Anda di halaman 1dari 11

Bahasa Melayu Dialek Kotawaringin pada Kisah Sentayut

Aditya Alam Soeta Bangsa


22206251008

I. PENDAHULUAN

Hilangnya penggunaan bahasa daerah tidak dapat dipungkiri, terlebih dengan pesatnya
perkembangan media sosial dan teknologi. Salah satu alasan yang dapat menyebabkan para
generasi muda sebagai penutur aktif lebih menyukai budaya barat dibandingkan belajar bahasa
daerah. Hal tersebut juga menimbulkan kesadaran bahwa perlunya pelestarian bahasa dan
kebudayaan sebagai kekayaan bangsa menjadi tema penting yang seharusnya menjadi satu fokus
pemerintah serta masyarakat saat ini. Dengan diluncurkannya Merdeka Belajar Episode 17 pada
tanggal 22 Februari 2022 lalu, program revitalisasi bahasa daerah sebagai langkah
mempertahankan kekayaan bangsa serempak dilakukan di berbagai daerah seluruh Indonesia,
dengan objek revitalisasi 38 bahasa daerah yang tersebar di 12 provinsi, yaitu Sumatra Utara, Jawa
Barat, Jawa Tengah, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, Kalimantan
Timur, Kalimantan Tengah, Maluku, Maluku Utara, dan Papua.
Sebagai salah satu provinsi yang ikut terlibat dalam upaya pelestarian bahasa daerah,
Kalimantan Tengan khususnya kota Pangkalan Bun yang berada di Kabupaten Kotawaringin Barat,
mulai menerapkan pembelajaran bahasa dan sastra daerah sebagai muatan lokal dihampir seluruh
jenjang pendidikan. Kotawaringin Barat khusunya kota Pangkalan Bun memiliki masyarakat yang
berasal dari beragam etnis dan budaya, salah satunya adalah budaya suku Dayak, suku Melayu,
suku Banjar, dan budaya etnis pendatang seperti Bugis, Sunda, Jawa, dan Madura. Dengan
demikian, selain dalam rangka melestarikan bahasa daerah, program revitalisasi bahasa juga
menjadi salah satu bentuk upaya memperkenalkan penggunaan bahasa daerah kepada generasi
muda di lingkungan multikultural dan multilingual kota Pangkalan Bun.
Berdasarkan pemaparan di atas, penulis bertujuan untuk melihat fenomena bahasa Melayu
dialek Kotawaringin yang ditetapkan sebagai bahasa daerah Kabupaten Kotawaringin Barat dalam
pandangan sosiolinguistik, hal tersebut dapat dirumuskan seperti berikut: Apa saja bentuk
kebahasaan yang ada pada bahasa Melayu dialek Kotawaringin dalam pandangan sosiolinguistik?

