Anda di halaman 1dari 87

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN

FINANCIAL TECHNOLOGY BERBASIS PEER TO PEER


LENDING BERDASARKAN HUKUM POSITIF DI INDONESIA

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Syarat Untuk Mengikuti Ujian Komprehensif

Pada Bagian Studi Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya

OLEH:

Dio Batrayudha

02011181520428

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SRIWIJAYA

KAMPUS INDRALAYA

2019
ii
iii
MOTTO DAN PERSEMBAHAN

GIVE YOUR BEST LET GOD DO THE REST

“Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan”

(QS. Al Insyirah:5)

Skripsi ini kupersembahkan untuk:

✓ Allah SWT,

✓ Rasulullah Muhammad SAW,

✓ Teruntuk Ibu dan Ayahku tercinta,

✓ Kakak dan Adikku tersayang,

✓ Sahabat-sahabatku,

✓ Teman-temanku,

✓ Almamaterku

iv
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Alhamdulillahirabbil’alamin, puji dan syukur atas rahmat, karunia, serta hidayah

yang telah diberikan Allah yang Maha Pengasih lagi Penyayang serta sholawat dan

salam yang senantiasa tercurahkan kepada Rasulullah Muhammad S.A.W. Berserta

semua doa dan dukungan dari orang-orang tercinta bagi penulis dalam menyelesaikan

tugas akhir ini.

Tugas Akhir berupa Skripsi yang berjudul “Perlindungan Hukum Terhadap

Konsumen Financial Technology Berbasis Peer to Peer Lending Berdasarkan

Hukum Positif di Indonesia” yang diharapkan dapat memberikan upaya

penyelesaian atas permasalahan yang berkaitan dengan penelitian dan dapat juga

dijadikan sebagai referensi atau sumber kepustakaan dalam penelitian berikutnya.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna.

Semoga penulisan Skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi masyarakat dan

perkembangan ilmu pengetahuan terkhusus dibidang ilmu hukum. Atas perhatiannya,

penulis mengucapkan banyak terima kasih.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Indralaya, 2019

Dio Batrayudha

v
UCAPAN TERIMA KASIH

Assalamu’alaikum Wr. Wb

Alhamdulillahirabbil’alamin, puji dan syukur atas rahmat, karunia, serta

hidayah yang telah diberikan Allah yang Maha Pengasih lagi Penyayang serta

sholawat dan salam yang senantiasa tercurahkan kepada Rasulullah Muhammad

S.A.W. Berserta semua doa dan dukungan dari orang-orang tercinta bagi penulis

dalam menyelesaikan tugas akhir ini. Untuk itu, penulis sampaikan ucapan terima

kasih kepada:

1. Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan hidayahnya sehingga penulis

dapat menyelesaikan tugas akhir ini.

2. Ibuku tercinta Herawati dan Ayahku Hardianto yang selalu mendukung baik

moril maupun materil dan mendoakan penulis dapat menyelesaikan tugas

akhir ini.

3. Kakakku tersayang Alumni Mulki, Azali Almi Batrou dan Ayukku

tersayang Deti Hafizah, Maya yang mendo’akan dan menjadi support system

di Palembang.

4. Adikku Muhammad Noven Herwanda dan Ardian Intan Putri yang selalu

memberi semangat dan mendo’akan penulis

vi
5. Bapak Dr. Febrian, S.H., M.S, Dr. Mada Apriandi, S.H., MCL dan Drs. H.

Murzal, S.H., M.Hum selaku pimpinan Fakultas Hukum Universitas

Sriwijaya

6. Ibu Sri Handayani, S.H., M.Hum dan Ibu Arfianna Novera, S.H., M.Hum

selaku Dosen Pembimbing Tugas Akhir yang tiada letih memberikan

bimbingan, arahan dan segala nasehatnya kepada penulis.

7. Seluruh Dosen dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, terima

kasih atas ilmu yang telah diberikan kepada penulis selama penulis menuntut

ilmu di kampus perjuangan ini.

8. Keluarga besar Taekwondo Universitas Sriwijaya terimakasih atas segala

nasehat yang diberikan tentang bagaimana menjaga tubuh agar tetap bugar,

menghargai waktu, kedisiplian dan lainnya. terkhusus Sabeum Nim

Syamsudin, Sabeum Ratu, Sabeum Vega, Sabeum Karin, Sabeum Hartini,

Sabeum Eva, Sabeum Heru, Sabeum Joko, Sabeum Arya, Sabeum Ujang,

Sabeum Ade dan yang lainnya..

9. Keluarga besar B.O RAMAH sebagai keluarga berbagi cerita saling

mengingatkan akan kebaikan Terkhusus Saleh, Harry, Syahrul, Willy, Novia,

Merry dan yang lainnya.

10. Adeng Kakang Tercinte Ikatan Kerukunan Mahasiswa Baturaja terkhusus

Wan, Nopin, Arif, Ica, Dwi, Anita, Ona, Kak Dirga, Bayu, Latif, Diana, Asih,

Refi, Elfan, Amel, Sonia, Sofira. Agung Mandala Putra

vii
11. Teman-teman terbaikku KKL terkhusus Kelompok B, banyak cerita Bersama

kalian.

12. Rekan Kerja (Magang) di ATR/BPN Kota Palembang Harry, Willy, Tien,

Munawatul

13. Seluruh teman dan sahabat Fakultas Hukum yang memberikan warna dalam

kehidupan perkuliahan penulis.

14. Semua pihak yang telah ikut membantu penulis dalam menyelesaikan

penulisan hukum ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, semoga

mendapat imbalan yang setimpal dari Allah SWT. Aamiin.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb

viii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i


HALAMAN PENGESAHAN .................................. Error! Bookmark not defined.
SURAT PERNYATAAN..... ................................................................................ iii
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ....................................................................... iv
KATA PENGANTAR ........................................................................................... v
UCAPAN TERIMA KASIH................................................................................ vi
DAFTAR ISI ......................................................................................................... ix
ABSTRAK ........................................................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
A. Latar Belakang........................................................................................ 1

B. Rumusan Masalah................................................................................... 7

C. Tujuan Penelitian .................................................................................... 7

D. Manfaat Penelitian .................................................................................. 7

1. Manfaat Secara Teoritis ....................................................................... 7


2. Manfaat Secara Praktis ....................................................................... 8
E. Ruang Lingkup Permasalahan ................................................................ 8

F. Kerangka Teoritis .................................................................................... 9

1. Teori Perlindungan Hukum................................................................... 9


G. Metode Penelitian ................................................................................. 13

1.Jenis Penelitian..................................................................................... 13
2. PendekatanPenelitian .......................................................................... 13
3.Sumber Bahan-Bahan Hukum ............................................................. 14
4. TeknikPengumpulanBahanHukum..................................................... 15
5. TeknikAnalisisBahan-BahanHukum .................................................. 15
6. TeknikPenarikanKesimpulan .............................................................. 16

ix
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 17
A. Tinjauan Umum tentang Financial Technology ................................... 17

1. Pengertian Financial Technology ....................................................... 17


2. Fungsi Financial Technology ............................................................. 18
3. Jenis Financial Technology ................................................................ 22
B. Tinjauan Umum Peer to Peer Lending................................................. 26

1. Pengertian Peer to Peer Lending ........................................................ 26


2. Para Pihak Yang Terlibat Dalam Peer to Peer Lending ..................... 28
C. Tnjauan Umum Perjanjian Dalam Penyelenggaraan
Financial Technology Berbasis Peer to Peer Lending Di Indonesia ... 32

1. Antara Pemberi Pinjaman Dengan Penyelenggara ............................. 42


2. Antara Pemberi Pinjaman Dengan Penerima Pinjaman...................... 46
D. Tinjauan Umum Perlindungan Konsumen ........................................... 50

1. Pengertian PerlindunganKonsumen, Konsumen dan Pelaku Usaha ... 50


2. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen ....................................... 51
3. Hak dan Kewajiban Konsumen Dan Pelaku Usaha .......................... 53
E. Tinjauan Umum Dasar Hukum Pengaturan Teknologi Finansial ........... 54

BAB III PEMBAHASAN ................................................................................... 57


A. Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Financial Technology
Berbasis Peer to Peer Lending Berdasarkan
Hukum Positif di Indonesia ................................................................... 57

B. Upaya Yang Dapat Dilakukan Konsumen Bila Terjadi Sengketa. ........ 61

x
BAB IV PENUTUP ............................................................................................. 69
A. Kesimpulan ........................................................................................... 69

B. Saran ..................................................................................................... 71

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 72


LAMPIRAN

xi
xii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sistem keuangan pada dasarnya adalah tatanan dalam perekonomian suatu

negara yang memiliki peran, terutama dalam menyediakan fasilitas jasa-jasa

di bidang keuangan oleh lembaga-lembaga keuangan dan lembaga-lembaga


1
penunjang lainnya. Sistem keuangan berfungsi sebagai fasilitator

perdagangan domestik dan internasional, mobilisasi simpanan menjadi

berbagai instrumen investasi dan menjadi perantara antara penabung dengan

pemberi pinjaman. Stabilitas dan pengembangan sistem keuangan sangat

penting agar masyarakat meyakini bahwa sistem keuangan Indonesia aman,

stabil, dan dapat memenuhi kebutuhan pengguna jasa keuangan. 2

Dewasa ini lembaga keuangan di Indonesia semakin berkembang sebagai

akibat dari laju pertumbuhan perekonomian dari perkembangan zaman. Hal

ini tampak pada semakin banyaknya variasi instrumen keuangan yang beredar

dalam sistem keuangan baik di bidang perbankan maupun di bidang non-

perbankan. Lembaga keungan yang merupakan lembaga perantara dari pihak

yang kelebihan dana (surplus of funds) dengan pihak yang kekurangan dana

(lack of funds) yang memiliki fungsi sebagai perantara keuangan masyarakat

1
Djoni S. Gazali, Rachmadi Usman, Hukum Perbankan, Sinar Grafika, Jakarta, 2016
2
Ibid, hlm.41

1
2

(financial intermediary). Lembaga keuangan, sebagaimana halnya suatu

lembaga atau institusi pada hakikatnya berada dan ada di tengah-tengah

masyarakat. Lembaga yang merupakan organ masyarakat merupakan

“sesuatu” yang keberadaannya adalah untuk memenuhi tugas sosial dan

kebutuhan khusus bagi masyarakat. Berbagai jenis lembaga ada dan dikenal

masyarakat yang masing-masing mempunyai maksud dan tujuan dari tiap

lembaga yang bersangkutan. 3

Perkembangan perekonomian Indonesia salah satunya adalah bertopang

pada sektor perbankan yang ada di Indonesia. Keberadaan bank yang

bertujuan untuk menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka

meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional ke

arah peningkatan taraf hidup rakyat banyak.4 Bank adalah sebagai salah satu

lembaga keuangan yang fungsi utamanya sebagai penghimpun dana dan

menyalurkan dana masyarakat. 5 Akan tetapi, timbul permasalahan terhadap

pemerataan layanan perbankan di Indonesia dalam melaksankan tugasnya

untuk meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Hal ini terjadi karena

berdasarkan letak geogarfis Indonesia yang merupakan negara kepulauan.

Jangkauan masyarakat terhadap layanan perbankan menjadi sulit karena

perbankan itu sendiri tidak merata. Layanan perbankan hanya tertumpuk di

pusat kota saja, kurang menyentuh masyarakat yang ada di pelosok daerah.

3
Neni Sri Imaniyati, Pengantar Hukum Perbankan di Indonesia, Reika Aditama,
Bandung, 2010, hlm. 2.
4
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
5
Djoni S. Gazali, Rachmadi Usman, Op.cit, hlm. 1.

2
3

Hal inilah yang menyebabkan kesenjangan kesejahteraan di Indonesia akibat

tidak meratanya pembangunan perekonomian nasional. Sulitnya sebagian

besar masyarakat daerah untuk mendapatkan layanan perbankan

menjadikannya fakta mengenai tingginya jumlah penduduk yang belum

tersentuh layanan perbankan (unbanked people).6

Kondisi demikian terutama terjadi di negara-negara berkembang. Di

Indonesia, angka warga negara usia dewasa baik yang belum mengenal,

menggunakan, atau memiliki akses pada layanan perbankan tergolong masih

tinggi.7 Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat di

era digital saat ini telah mempengaruhi pola perilaku manusia dalam

mengakses beragam informasi dan berbagai fitur layanan elektronik. Salah

satu perkembangan teknologi yang menjadi bahan kajian terkini di Indonesia

adalah Teknologi Finansial atau Financial Technology (Fintech) dalam

6
Secara global tercatat lebih dari dua miliar orang dewasa di seluruh dunia tergolong
ke dalam unbanked people. Sekitar sepuluh persen (10%) dari 2,5 miliar orang di dunia
hidup dengan pendapatan kurang dari 2 USD per hari tidak memiliki akses terhadap layanan
keuangan apapun. Lihat: Timothy R. Lyman, Gautam Ivatury, and Stefan Staschen, “Use of
Agents in Branchless Banking for the Poor: Rewards, Risk and Regulation”, The
Consultative Group to Assist the Poor, Focus Note Number 38, October 2008,
http://www.cgap.org, Akses 17/01/2019, Pukul 11.45 WIB.
7
Lembaga riset Sharing Vision mencatat sebanyak 68 persen dari 246,9 juta
penduduk Indonesia belum memiliki rekening Bank. Dari jumlah tersebut 80 persen
penduduk berusia 15 tahun ke atas belum tersentuh layanan perbankan sementara 52 persen
rumah tangga belum memiliki simpanan pada lembaga keuangan formal. Berdasarkan
Global Financial Inclusion Index 2011 yang dirilis oleh Bank Dunia tercatat bahwa jumlah
penduduk Indonesia usia dewasa yang memiliki rekening pada lembaga keuangan formal
hanya berjumlah 20 persen. Jumlah ini masih jauh tertinggal apabila dibandingkan dengan
negara tetangga seperti Malaysia (66,7%), Thailand (77,7%) dan Filipina (26,5%). Lihat:
ILO, “Financial Inclusion Development Policy in Indonesia”,http://www.ilo.org, Akses
26/12/2018, Pukul 21.00 WIB.
4

lembaga keuangan terobosan.8 Fintech sebagai baru memberikan kemudahan

akses bagi seluruh lapisan masyarakat, oleh sebab itu pada dasarnya Fintech

dapat diterima dengan baik oleh masyarakat di Indonesia. Seiring dengan

perkembangan masa di era globalisasi ini, apapun aktivitas masyarakat tidak

akan terlepas dari bantuan teknologi. Begitu pula pada lembaga keuangan

yang kini mulai bergeser pada lembaga keuangan berbasis teknologi. Salah

satu kemajuan dalam bidang keuangan saat ini adanya adaptasi Fintech

(Financial Technology).

