Anda di halaman 1dari 98

SKRIPSI

LATAR BELAKANG KEJAHATAN PEMBUNUHAN YANG DILAKUKAN


OLEH WANITA SERTA PEMBINAANNYA DI LEMBAGA
PEMASYARAKATAN WANITA KLAS II A SUNGGUMINASA

Oleh:
Rinaldi Rusman
B 111 06 262

BAGIAN HUKUM PIDANA


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2011
HALAMAN JUDUL

LATAR BELAKANG KEJAHATAN PEMBUNUHAN YANG DILAKUKAN

OLEH WANITA SERTA PEMBINAANNYA DI LEMBAGA

PEMASYARAKATAN WANITA KLAS II A SUNGGUMINASA

OLEH:
Rinaldi Rusman

B 111 06 262

Diajukan sebagai Tugas Akhir dalam rangka Penyelesaian


Studi Sarjana dalam Bagian Hukum Pidana
Program Studi Ilmu Hukum

Pada

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2011

i
PENGESAHAN SKRIPSI

LATAR BELAKANG KEJAHATAN PEMBUNUHAN YANG


DILAKUKAN OLEH WANITA SERTA PEMBINAANNYA
DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN WANITA
KLAS II A SUNGGUMINASA

Disusun dan diajukan oleh

RINALDI RUSMAN
B 111 06 262

Telah dipertahankan di hadapan Panitia Ujian Skripsi yang Dibentuk dalam rangka
Penyelesaian Studi Program Sarjana
Bagian Hukum Pidana Program Studi Ilmu Hukum
Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
Pada Kamis Tanggal 5 Mei 2011
Dan Dinyatakan Diterima

Panitia Ujian

Ketua Sekretaris

Prof. Dr. A. S. Alam Abd. Asis, S.H.,M.H.


NIP. 19450717 196902 1 001 NIP. 19620618 198903 1 002

An. Dekan
Pembantu Dekan I,

Prof. Dr. Ir. Abrar Saleng, S.H.,M.H.


NIP. 19630419 198903 1003

ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING

Diterangkan bahwa skripsi mahasiswa :

Nama : RINALDI RUSMAN

Nomor Induk : B 111 06 262

Bagian : Hukum Pidana

Judul : Latar Belakang Kejahatan Pembunuhan yang Dilakukan

Oleh Wanita Serta Pembinaannya di Lembaga

Pemasyarakatan Wanita Klas IIA Sungguminasa

Telah diperiksa dan disetujui untuk diajukan dalam ujian skripsi.

Makassar, April 2010

Pembimbing I Pembimbing I

Prof. Dr. A.S. Alam Abd. Asis, S.H.,M.H


NIP. 194507171969021001 NIP.196206181989031002

iii
PERSETUJUAN MENEMPUH UJIAN SKRIPSI

Diterangkan bahwa skripsi mahasiswa :

Nama : RINALDI RUSMAN

Nomor Induk : B 111 06 262

Bagian : Hukum Pidana

Judul : Latar Belakang Kejahatan Pembunuhan yang

Dilakukan Oleh Wanita Serta Pembinaannya di Lembaga

Pemasyarakatan Wanita Klas IIA Sungguminasa

Memenuhi syarat untuk diajukan dalam ujian skripsi sebagai ujian akhir

Program Studi.

Makassar, April 2010

a.n. Dekan
Wakil Dekan I,

Prof. Dr. Ir. Abrar Saleng, S.H, M.H.


NIP. 196304191989031003

iv
ABSTRAK

RINALDI RUSMAN (B 111 06 262), Latar Belakang Kejahatan


Pembunuhan yang Dilakukan Oleh Wanita Serta Pembinaannya di
Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas IIA Sungguminasa dibawah
bimbingan Prof. Dr. A.S. Alam selaku Pembimbing I dan Abd. Asis, S.H.,M.H
selaku Pembimbing II.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui latar belakang kejahatan


pembunuhan yang dilakukan oleh wanita dan untuk mengetahui cara
pembinaannya di lembaga pemasyarakatan wanita klas IIA Sungguminasa.

Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Gowa dengan memilih


instansi yang terkait dengan penelitian ini yaitu Lembaga Pemasyarakatan
Wanita Klas IIA Sungguminasa dan mengumpulkan data dengan
menggunakan metode Kepustakaan dan metode wawancara kemudian data
yang diperoleh dianalisis secara kualitatif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa latar belakang wanita melakukan


kejahatan pembunuhan dikarenakan adanya faktor-faktor seperti : lemahnya
penghayatan kepada agama, faktor pendidikan, faktor ekonomi, faktor
dendam atau jengkel, faktor membela diri dan faktor lingkungan, ataukah
dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling berkaitan satu sama lain.
Adapun pembinaan bagi narapidana wanita di Lembaga Pemasyarakatan
wanita Klas IIA sungguminasa antara satu dengan yang lain adalah sama
sesuai dengan hak-hak narapidana yang telah diatur dalam Undang-undang
nomor 12 tahun 1995 tentang pemasyarakatan, tak terkecuali bagi yang
melakukan kejahatan pembunuhan.

v
KATA PENGANTAR

Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabaraktu

Sesungguhnya ALLAh SWT senantiasa mengangkat derajat orang-

orang yang beriman dan berilmu.

Tiada kata yang patut diucapkan selain Puji syukur Alhamdulillah ke

hadirat ALLAH SWT atas limpahan curahan rahmat kasih-Nya, sehingga

penulis dapat menyelesaikan sebuah karya ilmiah dalam bentuk skripsi

dengan judul Latar Belakang Kejahatan Pembunuhan yang Dilakukan

Oleh Wanita Serta Pembinaannya di Lembaga Pemasyarakatan Wanita

Klas II A Sungguminasa guna memperoleh gelar Sarjana Hukum Fakultas

Hukum Universitas Hasanuddin.

Dengan penuh kerendahan hati penulis haturkan terima kasih dan

penghargaan yang setinggi-tingginya kepada kedua orang tua tercinta.

Ayahanda Atjeng Rusman dan Ibunda St. Ramlah yang dengan segenap

jiwa dan raganya mendidik dan membesarkan penulis dengan penuh

kesabaran dan rasa kasih sayangnya, perhatian, pengorbanan, tetesan

keringat dan air mata serta doa yang tiada henti-hentinya, yang memberikan

nyawa baru kepada penulis setiap merasa jatuh dan terpuruk yang tidak

terbalas hingga akhir hayat. Juga saudara-saudariku Yadin Setiadi, S.T.,

vi
Restu Rusmalasari, S.S., dan Furqon hakim yang memberikan semangat dan

dukungan agar penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.

Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada bapak Prof. Dr. A. S.

Alam selaku pembimbing I dan Abd. Asis, S.H.,M.H. selaku pembimbing II

atas segala bimbingan, arahan transfer ilmu, tenaga, dan waktu yang

diberikan dalam mengarahkan penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah

banyak membantu baik moriil maupun materiil kepada :

1. Prof. Dr. Aswanto. S.H.,M.S., DFM selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Hasanuddin, Prof. Dr. Ir. Abrar Saleng, S.H., M.H. selaku

Pembantu Dekan I, Dr. Anshori Ilyas, S.H., M.H. selaku Pembantu

Dekan II dan Romi Librayanto, S.H., M.H. selaku Pembantu Dekan III.

2. Prof.Dr. Muhadar, S.H,M.H, Kaisaruddin, S.H,.M.H dan Hijrah

Indarayanti, S.H selaku penguji atas arahan, kritikan dan saran-

sarannya selama penulis ujian.

3. Ibu Sarlotha Merahabja B.C, IP S.H. selaku Kepala Pemasyarakatan

Wanita Klas II A Sungguminsa yang telah memberikan kesempatan

untuk melakukan penelitian di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas II

A Sungguminsa, Yusmarni, S.E. selaku Kasi Bimbingan Anak Didik di

Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas II A Sungguminsa, Hj. Indo

Tang, S.Sos. selaku Kasubag Tata Usaha di Lembaga Pemasyarakatan

Wanita Klas II A Sungguminsa atas kemudahan dan kelancaran dalam

vii
melakukan penelitian. Serta Penghuni lembaga Pemasyarakatan

selaku anak didik di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas II A

Sungguminsa yang telah banyak membantu dan memberikan informasi

terkait masalah penelitian pada kasus yang penulis angkat..

4. Para bapak dan ibu dosen serta segenap civitas akademika Fakultas

Hukum Universitas Hasanuddin yang telah memberikan ilmu,

pengalaman, pelajaran serta insipirasi yang sangat penting kepada

penulis

5. Kelurga Besar LORONG HITAM & khususnya angkatan 2006 : Ahmad,

Akbar S.H., Alfriardi S.H., Andi Sukarno Arsyad, S.H., Anjas Arie Sada,

Ashirady Syahrir, Budiamin, Dede Arwinsyah, S.H., Dito Astawansyah,

Eko Saputra, Fahmi Maskur, Faizal, Fathul Akbar S.H., Firman Qhadafi

S.H., Hajar Aswad S.H., Heru Paral, Ichzan Pranata Putra, Ikhsan

Ismail, S.H., Imam Budiarto S.H., Muh. Arfah S.H., Muh. Reza Syam,

S.H., Muh. Safri, S.H., Mutaharrik Pallimae, Ray Pratama Siadari, S.H., ,

Muh. Saifan Luthfi, S.H. Sulharman S.H. serta semua keluarga besar

Lorong Hitam Fakultas Hukum Unhas mulai dari angkatan 96 s/d 09

thanks atas segala dukungan serta kebersamaan kalian, canda tawa,

suka dan duka. Kalian semua adalah yang terbaik bagi penulis, yang

telah berbagi suka dan duka. Ingat, tidak akan ada yang dapat

menghancurkan kita dan semoga keindahan selalu bersama kita

semua.

viii
6. Semua teman-teman seperjuangan Eksaminasi 2006 dan teman-teman

Kuliah Kerja Nyata (KKN) Profesi Polsekta Ujung Pandang terima kasih

atas doa dan dukungannya.

7. Para staf dan pegawai akademik yang telah banyak membantu penulis.

8. Serta seluruh pihak yang tidak sempat penulis sebutkan satu persatu.

Penulis bukanlah seorang yang sempurna. Dengan segala

keterbatasan yang penulis miliki, penulis menyadari skripsi ini jauh dari

kesempurnaan sehingga saran dan kritik yang sifatnya konstruktif akan

menjadi masukan yang sangat berguna menuju kesempurnaan penulisan ini.

Tidak lupa pula penulis mohon maaf atas segala kekhilafan.

Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Makassar, Mei 2011

Penulis

ix
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................................... i


HALAMAN PENGESAHAN............................................................... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING........................................................ iii
PERSETUJUAN MENEMPUH UJIAN SKRIPSI………………………. iv
ABSTRAK…………………………………………………………………. v
UCAPAN TERIMA KASIH………………………………………………. vi
DAFTAR ISI………………………………………………………………. ix

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang......................................................... 1

B. Rumusan Masalah ................................................... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................ 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Kejahatan Pembunuhan ......................................... 9

1. Pengertian Kejahatan ........................................ 9

2. Pembunuhan ..................................................... 23

3. Pengertian Wanita ............................................. 37

B. Pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan .............. 38

1. Pembinaan .............………………………………. 38

2. Lembaga Pemasyarakatan ............................... 44

3. Sistem Pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan. 50

x
BAB III METODE PENELITIAN

A. Lokasi Penelitian ...................................................... 55

B. Jenis dan Sumber Data ............................................ 55

C. Teknik Pengumpulan Data ....................................... 55

D. Analisis Data............................................................. 56

BAB IV PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Lembaga Pemasyarakatan Wanita

Klas II A Sungguminasa Latar Belakang Wanita Melakukan

Kejahatan Pembunuhan …. ................................ 59

B. Pembinaan Narapidana Yang Melakukan Kejahatan

Pembunuhan Di Lembaga Pemasyarakatan Wanita

Sungguminasa ……………………………………….. 71

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ....................................................... 84

B. Saran ....................................................... 85

DAFTAR PUSTAKA

xi
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum, sehingga

setiap kegiatan manusia atau masyarakat yang merupakan aktivitas

hidupnya harus berdasarkan pada peraturan yang ada dan norma-norma

yang berlaku dalam masyarakat. Hukum tidak lepas dari kehidupan

manusia karena hukum merupakan aturan untuk mengatur tingkah laku

manusia dalam kehidupannya karena tanpa adanya hukum kita tidak

dapat membayangkan akan seperti apa nantinya negara kita ini.

Kejahatan akan terus bertambah dengan cara yang berbeda-beda bahkan

dengan peralatan yang semakin canggih dan modern sehingga kejahatan

akan semakin meresahkan masyarakat.

Kejahatan dapat timbul di mana saja dan kapan saja. Bahkan

dapat dikatakan bahwa kejahatan itu terjadi hampir pada setiap

masyarakat. Namun karena sifatnya yang merugikan, maka adalah wajar

pula bilamana setiap masyarakat berusaha untuk mencegah dan

menanggulangi terjadinya kejahatan. Namun demikian hampir setiap hari

masyarakat, dihadapkan pada berita dan pembicaraan yang menyangkut

masalah kriminalitas.

1
Berdasarkan informasi berbagai massa media, baik media cetak

maupun elektronik, bahwa akhir-akhir ini tingkat kriminalitas menunjukkan

adanya kecenderungan untuk terus meningkat. Berbagai usaha untuk

menghapuskan kejahatan ini telah dicoba oleh negara-negara di dunia,

namun demikian usaha tersebut sampai saat ini baru berhasil

mengurangintensitas dan kualitasnya saja.

Lombrosso berpendapat bahwa yang namanya penjahat itu

mempunyai tipe-tipe tertentu, misalnya: wajahnya seram, dan matanya

merah menakutkan (Step Han Hurwits 1986 : 40). Namun demikian

kenyataannya tidak selalu yang dibayangkan orang. Bahkan belakangan

ini tidak jarang dijumpai adanya pria tampan yang menjadi penghuni suatu

Lembaga Pemasyarakatan karena terlibat dalam berbagai macam

kejahatan. Tidak hanya itu kaum wanita pun yang sesungguhnya lebih

banyak berperan sebagai makhluk pembawa kebaikan, ternyata juga

banyak yang meninggalkan sifat keibuannya, dengan melakukan berbagai

macam kejahatan.

Namun demikian, apabila dibandingkan baik secara

kuantitatif,maupun secara kualitatif,kejahatan yang dilakukan oleh kaum

wanita, rata-rata masih lebih rendah daripada yang dilakukan oleh kaum

pria. (Step han Hurwitz 1986 : 100).

Step Han Hurwits (1986:100) seperti penulis kutip dalam buku

kriminologi saduran Ny. Moeljatno mengemukakan bahwa kejahatan

2
wanita secara kualitatif maupun kuantitatif lebih rendah daripada yang

dilakukan kaum pria, hal ini disebabkan karena:

1. Biologik

Menurut pendapat ini bahwa, wanita secara fisik kurang kuat

atau lemah, dan karena ada kelainan-kelainan psikis yang khas yang

berhubung fungsinya sebagai jenis kelamin lain, sehingga kriminalitas

berkurang.

