Anda di halaman 1dari 78

SKRIPSI

TINJAUAN YURIDIS PERADILAN IN ABSENTIA DALAM PERKARA

TINDAK PIDANA KORUPSI

Oleh :

M. ARFHANI ICHSAN A.H.

B 111 10 491

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2015
HALAMAN JUDUL
TINJAUAN YURIDIS PERADILAN IN ABSENTIA DALAM PERKARA
TINDAK PIDANA KORUPSI

SKRIPSI
Diajukan Sebagai Tugas Akhir dalam rangka Penyelesaian Studi
Sarjana Pada Program Studi Ilmu Hukum
Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin

OLEH :
M. ARFHANI ICHSAN A.H.
B 111 10 491

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2015

i
ABSTRAK

M. ARFHANI ICHSAN A.H. (B 111 10 491), dengan judul skripsi


“Tinjauan Yuridis Peradilan In Absentia dalam Perkara Tindak
Pidana Korupsi”. Dibimbing oleh Bapak SYUKRI AKUB sebagai
Pembimbing I dan Bapak SYAMSUDDIN MUCHTAR sebagai
pembimbing II.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui permasalahan hukum
yang dihadapi peradilan in absentia dalam perkara tindak pidana korupsi
dan eksistensi hak-hak terdakwa pada peradilan in absentia dalam perkara
tindak pidana korupsi.
Penelitian ini dilaksanakan di Pengadilan Negeri Makassar dan
Kejaksaan Negeri Makassar. Jenis dan sumber data dalam penulisan ini
yaitu data primer yang merupakan wawancara langsung dari responden
yang terkait dengan penulisan ini dan data sekunder yang merupakan data
yang diperoleh secara tidak langsung yang berasal dari perundang-
undangan, literatur, laporan-laporan, buku dan tulisan ilmiah yang terkait
dengan pembahasan penulis.
Kesimpulan menunjukkan bahwa peradilan in absentia menemui
permasalahan seperti sulitnya hakim dalam membentuk keyakinannya
untuk memutus suatu perkara tanpa keterangan terdakwa dan sulitnya
menemukan kebenaran materiil dikarenakan pengadilan harus
memeriksa dan memutus perkara dengan mendengar kedua belah pihak
(audi et elteram partem), objektif dan tidak memihak. dan Peradilan in
absentia dalam perkara tindak pidana korupsi tidak melanggar hak-hak
terdakwa secara subtansi KUHAP sudah memberikan perlindungan yang
baik terhadap hak-hak asasi terdakwa dan apabila terdakwa dipanggil
secara sah, layak dan patut namun atas kehendak terdakwa
menghindarkan diri dari pemanggilan maka secara tidak langsung
terdakwa memilih untuk tidak menggunakan hak asasinya.
UCAPAN TERIMA KASIH

Segala puji dan rasa syukur yang tak terhingga penulis panjatkan
kepada Allah SWT, atas segala rahmat, berkat dan karunia-Nya sehingga
penulis mampu menyelesaikan skripsi ini. Salam dan Shalawat semoga
tetap tercurahkan kepada Rasulullah Muhammad SAW. Skripsi ini
merupakan tugas akhir untuk mencapai gelar sarjana hukum (S.H.) pada
Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.
Ucapan terima kasih dan penghormatan yang sebesar-besarnya
penulis berikan kepada kedua orang tua penulis, ibunda tercinta Panca
Rahmawati, S.E. dan ayahanda tercinta Ansar Nur Hasanuddin, S.E., M.M.
yang telah membesarkan penulis dengan penuh ketulusan, kesabaran dan
kasih sayang. Pencapaian penulis tidak dapat lepas dari keberadaan
orang tua penulis yang senantiasa memberikan doa dan dukungan di
segala kondisi.
Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada Ir. Andi Amiruddin, MsP dan Darmawati Ansar, S.Pi, M.M. yang
telah menjadi orang tua yang baik bagi penulis serta senantiasa
memberikan doa dan dukungannya. Serta kepada saudara penulis Ilman
Ayyub, S.T., Mirza Ikhwan S.iP., Citra Azzahra dan Deta Putri, S.iP. yang
senantiasa memberikan semangat, motivasi dan segala bentuk bantuan
dalam penyelesaian studi penulis. Dan penulis juga berterima kasih kepada
Prof. Dr. Basri Hasanuddin, M.A., Dr. Rahmat Hasanuddin, Nurjannah
Hasanuddin, S.H., M.H. dan Prof. Muhammad Amri, Ph.D. yang
senantiasa memberikan nasihat, arahan dan segala bentuk bantuannya
selama dalam penyelesaian studi penulis.
Penulis menyadari bahwa dalam proses penulisan skripsi ini
menemui banyak kendala dan hambatan, untuk itu ucapan terima kasih
dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. M. Syukri Akub,
S.H., M.H. selaku Pembimbing I (satu) dan Dr. Syamsuddin Muchtar, S.H.,
M.H. selaku Pembimbing II (dua) yang telah membimbing dan memberikan
arahan selama penulisan skripsi ini.
Seluruh kegiatan penyusunan skripsi ini tentunya tidak akan berjalan
lancar tanpa adanya bantuan dan kerja sama dari berbagai
pihak, baik bantuan materiil maupun non-materiil. Sehingga pada
kesempatan ini penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada:
- Prof. Dr. Dwia Aries Tina, M.A. selaku Rektor Universitas
Hasanuddin beserta staf dan jajarannya.
- Prof. Dr. Farida Pattitingi, S.H., M.Hum. Selaku Dekan
Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin beserta para Wakil
Dekan Prof. Dr. Ahmadi Miru, S.H., M.H., Dr. Syamsuddin
Muchtar, S.H., M.H., Dr. Hamzah Halim, S.H., M.H. atas
berbagai bantuan yang diberikan kepada penulis, baik
bantuan untuk menunjang berbagai kegiatan individual
maupun bersama organisasi di Fakultas Hukum Universitas
Hasanuddin.
- Prof. Dr. Andi Sofyan, S.H., M.H., Dr. Amir Ilyas, S.H., M.H.,
Dr. Heranah, S.H., M.H. selaku Dewan Penguji yang telah
memberikan masukan dan bimbingan untuk penulis lebih baik
kedepannya.
- Prof. Dr. Slamet Sampurno, S.H., M.H., DFM selaku Ketua
Bagian Hukum Acara dan Sekretaris Dr. Muh. Hasrul, S.H.,
M.H. serta para Dosen Fakultas Hukum Universitas
Hasanuddin yang telah menuangkan banyak ilmunya
kepada penulis khususnya di bidang hukum.
- Seluruh staf akademik dan perpustakaan FH-UH atas
segala bantuannya selama penulis berkuliah di FH-UH
khususnya kepada Pak Usman, Kak Tri, Ibu Sri, Pak
Ramalan dan Pak Bunga.
- Para narasumber, Kasi Intelijen Kejaksaan Negeri
Makassar Adi Emanuel Palebangan, S.H., M.H., dan
Muhammad Damis, S.H, M.H. Hakim Tipikor Pengadilan
Negeri Makassar.
- Para Kakak kakak cantik dan baik hati Wahdaniyah Ali, S.H.
dan Rezki Arianty Akub, S.H. yang telah banyak membantu
penulis selama melakukan penelitian di Kejaksaan Negeri
Makassar.
- Para sahabat-sahabat terbaik, M. Triocsa Taufik, S.H., Muh.
Furqaan, S.H., Emil Ilham, S.H., Asrowinsyah Rosa Utama,
S.H., Ricky Tangkau, S.H., terima kasih telah menjadi
sahabat-sahabat yang selalu menemani, memberikan
banyak perhatian dan bantuan dalam penyelesaian studi
penulis, serta berbagai pengalaman dan banyak yang hal
telah diberikan kepada penulis, see u on top!
- Teman-teman angkatan 2010 FH-UH khususnya Abdi
Afandi, S.H., Firmansyah Pradana, S.H., Faqih Ashabul,
Cesarean Ramadhana, Djaelani Prasetya, S.H., M Alatas,
S.H., Wildan Saifullah, S.H., Syahrul Nawir, S.H., Kiprah
Mandiri, S.H., Tri Sutrisno, S.H., Aldiansyah Permana, S.H.,
Marie Muhammad, S.H., Indra Risandy, S.H., Andi Oddang,
S.H., Farid Maharditya, S.H., Sadly Pratama, S.H., Fahrul
Iksan, S.H., Riyad Anwar, S.H., Wandi Setiawan, Suwahyu,
Adit Neymar, Trie Ayu Sudarti, S.H., Dhinta Wulandari,
S.H., Haifa Khairunnisza, S.H., Nadya Sestiasah, S.H.,
Rafika Ramli, S.H. dan yang tidak sempat penulis tuliskan
namanya, terima kasih kepada semua teman-teman telah
bersama-sama menjalani masa-masa perkuliahan di FH-UH
sukses semua kedepannya.
- Kakanda Senior Adnan Darmansyah S.H., Akbar Tenri
Tetta Pananrang, S.H., Sarif Febriansyah, S.H., Mistri Andi
Muin, S.H., terima kasih atas segala arahan dan
bantuannya dalam pengurusan serta penyusunan skripsi ini.
- Adinda junior Resha Siregar, S.H., Adini Thahira, S.H.,
Febry Nur Naim, Ahmad Ridha, Khairil Andi Syahrir, Atika
Mahrani, Baroni Affif, Awaluddin Said, Syaufi Syukur,
Hilman Nugraha, Imam Martono, Fadli Imran, Tayeb,
Suharmika, Islmail Iskandar, Irwanto Eka Putra, Kisti Aulia,
Nadiyah Parawansa dan yang tidak sempat penulis tuliskan
namanya satu persatu terima kasih atas dukungannya dan
sukses semua kedepannya.
- Tena Sisting crew Syahrul Razak, S.E., Muhammad Fitrah,
S.H., Iskandar Jabbar, S.E., Alamsyah Hamid, S.E., Muda
Rukmana, S.E., Andika Pratama, S.H., Vika Ismail, S.E.,
Muhammad Reza Tawakkal, Andi Idam, Hari Rinaldy, M.
Farid Jedd, terima kasih telah menjadi sahabat yang selalu
menemani dan lucu-lucu di segala kondisi.
- Tetangga seperjuangan, Agung Ashari, S.H., Zulfikar Siring,
Arya Maulana, Angga Nugraha, Ismy Amaliah, Nurhidayah,
yang telah menjadi tetangga masa gitu yang jarang ketemu
kecuali dikampus atau diluar namun tetap dekat rumah dan
dekat dihati.
- Andika Dwiyadi, Hadyaka Wiradewa, Alif Manaungi,
Irfandhy, Edo Satria Mandala, Ilham NP, Putri Yasni, Andi
Kumala, Dija Fadillah, Resky Noviana, yang selalu
memberikan supportnya kepada penulis dalam berbagai hal
dan senantiasa memberikan banyak bantuan selama
berkuliah di FH-UH, tetaplah menjadi bagian yang terbaik
bagi penulis dan sukses semua buat kedepannya.
- Teman-teman KKN REGULER Gel. 85 Unhas Kab. Polman
Kec. Polewali khususnya Posko Desa Wattang, Zatria
Anugerah, Yadi Dangabara, Iman, Juli Hasuratna, S.H.,
Anita Sari Islamuddin, S.E., Andi Tri Desita Annisa, S.Sos.,
Yayah Kuwarah, S.E., Anisah As’ad, S.T., terima kasih telah
menjadi teman seposko yang lucu-lucu dan baik hati
selama hampir 2 bulan.
- Riandhani Utami Upitarinia, S.Ked., Adlina Oktavi, Namirah
Aisyah, sebagai keluarga yang senantiasa memberikan
banyak perhatian, semangat dan motivasi dalam berbagai
hal.
- Keluarga Besar Hasanuddin Law Study Centre (HLSC)
tempat penulis memperoleh banyak pelajaran dan
pengalaman, kisah dan cerita. one love, one life, one HLSC.
- Legitimasi 2010 FH-UH, Kelas K angkatan 2010 FH-UH,
Ikatan Mahasiswa Hukum Sulawesi Barat, Electric Football
Academy, Kantin FH-UH khususnya Hj. Sanni & Cece’
executive lounge.
Penulis menyadari sepenuhnya karena keterbatasan pengetahuan
dan pengalaman penulis, penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna.
Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun
untuk membantu dalam penyempurnaan penulisan skripsi ini. apabila
terdapat kesalahan –kesalahan dalam skripsi ini, sepenuhnya menjadi
tanggung jawab penulis. Akhir kata penulis mengharapkan semoga skripsi
ini bermanfaat bagi semua pihak yang membacanya dan kepada rekan-
rekan yang turut mrmberikan sumbangsinya dalam menyelesaikan skripsi
ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.

Wassalam..

