Anda di halaman 1dari 22

TRILOGI

INDONESIA MENGHADAPI
PERUBAHAN IKLIM
PERUBAHAN IKLIM: KRISIS SOSIAL-EKOLOGIS DAN
KEADILAN IKLIM

KEMENTERIAN LINGKUNGAN
HIDUP DAN KEHUTANAN
TRILOGI INDONESIA MENGHADAPI PERUBAHAN IKLIM
• Urgensi, Politik, & Tata Kelola Perubahan Iklim
• Pembangunan & Emisi Gas Rumah Kaca
• Krisis Sosial-Ekologis & Keadilan Iklim

Copyright @2019, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Pertama kali diterbitkan dalam bahasa Indonesia


oleh Penerbit Buku Kompas, 2019

PT. Kompas Media Nusantara


Jl. Palmerah Selatan 26-28
Jakarta 10270 e-mail: buku@kompas.com

Editor:
Siti Nurbaya (Editor Utama)
Nur Masripatin
Soeryo Adiwibowo
Yulia Sugandi
Thomas Reuter

Kontributor buku Perubahan Iklim: Krisis Sosial Ekologis dan Keadilan Iklim
Wahyudi Wardojo, Efransyah, Nisa Novita, San Afri Awang, Kosuke Mizuno, Hanni Adiati, Armi
Susandi, Arif Satria, Dedi Adhuri, Nur Hannah Muthohharoh, Arief Yuwono, Noer Fauzi Rahman,
Arimbi Heroepoetri, Bernardinus Steni, Dewi Candraningrum, Monica Tanuhandaru, Ayu Dewi Utari,
Satyawan Sunito, Mohamad Shohibuddin, Endriatmo Soetarto, Harlino Nandha Prayudha, Meuthia A
Naim, Ekawati S. Wahyuni, Sri Hartini Rachmad, Dina Nurdinawati, Agus Justianto, Laksmi Dhewanti,
Amanda N. Katili, Yunita T. Winarto, Sue Walker, Rhino Ariefiansyah, Adlinanur F. Prihandiani, M.
Taqiuddin, Zefanya C. Nugroho

Tim Pendukung:
Muhammad Mahfudz Mochtar, Ayu Dewi Utari, Firman Maulana, Teguh Trio Adisulistyo, Susi Oktalina,
Andry Januardi, Dwiaprinda Rachmawati, Ahmad

Penyelaras Bahasa: R.B.E. Agung Nugroho.


Desain sampul: Cindy
Desain isi: Ratno

Penulisan Pustaka:
Nurbaya, S., N. Masripatin, S. Adiwibowo, Y. Sugandi, dan T. Reuter. 2019. Perubahan Iklim: Krisis
Sosial Ekologis dan Keadilan Iklim. Trilogi Indonesia Menghadapi Perubahan Iklim . Penerbit Buku
Kompas. Jakarta.

Hak cipta dilindungi oleh Undang-Undang Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau
seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit.

xl+312 hlm.; 15cmx23cm

ISBN 978-623-241-046-6
ISBN 978-623-241-050-3 (pdf)
KMN 581912214

Isi di luar tanggung jawab Percetakan PT. Gramedia, Jakarta


konsekuensi dari relasi sosial pada arena tertentu yang bersifat
timpang (Shohibuddin dan Soetarto 2010; Leichenko dan Silva
2014). Dan dewasa ini, salah satu arena kuasa yang ditandai
dengan ketimpangan relasi itu adalah agenda perubahan iklim
global yang sarat dengan tarik menarik kepentingan di dalamnya.
Sejalan dengan dua perspektif tersebut, maka hubungan
antara kemiskinan dan perubahan iklim pada dasarnya bersifat
PERUBAHAN IKLIM DAN JERAT KEMISKINAN dinamis dan tidak dapat diterangkan hanya dari satu sisi semata.
Tulisan ini mencoba untuk menyajikan sketsa yang lebih utuh
Satyawan Sunito, Mohamad Shohibuddin, dan Endriatmo Soetarto mengenai kaitan kemiskinan dengan perubahan iklim global. Hal
ini mencakup tiga model penjelasan sebagai berikut. Pertama,
penjelasan kerentanan, yakni bahwa kelompok miskin hidup
dalam kondisi yang membuatnya paling rentan terhadap dampak
perubahan iklim. Kedua, penjelasan diskoneksi, yakni bahwa
kebijakan penanggulangan kemiskinan gagal mengatasi masalah
kemiskinan karena tidak memperhitungkan faktor perubahan
• Pengantar
• Kemiskinan yang Kompleks iklim. Dan ketiga, penjelasan produksi kemiskinan, yaitu bahwa
• Potret Kemiskinan di Indonesia dalam konteks relasi sosial-politik yang timpang, berbagai agenda
• Kerentanan Golongan Miskin global untuk merespons perubahan iklim justru memperparah
• Diskoneksi Kebijakan Kemiskinan
atau bahkan menciptakan kemiskinan.
• Konsekuensi Tak Diduga dari Agenda Iklim
Tulisan ini akan diawali dengan terlebih dulu mengulas
secara ringkas ciri-ciri kemiskinan sebagai sebuah gejala yang
Pengantar kompleks dan kemudian mengilustrasikannya dengan potret
kemiskinan di Indonesia. Setelah itu, baru dilanjutkan dengan
M engapa penting menghubungkan kemiskinan dengan
perubahan iklim global? Sebagaimana kita ketahui,
kemiskinan merupakan fenomena yang kompleks dan dapat
pembahasan yang lebih rinci mengenai hubungan kemiskinan
dan perubahan iklim berdasarkan tiga jenis penjelasan di atas.
ditinjau dari berbagai sudut pandang, antara lain menurut dua
Kemiskinan yang Kompleks
perspektif sebagai berikut. Pertama adalah perspektif yang
cenderung melihat kemiskinan secara statis, yaitu sebagai satu Kendati tulisan ini tidak ingin mendalami kemiskinan secara
kondisi tertentu yang biasanya dikaitkan dengan keterbatasan khusus, melainkan persinggungan antara kemiskinan dan
pendapatan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi minimum perubahan iklim global, namun untuk mengawalinya tetap
atau keterbatasan kapasitas untuk membangun penghidupan dibutuhkan pembahasan yang memadai mengenai kemiskinan.
yang layak. Berbeda dari ini, perspektif yang kedua lebih melihat Terutama untuk memperlihatkan betapa kompleks fenomena
kemiskinan secara relasional/prosesual, yaitu sebagai sebuah kemiskinan ini.

136 Perubahan Iklim dan Jerat Kemiskinan | 137


konsekuensi dari relasi sosial pada arena tertentu yang bersifat
timpang (Shohibuddin dan Soetarto 2010; Leichenko dan Silva
2014). Dan dewasa ini, salah satu arena kuasa yang ditandai
dengan ketimpangan relasi itu adalah agenda perubahan iklim
global yang sarat dengan tarik menarik kepentingan di dalamnya.
Sejalan dengan dua perspektif tersebut, maka hubungan
antara kemiskinan dan perubahan iklim pada dasarnya bersifat
PERUBAHAN IKLIM DAN JERAT KEMISKINAN dinamis dan tidak dapat diterangkan hanya dari satu sisi semata.
Tulisan ini mencoba untuk menyajikan sketsa yang lebih utuh
Satyawan Sunito, Mohamad Shohibuddin, dan Endriatmo Soetarto mengenai kaitan kemiskinan dengan perubahan iklim global. Hal
ini mencakup tiga model penjelasan sebagai berikut. Pertama,
penjelasan kerentanan, yakni bahwa kelompok miskin hidup
dalam kondisi yang membuatnya paling rentan terhadap dampak
perubahan iklim. Kedua, penjelasan diskoneksi, yakni bahwa
kebijakan penanggulangan kemiskinan gagal mengatasi masalah
kemiskinan karena tidak memperhitungkan faktor perubahan
• Pengantar
• Kemiskinan yang Kompleks iklim. Dan ketiga, penjelasan produksi kemiskinan, yaitu bahwa
• Potret Kemiskinan di Indonesia dalam konteks relasi sosial-politik yang timpang, berbagai agenda
• Kerentanan Golongan Miskin global untuk merespons perubahan iklim justru memperparah
• Diskoneksi Kebijakan Kemiskinan
atau bahkan menciptakan kemiskinan.
• Konsekuensi Tak Diduga dari Agenda Iklim
Tulisan ini akan diawali dengan terlebih dulu mengulas
secara ringkas ciri-ciri kemiskinan sebagai sebuah gejala yang
Pengantar kompleks dan kemudian mengilustrasikannya dengan potret
kemiskinan di Indonesia. Setelah itu, baru dilanjutkan dengan
M engapa penting menghubungkan kemiskinan dengan
perubahan iklim global? Sebagaimana kita ketahui,
kemiskinan merupakan fenomena yang kompleks dan dapat
pembahasan yang lebih rinci mengenai hubungan kemiskinan
dan perubahan iklim berdasarkan tiga jenis penjelasan di atas.
ditinjau dari berbagai sudut pandang, antara lain menurut dua
Kemiskinan yang Kompleks
perspektif sebagai berikut. Pertama adalah perspektif yang
cenderung melihat kemiskinan secara statis, yaitu sebagai satu Kendati tulisan ini tidak ingin mendalami kemiskinan secara
kondisi tertentu yang biasanya dikaitkan dengan keterbatasan khusus, melainkan persinggungan antara kemiskinan dan
pendapatan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi minimum perubahan iklim global, namun untuk mengawalinya tetap
atau keterbatasan kapasitas untuk membangun penghidupan dibutuhkan pembahasan yang memadai mengenai kemiskinan.
yang layak. Berbeda dari ini, perspektif yang kedua lebih melihat Terutama untuk memperlihatkan betapa kompleks fenomena
kemiskinan secara relasional/prosesual, yaitu sebagai sebuah kemiskinan ini.

136 Perubahan Iklim dan Jerat Kemiskinan | 137


Sachs (2005) membedakan tingkat kemiskinan ke dalam Sifat dinamis dan multidimensional dari kemiskinan inilah
tiga kategori sebagai berikut: kemiskinan ekstrem atau absolut, yang membuat orang sukar untuk bangkit atau keluar dari
kemiskinan moderat, dan kemiskinan relatif. Kemiskinan kemiskinan tanpa memutuskan daur produksi kemiskinan itu
ekstrem adalah kondisi di mana rumah tangga tidak mampu sendiri. Kondisi yang selalu menyertai dinamika kemiskinan ini
memenuhi kebutuhan pokoknya (basic needs), berada dalam diistilahkan sebagai poverty trap atau jebakan kemiskinan (Sachs
keadaan kelaparan kronis, dan tidak memiliki akses pada 2005: 19, Leichenko dan Silva 2014).
layanan kesehatan dan pendidikan; suatu gambaran yang pada
umumnya terdapat di negara-negara berkembang. Kemiskinan Potret Kemiskinan di Indonesia
moderat adalah kondisi ketika kebutuhan pokok rumah tangga Dalam kurun waktu hampir dua dekade terakhir ini, Indonesia
nyaris terpenuhi. Sedangkan kemiskinan relatif adalah kondisi telah berhasil menurunkan angka kemiskinan secara berarti.
rumah tangga dengan pendapatan di bawah garis kemiskinan Sesuai data BPS (2018), jumlah penduduk miskin pada tahun
yang penentuannya bervariasi antar-daerah. 1999 adalah 47,97 juta orang (23,43%), sedangkan pada tahun
Seperti terlihat, kemiskinan dalam tiga kategori ini lebih 2018 jumlah itu telah turun menjadi 25,95 juta orang (9,82%).
dilihat sebagai suatu tingkatan hirarkis yang diukur berdasarkan Data penduduk miskin ini adalah hasil perhitungan dengan
sejumlah parameter tertentu: pendapatan, kepemilikan aset, memakai garis kemiskinan yang nilainya disesuaikan menurut
asupan kalori dan gizi, dan lain-lain. Kemiskinan merupakan kondisi perekonomian daerah yang berbeda-beda. Garis
“atribut negatif” dari berbagai parameter ini yang atas dasar itu kemiskinan paling tinggi diterapkan di Provinsi Bangka Belitung,
rumah tangga dapat dikelompokkan menurut posisinya dalam yaitu Rp631.467/kapita/bulan atau US$45/kapita/bulan; dan
“hirarki tingkat kemiskinan”. Sesuai perbedaan posisi dalam paling rendah diterapkan di Provinsi Sulawesi Tenggara, yaitu
hirarki ini, sejumlah intervensi yang berlainan lantas dilakukan Rp303.618/kapita/bulan atau US$22/kapita/bulan. Sedangkan
dalam bentuk berbagai program penanggulangan kemiskinan rata-rata garis kemiskinan secara nasional yang merupakan
(Shohibuddin dan Soetarto 2010: 240). gabungan kota dan desa adalah Rp401.220/kapita/bulan atau
Namun, kemiskinan pada kelompok masyarakat tertentu US$28/kapita/bulan.1
tidak dapat dilihat sebagai suatu kondisi statis dan dipandang Jumlah penduduk miskin di atas merupakan angka pada
sebagai “hilir” persoalan yang cukup ditangani dengan model level nasional. Apabila dicermati lebih rinci, terdapat perbedaan
“kebijakan ujung pipa”. Alih-alih demikian, kemiskinan selalu besar antardaerah. Beberapa daerah memperlihatkan angka
bersifat historis. Ia adalah bagian dari proses sosial dan relasi kemiskinan yang jauh melampaui persentase nasional (9,82%),
ekonomi politik yang bukan saja menghasilkan kemakmuran, seperti Nusa Tenggara Barat (13,72%), Nusa Tenggara Timur
namun juga kemiskinan. Karena itu, dinamika kemiskinan juga (24,74%), dan Maluku (26,64%). Selain itu, terdapat perbedaan
harus dilihat dalam kaitan dengan berbagai faktor di “hulu” dan yang mencolok antara wilayah kota dan desa. Angka kemiskinan
di sepanjang “aliran” yang mendahuluinya yang menyebabkan di perdesaan adalah 13,20%, lebih tinggi dari angka kemiskinan
suatu kondisi kemiskinan tercipta, terus bertahan, dan bahkan nasional sebesar 9,82%, maupun apalagi angka kemiskinan di
dapat diciptakan kembali dalam bentuk baru (Shohibuddin dan
Soetarto 2010: 240-241).
1 Data-data kemiskinan yang digunakan selanjutnya juga bersumber pada BPS (2018).

