Oleh : ANAK AGUNG MIRAH TRY SANCHITA SARI (2011123011) EDWARD WIJAYA (2011123012) I PUTU AGUS ARYA DAUH (2011123013) I PUTU ARIK SANJAYA (2011123014) IDA BAGUS KADE ARI DWI PUTRA (2011123015)
PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS WARMADEWA DENPASAR 2020 Kasus:
Andi Saputra - detikNews
Selasa, 28 Jul 2020 15:30 WIB Jakarta - Terpidana kasus cessie Bank Bali, Djoko Tjandra mengajukan peninjauan kembali (PK). Jagat hukum dibuat geger karena Djoko Tjandra buron tapi bisa melenggang ke Indonesia. Berikut kronologi kasus yang bermula dari 21 tahun silam. Berdasarkan putusan pengadilan yang dikutip detikcom, Selasa (28/7/2020), kasus cessie Bank Bali bermula pada tanggal 11 Januari 1999 silam. Kala itu, PT Era Giat Prima ("EGP") dan PT Bank Bali, Tbk ("Bank Bali") menandatangani Perjanjian Pengalihan/Cessie Tagihan nomor 002/P-EGP/I-99. Dalam perjanjian tersebut, Bank Bali (Cedent) menyerahkan kepada EGP (Cessionaris) tagihannya (piutang) terhadap PT Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI). Dalam perjanjian itu, Bank Bali dan EGP menyepakati bahwa hak tagih milik Bank Bali dialihkan kepada EGP dengan harga Rp. 798.091.770.000,- (tujuh ratus sembilan puluh delapan miliar sembilan puluh satu juta tujuh ratus tujuh puluh ribu Rupiah) sebagaimana tertuang dalam Perjanjian Pengalihan/Cessie Tagihan nomor 002/P-EGP/I-99 jo Perjanjian Penyelesaian No. 007/BB/CL/VI/99. Pengalihan cessie merupakan transaksi keperdataan yang diatur dan diakui dalam sistem hukum Indonesia dan lazim dilakukan di dunia usaha termasuk di dunia perbankan. Dengan adanya perjanjian tersebut, maka piutang tersebut sah dan seusai hukum beralih kepada EGP. Pada krisis ekonomi berlangsung, BDNI dan Bank Bali diambil alih oleh BPPN dan ditetapkan sebagai BTO (Bank Take Over) yang berada di bawah tanggung jawab BPPN. Bahkan BDNI telah ditetapkan sebagai Bank Beku Operasi (BBO) sehingga BDNI tidak dapat melakukan perbuatan hukum sendiri tanpa kehendak, persetujuan dan sepengetahuan BPPN, termasuk tetapi tidak terbatas pada penyelesaian kewajiban BDNI kepada Bank Bali yang telah menyerahkan piutangnya kepada EGP. Oleh karena sebelum ditetapkannya BDNI sebagai BBO, BDNI tidak pernah melakukan kewajiban pembayaran utangnya kepada Bank Bali. Maka EGP yang telah mengambil alih piutang Bank Bali mengajukan permohonan kepada BPPN sebagai penanggung jawab Bank Beku Operasi (BDNI) agar dapat menyelesaikan kewajiban BDNI kepada Bank Bali (EGP). BPPN kemudian mengabulkan permohonan tersebut setelah menjalani berbagai prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Pembayaran piutang EGP/Bank Bali sendiri didasarkan pada peraturan perundang-undangan sebagai berikut: Sesuai dengan Pasal 8 Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1998, BPPN berwenang untuk mengambilalih pengoperasian Bank atau pengelolaan atas kekayaan Bank. In casu, BDNI telah ditetapkan sebagai BBO pada tanggal 21 Agustus 1998 sehingga seluruh aset BDNI termasuk tetapi tidak terbatas pada hak dan kewajiban BDNI kepada EGP menjadi tanggung jawab dan kewenangan BPPN. Terlebih BDNI telah menandatangani Master of Settlement and Acquisition Agreement (MSAA) dan telah menyerahkan aset-aset BDNI senilai 28,5 trilliun kepada BPPN. Berdasarkan hal itu pula maka penyelesaian kewajiban BDNI yang dilakukan oleh BPPN sebagai penanggung jawab kepada EGP adalah sesuai dengan kewenangan yang dibenarkan secara hukum. Dengan adanya penguasaan aset BDNI oleh BPPN, maka penyelesaian kewajiban BDNI oleh BPPN kepada EGP tidak berarti bahwa hal itu menggunakan keuangan negara cq BPPN, tetapi hanya bersifat talangan sementara yang pada nantinya akan dikonversi dengan aset-aset BDNI yang dikuasai BPPN. Sesuai Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1998 jo Keputusan Menteri Keuangan Nomor 26/KMK.017/1998, BDNI dan Bank Bali adalah Bank Umum yang termasuk dalam program penjaminan pemerintah. Oleh karenanya, transaksi perbankan termasuk transaksi antarbank (Pasal 1 KMK) dapat diambil alih oleh BPPN untuk diselesaikan. Mengacu pada uraian di atas, maka baik secara