Anda di halaman 1dari 93

SKRIPSI

IMPLEMENTASI DOUBLE TRACK SYSTEM BERDASARKAN


UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 1997
TENTANG PENGADILAN ANAK
(Studi Kasus Kabupaten Bone)

OLEH :

ANDI HERYANTO BAUSAD


B111 07 035

UNIVERSITAS HASANUDDIN
FAKULTAS HUKUM
BAGIAN HUKUM KEPIDANAAN
MAKASSAR
2011
HALAMAN JUDUL

IMPLEMENTASI DOUBLE TRACK SYSTEM BERDASARKAN


UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 1997
TENTANG PENGADILAN ANAK
(Studi Kasus Kabupaten Bone)

OLEH :

ANDI HERYANTO BAUSAD


B111 07 035

SKRIPSI

pada

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR
2011

i
ii
iii
iv
ABSTRAK

ANDI HERYANTO BAUSAD (B111 07 035). lmplementasi Double Track


System Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak (Studi Kasus Kabupaten Bone) di bawah bimbingan
Muhadar sebagai Pembimbing I dan Nur Azisa sebagai Pembimbing II.

Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui implementasi double


track system dalam pemidanaan anak di Kabupaten Bone, dan untuk
mengetahui kendala penerapan double track system dalam pemidanaan
anak di Kabupaten Bone.
Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Bone Provinsi Sulawesi Selatan
dengan sasaran hakim pada Pengadilan Negeri Watampone dengan
melakukan wawancara terhadap hakim serta memperoleh sumber data dari
beberapa perpustakaan.
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa : Implementasi double
track system dalam pemidanaan menurut Undang-Undang Nomor 3 tahun
1997 tentang Pengadilan Anak di Kabupaten Bone belum berjalan secara
maksimal, meskipun sudah terdapat kemajuan dalam mengimplementasikan
prinsip double track system. lni terlihat dari putusan yang diterapkan bagi
terdakwa anak, hakim pada pengadilan negeri sudah mulai terbuka terhadap
penerapan jenis sanksi lain. Kendala dalam penerapan double track system
dalam pemidanaan anak di Kabupaten Bone adalah kurangnya pemahaman
hakim di Pengadilan Negeri Watampone terhadap substansi Undang-undang
Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, tidak adanya saran atau
prasarana yang menunjang pelaksanaan sanksi tindakan bagi terdakwa anak
di Kabupaten Bone.

v
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas

segala limpahan rahmat hidayah, dan karuniaNya yang senantiasa memberi

petunjuk dan membimbing langkah penulis sehingga penulis dapat

merampungkan skripsi ini sebagai salah satu syarat tugas akhir pada jenjang

studi Strata Satu (S1) pada Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.

Segenap kemampuan telah penulis curahkan demi kesempurnaan

penulisan skripsi ini. Namun demikian, sebagai manusia yang tentunya

memiliki keterbatasan, tidak menutup kemungkinan masih ditemukan

kekurangan dan kelemahan. Oleh karena itu, segala masukan dalam bentuk

kritik dan saran yang sifatnya membangun senantiasa penulis harapkan demi

kesempurnaan dan penulisan di masa yang akan datang.

Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan untaian terima kasih

yang tak terhingga kepada keluargaku tercinta, yaitu kedua orang tua penulis,

kepada Ayahanda Andi Bausad dan Ibunda Andi Hasrati,S.E. yang

senantiasa merawat, mendidik, dan memotivasi penulis dengan penuh

kesabaran dan kasih sayang dari kecil hingga saat ini. Kepada saudara-

saudara penulis Andi Maulianah Bausad,S.H.,MKn. Dan Andi Dian

Bausad,S.H. yang telah banyak memberi nasehat dan mendengarkan keluh

kesahku, maaf kalau penulis belum dapat membahagiakan kalian. Terima

kasih atas petuahnya yang Insya Allah akan berguna bagiku di kemudian

vi
hari untuk menghadapi berbagai aral rintangan hidup ke depannya. Dan

terima kasi pula kepada Syahrifilani yang selalu setia menemani penulis baik

suka dan duka, mendengarkan keluh kesah penulis, dan membantu serta

mengarahkan penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

Dalam proses penulisan skripsi ini, penulis juga mengucapkan terima

kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Rektor Universitas Hasanuddin dan segenap jajarannya.

2. Dekan dan segenap jajaran Pembantu Dekan Fakultas Hukum Universitas

Hasanuddin.

3. Ketua Bagian dan Sekretaris Bagian Hukum Pidana dan para dosen di

Bagian Hukum Pidana serta segenap dosen pada Fakultas Hukum

Universitas Hasanuddin.

4. Bapak Prof. Dr. Muhadar,S.H.,M.S. selaku Pembimbing I dan Ibu Nur

Azisa, S.H., M.H., selaku Pembimbing II di tengah-tengah kesibukan dan

aktivitasnya beliau telah bersedia menyediakan waktunya membimbing

dan menyemangati penulis dalam hal penyusunan skripsi ini.

5. Bapak Syamsuddin Muchtar, S.H., M.H., Ibu Dara Indrawati, S.H., M.H.

dan Bapak Abd Asis, S.H., M.H., selaku Tim Penguji, terima kasih atas

segala saran dan masukannya yang sangat berharga dalam penyusunan

skripsi ini.

vii
6. Bapak Ismail Alrip, S.H, M.H. Sebagai Penasehat Akademik, yang

bersedia meluangkan waktunya membimbing penulis selama berada di

Fakultas Hukum Unhas.

7. Para Staf Akademik, Bagian Kemahasiswaan dan Perpustakaan yang

telah banyak membantu penulis.Terkhusus penulis hanturkan kepada Ibu

Farida,Ibu Ajhi,dan Kak Try yang tak hentinya-hentinya membantu penulis

dalam penyusunan dan pengurusan berkas.

8. Terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis haturkan

kepada Bapak H.Andi Cakra Alam,S.H.,M.H.,Selaku Ketua Pengadilan

Negeri Watampone Beserta Jajarannya yang telah meluangkan waktunya

untuk memberikan data kepada penulis.

9. Terima kasih sebesar-besar nya buat pihak Keluarga besarku yang telah

memberi dorongan motivasi dan doanya kepada penulis, sehingga penulis

dapat meraih gelar SARJANA HUKUM.

10. Terima kasih buat Sahabat seperjuanganku selama proses perkuliahan

baik dalam suka maupun duka yakni A.Iful, Didi,Ian, Mughi, Rusman,

Kadir, Ronald, A.Fian, Fira, Lani, Ulhy, Triska, Dhera serta yang lainnya

yang mungkin penulis lupa ungkapkan.

11. Terima kasih Buat Sahabat dan Teman-teman di IMHB.

12. Bang Azgar, Pak Baso, serta Pak Buhari yang telah banyak membantu

penulis.

viii
13. Terima kasih pula penulis hanturkan kepada Ikhe’ yang beberapa tahun

selalu menemani , membantuku dan memberikan semangat dan doa

selama penulis di perkuliahan.

Akhir kata, penulis mengharapkan semoga penyajian skripsi ini,

bermanfaat bagi pembacanya terutama yang ingin menggeluti bidang hukum.

Semoga Allah SWT senantiasa membalas pengorbanan tulus yang

telah diberikan dengan segala limpahan Rahmat dan HidayahNya. Akhir kata,

semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua. AMIN...

Makassar, Mei 2011

ANDI HERYANTO BAUSAD

ix
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ............................................................................... i


HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................... iii
HALAMAN PERSETUJUAN MENEMPUH UJIAN SKRIPSI ................... iv
ABSTRAK ............................................................................................... v
KATA PENGANTAR ............................................................................... vi
DAFTAR ISI ............................................................................................ ix
DAFTAR TABEL ..................................................................................... xi

BAB I PENDAHULUAN .................................................................... 1


A. Latar Belakang Masalah ................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................ 5
C. Tujuan Penelitian .............................................................. 5
D. Manfaat Penelitian ............................................................ 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................ 6


A. Pengertian Double Track System .................................... 6
B. Pemidanaan Anak ............................................................ 11
1. Teori Tujuan Pemidanaan .......................................... 11
2. Jenis Pidana dan Tindakan Bagi Anak Nakal .............. 25
C. Anak sebagai Pelaku Tindak Pidana ............................... 39
1. Pengertian Anak dan Anak Nakal ................................ 39
2. Batas Usia Anak .......................................................... 43
3. Perlindungan Anak dalam Peraturan Perundang-
Undangan .................................................................... 45

BAB III METODE PENELITIAN ......................................................... 59


A. Lokasi Penelitian ............................................................... 59
B. Jenis dan Sumber Data .................................................... 59
C. Teknik Pengumpulan Data ............................................... 60
D. Teknik Analisis Data ......................................................... 61

x
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Implementasi Double Track System dalam Pemidanaan
menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak ............................................................... 62

B. Kendala Penerapan Double Track System dalam


Pemidanaan anak di Kabupaten Bone ............................. 68

BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ....................................................................... 76
B. Saran ................................................................................ 76

DAFTAR PUSTAKA

xi
DAFTAR TABEL

1. Persentase Jenis Sanksi yang Diterapkan Bagi Terdakwa Anak


Pada Pengadilan Negeri Watampone Tahun 2009 – 2010 ............... 64

2. Jenis Kejahatan dan Jenis Sanksi yang Diterapkan bagi Terdakwa


Anak oleh Pengadilan Negeri Watampone Tahun 2009 ................... 65

3. Jenis Kejahatan dan Jenis Sanksi yang Diterapkan Bagi Terdakwa


Anak Oleh Pengadilan Negeri Watampone Tahun 2010 .................. 66

xii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pembaharuan hukum khususnya hukum pidana di Indonesia

semakin mengalami perkembangan pesat namunpun demikian akan tetap

menjadi perdebatan para ahli hukum pidana maupun penologi tentang

“apakah dasar dari pemidanaan?” atau “apa alasannya untuk

membenarkan penjatuhan pidana oleh penguasa?”(Sianturi,1986:57).

Karena itu, tidak mengherankan bila van der Hoeven seorang Guru Besar

Hukum Pidana di Universitas Leiden, dengan nada kecewa menyatakan

bahwa ahli hukum pidana tidak dapat menjelaskan tentang dasar-dasar

dari hak memidana dan juga sebab apa kita memidana (Muladi,1997:19).

Pernyataan di atas, berlaku pula terhadap stelsel sanksi yang

sampai saat ini banyak mengalami perubahan dan perdebatan yang

dilakukan oleh para ahli hukum pidana. Stelsel sanksi adalah bagian dari

permasalahan pidana yang merupakan salah satu bagian pokok dalam

membicarakan hukum pidana. Bahkan Muladi (1997:151)

menganggapnya sebagai hal yang sentral karena stelsel sanksi tersebut

menggambarkan nilai-nilai sosial budaya bangsa dan seringkali tidak

lepas pula dari format politik bangsa yang bersangkutan. Sanksi yang

harus dipandang sebagai salah satu unsur yang esensial, bila kita melihat

1
hukum sebagai kaidah. Hampir semua juris yang berpandangan

dogmatik, memandang hukum sebagai kaidah bersanksi yang didukung

oleh otoritas tertinggi di dalam masyarakatnya (Achmad Ali,1996:62).

Bila diamati perkembangan hukum pidana dewasa ini di Indonesia,

khususnya dalam wacana pembaharuan hukum pidana terdapat suatu

kecenderungan penggunaan sistem dua jalur dalam stelsel sanksinya

yang berarti sanksi tindakan diatur sekaligus. Menurut Muladi (1997:151)

hukum pidana modern yang bercirikan orientasi pada perbuatan pelaku,

stelsel sanksinya tidak hanya meliputi pidana yang bersifat penderitaan,

tetapi juga tindakan tata tertib yang secara relatif lebih bermuatan

pendidikan.

Salah satu undang-undang yang menganut hal ini adalah Undang-

Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak. Di dalam

ketentuan undang-undang ini, terutama dalam Bab III sangat jelas

mengatur secara ekspilisit tentang sanksi pidana dan sanksi tindakan

yang dapat diterapkan bagi terdakwa anak.

Esensi lahirnya undang-undang ini dengan menerapkan ketentuan

tentang sanksi pidana dan sanksi tindakan tidak terlepas dari keinginan

pembuat undang-undang untuk melakukan perlindungan hukum bagi

anak dalam proses peradilan.

2
Membicarakan perlindungan hukum bagi anak dalam proses

peradilan tidak dapat dilepaskan dari apa sebenarnya tujuan atau dasar

pemikiran dari peradilan anak (juvenile justice) itu sendiri. Tujuan dan

dasar pemikiran dari peradilan anak jelas tidak dapat dilepaskan dari

tujuan utama untuk mewujudkan kesejahteraan anak yang pada dasarnya

merupakan bagian integral dari kesejahteraan sosial (Muladi dan Barda,

1992:111). Dengan kalimat terakhir ini tidak harus diartikan, bahwa

kesejahteraan atau kepentingan anak berada di bawah kepentingan

masyarakat, tetapi justru harus dilihat bahwa mendahulukan atau

mengutamakan kesejahteraan dan kepentingan anak itu pada hakikatnya

merupakan bagian dari usaha mewujudkan kesejahteraan sosial.

Tujuan dan dasar pemikiran untuk mengutamakan kesejahteraan

anak ditegaskan pula dalam Standar Minimum Rules for The

Administration of Juveniles Justice 1985 (Beijing Rules). Dalam Rule 5.1

mengenai Aim of Juvenile Justice ditegaskan :

The juvenile justice system shall emphasize the well being of the
juvenile and shall ensure that any reaction to juvenile offenders
shall always be in proportion to the circumstances of both the
offender and the offence.

Dalam Commentary yang terdapat di bawah Rule 5.1 itu

disebutkan, bahwa Rule 5.1 ini menunjuk pada dua tujuan atau sasaran

yang sangat penting, yaitu :


3
a. Memajukan kesejahteraan anak (the promotion of the well being of the

juvenile).

Sasaran pertama ini merupakan fokus utama dalam sistem hukum

yang menangani pelanggar anak-anak; khususnya dalam sistem

hukum yang mengikuti model peradilan pidana harus lebih

menekankan atau mengutamakan kesejahteraan anak. Ditegaskan

selanjutnya, bahwa prinsip untuk menghindari penggunaan sanksi

yang semata-mata bersifat pidana atau yang semata-mata bersifat

menghukum (the avoidance of merely punitive sanction).

b. Prinsip proporsionalitas (the principle of proportionality)

Ditegaskan bahwa sasaran kedua, yaitu prinsip yang merupakan alat

untuk mengekang penggunaan sanksi yang bersifat menghukum

dalam arti membalas semata-mata (just desort).