Makassar, Oktober 2015

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...................................................................................... i

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING............................................... ..ii

ABSTRAK................................................................................................ iii

UCAPAN TERIMA KASIH ........................................................... .............iv

DAFTAR ISI............................................................................................. viii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................ ........... 1

A. Latar Belakang Masalah .................................................. ........... 1

B. Rumusan Masalah........................................................... ........... 4

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian .................................... ........... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA....................................................... ........... ..6

A. Peradilan In Absentia.....................................................................6

1. Pengertian dan Hakekat Peradilan InAbsentia......................... 6


2. Peradilan In Absentia dalam Perkara Pidana........................... 7

3. Prinsip Pemeriksaan Dengan Hadirnya Terdakwa di Sidang

Pengadilan...............................................................................11

4. Syarat-Syarat Suatu Persidangan In Absentia........................16

B. Tindak Pidana Korupsi................................................................ .23

1. Pengertian Tindak Pidana........................................................ 23

2. Unsur Tindak Pidana................................................................ 25

3. Korupsi..................................................................................... 28

BAB III METODE PENELITIAN.................................................... ............35

A. Lokasi Penelitian ............................................................. ............35


B. Jenis dan Sumber Data Penelitian .................................. ...........35

C. Jenis Penelitian ............................................................... ...........36

D. Analisis Data ................................................................... ...........36

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN………………………..37

A. Permasalahan yang Dihadapi Dalam Proses Peradilan In

Absentia Perkara Tindak Pidana Korupsi………………………….37

B. Eksistensi Hak-hak Terdakwa Pada Peradilan In

Absentia Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi………………….45

C. Putusan Pengadilan yang Menyidangkan Terdakwa

Tindak Pidana Korupsi Secara In Absentia…….………………... 49

BAB V PENUTUP………………….………………………………………. …64

A. Kesimpulan……………………………………………...………........64

B. Saran…………………………………………………………………..65

DAFTAR PUSTAKA…..............................................................................66
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Penegakan hukum merupakan salah satu usaha untuk

menciptakan keamanan dan ketertiban dalam masyarakat, baik itu usaha

pencegahan maupun merupakan pemberantasan atau penindakan

setelah terjadinya pelanggaran hukum dengan lain perkataan, baik secara

preventip maupun represip1. Penegakan hukum sebagai upaya

pencapaian supremasi hukum, tidak saja menghendaki komitmen

ketaatan seluruh komponen bangsa terhadap hukum, tetapi mewajibkan

aparat penegak hukum menegakkan dan menjamin kepastian hukum2.

Ekspektasi masyarakat terhadap penegakan hukum di Indonesia

begitu tinggi, hal itu terlihat dari berbagai pemberitaan di media massa, baik

cetak maupun elektronik terkait dengan berbagai kejahatan dalam rubric

criminal dan hukum. Korupsi beberapa dekade ini merupakan isu

sentral dalam penegakan hukum. Korupsi di Indonesia berkembang

1
Moch. Faisal Salam, 2001, “Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek”, Mandar Maju,hal 1.
2
Marwan Effendy, 2011,”Sistem Peradilan Pidana, Tinjauan Terhadap beberapa Perkembangan
Hukum Pidana”, Referensi, hal iii.
secara sistemik, keadaan ini menyebabkan pemberantasan korupsi di

Indonesia semakin ditingkatkan oleh pihak yang berwenang. 3

Tersendatnya pengungkapan berbagai kasus korupsi dimaksud

disebabkan berbagai faktor, antara lain karena pelaku kejahatan tersebut

tidak ditemukan atau tidak hadir saat dipanggil untuk diminta keterangan

oleh penyidik atau saat penyidikan hadir, tetapi pada saat persidangan

terdakwa tidak hadir dan tidak dapat dihadirkan oleh Jaksa Penuntut

Umum4. Alasan gangguan kesehatan yang diperkuat dengan keterangan

dokter atau melarikan diri ke luar negeri menjadi kendala dalam proses

peradilan berjalan khususnya dalam perkara tindak pidana korupsi yang

dimana penegak hukum harus berupaya dalam menyelamatkan kekayaan

Negara, baik yang telah dikorupsi maupun yang masih diduga ada

kaitannya dengan perkara korupsi, baik yang telah disita maupun yang

belum disita guna dirampas untuk negara melalui suatu putusan pengadilan.

Pengembalian aset korupsi merupakan sistem penegakan hukum yang

menghendaki adanya suatu proses peniadaan hak atas aset pelaku secara

perdata maupun pidana, bisa dilakukan dengan penyitaan , pembekuan,

perampasan, baik dalam kompetensi lokal, regional maupun internasional

sehingga kekayaan dapat dikembalikan kepada negara 5. Di sisi lain sistem

peradilan pidana Indonesia juga berpedoman pada prinsip peradilan cepat,

sederhana dan biaya ringan sebagaimana telah tertuang

3
http://id.wikipedia.org/wiki/Korupsi_di_Indonesia diakses pada tanggal 21 September 2014.
4
Marwan Effendy, 2010, ”Peradilan In Absentia dan Koneksitas”, Timpani, hal 1.
5
Indriyanto Seno Adji, 2009, “Korupsi dan Penegakan Hukum”, Diadit Media, hal 149,150.
dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan

Kehakiman. Prinsip peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan

dimaksudkan agar para pencari keadilan dapat lebih cepat memperoleh

keadilan, menurut Hiroshi Ishikawa (1984) “penundaan keadilan merupakan

suatu ketidakadilan” (delay of justice is denied of justice). 6

Untuk menanggulangi permasalahan tidak hadirnya terdakwa di

persidangan tersebut pemerintah telah mengupayakan suatu terobosan

hukum, yang dinamakan peradilan secara In Absentia yaitu peradilan

tanpa dihadirinya terdakwa.

Peradilan In Absentia dalam perkara tindak pidana korupsi telah

difasiltasi oleh Pasal 38 Ayat (1) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi7. Semangat pasal yang dikutip dari Undang-undang tentang

pemberantasan tindak pidana korupsi tersebut pada dasarnya

menempatkan kejahatan korupsi sebagai kejahatan luar biasa

(extraordinary crime) yang penegakan hukumnya pun diluar kebiasaan

sebagai suatu prosedur pengecualian (eksepsionalitas) untuk

menyelamatkan kekayaan negara. Tentu dengan menjadi solusi

ketidakhadiran tersangka atau terdakwa dan solusi atas pengembalian

aset kerugian negara dari hasil tindak pidana korupsi, peradilan in

absentia ini tentu tak lepas dari permasalahan pada penerapannya.

6
Marwan Effendy, 2011, Op.Cit, hal 6.
7
Marwan Effendy, 2010, Op.Cit, hal 2,3.
Berdasarkan hal–hal diatas maka penulis tertarik untuk meneliti mengenai

”Tinjauan Yuridis Peradilan In Absentia dalam Perkara Tindak Pidana

Korupsi ”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka rumusan masalah yang

akan dipecahkan dalam penelitian ini adalah :

1. Apakah permasalahan hukum yang dihadapi dalam peradilan in

absentia perkara tindak pidana korupsi?

2. Bagaimanakah eksistensi hak-hak terdakwa pada peradilan in absentia

dalam perkara tindak pidana korupsi?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka penelitian yang

dilakukan ini bertujuan :

1. Untuk mengetahui apa permasalahan hukum yang dihadapi dari

peradilan in absentia dalam perkara tindak pidana korupsi.

2. Untuk mengetahui bagaimana eksistensi hak-hak terdakwa pada

peradilan in absentia dalam perkara tindak pidana korupsi.


Kegunaan penelitian ini adalah :

1. Bagi pemerintah, utamanya penegak hukum diharapkan agar

penelitian ini dapat memberikan pertimbangan dalam menetapkan

kebijakan kedepan agar supremasi hukum dapat ditegakkan.

2. Bagi mahasiswa, diharapkan dapat menjadi referensi bagaimana

hukum positif kita mengatur mengenai peradilan secara in absentia yang

menjadi solusi terhadap terdakwa secara nyata menghindarkan diri dari

penuntutan.

3. Bagi masyarakat, diharapkan memberikan pemahaman mengenai

peradilan secara in absentia.

4. Sebagai bahan literatur bagi para pembaca dan sebagai masukan bagi

para peneliti lain dalam melakukan penelitian pada bidang yang sama

terutama melihat dari sisi yang lain dari penelitian ini;

5. Sebagai tambahan kepustakaan bagi pihak universitas.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Peradilan In Absentia

1. Pengertian dan Hakikat Peradilan In Absentia

Sesungguhnya pengertian mengadili atau menjatuhkan secara In

Absentia adalah mengadili seorang terdakwa dan dapat menghukumnya

tanpa tanpa dihadiri oleh terdakwa itu sendiri8. In Absentia berasal dari

bahasa latin Absentia berarti tidak hadir, menurut Andi Hamzah istilah in

absentia berasal dari bahasa latin ”in absentia” atau “absentium”, yang

dalam istilah dan peribahasa hukum bahasa latin berarti “ dalam keadaan

tidak hadir” atau “ketidakhadiran”9. Dalam bahasa Perancis disebut absentia

dan dalam bahasa Inggris absent atau absentee. Istilah In Absentia secara

yuridis formal mulai dipergunakan di Indonesia dengan keluarnya Undang-

undang Nomor 11/PNPS/1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi

disebut dengan “in absentia”, tercantum dalam Pasal

11 ayat 1 berbunyi “apabila terdakwa setelah dua kali berturut-turut

dipanggil secara sah tidak hadir di sidang, maka pengadilan berwenang

mengadilinya diluar kehadirannya (in absentia)”. Selanjutnya dikatakan

“pemanggilan yang sah”, jika dilakukan dengan cara penempatan dua kali

8
Djoko Prakoso, 1984, “Peradilan In Absentia di Indonesia”, Ghalia Indonesia, hal 54.
9
Andi Hamzah, 1986, “Hukum Pidana Ekonomi”, Erlangga, hal 98.
berturut-turut sekurang-kurangnya pada dua surat kabar harian yang

ditunjuk oleh hakim.

Istilah in absentia, walaupun tidak lagi disebut dalam berbagai produk

legislasi belakangan ini, tetapi tetap diatur dalam dengan menggunakan

istilah “tidak hadir” setelah dipanggil secara sah atau patut. Kedua istilah ini

tidak berbeda dan mengandung arti suatu proses pemeriksaan dan

mengadili seseorang atau beberapa orang terdakwa didepan sidang

pengadilan dan penjatuhan putusan tanpa dihadiri oleh terdakwa. Seorang

terdakwa dapat dijatuhi hukum pidana oleh hakim di pengadilan dalam

suatu proses peradilan in absentia10.

Inti keterangan terdakwa yang dapat dijadikan dasar untuk membentuk

keyakinan hakim tentang kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana

yang didakwakan sesungguhnya adalah keterangan yang berisi

pengakuan, bukan sebaliknya berupa penyangkalan. Namun, keterangan

yang berisi pengakuan terdakwa ini haruslah ditunjang oleh isi dari alat bukti

lainnya, antara lain keterangan saksi11.

2. Peradilan In Absentia Dalam Perkara Pidana

Pada prinsipnya sidang putusan suatu perkara pidana harus

dihadiri oleh terdakwa, hal ini berdasarkan Pasal 196 ayat (1) UU No. 8

Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) yang menyatakan:

10
Marwan Effendy, 2010, Op.Cit, hal 5,6.
11
Adami Chazawi, 2006, “Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi”, PT Alumni, hal 98.
”Pengadilan memutus perkara dengan hadirnya terdakwa kecuali dalam hal

undang-undang ini menentukan lain”.

Selain itu, juga terdapat Surat Edaran Mahkamah Agung No. 6

Tahun 1988 tentang Penasehat Hukum atau Pengacara yang Menerima

Kuasa dari Terdakwa/Terpidana "In Absentia" yang pada intinya

memerintahkan hakim untuk menolak penasihat hukum/pengacara yang

mendapat kuasa dari terdakwa yang sengaja tidak mau hadir dalam

pemeriksaan pengadilan sehingga dapat menghambat jalannya

pemeriksaan pengadilan dan pelaksanaan putusannya. Namun, terhadap

ketentuan Pasal 196 KUHAP terdapat suatu penyimpangan dalam perkara

pelanggaran lalu lintas sebagaimana diatur Pasal 213 KUHAP yang

menyatakan bahwa “terdakwa dapat menunjuk seorang dengan surat

untuk mewakilinya di sidang”. Selain itu, Pasal 214 ayat (1) dan ayat (2)

KUHAP menyatakan:

(1) Jika terdakwa atau wakilnya tidak hadir di sidang, pemeriksaan

perkara dilanjutkan;

(2) Dalam hal putusan diucapkan di luar hadirnya terdakwa, surat

amar putusan segera disampaikan kepada terpidana;

Di samping itu, berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 9

Tahun 1985 tentang Putusan yang Diucapkan di Luar Hadirnya Terdakwa

“Mahkamah Agung berpendapat bahwa perkara-perkara yang diperiksa


dengan Acara Pemeriksaan Cepat (baik perkara tindak pidana ringan

maupun perkara pelanggaran lalu lintas jalan) dapat diputus di luar hadirnya

terdakwa (verstek) dan Pasal 214 KUHAP berlaku bagi semua perkara yang

diperiksa dengan Acara Pemeriksaan Cepat.”. Jadi, hukum acara pidana

tidak hanya mengakui keberadaan persidangan secara in absentia untuk

perkara pelanggaran lalu lintas jalan, melainkan berlaku juga bagi perkara

tindak pidana ringan (lihat Pasal 205 KUHAP). Selain itu, persidangan in

absentia secara khusus diatur dalam beberapa undang-undang lainnya,

antara lain:

- Pasal 38 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi (“UU Tipikor”) sebagaimana telah diubah

dengan UU No. 20 Tahun 2001 yang menyatakan: “Dalam hal

terdakwa telah dipanggil secara sah, dan tidak hadir di sidang

pengadilan tanpa alasan yang sah, maka perkara dapat diperiksa

dan diputus tanpa kehadirannya.”

- Pasal 79 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan Dan

Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang

menyatakan: “Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah dan

patut tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah,

perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa hadirnya terdakwa.”