keperdataan maupun administratif, pengambilalihan kewajiban BDNI oleh BPPN kepada Bank Bali/EGP telah sesuai dengan hukum sehingga tidak dimungkinkan terjadi kerugian negara sebagaimana yang dituduhkan oleh Kejaksaan (Penuntut Umum). Para 28 Agustus 2000, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) menyatakan bahwa perbuatan Joko Soegiarto Tjandra termasuk dalam lingkup hukum perdata. Pertimbangan hukumnya menyatakan: Menimbang bahwa oleh karena apa yang dilakukan Terdakwa sebagai Direktur PT Era Giat Prima termasuk dalam ruang lingkup hukum perdata, sebagaimana telah disinggung di atas, pihak yang merasa haknya dirugikan dapat mengajukan gugatan perdata di Pengadilan negeri sebagaimana dimaksud oleh Pasal 163 HR...; apabila pemerintah (negara) merasa dirugikan akibat pencairan dana tagihan PT Bank Bali terhadap PT BDNI (BBO) sehubungan dengan program penjaminan sesuai Keppres No. 26 Tahun 1998 di satu pihak dan di pihak lain apabila pemerintah atau negara merasa dirugikan pula karena sebagian dana yang berasal dari talangan pemerintah dikuasai oleh PT Era Giat Prima akibat adanya Perjanjian pengalihan/Cessie Tagihan No. 002/P-EGP/I-99 tanggal 11 Januari 1999 berikut instrumen-instrumennya pemerintah pun berhak mengajukan gugatan perdata terhadap PT Era Giat Prima selaku cessionaris dalam kapasitasnya sebagai Tergugat. Berikut amar putusan PN Jaksel Nonor 156/Pid.B/2000/PN.Jak.Sel: MENGADILI: - Menyatakan perbuatan JST tersebut sebagaimana dalam dakwaan primer terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan tindakan pidana; - Menyatakan terdakwa JST dilepas dari segala tuntutan hukum (onstlag van rechtsvervolging); - Memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan, dan harkat serta martabatnya; - Membebankan biaya perkara kepada Negara; - Memerintahkan barang bukti berupa dana yang ada dalam Escrow Account Bank Bali No. 0999.045197 sejumlah Rp 546.466.166.369,- dikembalikan kepada EGP, sedangkan barang bukti berupa dana yang ada di BNI 46 Rasuna Said Jakarta Selatan sejumlah Rp 28.756.160,- dikembalikan kepada Terdakwa JST; - Menyatakan barang bukti lainnya berupa surat-surat sebagaimana dalam daftar barang bukti digunakan dalam perkara lain. Putusan PN Jaksel tersebut diperkuat dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor 1688K/Pid/2000 tanggal 28 Juni 2001 dengan amar putusan menolak permohonan Kasasi dari Pemohon kasasi: Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan. Namun pada tanggal 3 September 2008 JPU mengajukan Peninjauan Kembali (PK). Siapa nyana, PK dari jaksa dikabulkan oleh Mahkamah Agung dengan putusan no. 12 PK/Pid.Sus/2009 tanggal 11 Juni 2009 yang amarnya berbunyi: - Mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan oleh JPU pada Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan tersebut; - Membatalkan putusan Mahkamah Agung RI no. 1688 K/Pid/2000 tanggal 28 Juni 2001 jo. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan 156/Pid.B/2000/PN.Jak.Sel. tanggal 28 Agustus 2000; MENGADILI KEMBALI: - Menyatakan Terdakwa JST telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana "turut serta melakukan tindak pidana korupsi dan berlanjut"; - Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 2 tahun; - Menghukum pula Terdaksa untuk membayar denda sebesar Rp15 juta dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar, maka kepada Terdakwa dikenakan hukuman pengganti berupa pidana kurungan selama 3 bulan; - Menyatakan barang bukti berupa dana yang ada dalam escrow account atas rekening Bank Bali no. 0999.045197 qq PT EGP sejumlah Rp546.468.544.738,- dirampas untuk dikembalikan kepada negara; - Menyatakan barang bukti lainnya berupa surat2 sebagaimana dalam daftar barang bukti tetap terlampir dalam berkas; - Membebankan Termohon Peninjauan Kembali atau Terdakwa untuk membayar biaya perkara dalam semua tingkat peradilan yang dalam tingkat Peninjauan Kembali ini sebesar Rp2.500,-. Bolehlah PK di atas memperberat hukuman? Dalam Pasal 266 ayat (3) KUHAP berbunyi: Pidana yang dijatuhkan dalam putusan PK tidak boleh melebihi pidana yang