Dari konteks di atas maka semakin jelas bahwa hakikat dimuatnya

ketentuan tentang sanksi pidana dan sanksi tindakan dalam Undang-

undang Peradilan Anak tidak lain adalah semata-mata untuk perlindungan

hukum terhadap anak.

Bertolak dari latar belakang masalah tersebut di atas maka peneliti

merasa sangat tertarik untuk mengkaji dalam penelitian ini mengenai

implementasi penerapan double track system dalam Undang-Undang

Peradilan Anak. Hal ini tentunya akan sangat berhubungan erat dengan

hakim.
4
B. Rumusan Masalah

Bertolak dari latar belakang sebagaimana diuraikan di atas, maka

peneliti merumuskan masalah sebagai berikut :

1. Sejauhmanakah implementasi double track system dalam pemidanaan

anak di Kabupaten Bone?

2. Apakah yang menjadi kendala penerapan double track system dalam

pemidanaan anak di Kabupaten Bone?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui implementasi double track system dalam

pemidanaan anak di Kabupaten Bone.

2. Untuk mengetahui kendala penerapan double track system dalam

pemidanaan anak di Kabupaten Bone.

D. Kegunaan Penelitian

1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan

pemikiran bagi kalangan akademisi dalam pengembangan ilmu hukum

khususnya hukum pidana.

2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan solusi

atau pemecahan masalah bagi hakim dalam menerapkan double track

system.

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Double Track System

Latar belakang lahirnya ide dasar double track system dapat

ditelusuri lewat perkembangan sistem sanksi dari aliran klasik ke aliran

modern dan aliran neo-klasik.

Pertama. Aliran klasik yang muncul pada abad XVIII yang

berpaham indeterminisme mengenai kebebasan kehendak manusia yang

menekankan kepada perbuatan pelaku kejahatan sehingga

dikehendakilah hukum pidana perbuatan (daad-strafrecht), pada

prinsipnya hanya menganut single track system.

Menurut Muladi dan Barda Nawawi (1992:25-26) sistem pidana dan

pemidanaan aliran klasik ini sangat menekankan pemidanaan terhadap

perbuatan, bukan pada pelakunya. Sistem pemidanaan ditetapkan secara

pasti (the definite sentence). Artinya, penetapan sanksi dalam undang-

undang tidak dipakai sistem peringanan atau pemberatan yang

berhubungan dengan faktor usia, keadaan jiwa si pelaku, kejahatan-

kejahatan yang dilakukannya terdahulu maupun keadaan-keadaan

khusus dari perbuatan/kejahatan yang dilakukan. Dengan kata lain, tidak

dipakai sistem individualisasi pidana.

6
Kedua. Aliran modern yang lahir pada abad XIX pada prinsipnya

mencari sebab kejahatan dengan memakai metode ilmu alam dan

bermaksud untuk langsung mendekati atau mempengaruhi penjahat

secara positif sejauh dia masih dapat diperbaiki. Bertolak belakang

dengan paham aliran klasik, aliran modern memandang kebebasan

kehendak manusia banyak dipengaruhi oleh watak dan lingkungannya

sehingga tidak dapat dipersalahkan dan dipidana. Andai pun digunakan

istilah pidana, menurut aliran modern ini harus tetap diorientasikan pada

sifat-sifat si pelaku. Karenanya, aliran ini bertitik tolak dari pandangan

determinisme dan menghendaki adanya individualisasi pidana yang

bertujuan mengadakan resosialisasi terhadap pelaku kejahatan (Muladi

dan Barda Nawawi, 1992:32).

Ketiga. Aliran neo-klasik yang menitikberatkan konsepsinya kepada

kebebasan kehendak manusia telah berkembang selama abad XIX yang

telah mempertimbangkan kebutuhan adanya pembinaan individual

terhadap pelaku tindak pidana. George B. Vold (Sholehuddin, 2003:26)

menyatakan dengan tegas bahwa menurut Aliran neo-klasik konsep

keadilan sosial berdasarkan hukum, tidak realistis dan bahkan tidak adil.

Aliran ini berpangkal dari aliran klasik yang dalam perkembangannya

kemudian dipengaruhi aliran modern. Ciri dari aliran neo-klasik yang

relevan dengan prinsip individualisasi pidana adalah modifikasi dari

doktrin kebebasan berkehendak dan doktrin pertanggungjawaban pidana.


7
Beberapa modifikasinya antara lain, diterima berlakunya keadaan-

keadaan yang meringankan baik fisik, lingkungan maupun mental,

termasuk keadaan-keadaan lain yang dapat mempengaruhi pengetahuan

dan niat seseorang pada waktu terjadinya kejahatan. Juga diperkenankan

masuknya kesaksian ahli untuk menentukan derajat pertanggungjawaban

pidana (Muladi dan Barda Nawawi,1992: 65-66).

Berdasarkan konsepsi-konsepsi kedua aliran hukum pidana yang

tersebut terdahulu, lahirlah ide individualisasi pidana yang menurut Barda

Nawawi (1996:43) memiliki beberapa karakteristik sebagai berikut :

a. Pertanggungjawaban (pidana) bersifat pribadi/perorangan (asas


personal);
b. Pidana hanya diberikan kepada orang yang bersalah (asas
culpabilitas;’tiada pidana tanpa kesalahan’).
c. Pidana harus disesuaikan dengan karakteristik dan kondisi
pelaku; ini berarti harus ada kelonggaran/fleksibelitas bagi
hakim dalam memilih sanksi pidana (jenis maupun berat
ringannya sanksi) dan harus ada kemungkinan modifikasi
pidana (perubahan/penyesuaian) dalam pelaksanaannya.

Sebagai konsekuensi dari ide individualisasi pidana, maka sistem

pemidanaan dalam hukum pidana modern pada gilirannya berorientasi

pada pelaku dan perbuatan (daad-dader straafrecht).

Jenis sanksi yang ditetapkan tidak hanya meliputi sanksi pidana,

tetapi juga sanksi tindakan. Pengakuan tentang kesetaraan antara sanksi

pidana dan sanksi tindakan inilah yang merupakan hakikat asasi atau ide

dasar dari konsep double track system.

8
Double track system adalah kedua-duanya, yakni sanksi pidana

dan sanksi tindakan. Menurut Sholehuddin (2003:28) double track system

tidak sepenuhnya memakai satu diantara dua jenis sanksi itu. Sistem dua

jalur ini menempatkan dua jenis sanksi tersebut dalam kedudukan yang

setara. Penekanan pada kesetaraan sanksi pidana dan sanksi tindakan

dalam kerangka double track system, sesungguhnya terkait dengan fakta

bahwa unsur pencelaan/penderitaan (lewat sanksi pidana) dan unsur

pembinaan (lewat sanksi tindakan) sama-sama penting.

Gerber dan McAnany (Sholehuddin, 2003:29) juga menyatakan hal

yang kurang lebih senada dengan pandangan di atas. Menurut mereka,

“kita dapat mulai dengan mengatakan bahwa sementara retribusi telah

tidak popular, ia tidak pernah seluruhnya ‘tersingkirkan’. Bahkan dalam

hari-harinya yang paling buruk, orang-orang mengakui bahwa sejauh

apapun kita bergerak kearah rehabilitasi sebagai tujuan total, tetap saja

harus ada pemidanaan. Kita tidak dapat berbuat tanpanya”.

Terhadap rehabilitasi dan prevensi (sebagai tujuan utama dari jenis

sanksi tindakan/treatment). Meski cara ini memiliki keistimewaan dari segi

proses resosialisasi pelaku, sehingga diharapkan mampu memulihkan

kualitas sosial dan moral seseorang agar dapat berintegrasi lagi dalam

masyarakat (Yong, 1997:41), namun terbukti kurang efektif memperbaiki

seorang penjahat karena dianggap terlalu memanjakannya. Justru seperti

dikatakan oleh C.S. Lewis (Sholehuddin, 2003:29) bahwa rehabilitasi yang

9
pendekatannya melalui treatment telah mengundang tirani individu dan

penolakan terhadap hak asasi manusia.

Atas dasar itulah, maka double track system menghendaki agar

unsur pencelaan/penderitaan dan unsur pembinaan sama-sama

diakomodasi dalam sistem sanksi hukum pidana. Hal inilah yang menjadi

inti penjelasan mengapa dalam double track system dituntut adanya

kesetaraan antara sanksi pidana dan sanksi tindakan.

Dari sisi lain double track system, sangat bermanfaat untuk

memaksimalkan penggunaan kedua jenis sanksi tersebut secara tepat

dan proporsional. Sebab, kebijakan sanksi yang integral dan seimbang

(sanksi pidana dan sanksi tindakan), selain menghindari penerapan

sanksi yang fragmentaristik (yang terlalu menekankan pada sanksi

pidana), juga menjamin keterpaduan sistem sanksi yang bersifat

fungsional. Seperti apa yang dikemukakan oleh Hart (Yong,1997:50-51),

bahwa suatu teori pemidanaan yang secara moral dapat diterima, harus

mampu memperlihatkan kompleksitas dari pemidanaan dan

menguraikannya sebagai suatu kompromi antara prinsip-prinsip yang

berbeda dan saling bertentangan. Untuk itu, setiap pemidanaan

berdimensi majemuk dan setiap segi perlu diperhatikan secara terpisah

tapi tetap dalam kaitan dengan totalitas sistem hukum. Dapat saja dalam

satu perkara dimensi retributif lebih dominan, tapi pada perkara lain

prinsip kemanfaatan (teleologis) lebih unggul. Setiap dimensi yang

dominan, menurut Hart, bisa menjadi relevan sebagai dasar justifikasi

pemidanaan.
10
B. Pemidanaan Anak

1. Teori Tujuan Pemidanaan

a. Teori Absolut atau Mutlak

Teori absolut atau biasa juga disebut teori retributif

memandang bahwa pemidanaan merupakan pembalasan atas

kesalahan yang telah dilakukan. Jadi berorientasi pada perbuatan

dan terletak pada terjadinya kejahatan itu sendiri. Teori ini mencari

pendasaran pemidanaan dengan memandang ke masa lampau,

yaitu memusatkan argumennya pada tindakan kejahatan yang

sudah dilakukan. Teori ini memandang pidana sebagai

pembalasan terhadap pelaku kejahatan. Meskipun kecenderungan

untuk membalas ini pada prinsipnya adalah suatu gejala yang

normal, akan tetapi pembalasan tersebut harus dilihat sebagai

suatu reaksi keras yang bersifat emosional dan karena itu

irrasional.

Menurut teori ini, pemidanaan diberikan karena si pelaku

harus menerima sanksi itu demi kesalahannya. Pemidanaan

menjadi retribusi yang adil bagi kerugian yang sudah diakibatkan

karenanya teori ini disebut juga teori proporsionalitas. Demi alasan

itu, pemidanaan dibenarkan secara moral (Jan Remmelink,

2003:600).

11
Karl O, Cristiansen (Sholehuddin, 2003:35) mengidentifikasi

lima ciri pokok dari teori retributif, yakni:

a. The purpose of punishment is just retribution (Tujuan


pidana hanyalah sebagai pembalasan);
b. Just retribution is the ultimate aim, and not it self a means
to any other aim, as for istance social welfare which from
this point of view is without any significance whatsoever
(pembalasan adalah tujuan utama dan di dalamnya tidak
mengandung sarana-sarana untuk tujuan lain seperti
kesejahteraan masyarakat);
c. Moral guilt is the only qualification for punishment
(kesalahan moral sebagai satu-satunya syarat untuk
pemidanaan);
d. The penalty shall be proportional to the moral guilt of the
offender (Pidana harus disesuaikan dengan kesalahan si
pelaku);
e. Punishment point into the past, it is pure reproach, and it
purpose is not to improve, correct, educate or resocialize
or resocialize the offender (Pidana melihat ke belakang,
ia sebagai pencelaan yang murni dan bertujuan tidak
memperbaiki, mendidik, dan meresosialisasikan pelaku).

Terhadap pertanyaan tentang sejauh manakah pidana perlu

diberikan kepada pelaku kejahatan, teori retributif (Romli, 1995:83-

84) menjelaskan sebagai berikut :

a. Bahwa dengan pidana tersebut akan memuaskan


perasaan balas dendam si korban, baik perasaan adil
bagi dirinya, temannya dan keluarganya. Perasaan
tersebut tidak dapat dihindari dan tidak dapat dijadikan
alasan untuk menuduh tidak menghargai hukum. Tipe
retributif ini disebut vindicative.
b. Pidana dimaksudkan untuk memberikan peringatan
kepada pelaku kejahatan dan anggota masyarakat yang
lain bahwa setiap ancaman yang merugikan orang lain
secara tidak wajar, akan menerima ganjarannya. Tipe
retributif ini disebut fairness.
c. Pidana dimaksudkan untuk menunjukkan adanya
kesebandingan antara apa yang disebut dengan the
12
gravity of the offence dengan pidana yang dijatuhkan.
Tipe retributif ini disebut dengan proportionality.
Termasuk ke dalam kategori the gravity ini adalah
kekejaman dari kejahatannya atau dapat juga termasuk
sifat aniaya yang ada dalam kejahatannya baik yang
dilakukan dengan sengaja ataupun karena
kelalaiannya.

Tipe retributif yang disebut vindicative di atas termasuk

kedalam teori pembalasan. John Kaplan (Muladi dan Barda

Nawawi,1992:13) membagi teori retributif menjadi dua:

1. The Revenge Theory (teori pembalasan)

2. The Expiation Theory (teori penebusan dosa).

Pembalasan mengandung arti, bahwa hutang si penjahat

‘telah dibayarkan kembali’(the criminal is paid back), sedangkan

penebusan dosa mengandung arti bahwa si penjahat “membayar

kembali hutangnya “ (the criminal pays back). Jadi pengertiannya

tidak jauh berbeda. Menurut John Kaplan tergantung dari cara

orang berpikir pada saat menjatuhkan suatu sanksi. Apakah

dijatuhkannya sanksi itu karena kita “menghutangkan sesuatu

kepadanya” ataukah disebabkan “ia berhutang sesuatu kepada

kita”.

Demikian pula Johanes Andenaes (Muladi dan Barda

Nawawi,1992:14) menegaskan bahwa “penebusan” tidak sama

dengan “pembalasan dendam”(revenge). Pembalasan berusaha

memuaskan hasrat balas dendam dari sebagian para korban atau

13
orang-orang lain yang simpati kepadanya, sedangkan penebusan

dosa, lebih bertujuan untuk memuaskan tuntutan keadilan.

