Anda di halaman 1dari 25

~ ne lasllt•te for

Social Re.artll, Democracy


ff
The Ford Foundation
ud Social J■1tlce

r
SEMINAR INTERNATIONAL KE TUJUH
Dinamika Politik Lokal di Indonesia :
"RUANG UNTUK MEMPERJUANGKAN KEPENTINGAN POLITIK"
Tanggal 11 - 14 Juli 2006, di Kampoeng Percik Salatiga

Maka/ah Seminar

Dioamika Reintegrasi dao Tuntuta o


Pemekaran Pro pinsi di Dataran T inggi Gayo:
Ta nta nga n Proses Perda maian di Aceh
Pasca MOl"

olch
Moh. hohibuddin

Lemboga ~ n Clnto Kemonuslaan (Perclk) Jin. Pattmuro l<m. 1 Kampoeng Perclk, Turuson - Solotlgo
Telp,/Fax 0298-321865/325975 E-moll : perc lk@perc lk.tomlll.com, Website : www.perclk.or.ld
Dinamika Reintegrasi dan Tuntutan
Pemekaran Propinsi di Dataran Tinggi Gayo:
Tantangan Proses Perdamaian di Aceh Pasca Mo U Helsinki•

Moh. Shohibuddin••

Abstrak
Proses pembahasan RUU Pemerintahan Aceh di DPR yang saat ini sedang
berlangsung mencerminkan kemajuan mendasar dalam proses perdamaian di Aceh
setelah selama puluhan tahun didera konflik bersenjata. Sekalipun secara wnum
proses perdamaian ini "berjalan melampaui seluruh ekspektasi", namun dalam kasus
di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah terdapat dinamika politik lokal yang
menciptakan tantangan tersendiri terhadap proses perdamaian tersebut. Berbeda dari
tempat lain, ada tantangan cukup besar berkaitan dengan proses reintegrasi anggota
GAM ke dalam masyarakat; sebagaimana juga ada kebutuhan mendesak bagi proses
rekonsiliasi antar berbagai kelompok etnis di kawasan ini.
Di di atas semua itu, tantangan perdamaian paling besar di daerah ini adalah
adanya tuntutan pemisahan lima lmbupaten di Dataran Tinggi Gayo dan Leuser untuk
membentuk propinsi tersendiri yang bemama Propinsi Aceh Leuser Antara (ALA).
Tuntutan inj tentu akan meruntuhkan konsensus yang ada di Aceh saat ini mengenai
masa depan Aceh (sebagaimana termuat dalam RUU PA usulan DPRD Aceh), dan
pada gilirannya bisa mengancam proses perdamaian itu sendiri yang didasarkan atas
premis mengenai teritori tunggal.
Tulisan ini ingin membahas lebih detail bagaimana dinamika lokal di daerah
pegunungan penghasil kopi terkenal ini terkait dengan proses perdamaian, dinamika
reintegrasi dan artikulasi "wacana keberbedaan" yang rnendasari tuntutan pemisahan
Propinsi ALA; dan bagairnana tantangan yang dikedepankan oleh kesemuanya ini
terhadap keberlanjutan proses perdarnaian di Aceh.

• MakaJah ini disampaikan pada Seminar lntemasional ke-7 '"Dinamika Politik Lokal di Indonesia.
Ruang untuk Memperjuangkan Kepemingan Politik", yang disclenggaral..an olch Yayasan Percik.
Salatiga - Jawa Tengah, pada tanggal I I - 14 Juli 2006.
•• Penulis saat ini diberi amanah sebagai Direktur Eksekutif Sajogyo Inside (Sams). Bogor umuk
periode kepengurusan 2006-20 I 0.

Perc1k - Seminar lntemas1ondl: "D111dm1ka l'olillk Lol-.<1I ct, l11doni >s1a", aldll�d, 11 - 14 Juli 2CX>6
2

1. PENGANTAR

Bulan November - awal Februari lalu saya terlibat dalam sebuah riset yang
cukup ekstensif di Aceh.1 Riset tersebut berfokus pada dinamika reintegrasi GAM di
tengah masyarakat pasca MOU, dan penilaian mengenai kebutuhan reintegrasi dari
para kombatan maupun masyarakat penerima, serta aspirasi mereka mengenai proses
perdamaian dan pembangunan ke depan. Ada tiga tim yang terlibat dalam riset ini
dan masing-masing tim melakukan riset lapangan ke tiga lokasi yang berbeda. Tim di
mana saya menjadi anggotanya telah mengunjungi empat kabupaten dan satu kota di
NAD selama periode tiga bulan itu, yaitu Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah
(kabupaten yang terakhir adalah pemekaran dari yang pertama sejak tahun 2003),
Kabupaten Aceh Utara dan Kota Lhokseumawe, dan Kabupaten Aceh Barat Daya.
Berbeda dari perkiraan sebelumnya, dinamika reintegrasi di level grass root
temyata berlangsung relatif mulus. Meskipun pada masa lalu masyarakat pemah
mengalami tindak kekerasan dari kedua belah pihak yang bertikai (aparat militer
maupun GAM), dan meskipun sebagian masyarakat pemah terpolarisasi (atau dipaksa
demikian) selama masa konflik antara pro NKRI dan pro kemerdekaan (tidak mesti
yang terakhir ini pro GAM)-namun pasca MOU ini dinamika interaksi sosial di
level masyarakat cukup kondusif. Secara umum, suasananya adalah rekonsiliasi dan
tekad kuat untuk perdamaian. Mengutip laporan umum dari penelitian tersebut,

"Secara keseluruhan proses perdarnaian berjalan dengan sangat baik. Baik


GAM yang kembali maupun masyarakat penerima menunjukkan
kepercayaan besar bahwa perdamaian akan berlanj ut. ... ·
Di hampir semua desa, tingkat penerimaan GAM yang kembali cukup
tinggi. Hampir 90% anggota GAM kembali ke desa mereka tanpa ada
masalah. Hal ini terjadi terutama karena mereka kembali ke desa asal dan
oleh sebab itu mereka mengenal penduduk setempat, dan juga ketika
konflik mereka masih bisa pulang sebentar. Beberapa anggota masyarakat
t1dak terlalu gembira akan kedatangan GAM, tetapi bersedia menyisihkan

1
R1se1 1ni merupakan bagian dari program DSF (l)ece11/ra/1sa11011 Suppol'I l-un/11y) yang didanai old,
Bank Dunia, UN DP, DflD, Kedubes Belanda, dll Khusus untuk riset ini didanai uleh Bank Ounia dan
juga didukung oleh IOM (International Organization fo r Migration) Mesk ipun demikian. subscansi
dari paper ini sepenuhnya adalah tanggung jawab saya pribadi

Pemk - Seminar lnternas1onal: "Dmamika Poht1k Lokal d1 Indonesia", Salatiga, 11 - ·14 Juli 2006
3

perasaan tersebut demi perdamaian. Proses kembalinya GAM tidak


membuahkan balas dendam. " 2

Selain perkembangan umum yang bersifat positif di atas, terdapat dinamika


politik yang bersifat khusus di Dataran Tinggi Gayo yang berimplikasi langsung
kepada perkembangan proses perdamaian di Aceh secara keseluruhan. Dinamika
politik khusus dimaksud terkait dengan adanya ketegangan yang masih berlangsung
di daerah ini sepanjang proses reintegrasi GAM, dan munculnya tuntutan beberapa
kabupaten di daerah dataran tinggi Gayo dan Leuser untuk membentuk Propinsi ALA
(Aceh Leuser Antara) yang terpisah dari Provinsi Aceh.
Dengan memusatkan perhatian di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah
yang menjadi lokasi penelitian singkat saya, paper ini akan memerikan dinamika
reintegrasi anggota GAM yang berlangsung di dataran tinggi ini (bab 2); dilanjutkan
dengan uraian mengenai aspirasi pemisahan yang berkembang di daerah ini dalam
bentuk tuntutan pembentukan Provinsi ALA (bab 3); untuk kemudian menutupnya
dengan mengulas dinamika ini sebagai beragamnya basis-basis unit legitimasi yang
saling bersaing di Aceh serta tantangan yang dikedepankan olehnya terhadap proses
perdamaian di Aceh secara keseluruhan (bab 4).