telah dijatuhkan dalam putusan semula. Dalam hal ini putusan PK yang diajukan oleh JPU melebihi pidana yang telah dijatuhkan dalam putusan semula. Padahal, Pasal 266 ayat (3) KUHAP menyatakan sebaliknya. Pada 2012, Djoko Tjandra kemudian mengajukan PK kepada Mahkamah Agung dan Mahkamah Agung mengeluarkan Putusan no. 100 PK/Pid.Sus/2009 tanggal 20 Februari 2012, yang amarnya berbunyi: MENGADILI: - Menolak permohonan Peninjauan Kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali/Terpidana JST; - Menetapkan bahwa putusan yang dimohonkan Peninjauan Kembali tersebut tetap berlaku; - Membebankan pemohon Peninjauan Kembali/Terpidana untuk membayar biaya perkara dalam Peninjauan Kembali ini sebesar Rp2.500,- Pada 2016, isteri Djoko Tjandra, Anna Boentaran kemudian mengajukan permohonan pengujian ketentuan Pasal 263 ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ("KUHAP") terhadap UUD 1945. Hasilnya, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-XIV/2016, tertanggal 12 Mei 2016 membuat beberapa pertimbangan- pertimbangan hukum sebagai berikut : a. Mahkamah berwenang untuk mengadili; b. Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan; c. Permohonan Pemohon beralasan menurut hukum secara bersyarat; d. Upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) dilandasi filosofi pengembalian hak dan keadilan seseorang yang meyakini dirinya mendapat perlakuan yang tidak berkeadilan yang dilakukan oleh Negara berdasarkan putusan hakim. Sehingga, berdasarkan hukum positif yang berlaku di Indonesia bahwa lembaga Peninjauan Kembali (PK) ditujukan untuk kepentingan terpidana guna melakukan upaya hukum luar biasa, bukan kepentingan Negara maupun kepentingan korban. e. Permohonan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan oleh Jaksa/Penuntut Umum telah terjadi 2 (dua) pelanggaran prinsip dari Peninjauan Kembali (PK) itu sendiri, yaitu pelanggaran terhadap subyek dan obyek Peninjauan Kembali (PK). Dikatakan ada pelanggaran terhadap subyek karena subyek yang berhak mengajukan Peninjauan Kembali (PK) adalah hanya terpidana ataupun ahli warisnya sementara itu dikatakan ada pelanggaran terhadap obyek karena terhadap putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum tidak dapat dijadikan obyek Peninjauan Kembali (PK). f. Jaksa / Penuntut Umum telah diberikan kesempatan yang cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa yang dimulai sejak penyidikan, penuntutan, pemeriksaan dan putusan di tingkat pertama, banding, dan kasasi. Oleh karena itu, dipandang adil jikalau pemeriksaan Peninjauan Kembali (PK) dibatasi hanya bagi terpidana atau ahli warisnya sehingga yang berhak untuk mengajukan permohonan Peninjauan Kembali (PK) adalah hak terpidana atau ahli warisnya, bukan hak Jaksa / Penuntut Umum. g. Jika Jaksa / Penuntut Umum melakukan Peninjauan Kembali (PK), padahal sebelumnya Jaksa / Penuntut Umum telah mengajukan Kasasi dan upaya hukum luar biasa berupa kasasi demi kepentingan hukum dan telah dinyatakan ditolak, maka memberikan kembali hak kepada Jaksa / Penuntut Umum untuk mengajukan Peninjauan Kembali (PK) tentu menimbulkan ketidakpastian hukum dan sekaligus tidak berkeadilan. Mahkamah Konstitusi (MK) memandang terdapat 4 (empat) landasan pokok yang tidak boleh dilanggar dan ditafsirkan selain apa yang secara tegas termuat dalam ketentuan Pasal 263 ayat 1 KUHAP yaitu: b. Peninjauan Kembali (PK) hanya dapat diajukan terhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde zaak). c. Peninjauan Kembali (PK) tidak dapat diajukan terhadap putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum. d. Permohonan Peninjauan Kembali (PK) hanya dapat diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya. e. Peninjauan Kembali (PK) hanya dapat diajukan terhadap putusan pemidanaan. