I. PENDAHULUAN
Hilangnya penggunaan bahasa daerah tidak dapat dipungkiri, terlebih dengan pesatnya
perkembangan media sosial dan teknologi. Salah satu alasan yang dapat menyebabkan para
generasi muda sebagai penutur aktif lebih menyukai budaya barat dibandingkan belajar bahasa
daerah. Hal tersebut juga menimbulkan kesadaran bahwa perlunya pelestarian bahasa dan
kebudayaan sebagai kekayaan bangsa menjadi tema penting yang seharusnya menjadi satu fokus
pemerintah serta masyarakat saat ini. Dengan diluncurkannya Merdeka Belajar Episode 17 pada
tanggal 22 Februari 2022 lalu, program revitalisasi bahasa daerah sebagai langkah
mempertahankan kekayaan bangsa serempak dilakukan di berbagai daerah seluruh Indonesia,
dengan objek revitalisasi 38 bahasa daerah yang tersebar di 12 provinsi, yaitu Sumatra Utara, Jawa
Barat, Jawa Tengah, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, Kalimantan
Timur, Kalimantan Tengah, Maluku, Maluku Utara, dan Papua.
Sebagai salah satu provinsi yang ikut terlibat dalam upaya pelestarian bahasa daerah,
Kalimantan Tengan khususnya kota Pangkalan Bun yang berada di Kabupaten Kotawaringin Barat,
mulai menerapkan pembelajaran bahasa dan sastra daerah sebagai muatan lokal dihampir seluruh
jenjang pendidikan. Kotawaringin Barat khusunya kota Pangkalan Bun memiliki masyarakat yang
berasal dari beragam etnis dan budaya, salah satunya adalah budaya suku Dayak, suku Melayu,
suku Banjar, dan budaya etnis pendatang seperti Bugis, Sunda, Jawa, dan Madura. Dengan
demikian, selain dalam rangka melestarikan bahasa daerah, program revitalisasi bahasa juga
menjadi salah satu bentuk upaya memperkenalkan penggunaan bahasa daerah kepada generasi
muda di lingkungan multikultural dan multilingual kota Pangkalan Bun.
Berdasarkan pemaparan di atas, penulis bertujuan untuk melihat fenomena bahasa Melayu
dialek Kotawaringin yang ditetapkan sebagai bahasa daerah Kabupaten Kotawaringin Barat dalam
pandangan sosiolinguistik, hal tersebut dapat dirumuskan seperti berikut: Apa saja bentuk
kebahasaan yang ada pada bahasa Melayu dialek Kotawaringin dalam pandangan sosiolinguistik?
Table 1.2 Penggunaan Bahasa Daerah Berdasarkan Kelurahan di Kecamatan Arut Selatan
Kelurahan Bahasa Sehari-hari
Raja Kutaringin
Baru Melayu, Madura
Sidorejo Dayak, Jawa
Madurejo Madura
Mendawai Mendawai, Banjar
(sumber: Khoerunnisa dan Wardhana, 2022)
II. Pembahasan
Berdasarkan realita bahwa penduduk Kotawaringin Barat yang terdiri dari beragam suku
budaya serta bahasa, perlu kiranya kita melihat penggunaan bahasa tersebut dalam sudut pandang
sosiolinguistik. Sehingga, melalui sudut pandang sosiolinguitik tersebut kita dapat memahami apa
yang terjadi dalam bahasa Melayu dialek Kotawaringin berdasarkan penggunaan bahasanya.
Menurut Sosiolinguistik adalah sebuah ilmu yang berasal dari gabungan sosio dan lingustik. Pada
lingustik fokus kajiannya seputar bahasa dan kebahasaan, sedangkan sosio atau sosiologi fokus
kajiannya adalah hubungan masyarakat, baik itu lembaga-lembaga sosial yang ada di masyarakat
maupun masalah sosial yang berada didalam masyarakat.
Pendekatan yang dapat digunakan dalam pemaknaan tuturan atau kata dalam pandangan
sosiolinguistik dapat menggunakan apa yang disebut Jakobson (dalam Chaer dan Agustin, 2014)
sebagai pemaknaan secara monolingual, yaitu mempelajari kaidah bahasa melalui bahasa itu
sendiri serta penutur bahasa itu sendiri. Dengan demikian, pemaknaan berdasarkan penuturnya
secara langsung dapat menjadi salah satu solusi dalam pemahaman penggunaan bahasa dalam
kajian sosiolinguistik. Dengan menggunakan bentuk data berupa kata dan kalimat secara induktif
yang dijelaskan Creswell (1998) melalui deskripsi ekpresi dan persuasif, kemudian berdasarkan
deskripsi dari interpretasi serta pengalaman responden menurut Hancock, dkk (2007); maka tulisan
ini menekankan kepada pendekatan kualitatif dalam upaya mencari tahu penggunaan bahasa oleh
pada percakapan bahasa Melayu dialek Kotawaringin.
Contoh percakapan yang akan dilihat di bagian selanjutnya dalam tulisan ini adalah percakapan
berdasarkan rekaman interaksi antara perawat di Klinik Spesialis Anak RSUD Sultan Imanuddin
Pangkalan Bun dengan beberapa orang tua pasien yang sebelumnya sudah penulis transkrip ke
dalam bentuk tulisan per kalimat berdasarkan metode simak, yaitu menyimak penggunaan bahasa
secara lisan, kemudian juga penggunaan bahasa secara tertulis (Mahsun, 2005:90). Walaupun
penulis sebagai penutur aktif bahasa Melayu dialek Kotawaringin, namun didalam tulisan ini penulis
mewawancarai pentur asli yang ada di dalam rekaman untuk kemudian penutur tersebut coba
uraikan variasi maupun penggunaan bahasa yang digunakan di dalam rekaman yang dimaksud
sesuai dengan penilaian individu penutur aslinya. Dengan berdasarkan penjelasan serta uraian dari
wawacara tersebut, hasil percakapan beserta pemaknaan dari penutur aslinya antara perawat dan
orang tua pasien itu kemudian penulis klasifikasikan berdasarkan sudut pandang sosiolinguistik.