2. PROSES PERDAMAIAN DAN DINAMIKA REINTEGRASI PASCA MOU

Dataran Tinggi Gayo yang secara administratif mencakup Kabupaten Aceh


Tengah, Bener Meriah, dan Gayo Luwes dikenal sebagai daerah di mana dukungan
terhadap GAM selama masa konflik bersenjata sangat minim. Basis kekuatan GAM
Jebih banyak berada di daerah pantai utara dan timur, sementara di pantai barat dan
selatan serta pegunungan tengah dan tenggara dukungan terhadap GAM dan aspirasi
kemerdekaan kurang kuat. Populasi di daerah-daerah yang disebut terakhir l kecuali di

: Laporan umum itu berjudul --G AM Reintegration Needs Assessment: Enhancing Peace through
Community-level De velopment Programming." Kutipan di alas berasal dari Ringkasan Eksekutif
dalam bahasa J ndonesia Sela in laporan umum ini juga ada laporan per kabupaten Semua laporan
dapat dilihat di -.· \\ 1\ v11nllicliJ Hdcl,·1 ,·lupnn·nt , 11 ~

Percik - Semmar Jnte rnds1ondl : " Dinamika Polit1k Lokal di Indonesia", 5.tlatiga, 11 - 14 Juh 2006
4

Aceh Java dan Aceh Barat) sebagian besar adalah non-Aceh, yakni suku Gayo di
Dataran Tinggi Gayo, suku Alas di Aceh Tenggara, suku Singkil di Aceh Singkil,
suku Anak Jame di daerah pantai selatan, dan suku Simelue di pulau Simelue.
Selama operasi Darurat Militer pada era Presiden Megawati, perlawanan sipil
terhadap GAM dimobilisasikan di daerah-daerah ini, khususnya di Kabupaten Aceh
Tengah dan Bener Meriah. Mobilisasi perlawanan sipil di kedua kabupaten ini di
antaranya mengambil bentuk kelompok-kelompok milisi yang orientasinya sebagian
bersifat defensif. Pada masa ini eskalasi kekerasan GAM terhadap etnis Jawa yang
makin diintensifkan sejak awal 2001, serta reaksi baliknya yang tak kurang brutal,
telah menyebabkan kekerasan massa yang sangat massif, diwarnai dengan bs:n~ao
horisontal yang penuh kekacauan antar berbagai etnis, dan jatuhnya korban ji-wa dan
harta yang jwnlahnya sangat mencengangkan.

Pada tahun 2001 Kecamatan Permata ini pernah dikuasai oleh GAM selama 15 hari. Orang itu
hadir di semua sudut jalan lengkap dengan senjatanya. Jalan menuju ke Pondok Baru ditutup.
Pohon ditebang melintang di jalan. Masyarakat tidak bisa belanja karena tidak ada pedagang
yang berani datang kemari. Sampai kalau habis makan, untuk merokok kita harus cari-cari
puntung rokok. Waktu mereka berkuasa itu, orang Jawa habis diusir dari daerah ini. Api tiap
hari menyala. Banyak rumah yang dibakar, termasuk di desa B. Kalau siang hari barang di
rumah kita bawa ke kebun untuk disembunyikan, kalau sudah malam dibawa ke rumah lagi.
Kalau sudah terbakar kan tidak bisa bawa apa-apa. Di desa J sekolah habis dibakar. Di desa Pm
sini pesantren juga dibakar. Ada cerita yang sedih di desa U. Beberapa orang ditangkap dan
dibilang akan dibunuh. Keluarganya menahan dan berkata: "Kalau mau dibunuh di sini saja
supaya kami tidak susah mencari jenaz.ahnya." "Baiklah, kalau begitu kalian jo ngkok semua.."
kata mereka. Lalu orang-orang itu diberondong peluru dengan disaksikan oleh semua
keluarganya.
Tokoh Agama di Kee. Permala, Bener Men ah (etms Aceh)

Kami suku Jawa setelah diusir dan meng ungsi yang kedua kali mulai berkumpul di desa Sd.
Mereka yang dari desa Sp kumpul di PB, sedang yang dari W kumpul di Sd. Dari desa-desa lain
juga kumpul. Kami akhirnya me mbuat kesepakatan untuk me lawan daripada terus-terusan diusir
dan menjadi korban sia-sia. Penggeraknya adalah anak-anak muda. Kami yang masih muda ini
semua panas. Tidak ada lagi yang kami pikirkan. Harta sudah habis, rumah tidak punya, apalagi
yang dipikir kecuali habis-habisan sekalian. Ya kami melawan dengan bersenjata seada nya.
flstri responden keceplosan: senjatanya ya cuma rakitan, mana berani kam i melawan G M
yang senj atanya modern .]
ltulah sampai terjadi perkelahian antar etnis. Karena ketika konflk waktu itu kita sulit sekali
membedakan antara kawan dan lawan. Bahkan sempat terjadi perang a nt ara etnis Jawa dan
Gayo di desa Pp ltu terjadi karena setiap terjadi pembakara n kampung orang Jawa yang
melakukan selalu orang bertopeng yang berbahasa Gayo. ltulah sampa i ak hirnya tel)ad i perang
antara orang Jawa dan o rang Gayo. Perang ini menelan ko rban 73 o rang : 60 dari etnis Gayo dan

Percik - Semina r lnte m asio na l: " Dina mika Politik Loka l di Indonesia" , Sa la t1ga, 11 - 14 Juh 2006
5

Aceh dan 13 dari etnis Jawa. Perang antar etnis ini terjadi sctelah pengungsian kami yang
kedua, tepatnya di Simpang 4 jalan menuju desa Pp. Bentroknya pun sudah massa sama massa.
Orang Gayo sempat ngumpul jadi satu lokasi dan kalau mereka melihat orang Jawa langsung
dibunuh. Begitu pula sebaliknya. Pada saal jeda kemanusiaan [COHA] baru antara etnis Jawa
dan Gayo didamaikan dan dibuatkan kartu garuda. Setelah didamaikan itu tidak pemah lag i ada
pertikaian etnis, dan hubungan kami dengan orang Gayo kembali baik-baik saja
Pemimpin Milisi di Kee. Permala, Bener Meriah (etnis Jawa)

Laporan lntemational Crisis Group mengenai intensitas konflik pada fase ini
memberikan gambaran yang ringkas mengenai situasi yang berlangsung:

Pada awaJ 2001, serangan GAM yang sporadis terhadap etnis Jawa mulai bereskalasi.
Beberapa aksi pembersihan dilakukan oleh gerilyawan GAM dan para pendukung
lokalnya terhadap komunitas-komunitas Jawa di mana banyak orang terbunuh, rumah
dijarah dan dibakar..
[Pada pertengahan Juni 200 I}, datang respon militer yang sangat terlambat: tentara elit
Kostrad dan Kopassus dikirim ke Aceh Tengah untuk memulihkan kembali kontrol
pemerintah. Sebelum kedatangan mereka, tampaknya kebanyakan tindak kekerasan
ditimbulkan oleh GAM . Namun setelah itu, militer dan milisi Jawa menjalankan
perlakuan yang sama brutalnya kepada etnis Aceh dan beberapa etnis Gayo, termasuk
kelompok sipil. Militer tidak bertindak sebagai kekuatan penegak hukum yang tidak
memihak, melainkan sebagai penuntut balas korban etnis Jawa. Akibatnya, banyak etnis
Aceh yang harus meninggalkan daerah ini dan mengungsi ke pesisir. Kekerasan ini
diklaim telah menimbulkan korban hampir 400 jiwa, menurut angka pemerintah daerah,
dan menghancurkan lebih dari I 000 rumah. Tidak jelas dari bukti yang kini tersedia bagi
ICG pihak mana yang paling banyak menimbulkan korban itu, namun kedua belah pihak
3
terlibat dalam aksi kekejaman ini.

Dengan latar belakang semacam ini, tidaklah. mengherankan jika tantangan


perdamaian dan proses reintegrasi di kedua kabupaten ini arnatlah besar. Ketegangan
tersembunyi masih tersisa antara kombatan GAM yang kembali dengan masyarakat
penerima, begitu pula ada kasus-kasus ketegangan _terbuka antara kombatan GAM
yang kembali dengan kelompok anti-separatis. Sebagaimana akan dijelaskan di
bawah ini, isu keamanan merupakan perhatian utama dalam proses perdamaian dan
reintegrasi di Aceh Tengah dan Bener Meriah.
2.1. Penilaian Mengenai Kemajuan Proses_Perdamaian dan Reintegrasi~

3 ' -
ICG, "Aceh: A Slim Chance for Peace." /(Xi Asia Hriefmg /'aper, 30 January 2002, p. 7
4
Bagian ini didasarkan pada Bab 3 field report yang ditulis Matthew Zurtrassen, Moh. Shohibuddin
dan Zulhaini Sartika, "GAM Reintegration Needs Assessment: Aceh Tengah and Bener Meriah " Fie ld
report ini bisa didownload di http // ww w c1111tli cta11dQ\;V•dl!P-1ll<:!\1 ll1~J•iillt ph11''A1_tll) 1 1~ Uraian
dinamika reintegrasi di tingkat desa pada bagian ini harus dipahami dalam konteks situasi pada saat
kunjungan tim peneliti (November 2005).