Tipe retributif yang proportionality mendapatkan dukungan

dari pendapat van Bemmelen (Muladi dan Barda,1992:15) yang

mengatakan bahwa untuk hukum pidana dewasa ini, pemenuhan

akan keinginan akan pembalasan (tegemoetkoming aande

vergeldingnsbehoefte) tetap merupakan hal yang penting sekali

dalam penerapan hukum pidana agar tidak terjadi “main hakim

sendiri” (vermijding van egenrichting). Hanya saja penderitaan yang

diakibatkan oleh suatu sanksi harus dibatasi dalam batas-batas

yang paling sempit. Selain itu, beratnya sanksi tidak boleh melebihi

kesalahan terdakwa bahkan tidak dengan alasan-alasan prevensi

umum sekalipun.

Sesungguhnya bila diamati secara mendalam, teori retributif

seperti yang telah diuraikan di atas, sebenarnya tidak lepas dari

latar belakang filosofis yang menjadi landasan pemikiran system

pemidanaan menurut zamannya. Teori retributif pada dasarnya

bersumber dari landasan pemikiran Imanuel Kant (1724-1804)

yang dikenal dengan sebutan retributivisme atau yang popular

disebut dengan istilah just desert theory oleh para pakar kriminologi

di Amerika Serikat.

Dalam pandangan Kant, pidana yang diterima seseorang

sudah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kejahatan

yang dilakukannya, bukan suatu konsekuensi logis dari suatu


14
kontrak sosial. Bahkan ia menolak pandangan yang menyatakan

bahwa pidana ditujukan untuk kebaikan pelaku kejahatan atau

kebaikan masyarakat. Kant hanya menerima satu-satunya alasan

bahwa pidana dijatuhkan karena semata-mata pelaku yang

bersangkutan melakukan kejahatan. Dari latar belakang filsafat

pemidanaan yang dikembangkan oleh Imanuel Kant itu lahirlah

teori retributif yang mendasari tujuan pemidanaan yang intinya

menitikberatkan pada pertanggungjawaban pelaku kejahatan

terhadap korbannya.

b. Teori Relatif

Teori relatif (teori tujuan) berporos pada tiga tujuan utama

pemidanaan, yaitu: preventif, deterrence dan reformatif . Tujuan

prevention dalam pemidanaan adalah untuk melindungi

masyarakat dengan menempatkan pelaku kejahatan terpisah dari

masyarakat.

Tujuan menakuti atau deterrence dalam pemidanaan adalah

untuk menimbulkan rasa takut melakukan kejahatan. Tujuan ini

dibedakan dalam tiga bagian, yaitu : tujuan yang bersifat individual,

tujuan yang bersifat publik dan tujuan yang bersifat jangka panjang.

Tujuan deterrence yang bersifat individual dimaksudkan agar

pelaku menjadi jera untuk kembali melakukan kejahatan.

Sedangkan tujuan deterrence yang bersifat publik, agar anggota

masyarakat lain merasa takut untuk melakukan kejahatan. Tujuan

15
deterrence yang bersifat jangka panjang atau long term deterrence

adalah agar dapat memelihara keajegan sikap masyarakat

terhadap pidana. Teori ini sering disebut sebagai educative theory

atau denunciation theory (Romli, 1995:84).

Teori relatif memandang bahwa pemidanaan bukan sebagai

pembalasan atas kesalahan si pelaku, tetapi sebagai sarana

mencapai tujuan yang bermanfaat untuk melindungi masyarakat

menuju kesejahteraan masyarakat. Dari teori ini muncullah tujuan

pemidanaan sebagai sarana pencegahan, baik pencegahan

khusus yang ditujukan pada si pelaku maupun pencegahan umum

yang ditujukan pada masyarakat. Menurut Leonard Orland

(Sholehuddin, 2003:41), teori relatif dalam pemidanaan bertujuan

mencegah dan mengurangi kejahatan. Pidana harus dimaksudkan

untuk mengubah tingkah laku penjahat dan orang lain yang

berpotensi atau cenderung melakukan kejahatan. Karena itu teori

relatif lebih melihat ke depan.

Teori ini, sampai derajat tertentu, dapat dilihat sebagai

bentuk terapan secara terbatas dari prinsip dasar etika utilitarisme

yang menyatakan bahwa suatu tindakan dapat dibenarkan secara

moral hanya sejauh konsekuensi-konsekuensinya baik untuk

sebanyak mungkin orang. Akibat-akibat positif yang diperhitungkan

16
ada pada suatu tindakan, merupakan kriteria satu-satunya bagi

pembenarannya.

Menurut Yong (1997:24) pemidanaan sebagai suatu

tindakan terhadap seorang penjahat, dapat dibenarkan secara

moral bukan terutama karena si terpidana telah terbukti bersalah,

melainkan karena pemidanaan itu mengandung konsekuensi-

konsekuensi positif bagi si terpidana, korban dan juga orang lain

dalam masyarakat. Karena itu, teori ini disebut juga sebagai teori

konsekuensialisme.

Menurut Karl O. Christiansen (Sholehuddin, 2003:42-43) ada

beberapa ciri pokok dari teori relatif ini, yaitu;

a. The purpose of punishment is prevention (Tujuan pidana adalah


pencegahan);
b. Prevention is not a final aim, but a means to amore suprems
aim, e.g. social welfare (Pencegahan bukan tujuan akhir tetapi
hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi
yaitu kesejahteraan masyarakat);
c. Only breaches of the law which are imputable to the perpetrator
as intent or negligence qualify for punishment (Hanya
pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan
kepada si pelaku saja, misalnya kesengajaan atau kelalaian
yang memenuhi syarat untuk adanya pidana);
d. The penalty shall be determined by its utility as an instrument
for the prevention of crime (Pidana harus ditetapkan
berdasarkan tujuannya sebagai alat pencegahan kejahatan);
e. The punishment is prospective, it points into the future; it may
contain as element of reproach, but neither reproach nor
retributive elements can be accepted if they do not serve the
prevention of crime for the benefit or social welfare. (Pidana
melihat ke depan atau bersifat prospektif; ia mengandung unsur
pencelaan tetapi baik unsur pencelaan maupun unsur
pembalasan tidak dapat diterima bila tidak membantu
17
pencegahan kejahatan untuk kepentingan kesejahteraan
masyarakat).

Dengan demikian menurut teori relatif, pidana bukanlah

sekadar untuk melakukan pembalasan kepada orang yang telah

melakukan pembalasan kepada orang yang telah melakukan

kejahatan, tetapi lebih dari itu pidana mempunyai tujuan lain yang

bermanfaat. Pidana ditetapkan bukan karena orang melakukan

kejahatan, tetapi agar orang jangan melakukan kejahatan. Karena

teori ini mempunyai tujuan-tujuan tertentu dalam pemidanaan,

maka teori relatif sering juga disebut sebagai teori tujuan (utilitarian

theory).

Ada 3 (tiga) bentuk teori tujuan menurut Yong (1997:33-40)

yakni:

Pertama : tujuan pemidanaan memberikan efek penjeraan

dan penangkalan (deterrence). Penjeraan sebagai efek

pemidanaan, menjauhkan si terpidana dari kemungkinan

mengulangi kejahatan yang sama; sedangkan tujuan sebagai

penangkal, pemidanaan berfungsi sebagai contoh yang

mengingatkan dan menakutkan bagi penjahat-penjahat potensial

dalam masyarakat.

Karena itu, pemidanaan sebagai penjeraan mempengaruhi

sikap dan perilaku si terpidana maupun warga masyarakat.

18
Pengaruh itu dianggap bisa sangat berdaya-hasil bila

dikomunikasikan secara negatif, yaitu dengan menakut-nakuti

orang atau menurut perkataan Philip Bean, “maksud di balik

penjeraan ialah mengancam orang-orang lain” untuk kelak tidak

melakukan lain.

Kedua : pemidanaan sebagai rehabilitasi. Teori tujuan

menganggap pula pemidanaan sebagai jalan untuk mencapai

reformasi atau rehabilitasi pada si terpidana. Kesalahan atau

tindakan kejahatan dianggap sebagai suatu penyakit sosial yang

disintegratif dalam masyarakat. Kejahatan itu dibaca pula sebagai

simpton disharmoni mental atau ketidakseimbangan personal yang

membutuhkan terapi psikiatris, counseling, latihan-latihan spiritual,

dan sebagainya.

Itulah sebabnya ciri khas dari pandangan tersebut ialah

pemidanaan merupakan proses pengobatan sosial dan moral bagi

seorang terpidana agar kembali berintegrasi dalam komunitas atau

masyarakatnya secara wajar. Dalam bahasa utilitarianisme dapat

dikatakan bahwa efek preventif dalam proses rehabilitasi ini

terutama terpusat pada si terpidana.

Ketiga : Pemidanaan sebagai wahana pendidikan moral.

Bentuk ketiga teori tujuan ini merupakan bagian dari doktrin bahwa

pemidanaan merupakan proses reformasi. Setiap pemidanaan


19
pada dasarnya menyatakan perbuatan terpidana adalah salah,

tidak dapat diterima oleh masyarakat dan bahwa terpidana telah

bertindak melawan kewajibannya dalam masyarakat. Karena itu,

dalam proses pemidanaan, si terpidana dibantu untuk menyadari

dan mengakui kesalahan yang dituduhkan atasnya.

Penjara atau lembaga pemasyarakatan, dilukiskan sebagai

tempat pendidikan moral, yaitu tempat refleksi-refleksi moral dan

spiritual diadakan serta ‘penebusan dosa’ terjadi. Para terpidana

perlu diberikan pengajaran moral dan agama agar keyakinan dan

pandangannya diperbaharui, kecenderungan-kecenderungan

jahatnya dikendalikan dan hidupnya disegarkan. Semuanya itu

berdasar atas tesis bahwa setiap bentuk kejahatan melawan

hukum merupakan ekspresi ketidakpedulian sosial pada orang lain.

Sementara itu Nigel Walker (Sholehuddin, 2003:45) lebih

senang menyebut teori relatif (teori tujuan) sebagai reduktivitisme

karena dasar pebenarannya untuk mengurangi frekuensi jenis-jenis

perilaku yang dilarang oleh setiap hukum pidana. Reduktivis murni

menurut Nigel, siap menggunakan tindakan apa saja yang

kemungkinan akan efektif dalam mengurangi insidensi setiap

perbuatan yang diputuskan oleh masyarakatnya, termasuk di

dalam ruang lingkup sistem hukum pidana.

20
Reduktivis akan menyetujui tindakan-tindakan social hygiene

jika hal ini ternyata dapat mengurangi kejahatan. Dia akan

mendorong tindakan-tindakan mengurangi kesempatan untuk

kejahatan. Dia juga akan menerima general deterrent yang

tampaknya menekan para criminal yang potensial. Reduktivitis

akan mempertimbangkan pula dengan pikiran terbuka setiap

tindakan koreksi yang berkemungkinan kuat mengurangi

kecenderungan kejahatan pelanggar yang diketahui, apakah ia

bertindak sebagai individual deterrent (alat pencegah) atau sebagai

reformative influence.

Secara ringkas dapatlah dikatakan bahwa teori-teori pokok

tentang tujuan pemidanaan berpusat pada dua aliran utama, yakni

aliran klasik dan aliran modern. Aliran klasik yang berpaham

indeterminisme menjadi acuan dari teori absolute atau teori

pembalasan (retributive theory/vergeldings theorieen). Sebab,

seperti yang dikatakan Sudarto (1984:80) bahwa aliran klasik

melihat terutama kepada perbuatan yang dilakukan dan

menghendaki pidana yang dijatuhkan itu seimbang dengan

perbuatan tersebut. Jadi, secara ekstrim dapat dikatakan bahwa

aliran klasik dalam pemberian pidana lebih melihat ke belakang.

Sedangkan aliran modern pertama-tama meninjau pembuatnya

21
dan menghendaki individualisasi dari pidana, artinya dalam

pemidanaan memperhatikan sifat-sifat dan keadaan si pembuat.

Secara garis besar dapat dilihat bahwa perbedaan kedua

aliran dalam hukum pidana terletak pada pendekatan yang

dipergunakan. Aliran klasik menekankan pada perbuatan,

sedangkan aliran modern menekankan pada si pelaku kejahatan.

Selain itu, menurut aliran klasik, pidana dimaksudkan sebagai

pembalasan dan untuk menakut-nakuti, sedangkan menurut aliran

modern pidana tidak dimaksudkan sebagai pembalasan, melainkan

sebagai sarana untuk memperbaiki terpidana (Djisman, 1992:28).

Jika teori absolut mengedepankan bahwa sanksi dalam

hukum pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah

melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana, sedangkan teori

relatif memandang sanksi dalam hukum pidana bukanlah sekadar

untuk melakukan pembalasan kepada orang yang telah melakukan

tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan tertentu yang bermanfaat.

Jadi, sanksi dalam teori absolut merupakan akibat mutlak

yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang

melakukan kejahatan. Sanksi terletak pada adanya atau terjadinya

kejahatan itu sendiri, yakni untuk memuaskan tuntutan keadilan.

Sedangkan dalam teori relatif, sanksi ditekankan pada tujuannya.

Sanksi dijatuhkan bukan karena orang telah melakukan kejahatan


22
melainkan supaya orang jangan melakukan kejahatan. Karenanya,

teori ini disebut juga teori perlindungan masyarakat (Muladi dan

Barda Nawawi, 1992:10).

Muladi (1985:49-51) membagi teori-teori pemidanaan

menjadi tiga kelompok, Pertama, teori retributif. Kedua, teori

teleologis. Ketiga, teori retributive – teleologis. Dua teori yang

terdahulu, memiliki makna yang tidak berbeda dengan penjelasan

di atas. Sedangkan teori retributif-teleologis berpandangan bahwa

tujuan pemidanaan bersifat plural, karena menggabungkan antara

prinsip-prinsip teleologis dan retributif sebagai satu kesatuan,

sehingga teori ini sering disebut teori integratif. Pandangan ini

menganjurkan adanya kemungkinan untuk mengadakan artikulasi

terhadap teori pemidanaan yang mengintegrasikan beberapa

fungsi sekaligus rehabilitasi, kesemuanya dilihat sebagai sasaran

yang harus dicapai oleh suatu rencana pemidanaan.