138 | TRILOGI INDONESIA MENGHADAPI PERUBAHAN IKLIM – PERUBAHAN IKLIM: KRISIS SOSIAL-EKOLOGIS DAN KEADILAN IKLIM Perubahan Iklim dan Jerat Kemiskinan | 139
Sachs (2005) membedakan tingkat kemiskinan ke dalam Sifat dinamis dan multidimensional dari kemiskinan inilah
tiga kategori sebagai berikut: kemiskinan ekstrem atau absolut, yang membuat orang sukar untuk bangkit atau keluar dari
kemiskinan moderat, dan kemiskinan relatif. Kemiskinan kemiskinan tanpa memutuskan daur produksi kemiskinan itu
ekstrem adalah kondisi di mana rumah tangga tidak mampu sendiri. Kondisi yang selalu menyertai dinamika kemiskinan ini
memenuhi kebutuhan pokoknya (basic needs), berada dalam diistilahkan sebagai poverty trap atau jebakan kemiskinan (Sachs
keadaan kelaparan kronis, dan tidak memiliki akses pada 2005: 19, Leichenko dan Silva 2014).
layanan kesehatan dan pendidikan; suatu gambaran yang pada
umumnya terdapat di negara-negara berkembang. Kemiskinan Potret Kemiskinan di Indonesia
moderat adalah kondisi ketika kebutuhan pokok rumah tangga Dalam kurun waktu hampir dua dekade terakhir ini, Indonesia
nyaris terpenuhi. Sedangkan kemiskinan relatif adalah kondisi telah berhasil menurunkan angka kemiskinan secara berarti.
rumah tangga dengan pendapatan di bawah garis kemiskinan Sesuai data BPS (2018), jumlah penduduk miskin pada tahun
yang penentuannya bervariasi antar-daerah. 1999 adalah 47,97 juta orang (23,43%), sedangkan pada tahun
Seperti terlihat, kemiskinan dalam tiga kategori ini lebih 2018 jumlah itu telah turun menjadi 25,95 juta orang (9,82%).
dilihat sebagai suatu tingkatan hirarkis yang diukur berdasarkan Data penduduk miskin ini adalah hasil perhitungan dengan
sejumlah parameter tertentu: pendapatan, kepemilikan aset, memakai garis kemiskinan yang nilainya disesuaikan menurut
asupan kalori dan gizi, dan lain-lain. Kemiskinan merupakan kondisi perekonomian daerah yang berbeda-beda. Garis
“atribut negatif” dari berbagai parameter ini yang atas dasar itu kemiskinan paling tinggi diterapkan di Provinsi Bangka Belitung,
rumah tangga dapat dikelompokkan menurut posisinya dalam yaitu Rp631.467/kapita/bulan atau US$45/kapita/bulan; dan
“hirarki tingkat kemiskinan”. Sesuai perbedaan posisi dalam paling rendah diterapkan di Provinsi Sulawesi Tenggara, yaitu
hirarki ini, sejumlah intervensi yang berlainan lantas dilakukan Rp303.618/kapita/bulan atau US$22/kapita/bulan. Sedangkan
dalam bentuk berbagai program penanggulangan kemiskinan rata-rata garis kemiskinan secara nasional yang merupakan
(Shohibuddin dan Soetarto 2010: 240). gabungan kota dan desa adalah Rp401.220/kapita/bulan atau
Namun, kemiskinan pada kelompok masyarakat tertentu US$28/kapita/bulan.1
tidak dapat dilihat sebagai suatu kondisi statis dan dipandang Jumlah penduduk miskin di atas merupakan angka pada
sebagai “hilir” persoalan yang cukup ditangani dengan model level nasional. Apabila dicermati lebih rinci, terdapat perbedaan
“kebijakan ujung pipa”. Alih-alih demikian, kemiskinan selalu besar antardaerah. Beberapa daerah memperlihatkan angka
bersifat historis. Ia adalah bagian dari proses sosial dan relasi kemiskinan yang jauh melampaui persentase nasional (9,82%),
ekonomi politik yang bukan saja menghasilkan kemakmuran, seperti Nusa Tenggara Barat (13,72%), Nusa Tenggara Timur
namun juga kemiskinan. Karena itu, dinamika kemiskinan juga (24,74%), dan Maluku (26,64%). Selain itu, terdapat perbedaan
harus dilihat dalam kaitan dengan berbagai faktor di “hulu” dan yang mencolok antara wilayah kota dan desa. Angka kemiskinan
di sepanjang “aliran” yang mendahuluinya yang menyebabkan di perdesaan adalah 13,20%, lebih tinggi dari angka kemiskinan
suatu kondisi kemiskinan tercipta, terus bertahan, dan bahkan nasional sebesar 9,82%, maupun apalagi angka kemiskinan di
dapat diciptakan kembali dalam bentuk baru (Shohibuddin dan
Soetarto 2010: 240-241).
1 Data-data kemiskinan yang digunakan selanjutnya juga bersumber pada BPS (2018).

138 | TRILOGI INDONESIA MENGHADAPI PERUBAHAN IKLIM – PERUBAHAN IKLIM: KRISIS SOSIAL-EKOLOGIS DAN KEADILAN IKLIM Perubahan Iklim dan Jerat Kemiskinan | 139
perkotaan sebesar 7,02%. Dengan demikian, dapat dikatakan tangga petani gurem yang jumlahnya mencapai 55,95% hanya
bahwa lebih dari 60% penduduk miskin berada di perdesaan. menguasai 11,94% dari total lahan pertanian dengan rata-rata
Bila angka kemiskinan ini diperinci menurut kategori- penguasaan sebesar 0,18 ha. Angka ini memburuk dibanding
kategori “Rentan Miskin Lain”, “Hampir Miskin”, “Miskin” dan satu dekade sebelumnya (2003) di mana golongan petani gurem
“Sangat Miskin”, wilayah perdesaan juga memperlihatkan angka yang berjumlah 51,2% (lebih sedikit) menguasai 12,8% dari
kemiskinan yang lebih tinggi, termasuk pada dua kategori yang total lahan pertanian (lebih luas). Di pihak lain, golongan petani
terakhir. kaya (luas penguasaan lahan >3 ha) yang jumlahnya hanya
Tabel 1. 6,16% menguasai 38,49% dari total lahan pertanian. Tabel 2
Status Kemiskinan Menurut Wilayah, 2018 (%) menunjukkan hal ini.

RML HM M SM
Tabel 2.
Perkotaan 14,87 6,03 4,65 2,37 Distribusi penguasaan lahan pertanian, 2013
Perdesaan 19,68 8,78 8,18 5,03
Rata2 Luas
Keterangan: Golongan Penguasaan Rumah Tangga Petani (RTP) Luas Lahan
Penguasaan
SM : Sangat Miskin (pengeluaran per kapita/bulan < 0,8 GK) Lahan (Ha)
Jumlah % Ha % Lahan (Ha)
M : Miskin (0,8 GK <= pengeluaran perkapita/bulan <1 GK)
Gurem (0,49> ha> 0,1) 14.622.391 55,9 2.678.866,9 11,9 0,18
HM : Hampir Miskin (1 GK <= pengeluaran perkapita/bulan < 1,2 GK) 87,6 45,7 0,45
Kecil (1,99 > ha > 0,5) 8.280.922 31,7 7.573.148,9 33,8 0,91
RML : Rentan Miskin Lainnya (1,2 GK <= pengeluaran perkapita/bulan <= 1,6 GK) Menengah (2,9>ha>2) 1.623.428 6,2 3.543.817,1 15,8 2,18
12.4 54,3 3,77
Kaya (>3 ha) 1.608.728 6,2 8.631787,9 38,5 5,37
Jumlah 26.135.469 100,0 100,0 22.427.620,8 100,0 100,0 0,86 0,86
Apabila tingkat pendidikan dijadikan sebagai indikator bagi Sumber: Analisis Sajogyo Institute atas data Sensus Pertanian 2013
kemampuan warga di dalam membangun penghidupan dan
memanfaatkan peluang ekonomi yang terbuka, maka ternyata
Dari tabel di atas diketahui bahwa total lahan pertanian
pula bahwa golongan miskin desa mencatat tingkat pendidikan
rakyat mencapai hampir 22,428 juta ha. Sebagian besar (38,49%)
yang jauh lebih rendah. Sebagai misal, pada kategori “tidak dapat
lahan pertanian rakyat ini dikuasai oleh hanya 6,16% golongan
membaca dan menulis”, golongan miskin desa mencapai 15,3%,
petani kaya yang rata-rata menguasai lahan seluas 5,37 ha. Pada
sedangkan golongan miskin kota mencapai 8,6%. Rendahnya
posisi berikutnya, sebesar 33,77% lahan pertanian rakyat dikuasai
tingkat pendidikan dari golongan miskin desa tercermin juga
golongan petani kecil (31,68%) dengan rata-rata penguasaan 0,91
di dalam tingginya angka kategori penduduk miskin yang tidak
ha. Lalu, 15,8% lahan dikuasai oleh golongan petani menengah
lulus sekolah dasar yaitu 42,9%, dibandingkan dengan kategori
(6,21%) yang rata-rata menguasai 2,18 ha. Akhirnya, golongan
sama pada penduduk desa yang tidak miskin yaitu 29.2%.
petani gurem yang merupakan mayoritas petani (55,95%) hanya
Rendahnya atau bahkan nihilnya penguasaan atas aset dan menguasai 11,94% lahan rakyat dengan rata-rata penguasaan
alat-alat produksi di perdesaan, seperti tanah pertanian, alat- lahan 0,18 ha.
alat pertanian, mesin untuk berproduksi, kendaraan, akses
Dari sini terlihat bagaimana lahan pertanian sebagai aset
pada modal; juga merupakan aspek penting dari kemiskinan di
utama petani untuk berproduksi dan membangun penghidupan,
perdesaan. Data Sensus Pertanian 2013 memperlihatkan rumah
terdistribusi secara tidak merata di antara petani. Dengan begitu,

140 | TRILOGI INDONESIA MENGHADAPI PERUBAHAN IKLIM – PERUBAHAN IKLIM: KRISIS SOSIAL-EKOLOGIS DAN KEADILAN IKLIM Perubahan Iklim dan Jerat Kemiskinan | 141
perkotaan sebesar 7,02%. Dengan demikian, dapat dikatakan tangga petani gurem yang jumlahnya mencapai 55,95% hanya
bahwa lebih dari 60% penduduk miskin berada di perdesaan. menguasai 11,94% dari total lahan pertanian dengan rata-rata
Bila angka kemiskinan ini diperinci menurut kategori- penguasaan sebesar 0,18 ha. Angka ini memburuk dibanding
kategori “Rentan Miskin Lain”, “Hampir Miskin”, “Miskin” dan satu dekade sebelumnya (2003) di mana golongan petani gurem
“Sangat Miskin”, wilayah perdesaan juga memperlihatkan angka yang berjumlah 51,2% (lebih sedikit) menguasai 12,8% dari
kemiskinan yang lebih tinggi, termasuk pada dua kategori yang total lahan pertanian (lebih luas). Di pihak lain, golongan petani
terakhir. kaya (luas penguasaan lahan >3 ha) yang jumlahnya hanya
Tabel 1. 6,16% menguasai 38,49% dari total lahan pertanian. Tabel 2
Status Kemiskinan Menurut Wilayah, 2018 (%) menunjukkan hal ini.