Percik- Seminar Jntemasional: "Dinam1ka Politik l..okal di lndonesta", Salatiga, 11 - 14 Juli 2006
6

Pada kunjungan kami ke Aceh Tengah dan Bener Meriah di bulan November
2005 (saat itu proses decommissioning dan penarikan pasukan non-organik belum
rampung seluruhnya), kami memilih untuk mengunjungi desa~desa yang memiliki
intensitas kekerasan yang cukup tinggi selama masa konflik, termasuk di Kecamatan
Pennata. Dalam wawancara, salah satu topik yang kami tanyakan kepada anggota
GAM yang kembali maupun komunitas penerima adalah penilaian mereka mengenai
kemajuan proses perdamaian dan reintegrasi di daerah mereka serta aneka persoalan
dan hambatan yang mereka hadapi.
Pada umumnya, anggota GAM yang kembali maupun komunitas penenma
merasa puas dengan kemajuan proses perdamaian saat ini dan menyatakan keyakinan
mereka bahwa proses ini dapat terus berlanjut.

Proses perdamaian saat ini lebih baik dari yang dilakukan sebelumnya. Dulu turunnya GAM
secara diam-diam. Kalau sekarang mereka turun secara terang-terangan. Dulu perjanjian hanya
di atas kertas, namun sekarang antara GAM dengan TNl sudah sating tukar informasi .
Tokoh Agama di Kee. Silih Nara, Aceh Tengah (etnis Gayo)

Proses perdamaian berjalan baik. Di daerah yang semula kami duga bakal terjadi ketegangan
dengan milisi dan front perlawanan rakyat seperti di Pondok Baru ini, temyata suasananya
kondusif Saya berani tinggal di sini dan tidak pernah mendapat masalah apapun.
Ex-G ubernur CAM Wilayah Linge (emis Gayo/

Perasaan umum warga komunitas terhadap anggota GAM adalah penerimaan.


Warga menyadari bahwa keberlanjutan perdamaian ini merupakan prasyarat utama
bagi perbaikan kehidupan ekonomi. Semenjak terciptanya perdamaian mereka telah
merasakan perbaikan dalam kehidupan mereka, khususnya karena adanya kebebasan
yang lebih besar untuk pergi ke kebun. Mereka tampaknya bersedia untuk menerima
kehadiran anggota GAM ke dalam komunitas mereka atas dasar hal itu merupakan
elemen penting dari proses perdamaian. Sebagian yang lain ada yang menyuarakan
perasaan ketidakpastian mereka mengenai apakah proses reintegrasi anggota GAM ke
dalam masyarakat dapat berlangsung mulus seterusnya ataukah tidak.

5
Belakangan , pada tanggal 26 April 2006, tokoh ini dikeroyo k llleh 111a11tan angguta GA!\1 yang sudah
menyerah pada masa sebelum MO U

Percik- Seminar Lnte rnasional: "Dmamika l'ohllk Lok.ii d1 lmlllnes1c1" , Sa l.1tiga, 11 - 14 Juli 2006
7

Sekarang orang atas (maksudnya, anggota GAM) dan orang tengah (maksudnya, masyarakat
biasa) sudah menyatu. Tidak ada istilah dendam atau bagaimana. Bersyukur karena sudah
menyatu lagi . Cuma kita tidak tahu sikap mereka (anggota GAM) bagaimana. Entah kita ini
dijelek-jelekkan atau bagaimana.
Petani di Kee. Lui Tawar, Aeeh Tengah (etnis Gayo)

Kalau menurut ukuran saya sendiri masyarakat bisa menyatu lagi . Tetapi kalau orang lain siapa
tahu. Mungkin masih ada yang dendam sama GAM. Kita juga lihat dulu orang yang baru turun
itu (maksudnya anngota GAM). Kalau dia among baik dengan kita, maka kita juga baik sama
dia. Kalau tidak baik, maka kita tidak perhatikan lagi dia.
Pedagang Kopi di Kee. Permata, Bener Meriah (etnis Gayo)
Perdamaian adalah urusan pemerintah. Masyarakat di sini tidak ingin mencarnpuri. Yang
penting bagi masyarakat adalah bagaimana bekerja mencari penghidupan yang lebih baik.
Tetapi apakah perdamaian bisa semudah itu? Banyak orang telah terkena dampak dari konflik.
Ada yang diperas, rumahnya dibakar sampai hartanya ludes, keluarganya ada yang meninggal.
Apa mereka bisa melupakan dengan mudah. Sedikit banyak pasti ada yang merasa dendam.
Penilik Sekolah di Kee. Bebesen, Aeeh Tengah (etnis Gayo)

Di Padang Barn ada teman saya yang rumahnya habis dibakar oleh GAM. GAM mendatangi
rumahnya, menyuruh istri da,n anaknya keluar, dan membakar rumahnya. Teman saya yang
masih bersembunyi di dalam· rumah berhasil lolos dari kebakaran dengan melompat jendela dan
melarikan diri. Dia naik ke gunung dan menyaksikan rumah dan harta bendanya ludes terbakar.
Bagi orang ini, rasa dendam apa bisa dihapus dengan mudah. Dia mengetahui siapa yang
membakar rumahnya-karena orang dari situ juga-dan kini orang tersebut dapat kembali ke
kampung dengan gagah.
Petani Kopi di Kee. Bebesen, Aceh Tengah (etnis Gayo)

Sementara warga etnis Jawa yang diwawancarai menyatakan bahwa sejauh ini
mereka masih menjaga jarak dengan anggota GAM yang baru kembali. Mereka
tampaknya dapat menerima bahwa anggota GAM telah kembali lagi ke desa sebagai
bagian dari proses perdamaian. Namun, pada saat yang sama mereka juga menyoroti
bahwa banyak anggota GAM yang baru kembali ini belum melakukan langkah yang
memadai untuk berintegrasi ke dalam masyarakat. Bagaimanapun, secara keseluruhan
pandangan komunitas Jawa terhadap anggota GAM yang kembali tidak berbeda jauh
dari pandangan mayoritas komunitas Gayo.

Setelah ada perdamaian, orang atas sudah satu bulan ini turun di masyarakat Orang Jawa ada
juga yang menjadi anggota GAM. Saya heran kenapa ada orang Jawa yang ikut GAM Mereka
kan jelas-jelas ingin memberontak dari NKRJ. Sementara ini mereka yang barn tunm tidak lagi
bikin kericuhan seperti dulu. Sayangnya mereka pun tidak ada istilahnya datang ke rumah
masyarakat untuk bersilaturrahmi . Bahkan waktu lebaran kemarin mereka tidak ada me111in1a
maaf atau halal bi halal. Malah mereka lebih sering kumpul-kumpul d,mgan sesama mereka
~endiri di meunasah.

Percik - Seminar lnternasional: "Dinamika Politik Lokal ell Indonesia", Scllatiga, 11 - 14 Juli 2006
8

Seharusnya orang alas itu ada pertemuan dengan masyarakat sehingga tidak ada hambatan lagi
untuk membaur. Harus ada yang memfasilitasi terjadinya pertemuan semacam itu. Yang
memfasilitasi ya pemerintah dan dari kedua belah pihak Kita sangar mengharapkan sekali
berlangsungnya perdamaian ini dan jangan ada gangguan lagi. Masyarakat pada dasamya mau
menerima kembali anggota GAM kalau mereka memang betul-betul ingin damai
Bekas Anggota Milisi di Kee. Permata, Hener Meriah (etnis .Jawa)

Sebagaimana terungkap dari pemyataan di atas, masih terdapat kebimbangan di


antara warga desa mengenai bagaimana anggota GAM dapat berintegrasi ke dalam
masyarakat. Pada saat kunjungan kami, adanya ruang keraguan yang masih disisakan
buat anggota GAM ini tampaknya sudah cukup memadai. Tinggal tergantung kepada
mereka yang baru kembali ini untuk berintegrasi lagi ke dalam komunitasnya secara
efektif, sehingga warga desa akhimya bisa menerima mereka secara terbuka.
Di sebagian desa yang dikunjungi, muncul ketegangan di tengah masyarakat
akibat tindakan penyimpangan sebagian kecil anggota GAM, misalnya melakukan
pemerasan atau berperilaku berlebihan yang tidak kondusif dengan kehidupan di
desa. Ini dapat berdampak pada tumbuhnya persepsi negatif dari komunitas terhadap
mereka yang kembali. Juga ada kecenderungan bahwa mereka yang kembali lebih
suka berkelompok secara eksklusif di antara sesama mereka sendiri, sementara
struktur komando kemiliteran di saat perang tetap mereka pertahankan. Kesemuanya
ini menimbulkan pola perilaku yang sangat berbeda yang dapat menghambat upaya
penyatuan kembali mereka secara efektifke dalam masyarakat.