Fintech itu sendiri berasal dari istilah Financial Technology atau teknologi

finansial. Menurut The National Digital Research Centre (NDRC), Fintech

merupakan suatu inovasi pada sektor finansial. Tentunya, inovasi finansial ini

mendapat sentuhan teknologi modern. Di Indonesia fintech dikenal dengan

istilah Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi Pada

Pasal 1 Angka 3 POJK 77/POJK.01/2016 menyebutkan bahwa Layanan

Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (fintech) adalah

penyelenggaraan layanan jasa keuangan untuk mempertemukan pemberi

pinjaman dengan penerima pinjaman dalam rangka melakukan perjanjian

pinjam meminjam dalam mata uang rupiah secara langsung melalui sistem

elektronik dengan menggunakan jaringan internet. Keberadaan Fintech dapat

8
Imanuel Aditya Wulanata Chrismastianto, “Analisis SWOT Implementasi
Teknologi Finansial Terhadap Kualitas Layanan Perbankan di Indonesia”, Jurnal Ekonomi
dan Bisnis, Vol.20, Edisi 1, Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pelita Harapan
Tanggerang, 2017, hlm. 133.
5

mendatangkan proses transaksi keuangan yang lebih praktis dan aman. 9

Bentuk dasar Fintech antara lain Pembayaran (digital wallets, P2P payments),

Investasi (equity crowdfunding, Peer to Peer Lending), Pembiayaan

(crowdfunding, micro loans, credit facilities), Asuransi (risk management),

Lintas – proses (big data analysis, predicitive modeling), Infrastruktur

(security).10

Sedangkan Peer to Peer (P2P) Lending adalah startup yang menyediakan

platform pinjaman secara online. Urusan permodalan yang sering dianggap

bagian paling vital untuk membuka usaha, melahirkan ide banyak pihak untuk

mendirikan startup jenis ini. Dengan demikian, bagi orang-orang yang

membutuhkan dana untuk membuka atau mengembangkan usahanya,

sekarang ini dapat menggunakan jasa startup yang bergerak di bidang P2P

Lending.11

Sesuai dengan judul penelitian maka peneliti mengambil bentuk mengenai

Peer to Peer Lending atau mengenai layanan pinjam meminjam uang berbasis

teknologi informasi, yang dalam hal ini semakin mendapatkan perhatian

publik dan regulator yakni Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia.

Hal tersebut tertuang dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor

9
Fauziah Hadi, Penerapan Financial Technology (Fintech) sebagai Inovasi
Pengembangan Keuangan Digital di Indonesia, terdapat dalam
http://temilnas16.forsebi.org/penerapanfinancial-technology-Fintech-sebagai-inovasi-
pengembangan-keuangan-digital-di-indonesia/,Akses 26/12/2018, Pukul 19.00 WIB.
10
Nofie Iman, Financial Technology dan Lembaga Keuangan, Gathering Mitra
Linkage Bank Syariah Mandiri, Yogyakarta, 2016, hlm. 6
11
https://www.duniafintech.com/pengertian-dan-jenis-startup-fintech-di-indonesia/,
Akses Tanggal 10/03/2018, Pukul 20.05 WIB.
6

77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis

Teknologi Informasi. Para pihak dalam layanan Fintech berbasis P2P Lending

ini terdiri dari Penyelenggara layanan pinjam meminjam berbasis teknologi

informasi, Pemberi Pinjaman, dan Penerima Pinjaman. Dalam hal ini peneliti

membatasi Penerima Pinjaman dalam batas Penerima Pinjaman perseorangan

bukan Penerima Pinjaman badan hukum. Mekanismenya, sistem dari

Penyelenggara Fintech akan mempertemukan pihak peminjam dengan pihak

yang memberikan pinjaman. Jadi, boleh dikatakan bahwa dalam layanan

Fintech berbasis P2P Lending merupakan marketplace untuk kegiatan pinjam-

meminjam uang secara online.

Namun sangat dikhawatirkan bahwa untuk saat ini sampai dengan 21

Desember 2018, total jumlah penyelenggara Fintech terdaftar dan berizin

adalah hanya sebanyak 88 perusahaan.12 Sedangkan berdasarkan data yang

peneliti peroleh dari www.cnnindonesia.com jumlah Fintech illegal mencapai

404 yang saat ini telah dihentikan oleh ojk, belum lagi Fintech baru yang

belum terdeteksi. Tentunya hal tersebut meresahkan masyarakat terutama

masyarakat awam yang mudah terbuai bujuk rayu persyaratan mudah oleh

Fintech illegal tersebut tanpa mengetahui resikonya.

Pentingnya perlindungan hukum khususnya bagi Penerima Pinjaman dalam

keberlangsungan dunia bisnis dan investasi adalah sebagai bentuk kepastian

12
https://www.ojk.go.id/id/berita-dan-kegiatan/publikasi/Pages/Penyelenggara-
Fintech Terdaftar-di-OJK-per-Desember-2018.aspx . Akses 20/01/2019, Pukul 21.36 WIB.
7

hukum bagi penggunanya. Untuk itu peneliti bermaksud melakukan sebuah

penelitian hukum dengan judul “Perlindungan Hukum Terhadap

Konsumen Financial Technology Berbasis Peer to Peer Lending

Berdasarkan Hukum Positif di Indonesia”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah penulis uraikan di atas, maka

rumusan masalah pada skripsi ini adalah

1. Bagaimana perlindungan hukum terhadap konsumen Financial


Technology berbasis Peer to Peer Lending berdasarkan hukum positif di
Indonesia.
2. Upaya apa yang dapat dilakukan konsumen bila terjadi sengketa.

C. Tujuan Penelitian

Sebagaimana rumusan masalah diatas maka untuk menindak lanjuti

masalah yang telah ditetapkan diatas, maka tujuan dari penelitian ini adalah

1. Untuk mengetahui dan menganalisis perlindungan hukum terhadap


konsumen Financial Technology berbasis Peer to Peer Lending
berdasarkan hukum positif di Indonesia.
2. Untuk mengetahui dan menganalisis upaya yang dapat dilakukan
konsumen bila terjadi sengketa.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Secara Teoritis:

a. Bagi penulis diharapkan dapat menambah dan memberikan wawasan

ilmu pengetahuan di bidang hukum perdata terkait Perlindungan


8

Hukum Terhadap Konsumen Financial Technology Berbasis Peer to

Peer Lending Berdasarkan Hukum Positif di Indonesia.

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan upaya penyelesaian

atas permasalahan yang berkaitan dengan penelitian dan dapat juga

dijadikan sebagai referensi atau sumber kepustakaan dalam penelitian

berikutnya.

2. Manfaat Secara Praktis :

a. Bagi masyarakat awam pada umumnya, dan juga mahasiswa fakultas

hukum Universitas Sriwijaya di bidang hukum perdata diharapkan

dapat dijadikan referensi, bahan bacaan, dan memberikan sumbangan

ilmu pengetahuan, khususnya tentang Perlindungan Hukum Terhadap

Konsumen Financial Technology Berbasis Peer to Peer Lending

Berdasarkan Hukum Positif di Indonesia.

b. Bagi Instansi terkait diharapkan dapat memberikan upaya penyelesaian

atas permasalahan yang berkaitan dengan penelitian dan dapat juga

dijadikan sebagai referensi oleh instansi terkait.

E. Ruang Lingkup Permasalahan

Dalam hal ini peneliti membatasi Penerima Pinjaman dalam batas

Penerima Pinjaman perseorangan bukan Penerima Pinjaman badan hukum

serta mengetahui bagaimana Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen


9

Financial Technology Berbasis Peer to Peer Lending Berdasarkan Hukum

Positif di Indonesia.

F. Kerangka Teoritis

Kerangka teori merupakan landasan teori atau dasar pemikiran dalam

menyusun sebuah penelitian. Kerangka teori digunakan untuk membantu

penulis dalam menentukan arah dan tujuan penelitian, serta sebagai dasar

penelitian agar langkah yang ditempuh selanjutnya dapat jelas dan konsisten.13

Adapun teori-teori yang digunakan penulis untuk menjawab segala

permasalahan dalam penelitian ini adalah :

1. Teori Perlindungan Hukum

Indonesia sebagai negara yang menegakkan supermasi hukum untuk

menegakkan kebenaran dan keadilan serta tidak ada kekuasaan yang tidak

dipertanggungjawabkan, sehingga Indonesia disebut sebagai negara hukum.

Hal ini tertuang pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Kesatuan

Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan bahwa “Indonesia adalah

negara hukum”. Negara hukum adalah negara yang berdiri di atas hukum yang

menjamin keadilan bagi warga negaranya, maka keadilan menjadi syarat

terpenting bagi terciptanya kebahagiaan hidup bagi warga negaranya dan

sebagai dasar bagi keadilan itu sendiri perlu diajarkan rasa susila kepada

setiap manusia agar menjadi warga negara yang baik. Demikian pula

13
Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia,
1990, hlm. 65.
10

peraturan hukum itu mencerminkan keadilan bagi pergaulan hidup antar

warga negaranya.14

Menurut Fitzgerald sebagaimana dikutip Satjipto Raharjo awal mula dari

munculnya teori perlindungan hukum ini bersumber dari teori hukum alam

atau aliran hukum alam. Aliran ini dipelopori oleh Plato, Aristoteles (murid

Plato), dan Zeno (pendiri aliran Stoic). Menurut aliran hukum alam

menyebutkan bahwa hukum itu bersumber dari Tuhan yang bersifat universal

dan abadi, serta antara hukum dan moral tidak boleh dipisahkan. Para

penganut aliran ini memandang bahwa hukum dan moral adalah cerminan dan

aturan secara internal dan eksternal dari kehidupan manusia yang diwujudkan

melalui hukum dan moral.15

Menurut Satijipto Raharjo, perlindungan hukum adalah memberikan

pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan orang lain

dan perlindungan itu di berikan kepada masyarakat agar dapat menikmati

semua hak-hak yang diberikan oleh hukum. Hukum dapat difungsikan untuk

mewujudkan perlindungan yang sifatnya tidak sekedar adaptif dan fleksibel,

melainkan juga prediktif dan antisipatif. Hukum dibutuhkan untuk mereka

yang lemah dan belum kuat secara sosial, ekonomi dan politik untuk

memperoleh keadilan sosial.16

14
Moh. Kusnadi dan Harmaily Ibrahim. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta:
Sinar Bakti. 1998. hlm. 153.
15
Satjipto Raharjo. Ilmu Hukum. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. 2000, hlm.53.
16
Ibid. hlm. 55
11

Menurut Philipus M. Hadjon berpendapat bahwa Perlindungan Hukum

adalah perlindungan akan harkat dan martabat, serta pengakuan terhadap hak-

hak asasi manusia yang dimiliki oleh subyek hukum berdasarkan ketentuan
17
hukum dari kesewenangan. Sedangkan pendapat Hetty Hasanah,

perlindungan hukum yaitu merupakan segala upaya yang dapat menjamin

adanya kepastian hukum. Kepastian hukum dapat memberikan perlindungan

hukum kepada pihak-pihak yang bersangkutan atau yang melakukan tindakan

hukum.18

Perlindungan hukum merupakan perlindungan yang diberikan kepada

subyek hukum sesuai dengan aturan hukum, bentuk perlindungan hukum yang

diberikan oleh suatu negara memiliki dua sifat, yaitu bersifat pencegahan

(prohibited) dan bersifat hukuman (sanction).19 Dari pengertian perlindungan

hukum diatas dapat kita bagi menjadi dua bagian. Yang pertama perlindungan

hukum secara preventif, merupakan suatu tindakan pengendalian sosial yang

dilakukan untuk mencegah atau mengurangi kemungkinan terjadinya hal-hal

yang tidak diinginkan di masa mendatang. Tindakan preventif (pencegahan)

dilakukan manusia, baik secara pribadi maupun berkelompok untuk

melindungi diri mereka dari hal buruk yang mungkin terjadi.

17
Philipus M. Hadjon, Perlindungan Bagi Rakyat di Indonesia, Surabaya: PT.Bina
Ilmu,1987, hlm. 1-2
18
Hetty Hasanah. Perlindungan Konsumen dalam Perjanjian Pembiayaan,
Konsumen atas Kendaraan Bermotor dengan Fiducia, dari
http://jurnal.unikom.ac.id/vol3/perlindungan.html., Akses 04/02/2018, Pukul 08.00 WIB.
19
Rafael La Porta, Investor Protection and Corporate Governance, Jurnal of
Financial Economics, No. 58, 1999, hlm.9.
12

Hubungannya adalah Perlindungan hukum secara preventif diharapkan

dapat mewujudkan salah satu tujuan hukum yaitu kepastian hukum baik bagi

konsumen, pemberi pinjaman dan penyelenggara perusahaan fintech secara

Peer to Peer Lending. Dengan begitu mengurangi kemungkinan terjadinya hal

yang tak diinginkan, maka umumnya tindakan preventif biayanya lebih murah

ketimbang biaya penanggulangan atau mengurangi dampak dari suatu

peristiwa buruk yang sudah terjadi.

Yang kedua adalah perlindungan hukum secara represif, dimana suatu

tindakan pengendalian sosial dilakukan setelah terjadinya suatu pelanggaran

atau peristiwa buruk. Dengan kata lain, tindakan dilakukan setelah peristiwa

terjadi, misalnya pelanggaran. Tindakan represif dapat dilakukan dengan dua

cara, yaitu dengan cara persuasif dan koersif. Persuasif yang bentuk

pengendalian sosialnya dilakukan dengan cara membujuk atau mengarahkan

individu atau masyarakat agar mematuhi nilai-nilai dan norma yang berlaku.

Hal ini dilakukan dengan cara sosialisasi dan pengarahan sehingga hasil dari

pada itu diharapkan konsumen dapat lebih bijak dalam melakukan pinjaman

secara Peer to Peer Lending. Sedangkan untuk koersif bentuk pengendalian

sosial yang sifatnya keras dan tegas. Dengan kata lain, tindakan yang

dilakukan untuk mengendalikan sosial adalah dengan cara kekerasan dan

memberikan sanksi tegas. Dengan begitu tindakan koersif ini dapat menindak

secara tegas setiap pelanggaran dalam Peer to Peer Lending dan memberikan
13

kepastian hukum terhadap konsumen Financial Technology yang melakukan

pinjaman secara Peer to Peer Lending.

Dari uraian para ahli diatas memberikan pemahaman bahwa

hubungan antara teori perlindungan hukum dengan permasalahan diatas

bahwa perlindungan hukum merupakan gambaran dari bekerjanya fungsi

hukum untuk mewujudkan tujuan-tujuan hukum, yakni keadilan, kemanfaatan

dan kepastian hukum. Ringkasnya adalah preventif yakni suatu upaya

pencegahan sebelum terjadi sengketa maupun dalam bentuk yang bersifat

represif berupa upaya yang dapat dilakukan pada saat terjadi sengketa dalam

rangka menegakkan peraturan hukum, dengan begitu hak dari pada konsumen

dapat terpenuhi.

G. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian yuridis-normatif yaitu penelitian hukum

yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang menggunakan objek

kajian penulisan berupa pustaka-pustaka yang ada, baik berupa buku-buku,

majalah, dan peraturan-peraturan yang mempunyai korelasi terhadap

pembahasan masalah, sehingga penulisan ini juga bersifat penulisan pustaka

(library research).20

2. Pendekatan Penelitian

20
Soerjono Soekanto. Penelitian Hukum Normatif. Jakarta: Rajawali Press. 1998,
hlm. 15.
14

Metode pendekatan yang digunakan yaitu pendekatan perudang-undangan.

Pendekatan Perundang-undangan atau statute approach adalah pendekatan

yang dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang

bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditanganI. 21 Hal ini dilakukan

dengan menelaah peraturan dan regulasi yang berkaitan dengan isu hukum

yang ditangani, yaitu dengan mengkaji permasalahan dari segi hukum yang

terdapat dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan serta dari pustaka yang

relevan dengan pokok bahasan.

3. Sumber Bahan-Bahan Hukum

Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang

berupa bahan-bahan hukum yang terdiri dari:

a. Bahan Hukum Primer, adalah bahan yang isinya bersifat mengikat karena

dikeluarkan oleh pemerintah. Dalam penelitian ini terdiri dari:

1. Undang-Undang:
a. Undang-Undang Dasar 1945;
b. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan;
c. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik;
d. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa
Keuangan;

2. Peraturan lain :

21
Peter Mahmud Marzuki. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2009, hlm. 93.
15

a. POJK Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam


Berbasis Teknologi Informasi;
b. Bahan Hukum Sekunder, adalah bahan hukum yang bersifat menjelaskan

atau membahas bahan hukum primer, yang terdiri dari buku-buku literatur,

jurnal, hasil penelitian dan karya ilmiah lainnya yang berhubungan dengan

penelitian ini.

c. Bahan Hukum Tersier, adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan

terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yang terdiri dari

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Inggris-Indonesia.