RML HM M SM
Tabel 2.
Perkotaan 14,87 6,03 4,65 2,37 Distribusi penguasaan lahan pertanian, 2013
Perdesaan 19,68 8,78 8,18 5,03
Rata2 Luas
Keterangan: Golongan Penguasaan Rumah Tangga Petani (RTP) Luas Lahan
Penguasaan
SM : Sangat Miskin (pengeluaran per kapita/bulan < 0,8 GK) Lahan (Ha)
Jumlah % Ha % Lahan (Ha)
M : Miskin (0,8 GK <= pengeluaran perkapita/bulan <1 GK)
Gurem (0,49> ha> 0,1) 14.622.391 55,9 2.678.866,9 11,9 0,18
HM : Hampir Miskin (1 GK <= pengeluaran perkapita/bulan < 1,2 GK) 87,6 45,7 0,45
Kecil (1,99 > ha > 0,5) 8.280.922 31,7 7.573.148,9 33,8 0,91
RML : Rentan Miskin Lainnya (1,2 GK <= pengeluaran perkapita/bulan <= 1,6 GK) Menengah (2,9>ha>2) 1.623.428 6,2 3.543.817,1 15,8 2,18
12.4 54,3 3,77
Kaya (>3 ha) 1.608.728 6,2 8.631787,9 38,5 5,37
Jumlah 26.135.469 100,0 100,0 22.427.620,8 100,0 100,0 0,86 0,86
Apabila tingkat pendidikan dijadikan sebagai indikator bagi Sumber: Analisis Sajogyo Institute atas data Sensus Pertanian 2013
kemampuan warga di dalam membangun penghidupan dan
memanfaatkan peluang ekonomi yang terbuka, maka ternyata
Dari tabel di atas diketahui bahwa total lahan pertanian
pula bahwa golongan miskin desa mencatat tingkat pendidikan
rakyat mencapai hampir 22,428 juta ha. Sebagian besar (38,49%)
yang jauh lebih rendah. Sebagai misal, pada kategori “tidak dapat
lahan pertanian rakyat ini dikuasai oleh hanya 6,16% golongan
membaca dan menulis”, golongan miskin desa mencapai 15,3%,
petani kaya yang rata-rata menguasai lahan seluas 5,37 ha. Pada
sedangkan golongan miskin kota mencapai 8,6%. Rendahnya
posisi berikutnya, sebesar 33,77% lahan pertanian rakyat dikuasai
tingkat pendidikan dari golongan miskin desa tercermin juga
golongan petani kecil (31,68%) dengan rata-rata penguasaan 0,91
di dalam tingginya angka kategori penduduk miskin yang tidak
ha. Lalu, 15,8% lahan dikuasai oleh golongan petani menengah
lulus sekolah dasar yaitu 42,9%, dibandingkan dengan kategori
(6,21%) yang rata-rata menguasai 2,18 ha. Akhirnya, golongan
sama pada penduduk desa yang tidak miskin yaitu 29.2%.
petani gurem yang merupakan mayoritas petani (55,95%) hanya
Rendahnya atau bahkan nihilnya penguasaan atas aset dan menguasai 11,94% lahan rakyat dengan rata-rata penguasaan
alat-alat produksi di perdesaan, seperti tanah pertanian, alat- lahan 0,18 ha.
alat pertanian, mesin untuk berproduksi, kendaraan, akses
Dari sini terlihat bagaimana lahan pertanian sebagai aset
pada modal; juga merupakan aspek penting dari kemiskinan di
utama petani untuk berproduksi dan membangun penghidupan,
perdesaan. Data Sensus Pertanian 2013 memperlihatkan rumah
terdistribusi secara tidak merata di antara petani. Dengan begitu,

140 | TRILOGI INDONESIA MENGHADAPI PERUBAHAN IKLIM – PERUBAHAN IKLIM: KRISIS SOSIAL-EKOLOGIS DAN KEADILAN IKLIM Perubahan Iklim dan Jerat Kemiskinan | 141
terlihat juga persentase dan jumlah rumah tangga petani yang relasional seperti uraian di atas. Lebih-lebih, dewasa ini kondisi
tidak sanggup membangun penghidupan yang wajar dari sudut kemiskinan tersebut berada dalam konteks dinamika perubahan
pandang luas lahan pertanian yang dikuasainya. global yang amat cepat, disrupsi teknologi, dan (yang berkaitan
Apabila merujuk UU No 56/1960 tentang Penetapan Luas dengan tulisan ini) perubahan iklim global.
Tahan Pertanian, batas minimum penguasaan lahan agar dapat Oleh karena itu, sangat beralasan jika perhatian lebih
mengembangkan usahatani yang produktif dan menyediakan banyak diarahkan kepada kemiskinan di perdesaan. Selain
penghidupan yang layak adalah seluas 2 ha. Berdasarkan Tabel karena konsentrasi kemiskinan berada di daerah ini, perhatian
2 di atas diketahui bahwa petani yang penguasaan lahannya semacam itu juga berdasarkan asumsi bahwa perubahan iklim
memenuhi batas minimum ini hanya sebanyak 12,37% dengan akan lebih banyak berdampak pada daerah dan penduduk
proporsi lahan yang dikuasai mencapai 54,29%. Sebagian besar perdesaan ketimbang daerah dan penduduk perkotaan. Lebih
petani (87,63%) menguasai lahan di bawah batas minimum jauh, penduduk miskin adalah golongan yang akan memanggul
yang ditentukan hampir 59 tahun yang lalu. Mereka ini harus beban negatif yang paling berat dari dampak perubahan iklim,
berdesakan di atas 45,71% lahan pertanian sisanya (Shohibuddin baik yang berada di perkotaan maupun apalagi yang tinggal di
2019). perdesaan.
Dengan demikian, Tabel 2 di atas memperlihatkan skala dari
apa yang sering disebut sebagai rumah tangga petani gurem, atau Kerentanan Golongan Miskin
rumah tangga petani dengan penguasaan lahan yang terlalu kecil Kemiskinan, diukur dengan cara bagaimanapun, adalah salah
sehingga tidak dapat menjalankan usaha tani secara optimal satu faktor utama yang meningkatkan kerentanan terhadap
dan bahkan tidak bisa menyediakan sumber penghidupan yang dampak perubahan iklim global. Dengan istilah kerentanan atau
wajar. Kecuali lapisan paling atas dari golongan penguasaan vulnerability ini dimaksudkan sebagai kecenderungan pada level
lahan <0,5 ha, semua rumah-tangga petani ini harus membeli perorangan atau rumah tangga untuk terdampak secara negatif
paling tidak sebagian dari bahan makanan pokoknya. Untuk oleh gejolak dan tekanan lingkungan (environmental shocks and
memenuhi kebutuhan hidupnya, rumah-tangga petani gurem stresses), termasuk perubahan iklim global. Faktor-faktor yang
bergantung pada nafkah sebagai buruh tani dan/atau menjual membuat golongan miskin menjadi jauh lebih rentan terhadap
tenaga kerja di sektor-sektor non-pertanian. Golongan rumah dampak negatif dari perubahan iklim global ini adalah sebagai
tangga petani ini juga yang tingkat pendidikannya paling rendah, berikut:2
bahkan dengan tingkat buta huruf yang tertinggi. Negara-negara miskin dan negara sedang berkembang pada
Meskipun penurunan angka kemiskinan seperti dikutip di umumnya bergantung pada sektor yang sensitif terhadap gejolak
atas cukup membesarkan hati, namun hal itu tidak serta merta perubahan iklim, yaitu pertanian, peternakan dan perikanan. Di
telah meringankan pekerjaan rumah negeri ini, terutama dengan negara-negara tersebut, adalah penduduk miskin yang terutama
melihat angka kemiskinan yang masih cukup tinggi di daerah menggantungkan penghidupan pada sektor-sektor yang sensitif
perdesaan dan dengan mencermati berbagai dimensi kemiskinan iklim tersebut. Dengan demikian, dampak dari gejolak atau
yang mencirikannya. Apalagi kalau kondisi kemiskinan ini juga
2 Dikutip dari laporan IPCC, Managing the Risks of Extreme Events and Disasters to advance Climate Change
direspons sebagai suatu fenomena yang kompleks dan bersifat Adaptation seperti dikutip oleh Leichenko & Silva (2014); juga African Development Bank a.o., Poverty &
Climate Change: Reducing the Vulnerability of the Poor through Adaptation.

142 | TRILOGI INDONESIA MENGHADAPI PERUBAHAN IKLIM – PERUBAHAN IKLIM: KRISIS SOSIAL-EKOLOGIS DAN KEADILAN IKLIM Perubahan Iklim dan Jerat Kemiskinan | 143
terlihat juga persentase dan jumlah rumah tangga petani yang relasional seperti uraian di atas. Lebih-lebih, dewasa ini kondisi
tidak sanggup membangun penghidupan yang wajar dari sudut kemiskinan tersebut berada dalam konteks dinamika perubahan
pandang luas lahan pertanian yang dikuasainya. global yang amat cepat, disrupsi teknologi, dan (yang berkaitan
Apabila merujuk UU No 56/1960 tentang Penetapan Luas dengan tulisan ini) perubahan iklim global.
Tahan Pertanian, batas minimum penguasaan lahan agar dapat Oleh karena itu, sangat beralasan jika perhatian lebih
mengembangkan usahatani yang produktif dan menyediakan banyak diarahkan kepada kemiskinan di perdesaan. Selain
penghidupan yang layak adalah seluas 2 ha. Berdasarkan Tabel karena konsentrasi kemiskinan berada di daerah ini, perhatian
2 di atas diketahui bahwa petani yang penguasaan lahannya semacam itu juga berdasarkan asumsi bahwa perubahan iklim
memenuhi batas minimum ini hanya sebanyak 12,37% dengan akan lebih banyak berdampak pada daerah dan penduduk
proporsi lahan yang dikuasai mencapai 54,29%. Sebagian besar perdesaan ketimbang daerah dan penduduk perkotaan. Lebih
petani (87,63%) menguasai lahan di bawah batas minimum jauh, penduduk miskin adalah golongan yang akan memanggul
yang ditentukan hampir 59 tahun yang lalu. Mereka ini harus beban negatif yang paling berat dari dampak perubahan iklim,
berdesakan di atas 45,71% lahan pertanian sisanya (Shohibuddin baik yang berada di perkotaan maupun apalagi yang tinggal di
2019). perdesaan.
Dengan demikian, Tabel 2 di atas memperlihatkan skala dari
apa yang sering disebut sebagai rumah tangga petani gurem, atau Kerentanan Golongan Miskin
rumah tangga petani dengan penguasaan lahan yang terlalu kecil Kemiskinan, diukur dengan cara bagaimanapun, adalah salah
sehingga tidak dapat menjalankan usaha tani secara optimal satu faktor utama yang meningkatkan kerentanan terhadap
dan bahkan tidak bisa menyediakan sumber penghidupan yang dampak perubahan iklim global. Dengan istilah kerentanan atau
wajar. Kecuali lapisan paling atas dari golongan penguasaan vulnerability ini dimaksudkan sebagai kecenderungan pada level
lahan <0,5 ha, semua rumah-tangga petani ini harus membeli perorangan atau rumah tangga untuk terdampak secara negatif
paling tidak sebagian dari bahan makanan pokoknya. Untuk oleh gejolak dan tekanan lingkungan (environmental shocks and
memenuhi kebutuhan hidupnya, rumah-tangga petani gurem stresses), termasuk perubahan iklim global. Faktor-faktor yang
bergantung pada nafkah sebagai buruh tani dan/atau menjual membuat golongan miskin menjadi jauh lebih rentan terhadap
tenaga kerja di sektor-sektor non-pertanian. Golongan rumah dampak negatif dari perubahan iklim global ini adalah sebagai
tangga petani ini juga yang tingkat pendidikannya paling rendah, berikut:2
bahkan dengan tingkat buta huruf yang tertinggi. Negara-negara miskin dan negara sedang berkembang pada
Meskipun penurunan angka kemiskinan seperti dikutip di umumnya bergantung pada sektor yang sensitif terhadap gejolak
atas cukup membesarkan hati, namun hal itu tidak serta merta perubahan iklim, yaitu pertanian, peternakan dan perikanan. Di
telah meringankan pekerjaan rumah negeri ini, terutama dengan negara-negara tersebut, adalah penduduk miskin yang terutama
melihat angka kemiskinan yang masih cukup tinggi di daerah menggantungkan penghidupan pada sektor-sektor yang sensitif
perdesaan dan dengan mencermati berbagai dimensi kemiskinan iklim tersebut. Dengan demikian, dampak dari gejolak atau
yang mencirikannya. Apalagi kalau kondisi kemiskinan ini juga
2 Dikutip dari laporan IPCC, Managing the Risks of Extreme Events and Disasters to advance Climate Change
direspons sebagai suatu fenomena yang kompleks dan bersifat Adaptation seperti dikutip oleh Leichenko & Silva (2014); juga African Development Bank a.o., Poverty &
Climate Change: Reducing the Vulnerability of the Poor through Adaptation.