2.2. Problem dan Hambatan di Kalangan Anggota GAM

Di antara anggota GAM, ada kasus di mana distribusi dana reintegrasi telah
memunculkan ketegangan di antara anggota GAM. Di Kabupaten Aceh Tengah dan
Bener Meriah, pemerintah telah mencairkan dana sebesar Rp 102 juta untuk setiap
tahap sebagai bantuan proses reintegrnsi (sampai saat kunjungan tim, dana reintegrnsi
sejumlah ini telah dicairkan sebanyak dua tahap). Anggota GAM yang diwawancarai
telah menerima jumlah uang yang berbeda-beda. Jumlah maksimum yang diterima
oleh anggota GAM yang diwawancarai adalah Rp 1,5 juta (dalam dua tahap, masing­
masing sebesar Rp 750 ribu) Sejumlah anggota lain mengaku telah menerima Rp

1
Percik- Seminar lnternasional: "Dmam1ka l'ohtik Lokal di Indonesia", Salatlgd, " 1 -14 Juli 2006
9

1.250.000 (pernbayaran pertama Rp 750 ribu dan kedua Rp 500 ribu). Beberapa
anggota bahkan mengaku belum menerima bantuan apapun dan tidak mengetahui
kalau ada dana reintegrasi yang dicairkan. Sebagian besar anggota GAM yang telah
rnenerima dana reintegrasi mengetahui bahwa mereka berhak atas jumlah Rp l juta
untuk setiap tahap, namun mereka diberitahu oleh komandannya bahwa bagiannya
6
dikurangi untuk dialokasikan kepada anak dan janda anggot~ GAM yang meninggal.

Saya sudah menerima dana reintegrasi dua kali . Sebelum puasa menerima 1 juta, tetapi 250.000
diminta untuk anak-anak yatim dan janda anggota GAM. Yang kedua menjelang hari raya. Juga
1 juta, tetapi yang 250.000 juga diminta untuk anak-anak yatim dan janda anggota GAM.
Eks Kombatan di Kee. Penna/a, Bener Meriah (etnis Gayo)

Sementara anggota GAM tampak tidak mempersoalkan pengurangan dana


untuk dialokasikan kepada anak yatim dan janda GAM, namun terdapat kekecewaan
rnengenai cara bagaimana dana pengurangan itu didistribusikan. Beberapa anggota
GAM mengklaim bahwa ada anggota GAM yang tidak aktif menerima bantuan dan
bahwa ada kasus di mana beberapa anggota GAM diminta menandatangani kuitansi
penerimaan dana padahal mereka tidak menerima uang sedikitpun.
Problem ketidakadilah distribusi dana ini khususnya disuarakan di sebuah desa
pinggiran Danau Lut Tawar yang dikenal sebagai basis tradisional GAM. Beberapa
kombatan mengecam baik cara penetapan penerima dana reintegrasi maupun jurnlah
dana yang didistribusikan. Pertikaian ini telah berpengaruh pada hubungan di antara
sesama kombatan, meskipun sebagian mereka dapat menerima penjelasan bahwa
pengurangan alokasi dana digunakan untuk membantu anak yatim dan janda anggota
GAM. Sangat dimungkinkan bahwa pertikaian lokal ini terkait dengan restruk'turisasi
kepemimpinan GAM pasca konflik di Daerah II.

6
Secara umum, jumlah dana reintegrasi yang diterima oleh anggota GAM yang diwawancarai di Aceh
Tengah dan Bener Meriah jauh lebih tinggi dibanding di Aceh Utara misalnya Di sini jumlah terbesar
yang diterima anggota GAM yang diwawancarai sebesar Rp 400 ribu setiap tahap, bahkan ada kasus
bantuan diberikan dalam bentuk daging pada dua kali kesempatan 1-\ari Raya. Hal ini mengindikasikan
perbedaan jumlah anggota GAM di masing-masing daerah yang berhak menerima pembagian.

Perci.k- Seminar lnternasional: "Dinamika Politik Lokal di Indonesia", Salatiga, 11 -14 Juli 2006
.....

Dana reintegrasi dikasihkan kepada orang yang bukan GAM. Misalnya, sembilan orang dari
desa T dan delapan orang dari desa K yang menerima, tetapi tidak semua anggota GAM. Ada
anggota GAM yang cuma diatasnamakan saja tanpa pemah menerima uangnya. Sementara
orang GAM seperti saya ini tidak mendapat sama sekali . Yang sudah terima pun hanya 200-300
ribu. Yang menerima pun anggota GAM perdamaian (maksudnya non-militer), bukan GAM
gerilya. Saya memperkarakan hal ini bukan kareaa cemburu. Yang saya tuntut hanya keadilan.
Waiau cuma mendapat Rp 50 tidak apa-apa asalkan adil.
Eks Kombatan di Kee. Lui Tawar, Aceh Tengah
Ketegangan juga te~jadi antara tahanan politik GAM yang bebas mumi dan
yang dibebaskan sebelurn amnesti dengan tahanan politik yang dibebaskan karena
mendapatkan amnesti. Tahanan politik yang bebas sebelum amnesti tidak menerima
bantuan keuangan apapun, sementara tahanan politik yang dilepas sebagai bagian dari
arnnesti menerima Rp 2 juta saat dilepas di samping pakaian dan beras. Mereka
urnurnnya juga pemah dikunjungi AMM sekembali mereka ke desa dan juga bertemu
dengan perwakilan PMJ selepas pembebasan mereka.
Perbedaan perlakuan ini menimbulkan ketidakpuasan di kalangan tahanan
politik yang dibebaskan sebelum MOU. Mereka memprotes tiadanya bantuan apapun
dari pemerintah padahal mereka mengalami penderitaan yang amat berat di tengah
masyarakat sekeluar mereka dari penahanan.

200 orang tahanan politik yang dibebaskan di Aceh Tengah sebelum MoU semuanya dalam
keadaan tertekan ketika mereka kembali ke masyarakat. Teror dari masyarakat demikian berat.
Tetapi perhatian dari pemerintah belum ada. Kalau bicara penderitaan, jauh lebih menderita kita
(dibanding tahanan yang dilepas karena amnesti). Waktu keluar dari tahanan kita masih takut.
Dengan masyarakat hubungan baik, tetapi untuk pergi ke kebun belum berani. Setelah tanggal
15 Agustus itulah baru kita berani ke kebun. Sebelumnya, dengan kawan-kawan sendiri pun kita
tidak berani banyak bicara karena terus dipantau. Kita khawatir teman kita menjadi sasaran
juga. Jadi meski sudah bebas dari penjara, saya awalnya tidak berani pergi ke tempat saudara-
saudara, takut mereka yang justru jadi sasaran nantinya. Baru setelah perdamaian inilah kita
berani silaturrahmi ke kawan-kawan dan saudara-saudara.
/~'ks Taha11a11 Po/itik di Kee. Permata, Be11er Meriah (emis Gayo)

Selain itu, ada juga kasus pemukulan dan pengeroyokan yang dilakukan oleh
sekelompok mantan anggota GAM yang telah menyerah terhadap Mantan Gubemur
GAM Wilayah Linge. Peristiwa yang terjadi pada 26 April 2006 di siang bolong ini
diduga dilatarbelakangi oleh adanya kecemburuan di antara mantan anggota GAM
yang menyerah sebelum MOU. Sebab mereka tidak diakui lagi dan tidak dilibatkan
sebagai anggota KPA (organisasi sipil yang dibentuk untuk mentransformasikan

Percik- Seminar Intemasional: "Dinarnika Politik Lokal di Indonesia", Salatiga, 11 - 14 Juli 2006
11

sayap militer TNA), serta tidak dimasukkan dalam daftar penerima bantuan dari BRA
(Badan Reintegrasi dan Damai Aceh ).