- Pasal 79 UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana

telah diubah dengan UU No. 45 Tahun 2009 yang menyatakan,


“Pemeriksaan di sidang pengadilan dapat dilaksanakan tanpa

kehadiran terdakwa.” Dalam Angka 3 Surat Edaran Mahkamah

Agung No.: 03 Tahun 2007 tentang Petunjuk Pelaksanaan

Undang-Undang No. 31 Tahun 2007 tentang Perikanan,

disebutkan bahwa, “Pemeriksaan di sidang pengadilan dapat

dilaksanakan tanpa kehadiran terdakwa, sebagaimana ditentukan

dalam Pasal 79 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang

Perikanan adalah dalam pengertian perkara in absentia, yaitu

terdakwa sejak sidang pertama tidak pernah hadir di

persidangan12

Dalam Het Herziene Inlandsch Reglement (HIR) sebenarnya dalam

putusan verstek terhadap perkara Roll tanpa hadirnya terdakwa dan

pengaturan demikian diadopsi oleh KUHAP untuk pelanggaran perkara

tipiring/cepat (lali lintas jalan) sebagaimana diatur di dalam Pasal 231

KUHAP bahwa terdakwa dapat menunjuk kuasa untuk mewakili di sidang,

bahkan Pasal 154 ayat 5 jo Pasal 196 ayat 2 KUHAP juga dalam

keadaan tertentu memberikan toleransi yang membolehkan Hakim

menjatuhkan putusan tanpa hadir sebagian dari terdakwa, jika dalam

perkara tersebut terdakwa yang dihadapkan kedepan persidangan lebih dari

1 orang dan pada saat sidang-sidang sebelumnya hadir, kemudian

pada saat akan dibicarakan putusan diantaranya ada yang tidak hadir,

12
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4f2e502cd0e52/pengertian -peradilan-in-absentia
diakses pada tanggal 21 september 2014.
maka Hakim dapat melanjutkan persidangan untuk membacakan

putusannya13.

3. Prinsip Pemeriksaan Dengan Hadirnya Terdakwa di Sidang

Pengadilan.

Hadirnya terdakwa dalam pemeriksaan perkara pidana di sidang

pengadilan merupakan hal yang sangat penting, sebagaimana telah diatur

dalam Pasal 18 ayat 1 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang

Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa :

“Pengadilan memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana dengan

hadirnya terdakwa, kecuali Undang-undang menetukan lain”

Prinsip pentingnya kehadiran terdakwa di sidang pengadilan diatur

pula dalam ketentuan Pasal 1 sub 15 KUHAP, bahwa terdakwa adalah

seorang tersangka yang dituntut, diperiksa, dan diadili di sidang pengadilan,

dan Pasal 189 ayat 1 KUHAP bahwa keterangan terdakwa ialah apa yang

terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang dilakukan atau yang

diketahuinya sendiri atau dialami sendiri.

Pemeriksaan di sidang pengadilan dilakukan oleh hakim, terbuka

untuk umum secara langsung, artinya langsung kepada terdakwa dan

para saksi. Pemeriksaan hakim juga dilakukan secara lisan, artinya bukan

tertulis antara hakim dan terdakwa. Hal ini berbeda dengan acara perdata

dimana tergugat dapat diwakili oleh kuasanya. Kehadiran terdakwa dalam

13
Marwan Effendy, 2010, Op.Cit, hal 6.
pemeriksaan perkara pidana hakekatnya untuk memberikan ruang kepada

hak-hak asasi terdakwa sebagai manusia yang berhak membela diri dan

mempertahankan hak-hak kebebasannya, harta bendanya ataupun

kehormatannya. Tujuan utamanya adalah agar terdakwa dapat mengerti

benar-benar apa yang didakwakan, bagaimana keterangan saksi, ahli dan

alat-alat bukti yang lain, sehingga ia bebas dan leluasa mengatur jawaban

dan pembelaannya14. Terdakwa dapat berhadapan langsung dan

berdialog dengan hakim, sehingga hakim dapat memperhatikan pula sifat-

sifat, sikap serta keadaan terdakwa yang sesungguhnya. Terdakwa memiliki

hak dianggap tidak bersalah selama belum dijatuhi hukuman yang

mempunyai kekuatan pasti oleh pengadilan due procces of law atau

presumption of innocence. Tanpa hadirnya terdakwa dipersidangan

pemeriksaan perkara oleh pengadilan tidak dapat dilakukan. Untuk itulah

pentingnya bagaimana cara menghadirkan terdakwa di sidang pengadilan

sebagaimana diatur dalam Pasal 154 KUHAP15.

Rangkaian upaya menghadirkan terdakwa di persidangan yang

diawali dengan perintah hakim ketua sidang supaya terdakwa dipanggil

masuk ke dalam ruang persidangan. Akan tetapi apabila terdakwa pada

sidang yang telah ditentukan tidak hadir, hakim ketua sidang akan meneliti

14
Mien Rukmini, 2003, “Perlindungan HAM Melalui Asas Praduga Tidak Bersalah dan Asas
Persamaan Kedudukan dalam Hukum pada Peradilan Pidana Indonesia”, Alumni, hal 89.
15
Marwan Effendy, 2010, Op.Cit, hal 6,7,8.
apakah terdakwa telah dipanggil secara sah. Dalam penelitian tersebut

dapat dijumpai beberapa kemungkinan, yaitu16:

1. Terdakwa ternyata telah dipanggil “secara tidak sah”.

Dalam hal ini hakim ketua sidang akan menunda

persidangan dan memerintahkan penuntut umum supaya memanggil

terdakwa sekali lagi untuk hadir pada tanggal hari sidang

berikutnya.

2. Terdakwa ternyata sudah dipanggil “secara sah”

Dalam hal ini sekalipun terdakwa telah dipanggil secra sah,

namun tidak datang menghadiri persidangan tanpa alasan yang

sah, berdasarkan ketentuan Pasal 154 ayat 4 dan ayat 6, maka

pemeriksaan perkara tidak dapat dilangsungkan dan hakim ketua

sidang akan menunda atau mengundurkan persidangan pada

tanggal hari sidang berikutnya seraya memerintahkan penuntut

umum untuk memanggil terdakwa sekali lagi pada tanggal hari

sidang yang telah ditentukan. Apabila kemudian setelah terdakwa

dipanggil secara sah untuk kedua kalinya, namun tetap juga tidak

hadir dipersidangan tanpa alasan yang sah, maka dalam hal ini

hakim ketua sidang dapat memerintahkan kepada jaksa penuntut

umum untuk menghadirkan terdakwa dengan paksa pada tanggal

hari sidang pertama berikutnya.

16
Ibid, Marwan Effendy, hal 8.
Suatu panggilan dapat dikatakan sah atau tidak sah apabila

memenuhi ketentuan Pasal 154 KUHAP dan pasal 146 KUHAP tentang tata

cara pemanggilan terdakwa. Sedangkan yang dimaksud dengan tanpa

alasan yang sah, menurut Adami Chazawi ada beberapa kemungkinan,

yaitu : (1) sama sekali tidak memberikan alasan apapun, atau (2)

memberikan alasan tetapi alasan itu dinilai tidak patut, atau (3) alasan patut

tetapi ternyata tidak benar/bohong.

Untuk yang pertama sudah jelas, sedangkan untuk alasan nomor

(2) berupa alasan yang tidak ada relevansinya dengan ketidakhadirannya,

misalnya tidak dapat hadir karena akan mengantarkan anak ke sekolah.

Sedangkan alasan nomor (3) ada relevansinya, namun ternyata terbukti

alasan itu palsu, misalnya dengan alasan sakit, ternyata tidak sakit karena

surat keterangan dokter dipalsukan olehnya17. Dengan demikian alasan

sakit yang diperkuatnya dengan surat keterangan dokter (yang tidak

dipalsukan) atau karena halangan yang patut dan wajar seperti misalnya

terdakwa mengalami musibah adalah merupakan alasan yang dapat

dibenarkan atau alasan yang sah. Alasan yang sah ini dengan sendirinya

menghapuskan wewenang hakim ketua sidang untuk memerintahkan

terdakwa dihadirkan dengan paksa dipersidangan. Namun demikian

penentuan sah tidaknya suatu alasan yang diajukan terdakwa tetap

merupakan kewenangan hakim. Seandainya hakim menilai alasan yang

dikemukakan terdakwa sah, tindakan hakim adalah menunda dan

17
Adami Chazawi, 2003, “Hukum Pidana Materiil dan Formil tentang Korupsi di Indonesia”,
Bayumedia Publishing, hal 303.
mengundurkan persidangan dan selanjutnya memerintahkan penuntut

umum memanggil terdakwa peada tanggal hari sidang berikutnya. Akan

tetapi apabila hakim ketua sidang menilai alasan yang dikemukakan

terdakwa tidak sah, maka hakim akan menerapkan substansi Pasal 154

ayat 4 dan ayat 6 KUHAP.

Pada prinsipnya Pasal 154 utamanya ayat 2, ayat 4 dan ayat 6

KUHAP merupakan pedoman menghadirkan terdakwa dalam persidangan

untuk membuat terang dan jelas suatu perkara yang didakwakan pada

terdakwa. Kehadiran terdakwa tersebut juga sebagai upaya untuk

melakukan perlawanan atau keberatan atas dakwaan penuntut umum.

Pasal 154 KUHAP :

- Ayat 2 : jika dalam pemeriksaan perkara terdakwa yang tidak

ditahan tidak hadir pada hari sidang yang ditetapkan, hakim ketua

sidang meneliti apakah terdakwa sudah dipanggil secara sah.

- Ayat 4 : jika terdakwa ternyata telah dipanggil secara sah tetapi

tidak datang di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah,

pemeriksaan perkara tidak dapat dilangsungkan dan hakim ketua

sidang memerintahkan agar terdakwa dipanggil sekali lagi.

- Ayat 6 : hakim ketua sidang memerintahkan agar terdakwa yang

tidak hadir tanpa alasan yang sah setelah dipanggil secara sah untuk

kedua kalinya, dihadirkan dengan paksa pada sidang pertama

berikutnya.
Mencermati ketentuan pasal 154 utamanya ayat 2, ayat 4 dan ayat

6 KUHAP (terkait di dalamnya ketentuan Pasal 145 KUHAP, Pasal 146

KUHAP, Pasal 152 ayat 2 KUHAP, Pasal 189 ayat 1 KUHAP, Pasal 196

ayat 1 KUHAP, Pasal 227 KUHAP) memberikan pemahaman bahwa

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP tidak memeberi

ruang terdakwa diperiksa secara tanpa hadir dirinya atau in absentia,

sehingga tetap diwajibkan penuntut umum untuk menghadirkan terdakwa

dalam persidangan, terutama dalam acara pemeriksaan biasa dan acara

pemeriksaan singkat. Pengadilan memutus perkara dengan hadirnya

terdakwa, kecuali dalam hal tertentu undang-undang menetukan lain.

Terhadap perkara pelanggaran lalu lintas jalan sebagaimana diatur dalam

Pasal 214 ayat 1 KUHAP, pemeriksaan dan putusan diluar hadirnya

terdakwa dapat dibenarkan karena jika terdakwa atau wakilnya tidak hadir

di sidang, pemeriksaan perkara dilanjutkan18.

4. Syarat-Syarat Suatu Persidangan In Absentia

KUHAP seperti telah dikemukakan di depan menganut prinsip

hadirnya terdakwa dalam pemeriksaan di pengadilan. Oleh karena itu agar

terdakwa disidangkan secara In Absentia maka ketentuan mengenai syarat-

syarat pemanggilan di dalam Pasal 145 dan 146 KUHAP harus

diperhatikan19 :

18
Marwan Effendy, 2010, Op.Cit, hal 8,9,10.
19
Ibid, Marwan Effendy, hal 24.
1. Panggilan Berbentuk Surat Panggilan

Sesuai dengan ketentuan Pasal 145 ayat 1, panggilan terhadap

terdakwa atau saksi, harus berbentuk “surat panggilan”. Disamping

itu Pasal 146 ayat 1 menentukan pula hal-hal yang harus dipenuhi

surat panggilan, harus memuat :

- Tanggal, hari serta jam sidang

- Tempat persidangan

- Alasan pemanggilan (dalam perkara atau tindak pidana yang

didakwaan)

2. Panggilan harus disampaikan

a) Bagi terdakwa yang berada “di luar tahanan” :

1) Surat panggilan disampaikan secara langsung kepada terdakwa

di alamat “tempat tinggalnya”

2) Surat panggilan disampaikan “di tempat kediaman terakhir”,

apabila tempat tinggal terdakwa tidak diketahui.

3) Surat panggilan disampaikan melalui “kepala desa” yang

berdaerah hukum di tempat tinggal atau tempat kediaman terakhir

(Pasal 145 ayat 2) jika terdakwa tidak berada atau dijumpai di

tempat tinggalnya atau di tempat kediaman terakhir. Jadi jika

terdakwa tidak diketahui tempat tinggalnya atau secara kebetulan

sedang tidak ada, maka surat panggilan dapat disampaikan

melalui “kepala desa” tanpa mengabaikan ketentuan Pasal 227

ayat 2 yang menegaskan agar petugas


yang menyampaikan panggilan “bertemu sendiri” dan berbicara

langsung dengan orang yang dipanggil.

4) Surat panggilan ditempelkan pada papan pengumuman di

pengadilan yang mengadili perkara tersebut apabila tempat

tinggal maupun tempat kediaman terakhir terdakwa tidak

diketahui atau tidak dikenal, mengacu kepada Pasal 145 ayat 5,

meskipun tidak diatur dalam Pasal 145, surat panggilan agar

dapat berdaya guna, dapat dilakukan melalui media cetak atau

elektronik.

b) Bagi terdakwa yang berada “dalam tahanan” atau jika tidak

sebelumnya terdakwa ditahan.

