingkat

desa/kelurahan yang memenuhi kriteria klasifikasi wilayah perkotaan.

Sementara wilayah pedesaan adalah status suatu wilayah setingkat

desa/kelurahan yang belum memenuhi kriteria klasifikasi wilayah

perkotaan.

Adapun kriteria wilayah perkotaan adalah persyaratan tertentu

dalam hal kepadatan penduduk, presentase rumah tangga pertanian, dan

keberadaan/akses pada fasilitas perkotaan yang dimiliki suatu

desa/kelurahan untuk menetapkan status perkotaan suatu desa/kelurahan.

Fasilitas perkotaan yang dimaksud adalah sekolah Taman Kanak-Kanak

(TK); Sekolah Menengah Pertama (SMP); Sekolah Menengah Umum

(SMU); Pasar; Pertokoan; Bioskop; Rumah Sakit;

Hotel/Bilyar/Diskotek/Panti Pijat/Salon; Presentase Rumah Tangga yang


106

mengunakan Telepon; dan Presentase Rumah Tangga yang menggunakan

Listrik. Berikut adalah penentuan klasifikasi wilayah perkotaan dan

pedesaan di Indonesia :

Tabel 4. 1 Klasifikasi Perkotaan Dan Pedesaan Di Indonesia

No. Variabel/Klasifikasi Skor


Total Skor
a) Skor minimum 2
b) Skor maksimum 26
1. Kepadatan Penduduk
< 500 1
500-1.249 2
1.250-2.499 3
2.500-3.999 4
4.000-5.999 5
6.000-7.499 6
7.500-8.499 7
8.500 < 8
2. Presentase rumah tangga pertanian
70,00 < 1
50,00-69,99 2
30,00-49,99 3
20,00-29,99 4
15,00-19,99 5
10,00-14,99 6
5,00-9,99 7
<5,00 8
3. Akses fasilitas umum 0, 1, 2, . . . , 10
a. Sekolah Taman Kanak-kanak (TK)
1). Ada atau ≤ 2,5 km
2). > 2,5 km
b. Sekolah Menengah Pertama (SMP)
1). Ada atau ≤ 2,5 km
2). > 2,5 km
c. Sekolah Menengah Umum (SMU)
1). Ada atau ≤ 2,5 km
2). > 2,5 km
d. Pasar
1). Ada atau ≤ 2 km
2). > 2 km
e. Pertokoan
1). Ada atau ≤ 2 km
2). > 2 km
f. Biskop
1). Ada atau ≤ 5 km
107

2). > 5 km
g. Rumah Sakit
1). Ada atau ≤ 5 km
2). > 5 km
h. Hotel/Bilyar/Diskotek/Panti Pijat/Salon
1). Ada
2). Tidak ada
i. Presentase Rumah Tangga Telepon
1). ≥ 8,00
2). < 8,00
j. Presentase Rumah Tangga Listrik
1). ≥ 90,00
2). < 90,00
Sumber: (BPS, 2010)

Berdasarkan hasil perhitungan pada tabel tersebut, wilayah

diklasifikasikan sebagai perkotaan apabila mempunyai total nilai/skor 10

(sepuluh) atau lebih. Sedangkan suatu wilayah diklasifikasikan sebagai

pedesaan apabila mempunyai total nilai/skor dibawah 10 (sepuluh).

Total sebanyak 1840 blok sensus (874 didaerah perkotaan dan 966

didaerah pedesaan) yang dipilih dari daftar blok sensus pada Primary

Sampling Unit (PSU) yang terbentuk saat sensus penduduk 2010. Pada

penelitian ini dikarenakan kelompok bayi belum memiliki pemahaman

yang cukup untuk diwawancarai, oleh karena itu ibu yang merupakan

wanita usia subur dari setiap bayi tersebut yang menjadi responden (SDKI,

2012). Berikut adalah tabel 4.2 jumlah rumah tangga yang dikunjungi dan

WUS yang diwawancarai :


108

Tabel 4. 2 Jumlah Rumah Tangga yang Dikunjungi


dan WUS yang Diwawancarai
Kalimantan Gorontalo Sulawesi
Barat Barat
Kota 20 17 14
Blok Sensus
Desa 34 26 29
Total 54 43 43
Alokasi
Rumah Kota 500 425 350
Tangga Desa 850 650 725
Total 1350 1075 1075
Anggota 93.1 94.6 94.2
rumah tangga
Wanita Usia
Subur
(WUS)
seluruhnya
lengkap di
wawancarai
Responden 0.7 0.4 1.7
Tidak ada di
rumah
Menunda 0.0 0.0 0.0
Menolak 0.2 0.2 0.0
Tempat 0.6 0.0 0.0
Presentase tinggal tidak
(%) Rumah ditemukan
Tangga yang Ada aanggota 3.7 3.3 3.8
Implementasi di kunjungi rumah tangga
(WUS) tidak
hadir
Tempat 1.0 0.5 0.1
tinggal
kosong atau
alamat
tempat
tinggal tidak
ada
Tempat 0.1 0.0 0.2
tinggal
hancur
Lainnya 0.7 0.9 0.0
Total 100 100 100
Jumlah sampel rumah tangga 1350 1113 1072
yang dikunjungi
Respon rate (%) rumah 98.4 99.3 98.2
109

tangga
Kota 600 510 420
Responden
Perkiraan Desa 1020 780 870
WUS
Total 1620 1290 1290
Wawancara 95.2 92.5 95.7
Lengkap
Responden 2.6 5.4 2.3
tidak ada di
Presentase rumah
(%) WUS Menunda 0.0 0.2 0.1
yang Menolak 0.7 0.5 0.6
diwawancarai Wawancara 0.2 0.3 0.4
Implementasi tidak lengkap
Tidak mampu 1.3 1.2 0.9
Lainnya 0.1 0.0 0.0
Total 100 100 100
Jumlah sampel WUS 1331 1247 1097
Respon rate (%) sampel WUS 95.2 92.5 95.7
yang eligible
Respon rate (%) seluruh 93.7 91.9 94.0
sampel WUS
Sumber: (ICF, 2013)

Populasi adalah keseluruhan unit analisis yang karakteristiknya

akan di duga (Sumantri, 2011). Populasi dalam penelitian ini adalah

semua bayi usia 6-12 bulan yang masih hidup dari setiap rumah

tangga di wilayah pedesaan Indonesia dan tercatat dalam SDKI tahun

2012. Adapun jumlah bayi tersebut adalah sebanyak 1.413 bayi.

Sementara sampel dalam penelitian ini adalah semua bayi usia 6-12

bulan yang masih hidup dari setiap rumah yang tinggal di pedesaan

Provinsi Kalimantan Barat, Gorontalo dan Sulawesi Barat yang

tercatat dalam SDKI 2012. Bayi dengan usia 6-12 bulan dipilih karena

merupakan kelompok yang paling beresiko terhadap kejadian Diare.

Data responden yang missing tidak termasuk dalam kriteria penelitian

sehingga tereksklusi dari penelitian ini. Total sebanyak 108 bayi


110

terpilih sebagai sampel dalam penelitian ini. Berikut adalah alur

pemilihan sampel dalam penelitian ini :

Bayi usia 6-12 bulan di seluruh Indonesia yang masih hidup pada periode tahun 2011 hingga SDKI tahun 2012

N= 1.413

Tinggal di Kalimantan Barat Tinggal di Gorontalo Tinggal di Sulawesi Barat


N= 76 N= 57 N= 77

Tinggal di Desa Tinggal di Desa Tinggal di Desa


N= 51 N= 35 N= 49

Diare Tidak Diare Diare Tidak Diare Diare Tidak Diare


N= 20 N= 31 N= 12 N= 23 N= 12 N= 37

Missing Missing Missing Missing Missing Missing


N= 0 N= 0 N= 0 N= 0 N= 0 N= 0

Tidak Missing Tidak Missing Tidak Missing Tidak Missing Tidak Missing Tidak Missing
N= 20 N= 31 N= 12 N= 23 N= 12 N= 37

N= 3 N=4 N= 3
(Tidak Diagnosis Yankes) (Diagnosis Dukun) (Tidak Diagnosis Yankes)

N=1
(Diagnosis Dukun)

Diagnosis Yankes Diagnosis Yankes Diagnosis Yankes


N= 16 N= 8 N= 9

Missing Missing Missing Missing Missing Missing


Variabel Variabel Variabel Variabel Variabel Variabel

Jenis kelamin = 0 Jenis kelamin= 0 Jenis kelamin= 0 Jenis kelamin = 0 Jenis kelamin = 0 Jenis kelamin = 0
MPASI Dini = 0 MPASI Dini = 0 MPASI Dini = 0 MPASI Dini = 0 MPASI Dini = 0 MPASI Dini = 0
ASI Eksklusif= 3 ASI Eksklusif= 1 ASI Eksklusif= 0 ASI Eksklusif= 3 ASI Eksklusif= 0 ASI Eksklusif = 1
Susu Formula= 0 Susu Formula= 0 Susu Formula= 3 Susu Formula= 1 Susu Formula= 0 Susu Formula = 0
Vitamin A =0 Vitamin A = 0 Vitamin A = 0 Vitamin A =0 Vitamin A =0 Vitamin A =1
Vaksinasi =0 Vaksinasi = 2 Vaksinasi = 0 Vaksinasi =0 Vaksinasi =0 Vaksinasi =0
Campak Campak Campak Campak Campak Campak

N= 13 N= 28 N= 5 N= 19 N= 9 N= 34

N Total = 108

Bagan 4. 1 Alur Pemilihan Sampel


111

Berdasarkan Bagan 4.1 diatas bahwa terdapat 1.413 bayi usia 6-12

bulan yang masih hidup di 33 Provinsi di seluruh Indonesia pada periode

tahun 2011 hingga SDKI tahun 2012 dilakukan. Tiga Provinsi memiliki

prevalensi diare tertinggi pada kelompok balita, yaitu Provinsi Kalimantan

Barat, Gorontalo, dan Sulawesi Barat. Bayi usia 6-12 bulan adalah salah

satu diantara kelompok balita yang rentan mengalami diare. Terdapat 135

bayi usia 6-12 bulan yang tinggal di wilayah pedesaan dari tiga provinsi,

diantaranya sebanyak 44 bayi yang mengalami diare dan 91 yang tidak

mengalami diare.

Pada penelitian ini bayi yang mengalami diare berdasarkan

pengakuan ibunya namun tidak dibawa ke pelayanan kesehatan

pemerintah maupun swasta sehingga status diare tidak berdasarkan

diagnosis dokter tidak dipih sebagai sampel. Sama halnya dengan bayi

yang mengalami diare berdasarkan pengakuan ibunya namun bayi dibawa

ke pelayanan kesehatan tradisional (dukun) sehingga status diare

berdasarkan diagnosis dukun juga tidak dipih sebagai sampel. Keseluruhan

sebanyak 11 bayi dengan dua kriteria ini terekskusi dari penelitian ini.

Terpilihlah sebanyak 33 bayi yang mengalami diare berdasarkan

pengakuan ibunya dan mendapatkan diagnosis dokter dari pelayanan

kesehatan pemerintah atau swasta. Maka ditambah dengan 91 bayi yang

tidak mengalami diare jumlah sampel menjadi 124 bayi. Kemudian

ditemukan adanya 16 missing pada varibel-variabel independen yang akan


112

diteliti baik pada kelompok bayi yang diare dan tidak diare. Sehingga total

sampel pada penelitian ini menjadi 108 bayi usia 6-12 bulan.

Pada penelitian ini dengan tersedianya jumlah sampel untuk dianalisis,

maka dapat ditentukan kekuatan uji (1-β) pada setiap variabel. Penentuan

kekuatan uji (1-β) menggunakan rumus besar sampel uji hipotesis beda

dua proporsi dua arah (two tail) , yaitu sebagaimana berikut (Ariawan,

1998):

( √ ( ) √ ( ) ( ))

( )

Keterangan :

n = Jumlah sampel

Z1-α/2 = Nilai Z pada derajat kepercayaan α sebesar 5% (1,96)

= Proporsi individu yang terkekspos faktor risiko Diare pada

penderita Diare

= Proporsi individu yang tidak terekspos faktor risiko Diare pada

penderita Diare

P = Proporsi total di Populasi

Penentuan kekuatan uji (1-β) setiap variabel penelitian menggunakan

aplikasi Sample Size 2.0 pada sistem operasi Windows. Adapun besar

kekuatan uji (1-β) dari setiap variabel setelah dilakukan perhitungan

adalah sebagaimana berikut ini:


113

Tabel 4. 3 Jumlah Sampel untuk Setiap Variabel

Besar Kekuatan
No Variabel P1 P2
sampel Uji (1-β)
1. Diare 108 0.25 0.75 99%
2. Jenis Kelamin 108 0.54 0.46 99%
3. MPASI Dini 108 0.60 0.40 99%
4. Pemberian ASI 108 0.57 0.43 99%
eksklusif
4. Susu Formula 108 0.75 0.25 99%
5. Pemberian 108 0.51 0.49 99%
Vitamin A
6. Vaksinasi campak 108 0.73 0.27 99%

D. Instrumen penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah Kuesioner

SDKI tahun 2012. Kuesioner SDKI tahun 2012 sebelumnya telah di uji

cobakan. Uji coba kuesioner dilakukan oleh dua tim yang direkrut di setiap

Provinsi. Uji coba dilakukan mulai pertengahan Juli hingga pertengahan

Agustus tahun 2011 diempat kabupaten terpilih, yang mencakup empat

blok sensus perkotaan dan empat blok sensus pedesaan. Kabupaten yang

terpilih untuk uji coba kuesioner adalah Pekanbaru dan Kampar (Provinsi

Riau), serta Kota Kupang dan Kabupaten Timor Tengah Selatan (Provinsi

Nusa Tenggara Timur). Uji coba kuesioner SDKI tahun 2012 dilakukan

untuk memastikan bahwa pertanyaan-pertanyaan sudah jelas dan dapat

dipahami oleh responden.

Kuesioner digunakan untuk mengumpulkan data terkait diare dan

segala faktor individu yang akan diteliti seperti jenis kelamin, MPASI dini,

pemberian ASI eksklusif, pemberian susu formula, pemberian vitamin A


114

dan vaksinasi campak pada bayi usia 6-12 bulan. Kuesioner SDKI 2012

yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner WUS bagian 2

mengenai riwayat kelahiran, bagian 4 (mengenai kehamilan dan

pemeriksaan sesudah melahirkan) dan bagian 5 (mengenai imunisasi,

kesehatan dan gizi anak)

Kuesioner WUS bagian 2 digunakan untuk mengukur variabel

jenis kelamin. Sedangkan kuesioner WUS bagian 4 digunakan digunakan

untuk mengumpulkan data terkait MPASI dini dan ASI eksklusif.

Kemudian kuesioner WUS bagian 5 digunakan untuk memperolah

informasi variabel diare, pemberian ASI eksklusif, pemberian susu

fomula, pemberian vitamin A dan vaksinasi campak. Adapun daftar setiap

variabel dan pengukurannya dalam kuesioner yang akan digunakan dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut :

Tabel 4. 4 Daftar Variabel dan Pengukurannya

No. Variabel Kuesioner Cara Pengukuran


No. 514. Enumerator SDKI 2012 mengumpulkan data ini
dengan mewawancarai responden dengan
pertanyaan “Apakah (NAMA) pernah buang-
buang air (mencret/diare) dalam dua minggu
terakhir sebelumnya?”
1 Diare No. 519. Kemudian enumerator memastikan bahwa bayi
benar-benar mengalami diare atau tidak dengan
pemeriksaan yang tepat dan diagnosis oleh
tenaga kesehatan yang dapat berasal dari
berbagai fasilitas pelayanan kesehatan baik milik
pemerintah atau swasta.
2 Jenis No. 213 Enumerator menentukan jenis kelamin bayi
Kelamin dengan bertanya secara langsung pada responden
yang diperkuat dengan observasi keterangan
kelahiran tertulis saat wawancara dilakukan.
3 Pemberian No. 456- Enumerator memberikan pertanyaan berkaitan
MPASI 457. dengan pemberian minuman lainnya sebelum
115

Dini ASI keluar (mengalir) dengan lancar dalam


waktu 3 hari setelah melahirkan dan dilanjutkan
dengan pertanyaan terkait macam-macam
minuman selain ASI yang sekiranya diberikan
responden.
Pemberian No. 453- Enumerator memperoleh data ini dimulai
ASI 459. dengan pertanyaan mengenai Inisiasi Menyusui
Eksklusif Dini (IMD). Terkait IMD, enumerator
memberikan pertanyaan seperti waktu pertama
kali bayi disusui juga memberikan pertanyaan
yang berkaitan dengan pemberian minuman
4 lainnya sebelum ASI keluar (mengalir) dengan
lancar dalam waktu 3 hari setelah melahirkan.
No. 558- Selanjutnya enumerator menanyakan mengenai
561. berbagai minuman dan makanan tambahan
lainnya yang kemungkinan diberikan kepada
bayinya disamping pemberian ASI ataupun tidak
di usia 6 bulan pertama kehidupannya.
5 Pemberian No. 558 Enumerator mengumpulkan data ini dengan
Susu poin (e). menanyakan langsung terkait pemberian susu
Formula formula sebagai pendamping ASI pada bayinya
saat berusia diatas 6 bulan. Selain itu juga
menanyakan frekuensi pemberian susu formula
pada bayinya tersebut.

6 Pemberian No. 511. Enumerator mendapatkan informasi ini dengan


Vitamin A memberikan pertanyaan “Apakah (NAMA)
menerima vitamin A seperti ini selama 6 bulan
terakhir? ”. Enumerator juga meminta responden
untuk menunjukkan kapsul vitamin A berwarna
biru atau merah yang diberikan kepada bayinya
saat wawancara berlangsung.
7 Vaksinasi No. 504, Enumerator mengukur variabel ini dengan
Campak 506, 508, bertanya kepada responden apakah bayinya yang
509 dan berusia 9 bulan memiliki kartu imunisasi/KMS
510G Balita/Buku KIA.

Kemudian jika memiliki kartu imunisasi/KMS


Balita/Buku KIA. Enumerator meminta
responden untuk menunjukkannya sebagai bukti.
No. 506 Selanjutnya enumerator melihat dan menyalin
tanggal jenis vaksinasi campak yang pernah
diberikan kepada bayinya. Apabila pengakuan
respoden jenis vaksinasi campak pernah
diberikan namun tidak ada tanggalnya maka
enumerator menuliskan angka “44” pada kolom
tanggal.
No. 508 Kemudian pertanyaan ini digunakan untuk
116

menanayakan kepada responden apakah bayinya


pernah mendapatkan vaksinasi yang tidak dicatat
pada kartu imunisasi/KMS balita/buku KIA
termasuk vaksinasi yang diberikan pada hari
imunisasi nasional ?

No. 509 Pertanyaan ini digunakan untuk mendapatkan


informasi apakah bayinya pernah mendapat
vaksinasi tertentu untuk mencegah penyakit
tertentu yang diberikan pada hari imunisasi
nasional.
No. 510G Setelah itu pertanyaan ini digunakan untuk
memperoleh informasi apakah bayinya pernah
mendapat vaksinasi campak untuk mencegah
penyakit campak yang diberikan pada hari
imunisasi nasional atau tidak.

E. Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder,

yaitu data SDKI tahun 2012. Data SDKI tahun 2012 dalam penelitian ini

didapatkan dari website measuredhs.com. Measuredhs.com adalah website

yang menyediakan data terkait demografi kesehatan seluruh negara di

dunia yang ikut dalam proyek MEASURE DHS termasuk Indonesia.

F. Kualitas Data SDKI 2012

Data digunakan oleh peneliti untuk menjawab pertanyaan atau

menguji hipotesis dan mencapai tujuan penelitian. Data perlu diperhatikan

kualitasnya, sebab kualitas data merupakan hal pokok dalam penelitian

untuk menentukan kevalidan dari hasil penelitian. Adapun kulitas data dari
117

SDKI 2012 dipengaruhi oleh beberapa kesalahan dalam pengumpulan

data, misalnya yang berhubungan dengan riwayat kelahiran.

Pengumpulan data riwayat kelahiran hanya di dapatkan dari wanita

usia 15-49 tahun yang masih hidup, oleh sebab itu tidak tersedia data anak

dari wanita yang sudah meninggal. Estimasi angka kematian akan bias jika

fertilitas wanita yang masih hidup dan wanita yang sudah meninggal

berbeda secara nyata. Di Indonesia, bias ini nampakanya dapat diabaikan.

Namun, jika kelangsungan hidup anak dari wanita yang masih hidup dan

sudah meninggal berbeda, biasanya anak dari wanita yang sudah

meninggal kurang baik, dan estimasi angka kematiannya akan bias ke

bawah. Kesalahan lain yang mungkin terjadi adalah ketidak lengkapan

jumlah kasus yang dilaporkan, responden cenderung melupakan peristiwa

yang terjadi di masa lampau. Akibatnya kematian yang terjadi di masa

lampau dilaporkan lebih rendah dibandingkan kematian yang terjadi pada

periode kini.

Pengaruh pemotongan data riwayat kelahiran untuk perkiraan di

masa lampau merupakan pengalaman dari responden muda, dimana

perkiraan angka relatif rendah dimasa lalu lebih jelas terlihat. Kesalahan

pelaporan tanggal lahir dan atau usia saat meninggal dapat menghasilkan

angka kematian yang bias. Laporan usia anak saat meninggal, sumber

kesalahan yang umum saat SDKI 2007 adalah kecenderungan ibu

melaporkanusia kematian berkelipatan 6 bulan. Maka dari itu untuk

mengurangi kesalah ini, instruksi rinci diberikan kepada pewawancara

SDKI 2012 untuk mencatat kematian dibawah satu bulan dalam hari dan
118

kematian dibawahusia dua tahun dalam bulan. Pewawancara juga

diinstruksikan untuk menggali ketepatanusia kematian dalam bulan

seandainya dilaporkan sebagai satu tahun.

Sama halnya yang terjadi pada SDKI 2007, pada SDKI 2012 juga

penumpukan pelaporan kematian padausia tertentu lebih parah untuk

kematian yang terjadi pada masa lampau dibandingkan dengan kematian

yang terjadi baru-baru ini. Hal ini jelas terlihat bahwa kecenderunganusia

kematian terjadi padausia 12 bulan, distribusi kematian menurut bulan

untuk periode 0-4 tahun sebelum survei lebih mulus dibandingkan dengan

distribusi kematian untuk periode 5-9 dan 10-14 tahun sebelum survei.

