Anda di halaman 1dari 100

SKRIPSI

ANALISIS KOORDINASI ANTARA


LEMBAGA KEPOLISIAN DAN KEJAKSAAN
DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA
(Studi Kasus Perkara Pidana No. LP/244/X/2010/Sekta, 29 Oktober 2010)

OLEH :
A.FADHILAH YUSTISIANTY
(B111 07 073)

UNIVERSITAS HASANUDDIN
FAKULTAS HUKUM
BAGIAN HUKUM ACARA
MAKASSAR
2011
HALAMAN JUDUL

ANALISIS KOORDINASI ANTARA LEMBAGA KEPOLISIAN


DAN KEJAKSAAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA
(Studi Kasus Perkara Pidana No.LP/244/X/2010/Sekta,29 Oktober 2010)

Oleh
A. FADHILAH YUSTISIANTY
B111 07 073

SKRIPSI

Diajukan sebagai Tugas Akhir dalam rangka


Penyelesaian Studi Sarjana dalam Program Kekhususan
Hukum Acara Program Studi Ilmu Hukum

Pada

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR
JANUARI 2011

i
ii
iii
iv
KATA PENGANTAR

Assalamu alaikum Wr.Wb.

Puji syukur Penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT. atas berkat

dan rahmat-Nya serta karunia yang diberikan kepada Penulis sehingga

skripsi yang sederhana ini dapat terselesaikan dengan baik. Penulis

menyadari bahwa hanya dengan petunjuk-Nya jugalah sehingga kesulitan

dan hambatan dapat diatasi dengan sebaik-baiknya. Shalawat serta salam

kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW. yang telah membawa kita

dari jalan yang gelap menuju jalan yang terang benderang.

Dalam penyusunan skripsi ini, Penulis banyak mendapatkan

bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada

kesempatan ini, Penulis menghanturkan terima kasih yang setinggi-

tingginya.

Kepada keluarga Penulis, yaitu kedua orang tua Penulis yakni

ayahanda tercinta A.Umar Najamuddin dan ibunda tercinta Rabiah

Thamrin yang teramat Penulis hargai dengan segenap kasih dan

sayangnya, motivator yang telah mendidik, membesarkan, serta

mengiringi setiap langkah Penulis dengan doa serta restunya yang tulus

diridhoi oleh Allah SWT. Tak lupa pula kepada saudara Penulis,

A.Rahmah Mulianty,S.H., A.Muh.Irsyad, dan A.Lasinrang yang selama ini

telah banyak memberikan dorongan semangat kepada Penulis selama

v
penyusunan skripsi ini. Serta yang menjadi sumber inspirasi dan sempat

memberi kenangan manis dalam hidup Penulis, Alm.Briptu Taufan Ariadi,

yang tidak akan pernah Penulis lupakan dan saat bersamanya akan

menjadi salah satu kenangan terindah dalam hidup Penulis, semoga

arwahnya diterima di sisi Allah SWT.

Dengan berbekal semagat diri dan berpedoman pada yang amat

terpelajar dan bijaksana, Prof.Dr.Slamet Sampurno,S.H.,M.H., sebagai

Pembimbing I dan yang amat terpelajar dan dengan amat sabar

memberikan arahan dan motivasi, Ibu Nur Azisa,S.H.,M.H.,sebagai

Pembimbing II sehingga akhirnya Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Untuk itu, seyogianyalah apabila Penulis yang memiliki keterbatasan

dengan segenap hati menyuguhkan ucapan terima kasih yang sebesar-

besarnya kepada para pembimbing yang dengan penuh kearifan dan

segala kerendahan hati telah menuntun jalan Penulis agar dapat

menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Semoga Allah SWT. melimpahkan

anugerah rahmat dan hidayah-Nya kepada mereka.

Selanjutnya Penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-

besarnya kepada:

1. Prof.Dr.dr.Idrus A.Paturusi,Sp.B.Sp.BO., selaku Rektor Universitas

Hasanuddin.

2. Prof.Dr.Aswanto,S.H.,M.S.,DFM., selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Hasanuddin.

vi
3. Para Pembantu Dekan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin

dan staf.

4. Ketua Bagian dan Sekertaris serta seluruh dosen Bagian Hukum

Acara.

5. AKP.Hasan,SIK.,mantan Kapolsekta Wajo.

6. Sumarno,S.E.,Kapolsekta Wajo.

7. H.Zulkarnaen A.,L.,S.H.,M.H., Kacabjari Kejaksaan Negeri

Makassar Cabang Pelabuhan Makassar.

8. Sukardi,S.H.,M.Hum., Kanit Reskrim Polsekta Wajo.

9. Nur Fitriaty,S.H., Kasubsi Tindak Pidana Kejaksaan Negeri

Makassar Cabang Pelabuhan Makassar.

10. Brigpol Nur Anshar, anggota opsnal Polsekta Wajo yang telah

memberi semangat dan motivasi kepada Penulis serta dengan

sabar mendengarkan keluh kesah Penulis.

11. Bripka Tumijan, Brigpol Ilyas, Briptu Idris, Briptu Arnoldus, Briptu

Abdillah Rolis, Aipda Majid, Bripka Dalle, Brigpol Dasri, Briptu Pius,

dan seluruh anggota Polsekta Wajo yang telah banyak membantu

selama Penulis melakukan penelitian di Polsekta Wajo.

12. Seluruh dosen dan staf Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin

yang telah banyak membantu dan memberi ilmu yang sangat

berharga bagi Penulis.

13. Sahabat-sahabatku, Amel, Uun, Andien, yang telah dengan setia

menemani Penulis selama melakukan penelitian.

vii
14. Sahabat-sahabatku, Icha, Ardy, Rany, Hendra, Dian, Riri, Inho,

Onna, Accunk, Aby, Rahmat, Sira, dan Eril yang telah menemani

Penulis mengisi hari-hari di Fakultas Hukum Universitas

Hasanuddin, kebersamaan dengan kalian selama beberapa tahun

tidak akan pernah Penulis lupakan.

15. Teman-temanku bagian Hukum Acara, kebersamaan dengan kalian

tidak akan pernah Penulis lupakan.

16. Teman-temanku seluruh angkatan 2007 Ekstradisi.

Semoga Allah SWT. mencatat segala amal baik kalian.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih terdapat banyak

kekurangan. Oleh karena itu, saran, kritik, dan masukan yang bersifat

membangun sangat Penulis harapkan untuk penyempurnaan skripsi ini.

Namun demikian, Penulis tetap berharap semoga skripsi ini dapat

bermanfaat bagi kita semua, khususnya bagi Penulis sendiri. Amin.

Wassalamualaikum Wr.Wb.

Makassar, 23 Desember 2010

Penulis

viii
ABSTRAK

A.Fadhilah Yustisianty (B111 07 073) dengan judul skripsi “Analisis


Koordinasi antara Lembaga Kepolisian dan Kejaksaan dalam Sistem
Peradilan Pidana (Studi Kasus Perkara Pidana No.LP/244/X/2010/Sekta,
29 Oktober 2010).” Dibawah bimbingan Prof.Dr.Slamet
Sampurno,S.H.,M.H., sebagai Pembimbing I dan Nur
Azisa,S.H.,M.H.,sebagai Pembimbing II.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana hubungan


koordinasi antara Lembaga Kepolisian dan Lembaga Kejaksaan dalam
penanganan perkara pidana dengan nomor laporan polisi
LP/244/X/2010/Sekta, 29 Oktober 2010 dan faktor-faktor yang
mempengaruhi kurangnya koordinasi antara Lembaga Kepolisian dan
Lembaga Kejaksaan dalam penanganan perkara pidana dengan nomor
laporan polisi LP/244/X/2010/Sekta, 29 Oktober 2010.

Penelitian ini dilaksanakan di dua tempat, yakni Polsekta Wajo dan


Kejaksaan Negeri Makassar Cabang Pelabuhan Makassar. Teknik
pengumpulan data yang digunakan untuk memperoleh data primer adalah
teknik wawancara dengan pihak Penyidik dan Jaksa yang menangani
perkara pidana dengan nomor laporan polisi LP/244/X/2010/Sekta, 29
Oktober 2010. Selain itu, untuk mendapatkan data sekunder dengan
melakukan penelusuran dan pengkajian pustaka dan dokumen-dokumen
resmi, seperti buku-buku, laporan tahunan, dan arsip-arsip lainnya pada
instansi terkait yang berkaitan dengan objek penelitian.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Terkait dengan perkara


pidana dengan nomor laporan polisi LP/244/X/2010/Sekta, 29 Oktober
2010, sebenarnya dapat dilihat bahwa tidak terjadi hubungan koordinasi
antara Kepolisian dalam hal ini Polsekta Wajo dengan Kejaksaan Negeri
Makassar Cabang Pelabuhan Makassar, karena perkara tersebut
diselesaikan secara damai hanya pada tingkat penyidikan di Kepolisian
karena Pelapor sekaligus Korban telah mencabut laporannya sebelum
Penyidik mengirimkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan ke
Kejaksaan. Hal ini dilakukan oleh Penyidik untuk memberi kesempatan
kepada Pelapor untuk membicarakan dan memikirkan apakah perkara
tersebut akan dilanjutkan ke taraf penuntutan ke Kejaksaan atau
diselesaikan secara damai di Kepolisian. (2) Faktor-faktor yang
mempengaruhi kurangnya bahkan tidak terjadinya koordinasi antara
Kepolisian dalam hal ini Polsekta Wajo dengan Kejaksaan dalam hal ini
Kejaksaan Negeri Makassar Cabang Pelabuhan Makassar dalam
penanganan perkara pidana dengan nomor laporan polisi
LP/244/X/2010/Sekta, 29 Oktober 2010 telah diselesaikan secara damai di
tingkat penyidikan di Kepolisian, sebelum diterbitkannya Surat

ix
Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan, maka hal tersebut menunjukkan
bahwa tidak terjadi hubungan koordinasi antara Kepolisian dalam hal ini
Polsekta Wajo dengan Kejaksaan dalam hal ini Kejaksaan Negeri
Makassar Cabang Pelabuhan Makassar karena telah dicabutnya laporan
sebelum diterbitkannya SPDP, walaupun jika merujuk pada ketentuan
Pasal 109 ayat (1) KUHAP, begitu penyidikan mulai dilakukan maka pihak
Penyidik harus mengirimkan SPDP ke Kejaksaan. Dan berdasarkan
wawancara dengan pihak Kejaksaan, apabila suatu perkara telah
diselesaikan secara damai di Kepolisian sebelum dikirim SPDP maka hal
tersebut tidak perlu diberitahukan kepada pihak Kejaksaan. Faktor lain
yang menyebabkan tidak terjadi hubungan koordinasi antara Kepolisian
dan Kejaksaan dalam hal ini Polsekta Wajo dan Kejaksaan Negeri
Makassar Cabang Pelabuhan Makassar yaitu dihentikannya penyidikan
dan tidak dikirim SPDP pada saat memulai penyidikan ada pertimbangan
dari pihak Kepolisian bahwa meskipun terhadap perkara dengan nomor
laporan polisi LP/244/X/2010/Sekta, 29 Oktober 2010 telah dilakukan
penyidikan, namun pihak Penyidik belum mengirimkan SPDP dengan
pertimbangan efisiensi yaitu Penyidik menunda mengirim SPDP dengan
menunggu sampai maksimal sebelum waktu untuk meminta perpanjangan
penahanan yakni setelah 20 (dua puluh) hari dikirimkan. Hal ini
dimaksudkan karena ada kemungkinan perkara yang masuk tersebut
dapat diselesaikan secara damai sehingga tidak perlu lagi mengirimkan
Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Hal ini jelas bertentangan
dengan prosedur yang telah diatur dalam KUHAP khususnya Pasal 109
ayat (1). Hal ini pulalah yang menyebabkan hubungan koordinasi yang
terjadi antara Kepolisian dan Kejaksaan tidak berjalan maksimal karena
SPDP, SP3, P17, P18, P21, dan permohonan perpanjangan penahanan
merupakan sarana kontrol bagi Kepolisian dan Kejaksaan untuk saling
mengawasi jalannya suatu perkara pidana dalam sebuah Sistem
Peradilan Pidana.

x
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................... i


HALAMAN PENGESAHAN...................................................................... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................................. iii
PERSETUJUAN MENEMPUH UJIAN SKRIPSI ...................................... iv
KATA PENGANTAR ................................................................................ v
ABSTRAK..…………………………………………………………………..... ix
DAFTAR ISI ............................................................................................. xi
DAFTAR TABEL ...................................................................................... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... xv

BAB I PENDAHULUAN……….…………………………………………… 1
A. Latar Belakang Masalah….…………………………………………. 1
B. Rumusan Masalah…………………………………………………… 5
C. Tujuan dan Kegunaan……………………………………………….. 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.……….…….……………………………… 7


A. Sistem Peradilan Pidana…...……..………………………………….. 7
1. Definisi dan Tujuan Sistem Peradilan Pidana…………………. 7
1.1. Definisi Sistem……………………………………………. 7
1.2. Definisi Peradilan dan Peradilan Pidana………………. 8
1.3. Definisi Sistem Peradilan Pidana……………………….. 9
1.4. Tujuan Sistem Peradilan Pidana……………………….. 10
2. Sub sistem Peradilan Pidana…………………………………… 10
2.1. Lembaga Kepolisian……………………………………… 10
2.2. Lembaga Kejaksaan……………………………………... 12
2.3. Lembaga Pengadilan……………………………………. 14
2.4. Lembaga Pemasyarakatan……………………………… 16
2.5. Advokat…………………………………………………… 19

xi
3. Kepolisian sebagai sub sistem Peradilan Pidana…………….. 20
4. Kejaksaan sebagai sub sistem peradilan Pidana…………….. 22
B. Proses Penyelesaian Perkara Pidana……………………………… 25
1. Pemeriksaan Pendahuluan……………………………………… 25
1.1 Penyelidikan………………………………………………….. 25
1.2 Penyidikan……………………………………………………. 27
2. Penuntutan……………………………………………………….. 30
3. Pemeriksaan dalam Sidang Pengadilan……………………….. 33
C. Bentuk-bentuk Koordinasi antara Penyidik dan Penuntut Umum
dalam Penanganan Perkara Pidana ……………………………… 34
1. Pemberitahuan dimulainya Penyidikan oleh Penyidik
ke Penuntut Umum……………………………………………… 34
2. Perpanjangan Penahanan……………………………………… 35
3. Prapenuntutan…………………………………………………… 37

BAB III METODOLOGI PENELITIAN…………………………………… 41

A. Lokasi Penelitian……………………………………………………… 41
B. Sumber Data…………………………………………………………… 42
C. Jenis dan Teknik Pengumpulan Data……………………………… 42
D. Teknik Analisis Data………………………………………………… 43

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN…………………… 44

A. Koordinasi antara Kepolisian dan Kejaksaan dalam


Penanganan Perkara Pidana dengan Nomor
Laporan Polisi LP/244/X/2010/Sekta, 29 Oktober 2010…………. ..49
B. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kurangnya Koordinasi
antara Lembaga Kepolisian dan Kejaksaan dalam
Penanganan Perkara Pidana dengan Nomor
Laporan Polisi LP/244/X/2010/Sekta, 29 Oktober 2010……............. 62

xii
BAB V PENUTUP…………………………………………………………… 76

A. Kesimpulan…………………………………………………………… 76
B. Saran ………………………………………………………………… 79

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

xiii
DAFTAR TABEL

Tabel 1 : Tabel Jumlah Perkara yang Ditangani Polsekta Wajo


dari Tahun 2005-Tahun 2010………….............................54
Tabel 2 : Penanganan Perkara………………………………………61

xiv
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Peraturan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik


Indonesia, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, dan
Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia
(MAHKUMJAKPOL) Nomor: 099/KMA/SKB/V/2010, Nomor:
M.HH-35.UM.03.01 Tahun 2010, Nomor: KEP-
059/A/JA/05/2010, Nomor: B/14/V/2010 tentang
Sinkronisasi Ketatalaksanaan Sistem Peradilan Pidana
dalam Mewujudkan Penegakan Hukum yang Berkeadilan.

xv
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hukum adalah seperangkat kaidah yang menentukan apa

yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan oleh manusia.