142 | TRILOGI INDONESIA MENGHADAPI PERUBAHAN IKLIM – PERUBAHAN IKLIM: KRISIS SOSIAL-EKOLOGIS DAN KEADILAN IKLIM Perubahan Iklim dan Jerat Kemiskinan | 143
perubahan iklim akan lebih dulu dan lebih berat menimpa memenuhi kebutuhan pangan mereka. Dampak langsung dapat
penduduk miskin. juga kita bayangkan terjadi pada penduduk desa tepi pantai
Penduduk miskin memiliki lebih sedikit aset serta akses dan di pulau-pulau kecil karena perubahan iklim mengakibatkan
kepada modal sebagai basis untuk bangkit kembali setelah permukaan air laut naik, serta gejolak cuaca yang mengakibatkan
terpapar gejolak perubahan iklim seperti kekeringan, banjir, nelayan tidak dapat melaut.
kegagalan panen, dan lain sebagainya. Dampak tidak langsung harus dipahami sebagai dampak
Karena miskin modal, aset dan tidak memiliki akses pada perubahan iklim pada penduduk yang dijembatani oleh faktor-
pengetahuan maupun informasi, maka penduduk miskin juga faktor sosial, budaya, politik dan kelembagaan yang beroperasi
memiliki pilihan-pilihan yang lebih terbatas dalam strategi pada segala level dan menentukan kemampuan penduduk dalam
penghidupan serta cara-cara adaptasi terhadap perubahan iklim. merespon perubahan dan gejolak iklim. Sebagai contoh, ketika
perubahan iklim membawa konsekuensi berkembangnya jenis-
Penduduk miskin umumnya tinggal di tempat yang terpapar
jenis penyakit baru. Di dalam kasus ini, penduduk miskin lebih
lebih gawat oleh gejolak iklim maupun dampak perubahan iklim
sering menjadi korban pertama, karena keterbatasan mereka
global.
pada akses pengetahuan dan infomasi, serta akses pada layanan
Di negara-negara miskin, faktor-faktor seperti sumber daya
kesehatan. Jika perubahan iklim membawa konsekuensi pada
manusia, kelembagaan, dan finansial tidak memiliki kapasitas
instabilitas politik, maka yang biasanya menjadi korban pertama
yang cukup untuk mengantisipasi dampak langsung maupun
adalah golongan miskin. Kedua jalan perubahan iklim berdampak
tidak langsung dari perubahan iklim. Padahal pengembangan
secara langsung dan tidak langsung di atas dengan sendirinya
serta penyediaan jasa-jasa bagi sistem-sistem penghidupan
berproses secara bersamaan, sekaligus bekerja pada saat yang
(livelihood) sangat bergantung kepada faktor-faktor tersebut.
bersamaan. Dalam kasus Indonesia sebagai sebuah negara
Contoh yang dekat misalnya saja adalah ketidakmampuan
kepulauan dengan garis pantai yang panjang, maka ancaman
masyarakat di Indonesia mempertahankan fungsi dari alat-alat
perubahan iklim ini berlaku bagi 12.857 desa yang berada di
pemantau gempa dan tsunami akibat gangguan sepele seperti
tepi laut (lihat Tabel 3). Tabel 3 memperlihatkan jumlah yang
pencurian dan perusakan. Padahal, tidak berfungsinya alat-alat
signifikan dari desa di tepi laut terutama di daerah Bali, Nusa
tersebut membawa konsekuensi kerugian jiwa dan material yang
Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat (28.7%), Sulawesi
sangat besar.
(34.1%) dan Kepulauan Maluku, Papua dan Papua Barat (33.7%).
Faktor-faktor di atas—yang saling terkait satu dengan
lainnya—menyebabkan penduduk miskin lebih rentan terhadap
dampak perubahan iklim dibanding golongan penduduk lain. Hal
ini baik terkait dampak langsung maupun tidak langsung dari
perubahan iklim. Perubahan iklim berdampak secara langsung
misalnya dengan menggagalkan atau merusak panen sehingga
jumlah produksi pangan turun dan harga pangan pun naik. Petani
miskin terdampak ganda karena pemasukkannya berkurang oleh
gagalnya panen dan harus mengeluarkan dana lebih besar untuk

144 | TRILOGI INDONESIA MENGHADAPI PERUBAHAN IKLIM – PERUBAHAN IKLIM: KRISIS SOSIAL-EKOLOGIS DAN KEADILAN IKLIM Perubahan Iklim dan Jerat Kemiskinan | 145
perubahan iklim akan lebih dulu dan lebih berat menimpa memenuhi kebutuhan pangan mereka. Dampak langsung dapat
penduduk miskin. juga kita bayangkan terjadi pada penduduk desa tepi pantai
Penduduk miskin memiliki lebih sedikit aset serta akses dan di pulau-pulau kecil karena perubahan iklim mengakibatkan
kepada modal sebagai basis untuk bangkit kembali setelah permukaan air laut naik, serta gejolak cuaca yang mengakibatkan
terpapar gejolak perubahan iklim seperti kekeringan, banjir, nelayan tidak dapat melaut.
kegagalan panen, dan lain sebagainya. Dampak tidak langsung harus dipahami sebagai dampak
Karena miskin modal, aset dan tidak memiliki akses pada perubahan iklim pada penduduk yang dijembatani oleh faktor-
pengetahuan maupun informasi, maka penduduk miskin juga faktor sosial, budaya, politik dan kelembagaan yang beroperasi
memiliki pilihan-pilihan yang lebih terbatas dalam strategi pada segala level dan menentukan kemampuan penduduk dalam
penghidupan serta cara-cara adaptasi terhadap perubahan iklim. merespon perubahan dan gejolak iklim. Sebagai contoh, ketika
perubahan iklim membawa konsekuensi berkembangnya jenis-
Penduduk miskin umumnya tinggal di tempat yang terpapar
jenis penyakit baru. Di dalam kasus ini, penduduk miskin lebih
lebih gawat oleh gejolak iklim maupun dampak perubahan iklim
sering menjadi korban pertama, karena keterbatasan mereka
global.
pada akses pengetahuan dan infomasi, serta akses pada layanan
Di negara-negara miskin, faktor-faktor seperti sumber daya
kesehatan. Jika perubahan iklim membawa konsekuensi pada
manusia, kelembagaan, dan finansial tidak memiliki kapasitas
instabilitas politik, maka yang biasanya menjadi korban pertama
yang cukup untuk mengantisipasi dampak langsung maupun
adalah golongan miskin.
tidak langsung dari perubahan iklim. Padahal pengembangan
Kedua jalan perubahan iklim berdampak secara langsung
serta penyediaan jasa-jasa bagi sistem-sistem penghidupan
dan tidak langsung di atas dengan sendirinya berproses
(livelihood) sangat bergantung kepada faktor-faktor tersebut.
secara bersamaan, sekaligus bekerja pada saat yang
Contoh yang dekat misalnya saja adalah ketidakmampuan
bersamaan. Dalam kasus Indonesia sebagai sebuah negara
masyarakat di Indonesia mempertahankan fungsi dari alat-alat
kepulauan dengan garis pantai yang panjang, maka ancaman
pemantau gempa dan tsunami akibat gangguan sepele seperti
perubahan iklim ini berlaku bagi 12.857 desa yang berada di
pencurian dan perusakan. Padahal, tidak berfungsinya alat-alat
tepi laut (lihat Tabel 3). Tabel 3 memperlihatkan jumlah
tersebut membawa konsekuensi kerugian jiwa dan material yang
yang signifikan dari desa di tepi laut terutama di daerah Bali,
sangat besar.
Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat (28.7%),
Faktor-faktor di atas—yang saling terkait satu dengan Sulawesi (34.1%) dan Kepulauan Maluku, Papua dan Papua
lainnya—menyebabkan penduduk miskin lebih rentan terhadap Barat (33.7%).
dampak perubahan iklim dibanding golongan penduduk lain. Hal
ini baik terkait dampak langsung maupun tidak langsung dari
perubahan iklim. Perubahan iklim berdampak secara langsung
misalnya dengan menggagalkan atau merusak panen sehingga
jumlah produksi pangan turun dan harga pangan pun naik. Petani
miskin terdampak ganda karena pemasukkannya berkurang oleh
gagalnya panen dan harus mengeluarkan dana lebih besar untuk