Masalah lain adalah kenyataan bahwa estimasi angka kematian

merujuk pada status kelangsungan hidup anak yang terjadi untuk satu

periode tertentu (misal, 0-4 tahun sebelum survei). Namun karena hanya

wanitausia reproduksi yang diwawancarai, wanitausia 50 tahun keatas

tidak diwawancarai sehingga tidak dapat melaporkan kelangsungan hidup

anak yang dimilikinya pada periode yang dimaksud. Pengaruh dari

sensoring informasi menjadi bertambah parah dengan makin panjangnya

periode yang dicakup.

Pada penelitian ini responden yang dipilih dalam penelitian ini

bukan pengasuh, sanak saudara, maupun orang lain yang mengasuh bayi

melainkan adalah orang tua yang melahirkan bayi tersebut. Hal ini

dilakukan untuk menghindari bias informasi. Selain itu kualitas data SDKI

2012 dari setiap data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut:
119

Tabel 4. 5 Kualitas Data SDKI 2012 Yang Diteliti

No. Variabel Kualitas Data


1. Diare Data diare yang didapatkan dan dipilih dari hasil
SDKI 2012 adalah diare dalam waktu 2 minggu
terakhir sebelum survei kemudian yang telah
didiagnosis oleh tenaga kesehtan dari faslitas
pelayanan kesehatan baik pemerintah maupun
swasta. Data diare hasil SDKI 2012 tersebut masih
secara umum sehingga belum dapat diketahui
secara spesifik jenis diare apakah yang dialami oleh
bayi usia 6-12 bulan. Namun menurut teori yang
didapatkan sebelumnya, diare yang terjadi dan
berlangsung selama beberapa jam atau kurang dari
14 hari termasuk ke dalam jenis diare akut.
Sementara diare yang terjadi dan berlangsung
selama 14 hari termasuk kedalam jenis diare kronik.
Oleh karena itu data diare hasil SDKI 2012 yang
akan digunakan dalam penelitian ini kemungkinan
termasuk ke dalam jenis diare akut atau diare
kronik.
2. Jenis Data jenis kelamin bayi ditentukan dengan bertanya
Kelamin secara langsung pada responden bayi yang
diperkuat dengan observasi keterangan kelahiran
tertulis saat wawancara yang dilakukan oleh
enumerator SDKI 2012. Data yang dikumpulkan
dengan cara ini tepat karena dapat memberikan
kejelasan dalam menentukan variabel jenis kelamin.

3. Pemberian Penentuan data pemberian MPASI dini ditentukan


MPASI dengan bertanya pada responden terkait pemberian
Dini minuman selain ASI sebelum ASI mengalir dengan
lancar setelah bayi 3 hari dilahirkan. Faktor
keterbatasan dalam mengingat dari responden,
terlebih pada responden yang memiliki bayi usia 6
bulan keatas membuat informasi yang dihasilkan
untuk pertanyaan ini bisa bias sehingga data yang
dihasilkan kualitasnya kurang baik.

4. Pemberian Penentuan ASI eksklusif dapat dilakukan dengan


ASI mengakumulasikan data pemberian IMD < 1 jam
Eksklusif tanpa disertai pemberian minuman dan makanan
tambahan apapun oleh responden pada bayinya
dalam usia 6 bulan pertama kehidupannya. Pada
120

penelitian ini data yang dapat digunakan untuk


menentukan pemberian ASI Eksklusif pada bayi
yang berusia 6-12 bulan hanya dengan data
responden melakukan IMD atau tidak kepada
bayinya setelah lahir kemudian diberikan/tidak
diberikan minuman lain setelah 3 hari lahir sebelum
ASI-nya keluar dengan lancar (MPASI Dini).

Sementara tidak ada data pemberian makanan lain


setelah 3 hari bayi lahirkan sebelum ASI-nya keluar
dengan lancar. Adapun terdapat data pemberian
berbagai makanan tambahan lainnya yang
kemungkinan diberikan kepada bayinya disamping
pemberian ASI ataupun tidak di usia 6 bulan
pertama kehidupannya guna menentukan ASI
eksklusif. Namun data tersebut hanya dapat
digunakan pada bayi yang berusia 6 bulan saja.
Tidak dapat digunakan pada bayi yang berusia > 6
bulan. Sehingga dengan tidak adanya data
pemberian makanan lain setelah 3 hari bayi
lahirkan sebelum ASI-nya keluar dengan lancar,
membuat variabel pemberian ASI eksklusif tidak
dapat diukur secara utuh sesuai dengan definisi
operasional ASI eksklusif bagi peneliti yang ingin
mengukur ASI ekslusif dengan data SDKI 2012
dengan subjek penelitian bayi usia > 6 bulan.

Selain itu dikarenakan faktor keterbatasan dalam


mengingat dari responden, terlebih pada responden
yang memiliki bayi usia 6 bulan keatas, informasi
yang dihasilkan untuk pertanyaan yang berkaitan
dengan IMD dan diberikan/tidak diberikan
minuman lain setelah 3 hari lahir sebelum ASI-nya
keluar dengan lancar (MPASI dini) bisa bias
sehingga data yang dihasilkan kualitasnya kurang
baik.

5. Pemberian Pengumpulan data pemberian susu formula juga


Susu cukup tepat untuk mengukur variabel pemberian
Formula susu formula, yaitu jawaban responden berupa
“iya” atau “tidak” dan data frekuensi pemberian
susu formula. Data pemberian frekuensi susu
formula seperti “<7 kali” atau “≥7 kali” dapat
121

menggambarkan seberapa besar pengaruhnya susu


formula bagi tubuh bayi. Namun terdapat
kekurangan dalam proses pengumpulan data
dimana tidak semua responden yang menjawab
“iya” memberikan informasi perkiraan seberapa
banyak frekuensi pemberian susu formula diberikan
pada bayinya. Kedepan data ini memberikan
ketimpangan informasi dalam menjelaskan
seberapa besar pengaruhnya susu formula bagi
tubuh bayi.

6. Pemberian Pengumpulan data terkait pemberian vitamin A


Vitamin A masih belum dapat mengukur variabel pemberian
vitamin A. Hal ini dikarenakan pertanyaan tersebut
masih belum dapat memberikan kejelasan dalam
mengukur variabel pemberian vitamin A. Pada
jawaban pertanyaan tersebut responden mungkin
saja menjawab “iya” menerima kapsul vitamin A,
namun kemungkinan belum tentu diberikan pada
bayinya.

Hal ini bisa karena alasan responden lupa, bayinya


yang tidak mau diberikan kapsul vitamin A atau
alasan lainnya. Informasi yang dihasilkan ini bisa
menimbulkan bias informasi. Bias informasi terkait
pemberian vitamin A dapat dihindari dengan
pengumpulan data pemberian vitamin A yang
disertai dengan bukti pencatatan pemberian Vitamin
A pada buku KIA/KMS Balita disamping
responden menunjukkan bayinya telah
menerima/tidak kapsul Vitamin A.

7. Pemberian Pengukuran data vaksinasi campak diperoleh


Vaksinasi dengan pencatatan keterangan vakasinasi dari kartu
Campak imunisasi/Buku KIA/KMS Balita. Informasi yang
dihasilkan dari pengukuran ini dapat dinilai tepat
dalam mengukur variabel vaksinasi campak. Tetapi
berapa responden saja yang dapat menunjukkan
bukti pencatatan keterangan vakasinasi campak
dari kartu imunisasi/Buku KIA/KMS Balita.
Sebagian besar masih berdasarkan pengakuan
responden. Hal ini dapat menyebabkan bias
informasi karena dikhawatirkan responden yang
122

mengaku “memberikan” ternyata lupa, bayi sakit,


rewel, sekedar mengaku saja dan lain sebagianya.
Selain itu dari data yang di peroleh sebagian besar
bayi yang menerima vaksinasi campak tidak tepat
pada waktunya, yaitu > 9 bulan.

G. Pengolahan Data

Pengolahan data merupakan salah satu bagian rangkaian kegiatan

penelitian setelah pengumpulan data. Data mentah yang didapat diperiksa

kelengkapannya kemudian diolah dengan sistem komputerisasi

menggunkaan software pengolahan data dengan tahapan-tahapan sebagai

berikut :

1) Filtering adalah memilah data yang tidak dibutuhkan dalam

penelitian. Tahap filtering ini dilakukan pada saat penentuan sampel

yang dapat dilihat pada bagan 4.1 Diawal penelitian peneliti

memperoleh seluruh data mentah hasil SDKI tahun 2012 yang tidak

hanya berkaitan dengan masalah kesehatan diare saja, namun masalah

kesehatan lainnya. Tahap filtering ini dilakukan untuk menyaring

data-data yang tidak berhubungan dengan keperluan analisis data

terkait faktor individu dan diare pada bayi usia 6-12 bulan. Saat

filtering data-data yang tidak berhubungan dengan keperluan analisis

data terkait faktor individu dan diare pada bayi usia 6-12 bulan akan

dihapus.
123

2) Cleaning, yaitu mengecek kembali data yang telah dientri yang

dikhawatirkan terdapat kemungkinan kesalahan sewaktu entri data

dilakukan, seperti kesalahan pengkodean, kesalahan membaca kode,

dan kesalahan memasukkan data. Tahap cleaning ini dilakukan saat

penentuan sampel yang dapat dilihat pada bagan 4.1. Pada tahap

cleaning ini jika terdapat data yang missing pada variabel-variabel

independen jenis kelamin; pemberian MPASI dini; pemberian ASI

eksklusif; pemberian susu formula; pemberian vitamin A dan

vaksinasi campak maka data tersebut akan dihapus. Variabel-variabel

tersebut missing karena data hasil input tidak lengkap atau berupa

angka dengan nilai 9 atau 99 atau 999.

3) Recoding, yaitu mengubah kode atau kategori data mentah SDKI

tahun 2012 yang diperoleh menjadi kode atau kategori yang sesuai

dengan kebutuhan analisis penelitian. Pada tahap ini peneliti dapat

membuat kode/kategori baru ataupun melakukan

pengkodean/pengkategorian ulang yang disesuaikan dengan definisi

operasional yang digunakan dalam penelitian. Namun pada penelitian

ini peneliti menyesuiakan definisi operasional dengan SDKI tahun

2012 sehingga peneliti tidak membuat kode/kategori baru ataupun

melakukan pengkodean/pengkategorian ulang.

4) Computing, yaitu membuat variabel baru dari data yang ada sesuai

dengan kebutuhan penelitian. Tahap ini ini dilakukan setelah proses

recode sebelumnya dilakukan.


124

H. Analisis Data

Data penelitian yang sudah diolah kemudian dianalisis. Analisis

yang akan dilakukan oleh peneliti dalam penelitian ini ada dua macam

yaitu, analisis univariat dan bivariat. Analisis data dilakukan dengan

bantuan program software komputer, yaitu software khusus uji statistik.

1. Analisis Univariat

Analisis univariat digunakan untuk mengetahui distribusi frekuensi

dari variabel-variabel dependen dan independen yang diteliti. Variabel

dependen pada penelitian ini adalah diare pada bayi usia 6-12 bulan.

Sementara varibel-variabel independen pada penelitian ini adalah jenis

kelamin; pemberian MPASI dini; pemberian ASI eksklusif; pemberian

susu formula; pemberian vitamin A dan vaksinasi campak pada bayi

usia 6-12 bulan. Hasil analisis univariat akan ditampilkan dalam bentuk

tabel yang memuat jumlah dan presentasi dari masing-masing variabel

yang akan diteliti.

2. Analisis Bivariat

Analisis bivariat digunakan untuk membuktikan hipotesis

penelitian. Analisis dilakukan untuk mengidentifikasi hubungan antara

variabel independen dengan dependen yang diteliti, yaitu hubungan

faktor individu (jenis kelamin; pemberian MPASI dini; pemberian ASI

eksklusif; pemberian susu formula; pemberian vitamin A dan vaksinasi

campak) dengan kejadian diare pada bayi usia 6-12 bulan. Analisis

bivariat ini akan dianalisis dengan menggunakan uji statistik yaitu uji
125

Chi square. Menurut Budiarto (2002) prinsip dari uji chi-square adalah

membandingkan nilai hasil pengamatan dengan nilai ekspektasi.

Berikut adalah rumus uji Chi square :

( )

Keterangan:
0 = Nilai hasil pengamatan

E = Nilai ekspektasi

Adapun ketentuan penggunaan uji Chi Square (Sabri and

Hastono, 2010) adalah sebagai berikut :

a) Tidak boleh ada sel yang mempunyai nilai harapan < 1

b) Tidak boleh dari 20% sel mempunyai nilai harapan < 5

Jika ketentuan diatas ditemui dalam suatu tabel kontigensi, maka

dapat dilakukan penggabungkan antara nilai dari sel yang kecil

dengan sel yang lainnya. Penggabungan ini dilakukan dengan maksud

dimana kategori dari variabel tertentu dikurangi sehingga kategori

yang nilai harapannya kecil dapat digabung ke kategori lain.

Sementara itu, hal ini tidak dapat dilakukan untuk tabel 2x2. Oleh

karena itu, cara mengatasinya dengan melakukan uji Fisher Exact.

Variabel dependen (diare) yang akan diteliti pada penelitian ini

merupakan salah satu kasus yang prevalen. Maka dari itu digunakan

ukuran kekuatan hubungan Prevalence Relative Risk (PRR) dalam

analisis datanya. PRR digunakan untuk menilai tingkat risiko masing-

masing variabel yang diteliti terhadap kejadian diare. Nilai PRR


126

memiliki makna tertentu yang dapat ditentukan sebagaimana berikut

ini (Webb P and Bain C, 2011; Merril, R.M. 2011):

1) Apabila nilai PRR >1 maka ada hubungan yang bermakna antara

faktor risiko individu dengan kejadian diare. Faktor Individu

tersebut akan meningkatkan risiko seseorang mengalami diare.

2) Apabila nilai PRR =1 maka tidak ada hubungan yang bermakna

antara faktor risiko individu dengan kejadian diare.

3) Apabila nilai PRR < 1 maka terdapat hubungan yang bermakna

antara faktor risiko Individu dengan kejadian diare. Faktor Individu

tersebut akan menurunkan risiko seseorang mengalami diare.

Dalam menampilkan nilai PRR biasanya bersamaan

dengan memunculkan nilai confidence interval (CI). Nilai CI 95%

juga memiliki makna tertentu, yaitu bila rentang nilai antara lower

limit dengan upper limit 95% CI yang dihasilkan di bawah angka 1

atau diatas angka 1 maka terdapat hubungan yang bermakna antara

faktor risiko Individu dengan kejadian diare pada bayi usia 6-12

bulan. Namun untuk nilai 95% CI yang dihasilkan di bawah angka

1 mengindikasikan faktor risiko Individu menjadi faktor protektif

diare. Kemudian bila rentang nilai antara lower limit dengan upper

limit 95% CI yang dihasilkan melewati angka 1 maka tidak ada

hubungan yang bermakna antara faktor risiko Individu dengan

kejadian diare pada bayi usia 6-12 bulan. (Katz, 2006; Szumilas,

2010).
BAB V
Hasil

A. Distribusi Bayi Usia 6-12 Bulan Berdasarkan Kejadian Diare Di Wilayah


Pedesaan 3 Provinsi Indonesia Tahun 2012.

Pada penelitian ini sampel yang digunakan adalah semua bayi usia 6-12

bulan yang masih hidup pada periode tahun 2011-2012 dari setiap rumah

tangga yang tinggal di wilayah pedesaan Provinsi Kalimantan Barat,

Gorontalo dan Sulawesi Barat. Adapun jumlah sampel yang digunakan adalah

sebanyak 108 responden dengan distribusi kejadian diare pada bayi usia 6-12

bulan sebagaimana berikut ini :

Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Bayi Usia 6-12 Bulan Berdasarkan Kejadian
Diare Di Wilayah Pedesaan 3 Provinsi Indonesia Tahun 2012
Status Diare N (%)
Diare 27 25%
Tidak Diare 81 75%
Total 108 100%

Berdasarkan tabel 5.1 diatas diketahui bahwa paling banyak bayi usia 6-12

bulan yang tinggal di wilayah pedesaan Provinsi Kalimantan Barat, Gorontalo

dan Sulawesi Barat tidak mengalami diare (75%) dalam waktu 2 minggu

terakhir sebelum survei. Sementara yang mengalami diare dalam waktu 2

minggu terakhir sebelum survei sebanyak 27 orang (25%).

Adapun bayi usia 6-12 bulan dipastikan mengalami diare atau tidak

melalui pemeriksaan yang tepat dan diagnosis oleh tenaga kesehatan. Tenaga

kesehatan dapat berasal dari berbagai fasilitas pelayanan kesehatan baik milik

pemerintah ataupun swasta. Berikut adalah distribusi frekuensi bayi usia 6-12

127
128

bulan dengan diare berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan dari fasilitas

pelayanan kesehatan :

Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Bayi Usia 6-12 Bulan dengan Diare
Berdasarkan Diagnosis Fasyankes Di Wilayah Pedesaan
3 Provinsi Indonesia Tahun 2012
Fasilitas Pelayanan Kesehatan N Persentase
(%)
Pemerintah
Puskesmas 7 6,5 %
Polindes 1 0.9 %
Swasta
Apotek Swasta 3 2.8 %
Dokter Praktek Swasta 2 1,9 %
Klinik Praktek Swasta 1 0.9 %
Bidan Praktek Swasta 7 6.5 %
Perawat Praktek Swasta 2 1,9 %
Bidan Desa Swasta 3 2.8 %
Lainnya 1 0.9 %
Total 27 100%

Tabel 5.2 diatas diketahui bahwa paling banyak bayi usia 6-12

bulan yang tinggal di wilayah pedesaan Provinsi Kalimantan Barat,

Gorontalo dan Sulawesi Barat mengalami diare berdasarkan pemeriksaan

dan diagnosis oleh tenaga kesehatan dari fasilitas pelayanan kesehatan

sektor pemerintah, yaitu Puskesmas (6.5 %). Sementara bayi dengan diare

berdasarkan pemeriksaan dan diagnosis oleh tenaga kesehatan dari fasilitas

pelayanan kesehatan sektor swasta paling banyak dari Bidan praktek

swasta (6.5 %). Distribusi bayi dengan diare paling sedikit berdasarkan

pemeriksaan dan diagnosis oleh tenaga kesehatan dari fasilitas pelayanan

kesehatan sektor pemerintah, yaitu Polindes (0,9%) dan sektor swasta

yaitu klinik praktek swasta (0.9%) dan lainnya (0.9%).


129

B. Distribusi Frekuensi Bayi Usia 6-12 Bulan Berdasarkan Jenis Kelamin


Di Wilayah Pedesaan 3 Provinsi Indonesia Tahun 2012.

Berikut merupakan tabel 5.3 yang menunjukkan distribusi frekuensi jenis

kelamin pada bayi usia 6-12 bulan di wilayah Pedesaan 3 Provinsi Indonesia

Tahun 2012 :

Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Bayi Usia 6-12 Bulan Berdasarkan Jenis
Kelamin Di Wilayah Pedesaan 3 Provinsi Indonesia Tahun 2012
Jenis Kelamin N (%)
Laki-laki 58 53.7%
Perempuan 50 46.3%
Total 108 100 %

Berdasarkan tabel 5.3 diatas diketahui bahwa bayi usia 6-12 bulan

di wilayah pedesaan Provinsi Kalimantan Barat, Gorontalo dan Sulawesi

Barat paling banyak berjenis kelamin laki-laki (51.9%).

C. Distribusi Frekuensi Kejadian Diare Pada Bayi Usia 6-12 Bulan


Berdasarkan Pemberian Air Susu Ibu Di Wilayah Pedesaan 3 Provinsi
Indonesia Tahun 2012.

ASI eksklusif merupakan pemberian ASI saja oleh responden pada bayi

tanpa disertai pemberian minuman dan makanan tamabahan apapun selama 6

bulan pertama kehidupannya. Pemberian ASI eksklusif pada bayi pada

penelitian ini ditentukan yang dimulai dari apakah responden melakukan

IMD < 1 jam dan pemberian minuman tambahan lainnya setelah tiga hari

bayi dilahirkan. Sementara data pemberian makanan tambahan pada bayi

untuk menentukan ASI eksklusif hanya dapat digunakan pada bayi usia 0-6

bulan. Tidak dapat digunakan pada bayi lainnya yang berada pada kisaran

usia > 6 bulan. Berikut adalah distribusi frekuensi pemberian ASI eksklusif
130

pada bayi usia 6-12 bulan di wilayah pedesaan Provinsi Kalimantan Barat,

Gorontalo dan Sulawesi Barat :

Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Bayi Usia 6-12 Bulan Berdasarkan


Pemberian ASI Eksklusif Di Wilayah Pedesaan
3 Provinsi Indonesia Tahun 2012
IMD N (%)
Waktu pertama kali disusui
Segera setelah melahirkan 44 40.7%
≥1 Jam setelah melahirkan 19 17.6%
≥1 Hari setelah melahirkan 45 41.7%
Total 108 100 %
Pemberian minuman selain ASI
setelah 3 hari diahirkan
(MPASI Dini)
Ya 68 63%
Tidak 40 37%
Total 108 100%
Minuman pertama kali yang
diberikan setelah 3 hari
dilahirkan (MPASI Dini)
Susu selain ASI 8 7.4%
Air putih 24 22.2%
Air Gula 9 8.3%
Susu Formula 22 20.4%
Madu 11 10.2%
Air Tajin 4 3.7%
Lainnya 3 2.8%

Bayi yang diberi minuman dari


botol dan dot
Ya 31 28.7%
Tidak 77 71.3%
Total 108 100 %
Bayi yang masih menyusui
hingga saaat ini
Ya 90 83.3%
Tidak 18 16.7%
Total 108 100 %
ASI Eksklusif
Ya 46 42.6%
Tidak 62 57.4%
Total 108 100 %
131

Tabel 5.4 diatas menunjukkan bahwa paling banyak bayi usia 6-12

bulan di wilayah pedesaan Provinsi Kalimantan Barat, Gorontalo dan

Sulawesi Barat waktu pertama kali disusui yaitu ≥ 1 hari setelah dilahirkan

(41.7%). Kemudian setelah 3 hari dilahirkan bayi berusia 6-12 bulan

sebagian besar sudah menerima minuman lain selain ASI (MPASI Dini)

(63%). Adapun minuman yang pertama kali paling banyak diberikan

berupa air putih (22.2%).

Bayi berusia 6-12 bulan lebih banyak yang menerima minuman

lain dengan tidak menggunakan botol dan dot (71.3%). Selanjutnya

diketahui berusia 6-12 bulan yang masih disusui hingga saat ini lebih

banyak (83.3%). Maka dilihat dari awal responden melakukan IMD < 1

jam dengan pemberian cairan lainnya setelah bayi 3 hari dilahirkan dapat

diketahui bahwa bayi paling banyak tidak diberikan ASI eksklusif, yaitu

sebanyak 57.4%.