Hukum adalah seperangkat aturan yang mengatur kehidupan

manusia agar dalam kehidupan sosialnya tidak terjadi

ketimpangan-ketimpangan dalam pemenuhan antara hak dan

kewajiban. Dalam Kamus besar Bahasa Indonesia, hukum diartikan

sebagai peraturan atau adat yang secara resmi mengikat, yang

dikukuhkan oleh penguasa atau pemerintah; undang-undang,

peraturan dan sebagainya untuk mengatur pergaulan hidup

masyarakat; patokan (kaidah, ketentuan) mengenai peristiwa (alam

dan sebagainya) yang tertentu; keputusan (pertimbangan) yang

ditetapkan oleh hakim (dalam pengadilan); vonis.

Pemenuhan hukum dalam masyarakat, dikenal apa yang

disebut Sistem Peradilan Pidana. Sistem Peradilan Pidana adalah

sebuah rangkaian proses peradilan yang dimulai dari adanya

laporan dari masyarakat tentang terjadinya suatu tindak pidana

kepada Lembaga Kepolisian, yang kemudian diproses untuk

selanjutnya diserahkan kepada Lembaga Kejaksaan untuk

diperiksa dan dibuatkan surat dakwaan dan kepada Lembaga

1
Pengadilan untuk diadili dan dijatuhkan putusan, hingga ke

Lembaga Pemasyarakatan untuk dibina agar apabila kembali ke

masyarakat tidak melakukan atau mengulangi perbuatannya.

Pada Sistem Peradilan Pidana, terdapat beberapa lembaga

yang menjadi sub sistem dalam Sistem Peradilan Pidana. Masing-

masing lembaga tersebut dalam menjalankan tugasnya mengacu

pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana serta undang-

undang yang khusus mengatur lembaga masing-masing. Dimana

sub sistem Kepolisian diatur dalam Undang-Undang No.2 Tahun

2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 No. 4168), sub

sistem Kejaksaan diatur dalam Undang-Undang No.16 Tahun

2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia ( Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia No.4401), sub sistem Pengadilan diatur

dalam Undang-Undang No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan

Kehakiman ( Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

No.4358), dan sub sistem Lembaga Pemasyarakatan diatur dalam

Undang-Undang No.12 Tahun 1995 tentang Lembaga

Pemasyarakatan, serta sub sistem Advokat mewakili

Tersangka/Terdakwa diatur dalam Undang-Undang No.18 Tahun

2003 tentang Advokat (Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia No.4288) .

2
Masing-masing lembaga hukum tersebut dalam menjalankan

fungsinya sebagai sub sistem dalam Sistem Peradilan Pidana, tidak

menutup kemungkinan terjadi persinggungan antara tugas

lembaga-lembaga tersebut sebagai sub sistem Sistem Peradilan

Pidana yang mengacu pada KUHAP dengan tugas pokok masing-

masing lembaga yang diatur dalam undang-undangnya masing-

masing. Disinilah pentingnya kerjasama diantara masing-masing

lembaga untuk menciptakan sebuah sistem dalam peradilan pidana

yang harmonis dengan tidak melupakan tugas pokoknya

sebagaimana diatur dalam undang-undang pokok masing-masing.

Dalam menjalankan tugas sebagai sub sistem dalam Sistem

Peradilan Pidana, masing-masing lembaga mempunyai perannya

masing-masing. Lembaga Kepolisian sebagai lembaga pertama

sekaligus sebagai sub sistem pertama yang menangani apabila

terjadi suatu tindak pidana tentunya memilki peran yang berbeda

dengan lembaga lainnya dalam Sistem Peradilan Pidana.

Lembaga Kepolisian dalam melaksanakan tugasnya sebagai

salah satu sub sistem dalam Sistem Peradilan Pidana telah diatur

dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana serta peraturan

perundang-undangan tersendiri yang mengatur mengenai tugas

pokok dari Lembaga Kepolisian yakni Undang-Undang No.2 Tahun

2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 No. 4168). Baik

3
dalam KUHAP maupun dalam Undang-Undang No.2 Tahun 2002

tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 No. 4168)

disebutkan bahwa dalam menjalankan tugas dan wewenangnya,

Lembaga Kepolisian tidak terlepas dari hubungan koordinasi

dengan lembaga lainnya dalam Sistem Peradilan Pidana,

khususnya dengan Lembaga Kejaksaan.

Hubungan koordinasi tersebut tercermin pada saat

penaganan sebuah perkara pidana, dimana Lembaga Kepolisian

menjalankan tugas sebagai Penyidik dan Kejaksaan sebagai

Penuntut Umum. Hubungan koordinasi tersebut terkait pada proses

untuk membuat sebuah surat dakwaan dari sebuah perkara pidana.

Dalam hubungan koordinasi tersebut, walaupun telah

disinggung adanya koordinasi dalam ketentuan pokok masing-

masing maupun dalam KUHAP, namun tidak menutup

kemungkinan akan terdapat beberapa hambatan yang akan

mempengaruhi kelancaran dari penanganan perkara pidana. Oleh

karena itu, penelitian ini akan mengkaji bagaimana hubungan

koordinasi yang terjadi antara Lembaga Kepolisian dengan

Kejaksaan serta apakah hubungan koordinasi tersebut berjalan

dengan lancar atau terdapat hambatan-hambatan.

4
B. Rumusan Masalah

Untuk memudahkan penelitian, Penulis mencoba merumuskan

permasalahan-permasalahan tersebut sebagai berikut:

1.) Bagaimanakah hubungan koordinasi antara Lembaga

Kepolisian dan Lembaga Kejaksaan dalam penanganan perkara

pidana dengan nomor laporan polisi LP/244/X/2010/Sekta, 29

Oktober 2010?

2.) Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi kurangnya koordinasi

antara Lembaga Kepolisian dan Lembaga Kejaksaan dalam

penanganan perkara pidana dengan nomor laporan polisi

LP/244/X/2010/Sekta, 29 Oktober 2010?

C. Tujuan dan Kegunaan

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan dari penelitian

ini adalah:

1.) Untuk mengetahui bagaimana hubungan koordinasi antara

Lembaga Kepolisian dan Lembaga Kejaksaan dalam

penanganan perkara pidana dengan nomor laporan polisi

LP/244/X/2010/Sekta, 29 Oktober 2010.

2.) Untuk mengetahui faktor-faktor apakah yang mempengaruhi

kurangnya koordinasi antara Lembaga Kepolisian dan Lembaga

Kejaksaan dalam penanganan perkara pidana dengan nomor

laporan polisi LP/244/X/2010/Sekta, 29 Oktober 2010.

5
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan beberapa

kegunaan , antara lain:

1.) Untuk dapat memenuhi salah satu syarat dalam menyelesaikan

studi pada Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.

2.) Sebagai bahan referensi dan sumber pengetahuan bagi

masyarakat pada umumnya dan mahasiswa Fakultas Hukum

pada khususnya mengenai bagaimana peranan Lembaga

Kepolisian dalam Sistem Peradilan Pidana, khususnya di

Indonesia, serta bagaimana hubungan koordinasinya dengan

sub sistem Peradilan Pidana yang lain, khususnya dengan

Lembaga Kejaksaan sebagai sub sistem setelah sub sistem

Lembaga Kepolisian.

3.) Sebagai sumber ilmu pengetahuan baru bagi Penulis sendiri

mengenai Lembaga Kepolisian dan peranannya dalam Sistem

Peradilan Pidana.

6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Sistem Peradilan Pidana

1. Pengertian dan Tujuan Sistem Peradilan Pidana

1.1 . Definisi Sistem

Sistem adalah suatu proses interaksi yang

dipersiapkan secara rasional dan dengan cara efisien untuk

memberikan hasil tertentu dengan segala keterbatasannya

(Romli Atmasasmita,2010:2). Sistem merupakan suatu

kebulatan atau kesatuan yang terdiri dari bagian-bagian,

dimana diantara bagian yang satu dengan bagian yang

lainnya saling berkaitan satu sama lain, tidak boleh terjadi

konflik, tidak boleh terjadi overlapping (tumpang tindih)

(Achmad Ali, 1990:315),. Menurut kamus hukum, sistem

berasal dari bahasa latin systema, yang berarti keseluruhan

atau kombinasi keseluruhan, organisasi keseluruhan. Dalam

kamus besar Bahasa Indonesia, sistem adalah perangkat

unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga

membentuk suatu totalitas; susunan yang teratur dari

pandangan, teori, asas, dan sebagainya.

7
Sementara yang dimaksud dengan sistem hukum

yaitu kesatuan utuh dari tatanan-tatanan yang terdiri dari

bagian-bagian atau unsur-unsur yang satu sama lain saling

berhubungan dan berkaitan secara erat

(J.B.Daliyo,2001:35).

1.2 . Definisi Peradilan dan Peradilan Pidana

Menurut kamus besar Bahasa Indonesia, peradilan

adalah segala sesuatu mengenai perkara pengadilan;

lembaga hukum yang bertugas memperbaiki. Peradilan

adalah fungsi mengadili, atau proses yang ditempuh dalam

mencari dan menemukan keadilan (Achmad Ali, 1990:315).

Menurut Fockema Andrea di dalam Sudikno Mertokusumo,

peradilan adalah organisasi yang diciptakan oleh negara

untuk memeriksa dan menyelesaikan sengketa hukum.

Sementara yang dimaksud dengan peradilan pidana adalah

segala sesuatu yang bertalian dengan tugas penegak

hukum, yakni Polisi, Jaksa, dan Hakim dalam penyelidikan,

penyidikan, penuntutan, dan memutuskan perkara pidana

untuk mempertahankan atau menjamin ditaatinya, serta

dilaksanakannya hukum materiil dan hukum acara pidana

serta hukum yang terkait dengan hal tersebut.

8
1.3 . Definisi Sistem Peradilan Pidana

Remington dan Ohlin mengemukakan bahwa Criminal

Justice System dapat diartikan sebagai pemakaian

pendekatan sistem terhadap mekanisme administrasi

peradilan pidana, dan peradilan pidana sebagai suatu sistem

merupakan hasil interaksi antara peraturan perundang-

undangan, praktik administrasi, dan sikap atau tingkah laku

sosial (Romli Atmasasmita,2010:2)

Hagan (1987) membedakan pengertian antara

“criminal justice process” dan “criminal justice system”.

“Criminal justice process” adalah setiap tahap dari suatu

putusan yang menghadapkan seorang Tersangka ke dalam

proses yang membawanya kepada penentuan pidana

baginya. Sedangkan “criminal justice system” adalah

interkoneksi antara keputusan dari setiap instansi yang

terlibat dalam proses peradilan pidana (Romli

Atmasasmita,2010:2).

Mardjono memberikan batasan bahwa yang dimaksud

dengan Sistem Peradilan Pidana adalah sistem

pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga-lembaga

kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan pemasyarakatan

terpidana. Sistem peradilan pidana menurut Mardjono

adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk

9
menanggulangi masalah kejahatan (Romli

Atmasasmita,2010:3).

1.4 . Tujuan Sistem Peradilan Pidana

Ada tiga hal yang menjadi tujuan dari Sistem Peradilan

Pidana, yaitu:

a. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan;

b. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi

sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah

ditegakkan dan yang bersalah dipidana;

c. Mengusahakan agar mereka yang pernah

melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi

kejahatannya (Romli Atmasasmita,2010:3).

2. Sub sistem Peradilan Pidana

Sebagai suatu sistem, Sistem Peradilan Pidana

mempunyai komponen-komponen penyelenggara,

diantaranya Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan

Lembaga Pemasyarakatan (Teguh Prasetyo, Abdul Halim

Barkatullah, 2005:117).

2.1. Lembaga Kepolisian

Dalam Pasal 1 butir 1 Undang-Undang No.2 Tahun

2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

10
(Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

2002 No. 4168), yang dimaksud dengan Kepolisian adalah

segala hal ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga

polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Dalam Pasal 4 Undang-Undang No.2 Tahun 2002

tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 No.

4168) disebutkan bahwa Kepolisian Negara Republik

Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam

negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan

ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum,

terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan

pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya

ketentraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak

asasi manusia.

Tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia diatur

dalam Pasal 13 Undang-Undang No.2 Tahun 2002

(Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

2002 No. 4168) yaitu:

a. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;

b. Menegakkan hukum;

c. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan

pelayanan kepada masyarakat.

11
Kemudian dalam Pasal 14 dielaskan bahwa dalam

melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 13, Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas

salah satunya melakukan penyidikan dan penyelidikan

terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara

pidana dan peraturan perundang-undangan yang lainnya.

2.2. Lembaga Kejaksaan

Lembaga Kejaksaan diatur dalam Undang-Undang

No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan (Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004

No.4401). Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya

dalam undang-undang ini disebut Kejaksaan adalah

lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan

negara dibidang penuntutan serta kewenangan lain

berdasarkan undang-undang.

Dalam Pasal 3 disebutkan bahwa pelaksanaan

kekuasaan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2

diselenggarakan oleh Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi,

dan Kejaksaan Negeri. Kemudian dalam Pasal 4 dijelaskan

bahwa Kejaksaan Agung berkedudukan di ibukota Negara

Republik Indonesia dan daerah hukumnya meliputi wilayah

kekuasaan Negara Republik Indonesia. Kejaksaan Tinggi

12
berkedudukan di ibukota provinsi dan daerah hukumnya

meliputi wilayah provinsi. Kejaksaan Negeri berkedudukan di

ibukota kabupaten/kota yang daerah hukumnya meliputi

daerah kabupaten./kota.