4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini melalui studi pustaka dan

studi dokumen, yaitu pengumpulan bahan hukum dengan mengkaji, menelaah

dan mempelajari jurnal, hasil penelitian hukum dan mengkaji berbagai

dokumen resmi institusional yang berupa peraturan perundang-undangan,

risalah sidang dan literatur yang berhubungan dengan permasalahan

penelitian.

5. Teknik Analisis Bahan-Bahan Hukum

Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

penelitian bersifat deskriptif analitis, analisis data yang dipergunakan adalah

pendekatan kualitatif terhadap data sekunder. 22 Data sekunder yang akan

22
Zainuddin. Metode Penelitian Hukum. cetakan kelima. Jakarta: Sinar Grafika, 2014.
hlm.107.
16

digunakan berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan

hukum tersier.

6. Teknik Penarikan Kesimpulan

Penarikan kesimpulan yang digunakan merupakan hasil akhir penelitian

disusun sesuai dengan tujuan penelitian. Kesimpulan yang dimaksud

merupakan jawaban atas perumusan masalah atau dalam pertanyaan penelitian

yang dikemukakan secara singkat dan padat tentang kebenaran dari

penelitian.23 Kesimpulan yang diambil dengan menggunakan metode deduktif

yaitu dengan cara menarik kesimpulan dari data-data yang bersifat umum ke

data-data yang bersifat khusus.24

23
Beni Achmad Saehani, Metode Penelitian Hukum, Bandung: Pustaka Setia, 2008,
hlm. 93.
24
Peter Mahmud Marzuki, Op. Cit., hlm. 202.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum tentang Financial Technology

1. Pengertian Financial Technology


Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat di era

digital saat ini telah mempengaruhi pola perilaku manusia dalam mengakses

beragam informasi dan berbagai fitur layanan elektronik. Salah satu

perkembangan teknologi yang menjadi bahan kajian terkini di Indonesia adalah

Teknologi Finansial atau Financial Technology (Fintech) dalam lembaga

keuangan.25 Fintech sebagai terobosan baru memberikan kemudahan akses bagi

seluruh lapisan masyarakat, oleh sebab itu pada dasarnya Fintech dapat

diterima dengan baik oleh masyarakat di Indonesia.

Sebuah inovasi berhasil mentransformasikan suatu sistem atau pasar dengan

memperkenalkan kepraktisan, kemudahan akses, kenyamanan, dan biaya yang

ekonomis. Hal demikian disebut sebagai Inovasi Disruptif (Disrutive

Innovation). Inovasi Disruptif ini biasanya mengambil segmen pasar tertentu

yang kurang diminati atau dianggap kurang penting bagi penguasa pasar,

namun inovasinya menyediakan layanan keuangan dengan memanfaatkan

perangkat lunak dan teknologi modern. Di Indonesia Fintech dikenal dengan

istilah Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi.

25
Imanuel Aditya Wulanata Chrismastianto, “Analisis SWOT Implementasi
Teknologi Finansial Terhadap Kualitas Layanan Perbankan di Indonesia”, Jurnal Ekonomi
dan Bisnis, Vol.20, Edisi 1, Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pelita Harapan
Tanggerang, 2017, hlm. 133.

17
18

Mengenai Fintech telah diatur pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor

77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis

Teknologi Informasi. Pada Pasal 1 Angka 3 POJK 77/POJK.01/2016

menyebutkan bahwa Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi

Informasi (Fintech) adalah penyelenggaraan layanan jasa keuangan untuk

mempertemukan pemberi pinjaman dengan penerima pinjaman dalam rangka

melakukan perjanjian pinjam meminjam dalam mata uang rupiah secara

langsung melalui sistem elektronik dengan menggunakan jaringan internet.

Menurut Bank Indonesia definisi mengenai Financial Tecnology (Teknologi

Finansial) diatur pada Pasal 1 Angka 1 Peraturan Bank Indonesia Nomor

19/12/PBI/2017 Tentang Penyelenggaraan Teknologi Finansial bahwa

Teknologi Finansial adalah pengguna teknologi dalam sistem keuangan yang

menghasilkan produk layanan, teknologi, dan/atau model bisnis baru serta dapat

berdampak pada stabilitas moneter, stabilitas sistem keuangan, dan/atau

efisiensi, kelancaran, keamanan, dan keandalan sistem pembayaran.

2. Fungsi Financial Technology


Akses masyarakat pada keuangan, terutama layanan perbankan di Indonesia

sudah lama menjadi isu penting yang menjadi perhatian para pemangku

kepentingan. Menurut survei The World Bank/Bank Dunia, yang dilansir Bisnis

Indonesia pada Mei 2017 baru 37% penduduk dewasa Indonesia memiliki

rekening bank. Sementara sebesar 27% penduduk dewasa Indonesia memiliki

simpanan formal dan 13% memiliki pinjaman formal. Artinya, sebanyak 63%
19

warga Indonesia belum dapat menikmati fasilitas keuangan termasuk

perbankan. Melalui Strategi Nasional Keuangan lnklusif (SNKI), pemerintah

pun menargetkan peningkatan rasio masyarakat pengakses layanan bank

menjadi 79% pada 2019.26

Berdasarkan hasil survei Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terbaru yang dirilis

awal tahun 2018, indeks literasi keuangan Indonesia baru sebesar 31%. Masih

jauh di bawah indeks literasi keuangan negeri jiran Malaysia yang mencapai

65% apalagi Singapura yang telah mencapai indeks 98%. Indeks literasi

keuangan sendiri merupakan indeks yang mengukur tingkat pemahaman dan

keyakinan masyarakat terhadap keuangan. Mulai dari memanfaatkan produk

keuangan dan pemahaman atas risiko.

Gurita jaringan bank di Indonesia juga masih terbatas di kota-kota besar.

Tercatat, penetrasi kantor bank di Indonesia baru ada satu kantor bank

dibanding 100.000 jumlah penduduk. Angka tersebut hanya seperenam bila

dibandingkan dengan Eropa. Bahkan bila dibandingkan dengan negeri Jiran

Malaysia, penetrasi bank di Indonesia juga masih kalah. Rasio kantor bank di

Malaysia sudah mencapai 10,7 bank dibanding 100.000 jumlah penduduk.27

Kehadiran fisik perbankan yang masih relatif rendah ini pada akhirnya

mempengaruhi pula tingkat akses masyarakat terhadap beragam jenis layanan

26
https://www.awantunai.com/single-post/2017/07/17/Tidak-Ada-Lagi-Hambatan-
AksesFinansial-Fintech-Dapat-Menolong-Anda-1, Akses Tanggal 23/01/2019, Pukul 22.01
WIB.
27
Ibid
20

perbankan, termasuk layanan pinjaman. Ketatnya perbankan dalam menyeleksi

peminjam, ditambah tingkat kemelekan finansial (financial literacy)

masyarakat Indonesia yang masih rendah, menjadikan layanan pinjaman yang

ditawarkan oleh perbankan di Indonesia belum sepenuhnya mampu dijangkau

oleh seluruh lapisan masyarakat. Hal tersebut menyebabkan banyak kalangan

masyarakat yang membutuhkan pinjaman modal ataupun pinjaman untuk

kebutuhan pribadi akhirnya terjerat tawaran para lintah darat atau rentenir. Para

rentenir ini menawarkan pinjaman dengan bunga mencekik dan tanpa skema

pinjaman yang jelas.

Berangkat dari hal tersebut, perlahan tapi pasti kemudian menemukan

solusi. Dalam mengatasi masalah-masalah tersebut banyak jalan keluar strategis

yang bermunculan. Misalnya, program Laku Pandai yang digagas oleh Otoritas

Jasa Keuangan. Ini adalah sebuah program penyediakan layanan bank atau

keuangan lain melalui kerja sama dengan agen bank yang didukung dengan

pemakaian teknologi informasi. Yang paling menarik perhatian adalah

kehadiran Fintech atau Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi

Informasi.

Kehadiran layanan teknologi finansial atau Financial Technology (Fintech),

memberikan angin segar bagi masyarakat di Indonesia. Menurut Bank

Indonesia, Fintech merupakan perpaduan antara teknologi dengan fitur

keuangan yang mengubah model bisnis dan memangkas segala hambatan dalam

akses (barrier to entry). Kehadiran Fintech dengan produk keuangan yang lebih
21

sederhana dan pemanfaatan teknologi dalam operasional layanan, dapat

menjadi solusi terbaik hambatan akses finansial di Indonesia. Sebagai

perbandingan, untuk menyalurkan sebuah pinjaman, sebuah bank menempuh

berbagai tahapan proses yang cukup panjang dan kesemuanya membutuhkan

biaya tidak kecil. Mulai dari menyeleksi profil calon peminjam, apakah proses

seleksi dokumen identitas, pengecekan agunan, dan lain sebagainya, hingga

mengirimkan orang untuk mengingatkan si peminjam akan tagihan mereka.

Pada Fintech, proses-proses yang ditempuh oleh bank dalam menentukan

calon peminjam yang dianggap layak, kesemuanya dapat dijalankan dengan

lebih murah, cepat dan mudah dengan bantuan teknologi. Sebagai contoh,

kehadiran ponsel pintar yang telah dilengkapi dengan kamera dan akses internet

calon peminjam yang dapat menjadi sumber data berguna. Dengan kamera

ponsel, calon peminjam dapat memanfaatkannya untuk mengambil gambar diri

(selfie) untuk kelengkapan verifikasi identitas, nomor ponsel juga dapat

menjadi salah satu sumber informasi untuk memverifikasi identitas peminjam

sebenarnya.

Melalui proses lebih efektif didukung pemanfaatan teknologi, pinjaman

yang diberikan juga lebih murah. Dan yang terpenting, pinjaman dapat diakses

oleh siapa saja yang dinilai layak meskipun selama ini belum pernah tersentuh

oleh layanan perbankan. Kehadiran Fintech yang menonjolkan kemudahan dan

efektivitas proses pemberian pinjaman pada akhirnya juga menjadi solusi

penting terhadap permasalahan yang timbul akibat keberadaan rentenir di


22

tengah masyarakat. Tawaran pinjaman dana oleh Fintech jauh lebih transparan

skema bunganya terlebih dengan pemanfaatan teknologi yang memudahkan

aksesibilitas pinjaman maupun proses pembayaran pinjaman. Nilai lebih

Fintech terlebih dengan booming e-commerce di Indonesia yang melahirkan

banyak pemain usaha baru. Nilai transaksi online di Indonesia pada tahun 2016

mencapai US$ 14,8 miliar. Angka itu diprediksi bakal meningkat menjadi US$

130 miliar pada tahun 2020, merujuk pada target pemerintah RI dalam E-

Commerce Roadmap.28

Di sisi lain, menurut data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) masih ada kurang

lebih 49 juta pelaku Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) yang sejauh

ini tidak bankable. Sementara nilai kebutuhan kredit atau pinjaman mencapai

kurang lebih Rp 988 triliun.29 Kelompok ini tentu saja sangat membutuhkan

akses pinjaman modal yang mudah akan tetapi juga ekonomis. Hal demikian

membuat kehadiran Fintech sangat dibutuhkan dan mulai banyak bermunculan

dengan tawaran kemudahan akses pinjaman pada seluruh lapisan masyarakat.

3. Jenis Financial Technology


Perusahaan-perusahaan rintisan (startup) yang bermunculan di Indonesia

memiliki karateristis tersendiri dalam menjalan jenis bisnis yang dijalankan

28
Ibid
29
https://www.duniafintech.com/pengertian-dan-jenis-startup-fintech-di-indonesia/,
Akses Tanggal 11/03/2019, Pukul 20.19 WIB
23

yang berbasis Financial Technology. Berikut penggolongan jenis Financial

Technology:30

a. Management Asset
Kesibukan operasional perusahaan, seperti penggajian, pengelolaan

karyawan, sistem pembiayaan, dan lain-lain. Sekarang banyak startup yang

melihat hal itu sebagai peluang untuk membuka bidang usaha. Jojonomic

misalnya, salah satu jenis startup yang bergerak dibidang manajemen aset.

Perusahaan ini menyediakan platform Expense Management System untuk

membantu berjalannya sebuah usaha lebih praktis dan efisien. Dengan

adanya startup seperti Jojonomic ini, masyarakat Indonesia dapat lebih

paperless, karena semua rekapan pergantian biaya yang semula dilakukan

manual, cukup dilakukan melalui aplikasi untuk persetujuan pergantian

biaya tersebut.

b. Crowd funding
Crowd funding adalah startup yang menyediakan platform

penggalangan dana untuk disalurkan kembali kepada orang-orang yang

membutuhkan. Seperti korban bencana alam, korban perang, mendanai

pembuatan karya, dan sebagainya. Penggalangan dana tersebut dilakukan

secara online. Salah satu contoh startup Crowd funding terbesar adalah

Kitabisa.com. Startup ini diciptakan sebagai wadah agar dapat membantu

sesama dengan cara yang lebih mudah, aman, dan efisien.

30
https://www.duniafintech.com/pengertian-dan-jenis-startup-fintech-di-indonesia/,
Akses Tanggal 11/03/2019, Pukul 20.19 WIB
24

c. E-Money
E-Money atau uang elektronik, sebagaimana namanya, adalah uang

yang dikemas ke dalam dunia digital, sehingga dapat dikatakan dompet

elektronik. Uang ini umumnya dapat digunakan untuk berbelanja, membayar

tagihan, dan lain-lain melalui sebuah aplikasi. Salah satu dompet elektronik

itu adalah Doku. Doku merupakan sebuah aplikasi yang dapat dengan mudah

diunggah di smartphone. Doku dilengkapi dengan fitur link kartu kredit dan

uang elektronik atau cash wallet, yang dapat digunakan untuk berbelanja

baik secara online maupun offline kapan dan di mana saja melalui aplikasi

tersebut.

d. Insurance
Jenis startup yang bergerak di bidang insurance ini cukup menarik.

Karena biasanya asuransi yang selama ini merupakan asuransi konvensional,

di mana dengan mensisihkan sejumlah uang perbulan sebagai iuran wajib

untuk mendapatkan manfaat dari asuransi tersebut di masa depan. Jenis

asuransi startup tidak semua berjalan demikian. Ada pula startup asuransi

yang menyediakan layanan kepada penggunanya berupa informasi rumah

sakit terdekat, dokter terpercaya, referensi rumah sakit, dan sebagainya.

HiOscar.com adalah satu jeni startup seperti ini. Startup ini dibangun dengan

tujuan untuk memberikan cara yang sederhana, intuitif, dan proaktif dalam

membantu para pelanggannya menavigasi sistem kesehatan mereka. Startup

ini berkolaborasi dengan para provider atau dengan para dokter kelas dunia
25

dan rumah sakit terbaik yang ingin bekerja sama untuk membantu mengelola

kesehatan para anggotanya.

e. Peer to Peer Lending


Peer to peer (P2P) Lending adalah startup yang menyediakan platform

pinjaman secara online. Urusan permodalan yang sering dianggap bagian

paling vital untuk membuka usaha, melahirkan ide banyak pihak untuk

mendirikan startup jenis ini. Dengan demikian, bagi orang-orang yang

membutuhkan dana untuk membuka atau mengembangkan usahanya,

sekarang ini dapat menggunakan jasa startup yang bergerak di bidang p2p

lending. Adalah Uangteman.com salah satu contoh startup yang bergerak di

bidang ini. Startup ini bertujuan untuk memenuhi kebutuhan finansial

masyarakat dengan cara cukup mengisi formulir di website uangteman.com

dalam waktu sekitar 5 menit dan memenuhi persyaratannya.

f. Payment Gateway
Bertumbuhnya perusahaan e-commerce memicu pula semakin banyak

didirikannya startup yang menjadi jembatan penghubung antara e-commerce

dengan pelanggan, terutama dalam hal sistem pembayaran. Layanan yang

disediakan startup untuk e-commerce ini disebut dengan layanan payment

gateway. Payment gateway memungkinkan masyarakat memilih beragam

metode pembayaran berbasis digital (digital payment gateway) yang dikelola

oleh sejumlah startup. Dengan demikian akan meningkatkan volume

penjualan e-commerce. Payment gateway satu di antaranya adalah iPaymu.