Bagi terdakwa yang sedang berada dalam tahanan, surat

panggilan sidang dilakukan melalui pejabat Rutan atau pejabat

rumah tahanan Negara, sebagaimana hal ini dijelaskan dalam

Pasal 145 ayat 3. Bagaimana caranya kalau Rutan belum ada.

Melalui pejabat mana panggilan disampaikan kepada terdakwa

sedang ditahan. Seandainya terdakwa ditahan dalam rumah tahanan

kepolisian atau lembaga permasyarakatan, surat panggilan

disampaikan melalui pejabat tersebut.

c) Surat tanda penerimaan

Pasal 145 ayat 4 mengatur juga, bahwa setiap orang yang

menerima surat panggilan, baik terdakwa atau saksi, harus

menandatangani surat “tanda penerimaan”. Relaas/surat tanda


penerimaan merupakan bukti telah disampaikan surat panggilan. Ini

penting bagi kepastian hukum karena sering terjadi pada masa

yang lalu, hakim mengeluarkan perintah penangkapan atas alasan

keingkaran terdakwa menghadiri persidangan sekalipun panggilan

sudah disampaikan kepadanya secara sah. Di sidang, terdakwa

membantah dan menganggap penangkapan tidak sah, karena

panggilan tidak pernah disampaikan penuntut umum kepadanya.

Untuk menghindari saling menyalahkan, tepat sekali ketentuan

pasal 145 ayat 4 sebagai alat pembuktian tentang sampai tidaknya

surat panggilan. Ketentuan ayat 4 dimaksud, memperluas orang-

orang yang dapat menerima surat panggilan. Bukan hanya

terdakwa atau kepada kepala desa saja. Bertitik tolak dari

ketentuan ayat 4, disamping terdakwa, surat panggilan dapat

diterima oleh “orang lain” atau “melalui orang lain”. Orang lain

tersebut harus menerima surat panggilan dengan “tanda

penerimaan”. Orang lain dimaksud, menurut penjelasan Pasal 145

ayat 4 : ialah “keluarga” atau “penasihat hukum”. Surat panggilan

yang disampaikan penuntut umum melalui keluarga atau penasihat

hukum di alamat tempat tinggal atau tempat kediaman terakhir

terdakwa, dianggap telah dilakukan dengan sempurna, dan

panggilan telah dianggap sah. Keluarga atau penasihat hukum

yang menerima surat panggilan harus membuat surat tanda

penerimaan. Dengan adanya ketentuan yang memungkinkan surat


panggilan dapat disampaikan melalui keluarga dan penasihat hukum,

diharapkan akan mempercepat proses pemeriksaan. Dengan

demikian, penuntut umum tidak wajib langsung menyampaikan

kepada terdakwa. Penyampaian surat panggilan kepada keluarga

atau penasihat hukum dianggap sebagai rasional dan wajar. Sebab

keluarga atau penasihat hukum terdakwa adalah orang yang secara

moral dan hukum, ikut bertanggung jawab menghadirkan terdakwa di

depan sidang pengadilan. Ada kemungkinan orang yang dipanggil

atau yang menerima surat panggilan tidak mau menandatangani.

Dalam hal seperti ini, petugas mencatat alasannya (Pasal 227 ayat

2).

d) Tenggang waktu penyampaian Surat Panggilan

Setiap panggilan sudah diterima selambat-lambatnya tiga hari

sebelum hari persidangan dimulai. Penuntut umum harus

memperhatikan ketentuan ini. Surat panggilan yang disampaikan

bertentangan dengan tenggang waktu tiga hari, panggilan dianggap

“tidak sah”, dan tidak ada kewajiban hukum bagi terdakwa untuk

mematuhi panggilan tersebut. Ketentuan tenggang waktu

pemanggilan dan pemberitahuan berlaku untuk semua tingkat

pemeriksaan baik kepada terdakwa, saksi atau ahli (Pasal 227 ayat

1). Bagaimana halnya jika tenggang waktu dilanggar? Pelanggaran

atas tenggang waktu, mengakibatkan panggilan “tidak sah”, karena:


 Ketentuan yang mengatur tenggang waktu penyampaian surat

panggilan memuat kata-kata “harus”.

Bunyinya : penuntut umum menyampaikan surat panggilan

kepada terdakwa… ”harus” sudah diterima oleh yang

bersangkutan selambat-lambatnya “tiga hari” sebelum sidang

dimulai.

 Alasan kedua, tujuan tenggang waktu tiga hari, dimaksudkan

untuk memberi kesempatan waktu yang memadai bagi terdakwa

mempersiapkan pembelaan diri atau untuk mencari penasihat

hukum yang diperlukan.

Akan tetapi, masalah tenggang waktu sifatnya tidak mutlak karena

seandainya surat panggilan sidang disampaikan penuntut umum kepada

terdakwa kurang dari tiga hari sebelum hari sidang dimulai, namun demikian

terdakwa bersedia dengan rela perkaranya disidangkan, kerelaan

seperti ini tidak menghalangi sahnya pemeriksaan dilakukan. Asal

benar-benar ditanya kerelaan dan kesediaan terdakwa untuk diperiksa

dalam sidang pengadilan. Jika terdakwa keberatan, tidak ada alternative lain

selain memundurkan persidangan pada hari dan tanggal yang ditentukan

kemudian. Apalagi jika diperhatikan angka 18 Lampiran Keputusan Menteri

Kehakiman No. M.14-PW.07.03/1983 batas waktu 3 hari tersebut ditolerir.

Sekalipun tenggang waktu pemanggilan ditolerir dalam keputusan

dimaksud terkait dengan Pasal 112 ayat 1, yakni pemanggilan dalam taraf

penyidikan, tetapi keputusan tersebut meliputi


juga pemanggilan dalam pemeriksaan persidangan. Keputusan Meneteri

Kehakiman tersebut dalam pelaksanaannya terkait dengan “pengertian

tenggang waktu yang wajar”, disesuaikan dengan situasi dan kondisi

setempat, dan tidak dapat dianalogikan dengan penjelasan Pasal 152

ayat 2, dimana ditentukan waktu tiga hari”.

e) Apabila tempat tinggalnya tidak dikenal untuk perkara dalam proses

penuntutan ditempelkan di papan pengumuman Pengadilan, yang

berwenang mengadilinya, sedangkan dalam proses penyidikan

untuk memudahkan seyogianya pemanggilan dapat dilakukan

melalui media cetak nasional dan lokal.

Dalam penyidikan dan persidangan in absentia prosedur

pemanggilan tersangka atau terdakwa memegang peranan penting, sebab

“jika prosedur pemanggilan tersebut tidak dilaksanakan sebagaimana

mestinya atau tidak sah menurut perintah ketentuan undang-undang,

maka surat dakwaan akan dinyatakan “tidak dapat diterima” karena

berdasarkan hasil penyidikan yang tidak sah, jika itu merupakan putusan

yudex pacti karena pemanggilan terdakwa tidak dilaksanakan sebagaimana

mestinya dan putusan yudex facti tidak diumumkan, maka putusan yudex

dapat dibatalkan oleh yudex yuris mengacu kepada putusan

Mahkamah Agung R.I Nomor 2026 K/Pid/1986 Tanggal 29

Agustus 1987 dalam perkara in absentia atas nama terdakwa Frans

Lismanax yang didakwa melanggar Pasal 16 ayat 7 jo. Ayat 8 Undang-


Undang No.7 /Drt/Tahun 1995 jo. Undang-undang No.15/Perpu/1962 jo.

Undang-undang No. 7 Tahun 1969.20

B. Tindak Pidana Korupsi

1. Pengertian Tindak Pidana

Istilah tindak pidana merupakan terjemahan dari “strafbaarfeit”, di

dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana tidak terdapat penjelasan

mengenai apa sebenarnya yang dimaksud dengan strafbaar feit itu

sendiri. Dalam bahasa Belanda straafbaarfeit terdapat dua unsur

pembentuk kata, yaitu straafbaar dan feit . perkataan feit dalam bahasa

Belanda diartikan sebagian dari kenyataan, sedang straafbaar berarti

dapat dihukum, sehingga secara harfiah perkataan staarbaarfeit berarti

sebagian dari kenyataan yang dapat di hukum. Biasanya tindak pidana

disinonimkan dengan delik, yang berasal dari bahasa latin (delictum). Dalam

Kamus Besar Bahasa Indonesia tercantum sebagai berikut: “Delik adalah

perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran

terhadap undang-undang tindak pidana.21

Menurut Mulyatno, menerjemahkan istilah strafbaar feit dengan

perbuatan pidana. Menurut pendapat beliau istilah “perbuatan pidana”

menunjuk kepada makna adanya suatu kelakuan manusia yang

menimbulkan akibat tertentu yang dilarang hukum di mana pelakunya

dapat dikenakan sanksi pidana. Dapat diartikan demikian karena kata

”perbuatan” tindak mungkin berupa kelakuan alam, karena yang dapat

20
Ibid, Marwan Effendy, hal 28.
21
Evi Hartanti, 2008. Tindak Pidana Korupsi, Jakarta. Sinar Grafika, hal 5
berbuat dan hasilnya disebut perbuatan itu adalah hanya manusia. Selain

itu, kata “perbuatan” lebih menunjuk pada arti sikap yang diperlihatkan

seseorang yang bersifat aktif (yaitu melakukan sesuatu yang sebenarnya

dilarang hukum), tetapi dapat juga bersifat pasif (tidak berbuat sesuatu yang

sebenarnya diharuskan oleh hukum).

Dari beberapa pakar pengertian straafbarfeit itu adalah22:

1) Simons

Dalam rumusannya pidana adalah:

“Tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan

sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang dapat

dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh undang-

undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat

dihukum”.

2) E. Utrecht

Menerjemahkan Straafbarfeit dengan istilah peristiwa pidana

yang sering juga ia sebut sebagai delik, karena peristiwa itu suatu

perbuatan handelen atau doen-positif atau suatu melalaikan

nalaten-negatif, maupun akibatnya (keadaan yang ditimbulkan

karena perbuatan atau melalaikan itu). Peristiwa pidana

merupakan suatu peristiwa hukum (rechsfeit) yaitu peristiwa

kemasyarakatan yang membawa akibat yang diatur

oleh hukum.

22
Ibid, Evi hartanti, hal 5,6.
3) Pompe

Perkataan Straafbarfeit secara teoritis dapat dirumuskan

sebagai suatu; “pelanggaran norma atau gangguan terhadap

tertib hukum yang dengan sengaja atau tidak sengaja telah

dilakukan oleh seorang pelaku, di mana penjatuhan hukuman

terhadap pelaku itu adalah penting demi terpeliharanya tertib

hukum dan terjaminnya kepentingan umum.

4) Moeljatno

“Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan

yang mana disertai sanksi berupa pidana tertentu bagi barang

siapa yang melanggar aturan tersebut. Dapat juga dikatakan

bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang

hukum dan diancam pidana asal saja dalam hal itu diingat

bahwa larangan ditujukan pada perbuatan (yaitu kejadian atau

keadaan yang ditimbulkan oleh kelakuan orang, sedang ancaman

pidananya ditujukan pada orang yang menimbulkan kejahatan.

2. Unsur Tindak Pidana

Dalam menentukan suatu peristiwa, apakah peristiwa tersebut

merupakan suatu peristiwa pidana atau bukan tentu ada beberapa

persyaratan yang harus dipenuhi, mulai dari ketentuan asas sampai pada

unsur-unsur yang menentukan apakah peristiwa tersebut masuk dalam

kategori tindak pidana atau bukan. Seperti yang dijelaskan sebelumnya


bahwa tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat

dikenai hukum pidana atau tanggung jawab pidana. Sebagaimana

berlakunya asas legalitas dalam hukum pidana, “Nullum delictum noella

poena siene previe lege”, Tidak ada pidana sebelum didahului oleh

peraturan yang mengatur sebelumnya”. Asas yang berlaku secara universal

ini meniscayakan semua perbuatan yang dikategorikan dalam tindak pidana

pasti memiliki unsur tindak pidana baik secara subjektif dan objektif dan

diatur secara tertulis. Pelaku dalam tindak pidana dapat dikatakan

merupakan subjek tindak pidana. Adapun unsur-unsur tindak pidana adalah

sebagai berikut23 :

1) Unsur subjektif

Yaitu suatu perbuatan seseorang yang berakibat tidak

dikehendaki oleh undang-undang. Sifat unsur ini

mengutamakan adanya pelaku (seseorang atau beberapa orang).

2) Unsur Objektif

1. Sifat melawan hukum

2. Kualitas dari pelaku, misalnya seorang pegawai negeri sipil

melakukan kejahatan yang diatur dalam Pasal 415 KUHP.

3. Kausalitas, yaitu hubungan antara suatu tindakan sebagai

penyebab dengan kenyataan sebagai akibat.

23
Teguh Prasetyo, 2011, “Hukum Pidana”, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal 17.
Dilihat dari unsur-unsur pidana ini, maka kalau ada suatu

perbuatan yang dilakukan oleh seseorang harus memenuhi

persyaratan supaya dapat dinyatakan sebagai peristiwa pidana.

Dan syarat-syarat yang harus dipenuhi sebagai peristiwa pidana

adalah :

1) Harus ada perbuatan

Maksudnya bahwa memang benar-benar ada suatu kegiatan

yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang. Kegiatan ini

terlihat sebagai suatu perbuatan tertentu yang dapat

dipahami oleh orang lain sebagai suatu yang merupakan

peristiwa pidana.

2) Perbuatan itu harus sesuai dengan apa yang ditentukan dalam

ketentuan hukum.

Artinya suatu perbuatan sebagai suatu peristiwa hukum

memenuhi isi ketentuan hukum yang berlaku pada saat itu.