D. Distribusi Frekuensi Bayi Usia 6-12 Bulan Berdasarkan Pemberian Susu


Formula Di Wilayah Pedesaan 3 Provinsi Indonesia Tahun 2012.

Pemberian susu formula pada tabel 5.5 merupakan salah satu dari MPASI

yang diberikan responden pada bayinya yang berusia 6-12 bulan di wilayah

pedesaan Provinsi Kalimantan Barat, Gorontalo dan Sulawesi Barat. Berikut

adalah distribusi frekuensi pemberian susu formula pada bayi usia 6-12 bulan

yang dapat dilihat dari konsumsi susu formula dan banyaknya konsumsi susu

formula :
132

Tabel 5.5 Distribusi Frekuensi Bayi Usia 6-12 Bulan Berdasarkan


Pemberian Susu Formula Di Wilayah Pedesaan
3 Provinsi Indonesia Tahun 2012
Konsumsi susu formula N (%)
Ya 27 25%
Tidak 81 75%
Total 108 100%

Banyaknya konsumsi susu


formula
≥7 Kali 5 20%
< 7 Kali 20 80%
Total 25 100%
*Pada banyaknya konsumsi susu formula hanya 27 responden yang memberikan informasi
dari 108 responden. Kemudian dari 27 responden yang memberikan informasi 2 diantaranya
missing

Berdasarkan tabel 5.5 diatas diketahui bahwa bayi usia 6-12 bulan

di wilayah pedesaan Provinsi Kalimantan Barat, Gorontalo dan Sulawesi

Barat yang mengalami diare paling banyak tidak mengkonsumsi susu

formula (63%). Tabel 5.5 juga memperlihatkan bahwa dari bayi usia 6-12

yang diberikan susu formula hanya sebanyak 25 responden yang

memberikan informasi mengenai banyaknya bayi mengkonsumsi susu

formula. Bayi usia 6-12 bulan paling banyak mengkonsumsi susu formula

< 7 kali (80%).

E. Distribusi Frekuensi Bayi Usia 6-12 Bulan Berdasarkan Pemberian


Vitamin A Di Wilayah Pedesaan 3 Provinsi Indonesia Tahun 2012.

Pemberian Vitamin A merupakan kegiatan memberikan kapsul Vitamin A

berwarna biru atau merah yang dilakukan responden pada bayinya dalam

waktu 6 bulan terakhir. Responden yang memiliki bayi dengan usia 6-11

bulan memberikan kapsul vitamin A berwarna biru. Sedangkan respoden

yang memiliki bayi usia ≥ 12 bulan memberikan kapsul vitamin A berwarna


133

merah. Adapun pemberian Vitamin A pada bayi usia 6-12 bulan di wilayah

Provinsi Kalimantan Barat, Gorontalo dan Sulawesi Barat dapat dilihat pada

Tabel 5.6 berikut ini:

Tabel 5. 6 Distribusi Frekuensi Bayi Usia 6-12 Bulan Berdasarkan


Pemberian Vitamin A Di Wilayah Pedesaan
3 Provinsi Indonesia Tahun 2012

Frekuensi Pemberian N (%)


Vitamin A
Tidak 53 49.1%
Ya, Kapsul berwarna Merah 37 34.3%
Ya, Kapsul berwarna Biru 14 13.0%
Tidak Tahu 4 3.7%
Total 108 100 %

Berdasarkan tabel tersebut, bayi usia 6-12 bulan di wilayah

pedesaan Provinsi Kalimantan Barat, Gorontalo dan Sulawesi Barat paling

banyak tidak menerima kapsul vitamin A, yaitu sebanyak 53%. Bayi usia

≥ 12 bulan yang menerima kapsul vitamin A berwarna merah lebih banyak

(34.3%) dibandingkan bayi pada usia 6-11 bulan yang menerima kapsul

vitamin A berwarna biru (13%).

F. Distribusi Frekuensi Bayi Usia 9-12 Bulan Berdasarkan Pemberian


Vaksinasi Campak Di Wilayah Pedesaan 3 Provinsi Indonesia Tahun
2012.

Pemberian vaksinasi campak merupakan pemberian vaksin campak oleh

tenaga kesehatan kepada bayi responden saat berusia 9-12 bulan sebanyak

satu kali. Sebagai bukti bayi responden telah menerima vaksin campak tenaga

kesehatan menuliskan tanggal bulan dan tahun penerimaannya pada kartu

imunisasi/buku KIA/KMS Balita. Namun ada beberapa responden yang

mengaku bayinya diberi vaksin campak pada usia 9 -12 bulan, akan tetapi
134

tidak dapat menujukkan bukti berupa pencatatan pada kartu imunisasi/buku

KIA/KMS Balita. Berikut adalah distribusi frekuensi pemberian vaksinasi

campak pada bayi usia 9-12 bulan di wilayah pedesaan 3 Provinsi Indonesia :

Tabel 5. 7 Distribusi Frekuensi Bayi Usia 9-12 Bulan Berdasarkan


Pemberian Vaksinasi Campak Di Wilayah Pedesaan
3 Provinsi Indonesia Tahun 2012.

Pemberian Vaksinasi Campak N (%)


Tidak 47 69.1%
Ya, berdasarkan catatan kartu 8 11.8%
imunisasi/buku KIA/KMS Balita
Ya, berdasarkan pengakuan ibu 13 19.1%
Total 68 100 %

Berdasarkan Tabel 5.7, bayi berusia 9-12 bulan di wilayah

pedesaan Provinsi Kalimantan Barat, Gorontalo dan Sulawesi Barat dengan

diare paling banyak tidak diberikan vaksinasi campak, yaitu sebanyak 69.1%.

Bayi berusia 9-12 bulan yang diberikan vaksinasi campak berdasarkan catatan

kartu imunisasi/buku KIA/KMS Balita lebih sedikit (11.8%) dibandingkan

dengan berdasarkan pengakuan ibu (19.1%)

G. Hubungan Faktor Individu dengan Kejadian Diare pada Bayi Usia 6-12
Bulan Di Wilayah Pedesaan 3 Provinsi Indonesia Tahun 2012.

Pembuktian hipotesis penelitian, yaitu ada tau tidaknya hubungan antara

faktor individu (jenis kelamin, pemberian MPASI Dini, pemberian ASI

eksklusif, pemberian susu formula, pemberian vitamin A dan vaksinasi

campak) dilakukan dengan analisis bivariat. Analisis bivariat dilakukkan

dengan menggunakan uji statistik Chi Square. Secara statistik hubungan

dapat dilihat dari nilai Pvalue, PRR maupun 95% CI. Berikut adalah hasil

analisis faktor individu (jenis kelamin, pemberian MPASI Dini, pemberian


135

ASI eksklusif, pemberian susu formula, pemberian vitamin A dan vaksinasi

campak) dengan kejadian diare pada bayi usia 6-12 bulan di wilayah

pedesaan 3 Provinsi Indonesia :

1. Hubungan Jenis Kelamin dengan Kejadian Diare pada Bayi Usia 6-12
Bulan Di Wilayah Pedesaan 3 Provinsi Indonesia Tahun 2012.
Analisis jenis kelamin dengan kejadian diare pada bayi usia 6-12

bulan di wilayah pedesaan 3 Provinsi Indonesia Tahun 2012 akan

dijelaskan pada tabel berikut ini:

Tabel 5. 8 Hubungan Jenis Kelamin Dengan Diare Pada Bayi Usia 6-12
Bulan Di Wilayah Pedesaan 3 Provinsi Indonesia Tahun 2012

Jenis Diare Tidak Diare Total P Value PRR 95%CI


Kelamin N % N % N %
Laki-laki 13 22.4% 45 77.6% 58 100% 0.80 0.42-1.54
0.66
Perempuan 14 28 % 36 72 % 50 100% Refrence Refrence
Total 27 25 % 81 75 % 108 100%

Berdasarkan tabel 5.3 diatas diketahui bahwa bayi usia 6-12 bulan

di wilayah pedesaan Provinsi Kalimantan Barat, Gorontalo dan Sulawesi

Barat yang mengalami diare paling banyak dialami bayi perempuan

(28%). Tetapi dilihat dari jumlahnya antara bayi berjenis kelamin laki-laki

maupun perempuan yang mengalami diare jumlahnya hampir sama.Tabel

hasil analisis pada tabel 5.8 menunjukkan bahwa jenis kelamin tidak

berhubungan bermakna (P Value > 0.05) dengan kejadian diare pada bayi

usia 6-12 bulan di wilayah pedesaan Provinsi Kalimantan Barat, Gorontalo

dan Sulawesi Barat. Dilihat nilai PRR yang diperoleh pada CI 95% yaitu

sebesar 0.80 (0.42-1.54), jenis kelamin juga tidak berhubungan bermakna

dengan kejadian diare pada bayi usia 6-12 bulan.


136

2. Hubungan Pemberian ASI Eksklusif dengan Kejadian Diare pada


Bayi Usia 6-12 Bulan Di Wilayah Pedesaan 3 Provinsi Indonesia
Tahun 2012.

Sebelum menentukan hubungan pemberian ASI Eksklusif dengan

Diare pada bayi usia 6-12 bulan di wilayah pedesaan 3 Provinsi Indonesia,

diketahui bayi usia 6-12 bulan di awal pertama kehidupannya, yaitu ketika

setelah 3 hari dilahirkan telah menerima minuman tambahan lain selain

ASI (MPASI Dini). Pemberian minuman tambahan lain selain ASI diawal

pertama kehidupan bayi ini disebut juga dengan pemberian MPASI dini.

Pemberian MPASI dini kemungkinan bersiko terhadap kejadian diare.

Analisis pemberian MPASI dini dengan kejadian diare pada bayi usia 6-12

bulan di wilayah pedesaan 3 Provinsi Indonesia Tahun 2012 diperlihatkan

pada tabel 5.9 berikut ini :

Tabel 5.9 Hubungan Pemberian MPASI Dini Dengan Diare Pada Bayi Usia
6-12 Bulan Di Wilayah Pedesaan 3 Provinsi Indonesia Tahun 2012

MPASI Diare Tidak Diare Total P Value PRR 95%CI


Dini N % N % N %
Ya 16 23.5% 52 76.5% 68 100% 0.86 0.44-1.66
0.82
Tidak 11 27.5% 29 72.5% 40 100% Refrence Refrence
Total 27 25 % 81 75 % 108 100%

Berdasarkan tabel 5.9 diatas diketahui bahwa bayi usia 6-12 bulan

di wilayah pedesaan Provinsi Kalimantan Barat, Gorontalo dan Sulawesi

Barat yang mengalami diare paling banyak menerima MPASI dini

(23.5%). Tabel 5.9 juga menunjukkan bahwa pemberian MP ASI Dini

tidak berhubungan bermakna (P Value > 0.05) dengan kejadian diare pada

bayi usia 6-12 bulan di wilayah pedesaan Provinsi Kalimantan Barat,

Gorontalo dan Sulawesi Barat. Adapun nilai PRR yang diperoleh pada CI
137

95% yaitu sebesar 0.86 (0.44-1.66) dengan demikian nilai PRR tersebut

juga tidak ada hubungan bermakna anatara MPASI dini dengan diare pada

bayi usia 6-12 bulan.

Penentuan ASI Eksklusif pada bayi usia 6-12 bulan pada

penelitian ini diperoleh dengan mengakumulasikan pemberian IMD < 1

jam dan tidak diberikan minuman lain selain ASI apapun setelah bayi usia

6-12 bulan tiga hari dilahirkan oleh responden. Berikut adalah hasil

analisis pemberian ASI Eksklusif dengan kejadian diare pada bayi usia 6-

12 bulan di wilayah pedesaan 3 Provinsi Indonesia Tahun 2012 :

Tabel 5. 10 Hubungan Pemberian ASI Eksklusif Dengan Kejadian Diare


Pada Bayi Usia 6-12 Bulan Di Wilayah Pedesaan
3 Provinsi Indonesia Tahun 2012

ASI Diare Tidak Diare Total P Value PRR 95%CI


Eksklusif N % N % N %
Tidak 16 25.8% 46 74.2% 62 100% 1.1 0.55-2.10
1.0
Ya 11 23.9% 35 76.1% 46 100% Refrence Refrence
Total 27 25 % 81 75 % 108 100%

Berdasarkan tabel 5.10 diatas diketahui bahwa bayi usia 6-12 bulan

di wilayah pedesaan Provinsi Kalimantan Barat, Gorontalo dan Sulawesi

Barat yang mengalami diare paling banyak tidak diberikan ASI eksklusif

(25.8%). Hasil analisis memperlihatkan bahwa pemberian ASI eksklusif

tidak berhubungan bermakna (P Value > 0.05) dengan kejadian diare pada

bayi usia 6-12 bulan di wilayah pedesaan Provinsi Kalimantan Barat,

Gorontalo dan Sulawesi Barat. Nilai PRR 1.1 (95% CI 0.55-2.10) dari

pemberian ASI eksklusif juga tidak berhubungan bermakna dengan

kejadian diare.
138

3. Hubungan Pemberian Susu Formula dengan Kejadian Diare pada


Bayi Usia 6-12 Bulan Di Wilayah Pedesaan 3 Provinsi Indonesia
Tahun 2012.

Analisis susu formula dengan kejadian diare pada bayi usia 6-12

bulan di wilayah pedesaan 3 Provinsi Indonesia Tahun 2012 akan

dijelaskan pada tabel 5.12 berikut ini:

Tabel 5. 11 Hubungan Pemberian Susu Formula Dengan Diare Pada Bayi


Usia 6-12 Bulan Di Wilayah Pedesaan 3 Provinsi Indonesia Tahun 2012

Susu Diare Tidak Diare Total P Value PRR 95%CI


Formula N % N % N %
Ya 10 37% 17 63% 27 100% 0.57 0.29-1.10
0.16
Tidak 17 21% 64 79% 81 100% Refrence Refrence
Total 27 25% 81 75% 108 100%

Berdasarkan tabel 5.11 diatas diketahui bahwa bayi usia 6-12 bulan

di wilayah pedesaan Provinsi Kalimantan Barat, Gorontalo dan Sulawesi

Barat yang mengalami diare paling banyak dialami bayi yang tidak

diberikan susu formula sebanyak 17 orang (21%). Hasil analisis terlihat

bahwa pemberian susu formula tidak berhubungan bermakna (P Value >

0.05) dengan kejadian diare pada bayi usia 6-12 bulan di wilayah pedesaan

Provinsi Kalimantan Barat, Gorontalo dan Sulawesi Barat. Dilihat dari

nilai PRR 0.57 (95% CI 0.29-1.10) dapat disimpulkan bahwa nilai PRR

tersebut juga tidak berhubungan bermakna antara pemberian susu formula

dengan kejadian diare pada bayi usia 6-12 bulan. .


139

4. Hubungan Pemberian Vitamin A dengan Kejadian Diare pada Bayi


Usia 6-12 Bulan Di Wilayah Pedesaan 3 Provinsi Indonesia Tahun
2012.

Analisis pemberian Vitamin A dengan kejadian diare pada bayi

usia 6-12 bulan di wilayah pedesaan 3 Provinsi Indonesia Tahun 2012

akan dijelaskan pada tabel 5.12 berikut ini:

Tabel 5.12 Hubungan Pemberian Vitamin A Dengan Diare Pada Bayi Usia 6-
12 Bulan Di Wilayah Pedesaan 3 Provinsi Indonesia Tahun 2012

Vitamin A Diare Tidak Diare Total PValue PRR 95%CI


N % N % N %
Tidak 11 20.8% 42 79.2% 53 100% 0.71 0.36-1.39
0.43
Ya 15 29.4% 36 70.6% 51 100% Refrence Refrence
Total 26 25 % 78 75 % 104 100%
*4 Responden menjawab tidak tahu tidak ikut dianalisis

Berdasarkan tabel 5.12 diatas diketahui bahwa bayi usia 6-12 bulan

di wilayah pedesaan Provinsi Kalimantan Barat, Gorontalo dan Sulawesi

Barat yang mengalami diare paling banyak dialami bayi yang diberikan

vitamin A (29.4%). Hasil analisis terlihat pemberian vitamin A tidak

berhubungan bermakna (P Value > 0.05) dengan kejadian diare pada bayi

usia 6-12 bulan Nilai PRR 0.71 (95% CI 0.36-1.39) juga menunjukkan

pemberian vitamin A tidak berhubungan bermakna dengan kejadian diare

pada bayi usia 6-12 bulan di wilayah pedesaan 3 Provinsi Indonesia.

5. Hubungan Pemberian Vaksinasi Campak dengan Kejadian Diare


pada Bayi Usia 9-12 Bulan Di Wilayah Pedesaan 3 Provinsi Indonesia
Tahun 2012.

Berikut adalah hasil analisis pemberian vaksinasi campak dengan

kejadian diare pada bayi usia 9-12 bulan di wilayah pedesaan 3 Provinsi

Indonesia Tahun 2012 :


140

Tabel 5.13 Hubungan Pemberian Vaksinasi Campak Dengan Kejadian Diare


Pada Bayi Usia 9-12 Bulan Di Wilayah Pedesaan
3 Provinsi Indonesia Tahun 2012

Vaksinasi Diare Tidak Diare Total P Value PRR 95%CI


Campak N % N % N %
Tidak 8 19 % 34 81 % 42 100% 0.83 0.32-2.11
0.93
Ya 6 23.1% 20 76.9% 26 100% Refrence Refrence
Total 14 20.6 % 54 79.4 % 68 100%

Berdasarkan tabel 5.13 diatas diketahui bahwa bayi usia 6-12 bulan

di wilayah pedesaan Provinsi Kalimantan Barat, Gorontalo dan Sulawesi

Barat yang mengalami diare sebagian besar tidak diberikan vaksinasi

campak (19%). Tabel 5.13 juga memperlihatkan bahwa pemberian

vaksinasi campak tidak berhubungan bermakna (P Value > 0.05) dengan

kejadian diare pada bayi usia 6-12 bulan di wilayah pedesaan Provinsi

Kalimantan Barat, Gorontalo dan Sulawesi Barat. Hasil nilai PRR yang

diperoleh pada CI 95% yaitu sebesar 0.83 (0.32-2.11), sehingga dapat

disimpulkan bahwa pemberian vaksinasi campak tidak berhubungan

bermakna dengan kejadian diare pada bayi usia 6-12 bulan. Akan tetapi,

jika dilihat dari distribusinya bahwa bayi usia 6-12 bulan yang mengalami

diare cenderung dialami oleh bayi yang tidak diberikan vaksinasi campak

(19%).
Bab VI
Pembahasan

A. Keterbatasan Penelitian

Pada pelaksanaan penelitian ini, peneliti mengalami keterbatasan

penelitian sebagaimana berikut ini :

1. Pada penelitian dengan menggunakan data sekunder SDKI 2012 ini

peneliti berharap dapat mengambil jumlah sampel yang besar yaitu bayi

usia 6-12 bulan di wilayah pedesaan seluruh Indonesia. Namun pada

penelitian ini tidak dapat dilakukan. Hal ini dikarenakan sudah ada

penelitian sebelumnya yang melakukan analisis dengan data SDKI 2012

berkaitan dengan diare pada balita di seluruh wilayah Indonesia. Peneliti

sebelumnya diantaranya adalah Ade (2015) dan Susanti dan Sunarsih

(2016) . Oleh karena itu, peneliti hanya mengambil sampel bayi usia 6-12

bulan di wilayah pedesaan 3 Provinsi Indonesia saja yang memiliki

prevalensi tertinggi diare pada balita yaitu di Provinsi Kalimantan Barat,

Gorontalo dan Sulawesi Barat.

2. Pada penelitian ini penggunaan data sekunder SDKI 2012 sebagai bahan

analisis membuat peneliti sulit untuk meminimalisasi bias informasi yang

terjadi saat pengumpulan data. Adapun pengontrolan bias yang dapat

dilakukan oleh peneliti dengan cara melakukan cleaning untuk data yang

missing. Sebelumnya Tim SDKI 2012 juga telah berusaha meminimalisir

bias informasi yang mungkin terjadi dengan melakukan uji coba kuesioner

SDKI 2012 di empat Kabupaten terpilih, yaitu Pekanbaru dan Kampar

141
142

(Provinsi Riau), serta Kota Kupang dan Kabupaten Timor Tengah Selatan

(Provinsi Nusa Tenggara Timur).

3. Faktor lupa responden pada saat wawancara SDKI 2012 merupakan hal

yang tidak dapat dihindari. Faktor lupa menyebabkan terjadinya bias

informasi. Hal ini dapat terjadi ketika enumerator SDKI 2012 menyakan

hal yang berhubungan dengan pemberian ASI eksklusif. Misalnya,

pertanyaan yang berkaitan dengan IMD pada responden dengan usia bayi

diatas 6 bulan. Selain itu terkait pemberian Vitamin A dalam kurun waktu

6 bulan terakhir. Enumerator SDKI 2012 mengupayakan menghindari bias

ini dengan melakukan probing.

4. Pada penelitian ini variabel ASI Eksklusif diukur dengan

mengakumulasikan pemberian IMD < 1 jam dan tidak diberikan

minuman lain selain ASI apapun sebelum ASI-nya keluar dengan lancar

setelah bayi usia 6-12 bulan tiga hari dilahirkan oleh responden.

Pengukuran ASI ekslusif dengan definisi seperti ini tidak memenuhi

definisi operasional ASI eksklusif secara utuh. Hal ini karena tidak ada

data pemberian makanan lain apapun sebelum ASI-nya keluar dengan

lancar setelah bayi usia 6-12 bulan tiga hari dilahirkan oleh responden.

Adapun terdapat data pemberian berbagai makanan tambahan lainnya

yang kemungkinan diberikan kepada bayinya disamping pemberian ASI,

namun data tersebut hanya dapat digunakan pada bayi yang berusia 6

bulan saja. Tidak dapat digunakan pada bayi yang berusia > 6 bulan.

5. Data pemberian vaksinasi campak yang diperoleh banyak yang tidak

valid. Hal ini dikarenakan sebagian besar responden yang memberikan


143

data pemberian vaksinasi campak hanya berdasarkan pengakuan secara

lisan. Sedikitnya hanya beberapa responden saja yang memberikan data

pemberian vaksinasi campak berdasarkan bukti pencatatan dari kartu

imunisasi/Buku KIA/KMS Balita.

6. Pada analisis yang telah dilakukan dalam penelitian ini, dihasilkan nilai

OR yang memiliki rentang CI (Confident Interval) cukup lebar. Rentang

CI yang terlalu lebar ini mengindikasikan bahwa jumlah sampel yang

diambil terlalu sedikit sehingga tidak dapat menggambarkan hubungan

maupun kecenderungan tiap variabel dengan kejadian diare secara

menyeluruh.

B. Distribusi Frekuensi Kejadian Diare Pada Bayi Usia 6-12 Bulan


Berdasarkan Klasifikasinya Di Wilayah Pedesaan 3 Provinsi Indonesia.