144 | TRILOGI INDONESIA MENGHADAPI PERUBAHAN IKLIM – PERUBAHAN IKLIM: KRISIS SOSIAL-EKOLOGIS DAN KEADILAN IKLIM Perubahan Iklim dan Jerat Kemiskinan | 145
Tabel 3. Motor (KM), nelayan dengan Perahu Motor Tempel (PMT) dan
Jumlah dan persentase desa tepi laut dan panjang pantai, 2018
nelayan dengan Perahu Tanpa Motor (PTM). Pengguna KM dan
Kelurahan Desa Tepi Laut Panjang Pantai PMT mampu melaut lebih dari satu hari dalam sekali jalan (trip).
Pulau & Kepulauan dan Desa (km) Meski demikian, mayoritas nelayan dari semua kategori masih
Jumlah % dari Total
Sumatra 25.448 2.515 9,8 22.124,73 melaut 1 hari/trip. Hanya minoritas kecil sekali melaut 8 sampai
Jawa 25.280 1.412 5,5 6.202,4 30 hari sekali jalan, inipun hanya nelayan yang menggunakan KM
Bali, NTB, NTT 5.180 1.490 28,7 8.666,35 dan PMT (Ibid.: 20) Sekitar 40% dari nelayan pengguna KM dan
Kalimantan 7.228 580 8,0 8.974,73 PMT dapat melaut setahun penuh. Sisanya melaut hanya antara 6
Sulawesi 10.632 3.628 34,1 14.247,6 sampai 11 bulan per tahun (Ibid.: 20).
Maluku, Maluku Utara, Kemampuan untuk melaut, yang ditentukan oleh jenis kapal
9.576 3.232 33,7 19.247,75
Papua, Papua Barat
atau perahu yang digunakan serta anomali-anomali cuaca,
Sumber: Statistik Sumber daya Laut dan Pesisir, 2018. BPS.
memengaruhi tingkat ketahanan pangan rumah tangga nelayan.
Data memperlihatkan bahwa 70,16% rumah tangga nelayan dari
Berdasarkan Analisis Kesejahteraan Rumah Tangga Usaha semua kategori tidak mempunyai cukup persediaan pangan.
Perikanan yang dilakukan BPS dan FEMA (2015), tercatat Sebesar 47,13% rumah-tangga nelayan selalu dilanda ketakutan
bahwa 23,79% pendapatan nelayan laut berada di bawah garis kekurangan pangan, sementara 21,88% secara nyata mengalami
kemiskinan yang ditetapkan BPS. Mengacu pada Tabel 3, dapat kekurangan pangan (Ibid.: 67)
dikatakan bahwa 23,79% dari penduduk 12.857 desa di tepi laut Di dalam hal pendidikan, tidak terdapat perbedaan besar
berpenghasilan di bawah garis kemiskinan. antara nelayan dengan KM, PMT atau PTM. Bagi semua kategori
Apabila dirinci lebih jauh, terdapat perbedaan-perbedaan nelayan berlaku bahwa sekitar 45% berpendidikan setingkat SD
besar antar-daerah menyangkut kondisi kemiskinan di wilayah dan sekitar 30% berpendidikan tidak tamat SD. Dengan kata lain,
pesisir ini. Di Provinsi DI. Yogyakarta misalnya, 50% dari nelayan sekitar 75% dari nelayan pengguna KM, PMT dan PTM paling
lautnya berpendapatan di bawah garis kemiskinan. Provinsi lain tinggi berpendidikan tamat SD (Ibid.: 50)! Menilik bahwa tidak
dengan jumlah rumah tangga nelayan berpendapatan di bawah terdapat perbedaan yang signifikan di dalam tingkat pendidikan
garis kemiskinan yang tinggi adalah Maluku (43,41%). Pada tujuh antara berbagai kategori rumah tangga nelayan, maka rupanya
provinsi yang lain, antara 30-40% dari rumah tangga nelayannya peningkatan prasarana nelayan dari PTM menjadi PMT, atau dari
berpendapatan di bawah garis kemiskinan, yaitu Nusa Tenggara PMT menjadi KM, tidak perlu terkendala oleh tingkat pendidikan
Timur, Sulawesi Tengah, Riau, Kepulauan Riau, Lampung dan nelayan. Namun, tingkat pendidikan dapat menjadi indikator bagi
Aceh. Pada tujuh provinsi ini, sebagian besar nelayannya masih tingkat kesejahteraan serta keterpaparan masyarakat nelayan
menggunakan kapal tanpa motor, sehingga membatasi jumlah hari pada fasilitas publik modern.
melaut per tahun, dan membatasi lama melaut per trip. Penduduk miskin di wilayah pesisir dengan profil seperti
Perbedaan kategori nelayan atau besar-kecilnya usaha inilah yang merupakan kelompok paling rentan oleh naiknya
nelayan antara lain ditentukan oleh jenis kapal atau perahu yang permukaan air laut karena perubahan iklim. Begitu juga, mereka
digunakan. Umumnya dibedakan antara nelayan dengan Kapal paling rentan oleh ketidakteraturan cuaca yang dapat berdampak

146 | TRILOGI INDONESIA MENGHADAPI PERUBAHAN IKLIM – PERUBAHAN IKLIM: KRISIS SOSIAL-EKOLOGIS DAN KEADILAN IKLIM Perubahan Iklim dan Jerat Kemiskinan | 147
Tabel 3. Motor (KM), nelayan dengan Perahu Motor Tempel (PMT) dan
Jumlah dan persentase desa tepi laut dan panjang pantai, 2018
nelayan dengan Perahu Tanpa Motor (PTM). Pengguna KM dan
Kelurahan Desa Tepi Laut Panjang Pantai PMT mampu melaut lebih dari satu hari dalam sekali jalan (trip).
Pulau & Kepulauan dan Desa (km) Meski demikian, mayoritas nelayan dari semua kategori masih
Jumlah % dari Total
Sumatra 25.448 2.515 9,8 22.124,73 melaut 1 hari/trip. Hanya minoritas kecil sekali melaut 8 sampai
Jawa 25.280 1.412 5,5 6.202,4 30 hari sekali jalan, inipun hanya nelayan yang menggunakan KM
Bali, NTB, NTT 5.180 1.490 28,7 8.666,35 dan PMT (Ibid.: 20) Sekitar 40% dari nelayan pengguna KM dan
Kalimantan 7.228 580 8,0 8.974,73 PMT dapat melaut setahun penuh. Sisanya melaut hanya antara 6
Sulawesi 10.632 3.628 34,1 14.247,6 sampai 11 bulan per tahun (Ibid.: 20).
Maluku, Maluku Utara, Kemampuan untuk melaut, yang ditentukan oleh jenis kapal
9.576 3.232 33,7 19.247,75
Papua, Papua Barat
atau perahu yang digunakan serta anomali-anomali cuaca,
Sumber: Statistik Sumber daya Laut dan Pesisir, 2018. BPS.
memengaruhi tingkat ketahanan pangan rumah tangga nelayan.
Data memperlihatkan bahwa 70,16% rumah tangga nelayan dari
Berdasarkan Analisis Kesejahteraan Rumah Tangga Usaha semua kategori tidak mempunyai cukup persediaan pangan.
Perikanan yang dilakukan BPS dan FEMA (2015), tercatat Sebesar 47,13% rumah-tangga nelayan selalu dilanda ketakutan
bahwa 23,79% pendapatan nelayan laut berada di bawah garis kekurangan pangan, sementara 21,88% secara nyata mengalami
kemiskinan yang ditetapkan BPS. Mengacu pada Tabel 3, dapat kekurangan pangan (Ibid.: 67)
dikatakan bahwa 23,79% dari penduduk 12.857 desa di tepi laut Di dalam hal pendidikan, tidak terdapat perbedaan besar
berpenghasilan di bawah garis kemiskinan. antara nelayan dengan KM, PMT atau PTM. Bagi semua kategori
Apabila dirinci lebih jauh, terdapat perbedaan-perbedaan nelayan berlaku bahwa sekitar 45% berpendidikan setingkat SD
besar antar-daerah menyangkut kondisi kemiskinan di wilayah dan sekitar 30% berpendidikan tidak tamat SD. Dengan kata lain,
pesisir ini. Di Provinsi DI. Yogyakarta misalnya, 50% dari nelayan sekitar 75% dari nelayan pengguna KM, PMT dan PTM paling
lautnya berpendapatan di bawah garis kemiskinan. Provinsi lain tinggi berpendidikan tamat SD (Ibid.: 50)! Menilik bahwa tidak
dengan jumlah rumah tangga nelayan berpendapatan di bawah terdapat perbedaan yang signifikan di dalam tingkat pendidikan
garis kemiskinan yang tinggi adalah Maluku (43,41%). Pada tujuh antara berbagai kategori rumah tangga nelayan, maka rupanya
provinsi yang lain, antara 30-40% dari rumah tangga nelayannya peningkatan prasarana nelayan dari PTM menjadi PMT, atau dari
berpendapatan di bawah garis kemiskinan, yaitu Nusa Tenggara PMT menjadi KM, tidak perlu terkendala oleh tingkat pendidikan
Timur, Sulawesi Tengah, Riau, Kepulauan Riau, Lampung dan nelayan. Namun, tingkat pendidikan dapat menjadi indikator bagi
Aceh. Pada tujuh provinsi ini, sebagian besar nelayannya masih tingkat kesejahteraan serta keterpaparan masyarakat nelayan
menggunakan kapal tanpa motor, sehingga membatasi jumlah hari pada fasilitas publik modern.
melaut per tahun, dan membatasi lama melaut per trip. Penduduk miskin di wilayah pesisir dengan profil seperti
Perbedaan kategori nelayan atau besar-kecilnya usaha inilah yang merupakan kelompok paling rentan oleh naiknya
nelayan antara lain ditentukan oleh jenis kapal atau perahu yang permukaan air laut karena perubahan iklim. Begitu juga, mereka
digunakan. Umumnya dibedakan antara nelayan dengan Kapal paling rentan oleh ketidakteraturan cuaca yang dapat berdampak

146 | TRILOGI INDONESIA MENGHADAPI PERUBAHAN IKLIM – PERUBAHAN IKLIM: KRISIS SOSIAL-EKOLOGIS DAN KEADILAN IKLIM Perubahan Iklim dan Jerat Kemiskinan | 147
pada ketidakstabilan usaha nelayan untuk melaut. Berbagai aspek luas bagi pemodal besar di sektor kehutanan, perkebunan dan
kemiskinan mereka—seperti terbatasnya aset ekonomi (tanah, pertambangan, selalu berdampak pada penyingkiran penduduk
modal, alat-alat produksi), rendahnya pendapatan, rendahnya lokal dari tanah dan sumber daya alam mereka. Kegiatan-
tingkat pendidikan—mengakibatkan kesempatan-kesempatan kegiatan ekonomi skala besar tersebut tidak jarang mempunyai
ekonomi yang tersedia tidak sanggup untuk diraih. Selain itu, dampak negatif terhadap ekosistem. Penduduk miskin adalah
penduduk miskin ini juga sulit untuk pulih dari bencana atau golongan pertama yang terdampak oleh kerusakan ekosistem
kerusakan lingkungan, ataupun halangan pergi melaut karena ini karena mereka hidup dari sektor yang berhubungan erat
cuaca buruk yang berkepanjangan. Usaha untuk memulihkan dengan ekosistem setempat seperti pertanian, perikanan dan
diri sering kali juga membawa akibat keterlilitan hutang yang peternakan.
berkepanjangan. Kita juga dapat menambahkan satu aspek lagi yang perlu
Di antara penduduk miskin ini, adalah perempuan yang dipertimbangkan, yaitu apakah strategi yang diterapkan dalam
umumnya menerima beban yang paling berat. Hal ini karena upaya penaggulangan kemiskinan telah mengalkulasi faktor
kewajiban ganda yang umumnya banyak dibebankan kepada perubahan iklim global? Bukan hanya dalam hal adaptasi, akan
kaum perempuan, baik dalam usaha produktif maupun aktivitas tetapi harus juga mempertimbangkan apakah langkah-langkah
reproduktif rumah tangganya. yang diusahakan untuk menanggulangi kemiskinan itu malah
menyumbang pada kondisi yang justru mendorong perubahan
Diskoneksi Kebijakan Kemiskinan iklim?
Strategi pengentasan kemiskinan mana yang diterapkan oleh Selama ini, kebijakan pengentasan kemiskinan justru sering
pemerintah, sangat tergantung dari bagaimana kemiskinan menciptakan kondisi yang turut mendorong perubahan iklim.
tersebut diterangkan, selain dari ciri kemiskinan yang beragam Contohnya adalah kebijakan pertanian yang mendorong petani
dari satu negara ke negara yang lain. Di awal artikel ini telah meningkatkan produksi sebesar-besarnya untuk pasar dunia
dikemukakan beragam cara pandang terhadap kemiskinan, dan dengan intensifikasi pertanian, penggunaan input-input kimia,
dengan demikian menentukan strategi apa yang diterapkan dan sistem pertanian monokultur.
untuk menanggulangi kemiskinan. Sudut pandang mengenai Ada dua pendekatan yang kini mengemuka dalam usaha
kemiskinan serta strategi penanggulangannya memang selalu ganda mengentaskan kemiskinan serta sekaligus menghadapi
menjadi bahan perdebatan yang tajam di kalangan ilmuan, dampak perubahan iklim. Pendekatan pertama adalah Climate
politisi dan masyarakat. Change Adaptation seperti yang didorong oleh Agrawal dan Perin
Program pembangunan yang dijalankan pemerintah tidak (2008). Kedua adalah Agrarian Modernisation dari Bank Dunia
selalu berpihak pada golongan miskin. Kebijakan untuk menarik (2007).
investor modal besar, misalnya, umumnya disertai dengan usaha Pendekatan pertama, yaitu adaptasi pada perubahan iklim,
menekan tingkat upah para pekerja. Begitu pula, kebijakan untuk mengemukakan bahwa masyarakat desa yang sebagian besar
memastikan pangan murah bagi masyarakat urban yang memiliki menggantungkan penghidupannya pada pertanian sangat
pengaruh politik kuat mengakibatkan rangkaian kebijakan rentan terhadap dampak perubahan iklim. Adaptasi kemudian
untuk menekan harga beli produk dari petani. Konsesi kawasan dikemukakan sebagai penyesuaian sosial (social adjustment)