2.3. Problem dan Hambatan di antara Anggota GAM dan Masyarakat

Ada tiga hambatan utama yang berpotensi membawa dampak pada hubungan
antara anggota GAM dan masyarakat. Pertama terkait dengan perilaku anggota GAM
sendiri di masyarakat tempat mereka kembali. Kedua, menyangkut isu keamanan
anggota GAM dan hubungan di antara beberapa kelompok etnis yang berlainan.
Akhimya, cara bagaimana bantuan keuangan didistribusikan juga bisa membawa
dampak tersendiri pada dinamika hubungan antara anggota GAM dan masyarakat.
Sebagaimana telah d.isinggung di muka, tanggungjawab terletak pada mereka
yang baru kembali untuk dapat membaurkan diri ke dalam komunitas mereka serta
memberikan kontribusi positif kepada warga desa. Hal ini termasuk dengan kembali
beraktivitas di kebun mereka sehingga dapat menyumbang pada pulihnya kehidupan
ekonomi desa.
Sampai saat kunjungan, masih banyak anggota GAM yang belurn memulai
bekerja. Alasannya antara lain: mereka masih khawatir dengan keselamatan mereka,
masih menunggu perintah atasan mengenai pekerjaan mereka di masa mendatang,
atau karena mereka masih menghabiskan waktu dengan keluarga setelah sekian lama
berpisah. Meski demikian, ada potensi bahwa kurangnya aktivitas ini dapat dianggap
sebagai pengangguran dan bisa menciptakan ketegangan di tengah komunitas atau
mendorong ke arah aktivitas individual yang bisa menimbulkan kekacauan.
Hambatan potensial kedua menyangkut hubungan antara berbagai kelompok
etnis yang sangat beragam. Ini khususnya amat penting di Kabupaten Bener Meriah
yang sangat multietnis dan di mana pernah terjadi benturan antar etnis sewaktu masa
Darurat Militer. Ada dua poin penting di sini, yaitu bagaimana pemerintah menjamin
keamanan semua pihak dan melibatkan berbagai kdompok etnis di dalam proses
perdamaian.

Percik - Seminar lnternas1onal: "Dinamika PohtJk Lokal di lnctones1.i", Sc1l.itiga, 11 - "14 Juli 2006
12

Akhimya, sangat penting untuk mcnjamin agar setiap bantuan yang mengalir
ke desa untuk mendukung proses perdamaian didistribusikan dengan cara yang tidak
menyebabkan atau memperparah ketegangan antara anggota GAM dan masyarakat.
Program bantuan harus dikembangkan sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan
kecemburuan antar kelompok. Se_iumlah warga desa berulangkali menegaskan bahwa
betapa mereka sangat menderita selama masa konflik akibat kekerasan kedua belah
pihak yang bertikai. Mereka sangat menentang apabila pihak yang turut menciptakan
kekerasan itu justru bakal menerima bantuan dari pemerintah, sementara masyarakat
yang menderita akibat ulah mereka tidak menerima apapun.

Saya senang dengan perdamaian ini karena kita sudah bisa pergi ke kebun, tidak ada lagi
ketakutan, dan orang atas pun sudah turun. Tetapi perdamaian harus murni. Jangan yang tidak
sakit diobati sementara yang sakit malah tidak diobati. Kan panas hati ini. Saya tidak
mengharapkan bantuan apa-apa dari pemerinyah, meski temak kerbau saya yang 25 ekor
diambil semua oleh GAM. Tidak ada lagi harta yang tersisa karena kekayaan saya ya kerbau itu.
Cuma itu tadi, jangan yang sehat diobati sedangkan yang sakit malah tidak diperhatikan. Itu
justru bikin panas hati. Daripada begitu, lebih baik semua tidak dibantu.
Peternak Kerhau di Kee. Permata, Bener Meriah (etnis Gayo)

2.4. Problem dan Hambatan Terkait dengan Potensi Aktivitas Milisi

Kekhawatiran mengenai potensi aktivitas milisi berulangkali dikemukakan,


baik oleh anggota GAM maupun masyarakat. Anggota GAM menyampaikan rasa
kekhawatiran atas keamanan mereka yang merupakan alasan pokok mengapa mereka
cenderung berkelompok dan tidak mau meninggalkan rumah jauh-jauh. Kekhawatiran
semacam ini bisa dimengerti mengingat milisi di daerah ini cukup aktif selama masa
konflik, tennasuk terlibat dalam serangan ke kantor JSC yang mengawali kegagalan
proses perdamaian CoHA di tahun 2002. Tidak heran apabila ancaman ini dirasakan
banyak pihak sangat serius dan dianggap scbagai salah satu halangan utama tc:rhadap
proses reintegrasi di daerah ini.

Kenapa dalam MoU milisi tidak dibahas. Padahal mereka juga pihak yang tunll b,mikai dalam
konf1ik '1
1-:ks Ko111h1111111 cit 1,:.-<'. l'ermata, He11t!r Meriah (t'fnis Cayo)

. . . d · " 5 latiga 11 - 14 Juli 2006


Percik - Seminar lnternasional: "Dinamika Pohtlk Lokal di In onesia ' a '
13

Proses perdamaian sudah ber_ialan baik. Kalau tidak karena milisi , perdarnaian ini sudah berjalan
90%. Sekarang rnasih SO% karena masih ada milisi. Di Lut Tawar ini rnilisi terbanyak di daerah
R. Dan sampai saat ini mili si belum menyerahkan senjata.
Eh Kombatan di Kee. /,ut Tawar. Aeeh Tengah (etnis Gayo)

Ancaman perdarnaian masih ada. Yang jelas untuk di Aceh Tengah ini masih ada pihak-pihak
yang 11dak ingin terjadi perdamaian. Khususnya adalah rnilisi. Dan di sini milisi cukup banyak.
Eks Komhatan di Kee. Permata, Bener Meriah (en11s Gayo)
Orang sini ada juga yang menjadi anggota milisi. Saya pernah sekali mendapati senjata rnereka.
Wak'tU sedang jaga malam ada milisi yang membawa senjata dan meletuskannya. Tentara
datang karena dikira ada GAM yang masuk kampung. Setelah tahu anggota milisi yang berbuat
demikian, dia marah dan menempe\eng mukanya. Tetapi tolong jangan bilang siapa-siapa kalau
saya cerita soal ini . Sebab sudah ada kebijakan dari aparat untuk mengatakan bahwa tidak
pemah ada milisi di sini !tu kebijakannya. Jadi jangan \agi nantinya saya di anggap rnembuat
rnasalah.
Pegawai Dinas Pertanian di sebuah Kecamatan di Aeeh Tengah (etnis Gayo)

Semenjak penandatanganan MOU , tidak ada aktivitas spesifik yang dilakukan


oleh anggota milisi terhadap anggota GAM yang kembali. Ketakutan terhadap aksi
milisi sejauh ini memang masih sebatas persepsi di antara anggota GAM. Meskipun
begitu, menjadi tugas pemerintah untuk menjarnin keamanan semua warga, termasuk
anggota GAM, dan mengantisipasi terjadinya tindakan apapun di luar hukum.

2.5. Kasus yang Meoonjol: Long March Pengungsi Konflik

Selain persoalan reintegrasi anggota GAM ke dalam komunitas seperti yang


diuraiakan di atas, terdapat kasus lain yang menonjol dan berdarnpak pada proses
perdamaian di daerah ini , yaitu lung march pengungsi kontlik yang ingin kembali ke
desa mereka di Aceh Tengah dan Bener Meriah. Pengungsi ini adalah para pendatang
dari daerah pesisir pantai utara (Pidie, Bireun, Aceh Utara) yang sudah lama menetap
di Dataran T inggi Gayo. Pada masa konflik, aksi kekerasan rnilisi yang ditujukan
terhadap mereka telah memaksa para pendatang ini rneninggalkan rumah dan kebun
mereka di dataran tinggi ini dan kembali ke desa asal masing-masing di panta1 utara.
Bergulirnya proses perdamaian pasca kesepakatan Helsinki ternyata tidak
membuat lebih mudah ke inginan para pe ngungsi untuk kembali ke Aceh Tengah dan

4 2006
Perci.k _ Semmar lntPrna~ionc1l: "Dmam1ka Pohtik Lokal ell Indonesia" , Saldttga, 11 - 1 Juli
14

Bener Meriah. Pemerintah Daerah baik di daerah asal maupun daerah tujuan sama-
sama tidak ambil peduli dengan tekad pengungsi untuk kembali ke desa clan kebun
yang telah lama ditinggalkan. Bahkan sampai saat para pengungsi mengorganisir diri
dan berkumpul dalam jwnlah ribuan di Pidie, Pemda Kabupaten Pidie tetap enggan
menyediakaan fasilitas kendaraan untuk mengantar mereka.
Karena tidak bisa lagi menunggu lebih lama, pada IO Desember 2005 para
pengungsi memutuskan melakukan long march ke Biruen untuk bergabung dengan
rombongan pengungsi lain yang sudah menunggu di sana. Panjang barisan pengungsi
yang berjalan kaki ini mencapai sekitar 4 km sehingga mengundang perhatian luas
dari masyarakat. Dalam barisan ini terlihat anak-anak, perempuan dan orang tua yang
turut berjalan kaki. Perjalanan kaki ini hanya sampai di Kee. Bandar Baru karena
selanjutnya mereka bisa meminta tumpangan kepada setiap truk dan ~U,S yang lewat.
Sesampai di Bireun, rombongan pengungsi bergabung untuk selanjutnya meneruskan
perjalanan ke tempat tujuan dengan cara yang sama. Pada tanggal 10 itu juga semua
pengungsi dengan menumpang berbagai jenis kendaraan sudah berada di Masjid
Babussalam Ronga-ronga, Kecarnatan Timang Gajah., Bener Meriah. Jumlah mereka
mencapai sekitar 6000 orang.
Di lokasi ini para pengungsi memutuskan tinggal sementara waktu karena
kondisinya belum memungkinkan bagi mereka untuk langsung melanjutkan ke desa
tujuan masing-masing. Selain di sana tidak ada lagi rumah mereka karena telah habis
terbakar ataupun rusak, mereka _1uga harus memastikan terlebih dahulu jaminan
keamanan mereka saat kembali ke sana.
Sementara itu, menyikapi pengungsian ini Dinas Sosial Propinsi membagikan
formulir data pengungsi yang mesti diisi oleh setiap KK. Penqataan ini dimaksudkan
untuk menghindarkan kemungkinan adanya orang-orang yang memanfaatkan situas,
pengungsian demi mendapatkan keuntungan pribadi. Pemerintah juga mensyaratkan
agar formulir yang telah diisi itu disahkan oleh kepala desa di desa tujuan masing-
masing untuk memastikan bahwa pengungsi bersangkutan memang bc:rasal dari desa
itu. Pada kenyataannya, persyaratan adanya pengesahan kepala desa ini tidak selalu