Diare pada bayi usia 6-12 bulan adalah suatu kondisi dimana bayi

mengalami buang air yang frekuensinya melebihi normal yaitu lebih sering

(biasanya tiga kali atau lebih dalam satu hari) yang disertai perubahan

konsistensi tinja menjadi lembek atau cair, bahkan dapat berupa air saja

dengan atau tanpa darah dan atau lendir. Bayi usia 6-12 bulan yang

mengalami diare kadar air dalam tinjanya diatas normal yaitu sekitar 10 ml/kg

(WHO, 2016; Kemenkes RI, 2011a; Guandalini dkk, 2015). Diare pada bayi

usia 6-12 bulan dapat diklasifikasikan berdasarkan gejalanya, ada atau tidak

adanya infeksi gatroenteris (diare dan muntah), organ yang terkena infeksi,

dan derajat dehidrasi (WHO, 2010; Nisa, 2007; Kemenkes RI, 2002, 2011a).

Secara umum untuk semua jenis diare memiliki gejala klinik yang sama.
144

Biasanya pasien hanya mengeluh mencret, perut penuh, mual, keringat dingin

dan lain-lain ( Nisa, 2007 dan Sulaiman dkk, 1997).

Setelah analisis data SDKI 2012 dilakukan bahwa diketahui terdapat

25% bayi usia 6-12 bulan yang mengalami diare dalam waktu 2 minggu

terakhir sebelum SDKI 2012 dilakukan. Bayi yang mengalami diare

sebelumnya telah didiagnosis oleh tenaga kesehatan di faslitas pelayanan

kesehatan baik pemerintah maupun swasta. Pada data SDKI 2012 yang telah

didapatkan, data diare masih secara umum sehingga belum dapat ditentukan

jenis diare apakah yang dialami oleh bayi usia 6-12 bulan. Adapun diare yang

terjadi dan berlangsung selama beberapa jam atau kurang dari 14 hari

adalah termasuk kedalam jenis diare akut. Sementara diare yang terjadi dan

berlangsung selama 14 hari termasuk kedalam jenis diare kronik (UNICEF

dan WHO, 2009; Nisa, 2007; Kemenkes RI, 2002; 2011). Oleh karena itu,

bayi yang mengalami diare berdasarkan data SDKI 2012 yang digunakan

dalam penelitian ini mengarah pada kejadian jenis diare akut atau diare

kronik.

Bayi usia 6-12 bulan yang menderita diare akut atau diare kronik akan

kehilangan cairan (dehidrasi) yang signifikan dan cepat pada individu yang

terinfeksi. Kondisi ini dapat mengakibatkan gangguan keseimbangan asam

basa (metabolik asidosis). Bayi dengan diare akut maupun kronik juga dapat

mengalami hipoglikemi. Hipoglikemi terjadi pada 2-3% anak-anak yang

menderita diare. Kondisi ini terjadi karena penyimpanan persediaan glikogen

dalam hati yang terganggu dan adanya gangguan absorpsi glukosa. Bayi

dengan diare akut maupun kronik dengan atau tanpa disertai muntah juga
145

dapat menyebabkan gangguan sirkulasi darah berupa renjatan atau syok

hipovolemik. Rejatan atau syok hipovolemik mengakibatkan perfusi jaringan

berkurang dan terjadinya hipoksia, asidosis bertambah berat sehingga

menyebabkan pendarahan didalam otak, kesadaran menurun, dan bila

penderita tidak segera ditolong dapat meninggal (Nursalam, 2008).

Bayi dengan diare diare akut atau diare kronik juga biasanya akan

mengalami gangguan gizi sehingga menyebabkan penurunan berat badan.

Kekurangan asupan makanan dan minuman akan membuat bayi mengalami

malnutrisi. Akibat lainnya yang ditimbulkan adalah bayi berisiko mengalami

penyakit infeksi lain, kerusakan usus halus, malnutrisi berat dan gangguan

pertumbuhan dan kognitif. Bagi bayi dengan malnutrisi berat (marasmus atau

kwashiokor) diare dapat memperburuk kondisi mereka. Bayi yang mengalami

diare akut maupun kronik yang berkepanjangan atau disertai komplikasi

penyakit lain dapat mengalami kematian (Nursalam, 2008; CDC, 2012;

WHO, 2010; Adisasmito, 2007).

Bayi dengan diare akut maupun kronik di wilayah pedesaan 3 Provinsi

Indonesia harus ditangani dengan cepat dan tepat. Penanganan selain pada

upaya kuratif, juga segera dengan meningkatkan upaya preventif dan

promotif. Adapun untuk melakukan upaya tersebut dapat dilakukan melalui

peningkatan Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga. Program

ini merupakan salah satu program di tingkat Puskesmas untuk meningkatkan

jangkauan sasaran dan mendekatkan/meningkatkan akses pelayanan

kesehatan di wilayah kerjanya dengan mendatangi keluarga (kunjungan

rumah) (Kemenkes RI, 2016; 2017).


146

Pendekatan keluarga sebagai upaya perawatan kesehatan masyarakat

dalam kaitannya dengan diare dapat dilakukan dengan maksud: kunjungan

keluarga dalam rangka promosi kesehatan sebagai upaya preventif dan

promotif; kunjungan keluarga untuk menindaklanjuti pelayanan kesehatan

dalam gedung; pemanfatan data dan infomasi dari profil kesehatan keluarga

untuk pengorganisasian/pemberdayaan masyarakat. Puskesmas dalam

pelaksanaan tugas dan fungsinya pada pendekatan keluarga perlu

mengembangkan keterlibatan tenaga dari masyarakat sebagai mitra

(Kemenkes RI, 2011; 2016; 2017).

Masyarakat yang dilibatkan sebagai mitra dapat bertindak sebagai kader

kesehataan seperti kader Posyandu, kader Posbindu, kader Poskestren, kader

PKK, pengurus organisasi kemasyarakatan setempat, pengurus Karang

Taruna, pengelola pengajian, dan lain-lain. Adapun keterlibatan masyarakat

sebagai mitra Puskesmas dapat berupa: membantu melakukan pendataan

profil kesehatan keluarga, menyampaikan kembali informasi kesehatan yang

diberikan tenaga kesehatan kepada masyarakat, dan menjadi surveilans

epidemiologi berbasis masyarakat. Petugas puskesmas dapat memberikan

pelatihan dan pembinaan kepada masyarakat sebagai mitranya agar dapat

membantu puskesmas dalam program pendekatan keluarga secara optimal

(Kemenkes RI, 2011; 2016; 2017; Khotijah, 2015).

Adapun peran yang dapat diberikan Kementrian Kesehatan sebagai

Pemerintah Pusat adalah membentuk kebijakan pada upaya

mengakampanyekan Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga.

Selain itu juga meningkatkan kontribusinya dalam hal pembinaan


147

pengawasan, koordinasi, bimbingan, pemantauan dan evaluasi terhadap

penyelenggaraannya yang menjadi kewenangan daerah. Selanjutnya peran

yang dapat diberikan Dinas Kesehatan Provinsi adalah meningkatkan upaya

dalam hal memfasilitasi dan mengkoordinasikan Dinas Kesehatan

Kabupaten/Kota di wilayah kerjanya dalam penyelenggaraan Program

Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga oleh Puskesmas (Kemenkes RI,

2017).

Disamping itu juga meningkatkan pengembangan sumber daya,

koordinasi, bimbingan, pemantauan dan pengendalian kinerja tenaga

kesehatan di Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dalam pelaksanaan Program

Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga oleh Puskesmas dalam

kaitannya dengan pencegahan dan pengendalian diare. Sementara peran yang

dapat diberikan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota sebagai pemilik Unit

Pelaksana Teknis/Puskesmas adalah meningakatkan upaya pelaksanaan tugas

dan fungsi Puskesmas di wilayah kerjanya, khususnya dalam dalam rangka

pelaksanaan pendekatan keluarga oleh Puskesmas. Lainnya Dinas Kesehatan

Kabupaten/Kota juga meningkatkan pengembangan sumber daya, koordinasi,

bimbingan, pemantauan dan pengendalian tenaga kesehatan di Puskesmas,

khususnya para pemegang program pencegahan dan pengendalian Diare

(Kemenkes RI, 2017).


148

C. Hubungan Faktor Individu Dengan Kejadian Diare Pada Bayi Usia 6-12
Bulan Di Wilayah Pedesaan 3 Provinsi Indonesia.

1. Jenis Kelamin

Seseorang dapat berisiko mengalami suatu penyakit tertentu salah

satunya disebabkan karena perbedaan jenis kelamin tertentu. Hal ini

dikarenakan perbedaan jenis kelamin menyebabkan adanya perbedaan

bentuk anatomi, fisiologi dan sistem hormonal (Noor, 2014). Pada tabel

5.8 terlihat di distribusi tertinggi bayi usia 6-12 bulan dengan diare dialami

oleh bayi berjenis kelamin perempuan (28%). Tetapi dilihat dari

jumlahnya antara bayi berjenis kelamin laki-laki maupun perempuan yang

mengalami diare jumlahnya hampir sama. Hasil analisis menunjukkan

tidak ada hubungan bermakna antara jenis kelamin dengan kejadian diare

pada bayi usia 6-12 bulan di wilayah pedesaan 3 provinsi Indonesia.

Hasil penelitian tersebut selaras dengan hasil penelitian

Cahyaningrum (2015) dipedesaan Sleman dimana diare pada balita

berjenis kelamin laki-laki hampir sama dengan perempuan. Penelitiannya

menunjukkan secara statistik hubungan antara jenis kelamin dengan diare

tidak signifikan. Menurutunya jenis kelamin yang berbeda bukan salah

satu faktor yang menyebabakan terjadinya diare pada balita. Selama

penelitiannya dilapangan ditemukan bahwa antara balita laki-laki maupun

perempuan tidak ada perlakuan yang berbeda dalam perawatan yang

diberikan oleh orangtuanya. Perawatan tersebut dalam hal pemenuhan gizi

maupun kebersihan balitanya. Selain itu kontrol yang umumnya hampir

sama diberikan orang tua terhadap balitanya membuat balita laki-laki


149

maupun perempuan memiliki aktifitas yang hampir sama dalam

kesehariannya.

Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan

oleh Diouf dkk (2014) yang dilakukan di wilayah pedesaan Burundi bahwa

balita pada kisaran usia 0-11 bulan dan 12-24 bulan yang berjenis kelamin

laki-laki lebih berisiko diare. Sama halnya dengan penelitian Wilunda dan

Panza (2009) di pedesaan Thailand, dimana bayi usia 6-24 bulan yang

mengalami diare cenderung lebih banyak terjadi pada bayi berjenis

kelamin laki-laki (8.9%) . Lainnya juga bertentangan dengan penelitian

yang dilakukan oleh Ahmed dkk. (2008) dan Yilgwan dan Okolo (2012)

yang dilakukan di wilayah pedesaan Khasmir dan Nigeria meyebutkan

dimana bayi berjenis kelamin laki-laki lebih rentan mengalami diare

dibandingkan dengan bayi berjenis kelamin perempuan.

Menurut Hung (2006) dalam penelitiannya di pedesaan Vietnam

balita berjenis kelamin laki-laki lebih berisiko terkena diare dibandingkan

perempuan. Hal ini dikarenakan balita laki-laki cenderung bergerak dan

bermain hingga menyentuh benda-benda yang ada disekitarnya termasuk

di tanah. Sedangkan balita perempuan cenderung dekat dengan ibu mereka

dan ketika bermain lebih banyak menyentuh barang-barang yang lebih

higienis. Oleh karena itu balita laki-laki lebih mudah terserang diare

karena peluangnya terpapar patogen penyebab diare lebih besar

dibandingkan balita perempuan.


150

Sementara menurut Mølbak dkk (1997) secara biologis laki-laki

pada masa balita memasuki masa membangun massa otot yang jauh lebih

besar daripada perempuan. Akibatnya laki-laki lebih besar kebutuhannya

dalam pemenuhan mikronutrien tertentu seperti vitamin A atau zink

dibandingkan perempuan. Bila balita berjenis kelamin laki-laki tidak

mendapat pemenuhan mikonutrien tersebut secara optimal. Hal ini

meningkatkan risiko yang negatif dalam hal keseimbangan tubuhnya

termasuk mengakibatkan balita berjenis kelamin laki-laki lebih rentan

mengalami diare.

Jenis kelamin merupakan faktor risiko yang tidak dapat diubah.

Maka dari itu diperlukan adanya perhatian lebih pada bayi terutama bayi

dengan jenis kelamin laki-laki. Adapun upaya yang dapat dilakukan Dinas

Kesehatan Kabupaten/Kota di wilayah pedesaan 3 Provinsi adalah dengan

meningkatkan pendidikan kesehatan non formal yang difokuskan bagi

masyarakat oleh tenaga kesehatan dari Puskesmas.

Pendidikan kesehatan non formal yang diberikan untuk dapat

meningkatkan perlindungan dan pengawasan bagi bayi dalam

kesehariannya. Hal ini dapat berupa lebih mengawasi bayi dalam aktifitas

kesehariannya terutama laki-laki, karena lebih aktif dibandingkan

perempuan agar tidak bermain dengan menyentuh benda-benda yang tidak

higienis dan memasukannya ke mulut. Selain itu juga mengawasi bayi agar

tidak bermain dilingkungan yang kotor. Adapun tujuannya untuk

mengurangi peluang bagi bayi terutama yang berjenis kelamin laki-laki

dari terpapar oleh patogen penyebab diare. Pendidikan lainnya yang dapat
151

diberikan bagi masyarakat di wilayah pedesaan 3 Provinsi Indonesia

adalah dengan memberikan dan menjaga asupan gizi sesuai kebutuhan

bayi terutama laki-laki. Hal ini dikarenakan bayi laki-laki sendiri lebih

besar kebutuhannya dalam pemenuhan mikronutrien tertentu seperti

vitamin A atau zink dibandingkan perempuan.

Selain meningkatkan kesadaran masyarakat, Dinas Kesehatan

Kabupaten/Kota 3 Provinsi dapat merekomendasikan tenaga kesehatan di

Puskesmas untuk memberikan peningkatan pengetahuan melalui

sosialisasi pencegahan dan pengendalian diare pada bayi kepada kepada

kader kesehatan diwilayah pedesaan. Kader kesehatan diwilayah pedesaan

yang telah diberi bekal pengetahuan diharapkan dapat membantu

melakukan keliling desa untuk kemudian melakukan kunjungan keluarga

bagi masyarakat yang tidak terjangkau pelayanan kesehatan. Kemudian

kader kesehatan terlatih dapat menyampaikannya kembali informasi

kesehatan yang didapat dari tenaga kesehatan kepada masyarakat, terutama

mengenai bagaimana cara mencegah diare dan melakukan tata laksana

diare pada bayi dirumah.

Selain itu kader kesehatan diwilayah pedesaan dapat membantu

tenaga kesehatan melakukan pencarian bayi dengan diare dengan kondisi

yang lebih parah pada rumah tangga. Kemudian kader kesehatan dapat

melaporkan kepada tenaga kesehatan di Puskesmas/Fasyankes terdekat

guna memberikan tata laksana diare pada tingkat medis. Melalui upaya ini

diharapkan terciptanya integrasi antara tenaga kesehatan Puskesmas dan


152

masyarakat dalam meningkatkan perlindungan bagi bayi dari diare

terutama bayi laki-laki dalam kesehariannya di wilayah pedesaan.

2. Pemberian ASI Eksklusif.

Air Susu Ibu (ASI) merupakan makanan bayi berupa cairan hasil

sekresi kelenjar payudara yang secara khusus diciptakan untuk memenuhi

kebutuhan bayi baik fisik, psikologi, sosial maupun spiritual. ASI

mengandung hormon, unsur kekebalan, anti alergi, serta berbagai macam

zat gizi lainnya yang diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan

bayi dalam masa kehidupannya (Kemenkes RI, 2014; Purwanti, 2003).

Selama pemberian ASI eksklusif bayi hanya diberikan ASI saja dan tidak

diberikan makanan lain apapun termasuk air putih, obat-obatan, vitamin,

buah-buahan, susu formula dan lain-lain sampai berusia 6 bulan

(Purwanti, 2003; PERSAGI, 2009; Kemenkes RI, 2013b, 2014).

Sebelum penentuan variabel ASI eksklusif diketahui bahwa secara

statistik tidak ada hubungan bermakna antara pemberian minuman selain

ASI setelah bayi 3 hari dilahirkan (MPASI Dini) dengan kejadian diare

pada bayi usia 6-12 bulan di wilayah pedesaan 3 Provinsi Indonesia.

Namun pada tabel 5.9 terlihat bahwa bayi dengan diare sebagian besar

sudah diberikan minuman selain ASI setelah bayi 3 hari dilahirkan

(MPASI Dini), yaitu sebanyak 23.5%.

Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Nutrisiani

(2010) di wilayah pedesaan Kecamatan Purwodadi Kabupaten Grobogan


153

menunjukkan bahwa bayi usia 0-6 bulan yang diberi MPASI dini berisiko

14,043 kali mengalami diare daripada balita yang tidak diberi MPASI dini.

Penelitian lainnya yang tidak sejalan adalah penelitian Maharani (2016) di

wilayah pedesaan Kecamatan Dampal yang menyatakan bahwa bayi usia

0-12 bulan yang diberikan MPASI dini berpeluang 7,8 kali mengalami

diare. Sementara dilihat dari segi distribusi frekuensinya dimana pada

penelitian ini bayi dengan diare lebih banyak dialami oleh bayi yang telah

menerima MPASI dini 59.3%, selaras dengan penelitian Hajeebhoy dkk

(2014). Pada penelitian Hajeebhoy dkk juga didapatkan bahwa mayoritas

bayi (73.3%) sudah mendapat makanan pendamping ASI baik berupa

cairan, semi-padat maupun padat secara dini berupa susu formula, air

putih, madu, dan makanan semi padat sampai makanan padat tertentu.

Selaras juga dengan penelitian Rahmadani dkk (2013) bahwa kelompok

diare cenderung lebih banyak dialami oleh bayi yang menerima MPASI

dini.

Selanjutnya berdasarkan hasil penelitian ini, diketahui bahwa nilai

PRR antara pemberian ASI eksklusif dan diare tidak berhubugan

bermakna. Secara statistik tidak dapat ditentukan risiko diare dari

pemberian ASI eksklusif pada bayi usia 6-12 bulan diwilayah pedesaan 3

Provinsi Indonesia. Tidak adanya hubungan bermakna antara pemberian

ASI eksklusif dengan kejadian diare pada bayi usia 6-12 bulan di wilayah

pedesaan 3 Provinsi Indonesia dikarenakan pengukuran variabel ASI

eksklusif sendiri yang tidak dapat memenuhi definisi operasional ASI


154

eksklusif secara utuh. Pengukuran dengan cara seperti ini menjadi

kelemahan dalam penelitian ini.

Hal ini karena tidak ada data pemberian makanan lain apapun

sebelum ASI-nya keluar dengan lancar setelah bayi usia 6-12 bulan tiga

hari dilahirkan oleh responden. Adapun terdapat data pemberian berbagai

makanan tambahan lainnya yang kemungkinan diberikan kepada bayinya

disamping pemberian ASI, namun data tersebut hanya dapat digunakan

pada bayi yang berusia 6 bulan saja. Tidak dapat digunakan pada bayi

yang berusia > 6 bulan.

Hasil penelitian ini tidak selaras ini dengan hasil penelitian yang

dilakukan oleh Hajeebhoy dkk (2014) yang dilakukan di wilayah pedesaan

Vietnam dimana pemberian ASI tidak eksklusif (ASI predominan dan ASI

parsial) meningkatkan risiko ketidakseimbangan gizi diare pada bayi usia

0-6 bulan. Kemudian juga bertentangan dengan hasil penelitian

Rahmadani dkk (2013) di pedesaan wilayah kerja Puskesmas Kuranji Kota

Padang yang menyatakan pemberian ASI eksklusif berhubungan dengan

kejadian diare pada bayi 0-6 bulan. Penelitian lainnya yang juga

menunjukkan hasil tidak selaras secara statistik dengan penelitian ini

adalah penelitian Rohmah dkk (2015); Gedefaw dan Berhe (2015); dan

Biswas dan Mandal (2016).

Bayi yang telah menerima MPASI sedini mungkin dalam rentang

usia 0-6 bulan membuat status menyusui bayi menjadi tidak eksklusif.

Bayi tidak diberikan ASI eksklusif dapat mengalami diare dikarenakan

bayi tidak mendapat perlindungan dari kedua faktor imun spesifik dan dan
155

non spesifik anti-mikrobial dari yang terkandung dalam ASI. Bayi

kemungkinan besar diberikan asupan makanan dan air yang berpotensi

terkontaminasi oleh patogen tertentu termasuk patogen diare (WHO,

2003).

Hegar and Sahetapy (2013) juga menyebutkan bayi tidak ASI

eksklusif mengalami diare dikarenakan tidak menerima sinyal pertahanan

berupa SigA yang dikandung Oligosakarida dalam ASI. Akibatnya dalam

saluran cerna, mikroba patogen melekat pada sel enterosit usus kemudian

timbullah reaksi imun yang bersifat inflamasi yang menyebabkan diare

terjadi. Suradi (2008) mengatakan bahwa bayi yang tidak mendapat ASI

eksklusif tidak menerima zat protektif saluran cerna seperti Lactobacillus

bifidus, lisozim, faktor alergi, dan limfosit T dan B. Zat protektif ini

berfungsi sebagai daya tahan tubuh imunologik terhadap zat asing

termasuk patogen diare yang masuk dalam tubuh bayi. Bayi tidak ASI

eksklusif juga tidak menerima epidermal growth factor (EGF) yang

membantu proses maturasi dari epitel intestinal dan laktoferin, suatu

glikoprotein pengikat besi yang dapat melawan bakteri, virus dan jamur

(Ballard, 2013; Duijts L, dkk, 2010).

Selain itu walaupun dalam hasil penelitian ini tidak ada data hasil

pemeriksaan laboraturium pada bayi dengan diare. Bayi dengan diare pada

penelitian ini yang mengarah pada jenis diare akut atau diare kronik

kemungkinan terinfeksi rotavirus. Bayi yang tidak menerima ASI

eksklusif diduga berhubungan dengan tidak adanya antibodi ibu untuk

melawan rotavirus yang disalurkan melalui plasenta dan air susu ibu (Pun,
156

2010). Di dalam tubuh bayi tidak ASI eksklusif juga tidak ditemukan

kandungan Lactadherin yang berasal dari air susu ibu yang dapat

menghambat proses replikasi rotavirus (Banerjee dkk., 2006). Kisaran bayi

kelompok usia 6-11 bulan paling rentan terkena infeksi rotavirus karena

imunitas menurun yang terjadi akibat menyusui (Kurugöl dkk., 2003).