1. Sejarah Kabupaten Kotawaringin Barat


Kabupaten Kotawaringin Barat pada zaman sebelum kemerdekaan dan berdirinya Negara
Kesatuan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945, merupakan wilayah kekuasaan Kerajaan
Kutaringin. Kerajaan Kutaringin adalah sebuah kerajaan Islam di Kalimantan Tengah yang didirikan
oleh keturunan Raja Banjar di Kalimantan Selatan. Menurut Hikayat Banjar (Sri et al., 1993), Sultan
Musta’inubillah (Sultan Kerajaan Banjar IV) mempunyai lima keturunan melalui pernikahannya
dengan permaisuri Ratu Agung empat orang putra dan seorang putri. Dari empat putra Sultan
Musta’inubillah, Pangeran Adipati Antakusuma sebagai putra ke-empat memuntuskan untuk pergi
meninggalkan Kerajaan Banjar dengan tujuan untuk mencari tempat dimana akan didirikan
kerajaan baru. Dari Pangeran Adipati Antakusuma inilah kemudian Kerajaan Kutaringin berdiri,
dengan Pangeran Adipati Antakusuma sebagai raja pertamanya bergelar pangeran Ratu Kota
Waringin (ke-1), yang kemudian memiliki gelar terakhir yaitu mangkubumi Ratu Bagawan (ke-1).
Pangeran Adipati Antakusuma berangkat dengan rombongan pengikut beserta sejumlah
pengawalnya menggunakan perahu layar menuju arah barat yaitu Kalimantan Tengah setelah
mendapatkan restu dari Kerajaan Banjar. Dalam perjalanan untuk mendirikan kerajaan baru,
rombongan Pangeran Adipati Antakusuma diriwayatkan pernah singgah di beberapa tempat, salah
satunya adalah daerah Sebangau (kini Kecamatan Sebagau), daerah Pegatan Mendawai (kini
Kecamatan Mendawai, Kabupaten Katingan), daerah Sampit, dan daerah Pembuang (kini Kuala
Pembuang). Perjalanan rombongan Pangeran Adipati Antakusuma pada akhirnya sampai di tempat
terakhir yaitu Desa Pandau (Kelurahan Pandau di Kotawaringin Barat), yang mana kedatangan
rombongan Pangeran Adipati Antakusuma sangat diterima dengan baik oleh masyarakat suku
Dayak yang terlebih dahulu mendiami tempat tersebut.
Demang Petinggi beserta masyarakat Dayak Arut di daerah tersebut menerima keinginan dari
Pangeran Adipati Antakusuma untuk mendirikan kerajaan dan menjadi raja di kerajaan tersebut
dengan syarat masyarakat Dayak yang berada disana diperlakukan bukan seperti hamba, melainkan
sebagai pembantu utama dan kawan yang terdekat atau sebagai saudara yang baik bagi kerajaan
yang akan didirikan oleh Pangeran Adipati Antakusuma. Syarat tersebut kemudian diikat melalui
janji dari kedua belah pihak. Perjanjian antara kedua suku (suku Banjar dan suku Dayak) tersebut
kemudian disahkan berdasarkan perjanjian darah—melalui usulan dari masyarakat Dayak sebagai
bukti nyata ikatan darah kedua belah pihak. Dengan demikian, seorang satria dari suku Dayak Arut
dan seorang satria dari rombongan Pangeran Adipati Antakusuma dikorbankan sebagai bukti
materai perjanjian. Upacara perjanjian adat itu dimulai dengan meletakkan sebuah batu (sekarang
dikenal sebagai Batu Betahan) yang dipilih oleh kedua orang yang dikorbankan. Kemudian, seorang
yang mewakili suku Dayak Arut berdiri menghadap ke arah hulu sungai menunjukkan arah dari
mana ia datang, dan seorang yang mewakili rombongan Pangeran Adipati Antakusuma berdiri
menghadap hilir sungai untuk menunjukan asal kedatangan mereka. Diceritakan, setelah selesai
sumpah janji setia dilakasanakan, Kepala Suku Dayak Arut kemudian menusukkan mandaunya
(sebutan pedang suku Dayak) ke dada kesatria Dayak Arut yang dikorbankan. Begitu pula yang
dilakukan dari rombongan Pangeran Adipati Antakusuma kepada kesatria yang dikorbankan dari
mereka, sehingga darah dari kedua korban tersebut bertemu dan menetes jatuh menjadi satu
membasahi tanah. Percampuran darah secara langsung dan disaksikan seluruh rakyat kedua belah
pihak ini bertujuan untuk mempersatukan segala rasa dan pikiran dalam segala rencana bersama.
Perjanjian ini selanjunya dinamai Panti Darah Janji Samaya yang berarti perjanjian yang dikokohkan
dengan tetesan darah yang menjadi satu. Berdasarkan perjanjian tersebut, Kesultanan Kutaringin
resmi berdiri dan Pangeran Dipati Antakusuma diangkat menjadi raja pertama Kerajaan
Kotawaringin.
Kesultanan Kutaringin pada awalnya berpusat di Kecamatan Kotawaringin Lama berdasarkan
catatan serta peninggalan yang ada pada Astana Al-Nursari—nama istana yang dibangun sebagai
tempat tinggal raja, sebelum kemudian pada tahun 1814 Keraton Kesultanan dipindahkan ke
Pangkalan Bun sebagai pusat pemerintahan yang disebut dengan Keraton Kuning atau Indra
Kencana. Setelah Proklamasi kemerdekaan RI maka wilayah Kesultanan Kotawaringin menjadi
bagian wilayah negara RI, dengan status Swapraja/Kwedanan dan selanjutnya berkembang menjadi
Kabupaten Daerah Tingkat II Kotawaringin Barat sebagai Daerah Otonom Pangkalan Bun sebagai
ibu kota Kabupaten.