Percik - Seminar lnternasional: "Dinamtka Polit 1k Lokal di Indonesia", Salatiga, 11 - "14 Juli 2006
15

mudah diperoleh dihadapkan pada masih rapuhnya proses rekonsiliasi di aras grass
root, sementara di sisi lain pengalaman trauma pertentangan antar kelompok etnis
masih sangat segar dalam ingatan penduduk desa. Ditambah proses sosialisasi MOU
yang saat itu belum merata ke desa-desa pelosok, maka hal ini justru dapat memicu
terjadinya penolakan secara terang-terangan maupun tersamar.
Salah satu insiden penolakan terbuka terjadi di desa Slang Mancong, Kee.
Ketol, Aceh Tengah yang bahkan disertai dengan aksi kekerasan fisik. Delapan orang
perwakilan pengungsi yang datang untuk meminta tanda tangan kepala desa justru
dicurigai masyarakat sebagai anggota GAM. Sebelumnya memang ada isu bahwa
orang GAM akan datang ke desa ini. Sekelompok pemuda memaki-maki mereka
dengan menyatakan: " Anjing, untuk apa orang Aceh kembali lagi ke sini!" Salah satu
perwakilan pengungsi bahkan dipukul dadanya, sementara tiga motor yang dibawa
dihancurkan. 7
· Pada tanggal 8 Januari 2006, rombongan Muspida dan DPRD Kabupaten
Bener Meriah datang mengunjungi pengungsi. Pada kesempatan ini diadakan forum
dialog dengan para pengungsi, namun anehnya hanya seorang anggota DPRD yang
diberi kesempatan bicara. Dengan mengatasnamakan pengungsi (padahal, tanpa ada
komunikasi sebelumnya), anggota DPRD tersebut meminta perhatian pemerintah atas
nasib para pengungsi dan mengharapkan agar pemerintah memfasilitasi para
pengungsi itu untuk kembali ke desa asal yang akan mereka tuju. Sebagai tanggapan,
Bupati menyatakan bahwa pemerintah akan membantu kepulangan para pengungsi
dan ia telah mengintruksikan para camat di lokasi yang dituju pengungsi untuk
menyediakan penampungan sementara, mempennudah proses administrasi, serta
rnenjamin kearnanan para pengungsi.
Setelah selesai pertemuan, aparat polisi mengurnurnkan agar para pcngungsi
berkelompok menurut tujuan kecamatannya masing-masing dan segera menaiki
kendaraan yang akan membawa mereka ke tu_juan masing-masing Perintah yang

7
Scbagaimana dilaporkan olch Center for Humanitarian an<l Social Empowerment, sebuah LSM di
Pidie yang mendampingi pcngungsi dalam proses kepulangan kcmbali mernka

Percik - Seminar lnternasional: "Dinamika Politik Lokal di Indonesia", Salatiga, 11 - 14 Juli 2006
16

sangat mendadak ini menimbulkan kekacauan di anta ra pengungsi karena mereka


tidak ada kepastian mengenai tempat tinggal dan keamanan mereka di sana. Mereka
juga merasa tidak aman ketika harus ditempatkan terpisah-pisah da lam suasana yang
masih serba belum pasti . Kekhawatiran mereka ini akhirnya me mang terbukti . Tidak
seperti dijan,i ikan oleh bupati, banyak pengungsi yang terla ntar di lokasi yang baru
karena camat setempat tidak menyiapkan tempat penampungan sementara. Hal ini
terlihat jelas di Kecamatan Timang Gajah, Weh Pesam, Pondok, Pinto Rimee Gayo,
dan di tempat-tempat lain di mana pemerintah kecamatan tidak menyediakan fasilitas
apapun. Akibatnya, malam itu pengungsi tidak makan apapun dan hanya tidur di
emperan toko warga setempat tanpa adajarninan keamanan sama sekali.
Kondisi ini menyebabkan banyak pengungsi yang akhimya memilih kembali
lagi ke Bireun dan Pidie. Beberapa pengungsi lain yang tetap bertahan kemudian
ditempatkan di tenda-tenda atau bangunan umum dengan fasilitas yang minjm. Di
Kecamatan W eh Pesarn para pengungsi ditempatkan di sebuah pondok pesantren
yang pemimpinnya anggota milisi sehingga menimbulkan perasaan tidak aman.

3. PROPINSI ALA: AFIRMASI KEBERBEDAAN DAN l'UNTuTAN PEMISAHAN

Paparan yang dikemukakan di atas menggambarkan bahwa sekalipun secara


umum proses perdamaian di Aceh " berjalan melampaui seluruh ekspektasi" ,s namun
dalam kasus di Kab. Aceh Tengah dan Bener Meriah terdapat dinamika politi k loka l
yang menciptakan tantangan tersendiri terhadap proses perdamaian tersebut. Seperti
dikemukakan di atas, dalam proses reintegrasi anggota GAM ke dalam masyarakat
telah terjadi beberapa kali insiden ketega ngan, baik yang bersifat terbuka maupun
tersembunyi. Proses perdamaian di sini , berbeda dari tempat la in, j uga menuntut
adanya proses re integrasi di antara be rbagai ke lompok dalam masyarakat se ndiri,

8Sebagaimana istilah yang digunakan dalam ICG Asia Briefing, " Acch: So Fitr Su Good," l3
December 2005, p I.

Pe rcik - Seminar tnte rnasional: "Dinamika Politik l.o kal d1 Indonesia" , Sa lall~a, 1'1 - 14 Juli 2006
r
17

khususnya antar kelompok etnis, yang pernah berkonfrontasi satu sama lain selama
masa konllik.
Namun di atas semua iru, tantangan perdamaian yang paling besar di daerah
m1 dicuatkan oleh adanya keinginan pemisahan lima kabupaten di Dataran Tinggi
Gayo dan Leuser menjadi sebuah propinsi tersendiri yang bemama Propinsi Aceh
Leuser Antara (ALA). Tuntutan semacam ini tentu akan meruntuhkan konsensus
yang ada di Aceh saat ini mengenai masa depan Aceh (sebagaimana tennuat dalam
RUU Pemerintahan Aceh usulan DPRD Aceh), dan pada gilirannya bisa mengancam
proses perdamaian itu sendiri yang didasarkan atas premis mengenai teritori tunggal.
Salah satu ironi dari tuntutan pemisahan ini adalah terjadinya benruran dua
wacana keberbedaan meski dalam level yang berbeda Wacana pertama menegaskan
keberbedaan Aceh dari Indonesia yang melahirkan tuntutan kemerdekaan ataupun
self-governance; akan tetapi terhadap proyek politik ini muncul afirmasi keberbedaan
etnis Gayo, Alas dan Singkil dari identitas Aceh yang kemudian mendasari tunrutan
pemekaran. Perbedaannya adalah: sementara referensi afirmasi keberbedaan pada
wacana pertama (setidaknya yang diartikulasikan oleh GAM) didasarkan pada, selain
klaim etnonasionalism, juga alasan eksistensi Aceh sebagai komunitas politik yang
memerintah sendiri sebelum lahimya negara Indonesia., maka afirmasi keberbedaan
pada wacana kedua lebih mengacu kepada etnisitas, kesenjangan dan diskriminasi.