Dalam Pasal 1 Undang-Undang No.16 Tahun 2004

tentang Kejaksaan ( Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2004 No.4401) dijelaskan bahwa yang

dimaksud dengan Jaksa adalah pejabat fungsional yang

diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak

sebagai Penuntut Umum dan pelaksanaan putusan

pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum serta

wewenang lain berdasarkan undang-undang. Penuntut

Umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh undang-

undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan

penetapan Hakim. Penuntutan adalah tindakan Penuntut

Umum untuk melimpahkan perkara ke Pengadilan Negeri

yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur

dalam Hukum Acara Pidana dengan permintaan supaya

diperiksa dan diputus oleh Hakim di sidang pengadilan.

Adapun tugas dan wewenang Kejaksaan di bidang

pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 30 Undang-Undang

No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan ( Tambahan

13
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 No.4401)

yaitu:

a. melakukan penuntutan;

b. melaksanakan penetapan Hakim dan putusan pengadilan

yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;

c. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan

pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan

keputusan lepas bersyarat;

d. melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu

berdasarkan undang-undang;

e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat

melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan

ke pengadilan yang dalam pemeriksaannya

dikoordinasikan dengan Penyidik;

Dalam Pasal 31 undang-undang ini dinyatakan bahwa

dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, kejaksaan

membina hubungan kerjasama dengan badan penegak

hukum dan keadilan, serta badan negara atau instansi

lainnya.

2.3. Lembaga Pengadilan

Lembaga Pengadilan diatur dalam Undang-Undang

No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman

14
(Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

2004 No.4401). Kekuasaan kehakiman sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 4 Tahun 2004

tentang kekuasaan Kehakiman ( Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2004 No.4401) yaitu

kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan

peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan

berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara

Hukum Republik Indonesia.

Pada Pasal 2 undang-undang ini dijelaskan bahwa

penyelenggaraan kekuasaan kehakiman sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 1 dilakukan oleh sebuah Mahkamah

Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam

lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha

negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

Kemudian dalam Pasal 10 ayat (2) dijelaskan bahwa

badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung

meliputi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum,

peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha

negara.

Dalam Pasal 8 undang-undang ini dinyatakan bahwa

setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut,

dan/atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap

15
tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang

menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan

hukum tetap.

2.4. Lembaga Pemasyarakatan

Lembaga Pemasyarakatan diatur dalam Undang-

undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Dalam

Pasal 1 undang-undang ini, yang dimaksud dengan

Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan

pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan

sistem, kelembagaan, dan cara pembinaan yang merupakan

bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan

pidana. Sedangkan sistem pemasyarakatan adalah suatu

tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan

Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang

dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina,

dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan

Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki

diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat

diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif

berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara

wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.

16
Dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang No. 12

Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, yang dimaksud

dengan Lembaga Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut

LAPAS adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan

Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan. Warga Binaan

Pemasyarakatan adalah Narapidana, Anak Didik

Pemasyarakatan, dan Klien Pemasyarakatan. Balai

Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut BAPAS adalah

pranata untuk melaksanakan bimbingan Klien

Pemasyarakatan.

Adapun yang dimaksud dengan Terpidana menurut

Pasal 1 ayat (6) undang-undang ini adalah seseorang yang

dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap. Sedangkan Narapidana

adalah Terpidana yang menjalani pidana hilang

kemerdekaan di LAPAS. Klien Pemasyarakatan yang

selanjutnya disebut Klien adalah seseorang yang berada

dalam bimbingan BAPAS.

Yang tergolong Anak Didik Pemasyarakatan

berdasarkan Pasal 1 ayat (8) Undang-Undang No. 12 Tahun

1995 adalah :

17
a. Anak Pidana yaitu anak yang berdasarkan putusan

pengadilan menjalani pidana di LAPAS Anak paling

lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun;

b. Anak Negara yaitu anak yang berdasarkan putusan

pengadilan diserahkan pada negara untuk dididik dan

ditempatkan di LAPAS Anak paling lama sampai

berumur 18 (delapan belas) tahun;

c. Anak Sipil yaitu anak yang atas permintaan orang tua

atau walinya memperoleh penetapan pengadilan

untuk dididik di LAPAS Anak paling lama sampai

berumur 18 (delapan belas) tahun.

Dalam Pasal 2 Undang-Undang ini disebutkan bahwa

sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka

membentuk Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi

manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri,

dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima

kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan

dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai

warga yang baik dan bertanggung jawab.

Selanjutnya dalam Pasal 3 dijelaskan bahwa sistem

pemasyarakatan berfungsi menyiapkan Warga Binaan

Pemasyarakatan agar dapat berintegrasi secara sehat

dengan masyarakat, sehingga dapat berperan kembali

18
sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung

jawab.

Pada Pasal 5 disebutkan bahwa sistem pembinaan

pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan asas :

a. pengayoman;

b. persamaan perlakuan dan pelayanan;

c. pendidikan;

d. pembimbingan;

e. penghormatan harkat dan martabat manusia;

f. kehilangan kemerdekaan merupakan satu-

satunya penderitaan; dan

g. terjaminnya hak untuk tetap berhubungan

dengan keluarga dan orang-orang tertentu.

2.5. Advokat

Dalam Sistem Peradilan Pidana ditambahkan pula

sub sistem Advokat sebagai sub sistem yang mewakili

Tersangka atau Terdakwa dalam proses peradilan pidana.

Advokat diatur dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 2003

tentang Advokat (Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2003 No.49). Dalam Pasal 1 undang-

undang ini, yang dimaksud dengan advokat adalah orang

yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun

19
di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan

ketentuan undang-undang ini. Jasa hukum adalah jasa yang

diberikan advokat berupa memberikan konsultasi hukum,

bantuan hukum, dan melakukan tindakan hukum lain untuk

kepentingan hukum klien.

Dalam Pasal 2 Undang-Undang No. 18 Tahun 2003

tentang Advokat (Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2003 No.49), dinyatakan bahwa yang

dapat diangkat sebagai advokat adalah sarjana yang

berlatar belakang pendidikan tinggi hukum dan setelah

mengikuti pendidikan khusus profesi advokat yang

dilaksanakan oleh organisasi advokat.

Status advokat menurut Pasal 5 undang-undang ini

adalah advokat berstatus sebagai penegak hukum, bebas,

dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan

perundang-undangan. Wilayah kerja advokat meliputi

seluruh wilayah Negara Republik Indonesia.

3. Kepolisian sebagai Sub sistem Peradilan Pidana

Lembaga Kepolisian adalah salah satu sub sistem

dalam Sistem Peradilan Pidana. Lembaga Kepolisian diatur

dalam Undang-Undang No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian

Negara Republik Indonesia (Tambahan Lembaran Negara

20
Republik Indonesia Tahun 2002 No. 4168). Dalam Pasal 1

undang-undang ini dinyatakan bahwa yang dimaksud

dengan Kepolisian adalah segala hal ihwal yang berkaitan

dengan fungsi dan lembaga Polisi sesuai dengan peraturan

perundang-undangan.

Unsur kepolisian memegang peranan yang cukup

penting disamping lembaga penegak hukum lainnya dalam

Sistem Peradilan Pidana. Hal ini disebabkan karena

Lembaga Kepolisian adalah lembaga yang pertama kali dan

berhadapan langsung dengan penanggulangan kejahatan

dalam masyarakat.

Di negara demokrasi, aparat kepolisian selalu

dihadapkan pada dua konflik kepentingan, yaitu kepentingan

memelihara ketertiban di satu sisi dan kepentingan

mempertahankan asas legalitas di sisi lain. Sebagaimana

diuraikan dalam Pasal 4 Undang-Undang No.2 Tahun 2002,

bahwa tujuan dari Kepolisian Negara Republik Indonesia

adalah mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi

terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib

dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan,

pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta

terbinanya ketentraman masyarakat dengan menjunjung

tinggi hak asasi manusia.

21
Dalam Sistem Peradilan Pidana, Lembaga Kepolisian

merupakan salah satu sub sistem yang pertama kali

berhadapan dengan suatu kasus atau masalah pidana. Hal

ini disebabkan karena Lembaga Kepolisian sebagaimana

diatur dalam Pasal 4 KUHAP yang dimana menempatkan

Lembaga Kepolisian sebagai Penyelidik dan dalam Pasal 6

KUHAP sebagai Penyidik. Selain itu juga diatur dalam huruf

g Pasal 14 Undang-undang No.2 Tahun 2002, bahwa salah

satu tugas Lembaga Kepolisian Republik Indonesia adalah

melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua

tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan

peraturan perundang-undangan lainnya.

4. Kejaksaan sebagai Sub sistem Peradilan Pidana

Lembaga Kejaksaan juga merupakan salah satu sub

sistem dalam Sistem Peradilan Pidana. Lembaga Kejaksaan

diatur dalam Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang

Kejaksaan (Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2004 No.4401). Kejaksaan Republik

Indonesia yang selanjutnya dalam undang-undang ini

disebut Kejaksaan adalah lembaga pemerintahan yang

melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan

serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang.

22
Kejaksaan merupakan sub sistem kedua setelah

Kepolisian dalam Sistem Peradilan Pidana. Dalam Sistem

Peradilan Pidana, Kejaksaan juga memiliki peranan yang

cukup penting selain komponen lain dalam Sistem Peradilan

Pidana, khususnya dalam melaksanakan peranannya di

bidang penuntutan. Dalam melaksanakan fungsinya di

bidang penuntutan, Lembaga Kejaksaan Republik Indonesia

harus bebas dari pengaruh kekuasaan dari pihak manapun

sehingga dapat terselenggara Sistem Peradilan Pidana yang

bersih. Dalam Pasal 30 Undang-Undang No. 16 Tahun

2004 tentang Kejaksaan ( Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2004 No.4401) Kejaksaan

memiliki tugas dan wewenang yaitu:

a. melakukan penuntutan;

b. melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan

yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;

c. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan

pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan

keputusan lepas bersyarat;

d. melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu

berdasarkan undang-undang;

e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat

melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan

23
ke pengadilan yang dalam pemeriksaannya

dikoordinasikan dengan Penyidik;

Dalam Pasal 14 Undang-Undang No.8 Tahun 1981

tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana,

disebutkan bahwa Jaksa sebagai Penuntut Umum diberi

wewenang untuk menerima dan memeriksa berkas perkara

penyidikan dari Penyidik atau Penyidik Pembantu,

mengadakan prapenuntutan, memberikan perpanjangan

penahanan, kemudian membuat surat dakwaan untuk

selanjutnya melimpahkan perkara ke Pengadilan.

Surat dakwaan merupakan sebuah hal yang sangat

penting dalam proses peradilan pidana sebab surat dakwaan

merupakan dasar pemeriksaan di sidang pengadilan. Surat

dakwaan yang tidak lengkap akan menghambat proses

peradilan dan berakibat tertundanya penyelesaian perkara.

Dengan melihat tugas dan wewenang Lembaga

Kejaksaan, maka dapat dilihat bahwa Kejaksaan juga

mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam Sistem

Peradilan Pidana khususnya dalam membuat surat dakwaan

dan melakukan penuntutan. Lembaga Kejaksaan merupakan

sub sistem kedua setelah Kepolisian sekaligus sebagai

penghubung antara sub sistem Kepolisian dan Pengadilan

dalam proses peradilan pidana.

24
B. Proses Penyelesaian Perkara Pidana

1. Pemeriksaan Pendahuluan

Pemeriksaan pendahuluan adalah tindakan

penyidikan terhadap seseorang atau sekelompok orang

yang disangka melakukan perbuatan pidana. Dalam taraf ini,

Penyidik berusaha mengumpulkan bukti-bukti yang lengkap

untuk mengetahui dan memperkuat persangkaan tersebut

(J.B.Daliyo,2001:230)

Dalam pemeriksaan pendahuluan didahului dengan

dilakukannya penyelidikan oleh Polisi kemudian diikuti

dengan penyidikan.

1.1. Penyelidikan

Pasal 1 ayat (5) Undang-Undang No.8 Tahun 1981

tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

menguraikan bahwa yang dimaksud dengan Penyelidikan

adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan

menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak

pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan

penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang.

Penyelidikan dilakukan oleh seorang penyelidik yang

berwenang melakukan penyelidikan adalah penyelidik.

Berdasarkan Pasal 1 ayat (4) Undang-Undang No. 8 Tahun

1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana,

25
yang dimaksud dengan Penyelidik adalah pejabat polisi

Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh

undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan.

Tujuan dilakukannya penyelidikan berdasarkan buku

petunjuk lapangan mengenai peyelidikan, yaitu kegiatan

penyelidikan dilakukan untuk menemukan dan mendapatkan

alat bukti serta barang bukti dalam rangka mendukung

proses penyidikan lebih lanjut.

Berdasarkan Pasal 5 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981

tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

wewenang Penyelidik adalah :

a. Karena kewajibannya mempunyai wewenang:

1) Menerima laporan/pengaduan tentang adanya tindak

pidana;

2) Mencari keterangan dan barang bukti;

3) Menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan

menanyakan serta memeriksa tanda pengenal dirinya;

4) Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang

bertanggung jawab.

b. Atas perintah Penyidik dapat melakukan tindakan

berupa:

1) Penangkapan, larangan meninggalkan tempat,

penggeledahan, dan penyitaan;

26
2) Pemeriksaan/penyitaan surat;

3) Mengambil sidik jari dan memotret seorang;

4) Membawa dan menghadapkan seorang kepada

Penyidik.

1.2. Penyidikan

Berdasarkan Pasal 1 ayat (2), yang dimaksud dengan

Penyidikan adalah serangkaian tindakan Penyidik dalam hal

dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk

mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu

membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna

menemukan Tersangkanya.

Yang dimaksud dengan Penyidik sebagaimana

disebutkan dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 8

Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana adalah Pejabat Polisi Negara RI atau Pejabat

Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus

oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.

Berdasarkan Pasal 7 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981

tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

wewenang Penyidik adalah :

a. Menerima laporan atau pengaduan dari seorang

tentang adanya tindak pidana;

27
b. Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat

kejadian;

c. Menyuruh berhenti seorang Tersangka dan

memeriksa tanda pengenal diri Tersangka;

d. Melakukan penangkapan, penahanan,

penggeledahan, dan penyitaan;

e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;

f. Mengambil sidik jari dan memotret seorang;

g. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa

sebagai Tersangka atau Saksi;

h. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam

hubungannya dengan pemeriksaan perkara;

i. Mengadakan penghentian penyidikan;

j. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang

bertanggung jawab.