2. Ragam Bahasa dan Etnis yang ada di Pangkalan Bun


Kabupaten Kotawaringin Barat setelah diadakannya pemekaran Kabupaten berdasarkan UU
No. 5 Tahun 2002 saat ini memiliki luas wilayah sebesar 10.075.900 Km2 atau sekitar 6,2 % luas
provinsi Kalimantan Tengah, terdiri dari 6 Kecamatan, 72 Desa, dan 13 Kelurahan. Berdasarkan
laporan Kabupaten Kotawaringin Dalam Angka 2022 berupa daftar jumlah peduduk dari BPS dan
penggunaan bahasa sehari-hari (dalam Muktingintyas et al., 2022) penduduk Kabupaten
Kotawaringin Barat dapat diuraikan seperti berikut.
Table 1.1 Jumlah Penduduk Kabupaten Kotawaringin Barat Berdasarkan Kecamatan
Kecamatan Penduduk
1. Kotawaringin Lama 19,220
2. Arut Selatan 118,809
3. Kumai 52.821
4. Pangkalan Banteng 37,784
5. Pangkalan Lada 34,547
6. Arut Utara 9,350
Jumlah Penduduk 272,531
(Sumber: BPS Kabupaten Kotawaringin dalam Angka 2022)

Table 1.2 Penggunaan Bahasa Daerah Berdasarkan Kelurahan di Kecamatan Arut Selatan
Kelurahan Bahasa Sehari-hari
Raja Kutaringin
Baru Melayu, Madura
Sidorejo Dayak, Jawa
Madurejo Madura
Mendawai Mendawai, Banjar
(sumber: Khoerunnisa dan Wardhana, 2022)

Berdasarkan penelitian Khoerunnisa dan Wardhana (2022), mereka menyebutkan terdapat


tujuh ragam bahasa yang biasa digunakan di beberapa kelurahan yang ada di Kota Pangkalan Bun.
Salah satunya adalah pada kelurahan Raja yang mayoritas penduduknya adalah Melayu keturunan
Kerajaan Kutaringin; kelurahan Baru yang mayoritas penduduknya berasal dari Melayu dan Madura;
Kelurahan Sidorejo yang mayoritas penduduknya adalah Dayak dan Jawa; Kelurahan Madurejo yang
mayoritas penduduknya berasal dari Madura; dan Kelurahan Mendawai yang mayoritas
penduduknya berasal dari Dayak Mendawai dan Melayu Banjar. Berdasarkan penjabaran tersebut,
dapat dikatakan masyarakat Kecamatan Arut Selatan merupakan masyarakat yang memiliki ragam
bahasa serta ragam budaya, sebagaimana dijelaskan oleh Chaer dan Agustina tentang, masyarakat
aneka bahasa atau masyarakat multilingual adalah masyarakat yang mempunyai beberapa bahasa
(Chaer & Agustina, 2010). Berdasarkan hal tersebut, kesatuan tentang bahasa daerah utama dirasa
sangat diperlukan, dalam rangka melestarikan bahasa daerah (Khoerunnisa dan Wardhana, 2022),
khususnya di kota Pangkalan Bun—sebagai ibu kota Kabupaten Kotawaringin Barat. Dengan
demikian, pelestarian bahasa daerah dapat sesuai dengan tujuan program Merdeka Belajar episode
17 tentang Revitalisasi Bahasa Daerah.