148 | TRILOGI INDONESIA MENGHADAPI PERUBAHAN IKLIM – PERUBAHAN IKLIM: KRISIS SOSIAL-EKOLOGIS DAN KEADILAN IKLIM Perubahan Iklim dan Jerat Kemiskinan | 149
pada ketidakstabilan usaha nelayan untuk melaut. Berbagai aspek luas bagi pemodal besar di sektor kehutanan, perkebunan dan
kemiskinan mereka—seperti terbatasnya aset ekonomi (tanah, pertambangan, selalu berdampak pada penyingkiran penduduk
modal, alat-alat produksi), rendahnya pendapatan, rendahnya lokal dari tanah dan sumber daya alam mereka. Kegiatan-
tingkat pendidikan—mengakibatkan kesempatan-kesempatan kegiatan ekonomi skala besar tersebut tidak jarang mempunyai
ekonomi yang tersedia tidak sanggup untuk diraih. Selain itu, dampak negatif terhadap ekosistem. Penduduk miskin adalah
penduduk miskin ini juga sulit untuk pulih dari bencana atau golongan pertama yang terdampak oleh kerusakan ekosistem
kerusakan lingkungan, ataupun halangan pergi melaut karena ini karena mereka hidup dari sektor yang berhubungan erat
cuaca buruk yang berkepanjangan. Usaha untuk memulihkan dengan ekosistem setempat seperti pertanian, perikanan dan
diri sering kali juga membawa akibat keterlilitan hutang yang peternakan.
berkepanjangan. Kita juga dapat menambahkan satu aspek lagi yang perlu
Di antara penduduk miskin ini, adalah perempuan yang dipertimbangkan, yaitu apakah strategi yang diterapkan dalam
umumnya menerima beban yang paling berat. Hal ini karena upaya penaggulangan kemiskinan telah mengalkulasi faktor
kewajiban ganda yang umumnya banyak dibebankan kepada perubahan iklim global? Bukan hanya dalam hal adaptasi, akan
kaum perempuan, baik dalam usaha produktif maupun aktivitas tetapi harus juga mempertimbangkan apakah langkah-langkah
reproduktif rumah tangganya. yang diusahakan untuk menanggulangi kemiskinan itu malah
menyumbang pada kondisi yang justru mendorong perubahan
Diskoneksi Kebijakan Kemiskinan iklim?
Strategi pengentasan kemiskinan mana yang diterapkan oleh Selama ini, kebijakan pengentasan kemiskinan justru sering
pemerintah, sangat tergantung dari bagaimana kemiskinan menciptakan kondisi yang turut mendorong perubahan iklim.
tersebut diterangkan, selain dari ciri kemiskinan yang beragam Contohnya adalah kebijakan pertanian yang mendorong petani
dari satu negara ke negara yang lain. Di awal artikel ini telah meningkatkan produksi sebesar-besarnya untuk pasar dunia
dikemukakan beragam cara pandang terhadap kemiskinan, dan dengan intensifikasi pertanian, penggunaan input-input kimia,
dengan demikian menentukan strategi apa yang diterapkan dan sistem pertanian monokultur.
untuk menanggulangi kemiskinan. Sudut pandang mengenai Ada dua pendekatan yang kini mengemuka dalam usaha
kemiskinan serta strategi penanggulangannya memang selalu ganda mengentaskan kemiskinan serta sekaligus menghadapi
menjadi bahan perdebatan yang tajam di kalangan ilmuan, dampak perubahan iklim. Pendekatan pertama adalah Climate
politisi dan masyarakat. Change Adaptation seperti yang didorong oleh Agrawal dan Perin
Program pembangunan yang dijalankan pemerintah tidak (2008). Kedua adalah Agrarian Modernisation dari Bank Dunia
selalu berpihak pada golongan miskin. Kebijakan untuk menarik (2007).
investor modal besar, misalnya, umumnya disertai dengan usaha Pendekatan pertama, yaitu adaptasi pada perubahan iklim,
menekan tingkat upah para pekerja. Begitu pula, kebijakan untuk mengemukakan bahwa masyarakat desa yang sebagian besar
memastikan pangan murah bagi masyarakat urban yang memiliki menggantungkan penghidupannya pada pertanian sangat
pengaruh politik kuat mengakibatkan rangkaian kebijakan rentan terhadap dampak perubahan iklim. Adaptasi kemudian
untuk menekan harga beli produk dari petani. Konsesi kawasan dikemukakan sebagai penyesuaian sosial (social adjustment)

148 | TRILOGI INDONESIA MENGHADAPI PERUBAHAN IKLIM – PERUBAHAN IKLIM: KRISIS SOSIAL-EKOLOGIS DAN KEADILAN IKLIM Perubahan Iklim dan Jerat Kemiskinan | 149
terencana untuk menghindari ancaman iklim, termasuk melalui perubahan iklim itu sendiri yang didominasi oleh negara-negara
perubahan kelembagaan, pembangunan infrastruktur, teknologi besar dan perusahan multinasional.
baru dan reformasi sosial. Sedangkan pendekatan kedua, yaitu
modernisasi agraria dari Bank Dunia, meletakkan permasalahan Konsekuensi Tak Diduga dari Agenda Iklim
dan solusinya pada tataran yang lebih luas. Kerangkanya adalah Akhirnya, kaitan kemiskinan dan perubahan iklim juga mesti
konsep Neo-Maltusian mengenai tekanan penduduk yang terus dilihat secara dialektis dan relasional, misalnya dengan
meningkat dan menjadi ancaman terhadap keamanan pangan. mencermati bagaimana cara kerja berbagai agenda perubahan
Pendekatan ini menganjurkan perubahan mendalam terhadap iklim dan dampak apa saja yang menyertainya.
pertanian global, sebagai sektor ekonomi dan sumber pangan Ambillah sebagai contoh agenda konversi bahan bakar fosil
bagi suatu populasi global yang cepat bertambah urban dengan ke bahan bakar nabati ataupun skema perdagangan karbon
pola konsumsi yang turut berubah juga (Taylor 2014). untuk mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan.
Taylor mengkritik kedua pendekatan tersebut karena telah Dua agenda ini telah menjadi bagian dari respons global untuk
mengabaikan begitu saja kenyataan masyarakat pedesaan melakukan mitigasi perubahan iklim. Namun, apa yang luput
dan dunia pertanian di mana distribusi kuasa atas tanah, air, dari perhatian adalah bahwa dua agenda itu justru turut menjadi
teknologi serta input pertanian bersifat timpang dan penuh driver dari gelombang mutakhir eksklusi petani dan komunitas
dengan ketidakadilan. Ketidakadilan ini juga mencirikan sistem lokal dari tanah dan wilayah kelolanya secara besar-besaran.
konsumsi global. Kritik ini Taylor tujukan khususnya kepada Sebagaimana dinyatakan Borras dan Franco (2012), sejak
pendekatan modernisasi agraria yang berprinsip pada efisiensi terjadi konvergensi krisis energi, pangan, iklim dan finansial
pasar, peningkatan produksi dengan memanfaatkan bioteknologi berskala global pada tahun 2008, terjadilah gelombang baru
dan pembenahan supply chain untuk meningkatkan efisiensi pengambilalihan tanah dan spekulasi finansial secara besar-
distribusi, mengurangi pemborosan dan memperbaiki akses pada besaran untuk berbagai proyek investasi “kapitalisme hijau”,
pangan. Dorongan modernisasi pertanian ke arah tersebut terjadi seperti produksi bahan bakar nabati (bioenergy), REDD+ atau
di bawah kerangka konsentrasi kekuasaan di tangan korporasi- perdagangan karbon, komersialisasi jasa lingkungan, dan lain
korporasi agro-input dan supermarket yang menguasai rantai sebagainya. Kesemuanya itu dengan asumsi akan mengurangi
komoditas pangan (agro-food commodity chains). emisi CO2 dalam rangka mitigasi pemanasan suhu global.
Sukar dibayangkan bahwa peningkatan produktivitas Salah satu konsekuensi penting yang ditimbulkan oleh
berbasis teknologi ini, dalam konteks konsentrasi kekuasaan ekspansi berbagai investasi “kapitalisme hijau” di atas adalah
ekonomi dan teknologi/pengetahuan, akan dapat merespons transformasi ekologis secara besar-besaran. Apa yang dimaksud
kebutuhan kelompok miskin atau mengabdi pada penurunan dengan transformasi ekologis di sini adalah bagaimana proses
emisi gas rumah kaca dan mitigasi perubahan iklim (Taylor “reorganisasi ruang” dalam konteks perkembangan kapitalisme
ibid.). Selain itu, dapat juga dikemukakan bahwa penekanan terwujud secara fisik dalam perubahan bentang alam, khususnya
pada respons adaptasi teknologi adalah bentuk “kebijakan ujung di wilayah pertanian dan pedesaan. Seperti dinyatakan Lefebvre
pipa” sebagaimana disinggung di atas. Penekanan pada sisi ini (Rachman 2012: 24), perkembangan kapitalisme selalu disertai
akan mengabaikan keharusan penanganan atas “hulu” persoalan, dengan “reorganisasi ruang” yang manifestasinya antara lain
yaitu melakukan mitigasi atas sektor-sektor utama penyumbang

150 | TRILOGI INDONESIA MENGHADAPI PERUBAHAN IKLIM – PERUBAHAN IKLIM: KRISIS SOSIAL-EKOLOGIS DAN KEADILAN IKLIM Perubahan Iklim dan Jerat Kemiskinan | 151
terencana untuk menghindari ancaman iklim, termasuk melalui perubahan iklim itu sendiri yang didominasi oleh negara-negara
perubahan kelembagaan, pembangunan infrastruktur, teknologi besar dan perusahan multinasional.
baru dan reformasi sosial. Sedangkan pendekatan kedua, yaitu
modernisasi agraria dari Bank Dunia, meletakkan permasalahan Konsekuensi Tak Diduga dari Agenda Iklim
dan solusinya pada tataran yang lebih luas. Kerangkanya adalah Akhirnya, kaitan kemiskinan dan perubahan iklim juga mesti
konsep Neo-Maltusian mengenai tekanan penduduk yang terus dilihat secara dialektis dan relasional, misalnya dengan
meningkat dan menjadi ancaman terhadap keamanan pangan. mencermati bagaimana cara kerja berbagai agenda perubahan
Pendekatan ini menganjurkan perubahan mendalam terhadap iklim dan dampak apa saja yang menyertainya.
pertanian global, sebagai sektor ekonomi dan sumber pangan Ambillah sebagai contoh agenda konversi bahan bakar fosil
bagi suatu populasi global yang cepat bertambah urban dengan ke bahan bakar nabati ataupun skema perdagangan karbon
pola konsumsi yang turut berubah juga (Taylor 2014). untuk mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan.
Taylor mengkritik kedua pendekatan tersebut karena telah Dua agenda ini telah menjadi bagian dari respons global untuk
mengabaikan begitu saja kenyataan masyarakat pedesaan melakukan mitigasi perubahan iklim. Namun, apa yang luput
dan dunia pertanian di mana distribusi kuasa atas tanah, air, dari perhatian adalah bahwa dua agenda itu justru turut menjadi
teknologi serta input pertanian bersifat timpang dan penuh driver dari gelombang mutakhir eksklusi petani dan komunitas
dengan ketidakadilan. Ketidakadilan ini juga mencirikan sistem lokal dari tanah dan wilayah kelolanya secara besar-besaran.
konsumsi global. Kritik ini Taylor tujukan khususnya kepada Sebagaimana dinyatakan Borras dan Franco (2012), sejak
pendekatan modernisasi agraria yang berprinsip pada efisiensi terjadi konvergensi krisis energi, pangan, iklim dan finansial
pasar, peningkatan produksi dengan memanfaatkan bioteknologi berskala global pada tahun 2008, terjadilah gelombang baru
dan pembenahan supply chain untuk meningkatkan efisiensi pengambilalihan tanah dan spekulasi finansial secara besar-
distribusi, mengurangi pemborosan dan memperbaiki akses pada besaran untuk berbagai proyek investasi “kapitalisme hijau”,
pangan. Dorongan modernisasi pertanian ke arah tersebut terjadi seperti produksi bahan bakar nabati (bioenergy), REDD+ atau
di bawah kerangka konsentrasi kekuasaan di tangan korporasi- perdagangan karbon, komersialisasi jasa lingkungan, dan lain
korporasi agro-input dan supermarket yang menguasai rantai sebagainya. Kesemuanya itu dengan asumsi akan mengurangi
komoditas pangan (agro-food commodity chains). emisi CO2 dalam rangka mitigasi pemanasan suhu global.
Sukar dibayangkan bahwa peningkatan produktivitas Salah satu konsekuensi penting yang ditimbulkan oleh
berbasis teknologi ini, dalam konteks konsentrasi kekuasaan ekspansi berbagai investasi “kapitalisme hijau” di atas adalah
ekonomi dan teknologi/pengetahuan, akan dapat merespons transformasi ekologis secara besar-besaran. Apa yang dimaksud
kebutuhan kelompok miskin atau mengabdi pada penurunan dengan transformasi ekologis di sini adalah bagaimana proses
emisi gas rumah kaca dan mitigasi perubahan iklim (Taylor “reorganisasi ruang” dalam konteks perkembangan kapitalisme
ibid.). Selain itu, dapat juga dikemukakan bahwa penekanan terwujud secara fisik dalam perubahan bentang alam, khususnya
pada respons adaptasi teknologi adalah bentuk “kebijakan ujung di wilayah pertanian dan pedesaan. Seperti dinyatakan Lefebvre
pipa” sebagaimana disinggung di atas. Penekanan pada sisi ini (Rachman 2012: 24), perkembangan kapitalisme selalu disertai
akan mengabaikan keharusan penanganan atas “hulu” persoalan, dengan “reorganisasi ruang” yang manifestasinya antara lain
yaitu melakukan mitigasi atas sektor-sektor utama penyumbang