2. Sosiologik lebih realistis

a. Wanita lebih terlindung oleh lingkungan karena tempat bekerja di

rumah dengan tanggung jawab hanya mengenai rumah tangga .

b. Kurang minum-minuman keras.

Kejahatan yang dilakukan wanita biasanya kejahatan yang

tergolong dalam kejahatan ringan dan tidak profesional. serta dilakukan

dalam keadaan terpaksa yang didorong suatu keadaan dan kepentingan

yang amat sangat serta dilakukan secara mendadak .

Salah satu kejahatan yang sering terjadi, dan sangat meresahkan

dewasa ini adalah kejahatan pembunuhan. Biasanya kejahatan ini

dilakukan oleh kaum pria, walaupun ada juga wanita yang melakukan

pembunuhan, bahkan berdasarkan informasi dari berbagai media, ada

juga pembunuhan yang dilakukan oleh wanita lebih kejam dari pada yang

dilakukan oleh pria.

3
Kejahatan pembunuhan yang dilakukan oleh kaum wanita,

disebabkan oleh berbagai faktor.Adapun faktor-faktor yang menyebabkan

wanita melakukan kejahatan yaitu :

“Faktor sosial ekonomi seperti sistem ekonomi, perubahan harga pasar,

krisis, gaji, atau upah, pengangguran dan juga dapat dipengaruhi faktor-

faktor mental (agama), bacaan-bacaan harian, film (termasuk TV), serta

faktor pisik seperti iklim, tidak luput faktor-faktor pribadi (umur), peminum

(alkohol)”. (Hurwitz 1986:86-101)

Senada dengan pernyataan diatas, Soesilo (1985:58) dalam

bukunya yang berjudul kriminologi (pengetahuan tentang sebab-sebab

kejahatan) menyebutkan sebagai berikut:

Dari pengalaman sehari-hari kita ketahui, bahwa orang yang


dipidana itu sebagian besar terdiri dari pria. Hanya sebagian
kecil saja wanita masuk di dalam Lembaga Pemasyarakatan.
Rumah-rumah penjara, tempat-tempat penahanan di kantor-
kantor polisi dan lain sebagainya sebagian besar dibangun
terutama bagi kaum pria. Adanya Lembaga Pemasyarakatan
dan rumah-rumah tahanan wanita hanya satu dua saja . Kaum
wanita lebih kecil kemungkinannya untuk berbuat kejahatan.

Kemudian R. Soesilo (1985 : 59) menyebutkan bahwa kaum wanita

yang dipidana karena melakukan kejahatan jumlahnya lebih kecil dari

jumlah orang-orang terpidana.

Perlu juga disimak pendapat yang dikemukakan oleh Kartini

Kartono (1992:60) yang mengatakan sebagai berikut :

perbuatan kriminal yang dilakukan oleh beberapa anak gadis


yang disebabkan oleh emosi-emosi yang sangat kuat. Emosi

4
yang sangat kuat itu karena rasa rindu akan orang tua dan
kampung halamannya di desa. Oleh karena emosi yang
sangat kuat tersebut timbullah konflik-konflik batin dan
ketegangan-ketegangan yang sangat tinggi sehingga anak
gadis tersebut melakukan tindak kriminal berupa
pembunuhan atau bunuh diri.

Berdasarkan uraian tersebut, maka peran para penegak hukum

sangat penting terhadap penanganan kejahatan, khususnya kejahatan

pembunuhan. Proses penegakan hukum ini dimulai dari proses

penyidikan dan penyelidikan di kepolisian, setelah itu kejakasaan dan

dilanjutkan di Pengadilan, dan sebagai lembaga penegakan hukum

terakhir adalah Lembaga Pemasyarakatan.

Untuk itulah peran lembaga pemasyarakatan sangat diperlukan

sebagai upaya pencegahan atau penanggulangan kejahatan, di samping

rehabilitasi narapidana yang telah menjalani pidana dapat kembali ke

jalan yang benar dan nantinya dapat diterima masyarakat demi

pengayoman masyarakat dan negara.

Lembaga Pemasyarakatan menurut Undang-Undang nomor 12

tahun 1995 pasal 1 adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan bagi

Narapidana. Di lembaga ini mereka akan dibina supaya setelah selesai

proses pemidanaannya, dapat kembali serta dapat diterima di tengah-

tengah masyarakat serta keluarganya.

Sebagai lembaga pembinaan bagi narapidana, pasal 4 Undang-

undang nomor 12 tahun 1995 mengatur bahwa Lembaga

5
Pemasyarakatan ini didirikan di setiap ibukota kabupaten/kota, serta

dalam rangka pembinaan Lembaga Pemasyarakatan digolongkan atas

dasar: umur, jenis kelamin, serta lama pemidanaan.

Lembaga pemasyarakatan bukanlah suatu tempat pemidanaan

belaka, tetapi mempunyai fungsi sosial. Sistem pemasyarakatan

merupakan era baru dalam proses pembinaan narapidana. Sehingga

diharapkan narapidana yang menjadi penghuni lembaga pemasyarakatan

ini dapat dibimbing dan dituntun untuk menjadi warga negara yang baik,

bukan sebagai anggota masyarakat yang dirampas kemerdekaannnya

serta mendapat pengayoman.

Pembinaan narapidana wanita penting artinya bagi negara kita,

salah satunya adalah bagi pembangunan. Masalah pembinaan

narapidana wanita masih memerlukan perhatian yang serius baik fisik

maupun non fisik. Sebab wanita mempunyai rasa tanggung jawab dan

berperan aktif terhadap keluarganya (suami dan anak-anaknya),

masyarakat serta negara. Setelah keluar dari lembaga pemasyarakatan

mereka diharapkan dapat menunaikan tugas dan kewajibannya seperti

sediakala.

Karena dalam lembaga pemasyarakatan itu mereka telah

mendapatkan pembinaan, ketrampilan, ceramah agama, PKK, serta

senam kesegaran jasmani, hal ini sesuai dengan salah satu tujuan

6
lembaga pemasyarakatan yaitu, memulihkan kembali kesatuan hubungan

antara terpidana dengan masyarakat.

Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik untuk mengkaji

dan meneliti mengenai “Latar Belakang Kejahatan Pembunuhan yang

Dilakukan Oleh Wanita Serta Pembinaannya di Lembaga

Pemasyarakatan Wanita Klas II A Sungguminasa”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan atas latar belakang masalah tersebut diatas, maka

permasalahan yang timbul adalah sebagai berikut:

1. Apakah yang menjadi latar belakang wanita melakukan tindak

kejahatan pembunuhan?

2. Bagaimanakah sistem pembinaan di lembaga pemasyarakatan wanita

klas II A Sungguminasa yang melakukan kejahatan pembunuhan.?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Seiring dengan permasalahan yang telah dikemukakan diatas, maka

tujuan yang ingin dicapai oleh penulis adalah sebagai berikut :

1) Untuk mengetahui latar belakang wanita melakukan kejahatan

pembunuhan.

2) Untuk mengetahui sistem pembinaan narapidana wanita di

lembaga pemasyarakatan bagi pelaku kejahatan pembunuhan.

7
2. Manfaat Penelitian

a. Manfaat Praktis: Penelitian ini diharapkan dapat mamberikan

masukkan bagi peningkatan pembinaan narapidana di lembaga

pemasyarakatan, sehingga diharapkan setelah masa pemidanaan

selesai, mereka dapat diterima kembali dan berguna bagi

keluarganya dan masyarakat.

b. Manfaat Teoritis: diharapkan penelitian ini memberikan wawasan

mengenai latar belakang kejahatan pembunuhan yang dilakukan

oleh wanita.

8
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kejahatan Pembunuhan

1. Pengertian Kejahatan

Kejahatan adalah suatu “nama” atau “cap” yang diciptakan oleh

orang, untuk menilai perbuatan-perbuatan tertentu, sebagai perbuatan

kejahatan (Bawengan 1974 : 20). Si pelaku disebut penjahat. Oleh

karena penilaian itu berasal dari alam nilai, maka kejahatan memiliki

pengertian yang relatif, yaitu tergantung kepada manusia untuk

memberikan penilaian itu. Secara yuridis formal, ukuran tentang

pelaku kejahatan, belum dicantumkan dalam Kitab Undang-undang

Hukum Pidana (KUHP). Jadi apa yang disebut kejahatan belum berarti

selalu harus diakui oleh pihak-pihak lain sebagai kejahatan pula. Hal

ini sangat erat kaitannya dengan situasi dan dinamika masyarakat.

Bawengan membedakan 3 jenis kejahatan menurut

penggunaan (Bawengan 1974 : 21), yaitu :

a. Pengertian secara praktis

Kejahatan dalam “arti Praktis” adalah suatu pengertian yang timbul

dari dan ditimbulkan oleh anggota masyarakat, atau sesuatu

kelompok.

9
b. Pengertian secara religius

Kejahatan dalam arti “religius” sering dikaitkan dengan pengertian

kejahatan sebagai dua faktor yang saling bertentangan. Sebaliknya

dipercayai pula bahwa apa yang disebut kebaikan itu datangnya

dari Allah (Tuhan), sedangkan apa yang disebut kejahatan itu

berasal dari roh jahat atau iblis atau setan. Kejahatan dalam arti

religius itu mengidentikan arti kejahatan dengan dosa dan setiap

dosa terancam dengan hukuman api di neraka terhadap jiwa yang

berdosa.

c. Pengertian secara yuridis

Kejahatan dalam arti yuridis dapat dibaca misalnya di dalam sistem

Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Kitab Undang-undang

Hukum Pidana membedakan antara perbuatan-perbuatan yang

tergolong dengan dalam kejahatan dan pelanggaran. Kejahatan

adalah segala perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan-

ketentuan dari buku kedua KUHP. Jadi tidak semua perbuatan

dapat dikategorikan kejahatan.

Menurut Bambang Pernomo S.H. kejahatan menurut hukum

dapat dinyatakan sebagai perilaku yang merugikan terhadap

kehidupan sosial, atau perilaku yang bertentangan dengan ikatan

sosial, atau perilaku yang tidak sesuai dengan pedoman hidup

bermasyarakat (Nico Ngani 1985 : 36-37).

10
Unsur-unsur kejahatan menurut pendapat Sutherland dalam

buku Hurwitz (1986: 136) adalah sebagai berikut :

1. Suatu nilai yang dijunjung oleh suatu golongan yang secara

politis mempunyai kedudukan penting ;

2. Anggota-anggota golongan yang cenderung membahayakan

nilai tersebut;

3. Untuk melindungi nilai tersebut golongan 1 harus

menerapkan paksaan sampai batas tertentu terhadap

golongan 2.

Berdasar hal yang telah dikemukakan diatas, maka

pembunuhan merupakan suatu peristiwa yang bertentangan atau

antagonistis dengan asas-asas hukum. Dengan kata lain, terjadilah

suatu delik hukum.

a. Latar belakang Kejahatan

Latar belakang orang melakukan kejahatan sebagaimana

dikemukakan oleh Step Han Hurwitz terdiri atas latar belakang

biologik serta latar belakang sosiologik.

1) Latar Belakang Secara Biologik

Menurut Kinberg, dalam buku karya Stephan Hurwitz,

kecenderungan watak seorang yang secara biologik

ditentukan, tergantung faktor-faktor keturunan agar

11
menghasilakan reaksi tertentu terhadap perangsang-

perangsang tertentu. (Hurwitz 1986:35)

Sedangkan Step Han Hurwitz (Hurwitz 1986:35)

berpendapat bahwa seluruh pembawaan keturunan tidak

diwariskan tanpa perubahan dari satu generasi ke

generasi/keturunan yang lain. Tapi dari setiap garis

keturunan diwariskan sejumlah gen-gen yang disusun dalam

gabungan yang berbeda untuk tiap makhluk baru.

Menurut Hurwitz (1986 : 49) latar belakang biologik dari

kejahatan antara lain:

a) Genotype dan Phenotype

Genotype ialah warisan sesungguhnya, phenotype

ialah pembawaan yang berkembang. Apa yang

diteruskan seseorang sebagai pewarisan kepada

generasi yang berikutnya tergantung dari genotype, apa

yang ditampakkan dari luar adalah penotype, yaitu hasil

dari pembawaan yang diwaris dari orang tuanya dengan

pengaruh-pengaruh dari luar.

b) Pembawaan dan Kepribadian

Menurut peristilahan teori keturunan, pembawaan

berarti potensi yang diwariskan saja dan kepribadian

berarti propensiti/ bakat-bakat yang dikembangkan.

12
c) Lingkungan

Seperti halnya pembawaan, lingkungan merupakan

suatu faktor yang potensial, artinya mengandung suatu

kemungkinan untuk memberi pengaruh dan terwujudnya

kemungkinan ini, tergantung susunan pembawaan dan

lingkungan.

d) Epilepsi

Menurut Lombrosso dalam buku karya Hurwits

(1986:47), Epilepsi dan kejahatan merupakan gejala

yang erat berhubungan. Hal ini diperkuat oleh

kesimpulan bahwa berdasar pengamatannya mengenai

terjadinya kriminalitas pada sanak keluarga (relatives)

orang epileptik yaitu bahwa keturunan epileptik, lebih

banyak meliputi orang-orang yang terutama mempunyai

kecenderungan ke arah kejahatan yang mengandung

kekerasan dan kejahatan seks.

e) Psikopati (penyimpangan kepribadian)

Exner dalam Hurwits (1986:49) berpendapat bahwa ada

bukti nyata tentang adanya korelasi yang di warisi antara

psikopati dan kejahatan, bahwa residivis punya

derajad/nilai cacat psikopatik yang tinggi dan langsung.

13
2) Latar Belakang secara Sosiologik

Stephan Hurwitz berpendapat: Ada hubungan timbal balik

antara faktor-faktor umum sosial politik dan bangunan

kebudayaan dengan jumlah kejahatan dalam lingkungan itu,

baik dalam lingkungan kecil maupun besar. (Hurwitz

1986:86)

Menurutnya latar belakang kejahatan dari segi sosiologis

dapat dilihat dari tinjauan-tinjauan sebagai berikut: (Hurwitz

1986: 86-102)

a) Faktor-faktor ekonomi; Sistem ekonomi;

Menurut Step Han Hurwitz (1986 : 112) berikut ini :

”Faktor-faktor sungguhnya dari terjadinya kejahatan

adalah :

Kondisi-kondisi ekonomi buruk pada golongan rakyat

yang status sosial dan ekonominya rendah dan biasanya

mempunyai banyak anak. Hal ini disebabkan kurang

mendapatkan ketrampilan, lebih sering ganti pekerjaan,

lebih tinggi angka pengangguran, lebih rendah upahnya,

lebih buruk keadaan perumahan, lebih banyak kesukaran

ekonomi karena tidak sesuai penghasilan dan

pengeluaran dan lain-lain.