Karena tujuannya bersifat integratif, maka seperti yang

dikatakan Muladi perangkat tujuan pemidanaannya adalah :

a). pencegahan umum dan khusus, b). perlindungan masyarakat,

c). memelihara solidaritas masyarakat dan, d).

pengimbalan/pengimbangan. Akan tetapi Muladi memberikan

catatan bahwa tujuan manakah yang merupakan titik berat, hal itu

sifatnya kasuistis.
23
Berlandaskan hasil pengkajian terhadap ketiga teori tujuan

pemidanaan itu, pada akhirnya Muladi memunculkan konsep tujuan

pemidanaan yang disebutnya sebagai tujuan pemidanaan yang

integratif (kemanusiaan dalam sistem Pancasila). Teori tujuan

pemidanaan integratif tersebut berangkat dari asumsi dasar bahwa

tindak pidana merupakan gangguan terhadap keseimbangan,

keselarasan dan keserasian dalam kehidupan masyarakat yang

menimbulkan kerusakan individual dan masyarakat, tujuan

pemidanaan adalah untuk memperbaiki kerusakan-kerusakan yang

diakibatkan oleh tindak pidana.

c. Teori Gabungan

Apabila terdapat dua pendapat yang diametral berhadapan

satu sama lain, biasanya ada satu pendapat ketiga yang berada di

tengah-tengah. Demikian juga halnya di samping teori-teori absolut

dan teori-teori relatif tentang hukum pidana, kemudian muncul teori

ketiga yang disatu pihak mengakui adanya unsur prevensi dan

unsur memperbaiki penjahat yang melekat pada tiap penjatuhan

pidana (Prodjodikoro, 2003:26). Teori inilah yang disebut dengan

teori gabungan karena menggabungkan tujuan pidana sebagai

“pembalasan” dengan tujuan pemidanaan demi pencegahan

terjadinya kejahatan dan perbaikan si penjahat itu sendiri.

24
Vos berpendapat (Poernomo, 1992:31) bahwa di dalam teori

gabungan terdapat tiga aliran yaitu:

1. Teori gabungan yang menitikberatkan pembalasan tetapi


dengan maksud sifat pidana pembalasan itu untuk melindungi
ketertiban hukum. Pada hakikatnya pidana merupakan “ultimum
remedium” yang berarti bahwa penjatuhan pidana merupakan
jalan terakhir yang boleh digunakan apabila sudah tidak ada
jalan lain. Penganut aliran ini adalah Zeven Bergen.
2. Teori gabungan yang menitikberatkan pada perlindungan
ketertiban masyarakat. Secara prevensi umum, pencegahan
kejahatan diletakkan pada ancaman pidananya, dan secara
prevensi khusus, pencegahan kejahatan terletak pada sifat
pidananya yang menakutkan, memperbaiki dan membinasakan.
Secara absolut, pidana harus disesuaikan dengan kesadaran
hukum anggota masyarakat. Penganutnya adalah Simons.
3. Teori gabungan yang penitikberatannya sama antara
pembalasan dan perlindungan kepentingan masyarakat. Karena
pada umumnya suatu pidana harus memuaskan masyarakat,
maka hukum pidana harus disusun sedemikian rupa sebagai
suatu pidana yang adil dengan ide pembalasan yang tidak
mungkin diabaikan baik secara negative maupun secara positif.
Penganutnya adalah De Pinto.

2. Jenis Pidana dan Tindakan Bagi Anak Nakal

Berlakunya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang

Pengadilan Anak antara lain telah menetapkan apa yang dimaksud

anak. Undang-undang itu berlaku lex specialis terhadap KUHP (WvS),

khususnya berkaitan dengan tindak pidana yang dilakukan oleh anak.

Lahirnya Undang-Undang Pengadilan Anak, nantinya harus menjadi

acuan pula dalam perumusan pasal-pasal KUHP baru berhubungan

dengan pidana dan tindakan bagi anak. Dengan demikian, tidak akan

terjadi tumpang tindih ataupun saling bertentangan.


25
Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997

menyatakan bahwa :

Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah


mencapai umur 8 (delapan ) tahun tetapi belum mencapai umur
18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin (Pasal 1 butir
1).

Yang dimaksud anak nakal adalah :

a. Anak yang melakukan tindak pidana, atau


b. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi
anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun
menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam
masyarakat yang bersangkutan.

Apabila kita kaitkan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun

1995 tentang Pemasyarakatan maka status anak nakal tersebut

berdasarkan putusan pengadilan dapat dikatakan sebagai anak pidana

atau anak negara. Disebut anak pidana yaitu anak yang berdasarkan

putusan pengadilan menjalani pidana di lembaga pemasyarakatan

(LP) anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) Tahun.

Kemudian sebagai anak negara yaitu anak yang berdasarkan putusan

pengadilan diserahkan pada negara untuk dididik dan ditempatkan di

LP anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun.

Menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 secara gradual,

jenis-jenis penjatuhan pidana pada persidangan anak diatur dalam

Pasal 22 – 32, yang dapat berupa sanksi pidana atau sanksi tindakan.

26
Apabila diperinci lagi, pidana tersebut bersifat pidana pokok dan

pidana tambahan.

Pidana Pokok terdiri dari:

a. Pidana penjara;
b. Pidana kurungan;
c. Pidana denda; dan
d. Pidana Pengawasan

Pidana Tambahan terdiri atas :

a. Perampasan barang-barang tertentu; dan atau


b. Pembayaran ganti rugi.

Tindakan yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal ialah :

a. Mengembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua


asuh;
b. Menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan,
pembinaan, dan latihan kerja; atau
c. Menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau organisasi
sosial kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan,
pembinaan, dan latihan kerja.

Dalam menentukan pidana atau tindakan yang dapat dijatuhkan

kepada anak, hakim memperhatikan berat ringannya tindakan pidana

atau kenakalan yang dilakukan oleh anak yang bersangkutan. Di

samping itu hakim juga wajib memperhatikan keadaan anak, keadaan

rumah tangga orang tua, wali, atau orang tua asuh, hubungan antara

keluarga dan keadaan lingkungannya. Demikian pula, hakim wajib

memperhatikan laporan pembimbing kemasyarakatan.

27
1. Pidana Pokok

a. Pidana Penjara (Gevangenisstraf)

Secara universal, pidana penjara/gevangenisstraf

merupakan pidana bersifat perampasan kemerdekaan pribadi

terpidana karena penempatannya dalam bilik penjara. Kalau

dilihat dari bentuknya maka hukuman penjara dapat berupa

seumur hidup atau untuk sementara. Hukuman penjara untuk

sementara mempunyai rentang waktu minimum/algemene straf

minima selama 1 (satu) dan maksimal/algemene straft maxime

selama 15 (lima belas) tahun. Akan tetapi, rentang waktu

algemene straf maxima ini dapat berupa 20 (dua puluh) tahun

dalam hal residivis, gabungan kejahatan, kejahatan yang

menurut pilihan hakim boleh dihukum mati, dan lain sebagainya.

Sedangkan spesifikasi hukum pidana khusus (ius singulare/ius

speciale/bijzonder strafrecht) seperti tindak pidana ekonomi (UU

Nomor : 7/Drt/1955) dalam Pasal 2 UU No. 5/Pnps/1959 (LN

1959-80) maka rentang waktu pidana penjara minimal menjadi

1 (satu) tahun dan maksimal 20 (dua puluh) tahun.

Apabila diteliti dengan analisis tajam ternyata pada

perinsipnya pidana terhadap anak tidak mengikuti sebagaimana

tersebut di atas. Teoritik dan praktik pengadilan anak tidak

mengenal penjara seumur hidup, hanya mengenal penjara

maksimal selama 10 (sepuluh) tahun, dan lain sebagainya.

28
Apabila diperinci dari ketentuan Pasal 26, 29 Undang-

Undang Nomor 3 Tahun 1997 maka pidana penjara yang dapat

dijatuhkan hakim dalam persidangan anak secara sistematik

berupa :

1) Pidana penjara kepada anak nakal yang melakukan tindak

pidana (Pasal 1 angka 2 huruf a Undang-Undang Nomor 3

Tahun 1997) paling lama ½ (satu per dua) dari maksimum

ancaman pidana penjara bagi orang dewasa dalam artian

maksimum ancaman pidana penjara terhadap tindak pidana

yang dilakukan sesuai dengan yang ditentukan dalam kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan undang-

undang lainnya.

2) Bila anak nakal tersebut melakukan tindak pidana yang

diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur

hidup serta mencapai umur 12 (dua belas) tahun maka

pidana penjara yang dijatuhkan paling lama 10 (sepuluh)

tahun dan bila belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun

hanya dapat dijatuhkan tindakan berupa menyerahkan

kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan

latihan kerja (Pasal 24 ayat (1) huruf b Undang-Undang

Nomor 3 Tahun 1997).

29
3) Bila anak nakal tersebut melakukan tindak pidana yang tidak

diancam pidana mati atau seumur hidup dan belum

mencapai umur 12 (dua belas) tahun, maka anak nakal

dijatuhkan salah satu tindakan Pasal 24 yaitu :

a) Mengembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua

asuh.

b) Menyerahkan kepada negara untuk mengikuti

pendidikan, dan latihan kerja, atau

c) Menyerahkan kepada departemen sosial, atau organisasi

sosial kemasyarakatan yang bergerak di bidang

pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja.

4) Apabila anak nakal dijatuhkan pidana penjara paling lama 2

(dua) tahun hakim dapat menjatuhkan :

a) Pidana bersyarat dengan jangka waktu paling lama 3

(tiga) tahun.

 Syarat umum bahwa anak nakal tidak akan

melakukan tindak pidana lagi selama menjalani

pidana bersyarat.

 Syarat khusus ialah untuk melakukan atau tidak

melakukan hal tertentu yang ditetapkan dalam

putusan hakim dengan tetap memperhatikan

kebebasan anak. Pada asasnya “syarat khusus” ini


30
antara lain tidak boleh mengemudikan kendaraan

bermotor, atau diwajibkan mengikuti kegiatan yang

diprogramkan Balai Pemasyarakatan dan lamanya

“syarat khusus” lebih pendek dari pada masa pidana

bagi “syarat umum”.

 Pengawasan selama menjalani masa pidana

bersyarat dilakukan oleh Jaksa sedangkan bimbingan

agar anak nakal menepati persyaratan yang telah

ditentukan oleh Pembimbing Kemasyarakatan

dengan status Klien Pemasyarakatan dan anak nakal

dapat mengikuti pendidikan di sekolah sebagaimana

dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun

1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

b. Pidana Kurungan (Hechtenis)

Identik dengan pidana penjara (gevangenisstraf) maka

pidana kurungan/Hechtenis juga merupakan pidana

perampasan kemerdekaan pribadi seseorang. Apabila ditinjau

secara global, maka pidana kurungan bentuknya dapat dibagi

berupa kurungan prinsipil dan kurungan subsidair (Mulyadi,

2005:136). Terhadap jangka waktu kurungan prinsipil lamanya

minimum 1 (satu) tahun 4 (empat) bulan dalam hal adanya

gabungan kejahatan, ulangan kejahatan dan karena ketentuan


31
Pasal 52 KUHP. Sedangkan terhadap kurungan subsidair

(pengganti denda) lama minimumnya 1 (satu) hari dan

maksimum 6 (enam) bulan dan dapat ditambah sampai 8

(delapan) bulan dalam hal residivis, gabungan tindak pidana

serta ketentuan Pasal 52 KUHP. Di dalam pengadilan anak,

menurut ketentuan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 3 Tahun

1997 ditegaskan bahwa pidana kurungan yang dapat dijatuhkan

kepada anak nakal yang melakukan tindak pidana (Pasal 1

angka 2 huruf a Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997) paling

lama ½ (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana

kurungan terhadap tindak pidana yang dilakukan sesuai dengan

yang ditentukan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

(KUHP) atau undang-undang lainnya.

c. Pidana Denda

Jikalau diperbandingkan secara global, apabila pidana

penjara/pidana kurungan merupakan pidana perampasan

kemerdekaan pribadi seorang Anak maka pidana denda adalah

jenis pidana terhadap harta benda seorang anak. Pada

asasnya, apabila pidana denda dijatuhkan hakim kepada

seorang anak nakal yang melakukan tindak pidana (Pasal 1

ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997) maka

hakim mewajibkan anak yang dijatuhkan pidana tersebut untuk


32
membayar sejumlah uang tertentu. Pada Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana (KUHP) ditentukan limit beratnya pidana denda

adalah batas umum minimum/Algemeene strafminima sebesar

Rp. 250,00 dan batas umum denda paling tinggi yang diancam

(Pasal 403 KUHP) sebesar Rp. 150.000. Bagaimanakah

terhadap pidana denda yang dapat dijatuhkan hakim dalam

sidang anak sesuai Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997?.

Terhadap aspek ini ditentukan oleh ketentuan Pasal 28

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997, sebagai berikut :

1) Pidana denda dapat dijatuhkan kepada anak nakal yang

melakukan tindak Pidana (Pasal 1 angka 2 huruf Undang-

Undang Nomor 3 Tahun 1997) paling banyak ½ (satu per

dua) dari maksimum ancaman pidana bagi orang dewasa.

Adapun yang dimaksud dengan “maksimum ancaman

pidana denda bagi orang dewasa” adalah maksimum

ancaman pidana denda terhadap tindak pidana yang

dilakukan sesuai dengan yang ditentukan dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana atau undang-undang

lainnya.

2) Apabila pidana denda tidak dapat dibayar maka diganti

dengan wajib latihan kerja dimaksudkan sebagai pengganti

pidana denda yang sekaligus untuk mendidik anak yang


33
bersangkutan agar memiliki keterampilan bermanfaat bagi

dirinya.

3) Wajib latihan kerja sebagai pengganti denda dilakukan

paling lama 90 (sembilan puluh) hari kerja dan lama latihan

kerja tidak lebih dari 4 (empat) jam sehari serta tidak

dilakukan pada malam hari (identik dengan ketentuan Pasal

4 PerMenaker No: Per-01/Men/1987) .

d. Pidana Pengawasan

Hakekat dasar pidana pengawasan diatur dalam

ketentuan Pasal 30 UU Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997.

Menurut penjelasan Pasal 30 Undang-Undang Nomor 3 Tahun

1997 pidana pengawasan merupakan pidana yang khusus

dikenakan untuk anak, yakni pengawasan yang dilakukan oleh

jaksa terhadap perilaku anak dalam kehidupan sehari-hari di

rumah anak tersebut dan pemberian bimbingan yang dilakukan

oleh Pembimbing Kemasyarakatan. Selanjutnya, terhadap

ketentuan Pasal 30 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997

Pidana pengawasan ini dapat dijabarkan sebagai berikut :

1) Pidana pengawasan kepada anak nakal yang melakukan

tindak pidana (Pasal 1 angka 2 huruf a Undang-Undang

Nomor 3 Tahun 1997) adalah paling singkat 3 (tiga) bulan

dan paling lama 2 (dua) tahun .


34
2) Pelaksanaan pengawasan dilakukan jaksa terhadap perilaku

anak dalam kehidupan sehari hari di rumah anak tersebut

dan pemberian bimbingan oleh pembimbing

kemasyarakatan.

2. Pidana Tambahan

Perihal pidana tambahan diatur di dalam ketentuan Pasal 23

ayat (3) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 berupa :

a. Perampasan barang-barang tertentu.