Yang disebut orang Aceh yang ash sebenarnya adalah orang Gayo. Dahulu mereka
semua tinggal di pesisir sampai terdesak oleh para pendatang. dari mana-mana yang
sekarang disebut suku Aceh. Jadi yang disebut orang Aceh sekarang ini adalah
keturunan pendatang dari India, Pakistan, dll. Karena terdesak. orang Gayo terus
menyingkir ke atas sampai Linge sini.
Orang Gayo tidak seperti orang pesisir yang bertindak dulu sebelum berpikir. dan
setelah itu baru menyesal . Kalau orang Gayo berpikir dulu sebelum bertindak sehingga
tidak mudah ikut-ikutan, baik saat DI/Tll, saat komunis, beg.itu jug.a tidak dengan
GAM . C iri orang Gayo adalal1 tidak suka kekerasan. Kalau masih bisa.. mereka akan
menghindari kekerasan. Tetapi kalau sudah dianggap keterlaluan. sudah habis
sabarnya, habis pikirnya- maka mereka akan habis-habisan. l'vtisalnya kasus JSC
beberapa waktu lalu yang diserbu oleh masyarakat karena jelas-jelas b~rpihak kepada
GAM . Bahkan tentara yang melindungi mereka pw1 ikut dipukuli.
JJenduduk desa di Kecamatan Hehest'11, An, /, rm.l.!ah (t! //11s Uayo)

Percik - Seminar Jnternasiona l: "Dinamikd Politik Lokal di lndonesid", Sdldtigd, 11 - 14 Juli 2006
18

Orang Gayo di Aceh seperti "Abotigin" di Australia. Kamilah warga asli di tanah
Aceh, tetapi nasib kami tak diperhatikan.
Yusuf Maat (68), tokoh Gayo Luwes, Kompas I 7 Uktober 2004

Terlepas dari acuan etnosentris ini, bagaimanapun dalam artikulasi politiknya


para pendukung Propinsi ALA menyebutkan lima alasan atas tuntutan pemisahan ini,
yaitu ( 1) _iauhnya rentang kendali pemerintahan dengan ibukota propinsi sehingga
kesulitan mendapatkan pelayanan dari pemerintah; (2) kondisi infrastruktur yang jauh
tertinggal sehingga melanggengkan keterisoliran dan kemiskinan; (3) adanya
diskriminasi orang Aceh terhadap orang Gayo; (4) kesulitan penduduk etnik non-
Aceh untuk menjadi pejabat teras propinsi, dan (5) upaya mensejahterakan rakyat
melalui pemekaran administrasi pemerintahan.
Tidak dapat disangkal, terdapat peran pemerintah pusat dalam proses awal
9
bergulimya tuntutan pemisahan propinsi ini. Namun, seperti dikemukakan Zain,
bahwa betul ada sutradara, ada aktor utama dan pemeran pembantu, dan juga ada
skenario. Tetapi ide ceritanya tidak bisa dikarang-karang seenaknya karena ha! itu
mencerminkan kenyataan sosial yang terjadi. Memng tidak bisa dipungkiri bahwa di
antara masyarakat Aceh terdapat latar belakang etnis, kultur, status sosial-ekonorni,
dan kondisi ekologis yang berlainan yang semuanya ini bisa menimbulkan hubungan
psiko-sosial yang tidak selamanya harmonis. Tentu hubungan yang tidak harrnonis ini
tidak selalu berarti konflik, namun justru sekat-sekat psiko-sosial inilah yang oleh
para pendukung pemisahan telah diartikulasikan dalam konteks relasi kesenjangan
dan ketidakadilan. Sebuah artikulasi yang sama yang juga dikemukakan oleh GAM
terhadap Indonesia dalam konteks yang berbeda.
Ide pembentukan propinsi ba ru di Aceh ini mulai menggelinding semenjak
pert.emuan rahasia di Brastagi , Sumatera Utara, Mei 200 I. Pertemuan ini dihadiri
tokoh kabupaten di daerah Gayo dan Le user, anggota Komisi 11 DPR dan perwakilan
Departemen Dalam Negeri . Sebelum akhirnya diputuskan bemama Aceh Leuser

9
Fajran Zain, ·'Siapa Tunggangi ALA'1" Seramhi /11Jo11esia, IS November 2005. Versi yang sedikit
berbedajuga dimuat di l111p // v. 1,w aL·<·liin~1i1t1IL ,,, g

Percik- Seminar lntemasional: "Dinamika Politik Lokal di Indonesia", Salatiga, 11 - 14 Juli 2006
19

Antara, beragam usulan pemah disampaikan untuk nama propinsi baru ini. Bahkan
Kabupaten Aceh Tamiang pemah diusulkan masuk sehingga bernama Galaksi, yaitu
akronim dari Gayo, Alas, Kuala Simpang (Tamiang), dan Singkil. Namun, karena
Aceh Tamiang menolak bergabung, akhimya disepakati calon propinsi baru bemama
10
Aceh Leuser Antara.
Dalam perkembangannya, usulan pemekaran ini bahkan sempat menjadi
rancangan undang-undang inisiatif DPR yang ditetapkan pada 28 September 2004.
Namun sebelum RUU ini sempat dibahas dan disahkan, keanggotaao DPR hasil
Pemilu 1999 ini keburu berakhir dan digantikan dengan keanggotaan hasil Pemilu
Legislatif 2004. Kesepakatan pemerintah RI dan GAM yang berhasil dicapai pada 15
Agustus 2005 kian menutup peluang pemekaran ini. Poin 1.1.4. dalam MOU m1

menyatakan bahwa "Perbatasan Aceh merujuk pada perbatasao l Juli 1956."


Meskipun demikian, para pendukung pemekaran propinsi baru ini tidak patah
arang dan berusaha mendesakkan agar draft RUU Pemerintahan Aceh yang dibahas
di DPR memasukkan pasal yang mengatur kemungkinan pemerakan Aceh di masa
depan. Menurut mereka, ketentuan ini bukan pelanggaran terhadap ketentuan dalam
MOU yang telah disepakati pemerintah RI dengan GAM. Mereka beralasan bahwa
usulan ini justru dalam rangka melahirkan sebuah "Aceh Baru" yang bisa menjarnin
perdamaian dan keadilan sebagai inti semangat dari MOU itu sendiri. Sebagaimana
dikemukakan Marthin Desky, salah seorang eksponen pendukung pemekaran, bahwa
pembentukan Provinsi ALA tidak dimaksudkan memisahkan diri dari Aceh. Namun,
justru dimaksudkan membentuk suatu Aceh Baru pasca-nota kesepahaman RI dan
GAM . Aceh Baru yang dimaksud adalah Aceh dengan tiga-empat provinsi dengan
simbol Wali Nanggroe sebagai pemersatu. Wali Nanggroe ini seperti Yang Dipertuan
Agung di Malaysia yang dapat dijabat secara bergantian di antara tiga atau empat
gubernur itu. 11

Hi Ahmad Arif dan Subur Tjahjono, "Keinginan yang Benar-benar Meriah." Kompas, 7 Oktober 2005.
11
Ahmad Arif dan Subur Tjahjono, loc. cit.

Percik - Seminar lnternasional: "Dinamika Politik Lokal d1 Indonesia", Salatiga, 11 - 14 Juli 2006

I
20

Belakangan, ketika dalam proses legislasi RUU Pemerintah Aceh menjadi


makin jelas bahwa tuntutan mereka atas pasal yang mengatur pemekaran tidak
diadopsi baik oleh draft versi DPRD Aceh maupun versi Pemerintah Pusat, mereka
kemudian mengancam untuk melepaskan diri dari Aceh dan menyerahkan roda
pemerintahan kabupaten kepada Pusat. Pada tanggal 4 Desember 2005, bertempat di
Hall Basket Gelora Bung Kamo, para pendukung pemekaran Propinsi ALA (Aceh
Lesur Antara yang wilayahnya mencakup Kabupaten Aceh Tengah, Aceh Tenggara,
Gayo Luwes, Aceh Singkil, clan Bener Meriah) serta Propinsi ABAS (Aceh Barat
Selatan yang wilayahnya mencakup Aceh Barat, Aceh Selatan, Aceh Jaya, Aceh
Barat Daya, Nagan Raya, clan Simelue) mendeklarasika.n pembentukan dua Propinsi
baru ini secara sepihak yang mengambil wilayah Aceh bagian tengah, tenggara, barat
clan selatan.
Pilihan waktu deklarasi ini yang bertepatan dengan hari kelahiran GAM
bukanlah sebuah kebetulan. Para pendukung propinsi baru ini menyatakan bahwa
mereka mereka kecewa karena sikap DPRD Aceh yang tidak menganggap serius
tuntutan mereka. Dengan menyelenggarakan deklarasi ini pada tanggal 4 Desember,
mereka menyampaikan pesan bahwa mereka "memberontak" terhadap Pemerintah
12
Aceh. Mereka juga mengancam bahwa jika keinginan pemekaran propinsi yang
diperjuangkan secara konstitusional ini tidak digubris, maka kabupaten-kabupaten
yang menghendaki pemekaran ini akan memboikot pelaksanaan pilkada di Aceh yang
akan dilaksanakan pada tahun 2006 di bawah UU Pemerintahan Aceh yang baru. 13
Perkembangan lain, pada pertemuan di Brastagi Sumatra Utara pada tanggal
18 Desember 2005, para pendukung Propinsi ALA secara aklamasi menetapkan
Gubemur sementara Propinsi ALA, yaitu DR Rahmat Salam yang menjadi Ketua
Komite Persiapan Pemekaran Provinsi Aceh Leusuer Antara (KP3 ALA). K.P3 ALA
Juga telah meresmikan kantor sementara Gubernur ALA yang beralamatkan di lstana
Reje Jlang 0 I, Takengon, Aceh Tengah. Layaknya daerah yang telah berdiri sendiri,