26

g. Remittance
Remittance adalah jenis startup yang khusus menyediakan layanan

pengiriman uang antar negara. Banyak didirikannya startup remittance ini

dalam rangka membantu masyarakat yang tidak memiliki akun atau akses

perbankan. Adanya startup jenis ini sangat membantu para TKI atau siapa

saja yang mungkin salah satu anggota keluarganya berada di luar negeri,

karena proses pengiriman yang mudah dan biaya lebih murah. Di Singapura

misalnya, berdiri sebuah startup Fintech bernama SingX.

h. Securities
Saham, forex, reksadana, dan lain sebagainya merupakan investasi

yang sudah tidak asing lagi didengar. Securities dapat dikatakan sebagai

jenis startup yang menyediakan platform untuk berinvestasi saham secara

online. Contoh startupnya adalah Bareksa.com. Didirikan pada tanggal 17

Februari 2013 Bareksa.com adalah salah satu securities startup terintegrasi

pertama di Indonesia yang menyediakan platform untuk melakukan jual-beli

reksa dana secara online, memberikan layanan data, informasi, alat investasi

reksa dana, saham, obligasi, dan lain-lain.

B. Tinjauan Umum Peer to Peer Lending

1. Pengertian Peer to Peer Lending

Perkembangan dunia digital telah memberikan berbagai layanan yang

memudahkan bagi masyarakat salah satunya yaitu dengan kehadiran layanan

pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi atau Peer to Peer

Lending. Melalui Peer to Peer Lending ini, masyarakat yang memerlukan dana
27

dalam jumlah mikro dapat secara cepat mendapatkan pinjaman tanpa perlu

mengajukan kredit ke bank. Layanan pinjaman Peer to Peer Lending dapat

diakses oleh masyarakat melalui aplikasi pada gawai dua puluh empat jam

nonstop. Hal ini tentu berbeda dengan fasilitas kredit atau pembiayaan

perbankan dimana debitor yang memerlukan pinjaman harus mendatangi kantor

perbankan terkait dan harus menjalani proses antri sampai menandatangani

perjanjian kredit. Selain itu, pada layanan pinjam meminjam uang melalui Peer

to Peer Lending juga tidak mempersyaratkan adanya agunan yang tentu saja hal

ini berbeda dengan fasilitas kredit ataupun pembiayaan perbankan yang

biasanya mempersyaratkan adanya agunan.

Peer to Peer (P2P) Lending adalah startup yang menyediakan platform

pinjaman secara online. Urusan permodalan yang sering dianggap bagian paling

vital untuk membuka usaha, melahirkan ide banyak pihak untuk mendirikan

startup jenis ini. Dengan demikian, bagi orang-orang yang membutuhkan dana

untuk membuka atau mengembangkan usahanya, sekarang ini dapat

menggunakan jasa startup yang bergerak di bidang P2P Lending.31

Sedangkan berdasarkan POJK No. 77/POJK.01/2016 tentang Layanan

Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi adalah penyelenggaraan

layanan jasa keuangan untuk mempertemukan pemberi pinjaman dengan

31
https://www.duniafintech.com/pengertian-dan-jenis-startup-fintech-di-indonesia/,
Akses Tanggal 13/03/2019, Pukul 20.05 WIB.
28

penerima pinjaman dalam mata uang rupiah secara langsung melalui sistem

elektronik dengan menggunakan jaringan internet.32

2. Para Pihak Yang Terlibat Dalam Peer to Peer Lending


Berbeda dengan perjanjian pinjam meminjam uang sebagaimana diatur pada

Buku III KUHPerdata yang hanya melibatkan pihak pemberi pinjaman dan

pihak penerima pinjaman, dalam Peer to Peer Lending atau Layanan Pinjam

Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi melibatkan berbagai pihak

yaitu:

a. Penyelenggara
Pengertian penyelenggara layanan pinjam meminjam uang berbasis

teknologi informasi telah diatur dalam Pasal 1 angka 6 POJK No.

77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Berbasis Teknologi

Informasi. Penyelenggara dalam ketentuan tersebut adalah badan hukum

Indonesia yang menyediakan, mengelola, dan mengoperasikan layanan

pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi. Bentuk badan

hukum penyelenggara dapat berupa perseroan terbatas atau koperasi. 33

Berdasarkan ketentuan tersebut diatas, penyelenggara Peer to Peer

Lending haruslah badan hukum dan tidak dapat dilakukan oleh orang-

perorangan maupun kegiatan usaha non badan hukum seperti Maatschap,

Firma, ataupun CV.

32
Pasal 1 angka 3 POJK No. 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam
Uang Berbasis Teknologi Informasi
33
Pasal 2 ayat (2) POJK No. 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam
Berbasis Teknologi Informasi
29

Badan hukum yang dapat bertindak sebagai penyelenggara Peer to

Peer Lending hanyalah perseroan terbatas yang telah mendapatkan

pengesahan dari Kementerian Hukum dan HAM atau Koperasi. Ditinjau

dari kapasitas hukum, tentu badan hukum memiliki kedudukan yang lebih

baik jika dibandingkan dengan perusahaan non badan hukum mengingat

badan hukum merupakan subjek hukum atau pendukung hak dan

kewajiban yang dapat dimintai pertanggungjawaban atas nama badan

hukum tersebut. Dengan ketentuan ini pula jelas bahwa Yayasan maupun

badan hukum lainnya tidak dapat menjalankan kegiatan Peer to Peer

Lending. Persyaratan penyelenggara dalam bentuk badan hukum

perseroan terbatas atau koperasi ini telah sesuai dengan tujuan kepastian

hukum bagi para pihak dalam kegiatan usaha Peer to Peer Lending

dimana Peer to Peer Lending merupakan kegiatan usaha yang bersifat

mencari keuntungan (profit oriented) dan melibatkan banyak pihak.

b. Pemberi Pinjaman
Pemberi pinjaman sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 8 POJK

No. 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Berbasis

Teknologi Informasi adalah orang, badan hukum, dan/atau badan usaha

yang mempunyai piutang karena perjanjian layanan pinjam meminjam

uang berbasis teknologi informasi. Pemberi pinjaman dapat berasal dari

dalam dan / atau luar negeri. Pemberi pinjaman terdiri dari orang

perseorangan warga negara Indonesia, orang perserorangan warga negara


30

asing, badan hukum Indonesia/asing, dan/atau lembaga internasional. 34

Pemberi pinjaman dalam skema Peer to Peer Lending lebih luas jika

dibandingkan dengan penyelenggara Peer to Peer Lending. Dalam hal ini,

orang perorangan baik WNI maupun WNA dapat bertindak selaku pemberi

pinjaman. Hal yang perlu diperhatikan agar kegiatan usaha Peer to Peer

Lending memberikan kepastian hukum bagi para pihak yaitu diperlukan

pemberlakuan sistem “Know Your Customer” guna menghindari tindakan

pencucian uang.

c. Penerima Pinjaman
Penerima pinjaman sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 7 POJK

No. 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Berbasis

Teknologi Informasi adalah orang dan/atau badan hukum yang mempunyai

utang karena perjanjian layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi

informasi. Penerima pinjaman dalam sistem Peer to Peer Lending harus

berasal dan berdomisili diwilayah hukum Negara Kesatuan Republik

Indonesia. Penerima pinjaman dapat berupa orang perseorangan Warga

Negara Indonesia atau badan hukum Indonesia.35 Berdasarkan ketentuan di

atas, penerima pinjaman dalam Peer to Peer Lending bukanlah perorangan

WNA ataupun badan hukum asing. Namun, ketentuan tersebut belumlah

cukup mengingat dalam ketentuan tersebut hanya disebutkan bahwa

34
Pasal 16 POJK No. 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam
Berbasis Teknologi Informasi
35
Pasal 15 POJK No. 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam
Berbasis Teknologi Informasi
31

penerima pinjaman adalah pihak yang mempunyai utang tanpa

menyebutkan dengan siapa penerima pinjaman mengikatkan diri dalam

perjanjian utang-piutang atau pinjam meminjam. Hal ini seolah-olah

penerima pinjaman memiliki perjanjian pinjam meminjam dengan

penyelenggara Peer to Peer Lending dimana hal tersebut mirip dengan

kegiatan usaha perbankan dalam menerima dan menyalurkan dana ke

masyarakat.

d. Bank
Pasal 24 POJK No. 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam

Meminjam Berbasis Teknologi Informasi menentukan bahwa

penyelenggara wajib menggunakan escrow account dan virtual account

dalam rangka layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi

informasi. Selain itu, penyelenggara juga wajib menyediakan virtual

account bagi setiap pemberi pinjaman dan dalam rangka pelunasan

pinjaman, penerima pinjaman melakukan pembayaran melalui escrow

account penyelenggara untuk diteruskan ke virtual account pemberi

pinjaman. Escrow account adalah rekening yang dibuka secara khusus

untuk tujuan tertentu guna menampung dana yang dipercayakan kepada

Bank Indonesia berdasarkan persyaratan tertentu sesuai dengan perjanjian

tertulis.36 Virtual account adalah nomor identifikasi pelanggan perusahaan

(end user) yang dibuat oleh Bank untuk selanjutnya diberikan oleh

36
Penjelasan atas Peraturan Bank Indonesia No. 3/11/PBI/2001 tentang Perubahan
Atas Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia No. 2/24/PBI/2000 tentang Hubungan
Rekening Giro Antara Bank Indonesia dengan Pihak Ekstern
32

perusahaan kepada pelanggannya (perorangan maupun non perorangan)

sebagai identifikasi penerimaan (collection).37

Tujuan penggunaan virtual account dan escrow account dalam hal ini

yaitu larangan bagi penyelenggara dalam melakukan penghimpunan dana

masyarakat melalui rekening penyelenggara. Guna mendukung

penggunaan virtual account dan escrow account tersebut maka

penyelenggara harus bekerjasama dengan pihak bank.

e. Otoritas Jasa Keuangan (OJK)

Otoritas Jasa Keuangan adalah lembaga yang independen, yang

mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan,

pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-

Undang No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. OJK dalam

sistem pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi ini bertindak

selaku pemberi persetujuan pengajuan pendaftaran dan perizinan

penyelenggaraan sistem serta selaku pihak yang harus mendapatkan

laporan berkala atas penyelenggaraan sistem pinjam meminjam uang

berbasis teknologi informasi.

C. Tnjauan Umum Perjanjian Dalam Penyelenggaraan Financial Technology


Berbasis Peer to Peer Lending Di Indonesia

37
Mandiri Virtual Account. http://www.bankmandiri.co.id/article/commercial-
virtual-account.asp diakses pada tanggal 13 Maret 2019
33

Teknologi finansial (Fintech) berkembang dengan cepat dan mendorong

tumbuhnya berbagai layanan keuangan dengan basis teknologi informasi. Kegiatan

pinjam meminjam uang secara langsung berdasarkan perjanjian baik tertulis

maupun tidak tertulis merupakan praktik yang telah berlangsung di tengah

kehidupan masyarakat. Pinjam meminjam secara langsung banyak diminati oleh

pihak yang membutuhkan dana cepat atau pihak yang karena sesuatu hal tidak

dapat diberikan pendanaan oleh industri jasa keuangan konvensional seperti

Perbankan, Pasar Modal, atau Perusahaan Pembiayaan. Segala manfaat ekonomi,

kerugian yang ditimbulkan, serta dampak hukum dari kegiatan pinjam meminjam

yang dilakukan secara langsung sepenuhnya menjadi tanggung jawab para pihak

sesuai dengan kesepakatan yang telah diperjanjikan. Praktik dimaksud dinilai

masih terdapat banyak kelemahan yang diantaranya seperti pelaksanaan kegiatan

pinjam meminjam dilakukan oleh para pihak yang sudah saling mengenal dan

harus bertatap muka, subjektifitas terhadap penilaian risiko gagal bayar, kesulitan

dalam penagihan pembayaran, maupun tidak adanya sistemasi pencatatan

pelunasan pinjaman yang telah dilakukan.38

Dalam era perkembangan ekonomi digital, masyarakat terus mengembangkan

inovasi penyediaan layanan dalam kegiatan pinjam meminjam yang salah satunya

ditandai dengan adanya penyediaan Layanan Jasa Pinjam Meminjam Uang

Berbasis Teknologi Informasi yang dinilai turut berkontribusi terhadap

pembangunan dan perekonomian nasional. Layanan Pinjam Meminjam Uang

38
Bagian Umum Penjelasan Atas POJK Nomor 77/POJK.01/2016 Tentang Layanan
Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi, hlm. 1-2.
34

Berbasis Teknologi Informasi sangat membantu dalam meningkatkan akses

masyarakat terhadap produk jasa keuangan secara online baik dengan berbagai

pihak tanpa perlu saling mengenal. Keunggulan utama dari Layanan Pinjam

Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi antara lain tersedianya dokumen

perjanjian dalam bentuk elektronik secara online untuk keperluan para pihak,

tersedianya kuasa hukum untuk mempermudah transaksi secara online, penilaian

risiko terhadap para pihak secara online, pengiriman informasi tagihan (collection)

secara online, penyediaan informasi status pinjaman kepada para pihak secara

online, dan penyediaan escrow account dan virtual account di perbankan kepada

para pihak, sehingga seluruh pelaksanaan pembayaran dana berlangsung dalam

sistem perbankan. Atas hal ini, Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis

Teknologi Informasi dapat memenuhi kebutuhan dana tunai secara cepat, mudah,

dan efisien, serta meningkatkan daya saing. Selain itu, Layanan Pinjam Meminjam

Uang Berbasis Teknologi Informasi dapat menjadi salah satu solusi untuk

membantu pelaku usaha skala mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dalam

memperoleh akses pendanaan.39

Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi dikenal

dengan istilah Financial Technology berbasis Peer to Peer Lending. Peer to Peer

Lending (P2PL) adalah praktek atau metode memberikan pinjaman uang kepada

individu atau bisnis dan juga sebaliknya, mengajukan pinjaman kepada pemberi

pinjaman, yang menghubungkan antara pemberi pinjaman dengan penerima

39
Ibid
35

pinjaman secara online. Selain itu, memungkinkan setiap orang untuk memberikan

pinjaman atau mengajukan pinjaman yang satu dengan yang lain untuk berbagai

kepentingan tanpa menggunakan jasa dari lembaga keuangan konvensional (bank)

sebagai perantara. Pada dasarnya, sistem P2PL ini sangat mirip dengan konsep

marketplace online, yang menyediakan wadah sebagai tempat pertemuan antara

pembeli dengan penjual. Dalam hal P2PL ini, sistem yang ada akan

mempertemukan pihak peminjam dengan pihak yang memberikan pinjaman. Jadi,

boleh dikatakan bahwa P2PL merupakan marketplace untuk kegiatan pinjam

meminjam uang.40

Mekanisme Penyelenggaraan Financial Technology Berbasis Peer to Peer

Lending (P2PL) berbeda dengan perbankan. Peer to Peer Lending (P2PL) tidak

menghimpun dana dari masyarakat dalam menyalurkan pembiayaan. Peer to Peer

Lending (P2PL) juga berbeda dengan Perusahaan multifinance yang memberikan

pembiayaan secara langsung kepada debitur dengan menggunakan modal

perusahaan itu sendiri (balance sheet financing). Peer to Peer Lending (P2PL)

adalah aktivitas pembiayaan yang dilakukan secara online dalam sebuah wadah

yaitu melalui marketplace. Marketplace tersebut mempertemukan antara debitur

(penerima pinjaman) dengan kreditur (pemberi pinjaman). Pendapatan yang

diterima oleh Penyelenggara Peer to Peer Lending (P2PL) berasal dari fee dan

komisi yang diperoleh dari debitur (penerima pinjaman) dengan kreditur (pemberi

pinjaman) sehingga bukan dari pendapatan bunga.