Dari aspek teknis yuridis terminologi “perampasan”

merupakan terjemahan istilah bahasa Belanda “Verbeurd

verklaring” sebagai pidana tambahan yang dapat dijatuhkan

hakim disamping pidana pokok. Pengertian “perampasan

barang-barang tertentu” berarti mencabut dari orang yang

memegang barang bukti tersebut kemudian dirampas untuk

kepentingan negara, atau dimusnahkan atau dirusak sehingga

tidak dapat dipergunakan lagi. Menurut Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana (KUHP) maka perampasan barang-barang

tertentu tersebut berorientasi kepada :

1) Milik terdakwa anak sendiri ;

2) Barang tersebut dipergunakan terdakwa anak untuk

melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya , dan

35
3) Barang tersebut diperoleh anak karena melakukan tindak

pidana yang didakwakan kepadanya .

b. Pembayaran ganti rugi.

Pada dasarnya pembayaran ganti rugi yang dijatuhkan sebagai

pidana tambahan merupakan tanggung jawab dari orang tua

atau orang lain yang menjalankan kekuasaan orang tua

(Mulyadi, 2005:140). Selanjutnya mengenai ketentuan bentuk

dan tata cara pembayaran ganti rugi diatur lanjut lebih dengan

Peraturan Pemerintah (Pasal 23 ayat (4) Undang-Undang

Nomor 3 Tahun 1997).

3. Tindakan

Sebagaimana telah diuraikan di muka maka dalam sidang

anak, hakim dapat menjatuhkan pidana atau tindakan. Pidana

tersebut dapat berupa pidana pokok dan pidana tambahan serta

perampasan barang-barang tertentu dan atau pembayaran ganti

rugi (Pasal 22, Pasal 23 ayat (1), (3) Undang-Undang Nomor 3

Tahun 1997 sedangkan terhadap tindakan menurut ketentuan

Pasal 24 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 implementasinya

berupa :

a. Mengembalikan kepada orang tua, wali atau orang tua asuh.

Pada asasnya, meskipun anak dikembalikan kepada orang tua,

wali, atau orang tua asuh, anak tersebut tetap di bawah


36
pengawasan dan bimbingan Pembimbing Kemasyarakatan,

antara lain mengikuti kegiatan kepramukaan dan lain-lain.

b. Menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan,

pembinaan dan latihan kerja.

Pada hakikatnya jenis tindakan tersebut di atas dapat

dijatuhkan hakim kepada anak nakal yang melakukan tindak

pidana (Pasal 1 angka 2 huruf a Undang-Undang Nomor 3

Tahun 1997) yang diancam pidana mati atau pidana penjara

seumur hidup akan tetapi belum mencapai umur 12 (dua belas)

tahun (Pasal 26 ayat (3) Undang-Undang Nomor 3 Tahun

1997). Konkretnya, secara teoritik dan praktik penjatuhan

tindakan sebagaimana ketentuan Pasal 24 ayat (1) huruf b

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 ini dilakukan apabila

hakim berpendapat bahwa orang tua, wali, atau orang tua asuh

tidak dapat memberikan pendidikan dan pembinaan yang lebih

baik, maka hakim dapat menetapkan anak tersebut ditempatkan

di Lembaga Pemasyarakatan Anak untuk mengikuti pendidikan,

pembinaan, dan latihan kerja. Latihan kerja dimaksudkan untuk

memberikan bekal kekal keterampilan kepada anak misalnya

dengan memberikan keterampilan mengenai pertukangan,

pertanian, perbengkelan, tata rias, dan sebagainya sehingga

setelah selesai menjalani tindakan dapat hidup mandiri.

37
c. Menyerahkan kepada departemen sosial, atau organisasi sosial

kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan,

pembinaan, dan latihan kerja.

Secara teoritik dan praktik, apabila anak nakal wajib mengikuti

pendidikan, pembinaan dan latihan kerja maka hakim dalam

keputusannya sekaligus menentukan lembaga tempat

pendidikan, pembinaan dan latihan kerja tersebut dilaksanakan

(Pasal 32 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997). Pada

prinsipnya pendidikan, pembinaan dan latihan kerja

diselenggarakan oleh Pemerintah di Lembaga Pemasyarakatan

Anak atau Departemen Sosial, tetapi dalam hal kepentingan

anak menghendaki, hakim dapat menetapkan anak yang

bersangkutan diserahkan kepada organisasi kemasyarakatan,

seperti pesantren, panti sosial, dan lembaga sosial lainnya

dengan memperhatikan agama anak yang bersangkutan.

d. Selama tindakan tersebut di atas (Pasal 24 ayat (1) huruf a, b, c

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997) dapat pula disertai

dengan teguran dan syarat tambahan yang ditetapkan hakim

(Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997).

Sedangkan menurut penjelasan autentik Pasal 24 ayat (2)

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 maka yang dimaksudkan

dengan “teguran” adalah peringatan dari Hakim baik secara

langsung terhadap anak yang dijatuhi tindakan maupun secara

tidak langsung melalui orang tua, wali, atau orang tua asuhnya,
38
agar anak tersebut tidak mengulangi perbuatan yang

mengakibatkan ia dijatuhi tindakan. Sedangkan yang dimaksud

dengan “syarat tambahan” misalnya kewajiban untuk melapor

periodik kepada Pembimbing Kemasyarakatan.

C. Anak sebagai Pelaku Tindak Pidana

1. Pengertian Anak dan Anak Nakal

Pengertian anak tergolong sangat penting dalam perkara

pidana anak, karena digunakan untuk mengetahui seseorang yang

diduga melakukan tindak pidana, termasuk kategori anak atau bukan.

Adanya ketegasan dalam satu peraturan perundang-undangan

tentang hal tersebut akan menjadi pegangan bagi para petugas di

lapangan agar tidak terjadi salah tangkap, salah tahan, salah tuntut

bahkan salah mengadili.

Mengenai pengertian anak, ternyata banyak undang-undang

yang tidak seragam batasannya, karena dilatarbelakangi oleh maksud

dan tujuan masing-masing undang-undang itu sendiri.

Pasal 330 KUHPerdata menentukan bahwa belum dewasa

apabila belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan tidak

lebih dahulu telah kawin. Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4

Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak menentukan bahwa anak

39
adalah orang laki-laki atau perempuan berumur 14 (empat belas)

tahun ke bawah.

Menurut hukum adat seorang dikatakan belum dewasa

bilamana seseorang itu belum menikah dan berdiri sendiri belum

terlepas dari tanggung jawab orang tua. Hukum adat menentukan

bahwa ukuran seseorang telah dewasa bukan dari umurnya, tetapi

ukuran yang dipakai adalah : dapat bekerja sendiri, cakap melakukan

yang disyaratkan dalam kehidupan masyarakat, dapat mengurus

kekayaan sendiri (Gultom, 2006:31).

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan

Anak Pasal 1 ayat (2) menegaskan bahwa anak adalah seorang yang

belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin.

Penjelasan Pasal 1 ayat (2) tersebut menyebutkan batas usia

21 tahun ditetapkan berdasarkan pertimbangan kepentingan usaha

sosial, tahap kematangan sosial, kematangan pribadi, dan

kematangan mental seorang anak dicapai pada usia tersebut.

Sedang dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang

Pengadilan Anak Pasal 1 ayat (1) menyatakan bahwa “Anak adalah

orang yang dalam perkara anak nakal mencapai umur 8 tahun tetapi

belum mencapai umur 18 tahun dan belum pernah kawin”.

40
Dengan demikian dapat dipahami bahwa apabila umur

seseorang tersebut di bawah 18 tahun tetapi sudah kawin maka

dianggap sudah dewasa dan bukan sebagai kategori anak lagi.

Lebih lanjut lagi dapat ditemukan dalam konvensi PBB tentang

Hak-Hak Anak yang diratifikasi oleh Keppres Nomor 38 Tahun 1990,

bahwa anak adalah setiap orang yang berusia di bawah 18 tahun

(Konvensi PBB, Convention on The Rights of The Child).

Berdasarkan batasan umur di atas, maka ini berarti anak yang

melakukan tindak pidana di bawah umur 8 tahun tidak dapat dituntut

dan diajukan ke depan persidangan. Sedangkan mereka yang berada

di atas umur 18 tahun, akan dituntut berdasarkan ketentuan untuk

orang dewasa.

Jadi pengertian anak yang digunakan dalam penelitian ini

adalah seseorang yang belum mencapai umur 18 (delapan belas)

tahun dan belum pernah kawin, termasuk yang masih dalam

kandungan. Pengertian ini didasarkan pada Undang-Undang Nomor

23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Pengertian anak nakal telah dirumuskan dalam Pasal 1 butir 2

UU Nomor 3 tahun 1997 sebagai berikut :

Anak Nakal adalah :


a. Anak yang melakukan tindak pidana.

41
b. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang
bagi anak baik menurut peraturan perundang-undangan
maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan
berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.

Dari ketentuan di atas dapat diketahui perbuatan-perbuatan

yang diancamkan terhadap anak lebih luas daripada perbuatan-

perbuatan yang diancamkan terhadap orang dewasa.

Anak dikatakan sebagai anak nakal apabila melakukan tindak

pidana sebagaimana pula diancamkan terhadap orang dewasa selain

itu juga terhadap perbuatan-perbuatan yang dianggap terlarang bagi

anak.

Perbuatan yang dilarang bagi anak dapat berupa apa yang

ditentukan dalam peraturan perundang-undangan maupun peraturan

hukum yang hidup dan berlaku dalam masyarakat artinya pelanggaran

terhadap hukum hidup/adat/kebiasaan dalam masyarakat diakui

sebagai delik dalam tindak pidana anak.

Wadong (2000:21) mengemukakan, bahwa : “Ketentuan

kejahatan anak atau delinquency anak diartikan sebagai bentuk

kejahatan yang dilakukan anak dalam titel-titel khusus dari bagian

KUHP dan atau peraturan perundang-undangan.

Menurut Sudarto (1984:135) anak nakal adalah :

a. Yang melakukan tindak pidana.


b. Yang tidak dapat diatur dan tidak taat kepada orang
tua/wali/pengasuh.

42
c. Yang sering meninggalkan rumah, tanpa ijin/sepengetahuan
orang tua/wali/pengasuh.
d. Yang bergaul dengan penjahat-penjahat atau orang-orang
yang tidak bermoral, sedang anak itu mengetahui hal itu.
e. Yang kerap kali mengunjungi tempat-tempat yang terlarang
bagi anak-anak.
f. Yang seringkali menggunakan kata-kata kotor.
g. Yang melakukan perbuatan yang mempunyai akibat yang
tidak baik bagi perkembangan pribadi, sosial, rohani dan
jasmani anak itu.

Meskipun perumusannya tidak jelas namun tentunya yang

dimaksud dengan anak nakal adalah anak yang memenuhi salah satu

kriteria dari ketujuh sebutan itu.

Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan yang

dimaksudkan dengan anak nakal adalah anak yang melakukan suatu

perbuatan yang, dimana perbuatan tersebut dilarang oleh perundang-

undangan khususnya KUHP, peraturan perundang-undangan di luar

KUHP, atau melanggar norma-norma yang dilarang bagi anak maupun

norma-norma dalam masyarakat.

2. Batas Usia Anak

Batas pemidanaan bagi anak sangat diperlukan mengingat

batas usia akan menunjukkan perlakuan apa yang harus diambil

berhubung dengan perbuatan anak yang bersinggungan dengan

hukum.

43
Dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 secara

khusus telah ditentukan batas usia pemidanaan anak. Bunyi lengkap

Pasal 4 Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 sebagai berikut :

(1) Batas umur Anak Nakal yang dapat diajukan ke sidang anak
adalah sekurang-kurangnya 8 tahun tetapi belum mencapai
umur 18 tahun dan belum pernah kawin.
(2) Dalam hal anak melakukan tindak pidana pada batas umur
sebagaimana dimaksud dalam ayat (l) dan diajukan ke
sidang pengadilan, setelah anak yang bersangkutan
melampaui batas umur tersebut tetapi belum mencapai umur
21 tahun, tetap diajukan ke sidang anak.

Dari ketentuan di atas jika dihubungkan dengan ketentuan

Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997, diketahui

seorang anak dapat diajukan ke dalam sidang anak dalam batas umur

antara 8 tahun s/d sebelum 21 tahun, dengan ketentuan perbuatan

yang diduga dilakukan anak dalam batas 8 tahun s/d 18 tahun. Sidang

anak dapat digelar saat anak berumur 18 tahun s/d sebelum 21 hanya

apabila pada saat perbuatan dilakukan anak belum mencapai 18

tahun.

Jika demikian bagaimana dengan anak yang melakukan

kejahatan sedangkan umurnya kurang dari 8 tahun. Mengenai hal ini

Pasal 5 Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 menentukan :

(1) Dalam hal anak belum mencapai umur 8 (delapan) tahun


melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, maka
terhadap anak tersebut dapat dilakukan pemeriksaan oleh
penyidik.
(2) Apabila menurut hasil pemeriksaan, penyidik berpendapat
bahwa anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (l) masih
44
dapat dibina oleh orang tua, wali, atau orang tua asuhnya,
penyidik menyerahkan kembali anak tersebut kepada orang
tua, wali, atau orang tua asuhnya.
(3) Apabila menurut hasil pemeriksaan, penyidik berpendapat
bahwa anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (l) tidak
dapat dibina oleh orang tua, wali, atau orang tua asuhnya,
penyidik menyerahkan anak tersebut kepada Departemen
Sosial setelah mendengar pertimbangan dari Pembimbing
Kemasyarakatan.

Dari Pasal 5 di atas diketahui, seorang anak yang melakukan

tindak pidana sedangkan umurnya kurang dari 8 tahun tidak dapat

diperiksa dalam sidang anak. Terhadap anak ini ada 2 alternatif

tindakan dalam hal ini tindakan yang dilakukan penyidik yaitu :

Pertama : Diserahkan kepada orang tua, wali atau orang tua

asuhnya jika penyidik berpendapat orang tua, wali atau orang tua asuh

masih dapat membina.

Ke dua : Menyerahkan kepada Departemen Sosial jika

dipandang orang tua, wali atau orang tua asuhnya tidak dapat

membina.

3. Perlindungan Anak dalam Peraturan Perundang-Undangan

a. Perlindungan dalam Proses Penyidikan

Istilah penyidikan diartikan “serangkaian tindakan penyidik

dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini

untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu

45
membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna

menemukan tersangkanya” (Pasal 1 ayat (2) KUHAP).

Pada asasnya penyidikan tindak pidana merupakan suatu

upaya penegakan hukum yang bersifat pembatasan atau

pengekangan hak asasi seseorang dalam rangka usaha untuk

memulihkan terganggunya keseimbangan antara kepentingan

individu dan kepentingan umum, demi terpeliharanya keamanan

dan ketertiban masyarakat. Oleh karena itu penyidikan tindak

pidana harus dilaksanakan berdasarkan ketentuan dan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

Kepolisian negara Republik Indonesia adalah alat negara

penegak hukum yang mempunyai tugas sebagai penyidik tunggal

terhadap adanya suatu persangkaan telah terjadi tindak pidana.