14
b) Faktor-faktor mental : agama;

Menurut Step Han Hurwits (1986:93) faktor mental

khususnya agama memang merupakan faktor yang

berpengaruh terhadap terjadinya kejahatan, hal ini dapat

dilihat dari pendapat Hurwits sebagai berikut :

”...memang merupakan fakta bahwa norma-norma etis


yang secara teratur diajarkan oleh bimbingan agama
dan khusus bersambung pada keyakinan keagamaan
yang sungguh membangunkan secara khusus
dorongan-dorongan yang kuat untuk melawan
kecenderungan-kecenderungan kriminil”.

c) Faktor-faktor pribadi : Umur;

Menurut Step Han Hurwitz bahwa faktor umur

merupakan faktor yang menyebabkan seseorang berbuat

kejahatan dapat dilihat seperti dalam kutipan berikut ini :

”Kecenderungan untuk berbuat anti sosial bertambah

selama masih sekolah dan memuncak antara umur 20

sampai 25, menurun perlahan-lahan sampai umur 40,

lalu meluncur dengan cepat untuk berhenti sama sekali

pada hari tua. Kurve/garisnya tidak berbeda dari garis

aktivitas lain yang tergantung dari irama kehidupan

manusia” (Step han Hurwits 1986 : 99)

15
d) Pendidikan;

Menurut Hurwits (1986:117), faktor pendidikan

berpengaruh terhadap terjadinya kejahatan,

sebagaimana pendapatnya berikut ini :

Ditinjau dari sudut kriminologi, faktor positif dari sekolah

adalah: Setiap sekolah yang baik membuat anak-anak

jadi tertib bersekolah sehingga secara langsung dan

tidak langsung membentuk pribadinya.

e) Ancaman

Faktor ancaman terkait dengan rasa takut menurut

tuntutan hidup berdasarkan pendapat Hurwits (1986:122)

adalah :

seseorang melakukan kejahatan bukan karena


kehendaknya sendiri, tetapi menurut tuntutan hidup
dapat disebabkan oleh : Karena kecenderungan,
kelemahan, karena nafsu/ gelora/ cinta, kehormatan,
kekurangan.

b. Faktor-faktor Penyebab Kejahatan

W.A. Bonger (1982 : 73-142), dalam bukunya yang

berjudul “Pengantar Tentang Kriminologi”, membagi penyebab

terjadinya kejahatan itu atas empat mashab menurut

perkembangan sejarahnya, yaitu :

16
1). Mashab Itali atau mashab Antropologi, adalah aliran yang

mempelajari tentang penyebab terjadinya kejahatan dari

keadaan fisik si pelaku.

2). Mashab Perancis atau mashab lingkungan, adalah aliran

yang mempelajari penyebab terjadinya kejahatan dari

keadaan lingkungan si pelaku.

3). Mashab Bio-Sosiologis, adalah aliran yang mempelajari

penyebab terjadinya kejahatan atau tindak pidana dari

unsur-unsur yang terdapat dalam individu, masyarakat dan

keadaan fisik.

4). Mashab Spiritualis atau Mashab Neo-Spiritualis, dalah

aliran yang mempelajari tentang penyebab terjadinya

kejahatan dari unsur agama, unsur kerohanian punya arti

penting dalam terjadinya kejahatan.

Pendapat mengenai penyebab terjadinya kejahatan juga

diuraikan oleh beberapa pakar hukum, yang memiliki beraneka

ragam pendapat tentang penyebab terjadinya kejahatan,

sebagaimana yang diungkapkan oleh Moelyo (1992 : 144) :

1). Sutherland : berpendapat bahwa, kejahatan berakar pada

organisasi masyarakat dan adalah suatu expresi atau

pencerminan organisasi masyarakat itu sendiri.

17
2). William Healily : menyatakan, bahwa konflik jiwa

merupakan sumber dari adanya kejahatan.

3). Plato : berpendapat, bahwa kekayaan yang belimpah atau

kemiskinan merupakan bahaya bagi moral dan kesusilaan.

4). Mashab Perancis : menyatakan bahwa, kejahatan timbul

dari faktor kemasyarakatan, faktor iklim dan faktor sosial.

Berdasarkan mashab-mashab tersebut, bahwa kejahatan

dapat disebabkan oleh berbagai macam faktor.

Schaffenburg menggolongkan faktor terjadinya kejahatan

atau tindak pidana disebabkan, karena:

1). Pelakunya kebetulan mempunyai kesempatan.

2). Kejahatan itu telah direncanakan.

3). Kejahatan merupakan suatu pencaharian

Tentang faktor-faktor penyebab terjadinya kejahatan

sebenarnya banyak dikemukakan oleh para pakar hukum, yaitu

kaum mashab. Seperti halnya kaum mashab lingkungan.

Menurut kaum mashab lingkungan dinyatakan bahwa :

1.Lingkungan memberikan kesempatan akan adanya kejahatan.

2. Lingkungan pergaulan memberikan contoh atau teladan.

3. Lingkungan ekonomi (kemiskinan dan kesengsaraan) juga

mempunyai pengaruh.

18
4. Demikian juga dengan lingkungan pergaulan yang berbeda-

beda.

Bonger di dalam buku Step han Hurwits (1986: 22) dalam

penelitiannya mengumpulkan 7 faktor lingkungan sebagai

penyebab kejahatan, antara lain:

1. Terlantarnya anak-anak

2. Kesengsaraan

3. Nafsu ingin memiliki

4. Demoralisasi sexuil

5. Alkoholisme

6. Kurangnya peradaban

7. Perang

Faktor lingkungan memang tidak hanya apa yang

dikemukakan oleh Bonger, masih banyak lagi dan juga ada

yang menyanggah pendapat tersebut. Sebab-sebab kejahatan

tidak hanya faktor lingkungan, tapi juga faktor biologi yang

melekat pada pribadi seseorang baik itu psikologis, atau

kejiwaan.

1. Kelompok yang bersifat primair: pada umumnya mereka

sangat impulsif, reaksinya cepat dan amat peka terhadap

penghinaaan-penghinaan, mereka sering tidak bisa

menahan diri terhadap gejolak jiwa dan keinginan-keinginan

19
yang mendadak. Amat sukar menyesuaikan diri dengan

pekerjaan yang rutin atau menjemukan, oleh karena itu

mereka sering berganti pekerjaan. Malahan sering tanpa

pekerjaan dan hidup dalam kemiskinan. Mereka selalu

merasa kosong hati, lalu cenderung mencari perangsang-

perangsang yang kuat seperti minum-minuman keras,

berjudi, dan melakukan perbuatan-perbuatan yang banyak

mengambil resiko dan berbahaya. Mereka ini merupakan

golongan tipe yang dikuasai die Souveranitat des

Augenbliks.

2. Type pemilik kecenderungan-kecenderungan egoistis yang

hebat: Mereka merupakan kelompok penjahat yang kejam,

kepala dingin dengan dipikir dan dirancang terlebih dahulu.

3. Type yang sentimentil dan memiliki kecenderungan-

kecenderungan yang altruistis: karena perasaan yang

meluap-luap dan motif yang emosionil mereka melakukan

kemaksiatan dan pembunuhan. Misalnya pembunuhan

keluarga, anak istri atau suami karena cita-citanya hendak

membebaskan keluarganya dari kemiskinan atau

kehancuran mengancam mereka. Emosinya sangat besar,

hingga sering mereka itu amat takut bayangan-bayangan

dan pikirannya sendiri. Contoh-contoh lain ialah penjahat-

20
penjahat yang suka membakar karena dorongan perasaan

hati yang sunyi rasa kerinduan. Oleh aktivitasnya yang amat

sedikit dan perasaannya yang berlebih-lebihan hal ini

membuat mereka tidak pernah berani mengatasi segala

kesukaran dalam hidupnya, dan tidak mampu mencari jalan

keluar. Dalam keputus-asaan dan kebinasaan, lalu mereka

melakukan kejahatan-kejahatan.

4. Tipe yang neverous : mereka sering bertingkah laku yang

histeris, selalu gelisah dan dikejar-kejar oleh macam-macam

dorongan perasaan. Dalam golongan ini termasuk

pembunuh-pembunuh yang tidak mempunyai belas kasih

pada sesama hidup. (Kartini Kartono 1974 :50-151)

Dalam ilmu jiwa dapat dipelajari berbagai type manusia,

khususnya yang berhubungan dengan kejahatan atau yang

mengarah kepada suatu kejahatan. Misalnya type manusia

yang cepat marah, akan difitnah dan sebagainya. Hal tersebut

karena dorongan jiwa, seperti juga kejahatan pembunuhan,

misalnya pembunuhan bayi (anak kandungnya sendiri) hal

tersebut akibat perasaan yang gelisah, takut, pemalu lebih-lebih

perasaan kalut. Di dalam faktor-faktor yang menimbulkan

terjadinya kejahatan atau tindak pidana telah banyak sarjana

yang menguraikannya sesuai dengan bidang keahliannya

21
masing-masing. Jadi dalam mencari sebab-sebab terjadinya

kejahatan akan dijumpai berbagai macam faktor,dimana suatu

faktor tertentu dapat menimbulkan suatu kejadian tertentu,

sedangkan faktor lain menimbulkan jenis kejahatan yang lain

pula.

Sebab-sebab terjadinya kejahatan ini adalah sangat

komplek. Dalam hal ini terlihat banyak sekali faktor-faktornya

dimana faktor yang satu dengan faktor yang lainnya saling

pengaruh-mempengaruhi. Secara umum dapatlah disebutkan

bahwa faktor-faktor yang menimbulkan kejahatan dibagi dalam

dua bagian, (Hari Saherodji 1980:35) yaitu:

a. Faktor Intern (faktor-faktor yang terdapat pada individu).

Faktor ini dilihat khusus dari individu-individu serta dicari hal-

hal yang mempunyai hubungan dengan kejahatan.Hal ini

dapat ditinjau dari sifat-sifat umum dan sifat-sifat khusus dari

individu.

b. Faktor Extern (faktor-faktor yang berada di luar individu).

Faktor-faktor extern ini berpokok pangkal pada lingkungan.

Faktor-faktor extern inilah menurut para sarjana merupakan

faktor yang menentukan atau yang mendominir perbuatan

individu ke arah suatu kejahatan.

22
Masalah faktor extern ini meliputi:

a. Waktu kejahatan

b. Tempat kejahatan

c. Keadaan keluarga dalam hubungannya dengan kejahatan

2. Pembunuhan

a. Pengertian Pembunuhan

Seperti diketahui bahwa pembunuhan, merupakan suatu

kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain. Pembunuhan

merupakan suatu perbuatan atau tindakan yang tidak manusiawi

dan atau suatu perbuatan yang tidak berperikemanusiaan, karena

pembunuhan merupakan suatu tindak pidana terhadap nyawa

orang lain tanpa mempunyai rasa kemanusiaan. Pembunuhan juga

merupakan suatu perbuatan jahat yang dapat mengganggu

keseimbangan hidup, keamanan, ketentraman, dan ketertiban

dalam pergaulan hidup bermasyarakat. Oleh karena itu,

pembunuhan merupakan suatu perbuatan yang tercela, ataupun

tidak patut.

Pengertian pembunuhan menurut Kamus Umum Bahasa

Indonesia, adalah perkara membunuh ; perbuatan (hal dan

sebagainya) membunuh. (Poerwadarminta 1976 : 169).

Pembunuhan secara yuridis diatur dalam pasal 338 KUHP,

yang mengatakan bahwa:

23
“Barang siapa dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain,

karena bersalah telah melakukan “pembunuhan” dipidana dengan

pidana penjara selama-lamanya lima belas tahun”.

Dikatakan melakukan tindak pidana pembunuhan dengan

kesengajaan, adalah apabila orang tersebut memang menghendaki

perbuatan tersebut, baik atas kelakuan maupun akibat atau

keadaan yang timbul karenanya. Namun juga mungkin tidak

dikehendaki sama sekali oleh pelakunya.

b. Jenis-jenis Pembunuhan

Tindak pidana pembunuhan merupakan kejahatan

terhadap nyawa. Pembunuhan terdiri dari beberapa jenis,

diantaranya :

1) Pembunuhan biasa (“Doodslag”).

Pembunuhan biasa ini sebagaimana biasa diatur dalam

pasal 338 KUHP, yang pada pokoknya berbunyi :

“Barang siapa dengan sengaja menghilangkan nyawa orang

lain, dihukum karena makar mati dengan hukuman penjara

selama-lamanya lima belas tahun”

Menurut R.Soesilo, dalam bukunya yang berjudul Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana beserta komentar-komentarnya

lengkap pasal demi pasal, mengatakan bahwa :

24
a) Kejahatan ini dinamakan “makar mati” atau “pembunuhan”

(doodslag). Di sini diperlukan perbuatan yang mengakibatkan

kematian orang lain, sedangkan kematian itu disengaja ,

artinya dimaksud , termasuk dalam niatnya.

b) Pembunuahan itu harus dilakukan dengan segera sesudah

timbul maksud untuk membunuh tidak dengan dipikir-pikir

lebih panjang. (Soesilo 1996: 240)

2) Pembunuhan yang direncanakan lebih dahulu (“Moord”).

Kejahatan ini diatur dalam pasal 340 KUHP, yang pada

pokok isinya adalah sebagai berikut :

”Barang siapa yang dengan sengaja dan dengan rencana lebih

dahulu merampas nyawa orang lain diancam karena

pembunuhan dengan rencana (“moord”), dengan pidana mati

atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu,

paling lama dua puluh tahun.”

Adapun yang menjadi unsur-unsur dari kejahatan yang

direncanakan terlebih dahulu (“moord”) ialah :

a) Perbuatan dengan sengaja ;

b) Perbuatan tersebut harus dilakukan dengan direncanakan

terlebih dahulu ;

c) Perbuatan tersebut dimaksud untuk menimbulkan matinya

orang lain.

25
Maksud direncanakan di sini, adalah antara timbulnya

maksud untuk membunuh dengan pelaksanaan itu, masih ada

tempo bagi si pembuat untuk dengan tenang memikirkan dengan

cara bagaimanakah pembunuhan itu dilaksanakan.

Dari kedua pasal tersebut, yaitu pasal 338 KUHP dan

pasal 340 KUHP tersebut dapat ditarik kesimpulan , bahwa yang

dimaksud dengan pembunuhan, adalah perbuatan sengaja yang

dilakukan orang terhadap orang lain dengan maksud untuk

menghilangkan nyawa tersebut.

Setelah penulis menguraikan tentang tindak pidana

pembunuhan, maka sekarang tiba saatnya penulis membahas

tentang bentuk-bentuk tindak pidana pembunuhan.

c. Bentuk-bentuk kejahatan Pembunuhan

Bentuk-bentuk kejahatan pembunuhan secara yuridis diatur

dalam Buku II, Bab XIX Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

Karena banyaknya bentuk-bentuk tindak pidana pembunuhan,

maka yang akan penulis bahas adalah bentuk-bentuk tindak pidana

pembunuhan yang ditur dalam pasal 338, 340, 341, dan pasal 342

Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

1) Berdasarkan Pasal 338 KUHP

Aturan dalam pasal 338 KUHP ini disebut juga dengan

“kejahatan Pembunuhan dalam Bentuk Pokok”.