3. Program Merdeka Belajar Episode 17 tentang Revitalisasi Bahasa Daerah


Bahasa bisa dikatakan sebagai sebuah identitas bagi penuturnya. Berdasarkan data dari
Ethnologue, ada 7.151 bahasa yang digunakan di dunia pada saat ini. Angka yang terbilang cukup
banyak jika dibandingkan dengan jumlah penduduk dunia menurut laporan The US Census Bureau’s
World Population per September tahun 2022, yaitu sekitar 7,9 terliun. Walaupun demikian,
menurut Ethnologue, hampir 40% bahasa dunia terancam punah setiap tahunnya karena tidak
adanya penutur asli yang menggunakan bahasa tersebut. Secara tidak langsung, apa yang terjadi
terhadap bahasa yang ada di dunia secara global ini menggambarkan kondisi penggunaan bahasa
yang ada di Indonesia, khususnya penggunaan bahasa daerah di Indonesia. Bahasa daerah yang
dimaksud disini adalah berdasarkan definisi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009, yaitu bahasa
yang digunakan secara turun-temurun oleh warga negara Indonesia di daerah-daerah di wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang menurut daftar Ethnologue berjumlah 723 bahasa, dan
berdasarkan data Kemendikbudristek berjumlah 718 bahasa. Walaupun demikian, sekali lagi, dari
angka yang cukup banyak itu—berdasarkan data Ethnologue, 723 bahasa—711 bahasa masih
bertahan, sedangkan tercatat 12 bahasa telah dinyatakan punah.
Selain upaya melestarikan kebudayaan bangsa melalui pelestarian bahasa, yang sampai saat ini
masih terus dilakukan oleh seluruh wilayah di Indonesia, pembahasan tentang penetapan bahasa
daerah pada Kabupaten Kotawaringin Barat menjadi salah satu kajian yang menjadi salah satu
pusat perhatian oleh Pemerintah Daerah serta Pemerintah Provinsi, khusunya Balai Bahasa
Kalimantan Tengah. Sebagaimana pembahasan tetang bahasa daerah tersebut juga tertuang pada
pertemuan Diskusi Kelompok Terumpun (DKT) dengan topik pembahasan Situasi Kebahasaan di
Kabupaten Kotawaringin Barat yang diadakan oleh Balai Bahasa Kalimantan Tengah pada 17
September 2020 lalu. Ada beberapa bahasa daerah dengan dialek beraneka ragam yang ada di
Kobar, diantaranya bahasa Mendawai, Melayu, Kotawaringin dan Tomun (Sumber: Disdikbud
Kobar, 18 September, 2020) Selain itu, pada pertemuan tersebut disampaikan oleh Sekretaris
Daerah Kotawaringin Barat tentang permasalahan penamaan bahasa daerah. Sebagaimana
diketahui, bahasa daerah Kotawaringin Barat mempunyai variasi penyebutan seperti bahasa
Kotawaringin, bahasa Teringin, atau bahasa Kutaringin—yang mana semuanya merujuk kepada
bahasa yang sama, “hanya dialek dalam penyebutannya yang berbeda” (Sekda Kotawaringin Barat
Edy Rahman dalam pertemuan DKT, 17 Agustus, 2020). Berawal dari pertemuan tersebut,
Pemerintah Daerah Kabupaten Kotawaringin Barat bersama tokoh masyarakat dan ahli bahasa—
sesuai dengan Rencana Kerja (Renja) tahun 2021, pemerintah daerah memutuskan bahwa bahasa
daerah yang digunakan masyarakat Pangkalan Bun adalah bahasa Kotawaringin. Hal tersebut
kemudian berlanjut kepada program revitalisasi bahasa daerah pada tahun 2022 (sumber: Rajani, 8
Agustus, 2022), yang dalam seminarnya menggunakan secara resmi bahasa Pangkalan Bun sebagai
bahasa Melayu dialek Kotawaringin melalui program Pelatihan Guru atau Guru Utama yang
bertema Revitalisasi Bahasa Melayu Dialek Kotawaringin untuk Tunas Bahasa Ibu.