150 | TRILOGI INDONESIA MENGHADAPI PERUBAHAN IKLIM – PERUBAHAN IKLIM: KRISIS SOSIAL-EKOLOGIS DAN KEADILAN IKLIM Perubahan Iklim dan Jerat Kemiskinan | 151
dalam bentuk rekonstruksi geografi pedesaan. Dalam proses ini, berlangsung pada proyek Merauke Integrated Food and Energy
relasi tenurial dan sosial-budaya dari penduduk desa dengan di Papua (Ito et al. 2014), proyek REDD+ di Kalimantan Tengah
tanah, kekayaan alam dan wilayah hidupnya dirombak demikian (Astuti dan McGregor 2014), spekulasi tanah untuk energi fosil
rupa dalam rangka melancarkan interaksi dan aliran modal, di Jawa Timur (Bachriadi dan Surayana 2016), kompleks wisata
barang dan tenaga kerja untuk aktivitas produksi dan konsumsi bahari di Pulau Pari (Bahri et al. 2017; Christian et al. 2018), dan
komoditas global (Rachman dan Yanuardy 2014). lain sebagainya.
Dengan demikian, terdapat dua aspek perubahan yang saling Perubahan penggunaan lahan juga terjadi secara massif pada
terkait satu sama lain dalam transformasi ekologis di atas. berbagai bisnis di atas yang kesemuanya memerlukan tanah yang
Pertama adalah perubahan penguasaan tanah yang berlangsung luas. Yang menarik dari kasus-kasus ini adalah: bentuk akhir dari
massif seiring gelombang akuisisi tanah dalam skala luas untuk perubahan penggunaan lahan tidaklah terbatas pada pangan
berbagai proyek “kapitalisme hijau” dalam pengertian di atas. dan bahan bakar nabati (seperti uraian Borras dan Franco di
Perubahan penguasaan tanah inilah, yang menghilangkan askes atas), akan tetapi juga non-pertanian. Kesemuanya ini telah
penduduk desa atas tanah dan wilayah kelolanya, yang disebut mengorbankan ribuan ha areal pertanian produktif, termasuk
dalam berbagai liputan pers, advokasi gerakan sosial maupun lahan pertanian pangan rakyat miskin.
karya ilmiah sebagai global land grabs.3 Selain penggunaannya berubah, banyak tanah beralih ke
Kedua, bersamaan dengan proses tersebut juga terjadi tangan korporasi. Semula tanah-tanah ini dikuasai oleh rakyat,
perubahan penggunaan tanah secara besar-besaran yang menurut atau belum ada penguasaan sama sekali, ataupun masih berupa
Borras dan Franco (2012) mengambil empat rute utama berikut hutan perawan. Transfer tanah-tanah ini bermula dari tindakan
ini: (1) dari pangan [subsisten] ke pangan [komersial]; (2) dari pemberian hak/izin atas tanah ataupun izin pemanfaatan hutan
pangan ke bahan bakar nabati; (3) dari non-pangan ke pangan; oleh pejabat publik yang mencerabut sebagian rakyat dari tanah,
dan (4) dari non-pangan ke bahan bakar nabati. Keempat arah sumber daya alam, dan wilayah kelolanya. Dari sinilah awal dari
itu lantas mereka rinci lebih jauh, antara lain menurut pelaku ratusan konflik agraria yang sering menghadapkan rakyat vis a
produksinya (petani ataukah perusahaan), orientasi produksinya vis korporasi ataupun badan pemerintah yang bergerak di bidang
(dikonsumsi sendiri ataukah dijual), tujuan penjualannya (di dalam produksi, ekstraksi, konservasi, dan lain sebagainya (KSP 2017:
ataukah ke luar negeri), dan asal lahan non-pangan (apakah 24-25).4
berupa lahan pertanian produktif, hutan, tanah menganggur atau Berdasarkan uraian ini menjadi jelas bahwa keterkaitan
lahan kritis). kemiskinan dan perubahan iklim juga dapat memunculkan
Transformasi ekologis juga mengalami akselerasi yang pesat dinamika yang tidak terduga-duga, yaitu produksi kemiskinan
di Indonesia seiring dengan dinamika global di atas. Proses oleh berbagai agenda perubahan iklim itu sendiri. Produksi
rekonstruksi geografi pedesaan pun terjadi pada berbagai sektor kemiskinan itu terjadi melalui transformasi ekologis secara besar-
seiring peluang bisnis “baru” yang muncul. Sebagai misal, hal ini besaran (yang sekaligus melibatkan perubahan penguasaan dan
penggunaan lahan dalam jumlah besar) seiring dengan berbagai
3 Hall (2011: 837) mengartikan fenomena global land grabs ini sebagai berikut: “… pembelian atau
penyewaan tanah dalam jumlah besar oleh perusahaan-perusahaan trans-nasional untuk ditanami aliran finansial untuk berbagai proyek investasi yang diklaim
komoditas pangan, energi [nabati] dan fiber yang ditujukan untuk ekspor.” Untuk memperlunak konotasi
negatif dari istilah ini, beberapa pihak memilih menggunakan istilah lain yang lebih netral seperti land deals 4 Jika dirata-ratakan, jumlah konflik agraria ini terjadi setiap dua hari sekali dengan korban 613 rumah
(Sud 2014) atau land acquisition (Robertson & Pinstrup-Andersen 2010). tangga (KSP 2017: 25, catatan kaki 1).

152 | TRILOGI INDONESIA MENGHADAPI PERUBAHAN IKLIM – PERUBAHAN IKLIM: KRISIS SOSIAL-EKOLOGIS DAN KEADILAN IKLIM Perubahan Iklim dan Jerat Kemiskinan | 153
dalam bentuk rekonstruksi geografi pedesaan. Dalam proses ini, berlangsung pada proyek Merauke Integrated Food and Energy
relasi tenurial dan sosial-budaya dari penduduk desa dengan di Papua (Ito et al. 2014), proyek REDD+ di Kalimantan Tengah
tanah, kekayaan alam dan wilayah hidupnya dirombak demikian (Astuti dan McGregor 2014), spekulasi tanah untuk energi fosil
rupa dalam rangka melancarkan interaksi dan aliran modal, di Jawa Timur (Bachriadi dan Surayana 2016), kompleks wisata
barang dan tenaga kerja untuk aktivitas produksi dan konsumsi bahari di Pulau Pari (Bahri et al. 2017; Christian et al. 2018), dan
komoditas global (Rachman dan Yanuardy 2014). lain sebagainya.
Dengan demikian, terdapat dua aspek perubahan yang saling Perubahan penggunaan lahan juga terjadi secara massif pada
terkait satu sama lain dalam transformasi ekologis di atas. berbagai bisnis di atas yang kesemuanya memerlukan tanah yang
Pertama adalah perubahan penguasaan tanah yang berlangsung luas. Yang menarik dari kasus-kasus ini adalah: bentuk akhir dari
massif seiring gelombang akuisisi tanah dalam skala luas untuk perubahan penggunaan lahan tidaklah terbatas pada pangan
berbagai proyek “kapitalisme hijau” dalam pengertian di atas. dan bahan bakar nabati (seperti uraian Borras dan Franco di
Perubahan penguasaan tanah inilah, yang menghilangkan askes atas), akan tetapi juga non-pertanian. Kesemuanya ini telah
penduduk desa atas tanah dan wilayah kelolanya, yang disebut mengorbankan ribuan ha areal pertanian produktif, termasuk
dalam berbagai liputan pers, advokasi gerakan sosial maupun lahan pertanian pangan rakyat miskin.
karya ilmiah sebagai global land grabs.3 Selain penggunaannya berubah, banyak tanah beralih ke
Kedua, bersamaan dengan proses tersebut juga terjadi tangan korporasi. Semula tanah-tanah ini dikuasai oleh rakyat,
perubahan penggunaan tanah secara besar-besaran yang menurut atau belum ada penguasaan sama sekali, ataupun masih berupa
Borras dan Franco (2012) mengambil empat rute utama berikut hutan perawan. Transfer tanah-tanah ini bermula dari tindakan
ini: (1) dari pangan [subsisten] ke pangan [komersial]; (2) dari pemberian hak/izin atas tanah ataupun izin pemanfaatan hutan
pangan ke bahan bakar nabati; (3) dari non-pangan ke pangan; oleh pejabat publik yang mencerabut sebagian rakyat dari tanah,
dan (4) dari non-pangan ke bahan bakar nabati. Keempat arah sumber daya alam, dan wilayah kelolanya. Dari sinilah awal dari
itu lantas mereka rinci lebih jauh, antara lain menurut pelaku ratusan konflik agraria yang sering menghadapkan rakyat vis a
produksinya (petani ataukah perusahaan), orientasi produksinya vis korporasi ataupun badan pemerintah yang bergerak di bidang
(dikonsumsi sendiri ataukah dijual), tujuan penjualannya (di dalam produksi, ekstraksi, konservasi, dan lain sebagainya (KSP 2017:
ataukah ke luar negeri), dan asal lahan non-pangan (apakah 24-25).4
berupa lahan pertanian produktif, hutan, tanah menganggur atau Berdasarkan uraian ini menjadi jelas bahwa keterkaitan
lahan kritis). kemiskinan dan perubahan iklim juga dapat memunculkan
Transformasi ekologis juga mengalami akselerasi yang pesat dinamika yang tidak terduga-duga, yaitu produksi kemiskinan
di Indonesia seiring dengan dinamika global di atas. Proses oleh berbagai agenda perubahan iklim itu sendiri. Produksi
rekonstruksi geografi pedesaan pun terjadi pada berbagai sektor kemiskinan itu terjadi melalui transformasi ekologis secara besar-
seiring peluang bisnis “baru” yang muncul. Sebagai misal, hal ini besaran (yang sekaligus melibatkan perubahan penguasaan dan
penggunaan lahan dalam jumlah besar) seiring dengan berbagai
3 Hall (2011: 837) mengartikan fenomena global land grabs ini sebagai berikut: “… pembelian atau
penyewaan tanah dalam jumlah besar oleh perusahaan-perusahaan trans-nasional untuk ditanami aliran finansial untuk berbagai proyek investasi yang diklaim
komoditas pangan, energi [nabati] dan fiber yang ditujukan untuk ekspor.” Untuk memperlunak konotasi
negatif dari istilah ini, beberapa pihak memilih menggunakan istilah lain yang lebih netral seperti land deals 4 Jika dirata-ratakan, jumlah konflik agraria ini terjadi setiap dua hari sekali dengan korban 613 rumah
(Sud 2014) atau land acquisition (Robertson & Pinstrup-Andersen 2010). tangga (KSP 2017: 25, catatan kaki 1).