Pihak-pihak dalam pemeriksaan pendahuluan adalah:

a. Penyelidik

Setiap pejabat POLRI adalah Penyelidik (mulai

dari pangkat yang terendah sampai yang tertinggi).

Mereka berwenang untuk seluruh wilayah Republik

Indonesia, khususnya dalam daerah hukum masing-

masing (A.T.Hamid,1982:19).

28
Berdasarkan Pasal 1 ayat (4) Undang-Undang No.

8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana, yang dimaksud dengan Penyelidik adalah

Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia yang diberi

wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan

penyelidikan.

b. Penyidik Pembantu

Berdasarkan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang No.

8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana, Penyidik Pembantu adalah Pejabat

Kepolisian Negara Republik Indonesia yang karena diberi

wewenang tertentu dapat melakukan tugas penyidikan

yang diatur dalam undang-undang ini.

c. Penyidik

Yang dimaksud dengan Penyidik sebagaimana

disebutkan dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 8

Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana adalah Pejabat Polisi Negara RI atau

Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi

wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan

penyidikan.

29
d. Penuntut Umum

Penuntut Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal

1 ayat (2) Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 adalah

Jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini

untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan

penetapan Hakim.

Penyidik berkewajiban membuat Berita Acara

tentang penyidikan yang telah dilakukan dan

menyerahkannya kepada Penuntut Umum atau Jaksa

(Pasal 8 ayat (2) KUHAP). Apabila berkas belum selesai

sepenuhnya, Penyidik dapat menyerahkan berkas

perkara saja. Jika penyidikan telah selesai seluruhnya,

Penyidik menyerahkan berkas perkara dan barang-

barang bukti sekaligus menyerahkan tanggung jawab

atas Tersangka dan barang-barang bukti tersebut kepada

Penuntut Umum (Pasal 8 ayat (3) KUHAP).

2. Penuntutan

Berdasarkan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang No. 16

Tahun 2004 tentang Kejaksaan (Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2004 No.4401),

penuntutan adalah tindakan Penuntut Umum untuk

melimpahkan perkara ke Pengadilan Negeri yang

30
berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam

Hukum Acara Pidana dengan permintaan supaya diperiksa

dan diputus oleh Hakim di sidang pengadilan.

Yang berwenang melakukan penuntutan adalah

Lembaga Kejaksaan dalam hal ini Penuntut Umum

sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-

Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan (Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004

No.4401), mengenai definisi Penuntut Umum adalah Jaksa

yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk

melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan

Hakim. Selain itu, dalam Pasal 137 Undang-Undang No. 8

Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana disebutkan bahwa Penuntut Umum berwenang

melakukan penuntutan terhadap siapapun yang didakwa

melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya

dengan melimpahkan perkara ke pengadilan yang

berwenang mengadili.

Pada Pasal 138 ayat (1) Undang-Undang No. 8

Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana, dijelaskan bahwa Penuntut Umum setelah menerima

hasil penyidikan dari Penyidik segera mempelajari dan

menelitinya dan dalam waktu tujuh hari wajib

31
memberitahukan kepada Penyidik apakah hasil sudah

lengkap atau belum. Kemudian dalam ayat (2) disebutkan

bahwa dalam hal hasil penyidikan ternyata belum lengkap,

Penuntut Umum mengembalikan berkas perkara kepada

Penyidik disertai petunjuk tentang hal yang harus dilakukan

untuk dilengkapi dan dalam dalam waktu empat belas hari

sejak tanggal penerimaan berkas, Penyidik harus sudah

menyampaikan kembali berkas perkara itu kepada Penuntut

Umum.

Selanjutnya dalam Pasal 139 Undang-Undang No. 8

Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana disebutkan bahwa setelah Penuntut Umum

menerima atau menerima kembali hasil penyidikan yang

lengkap dari Penyidik, ia segera menentukan apakah berkas

perkara itu sudah memenuhi persyaratan untuk dapat atau

tidak dilimpahkan ke pengadilan. Kemudian dalam Pasal 140

ayat (1) disebutkan bahwa dalam hal Penuntut Umum

berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat dilakukan

penuntutan, ia dalam waktu secepatnya membuat surat

dakwaan. Perumusan dakwaan didasarkan pada hasil

pemeriksaan pendahuluan dimana dapat diketemukan baik

berupa keterangan terdakwa maupun keterangan saksi dan

32
alat bukti yang lain termasuk keterangan ahli (jur.Andi

Hamsah, 2008:170).

Namun dalam ayat (2) apabila dalam hal Penuntut

Umum memutuskan untuk menghentikan penuntutan karena

tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata

bukan merupakan tindak pidana atau perkara ditutup demi

hukum, Penuntut Umum menuangkan hal tersebut dalam

surat ketetapan.

Apabila Penuntut Umum hendak menghentikan

penuntutan karena tidak cukup bukti atau perbuatan

tersangka bukan tindak pidana atau tindak pidana tersebut

ditutup demi hukum, maka Penuntut Umum membuat surat

ketetapan, dan diberitakan hal itu kepada Tersangka, dan

kalau ia berada dalam tahanan harus segera dilepaskan,

tetapi masih dapat dilakukan penuntutan kembali kalau

kemudian hari ternyata terungkap hal baru sehingga ia dapat

dituntut (A.T.Hamid,1982:46).

3. Pemeriksaan dalam Sidang Pengadilan

Pemeriksaan dalam sidang pengadilan terjadi setelah

ada penuntutan dari Jaksa atau Penuntut Umum yaitu

penyerahan berkas perkara dengan permohonan agar

diperiksa dan diputuskan oleh Hakim dalam sidang

33
pengadilan (butir 7 Pasal 1 KUHAP). Setelah Ketua

pengadilan menerima pelimpahan berkas perkara, segera

mengadakan pemeriksaan dan mempelajari apakah benar

berkas perkara yang dilimpahkan itu termasuk dalam wilayah

hukumnya. Apabila benar, Ketua Pengadilan Negeri tersebut

segera menunjuk Hakim (majelis Hakim) untuk menetapkan

hari sidang (Pasal 152 ayat (1) KUHAP)

(J.B.Daliyo,2001:232).

C. Bentuk-Bentuk Koordinasi antara Penyidik dan Penuntut

Umum dalam Penanganan Perkara Pidana

1. Pemberitahuan dimulainya Penyidikan oleh Penyidik ke

Penuntut Umum

Sejak awal suatu peristiwa yang merupakan tindak

pidana diungkap atau telah mulai melakukan penyidikan

suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana; Penyidik

memberitahukan hal itu kepada Penuntut Umum ( Pasal 109

ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Selanjutnya dalam

ayat (2) dalam hal Penyidik menghentikan penyidikan karena

tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata

bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan

demi hukum, maka Penyidik memberitahukan hal itu kepada

34
Penuntut Umum, Tersangka atau keluarganya. Dalam

Pedoman Pelaksanaan KUHAP Bab 1 tentang Penyidik dan

Penuntut Umum dijelaskan bahwa pemberitahuan oleh

Penyidik kepada Penuntut Umum sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 109 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, wujudnya

harus tertulis demi ketertiban administrasi perkara dan dalam

hubungan ini perlu adanya standarisasi, yakni apakah

pemberitahuan tersebut dituangkan dalam bentuk suatu

formulir ataukah suatu surat dinas biasa dan selanjutnya

mengingat letak geografis untuk cepatnya dapat

dimanfaatkan alat komunikasi yang ada dengan tidak

menutup kemungkinan pemberitahuan tersebut disusulkan

secara tertulis. Batas waktu seyogianya dalam waktu relatif

singkat, yaitu sejak Penyidik memulai pemeriksaan terhadap

Tersangka.

2. Perpanjangan Penahanan

Penahanan berdasarkan Pasal 21 Undang-Undang

No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana yaitu penempatan Tersangka atau Terdakwa

ditempat tertentu oleh Penyidik atau Penuntut Umum, atau

Hakim dengan penetapannya dalam hal dan menurut cara

35
yang diatur dalam undang-undang. Dalam Pasal 20 ayat (1)

Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana disebutkan bahwa untuk

kepentingan penyidikan, Penyidik atau Penyidik Pembantu

atas perintah Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal

11 berwenang melakukan penahanan.

Dalam Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang No. 8

Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana dinyatakan bahwa perintah penahanan yang

diberikan oleh Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal

20, hanya berlaku paling lama dua puluh hari. Kemudian

pada ayat (2) disebutkan bahwa jangka waktu sebagaimana

tersebut pada ayat (1) apabila diperlukan guna kepentingan

pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh

Penuntut Umum yang berwenang untuk itu paling lama

empat puluh hari.

Tujuan penahanan sebagaimana dijelaskan dalam

Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981

tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yaitu

perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan

terhadap seorang Tersangka atau Terdakwa yang diduga

keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang

cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan

36
kekhawatiran bahwa Tersangka atau Terdakwa akan

melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti

dan atau mengulangi tindak pidana. Kemudian perpanjangan

penahanan sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 24 ayat (2)

Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana yang dilakukan oleh Penuntut

Umum yang berwenang dilakukan apabila diperlukan guna

kepentingan pemeriksaan yang belum selesai.

3. Prapenuntutan

Pada penjelasan Pasal 30 ayat (1) huruf a Undang-

Undang No. 16 Tahun 2004 dijelaskan bahwa dalam

melakukan penuntutan, Jaksa dapat melakukan

prapenuntutan. Prapenuntutan adalah wewenang Penuntut

Umum sebagaimana diatur dalam Pasal 14 huruf b Undang-

Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana yakni mengadakan prapenuntutan

apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan

memperhatikan ketentuan Pasal 10 ayat (3) dan ayat (4),

dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan

penyidikan dari Penyidik.

37
Prapenuntutan diatur dalam Pasal 110 Undang-

Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana, yaitu :

(1) Dalam hal Penyidik telah selesai melakukan penyidikan,

Penyidik wajib segera menyerahkan berkas perkara itu

kepada Penuntut Umum;

(2) Dalam hal Penuntut Umum berpendapat bahwa hasil

penyidikan tersebut ternyata masih kurang lengkap,

Penuntut Umum segera mengembalikan berkas perkara

itu kepada Penyidik disertai petunjuk untuk dilengkapi;

(3) Dalam hal Penuntut Umum mengembalikan hasil

penyidikan untuk dilengkapi, Penyidik wajib segera

melakukan penyidikan tambahan sesuai dengan petunjuk

dari Penuntut Umum;

(4) Penyidikan dianggap telah selesai apabila dalam waktu

empat belas hari Penuntut Umum tidak mengembalikan

hasil penyidikan atau apabila sebelum batas waktu

tersebut berakhir telah ada pemberitahuan tentang hal itu

dari Penuntut Umum kepada Penyidik.

Prapenuntutan juga dibahas dalam Pasal 138 Undang-

Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana yaitu:

38
(1) Penuntut Umum setelah menerima hasil penyidikan dari

Penyidik segera mempelajari dan menelitinya dan dalam

waktu tujuh hari wajib memberitahukan kepada Penyidik

apakah hasil penyidikan itu sudah lengkap atau belum;

(2) Dalam hal hasil penyidikan ternyata belum lengkap,

Penuntut Umum mengembalikan berkas perkara kepada

Penyidik disertai petunjuk tentang hal yang harus

dilakukan untuk dilengkapi dan dalam waktu empat belas

hari sejak tanggal penerimaan berkas, Penyidik harus

sudah menyampaikan kembali berkas perkara itu kepada

Penuntut Umum.

Pada Pasal 14 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981

tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana,

semakin jelas hubungan koordinasi antara Lembaga

Kepolisian dalam hal ini dalam peranannya sebagai Penyidik

dengan Lembaga Kejaksaan dalam peranannya sebagai

Penuntut Umum dalam penanganan sebuah perkara pidana

dalam sebuah Sistem Peradilan Pidana, dimana disebutkan

bahwa Penuntut Umum:

a. Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan

dari Penyidik atau Penyidik Pembantu;

b. Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan

pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan

39
Pasal 10 ayat (3) dan ayat (4), dengan memberi

petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan

dari Penyidik;

c. Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan

penahanan, atau penahanan lanjutan dan atau

mengubah status tahanan setelah perkaranya

dilimpahkan oleh Penyidik.

40
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Lokasi Penelitian

Untuk memperoleh data dan informasi yang dibutuhkan,

maka penelitian diadakan pada Polsekta Wajo. Pemilihan lokasi ini

berdasarkan pertimbangan, bahwa berdasarkan penelitian

pendahuluan, di lokasi ini tersedia data yang dibutuhkan untuk

keperluan penelitian.

Adapun mengapa penelitian dikhususkan pada Polsekta

Wajo yang terletak di Jl.Dr.Wahidin Sudiro Husodo No.155

Makassar , karena Penulis telah mengadakan Kuliah Kerja Nyata

pada Polsekta tersebut dan melihat sendiri bagaimana kinerja

Lembaga Kepolisian khususnya pada Polsekta tersebut dalam

menangani apabila ada laporan serta bagaimana proses

penyelidikan dan penyidikannya, serta melihat data-data mengenai

laporan terjadinya kejahatan di wilayah hukum Polsekta tersebut,

sehingga diharapkan di lokasi tersebut dapat diperoleh data yang

lebih akurat dalam rangka penulisan penelitian ini.

Selain itu, penelitian juga akan dilakukan di Kejaksaan

Negeri Makassar Cabang Pelabuhan Makassar karena Kejaksaan

tersebut berada pada wilayah hukum yang sama dengan Polsekta

Wajo tempat Peneliti akan meneliti perkara pidana dengan nomor

41
laporan polisi LP/244/X/2010/Sekta, 29 Oktober 2010, sehingga

akan dapat dilihat bagaimana hubungan koordinasi yang terjadi

antara kedua lembaga tersebut dalam menangani perkara dengan

nomor laporan polisi LP/244/X/2010/Sekta, 29 Oktober 2010.

B. Sumber Data

Sumber data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah

data primer dan data sekunder.

a. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh dari hasil wawancara

langsung dengan pihak yang terkait sehubungan dengan

penelitian ini.

b. Data Sekunder

Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh

dari hasil penelitian kepustakaan berupa literatur, dokumen-

dokumen pada instansi yang berhubungan dengan masalah

yang akan diteliti, pendapat pakar hukum dan sumber-sumber

lain yang berkaitan dengan penelitian.