26
Diatas telah dijelaskan bahwa tindak pidana

pembunuhan dalam bentuk pokok ataupun yang oleh

pembentuk Undang-undang telah disebut dengan kata

“doodslag” itu, diatur dalam pasal 338 KUHP. Sesuai dengan

rumusannya yang asli dalam bahasa Belanda, ketentuan

pidana yang diatur dalam pasal 338 KUHP ini berbunyi :

“Barang siapa dengan sengaja menghilangkan nyawa orang

lain karena bersalah telah melakukan “pembunuhan” dipidana

dengan pidana penjara selama-lamanya lima belas tahun “.

Tindak pidana pembunuhan merupakan suatu tindak

pidana materiil atau “materiil delict”, yaitu suatu tindak pidana

yang baru dianggap sebagai suatu tindak pidana apabila telah

selesai dilakukannya perbuatan yang dimaksud dan timbullah

akibat itu, dilarang atau tidak dikehendaki oleh undang-undang.

a) Unsur kesengajaan

Unsur kesengajaan ini adalah kesalahan dari tindak pidana

pembunuhan. Seperti kita ketahui bahwa dalam ilmu

pengetahuan hukum pidana, kesalahan itu ada 2 bentuk,

yaitu:

(1) Kesalahan dalam bentuk kesengajaan (“opzet atau

dolus”);

(2) Kesalahan dalam bentuk kelalaian (“culpa”).

27
Dalam teori ada 3 corak kesengajaan yang berlaku bagi

tindak pidana pembunuhan, ketiga corak tersebut adalah:

1) Kesengajaan sebagai maksud untuk mencapai suatu

tujuan (yang dekat) ; (“dolus directus atau opzet al

oogmerk”)

2) Kesengajaan dengan sadar kemungkinan (“dolus

eventualis atau voorwaardelijk opzet”)

3) Kesengajaan dengan sadar kepastian (“opzet wet

zekerheit sbewuszijn atau noodzaheidwustzijn”).

Untuk kesengajaan sebagai maksud, si pelaku memang

benar-benar menghendaki perbuatan dan akibatnya.

Kesengajaan dengan sadar kepastian ini, baru dianggap

ada apabila si pelaku dengan perbuatannya, tidak bertujuan

untuk mencapai akibat yang menjadi dasar dari tindak

pidana tersebut, tetapi ia tahu bahwa akibat itu pasti akan

mengikuti perbuatan tersebut. Dalam hal perbuatan

mempunyai akibat yaitu:

1. Akibat yang memang dituju pelaku.

2. Akibat yang tidak diinginkan tetapi merupakan suatu

keharusan untuk mencapai tujuan, akibat ini pasti timbul.

28
Sedangkan kesengajaan dengan sadar kemungkinan,

adalah keadaan tertentu yang semula mungkin terjadi,

kemudian benar-benar terjadi ini.

b) Unsur menghilangkan nyawa orang lain

Dalam pengertian menghilangkan nyawa orang lain terdapat

2 unsur, yaitu :

1) Adanya orang mati ;

2) Adanya perbuatan yang menyebabkan kematian itu.

2) Berdasarkan Pasal 340 KUHP

Pasal 340 KUHP ini disebut juga dengan “pembunuhan

dalam bentuk yang memberatkan”. Bentuk-bentuk pembunuhan

yang memberatkan ini diatur dalam pasal 340 KUHP. Faktor

yang menyebabkan pembunuhan yang diatur dalam pasal 340

KUHP ini menjadi lebih berat ancaman pidananya dari

pembunuhan pokoknya, ialah karena pelaksanaannya

dilakukan dengan direncanakan terlebih dahulu, dan juga

adanya tempo bagi si pelaku untuk dengan tenang

memikirkannya. Misalnya dengan cara bagaimanakah

pembunuhan itu dilakukan yang sebenarnya, tempo itu dapat

dipergunakan untuk membatalkan niatnya, tetapi tidak

dipergunakan.

29
Pasal 340 KUHP :

“ Barang siapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu

merampas nyawa orang lain diancam karena pembunuhan

dengan rencana (moord), dengan pidana mati atau pidana

penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama

dua puluh tahun”.

Dari rumusan ketentuan tindak pidana pembunuhan

dengan direncanakan lebih dahulu diatas dapat diketahui bahwa

tindak pidana pembunuhan sebagaimana yang dimaksud dalam

pasal 340 KUHP itu mempunyai unsur-unsur sebagai berikut :

a. unsur dengan sengaja ;

b. unsur menghilangkan nyawa seseorang ;

c. unsur direncanakan terlebih dahulu.

Dalam buku “Delik-delik khusus” , karangan P.A.F

Lamintang (1985:44) dikatakan adanya kenyataan, bahwa :

Antara waktu penyusunan suatu rencana dengan waktu


pelaksanaannya itu terdapat suatu jangka waktu tertentu ‘tidak
berarti’ bahwa dalam hal ini selalu terdapat suatu unsur
direncanakan lebih dahulu karena dalam jangka waktu tersebut
mungkin saja pelakunya tidak mempunyai kesempatan sama
sekali untuk mempertimbangkan secara tenang mengenai apa
yang telah ia rencanakan.

Pembunuhan yang terdapat pada pasal 340 ini,

dinamakan pembunuhan yang direncanakan terlebih dahulu

atau disebut juga “moord”.

30
Menurut P.A.F. Lamintang dalam bukunya “Delik-delik

khusus” ditegaskan, bahwa ada perbandingan antara tindak

pidana yang diatur dalam pasal 338 KUHP dengan pasal 340

KUHP, bahwa secara formal perbedaannya terletak pada ada

dan tidak adanya unsur direncanakan terlebih dahulu.

Untuk mengetahui sebenarnya tentang perbedaan antara

“doodslag” dan “moord” seperti yang dimaksud dalam kitab

undang-undang kita, perlu kiranya kita mengetahui pendapat

Mr. Moderman yang pada waktu KUHP kita dibentuk menjabat

sebagai Menteri Kehakiman Belanda:

“Perbedaan antara “doodslag” dan “moord” sama sekali

bukan terletak pada jangka waktu tertentu, yang terdapat antara

“waktu pengambilan keputusan” dengan “waktu

pelaksanaannya”, melainkan terdapat dalam sikap kejiwaan

atau pemikiran tentang perilaku selanjutnya dari si pelaku

setelah pada dirinya timbul maksud untuk melakukan

sesuatu”.(Lamitang 1985 :48)

3) Berdasarkan Pasal 341 KUHP

Pasal 341 KUHP ini disebut dengan “pembunuhan dalam

bentuk yang lebih ringan dari bentuk pokoknya”. Faktor yang

menyebabkan pembunuhan yang diatur dalam pasal ini menjadi

ringan ancaman pidananya daripada pembunuhan dalam

31
bentuk pokoknya, adalah keadaan batin si pelaku, yaitu si ibu

yang melakukan pembunuhan terhadap anaknya sendiri. Anak

yang menjadi obyek pembunuhan itu biasanya adalah anak

yang didapat dari berzina atau hubungan kelamin yang tidak

sah. Seorang wanita yang hamil diluar perkawinan yang sah,

akan menerima beban psikologis berupa cemoohan dan ejekan.

Semakin lama ia akan semakin mengalami konflik-konflik batin

dan ketegangan-ketegangan jiwa yang sangat tinggi, sehingga

untuk mengatasi konflik-konflik dan ketegangan-ketegangan

jiwanya ini dia ia akan menghilangkan nyawa anaknya yang

dilahirkan atau kelak dilahirkan.

Jadi konflik batin dan ketegangan jiwa yang begitu kuat

dirasakan oleh si ibu atau wanita tersebut telah membuat dia

menderita, maka ancaman pidana untuk si ibu atau wanita yang

melakukan tindak pidana pembunuhan yang diatur dalam pasal

341 KUHP ini, lebih ringan dari pada pembunuhan dalam

bentuk pokok, yaitu yang diatur dalam pasal 338 Kitab Undang-

undang Hukum Pidana.

Pasal 341 KUHP :

Seorang ibu yang karena takut akan ketahuan melahirkan anak,

pada saat anak dilahirkan atau tidak lama kemudian, dengan

sengaja merampas nyawa anaknya, diancam karena

32
membunuh anak sendiri, dengan pidana penjara paling lama

tujuh tahun.

Dari rumusan pasal 341 KUHP ini, kita dapat

menemukan klasifikasinya, yaitu pembunuhan anak

(kinderdoodslag).

Unsur-unsur dari tindak pembunuhan anak yang diatur

dalam pasal 341 KUHP adalah sebagai berikut :

a) Unsur dengan sengaja ;

b) Unsur lainnya, yaitu :

(1) Seorang ibu

(2) Menghilangkan nyawa anaknya

(3) Pada saat dilahirkan atau tiada lama setelah dilahirkan

(4) Karena takut akan diketahui bahwa ia melahirkan anak.

Syarat terpenting dari pembunuhan ini adalah bahwa

pembunuhan anak itu dilakukan oleh ibunya dan didorong oleh

perasaan takut akan diketahui kelahiran anak tersebut. Apabila

syarat tidak ada, maka perbuatan ini dikenakan sebagai

pembunuhan biasa. Satu hal yang perlu diingat yaitu bahwa

anak yang menjadi obyek tindakan pembunuhan itu biasanya

anak yang didapat karena berzina atau hubungan kelamin

diluar perkawinan.

33
4) Berdasarkan Pasal 342 KUHP

Pasal 342 KUHP ini disebut dengan “tindak pidana

pembunuhan anak dengan direncanakan terlebih dahulu”, yang

berbunyi :

Seorang ibu yang untuk melaksanakan niat yang ditentukan

karena takut akan ketahuan bahwa akan melahirkan anak, pada

saat anak dilahirkan atau tidak lama kemudian merampas

nyawa anaknya, diancam karena melakukan pembunuuhan

anak sendiri dengan rencana, dengan pidana penjara paling

lama sembilan tahun.

Dari rumusan ini pun dapat kita dapatkan, bahwa

klasifikasinya adalah pembunuhan anak sendiri dengan

rencana (kindermoord), dan mempunyai unsur-unsur sebagai

berikut :

a) Unsur dengan sengaja ;

b) Unsur lainnya, yaitu :

(1) Seorang ibu,

(2) Menghilangkan nyawa anaknya,

(3) Direncanakan terlebih dahulu,

(4) Pada saat anak dilahirkan atau tiada berapa lama

sesudah dilahirkan atau tiada lama kemudian daripada

itu,

34
(5) Karena takut ketahuan bahwa ia tidak berapa lama lagi

akan melahirkan anak.

Jika kita teliti lebih jelas, kelihatan bahwa unsur-unsur

dari pada pasal 341 dan pasal 342 KUHP ini hampir sama,

kedua pasal ini berbeda dalam hal saat pembentukan niat. Niat

menghilangkan nyawa anaknya pada pasal 342 KUHP terjadi

atau timbul sebelum anaknya lahir (tidak berapa lama lagi).

Jadi, dalam pasal 342 KUHP ada unsur direncanakan terlebih

dahulu.

Sedangkan pada pasal 341 KUHP, niat untuk

menghilangkan nyawa anaknya ini tidak pernah ada. Keputusan

untuk membunuh anaknya datang secara tiba-tiba, bertepatan

dengan saat kelahiran anaknya atau tidak berapa lama sesudah

itu, keputusan diambil karena adanya perasaan takut akan

ketahuan melahirkan anak.

Jadi suatu perbuatan menghilangkan nyawa seorang

anak baru diancam dengan ketentuan pasal 342 KUHP ini, jika

a) Pembunuhan tersebut dilakukan oleh seorang ibu terhadap

anaknya sendiri

b) Anak itu sedang dilahirkan atau tidak berapa lama sesudah

dilahirkan,

35
c) Dengan alasan ibu dari anak itu didorong oleh perasaan takut

akan ketahuan bahwa ia akan melahirkan anak,

d) Niat untuk melakukan tindakan itu telah ada sebelum

anaknya dilahirkan (telah direncanakan terlebih dahulu).

Dalam ketentuan ini pun syarat yang terpenting, yakni

pembunuhan itu dilakukan oleh ibunya dan didorong oleh

perasaan takut, serta niat untuk melakukan tindakan itu telah

ada sebelum anaknya lahir. Anak yang menjadi obyek

pembunuhan sesuai dengan pasal 342 KUHP, ini pun biasanya

anak yang didapat dari berzina atau hubungan kelamin yang

tidak sah.

Sebenarnya antara pasal 342 dan pasal 340 KUHP,

terdapat suatu persamaan. Persamaannya yaitu dalam kedua

pasal tersebut, pembunuhan itu dilakukan dengan direncanakan

terlebih dahulu. Meskipun dalam kedua pasal ini mengandung

persamaan, namun kedua pasal ini pun juga mengandung

perbedaan, yaitu dalam hal pembentukan niat untuk

menghilangkan nyawa itu. Adapun perbedaan antara pasal 342

KUHP dan pasal 340 KUHP, adalah sebagai berikut :

a) Dalam ketentuan pasal 342 KUHP, adalah :

Pembentukan niat dalam pasal ini, untuk menghilangkan

nyawa karena perasaan takut, yaitu takut ketahuan

36
melahirkan anak atau denagan kata lain bahwa niat atau

kehendak untuk menghilangkan nyawa timbul dalam

keadaan tenang namun ada perasaan takut.

b) Sedangkan dalam ketentuan pasal 340 KUHP, adalah :

Pembentukan niat dalam pasal ini direncanakan dalam

keadaan tenang, dipikir-pikir terlebih dahulu untuk

menghilangkan nyawa orang lain.

Demikianlah uraian mengenai bentuk-bentuk tindak

pidana pembunuhan yang terdapat dalam pasal 338, 340, 341

dan pasal 342 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

3. Pengertian Wanita

Wanita adalah seseorang yang telah dikodratkan oleh Tuhan,

berjenis kelamin biologis (seks) sebagai perempuan yang berciri-ciri

menyusui, haid, dan melahirkan serta memiliki rahim tidak dapat

berubah, dipertukarkan, dan berlaku sepanjang masa. (Kementrian

Pemberdayaan Perempuan 2002 : 8).

Wanita merupakan kaum yang secara fisik kurang kuat

dibandingkan kaum pria, dan secara psikologis lebih banyak

menggunakan perasaan dan lemah lembut penuh kasih sayang, oleh

karena itu kejahatan yang dilakukan oleh kaum wanita, biasanya

dilakukan karena keterpaksaan.

37
Sedangkan sebab-sebab kejahatan yang dilakukan oleh wanita

secara kuantitatif lebih rendah daripada yang dilakukan oleh kaum

pria,menurut pendapat Stephan Hurwitz adalah:

1. Secara biologik:

Karena wanita secara pisik kurang kuat, dan karena ada kelainan-

kelainan pisikyang khas yang berhubungan fungsi-fungsinya

sebagai kelamin lain,sehingga kriminalitasnya berkurang.