Pelakunya memang benar-benar telah berbuat seperti yang

terjadi dan terhadapnya wajib mempertanggungjawabkan akibat

yang timbul dari perbuatan itu. Berkenaan dengan syarat ini

hendaknya dapat dibedakan bahwa ada suatu perbuatan yang

tidak dapat disalahkan dan terhadap pelakunya tidak perlu

mempertanggungjawabkan. Perbuatan yang tidak dapat

dipersalahkan itu karena dilakukan oleh seseorang atau


beberapa orang dlam melaksanakan tugas, membela diri dari

ancaman orang lain yang mengganggu keselamatannya dan

dalam keadaan darurat dan mereka yang tidak mempunyai

kesalahan.

3) Harus terbukti adanya kesalahan yang dapat

dipertanggungjawabkan

Maksudnya bahwa suatu perbuatan yang dilakukan oleh

seseorang atau beberapa orang itu dapat dibuktikan sebagai

suatu perbuatan yang disalahkan oleh ketentuan hukum.

4) Harus berlawanan dengan hukum

Artinya suatu perbuatan yang berlawanan dengan hukum

dimaksudkan kalau tindakannya nyata-nyata bertentangan

dengan aturan hukum.

5) Harus terdapat ancaman hukumannya

Maksudnya kalau ada ketentuan yang mengatur tentang larangan

atau ancaman hukumannya. Ancaman hukuman itu dinyatakan

secara tegas maksimal hukumnya yang harus dilaksanakan oleh

para pelakunya. Kalau dalam suatu perbuatan tertentu,

maka dalam suatu peristiwa pidana terhadap pelakunya tidak

perlu melaksanakan hukuman.


3. Korupsi

Dalam Ensiklopedia Indonesia disebut “korupsi” (berasal dari bahasa

latin : corruption = penyuapan; corruptore = merusak) gejala di mana para

pejabat, badan-badan negara menyalahgunakan wewenang dengan

terjadinya penyuapan, pemalsuan serta ketidakberesan lainnya. Adapun arti

harfiah dari korupsi dapat berupa24:

1) Kejahatan, kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan,

dan ketidakjujuran.

2) Perbuatan yang buruk seperti pengelapan uang/sogok; dan

sebagainya.

3) Korup (busuk; suka menerima uang suap/sogok; memakai

kekuasaan untuk kepentingan diri sendiri, Korupsi (perbuatan

busuk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan

sebagainya), Koruptor (orang yang korupsi).

Secara harfiah korupsi merupakan sesuatu yang busuk, jahat, dan

merusak. Jika membicarakan korupsi memang akan menemukan

kenyataan semacam itu karena korupsi menyangkut segi-segi moral, sifat

dan keadaan busuk, jabatan dalam instansi atau aparatur pemerintah,

penyelewengan kekuasaan dalam jabatan karena pemberian, faktor

ekonomi dan politik, serta penempatan keluarga atau golongan ke dalam

kedinasan di bawah kekuasaan jabatannya. Dengan demikian, secara

24
Eva Hartanti, Op.cit, hal 8.
harfiah dapat ditarik kesimpulan bahwa sesungguhnya istilah korupsi

artinya juga dapat diinterpretasikan secara luas.

1) Korupsi, penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau

perusahaan dan sebagainya) untuk kepentingan pribadi dan

orang lain.

2) Korupsi: busuk; rusak; suka memakai barang atau uang yang

dipercayakan kepadanya; dapat disogok (melalui kekuasaanya

untuk kepentingan pribadi).

Adapun menurut Subekti dan Tjitrosoedibjo dalam kamus hukum

yang dimaksud corruptie adalah korupsi; perbuatan curang, tindak pidana

yang merugikan keuangan negara. Baharuddin Lopa mengutip pendapat

Dari David M, Chalmers, menguraikan arti istilah korupsi dalam berbagai

bidang, yakni yang menyangkut masalah penyuapan, yang berhubungan

manipulasi di bidang ekonomi, dan menyangkut bidang kepentingan

umum. Kesimpulan ini diambil dari definisi yang dikemukakan antara lain

berbunyi, financial manipulations and deliction injurious to the economy

are often lebeled corrupt (manipulasi dan keputusan mengenai keuangan

yang membahayakan perokonomian sering dikategorikan perbuatan

korupsi). Selanjutnya ia menjelaskan the term is often applied also to

misjudgements by officials in the public economies (istilah ini juga sering

digunakan terhadap kesalahan ketetapan oleh para pejabat yang

menyangkut bidang perokonomian umum). Dikatakan pula, disguised

payment in the form of gifts, legal fees, employment, favors to relatives,


social influence, or any relationship that sacrifies the public and welfare, with

or without the implied payment of money, is usually considered corrupt

(pembayaran terselubung dalam bentuk pemberian hadiah, ongkos

administrasi, pelayanan, pemberian hadiah pada sanak keluarga, pengaruh

kedudukan social, atau hubungan apa saja yang merugikan kepentingan

dan kesejahteraan umum, dengan atau tanpa pembayaran uang, umumnya

dianggap sebagai bagian dari korupsi). Ia menguraikan pula bentuk korupsi

lain, yang diistilahkan political corruption (korupsi politik) adalah electoral

corruption includes purchase of vote with money, promises of office or

special favors, coercion, intimidation, and interference with

administrative of judicial decision, or government appointment (korupsi pada

penelitian umum, termasuk memperoleh suara dengan uang, janji dengan

jabatan atau hadiah khusus, paksaan, intimidasi, dan campur tangan

terhadap kebebasan memilih. Korupsi dalam jabatan melibatkan penjualan

suara dalam legislative, keputusan administrasi, atau keputusan yang

menyangkut pemerintahan).

Dari interpretasi tersebut jelas menggambarkan bagaimana luasnya

cakupan perbuatan yang dikategorikan korupsi. Maka sah saja misalnya jika

ada pendapat yang mengatakan bahwa korupsi dapat dibagi menjadi dua

kategori,korupsi dalam artian yang luas dan korupsi dalam artian

khusus. Sedangkan untuk penjelasan tindak pidana korupsi secara

khusus diinterpretasikan melalui Undang-undang dengan beberapa syarat

atau ketentuan yang harus terpenuhi kemudian kita bisa mengatakan


bahwa suatu perbuatan itu dikatakan tindak pidana korupsi. Syarat-syarat

itu adalah terpenuhinya unsur-unsur tindak pidana seperti yang termaktub

dalam Undang - Undang nomor 31 tahun 1999 tentang Tindak Pidana

Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20

Tahun 2001 khususnya Pasal 2 dan Pasal 3 yang secara substansi tidak

mengalami perubahan, syarat dan ketentuan suatu tindak pidana korupsi

adalah :

Pasal 2 ayat (1)


“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan
perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara
atau perekonomian keuangan negara, dipidana penjara
dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 4 (empat) tahun dan palin lama 20 (dua puluh) tahun
dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar
rupiah).”

Pasal 2 ayat (2)


“Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana
mati dapat di jatuhkan.”

Pasal 3
“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana
yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda
paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah
dan paling banyak denda Rp. 1000.000.000,00 (satu milyar
rupiah).

Dari unsur-unsur yang terkandung di dalam ketentuan di atas, yang

cenderung dipersoalkan dalam kaitannya dengan rumusan delik adalah


menyangkut unsur merugikan keuangan atau perekonomian Negara. Bila

diperhatikan secara sepintas lalu terkesan adanya kemiripan unsure di

dalam ke dua ketentuan tersebut. Akan tetapi, bila diperhatikan secara

seksama, akan terlihat adanya perbedaan yang cukup mendasar antara

keduanya.25 Meskipun terdapat perbedaan, namun pembuat undang-

undang telah menempatkan kerugian keuangan dan / atau unsur

perekonomian negara di dalam ke dua ketentuan itu sebagai unsur. Dengan

demikian dapat dikatakan, untuk dapat dipidananya pelaku dalam tindak

pidana korupsi, penuntut umum harus membuktikan adanya unsur kerugian

keuangan negara itu.26

Pembuat undang-undang tidak memberikan penjelasan lebih lanjut

tentang apa yang dimaksud dengan kerugian keuangan negara. Di dalam

keuangan negara atau perekonomian negara. Di dalam penjelasan Undang-

undang Nomor 20 Tahun 2001 hanya ditegaskan, bahwa keuangan negara

yang dimaksudkan dalam undang-undang itu meliputi juga keuangan

daerah atau suatu badan/badan hukum yang menggunakan modal atau

kelonggaran negara atau masyarakat dengan dana-dana yang diperoleh

dari masyarakat tersebut untuk kepentingan kemanusiaan, sosial, dan lain-

lain. Dengan maksud untuk menghindari kemungkinan timbulnya

kesimpangsiuran dalam penafsiran, di dalam

Penjelasan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 ditegaskan pula

25
Andi Hamzah, Korupsi di Indonesia Masalah dan Pemecahannya. (Jakarta: Gramedia, 1986),
hal. 105.
26
Elwi Danil, 2012, “Korupsi, konsep, tindak pidana, dan pemeberantasannya”, PT. Rajagrafindo
Persada., Jakarta, hal 116.
bahwa, keuangan dari badan hukum atau badan hukum yang seluruh

modalnya diperoleh dari swasta tidak termasuk ke dalam pengertian

keuangan negara. Misalnya keuangan PT, CV, Firma, dan sebagainya yang

seluruh modalnya berasal dari swasta. 27

Demikian pula mengenai perekonomian Negara, oleh pembentuk

undang-undang tidak dijelaskan secara eksplisit. Pembuat undang-

undang hanya memberikan penjelasan tentang apa yang dimaksud

dengan perbuatan-perbuatan yang dapat merugikan perekonomian

negara, ialah pelanggaran-pelanggaran pidana terhadap peraturan-

peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam bidang

kewenangannya seperti yang dimaksud dalam Ketetapan MPRS Nomor

XXIII/MPRS 1960. Khusus menyangkut unsur merugikan keuangan

Negara dari ke dua ketentuan di atas, dalam praktik penegakan hukum,

khususnya dalam kasus-kasus tertentu, sering timbul perbedaan

interpretasi dan kesenjangan pemahaman merupakan sesuatu yang tidak

dapat dihindari.28

27
Ibid, Elwi Danil, hal 117.
28
Ibid, Elwi Danil, hal 117.
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Lokasi Penelitian

Adapun yang menjadi lokasi penelitian adalah Instansi-Instansi

atau lembaga-lembaga yang terkait dengan tindak pidana korupsi,

Pengadilan Negeri Makassar dan Kejaksaan Negeri Makassar

B. Jenis dan Sumber Data

Dalam penyusunan skripsi dibutuhkan data yang dapat digunakan

untuk menganalisa masalah yang dihadapi serta menghasilkan

kesimpulan yang objektif.

Dalam penyusunan skripsi ini data yang diperoleh sebagai berikut :

1. Data Primer

Merupakan data yang diperoleh langsung dari responden

melalui wawancara dengan hakim di Pengadilan Negeri Makassar

yang menangani kasus tindak pidana korupsi yang diperiksa secara in

absentia dan jaksa penuntut umum di Kejaksaan Negeri Makassar.

.2. Data Sekunder


Merupakan data yang diperoleh secara tidak langsung yang

berasal dari perUndang-Undangan, literatur-literatur, buku-buku,

tulisan-tulisan ilmiah serta sumber-sumber tercatat lain yang terkait

dengan materi yang penulis bahas.

C. Jenis Penelitian

1. Wawancara

Yaitu pengumpulan data dalam bentuk Tanya jawab yang

dilakukan secara langsung kepada responden dalam hal ini adalah

Hakim, Jaksa atau ahli hukum yang mengerti tentang objek penelitian

penulis.

2. Studi dokumen

Yaitu mengumpulkan data yang bersumber pada Perundang-

Undangan, literatur, buku-buku dan tulisan-tulisan ilmiah yang terkait

dengan objek penelitian penulis.

D. Analisis Data

Data yang diperoleh kemudian di analisis secara kuantitif.

Selanjutnya diajukan secara deskriptif yaitu dengan menjelaskan,

menguraikan dan menggambarkan permasalahan dengan

penyelesaiannya yang berkaitan dengan penulisan ini.


BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Permasalahan hukum yang dihadapi dalam proses Peradilan In

Absentia Perkara Tindak Pidana Korupsi

Menurut Muhammad Damis (hakim pada Pengadilan Negeri

Makassar) bahwa peradilan in absentia dalam perkara tindak pidana

korupsi utamanya bukan dimaksudkan hanya untuk menghukum pelaku,

tetapi supaya segera ada ketetapan hukum yang merugikan keuangan

negara itu. Lebih lanjut Muhammad Damis berpendapat bahwa konsep

due process of law (peradilan yang cermat dan adil) tetap harus

diterapkan, keterangan terdakwa pada tahap penyidikan sebagai

tersangka merupakan hal yang penting. Dalam due process of law itu

pihak jaksa sebagai Penuntut Umum harus bisa mengungkapkan fakta

hukum dan pandangan-pandangan mengapa seseorang

tersangka/terdakwa bersalah dan bisa dihukum. Sebaliknya

tersangka/terdakwa bisa membantah jika dirinya memang tidak bersalah

lewat fakta dan pandangan hukum. Dan dari dua versi hukum tersebut

barulah hakim menentukan putusannya, apabila tidak ada sama

sekali keterangan dari tersangka pada tahap penyidikan, maka hakim

akan sulit untuk memperoleh kebenaran hakiki, padahal


pengadilan harus memeriksa dan memutus perkara dengan

mendengar kedua belah pihak (audi et elteram partij), objektif dan

tidak memihak serta mendapatkan kebenaran materiil.