12
JCG Asia Briefing, " Aceh So Far So Good," 13 December 200\ p 10
n " Pemberontakan Setengah Hati," 'f'empo, 11 Desemher 2005

Percik- Seminar lntemasional: "Dinamika Politik Lokal di Indonesia", Salatiga, 11 -14 Juli 2006
21

Gubemur sementara ALA langsung mcnjalankan pemerintahannya di Takengon


dan menyerahkan Laporan Pemerintahan Darurat ALA kepada Mendagri langsung.

4. l!LASAN PENUTllP

Kasus Aceh Tengah dan Bener Meriah yang diuraikan di atas menunjukkan
gambaran bagaimana konstelasi dinamika politik lokal menghasilkan tantangan yang
berbeda terhadap proses perdamaian dan reintegrasi pasca MOU dibandi ng dengan
kondisi yang ada di bagian Aceh lainnya. Dalam kasus dua kabupaten ini, proses
perdamaian di tingkat masyarakat tidak semata ditentukan oleh bagaimana menjarnin
reintegrasi anggota GAM ke dalam masyarakat dan bagaimana mentransfonnasikan
budaya dan struktur militer GAM ke dalam budaya dan organisasi sipil. Lebi h dari
itu, dilatarbelakangi oleh adanya kelompok milisi yang sangat aktif di masa lalu, juga
persoalan relasi antar etnis yang pemah saling berbenturan satu sama lain di tengah
kecamuk konflik RI-GAM, maka dimensi konflik horisontal juga menjadi menonjol
di sini selain dimensi konflik yang bersifat vertikal.
Tuntutan atas pemekaran Propinsi ALA, terlepas dari tudingan bahwa hal ini
merupakan cerminan kepentingan kalangan elit dan birokrat lokal semata, ia secara
nyata juga memperlihatkan bahwa basis-basis bagi unit legitimasi atas klaim otonomi
dan self-governance sangatlah beragam dan, sebagaimana ditengarai Bowen, 14 saling
bersaingan satu sama lain dalam konteks di Aceh. Memang, pertarungan mengenai
siapa yang berhak untuk bertindak sebagai pemimpin Aceh yang legitimate memiliki
riwayat panjang tersendiri. Hal ini menyebabkan kehidupan politik Aceh merupakan
ruang bagi ekspresi rivalitas dan ketegangan lokal, ha! mana kemudian diperparah
lagi oleh sejarah interaksi dengan Pemerintah Pusat dan politik Indonesia yang sangat
tersentralt sir.
Terkait dengan ini, Bowen lebih lanjut menyatakan bahwa dihadapkan pada
keragaman basis-basis unit legitimasi yang sating bersaing di tingkat lokal ini, maka

14 John R. Bowen, "Nonnative Pluralism in Indonesia: Regions, Religions, and Ethnicities," tulisa.n
ridak diterbitkan

Percik- Seminar lnternas1onal: "Dinamika Politik Lokal di Indonesia", Salatiga, 11 -14 Juli 2006
22

pilihan atas seperangkat penjelas atas konflik di Aceh- misalnya sebagai bentuk
"minoritas nasional" yang memperjuangkan suatu bentuk etnonasionalisme---dapat
membawa kita secara tidak disengaja untuk mendukung satu pihak di atas pihak yang
lain dalam konteks konflik politik lokal. Perangkat penjelas, dengan demikian, pada
dirinya sendiri secara potensial memilik.i konsekuensi politis. Di Aceh, orang bisa
memilih mendeskripsikan kelompok sosial sebagai unit tunggal komunitas politik
yang sedang memperjuangkan independensi dari negara nasional ; namun di pihak
lain juga bisa mendeskripsikannya sebagai penghuni sebuab wilayah (residents of a
region) yang di dalamnya ada beragam kesatuan etnis yang juga menuntut otonomi
dari unit yang lebih luas. Dengan demikian, perangkat penjelas yang dipilih oleh
pengamat atau ilmuwan bisa secara intrinsik bersifat partisan, terlepas dari maksud
maupun substansi analisisnya.
Kesemuanya ini memberi penegasan bahwa berbicara masalah perdamaian
tidaklah cukup memahaminya dalam konteks konflik bersenjata antara GAM dan
Pemerintah Pusat semata. Tantangan yang lebih besar justru adalah membangun
perdamaian hingga di level masyarakat dalam konteks berbagai persaingan ekonomi-
politik yang bermain dalam dinamika konflik politik lokal. Apabila konflik vertikal
antara GAM dan RI bisa selesai di meja perundingan, tidak demikian halnya dengan
persaingan antar berbagai kelompok etnis dalam perebutan sumberdaya ekonomi di
15
dataran tinggi ini; begitu pula ketegangan psiko-sosial dan politik yang lebih luas
dalam konteks relasi antara "wilayah pinggiran" yang dihuni etnis non-Aceh dengan
"wilayah pusat" etnis Aceh.

15
Pengamatan . .lapangan singkat di daerah ini menun1·ukkan bahwa daera h-daera h ct·1
.k selama -di riset
mana k.on tl I antar etms
. .tel)ad1 dengan skala hebat 1· ustru bukan di daerah-daerah 1ransmtgran
· Jawa
(sepert1 yang mungkm d1bayangkan), namun daerah-daerah yang sudah cukup maju di mana sektor
Jasa dan perdagangan sudah berkembang. Namun, sektor-sektor ekonomi ini cenderung terkluster ke
dalam pengelompokan etms, m1salnya sektor permodalan pertanian dan perdagangan has.I b ·
banyak d I.k uas,. oIe_
h s· ,. . I umt
or~ng •~ 1 (d1kenal dengan Julukan .. Aceh hitam" ), perdagangan kelomon~ di
pusat-pusat kerama,an d1kuasa1 orang Padang, sementara orang Gayo dan Jawa terbenam dalam sektor
pertaman (kop, dan hort1kultur) dengan tekanan kondisi lahan yang makin menyempit dan memmm
kesuburannya (butuh asupan pupuk yang makm banyak)

Percik - Seminar lnternas1ona I: "Dinarnika Politik Lokal d I Indonesia", Salallga, 1·1 - 14 Ju Li 2006
23

Tidak ada penyelesaian praktis atas tantangan ini selain sebuah keniscayaan
sikap untuk tidak terjebak dalam struktur polarisasi yang ada, sambil pada saat yang
sama mengupayakan penguatan masyarakat sipi l dan mendorong pelembagaan dan
kultur dialog hingga ke level akar rumput. 1-lanya dengan begitulah masyarakat sipil
akan mempunyai kapasitas dan kekuatan untuk berdialog secara kritis, menentukan
sikap secara independen, dan membangun kompromi-kompromi praktis di tingkat
lokal. Dengan demikian, mereka tidak perlu terpolarisasi secara sosial betapapun
kerasnya dinamika politik yang berlangsung pada waktu-waktu mendatang.
Tanpa sikap jemih ini, dan komitmen untuk mengupayakan agenda mendesak
di atas, maka proses politik ke depan hanya akan menjadi arena bermain pihak-pihak
yang bertikai dengan mengusung bendera apapun (etnis, wilayah, agama dll ), yang
kita ketahui bersama memiliki kemampuan (dan juga preseden) untuk melakukan
tindak pemaksaan dan bahkan kekerasan. (]

Penulis menyampaikan hanyak tenmu kasih kepadu dua rekan pene/111 Mallht:'w
Zurtrassen dan Zulhaini Sarllka yang selwna rise/ 1111 le/ah herbag1 suka duku cl,
lapangan dan pemikiran-pemikiran yang mencerahkan, sebagaimuna kumitmen atas
perdamaian dan rekonsiliasi yang kukuh.

Percik- Seminar Internas1ona l: "Dmam1ka Polit1 k Lokd l d1 lndonesid", Salatiga, 11 -14 Juli 2006

Anda mungkin juga menyukai