C. Jenis dan Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam

penelitian ini untuk memperoleh data primer adalah teknik

wawancara dengan pihak Penyidik dan Jaksa yang menangani

42
perkara pidana dengan nomor laporan polisi LP/244/X/2010/Sekta,

29 Oktober 2010. Selain itu, untuk mendapatkan data sekunder

dengan melakukan penelusuran dan pengkajian pustaka dan

dokumen-dokumen resmi, seperti buku-buku, laporan tahunan, dan

arsip-arsip lainnya pada instansi terkait yang berkaitan dengan

objek penelitian.

D. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini

adalah analisis deskriptif kualitatif. Maksudnya yaitu seluruh data

yang diperoleh dari hasil wawancara dan dokumentasi, Peneliti

mendeskripsikan, menginterpretasikan, membandingkan, dan

memaparkan kembali dengan mencocokkan teori yang ada

hubungannya dengan fokus penelitian ini.

43
BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Sistem Peradilan Pidana di Indonesia terdiri dari beberapa sub

sistem yakni sub sistem Kepolisian diatur dalam Undang-Undang No.2

Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4168), sub sistem Kejaksaan

diatur dalam Undang-Undang No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan

Republik Indonesia (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

No.4401), sub sistem Pengadilan diatur dalam Undang-Undang No.4

Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia No.4358), dan sub sistem Lembaga

Pemasyarakatan diatur dalam Undang-Undang No.12 Tahun 1995

tentang Lembaga Pemasyarakatan, serta sub sistem Advokat mewakili

Tersangka/Terdakwa diatur dalam Undang-Undang No.18 Tahun 2003

tentang Advokat (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

No.4288).

Sub sistem Kepolisian merupakan sub sistem pertama dalam

Sistem Peradilan Pidana. Lembaga Kepolisian Republik Indonesia

merupakan pemelihara keamanan dalam negeri melalui upaya

penyelenggaraan fungsi kepolisian yang meliputi pemeliharaan keamanan

dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan,

44
pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dengan menjunjung

tinggi hak asasi manusia.

Kepolisian Negara Republik Indonesia terdiri dari Mabes Polri di

Ibukota Negara, Polda di Ibukota Provinsi, Polres di Ibukota Kabupaten,

Polsek di Kecamatan.

Polsekta Wajo merupakan salah satu dari empat Polsekta yang ada

di bawah naungan Polresta Pelabuhan, yang bertempat di jalan Dr.

Wahidin Sudirohusodo No.155 Makassar. Kepolisian Sektor Wajo

bertugas menyelenggarakan tugas-tugas pokok Polri dalam memelihara

keamanan dan ketertiban dengan memberikan perlindungan, bimbingan

dan pelayanan kepada masyarakat serta penegakan hukum meliputi

seluruh wilayah administratif Kecamatan Wajo.

Pimpinan ( Kapolsekta Wajo) membawahi 4 (empat) unit kerja yaitu :

1) Unit Samapta, yang memiliki tugas :

- melaksanakan penjagaan markas, proyek vital,tempat-tempat

keramaian / hiburan,

- Melaksanakan patroli jalan kaki dan kendaraan bermotor baik di

luar maupun dalam kota.

- Mengadakan pengawasan terhadap pejabat VIP, Instansi dan

masyarakat.

- Melaksanakan tugas tindakan pertama di Tempat Kejadian

Perkara untuk membantu tugas penyidikan.

- Menunjang pelaksanaan dan kelancaran Operasi Kepolisian

45
- Memback-up pelaksanaan kegiatan pengamanan terhadap

kegiatan masyarakat.

2) Unit Reskrim, yang memilki tugas :

- Melaksanakan kegiatan penyelidikan terhadap orang dan

daerah rawan kejahatan.

- Melaksanakan kegiatan pemeriksaan dalam rangka penyidikan

perkara serta penyelesaiannya.

- Pelaksanaan penanggulangan kejahatan yang dapat

meresahkan masyarakat.

- Mengungkap serta mengadakan pengumpulan barang bukti.

3) Unit Pulbaket, yang memiliki tugas:

- Penyelenggaraan daya deteksi sumber ancaman / gangguan

Kamtibmas

- Menyiapkan Surat Perintah Tugas

- Lidik dalam upaya mengungkap pelaku jaringan kejahatan

- Pelayanan masyarakat

- Menyenggarakan upaya pengamanan dan pengawasan orang

asing

4) Unit Babinkamtibmas, yang memiliki tugas :

Menciptakan kondisi dan situasi masyarakat yang mampu dan

mencegah atau menangkal terjadinya gangguan kamtibmas dan

mengusahakan ketaatan warga masyarakat terhadap ketentuan

46
peraturan perundang-undangan yang berlaku serta menindak

faktor potensial yang mendorong timbulnya gangguan

keamanan .

Dengan melihat empat unit kerja dari Polsekta Wajo beserta tugas

dari masing-masing unit kerja tersebut, maka dapat dilihat bahwa

Lembaga Kepolisian sebagai salah satu sub sistem Peradilan Pidana

memiliki tugas yang sangat beragam mulai dari pengawasan dan

pengamanan terhadap kegiatan masyarakat, melakukan penyelidikan dan

penyidikan tentang terjadinya atau diduga telah terjadinya tindak pidana,

serta melakukan sosialisasi kepada masyarakat untuk menumbuhkan

kesadaran dan ketaatan hukum masyarakat. Kesemuanya itu dalam

rangka mewujudkan tujuan dari Kepolisian Negara Republik Indonesia

yaitu mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya

keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum,

terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada

masyarakat, serta terbinanya ketentraman masyarakat dengan

menjunjung tinggi hak asasi manusia.

Dalam melakukan tugasnya untuk menyelenggarakan Peradilan

Pidana , Polsekta Wajo sebagai salah satu sub Sistem Peradilan Pidana

tidak sendiri, tetapi melakukan koordinasi dengan lembaga Kejaksaan

dalam hal ini Kejaksaan Negeri Makassar Cabang Pelabuhan Makassar

sebagai lembaga Kejaksaan yang berada pada wilayah hukum yang sama

dengan Polsekta Wajo.

47
Di Makassar, terdapat tiga lembaga Kejaksaan yakni Kejaksaan

Tinggi Makassar yang berada di jalan Urip Sumoharjo, Kejaksaan Negeri

Makassar yang berada di jalan Amanagappa, dan Kejaksaan Negeri

Makassar Cabang Pelabuhan Makassar yang berada di jalan Soekarno

Hatta.

Kejaksaan Negeri Makassar Cabang Pelabuhan Makassar

mengadakan koordinasi dengan Polresta Pelabuhan, Polsekta Wajo,

Polsekta Ujung Tanah, Polsekta Paotere, Polsekta Soekarno Hatta, dan

kantor bea dan cukai pelabuhan.

Kejaksaan Negeri Makassar Cabang Pelabuhan Makassar dipimpin

oleh seorang Kepala Cabang Kejaksaan Negeri yang membawahi tiga

bidang, yaitu:

1) Bidang intel

2) Bidang tindak pidana yang terdiri dari bagian tindak pidana khusus,

bagian tindak pidana umum, dan bagian perdata dan tata usaha

negara.

3) Bidang pembinaan.

48
C. Koordinasi antara Kepolisian dan Kejaksaan dalam

Penanganan Perkara Pidana dengan Nomor Laporan Polisi

LP/244/X/2010/Sekta, 29 Oktober 2010

Setelah melakukan wawancara dengan pihak Kepolisian

dalam hal ini Polsekta Wajo yang diwakili oleh Kapolseknya yaitu

Kompol Sumarno,S.E. serta Kepala Unit Reskrim

Sukardi,S.H.,M.Hum (wawancara tanggal 17 Nopember 2010).

maupun dengan pihak Kejaksaan dalam hal ini Kejaksaan Negeri

Makassar Cabang Pelabuhan Makassar yang diwakili oleh

Kacabjarinya yaitu H.Zulkarnaen A.,L.,S.H.,M.H. dan Kasubsi

Tindak Pidana yaitu Nur Fitriaty,S.H.(wawancara tanggal 18

Nopember 2010), pada dasarnya kedua instansi tersebut dalam hal

koordinasi mengenai suatu perkara selama ini berjalan dengan

lancar, baik itu mengenai pengiriman Surat Pemberitahuan

dimulainya Penyidikan oleh Penyidik ke Kejaksaan, terjadinya

pengembalian berkas berupa P18 yaitu surat pengembalian berkas

perkara/ hasil penyidikan yang belum lengkap dari Jaksa Peneliti

kepada Penyidik, yang diikuti P19 yaitu surat petunjuk

penyempurnaan hasil penyidikan dari Jaksa Peneliti kepada

Penyidik, surat pengembalian berkas perkara (penyempurnaan

hasil penyidikan) dari Penyidik kepada Jaksa Peneliti maupun

49
apabila berkas tersebut telah P21 yaitu surat pemberitahuan hasil

penyidikan telah lengkap dari Jaksa Peneliti kepada Penyidik.

Kelancaran tersebut juga termasuk apabila terjadi P17 yaitu

surat yang dikeluarkan oleh Jaksa Peneliti kepada Penyidik dalam

hal telah diselesaikannya perkara tersebut oleh pihak Kepolisian

namun Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan telah

dikirimkan sebelumnya ke Kejaksaan, namun tidak diikuti oleh

pengiriman berkas, yang disebabkan karena perkara tersebut telah

selesai di tingkat penyidikan di Kepolisian akibat telah dicabutnya

laporan oleh pihak Pelapor kepada Polisi.

Menurut ibu Nur Fitriaty, S.H.yang merupakan Kasubsi

Tindak Pidana pada Kejaksaan Negeri Makassar Cabang

Pelabuhan Makassar (wawancara tanggal 24 Nopember 2010),

sekalipun terdapat beberapa kendala atau masalah dalam

koordinasi yang terjadi dengan Polsekta Wajo terkait penanganan

suatu perkara pidana, hal tersebut hanya menyangkut masalah

kelengkapan berkas, baik itu mengenai syarat formilnya misalnya

tidak ada foto, tanggal pengiriman berkas tidak dicantumkan, tidak

adanya stempel resmi dari Polsekta Wajo pada berkas yang dikirim,

serta hal-hal lain menyangkut kelengkapan berkas, maupun

menyangkut syarat materiil yakni menyangkut isi dari berkas yang

dikirim tersebut, baik itu surat pemberitahuan dimulainya

penyidikan, surat pengiriman berkas perkara dari Penyidik ke

50
Penuntut Umum, surat perpanjangan penahanan, surat

pengembalian berkas perkara (penyempurnaan hasil penyidikan)

dari Penyidik kepada Jaksa Peneliti, serta surat-surat lainnya terkait

dengan pengiriman berkas perkara dari Kepolisian dalam hal ini

Polsekta Wajo ke Kejaksaan dalam hal ini Kejaksaan Negeri

Makassar Cabang Pelabuhan Makassar.

Kemudian menurut ibu Nur Fitriaty (wawancara tanggal 24

Nopember 2010), apabila suatu perkara pidana diselesaikan hanya

sampai tahap penyidikan di Kepolisian dan belum mengirimkan

SPDP, maka hal tersebut bukan menjadi kewajiban Kejaksaan.

Berbeda apabila telah ada SPDP yang dikirimkan ke Kejaksaan

kemudian perkara tersebut diselesaikan secara damai di

Kepolisian, maka hal tersebut harus diberitahukan kepada pihak

Kejaksaan.

Kemudian menurut bapak Sukardi,S.H.,M.Hum. (wawancara

tanggal 25 Nopember 2010), penyelesaian perkara secara damai

pada tingkat penyidikan yang penyidikannya dihentikan dengan

Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) maka tembusan SP3

tersebut disampaikan kepada Jaksa. Jika perkara yang dilaporkan

masih dalam tahap penyelidikan dan belum sampai pada tahap

penyidikan, berarti belum ada pemberitahuan ke Jaksa Penuntut

Umum melalui SPDP (Surat Pemberitahuan Dimulainya

Penyidikan), maka tidak disampaikan kepada Jaksa Penuntut

51
Umum, karena penyelidikan dihentikan jika perkara tersebut

memenuhi unsur Pasal 109 ayat (2) KUHAP.

Kemudian terkait dengan diterbitkannya P17 oleh

Kejaksaan, menurut bapak Sukardi S.H.,M.Hum.(wawancara

tanggal 25 Nopember 2010), tanggapan Kepolisian pada dasarnya

adalah bahwa P17 akan terbit jika fungsi koordinasi itu tidak

berjalan sinergis dan harmonis, atau prosedur tidak dilaksanakan

secara professional. Hal ini disebabkan karena semua perkara

harus dipastikan status hukumnya, untuk memenuhi aspek

kepastian hukum, bahwa apakah perkara tersebut cukup bukti

untuk dilimpahkan ke Kejaksaan atau memenuhi syarat untuk

dihentikan.

Adapun menurut Kapolsekta Wajo, bapak Sumarno,S.E.

(wawancara tanggal 17 Nopember 2010) hubungan koordinasi

yang terjadi antara Kepolisian dalam hal ini Polsekta Wajo dengan

Kejaksaan dalam hal ini Kejaksaan Negeri Makassar Cabang

Pelabuhan Makassar adalah hubungan sebagai unsur yang ada

dalam Sistem Peradilan Pidana, yaitu dalam penegakan hukum

pidana, Kepolisian dalam hal ini Polsekta Wajo dengan fungsi

penyidikannya melakukan tugasnya mengungkap dan menyidik

suatu perkara pidana dan setelah lengkap alat buktinya kemudian

diserahkan kepada Jaksa untuk dilakukan penuntutan. Hubungan

tersebut memiiliki visi dan misi yang sama yaitu menegakkan

52
hukum pidana melalui proses penerapan pasal-pasal pidana yang

abstrak pada peristiwa pidana yang konkrit. Koordinasi yang terjadi

antara Kepolisian dalam hal ini Polsekta Wajo dan Kejaksaan

dalam hal ini Kejaksaan Negeri Makassar Cabang Pelabuhan

Makassar, dapat dilihat mulai dari diterbitkannya SPDP, akan tetapi

makna koordinasi pada dasarnya sangat luas yang menyangkut

singkronisasi dan harmonisasi sehingga secara teknis, koordinasi

antara Jaksa dan Penyidik telah dilakukan saat diketahui adanya

tindak pidana, bahkan koordinasi itu bisa dilakukan dalam bentuk

gelar perkara yang masih dalam tahap penyelidikan, hal ini

dilakukan untuk menentukan apakah perkara tersebut merupakan

tindak pidana atau bukan, pasal berapa yang terpenuhi unsur-

unsurnya, serta langkah apa yang perlu dilakukan.

Untuk melihat berapa perkara yang ditangani oleh Polsekta

Wajo serta berapa perkara yang dilanjutkan ke Kejaksaan dalam

hal ini Kejaksaan Negeri Makassar Cabang Pelabuhan Makassar,

dapat dilihat pada Tabel 1 di bawah ini yang merupakan data yang

diambil peneliti dalam Buku Register Laporan Polisi Serse B.01.