II. Pembahasan
Berdasarkan realita bahwa penduduk Kotawaringin Barat yang terdiri dari beragam suku
budaya serta bahasa, perlu kiranya kita melihat penggunaan bahasa tersebut dalam sudut pandang
sosiolinguistik. Sehingga, melalui sudut pandang sosiolinguitik tersebut kita dapat memahami apa
yang terjadi dalam bahasa Melayu dialek Kotawaringin berdasarkan penggunaan bahasanya.
Menurut Sosiolinguistik adalah sebuah ilmu yang berasal dari gabungan sosio dan lingustik. Pada
lingustik fokus kajiannya seputar bahasa dan kebahasaan, sedangkan sosio atau sosiologi fokus
kajiannya adalah hubungan masyarakat, baik itu lembaga-lembaga sosial yang ada di masyarakat
maupun masalah sosial yang berada didalam masyarakat.
Pendekatan yang dapat digunakan dalam pemaknaan tuturan atau kata dalam pandangan
sosiolinguistik dapat menggunakan apa yang disebut Jakobson (dalam Chaer dan Agustin, 2014)
sebagai pemaknaan secara monolingual, yaitu mempelajari kaidah bahasa melalui bahasa itu
sendiri serta penutur bahasa itu sendiri. Dengan demikian, pemaknaan berdasarkan penuturnya
secara langsung dapat menjadi salah satu solusi dalam pemahaman penggunaan bahasa dalam
kajian sosiolinguistik. Dengan menggunakan bentuk data berupa kata dan kalimat secara induktif
yang dijelaskan Creswell (1998) melalui deskripsi ekpresi dan persuasif, kemudian berdasarkan
deskripsi dari interpretasi serta pengalaman responden menurut Hancock, dkk (2007); maka tulisan
ini menekankan kepada pendekatan kualitatif dalam upaya mencari tahu penggunaan bahasa oleh
pada percakapan bahasa Melayu dialek Kotawaringin.
Contoh percakapan yang akan dilihat di bagian selanjutnya dalam tulisan ini adalah percakapan
berdasarkan rekaman interaksi antara perawat di Klinik Spesialis Anak RSUD Sultan Imanuddin
Pangkalan Bun dengan beberapa orang tua pasien yang sebelumnya sudah penulis transkrip ke
dalam bentuk tulisan per kalimat berdasarkan metode simak, yaitu menyimak penggunaan bahasa
secara lisan, kemudian juga penggunaan bahasa secara tertulis (Mahsun, 2005:90). Walaupun
penulis sebagai penutur aktif bahasa Melayu dialek Kotawaringin, namun didalam tulisan ini penulis
mewawancarai pentur asli yang ada di dalam rekaman untuk kemudian penutur tersebut coba
uraikan variasi maupun penggunaan bahasa yang digunakan di dalam rekaman yang dimaksud
sesuai dengan penilaian individu penutur aslinya. Dengan berdasarkan penjelasan serta uraian dari
wawacara tersebut, hasil percakapan beserta pemaknaan dari penutur aslinya antara perawat dan
orang tua pasien itu kemudian penulis klasifikasikan berdasarkan sudut pandang sosiolinguistik.

1. Bahasa Melayu Dialek Kotawaringin dalam Pandangan Sosiolingusitik


Sosiolinguistik dapat dijelaskan sebagai bidang ilmu yang mengkaji tentang bahasa dalam
hubungannya dengan masyarakat (Rokhman 2013:1). Menurut Fishman (dalam Chaer dan Agustina,
2014:3), sosiolinguistik merupakan kajian ilmu yang mencangkup ciri dan variasi bahasa serta fungsi
dan pemakai bahasa itu sendiri; oleh karena itu, segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia dalam
bertutur akan selalu dipengaruhi oleh situasi dan kondisi di sekitarnya (I Wijana & Rohmadi, 2006:
7). Tuturan ataupun komunikasi tersebut kemudian menurut Rokhmah (2013) disesuaikan dengan
suatu kondisi tertentu entah itu formal atau informal. Sebaliknya, jika kita melihat kepada konsep
bahasa berdasarkan teori Chomsky yang beranggapan bahwa to study actual linguistics
performance we must consider the interaction of a variety of factors, of which the underlying
competence is only one (Chomsly, 1965:3), sosiolinguistik menurut Bell (1975) mempertimbangan
bahasa sebagai sesuatu yang sepenuhnya dikontrol oleh individu berdasarkan variasi dan
keunikannya yang tidak dimiliki individu lain. Dengan demikian, sosiolinguistik mempunyai ranah
kajian yang berfokus kepada penggunaan bahasa dan hubungannya dengan penutur dan faktor-
faktor sosial yang mempengaruhi penggunaan bahasa tersebut.

2. Penggunaan Bahasa Melayu Dialek Kotawaringin.


Dalam pengungkapan fenomena bahasa menurut sosiolinguistik, untuk mengungkap faktor
yang memperngaruhi penuturnya menurut Hymes (dalam Chaer, 2012) dapat melalui pengaruh
dari delapan unsur SPEAKING, yaitu: 1) Setting and Scene, merupakan tempat dan waktu terjadinya
percakapan; 2) Participants, merupakan orang-orang yang terlibat dalam percakapan; 3) Ends,
merupakan maksud dan hasil dari percakapan; 4) Act Sequences, merujuk pada bentuk dan isi
percakapan; 5) Key, merunjuk pada cara dalam melaksanakan percakapan; 6) Instrumentalities,
menunjuk pada jalur percakapan. Apakah secara lisan atau bukan; 7) Norms, merunjuk pada
perilaku peserta percakapan; dan 8) Genres, yang menunjuk pada kategori atau ragam bahasa yang
digunakan oleh peserta dalam percakapan. Berikut transkrip hasil rekaman interaksi antara perawat
(P1) di Klinik Spesialis Anak dengan orang tua pasien (P2), sebagai contoh bentuk penggunaan
bahasa Melayu dialek Kotawaringin dalam interaksi sosialnya.