2. Secara sosiologik :

1) Lebih terlindung oleh lingkungan karena tempat bekerja di

rumah dengan tanggung jawab hanya mengenai rumah tangga.

2) Kurang minum,minuman keras. (Hurwitz 1986 :100).

Para pelaku kejahatan akan dipidana sesuai dengan kejahatan

yang telah dilakukan dan akan memperoleh pembinaan serta

bimbingan di Lembaga Pemasyarakatan, begitu pula terhadap wanita

yang melakukan kejahatan.

B. Pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan

1. Pembinaan

Pembinaan terhadap narapidana dengan sistem

pemasyarakatan sebagai misi kemanusiaan dan pekerjaan besar

dalam politik kriminal, perlu sekali pemikiran yang mendalam terhadap

kesan-kesan seperti itu agar menjadi langkah awal dukungan yang

diharapkan dari masyarakat dan syarat pokok untuk

38
menyelenggarakan konsepsi “Community treatment” dalam

pemasyarakatan. (Bambang poernomo 1993 : 225)

Tetapi di jaman modern sekarang ini perkembangan pembinaan

narapidana sudah cukup manusiawi, sehat, bersifat realitas dan

progresif. Hal ini sudah tertuang dalam usul rencana kitab undang-

undang hukum pidana baru dari Badan Pembina Hukum Nasional

tahun 1987 dalam pasal 47, dimana tujuan pemidanaan adalah:

a. Pemidanaan bertujuan untuk:

1) Mencegah dilakukannnya tindak pidana dengan menegakkan

norma hukum demi pengayoman masyarakat.

2) Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan,

sehingga menjadikannnya orang yang baik dan berguna.

3) Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana serta

memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai

dalam masyarakat.

b. Pembinaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak

diperkenankan merendahkan martabat manusia. (Bambang

Poernomo 1988:33).

Hal ini dipertegas dengan undang-undang Nomor 12 tahun

1995 tentang sistem kemasyarakatan pasal 5 bab II mengenai

pembinaan, bahwa sistem pembinaan pemasyarakatan dilaksanakan

berdasarkan asas :

39
a. pengayoman;

b. persamaan perlakuan dan pelayanan;

c. pendidikan;

d. pembimbingan;

e. penghormatan harkat dan martabat manusia;

f. kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan;

g. terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan

orang-orang tertentu.

Tahap-tahap pembinanaan narapidana, menurut Bambang

Poernomo mulai periode institusi ( intra mural) dan terus beralih pada

periode non institusi (ekstra mural) sampai pada akhir proses

pembinaan diliputi oleh kegiatan yang penuh resiko. Namun demikian

arah pembinaan narapidana di luar tembok adalah rasional.

Pembinaan secara rasional harus berusaha keras untuk memperkecil

kesan Lembaga Pemasyarakatan merupakan kehidupan masyarakat

mini yang ditata dengan pola autoriter. ( Bambang Poernomo 1993 :

225)

Menurut Undang-undang Nomor 12 tahun 1995, penjelasan

pasal 6 pembinaan secara ekstra mural yang dilakukan di Lembaga

Pemasyarakatan disebut asimilasi, yaitu proses pembinaan warga

binaan masyarakat (narapidana) yang telah memenuhi persyaratan

tertentu dengan membaurkan mereka ke dalam kehidupan

40
masyarakat. Pembinaan secara ekstra mural juga dilakukan oleh

BAPAS ( Badan Pemasyarakatan) yang disebut integrasi, yaitu proses

pembibingan warga binaan pemasyarakatan yang telah memenuhi

persyaratan tertentu untuk hidup dan berada kembali di tengah-tengah

masyarakat dengan bimbingan dan pengawasan BAPAS.

Sedangkan berdasarkan penjelasan pasal 7 ayat (2) Undang-

Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang pemasyarakatan. Pembinaan

dan pembimbingan Warga binaan Pemasyarakatan meliputi program

pembinaan dan bimbingan yang berupa kegiatan pembinaan

kemandirian. Pembinaan kepribadian diarahkan pada pembinaan

mental dan watak agar Warga Binaan Pemasyarakatan menjadi

manusia seutuhnya, bertaqwa, dan bertanggung jawab kepada diri

sendiri, keluarga dan masyarakat. Sedangkan pembinaan bakat dan

ketrampilan agar Warga Binaan Pemasyarakatan dapat kembali

berperan sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung

jawab.

Demikian juga pembinaan terhadap narapidana wanita yang

sedang menjalankan pidananya mempunyai arti penting bagi

kehidupan mendatang, untuk itulah lembaga pemasyarakatan

diperlukan untuk perawatan pisik atau non pisik.

Untuk berhasilnya pembinaan terpidana diperlukan

perlengkapan-perlengkapan terutama bermacam-macam bentuk atau

41
bidang yang sesuai dengan tingkat pengembangan semua segi

kehidupan terpidana dan tenaga-tenaga pembina yang cukup cakap

dan penuh pengabdian.

Berdasarkan UU No. 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan,

pasal 7 bahwa pembinaan dan pembimbingan Warga Binaan

Pemasyarakatan diselenggarakan oleh Menteri dan dilaksanakan oleh

Petugas pemasyarakatan yang berdasarkan pasal 8 petugas

pemasyarakatan merupakan pejabat fungsional penegak hukum yang

melaksanakan tugas di bidang pembinaan, pengamanan, dan

pembimbingan warga Binaan Pemasyarakat.

Sedangkan metode pembinaan narapidana menurut Drs. C.I.

Harsono merupakan cara dalam penyampaian materi pembinaan ,

agar dapat secara efektif dan efisien diterima oleh narapidana dan

dapat menghasilkan perubahan dalam diri narapidana, baik perubahan

dalam berperilaku, atau dalam bertingkah laku. (Harsono 1995 :341)

Salah satu metode pembinaan menurut Harsono adalah

metode pembinaan berdasarkan situasi, dalam pembinaan

berdasarkan situasi (Situational treatment method) yaitu pembina

harus dapat merubah cara berpikir narapidana, untuk tidak tergantung

kepada situasi yang menyertai dalam pembinaan, tetapi harus

menguasai situasi tersebut, sehingga pembinaan dapat diterima

dengan baik, lengkap dan dapat dipahami secara sempurna. Dengan

42
menguasai situasi dalam pembinaan , maka petugas atau pembina

dapat memberikan dua pendekatan kepada narapidana, yaitu

(Harsono 1995 : 344-350):

a. Pendekatan dari atas (Top down approach)

b. Pendekatan dari bawah (Bottom up approach)

Perlu diperhatikan juga kapasitas maksimum dari sebuah

penjara sebab hal ini akan sangat mempengaruhi terhadap bentukan

karakter selanjutnya. seperti yang dikatakan (Koeshoen 1961:150) :

Seorang narapidana didalam kamar bersama dengan


sendirinya akan hilang rasa susilanya, rasa malunya, rasa
halusnya, “sehingga dalam keadaan yang sepi (menyendiri)
tersebut akan memberikan kesempatan bagi narapidana wanita
tersebut merenung dan berusaha untuk menganalisa apa-apa
yang telah dilakukan sehingga akan timbul rasa penyesalan
yang dalam dan berusaha memperbaiki segala apa yang telah
diperbuatnya.

Selanjutnya untuk menghapuskan rasa bosan yang tanpa

pengharapan tersebut, diperlukan latihan keahlian yang sesuai dengan

minat dan bakatnya. Serta pendidikan yang didukung dengan adanya

perpustakaan, sarana hiburan, pelajaran rohani yang diadakan secara

berkala dan teratur. Memang sangat penting memberikan pandangan-

pandangan dan menimbulkan rasa optimis bagi narapidana di

lembaga pemasyarakatan.

43
2. Lembaga Pemasyarakatan

Ilmu kriminologi bukan saja digunakan untuk mengetahui

sebab-sebab seseorang melakukan kejahatan, tapi juga dapat

digunakan dalam pencegahan dan penanggulangan kejahatan serta

pengawasan kejahatan, dengan demikian kuantitas kejahatan dapat

ditekan jumlahnya. Dalam hal ini ada dua metode pencegahan:

a. Pencegahan umum (general prevention) dengan program yang

umum dan luas untuk menghindarkan orang-orang supaya tidak

melakukan suatu perbuatan yang melanggar hukum. Dalam hal ini

sangat tergantung dari politik suatu negara dalam hal

memperkembangkan kesejahteraan rakyatnya. Metode ini bersifat

preventif. (pengertian pencegahan umum dalam batas yang luas).

b. Pencegahan khusus yaitu suatu usaha untuk mengurangi atau

menekan jumlah kejahatan dan berusaha melakukan atau berbuat

sesuatu kejahatan.

Metode ini bersifat represif.(Sanusi 1977:34)

Dalam hal ini pula Bonger menghendaki pencegahan yang

diutamakan menurutnya mencegah kejahatan adalah lebih baik dari

pada mendidik menjadi orang baik kembali.(Bonger 1962:192)

Untuk itulah penegakan hukum dan keadilan sangat diperlukan

ditengah-tengah masyarakat. Ada tiga komponen atau tiga

unsur/syarat yang memungkinkan hukum dan keadilan ditegakkan:

44
Pertama: Diperlukan adanya peraturan hukum yang sesuai dengan

aspirasi masyarakat

Kedua : Adanya aparat penegak hukum yang profesional dan

bermental tangguh atau memiliki integritas yang terpuji

Ketiga : Adanya kesadaran hukum masyarakat yang memungkinkan

dilaksanakannya penegakan hukum.

Dengan adanya pencegahan tersebut, yaitu yang bersifat

preventif atau represif diharapkan dapat mengurangi atau menekan

jumlah kejahatan baik yang dilakukan seseorang atau bekas

narapidana laki-laki atau wanita.

Pencegahan terjadinya kejahatan sangat penting dan harus

diutamakan karena perbuatan kejahatan atau tindak pidana akan

mengganggu perkembangan sektor-sektor sosial ekonomi atau

menganggu kesejahteraan sosial pada umumnya dalam pengertian

yang luas. Untuk itulah perlu dilakukan upaya pencegahan terhadap

pelaku kejahatan atau tindak pidana.

Sumber dasar pemikiran reaksi pidana berpola pada (1) ajaran

menuntut balas (revindicative) dan (2) ajaran hukuman (punitieve).

Pola yang kedua muncul karena alasan untuk menyempurnakan

kelemahaan dari pola yang pertama. Selanjutnya untuk memperbaiki

kelemahan yang terdapat dalam pola yang kedua juga dikembangkan

berbagai variasi teori pidana, antara lain berupa teori prevensi umum,

45
teori prevensi khusus, memperbaiki kerugian masyarakat,

mengasingkan si pembuat yang berbahaya dan lain-lain. (Bambang

Poernomo 1982 : 29-30)

Menurut pendapat Bambang Poernomo (1993 : 119) dalam

bukunya yang berjudul Pola Dasar Teori-Asas Umum Hukum Acara

Pidana & Penegakkan Hukum Pidana bahwa pembaharuan

pelaksanaan pidana penjara yang dikembangkan secara internasional

mempunyai konsepsi dasar atas dua prinsip tujuan pidana dengan

beberapa alternative variasinya :

a. Upaya pelaksanaan pidana penjara yang didasarkan

perikemanusiaan dengan cara memperluas usaha kelonggaran

pidana untuk menjauhkan pengaruh buruk tembok penjara.

Berbagai alternative dari upaya baru tersebut berupa bentuk

pidana bersyarat, pelepasan bersyarat, cuti bersyarat, serta

peningkatan remisi, asimilasi, integrasi/orientasi sosial lainnya

sampai bentuk pidana penjara ditempay terbuka (open prison)

b. Perlakuan cara baru terhadap narapidana dengan pendekatan

pembinaan di dalam masyarakat serta lingkungannya. Berbagai

usaha pembinaan yang mengandung unsur bimbingan dan

ketrampilan yang bersifat edukatif, korektif dan defensif serta

mencakup aspek individu dan sosial

46
Kedua prinsip pembaharuan pelaksanaan pidana penjara

tersebut merupakan suatu kebijaksanaan yang ditempuh oleh

masyarakat internasional untuk terpidana agar terhindar dari bahan

tiruan kejahatan yang dipelajari di dalam tembok diantara sesama

narapidana, dan disamping itu mengurangi stigma sosial, prisonisasi

serta residivis.

Sistem pemasyarakatan sebagai sub sistem penegakkan

hukum pidana harus mengandung tiga dimensi teori tujuan pidana

secara terpadu. Dengan demikian konsekuensinya adalah perlu

diusahakan pelayanan hukum sebagai bagian penegakkan hukum

yang diperluas untuk membantu pelaksanaan pidana penjara dan

menopang peranan dari petugas hukum di Lembaga Pemasyarakatan.

(B.Poernomo 1993 : 120)

Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995

tentang sistem kemasyarakatan yang dimaksud dengan sistem

kemasyarakatan sesuai pasal 1 ayat 2 adalah suatu tatanan mengenai

arah dan batas serta cara pembin warga binaan Pemasyarakatan

berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan antara pembina, yang

dibina, dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas warga binaan

Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan

tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh

lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan,

47
dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan

bertanggung jawab.

Pengertian Lembaga Pemasyarakatan sesuai pasal 1 ayat 3

Undang-undang nomor 12 tahun 1995 adalah tempat untuk

melaksanakan pembinaan narapidana

Sementara itu pada pasal 14 ayat 1 disebutkan tentang hak-hak

narapidana yaitu:

a. Melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya;

b. Mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun perawatan

jasmani;

c. Mendapatkan pendidikan dan pengajaran;

d. Mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak;

e. Menyampaikan keluhan;

f. Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa

lainnya yang tidak dilarang;

g. Mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan;

h. Menerima kunjungan keluarga, Penasihat Hukum atau orang

tertentu lainnya;

i. Mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi);

j. Mendapatkan kesempatan ber asimilasi, termasuk cuti

mengunjungi keluarganya;

k. Mendapatkan pembebasan bersyarat;

48
l. Mendapatkan cuti menjelang bebas;

m. Mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Disini peran lembaga pemasyarakatan memudahkan

pengintegrasian dan penyesuaian diri dengan kehidupan masyarakat.

Tujuannya: “Agar mereka dapat merasakan bahwa sebagai pribadi

dan warga negara Indonesia yang mampu berbuat sesuatu untuk

kepentingan bangsa dan negara seperti pribadi dan warga negara

Indonesia lainnya serta mereka mampu menciptakan opini dan citra

pemasyarakatan yang baik”.

Tentang sistem pemasyarakatan itu sendiri, Bambang

Poernomo (1982:183), berpendapat sebagai berikut:

Suatu elemen yang berinteraksi yang membentuk satu


kesatuan yang integral, berbentuk konsepsi tentang perlakuan
terhadap orang yang melanggar hukum pidana di atas dasar
pemikiran rehabilitasi, resosialisasi yang berisi unsur edukatif,
korektif, defensif dan yang beraspek pada individu dan sosial.

Seperti dalam pemasyarakatan tersebut, dinamakan stelsel

progresip, sehingga bentuk kejahatan itu sendiri akan mempunyai

klasifikasi sendiri, menurut jenis, motif, dan cara.