Pelaksana tugas penyidikan dilaksanakan oleh Satuan Reserse

yang telah diberi tugas khusus untuk menyelenggarakan dan

melaksanakan fungsi reserse kepolisian.

Meskipun penyidik berasal dari Polri, akan tetapi tidak

semua penyidik Polri dapat melakukan penyidikan terhadap anak.

Dalam Pasal 7 ayat (5) Undang-undang Pengadilan Anak, dikenal

adanya “penyidik anak”. Penyidik inilah yang berwenang

melakukan penyidikan.

46
Pasal 41 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997

dijelaskan bahwa seorang penyidik seharusnya telah

berpengalaman sebagai penyidik tindak pidana yang dilakukan

oleh orang dewasa serta mempunyai minat, perhatian, dedikasi

dan memahami masalah anak.

Untuk mengetahui bagaimana fase penyelesaian perkara

anak dalam penyidikan, diuraikan sebagai berikut :

1) Penangkapan

Awal proses suatu perkara pidana biasanya dimulai

dengan tindakan penangkapan terhadap seseorang yang

diduga melakukan tindak pidana. Hal tersebut tertuang dalam

KUHAP Pasal 16 ayat (2) yang berbunyi : “Untuk kepentingan

penyidikan penyidik berwenang melakukan penangkapan”

Undang-Undang Pengadilan Anak ternyata tidak

mengatur tentang penangkapan terhadap tersangka anak. Oleh

karena itu tindakan penangkapan tersangka anak berlaku

ketentuan KUHAP sebagai peraturan umumnya (Lex generalis

derogat lex specialis).

Perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang

diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang

cukup. Pelaksanaan tugas penangkapan dilakukan oleh

petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan


47
memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada

tersangka surat perintah penangkapan yang menyebutkan

alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan

yang dipersangkakan. (Pasal 18 ayat (1) KUHAP)

Dalam hal tertangkap tangan penangkapan dilakukan

tanpa surat perintah, dengan ketentuan bahwa penangkap

harus segera menyerahkan tertangkap beserta barang bukti

yang ada kepada penyidik atau penyidik pembantu yang

terdekat (Pasal 18 ayat (2) KUHAP).

Pada Pasal 43 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 :

dikatakan penangkapan dilakukan untuk kepentingan

pemeriksaan paling lama 1 (satu) hari.

2) Penahanan

Setelah anak ditangkap, maka selanjutnya anak akan

menjalani masa penahanan. Dalam Undang-Undang Nomor 3

Tahun 1997 Pasal 44 ayat (2) dan (3) dijelaskan bahwa, masa

penahanan anak adalah paling lama 20 hari. Apabila

pemeriksaan belum selesai penyidik dapat meminta

perpanjangan waktu penahanan kepada penuntut umum untuk

paling lama 10 hari. Jadi jumlah waktu penahanan pada tingkat

penyidikan adalah 30 hari.

48
Selanjutnya bahwa dalam jangka waktu 30 hari, penyidik

sudah harus menyerahkan berkas perkara yang bersangkutan

kepada penuntut umum. Apabila jangka waktu dilampaui dan

berkas perkara belum diserahkan, maka tersangka harus

dikeluarkan dari tahanan demi hukum. Penahanan terhadap

anak dilaksanakan di tempat khusus untuk anak di lingkungan

Rumah Tahanan Negara, cabang Rumah Tahanan Negara,

atau di tempat tertentu.

3) Pemeriksaan

Ketika tersangka anak telah berada dalam masa

penahanan, maka dilakukanlah pemeriksaan.

Dalam Undang-undang Pengadilan Anak Pasal 42 ayat

(1) mewajibkan penyidik anak melakukan pemeriksaan

tersangka dalam suasana kekeluargaan. Pengertian

kekeluargaan menurut Undang-undang Pengadilan Anak

dimaksudkan bahwa dalam menyidik anak petugas hendaknya

memberikan perlakuan yang ramah, tidak memaksa atau

menakuti-nakuti bahkan memukul. Dalam pemeriksaan, anak

tidak boleh mendapat tekanan. Hal ini dimaksudkan agar

pemeriksaan berjalan lancar. Sebab apabila anak merasa takut

dalam menghadapi penyidik, anak akan mengalami kesulitan

memberikan keterangan yang benar dan sejelas-jelasnya.


49
Selain itu dalam melakukan pemeriksaan terhadap

tersangka anak penyidik juga terikat oleh pembimbing

kemasyarakatan dalam hal ini petugas Balai Pemasyarakatan

(Bapas). Dalam Pasal 42 ayat (2) Undang-undang Pengadilan

Anak dinyatakan penyidik mempunyai kewajiban untuk meminta

pertimbangan atau saran dari pembimbing kemasyarakatan,

karena pembimbing kemasyarakatan tugasnya membantu

memperlancar penyidik dengan membuat laporan

kemasyarakatan harus siap memberikan pertimbangan atau

saran yang diminta penyidik.

Selain memeriksa tersangka anak, maka dalam tahap

pemeriksaan ini juga dilakukan pemeriksaan terhadap saksi-

saksi. Hal ini dilakukan dalam rangka mencari kebenaran di

balik perkara tersebut.

4) Penyelesaian dan penyerahan berkas perkara

Setelah pemeriksaan terhadap tersangka sudah selesai,

maka langkah selanjutnya adalah menyelesaikan berkas

perkara yang lazimnya dituangkan dalam Berita Acara

Pemeriksaan (BAP). BAP inilah yang akan diserahkan kepada

penuntut umum.

Dalam Undang-undang Pengadilan Anak tidak diatur

mengenai pemberkasan perkara anak. Sehingga ketentuan


50
pemberkasan berlaku ketentuan dalam KUHAP sebagai

peraturan umumnya.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Pasal 8 ayat (2)

dan (3) tentang Hukum Acara Pidana, menyebutkan bahwa

penyidik menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum.

Penyerahan berkas perkara dibagi 2 tahap :

a) Tahap pertama penyidik hanya menyerahkan berkas


perkara.
b) Dalam hal penyidikan sudah dianggap selesai maka,
penyidik menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan
barang bukti kepada penuntut umum.
c) Jika penyidik bukan hanya menyerahkan secara fisik
tersangka dan barang buktinya, sebab kedua-duanya akan
diajukan ke persidangan pengadilan oleh penuntut umum.

Jadi penyidik bukan hanya menyerahkan berkas perkara

saja, akan tetapi juga menyerahkan secara fisik tersangka dan

barang buktinya, sebab kedua-keduanya akan diajukan ke

persidangan pengadilan oleh penuntut umum.

b. Perlindungan Dalam Proses Penuntutan

Pada dasarnya Undang-undang Pengadilan Anak

menghendaki agar setiap Kejaksaan Negeri memiliki penuntut

umum anak untuk menangani perkara anak nakal. Akan tetapi

apabila pada suatu kantor Kejaksaan Negeri sementara tidak

mempunyai penuntut umum anak, maka menurut Pasal 53 ayat (3)

51
tugas selanjutnya dibebankan kepada Jaksa Penuntut yang sering

menangani perkara pidana orang dewasa.

Berkenaan dengan penuntutan terhadap tersangka anak,

Pasal 53 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 menjelaskan

bahwa penuntutan terhadap anak nakal dilakukan oleh penuntut

umum, yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Jaksa

Agung atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Jaksa Agung atau

pejabat lain yang ditunjuk oleh Jaksa Agung. Ditekankan

selanjutnya pada ayat (2) Pasal 53, bahwa penuntut umum

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah :

1) Telah berpengalaman sebagai penuntut umum tindak pidana


yang dilakukan oleh orang dewasa.
2) Mempunyai minat, perhatian, dedikasi dan memahami masalah
anak.

Kewajiban seorang penuntut umum selanjutnya adalah

membuat surat dakwaan sesuai dengan ketentuan dalam KUHAP.

Dalam jangka waktu 25 hari, penuntut umum harus melimpahkan

berkas perkara anak kepada pengadilan negeri.

Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud di atas

dilampaui dan perkara belum dilimpahkan ke pengadilan negeri,

maka tersangka harus dikeluarkan dari tahanan demi hukum.

Dalam membuat surat dakwaan, yang harus dipedomani

oleh penuntut umum adalah Pasal 143 KUHAP, bahwa surat

52
dakwaan harus memenuhi syarat formil dan syarat materil. Syarat

formil dimaksud yakni nama lengkap, tempat lahir, umur, tanggal

lahir, jenis kelamin, kebangsaan, agama dan pekerjaan tersangka.

Sedangkan syarat materiilnya adalah menyangkut uraian secara

cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang

didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana

itu dilakukan.

Surat dakwaan yang sudah dilimpahkan ke pengadilan

dapat dirubah oleh penuntut umum sebelum pengadilan

menetapkan hari sidang. Perubahan ini dimaksudkan untuk

menyempurnakan surat dakwaan.

c. Perlindungan dalam Proses Pengadilan

Pemeriksaan sidang bagi terdakwa anak dilakukan oleh

hakim khusus yaitu hakim anak. Pengangkatan hakim anak

ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia

dengan mempertimbangkan usul dari Ketua Pengadilan Tinggi

tempat hakim tersebut tugas.

Syarat utama untuk dapat ditetapkan sebagai hakim anak

dalam Pasal 10 Undang-undang Pengadilan Anak sebagai

berikut :

1) Telah berpengalaman sebagai hakim di pengadilan dalam


lingkungan peradilan umum.
53
2) Mempunyai minat, perhatian, dedikasi dan memahami masalah
anak.

Beberapa hal yang merupakan ciri khas persidangan anak

nakal sebagai berikut :

1) Pemeriksaan sidang anak dilakukan dengan hakim tunggal

(Pasal 11 ayat (1) Undang-undang Pengadilan Anak). Hal ini

bertujuan agar sidang perkara anak dapat diselesaikan dengan

cepat. Perkara anak yang disidangkan dengan hakim tunggal

adalah perkara yang ancaman hukumannya lima tahun ke

bawah dan pembuktiannya mudah atau tidak sulit. Biasanya

perkara yang dimaksud adalah tindak pidana pencurian,

penipuan, penggelapan dan sebagainya.

Namun apabila tindak pidananya dianggap berat (di atas lima

tahun) serta pembuktiannya sulit, maka berdasarkan Pasal 11

ayat (2) Undang-undang Pengadilan Anak, maka perkaranya

diperiksa oleh hakim majelis (tidak tunggal) (Pasal 14 dan

Pasal 18 Undang-undang Pengadilan Anak).

2) Dalam pemeriksaan sidang anak nakal pejabat pemeriksa

yaitu, hakim, penuntut umum dan penasehat hukum tidak

memakai toga. Begitupula oleh seorang panitera pun tidak

memakai jas (Pasal 6 Undang-undang Pengadilan Anak). Hal

ini dimaksudkan agar persidangan tidak berkesan menakutkan.


54
Selain itu agar dengan pakaian biasa dapat menjadikan

persidangan lancar, dan penuh dengan rasa kekeluargaan.

3) Persidangan bagi anak nakal dilaksanakan secara tertutup.

Undang-undang Pengadilan Anak Pasal 57 ayat (1)

menjelaskan bahwa hakim membuka persidangan dan

menyatakan sidang tertutup untuk umum. Hal ini sejalan

dengan Pasal 153 ayat (3) KUHAP, bahwa untuk keperluan

pemeriksaan, hakim ketua sidang membuka sidang dan

menyatakan terbuka untuk umum, kecuali dalam perkara

mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak.

4) Berbeda dengan persidangan biasa, dalam persidangan anak

wajib ada laporan penelitian kemasyarakatan dari Balai

Pemasyarakatan, sesuai Pasal 56 Undang-undang Pengadilan

Anak. Sebelum sidang dibuka, hakim memerintahkan kepada

pembimbing kemasyarakatan agar menyampaikan laporan

hasil penelitian kemasyarakatan mengenai anak yang

bersangkutan. Laporan hasil penelitian kemasyarakatan berisi :

a) Data individu anak dan keluarga anak yang bersangkutan.

b) Kesimpulan atau pendapat dari pembimbing

kemasyarakatan yang membuat laporan hasil penelitian

kemasyarakatan.

55
Menurut Pasal 57 ayat (2) Undang-undang Pengadilan Anak,

bahwa terdakwa selain didampingi oleh penasehat hukum, juga

didampingi oleh orang tua wali, orang tua asuh dan

pembimbing kemasyarakatan. Namun tugas masing-masing

berbeda, penasehat hukum mempunyai fungsi membela

kepentingan terdakwa di persidangan. Ia berperan aktif dalam

mengungkapkan kebenaran terhadap perkara yang sedang

dihadapi terdakwa. Sedangkan pembimbing kemasyarakatan

lebih banyak bersikap pasif. Ia tidak mempunyai hak untuk

membela kepentingan terdakwa. Meskipun demikian bukan

berarti tidak mempunyai hak bicara sama sekali di

persidangan. Mereka mempunyai kesempatan untuk

mengemukakan hal-hal yang dianggap bermanfaat bagi anak

(Pasal 59 ayat (1) Undang-undang Pengadilan Anak)

d. Perlindungan dalam Lembaga Pemasyarakatan

Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) merupakan tempat atau

wadah yang diperuntukkan bagi terpidana atau narapidana dalam

menjalani hukuman pidananya. Pasal 1 ayat (3) Undang-undang

Pemasyarakatan memberi pengertian bahwa Lembaga

Pemasyarakatan adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan

narapidana dan anak didik pemasyarakatan.

Dari pengertian ini, dapat diketahui tentang perincian siapa

yang dibina oleh Lapas, yaitu anak didik pemasyarakatan dan

56
narapidana. Namun lebih lanjut Undang-undang Pemasyarakatan

tampak memberikan perbedaan keduanya. Diterangkan bahwa

istilah narapidana dipergunakan untuk terpidana dewasa,

sedangkan istilah anak didik pemasyarakatan diperuntukkan

kepada terpidana anak.

Tidak digunakan istilah narapidana untuk anak bertujuan

untuk tidak menyinggung perasaan atau bahkan mensugestikan

sesuatu kepada hal yang tidak menyenangkan bagi anak.

Sejalan dengan itu Pasal 60 Undang-undang Pengadilan

Anak menegaskan, bahwa anak didik pemasyarakatan

ditempatkan di Lapas anak yang harus terpisah dengan orang

dewasa. Hal ini untuk kepentingan anak supaya tidak terpengaruh

jika dicampur, sehingga perkembangan anak tidak menjadi gelap

bagi masa depannya.