Pada kelompok usia ini kadar antibodi ibu yang bayi peroleh dari ASI

mulai menurun karena bayi mulai memasuki "fase oral" dari fase

perkembangan normalnya yang menyebabkan bayi tidak penuh dalam

menyusui, namun beralih mulai memasukkan hampir semua benda-benda

yang dipegangnya ke dalam mulut (Jiang dkk, 2010).

Pemberian ASI eksklusif diharapakan dapat mengurangi angka

kesakitan diare pada bayi usia 6-12 bulan di wilayah pedesaan 3 Provinsi

Indonesia. Adapun upaya yang dapat dilakukan Dinas Kesehatan

Kabupaten/Kota di wilayah pedesaan 3 Provinsi adalah dengan meningkatkan

pemberian ASI eksklusif. Upaya ini dapat dilakukan melalui peningkatan

pengetahuan maupun sosialisasi tentang ASI di berbagai pedesaan yang

menjadi wilayah kerja tenaga Puskesmas. Peningkatan pengetahuan

maupun sosialisasi dapat dilakukan dengan promosi kesehatan dengan

penyuluhan dan media kesehatan seperti pemberian poster dan leaflet.

Sasaran kegiatan tersebut adalah wanita usia subur yang sedang

hamil dan pasca melahirkan beserta suaminya. Dipilihnya wanita usia

subur yang sedang hamil dan pasca melahirkan beserta suaminya agar

mengetahui dan mendukung sedini mungkin akan pentingnya pemberian

ASI eksklusif pada bayinya. Dengan demikian, diharapkan bayinya dapat


157

memperoleh ASI saja tanpa pemberian minuman atau makanan tambahan

apapun (MPASI dini) segera saat sesudah lahir yang dimulai dengan

pemberian kolostrum sampai berusia 6 bulan.

Selain itu tenaga kesehatan dapat memberdayakan kader kesehatan

yang sebelumnya telah diberikan pendidikan kesehatan dan dibina untuk

melakukan kunjungan keluarga masyarakat di wilayah pedesaan yang

belum terjangkau pelayanan kesehatan. Pada saat kunjungan keluarga,

kader kesehatan dapat menyampaikan kembali informasi akan pentingnya

memberikan ASI esklusif pada bayinya sejak lahir hingga usia 6 bulan

sebagai bentuk pencegahan terhadap penyakit diare. Pada kondisi lainnya

bila saat kunjungan keluarga kader kesehatan menemukan bayi dengan

diare, kader dapat menyampaikan kembali informasi kesehatan lainnya

mengenai tata laksana diare dirumah yang salah satunya dengan terus

meningkatkan pemberian ASI eksklusif. Bila yang ditemui adalah

keluarga dengan bayi mengalami diare yang sudah parah, maka kader

dapat segera mengajak orang tua bayi untuk membawa bayinya tersebut ke

Puskesmas/Fasyankes terdekat guna mendapatkan tata laksana diare pada

tingkat medis.

3. Pemberian Susu Formula

Susu formula adalah susu komersil yang terbuat dari susu sapi

atau susu kedelai yang komposisi nutrisinya diubah sedemikian rupa

yang disesuaikan mendekati komposisi nutrisi ASI (Khasanah, 2011).


158

Pada penelitian ini, nilai PRR yang diperoleh pada CI 95% sebesar 0.57

(0.29-1.10), dengan demikian nilai PRR tersebut tidak berhubungan

bermakna. Kemudian diketahui bayi usia 6-12 bulan dengan diare

sebagian besar tidak mengkonsumsi susu formula (21%).

Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan hasil penelitian yang

dilakukan oleh Patel dkk (2015); Aningsih dkk (2013); dan Estiana dkk

(2014) yang menyatakan bahwa pemberian jenis MPASI berupa susu

formula berhubungan signifikan dengan kejadian diare pada bayi usia 6-

24 bulan. Adapun penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan

oleh (Pawennari, 2011) di wilayah kerja Puskesmas Kassi-Kassi

Makassar bahwa dari 19 bayi usia 6-12 bulan dengan diare

mengkonsumsi susu formula. Hasil statistik menunjukkan tidak ada

pengaruh yang signifikan antara penyajian susu formula dengan kejadian

diare pada bayi usia 6-12 bulan yang mengkonsumsi susu formula.

Penelitian lainnya yang sejalan dengan hasil penelitian ini adalah

penelitian Suherna dkk (2009) yang memperoleh hasil bahwa cara

pengenceran susu formula, cara penyimpanan sisa susu di dalam botol

dan cara penyimpanan susu setelah pengenceran masing-masing tidak

mempunyai hubungan yang bermakna dengan kejadian diare pada bayi

usia 0-24 bulan.

Tidak adanya hubungan antara pemberian susu formula

dengan kejadian diare pada bayi usia 6-12 bulan pada penelitian ini

dimungkinkan karena jumlah sampel yang diteliti sedikit. Jumlah sampel

yang sedikit ini menyebabkan penelitian ini tidak dapat memperlihatkan


159

hubungan maupun kecenderungan secara menyeluruh. Oleh karena itu

diperlukan penelitian selanjutnya terkait hubungan pemberian susu

formula dan kejadian diare dengan menggunakan data SDKI ataupun

data primer dengan sampel besar dan desain case control pada masa yang

akan datang.

Pada penelitian ini diketahui juga bahwa sebanyak 10 orang

(37%) bayi usia 6-12 bulan di wilayah pedesaan 3 Provinsi Indonesia

mengkonsumsi susu formula. Adapun mekanisme infeksi yang dapat

terjadi pada bayi saat mengkonsumsi susu formula yaitu bayi yang

menelan protein asing yang ada pada susu formula akan terangsang oleh

kolonisasi patogen kemudian merusak selaput lendir pelindung usus. Hal

ini mengakibatkan peningkatan risiko kesakitan pada bagian

gastrointestinal bayi yang salah satunya menyebabkan diare (Gribble dan

Hausman, 2012). Selain itu susu formula juga dapat meningkatkan resiko

penyakit non-infeksi lainnya seperti alergi. Menurut Indiarti dan Sukaca

(2009) dalam Atika dkk (2014) bayi yang diberikan susu formula

biasanya terjadi alergi pada organ pencernaannya dengan gejala muntah

dan diare kronik.

Sementara Khasanah (2011) menjelaskan bahwa bayi yang

diberi susu formula, saluran pencernaannya dapat terganggu akibat dari

pembuatan susu formula yang kurang tepat. Pembuatan susu formula baik

yang terlalu encer maupun yang terlalu kental dapat membuat usus bayi

susah mencerna. Usus bayi yang susah mencerna susu formula akan
160

kembali mengeluarkan susu formulanya sebelum dicerna melalui anus

yang mengakibatkan bayi mengalami diare.

Upaya yang dapat dilakukan bagi Dinas Kesehatan

Kabupaten/Kota di wilayah pedesaan 3 Provinsi adalah dengan terus

meningkatkan penyempurnaan pemberian susu dengan ASI hingga bayi

berusia 6-12 bulan mencapai usia 2 tahun. Kegiatan yang dapat dilakukan

adalah dengan meningkatkan promosi kesehatan oleh tenaga kesehatan

dari Puskesmas. Kegiatan ini dapat dilakukan pada saat kegiatan rutin

Posyandu tiap bulannya dengan sasaran kegiatannya adalah kader

kesehatan, wanita usia subur yang sedang hamil, pasca melahirkan dan

memliki bayi berusia < 2 tahun beserta suaminya. Upaya ini juga dapat

dilakukan diluar kegiatan Posyandu dengan pendekatan keluarga melalui

kunjungan rumah oleh tenaga kesehatan Puskesmas yang dibantu oleh

kader kesehatan.

4. Pemberian Vitamin A

Vitamin A adalah salah satu zat gizi penting yang larut dalam lemak,

disimpan dalam hati, dan tidak dapat diproduksi oleh tubuh sehingga harus dipenuhi

dari luar tubuh. Salah satu manfaat vitamin A diantaranya adalah meningkatkan

daya tahan tubuh. Selain itu vitamin A juga dapat mengurangi durasi, keparahan

dan kompilkasi diare. Vitamin A juga dapat mengurangi dan mencegah kematian

akibat diare. Tubuh dapat memperoleh vitamin A salah satunya melalui suplemen
161

kapsul vitamin A dosis tinggi (Kemenkes RI, 2009; WHO, 2010; Juffrie dkk,

2015).

Suplemen kapsul vitamin A dosis tinggi dapat diberikan pada balita di

usia 6-59 bulan. Balita direkomendasikan menerima kapsul vitamin A dosis tinggi

sebanyak 2 kali dalam setahun. Sasaran suplementasi kapsul vitamin A berwarna

biru dengan dosis 100.000 SI diberikan pada bayi usia 6-11 bulan sebanyak satu

kali. Sedangkan sasaran suplementasi kapsul vitamin A berwarna merah dengan

dosis 200.000 SI diberikan pada balita usia 12-59 bulan sebanyak dua kali

(Kemenkes RI, 2009).

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa bayi usia 6-12 bulan

dengan diare sebagian besar di wilayah pedesaan 3 provinsi Indonesia

diberikan Vitamin A, yaitu sebesar 29.4%. Hasil analisis bivariat

diketahui hasil nilai PRR yang diperoleh pada CI 95% yaitu sebesar

0.71(0.36-1.39). Secara statistik diperoleh bahwa tidak ada hubungan

bermakna antara pemberian Vitamin A dengan kejadian diare pada bayi

usia 6-12 bulan di wilayah pedesaan 3 provinsi Indonesia.

Hasil penelitian ini bertentangan dengan penelitian yang

dilakukan oleh Stanly dkk (2009) yang dilakukan di pedesaan India Selatan.

Stanly dkk (2009) berasumsi bahwa bayi yang sebagian besar berada pada kisaran

usia 7-12 bulan yang tidak menerima suplemen vitamin A meningkatkan risiko

diare akut sebesar 7.4 kali. Penelitian ini juga bertentangan dengan penelitian Chisti

dkk. (2013) yang menyatakan bahwa bayi dibawah usia 6 bulan yang tidak

menerima vitamin A berhubungan signifikan durasi diare >4 hari, dehidrasi dan

rawat inap di rumah sakit >7 hari.


162

Penelitian ini tidak berhubungan kemungkinan dikarenakan suplemen

kapsul vitamin A sendiri yang kurang dapat mempengaruhi kejadian diare itu

sendiri melihat sebagian besar bayi dengan diare dalam penelitian ini telah

menerima kapsul vitamin A (29.4%). Long dkk (2006) dalam penelitiannya pada

bayi usia 5-15 bulan berasumsi bahwa efek suplemen vitamin A dalam kaitannya

dengan kekebalan mukosa gastrointestinal tidaklah seragam melainkan tergantung

pada patogen diare yang menginfeksi dan proses patologis yang terjadi didalam

tubuh bayi itu sendiri. Nel (2010) juga menemukan bukti di lain sisi pemberian

vitamin A kurang dapat bermanfaat bagi anak-anak yang menderita diare. Vitamin

A diketahui dapat mengurangi permeabilitas usus pada balita di negara berkembang

yang membuat fungsi usus dalam sistem pencernaan terhambat.

Sementara itu menurut Mason dkk (2015) bahwa walaupun distribusi

pemberian suplementasi kapsul vitamin A meluas namun memiliki efek yang

perlahan dalam mempengaruhi sekitar sepertiga dari anak-anak di negara-negara

berkembang dari kejadian diare. Uji khasiat suplemen kapsul vitamin A sejak tahun

1994 dikonfirmasi tidak berdampak pada pengurangan kematian pada balita karena

diare. Hal ini menurutnya karena kadar serum retinol yang rendah dan

kemungkinan periodik dosis tinggi kapsul vitamin A memiliki sedikit relevansi

dengan perubahan pola penyakit diare itu sendiri. Maka dari itu untuk mengatasi

diare karena kekurangan vitamin A maka pemenuhan asupan vitamin A dapat

dipenuhi dengan pendekatan berbasis pangan dan fortifikasi disamping pemberian

suplemen kapsul vitamin A dosis tinggi.

Pada peneltian ini tidak diteliti mengenai konsumsi makanan bersumber

vitamin A disamping pemberian kapsul vitamin A dengan diare pada bayi usia 6-12
163

bulan di wilayah pedesaan 3 provinsi Indonesia. Hal ini dikarenakan data SDKI

2012 terkait konsumsi makanan bersumber vitamin A yang akan digunakan

homogen dengan hasil ukur ≤ mean. Data yang dapat digunakan juga hanya

berupa “Ya” atau “Tidak” mengkonsumsi makanan berbahan Vitamin A saja.

Tidak spesifik pada pengukuran porsi konsumsi hingga satuan gram. Maka dari itu

hal ini merupakan kelemahan dalam penelitian ini. Diperlukan adanya penelitian

selanjutnya yang meneliti hubungan pemberian kapsul vitamin A dan konsumsi

makanan bersumber vitamin A dengan kejadian diare pada bayi usia 6-12 bulan di

wilayah pedesaan Indonesia dengan menggunakan data primer di masa yang akan

datang.

Dengan demikian upaya yang dapat dilakukan Dinas Kesehatan

Kabupaten/Kota di wilayah pedesaan 3 Provinsi Indonesia adalah dengan

meningkatakan program promosi kesehatan bayi pada unsur gizi bayi dengan

menitik beratkan pada pemenuhan asupan gizi baik pangan maupun fortifikasi

berbahan vitamin A disamping pemberian kapsul vitamin A pada bayi. Upaya ini

dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan Puskesmas yang dibantu oleh kader

kesehatan. Informasi kesehatan ini dapat disampaikan melalui kegiatan pemberian

vitamin A yang diadakan tiap 6 bulan sekali di Posyandu ataupun dapat melalui

pendekatan keluarga dengan mengunjungi rumah masyarakat, khususnya

masyarakat desa yang tidak terjangkau pelayanan kesehatan.

Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota di wilayah pedesaan 3 Provinsi

Indonesia pada penyelenggaraan bulan pemberian vitamin A yang diadakan tiap 6

bulan sekali juga perlu menekankan tenaga kesehatan Puskesmas dan kader

kesehatan terlatih di wilayah pedesaan untuk tidak hanya sekedar memberikan


164

vitamin A pada bayinya. Tetapi lebih mengawasi dan memastikan pemberian isi

kapsul vitamin A hingga bayi menelannya kemudian mencatatnya pada buku KIA

atau KMS balita sebagai bukti pemberian vitamin A telah dikonsumsi bayi sesuai

waktunya.

Hal ini sebagaimana telah tercantum pada panduan manajemen

suplementasi Vitamin A, dimana pemberian vitamin A pada bayi dan usia 6-59

bulan dilakukan secara serentak pada bulan Februari dan Agustus. Bayi diberikan

vitamin A oleh tenaga kesehatan (dokter, bidan, perawat, tenaga gizi, dll) atau kader

kesehatan. Bayi usia 6-11 bulan diberikan kapsul biru (100.000 SI) dan bayi ≥ 12

bulan diberikan kapsul merah (200.000 SI). Tenaga kesehatan yang telah

memberikan kapsul vitamin A untuk mencatatnya pada KMS/Buku KIA dan

direkapitulasi dalam buku bantu (Kemenkes RI, 2009).

Adapun masukan pada tim SDKI pada tahun mendatang diharapkan

dapat menambahkan pengumpulan data terkait bukti pencatatan pemberian vitamin

A pada KMS/Buku KIA. Kedepan pada saat pengumpulan data, enumerator yang

mendapati responden yang “ya” memberikan vitamin A meminta responden juga

menunjukkan bukti pemberiannya pada catatan tenaga/kader kesehatan pada

KMS/Buku KIA. Hal ini untuk memperkuat kevalidan data variabel pemberian

vitamin A sehingga dapat meningkatkan kualitas data SDKI. Kualitas data SDKI

yang baik dapat meyakinkan pengguna dan menambah penggunaan data

SDKI pada tahun mendatang dalam menentukan faktor penyebab sakit

pada bayi akibat pemberian vitamin A, khususnya diare.


165

5. Vaksinasi Campak

Imunisasi aktif atau yang sering yang disebut dengan vaksinasi

adalah suatu tindakan pemberian vaksin (antigen) yang dapat merangsang

pembentukan imunitas (antibodi) dari sistem imun di dalam tubuh (Ranuh

dkk, 2011). Bayi yang telah di vaksinasi diharapkan dapat kebal terhadap

penyakit tertentu, sehingga dapat menurunkan angka morbiditas dan

mortalitas serta mengurangi kecacatan akibat penyakit yang dapat dicegah

dengan vaksinasi (Hidayat, 2008).

Campak merupakan penyakit infeksius yang disebabkan oleh virus

campak yang ditularkan melalui perantara droplet. Penyakit campak dapat

dicegah dengan vaksinasi campak. Vaksinasi campak dianjurkan diberikan

dalam satu dosis 0.5 ml secara subkutan dalam pada usia 9 bulan.

Selanjutnya vaksinasi penguat dapat diberikan pada usia 2 tahun.

Pemberian vaksinasi campak secara langsung berdampak pada pencegahan

terhadap penyakit diare yang lebih berat (IDAI, 2000; Halim, 2016;

Hidayat, 2008).

Penelitian Kurniawati dan Martini (2016) di Puskesmas Panca

Keling Surabaya memperlihatkan risiko untuk terkena diare akut pada

anak balita yang tidak memiliki status imunisasi campak sebesar 12,69 kali

lebih besar dibanding dengan anak balita yang memiliki status imunisasi

campak. Penelitian Agustin (2008) di wilayah kerja Puskesmas Subuh

Kabupaten Situbondo juga menyatakan imunisasi campak berhubungan

dengan kejadian diare pada bayi usia 12-24. Lainnya penelitian Bawankule

dkk (2017) di negara Republik Demokratik Kongo, Etiopia, India, Nigeria,


166

dan Pakistan memperoleh hasil bahwa balita yang diberi vaksin campak

cenderung memiliki risiko diare lebih rendah daripada mereka yang tidak

menerimanya di semua negara yang dipilih kecuali Etiopia. Vaksinasi

campak dapat menurunkan kasus diare sebesar 12-22 % di Republik

Demokratik Kongo, India, Nigeria dan Pakistan.

Penelitian sebelumnya tersebut tidak sejalan dengan hasil analisis

bivariat pada penelitian ini. Analisis bivariat memperlihatkan nilai PRR

yang diperoleh pada CI 95% yaitu sebesar 0.83 (0.32-2.11), sehingga

dapat disimpulkan bahwa pemberian vaksinasi campak tidak berhubungan

bermakna dengan kejadian diare pada bayi usia 9-12 bulan di wilayah

pedesaan 3 Provinsi Indonesia. Perbedaan antara penelitian sebelumnya

dengan hasil penelitian ini dimungkinkan karena jumlah sampel yang

dianalsisis untuk variabel ini sedikit. Namun diketahui dari tabel 5.13 bayi

usia 9-12 bulan di wilayah pedesaan 3 provinsi Indonesia dengan diare

cenderung dialami bayi karena tidak diberikan vaksinasi campak (19%).

Adapun pentingnya pemberian vaksinasi campak dalam kaitannya

dengan kejadian diare pada bayi, yaitu apabila bayi sedang mengalami

diare, maka bayi yang tidak menerima vaksinasi campak akan semakin

bertambah parah kondisinya dengan dialaminya penyakit campak dalam

empat minggu terakhir. Hal tersebut diakibatkan oleh adanya penurunan

kekebalan tubuh penderita yang disebabkan oleh virus campak yang

menyerang sistem mukosa tubuh dan saluran cerna (Kemenkes RI, 2007).

Selain itu ditemukan bahwa 1-7 % balita yang mengalami diare

bersaamaan dengan campak umumnya mengalami kondisi yang lebih berat


167

dan lebih lama dalam pengobatannya. Hal ini terjadi karena susah diobati

dan cenderung menjadi kronis yang diakibatkan adanya kelainan pada

epitel usus (Suraatmaja, 2007).

Sebagian besar bayi usia 9-12 bulan di wilayah pedesaan 3 provinsi

Indonesia dengan diare diketahui tidak menerima vaksinasi campak.

Adapun upaya yang dapat dilakukan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota 3

Provinsi Indonesia adalah dengan mengoptimalkan kegiatan vaksinasi

campak di wilayah pedesaan. Hal ini dilakukan agar kegiatan pemberian

imunisasi campak meningkat dan dapat dilakukan tepat pada waktunya,

yaitu saat bayi berusia 9 bulan.

Selain itu perlunya tenaga kesehatan Puskesmas di wilayah

pedesaan meningkatkan kesadaran kader kesehatan agar dapat berperan

aktif membantu dalam kegiatan vaksinasi campak. Adapun peran aktif

yang diharapkan dari kader kesehatan dapat berupa mengingatkan dan

mengajak orang tua yang memiliki bayi usia 9 bulan untuk dapat

membawa bayinya ke Posyamdu/Puskesmas/Fasyankes terdekat guna

memberikan imunisasi campak tepat pada waktunya. Peran aktif lainnya

yang juga dapat dilakukan adalah mengawasi dan memastikan pemberian

vaksinasi campak untuk kemudian mencatatnya pada kartu imunsasi/ KMS

/Buku KIA balita. Pencatatan pada kartu imunsasi/ KMS /Buku KIA balita sebagai

bukti pemberian vaksinasi campak telah diberikan pada bayi sesuai waktunya.

Kader kesehatan juga dapat membantu melakukan keliling desa

guna mengunjungi keluarga bayi di wilayah pedesaannya yang mungkin

belum terjangkau fasilitas pelayanan kesehatan. Kemudian kader


168

kesehatan dapat mengingatkan dan mengajak orang tua bayi untuk

membawa bayinya yang berusia 9 bulan ke

Posyandu/Puskemas/Fasyankes terdekat guna mendapatkan vaksinasi

campak. Kader kesehatan dapat pula mengetahui kondisi faktor individu

bayi lainnya yang mungkin berisiko diare. Apabila kader menemukan

bayi yang bersiko diare dari segi faktor individu, kader dapat

menyampaikan informasi kesehatan yang telah didapatkan sebelumnya

terkait pencegahan dan pengendalian faktor risiko diare pada orang tua

bayi tersebut.

Bayi usia 6-12 bulan yang mengalami diare di di wilayah pedesaan

provinsi Kalimantan Barat, Gorontalo dan Sulawesi Barat yang terjadi

kemungkinan juga karena disebabkan oleh faktor lainnya selain faktor

individu bayi. Bayi bisa mengalami diare dari faktor lingkungan di wilayah

pedesaan 3 Provinsi Indonesia mungkin saja dapat terjadi karena desa yang

belum terverifikasi Stop Buang Air Besar Sembarangan (BABS)/Open

Defecation Free (ODF). Stop Buang Air Besar Sembarangan (Stop

BABS)/ODF adalah suatu kondisi ketika setiap individu masyarakat disuatu

komunitas/desa/kecamatan tidak buang air besar (BAB) di sembarang

tempat.