40
https://koinworks.com/blog/ketahui-tentang-peer-peer-lending/, Akses 11/04/2019,
Pukul 21.10 WIB
36

Pada alur pinjam meminjam uang pada Bank Konvesional, bank bertindak

sebagai intermediasi keuangan antara deposan (kreditur) dengan debitur. Lembaga

intermediasi keuangan (financial intermediary) adalah kegiatan pengalihan dana

dari pihak yang kelebihan dana (unit ekonomi surplus) kepada pihak yang

kekurangan dana (unit ekonomi defisit). Baik pihak kelebihan dana (unit ekonomi

surplus) maupun pihak yang kekurangan dana (unit ekonomi defisit) dapat berupa

badan usaha, lembaga pemerintah, atau perorangan. 41 Pendapatan bank berasal

dari selisih antara bunga simpanan dengan bunga pinjaman. Sebagai risk taker

mengharuskan bank untuk menahan modal untuk menyerap potensi kerugian.

Kemudian deposan memiliki akses informasi yang sangat terbatas atas

penggunaan (penyaluran) uangnya. Selanjutnya bank menyediakan buffer

likuiditas mengingat rata-rata simpanan berjangka waktu lebih pendek

dibandingkan dengan kredit.42

Alur pinjam meminjam secara online melalui Marketplace Lending atau Peer

to Peer Lending yaitu Penyelenggara layanan pinjam meminjam secara online

mempertukan antara debitur (penerima pinjaman) dengan investor/kreditur

(pemberi pinjaman) melalui platform yang telah disediakan oleh Penyelenggara

yang dengan mudah dapat diakses oleh semua orang. Penyelenggara bukan

merupakan kreditur, sehingga tidak mendapatkan pendapatan bunga dan tidak

menahan modal untuk menyerap risiko. Pendapatan yang diterima oleh

Penyelenggara adalah berasal dari fee dan komisi dari debitur (penerima pinjaman)

41
Abdulkadir Muhamad, Rilda Murniati, Loc.Cit.
42
http://bumninc.com/analisis/34/index.html, Akses 11/04/2019, Pukul 21.10 WIB
37

dan investor/kreditur (pemberi pinjaman). Dalam Penyelenggaraan Fintech

berbasis P2PL menggunakan sistem skoring kredit seperti perbankan dan

mempublikasikan hasilnya pada platform Penyelenggara tersebut. Penyelenggara

menyampaikan informasi secara transparan kepada pemberi pinjaman sehingga

pemberi pinjaman mengetahui kepada siapa pembiayaannya diberikan.43

Mekanisme pinjam meminjam secara online dilakukan oleh para pihak yang

dihubungkan dengan adanya hubungan hukum untuk mengatur kegiatan Fintech

berbasis P2PL. Hubungan hukum para pihak dihubungkan melalui suatu perjanjian

atau kontrak. Perjanjian atau kontrak adalah suatu perbuatan dengan mana satu

orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih saling

berjanji untuk melaksanakan suatu hal. 44 Perjanjian pada umumnya dilakukan

dengan membuat kesepakatan yang dilakukan secara langsung antara para pihak

yang akan saling mengikatkan diri, akan tetapi perjanjian dalam Fintech berbasis

P2PL dilakukan secara elektronik sehingga perjanjian tersebut berbentuk

perjanjian elektronik yang dituangkan dalam dokumen elektronik oleh para pihak.

Kontrak elektronik adalah perjanjian para pihak yang dibuat melalui sistem

elektronik. 45 Pembuatan perjanjian elektronik dalam Penyelenggaraan Fintech

dilakukan tanpa harus bertemu bertatap muka secara langsung. Hal demikian

memberikan kemudahan terutama kemudahan akses bagi para pihak yang akan

menggunakan Fintech berbasis P2PL.

43
Ibid
44
Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
45
Pasal 1 Angka 17 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik.
38

Perjanjian elektronik yang dibuat dalam Fintech berbasis P2PL memiliki

kekuatan hukum yang mengikat bagi para pihak sebagaimana perjanjian pada

umumnya. Hal tersebut diatur dalam Pasal 18 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 11

Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang menyebutkan

bahwa “transaksi elektronik yang dituangkan dalam kontrak elektronik mengikat

para pihak”. Maka perjanjian elektronik tersebut berlaku sebagai suatu undang-

undang bagi para pihak yang saling mengikatkan diri, serta mengakibatkan

timbulnya suatu hubungan hukum bagi para pihak tersebut. Perjanjian elektronik

memiliki kesamaan sebagaiaman perjanjian pada umumnya. Perjanjian elektronik

karena memiliki kesamaan dengan perjanjian pada umumnya maka untuk bisa

dikatakan sah juga harus memenuhi syarat sah perjanjian sebagaimana diatur

dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu:

1. Adanya kata sepakat para pihak

Supaya kontrak atau perjanjian dianggap sah maka para pihak harus sepakat

terlebih dahulu terdapat pada segala hal yang ada pada perjanjian. Pada

dasarnya kata sepakat adalah pertemuan atau persesuaian kehendak antara para

pihak di dalam perjanjian. Perseuaian kehendak saja tidak akan menciptakan

atau melahirkan perjanjian. Kehendak terebut harus dinyatakan, sehingga harus

ada pernyataan kehendak. Pernyataan kehendak tersebut harus merupakan yang

bersangkutan mngehendaki timbulnya hubungan hukum.46

46
J. Satrio. Hukum Perikatan. Perikatan Lahir Dari Perjanjian. Buku I, Bandung:
Citra Aditya Bakti. 200. Hlm. 162-175.
39

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan

Cakap merupakan syarat yang umum untuk dapat melakukan perbuatan

hukum secara sah yaitu harus sudah dewasa, sehat akal pikiran dan tidak

dilarang oleh suatu peraturan perundang-undangan untuk melakukan suatu

perbuatan tertentu.47 Pada pasal 1329 KUHPerdata menyatakan bahwa setiap

orang adalah cakap untuk membuat perjanjian, kecuali menurut undang-undang

dinyatakan tidak cakap.

Pasal 1330 KUHPerdata tidak menetukan siapa yang cakap melakukan

perbuatan untuk mengadakan suatu perjanjian, tetapi menentukan secara negatif

siapa yang tidak cakap untuk mengadakan perjanjian. Orang yang tidak cakap

tersebut adalah orang yang belum dewasa, mereka yang dibawah pengampuan

dan semua orang yang dilarang undang-undang untuk membuat suatu

perjanjian. 48 Berdasarkan Buku I Pasal 330 KUHPerdata, seorang dianggap

dewasa jika dia telah berusia 21 (duapuluh satu) tahun atau telah menikah.

Kemudian pengaturan mengenai batas kedewasaan juga ditemukan dalam

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bahwa kedewasaan

47
Riduan Syahrani. Seluk-Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata. Bandung: 2013.
hlm. 208.
48
Ridwan Khairandy. Hukum Kontrak Indonesia Dalam Perspektif Perbandingan
(Bagian Pertama). Yogyakarta: FH UII Press. 2014. hlm. 176
40

seseorang ditentukan bahwa anak berada dibawah kekuasaan orang tua atau

wali sampai berusia 18 (delapan belas) tahun.

Khusus perjanjian dengan perjanjian yang dibuat dihadapan notaris diatur

pula pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris yang

menentukan batas kedewasaan tersebut adalah 18 (delapan belas) tahun atau

belum menikah dan cakap melakukan perbuatan hukum. Dengan demikian,

kecapakapan untuk melakukan suatu perjanjian yang dibuat tidak hanya

dikaitkan dengan batas umur kedewasaan, tetapi juga dikaitkan dengan tolak

ukur yang lain, misalnya tidak berada di bawah pengampuan. Tidak hanya

dewasa tetapi juga cakap melakukan suatu perbuatan hukum.49

3. Suatu hal tertentu


Suatu hal tertentu dalam perjanjian adalah barang yang dijadikan objek

suatu perjanjian. Menurut Pasal 1333 KUHPerdata barang yang menjadi objek

suatu perjanjian harus tertentu, setidak-tidaknya harus ditentukan jenisnya,

sedangkan jumlahnya tidak perlu ditentukan asalkan saja dapat ditentukan atau

diperhitungkan. Selanjutnya dalam Pasal 1334 ayat (1) KUHPerdata

ditentukan bahwa barang-barang yang baru akan ada kemudian hari juga dapat

menjadi objek suatu perjanjian. Pasal 1334 ayat (2) KUHPerdata bahwa barang

yang akan masuk hak warisan seseoarang karena yang lain akan meninggal

dunia dilarang dijadikan objek suatu perjanjian meskipun dengan kesepakatan

orang yang akan meninggal dunia dan akan meninggalkan barang-barang

49
Ibid., hlm. 177-179
41

warisan tersebut. Kemudian dalam Pasal 1332 KUHPerdata ditentukan bahwa

barang-barang yang dapat dijadikan objek perjanjian hanyalah barang yang

dapat diperdagangkan.50

4. Suatu sebab yang halal


Dalam suatu kontrak atau perjanjian disamping harus ada kausanya, akan

tetapi kausa tersebut juga harus halal. Kausa suatu perikatan adalah sebagai

alasan penggerak yang menajdi dasar kesediaan debitor untuk menerima

keterikatan untuk memenuhi isi (prestasi) perikatan. Menerima perikatan

berarti menerima keterikatan kewajiban-kewajiban yang timbul dari perikatan

tersebut. Dengan kata lain, menerima keterikatan untuk memberikan prestasi

perikatan. Seorang yang terikat untuk melaksanakan isi perjanjian tidak hanya

didasarkan pada kata sepakat saja, tetapi juga harus didasarkan adanya kausa. 51

Kausa halal dimaksud adalah kausa hukum yang ada tidak bertentangan

dengan peraturan perundang-undangan atau ketertiban umum, atau kesusilaan.

Jika objek dalam perjanjian illegal atau bertentangan dengan kesusilaan atau

ketertiban umum maka perjanjian tersebut menjadi batal demi hukum. Pasal

1335 Jo 1337 KUHPerdata menyatakan bahwa suatu kausa dinyatakan

terlarang jika bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban

umum. Suatu kausa dinyatakan bertentangan dengan undang-undang jika

50
Riduan Syahrani, Op.Cit., hlm. 209-210.
51
Ridwan Khairandy, Op.Cit, hlm. 188.
42

kausa dalam perjanjian yang bersangkutan isinya bertentangan dengan undang-

undang yang berlaku.52

1. Perjanjian Dalam Penyelenggaraan Financial Technology Berbasis Peer to

Peer Lending Antara Pemberi Pinjaman Dengan Penyelenggara

Pada pelaksanaan pinjam meminjam secara online, perjanjian elektronik

tersebut menimbulkan hubungan hukum. Hubungan hukum tersebut lahir dari

hubungan kontraktual para pihak, baik bagi pemberi pinjaman, penerima

pinjaman maupun Penyelenggara layanan Fintech berbasis P2PL. Hubungan

hukum tersebut telah diatur sebagaimana Pasal 18 Peraturan Otoritas Jasa

Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 yang mengatur adanya perjanjian bagi para

pihak. Peraturan tersebut pertama mengatur mengenai perjanjian antara

Penyelenggara dengan Pemberi Pinjaman. Kedua, mengatur mengenai

perjanjian antara Pemberi Pinjaman dengan Penerima Pinjaman.

Di dalam mekanisme Fintech berbasis P2PL, Pemberi Pinjaman yang akan

memberikan pinjaman dana kepada Penerima Pinjaman harus menyetujui syarat

dan ketentuan khusus yang telah diatur oleh Penyelenggara selaku platform

Fintech berbasis P2PL. Adapun syarat dan ketentuan khusus tersebut adalah

mengenai Pemberi Pinjaman selaku pihak yang akan mengajukan pemberian

dana melalui platform harus setuju dan sepakat untuk menunjuk Penyelenggara

layanan Fintech berbasis P2PL untuk bertindak untuk dan atas nama Pemberi

52
Ibid., hlm. 190
43

Pinjaman yaitu untuk menyalurkan dana Pemberi Pinjaman kepada pihak

Penerima Pinjaman.53

Berdasarkan mekanisme tersebut diatas, terdapat hubungan hukum antara

Penerima Pinjaman dengan Penyelenggara layanan Fintech berbasis P2PL.

Perjanjian antara Penyelenggara dengan Pemberi Pinjaman adalah perjanjian

pemberian kuasa yaitu kuasa khusus. Perjanjian pemberian kuasa sebagaimana

Pasal 1792 KUHPerdata adalah suatu perjanjian dengan mana seorang

memberikan kekuasaan kepada seorang lain, yang menerimanya, untuk atas

namanya menyelenggarakan suatu urusan.

Menyelenggarakan suatu urusan dimaksud adalah melakukan suatu

perbuatan hukum yang mempunyai suatu akibat hukum. 54 Pihak yang telah

diberi kuasa dapat dikatakan sebagai kuasa untuk melakukan suatu perbuatan

hukum atas nama orang yang telah memberikan kuasa atau dapat dikatakan

bahwa ia merupakan perwakilan dari dari si pemberi kuasa. Maka dengan

demikian segala perbuatan yang dilakukan penerima kuasa adalah tanggung

jawab dari pemberi kuasa sehingga segala hak dan kewajiban yang timbul dari

perbuatan yang dilakukannya menjadi hak dan kewajiban pihak yang memberi

kuasa.55

Pemberian kuasa dapat dilakukan secara khusus hal ini diatur pada Pasal

1795 KUHPerdata, yaitu hanya mengenai satu kepentingan tertentu atau lebih,

53
http://www.investree.id, Akses tanggal 11/04/2019, Pukul 21.15 WIB.
54
Subekti. Aneka Perjanjian. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. 2014, hlm. 141.
55
ibid
44

atau secara umum yang meliputi segala kepentingan pemberi kuasa. Dalam

surat kuasa khusus, di dalamnya dijelaskan mengenai tindakan-tindakan apa

saja yang dapat dilakukan oleh penerima kuasa. Adanya tindakan-tindakan yang

dirinci dalam surat kuasa tersebut, maka surat kuasa tersebut menjadi surat

kuasa khusus.56 Perbuatan Penyelenggara layanan Fintech telah ditentukan di

dalam ketentuan khusus tersebut yaitu untuk menyalurkan dana Pemberi

Pinjaman kepada pihak Penerima Pinjaman. Maka dengan demikian perbuatan

yang dapat dilakukan oleh Penyelenggara selaku penerima kuasa adalah

terbatas, yaitu sebatas kuasa khusus yang diberikan kepadanya untuk

menyalurkan dana Pemberi Pinjaman kepada Penerima Pinjaman.

Suatu kuasa dapat diberikan dan diterima dalam bentuk akta resmi atau

dengan suatu surat di bawah tangan ataupun dengan kuasa lisan. 57 Akta resmi

yang dimaksud seperti akta notaris, akta yang dilegalisir di kepaniteraan

pengadilan, akta yang dibuat oleh pejabat pamong dan sebagaimanya.