Pengertian progresip menurut Bahroedin adalah sebagai berikut:

Arti progresip adalah kemajuan dengan setingkat demi setingkat yang

terkandung di dalamnya adalah pemberian perbaikan nasib kepada

orang-orang terpenjara yang bersangkutan dengan secara menungkat

seimbang dengan tingkatan kemajuan dalam memperbaiki

49
kelakuannya, disertai dengan bertambah besarnya tanggung jawab

atas kelakuannya sendiri.(Bahroedin 1966:28).

Dengan demikian dapatlah diketahui betapa pesatnya

perkembangan yang telah terjadi dalam perlakuan kepada narapidana.

Koesnoer melihat asas kepenjaraan jaman dahulu seperti dibawah ini:

Mencegah prinsip kepenjaraan pada waktu itu ialah melindungi

masyarakat terhadap penjahat selama ia masih dalam rumah penjara.

Sehingga petugas penjara pada semua bagian akan melakukan tugas

pembinaan dengan latar belakang yang menjurus kepada agar

narapidana menjadi takut dan jera untuk melakukan kejahatan lagi

serta menjadi peringatan bagi masyarakat lain untuk tidak melakukan

kejahatan. Hal ini berakibat petugas yang berada di penjara akan

melakukan/ melaksanakan tugasnya dengan sewenang-wenang tanpa

perikemanusiaan. (Koesnoen 1952: 16).

3. Sistem Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan

Pembinaan narapidana adalah sebuah sistem. Sebagai suatu

sistem, maka pembinaan narapidana memiliki beberapa komponen

yang bekerja saling berkaitan untuk mencapai suatu tujuan. (Harsono

1995 : 5). Beberapa komponen-komponen tersebut antara lain;

falsafah, pendekatan sistem, klasifikasi, perlakuan terhadap

narapidana, dan orientasi pembinaan.

50
Falsafah pembinaan lembaga pemasyarakatan adalah

Pancasila. Kesepakatan nasional menggunakan Pancasila sebagai

falsafah dari semua segi dan pandangan hidup bangsa Indonesia,

sangat mendasari penggunaan falsafah ini. Sedangkan tujuan

pembinaan adalah pembinaan dan bimbingan, dengan tahap-tahap

admisi/orientasi, pembinaan dan asimilasi. Tahap admisi/orientasi

dimaksudkan, agar narapidana mengenal cara hidup, peraturan dan

tujuan dari pembinaan atas dirinya. Dalam tahap pembinaan,

narapidana dibina, dibimbing agar tidak melakukan tindak pidana di

kemudian hari apabila keluar dari Lembaga Pemasyarakatan. Asimilasi

dimaksudkan upaya penyesuaian diri, agar narapidana tidak menjadi

canggung bila keluar dari Lembaga Pemasyarakatan, apabila telah

habis pidananya atau bila mendapat pelepasan bersyarat, cuti

menjelang bebas, atau pembebasan karena mendapat remisi.

(Harsono 1995: 17)

Pada pendekatan sistem, dalam sistem pemasyarakatan

menurut Harsono (1995-14 ) adalah security aprroach, artinya

pendekatan keamanan masih merupakan bagian yang penting, sebab

itu narapidana diklasifikasikan menurut berat / ringannya tindak pidana

yang dilakukan,

51
Pada sistem perlakuan terhadap narapidana, konsepsi

pemasyarakatan telah menempatkan narapidana bukan hanya

sebagai obyek, melainkan memperlakukannya sebagai subyek.

Narapidana didudukkan sejajar dengan manusia lain serta harga diri

mereka lebih dibangkitkan. Perlakuan dan pengaturan yang keras

dikendorkan dan narapidana dibina, agar kelak setelah keluar tidak

lagi mengulangi perbuatannya dan bisa beradaptasi dengan

masyarakat.

Pada sistem perlakuan terhadap narapidana, konsepsi

pemasyarakatan telah menempatkan narapidana bukan hanya

sebagai obyek, melainkan memperlakukannya sebagai subyek.

Narapidana didudukkan sejajar dengan manusia lain serta harga diri

mereka lebih dibangkitkan. Perlakuan dan pengaturan yang keras

dikendorkan dan narapidana dibina, agar kelak setelah keluar tidak

lagi mengulangi perbuatannya dan bisa beradaptasi dengan

masyarakat.

Sedangkan pada sistem orientasi pembinaan, sifatnya adalah

bottom up approach. Sebagai bottom up approach maka pembinaan

terhadap seorang narapidana disesuaikan dengan bakat serta minat

seorang narapidana.

52
Sedangkan pada sifat pemberian pekerjaan kepada seorang

narapidana adalah lebih bersifat pemberian pembinaan dengan

melatih bekerja bagi narapidana, agar kelak keluar dari Lembaga

Pemasyarakatan dapat menerapkan kepandaiannya sebagai bekal

hidup dan tidak lagi melakukan tindak pidana. Namun kendala yang

dihadapi adalah setelah narapidana tersebut keluar ternyata banyak

perusahaan yang sulit menerima mereka bekerja di perusahaan, hal ini

dikarenakan perusahaan tersebut tidak mau mengambil resiko yang

mungkin timbul akibat memperkerjakan seorang mantan narapidana.

Apalagi tenaga lain yang bukan narapidana cukup tersedia di

masyarakat.

Komponen lain dalam pembinaan narapidana adalah sarana,

dan salah satu sarana yang terpenting adalah bangunan, khususnya

bentuk bangunan. Dalam sistem pemasyarakatan, semua bentuk

bangunan penjara masih tetap digunakan, hanya namanya saja yang

diubah menjadi Lembaga Pemasyarakatan.

Sedangkan elemen-elemen yang terkait dengan pembinaan di

Lembaga Pemasyarakatan meliputi:

a. Pemerintah / petugas.

b. Narapidana.

c. Masyarakat/ keluarga.

53
Pada sistem pemasyarakatan, narapidana diperlakukan sebagai

subyek pembinaan dan diperlakukan secara manusiawi. Tujuannya

tidak lagi sebagai pembalasan dan penjeraan, tetapi sebagain

pembinaan. Sebagai subyek narapidana, diberi kesempatan untuk

membina dirinya sendiri. (Harsono 1995: 36).

54
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Lokasi Penelitian

1. Dalam rangka penyusunan skripsi ini, maka penulis melakukan

penelitian di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas II A

Sungguminasa.

B. Jenis dan Sumber Data

Jenis dan sumber data yang akan digunakan dalam penelitian ini

dibagi atas dua jenis, yaitu :

1. Data primer

Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung melalui

wawancara dengan pihak-pihak yang terkait sehubungan dengan

penulisan skripsi ini.

2. Data sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui studi

kepustakaan sebagai data utama yang terdiri dari buku-buku,

laporan, hasil penelitian, jurnal ilmiah serta informasi dari berbagai

media dan literatur yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini.

C. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penyusunan skripsi

ini dilakukan dengan dua cara yaitu :

55
1. Observasi, yaitu pengumpulan data dengan melakukan

pengamatan langsung terhadap hal-hal yang berhubungan dengan

masalah yang di angkat dalam penyusunan skripsi ini.

2. Wawancara, yaitu kegiatan tanya jawab yang dilakukan secara

langsung atau tatap muka kepada pihak-pihak untuk mendapatkan

keterangan kongkrit dan relefan yang berhubungan dengan

masalah yang diangkat dalam penyusunan skripsi ini.

D. Analisis Data

Data yang diperoleh baik data primer maupun data sekunder

dianalisis kemudian disajikan secara kualitatif yaitu mengumpulkan data

primer dan data sekunder yang selanjutnya disajikan secara deskriptif

dengan menjelaskan dan menguraikan data tersebut secara terperinci.

56
BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas IIA

Sungguminasa.

Lembaga Pemasyarakatan Wanita klas II A sungguminasa terletak di

jalan Lembaga-Bolangi Dusun Tamalate Kecamatan Patallassang Kabupaten

Gowa. Berjarak 15 km dari Makassar dan beroperasional sejak tanggal 5

september 2007. Dibangun diatas lahan seluas 1.500 m2 dan berada

disamping kiri lembaga pemasyarakatan Narkotika. Lembaga

Pemasyarakatan ini berkapasitas tampung 268 orang tahanan/narapidana

dan mempunyai pegawai berjumlah 53 orang.

Lembaga Pemasyarakatan Wanita kelas IIA sungguminasa

merupakan Lembaga Penegakan Hukum terakhir, pada proses hukum.

Lembaga Pemasyarakatan ini sesuai tujuannya ialah sebagai tempat

pembinaan serta tempat pembimbingan bagi para pelanggar hukum yang

telah resmi menerima vonis pengadilan. Pembinaan narapidana meliputi

pembinaan kepribadian yang diantaranya terdiri atas perbaikan segi mental

dan rohani, pembinaan kesadaran berbangsa bernegara, pembinaan

kemampuan intelektual, seperti kejar paket A, serta pembinaan kesadaran

hukum. Kemudian meliputi juga pembinaan kemandirian yang terdiri atas

ketrampilan kerajinan tangan seperti; menyulam, menjahit, berkebun,

57
ketrampilan kecantikan seperti salon, serta ketrampilan yang mendukung

usaha-usaha industri, seperti masak-memasak. Selain itu Lembaga

Pemasyarakatan Wanita Sungguminasa juga mengadakan pembinaan yang

bersifat rekreasi, seperti olahraga, kesenian, bahkan kepramukaan.

Lembaga Pemasyarakatan dipimpin oleh seorang Kepala Lembaga

Pemasyarakatan (Kalapas), dalam menjalankan tugasnya, lembaga ini terdiri

atas bagian-bagian yang memiliki tugas serta kewenangan masing-masing.

Bagian-bagian tersebut masih dibagi ke dalam sub bagian atau sub seksi

yang bertujuan mewujudkan efektivitas kerja.

Pembagian sub seksi atau sub bagian ini berdasarkan kesamaan

tugas serta kewenangannya. Sub bagian Tata Usaha terdiri atas urusan

kepegawaian serta urusan umum. Bagian ini memiliki tugas melaksanakan

urusan ke tata usahaan. Kemudian Seksi Bimbingan Narapidana / Anak Didik

yang dibagi ke dalam sub seksi registrasi serta sub seksi Bimbingan

Kemasyarakatan dan Perawatan. Selanjutnya adalah bagian Kegiatan Kerja

yang memiliki fungsi memberikan pembekalan ketrampilan serta

pembimbingan kerja serta mempersiapkan sarana prasarana kerja, terbagi

kedalam dua sub bagian, yakni sub seksi bimbingan kerja dan pengolahan

kerja serta sub seksi sarana kerja. Kemudian adalah seksi Administrasi

Keamanan dan Tata tertib, yang dibagi kedalam sub seksi keamanan dan

sub seksi pelaporan dan tata tertib. Serta satu bagian khusus yang memiliki

tugas dibidang keamanan, yaitu Kesatuan Pengamanan Lapas, bagian ini

58
berada di bawah kepala Lapas serta bertanggung jawab langsung kepada

kepala Lapas.

B. Latar Belakang Wanita Melakukan Kejahatan Pembunuhan Sebelum

membahas latar belakang kejahatan pembunuhan yang dilalukan oleh

wanita penulis terlebih dahulu menguraikan kejahatan-kejahatan yang

dilakukan oleh wanita yang berada di Lembaga Pemasyarakatan

Sungguminasa dari tahun 2008-2010 yaitu:

Table 1 : daftar kejahatan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan wanita

Sungguminasa.

Tahanan/Narapidana
Jenis Kejahatan
2008 2009 2010
- Kesusilaan - 1 -
- Narkotika 5 4 22
- Pemalsukan materai 1 - -
- Pembunuhan 4 6 8
- Pencurian 6 9 5
- Pemalsuan 1 - -
- Penggelapan 3 10 6
- Penipuan 4 4 8
- Penadahan 1 - 1
- Penganiayaan - 2 4
- Perampokan 1 - 1
- Perlindungan anak 1 10 7
- Psikotropika 26 26 14
- Trafficking 10 4 2

Jumlah tahanan 63 76 78

Sumber : Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Sungguminasa tahun


2010

59
Dari table diatas nampak jumlah perkara kejahatan pembunuhan yang

dilakukan oleh wanita dari tahun ke tahun terus meningkat. Disini penulis

mencoba meneliti tentang latar belakang wanita melakukan tindak kejahatan

pembunuhan.

Kejahatan pembunuhan yang dilakukan oleh wanita tentunya dilatar

belakangi oleh faktor-faktor penyebab yang berbeda satu dengan lainnya.

Banyaknya faktor yang saling mengkait dan berpengaruh pada faktor satu

sama lainnya. Misalnya, faktor ekonomi berpengaruh pada faktor pendidikan

dan sebaliknya, faktor pendidikan berpengaruh pada faktor ekonomi, dan

masih banyak lagi faktor lain yang dapat menimbulkan kejahatan.

Ada beberapa faktor yang telah dapat penulis kumpulkan berdasarkan

hasil penelitian di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas IIA Sungguminasa.

Sebelum penulis uraikan satu persatu tentang latar belakang dan penyebab

wanita melakukan kejahatan pembunuhan, terlebih dahulu perlu diketahui

bahwa narapidana yang berada di Lembaga Pemasyarakatan Wanita

Sungguminasa sampai saat ini berjumlah 78. Dari 78 orang narapidana dan

terdapat 8 orang yang melakukan kejahatan pembunuhan.

Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan petugas dan para

narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Sungguminasa, maka

berikut ini adalah hasil penelitian penulis mengenai latar belakang wanita

melakukan kejahatan pembunuhan.

60
1. Lemahnya Penghayatan Terhadap Agamanya

Setiap agama yang ada di dunia ini, niscaya mempunyai

keyakinan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Agama itu selalu

mengutamakan sifat-sifat kebaikan dan kebajikan, menjauhi kejahatan

atau kemunafikan. Agama juga membukakan hati manusia kepada

pengertian-pengertian cinta terhadap sesama manusia dan melarang

orang melakukan kejahatan. Sehingga, jika manusia benar-benar

mendalami dan menghayati makna agama diharapkan ia menjadi

manusia yang baik, dalam arti tidak berbuat hal-hal yang merugikan

atau menyinggung perasaan orang lain.

Pemahaman agama seharusnya dilakukan sejak dini oleh setiap orang

supaya seseorang dapat melaksanakan serta menjalankan agama

sebaik-baiknya, karena agama merupakan petunjuk dari Tuhan

supaya manusia selalu menjalankan kebaikan serta menghindari

kejahatan. Kurangnya pemahaman terhadap ajaran agama,

menyebabkan jiwa seseorang mudah berbuat kejahatan.

Apabila setiap pemeluk agama itu benar-benar mendalami,

menghayati agamanya, serta melaksanakan perintah agamanya

dalam kehidupannya sehari-hari, maka ia akan dapat menjadi manusia

yang baik dan tidak akan melakukan suatu perbuatan yang

bertentangan dengan agamanya.