Adapun batasan suatu komunitas/desa/kecamatan telah dikatakan

Stop BABS/ODF adalah : 1). Semua masyarakat telah BAB hanya di

jamban yang sehat dan membuang tinja/kotoran bayi hanya ke jamban sehat
169

(termasuk di sekolah); 2). Tidak terlihat tinja manusia di lingkungan sekitar;

3). Ada penerapan sanksi, peraturan atau upaya lain oleh masyarakat untuk

mencegah kejadian BAB di sembarang tempat; 4). Ada mekanisme

monitoring yang dibuat masyarakat untuk mencapai 100% rumah tangga

mempunyai jamban yang sehat; 5). Ada upaya strategis yang jelas dan

tertulis untuk dapat mencapai Total Sanitasi (Dinkes Jatim, 2005; Kemenkes

RI, 2014).

Pada tahun 2012 keluarga yang memiliki dan menggunakan jamban

sehat di provinsi Kalimantan Barat (76.6%); Gorontalo (70.8%); dan

Sulawesi Barat (67.9%) (Dinkes KalBar, 2012; Dinkes Gorontalo, 2012; dan

Dinkes SulBar, 2012). Sementara target presentase penduduk Indonesia

yang memiliki dan menggunakan jamban sehat adalah 69% (Kemenkes RI,

2013). Maka pada tahun 2012 presentase penduduk Indonesia di Provinsi

Kalimantan Barat dan Gorontalo telah memenuhi target. Sedangkan di

Provinsi Sulawesi Barat belum memenuhi dari target.

Kemudian pada tahun 2012 jumlah desa/ kelurahan intervensi STBM

termasuk didalamnya menuju status Stop Buang Air Besar Sembarangan

(SBS)/ODF di Provinsi Kalimantan Barat adalah 206 dari 1.726

desa/kelurahan; Gorontalo adalah 111 dari 562 desa/kelurahan; Sulawesi

Barat adalah 132 dari 532 desa/kelurahan. Provinsi Kalimantan Barat masuk

sebagai provinsi prioritas pertama yang desa/kelurahannya mendapatkan

intervensi STBM terbanyak. Sedangkan provinsi Gorontalo dan Sulawesi

Barat masuk sebagai provinsi prioritas kedua terbanyak yang


170

desa/kelurahannya mendapatkan intervensi STBM (Kemenkes RI, 2013;

Kemenkes RI, 2014).

Pada tahun 2014 jumlah desa yang klaim dan terverifikasi Stop

BABS/ODF di Provinsi Kalimantan Barat (36 desa klaim); Gorontalo (3

desa klaim dan 1 desa terverifikasi); dan Sulawesi Barat (3 desa klaim dan 1

desa terverifikasi). Desa klaim adalah desa yang menyatakan telah bebas

buang air besar sembarangan oleh masyarakat yang berada di dalam desa itu

sendiri namun belum diverifikasi oleh tim verifikasi yang terdiri dari

masyarakat desa terdekat, kader/bagas desa lain, bidan desa lain dan

sanitarian dari wilayah puskesmas lain. Sedangkan desa terverifikasi adalah

desa yang dinyatakan telah bebas buang air besar sembarangan oleh tim

verifikasi yang terdiri dari masyarakat desa terdekat, kader/bagas desa lain,

bidan desa lain dan sanitarian dari wilayah puskesmas lain (Dinkes Jatim,

2005; Kemenkes RI, 2015). Dengan demikian dilihat dari banyaknya desa di

Provinsi Kalimantan Barat, Gorontalo dan Sulawesi Barat yang masih belum

berstatus terverifikasi Stop BABS/ODF berisiko menyebabkan diare.

Individu masyarakat dalam suatu komunitas/desa/kecamatan yang

telah mendapat verifikasi ODF berarti telah memiliki dan BAB di tempat

yang tepat yaitu, jamban sehat serta dapat memeliharanya dengan baik.

Jamban sehat merupakan fasilitas pembuangan tinja yang dapat mencegah

kontaminasi ke badan air, mencegah antara kontak manusia dan tinja,

membuat tinja tersebut tidak dapat dihinggapi lalat, atau serangga vektor

lainnya, serta binatang liar atau binatang peliharaan (Dinkes Jatim, 2005;

Kemenkes RI, 2014).


171

Sebaliknya jika tinja yang dibuang sembarangan dan

mengkontaminasi badan air, menyebabkan air tercemar. Air merupakan

media penularan utama dari penyakit diare. Seseorang dapat mengalami

diare bila menggunakan air yang sudah tercemar dengan tinja yang telah

mengandung patogen diare. Sementara apabila tinja yang dibuang

sembarangan ditempat terbuka akan terinfeksi oleh bakteri atau virus yang

menjadi patogen diare. Kemudian biasanya akan dihinggapi lalat. Lalat yang

hinggap di tinja membuat virus atau bakteri yang menjadi patogen diare

menempel di tubuh lalat. Lalat yang sudah membawa patogen diare lalu

hinggap di makanan, maka dapat menularkan diare pada orang yang

mengkonsumsinya (Widyono, 2008). Pembuangan tinja yang dilakukan

secara saniter akan memutuskan rantai penularan penyakit dan menjadi

penghalang sanitasi (sanitation barrier) virus atau kuman penyakit yang

menjadi patogen diare untuk berpindah dari tinja ke inang yang potensial

(Anderson dan Arnstein, 2002 dalam Falasifa, 2015).


Bab VII
Penutup

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan mengenai hubungan

faktor individu dengan kejadian diare pada bayi usia 6-12 bulan di wilayah

pedesaan 3 Provinsi Indonesia berdasarkan data SDKI 2012, maka

didapatkan simpulan sebagaimana berikut ini:

1. Sebanyak 25% bayi usia 6-12 bulan pada tahun 2011-2012 diwilayah

pedesaan 3 Provinsi Indonesia mengalami diare.

2. Bayi usia 6-12 bulan pada tahun 2011-2012 diwilayah pedesaan 3

Provinsi Indonesia paling banyak berjenis kelamin laki-laki (51.9%).

3. Bayi usia 6-12 bulan pada tahun 2011-2012 diwilayah pedesaan 3

Provinsi Indonesia paling banyak waktu pertama kali disusui yaitu ≥ 1

hari setelah dilahirkan (41.7%). Kemudian setelah 3 hari dilahirkan bayi

berusia 6-12 bulan sebagian besar sudah menerima minuman lain selain

ASI (MPASI Dini) (63%). Adapun minuman yang pertama kali paling

banyak diberikan berupa air putih (22.2%). Kemudian bayi berusia 6-12

bulan lebih banyak yang menerima minuman lain dengan tidak

menggunakan botol dan dot (71.3%). Selanjutnya diketahui berusia 6-

12 bulan yang masih disusui hingga saat diwawancarai lebih banyak

(83.3%). Maka dilihat dari awal responden melakukan IMD < 1 jam

dengan pemberian cairan lainnya setelah bayi 3 hari dilahirkan dapat

diketahui bahwa bayi paling banyak tidak diberikan ASI eksklusif,

yaitu sebanyak 57.4%.

172
173

4. Bayi usia 6-12 bulan pada tahun 2011-2012 diwilayah pedesaan 3

Provinsi Indonesia yang mengkonsumsi susu formula sebanyak 25%

dan 80% diantaranya mengkonsumsi susu formula sebanyak < 7 kali.

5. Bayi usia 6-12 bulan pada tahun 2011-2012 diwilayah pedesaan 3

Provinsi Indonesia yang menerima kapsul vitamin A berwarna merah

dan biru masing-masing sebanyak 34.3% dan 13%.

6. Bayi usia 9-12 bulan pada tahun 2011-2012 diwilayah pedesaan 3

Provinsi Indonesia yang diberikan vaksinasi campak berdasarkan

catatan kartu imunisasi/buku KIA/KMS Balita sebanyak 11.8%.

Sementara yang diberikan vaksinasi campak berdasarkan pengakuan

ibu sebanyak 19.1%.

7. Tidak ada hubungan bermakna antara faktor individu (jenis kelamin,

pemberian MPASI Dini, pemberian ASI eksklusif, pemberian susu

formula, pemberian vitamin A dan vaksinasi campak) dengan kejadian

diare pada bayi usia 6-12 bulan di wilayah pedesaan 3 Provinsi

Indonesia.

8. Bayi usia 6-12 bulan di wilayah pedesaan 3 Provinsi Indonesia dengan

diare cenderung dialami bayi dengan jenis kelamin laki-laki (22.4%),

menerima MPASI dini (23.5%), dan tidak vaksinasi campak (19%).


174

B. Saran

1. Bagi Kementrian Kesehatan RI

Diperlukan kebijakan pada upaya mengkampanyekan Program

Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga oleh Kementrian

Kesehatan. Selain itu juga meningkatkan kontribusinya dalam hal

pembinaan pengawasan, koordinasi, bimbingan, pemantauan dan

evaluasi terhadap penyelenggaraannya yang menjadi kewenangan

daerah.

2. Bagi Penyelenggara SDKI

Diperlukan pengumpulan data terkait bukti pencatatan pemberian

vitamin A pada KMS/Buku KIA setelah enumerator mendapati

responden mengaku sudah memberikan vitamin A pada bayinya.

Adapun tujuannya untuk memperkuat kevalidan data variabel

pemberian Vitamin A sehingga dapat meningkatkan kualitas data

SDKI pada tahun mendatang.

3. Bagi Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota 3 Provinsi Indonesia

Diperlukan pembinaan kepada petugas kesehatan Puskesmas di

wilayah kerjanya yang bertempat di wilayah pedesaan Provinsi

Kalimantan Barat, Gorontalo dan Sulawesi Barat, khususnya para

pemegang program pencegahan dan pengendalian diare.


175

4. Bagi Puskesmas di Wilayah Pedesaan 3 Provinsi Indonesia

Diperlukan adanya peningkatan kegiatan pendidikan

kesehatan dan pelatihan kepada kader kesehatan di wilayah pedesaan

Kalimantan Barat, Gorontalo dan Sulawesi Barat oleh tenaga

kesehatan Puskesmas. Kegiatan tersebut dilakukan untuk

meningkatkan pengetahuan mengenai diare dan peran yang dapat

dilakukan untuk masyarakat dalam penanganan faktor risiko diare dari

segi Indvidu pada bayi. Adapun tujuannya adalah agar mereka

memiliki bekal pengetahuan sehingga mereka dapat menyampaikan

informasi kesehatan yang telah didapat sebelumnya kepada masyarakat

di pedesaan. Selain itu untuk meningkatkan kesadaran dan kemauan

mereka dalam membantu tenaga kesehatan untuk keliling desa

mengunjungi rumah-rumah masyarakat yang belum terjangkau

pelayanan kesehatan dan menemukan bayi penderita diare baru untuk

segera mendapatkan tata laksana dirumah atau pada tingkat medis.

5. Bagi Peneliti Selanjutnya

Diharapkan peneliti selanjutnya dapat melakukan penelitian terkait

hubungan faktor individu dengan kejadian diare bayi usia 6-12 bulan

di wilayah pedesaan Indonesia menggunakan data SDKI atau data

primer dengan sampel yang besar dan desain case control pada masa

yang akan datang.


176

Daftar Pustaka

Acra, A., Raffoul, Z. and Karahagopia, Y. (1984) Solar Disinfection of Drinking


Water and Oral Rehydration Solutions. Beirut, Libanon: UNICEF.

Ade, M. N. (2015) „Hubungan Pemberian ASI Eksklusif Dengan Kejadian Diare


Pada Bayi Usia 6 Bulan Di Indonesia (Analisis Lanjut Data SDKI 2012)‟, Tesis
Universitas Andalas.
Adisasmito, W. (2007) „Faktor Risiko Diare pada Bayi dan Balita di Indonesia‟,
Jurnal Makara Kesehatan, 11(1), pp. 1–10.
Agustin, I. S. A. (2008) „Hubungan Antara Status Gizi, Imunisasi Campak,
Higiene Perorangan dan Sanitasi Rumah dengan Kejadian Diare Pada Anak Usia
12-24 Bulan (Studi di Wilayah Kerja Puskesas Subuh Kabupaten Situbondo)‟,
Sripsi FKM Universitas Jember.
Ahmed, S. F. et al. (2008) „Prevalence of Diarrhoeal Disease, its Seasonal and
Age Variation in under- fives in Kashmir, India.‟, International journal of health
sciences, 2(2), pp. 126–33.
Aljadoa, A. and Aljebreen, M. (2012) Pathophysiology And Mechanisms Of
Diarrhea. Available at: http://ksumsc.com/download_center/Archive/2nd/431/02
GIT BLOCK/Teams/Pathology/Diarrhea.pdf.
Aminatun (2015) „Hubungan Pemberian ASI Pada Bayi Usia 7-12 Bulan Dengan
Kejadian Diare Di Klinik Pratama Umum Pelita Hati Banguntapan Bantul
Yogyakarta‟, Jurnal STIKES Aisyiyah Yogyakarta.
Aningsih, F., Rahmadi, A. and Lusiana (2010) „Hubungan Pemberian Susu
Formula dengan Kejadian Diare pada Balita Usia 0-24 Bulan di Wilayah Kerja
Puskesmas Banjarbaru‟, pp. 1–7.
Anthony, D. and Mullerbeck, E. (2013) Committing to Child Survival: A Promise
Renewed: UNICEF Progress Report 2013. UNICEF. doi: 978-92-806-4706-8.
Ariawan, I. (1998) Besar dan Metode Sampel pada Penelitian Kesehatan. Depok:
Jurusan Biostatistik dan Kependudukan. FKM UI.
Arnisam (2013) „Hubungan Asupan Mineral Zinc (Seng) Dan Vitamin A Dengan
Kejadian Diare Pada Balita Di Kecamatan Seulimeum.‟, IDEA Nursing Journal.
Atika, N., Susanti, R. and Setyowati, H. (2014) „Perbedaan Pemberian Asi
Eksklusif dan Susu Formula Terhadap Status Gizi Bayiusia 7-12 Bulan di Desa
Reksosari Kec.Suruh Kab. Semarang‟, pp. 1–11. Available at:
http://perpusnwu.web.id/karyailmiah/documents/3786.pdf.
177

Azage, M. et al. (2016) „Childhood diarrhea in high and low hotspot districts of
Amhara Region, northwest Ethiopia: a multilevel modeling‟, Journal of health,
population, and nutrition. Journal of Health, Population and Nutrition, 35, p. 13.
doi: 10.1186/s41043-016-0052-2.
Bahartha, A. S. and Alezzi, J. I. (2015) „Risk factors of diarrhea in children under
5 years in Al-Mukalla, Yemen‟, Saudi Medical Journal, 36(6), pp. 720–724. doi:
10.15537/smj.2015.6.11266.
Banerjee, I. et al. (2006) „Comparative study of the epidemiology of rotavirus in
children from a community-based birth cohort and a hospital in South India‟,
Journal of Clinical Microbiology, 44(7), pp. 2468–2474. doi:
10.1128/JCM.01882-05.
Bawankule, R. et al. (2017) „Does Measles Vaccination Reduce the Risk of Acute
Respiratory Infection (ARI) and Diarrhea in Children: A Multi-Country Study?‟,
PLoS ONE.
Biswas, A. and Mandal, A. K. (2016) „A study on association between
breastfeeding and its protective role against diarrhoea in under five children in a
rural block of West Bengal , India‟, 3(9), pp. 2499–2503.
BPS (2010) Peraturan Kepala Badan Pusat Statistik No.37.
Budiarto, E. (2002) Biostatistika Untuk Kedokteran Dan Kesehatan Masyarakat.
Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
Cahyaningrum, D. (2015) „Studi Tentang Diare Dan Faktor Resikonya Pada
Balitausia 1-5 Tahun Di Wilayah Kerja Puskesmas Kalasan Sleman‟, Jurnal
Stikes Aisyiyah Yogyakarta.
Canani, R. B. et al. (2011) „Mechanisms of action of zinc in acute diarrhea‟,
PubMed, 27(1), pp. 8–12. doi: 10.1097/MOG.0b013e32833fd48a.
Carmo, G. M. I. Do et al. (2011) „Decline in diarrhea mortality and admissions
after routine childhood rotavirus immunization in Brazil: A time-series analysis‟,
PLoS Medicine, 8(4), p. 11. doi: 10.1371/journal.pmed.1001024.
CDC (2012) Diarrhea : Common Illness , Global Killer, Global Diarrhea
(Factsheet). USA: U.S Department of Health and Human Services.
Chandra, B. (2006) Ilmu Kedokteran Pencegahan dan Komunitas. Jakarta: Buku
Kedokteran EGC.
Chisti, M. J. et al. (2013) „History of vitamin A supplementation reduces severity
of diarrhea in young children admitted to hospital with diarrhea and pneumonia.‟,
Food and Nutrition Sciences, 4(2), pp. 150–155. doi: 10.4236/fns.2013.42021.
Cortes, J. E. et al. (2011) „Rotavirus vaccine and health care utilization for
diarrhea in U.S. children‟, N Engl J Med, 365(12), pp. 1108–1117. doi:
10.1056/NEJMoa1000446.
178

Dhar, J. and Sharma, A. K. (2009) „The role of the incubation period in a disease
model‟, Applied Mathematics E - Notes, 9, pp. 146–153.
Diouf, K. et al. (2014) „Diarrhoea prevalence in children under five years of age
in rural Burundi: An assessment of social and behavioural factors at the household
level‟, Global Health Action, 7(1), pp. 1–9. doi: 10.3402/gha.v7.24895.
Ernawati, E., Fadhilah, S. and Solikatun (2013) „Hubungan Pemberian Makanan
Pendamping Asi Dini Dengan Kejadian Diare Pada Bayi Usia Kurang 6 Bulan Di
Wilayah Kerja Puskesmas Grabag Ii Kabupaten Magelang Tahun 2013‟, Jurnal
Kebidanan STIKes Guna Bangsa Yogyakarta.
Estiana, E., Rahmadi, A. and Noorhidayati (2014) „Pengaruh Pemberian PASI
Terhadap Kejadian Diare Pada Bayi Di Ruang Anak Rumah Bersalin Di
Perawatan Anak (RBPA) MUTIA BANJARBARU‟, Jurnal STIKES Husada
Borneo., pp. 25–32.
FAO (2004) Enterobacter sakazakii and other microorganisms in powdered
infant formula. Geneva: WHO.
Farthing, M. and Salam, M. (2012) „Acute diarrhea in adults and children: a
global perspective‟, World Gastroenterology Organization, (February), pp. 1–24.
doi: 10.1097/MCG.0b013e31826df662.
FDA (2009) US Food and Drug Administration. Melamine. Available at:
http://www.fda.gov/NewsEvents/PublicHealthFocus/ucm179005.htmL.
Fenn, B., Morris, S. S. and Black, R. E. (2005) „Comorbidity in childhood in
northern Ghana: Magnitude, associated factors, and impact on mortality‟,
International Journal of Epidemiology, 34(2), pp. 368–375. doi:
10.1093/ije/dyh335.
Gedefaw, M. and Berhe, R. (2015) „Determinates of Childhood Pneumonia and
Diarrhea with Special Emphasis to Exclusive Breastfeeding in North Achefer
District , Northwest Ethiopia : A Case Control Study‟, Journal Of Epidemiology,
(May), pp. 107–112.
Gribble, K. D. and Hausman, B. L. (2012) „Milk sharing and formula feeding :
Infant feeding risks in comparative perspective ?‟, pp. 275–283.
Guandalini, S., Frye, R. E. and Tamer, M. A. (2015) Diarrhea. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/928598-overview.
Hajeebhoy, N. et al. (2014) „Suboptimal breastfeeding practices are associated
with infant illness in Vietnam‟, pp. 1–7.
Halim, R. A. (2016) „Campak pada Anak‟, Cermin Dunia Kedokteran (CDK)
Journal, 43(Campak).
Hegar, B. and Sahetapy, M. (2013) AIR SUSU IBU DAN KESEHATAN SALURAN
CERNA. Available at: http://www.idai.or.id/artikel/klinik/asi/air-susu-ibu-dan-
kesehatan-saluran-cerna.
179

Hidayat, A. A. . (2008) Pengantar Ilmu Kesehatan Anak untuk Pendidikan


Kebidanan. Jakarta: Salemba.
Hung, B. V. (2006) „The most common causes of and risk factors for diarrhea
among children less than five years of age admitted to Dong Anh Hospital, Hanoi,
Northern Vietnam.‟, A Thesis of Philosophy in International Community Health,
University of Oslo.
ICF International (2013) Indonesia Demographic and Health Survey 2012.
Calverton, Maryland, USA: MEASURE DHS. Available at:
http://www.dhsprogram.com.
IDAI (2000) „Jadwal Imunisasi Rekomendasi IDAI‟, Sari Pediatri, 2(Imunisasi),
pp. 43–47.
IVAC (2014) „Pneumonia and diarrhea progress report‟, International Vaccine
Access Center, (2014), pp. 1–12.
Jourdan, N. et al. (2008) „Nationwide Outbreak of Salmonella Enterica Serotype
Give Infection in Infants in France, Linked to Infant Milk Formula‟, Euro
Surveillance., pp. 38–39.
Juffrie, M. et al. (2015) Buku Ajar Gastroenterologi-Hepatologi Jilid 1. Jakarta:
Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) .
Katz, M.H . (2006). Study Design and Statistical Analysis. London: Cambridge
University Press.
Kemenkes RI (2002) Buku Pedoman Pelaksanaan Program P2 Diare. Jakarta:
Departemen Kesehatan RI.
Kemenkes RI (2007) Keputusan Mentri Kesehatan Republik Indonesia
1216/Menkes/SK/2001 Tentang Pedoman Pemberantasan Penyakit Diare.
Jakarta: Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan
Lingkungan Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Kemenkes RI (2009) Panduan Manajemen Suplementasi Vitamin A. Jakarta:
Direktorat Bina Gizi Masyarakat Departemen Kesehatan.
Kemenkes RI (2011a) Buku Panduan Sosialisasi Tata Laksana Diare Pada Balita
Untuk Petugas Kesehatan. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia.Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan.
Kemenkes RI (2011b) Buku Saku Petugas Kesehatan Lintas Diare. Jakarta:
Departemen Kesehatan RI.
Kemenkes RI (2011c) Buletin jendela data dan informasi kesehatan: Situasi diare
di Indonesia. Jakarta: Pusat Data dan Informasi Kementian Kesehatan Republik
Indonesia.
Kemenkes RI (2011d) Pedoman Program Pemberantasan Penyakit Infeksi
180

Saluran Pernafasan Akut. Jakarta: Dirjen P2PL.