Penerimaan suatu kuasa dapat pula terjadi secara diam-diam, ini berbarti terjadi

dengan sendirinya. Kuasa diam-diam dapat disimpulkan dari pelaksanaan kuasa

itu oleh yang diberi kuasa berdasarkan tindakan yang dilakukannya. 58

Pada umumnya pemberian kuasa terjadi karena adanya persetujuan antara

pemberi kuasa dengan penerima kuasa. Sifat persetujuan kuasa adalah

56
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl5976/ciri-dan-isi-surat-kuasa-khusus,
Akses tanggal 11/04/2019, Pukul 21.15 WIB.
57
Pasal 1793 KUHPerdata.
58
M. Yahya Harahap. Segi- Segi Hukum Perjanjian. Bandung: Alumni. 1982. hlm.
307
45

konsensual. Artinya perjanjian pemberian kuasa lahir apabila ada kata sepakat

atau ada persesuaian kehendak diantara para pihak yang membuat perjanjian

tersebut. Persesuaian kehendak saja tidak akan menciptakan atau melahirkan

perjanjian karena kehendak tersebut itu sendiri dapat diungkapkan dengan

berbagai cara. Dapat secara tegas maupun secara diam-diam. Pernyataan

kehendak dapat pula dilakukan secara tertulis, lisan, maupun dengan tanda.59

Perjanjian pemberian kuasa pada mekanisme Fintech berbasis P2PL

dilakukan tidak secara diam-diam akan tetapi perjanjian tersebut dibuat melalui

media elektronik yang terdapat pada platform Penyelenggara layanan Fintech

berbasis P2PL. Pada saat Pemberi Pinjaman akan mengajukan pendanaan pada

platform Penyelenggara, Pemberi Pinjaman harus menyetujui mengenai

ketentuan yang telah ditentukan pada platform Fintech. Pemberi Pinjaman

harus setuju dan sepakat untuk memberikan kuasa pada platform Fintech untuk

menyalurkan dana Pemberi Pinjaman kepada Penerima Pinjaman.

Bentuk kesepakatan yang terjadi antara Pemberi Pinjaman selaku pemberi

kuasa dengan Penyelenggara selaku penerima kuasa adalah pada saat Pemberi

Pinjaman sepakat atau menyetujui terhadap syarat maupun ketentuan yang

diberikan oleh platform Penyelenggara yang diikuti dengan pernyataan

kehendak. Pernyataan kehendak tersebut dilakukan dengan cara menekan

tombol persetujuan berupa mengklik centang pada platform. Persetujuan

tersebut adalah memberikan kuasa pada Penyelenggara selaku platform Fintech

59
Ridwan Khairandy, Op.Cit, hlm. 168-171.
46

berbasis P2PL untuk dapat menyalurkan dana pemberi Pinjaman kepada

Penerima Pinjaman. Kemudian dapat melanjutkan pendaftaran sebagai Pemberi

Pinjaman pada platform Penyelenggara layanan Fintech berbasis Peer to Peer

Lending.

Pada praktek Penyelenggaraan Fintech berbasis Peer to Peer Lending,

dalam melaksanakan operasional perusahaan mendapatkan upah berupa fee atas

jasa yang telah disedikan oleh Penyelenggara platform Fintech berbasis Peer to

Peer Lending. Pada mekanisme tersebut Pemberian Pinjaman tidak dikenakan

biaya dalam hal memakai jasa Penyelenggara Fintech berbasis Peer to Peer

Lending. Pemberi Pinjaman akan dikenakan potongan pajak Pph sebesar 15%

atas pendaan yang dilakukannya. Selain itu akan ada biaya adminitrasi yang

akan dikenakan apabila melakukan pencairan dana ke bank selain Bank

Danamon dan Bank CIMB Niaga. Bagi Penerima Pinjaman untuk dapat

menggunakan jasa pada platform layanan Fintech berbasis Peer to Peer

Lending dikenakan suatu biaya berupa biaya marketplace sebesar 5% yang

dikenakan pada pinjaman yang akan dicairkan. 60 Dengan begitu kegiatan

Fintech berbasis Peer to Peer Lending dapat berjalan untuk membantu segala

kesulitan keuangan bagi masyarakat Indonesia.

2. Perjanjian Dalam Penyelenggaraan Financial Technology Berbasis Peer to

Peer Lending Antara Pemberi Pinjaman Dengan Penerima Pinjaman

60
https://www.investree.id. Akses tanggal 11/04/2019, Pukul 21.30 WIB.
47

Perjanjian yang terjadi antar Pemberi Pinjaman dengan Penerima Pinjaman

merupakan perjanjian pinjam meminjam (utang piutang) pada umumnya yaitu

sebagaimana Pasal 1754 KUHPerdata. Pada perjanjian pinjam meminjam

(utang piutang) tersebut kedudukan pemberi pinjaman adalah sebagai kreditur

sedangkan penerima pinjaman sebagai debitur. Perjanjian tersebut dibuat

karena adanya persesuaian kehendak oleh para pihak yaitu untuk melakukan

pendanaan dan melakukan peminjaman dana kepada pihak lainnya. Para pihak

kemudian bersepakat untuk saling mengikatkan diri untuk melakukan suatu

hubungan hukum.

Perjanjian tersebut dilakukan dengan bantuan media internet untuk dapat

menggunakan platform penyedia jasa layanan Fintech berbasis Peer to Peer

Lending. Bentuk perjanjian pinjam meminjam tersebut adalah perjanjian

elektronik yang memiliki kekuatan hukum yang sama sebagaimana perjanjian

pada umumnya. Oleh sebab itu perjanjian elektronik berlaku sebagai undang-

undang bagi mereka yang membuatnya. 61 Perjanjian tersebut atas dasar

kebebasan berkontrak yang mana para pihak bebas membuat perjanjian yang

mereka inginkan. Perjanjian atau kontrak yang telah dibuat haruslah dipatuhi

oleh para pihak sebagai bentuk itikad baik pelaksanaan kontrak oleh pihak yang

membuat perjanjian itu sendiri. Dari perjanjian tersebut kemudian melahirkan

suatu hubungan hukum sehingga timbul hak dan kewajiban bagi para pihak

untuk melaksanakannya.

61
Pasal 18 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik.
48

Perjanjian elektronik tersebut dituang dalam dokumen elektronik. Dokumen

Elektronik adalah setiap informasi elektronik yang dibuat, diteruskan,

dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital,

elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan,

dan/atau didengar melalui komputer atau Sistem Elektronik termasuk tetapi

tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta rancangan, foto atau sejenisnya,

huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna

atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya

sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang

Informasi dan Transaksi Elektronik. 62 Dokumen elektronik tersebut harus

dipenuhi oleh para pihak baik Pemberi Pinjaman maupaun Penerima Pinjaman.

Dokumen elektronik tersebut wajib paling sedikit memuat:63

a. Nomor perjanjian;
b. Tanggal perjanjian;
c. Identitas para pihak;
d. Ketentuan mengenai hak dan kewajiban para pihak;
e. Jumlah pinjaman;
f. Suku Bungan pinjaman;
g. Besarnya komisi;
h. Jangka waktu;
i. Rincian biaya terkait;
j. Ketentuan mengenai denda (jika ada);

62
Pasal 1 Angka 12 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016
Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi.
63
Pasal 19 Ayat (2) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016
Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi.
49

k. Mekanisme penyelesaian sengketa; dan


l. Mekanisme dalam hal Penyelenggara tidak dapat melanjutkan kegiatan
operasionalnya.

Dalam mekanisme pembuatan perjanjian antara Pemberi Pinjaman dengan

Penerima Pinjaman para pihak tidak perlu saling bertemu dan saling

berhadapan (face to face). Segala bentuk aktivitas dihubungkan dengan bantuan

Penyelenggara layanan Fintech berbasis Peer to Peer Lending. Penyelenggara

Fintech dalam hal ini adalah sebagai perantara para pihak melalui platform

Fintech. Perjanjian elektronik tersebut melahirkan suatu hubungan hukum bagi

pihak Pemebri Pinjaman dengan Penerima Pinjaman. Para pihak tersebut

dihubungkan melalui hubungan kontraktual yang dibuat oleh para pihak. Para

pihak harus mentaati apa yang telah mereka perjanjikan sebagai undang-undang

yang mengikat bagi para pihak yang membuatnya. Dari hubungan kontraktual

tersebut timbul hak dan kewajiban yang harus dipenuhi. Secara garis besar

Pemberi Pinjaman wajib memberikan dana sebesar yang diperjanjikan pada

waktu yang telah ditentukan. Dari kewajiban tersebut timbul hak yaitu

pengembalian dana beserta bunga yang diperjanjikan dengan Penerima

Pinjaman. Bagi Penerima Pinjaman berhak mendapatkan pinjaman dana sesuai

kesepakatan yang dilakukan. Dari hak tersebut timbul kewajiban yang harus

dilakukan yaitu untuk membayar dana yang dipinjamkan beserta bunga yang

diperjanjikan, selain itu Penerima Pinjaman juga harus membayarakan fee jasa

platform Penyelenggara.
50

D. Tinjauan Umum Perlindungan Konsumen

1. Pengertian Perlindungan Konsumen, Konsumen, dan Pelaku Usaha


Hukum Perlindungan Konsumen menurut Az. Nasution adalah hukum

konsumen yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah yang bersifat

mengatur, dan juga mengandung sifat yang melindungi kepentingan

konsumen. Adapun hukum konsumen diartikan sebagai keseluruhan asas-

asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah

antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang dan/atau

jasa konsumen di dalam pergaulan hidup.64

Pengertian Perlindungan Konsumen dalam Pasal 1 Angka 1 Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,

selanjutnya disingkat UUPK 8/1999 adalah “segala upaya yang menjamin

adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen”.

Sedangkan Konsumen dalam Pasal 1 Angka 2 UUPK 8/1999 tentang

Perlindungan Konsumen adalah “setiap orang pemakai barang dan/jasa yang

tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri keluarga, orang

lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.

Sementara itu, pengertian Pelaku Usaha dalam Pasal 1 Angka 3

UUPK 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah “setiap orang

perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum

maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau

melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia,

64
Shidarta. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: Grasindo. 2000. hal. 9
51

baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan

kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.

2. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen


Asas perlindungan konsumen dalam Pasal 2 UUPK 8/1999, yaitu:

1. Asas manfaat untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam

menyelenggarakan perlindungan konsumen harus memberikan

manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku

usaha secara keseluruhan.

2. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat

diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada

konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan

melaksanakan kewajibannya secara adil.

3. Asas keseimbangan untuk memberikan keseimbangan antara

kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti

materiil dan spiritual.

4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen untuk memberikan

jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam

penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/jasa yang

dikonsumsi dan digunakan.

5. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar pelaku usaha maupun

konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam


52

menyelenggarakan perlindungan konsumen, serta negara menjamin

kepastian hukum.

Perlindungan konsumen dalam Pasal 3 UUPK 8/1999 bertujuan untuk:

1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen

untuk melindungi diri.

2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara

menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian dan/atau jasa.

3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan,

dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen.

4. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur

kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk

mendapatkan informasi.

5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya

perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan

bertanggung jawab dalam berusaha.

6. Meningkatkan kualitas barang dan/jasa yang menjamin kelangsungan

usaha produksi barang dan/jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan,

dan keselamatan konsumen.

Perlindungan konsumen merupakan tujuan dari usaha yang akan dicapai atau

keadaan yang akan diwujudkan. Oleh karena itu, tujuan perlindungan konsumen

perlu dirancang dan dibangun secara berencana dan dipersiapkan sejak dini.

Tujuan perlindungan konsumen mencakup aktivitas-aktivitas penciptaan dan


53

penyelenggaraan sistem perlindungan konsumen. Tujuan perlindungan konsumen

disusun secara bertahap, mulai dari penyadaran hingga pemberdayaan. Pencapaian

tujuan perlindungan konsumen tidak harus melalui tahapan berdasarkan susunan

tersebut, tetapi dengan melihat urgensinya. Misal, tujuan meningkatkan kualiatas

barang, pencapaiannya tidak harus menunggu tujuan pertama tercapai adalah

meningkatkan kesadaran konsumen. Idealnya, pencapaian tujuan perlindungan

konsumen dilakukan secara serempak.65

3. Hak dan Kewajiban Konsumen Dan Pelaku Usaha

Hak konsumen dalam Pasal 4 UUPK 8/1999, yaitu:

1. Hak atas keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang.

2. Hak untuk memperoleh informasi yang benar, jelas, dan jujur

mengenai kondisi dan jaminan barang.

3. Hak untuk memilih dan mendapatkan barang yang sesuai dengan nilai

tukar dan kondisi dan jaminan barang.

4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang yang

digunakan.

5. Hak untuk mendapatkan perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa

perlindungan konsumen secara patut.

6. Hak untuk memperoleh kebutuhan hidup.

7. Hak untuk memperoleh ganti kerugian.

8. Hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat.

65
Wahyu Sasongko. Ketentuan-Ketentuan Pokok Hukum Perlindungan Konsumen.
Bandar Lampung: Universitas lampung. 2007.
54

9. Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen.

Kewajiban konsumen dalam Pasal 5 UUPK 8/1999, yaitu:

1. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian

atau pemanfaatan barang demi keamanan dan keselamatan.

2. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang.

3. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.

4. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen

secara patut.

Kewajiban pelaku usaha dalam Pasal 7 UUPK 8/1999, yaitu:

1. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

2. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta

tidak diskriminatif;

3. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi atau

diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa

yang berlaku;

4. Memberikan kompensasi, ganti rugi, apabila barang dan/jasa yang

diterima atau dimanfaatkan konsumen tidak sesuai dengan perjanjian.

E. Tinjauan Umum Dasar Hukum Pengaturan Teknologi Finansial

Layanan teknologi finansial terus bertumbuh di Indonesia. Pesatnya

perkembangan industri fintech ini pun semakin dirasa penting. Sebagai industri

baru yang muncul akibat kemajuan teknologi membuat aspek hukum fintech masih
55

terus berkembang dan tidak dapat ditampung dengan berbagai regulasi yang ada

saat ini. Masih banyak regulasi yang belum terpenuhi dalam menjalankan sistem

teknologi finansial tersebut. Regulasi yang spesifik masih diperlukan dalam

menjalani sistem teknologi finansial. Mayoritas industri fintech sementara ini

masih berpatokan pada KUHPer, karena hanya beberapa jenis fintech yang sudah

memiliki aturan.

Dewasa ini baru dua lembaga yang menerbitkan peraturan khusus mengenai

fintech yaitu Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), namun

hanya beberapa jenis fintech yang berada di dalam peraturan tersebut. Berikut

adalah dasar hukum pengaturan fintech menurut BI dan OJK :

1. Peraturan Bank Indonesia No.11/12/PBI/2009 jo. Peraturan Bank Indonesia

No.16/8/PBI/2014 jo. Peraturan Bank Indonesia No. 18/ 17 /PBI/2016 tentang

Uang Elektronik (Electronic Money)

2. Peraturan Bank Indonesia No.18/40/PBI/2016 tentang Penyelenggaraan

Pemrosesan Transaksi Pembayaran

3. Peraturan Anggota Dewan Gubernur No.19/14/PADG/2017 tentang Ruang Uji

Coba Terbatas (Regulatory Sandbox) Teknologi Finansial

4. Peraturan Anggota Dewan Gubernur No.19/15/PADG/2017 tentang Tata Cara

Pendaftaran, Penyampaian Informasi, dan Pemantauan Penyelenggara

Teknologi Finansial

5. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 39/POJK.04/2014 tentang Agen Penjual

Efek Reksadana
56

6. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 69/POJK.05/2016 tentang

Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi

7. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan

Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi

8. Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 18/SEOJK.02/2017 tentang Tata

Kelola dan Manajemen Risiko Teknologi Informasi pada Layanan Pinjam

Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi

Adapun Undang-undang terkait mengenai teknologi finansial adalah :

1. Kitab Undang-undang Hukum Perdata

2. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-

Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik


BAB III
PEMBAHASAN

A. Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Financial Technology Berbasis Peer


to Peer Lending Berdasarkan Hukum Positif di Indonesia
Fintech merupakan implementasi dan pemanfaatan teknologi untuk peningkatan

layanan jasa perbankan dan keuangan yang umumnya dilakukan oleh perusahaan

rintisan (startup) dengan memanfaatkan teknologi software, internet, komunikasi, dan

komputasi terkini. 66 Konsep ini yang mengadaptasi perkembangan teknologi yang

dipadukan dengan bidang finansial sehingga bisa menghadirkan proses transaksi

keuangan yang lebih praktis, aman serta modern. Bentuk dasar Fintech antara lain

Pembayaran (digital wallets, P2P payments), Investasi (equity Crowd funding, Peer

to Peer Lending), Pembiayaan (Crowd funding, microloans, credit facilities),

Asuransi (risk management), Lintas – proses (big data analysis, predicitive

modeling), Infrastruktur (security).