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan hukum dan landasan pokok yang tidak dapat / boleh dilanggar dan ditafsirkan selain dari apa yang secara tegas dalam ketentuan Pasal 263 ayat 1 KUHAP, maka MK memberikan Putusannya sebagai berikut : a. Mengabulkan permohonan Pemohon : - Ketentuan Pasal 263 ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat. - Ketentuan Pasal 263 ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat dan Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimanamestinya. Pada pertengahan 2020, Djoko Tjandra lalu mengajukan PK. Sidang administrasi digelar di PN Jaksel. Untuk kepentingan itu, Djoko kembali ke Indonesia. Hal itu membuat geger publik karena terjadi sejumlah manuver hukum. Kini berkas PK telah selesai diperiksa PN Jaksel. "Majelis hakim sidang telah memberikan kesempatan kepada jaksa untuk memberi tanggapan dalam perkara ini.... Dengan perkara ini akan diputuskan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, sidang dinyatakan selesai dan ditutup," ujar hakim ketua Nazar Efriandi saat membacakan keputusan di PN Jaksel, Jalan Ampera Raya, Jaksel, Senin (27/7/2020). Soal dan jawaban: A. Kasus Cesseie Bank Bali apakah perbuatan melawan hukum ? Menurut hasil diskusi kelompok kami tentang Kasus Cesseie Bank Bali Djoko Tjandra merupakan Perbuatan Melawan Hukum itu karena disebukan dalam Pasal 1365 KUHPerdata bahwa tiap perbuatan yang melaggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain mewaiibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut dan juga disebutkan dalam kasus ini Djoko Tjandra ini telah menjadi DPO atau Buronan sejak Tahun 2009, Jadi ini sudah memenuhi unsur Perbuatan Melawan Hukum dan juga Pasal 1365 KUHPerdata.
B. Bagaimana kasus ini apakah masuk dalam perbuatan melawan hukum ?
Menurut kami Kasus ini telah masuk didalam Perbuatan Melawan Hukum karena jika kita merujuk ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata bahwa tiap perbuatan melawan hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut. Dengan unsur – unsur : (1) Ada perbuatan melawan hukum (2) Ada Kesalahan (3) Ada Kerugian (4) Ada Hubungan sebab akibat antara kerugian dan perbuatan Sedangkan ketentuan Pasal 1366 KUHPerdata menyatakan bahwa setiap oran bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan kelalaian atau kurang hati – hatinya. Ketentuan ini mengatur pertanggung jawaban yang diakibatkan oleh adanya perbuatan melawan hukum baik karena berbuat atau karena tidak berbuat. Pasal ini lebih mengarah pada tuntutan pertanggungjawaban yang diakibatkan oleh kesalahan karena kelalaian. Perbuatan Melawan Hukum / PMH secara yuridis mempunyai konsekuensi terhadap pelaku maupun orang – orang yang mempunyai hubungan hukum dalam bentuk pekerjaan yang menyebabkan timbulnya perbuatan melawan hukum. Jadi akibat yang timbul dari suatu perbuatan melawan hukum akan diwujudkan dalam bentuk ganti kerugian terhadap korban yang mengalami. Penggantian kerugian sebagai akibat dari adanya perbuatan melawan hukum sebagaimana telah disinggung diatas dapat berupa penggantian kerugian materiil dan immaterial. Dalam praktek penggantian kerugian dihitung dengan uang atau disertakan dengan uang disamping adanya tuntutan penggantian benda atau barang – barang yang dianggap telah mengalami kerusakan atau perampasan sebagai akibat perbuatan melawan hukum pelaku. Jika mencermati perumusan Pasal 1365 KUHPerdata secara limitatif menganut asas hukum bahwa penggantian kerugian dalam hal terjadinya suatu perbuatan melawan hukum bersifat wajib. Secara teoritis penggantian kerugian sebagai akibat dari suatu perbuatan melawan hukum diklasifikasikan kedalam dua bagian yaitu Kerugian yang bersifat aktual dan kerugian yang akan dating. Dikatakan kerugian yang bersifat aktual adalah kerugian yang mudah dilihat secara nyata atau secara fisik baik yang bersifat materiil maupun immaterial. Kerugian ini didasarkan pada hal – hal konkrit yang timbul sebagai akibat adanya perbuatan melawan hukum dari pelaku. Sedangkan kerugian yang bersifat dimasa mendatang adalah kerugian – kerugian yang dapat diperkirakan akan timbul di masa mendatang akibat adanya perbuatan melawan hukum dari pihak pelaku. Jadi sudah jelas Djoko Tjandra telah membawa kerugian bagi pihak bank bali itu sendiri karena telah menimbulkan kerugian aktual dan kerugian yang akan datang baik itu berupa kerugian materiil maupun immaterial.