53
Tabel 1

TABEL JUMLAH PERKARA YANG DITANGANI POLSEKTA WAJO

DARI TAHUN 2005 -TAHUN 2010

No. TAHUN DAMAI LIDIK LANJUT JUMLAH KASUS

1. 2005 1 25 62 88

2. 2006 118 47 73 238

3. 2007 44 81 134 259

4. 2008 37 103 198 338

5. 2009 5 109 215 329

6. 2010 40 208 6 254

(1 Januari-

9 Nopember)

Sumber: Buku Register Laporan Polisi Serse B.01 Polsekta Wajo

Berdasarkan Tabel 1 tersebut dapat dilihat bahwa tidak

semua perkara yang dilaporkan ke Polsekta Wajo dilanjutkan ke

Kejaksaan dalam hal ini Kejaksaan Negeri Makassar Cabang

Pelabuhan Makassar. Dalam kasus damai, maka hal tersebut

hanya sampai pada tingkat Kepolisian, sekalipun terjadi koordinasi

dengan Kejaksaan hal tersebut hanya sampai pada taraf

pengiriman SPDP tidak berlanjut ke taraf penuntutan oleh Jaksa

Penuntut Umum di Kejaksaan. Namun tidak menutup kemungkinan

tidak terjadi koordinasi sama sekali jika perkara tersebut belum

54
dibuatkan SPDP telah dicabut laporannya oleh pihak yang melapor,

sehingga belum ada pemberitahuan ke Kejaksaan mengenai

perkara tersebut. Begitu pula halnya jika perkara tersebut masih

dalam penyelidikan belum sampai pada taraf penyidikan maka

belum terjadi koordinasi antara Kepolisian dengan Kejaksaan.

Adapun perkara yang menunjukkan telah terjadi hubungan

koordinasi antara Polsekta Wajo dengan Kejaksaan Negeri

Makassar Cabang Pelabuhan Makassar dapat dilihat pada kasus

yang lanjut. Maksudnya yaitu kasus yang dilaporkan ke Polisi

dilanjutkan dengan penyidikan dan dikirimnya Surat Pemberitahuan

Dimulainya Penyidikan ke Kejaksaan, kemudian berlanjut dengan

pengiriman berkas perkara dari Kepolisian ke Kejaksaan dan diikuti

hubungan koordinasi lainnya seperti P18, P19, atau P21,

perpanjangan penahanan, serta penyerahan Tersangka serta

barang buktinya kepada Kejaksaan.

Adapun jenis-jenis kejahatan yang sering terjadi di Polsekta

Wajo adalah penganiayaan, pengeroyokan, pencurian baik itu

pencurian biasa, pencurian dalam keluarga, maupun pencurian

kendaraan bermotor, penipuan, penggelapan, pengrusakan,

pengancaman, penadahan, perjudian, narkoba, senjata

tajam/senjata api. Dan jenis kejahatan yang selesai damai hanya

pada tingkat Kepolisian pada umumnya adalah jenis kejahatan

yang meliputi pencurian dalam keluarga, perjudian, dan

55
penganiayaan. Adapun jenis kejahatan lainnya juga ada yang

diselesaikan damai karena ada unsur-unsur lain namun tidak begitu

sering.

Terkait perkara pidana dengan nomor laporan polisi

LP/244/X/2010/Sekta, 29 Oktober 2010, menyangkut perkara

pencurian yang dilaporkan oleh saksi/pelapor:

Nama : Nasrijal

Umur : 19 Tahun

Pekerjaan : Karyawan Mini Market Makassar

Alamat : Jalan Kapasa Raya No.20 Daya/Makassar.

Melaporkan :

Nama : Hasna binti Junaedi alias Hasan

Tempat, tanggal lahir: Makassar, 2 Juli 1972

Umur : 38 Tahun

Pekerjaan : Tidak ada

Agama : Islam

Kewarganegaraan : Indonesia

Jenis kelamin : Perempuan

Alamat : Jalan Lembo No.45 Makassar

Berdasarkan hasil Penyidikan, diperoleh bukti yang cukup

bahwa Tersangka diduga keras melakukan tindak pidana yang

dapat dikenakan Penahanan dan Tersangka dikhawatirkan akan

56
melarikan diri, merusak, atau menghilangkan barang bukti dan atau

mengulangi tindak pidana maka perlu dilakukan penahanan.

Adapun uraian singkat kejadiannya yaitu pada tanggal 29

Oktober 2010 sekitar pukul 10.30 Wita telah terjadi tindak pidana

pencurian yang dilakukan oleh Pelaku Hasna binti Junaedi

terhadap barang milik Mini Market Alfa Mart bertempat di Jalan

Tarakan, Makassar, Pelaku melakukan pencurian dengan cara

mengambil/ menyembunyikan 1 (satu) kotak susu bubuk merek

Enfamil ke dalam roknya dan kemudian berjalan melewati kasir

tanpa melakukan pembayaran sehingga pihak Alfa Mart mengalami

kerugian sebesar Rp.97.100,-(Sembilan puluh tujuh ribu seratus

rupiah) dan Tersangka bersama barang bukti dibawa ke pihak

Kepolisian Polsekta Wajo guna proses lebih lanjut.

Adapun tindakan yang telah dilakukan oleh Polsekta Wajo

terkait dengan adanya laporan ini adalah melakukan pemanggilan

Saksi Pelapor Nasrijal yang menerangkan dan membenarkan

bahwa pada tanggal 29 Oktober 2010 sekitar pukul 10.30 Wita

bertempat di Alfa Mart telah terjadi tindak pidana Pencurian yang

dilakukan oleh Pelaku Hasna dengan cara mengambil/

menyembunyikan 1 (satu) kotak susu bubuk merek Enfamil dengan

harga Rp.97.100,-(Sembilan puluh tujuh ribu seratus rupiah) ke

dalam roknya dan kemudian berjalan melewati kasir tanpa

melakukan pembayaran.. Saksi menjelaskan bahwa pada saat

57
kejadian ia melihat Pelaku melakukan perbuatannya melalui kaca

pengintai dan Pelaku juga sudah sempat meninggalkan toko sekitar

satu meter namun saat itu Saksi memanggil dan dan memeriksa

barang bukti yang telah dicuri oleh Pelaku sehingga Saksi

melaporkan kejadiannya ke salah satu temannya untuk dibawa ke

pihak Kepolisian guna proses lebih lanjut. Juga telah dilakukan

pemeriksaan terhadap Tersangka Hasna binti Junaedi yang

menerangkan bahwa benar pada tanggal 29 Oktober 2010 sekitar

pukul 10.30 Wita telah melakukan pencurian berupa satu kotak

susu bubuk merek Enfamil di mini market Alfa Mart di Jalan

Tarakan, bahwa Pelaku melakukan pencurian dengan cara

mengambil barang itu kemudian menyembunyikan ke dalam sela-

sela pahanya yang tersembunyi di dalam rok, dan ia melakukan

pencurian karena tidak memiliki uang untuk kebutuhan susu

anaknya yang masih kecil.

Perkara ini ditangani oleh Penyidik Sukardi,S.H.,M.Hum

serta Penyidik Pembantu Samuel A.Mongkau, La dalle, Elias,

Tumijan, dan Nur Ansar.

Adapun perkara ini tidak dilanjutkan ke Kejaksaan dalam hal

ini Kejaksaan Negeri Makassar Cabang Pelabuhan Makassar

sebagai Kejaksaan yang berada pada wilayah hukum yang sama

dengan Polsekta Wajo sekaligus sebagai lembaga yang

mengadakan koordinasi langsung dengan Polsekta Wajo terkait

58
dengan terjadinya suatu perkara, karena perkara tersebut telah

dicabut oleh Saksi Pelapor pada tanggal 2 November 2010, yakni:

Nama : Nasrijal

Umur : 19 Tahun

Pekerjaan : Karyawan Mini Market Makassar

Alamat : Jalan Kapasa Raya No.20 Daya/Makassar

Sebagaimana Surat Permohonan untuk tidak dilanjutkannya

proses penyidikan dan tidak dilanjutkannya kasus ini ke Kejaksaan

dari Korban/Pelapor yang ditujukan kepada Kapolsekta Wajo, yang

isinya:

Sehubungan dengan permohonan di atas saya kemukakan

alasan sebagai berikut:

a. Bahwa sesuai hasil kesepakatan/ keputusan Manajemen Alfa

Mart maka saya selaku Pelapor diperintahkan untuk

menyelesaikan laporan yang saya buat agar tidak dilanjutkan

proses penyidikannya ke Jaksa Penuntut Umum.

b. Bahwa permasalahan saya dengan Pelaku Hasna binti Junaedi

ditempuh dengan jalan kekeluargaan dengan keputusan yang

disetujui masing-masing pihak.

c. Bahwa dengan adanya permohonan yang diajukan kepada

bapak Kapolsekta Wajo, maka laporan tersebut yang saya buat

dianggap selesai dan sehingga saya selaku Korban maupun

Pelapor memohon kepada bapak Kapolsek untuk tidak

59
melanjutkan proses hukumnya ke tingkat Jaksa Penuntut

Umum.

Adapun proses penanganan perkara yang telah dijalani

dalam perkara dengan nomor laporan polisi LP/244/X/2010/Sekta,

29 Oktober 2010, dapat dilihat pada Tabel 2, dimana pada tabel

tersebut dapat dilihat bahwa perkara dengan nomor laporan polisi

LP/244/X/2010/Sekta, 29 Oktober 2010, dengan Pelapor sekaligus

Korban Nasrijal yang menjadi Korban dalam perkara yang

dikenakan Pasal 362 KUHP terkait kasus pencurian yang dilakukan

oleh Hasna binti Junaedi, penanganan perkara yang dilalui hanya

sampai tahap penyidikan. Hal ini menunjukkan bahwa tidak terjadi

hubungan koordinasi antara Kepolisian dan Kejaksaan karena

perkara tersebut dicabut oleh Pelapor dan diselesaikan damai

hanya pada tingkat penyidikan di Kepolisian. Pada perkara dengan

nomor laporan polisi LP/244/X/2010/Sekta, 29 Oktober 2010,

penanganan perkaranya hanya sampai pada tahap penyelidikan

dan penyidikan dan tidak berlanjut sampai tahap SPDP karena

sebelum membuat SPDP dan menyerahkannya kepada Jaksa,

Penyidik terlebih dahulu memberikan kesempatan kepada

Pelapor/Korban dan Tersangka untuk membicarakan perkara

tersebut, apakah perkara tersebut akan diselesaikan secara damai

dan Pelapor mencabut laporannya, sehingga perkara tersebut

hanya sampai pada tahap penyidikan di Kepolisian, atau Pelapor

60
61
ingin melanjutkan perkara tersebut hingga ke tahap penuntutan

oleh Jaksa Penuntut Umum.

D. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kurangnya Koordinasi

antara Lembaga Kepolisian dan Kejaksaan dalam Penanganan

Perkara Pidana dengan Nomor Laporan Polisi

LP/244/X/2010/Sekta, 29 Oktober 2010.

Jika melihat proses yang ditempuh oleh Kepolisian dan

berdasarkan data yang diperoleh mengenai perkara pidana dengan

nomor laporan polisi LP/244/X/2010/Sekta, 29 Oktober 2010,

perkara tersebut telah memasuki tahap penyidikan, sebagaimana

diterangkan dalam Himpunan Bujuklak, Bujuklap, dan Bujukmin

Proses Penyidikan TIndak Pidana, bahwa penyidikan tindak

pidana dilaksanakan setelah diketahui bahwa suatu peristiwa yang

terjadi merupakan tindak pidana. Setelah diketahui bahwa suatu

peristiwa yang terjadi diduga atau merupakan tindak pidana, segera

dilakukan penyidikan melalui kegiatan-kegiatan penyelidikan,

penindakan, pemeriksaan, serta penyelesaian dan penyerahan

berkas perkara. Berdasarkan hal tersebut, maka jelaslah dalam

perkara pidana dengan nomor laporan polisi LP/244/X/2010/Sekta,

29 Oktober 2010, telah mulai dilakukan penyidikan, karena telah

ada pemanggilan Saksi/Korban serta pemanggilan Tersangka

62
untuk dimintai keterangannya mengenai benar tidaknya telah terjadi

peristiwa pidana yang dilaporkan ke Polsekta Wajo dengan nomor

laporan polisi LP/244/X/2010/Sekta, 29 Oktober 2010, namun

berdasarkan hasil wawancara dengan Penyidik yang menangani

perkara tersebut, perkara ini belum masuk ke tahap SPDP, hal ini

tentu bertentangan dengan apa yang diatur dalam Pasal 109 ayat

(1) KUHAP yang berbunyi “Dalam hal Penyidik telah mulai

melakukan penyidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak

pidana, Penyidik memberitahukan hal itu kepada Penuntut Umum.”

Alasan yang diberikan oleh Penyidik terkait dengan hal

tersebut berdasarkan wawancara dengan salah satu Penyidik di

Polsekta Wajo, menyatakan bahwa tidak dikirimkannya Surat

Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) ke Kejaksaan

sementara proses penyidikan telah dimulai yaitu menunggu sampai

maksimal sebelum waktu untuk meminta perpanjangan penahanan

yakni setelah 20 (dua puluh) hari dikirimkan. Hal ini dilakukan untuk

efisiensinya, maksudnya ada kemungkinan perkara yang masuk

tersebut dapat diselesaikan secara damai sehingga tidak perlu lagi

mengirimkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Hal ini

jelas bertentangan dengan prosedur yang telah diatur dalam

KUHAP khususnya Pasal 109 ayat (1). Hal ini pulalah yang

menyebabkan hubungan koordinasi yang terjadi antara Kepolisian

dan Kejaksaan tidak berjalan maksimal karena SPDP, SP3, P17,

63
P18, P21, dan permohonan perpanjangan penahanan merupakan

sarana kontrol bagi Kepolisian dan Kejaksaan untuk saling

mengawasi jalannya suatu perkara pidana dalam sebuah Sistem

Peradilan Pidana.

Terkait dengan adanya penyelesaian secara damai atau

secara kekeluargaan di Kepolisian terhadap adanya suatu tindak

pidana yang diketahui karena adanya laporan dari Korban,

sebagaimana diketahui bahwa terjadinya suatu tindak pidana dapat

diketahui oleh aparat Kepolisian karena:

a. Tertangkap tangan, yakni Pelaku tindak pidana tersebut

kedapatan sedang melakukan tindak pidana atau tidak lama

kemudian perbuatan Pelaku tersebut ketahuan oleh aparat

Kepolisian;

b. Karena adanya laporan;

c. Karena adanya pengaduan oleh orang yang merasa dirugikan;

d. Aparat penegak hukum mengetahuinya melalui media.