Kemenkes RI (2013a) Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2012. Jakarta:
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
Kemenkes RI (2013b) Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI).
Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
Kemenkes RI (2013) „Riset Kesehatan Dasar 2013‟. Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.
Kemenkes RI (2014) Situasi dan Analisis ASI Eksklusif. Jakarta Selatan: Pusat
Data dan Informasi Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
Kemenkes RI. (2011) Buku Pedoman Pengendalian Penyakit Diare. Jakarta:
Direktorat Jendral Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan
RI.
Kemenkes RI. (2013) Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
39 Tahun 2013 Tentang Susu Formula Bayi Dan Produk Bayi Lainnya. Jakarta:
Departemen Kesehatan RI.
Kemenkes RI. (2016) Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
39 Tahun 2016 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Program Indonesia Sehat
Dengan Pendekatan Keluarga. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
Khasanah, N. (2011) ASI atau Susu Formula. Yogyakarta: FlashBooks.
Kulkarni, H., Mamtani, M. and Patel, A. (2012) „Roles of Zinc in the
Pathophysiology of Acute Diarrhea‟, Springer Journal., pp. 24–32. doi:
10.1007/s11908-011-0222-8.
Kurniawati, S. and Martini, S. (2016) „Status Gizi Dan Status Imunisasi Campak
Berhubungan Dengan Diare Akut‟, Jurnal Wiayata, pp. 126–132.
Kurugöl, Z. et al. (2003) „Rotavirus gastroenteritis among children under five
years of age in Ýzmir , Turkey‟, pp. 290–294.
Laryea, C. C. E. et al. (2014) „Decline in severe diarrhea hospitalizations after the
introduction of rotavirus vaccination in Ghana : a prevalence study‟, BMC
Infectious Diseases Journal, pp. 1–6.
Linnecar, A. (2010) New Evidence on Health Risks of Powdered Milk Formulas
for Babies. Geneva, Switzerland: The International Baby Food Action Network.
Long, K. Z. et al. (2006) „The effect of vitamin A supplementation on the
intestinal immune response in Mexican children is modified by pathogen
infections and diarrhea‟, J Nutr, 136(5), pp. 1365–1370. Available at:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/16614431%5Cnhttp://jn.nutrition.org/conte
nt/136/5/1365.full.pdf.
Macro International. (2008) Indonesia Demographic and Health Survey 2007.
181

Calverton, Maryland, USA: M6EASURE DHS. doi: 10.2307/2174828.


Madhi, S. A. et al. (2016) „Effect of human rotavirus vaccine on severe diarrhea
in African infants‟, Malawi Medical Journal, 28(3), pp. 108–114. doi:
10.1056/NEJMoa0904797.
Maharani, O. (2016) „Pemberian Makanan Pendamping ASI Dini Berhubungan
Dengan Kejadian Diare Pada Bayi Usia 0-12 Bulan Di Kecamatan Dampai Utara,
Tolitoli, Sulawesi Tengah. Jurnal Ners Dan Kebidanan Indonesia‟, Yogyakarta:
Universitas Alma Ata, 4(2), pp. 84–89.
Mason, J. et al. (2015) „Vitamin A policies need rethinking‟, International
Journal of Epidemiology, 44(1), pp. 283–292. doi: 10.1093/ije/dyu194.
Mauliku, N. E., Susilowati and Agustini, Y. (2008) „Faktor-Faktor Yang
Berhubungan Dengan Pemberian Makanan Pendamping Asi Dini Pada Bayi 6 -
12 Bulan Di Desa Batujajar Barat Kecamatanbatujajar Kabupaten Bandung Barat
Tahun 2008‟, Jurnal Kesehatan Kartika Stikes A. Yani., pp. 9–22.
Merril, R. M . (2011). Principls of Epidemiology Workbook: Exercise and
Activities. Canada: Jones and Barlet Learning.
Mohamad, I. et al. (2014) „Hubungan Pemberian Asi Eksklusif Dengan Kejadian
Diare Pada Bayi 0-11 Bulan Di Puskesmas Galesong Utara Provinsi Sulawesi
Selatan.‟, (8).
Mølbak, K. et al. (1997) „Risk factors for diarrheal disease incidence in early
childhood: A community cohort study from Guinea-Bissau‟, American Journal of
Epidemiology, 146(3), pp. 273–282. Available at:
http://www.scopus.com/inward/record.url?eid=2-s2.0-
0030872603%7B&%7DpartnerID=tZOtx3y1.
Myint, S. et al. (2016) „Estimation of Acute Diarrhea and Acute Respiratory
Infections among Children under Five Years Who Lived in a Peri-urban
Environment of Myanmar‟, OSIR Journal, 6(4), pp. 13–18. Available at:
/citations?view_op=view_citation&continue=/scholar%3Fhl%3Den%26as_sdt%3
D0,5%26scilib%3D1024%26scioq%3Dmyanmar%2Bchildren%2Bmortality%2B
pollution&citilm=1&citation_for_view=aA2ly3wAAAAJ:MIg0yeAD4ggC&hl=e
n&oi=p.
Nel, E. (2010) „Diarrhoea and Malnutrition‟, South African Journal of Clinical
Nutrition. doi: 10.1016/S0140-6736(89)91505-5.
Nelson, W. (2000) Ilmu kesehatan anak, Alih Bahasa Wahab, A.S. Jakarta: EGC.
Ngabo, F. et al. (2016) „Effect of pentavalent rotavirus vaccine introduction on
hospital admissions for diarrhoea and rotavirus in children in Rwanda: A time-
series analysis‟, The Lancet Global Health. World Health Organization, 4(2), pp.
e129–e136. doi: 10.1016/S2214-109X(15)00270-3.
Nisa, H. (2007) Epidemiologi Penyakit Menular. Ciputat (Jakarta Selatan): UIN
182

Jakarta Press.
Noor, N. N. (2009) Pengantar Epidemiologi Penyakit Menular. Jakarta: PT
Rineka Cipta.
Noor, N. N. (2014) Epidemiologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Nugroho, T. (2011) ASI dan Tumor Payudara. Yogyakarta: Nuha Medika.
Nursalam (2008) Konsep dan Penerapan Metode Penelitian Ilmu Keperawatan
(Pedoman Skripsi, Tesis, dan Instrumen Penelitian Keperawatan) (2 ed.). Jakarta:
Salemba Medika.
Nutrisiani F (2010) „Hubungan Pemberian Makanan Pendamping ASI (MP ASI)
pada Anak Usia 0-24 Bulan dengan Kejadian Diare di Wilayah Kerja Puskesmas
Purwodadi‟, Skripsi Universitas Muhammadiyah Surakarta.
ORC (2003) Indonesia Demographic and Health Survey 2002-2003. Calverton,
Maryland USA: MEASURE DHS. Available at: http://dhsprogram.com/what-we-
do/survey/survey-display-450.cfm.
Paramanik, D. et al. (2015) „Assessment of Morbidity Profile of Under-Five
Children in a Rural Area of West Bengal‟, Indian Journal of Hygiene and Public
Health, I(2), pp. 35–40. Available at:
http://www.ijhph.co.in/Archive/dec2015/PDF/Original Articles3.pdf.
Parashar, U. D. et al. (2006) „Rotavirus and severe childhood diarrhea‟, NCBI
PubMed Emerging Infectious Disease Journal, 12(2), pp. 304–306. doi:
10.3201/eid1202.050006.
Parashar, U. D. et al. (2009) „Global Mortality Associated with Rotavirus Disease
among Children in 2004‟, The Journal of Infectious Diseases, 200(s1), pp. S9–
S15. doi: 10.1086/605025.
Patel, D. V et al. (2015) „Breastfeeding Practices, Demographic Variables, and
Their Association with Morbidities in Children‟, Journal Hindawi. doi:
10.1155/2015/892825.
Pawennari, M. (2011) „Pengaruh Penyajian Susu Formula Terhadap Kejadian
Diare Pada Bayiusia 6-12 Bulan Di Wilayah Kerja Puskesmas Kassi-Kassi
Makassar Tahun 2011‟, Program Studi S-1 Ilmu Keperawatan Fakultas Ilmu
Kesehatan Uin Alauddin Makassar.
PERSAGI. (2009) Kamus Gizi (Pelengkap Kesehatan Keluarga). Jakarta: PT.
Kompas Media Nusantara.
Plessis, D. L. (2013) „Complementary feeding: a critical window of opportunity
from six months onwards‟, South African Journal of Clinical Nutrition, 26, pp.
129–140.
Pruess, A. et al. (2002) „Estimating the burden of disease from water, sanitation,
and hygiene at a global level‟, Environmental Health Perspectives, 110(5), pp.
183

537–542.
Pun, S. B. (2010) „Rotavirus infection: An unrecognised disease in Nepal‟,
Kathmandu University Medical Journal, 8(29), pp. 135–140. doi:
10.1097/INF.0b013e3181d9bcce.
Purwanti, H. . (2003) Konsep Penerapan ASI Eksklusif. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Puspitawati, H. (2013) Konsep, Teori dan Analisis Gender. Jurnal Gender dan
Keluarga. Bogor: PT IPB Press.
Rahmadhani, E. P., Lubis, G. and Edison (2013) „Hubungan Pemberian ASI
Eksklusif dengan Angka Kejadian Diare Akut pada Bayi Usia 0-1 Tahun di
Puskesmas Kuranji Kota Padang‟, Jurnal Kesehatan Andalas, 2(2), pp. 62–66.
Ranuh, I. G. . G. et al. (2011) Pedoman Imunisasi Di Indonesia. Jakarta: Satgas
Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI).
Rohmah, H. et al. (2015) „Role of Exclusive Breastfeeding in Preventing
Diarrhea‟, Althea Medical Journal, 2(1), pp. 78–81.
Sabri, L. and Hastono, S. . (2010) Statistik Kesehatan. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
Schier, J. G. et al. (2010) „Perchlorate exposure from infant formula and
comparisons with the perchlorate reference dose‟, Journal of Exposure Science
and Environmental Epidemiology. Nature Publishing Group, 20(3), pp. 281–287.
doi: 10.1038/jes.2009.18.
Sears, W. et al. (2003) The Baby Book (Segala Hal yang Perlu Anda Ketahui
Tentang Bayi Anda Sejak Lahir Hingga Usia Dua Tahun). Jakarta: Serambi Imu
Semesta.
Siziya, S., AS, M. and E, R. (2013) „Correlates of diarrhoea among children
below the age of 5 years in Sudan‟, African Health Sciences. (Online).
Sjarif, D. R. et al. (2015) Rekomendasi Praktik Pemberian Makan Berbasis Bukti
pada Bayi dan Batita di Indonesia untuk Mencegah Malnutrisi. Unit Kerja
Koordinasi Nutrisi dan Penyakit Metabolik Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Soenardi, T. (2008) 100 Resep Makanan Sehat Untuk Meningkatkan Imunitas dan
Kecerdasan Otak Bagi Bayi dan Balita. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Stanly, A. M., Sathiyasekaran, B. W. C. and Palani, G. (2009) „A Population
Based Study of Acute Diarrhoea Among Children Under 5 Years in a Rural
Community in South India‟, Sri Ramachandra Journal of Medicine, 1(1), pp. 1–7.
Suherna, C., Febry, F. and Mutahar, R. (2009) „Hubungan Antara Pemberian Susu
Formula dengan Kejadian Diare Pada Anak Usia 0-24 Bulandi Wilayah Kerja
Puskesmas Balai Agung Sekayu Tahun 2009‟, Jurnal Universitas Sriwijaya.
184

Sulaiman et al. (1997) Gastroenterologi Hepatologi. Jakarta: CV. Sagung Seto.


Sumantri, A. (2011) Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta: Kencana.
Suraatmaja (2007) Gastroenterology Anak. Jakarta: Sagung Seto.
Susanti, W. E. and Sunarsih, E. (2016) „Determinan Kejadian Diare Pada Anak
Balita Di Indonesia (Analisis Lanjut Data SDKI 2012)‟, Jurnal Ilmu Kesehatan
Masyarakat Universitas Sriwijaya, 7, pp. 64–72.
Szumilas, M. (2010) „Explaining Odds Ratios‟, Journal The Canadian Academy
Of Child And Adolescent Psychiarty.
Tambayong, J. (2000) Patofisiologi Untuk Keperawatan. Jakarta: Buku
Kedokteran EGC.
Tielsch, J. M. et al. (2007) „Newborn vitamin A dosing reduces the case fatality
but not incidence of common childhood morbidities in South India.‟, Journal of
Nutrition, 137(11), pp. 2470–2474. Available at:
http://search.proquest.com.ezproxy.library.wisc.edu/docview/47608474?accountid
=465%5Cnhttp://sfx.wisconsin.edu/wisc?url_ver=Z39.88-
2004&rft_val_fmt=info:ofi/fmt:kev:mtx:journal&genre=article&sid=ProQ:ProQ
%3Aagricolamodule&atitle=Newborn+Vitamin+A+Dosing+R.
Umamaheswari B, Niranjan Biswal , B. Adhisivam, S. C. Parija, S. S. (2010)
„Persistent diarrhea: Risk factors and outcomes‟, The Indian Journal of Pediatrics,
Volume 77,(Issue 8, pp 885-888), pp. 10–13.
UNICEF (2012a) Pneumonia and diarrhoea, United Nations Children’s Fund.
Available at:
http://www.unicef.org/eapro/Pneumonia_and_Diarrhoea_Report_2012.pdf.
UNICEF (2012b) Ringkasan Kajian Kesehatan Ibu dan Anak., (UNICEF
Indonesia). Jakarta: UNICEF. doi: 9870.
USDA (2009) Infant Nutrition and Feeding: A guide For Use in the WIC and CSF
programs. Washington, DC: Supplemental Food Programs Division U.S.
Department Of Agriculture Food And Nutrition Service.
USDA (2016) Feeding Infants: A Guide for Use in the Child Nutrition Programs.
Alexandria: United States Department of Agriculture Food and Nutrition.
Available at: http://www.fns.usda.gov/sites/default/files/feeding_infants.pdf.
Usera, M. A. et al. (1996) „Interregional foodborne salmonellosis outbreak due to
powdered infant formula contaminated with lactose-fermenting Salmonella
Virchow‟, European journal of epidemiology, 12(4), pp. 377–381. doi:
10.1007/BF00145301.
Wahab, S. and Julia, M. (2002) Sistem Imun, Imunisasi dan Penyakit Imun.
Jakarta: Widya Medika.
Walker, C. L. F. et al. (2013) „Diarrhea as a risk factor for acute lower respiratory
185

tract infections among young children in low income settings.‟, Journal of Global
Health, 3(1), p. 10402. doi: 10.7189/jogh.03.010402.
Walker, M. (2010) Recalls of Infant Feeding Products. Available at:
https://www.naba-breastfeeding.org/images/Formula Recalls-W.pdf.
Wapnir, R. A. (2000) „Zinc and Health : Current Health and Future Directions
Zinc Deficiency , Malnutrition and the Gastrointestinal Tract 1‟, pp. 1388–1392.
Webb, P. and Bain, C. (2011) Essential Epidemiology: An Introduction for
Students and Health Profesionals. Second Edi. United Kingdom: Cambridge
University Press.
Wham, C. et al. (2012) Food and Nutrition Guidelines for Healthy Infants and
Toddlers ( Aged 0 – 2 ) A background paper. Wellington, New Zealand: Public
Health Commission New Zealand.
WHO (2003) Global Strategy for Infant and Young Child. Geneva, Switzerland:
WHO.
WHO (2010) Diarrhoea: why children are still dying and what can be done, The
Lancet. doi: 10.1016/S0140-6736(09)61798-0.
WHO (2013) Diarrhoeal disease. Available at:
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs330/en/ (Accessed: 10 April 2017).
WHO (2014) World Health statistics 2014, World Health Organization. Geneva,
Switzerland: WHO Press. doi: 978 92 4 156458 8.
WHO (2016) Health Topics (Diarrhoea). Available at:
http://www.who.int/topics/diarrhoea/en/.
Widjaja, M. (2002) Mengatasi Diare dan Keracunan pada Balita. Jakarta: Kawan
Pustaka.
Widoyono (2008) Penyakit Tropis (Epidemiologi, Penularan dan
Pemberantsannya). Jakarta: Erlangga Medical Series.
Wilunda, C. and Panza, A. (2009) „Factors Associated With Diarrhea Among
Children Less Than 5 Years Old In Thailand : A Secondary Analysis Of Thailand
Multiple Indicator Cluster Survey 2006‟, 23, pp. 17–22.
Yilgwan, C. and Okolo, S. (2012) „Prevalence of diarrhea disease and risk factors
in Jos University Teaching Hospital, Nigeria.‟, Journal Annlas of African
Medicine, p. 217–221.
Yin, M. (2008) Infectious Diarrhea. Available at:
http://www.columbia.edu/itc/hs/medical/pathophys/id/2008/diarrheaNotes.pdf.
Zwane, A. P. and Kremer, M. (2007) What Works in Fighting Diarrheal Diseases
in Developing Countries? A Critical Review. USA: Center for International
Development at Harvard University.
186

Anindita, Hana Sofia. 2015. Hubungan Antara Pengetahuan Ibu Dan Usia Awal
Pemberian MPASI Dengan Lama Kejadian Diare Pada Bayi Usia 8-12 Bulan i
Puskesmas Colomadu 1 Karanganyar. Skripsi Program Studi Ilmu Gizi Fakultas
Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta. Surakarta: UMS

Aryulina, Diah dkk. 2006. Biologi 1. Jakarta: Esis

Badan Pusat Statistik, 2013, Profil dan Tren Pendapatan Pekerja Bebas di
Indonesia 2011-2012, ,

Berg, Alan., 1986, Peranan Gizi dalam Pembangunan Nasional, Jakarta: Rajawali

BPS. 2015. Profil Kependudukan Indonesia Hasil Supas 2015.

Chandra, Budiman. (2007). Pengantar Ilmu Kesehatan Lingkungan. Jakarta:


EGC.

Chineke dkk.2017. The Role of Family Setting in the Prevalence of Diarrhea


Diseases in Under-five Children in Imo State University Teaching Hospital,
Nigeria. 22(9): 1-9, 2017; Article no.JAMMR.34639 Previously known as British
Journal of Medicine and Medical Research ISSN: 2231-0614, NLM ID:
101570965.

Christy, Meivi Yusinta. 2014. Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian


Dehidrasi Diare Pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Kalijudan. Jurnal
Berkala Epidemiologi, Vol. 2, No. 3 September 2014: 297–308. Departemen
Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga: Surabaya.

Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan


Penyehatan Lingkungan. (2011). Buku Saku Petugas Kesehatan Lintas Diare.
Jakarta: Departemen Kesehatan

Depkes RI. (2009). Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta: Departemen Kesehatan


Republik Indonesia.

Depkes RI. 2011 c. Situasi Diare di Indonesia. Buletin Jendela Data dan Informasi
Kesehatan Kementrian Kesehatan RI.

Evayanti, Ni Ketut Elsi dkk. 2014. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan


Kejadian Diare Pada Balita Yang Berobat Ke Badan Rumah Sakit Umum
Tabanan. Jurna l Kesehatan Lingkungan Volume. 4 No. 2 Halaman: 134-139.
Denpasar: Poltekes Denpasar.

Falasifa, Mila. 2015. Hubungan Antara Sanitasi Total Dengan Kejadian Diare
Pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Kepil 2 Kecamatan Kepil Kabupaten
Wonosobo. Skripsi FKM UNNES. Semarang: UNNES.
187

Gedamu, Genet dkk . 2017. Magnitude and Associated Factors of Diarrhea among
Under Five Children in Farta Wereda, North West Ethiopia. Journal of Quality in
Primary Care. Insight Medical Publishing Group: Ethiophia.

Gehrels, Jim. (2004). Drilling manual life water.


http://www.lifewater.ca/download/Lifewater_Drilling_Manual_2004.pdf

Godana, Wanzahun dan Mengiste, Besatu. 2013. Environmental factors associated


with acute diarrhea among children under five years of age in derashe district,
Southern Ethiopia. Science Journal of Public Health.

Gunawan . Bachtarun dkk. (2009). Panduan Masyarakat Untuk Kesehatan


Lingkungan. Bandung: The Eksyezet.

Herijulianti, Eliza; Indriani, Tati Svasti dan Artini, Sri. 2001. Pendidikan
Kesehatan Gigi. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.

Okour dkk. 2012. Diarrhea Among Children and the Household Conditions in a
Low-Income Rural Community in the Jordan Valley. J Med J Vol. 46 (2):108-
117).

Junias M dan Balelay E. (2008). Hubungan antara pembuangan sampah dengan


kejadian diare pada penduduk di Kelurahan Oespa Kecamatan Kelapa Lima Kota
Kupang. Jurnal MKM Vol. 03 No. 2 Desember 2008. Akses dari
http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/320892104_0852-6974,pdf . Diakses pada
tanggal 11 Februari 2018.

Kadaruddin dkk. 2014. Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Diare Pada
Bayi Di Wilayah Kerja Puskesmas Pallangga Kabupaten Gowa. Jurnal FKM
UNHAS. Makassar: UNHAS

Kemenkes RI, 2006. Buku Pedoman Penatalaksanaan Program P2 Diare


Jakarta.: Ditjen PPM dan PL.

Kemenkes RI. 1990. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor :


416/Men.Kes/Per/Ix/1990 Tentang Syarat-Syarat Dan Pengawasan Kualitas Air.

Kemenkes RI. 1999. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor


829/MENKES/SK/VII/1999. Persyaratan Kesehatan Perumahan.

Kemenkes RI. 2002. Pedoman Teknis Penilaian Rumah Sehat. Jakarta: Ditjen
PPM dan PL
188

Kemenkes RI. 2007. Informasi Singkat Pengendalian Penyakit dan Penyehatan


Lingkungan. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan.

Kemenkes RI. 2009. Informasi Piihan Jamban Sehat. Proyek Sanitasi Total dan
Pemasaran Sanitasi (SToPS), kerjasama antara Pemerintah Indonesia, Bill and
Melinda Gates Foundation, dan Water and Sanitation Program - East Asia and
Pacifi c (WSP - EAP).

Kemenkes RI. 2011. Situasi Diare di Indonesia. Buletin Jendela Data dan
Informasi Kesehatan. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.

Kemenkes RI. 2012. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012


tentang pendidikan tinggi

Kemenkes Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2009 tentang


badan hukum pendidikan

Kementrian Kesehatan RI. 2008. Riset Kesehatan Dasar Indonesia 2007. Jakarta:
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan RI.

Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. 2014. Peraturan


Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 31 Tahun
2014 Tentang Kerjasama Penyelenggaraan dan Pengelolaan Pendidikan oleh
Lembaga Pendidikan Asing dengan Lembaga Pendidikan di Indonesia. In
Indonesia, K.P.D.K.R (ed).