P1 Batuk ja kah?
[Batuk aja?]
P2 He’eh.
[Iya]
P1 Muntah kadeda kah?
[Muntah tidak ada?]
P2 Gak. Cuma tadi malam, yang diapai tuh—
[Tidak. Cuma tadi malam, setelah apa istilahnya—]
P1 Disedot tu kah?
[Dihisap itu kah?]
P2 He’e, yang pas disedot tu ma. Habis tu kadeda am.
[Iya, setelah dihisap itu saja. Sehabis itu tidak ada lagi]

Pada kalimat percakapan di atas apa bila kita memenggunakan faktor yang dijelaskan Hymes,
maka: 1) Setting and Scene-nya merujuk kepada Ruang Inap Klinik Spesialis Anak RSUD Sultan
Imanuddin Pangkalan Bu, dan terjadinya pada pemeriksaan rutin tiap pagi yang dilakukan oleh
perawat; 2) Participants-nya adalah perawat Klinik Spesialis Anak dengan orang tua pasien; 3) Ends-
nya adalah untuk memerikasa perkembangan pengobatan pasien dan mendapatkan laporan
apabila ada keluhan pada proses pengobatan; 4) Act Sequences-nya perawat memeriksa suhu
badan pasien; 5) Key-nya adalah tanya jawab; 6) Instrumentalities-nya melalui ungkapan lisan; 7)
Norms-nya memposisikan diri berdasarkan peran masing-masing dalam hal perawat dan orang tua
pasien. Seperti halnya interaksi antara perawat dengan orang tua pasien sama seperti interaksi
antara orang tua dengan dokter, namun bisa dengan berbeda antara perawat dengan dokter,
karena berdasarkan bidang keahliannya; dan 8) Genres-nya termasuk non formal dan santai.
Selain dari unsur yang disebutkan Hymes, Halliday (1984 dalam Wijana & Rohmadi, 2006)
melanjutkan dengan menyebutkan tiga unsur yang mempengaruhi peristiwa bahasa; Field, merujuk
kepada apa yang terjadi pada bidang tertentu, apabila berdasarkan contoh di atas adalah
pemeriksaan yang dilakukan oleh perawat untuk memonitor perkembangan pasien melalui
pengamatan secara objektif (memeriksa suhu tubuh) dan menanyakan pendapat orang tua pasien;
Tenor, merujuk kepada partisipan yang terlibat dalam interaksi verbal, yang apa bila kita gunakan
berdasarkan contoh yang di atas maka partisipannya adalah perawat dan orang tua pasien; dan
Mode, yang merujuk kepada pemilihan bentuk bahasa atau variasi yang digunakan dalam interaksi,
berdasarkan contoh di atas adalah penggunaan non formal dan santai.

3. Alih Kode dan Campur Kode


Menurut Chaer (2012:67) alih kode merupakan peristiwa beralihnya penggunaan suatu kode
yaitu bisa bahasa maupun ragam bahasa tertentu dalam kode lain yaitu bahasa maupun ragam
bahasa tertentu, peristiwa alih kode umumnya terjadi karena sebab bergantung pada situasi dan
apa yang sedang dibicarakan. Selain itu, menurut Rokhman (2013:38) alih kode merupakan
peristiwa saling ketergantungan bahasa dalam masyarakat multilingual yaitu didalam masyarakat
tersebut seseorang tidak bisa menggunakan satu bahasa secara mutlak tanpa sedikitpun
menambahkan unsur bahasa lain. Sedangkan campur kode menurut Chaer adalah saat dimana dua
kode atau lebih digunakan bersama tanpa alasan, yang biasanya terjadi dalam situasi non formal
atau santai, yang menurut Sumarsono (2012) biasanya terdapat selipan unsur-unsur bahasa lain
ketika memakai bahasa tertentu. Berikut contoh Alih Kode dan Campur kode dalam bahasa Melayu
dialek Kotawaringin:

P1 Obatnya semalam diberi lah pagi?