Dalam praktek menyidangkan perkara secara in absentia tidaklah

semudah dengan acara biasa, dimana hakim dalam mengambil

keputusan harus menemukan kebenaran materiil dan keyakinan bahwa

terdakwa bersalah sedangkan hakim tidak pernah memeriksa terdakwa

secara langsung. Hal yang serupa juga dikemukakan oleh Adi Emanuel

Palebangan salah satu Jaksa di Kejaksaan Negeri Makassar bahwa

permasalahan yang dihadapi dalam menyidangkan secara in absentia

adalah tidak bisa secara objektif dalam memeriksa terdakwa karena

terdakwa tidak bisa memberikan pendapatnya terhadap keterangan

saksi sehingga untuk mendapatkan kebenaran materiil tidak optimal,

maka dalam menghadapi permasalahan tersebut jaksa dalam tugasnya

membuktikan harus memperoleh bukti yang jelas, kuat, akurat dan

kongkret seperti hasil legal audit, apabila semua itu terpenuhi maka

permasalahan ketidakhadiran terdakwa dalam persidangan sedikit

teratasi.

Sesuai dengan kebenaran yang hendak dicari dan ditemukan

dalam perkara pidana adalah “kebenaran sejati” atau materiil waarheid

atau ultimate truth atau disebut juga absolute truth. Oleh karena itu,

pengakuan atau keterangan terdakwa belum dianggap sebagai


perwujudan kebenaran materiil tanpa dikuatkan dengan alat bukti. 29

Hal ini ditegaskan dalam rumusan Pasal 189 Ayat (4) Undang-Undang

No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP):

“Keterangan terdakwa saja atau pengakuan terdakwa saja tidak cukup

untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang

didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti

yang lain,”

Sekalipun terdakwa tidak hadir dalam persidangan, tetapi yang

diperlukan adalah unsur-unsur Pasal 183 Undang-Undang No. 8

Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang

menyatakan:

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali

apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia

memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar benar terjadi

dan bahwa terdakwalah yang melakukannya”

Adapun alat bukti sah yang dikenal dalam pasal 184 ayat (1) KUHAP

ialah:

1. Keterangan saksi;

2. Keterangan ahli;

3. Surat;

4. Petunjuk;

5. Keterangan terdakwa;

29
Yahya Harahap, 2002, “Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan
Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan kembali”. Sinar Harapan, hal 275.
Disamping itu Pasal 189 ayat (1) ditegaskan, bahwa keterangan

terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di persidangan tentang

perbuatan yang ia lakukan atau ia ketahui sendiri atau dialami sendiri,

begitu juga oleh Pasal 189 ayat (3) dinyatakan, bahwa “keterangan

terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri”.

Pada hakikatnya untuk mendapat kebenaran materiil

(materieele waarheid) dalam perkara pidana alat-alat bukti memegang

peranan sentral dan bersifat menentukan. Oleh karena itu, baik secara

teoritis dan praktik suatu alat bukti haruslah dipergunakan dan diberi

penilaian secara cermat, agar tercapai kebenaran sejati sekaligus

tanpa mengabaikan hak asasi terdakwa.30

Peradilan in absentia dalam upaya penyelamatan kerugian

negara dari tindak pidana korupsi juga menemui permasalahannya hal

ini dijelaskan oleh Adi Imanuel Palebangan Jaksa sekaligus Kasi

Intelijen Kejaksaan Negeri Makassar, bahwa dalam upaya

penyelamatan kerugian negara dari tindak pidana korupsi menemukan

permasalahan seperti kesulitan penyitaan aset-aset pelaku yang

diperoleh dari korupsi dan telah dialihkan ke tangan orang lain, selain itu

kesulitan dalam mencari harta/aset pelaku yang disimpan diluar

negeri.

30
Lilik Mulyadi, 2008,”Bunga Rampai Hukum Pidana Perspektif, teoritis dan Praktik”, Alumni, hal
91.
Untuk meminimalisir kerugian negara dalam upaya

mengembalikan kerugian negara dengan cara mempercepat proses

hukumnya, sehingga dengan peradilan in absentia pengembalian

kerugian negara mempunyai landasan hukum yang jelas sebagai

wujud kepastian hukum, sepanjang diperoleh bukti yang kuat bahwa

kekayaan terdakwa yang disita tersebut diperoleh dan berasal dari

hasil tindak pidana korupsi.

Pengembalian aset korupsi merupakan sistem penegakan hukum

yang menghendaki adanya suatu proses peniadaan hak atas aset

pelaku dari negara dengan cara antara lain meniadakan hak atas aset

pelaku secara perdata maupun pidana, bisa dilakukan dengan

penyitaan, pembekuan, perampasan baik dalam kompetensi lokal,

regional maupun internasional sehingga kekayaan dapat dikembalikan

kepada negara.31

Pengembalian aset melalui jalur hukum pidana pada umumnya

terdiri dari ketentuan-ketentuan mengenai proses pengembalian aset

melalui 4 (empat) tahap sebagai berikut32 :

1. Pelacakan aset

2. Tindakan pencegahan untuk menghentikan perpindahan

aset-aset melalui mekanisme pembekuan

31
Indriyanto Seno Adji, 2009, “Korupsi dan Penegakan Hukum”, Diadit Media, hal. 149,150.
32
Purwaning M Yanuar, 2007, ”Pengembalian Aset Hasil Korupsi Berdasarkan Konvensi PBB Anti
Korupsi 2003 dalam Sistem Hukum Indonesia”, PT Alumni, hal. 25.
3. Penyitaan atau perampasan aset

4. Pengembalian aset kepada negara

Ketentuan diatas dilandasi oleh pidana tambahan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 18 ayat 1 Undang-Undang Tindak Pidana

Korupsi yaitu berupa:

1. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang

tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan

untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi,

termasuk perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana

korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan

barang-barang tersebut.

2. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-

banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari

tindak pidana korupsi.

3. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu

paling lama 1 (satu) tahun.

4. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau

penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu,

yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada

terpidana.

Dalam hal tersangka/terdakwa yang tidak diketahui

keberadaannya tentu dalam pelaksanaan Pasal 18 ayat 1 Undang-


Undang Tindak Pidana Korupsi akan menemukan banyak kendala

sebagaimana keterangan tersangka/terdakwa merupakan informasi

yang sangat dibutuhkan dalam proses tersebut.

Terhadap penerapan peradilan in absentia dalam perkara tindak

pidana korupsi dipengaruhi oleh perbedaan pendapat para ahli hukum

mengenai keabsahan peradilan in absentia. Terdapat 3 (tiga)

kecenderungan yang mempengaruhi yaitu33 :

(1) Yang menganggap bahwa pemeriksaan di pengadilan

memutlakkan hadirnya terdakwa. Pendapat ini secara ekstrim

menolak diberlakukannya sidang in absentia. Pasal-pasal yang

menjadi acuan adalah pasal-pasal yang termuat dalam KUHAP

yang meliputi Pasal 145 ayat (5), Pasal 154 ayat(5), Pasal 155 ayat

(1), Pasal 203 dan Pasal 205. Pemahaman atas ketentuan pasal-

pasal tersebut adalah tidak mungkin sebuah perkara diperiksa dan

diadili tanpa hadirnya terdakwa. Bahwa para penyidik akan

mengalami kesulitan yang substansial dalam menyusun berita

acara pemeriksaan, karena bagaimana mungkin pemeriksaan

dilakukan tanpa adanya obyek yang diperiksa.

(2) Pandangan bahwa demi alasan pengembalian harta negara dalam

perkara tindak pidana korupsi dan pemenuhan keadilan di masa

transisi, maka pasal-pasal dalam UU TPK harus diberi nafas dan

terobosan. Hal ini secara teoritik dibenarkan dengan alasan

33
Dwiyanto Prihartono, 2003, “Sidang tanpa Terdakwa, Dilema Peradilan In Absentia dan Hak
Asasi Manusia”, Pustaka Pelajar, hal 26,27.
melakukan proses penemuan hukum (rechtvinding) atas sebuah

kasus yang belum tegas aturannya. Acuan yang dipergunakan

pendapat ini adalah Pasal 38 ayat (1) UU TPK yang semangatnya

adalah menempatkan kejahatan korupsi sebagai kejahatan luar

biasa yang penegakan hukumnya pun di luar kebiasaan

sebagaimana diatur dalam KUHAP sebagai suatu prosedur

pengecualian (eksepsional) untuk menyelamatkan kekayaan

negara. Pada prinsipnya eksepsionalitas dalam hukum acara

merupakan prosedur yang bersifat luar biasa seperti

pengesampingan asas non-rektroaktif pada kasus pelanggaran

HAM, kewenangan mengesampingkan perkara oleh Jaksa Agung

ataupun in absentia. Eksepsionalitas diberlakukan pada peradilan

in absentia perkara tindak pidana korupsi mengingat kejahatan

korupsi senantiasa berkaitan dengan jabatan atau disebut dengan

kejahatan okupasi (occupational crime) yaitu kejahatan yang dalam

pelaksanaannya mensyaratkan adanya suatu jabatan atau jenis

pekerjaan tertentu yang dilindungi undang-undang sehingga setiap

pelaku kejahatan okupasi yang tergolong powerfull sulit dijangkau

oleh hukum. Karena berkaitan dengan jabatan, maka tindak pidana

korupsi sering dikelompokkan sebagai kehajatan kerah putih (white

collar crime) sehingga tindak pidana korupsi dalam hal ini

dikategorikan sebagai kejahatan yang sangat luar biasa (extra

ordinary crime).
Pendapat yang paling moderat, bahwa sidang in absentia dapat

saja dilakukan, tetapi dalam praktek tetap harus melewati proses kerja

normal yang maksimal. Pendapat ini beranggapan bahwa kedua

pendapat sebelumnya sama-sama merupakan produk hukum yang

memiliki kekuatan hukum sama sehingga perlu dipertemukan menjadi

suatu kekuatan dalil baru. Pandangan moderat berpendapat bahwa

pada dasarnya peradilan in absentia merupakan suatu amanat

undang-undang yang pelaksanaannya harus benar-benar sesuai

dengan ketentuan yang berlaku.

B. Eksistensi Hak-Hak Terdakwa pada Peradilan in Absentia dalam

Perkara Tindak Pidana Korupsi

Pada prinsipnya setiap terdakwa haruslah diperiksa dan didengar

keterangannya serta diberi kesempatan untuk membela diri di muka

persidangan. Menurut Muhammad Damis hakim pada Pengadilan

Negeri Makassar bahwa persidangan secara in absentia merupakan

pengecualian terhadap kondisi-kondisi tertentu, pengecualian tersebut

adalah dalam hal terdakwa tidak hadir padahal sudah dipanggil menurut

cara-cara yang patut sesuai ketentuan KUHAP. dalam hal terdakwa

melarikan diri atau tidak memenuhi panggilannya dengan alasan yang

tidak dapat dibenarkan atau tanpa alasan, hal itu berarti terdakwa

memilih untuk tidak menggunakan haknya di muka persidangan.

Apabila sudah dipanggil sudah dipanggil


secara layak atau patut namun tidak hadir karena melarikan diri atau

tidak memenuhi panggilannya dengan alasan yang tidak dapat

dibenarkan atau tanpa alasan, dengan pertimbangan hakim tidak usah

menunggu hingga tersangka/terdakwa ditemukan maka dapat

dilaksanakan persidangan secara in absentia.

Apabila melihat Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik

(The international Convenant on Civil and Political Rights) khususnya

Pasal 14 ayat 1 yang menyatakan “bahwa setiap orang punya posisi

yang sama di muka pengadilan dan badan peradilan khusus” dan

Pasal 14 ayat 3 d “setiap orang berhak untuk diadili dangan disertai

kehadiranya, dan untuk membela diri oleh dirinya sendiri atau melalui

pengacaranya atau pilihannya sendiri, diberi tahu jika ia tidak

mempunyai pengacara, akan haknya dan untuk mendapatkan

pengacara yang ditujukan baginya, dalam kasus apapun juga

kepentingan keadilan begitu diperlukan dan tanpa membayar jika ia

tidak mampu membayar” maka peradilan in absentia terlihat seperti

melanggar Hak Asasi Manusia namun menurut Marwan Effendy 34

karena pasal tersebut merupakan yang tidak termasuk dalam rumpun

hak fundamental atau non derogable rights atau suatu hak yang tidak

ditunda pemenuhannya dalam situasi apapun, maka demi cita-cita

penegakan hukum, peradilan in absentia dianggap sah. Atau dengan

kata lain, peradilan in absentia dapat dilakukan dengan prasyarat

34
Marwan Effendy, 2010, Op.Cit, hal 71.
untuk keadaan yang khusus yang mengancam kehidupan negara, dan

negara harus mengumumkan alasan diberlakukannya peradilan in

absentia.

Pemberlakuan peradilan in absentia kepada seseorang dapat

dilakukan tanpa melanggar hak asasi manusia, bila negara telah

menjalankan keharusan mengemukakan alasan-alasan atas

ketidakmampuan negara dalam menghadirkan tersangka. Artinya

ketidakmampuan negara dikemukakan dan dibuktikan di depan

pengadilan sebagai suatu alasan yang objektif35.

Marwan Effendy juga berpendapat bahwa peradilan in absentia

tidak melanggar hak asasi manusia (HAM), mengingat36:

1. Proses dan prosedur diadakan peradilan in absentia sesuai

ketentuan perundang-undangan (KUHAP), yaitu dengan

melakukan upaya pemanggilan secara layak dan

diberitahukan di media massa terhadap tersangka tetapi

yang bersangkutan tidak hadir dan tidak menggunakan

haknya.