Pada mekanisme layanan Fintech berbasis P2PL peran Penyelenggara sangatlah

penting untuk menunjang keberlangsungan platform Fintech. Selain sebagai pihak

yang menyediakan ruang eksklusif bagi kegiatan pinjam meminjam uang secara

online antara Pemberi Pinjaman dengan Penerima Pinjaman, Penyelenggara diberi

kuasa untuk menyalurkan dana dari Pemberi Pinjaman kepada Penerima Pinjaman.

Sebelum penyaluran tersebut terjadi, Penyelenggara memiliki tugas untuk

menyeleksi, menganalisis, dan menyetujui aplikasi pinjaman yang diajukan oleh

Penerima Pinjaman agar menghasilkan pendanaan yang berkualitas untuk ditawarkan

66
Nofie Iman, Loc.Cit.

57
58

kepada para Pemberi Pinjaman.67 Berdasarkan hal tersebut Pemberi Pinjaman hanya

bisa memilih Penerima Pinjaman berdasarkan portofolio analisis yang ditawarkan

oleh Penyelenggara.

Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Financial Technology Hendrikus

Passagi mengatakan bahwa untuk saat ini aturan bunga untuk Peer to Peer Lending

diatur OJK secara tidak langsung, besaran bunga diatur melalui Asosiasi Fintech

Pendanaan Berama (AFPI). 68 Wakil Ketua Umum Asosiasi Fintech Pendanaan

Berama (AFPI) Widyatmoko menjelaskan dalam aturan main baru ini, fintech yang

tergabung dalam asosiasi tidak boleh memberikan beban biaya tambahan melebihi

100% dari nilai pokok atau prinsipal. Selain itu, waktu penagihan akan terhenti pada

hari ke-90 dari tanggal jatuh tempo pembayaran. Artinya, ketika peminjam tidak bisa

mengembalikan pinjaman sampai 90 hari setelah tanggal jatuh tempo, maka besaran

beban biaya tambahannya terhenti sampai di situ. 69 Dan apabila di hari ke 90

peminjam masih belum bisa membayar maka tidak boleh ditagih, konsekuensinya

mereka tidak akan mendapat pinjaman dari Peer to Peer Lending dan dari perbankan

lagi. 70 Hendrikus juga mengatakan telah mewajibkan fintech bekerja sama dengan

perusahaan asuransi untuk penjaminan kredit. Dengan begitu, jika ada tunggakan

67
https://www.investree.id/how-it-works, Loc.Cit.
68
https://www.cnbcindonesia.com. Akses 3 Mei 2019, Pukul 21.22 WIB
69
https://www.cnnindonesia.com. Akses 2 Mei 2019, Pukul 14.00 WIB
70
Hendrikus Passagi dan Roberto Akyuwen. Evolusi Industri & Fintech Lending:
Peluang dan Tantangan Untuk Mahasiswa. Seminar Nasional OJK Goes to Campus. Kampus
Magister Manajemen UNSRI Palembang: 2 Mei 2019
59

lebih dari 3 bulan, perusahaan asuransi akan menanggung kerugian atas kredit macet.

Maka, perusahaan fintech terkait tak boleh lagi menagih ke pengguna.71

Kehadiran Fintech sejatinya memberikan kemudahan bagi masyarakat. Belanja

online, Ojek online, Pinjaman online merupakan bagian dari Fintech yang kini tengah

popular. Namun sayangnya orang kerap mengabaikan perlindungan konsumen ketika

mereka menggunakan layanan berbasis internet ini. Belakangan ini Fintech P2PL

legal menjadi sorotan lantaran melkukan penagihan dengan cara yang tidak wajar.

“Ali Akbar terkejut saat mendapat pesan pada aplikasi WhatsApp. Isi pesan itu

meminta Ali untuk menyampaikan pesan kepada teman semasa SMP bernama

Satria agar melunasi utang yang dipinjam dari platform aplikasi kredit

online RupiahPlus. Pesan tertulis kata kasar dan menyiratkan nada ancaman. Ali

menjadi pihak yang dihubungi oleh RupiahPlus lantaran namanya dicantumkan,

sebagai emergency contact atau kontak darurat yang bisa dihubungi untuk transaksi

pinjam meminjam uang online ini. Padahal, setelah Ali mengkonfirmasi

langsung kepada Satria, namanya tidak pernah dicantumkan sebagai kontak

darurat.72” Upaya tersebut baru ditempuh oleh RupiahPlus apabila debitur mangkir

dari kewajibannya untuk membayar utang dengan jangka waktu lebih dari 30 hari

setelah jatuh tempo pembayaran utang. upaya pertama yang ditempuh RupiahPlus

adalah dengan memberikan notifikasi pengingat berupa pesan tertulis kepada debitur

bahwa tanggal jatunnh tempo pinjaman sudah dekat, jadi cicilan utang harus

71
https://m.katadata.co.id/berita/2019/02/15/cegah-bunuh-diri-nasabah-fintech-ojk-
atur-bunga-hingga-asuransi. Akses 15 Mei 2019, Pukul 20.35 WIB
72
https://tirto.id/kasus-rupiahplus-saat-urusan-utang-meneror-data-pribadi-cNVl.
Akses pada 15 Mei 2019, Pukul 20.30 WIB
60

dibayarkan. Notifikasi tertulis ini bahkan berlaku sampai dengan H+7 setelah jatuh

tempo pembayaran utang harus dilakukan. Cara ini juga lazim dilakukan oleh

lembaga keuangan yang memberikan kredit. Namun, bila debitur tetap membandel,

maka setelah 30 hari tanggal jatuh tempo, RupiahPlus selanjutnya menghubungi

kontak darurat atau emergency contact yang disertakan oleh debitur. Celakanya,

kontak darurat yang diberikan oleh debitur bisa jadi adalah nomor fiktif, sehingga

pemberi pinjaman bisa kehilangan jejak.73 Saat emergency contact tersebut tidak bisa

dihubungi, RupiahPlus baru mengakses data phone contact maupun phone record

milik debitur.

Oleh Karena itu diperlukan perlindungan hukum apabila terjadi gagal bayar oleh

Penerima Pinjaman dan kemudian ditagih dengan cara yang tidak sepatutnya. Untuk

perlindungan hukum bagi pengguna layanan Fintech berbasi Peer to Peer Lending

dapat dilakukan secara preventif.

Perlindungan Hukum Preventif ini merupakan perlindungan yang memiliki sifat

yaitu pencegahan, dimana sebelum seseorang itu dan/atau kelompok melakukan suatu

kegiatan atau tindakan yang bersifat negatif atau melakukan suatu kejahatan yang

diniatkan didalamnya sehingga akan dapat menghindarkan atau meniadakan kejadian

perbuatan yang konkrit.74

Perlindungan hukum bagi Pengguna Layanan Fintech berbasis Peer to Peer

Lending sebelum terjadinya sengketa dapat dilakukan dengan upaya-upaya dari

73
Ibid
Philipus M. Hadjon, “Pengantar Hukum Administrasi Indonesia”, (Yogyakarta:
74

Gajah Mada University Press, 2011) hlm.10


61

Penyelenggara layanan Fintech. Upaya Penyelenggara sebelum terjadinya sengketa

adalah dengan menerapkan prinsip dasar perlindungan hukum bagi Pengguna layanan

Fintech. Prinsip-prinsip tersebut diatur pada Pasal 29 POJK Nomor 77/POJK.01/2016

Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi antara lain

prinsip transparansi, perlakuan yang adil, keandalan, kerahasiaan dan keamanan data,

dan penyelesaian sengketa pengguna secara sederhana, cepat dan biaya terjangkau.

B. Upaya Yang Dapat Dilakukan Konsumen Bila Terjadi Sengketa.

Perlindungan hukum secara represif adalah perlindungan hukum yang tujuannya

untuk menyelesaikan sengketa. Perlindungan hukum ini baru bisa dilakukan setelah

timbulnya sengketa terlebih dahulu. Sengketa dalam Penyelenggaraan Fintech

berbasis Peer to Peer Lending bisa terjadi antara Pengguna dengan Pengguna lainnya

maupun dengan antara Pengguna dengan Penyelenggara. Jika sengketa tersebut benar

terjadi maka ada mekanisme tertentu untuk dapat menyelesaikan masalah tersebut.

Pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan pengaduan agar sengketa yang

terjadi dapat segera terselesaikan.75

Dengan adanya tindakan pengaduan dari Pengguna layanan Fintech berbasis Peer

to Peer Lending kepada Penyelenggara platform Fintech, hal tersebut membuat

Penyelenggara harus segera menindaklanjutinya. Setelah menerima pengaduan dari

pihak yang dirugikan dalam hal ini Pengguna Fintech, sebagaimana Pasal 38 POJK

Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan

75
Pasal 40 POJK.07/2013 Tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa
Keuangan
62

bahwa pelaku jasa keuangan dalam hal ini adalah Penyelenggara layanan Fintech

berbasis Peer to Peer Lending wajib melakukan :

a. Pemeriksaan internal atas pengaduan secara kompeten, benar, dan obyektif;

b. Melakukan analisis untuk memastikan kebenaran pengaduan;

c. Menyampaiakan pernyataan maaf dan menawarkan ganti rugi (redress/remedy)

atau perbaikan produk dan atau layanan, jika pengaduan konsumen benar.

Apabila dalam hal pengaduan tidak mencapai suatu kesepakatan, maka Penerima

Pinjaman dapat melakukan penyelesaian sengketa tersebut diluar maupun didalam

pengadilan. Sebagaimana Pasal 39 Ayat (1) POJK Nomor 1/POJK.07/2013 Tentang

Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan bahwa penyelesaian sengketa diluar

pengadilan dapat dilakukan melalui Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa atau

dapat menyampaikan permohonannya kepada Otoritas Jasa Keuangan untuk

memfasilitasi penyelesian pengaduan konsumen (pengguna layanan Fintech berbasis

Peer to Peer Lending) yang dirugikan oleh pelaku jasa keuangan yaitu Penyelenggara

layanan Fintech.

Konsep dari layanan Finetch berbasis Peer to Peer Lending menyalurkan dana dari

Pemberi Pinjaman kepada Penerima Pinjaman dalam suatu platform yang disediakan

oleh Penyelenggara layanan Fintech untuk menciptakan suatu peminjaman yang

memadai yang dibutuhkan oleh penggunanya. Kegiatan pinjam meminjam uang

berbasis Peer to Peer Lending merupakan wewenang dari OJK untuk mengatur dan

mengawasi terhadap seluruh kegiatan dalam sektor jasa keuangan. Sehingga dengan
63

demikian OJK harus siap dengan mekanisme penyelesaian masalah yang akan timbul

dikemudian hari apabila terjadi gagal bayar oleh Penerima Pinjaman dan kemudian

ditagih dengan cara yang tidak sepatutnya sehingga menimbulkan baik kerugian

materil maupun immateril dalam mekanisme layanan Fintech berbasis Peer to Peer

Lending.76

Sebagai suatu tindak lanjut dalam rangka menciptakan suatu sistem penyelesaian

sengketa konsumen secara sederhana, cepat, dan biaya terjangkau, maka OJK

mengeluarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/ POJK.07/2014 tentang

Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di Sektor Jasa Keuangan (POJK LAPS)

mengamanatkan adanya suatu sistem penyelesaian sengketa yang terjadi di sektor

jasa keuangan (khususnya antara konsumen dengan lembaga jasa keuangan), yang

terdiri dari penyelesaian sengketa secara internal di lembaga jasa keuangan,

penyelesaian melalui lembaga peradilan umum (pengadilan), serta melalui Lembaga

Alternatif Penyelesaian Sengketa (LAPS) dengan suatu prosedur tertentu.77

OJK menetapkan kebijakan bahwa penyelesaian sengketa pada tahap kedua

diselesaikan melalui pengadilan atau di luar pengadilan. Pilihan apakah melalui

pengadilan atau diluar pengadilan diserahkan sepenuhnya kepada pihak-pihak yang

bersengketa yaitu konsumen dan LJK. Namun demikian dengan memperhatikan

76
https://www.ojk.go.id/id/kanal/edukasi-dan-perlindungan-
konsumen/Pages/Lembaga-Alternatif-Penyelesaian-Sengketa.aspx. Akses 8 Mei 2019 Pukul
10.37 WIB
77
Abd. Aziz Billah, “Peran Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Dalam
Sektor Jasa Keuangan Guna Mendukung Pembangunan Ekonomi Nasional”. Jurnal
Rechtsvinding. Volume 7, Nomor 1, April 2018
64

karekterisik LAPS di sektor jasa keuangan, diharapkan LJK memanfaatkan jasa

LAPS disektor jasa keuangan untuk menyelesaikan sengketa antara konsumen dengan

LJK.78

Berkaitan dengan penyelesaian sengketa secrara represif maka upaya yang dapat

dilakukan konsumen bila terjadi sengketa, maka Peer to Peer Lending masuk pada

sengketa lembaga keuangan, lembaga yang berwenang dalam hal ini adalah Lembaga

Alternatif Penyelesaian Sengketa (LAPS). Dalam hal ini konsumen dapat

mengajukan pengaduan kepada Lembaga Jasa Keuangan (LJK) untuk diselesaikan

bersama secara musyawarah guna mencapai kesepakatan.79

a. Mekanisme Penyelesaian Sengketa di Sektor Jasa Keuangan

Dalam interaksi antara konsumen dengan Lembaga Jasa Keuangan (LJK) yang

dinamis, ditambah dengan jumlah produk dan layanan jasa keuangan yang selalu

berkembang, kemungkinan terjadinya sengketa tak terhindarkan. Hal tersebut

disebabkan beberapa faktor, di antaranya adalah adalah perbedaan pemahaman

antara konsumen dengan LJK mengenai suatu produk atau layanan jasa keuangan

terkait. Sengketa juga dapat disebabkan kelalaian konsumen atau LJK dalam

melaksanakan kewajiban dalam perjanjian terkait produk atau layanan dimaksud.