Pada prinsipnya setiap tempat atau kota terdapat Lapas

anak, akan tetapi apabila di suatu tempat belum dibangun, maka

anak didik pemasyarakatan ditempatkan di Lapas, namun

penempatannya harus dipisahkan dengan tempat narapidana

dewasa.

Anak yang ditempatkan di Lapas, berhak memperoleh

pendidikan dan latihan sesuai dengan bakat dan kemampuannya

serta hak lain berdasarkan peraturan perundang-undangan yang

berlaku (Pasal 60 ayat (2) Undang-undang Pengadilan Anak).

57
Dalam Undang-undang Pemasyarakatan dikenal ada 3

(tiga) macam anak didik pemasyarakatan (Pasal 1 angka (8))

adalah :

a. Anak pidana

b. Anak negara

c. Anak sipil

58
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Bone Provinsi Sulawesi

Selatan dengan sasaran hakim pada Pengadilan Negeri Watampone.

Kota Watampone merupakan salah satu kota yang ada di wilayah

Sulawesi Selatan, tentu merupakan salah satu kota dengan tingkat

terjadinya kriminalitas yang cukup tinggi. Berdasarkan alasan di atas

sehingga sangat menarik Kabupaten Bone dijadikan lokasi penelitian.

B. Jenis dan Sumber Data

Berdasarkan objek penelitian yang berfokus pada penerapan

prinsip double track system dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997

tentang Pengadilan Anak dengan melakukan penelitian pada Pengadilan

Negeri Watampone, maka penelitian ini merupakan penelitian hukum.

Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data

primer dan data sekunder.

1. Data primer adalah data empirik yang sumbernya diperoleh secara

langsung di lapangan atau di lokasi penelitian. Data diperoleh dari

responden dan informan yang berkaitan dengan penelitian yang ada di

Kabupaten Bone dalam hal ini hakim pada Pengadilan Negeri

59
Watampone. Penelitian lapangan dalam penelitian ini diarahkan pada

penelitian data yang sifatnya mendukung data sekunder.

2. Data sekunder adalah data yang diperoleh dan bersumber dari kajian-

kajian kepustakaan berupa literatur, karya ilmiah (hasil penelitian),

peraturan perundang-undangan, majalah, surat kabar, referensi-

referensi hukum pidana, putusan-putusan pengadilan, dokumentasi

dari instansi terkait, dan sumber lainnya yang berkaitan dengan

permasalahan yang diteliti.

Karena sifat penelitian ini adalah yuridis normatif, maka kedudukan

hakim dipandang sebagai sumber informasi atau responden, sehingga

dalam penentuan sumber informasi khususnya mengenai jumlah, tidak

terlalu dipersoalkan. Dari data yang diperoleh di lapangan nantinya akan

terlihat berbagai persepsi dan pandangan hakim yang dianggap

mengetahui persoalan dalam penelitian ini.

C. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian ini,

peneliti melakukan pengumpulan data melalui teknik dan instrumen

sebagai berikut :

1. Data primer, dilakukan dengan menggunakan teknik wawancara, yaitu

teknik pengumpulan data dalam bentuk tanya jawab yang dilakukan

secara langsung kepada hakim dengan menggunakan pedoman

60
wawancara yang bersifat terbuka, dalam arti bahwa peneliti bebas

dalam mengembangkan pertanyaan selain dari yang telah

disiapkan/disusun, apabila memang dianggap perlu.

2. Data sekunder, diperoleh dengan cara menelaah secara kritis

referensi-referensi di bidang hukum yang menyangkut masalah

pidana dan pemidanaan bagi anak, mengadakan polarisasi dan

kategorisasi dari dokumen yang diperoleh dari Pengadilan Negeri

Watampone.

D. Teknik Analisis Data

Dalam penelitian ini, metode yang digunakan adalah metode

penelitian hukum yuridis normatif, oleh karenanya analisis data yang

digunakan adalah analisis kualitatif.

Analisis kualitatif sifatnya berupa menganalisis secara kualitatif

dokumen-dokumen dan peraturan perundang-perundangan, menganalisis

penerapan sanksi pidana dan sanksi tindakan bagi terdakwa anak, dan

menganalisis secara kualitatif kasus-kasus yang sudah diputuskan pada

Pengadilan Negeri Watampone.

61
BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Implementasi Double Track System Dalam Pemidanaan Menurut

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak

Membicarakan mengenai implementasi Double Track System

dalam pemidanaan menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997

tentang Pengadilan Anak sudah barang tentu kita berbicara dalam

lingkup sistem penegakan hukum (law enforcement). Penegakan hukum

yang dimaksud dalam hal ini adalah penegakan hukum pidana,

khususnya penegakan stelsel sanksi yang diatur di dalam Undang-

Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, yang pada

intinya menempatkan kedua sanksi tersebut pada posisi sejajar dalam

kebijakan yudikatif.

Proses penegakan hukum pidana khususnya penegakan stelsel

sanksi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang

Pengadilan Anak, melibatkan beberapa subsistem yaitu : jaksa, hakim,

penasihat hukum dan lembaga pemasyarakatan. Keterlibatan sub-sub

sistem tersebut akan saling terkait dalam rangka mewujudkan tujuan

penegakan hukum pidana, sebagaimana yang dirumuskan dalam

Seminar Pembaharuan Hukum Pidana Nasional (Barda, 2005:11) yang

menyatakan :

62
Sesuai dengan politik hukum pidana, maka tujuan pemidanaan,
(dapat dibaca : “tujuan penegakan hukum pidana”) harus diarahkan
kepada perlindungan masyarakat dari kejahatan serta
keseimbangan dan keselarasan hidup dalam masyarakat dengan
memperhatikan kepentingan-kepentingan masyarakat/Negara,
korban, dan pelaku.

Sehubungan dengan tujuan tersebut, ditegaskan pula agar

pemidanaan harus mengandung unsur-unsur kemanusiaan, edukatif,

keadilan. Bersifat kemanusiaan dalam arti menjunjung tinggi harkat dan

martabat seseorang; bersifat edukatif dalam arti mampu menimbulkan

kesadaran jiwa yang positif dan konstruktif pada diri si pelanggar hukum;

dan bersifat keadilan dalam arti dirasakan adil, baik oleh si pelaku

maupun oleh korban atau masyarakat.

Pengadilan sebagai salah satu lembaga penegakan hukum

merupakan tempat berkumpulnya orang-orang yang ingin menyelesaikan

berbagai persoalan hukum yang dihadapinya. Sebagai salah satu bagian

dari sub sistem penegakan hukum, maka hakim pada pengadilan

diharapkan senantiasa dapat menjatuhkan putusan dari berbagai

persoalan hukum, dengan melalui putusannya yang mencerminkan nilai-

nilai kebenaran dan keadilan.

Berdasarkan data hasil penelitian yang dilakukan penulis di

Pengadilan Negeri Watampone, maka diperoleh kesimpulan bahwa

prinsip double track system dalam pemidanaan menurut Undang-Undang

63
Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak belum berjalan maksimal.

Hal ini dapat dilihat dari pemaparan data berikut ini.

Tabel 1 : Persentase Jenis Sanksi yang Diterapkan Bagi Terdakwa


Anak Pada Pengadilan Negeri Watampone Tahun 2009 –
2010

2009 2010
P T P T
12 - 14 2
Frekuensi 12 0 14 2
Jumlah (N) 12 16
Persentase 100 % 0% 89% 11%
Sumber data : Pengadilan Negeri Watampone 2010

Keterangan :

P = Sanksi Pidana
T = Sanksi Tindakan

Pada Tabel 1 terlihat bahwa pada Tahun 2009 persentase putusan

hakim yang menerapkan sanksi pidana adalah sebesar 100 persen dari

12 jumlah kasus yang diselesaikan oleh Pengadilan Negeri Watampone

dan nol persen untuk sanksi tindakan. Sedangkan untuk tahun 2010,

sebanyak 14 (89%) dari 14 kasus menerapkan sanksi pidana dan 2 (11%)

dari 16 kasus menerapkan sanksi tindakan.

Pada tabel 2 berikut ini akan memperlihatkan lebih rinci mengenai

jenis kejahatan serta jenis sanksi yang diterapkan bagi terdakwa anak.

64
Tabel 2 : Jenis Kejahatan dan Jenis Sanksi yang Diterapkan bagi
Terdakwa Anak oleh Pengadilan Negeri Watampone Tahun
2009

Umur
Tahun Putusan Jenis Kejahatan
Terdakwa
11 Th 1 Bln 363 (pencurian)
12 Th 2 Bln 15 Hari 362 (pencurian)
12 Th 3 Bln 362 (pencurian)
12 Th 3 Bln 362 (pencurian)
12 Th 2 Bln 15 Hari 362 (pencurian)
13 Th 2 Bln 363 (1),53 (c) (pencurian)
2009
14 Th 3 Bln 15 Hari 363 (1)(pencurian)
14 Th 6 Bln 290 (cabul)
14 Th 5 Bln 351 (1),170 (1)(bersama mel.Kejahatan)
14 Th 5 Bln 363 (1) (pencurian)
14 Th 4 Bln 363 (1) (pencurian)
14 Tahun 4 Bln 363 (1) (pencurian)
Sumber data : Pengadilan Negeri Watampone 2010

Berdasarkan data pada Tabel 2 menunjukkan bahwa dari 12 kasus

yang di selesaikan pada Pengadilan Negeri Watampone tahun 2009 jenis

sanksi yang diterapkan adalah sanksi pidana berupa penjara dan

kurungan. Untuk jenis kejahatan yang dilakukan oleh terdakwa anak untuk

tahun 2009 jenis kejahatan yang paling sering dilakukan adalah pencurian

sebanyak 10 kasus, bersama melakukan kejahatan 1 kasus, kesusilaan 1

kasus.

Pada Tabel 2 di atas memperlihatkan bahwa pada tahun 2009,

hakim anak pada Pengadilan Negeri Watampone belum menerapkan

prinsip double track system, walaupun dari ketentuan Undang-undang

Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, telah menentukan

65
dengan jelas pada Pasal 26 ayat (4) mengenai sanksi yang mesti

diterapkan bagi anak yang belum berumur 12 tahun.

Pasal 26 ayat (4) :

Apabila Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2


huruf a, belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun melakukan tindak
pidana yang tidak diancam pidana mati atau tidak diancam pidana
penjara seumur hidup, maka terhadap Anak Nakal tersebut dijatuhkan
salah satu tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24.

Tabel 3 : Jenis Kejahatan dan Jenis Sanksi yang Diterapkan Bagi


Terdakwa Anak Oleh Pengadilan Negeri Watampone Tahun
2010
Umur
Tahun Putusan Jenis Kejahatan
Terdakwa
11 Th 2 Bln 3 Hari 303 (1) (perjudian)
13 Th 3 Bln 363 (1),362 (pencurian)
13 Th 3 Bln 359 (kealpaan meyebabkan kematian)
13 Th 3 Bln 363 (1) (pencurian)
13 Th Dkblk ke orang Tua 62,60 (4) (psikotropika)
13 Th 6 Bln 362 (pencurian)
17 Th 8 Bln 363 (1) (pencurian)
17 Th 4 Bln 62,60 (5) (psikotropika)
17 Th 5 Bln 362 (pencurian)
2010
17 Th 4 Bln 363 (1) (pencurian)
17 Th 2 Bln 2 (1) (membawa senjata tajam)
17 Th 2 Bln 15 Hari 303 (1) (perjudian)
17 Th Dkblk ke orang tua 62,60 (5) (psikotropika)
17 Th 2 Bln 3 Hari 303 (1) (perjudian)
17 Th 2 Bln 363 (1) (pencurian)
17 Th 1 Th 6 Bln 359 (kealpaan meyebabkan kematian)
17 Th 10 Bln 363 (1),362 (pencurian)
17 Th 3 Bln 363 (1) (pencurian)
17 Th 2 Bln 363 (1) (pencurian)
Sumber data : Pengadilan Negeri Watampone 2010

Pada Tabel 3 menunjukkan bahwa dari 16 kasus yang diselesaikan

pada Pengadilan Negeri Watampone tahun 2010 jenis sanksi yang

diterapkan adalah sanksi pidana berupa penjara dan kurungan sebanyak

66
14 kasus, sanksi tindakan 2 kasus. Untuk jenis kejahatan yang dilakukan

oleh terdakwa anak untuk tahun 2010 jenis kejahatan pencurian yang

paling sering dilakukan yakni sebanyak 10 kasus, psikotropika 3 kasus,

kealpaan menyebabkan kematian 2 kasus, perjudian 3 kasus, dan

membawa senjata tajam 1 kasus.

Pada Tabel 3 di atas memperlihatkan bahwa pada tahun 2010,

hakim anak pada Pengadilan Negeri Watampone sudah menerapkan

prinsip double track system, walaupun hal yang sama tetap terjadi dari

ketentuan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan

Anak, mengenai sanksi yang mesti diterapkan bagi anak yang belum

berumur 12 tahun belum dilaksanakan.

Menurut Satriyo Budiyono (Wakil Ketua Pengadilan Negeri

Watampone), menanggapi data yang penulis peroleh beliau menyatakan

bahwa penerapan sanksi pidana lebih banyak diterapkan di perkara anak

karena ada beberapa hal (hasil wawancara tanggal 4 Maret 2011) :

Pertama, di dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang


Pengadilan Anak tidak memberikan batasan atau standar kepada
hakim untuk menentukan apakah seorang terdakwa anak mesti
dijatuhi sanksi pidana atau tindakan, sehingga pada akhirnya
pertimbangan hakim anak dalam menentukan jenis sanksi yang
dijatuhkan dilihat dari sifat kejahatannya, dan keadaan anak itu
sendiri. Kedua, penerapan sanksi tindakan sulit untuk diterapkan
karena kurangnya sarana dan prasarana mengenai tempat
pelaksanaan sanksi tindakan.

Ketika ditanya mengenai adanya satu kasus anak yang belum

mencapai umur 12 belas tahun yang menurut Undang-Undang


67
Pengadilan Anak diharuskan diberikan sanksi tindakan namun hakim

Pengadilan Negeri Watampone tidak menerapkan aturan tersebut, beliau

mengatakan bahwa walaupun anak itu menurut data berumur di bawah 12

tahun tetapi kalau dilihat dari fisik anak, malah kelihatan melebihi dari

umur sebenarnya.

Berdasarkan data di atas diperoleh kesimpulan bahwa prinsip

double track system dalam pemidanaan menurut Undang-undang Nomor

3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak tidak berjalan secara maksimal.