Dalam perkara dengan nomor laporan polisi

LP/244/X/2010/Sekta, 29 Oktober 2010, perkara tersebut dapat

diketahui oleh aparat Kepolisian karena adanya laporan dari

Korban, namun perkara ini merupakan delik biasa dan bukan

merupakan delik aduan yang memang dapat dihentikan

penuntutannya apabila korban mencabut pengaduannya. Selain itu,

terkait dengan diselesaikannya perkara pidana dengan nomor

64
laporan polisi LP/244/X/2010/Sekta, 29 Oktober 2010, yang

merupakan perkara pidana yang dijerat dengan Pasal 362 KUHP

mengenai Pencurian, perkara tersebut merupakan delik formal

yaitu delik yang dianggap selesai dengan dilakukannya perbuatan

itu, atau dengan perkataan lain titik beratnya berada pada

perbuatan itu sendiri (Teguh Prasetyo,2010:57), Pencurian ini juga

merupakan delik biasa yang dapat dituntut apabila unsur-unsur

yang terkandung dalam pasal tersebut terpenuhi.

Berdasarkan wawancara dengan Kanit Reskrim Polsekta

Wajo, IPDA Sukardi,S.H.,M.Hum.(wawancara tanggal 25

Nopember 2010), terkait dengan adanya perkara yang tidak

dilanjutkan ke Kejaksaan karena diselesaikan secara damai,

menurut beliau, walaupun pada dasarnya suatu peristiwa pidana

yang terjadi diberikan kewenangan kepada Pemerintah dalam hal

ini diwakili oleh Polisi, Jaksa, serta Kehakiman untuk memeriksa,

menuntut, dan memberikan hukuman kepada orang-orang yang

bersalah, akan tetapi ada pengecualian terhadap beberapa jenis

tindak pidana yang karena sifatnya hanya bisa dituntut atas adanya

pengaduan. Sebagaimana diatur dalam Pasal 72 KUHP mengenai

perkara yang dapat dituntut atas adanya pengaduan, yaitu:

(1) Jika kejahatan yang hanya boleh dituntut atas pengaduan,

dilakukan kepada orang yang umurnya belum cukup enam belas

tahun dan belum dewasa, atau kepada orang yang dibawah

65
penilikan (curatele) lain orang bukan dari sebab keborosan,

maka selama dalam keadaan-keadaan itu, yang berhak

mengadu ialah wakilnya yang sah dalam perkara sipil.

(2) Jika tidak ada wakil, atau dia sendiri yang harus diadukan, maka

penuntutan boleh atas pengaduan wali yang mengawas-awas

atau curator (penilik) atau majelis yang menjalankan kewajiban

wali pengawas-awas atau yang menjalankan kewajiban curator

itu, atas pengaduan isteri, seorang kaum keluarga dalam turunan

yang lurus, atau kalau ini tidak ada, atas pengaduan kaum

keluarga dalam turunan yang menyimpang sampai derajat yang

ketiga.

Dalam penjelasan Pasal 72 KUHP yang disusun oleh

R.Soesilo, pada prinsipnya jika terjadi peristiwa pidana, maka

Pemerintah yang diwakili oleh Polisi, Kejaksaan, dan Kehakiman,

tanpa permintaan dari yang kena peristiwa pidana itu, segera

bertindak melakukan pemeriksaan, penuntutan, dan memberikan

hukuman kepada orang-orang yang bersalah. Akan tetapi, dari

banyak peristiwa pidana itu ada beberapa jenis, hampir semuanya

kejahatan, yang hanya dituntut atas pengaduan (permintaan) dari

orang yang kena peristiwa pidana. Peristiwa semacam ini biasa

pula disebut delik aduan.

Alasan dari adanya delik aduan ini adalah, bahwa dalam

beberapa hal bagi orang yang bersangkutan lebih menguntungkan

66
untuk tidak menuntut perkara itu daripada keuntungan bagi

pemerintah (masyarakat) jika dilakukan penuntutan.

Adanya delik aduan ini tidak mengurangi prinsip oportuniteit

dalam hukum penuntutan pidana dari negara kita, bahwa Penuntut

Umum (Kejaksaan) senantiasa (juga terhadap delik-delik aduan)

mempunyai kekuasaan untuk menyimpan (mendeponir) perkara

bagi kepentingan umum.

Delik aduan (klachtdelict) adalah tindak pidana yang

penuntutannya hanya dilakukan atas dasar adanya pengaduan dari

pihak yang berkepentingan atau terkena. Terdapat dua jenis delik

aduan, yaitu delik aduan absolut yang penuntutannya hanya

berdasarkan pengaduan, dan delik aduan relatif di sini karena

adanya hubungan istimewa antara Pelaku dengan Korban (Teguh

Prasetyo, 2010:59).

Delik aduan absolut, ialah delik (peristiwa pidana) yang

selalu hanya dapat dituntut apabila ada pengaduan seperti tersebut

dalam pasal-pasal: 284, 287, 293, 310, dan berikutnya 332, 322,

dan 369. Dalam hal ini, maka pengaduan diperlukan untuk

menuntut peristiwanya. Oleh karena yang dituntut itu peristiwanya,

maka semua orang yang bersangkut paut (melakukan, membujuk,

membantu) dengan peristiwa itu harus dituntut. Delik aduan relatif,

ialah delik-delik (peristiwa pidana) yang biasanya bukan merupakan

delik aduan, akan tetapi jika dilakukan oleh sanak keluarga yang

67
ditentukan dalam pasal 367, lalu menjadi delik aduan. Delik- delik

aduan relatif ini tersebut dalam pasal –pasal:367, 370, 376, 394,

404, dan 411. Dalam hal ini maka pengaduan ini diperlukan bukan

untuk menuntut peristiwanya, akan tetapi untuk menuntut orangnya

yang bersalah dalam peristiwa itu (R.Soesilo,1995:87).

Menurut bapak Sukardi,S.H.,M.Hum.(wawancara tanggal 25

Nopember 2010), perkara pidana yang dapat diselesaikan secara

damai pada tingkat penyidikan di Kepolisian adalah perkara-

perkara yang tergolong sebagai delik aduan, yaitu perkara-perkara

dalam Pasal 284, 287, 293, 310, 332, 322, dan 369 KUHP (delik

aduan absolut) dan Pasal 367, 370, 376, 394, 404, dan 411 KUHP

(delik aduan relatif). Sedangkan perkara pidana selain itupun dapat

dihentikan penyidikannya jika dalam hal:

a. Tidak terdapat cukup bukti;

b. Peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana;

c. Atau dihentikan demi hukum.

Sesuai ketentuan Pasal 109 ayat (2) KUHAP. Tidak sedikit

perkara yang tergolong memenuhi unsur dalam Pasal 109 ayat (2)

KUHAP tersebut bentuk penyelesaiannya secara damai pula.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Sukardi

tersebut, maka jelaslah bahwa terkait perkara pidana dengan

nomor laporan polisi LP/244/X/2010/Sekta, 29 Oktober 2010 tidak

dapat dihentikan penuntutannya karena bukan merupakan delik

68
aduan, dan berdasarkan Berita Acara Pemeriksaannya jelas

perkara pidana dengan nomor laporan polisi LP/244/X/2010/Sekta,

29 Oktober 2010 yang dikenakan Pasal 362 KUHP mengenai

Pencurian tersebut memenuhi unsur-unsur pencurian

sebagaimana diatur dalam Pasal 362 KUHP yaitu ada perbuatan

“mengambil”, berdasarkan kronologis peristiwa sebagaimana telah

dijelaskan dalam Berita Acara Pemeriksaan jelas bahwa Tersangka

Hasna binti Junaedi telah “mengambil”/menyembunyikan “barang”

yakni 1 (satu) kotak susu bubuk merek Enfamil dengan harga

Rp.97.100,-(Sembilan puluh tujuh ribu seratus rupiah) yang

merupakan milik mini market Alfa Mart ke dalam roknya dan

kemudian berjalan melewati kasir tanpa melakukan pembayaran

dan telah sempat meninggalkan toko sekitar satu meter namun

saat itu Saksi memanggil dan dan memeriksa barang bukti yang

telah dicuri oleh Pelaku. Jadi jelaslah bahwa perkara yang

dilaporkan oleh Nasrijal tersebut merupakan tindak pidana yakni

pencurian. Kemudian mengenai alasan tidak terdapat cukup bukti,

berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan terhadap perkara pidana

dengan nomor laporan polisi LP/244/X/2010/Sekta, 29 Oktober

2010, terdapat barang bukti yakni satu kotak susu bubuk merek

Enfamil, disertai dengan keterangan Nasrijal selaku Saksi dan

Pelapor yang melihat sendiri Tersangka Hasna mengambil barang

tersebut dan meninggalkan mini market Alfa Mart tanpa membayar,

69
dan dikuatkan dengan pengakuan Tersangka Hasna yang

mengakui telah melakukan perbuatan tersebut, maka jelaslah

bahwa perkara pidana dengan nomor laporan polisi

LP/244/X/2010/Sekta, 29 Oktober 2010 tidak dapat dihentikan

penyidikannya apabila didasarkan pada Pasal 109 ayat (2) KUHAP

yaitu dihentikannya penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti,

atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana, atau

penyidikan dihentikan demi hukum, karena perkara tersebut

memenuhi ketiga hal sehingga penyidikan dapat dilanjutkan ke

taraf penuntutan. Namun berdasarkan wawancara dengan Penyidik

yang menangani perkara ini, menjelaskan bahwa alasan

dihentikannya penyidikan atas perkara pidana dengan nomor polisi

LP/244/X/2010/Sekta, 29 Oktober 2010, adalah alasan

perikemanusiaan karena Tersangka hanya mencuri satu kotak susu

untuk anaknya dan Tersangka tidak mempunyai uang, bukan untuk

menjual kembali susu tersebut dan uangnya dipergunakan untuk

hal yang tidak baik, selain itu pihak mini market Alfa Mart juga

sudah memaafkan perbuatan Tersangka. Namun perbuatan

Tersangka tersebut tetap harus dilanjutkan karena dalam Pasal 362

KUHP tidak ditentukan berapa besarnya atau berapa nilai barang

yang diambil untuk dapat digolongkan ke dalam perbuatan mencuri

yang dapat dijerat dengan pasal pencurian. Adapun dihukum atau

tidaknya Tersangka tergantung dari bagaimana putusan Hakim

70
nanti, apakah Tersangka akan mendapatkan keringanan hukuman

atau dibebaskan.

Menurut bapak Sukardi.S.H,.M.Hum.(wawancara tanggal 25

Nopember 2010), selain kedua dasar tersebut yakni Pasal 109 ayat

(2) dan apabila perkara tersebut merupakan delik aduan dan telah

dicabut oleh pihak yang mengadukan, maka sesungguhnya jika

dikaji lebih mendalam eksistensi Kepolisian Negara Republik

Indonesia dengan tugas dan kewenangan sesuai Pasal 13 Undang-

Undang No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik

Indonesia, yaitu:

a. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;

b. Menegakkan hukum, dan

c. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan

kepada masyarakat.

Maka sesungguhnya ketentuan tersebut menjadi landasan

hukum bagi Polri untuk melakukan segala tindakan hukum yang

bertujuan untuk menjaga Kamtibmas, melakukan perlindungan,

pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat disamping

tugasnya sebagai penegak hukum. Ketentuan tersebut diperkuat

dengan ketentuan Pasal 18 Undang-Undang No.2 Tahun 2002,

khususnya mengenai Diskresi Kepolisian, yaitu:

71
(1) Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik

Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat

bertindak menurut penilaiannya sendiri.

(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

hanya dapat dilakukan dalam keadaan sangat perlu dengan

memperhatikan peraturan perundang-undangan serta Kode

Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Maka pada dasarnya, Polri diberikan kewenangan untuk

mendeponir perkara sebagaimana halnya Kejaksaan,sesuai

dengan unsur-unsur yang ditentukan dalam Undang-Undang

tersebut.

Kepolisian Negara Republik Indonesia di tengah-tengah

masyarakat menjadi salah satu tumpuan masyarakat untuk

menyelesaikan segala bentuk permasalahannya. Polri sendiri tidak

dibenarkan untuk menolak perkara yang dilaporkan. Sehingga

perkara-perkara yang ditangani oleh Kepolisian bukan hanya

perkara pidana, tetapi semua permasalahan masyarakat terutama

yang berpotensi mengganggu Kamtibmas. Membantu masyarakat

untuk menyelesaikan permasalahannya, baik melaui mediasi,

konsiliasi, maupun pendampingan, merupakan bentuk pelayanan,

pengayoman, dan perlindungan Polri kepada masyarakat. Dalam

lembaga Kepolisian terdapat beberapa bagian seperti Reskrim

yang bertugas melakukan penegakan hukum secara Represif,

72
Binmas dengan Polmasnya dapat menjadi wadah penyelesaian

secara damai, dan fungsi-fungsi lain seperti Lantas dan Sabhara.

Dalam Peraturan Bersama Ketua Mahkamah Agung

Republik Indonesia, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia

Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, dan Kepala

Kepolisian Negara Republik Indonesia (MAHKUMJAKPOL) Nomor:

099/KMA/SKB/V/2010, Nomor: M.HH-35.UM.03.01 Tahun 2010,

Nomor: KEP-059/A/JA/05/2010, Nomor: B/14/V/2010 tentang

Sinkronisasi Ketatalaksanaan Sistem Peradilan Pidana dalam

Mewujudkan Penegakan Hukum yang Berkeadilan, diuraikan

mengenai kendala-kendala yang dihadapi oleh keempat lembaga

tersebut terkait masalah koordinasi dalam pelaksanaan Sistem

Peradilan Pidana di Indonesia. Dalam Peraturan Bersama tersebut

akan dilihat hal-hal apa yang menjadi masalah dalam hubungan

koordinasi antara Kepolisian dan Kejaksaan serta hal-hal apa yang

sebaiknya dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut.