P1 Batuk ja kah?
[Batuk aja?]
P2 He’eh.
[Iya]
P1 Muntah kadeda kah?
[Muntah tidak ada?]
P2 Gak. Cuma tadi malam, yang diapai tuh—
[Tidak. Cuma tadi malam, setelah apa istilahnya—]
P1 Disedot tu kah?
[Dihisap itu kah?]
P2 He’e, yang pas disedot tu ma. Habis tu kadeda am.
[Iya, setelah dihisap itu saja. Sehabis itu tidak ada lagi]
Pada kalimat percakapan di atas apa bila kita memenggunakan faktor yang dijelaskan Hymes,
maka: 1) Setting and Scene-nya merujuk kepada Ruang Inap Klinik Spesialis Anak RSUD Sultan
Imanuddin Pangkalan Bu, dan terjadinya pada pemeriksaan rutin tiap pagi yang dilakukan oleh
perawat; 2) Participants-nya adalah perawat Klinik Spesialis Anak dengan orang tua pasien; 3) Ends-
nya adalah untuk memerikasa perkembangan pengobatan pasien dan mendapatkan laporan
apabila ada keluhan pada proses pengobatan; 4) Act Sequences-nya perawat memeriksa suhu
badan pasien; 5) Key-nya adalah tanya jawab; 6) Instrumentalities-nya melalui ungkapan lisan; 7)
Norms-nya memposisikan diri berdasarkan peran masing-masing dalam hal perawat dan orang tua
pasien. Seperti halnya interaksi antara perawat dengan orang tua pasien sama seperti interaksi
antara orang tua dengan dokter, namun bisa dengan berbeda antara perawat dengan dokter,
karena berdasarkan bidang keahliannya; dan 8) Genres-nya termasuk non formal dan santai.
Selain dari unsur yang disebutkan Hymes, Halliday (1984 dalam Wijana & Rohmadi, 2006)
melanjutkan dengan menyebutkan tiga unsur yang mempengaruhi peristiwa bahasa; Field, merujuk
kepada apa yang terjadi pada bidang tertentu, apabila berdasarkan contoh di atas adalah
pemeriksaan yang dilakukan oleh perawat untuk memonitor perkembangan pasien melalui
pengamatan secara objektif (memeriksa suhu tubuh) dan menanyakan pendapat orang tua pasien;
Tenor, merujuk kepada partisipan yang terlibat dalam interaksi verbal, yang apa bila kita gunakan
berdasarkan contoh yang di atas maka partisipannya adalah perawat dan orang tua pasien; dan
Mode, yang merujuk kepada pemilihan bentuk bahasa atau variasi yang digunakan dalam interaksi,
berdasarkan contoh di atas adalah penggunaan non formal dan santai.
Alih kode berdasarkan contoh di atas terjadi pada kata kek gini oleh penutur kedua.
Penggunaan unsur bahasa Indonesia non formal, variasi dari kayak, kek¸ ataupun ke’ yang
bermakna sama dengan kata seperti untuk mengatakan sesuatu yang serupa atau menyerupai
sesuatu. Dalam percakapan ini, kata tersebut digunakan untuk mengonfirmasi apa kah jenis obat
yang ditunjukan sudah benar atau belum. Sedangkan campur kodenya adalah pada percakapan di
atas adalah pada bagian Yang kek gini—maksudnya mun yang maca mini belum ada sebagai
perubahan dari bentuk non formal bahasa Indonesia ke non formal bahasa Melayu dialek
Kotawaringin. Pada kalimat ini P2 menyelipkan ungkapan mun variasi dari amun dan macam variasi
dari macaman dari bahasa Melayu dialek Kotawaringin non formal yang sebelumnya menggunakan
unkapan kek gini secara tiba-tiba.
III. Kesimpulan
Bahasa Melayu dialek Kotawaringin dilihat dari sudut pandang sosiolinguistik memiliki
beberapa ragam atau variasi dalam penggunaannya. Sebagaimana diketahui, kajian sosiolinguistik
tidak terlepas dari unsur-unsur seperti: tempat dan waktu, siapa yang terlibat dalam percakapan,
tujuan percakapan, bentuk percakapan, cara penyampaian, jalur percakapan, perilaku peserta
percakapan, serta ragam bahasa yang digunakan di dalam percakapan. Terdapat alih kode dan
campur kode dalam variasi penggunaan bahasa Melayu dialek Kotawaringin; alih kode dengan
menggunakan bahasa Indonesia non formal, dan campur kode antara bahasa Indonesia non formal
dengan sisipan bahasa Melayu dialek non formal.
DAFTAR PUSTAKA
Bell, R., T. (1976). Sosiolinguistics: Goals, Approach and Problems. London: Batsford
Chaer, A., & Agustina, L. (2010). Sociolinguistics Early Introduction. Jakarta: Rineka Cipta.
Chomsky, Noam. (1965). Aspects of The Theory of Syntax. Cambridge: MIT Press.
Eberhard, David M., Gary F. Simons, and Charles D. Fennig (eds.). (2022). Ethnologue:
Languages of the World. Twenty-fifth edition. Dallas, Texas: SIL International. Online
version: http://www.ethnologue.com.
Wijana, I. D. P., & Rohmadi, M. (2006). Sosiolinguistik: Kajian teori dan analisis. Pustaka Pelajar.