Komarulzaman, Ahmad dkk. 2017 . Clean water, sanitation and diarrhoea in


Indonesia: Effects of household and community factors. Journal Global Public
Health An International Journal for Research, Policy and PracticeVolume 12,
2017 - Issue 9.

Kusrini. 2006. Sistem Pakar Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: Andi Offset

Kyoto.2003. Water, sanitation and hygiene at Kyoto, handwashing and sanitation


need to be marketed as if they were consumer product. Akses
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1126368/pdf/3270003

Laksmi, Ni Putu Anggun dkk. 2013. Hubungan Perilaku Ibu Terhadap Kejadian
Diare Pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Sukawati I Periode Bulan
November Tahun 2013. Jurnal Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana/RSUP Sanglah

Lasning. 2012. Faktor Risiko Terjadinya Diare Pada Balita Di Wilayah Kerja
UPT Puskesmas Kandangan Kabupaten Temangung Tahun 2012. Skripsi FKM
UI. Depok: UI.
189

Listiono. 2010. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian diare di Wilayah


Kerja Puskesmas Lebakwangi Kecamatan Cigudeg Kabupaten Bogor Tahun
2009. (Tesis) FKM UI.

Marissa, Octavia Julia . 2015. Hubungan Sanitasi Lingkungan, Sosial Ekonomi


Dan Perilaku Ibu Terhadap Kejadian Diare Dengan Dehidrasi Sedang Pada Balita
Di Wilayah Kerja Puskesmas Mangkang Kota Semarang Tahun 2015. Skripsi
Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas
Negeri Semarang.

Martin, J. & Oxman, S., 1988, Building Expert Systems a tutorial, Prentice Hall,
New Jersey.

Mauliku, Novie E dan Wulansari, Eka. 2008. Hubungan Antara Faktor Perilaku
Ibu dengan Kejadian Diare Pada Balita Di Puskesmas Batujajar Kabupaten
Bandung Barat. Jurnal Kesehatan Kartika Stikes Ahmad Yani.

Mohammed, Shikur dan Tamiru, Dessalegn. 2013. The occurrence of childhood


diarhea and its home management among mothers of under-five years children in
Arba Minch Zuria, Southern Ethiopia. Science Journal of Public Health.

Noor, N.N. 2008. Epidemiologi. Rineka Cipta. Jakarta: 29, 97-101, 107.
Notoadmodjo, Soekidjo. 2010. Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

Notoadmodjo, Soekidjo. 2010. Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasi. Edisi


Revisi. Jakarta: Rineka Cipta.

Notoadmojo, Soekidjo. 2007. Ilmu Kesehatan Masyarakat Prinsip-Prinsip Dasar.


Jakarta: Rineka Cipta.

Notoadmojo, Soekidjo. 2007. Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni. Jakarta:


Rineka Cipta.

Nugraha, Asfarian Andhita. 2014. Hubungan Perilaku Ibu Dalam Pencegahan


Diare Dengan Kejadian Diare Pada Balita Di Puskesmas Kalikajar I Kabupaten
Wonosobo. Jurnal Keperawatan. Yogyakarta: STIKES „Aisyiyah.

Nuraeni. 2012. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadia diare pada balita
di Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Skripsi Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Depok: UI.

Papikyan, Satenik,2009. The Association of Maternal Knowledge and


Management With Prevalence and Duration of Childhood Diarrheal Disease in
Yerevan. Master of Public Health Integrating Experience Project Professional
Publication Framework. College of Health Sciences American University of
Armenia. Yerevan: Armenia.
190

Pati, G.Panji Pati dkk.2013. Peran Ibu Terhadap Durasi Diare Akut Anak Umur
6-24 Bulan Selama Perawatan. Sari Pediatri, Vol. 15, No. 1, Juni 2013.
Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUP Dr. Kariadi Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro, Semarang.

Sanropie, D., 1989. Pengawasan Penyehatan Lingkungan Pemukiman Proyek


Pengembangan Pendidikan Tenaga Sanitasi Pusat. Jakarta : PUSDIKNAKES.
Sofianty, dkk. 2007. Wahana IPS-Ilmu Pengetahuan Sosial. Yudhistira.

Solihin, Muhammad. 2017. Studi Tentang Pelayanan Pendistribusian Air Bersih


Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kecamatan Kota Bangun Kabupaten
Kutai Kartanegara. eJournal Administrasi Negara, Volume 5, Nomor 3 ,
2017:6550-6564 ISSN 0000-0000, ejournal.an.fisip-unmul.ac.id.

Suyono, Budiman.(2010). Imu Kesehatan Masyarakat dalam Konteks Kesehatan


Lingkungan. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.

Timmreck, Thomas C., 2004. Epidemiologi: Suatu Pengantar. Edisi kedua.


Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Trung Vu Nguyen et al. 2006. Etiology and Epidemiology of diarrhea in Children


in Hanoi, Vietnam. Akses dari
http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S1201971205001992

Tumwine James et al. 2002. Diarrhoea and effects of different water sources,
sanitation dan hygiene behavior in East Africa.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/12225505

Wijaya, Y., 2012. Fakto Risiko Kejadian Diare Balita di Sekitar TPS Banaran
Kampus UNNES. Unnes Journal of Public Health, Volume 1, Nomor 2.

Hariyanto, Achmad. 2013. Perancangan website program bina keluarg balita Kota
Depok. Skripsi Fakultas Desain Komunikasi dan Visual UNIKOM. Depok:
UNIKOM.

Kemenkes RI, 2017. Program Indonesia Sehat Dengan Pendekatan Keluarga.


Artikel Kesehatan yang diambil dari www.depkes.go.id tanggal 10 Maret 2018.

Khotijah, Siti. 2015. Case Series Pneumonia Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas
Kecamatan Kalideres Pada April-Juni 2015. Skripsi FKM UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah.

Widyono. 2008. Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan,Pencegahan dan


Pemberantasannya. Jakarta: Erlangga.
191

Dinkes Provinsi Jawa Timur. 2005. Verifikasi ODF Di Komunitas. Factsheet:


Program SToPS Monitoring & Evaluasi. Jawa Timur: Sekretariat STBM/TSSM.

Kemenkes RI. 2014. Kurikulum dan Modul Pelatihan Fasilitator STBM (Sanitasi
Total Berbasis Masyarakat) di Indonesia. Jakarta: Direktorat Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.

Kemenkes RI. 2013. Road Map Percepatan Program STBM Tahun 2013-2015.
Jakarta: Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.

Dinkes KalBar. 2012. Profil Kesehatan Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2012.
Diunduh dari www.pusdatin.kemkes.go.id/.../structure-data-dasar-puskesmas.html

Dinkes Gorontalo. 2012. . Profil Kesehatan Provinsi Gorontalo Tahun 2012.


Diunduh dari www.pusdatin.kemkes.go.id/.../structure-data-dasar-puskesmas.html

Dinkes SulBar. 2012. Profil Kesehatan Provinsi Sulawesi Barat Tahun 2012.
Diunduh dari www.pusdatin.kemkes.go.id/.../structure-data-dasar-puskesmas.html

Kemenkes RI, 2015. Laporan STBM Indonesia 10 Maret 2015 dalam Profil
Sanitasi 2014 Provinsi Kalimantan Barat (Leaflet). Sekretariat Pokja AMPL
Provinsi Kalimantan Barat.

Kemenkes RI, 2015. Laporan STBM Indonesia 10 Maret 2015 dalam Profil
Sanitasi 2014 Provinsi Gorontalo (Leaflet). Sekretariat Pokja AMPL Provinsi
Gorontalo.

Kemenkes RI, 2015. Laporan STBM Indonesia 10 Maret 2015 dalam Profil
Sanitasi 2014 Provinsi Sulawesi Barat (Leaflet). Sekretariat Pokja AMPL Provinsi
Sulawesi Barat.

Kemenkes RI, 2017. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2016. Jakarta :


Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Suradi, Rulina. 2008. Manfaat ASI dan Menyusui. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.

Jiang V, Jiang B, Tate J, Parashar UD and Patel MM. 2010. Performance of


rotavirus vaccines in developed and developing countries. Hum Vacci 2010; 6
(7): pp 532–542.

Ballard O, Morrow AL. 2013. Human milk composition. Pediatr Clin N Am 2013:
60:49-74.

Duijts L, dkk .2010. Prolonged and exclusive breastfeeding reduces the risk of
infectious diseases in infancy. Pediatrics. 2010;126:e18-25.
192

Lampiran 1

Tabel. Daftar Kode Variabel

No. Variabel Kuesioner Kode

1 Diare SDKI12-WUS H11; H12A-G;


No. 514 dan 519. 12J-T; 12X-Z
2 Jenis Kelamin SDKI12-WUS No. 213 B4

3 MPASI Dini SDKI12-WUS No 456-457 M55A-M55K

4 Pemberian ASI SDKI12-WUS No. 453-460; M34; M55A-M55K dan


Eksklusif 558-561. V409; V410;
V411-V411A;
V412A-C; V413; V414E-P;
V414S-V; V414W
5 Pemberian Susu SDKI12-WUS 411A dan 469F
Formula No. 558 poin (e)
6 Pemberian Vitamin SDKI12-WUS H34
A No. 511
7 Vaksinasi Campak Kuesioner SDKI12-WUS H9, H9D,H9M, H9Y
No. 504, 506, 508, 509 dan
510G.
193

Lampiran 2
194
195
196
197
198
199
200
201
202
Lampiran 3

Hasil Analisis Data

1. Diare

Had diarrhea recently

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid No 81 75,0 75,0 75,0

Yes, last two weeks 27 25,0 25,0 100,0

Total 108 100,0 100,0

Diarrhea: public health center


Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid No 20 18,5 74,1 74,1
Yes 7 6,5 25,9 100,0
Total 27 25,0 100,0
Missing System 81 75,0
Total 108 100,0

203
204

Diarrhea: public delivery post


Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid No 26 24,1 96,3 96,3
Yes 1 ,9 3,7 100,0
Total 27 25,0 100,0
Missing System 81 75,0
Total 108 100,0
Diarrhea: private pharmacy
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid No 24 22,2 88,9 88,9
Yes 3 2,8 11,1 100,0
Total 27 25,0 100,0
Missing System 81 75,0
Total 108 100,0
Diarrhea: private doctor
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid No 25 23,1 92,6 92,6
Yes 2 1,9 7,4 100,0
205

Total 27 25,0 100,0


Missing System 81 75,0
Total 108 100,0
Diarrhea: private clinic
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid No 26 24,1 96,3 96,3
Yes 1 ,9 3,7 100,0
Total 27 25,0 100,0
Missing System 81 75,0
Total 108 100,0
Diarrhea: private midwife
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid No 20 18,5 74,1 74,1
Yes 7 6,5 25,9 100,0
Total 27 25,0 100,0
Missing System 81 75,0
Total 108 100,0
Diarrhea: private nurse
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid No 25 23,1 92,6 92,6
206

Yes 2 1,9 7,4 100,0


Total 27 25,0 100,0
Missing System 81 75,0
Total 108 100,0
Diarrhea: private village midwife
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid No 24 22,2 88,9 88,9
Yes 3 2,8 11,1 100,0
Total 27 25,0 100,0
Missing System 81 75,0
Total 108 100,0
Diarrhea: private other
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid No 26 24,1 96,3 96,3
Yes 1 ,9 3,7 100,0
Total 27 25,0 100,0
Missing System 81 75,0
Total 108 100,0
207

Diarrhea: Other
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid No 25 23,1 92,6 92,6
Yes 2 1,9 7,4 100,0
Total 27 25,0 100,0
Missing System 81 75,0
Total 108 100,0
Diarrhea: medical treatment
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid No 5 4,6 18,5 18,5
Yes 22 20,4 81,5 100,0
Total 27 25,0 100,0
Missing System 81 75,0
Total 108 100,0
208

2. Jenis Kelamin
Sex of child

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Male 58 53,7 53,7 53,7

Female 50 46,3 46,3 100,0

Total 108 100,0 100,0


3. ASI Eksklusif
When child put to breast

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Immediately 44 40,7 40,7 40,7

Hours: 1 8 7,4 7,4 48,1

102 1 ,9 ,9 49,1

103 2 1,9 1,9 50,9

104 2 1,9 1,9 52,8

105 1 ,9 ,9 53,7

109 1 ,9 ,9 54,6

110 1 ,9 ,9 55,6

112 2 1,9 1,9 57,4

123 1 ,9 ,9 58,3
Days: 1 15 13,9 13,9 72,2
209

202 13 12,0 12,0 84,3

203 9 8,3 8,3 92,6

204 1 ,9 ,9 93,5

205 2 1,9 1,9 95,4

206 1 ,9 ,9 96,3

207 2 1,9 1,9 98,1

210 1 ,9 ,9 99,1

230 1 ,9 ,9 100,0

Total 108 100,0 100,0


First 3 days, given milk (other than breast milk)

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid No 100 92,6 92,6 92,6

Yes 8 7,4 7,4 100,0

Total 108 100,0 100,0


First 3 days, given plain water

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid No 84 77,8 77,8 77,8

Yes 24 22,2 22,2 100,0

Total 108 100,0 100,0


210

First 3 days, given sugar/glucose water

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid No 99 91,7 91,7 91,7

Yes 9 8,3 8,3 100,0

Total 108 100,0 100,0


First 3 days, given infant formula

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid No 86 79,6 79,6 79,6

Yes 22 20,4 20,4 100,0

Total 108 100,0 100,0


first 3 days, given honey

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid No 97 89,8 89,8 89,8

Yes 11 10,2 10,2 100,0

Total 108 100,0 100,0


First 3 days, given rice water

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
211

Valid No 104 96,3 96,3 96,3

Yes 4 3,7 3,7 100,0

Total 108 100,0 100,0


First 3 days, given other

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid No 105 97,2 97,2 97,2

Yes 3 2,8 2,8 100,0

Total 108 100,0 100,0


First 3 days, given nothing

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid No: given something 68 63,0 63,0 63,0

Yes: given nothing 40 37,0 37,0 100,0

Total 108 100,0 100,0


drank from bottle with nipple yesterday/last night

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid No 77 71,3 71,3 71,3

Yes 31 28,7 28,7 100,0

Total 108 100,0 100,0


212

Duration of breastfeeding

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Ever breastfed, not currently


18 16,7 16,7 16,7
breastfeeding

Still breastfeeding 90 83,3 83,3 100,0

Total 108 100,0 100,0


Exclusive Breastfeeding

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Tidak ASIEKSK 62 57,4 57,4 57,4

ASIEKSK 46 42,6 42,6 100,0

Total 108 100,0 100,0


4. Susu Formula
Gave child baby formula

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid No 81 75,0 75,0 75,0

Yes 27 25,0 25,0 100,0

Total 108 100,0 100,0

Times gave child infant formula


213

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid 1 3 2,8 12,0 12,0

2 3 2,8 12,0 24,0

3 4 3,7 16,0 40,0

4 3 2,8 12,0 52,0

5 4 3,7 16,0 68,0

6 3 2,8 12,0 80,0

7+ 5 4,6 20,0 100,0

Total 25 23,1 100,0


Missing 9 2 1,9
System 81 75,0
Total 83 76,9
Total 108 100,0
5. Vitamin A
Vitamin A in last 6 months

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid No 53 49,1 49,1 49,1

Yes, RED 37 34,3 34,3 83,3

Yes, BLUE 14 13,0 13,0 96,3

Don't know 4 3,7 3,7 100,0


214

Total 108 100,0 100,0


6. Vaksinasi Campak
Received MEASLES

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid No 47 69,1 69,1 69,1

Vaccination date on card 8 11,8 11,8 80,9

Reported by mother 13 19,1 19,1 100,0

Total 68 100,0 100,0

7. Hubungan Jenis Kelamin dengan Diare


Sex of child * Had diarrhea recently Crosstabulation

Had diarrhea recently

Yes, last two


No weeks Total

Sex of child Male Count 45 13 58

% within Sex of child 77,6% 22,4% 100,0%

Female Count 36 14 50

% within Sex of child 72,0% 28,0% 100,0%


Total Count 81 27 108

% within Sex of child 75,0% 25,0% 100,0%


215

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-


Value df sided) sided) sided)
a
Pearson Chi-Square ,447 1 ,504
b
Continuity Correction ,199 1 ,656
Likelihood Ratio ,446 1 ,504
Fisher's Exact Test ,514 ,327
Linear-by-Linear Association ,443 1 ,506
N of Valid Cases 108

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 12.50.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate

95% Confidence Interval

Value Lower Upper

Odds Ratio for Sex of child


1,346 ,562 3,222
(Male / Female)
For cohort Had diarrhea
1,078 ,864 1,345
recently = No
For cohort Had diarrhea
recently = Yes, last two ,800 ,417 1,538
weeks
N of Valid Cases 108
216

8. Hubungan pemberian minum setelah 3 hari dilahirkan (MPASI) Dini dengan Diare
First 3 days, given nothing * Had diarrhea recently Crosstabulation

Had diarrhea recently

Yes, last two


No weeks Total

First 3 days, given nothing No: given something Count 52 16 68

% within First 3 days, given


76,5% 23,5% 100,0%
nothing

Yes: given nothing Count 29 11 40

% within First 3 days, given


72,5% 27,5% 100,0%
nothing
Total Count 81 27 108

% within First 3 days, given


75,0% 25,0% 100,0%
nothing
Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-


Value df sided) sided) sided)
a
Pearson Chi-Square ,212 1 ,645
b
Continuity Correction ,053 1 ,818
Likelihood Ratio ,210 1 ,647
Fisher's Exact Test ,652 ,405
Linear-by-Linear Association ,210 1 ,647
217

N of Valid Cases 108

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 10.00.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate

95% Confidence Interval

Value Lower Upper

Odds Ratio for First 3 days,


given nothing (No: given
1,233 ,505 3,008
something / Yes: given
nothing)
For cohort Had diarrhea
1,055 ,836 1,330
recently = No
For cohort Had diarrhea
recently = Yes, last two ,856 ,442 1,657
weeks
N of Valid Cases 108
9. Hubungan pemberian ASI Eksklusif dengan Diare

Exclusive Breastfeeding * Had diarrhea recently Crosstabulation

Had diarrhea recently

Yes, last two


No weeks Total

Exclusive Breastfeeding Tidak ASIEKSK Count 46 16 62


218

% within Exclusive
74,2% 25,8% 100,0%
Breastfeeding

ASIEKSK Count 35 11 46

% within Exclusive
76,1% 23,9% 100,0%
Breastfeeding
Total Count 81 27 108

% within Exclusive
75,0% 25,0% 100,0%
Breastfeeding
Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-


Value df sided) sided) sided)
a
Pearson Chi-Square ,050 1 ,822
b
Continuity Correction ,000 1 1,000
Likelihood Ratio ,051 1 ,822
Fisher's Exact Test 1,000 ,502
Linear-by-Linear Association ,050 1 ,823
N of Valid Cases 108

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 11.50.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate

95% Confidence Interval

Value Lower Upper


219

Odds Ratio for Exclusive


Breastfeeding (Tidak ,904 ,373 2,189
ASIEKSK / ASIEKSK)
For cohort Had diarrhea
,975 ,784 1,213
recently = No
For cohort Had diarrhea
recently = Yes, last two 1,079 ,554 2,101
weeks
N of Valid Cases 108

10. Hubungan pemberian Susu Formula dengan Diare


Gave child baby formula * Had diarrhea recently Crosstabulation

Had diarrhea recently

Yes, last two


No weeks Total

Gave child baby formula No Count 64 17 81

% within Gave child baby


79,0% 21,0% 100,0%
formula

Yes Count 17 10 27

% within Gave child baby


63,0% 37,0% 100,0%
formula
Total Count 81 27 108
220

% within Gave child baby


75,0% 25,0% 100,0%
formula

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-


Value Df sided) sided) sided)
a
Pearson Chi-Square 2,782 1 ,095
b
Continuity Correction 1,992 1 ,158
Likelihood Ratio 2,636 1 ,104
Fisher's Exact Test ,124 ,081
Linear-by-Linear Association 2,756 1 ,097
N of Valid Cases 108

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 6.75.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate

95% Confidence Interval

Value Lower Upper

Odds Ratio for Gave child


2,215 ,859 5,707
baby formula (No / Yes)
For cohort Had diarrhea
1,255 ,920 1,711
recently = No
221

For cohort Had diarrhea


recently = Yes, last two ,567 ,296 1,084
weeks
N of Valid Cases 108
11. Hubungan Pemberian Vitamin A dengan Diare
Vitamin A Baru * Had diarrhea recently Crosstabulation

Had diarrhea recently

Yes, last two


No weeks Total

Vitamin A Baru Tidak Count 42 11 53

% within Vitamin A Baru 79,2% 20,8% 100,0%

Ya Count 36 15 51

% within Vitamin A Baru 70,6% 29,4% 100,0%


Total Count 78 26 104

% within Vitamin A Baru 75,0% 25,0% 100,0%


Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-


Value df sided) sided) sided)
a
Pearson Chi-Square 1,039 1 ,308
b
Continuity Correction ,628 1 ,428
Likelihood Ratio 1,041 1 ,308
Fisher's Exact Test ,368 ,214
Linear-by-Linear Association 1,029 1 ,310
222

N of Valid Cases 104

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 12.75.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate

95% Confidence Interval

Value Lower Upper

Odds Ratio for Vitamin A


1,591 ,649 3,899
Baru (Tidak / Ya)
For cohort Had diarrhea
1,123 ,897 1,405
recently = No
For cohort Had diarrhea
recently = Yes, last two ,706 ,359 1,388
weeks
N of Valid Cases 104
Hubungan Vaksinasi Campak dengan Diare
Vaksinasi Campak New * Had diarrhea recently Crosstabulation

Had diarrhea recently

Yes, last two


No weeks Total

Vaksinasi Campak New Tidak Count 34 8 42

% within Vaksinasi Campak


81,0% 19,0% 100,0%
New
Ya Count 20 6 26
223

% within Vaksinasi Campak


76,9% 23,1% 100,0%
New
Total Count 54 14 68

% within Vaksinasi Campak


79,4% 20,6% 100,0%
New
Chi-Square Tests

Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-


Value df sided) sided) sided)
a
Pearson Chi-Square ,159 1 ,690
b
Continuity Correction ,008 1 ,928
Likelihood Ratio ,158 1 ,691
Fisher's Exact Test ,762 ,458
Linear-by-Linear Association ,157 1 ,692
N of Valid Cases 68

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 5.35.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate

95% Confidence Interval

Value Lower Upper

Odds Ratio for Vaksinasi


1,275 ,386 4,208
Campak New (Tidak / Ya)
For cohort Had diarrhea
1,052 ,814 1,360
recently = No
224

For cohort Had diarrhea


recently = Yes, last two ,825 ,323 2,110
weeks
N of Valid Cases 68
225

Anda mungkin juga menyukai