[Obatnya pagi kemarin diminum?]
P2 Yang kek gini?
[Yang seperti ini?]
P1 He’eh
[Iya]
P2 Yang kek gini—maksudnya mun yang macam ini belum ada.
[Yang seperti ini—maksudnya kalau yang jenis ini belum
ada]

Alih kode berdasarkan contoh di atas terjadi pada kata kek gini oleh penutur kedua.
Penggunaan unsur bahasa Indonesia non formal, variasi dari kayak, kek¸ ataupun ke’ yang
bermakna sama dengan kata seperti untuk mengatakan sesuatu yang serupa atau menyerupai
sesuatu. Dalam percakapan ini, kata tersebut digunakan untuk mengonfirmasi apa kah jenis obat
yang ditunjukan sudah benar atau belum. Sedangkan campur kodenya adalah pada percakapan di
atas adalah pada bagian Yang kek gini—maksudnya mun yang maca mini belum ada sebagai
perubahan dari bentuk non formal bahasa Indonesia ke non formal bahasa Melayu dialek
Kotawaringin. Pada kalimat ini P2 menyelipkan ungkapan mun variasi dari amun dan macam variasi
dari macaman dari bahasa Melayu dialek Kotawaringin non formal yang sebelumnya menggunakan
unkapan kek gini secara tiba-tiba.

III. Kesimpulan
Bahasa Melayu dialek Kotawaringin dilihat dari sudut pandang sosiolinguistik memiliki
beberapa ragam atau variasi dalam penggunaannya. Sebagaimana diketahui, kajian sosiolinguistik
tidak terlepas dari unsur-unsur seperti: tempat dan waktu, siapa yang terlibat dalam percakapan,
tujuan percakapan, bentuk percakapan, cara penyampaian, jalur percakapan, perilaku peserta
percakapan, serta ragam bahasa yang digunakan di dalam percakapan. Terdapat alih kode dan
campur kode dalam variasi penggunaan bahasa Melayu dialek Kotawaringin; alih kode dengan
menggunakan bahasa Indonesia non formal, dan campur kode antara bahasa Indonesia non formal
dengan sisipan bahasa Melayu dialek non formal.
DAFTAR PUSTAKA

Bell, R., T. (1976). Sosiolinguistics: Goals, Approach and Problems. London: Batsford

Chaer, A. (2012). Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.

Chaer, A., & Agustina, L. (2010). Sociolinguistics Early Introduction. Jakarta: Rineka Cipta.

Chomsky, Noam. (1965). Aspects of The Theory of Syntax. Cambridge: MIT Press.

Eberhard, David M., Gary F. Simons, and Charles D. Fennig (eds.). (2022). Ethnologue:
Languages of the World. Twenty-fifth edition. Dallas, Texas: SIL International. Online
version: http://www.ethnologue.com.

Khoerunnisa, A., Wardhana, A. 2021. KOMUNIKASI MULTI-LANGUAGE MASYARAKAT


PANGKALAN BUN KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT PROVINSI KALIMANTAN
TENGAH TERHADAP KEHIDUPAN SOSIAL BERMASYARAKAT. Jurnal Ilmu Komunikasi
AKRAB, 6(2).
Mahsun. (2012). Metode Penelitian Bahasa: Tahapan Strategi, Metode, dam Tekniknya. Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada.

Majalah Parlementaria edisi 83 XLII. (2011). Perlukah Merevisi UU Pelayaran? Jakarta:


Diakses pada tanggal 22 Oktober 2022 melalui
https://www.dpr.go.id/serba-serbi/majalah-parlementaria/year/2011.
Muktingintyas, R., Oktora, Y., Ismardani, Y., & Rahman, M. A. (2022, February 25).
Kabupaten Kotawaringin Barat Dalam Angka 2022.

Rokhman, Fathur. (2013). Sosiolinguistik Suatu Pendekatan Pembelajaran Bahasa dalam


Masyarakat Multikultural. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Sri, R., Penyempuma, M. S., & Tioria, E. (1993). Hikayat Banjar dan Kotaringin.

Sumarsono. (2012). Sosiolinguistik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Wijana, I. D. P., & Rohmadi, M. (2006). Sosiolinguistik: Kajian teori dan analisis. Pustaka Pelajar.

Anda mungkin juga menyukai