Berdasarkan tabel yang terdapat dalam Peraturan Bersama

Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Menteri Hukum dan

Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik

Indonesia, dan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia

(MAHKUMJAKPOL) Nomor: 099/KMA/SKB/V/2010, Nomor: M.HH-

35.UM.03.01 Tahun 2010, Nomor: KEP-059/A/JA/05/2010, Nomor:

B/14/V/2010 tentang Sinkronisasi Ketatalaksanaan Sistem

73
Peradilan Pidana dalam Mewujudkan Penegakan Hukum yang

Berkeadilan, dapat dilihat bahwa terdapat beberapa hambatan atau

kendala dalam hubungan koordinasi antara Kepolisian dan

Kejaksaan dalam pelaksanaan Sistem Peradilan Pidana, seperti

Penyidik setelah melakukan penyidikan suatu tindak pidana segera

memberitahukan kepada Jaksa Penuntut Umum. SPDP (Surat

Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan) belum diterima Jaksa

Penuntut Umum, tetapi Penyidik telah meminta perpanjangan

penahanan, atau SPDP bersama- sama dengan berkas perkara,

pengawalan Tahanan di daerah sering terjadi bahwa pihak

Kepolisian tidak memenuhi permintaan dari Kajari untuk

pengawalan Tahanan dari Lapas/Rutan ke Pengadilan setempat

dan sebaliknya, pengembalian berkas perkara antara Penyidik dan

Jaksa Penuntut Umum (JPU), disatu pihak Penyidik merasa sudah

berusaha maksimal untuk memenuhi petunjuk Jaksa Penuntut

Umum, namun di pihak lain Jaksa Penuntut Umum tetap

beranggapan bahwa berkas perkara tersebut belum lengkap, serta

pemeriksaan terhadap pejabat negara yang harus mendapat

persetujuan Presiden. Polri melakukan pemeriksaan terhadap

pejabat negara yang surat ijin dari Presiden belum terbit. Pada

batas waktu yang ditentukan (60 hari) ijin tersebut belum turun,

maka pihak Penyidik, dapat melakukan pemeriksaan. Tetapi pihak

74
Jaksa Penuntut Umum (dan Pengadilan) menolak berkas hasil

pemeriksaan karena belum ada ijin Presiden.

Untuk mengatasi kendala-kendala tersebut telah diadakan

rapat koordinasi antara empat lembaga yang berperan sebagai sub

sistem dalam Sistem Peradilan Pidana yakni Mahkamah Agung

Republik Indonesia, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia

Republik Indonesia, Kejaksaan Agung Republik Indonesia, dan

Kepolisian Negara Republik Indonesia, dimana hasil rapat

koordinasi tersebut dituangkan dalam Peraturan Bersama Ketua

Mahkamah Agung Republik Indonesia, Menteri Hukum dan Hak

Asasi Manusia Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik

Indonesia, dan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia

(MAHKUMJAKPOL) Nomor: 099/KMA/SKB/V/2010, Nomor: M.HH-

35.UM.03.01 Tahun 2010, Nomor: KEP-059/A/JA/05/2010, Nomor:

B/14/V/2010 tentang Sinkronisasi Ketatalaksanaan Sistem

Peradilan Pidana dalam Mewujudkan Penegakan Hukum yang

Berkeadilan, yang diharapkan dapat mengatasi kendala-kendala

yang timbul dalam hubungan koordinasi antara Kepolisian,

Kejaksaan, Pengadilan, dan Lembaga Pemasyarakatan.

75
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian sebelumnya dan setelah melakukan

penelitian, maka dapat disimpulkan hal-hal yang berkaitan

dengan koordinasi yang terjadi antara Lembaga Kepolisian

dalam hal ini Polsekta Wajo dengan Lembaga Kejaksaan dalam

hal ini Kejaksaan Negeri Makassar Cabang Pelabuhan

Makassar terkait perkara pidana No.LP/244/X/2010/Sekta, 29

Oktober 2010, sebagai berikut:

1. Terkait dengan perkara pidana dengan nomor laporan polisi

LP/244/X/2010/Sekta, 29 Oktober 2010, sebenarnya dapat

dilihat bahwa tidak terjadi hubungan koordinasi antara

Kepolisian dalam hal ini Polsekta Wajo dengan Kejaksaan

Negeri Makassar Cabang Pelabuhan Makassar, karena

perkara tersebut diselesaikan secara damai hanya pada

tingkat penyidikan di Kepolisian karena Pelapor sekaligus

Korban telah mencabut laporannya sebelum Penyidik

mengirimkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan

ke Kejaksaan. Hal ini dilakukan oleh Penyidik untuk memberi

kesempatan kepada Pelapor untuk membicarakan dan

memikirkan apakah perkara tersebut akan dilanjutkan ke

76
taraf penuntutan ke Kejaksaan atau diselesaikan secara

damai di Kepolisian.

2. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kurangnya bahkan

tidak terjadinya koordinasi antara Kepolisian dalam hal ini

Polsekta Wajo dengan Kejaksaan dalam hal ini Kejaksaan

Negeri Makassar Cabang Pelabuhan Makassar dalam

penanganan perkara pidana dengan nomor laporan polisi

LP/244/X/2010/Sekta, 29 Oktober 2010 telah diselesaikan

secara damai di tingkat penyidikan di Kepolisian, sebelum

diterbitkannya Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan,

maka hal tersebut menunjukkan bahwa tidak terjadi

hubungan koordinasi antara Kepolisian dalam hal ini

Polsekta Wajo dengan Kejaksaan dalam hal ini Kejaksaan

Negeri Makassar Cabang Pelabuhan Makassar karena telah

dicabutnya laporan sebelum diterbitkannya SPDP, walaupun

jika merujuk pada ketentuan Pasal 109 ayat (1) KUHAP,

begitu penyidikan mulai dilakukan maka pihak Penyidik

harus mengirimkan SPDP ke Kejaksaan. Dan berdasarkan

wawancara dengan pihak Kejaksaan, apabila suatu perkara

telah diselesaikan secara damai di Kepolisian sebelum

dikirim SPDP maka hal tersebut tidak perlu diberitahukan

kepada pihak Kejaksaan.

77
Faktor lain yang menyebabkan tidak terjadi hubungan

koordinasi antara Kepolisian dan Kejaksaan dalam hal ini

Polsekta Wajo dan Kejaksaan Negeri Makassar Cabang

Pelabuhan Makassar yaitu dihentikannya penyidikan dan

tidak dikirim SPDP pada saat memulai penyidikan ada

pertimbangan dari pihak Kepolisian bahwa meskipun

terhadap perkara dengan nomor laporan polisi

LP/244/X/2010/Sekta, 29 Oktober 2010 telah dilakukan

penyidikan, namun pihak Penyidik belum mengirimkan

SPDP dengan pertimbangan efisiensi yaitu Penyidik

menunda mengirim SPDP dengan menunggu sampai

maksimal sebelum waktu untuk meminta perpanjangan

penahanan yakni setelah 20 (dua puluh) hari dikirimkan. Hal

ini dimaksudkan karena ada kemungkinan perkara yang

masuk tersebut dapat diselesaikan secara damai sehingga

tidak perlu lagi mengirimkan Surat Perintah Penghentian

Penyidikan (SP3). Hal ini jelas bertentangan dengan

prosedur yang telah diatur dalam KUHAP khususnya Pasal

109 ayat (1). Hal ini pulalah yang menyebabkan hubungan

koordinasi yang terjadi antara Kepolisian dan Kejaksaan

tidak berjalan maksimal karena SPDP, SP3, P17, P18, P21,

dan permohonan perpanjangan penahanan merupakan

sarana kontrol bagi Kepolisian dan Kejaksaan untuk saling

78
mengawasi jalannya suatu perkara pidana dalam sebuah

Sistem Peradilan Pidana.

B. Saran

Adapun saran yang diajukan sehubungan dengan hasil

penelitian pada Polsekta Wajo dan Kejaksaan Negeri Makassar

Cabang Pelabuhan Makassar terkait dengan bagaimana

hubungan koordinasi yang terjadi antara Kepolisian dalam hal

ini Polsekta Wajo dan Kejaksaan dalam hal ini Kejaksaan

Negeri Makassar Cabang Pelabuhan Makassar sebagai sub

Sistem Peradilan Pidana dalam penanganan perkara pidana

dengan nomor laporan polisi LP/244/X/2010/Sekta, 29 Oktober

2010 , yaitu:

1. Untuk memperlancar hubungan koordinasi yang terjadi

antara Polsekta Wajo pada khususnya maupun dengan

lembaga Kepolisian pada umumnya dengan Kejaksaan

khususnya dalam hal ini Kejaksaan Negeri Makassar

Cabang Pelabuhan Makassar dapat dilakukan dengan lebih

banyak komunikasi antara Kepolisian dan Kejaksaan serta

membina hubungan baik antara pihak-pihak di kedua

lembaga tersebut, dalam hal ini khususnya penyidik di

Kepolisian dengan Jaksa, maksudnya tidak ada unsur saling

menyalahkan dan saling meremehkan dalam penanganan

79
suatu perkara pidana, karena bagaimanapun kedua lembaga

tersebut saling membutuhkan dan tidak dapat terlepas

dalam fungsinya menyelenggarakan peradilan pidana.

Dengan adanya komunikasi yang baik maka akan tercipta

hubungan koordinasi yang lancar sehingga perkara yang

diteliti lebih lancar pemeriksaannya dan tidak ada bolak-balik

berkas. Kelancaran komunikasi tersebut dapat pula

dilakukan dengan terjadinya tukar menukar data dan

informasi antara Kepolisian dan Kejaksaan terkait

penanganan perkara. Kemudian agar hubungan koordinasi

antara Kepolisian dan Kejaksaan berjalan maksimal maka

hendaknya pihak Kepolisian menaati ketentuan yang telah

diatur dalam Pasal 109 ayat (1) KUHAP yang berbunyi “

Dalam hal Penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu

peristiwa yang merupakan tindak pidana, Penyidik

memberitahukan hal tersebut kepada Penuntut Umum,” baik

itu perkara pidana yang merupakan delik biasa maupun delik

aduan, tetap diberitahukan apabila proses penyidikannya

telah dimulai ke Kejaksaan. Karena tujuan dari pasal

tersebut adalah agar antara Lembaga Kepolisian dan

Kejaksaan terjadi sebuah hubungan yang di dalamnya ada

saling kontrol karena tujuan SPDP, Surat Perpanjangan

Penahanan, P18, P19, dan P21 adalah sebagai sarana

80
kontrol bagi Kepolisian dan Kejaksaan dalam penanganan

perkara pidana.

2. Kemudian terkait dengan tidak terjadinya hubungan

koordinasi antara Kepolisian dalam hal ini Polsekta Wajo

dengan Kejaksaan dalam hal ini Kejaksaan Negeri Makassar

Cabang Pelabuhan Makassar terkait penanganan perkara

pidana dengan nomor laporan polisi LP/244/X/2010/Sekta,

29 Oktober 2010 yang disebabkan karena perkara tersebut

telah diselesaikan secara damai di tingkat penyidikan di

Kepolisian sebelum diterbitkannya SPDP, walaupun hal

tersebut dilakukan untuk memberi waktu kepada para pihak

untuk menyelesaikan masalah tersebut secara damai dan

pihak yang merasa dirugikan mencabut

laporan/pengaduannya dan pertimbangan efisiensi agar

apabila perkara tersebut dihentikan penyidikannya karena

telah dicabut laporan pihak Penyidik tidak perlu menerbitkan

Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) yang

tembusannya ke Kejaksaan, dan agar tidak terjadi

penumpukan berkas di Kejaksaan, karena berkas yang

dikirim ke Kejaksaan memang merupakan berkas dari

perkara pidana yang kemungkinan besar akan dilanjutkan ke

taraf penuntutan, namun agar hubungan koordinasi tetap

tercipta diantara Kepolisian dan Kejaksaan dalam

81
penanganan perkara tersebut maka hendaknya prosedur

yang telah diatur dalam KUHAP tetap dilaksanakan karena

tujuan diaturnya hal tersebut adalah agar terjadi hubungan

yang saling kontrol antara Kepolisian dan Kejaksaan dalam

menangani suatu perkara pidana untuk menegakkan hukum

yang bersih di negara ini. Selain itu, untuk mengatasi

kendala-kendala yang dihadapi antara Kepolisian dengan

Kejaksaan dalam penanganan perkara pidana dalam Sistem

Peradilan Pidana telah dilakukan Rapat Koordinasi antara

Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Menteri

Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Jaksa

Agung Republik Indonesia, dan Kepala Kepolisian Negara

Republik Indonesia (MAHKUMJAKPOL) di Jakarta tanggal 4

Mei 2010, yang membicarakan kendala-kendala yang

dihadapi oleh keempat lembaga dalam Sistem Peradilan

Pidana serta bagaimana solusi yang diambil yang

dituangkan dalam Peraturan Bersama.

82
DAFTAR PUSTAKA

Achmad Ali, 1990, Mengembara di Belantara Hukum. Lembaga


Penerbitan Universitas Hasanuddin: Ujung Pandang.

Amiruddin dan H.Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum.


PT.Raja Grafindo Persada: Jakarta.

A.T.Hamid, 1982, Praktek Peradilan Perkara Pidana. CV.Al Ihsan:


Surabaya.

Andi Hamsah, 1986, Kamus Hukum. Ghalia Indonesia: Jakarta.

Buku Petunjuk Lapangan tentang Penyelidikan. Kepolisian Negara


Republik Indonesia Markas Besar: Jakarta.

Himpunan Bujuklak, Bujuklap, dan Bujukmin Proses Penyidikan TIndak


Pidana. Kepolisian Negara Republik Indonesia Markas Besar.
Jakarta.

J.B.Daliyo,2001, Pengantar Hukum Indonesia Buku Panduan Mahasiswa.


PT.Prenhallindo: Jakarta.

jur.Andi Hamsah.2008, Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Kedua. Sinar


Grafika: Jakarta.

Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga .2002. Pusat Bahasa


Departemen Pendidikan Nasional. Balai Pustaka: Jakarta.

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Permata Press.

Pedoman Pelaksanaan KUHAP. Asa Mandiri: Jakarta.

Romli Atmasasmita,2010, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer.


Kencana Prenada Media Group:Jakarta.

R. Soesilo, 1995, Kitab Undang-Undang Hukum PIdana (KUHP) serta


Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal. Politeia:
Bogor.

Suharsimi Arikunto, 1999, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek.


Rineka Cipta: Yogyakarta.

Teguh Prasetyo, 2010, Hukum Pidana. Rajawali Pers: Jakarta.

83
Teguh Prasetyo, Abdul Halim Barkatullah, 2005, Politik Hukum Pidana
kajian Kebijakan Kriminalisasi dan Deskriminalisasi. Pustaka
Pelajar: Yogyakarta.

Undang-Undang No.12 Tahun 1995 tentang Lembaga Pemasyarakatan.

Undang-Undang Republik Indonesia No.2 Tahun 2002 dan Peraturan


Pemerintah Republik Indonesia Tahun 2010 tentang Kepolisian.
Citra Umbara: Bandung.

Undang-Undang No.18 Tahun 2003 tentang Advokat. Citra Umbara:


Bandung.

Undang-Undang No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Citra


Umbara: Bandung.

Undang-Undang No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik


Indonesia. Citra Umbara: Bandung.

84

Anda mungkin juga menyukai