B. Kendala Penerapan Double Track System dalam Pemidanaan Anak di


Kabupaten Bone

Dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan

Anak terlihat bahwa dalam pasalnya ditentukan bahwa yang dapat

dikenakan pidana kepada anak yang dikualifikasi sebagai anak nakal itu

sendiri, walaupun kita tidak terlalu setuju dengan istilah itu, adalah anak

yang melakukan tindak pidana. Jadi tindak pidana itu dirumuskan baik itu

yang berdasarkan kepada KUHP yang terkodifikasi maupun yang diluar

KUHP. Kemudian di dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang

Pengadilan Anak itu juga disebutkan bahwa anak yang melakukan

perbuatan yang dilarang oleh adat kebiasaan/sesuatu yang bukan

ketentuan pidana yang disebutkan di dalam undang-undang yang

merupakan pidana. Jadi memang ini sangat memperluas kembali

68
perbuatan-perbuatan yang bisa dikenakan sanksi pidana, walaupun tadi

sudah kita diskusikan dengan cukup panjang lebar bahwa yang patut

untuk dibawa ke sidang anak adalah pidana anak, bukan kenakalan anak.

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak

menentukan bahwa umur anak yang dapat diajukan ke Pengadilan Anak

adalah antara 8 sampai dengan 18 tahun, kecuali yang sudah menikah.

Jadi Undang-Undang Pengadilan Anak masih menggunakan variabel

sudah menikah sebagai kriteria untuk bisa dibawa ke sidang anak.

Sedangkan untuk anak yang berumur di bawah 8 tahun, Undang-Undang

Pengadilan Anak hanya menentukan bahwa anak terhadap anak tersebut

dapat dilakukan penyidikan tanpa menyebutkan tindakan hukum lainnya.

Terhadap mereka, hakim bisa mengembalikan kepada orang tua atau

menjadikan anak negara atau menyerahkan kepada pemerintah, dalam

hal ini Dinas Sosial. Namun fakta menunjukkan bahwa hakim justru lebih

banyak menjatuhkan pidana dalam kasus-kasus anak yang ada. Tidak

ada anak yang diserahkan kepada pemerintah melalui Dinas Sosial.

Wacana anak-anak yang terabaikan dan terlibat dalam suatu tindak

pidana merupakan hal yang serius dan perlu mendapat tindak lanjut. Hal

tersebut bukan saja hanya tanggung jawab dari keluarga dan masyarakat,

tetapi juga merupakan tanggung jawab pemerintah. Langkah nyata yang

dapat dilakukan pemerintah adalah dengan merevisi Undang-Undang

Pengadilan Anak sehingga menjadi wadah hukum yang lebih responsif


69
terhadap kebutuhan anak-anak yang dipidana. Selain itu masyarakat juga

dapat berperan serta secara aktif dalam proses rehabilitasi si anak pada

saat anak tersebut kembali ke tengah-tengah masyarakat.

Dalam mewujudkan implementasi double track system dalam

pemidanaan menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang

Pengadilan Anak di Kabupaten Bone, ternyata mengalami berbagai

hambatan. Tentunya pengaruh hambatan ini sangat signifikan terhadap

tercapainya pelaksanaan double track system secara maksimal bagi para

terdakwa anak.

Kendala yang dihadapi antara lain :

1. Kurangnya pemahaman Hakim Anak pada Pengadilan Negeri


Watampone terhadap substansi Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1997 tentang Pengadilan Anak.

Berdasarkan hasil inventarisasi penulis dari ketentuan Undang-

Undang Pengadilan Anak, diperoleh kejelasan bahwa sebenarnya di

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tersebut telah mengatur

tentang pedoman penentuan jenis sanksi yang bisa diterapkan bagi

terdakwa anak yakni penentuannya berdasarkan perbedaan umur

anak.

Adapun kategori menurut undang-undang pengadilan anak ini

dibagi dalam dua kategori umur anak yaitu :

a. Anak Nakal yang telah berumur antara 8 (delapan) sampai 12 (dua

belas) tahun yang melakukan kejahatan


70
b. Anak Nakal yang telah berumur di atas 12 (dua belas) sampai 18

(delapan belas) tahun yang melakukan kejahatan.

Terhadap kategori pertama, diatur di dalam Pasal 26 ayat (3)

dan (4) Undang-Undang Pengadilan Anak yang berbunyi:

Ayat 3. Apabila Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1


angka 2 huruf a, belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun
melakukan tindak pidana yang diancam pidana mati atau
pidana penjara seumur hidup, maka terhadap Anak Nakal
tersebut hanya dapat dijatuhkan tindakan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) huruf b.

Ayat 4. Apabila Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1


angka 2 huruf a, belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun
melakukan tindak pidana yang tidak diancam pidana mati
atau tidak diancam pidana penjara seumur hidup, maka
terhadap Anak Nakal tersebut dijatuhkan salah satu tindakan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24.

Hal ini juga dijelaskan di dalam penjelasan aturan umum

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang

menyatakan bahwa, khusus mengenai sanksi terhadap anak di dalam

undang-undang ini ditentukan berdasarkan perbedaan umur anak,

yaitu bagi anak yang masih berumur 8 (delapan) sampai 12 (dua

belas) tahun hanya dikenakan tindakan, seperti dikembalikan kepada

orang tuanya, ditempatkan pada organisasi sosial, atau diserahkan

kepada negara, sedangkan terhadap anak yang telah mencapai umur

di atas 12 (dua belas) tahun sampai 18 (delapan belas) tahun

dijatuhkan pidana. Kemudian di dalam penjelasan Pasal 25 Undang-

undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, juga


71
dijelaskan bahwa dalam menentukan pidana atau tindakan yang dapat

dijatuhkan kepada anak, hakim memperhatikan berat ringannya tindak

pidana atau kenakalan yang dilakukan oleh anak yang bersangkutan.

Di samping itu, hakim juga memperhatikan keadaan anak, keadaan

rumah tangga orang tua, wali, atau orang tua asuh, hubungan antara

anggota keluarga dan keadaan lingkungannya. Demikian pula hakim

wajib memperhatikan laporan Pembimbing Kemasyarakatan.

Berdasarkan hal tersebut di atas, penulis melihat bahwa

sebenarnya aparat penegak hukum khususnya hakim anak pada

Pengadilan Negeri Watampone sama sekali kurang memahami

substansi dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang

Pengadilan Anak.

2. Tidak Adanya Sarana Pendukung Bagi Pelaksanaan Sanksi Tindakan


Bagi Anak

Kendala yang kedua ini menurut penulis merupakan kendala

yang tidak kalah besar pengaruhnya terhadap tercapainya

implementasi double track system secara maksimal bagi anak.

Menurut Muh. Zainal (hakim pada Pengadilan Negeri

Watampone) mengatakan bahwa :

Hal yang paling mendasar dalam mewujudkan proses


pemidanaan yang baik bagi anak bilamana proses pemidanaan
itu didukung oleh sarana dan prasarana yang menunjang,
termasuk dalam hal ini tempat untuk dilaksanakannya

72
pembinaan bagi anak yang dikenakan sanksi tindakan.
(Wawancara tanggal 7 Maret 2011).

Secara garis besar di beberapa undang-undang menyebutkan

mengenai sarana pembinaan bagi anak. Dalam hal ini Undang-

Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak serta Undang-

Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

Ketentuan di dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997

tentang Pengadilan Anak disebutkan dalam Pasal 31 ayat (1) dan (2)

yang berbunyi :

(1) Anak Nakal yang oleh hakim diputus untuk diserahkan kepada
negara ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Anak sebagai
Anak Negara.
(2) Demi kepentingan anak, Kepala Lembaga Pemasyarakatan Anak
dapat mengajukan izin kepada Menteri Kehakiman agar Anak
Negara sebagaimana dimaksud dalam angka (1) ditempatkan di
Lembaga Pendidikan Anak yang diselenggarakan oleh pemerintah
atau swasta.

Selanjutnya di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995

tentang Pemasyarakatan disebutkan di dalam beberapa pasal,

diantaranya Pasal 1 angka (3) berbunyi :

Lembaga Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut LAPAS


adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan Narapidana dan
Anak Didik Pemasyarakatan.

Kemudian di dalam Pasal 18 ayat (1), Pasal 25 ayat (1), dan

Pasal 32 ayat (1) menyebutkan dengan jelas tempat pembinaan bagi

anak.

73
Pasal 18 ayat (1) berbunyi : “Anak Pidana ditempatkan di

Lembaga Pemasyarakatan Anak”.

Pasal 25 ayat (1) berbunyi : “Anak Negara ditempatkan di

Lembaga Pemasyarakatan Anak”.

Pasal 32 ayat (1) berbunyi : “Anak Sipil ditempatkan di

Lembaga Pemasyarakatan Anak”.

Sehubungan dengan hal itu menurut Muh. Zainal (Hakim pada

Pengadilan Negeri Watampone) menyatakan bahwa :

Lembaga Pemasyarakatan Anak belum ada di Bone sehingga


dengan demikian pembinaan bagi anak yang telah diputus oleh
Pengadilan ditempatkan pada Rumah Tahanan Bone untuk
dilakukan pembinaan (Wawancara tanggal 9 Maret 2011).

Satriyo Budiyono (Wakil Ketua Pengadilan Negeri Watampone,

tanggal 7 Maret 2011) setelah dikonfirmasi menyatakan bahwa :

Memang selama ini proses pembinaan bagi anak yang telah


diputus oleh pengadilan ditempatkan di Rumah Tahanan
Negara Kelas Watampone dan keseluruhan anak yang dibina
adalah kategori anak pidana. Namun, proses pembinaan yang
dilakukan Rumah Tahanan Watampone bagi anak binaannya
tidak dapat berjalan dengan baik karena adanya wewenang dan
tanggungjawab lain yang diembannya. Berbeda halnya bila
proses pembinaan itu dilakukan sepenuhnya oleh suatu
lembaga khusus, dalam hal ini Lembaga Pemasyarakatan
Anak, tentunya akan memperoleh hasil yang jauh lebih baik,
olehnya itu diperlukan segera dibentuk lembaga tersebut.

Dari kendala-kendala tersebut di atas, maka solusi yang

ditawarkan adalah sebaiknya para penegak hukum khususnya hakim

di Pengadilan Negeri Watampone yang menangani masalah anak

74
untuk lebih menggali nilai, meskipun tidak diatur secara jelas dalam

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak

masalah kenakalan anak dan kejahatan anak sehingga dapat

memberikan batasan yang jelas antara dua hal tersebut yang pada

akhirnya kasus pidana anak yang ditangani lebih mengedepankan

penggunaan kemungkinan lain selain dari pidana fisik misalnya saja

dengan mengembalikan kepada orang tua untuk dididik, atau dijadikan

anak negara.

75
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Implementasi double track system dalam pemidanaan menurut

Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak di

Kabupaten Bone belum berjalan secara maksimal, meskipun sudah

terdapat kemajuan dalam mengimplementasikan prinsip double track

system. Ini terlihat dari putusan yang diterapkan bagi terdakwa anak,

hakim pada pengadilan negeri sudah mulai terbuka terhadap

penerapan jenis sanksi lain.

2. Kendala dalam penerapan double track system dalam pemidanaan

anak di Kabupaten Bone adalah kurangnya pemahaman hakim di

Pengadilan Negeri Watampone terhadap substansi Undang-undang

Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, tidak adanya sarana

atau prasarana yang menunjang pelaksanaan sanksi tindakan bagi

terdakwa anak di Kabupaten Bone.

B. Saran

1. Untuk mencapai terwujudnya implementasi double track system dalam

pemidanaan menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang

Pengadilan Anak di Kabupaten Bone, maka sangat diperlukan peran

serta aktif dari ketiga lembaga penegak hukum tersebut.


76
Khusus di Kabupaten Bone, pemerintah diharapkan segera membentuk

Lembaga Pemasyarakatan Anak sebagai tempat dilakukannya pembinaan

kepada anak. Sebagaimana yang dimaksud dalam ketentuan Undang-

Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dan Undang-Undang

Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

77
DAFTAR PUSTAKA

Achmad Ali. 1996. Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan
Sosiologis). Chandra Pratama, Jakarta.

Andi Hamzah. 1986. Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, dari


Retribusi ke reformasi. PT. PradnyaParamita, Jakarta.

.1994. Asas-Asas Hukum Pidana. PT. Rineka Cipta.

Bambang Poernomo. 1992. Asas-Asas Hukum Pidana. Ghalia Indonesia,


Jakarta.

Bambang Waluyo. 2004. Pidana dan Pemidanaan. Sinar Grafika, Jakarta.

Barda Nawawi Arief. 1996. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. PT.
Citra Aditya Bakti, Bandung.

. 2003. Kapita Selekta Hukum Pidana. PT. Citra Aditya


Bakti, Bandung.

Djisman Samosir. 1992. Fungsi Pidana Penjara Dalam Sistem Pemidanaan


di Indonesia. Binacipta, Bandung.

Jan Remmelink. 2003. Hukum Pidana (Komentar atas Pasal-pasal Terpenting dari
KUHP Belanda dan Padanannya dalam KUHP Indonesia). Gramedia Pustaka
Indonesia, Jakarta.

Lilik Mulyadi. 2005. Pengadilan Anak di Indonesia (Teori, Praktik dan


Permasalahannya). Mandar Maju, Bandung.

. 2004. Kapita Selekta Hukum Pidana Kriminologi dan


Victimologi. Djambatan, Jakarta.

Maidin Gultom. 2006. Perlindungan Hukum terhadap Anak (Dalam Sistem


Peradilan Pidana Anak di Indonesia). Reflika Aditama, Bandung.

Mardjono Reksodiputro. 1997. Pembaharuan Hukum Pidana. Pusat


Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia,
Jakarta.

78
Maulana Hasan Wadong. 2000. Pengantar Advokasi Dan Hukum
Perlindungan Anak. PT. Grasindo, Jakarta.

Muladi. 1997. Lembaga Pidana Bersyarat. Alumni, Bandung.

Muladi dan Barda Nawawi Arief. 1992. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana.
Alumni, Bandung.

. 1992. Bunga Rampai Hukum Pidana,


Alumni, Bandung.

.1995. Kapita Selekta Hukum Pidana.


Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang.

Romli Atmasasmita. 1995. Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi.


Mandar Maju, Bandung.

. 1996. Perbandingan Hukum Pidana. Mandar Maju,


Bandung.

S. R. Sianturi. 1986. Tindak Pidana di KUHP, Berikut Uraiannya. AHM-PTHM.


Jakarta.

Sholehuddin. 2003. Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana (Ide Dasar Double
Track System dan Implementasinya. PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta.

Sudarto. 1984. Kapita Selekta Hukum Pidana. Alumni, Bandung.

Yong Ohoitimur. 1997. Teori Etika Tentang Hukuman Legal. PT. Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta.

Wirjono Prodjodikoro. 2003. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia. PT


Refika Aditama, Bandung.

Perundang-Undangan:

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Undang-Undang Pemasyarakatan.


Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Undang-Undang Pengadilan Anak

79
80

Anda mungkin juga menyukai