61
Berdasarkan hasil penelitian yang penulis lakukan di Lembaga

Pemasyarakatan Sungguminasa ternyata semua narapidana yang

melakukan kejahatan pembunuhan adalah beragama. Daftar agama

yang dipeluk oleh para narapidana yang melakukan kejahatan

pembunuhan dapat dilihat dalam tabel berikut ini ;

Table 2 : Daftar agama narapidana pelaku kejahatan pembunuhan

No Agama Jumlah

1. Islam 7 orang

2. Kristen 1 orang

Jumlah 8 orang

Sumber : wawancara dengan narapidana

Dari 8 orang narapidana yang melakukan kejahatan

pembunuhan, yang mengaku beragama Islam adalah 7 orang.

Sedangkan yang mengaku beragama Kristen hanya 1 orang saja.

Berikut petikan wawancara penulis dengan seorang narapidana

bernama Sukaena, yang mengatakan bahwa :

“Setelah masuk di LP saya mencoba mendekatkan diri kepada

allah SWT padahal dulu saya tidak pernah mengaji dan solat”. Hal ini

juga dikatakan oleh narapidana yang bernama Lhulu dan Sumarni

(wawancara penulis dengan narapidana pelaku kejahatan

pembunuhan, pada tanggal 13 Desember 2010).

62
Menurut Step Han Hurwits faktor mental khususnya agama memang

merupakan faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya kejahatan,

hal ini dapat dilihat dari pendapat Hurwits sebagai berikut :

”memang merupakan fakta bahwa norma-norma etis yang secara

teratur diajarkan oleh bimbingan agama dan khusus bersambung pada

keyakinan keagamaan yang membangunkan dorongan-dorongan yang

kuat untuk melawan kecenderungan-kecenderungan kriminil”. (Hurwitz

1986 : 93)

Berdasarkan uraian tersebut diatas, penulis dapat menarik

kesimpulan, bahwa jika seseorang tidak mendalami dan menghayati

ajaran agamanya, akan mengakibatkan mental seseorang tersebut

menjadi lemah dan imannya akan menjadi mudah goyah. Sehingga,

mereka akan mudah tergelincir, hanya menuruti hawa nafsu saja,

termasuk melakukan suatu kejahatan pembunuhan. Untuk mengatasi

mental yang lemah dan iman yang mudah goyah ini, maka Lembaga

Pemasyarakatan Sungguminasa, memberikan pendidikan agama,

dengan jalan mendatangkan guru agama dari luar Lembaga, selain itu

Lembaga Pemasyarakatan Wanita Sungguminasa juga mengadakan

bimbingan agama dengan bekerja sama dengan Departemen Agama.

Jadi, dengan demikian betapa pentingnya agama bagi seseorang

untuk dijadikan pedoman hidupnya.

63
2. Faktor Pendidikan

Dari hasil penelitian diperoleh informasi mengenai daftar

pendidikan terakhir narapidana yang melakukan kejahatan

pembunuhan dapat dilihat dari tabel berikut ini :

Tabel 3 : daftar pendidikan narapidana pelaku kejahatan

pembunuhan

No Pendidikan Jumlah

1 SD 5 orang

2 SMP 1 orang

3 SMA 2 orang

Jumlah 8 orang

Sumber : wawancara dengan narapidana

Berdasarkan tabel, sebanyak 8 orang narapidana yang

melakukan kejahatan pembunuhan, 5 diantaranya adalah hanya tamat

Sekolah Dasar, bahkan dari 5 orang tersebut 3 diantaranya buta huruf,

sedangkan yang mencapai tingkat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama,

adalah sebanyak 1 orang narapidana dan 2 orang lainya

berpendidikan sekolah menengah keatas.

64
Pendidikan, sebagai salah satu faktor penyebab wanita

melakukan kejahatan pembunuhan. Pendidikan disini dimaksudkan,

adalah pendidikan formal, yaitu pendidikan di sekolah. Sejak kecil

seseorang sudah dipersiapkan untuk menjadi manusia yang baik,

berguna bagi nusa dan bangsa. Di sekolah mereka dibekali ilmu

Pengetahuan, guna bekal kehidupan di kemudian hari. Bangku

sekolah tidak sekedar dipergunakan untuk tempat mempelajari ilmu

pengetahuan belaka, tetapi watak dan kehidupan emosional akan

banyak dipengaruhi pula kehidupan di sekolah.

Seperti kita ketahui, bahwa faktor pendidikan berpengaruh

terhadap terjadinya kejahatan. Hal ini dikarenakan, pendidikan dapat

mempengaruhi kehidupan seseorang. Karena makin tinggi pendidikan

seseorang, maka akan semakin baik kehidupannya. Tetapi sebaliknya,

apabila seseorang berpendidikan rendah, maka akan berkurang

pendapatannya serta penghidupannya.

Walaupun pendidikan itu,adalah salah satu faktor kejahatan

pembunuhan yang dilakukan oleh wanita. Tapi faktor tersebut

bukanlah faktor utama dalam melakukan kejahatan pembunuhan.

Karena, tidak jarang kejahatan juga dilakukan oleh orang yang

berpendidikan tinggi. Mengingat faktor pendidikan ini, maka di

Lembaga Pemasyarakatan Wanita Sungguminasa, juga diberikan

pendidikan, sebagai pembinaan bagi para narapidana tersebut. Untuk

65
narapidana yang tidak bisa membaca diajarkan mengikuti kejar paket

A.

Hal ini diperkuat oleh pendapat Step Han Hurwitz, mengenai

faktor pendidikan yang merupakan faktor pembentuk pribadi

seseorang, Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut ini:

”Ditinjau dari sudut kriminologi, faktor positif dari sekolah adalah:

Setiap sekolah yang baik membuat anak-anak jadi tertib bersekolah

sehingga secara langsung dan tidak langsung membentuk pribadinya”.

(Step han Hurwits 1986:117)

Berdasarkan penelitian penulis di Lembaga Wanita

Sungguminasa, bahwa sebagian besar pelaku kejahatan pembunuhan

adalah mereka yang mengenyam pendidikan hingga bangku Sekolah

Dasar, bahkan ada yang buta huruf. Pendidikan sangat berkaitan

dengan faktor ekonomi, dimana semakin tinggi pendidikan seseorang

maka akan semakin baik kehidupannya, begitu pula sebaliknya.

3. Faktor Ekonomi/Mata Pencaharian

Dari hasil penelitian penulis di Lembaga Pemasyarakatan

Wanita Sungguminasa, terkait dengan faktor ekonomi, menurut

kesimpulan penulis bahwa dari 8 narapidana yang melakukan

kejahatan pembunuhan, semua narapidana pembunuhan mempunyai

status ekonomi rendah.

66
Berikut ini adalah daftar mata pekerjaan narapidana yang melakukan

kejahatan pembunuhan :

Tabel 4 : Daftar pekerjaan narapidana yang melakukan kejahatan


pembunuhan
No Pekerjaan Jumlah

1 Pedagang/Penjual 2

2 Penjahit 1

3 Pembantu 2

4 Tidak bekerja 3

Jumlah 8

Sumber : wawancara dengan narapidana

Berikut ini merupakan petikan wawancara penulis dengan

narapidana bernama H. syamsiah, berusia 43 tahun mengatakan:

“saya membunuh tetangga saya karena saya memiliki utang sama dia

dan saya tidak punya uang untuk membayar utang tersebut”.

(wawancara penulis dengan narapidana pelaku kejahatan

pembunuhan, pada tanggal 13 Desember 2010).

Sebagaimana telah penulis kemukakan, bahwa faktor ekonomi

dapat menjadikan penyebab terjadinya kejahatan pembunuhan, maka

yang penulis maksudkan di sini adalah kondisi ekonomi seseorang,

sehingga sampai seorang wanita melakukan perbuatan yang

melanggar norma hukum tersebut.

67
Seperti petikan wawancara penulis dengan salah seorang

narapidana yang mengaku membunuh karena terlilit utang oleh orang

yang dia bunuh.

Mengenai faktor ekonomi yang merupakan faktor yang dapat

melatar belakangi seorang melakukan kejahatan pembunuhan,

diperkuat oleh pendapat Step Han Hurwitz berikut ini :

“Faktor-faktor sungguhnya dari terjadinya kejahatan adalah :

kondisi-kondisi ekonomi buruk pada golongan rakyat yang status

sosial dan ekonominya rendah dan biasanya mempunyai banyak

anak. Hal ini disebabkan kurang mendapatkan ketrampilan, lebih

sering ganti pekerjaan, lebih tinggi angka pengangguran, lebih rendah

upahnya, lebih buruk keadaan perumahan, lebih banyak kesukaran

ekonomi karena tidak sesuai penghasilan dan pengeluaran dan lain-

lain”. (Hurwitz 1996 : 112)

Penulis pun tidak menyangkal, bahwa masih banyak faktor

lain sebagai penyebab terjadinya kejahatan pembunuhan, baik

faktor itu berdiri sendiri maupun faktor yang secara bersama-sama

mempengaruhi terjadinya pembunuhan tersebut.

4. Faktor Jengkel atau Dendam

Bagi seorang wanita, yang melakukan tindak kejahatan sering

kali disertai dengan dorongan emosi yang sangat tinggi, mereka

68
jarang menggunakan akal sehatnya. Dari sekian banyak faktor

penyebab, wanita melakukan kejahatan pembunuhan karena

dendam atau jengkel inilah yang paling dominan.

Seperti hasil penelitian penulis, diperoleh informasi bahwa

narapidana yang melakukan kejahatan pembunuhan, karena faktor

dendam dan jengkel terdapat 6 orang narapidana. Jadi, untuk

melampiaskan rasa dendam kesumatnya atau perasaan

jengkelnya, mereka melakukan kejahatan pembunuhan kepada

orang-orang yang bersangkutan.

Seperti petikan wawancara penulis dengan salah satu

narapidana yang Badaria yang mengatakan :

”nekad membunuh adik ipar saya dikarenakan saya jengkel

sama dia karena adik ipar saya terlalu mengatur-atur urusan

keluarga saya”. (wawancara penulis dengan Badaria tanggal 13

Desember 2010).

Sedangkan narapidana lainya yang bernama Lulu mengatakan

bahwa ia tega melakukan pembunuhan kepada suaminya karena

jengkel meliat suaminya yang selingkuh dengan wanita lain. Hal ini

juga dikatakan oleh narapidana yang bernama Ristiani.

Berbeda dengan narapidana yang bernama Sumarni yang

menyatakan kalau dia membunuh suaminya karena merasa

dendam telah diperlakukan kasar oleh suaminya.

69
Adapun narapidana lainnya yang berani membunuh

tetangganya karena merasa jengkel karena ditagih utang oleh

tetangganya.

5. Faktor membela diri

Berdasarkan hasil penelitian penulis diperoleh informasi, bahwa

terdapat dua narapidana yang melakukan kejahatan pembunuhan ini

karena faktor membela diri. Seperti tergambar dalam petikan

wawancara penulis dengan seorang narapidana bernama Sohra

bawha :

“saya membunuh tetangga saya karena tetangga saya suka

memukuli saya dan meminta uang jika dia dalam keadaan mabuk

bahkan dia memaksa saya melakukan persetubuhan, itulah saya

membunuhnya karena saya hanya membela diri…” (Wawancara

penulis dengan Sohra tanggal 13 Desember 2010).

Wawancara lainnya dengan narapidana yang bernama Sumarni yang

mengatakan:

“…suami saya sering memperlakukan saya dengan kasar apalagi

jika dia pulang malam dalam keadan mabuk dan dan pada malam itu

saya membunuhnya karena membela diri…”(Wawancara penulis

tanggal Sumarni tanggal 13 Desember 2010).

70
6. Faktor Lingkungan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis faktor

lingkungan juga berpengaruh dalam timbulnya tindakan kejahatan

pembunuhan ini disebabkan karena lingkungan yang keras yang

diperlihatkan sehari-hari di lingkungan tempat tinggal pelaku

kejahatan. Hal ini biasanya terjadi pada lingkungan dengan kondisi

ekonomi, sosial dan budaya yang sama serta ikatan antar anggota

kelompok yang begitu erat, sehingga setiap anggota kelompok merasa

setiap permasalahan yang menimpa pada salah satu anggota

kelompok menjadi permasalahan seluru anggota kelompok.

Seperti dalam kutipan wawancara dengan narapidana yang

bernama Sukaina yang mengatakan:

“saya hanya memukul korban karena dia telah memukul teman saya

dan sebagai teman saya membatu teman saya memukuli korban”(

wawancara dengan narapidana bernama sukaina tanggal 13

desember 2010).

C. Sistem Pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita klas IIA

Sungguminasa yang Melakukan kejahatan Pembunuhan.

Menurut sistem pemasyarakatan dewasa ini, narapidana tidak hanya

dipandang sebagai individu saja, melainkan harus dipandang sebagai

makhluk sosial dan sekaligus anggota masyarakat. Oleh karena itu harus

71
diperlakukan sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaannya.

Sedangkan pidana yang dijatuhkan kepadanya bukanlah dianggap sebagai

pembalasan dendam, akan tetapi merupakan suatu hal yang tidak dapat

dihindarkan sebagai akibat dari perbuatan yang telah dilakukannya.

Dalam pembinaan narapidana tersebut, semua petugas yang berada

dalam Lembaga Pemasyarakatan terlibat di dalamnya. Keterlibatan para

petugas Lembaga Pemasyarakatan meliputi bidang teknik dan pengawasan.

Guna berhasilnya pembinaan menurut sistem pemasyarakatan dewasa

ini, tidak bergantung pada narapidananya saja, akan tetapi disamping itu juga

diperlukan adanya petugas pembina yang cukup dan penuh rasa pengabdian

serta dilengkapi dengan sarana-sarana yang memadai. Salah satu hal yang

paling penting yaitu peranan masyarakat dalam rangka menerima kembali

bekas narapidana yang telah selesai menjalani pidananya. Sebagai warga

masyarakat diharapkan turut serta membantu para narapidana yang telah

selesai manjalani pidananya dalam menempuh hidup barunya.

Adapun dasar pemikiran pembinaan narapidana berpatokan pada “10

Prinsip Pemasyarakatan” yaitu :

1. Ayomi dan berikan bekal hidup agar mereka dapat menjalankan

peranannya sebagai warga masyarakat yang baik dan berguna.

72
2. Penjatuhan pidana tidak lagi didasari oleh latar belakang

pembalasan, sehingga tidak boleh ada penyiksaan terhadap

narapidana dan anak didik pada umumnya baik berupa tindakan,

perlakuan, ucapan, cara perawatan ataupun penempatannya.

Satu-satunya derita yang dialami oleh napi dan anak didik hanya

dibatasi kemerdekaannya untuk bergerak dalam masyarakat

bebas.

3. Berikan bimbingan (bukan penyiksaan) supaya mereka bertobat.

Berikan kepada mereka pengertian mengenai norma-norma hidup

dan kegiatan-kegiatan sosial untuk menumbuhkan rasa hidup

kemasyarakatannya.