2. Meskipun hak untuk memperoleh keadilan senantiasa

melekat pada diri manusia karena bersifat universal akan

tetapi justru terdakwa yang melanggar hak asasi manusia

karena tidak mempertanggungjawabkan perbuatannya.

35
Ibid, Marwan Effendy, hal 71.
36
Ibid, Marwan Effendy, hal 71,72.
Terdakwa tidak memenuhi kewajiban asasinya, karena

menghilang dengan itikad tidak baik, sehingga hak asasinya

tidak digunakan dengan sengaja, artinya terdakwa

sepenuhnya menyerahkan hak-hak tersebut kepada proses

peradilan

Berkaitan dengan hadirnya terdakwa dalam persidangan,

Muhammad Damis hakim pada Pengadilan Negeri Makassar

menjelaskan bahwa perintah menghadirkan secara paksa terhadap

seorang terdakwa telah dua kali dipanggil secara sah, dan walaupun

kedua panggilan itu telah dilakukan dengan sah terdakwa tetap tidak

hadir “tanpa alasan yang sah”. Jika ada alasan yang sah misalnya

karena sakit yang dikuatkan dengan keterangan dokter atau karena

halangan yang patut dan wajar seperti terdakwa mengalami musibah,

merupakan alasan yang dapat dibenarkan. Alasan yang sah dengan

sendirinya menghapus wewenang ketua sidang untuk memerintahkan

terdakwa untuk dihadirkan secara paksa.

Adi Imanuel Palebangan jaksa di Kejaksaan Negeri Makassar

menjelaskan bahwa, apabila tersangka atau terdakwa tidak memenuhi

panggilan untuk menghadiri persidangan dengan alasan sakit maka

hal tersebut harus disertai dengan keterangan dokter dan medical record

dari tersangka atau terdakwa dan apabila dianggap perlu dihardirkan

juga saksi-saksi yang memberikan kesaksian atas apa yang dialami

oleh tersangka atau terdakwa.


C. Putusan Pengadilan Yang Menyidangkan Terdakwa Tindak Pidana

Korupsi Secara In Absentia

Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor :

1032/PID.B/2001/PN.JKT.PST tanggal 22 Maret 2002 atas nama

Hendra Rahardja (Terdakwa I), Eko Edi Putranto (Terdakwa II) dan

Sherny Kojongian (Terdakwa III)

(1) Kasus Posisi

Para terdakwa diduga secara bersama-sama telah melakukan

tindak pidana korupsi pada tahun 1992 sampai dengan 1996

bertempat di kantor PT Bank Harapan Sentosa (BHS) yang beralamat

di jalan Gajah Mada Nomor 7 Jakarta Pusat dengan cara menyalurkan

kredit kepada perusahaan grup BHS dengan melampaui batas kredit.

BHS mempunyai modal dasar dari para pemegang saham juga

mendapat modal dana yang dihimpundari masyarakat berbentuk

tabungan, deposito, giro dan lain-lain. Di sampaing itu BHS juga

menerima fasilitas Kredit Likuidasi Bank Indonesia (KLBI) dalam

bentuk Kredit Investasi Kecil (KIK) dan Kredit Modal Kerja Permanen

(KMKP), selain itu juga menerima fasilitas Bantuan Likuiditas Bank

Indonesia (BLBI) dalam bentuk fasilitas overdraft. Dana-dana tersebut

digunakan terdakwa untuk memperkaya diri sendiri atau memperkaya

perusahaan grupBHS. Pada saat BHS mengalami rush, yaitu

pengambilan dana besar-besaran dari masyarakat, BHS kekuarangan


dana karena sebagian besar masih dikuasai oleh perusahaan grup

BHS selaku debitur BHS. Karena kekurangan dana, BHS memohon

kepada pemerintah dalam hal ini Bank Indonesia untuk diberikan

bantuan berupa fasilitas overdraft. Pada tanggal 1 November 1997, BHS

sudah dalam keadaan tidak sehat dan akhirnya dilikuidasi. Pada saat itu

BHS belum dapat mengembalikan hutangnya pada Bank Indonesia

sehingga mengakibatkan baik secaralangsung maupun tidak langsung

telah merugikan keuangan negara.

Pada saat penghentian operasional dan likuidasi itu

berlangsung, Hendra Rahardja yang menjabat sebagai komisaris

sekaligus pemegang saham mayoritas tidak ditahan dan dengan

mengantongi Surat Pernyataan Release and Discharge kemudian

berangkat ke Sidney, Australia, dan bermukim disana. Penyidik Polri

kemudian meminta bantuan Interpoluntuk menangkap dan menahan

Hendra Rahardja yang berada di Sidney, Australia. Alasan penangkapan

tersebut adalah karena Hendra Rahardja diduga melakukan tindak

pidana pencucian uang di Sidney, yang uangnya berasal dari hasil

tindak pidana yang dilakukannya di Indonesia. Interpol kemudian

mengeluarkan Interpol Red Notice. Pada tanggal 1

Juni 1999, Hendra Rahardja ditahan oleh Australia Federal Policedan

3 (tiga) hari kemudian dipindahkan dari tahanan polisi Sidney ke penjara

Silverwater di Sidney. Surat perintah penahanan Hendra Rahardja baru

diterbitkan di Indonesia pada tanggal 18 Juni


1999.Hendra Rahardja yang ditahan diSidney mengajukan keberatan

atas penahanannya dan menolak untuk diekstradisi ke Indonesia. Dalam

putusan Federal Court of Australia New South Wales District Registry

No. N531 of 2000 tertanggal 1 Agustus 2000, hakim memutuskan untuk

tidak mengabulkan permohonan ektradisi Hendra Rahardja ke

Indonesia. Hendra Rahardja kemudian mengajukan gugatan Habeas

Corpus atas penahanannya di New South Wales- Australia. Kasus

tersebut menyangkut penahanan Hendra Rahardja yang terdiri atas

permintaan POLRI kepada Interpol dan pihak Kepolisian Federal

Australia memenuhi permintaan tersebut dan menahannya untuk

kemudiandiekstradisi ke Indonesia. Pengadilan Australia menunda

ekstradisi sampai selesainya pemeriksaan perkara Habeas Corpusyang

dilakukan oleh Kuasa Hukum Hendra Rahardja, Brett Walker, di Sidney

– NSW. Pelaksanaan ekstradisi tersebut tertunda karena adanya

dugaan perlakuan diskriminatif terhadap etnis Tionghoa di

Indonesia.233 Kekhawatiran bahwa Hendra Rahardja akandisiksa dan

ditekan dalam penyidikan membatalkan ekstradisi, sekalipun antara

Pemerintah Australia dan Pemerintah Indonesia telah dibuat perjanjian

ekstradisi.

(2) Dakwaan

Para terdakwa didakwa dengan surat dakwaan yang disusun

secara kumulatif oleh Jaksa Penuntut Umum dengan dakwaan kesatu

terhadap Terdakwa I, II, dan III dengan Pasal 1 ayat (1) sub a jo Pasal
28 jo Pasal 34 c Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 jo Undang-

Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Pasal 1 ayat (2) jo Pasal 55 ayat (1)

sub 1e jo

Pasal 64 ayat (1) KUHP, dakwaan kedua khusus terdakwa III

dengan Pasal 1 ayat (1) sub a jo Pasal 28 jo Pasal 34c Undang- Undang

Nomor 3 Tahun 1971 jo Undang-undang Nomor 31 Tahun

1999 jo Pasal 1 ayat (2) jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.

(3) Putusan

Setelah diperiksa dan diadili secara in absentiaoleh pengadilan

Negeri Jakarta Selatan melalui Putusan Nomor 1032/PID/B/2001/ PN.

JKT.PST tanggal 22 Maret 2002 menjatuhkan putusan terhadap

terdakwa :

1. HENDRA RAHARDJA, umur 58 tahun, tempat tanggal lahir Makasar

3 Desember 1942, jenis kelamin laki-laki, berkebangsaan Indonesia,

tempat tinggal Jl. Widya Chandra 5 No. 21 Jakarta Selatan, agama

Budha, pekerjaan Mantan Komisaris Utama PT. Bank Harapan

Santosa.

2. EKO EDI PUTRANTO, umur 34 tahun, tempat tanggal lahir Jakarta

9 Maret 1967, jenis kelamin laki-laki, kebangsaan Indonesia, tempat

tinggal Jl. Widya Chandra 5 No. 21 Jakarta Selatan, agama Budha,

pekerjaan Mantan Komisaris PT. Bank Harapan Sentosa.


3. SHERNY KOJONGIAN, umur 38 tahun, tempat tanggal lahir

Manado, jenis kelamin perempuan, kebangsaan Indonesia, tempat

tinggal Taman Kebon Jeruk Blok 1.8 No. 6 Jakarta Barat, agama

Kristen, pekerjaan Mantan Direktur PT. Bank Harapan Sentosa.

Amar putusan dimaksud adalah sebagai berikut :

1. Menyatakan terdakwa I, II, dan III yang diadili secara in absentia

terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah me lakukan tindak

Pidana Korupsi secara bersama-sama dan berlanjut;

2. Menghukum kepada para terdakwa in absentiatersebut masing-

masing : Terdakwa I dengan pidana penjara seumur hidup,

terdakwa II dengan pidana penjara 20 (dua puluh) tahun, dan

terdakwa III dengan pidana penjara 20 (dua puluh) tahun;

3. Menghukum para terdakwa dengan pidanadenda masing-masing

sebesar Rp. 30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah) dengan ketentuan

jika denda tidak dibayarkan harus diganti dengan pidana kurungan

selama 6 (enam) bulan;

4. Menyatakan barang bukti yang berupa tanah dan bangunan berikut

surat-suratnya yang terlampir dalam daftar barang bukti dan barang

bukti pengganti berupa hasil lelang barang bukti sebesar Rp.

13.529.150.800,- (tiga belas milyar lima ratus dua puluh sembilan

juta seratus lima puluh ribu delapan ratus rupiah) dirampas untuk

negara;
5. Menghukum para terdakwa secara tanggung renteng untuk

membayar uang pengganti sebesar Rp. 1.950.995.354.200,- (satu

triliun sembilan ratus lima puluh empat ribu dua ratus rupiah);

6. Menghukum masing-masing terdakwa membayar biaya perkara

sebesar Rp. 7.500,- (tujuh ribu lima ratus rupiah); Pertimbangan

Majelis Hakim memeriksa dan mengadili perkara tersebut secara in

absentia adalah sebagai berikut :

1. Berdasarkan penetapan Hakim Ketua Majelis tertanggal 20

Agustus 2001 Nomor : 1032/Pid.B/2001/PN.JKT.PST., telah

ditetapkan bahwa pemeriksaan dalam perkara ini dilakukan

tanpa hadirnya para terdakwa (in absentia) dengan alasan para

terdakwa telah dipanggil secara patut oleh Jaksa Penuntut

Umum dan pula atas perintah Majelis Hakim Jaksa Penuntut

Umum telah melakukan pemanggilan melalui surat kabar : Media

Indonesia, Terbit, Republika, dan Suara Pembaruan akan

tetapi para terdakwa tidak hadir.

2. Bahwa seperti dimaklumi pada saat ini Pemerintah telah

berupaya segiat-giatnya memberantas tindak pidana korupsi,

akan tetapi ternyata dalam menindaklanjuti seringkali banyak

hambatan-hambatan karena terbentur atau adanya kesulitan-

kesulitan untuk mendatangkan para tersangka, mengingat


yang bersangkutan tidak beradalagi di Negara Republik

Indonesia akan tetapi telah berada di negara lain (luar negeri),

sedangkan para tersangka tersebut telah diduga merugikan

keuangan negara yang jumlahnya tidak sedikit serta tidak

dapat dipastikan kapan mereka ini kembali ke tanah air

(Indonesia).

3. Bahwa apabila hal yang demikian ini dibiarkan berlarut-larut

yaitu pemeriksaan dalam tahap penyelidikan dan

penyidikannya menunggu para tersangka kembali ke tanah air

sedangkan kembalinya belum dapat diketahui, akan

mengakibatkan kerugian lebih banyak lagi karena harta

kekayaan atau aset-aset yang ada di dalam negeri tidak dapat

diapa-apakan, sedangkan di lain pihak masyarakat selalu

menuntut agar segala bentuk kejahatan khususnya yang

menyangkut tindak pidana korupsi segera diberantas.

4. Bahwa dengan adanya hambatan-hambatan dan kesulitan-

kesulitan untuk memeriksa orang-orang yang disangka telah

melakukan tindak pidana korupsi dengan meninggalkan tanah

air, maka Majelis dengan mendasarkan pada ketentuan Pasal

27 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1974 yang

menentukan bahwa hakim sebagai penegak hukum dan


keadilan wajib menggali, mengikuti dan menggali nilai-nilai

hukum yang hidup dalam masyarakat.

5. Bahwa bertitik tolak pada ketentuan tersebut Majelis akan

memberikan jalan upaya agar mereka yang berada di luar negeri

yang disangka melakukan tindak pidana korupsi dapat diperiksa

dan diadili sudah barang tentu dengan tetap berpedoman

kepada asas praduga tak bersalah.

6. Bahwa jalan atau upaya Majelis Hakim yaitu dengan

mengartikan tentang pengertian in absentia tidak diartikan

secara sempit akan tetapi diartikan secara luas, yaitu

pemeriksaan in absentiaharus diartikan dan/atau dikenakan

kepada siapa saja yang menurut sangkaan dan dugaan telah

melakukan perbuatan tindak pidana korupsi dapat diperiksa

secara in absentia baik orang tersebut diketahui maupun tidak

diketahui keberadaannya di luar maupun di dalam negeri dan

telah dipanggil secara patut, sehingga hal yang demikian itu akan

mempermudah pemerintah untuk memeriksa kepada yang

bersangkutan.