78
Ibid
Otoritas Jasa Keuangan, “Edukasi Dan Perlindungan Konsumen”, diakses dari
79

http://www.ojk.go.id/id/kanal/edukasidanperlindungankonsumen/Pages/LembagaAlternatif-
Penyelesaian-Sengketa.aspx akses tanggal 05 Mei 2019 pukul 16.20 WIB
65

Penyelesaian sengketa harus dilakukan di LJK lebih dahulu. Dalam Peraturan

OJK tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan diatur bahwa setiap

LJK wajib memiliki unit kerja dan atau fungsi serta mekanisme pelayanan dan

penyelesaian pengaduan bagi konsumen. Jika penyelesaian sengketa di LJK tidak

mencapai kesepakatan, konsumen dapat melakukan penyelesaian sengketa di luar

pengadilan atau melalui pengadilan. Penyelesaian sengketa diluar pengadilan

dilakukan melalui Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (LAPS). 80

OJK menetapkan kebijakan bahwa setiap sektor jasa keuangan memiliki satu

LAPS. Lembaga ini dibutuhkan apabila tidak tercapai kesepakatan penyelesaian

sengketa antara konsumen dan LJK. Sejalan dengan karakteristik dan

perkembangan di sektor jasa keuangan yang senantiasa cepat, dinamis, dan penuh

inovasi, maka LAPS di sektor jasa keuangan memerlukan prosedur yang cepat,

berbiaya murah, dan dengan hasil yang obyektif, relevan, dan adil. Penyelesaian

sengketa melalui lembaga ini bersifat rahasia sehingga masing-masing pihak yang

bersengketa lebih nyaman dalam melakukan proses penyelesaian sengketa dan

tidak memerlukan waktu yang lama karena didesain dengan menghindari

kelambatan prosedural dan administratif.

Selain itu, penyelesaian sengketa melalui LAPS di sektor jasa keuangan

dilakukan oleh orang-orang yang memang memiliki keahlian sesuai dengan jenis

sengketa, sehingga dapat menghasilkan putusan yang obyektif dan relevan.

Dengan adanya LAPS, maka akan terwujud adanya kepastian bagi konsumen dan

80
Ibid
66

LJK atas sengketa yang timbul. Putusan yang dihasilkan dalam penyelesaian

sengketa melalui LAPS dapat dijadikan oleh konsumen sebagai bahan

pembelajaran mengenai hak dan kewajibannya. Sedangkan bagi LJK, putusan

dimaksud dapat digunakan untuk menyempurnakan dan mengembangkan produk

dan/atau layanan yang dimiliki dengan menyesuaikan pada kemampuan dan

kebutuhan konsumen.

b. Layanan Penyelesaian Sengketa di LAPS

1. Mediasi

Cara penyelesaian sengketa melalui pihak ketiga (mediator) untuk membantu

pihak yang bersengketa mencapai kesepakatan. Mediasi dipilih karena adanya

keinginan para pihak utnuk menyelesaikan sengketa tanpa saling merugikan

salah satu pihak, serta dilakukan secara tertutup sehingga unsur kerahasiaannya

dapat terjaga.81

2. Ajudikasi

Cara penyelesaian sengketa melalui pihak ketiga (ajudikator) untuk

menjatuhkan putusan atas sengketa yang timbul di antara pihak yang dimaksud.

Putusan ajudikasi mengikat para pihak jika konsumen menerima. Dalam hal

konsumen menolak, konsumen dapat mencari upaya penyelesaian lainnya.

81
http://lapspi.org/mediasi. Akses 8 Mei 2019 Pukul 20.53 WIB
67

3. Arbitrase

Cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan yang didasarkan

pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang

bersengketa. Putusan arbitrase bersifat final dan mengikat para pihak.82

3. LAPS menyediakan layanan penyelesaian sengketa yang:

a. Mudah diakses;
b. Murah;
c. Cepat;
d. Dilakukan oleh SDM yang kompeten dan paham mengenai industri jasa
keuangan.83

4. Prinsip LAPS
Berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2014 tentang

Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di Sektor Jasa Keuangan, LAPS

memiliki prinsip sebagai berikut:

a. Prinsip aksesibilitas

Layanan penyelesaian sengketa mudah diakses oleh konsumen dan

mencakup seluruh Indonesia.

82
Otoritas Jasa Keuangan, “Edukasi Dan Perlindungan Konsumen”, diakses dari
http://www.ojk.go.id/id/kanal/edukasidanperlindungankonsumen/Pages/LembagaAlternatif-
Penyelesaian-Sengketa.aspx. akses tanggal 05 Mei 2019 pukul 16.20 WIB
83
Ibid
68

b. Prinsip independensi

LAPS memiliki organ pengawas untuk menjaga dan memastikan

independensi SDM LAPS. Selain itu, LAPS juga memiliki sumber daya yang

memadai sehingga tidak tergantung kepada Lembaga Jasa Keuangan tertentu.

c. Prinsip keadilan

Mediator di LAPS bertindak sebagai fasilitator dalam rangka

mempertemukan kepentingan para pihak dalam memperoleh kesepakatan

penyelesaian sengketa, sedangkan ajudikator dan arbiter wajib memberikan

alasan tertulis dalam tiap putusannya. Jika ada penolakan permohonan

penyelesaian sengketa dari konsumen dan Lembaga Jasa Keuangan, LAPS

wajib memberikan alasan tertulis.

4. Prinsip efisiensi dan efektivitas

Dalam penyelesaian sengketa, LAPS mengenakan biaya murah kepada

konsumen dan penyelesaian sengketa di LAPS dilakukan dengan cepat. Serta

pelaksanaan putusan diawasi oleh LAPS.


69

BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Perlindungan hukum sangat diperlukan untuk menjamin kepastian hukum

khususnya bagi Penerima Pinjaman apabila terjadi gagal bayar dari pihak

Penerima Pinjaman. Untuk memberikan perlindungan hukum bagi Penerima

Pinjaman dapat dilakukan secara preventif. Perlindungan hukum secara preventif

dilakukan dengan upaya menerapkan prinsip dasar dari Penyelenggara sebelum

terjadinya sengketa yang diatur pada Pasal 29 POJK Nomor 77/POJK.01/2016

yaitu prinsip transparansi, perlakuan yang adil, keandalan, kerahasiaan dan

keamanan data, dan penyelesaian sengketa Pengguna secara sederhana, cepat dan

biaya terjangkau.

2. Upaya yang dapat dilakukan konsumen bila terjadi sengketa dapat dlakukan

secara represif. Pihak yang dirugikan segera membuat tindakan pengaduan.

Dengan adanya tindakan pengaduan dari Pengguna layanan Fintech berbasis Peer

to Peer Lending kepada Penyelenggara platform Fintech, hal tersebut membuat

Penyelenggara harus segera menindak lanjutinya sebagaimana Pasal 38 POJK

Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan.

Dalam POJK tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan diatur bahwa

setiap LJK wajib memiliki unit kerja dan atau fungsi serta mekanisme pelayanan

dan penyelesaian pengaduan bagi konsumen. Apabila dalam hal pengaduan tidak

mencapai suatu kesepakatan, maka Penerima Pinjaman dapat melakukan


70

penyelesaian sengketa tersebut diluar maupun didalam pengadilan. Penyelesaian

sengketa diluar pengadilan dilakukan melalui Lembaga Alternatif Penyelesaian

Sengketa (LAPS). Sebagaimana Pasal 39 Ayat (1) POJK Nomor 1/POJK.07/2013

Tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan bahwa penyelesaian

sengketa diluar pengadilan dapat dilakukan melalui lembaga alternatif

penyelesaian sengketa atau dapat menyampaikan permohonannya kepada Otoritas

Jasa Keuangan untuk memfasilitasi penyelesian pengaduan konsumen (pengguna

layanan Fintech berbasis Peer to Peer Lending) yang dirugikan oleh pelaku jasa

keuangan yaitu Penyelenggara layanan Fintech.


71

B. Saran

1. Seharusnya pengaturan mengenai praktek peer to peer lending di Indonesia lebih

diperbanyak untuk melindungi para pihak baik itu penyelenggara, peminjam,

ataupun pemberi pinjaman dan diperlukan penyesuaian terhadap regulasi dan

aturan terkait perlindungan konsumen, diantaranya yaitu menambahkan Fintech ke

dalam kerangka kerja perlindungan konsumen Indonesia serta memberikan

penegasan terhadap regulasi atas hak konsumen dalam hubungan usaha dengan

perusahaan Fintech. Regulasi diharapkan dapat menangani permasalahan-

permasalahan utama seperti kerahasian, keamanan, integritas dan reliabilitas data

yang disajikan perusahaan Fintech kepada masyarakat serta perlindungan hukum

terhadap pengguna-pengguna layanan Fintech khususnya Peer to Peer Lending.

2. Upaya yang dilakukan dalam penyelesaian sengketa belum sepenuhnya maksimal,

diperlukan aturan yang final and binding sehingga prinsip transparansi, perlakuan

yang adil, keandalan, kerahasiaan dan keamanan data, dan penyelesaian sengketa

pengguna secara sederhana, cepat dan biaya terjangkau dapat terwujud tanpa

merugikan salah satu pihak dan diharapkan kedepannya terdapat perlindungan

hukum bagi konsumen yang melakukan pinjaman diluar Asosiasi Fintech

Pendanaan Berama (AFPI).


72

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Beni Achmad Saehani. 2008. Metode Penelitian Hukum. Bandung: Pustaka Setia

Djoni S Gazali dan Rachmadi Usman. 2016.Hukum Perbankan. Jakarta: Sinar


Grafika.
J. Satrio. Bandung. Hukum Perikatan. Perikatan Lahir Dari Perjanjian. Bandung:
Citra Aditya Bakti.
Koentjaraningrat. 1990. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia

Moh. Kusnadi dan Harmaily Ibrahim. 1998. Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta:
Sinar Bakti.
M. Yahya Harahap. 1982. Segi- Segi Hukum Perjanjian. Bandung: Alumni.

Neni Sri Imaniyati. 2010. Pengantar Hukum Perbankan di Indonesia. Bandung:


Reika Aditama.
Peter Mahmud Marzuki. 2009. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group.
Philipus M. Hadjon. 1987. Perlindungan Bagi Rakyat di Indonesia. Surabaya:
PT.Bina Ilmu.
Riduan Syahrani. 2013. Seluk-Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata. Bandung:
Alumni.
Ridwan Khairandy. 2014. Hukum Kontrak Indonesia Dalam Perspektif
Perbandingan. Yogyakarta: FH UII Press.
Satjipto Raharjo. 2000. Ilmu Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Shidarta. 2000. Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Grasindo.

Subekti. 2014. Aneka Perjanjian, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Soerjono Soekanto. 1998. Penelitian Hukum Normatif. Jakarta: Rajawali


Press.Zainuddin. 2014. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.
73

Wahyu Sasongko. 2007. Ketentuan-Ketentuan Pokok Hukum Perlindungan


Konsumen. Bandar Lampung: Universitas lampung.

Jurnal

Abd. Aziz Billah. 2018. Peran Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Dalam
Sektor Jasa Keuangan Guna Mendukung Pembangunan Ekonomi Nasional.
Jurnal Rechtsvinding. Vol. 7, Nomor 1, Fakultas Hukum Universitas
Indonesia
Ernama Santi, Budiharto, Hendro Saptono. 2017. Pengawasan Otoritas Jasa
Keuangan Terhadap Financial Technology (Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
Nomor 77/Pojk.01/2016). Diponegoro Law Journal. Vol 6, Nomor 3. Fakultas
Hukum, Universitas Diponegoro
Hetty Hasanah. Perlindungan Konsumen dalam Perjanjian Pembiayaan, Konsumen
atas Kendaraan Bermotor dengan Fiducia. Jurnal Unikom, vol.3.
Imanuel Aditya Wulanata Chrismastianto. 2017. “Analisis SWOT Implementasi
Teknologi Finansial Terhadap Kualitas Layanan Perbankan di Indonesia”,
Jurnal Ekonomi dan Bisnis. Vol.20, Edisi 1, Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Pelita Harapan Tanggerang,
Rafael La Porta. 1999. Investor Protection and Corporate Governance, Jurnal of
Financial Economics, No. 58.

Skripsi

Alfhica Rezita Sari. 2018. Skripsi: Perlindungan Hukum Bagi Pemberi Pinjaman
Dalam Penyelenggaraan Financial Technology Berbasis Peer to Peer
Lending Di Indonesia. Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia.

Peraturan Perundang -Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7


Tahun 1992 tentang Perbankan.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
74

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 Tahun 2013 Tentang


Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan.

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 Tentang Layanan Pinjam


Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi.

Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/12/PBI/2017 Tentang Penyelenggaraan


Teknologi Finansial.

Seminar
Hendrikus Passagi dan Roberto Akyuwen. 2019. Evolusi Industri & Fintech Lending:
Peluang dan Tantangan Untuk Mahasiswa. Seminar Nasional OJK Goes to
Campus. Kampus Magister Manajemen UNSRI Palembang: 2 Mei 2019

Internet

Awan tunai. 2017. Fintech Dapat Menolong Anda. www.awantunai.com. Akses


Tanggal 23/01/2019, Pukul 22.01 WIB.

Bank Indonesia. 2013. Financial Inclusion Development Policy in Indonesia.


http://www.ilo.org, Akses 26/12/2018, Pukul 21.00 WIB.

Dea Chadiza Syafina. RupiahPlus, Saat Urusan Utang Meneror Data Pribadi.
https://tirto.id/kasus-rupiahplus-saat-urusan-utang-meneror-data-pribadi-
cNVl. Akses tanggal 15/05/2019, Pukul 20.30 WIB

Desy Setyowati. Cegah Bunuh Diri Nasabah Fintech, OJK Atur Bunga hingga
Asuransi. https://m.katadata.co.id/berita/2019/02/15/cegah-bunuh-diri-
nasabah-fintech-ojk-atur-bunga-hingga-asuransi. Akses tanggal 15/05/2019,
Pukul 20.35 WIB

Diana Kusumasari, S.H., M.H. 2011. Ciri dan Isi Surat Kuasa Khusus.
www.hukumonline.com. Akses tanggal 11/04/2019, Pukul 21.15 WIB.

Direktorat Pengaturan, Perizinan dan Pengawasan Fintech. “Perusahaan Fintech


Lending Berizin dan Terdaftar di OJK”. 2018. https://www.ojk.go.id/id/berita-
dan-kegiatan/publikasi/Pages/Penyelenggara-Fintech-Terdaftar-di-OJK-per-
Desember-2019.aspx. Akses 20/01/2019, Pukul 21.36 WIB.
75

Dunia Fintech. 2017. Apa itu Fintech dan Jenis Startup di Indonesia.
https://www.duniaFintech.com, Akses Tanggal 11/03/2019, Pukul 20.19 WIB.

Fauziah Hadi. “Penerapan Financial Technology (Fintech) sebagai Inovasi


Pengembangan Keuangan Digital di Indonesia”,
http://temilnas16.forsebi.org/penerapanfinancial-technology-Fintech sebagai-
inovasi-pengembangan-keuangan-digital-di-indonesia. Akses26/12/2018,
Pukul 19.00 WIB.

https://www.cnnindonesia.com. Akses 07/04/ 2019, Pukul 21.05 WIB.

http://www.investree.id, Akses tanggal 11/04/2019, Pukul 21.15 WIB.

Mandiri. Mandiri Virtual Account. http://www.bankmandiri.co.id. Akses Tanggal


13/04/2019, Pukul 21.10 WIB.

Otoritas Jasa Keuangan. “Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa”.


https://www.ojk.go.id/id/kanal/edukasi-dan-perlindungan-
konsumen/Pages/Lembaga-Alternatif-Penyelesaian-Sengketa.aspx. Akses
08/05/2019 Pukul 10.37 WIB

Timothy R. Lyman, Gautam Ivatury, dan Stefan Staschen. 2008. “Use of Agents in
Branchless Banking for the Poor: Rewards, Risk and Regulation”.
http://www.cgap.org. Akses 17/01/2019, Pukul 11.45 WIB.
Yanurisa Ananta. 2019. OJK: Bunga P2P Lending Diatur Secara Tidak Langsung.
https://www.cnbcindonesia.com. Akses 3 Mei 2019, Pukul 21.22 WIB.
Walter P. Semua yang Perlu Anda Ketahui Tentang Peer to Peer
Lending (P2P). https://koinworks.com. Akses Tanggal 13/04/2019, Pukul
21.10 WIB.

Anda mungkin juga menyukai