4. Negara tidak berhak membuat mereka menjadi lebih buruk atau

lebih jahat daripada sebelum dijatuhi pidana. Salah satu

diantaranya agar tidak mencampur narapidana dengan anak didik

yang melakukan tindak pidana berat dengan yang ringan dan

sebagainya.

5. Selama kehilangan (dibatasi) kemerdekaan bergeraknya para napi

dan anak didik tidak boleh diasingkan dari masyarakat. Perlu ada

kontrak dengan masyarakat yang terjelma dalam bentuk kunjungan

hiburan ke lapas dan rutan / cubrutan oleh anggota masyarakat

bebas dan kesempatan yang lebih banyak untuk berkumpul

bersama sahabat dan keluarga.

73
6. Pekerjaan yang diberikan kepada napi dan anak didik tidak boleh

bersifat sekedar pengisi waktu. Juga tidak boleh diberikan

pekerjaan untuk memenuhi keperluan jawatan atau kepentingan

negara kecuali pada waktu tertentu saja. Pekerjaan yang terdapat

di masyarakat dan yang menunjang pembangunan seperti

meningkatkan industri kecil dan produksi pangan.

7. Pembinaan dan pembimbingan yang diberikan kepada napi dan

anak didik adalah berdasarkan Pancasila. Hal ini berarti bahwa

kepada mereka harus ditanamkan semangat kekeluargaan dan

toleransi disamping meningkatkan pemberian rohani kepada

mereka diserta dorongan untuk menunaikan ibadah sesuai dengan

kepercayaan agama yang dianutnya.

8. Narapidana atau anak didik bagaikan orang sakit yang perlu diobati

agar mereka sadar bahwa pelanggaran hukum yang pernah

dilakukannya adalah merusak dirinya, keluarganya, dan

lingkungannya, sehingga perlu dibina / dibimbing ke jalan yang

benar. Selain itu mereka harus diperlakukan sebagai manusia

biasa yang memiliki harga diri agar tumbuh kembali kepribadiannya

yang percaya akan kekuatan sendiri.

9. Narapidana dan anak didik hanya dijatuhi pidana berupa membatasi

kemerdekaannya dalam jangka waktu tertentu.

74
10. Untuk pembinaan dan pembimbingan para napi dan anak didik

maka disediakan sarana yang diperlukan.

Sepuluh Prinsip Pemasyarakatan tersebut, menjadi dasar

pemberian pembinaan kepada napi di Lembaga Pemasyarakatan agar

kelak ia dapat kembali diterima serta bermanfaat bagi dirinya sendiri,

keluarganya serta masyarakat, serta tidak akan mengulangi

perbuatannya dahulu.

a. Tahap Pembinaan

Pembinaan narapidana di dalam Lembaga Pemasyarakatan

Wanita Sungguminasa dibagi menjadi 4 tahap pembinaan,

yaitu

1) Tahap Pertama

Tahap pertama, yaitu tahap admisi orientasi. Berdasarkan

hasil wawancara penulis dengan Yusmari, SE ( kasi

Bimbingan Anak Didik), bahwa tahap pertama yaitu: “Pada

tahap ini merupakan tahap permulaan bagi narapidana yang

memasuki 1/3 masa pemidanaannya, pada tahap ini kami

75
mengamati serta meneliti atau yang disingkat mapenaling

bakat dan minat yang dimiliki oleh narapidana, tujuannya

adalah supaya kami dapat mengarahkan bakat yang

mereka miliki tersebut. Selain itu pada tahap ini

pengawasan terhadap mereka sangat ketat atau dalam

tahap maximum security. Pada tahap juga merupakan tahap

pengenalan lingkungan atau yang disebut orientasi.

Jadi tahap ini, merupakan tahap pembinaan permulaan bagi

narapidana yang dilaksanakan sekurang-kurangnya 1/3 dari

masa pidana yang sebenarnya. Pada tahap ini, aparat atau

petugas mengadakan suatu pengamatan serta penelitian

terhadap bakat serta minat narapidana untuk nantinya akan

diarahkan sesuai dengan bakat yang dimilikinya tersebut.

Selain hal tersebut tahap ini juga merupakan tahap orientasi

pengenalan lingkungan Lembaga Pemasyarakatan kepada

para narapidana.

2). Tahap kedua

Tahap kedua yaitu merupakan tahap pembinaan lanjutan.

Tahap pembinaan lanjutan ini, diberikan kepada narapidana

yang sudah mengalami masa pidana diatas 1/3 sampai

76
sekurang-kurangnya ½ dari masa pidana yang sebenarnya.

Dalam tahap ini, aparat atau petugas mulai mengarahkan

bakat serta minat yang mereka miliki pada ketrampilan

tertentu. Selain itu mereka juga mulai diberikan tanggung

jawab sebagai anggota masyarakat yang berada di

lingkungan Lembaga Pemasyarakatan Wanita.

3). Tahap Ketiga

Tahap ketiga merupakan tahap asimilasi atau tahap

pembinaan lanjutan diberikan kepada narapidana yang telah

menjalani proses ½ sampai sekurang-kurangnya 2/3 dari

masa pidana yang sebenarnya.

“Tahap ini atau tahap asimilasi diberikan kepada mereka

yang telah menjalani ½ dari masa pemidanaannya, tahap ini

seorang narapidana boleh melewati pintu ketiga tanpa harus

dikawal, dan pengawasan kami lebih longgar dibanding dua

tahapan sebelumnya karena mulai memasuki tahapan

minimum security. (Berdasarkan petikan wawancara dengan

Yusmari, SE tanggal 16 Desember 2010).

4). Tahap Keempat

77
Pada tahap keempat ini merupakan tahap integrasi atau

tahap pembinaan lanjutan yang hanya boleh diberlakukan

kepada para narapidana yang telah menjalani lebih atau

diatas 2/3 masa pidana yang sebenarnya sampai akhir

masa pidana. Pada tahap ini narapidana telah diizinkan

untuk mengunjungi keluarganya pada hari-hari tertentu

seperti hari raya. Serta pada tahap integrasi ini mereka juga

diberikan pembebasan bersyarat serta cuti menjelang

bebas.

b. Kegiatan Pembinaan

Kegiatan pembinaan terhadap narapidana di lembaga

pemasyarakatan wanita Sungguminasa sangat beragam,

kegiatan ini meliputi :

1). Pembinaan agama dan mental.

bertujuan untuk semakin memperteguh serta menambah

iman seorang narapidana, meliputi :

a) Bagi Narapidana yang beragama Islam, kegiatan

keagamaan meliputi :

1. Kegiatan penyuluhan agama yang diadakan

seminggu sekali.

2. Mengadakan shalat berjamaah.

78
3. Pelajaran shalat bagi narapidana yang belum dapat

melaksanakan shalat.

4. Mengadakan kegiatan iqra, yaitu pendidikan baca

tulis Al Quran serta membaca ayat-ayat suci Al

Quran.

5. Melaksanakan kegiatan-kegiatan kerohanian pada

saat bulan suci Ramadhan.

6. Melaksanakan perayaan hari besar keagamaan

antara lain ; Nuzulul Al Qur’an, Idul Fitri, Idul Adha,

Isra Mi raj serta Maulud Nabi Muhammad SAW.

b) Bagi narapidana yang beragama Kristen Protestan/

Katholik :

1. Pelaksanaan Kebaktian di Gereja.

2. Pelaksanaan Misa.

3. Mengadakan hari besar keagamaan antara lain

Natal serta Paskah.

Sedangkan kegiatan bimbingan dan penyuluhan mental

meliputi :

1. Pemberian pelajaran budi pekerti, serta sopan santun

dalam bertingkah laku.

2. Pemberian penyuluhan hukum serta pengenalan norma-

norma hukum.

79
3. Mengadakan sharing (membagi pengalaman pribadi)

dengan dibimbing oleh psikolog di lingkungan LP, serta

konseling psikologi yang diadakan setiap hari Rabu oleh

LSM terkait.

2). Pendidikan Umum Serta Kejuruan.

Pendidikan umum serta kejuruan meliputi :

a) Memberikan pelajaran kejar paket A bagi narapidana

yang buta huruf setiap hari Kamis.

b) Mengadakan kegiatan Pramuka setiap hari jum’at.

Pembinaan pendidikan umum sangat bermanfaat bagi

narapidana yang khususnya narapidana yang belum bisa

membaca ataupun menulis. Berdasarkan hasil penelitian,

kegiatan pendidikan umum sangat besar manfaatnya bagi para

narapidana karena dapat meningkatkan kemampuan

intelektualitasnya.

3). Pembinaan Kemandirian

Pembinaan kemadirian diarahkan pada pembinaan bakat

dan ketrampilan, supaya para narapidana setelah selesai masa

pemidanaannya dapat kembali berperan sebagai anggota

masyarakat yang produktif, kreatif, serta mandiri.

Adapun jenis ketrampilan yang diajarkan dalam pembinaan

bakat dan ketrampilan adalah seperti : menyulam, menjahit,

80
berkebun, ketrampilan kecantikan seperti salon, serta

ketrampilan yang mendukung usaha-usaha industri, seperti

masak-memasak dan juga keterampilan tangan lainnya.

Pengajar atau pembimbing dalam kegiatan ketrampilan kerja

ini adalah petugas dari seksi kegiatan kerja. Kegiatan

ketrampilan merupakan kegiatan positif yang sangat efektif

dalam membekali narapidana.

4). Pembimbingan Latihan Olahraga/Kesegaran jasmani

(Pembinaan Fisik / Jasmani).

Kegiatan ini berada dibawah bimbingan seksi binadik, yang

meliputi :

a). Kegiatan olahraga, meliputi ; olahraga volley yang

diadakan setiap Senin sore, Rabu sore, serta Jumat pagi,

dan cabang olahraga yang lain seperti tenis meja,

bulutangkis dan kasti.

b). Kegiatan senam yang dilakukan rutin setiap pagi dan

sore.

c). Mengadakan olahraga/permainan secara rutin dalam

rangka memperingati Proklamasi RI.

Berdasarkan penelitian, penulis dapat menarik kesimpulan

bahwa kegiatan olahraga di Lembaga Pemasyarakatan Wanita

Sungguminasa sangat baik karena ditunjang dengan fasilitas yang

81
lengkap. Dan seperti halnya kegiatan pembinaan yang lain,

kegiatan olahraga merupakan suatu hal yang positif bagi

pembinaan narapidana, karena selain dapat meningkatkan

kesehatan fisik bagi narapidana, juga secara rohani atau kejiwaan

dapat menjadi suatu hiburan tersendiri di tengah masa

pemidanaan. Selain itu kegiatan pembinaan jasmani juga dapat

meningkatkan semangat, prestasi serta pengalaman para

narapidana di bidang olahraga.

Berdasarkan hal-hal yang telah penulis kemukakan diatas

mengenai tahap-tahap pembinaan serta kegiatan-kegiatan pembinaan

yang diadakan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Sungguminasa,

bahwa pembinaan terhadap seluruh narapidana adalah sama, dan

tidak ada perbedaan, termasuk bagi narapidana yang melakukan

kejahatan pembunuhan. Perbedaan hanya terletak pada pengawasan

yang menyesuaikan lama masa pemidanaan masing-masing

narapidana.

Menurut penulis, pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan

Wanita Sungguminasa sangat baik, namun sayangnya masih terdapat

sedikit hambatan serta kendala, khususnya terhadap hasil pekerjaan

keterampilan narapidana. Hambatan-hambatan tersebut antara lain :

1). Tidak adanya suatu wadah di luar lingkungan Lembaga

Pemasyarakatan yang khusus menampung serta menyalurkan

82
hasil-hasil pekerjaan serta ketrampilan narapidana. Hasil-hasil

pekerjaan tersebut hanya dipajang dan dipamerkan serta di

pasarkan terbatas di lingkungan Lembaga Pemasyarakatan.

2). Kurang terlibatnya pihak swasta dalam proses pembinaan. Hal ini

terlihat dari masih minimnya para pengusaha yang menjadi

instruktur pada saat proses pembinaan ketrampilan serta

pembinaan kerja. Instruktur ataupun tenaga pengajar berasal dari

pihak intern Lembaga Pemasyarakatan ataupun para LSM.

3). Kurangnya promosi terhadap hasil kerja para narapidana di

masyarakat, sehingga masyarakat kurang antusias bahkan tidak

mangenal hasil kerja para narapidana

83
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah membahas latar belakang kejahatan pembunuhan yang

dilakukan oleh wanita serta pembinaannya di Lembaga Pemasyarakatan

Sungguminasa, maka penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Latar belakang kejahatan wanita melakukan kejahatan pembunuhan

tentunya dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling berkaitan atau

berhubungan. Faktor tersebut merupakan gabungan dari faktor-faktor

yang meliputi :

a. Lemahnya penghayatan kepada agamanya ;

b. Faktor pendidikan

c. Faktor ekonomi

e. Faktor dendam atau jengkel

f. Faktor membela diri

g. faktor lingkungan

2. Upaya pembinaan bagi narapidana wanita antara satu dengan yang

lain adalah sama sesuai dengan hak-hak narapidana yang telah diatur

dalam Undang-undang nomor 12 tahun 1995 tentang

pemasyarakatan, tak terkecuali bagi yang melakukan kejahatan

pembunuhan. Pembinaan-pembinaan ini meliputi:

84
a. Pembinaan agama dan mental.

b. Pendidikan umum serta kejuruan.

c. Pembinaan kemandirian yaitu meliputi pembinaan bakat dan

ketrampilan.

d. Pembinaan dan latihan olahraga dan kesegaran jasmani.

3. Kendala serta hambatan-hambatan dalam proses pembinaan di

Lembaga Pemasyarakatan Wanita Sungguminasa, antara lain :

a. Tidak adanya suatu wadah di luar Lembaga Pemasyarakatan yang

menampung hasil kerja para narapidana.

b. Kurang terlibatnya pihak swasta dalam proses pembinaan di

Lembaga Pemasyarakatan.

c. Kurangnya promosi terhadap hasil kerja para narapidana di

masyarakat.

B. Saran

Setelah penulis mengemukakan kesimpulan tentang penyebab

wanita melakukan kejahatan pembunuhan serta pembinaannya di

Lembaga Pemasyarakatan Wanita Sungguminasa, akhirnya penulis

dapatlah memberikan saran-saran yang merupakan sumbangan pikiran

terhadap masalah tersebut, yaitu :

1. Supaya Lembaga Pemasyrakatan terus meningkatkan sistem

pembinaannya agar narapidana setelah keluar dari Lembaga

85
Pemsyarkatan tidak melakukan kejahatan lagi dan bisa berguna

bagi diri sendiri dan masyrakat.

2. Perlu adanya suatu wadah di luar Lembaga Pemasyarakatan yang

menampung hasil produksi atau hasil kerja narapidana.

3. Perlu ditingkatkan keterlibatan pihak swasta, khususnya dalam

proses pembinaan atau latihan kerja.

4. Perlu adanya suatu pengenalan produk atau promosi untuk

mengenalkan hasil produksi kepada khalayak luas.

86

Anda mungkin juga menyukai