7. Bahwa selanjutnya mungkin timbul pertanyaan, apakah hal

yang demikian itu bukankah merupakan pelanggaran terhadap

hak asasi manusia, menurut hemat Majelis adalah tidak,

karena yang bersangkutan telah dipanggil secara patut dan

dalam hal ini telah diatur dalam Pasal 38 ayat (1) UU TPK oleh
karenanya apabila mereka akan menggunakan hak-haknya

untuk beracara baik tingkat penyidikan dan penuntutan serta

pemeriksaan dimuka persidangan dapat kembali ke tanah air.

Sebelum majelis menjatuhkan putusan terhadap para terdakwa,

terlebih dahulu mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan

meringankan. Hal-hal yang memberatkan adalah :

1. Akibat perbuatan para terdakwa telah merugikan keuangan

negara sangat besar;

2. Para terdakwa telah menikmati hasil korupsi;

3. Para terdakwa tidak mempunyai rasa tanggung jawab kepada

bangsa dan negara, terbukti setelah melakukan perbuatan

mereka melarikan diri

4. Perbuatan para terdakwa merupakan salah satu potensi yang

merusak perekonomian negara yang ditandai dengan terjadinya

krisis moneter. Sedangkan hal-hal yang meringankan tidak ada.

Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor

125/PID/2002/PT.DKI tanggal 8 November 2002 menerima permintaan

banding dari terdakwa I Hendra Rahardja. Memperbaiki putusan

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 22 Maret 2002 Nomor

1032/PID.B/2001/PN.JKT.PST yang dimohonkan banding sehingga

amar selengkapnya menjadi berbunyi :


1. Menyatakan terdakwa I, II dan III yang telah dipanggil

2. dengan secara sah tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan

yang sah;

3. Menyatakan terdakwa I, II dan III telah terbukti dengan sah dan

meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara

bersama dan berlanjut;

4. Menghukum kepada terdakwa tersebut masing-masing : Terdakwa

I dengan pidana penjara seumur hidup, terdakwa II dengan pidana

penjara 20 (dua puluh) tahun, dan terdakwa III dengan pidana

penjara 20 (dua puluh) tahun;

5. Menghukum para terdakwa dengan pidanadenda masing-masing

sebesar Rp. 30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah) dengan ketentuan

jika denda tidak dibayarkan harus diganti dengan pidana kurungan

selama 6 (enam) bulan;

6. Menyatakan barang bukti yang berupa tanah dan bangunan berikut

surat-suratnya yang terlampir dalam daftar barang bukti dan barang

bukti pengganti berupa hasil lelang barang bukti sebesar Rp.

13.529.150.800,- (tiga belas milyar lima ratus dua puluh sembilan

juta seratus lima puluh ribu delapan ratus rupiah) dirampas untuk

negara;
7. Menghukum para terdakwa secara tanggung renteng untuk

membayar uang pengganti sebesar Rp. 1.950.995.354.200,- (satu

triliun sembilan ratus lima puluh empat ribu dua ratus rupiah);

8. Menghukum terdakwa I membayar biaya perkara dalam kedua tingkat

peradilan, biaya mana untuk tingkat pertama sebesar Rp.

7.500,- (tujuh ribu lima ratus rupiah) dan untuk tingkat banding

sebesar Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah). Pertimbangan Pengadilan

Tinggi DKI Jakarta memperbaiki putusan Pengadilan Negeri

Jakarta Selatan tersebut, intinya adalah :

a. Di dalam hukum acara pidana, penempatan kata in

absentiadalam amar putusan kurang tepat dan tidak

berdasarkan alasan hukum yang benar, karena istilah in

absentiatidak dikenal dalam hukum acara pidana yang

berlaku. Yang dikenal dan diatur adalah mengadili dan

menjatuhkan putusan tanpa hadirnya terdakwa seperti yang

diatur dalam Pasal 23 Undang-Undang Nomor 3 tahun 1971

jo UU TPK.

b. Kepada terdakwa telah diberikan hak untuk hadir di muka

persidangan seperti diatur dalam Pasal 23 Undang-Undang

Nomor 3 tahun 1971 jo UU TPK. Hak yang diberikan UU

kepada terdakwa tersebut adalah sepenuhnya kewenangan

terdakwa untuk menggunakan atau tidak, bukan menjadi


kewajiban terdakwa untuk hadir seperti yang diatur secara

umum dalam perkara pidana biasa.

c. Karena tidak terbukti secara aktif dan proporsional terdakwa

dalam menggunakan haknya untuk hadir di muka sidang

melainkan justru menggunakan atau memanfaatkan

keberadaannya dalam tahanan di Australia sebagai alasan

untuk tidak hadir, maka Majelis Hakim tingkat banding tidak

dapat lain kecuali berkesimpulan terdakwa telah melepaskan

haknya untuk berusaha hadir memenuhi panggilan

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, tetapi justru menikmati

atau memanfaatkan keberadaannya di Australia sebagai

alasan tidak hadir.

d. Sesuai dengan yurisprudensi yang berlaku dalam putusan

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tanggal 4 Agustus 1982

Nomor 4321/7/B/JS/PID/1982 jo Putusan Pengadilan Tinggi

DKI Jakarta tanggal 17 November 1982 Nomor

89/1982/PT.Pidana jo Putusan MARItanggal 19 November

1984 Nomor 492/K/Pid/1983 telah dipertimbangkan karena

panggilan telah disampaikan ke alamat tempat terdakwa

terakhir berada sehingga walaupun panggilan itu tidak

memenuhi ketentuan sebagaimana diaturdalam Pasal 145


ayat (2) dan (5) KUHAP, panggilan tersebut tetap dapat

dianggap telah dilakukan dengan semestinya.

e. Dengan mengambilalih seluruh pertimbangan Majelis Hakim

Tingkat Pertama kecuali hal in absentiaseperti pertimbangan

di depan tentang kesalahan terdakwa yang terbukti dengan

sah dan meyakinkan, maka pertimbangan dan putusan

Majelis Hakim Tingkat Pertama telah tepat dan benar, oleh

karena itu diambil alih seluruhnya oleh Majelis Hakim Tingkat

Banding sebagai pertimbangannya sendiri dalam tingkat

banding, dengan memperbaiki putusan tersebut

sebagaimana lengkapnya dalam amar tersebut di atas.

Analisis Penerapan Peradilan In Absentia dalam Perkara

Hendra Rahardja Memperhatikan pertimbangan Majelis Hakim dalam

memeriksa dan memutuskan perkara Hendra Rahardja secara in

absentia, telah menggambarkan pentingnya proses pemanggilan secara

patut dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum. Majelis Hakim dalam

perkara ini mengedepankan pentingnya pengembalian aset hasil

tindak pidana korupsi dengan tetap berpedoman kepada asas praduga

tak bersalah. Pengertian in absentia dalam perkara ini diartikan

secara luas, yaitu pemeriksaan in absentia harus diartikan dan/atau

dikenakan kepada siapa saja yang menurut sangkaan dan dugaan telah

melakukan perbuatan tindak pidana korupsi dapat


diperiksa secara in absentia baik orang tersebut diketahui maupun

tidak diketahui keberadaannya di luar maupun di dalam negeri dan

telah dipanggil secara patut. Terkait HAM, dikarenakan yang

bersangkutan telah dipanggil secara patut dan dalam hal ini telah

diatur dalam Pasal 38 ayat (1) Undang-undang Tindak Pidana Korupsi

maka tidak terjadi pelanggaran HAM. Majelis Hakim juga telah

memerintahkan Jaksa Penuntut Umum untuk melakukan pemanggilan

melalui berbagai surat kabar. Majelis Hakim tetap memberikan

kesempatan apabila terdakwa kembali ke tanah air dapat

menggunakan hak-haknya untuk beracara baik tingkat penyidikan dan

penuntutan serta pemeriksaan dimuka persidangan. Majelis Hakim

dalam perkara ini juga mempertimbangkan upaya pemberantasan tindak

pidana korupsi yang tengah digalakkan oleh pemerintah dan tuntutan

masyarakat luas agar perkara tindak pidana korupsi diberantas

berdasarkan asas keadilan dan asas kepastian hukum. Terlebih lagi

mengingat kerugian negara yang ditimbulkan akibat perbuatan tindak

pidana korupsi tersebut sangat besar. Dalam amar putusan perkara

Hendra Rahardja ini, dapat diketahui bahwa Majelis Hakim dapat

menerima secara hukum proses penyidikan yang sejak awal dilakukan

secara in absentia.
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka penulis

menyimpulkan beberapa hal sebagai berikut:

1. Peradilan in absentia merupakan sarana yang sah dalam hal

tidak hadirnya terdakwa tindak pidana korupsi dalam proses sidang

pengadilan dan khususnya pada tujuan pemulihan keungan negara

dari hasil tindak pidana korupsi, namun dalam penerapannya

peradilan in absentia menemui permasalahan seperti sulitnya hakim

dalam membentuk keyakinannya untuk memutus suatu perkara tanpa

keterangan terdakwa dan sulitnya menemukan kebenaran materiil

dikarenakan pengadilan harus memeriksa dan memutus perkara

dengan mendengar kedua belah pihak (audi et elteram partem),

objektif dan tidak memihak.

2. Peradilan in absentia dalam perkara tindak pidana korupsi tidak

melanggar hak-hak terdakwa secara subtansi KUHAP sudah

memberikan perlindungan yang baik terhadap hak-hak asasi terdakwa

dan apabila terdakwa dipanggil secara sah, layak dan patut namun

atas kehendak terdakwa menghindarkan diri dari pemanggilan maka

secara tidak langsung terdakwa memilih untuk tidak menggunakan hak

asasinya sebagaimana makna dari Pasal 38 Ayat 1 Undang-Undang


Tindak Pidana Korupsi sebagai perwujudan adanya kepastian hukum

baik terhadap pelaku maupun terhadap harta kekayaan negara yang

harus dikembalikan sehingga tanpa tanpa kehadiran terdakwa perkara

dapat diperiksa dan diputus.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas maka penulis menyarankan

beberapa hal sebagai berikut:

1. Aparat penegak hukum khususnya pihak kejaksaan yang

mempunyai wewenang untuk membuktikan suatu tindak pidana dalam

hal tidak mampu menghadirkan tersangka atau terdakwa dalam sidang

pengadilan agar bekerja lebih maksimal utamanya dalam

membuktikan suatu tindak pidana korupsi agar hakim dapat

memutuskan suatu perkara secara objektif serta mendapatkan

kebenaran materiil.

2. Aparat penegak hukum dalam hal ini kepolisian, kejaksaan

serta komisi pemberantasan korupsi (KPK) agar lebih represif dalam

menangani suatu perkara khusunya tindak pidana korupsi dalam

mengantisipasi tersangka atau terdakwa menghindarkan diri dari

sidang pengadilan atau melarikan diri agar pengadilan tidak perlu

memproses suatu perkara tindak pidana korupsi secara in absentia yang

juga menemui permasalahan.


Daftar Pustaka

Adami Chazawi. 2006, “Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi”, PT


Alumni: Bandung
2005. “Hukum Pidana Materiil dan Formil di Indonesia”.
Bayumedia Publishing: Malang.
Andi Hamzah. 1986, “Hukum Pidana Ekonomi”, Erlangga: Jakarta
1986. “Korupsi di Indonesia Masalah dan
Pemecahannya”, Gramedia: Jakarta.
Djoko Prakoso. 1984, “Peradilan In Absentia di Indonesia”, Ghalia
Indonesia: Jakarta.
Dwiyanto Prihartono. 2003, “Sidang Tanpa Terdakwa, Dilema Peradilan In
Absentia dan Hak Asasi Manusia”, Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Elwi Danil. 2012. “Korupsi, Konsep Tindak Pidana, dan
Pemberantasannya”. PT Rajagrafindo Persada: Jakarta.
Evi Hartanti. 2008. “Tindak Pidana Korupsi”, Sinar Grafika: Jakarta.
Indriyanto Seno Adji, 2009, “Korupsi dan Penegakan Hukum”, Diadit
Media: Jakarta.
Lilik Mulyadi. 2008, “Bunga Rampai. Hukum Pidana ; Perspektif Teoritis dan
Praktik”, PT Alumni: Bandung.
Marwan Effendy. 2011. “Sistem Peradilan Pidana, Tinjauan Beberapa
Perkembangan Hukum Pidana”. Referensi: Jakarta.
2010, “Peradilan In Absentia dan Koneksitas”.
Timpani Publishing: Jakarta.
Mien Rukmini. 2003, “Perlindungan HAM Melalui Asas Praduga Tak
Bersalah dan Asas Persamaan Kedudukan Dalam Hukum Pada
Peradilan Pidana Indonesia”, Alumni: Bandung.
Moch. Faisal Salam. 2001, “Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan
Praktek”, Mandar Maju: Bandung.
Teguh Prasetyo, 2011, “Hukum Pidana”, PT Raja Grafindo Persada:
Jakarta.
Purwaning M Yanuar, 2007. “Pengembalian Aset Hasil Korupsi
Berdasarkan Konvensi PBB Anti Korupsi 2003 Dalam Sistem
Hukum Indonesia”, PT Alumni: Bandung.
Yahya Harahap. 2002, “Pembahasan Permasalahan dan Penerapan
KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan
Peninjauan Kembali”, Sinar Harapan: Jakarta.
Perundang-undangan :
Undang Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi
Undang Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi
Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik (The International Convennant
on Civil and Political Rights)

Sumber lain:
Hukumonline.com
Putusan.mahkamahagung.go.id
Wikipedia.com

Anda mungkin juga menyukai