152 | TRILOGI INDONESIA MENGHADAPI PERUBAHAN IKLIM – PERUBAHAN IKLIM: KRISIS SOSIAL-EKOLOGIS DAN KEADILAN IKLIM Perubahan Iklim dan Jerat Kemiskinan | 153
sebagai “kapitalisme hijau”. Ironisnya, arus investasi “hijau” ini Bahri, A. D., Hamdani, A., & Wibowo, A. (2017) “Di Balik Krisis Agraria dan Ekosistem
Kepulauan Seribu: Apakah Wisata Bahari adalah Jawabannya?” Working Paper
justru berdampak serius secara sosial karena telah mengekslusi Mei 2017. Bogor: Sajogyo Institute.
ribuan petani dan komunitas lokal dari lahan pertanian, wilayah Bank Dunia. (2007) Agricultural Development Report. Washington DC.
Borras, S. M., & Franco, J. C. (2012) “Global Land Grabbing and Trajectories of
kelola dan hutan mereka. Agrarian Change: A Preliminary Analysis.” Journal of Agrarian Change, 12(1),
Di sinilah kita akan sampai pada persoalan mendasar 34–59.
BPS (Badan Pusat Statistik). (2018) Penghitungan dan Analisis Kemiskinan Makro
sekaligus “pekerjaan rumah” tentang bagaimana selayaknya kita Indonesia Tahun 2018. Jakarta.
harus menyikapi isu tentang environmental and climate justice BPS (Badan Pusat Statistik). (2018) Statistik Sumber daya Laut dan Pesisir Tahun
2018. Jakarta.
dan dengan sendirinya bagaimana pula environmentalism of the BPS (Badan Pusat Statistik) & Fakultas Ekologi Manusia IPB (FEMA). (2015) Analisa
poor itu perlu kita fahami secara utuh. Kedua hal ini tak terlepas Kesejahteraan Rumah-Tangga Usaha Perikanan. Jakarta dan Bogor.
Christian, Y., Satria, A., & Sunito, S. (2018) “Ekonomi Politik Konflik Agraria Pulau
dari cara apa yang sepatutnya kita gunakan dalam memandang Kecil (Studi Kasus di Pulau Pari, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta).” Sodality:
“lingkungan” (environment). Jurnal Sosiologi Pedesaan, 6(1): 71-78.
Hall, D. (2011) “Land Grabs, Land Control, and Southeast Asian Crop Booms.” The
Lebih dari sekedar bentang alam fisik yang mengandung Journal of Peasant Studies 38(4): 837–57.
potensi kekayaan alam untuk dieksploitasi, lingkungan tak lain KSP (Kantor Staf Presiden). (2017) “Kesenjangan Sosial dan Respon Kebijakan
Pemerintah.” Dokumen Presentasi 25 slide, tertanggal 19 Juli 2017.
harus dimaknai sebagai “ruang hidup” yang sudah barang tentu Leichenko, R., & Silvia, J. A. (2014) Climate Change And Poverty: Vulnerability,
bukan hanya bertautan dengan persoalan kebutuhan bertahan Impacts, And Alleviation Strategies. Research Gate, July 2014. (WIREs Clim
Change 2014. Doi: 10.1002/wcc.287).
hidup (survival) semata. Tetapi, lebih jauh dari itu, “lingkungan” Martinez, A. J. (2002) The Environmentalism of the Poor: A study of Ecological
sesungguhnya adalah tempat di mana peradaban hidup disemai, Conflicts and Valuation. Edward Elgar, Cheltenham, UK, Northampton, MA, USA.
Rachman, N. F. (2012) Land Reform dari Masa ke Masa. Yogyakarta: Tanah Air Beta.
dirawat, dan dikembangkan serta pada gilirannya membentuk Rachman, N. F., & Yanuardy, D. (eds.). (2014) MP3EI: Master Plan Percepatan dan
“jati diri” orang-orang yang berinteraksi erat dengannya. Bahkan Perluasan Krisis Sosial-Ekologis Indonesia. Bogor: Sajogyo Institute.
Robertson, B., & Per Pinstrup-Andersen. (2010) “Global Land Acquisition: Neo-
lebih jauh lagi, “lingkungan” tidak lain adalah faktor pembentuk colonialism or Development Opportunity? Food Security, 2(3): 271–283.
“identitas” kolektivitas dan solidaritas dalam satu “lingkungan Sachs, J. (2005) The End of Poverty. Economic Possibillities Of Our Time. Pinguin
Books.
sosial”, dan pada gilirannya sebagai sebagai faktor pembentuk Shohibuddin, M. (2018) Perspektif Agraria Kritis: Teori, Kebijakan, dan Kajian
“ideologi” komunitas sosial yang berspirit “pembebasan” Empiris. Yogyakarta, Bogor dan Jakarta: STPN Press, Sajogyo Institute,
Konsorsium Pembaruan Agraria.
(liberation ecology) (bandingkan Martinez-Alier 2002).  -------------. 2019. “Meluruskan Narasi Ketimpangan Agraria.” Kompas, 2 Maret, hlm.
6.
Daftar Pustaka Shohibuddin, M., & Soetarto, E. (2010) “Krisis Agraria Sebagai Akar Kemiskinan:
Menuju Pandangan Relasional Mengenai Kemiskinan.” Pp. 239–55 in Sejarah
African Development Bank a.o. (2009) Poverty & Climate Change: Reducing the Indonesia: Perspektif Lokal dan Global. Persembahan untuk 70 Tahun Prof. Dr.
Vulnerability of the Poor through Adaptation. Djoko Suryo, edited by S. Margana and W. Fitrianingsing. Yogyakarta: Ombak.
Agrawal & Perin. (2008) “Climate Adapation, Local Institutions, and Rural Sud, N. (2014) “The Men in the Middle: a Missing Dimension in Global Land Deals.”
Livelihoods.” IFRI Working Paper (# W08I-­‐6):1-­‐17 The Journal of Peasant Studies, 41(4): 593-612.
Astuti, R., & McGregor, A. (2014) “Indigenous Land Claims or Green Grabs? Takeshi, I., Rachman, N. F., & Savitri, L. A. (2014) Power to Make Land Dispossession
Inclusions and Exclusions within Forest Carbon Politics in Indonesia.” The Acceptable: a Policy Discourse Analysis of the Merauke Integrated Food and
Journal of Peasant Studies, 44(2): 445-466. Energy Estate (MIFEE), Papua, Indonesia.” The Journal of Peasant Studies, 41(1):
Bachriadi, D., & Suryana, E. (2016) “Land Grabbing and Speculation for Energy 29-50.
Business: A Case Study of ExxonMobil in East Java, Indonesia.” Canadian Journal Taylor, M. (2014) The Political Ecology of Climate Change Adaptation: Livelihoods,
of Development Studies/Revue canadienne d’études du développement, 37(4): Agrarian Change and the Conflicts of Development. Routledge.
578-594.

154 | TRILOGI INDONESIA MENGHADAPI PERUBAHAN IKLIM – PERUBAHAN IKLIM: KRISIS SOSIAL-EKOLOGIS DAN KEADILAN IKLIM Perubahan Iklim dan Jerat Kemiskinan | 155
sebagai “kapitalisme hijau”. Ironisnya, arus investasi “hijau” ini Bahri, A. D., Hamdani, A., & Wibowo, A. (2017) “Di Balik Krisis Agraria dan Ekosistem
Kepulauan Seribu: Apakah Wisata Bahari adalah Jawabannya?” Working Paper
justru berdampak serius secara sosial karena telah mengekslusi Mei 2017. Bogor: Sajogyo Institute.
ribuan petani dan komunitas lokal dari lahan pertanian, wilayah Bank Dunia. (2007) Agricultural Development Report. Washington DC.
Borras, S. M., & Franco, J. C. (2012) “Global Land Grabbing and Trajectories of
kelola dan hutan mereka. Agrarian Change: A Preliminary Analysis.” Journal of Agrarian Change, 12(1),
Di sinilah kita akan sampai pada persoalan mendasar 34–59.
BPS (Badan Pusat Statistik). (2018) Penghitungan dan Analisis Kemiskinan Makro
sekaligus “pekerjaan rumah” tentang bagaimana selayaknya kita Indonesia Tahun 2018. Jakarta.
harus menyikapi isu tentang environmental and climate justice BPS (Badan Pusat Statistik). (2018) Statistik Sumber daya Laut dan Pesisir Tahun
2018. Jakarta.
dan dengan sendirinya bagaimana pula environmentalism of the BPS (Badan Pusat Statistik) & Fakultas Ekologi Manusia IPB (FEMA). (2015) Analisa
poor itu perlu kita fahami secara utuh. Kedua hal ini tak terlepas Kesejahteraan Rumah-Tangga Usaha Perikanan. Jakarta dan Bogor.
Christian, Y., Satria, A., & Sunito, S. (2018) “Ekonomi Politik Konflik Agraria Pulau
dari cara apa yang sepatutnya kita gunakan dalam memandang Kecil (Studi Kasus di Pulau Pari, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta).” Sodality:
“lingkungan” (environment). Jurnal Sosiologi Pedesaan, 6(1): 71-78.
Hall, D. (2011) “Land Grabs, Land Control, and Southeast Asian Crop Booms.” The
Lebih dari sekedar bentang alam fisik yang mengandung Journal of Peasant Studies 38(4): 837–57.
potensi kekayaan alam untuk dieksploitasi, lingkungan tak lain KSP (Kantor Staf Presiden). (2017) “Kesenjangan Sosial dan Respon Kebijakan
Pemerintah.” Dokumen Presentasi 25 slide, tertanggal 19 Juli 2017.
harus dimaknai sebagai “ruang hidup” yang sudah barang tentu Leichenko, R., & Silvia, J. A. (2014) Climate Change And Poverty: Vulnerability,
bukan hanya bertautan dengan persoalan kebutuhan bertahan Impacts, And Alleviation Strategies. Research Gate, July 2014. (WIREs Clim
Change 2014. Doi: 10.1002/wcc.287).
hidup (survival) semata. Tetapi, lebih jauh dari itu, “lingkungan” Martinez, A. J. (2002) The Environmentalism of the Poor: A study of Ecological
sesungguhnya adalah tempat di mana peradaban hidup disemai, Conflicts and Valuation. Edward Elgar, Cheltenham, UK, Northampton, MA, USA.
Rachman, N. F. (2012) Land Reform dari Masa ke Masa. Yogyakarta: Tanah Air Beta.
dirawat, dan dikembangkan serta pada gilirannya membentuk Rachman, N. F., & Yanuardy, D. (eds.). (2014) MP3EI: Master Plan Percepatan dan
“jati diri” orang-orang yang berinteraksi erat dengannya. Bahkan Perluasan Krisis Sosial-Ekologis Indonesia. Bogor: Sajogyo Institute.
Robertson, B., & Per Pinstrup-Andersen. (2010) “Global Land Acquisition: Neo-
lebih jauh lagi, “lingkungan” tidak lain adalah faktor pembentuk colonialism or Development Opportunity? Food Security, 2(3): 271–283.
“identitas” kolektivitas dan solidaritas dalam satu “lingkungan Sachs, J. (2005) The End of Poverty. Economic Possibillities Of Our Time. Pinguin
Books.
sosial”, dan pada gilirannya sebagai sebagai faktor pembentuk Shohibuddin, M. (2018) Perspektif Agraria Kritis: Teori, Kebijakan, dan Kajian
“ideologi” komunitas sosial yang berspirit “pembebasan” Empiris. Yogyakarta, Bogor dan Jakarta: STPN Press, Sajogyo Institute,
Konsorsium Pembaruan Agraria.
(liberation ecology) (bandingkan Martinez-Alier 2002).  -------------. 2019. “Meluruskan Narasi Ketimpangan Agraria.” Kompas, 2 Maret, hlm.
6.
Daftar Pustaka Shohibuddin, M., & Soetarto, E. (2010) “Krisis Agraria Sebagai Akar Kemiskinan:
Menuju Pandangan Relasional Mengenai Kemiskinan.” Pp. 239–55 in Sejarah
African Development Bank a.o. (2009) Poverty & Climate Change: Reducing the Indonesia: Perspektif Lokal dan Global. Persembahan untuk 70 Tahun Prof. Dr.
Vulnerability of the Poor through Adaptation. Djoko Suryo, edited by S. Margana and W. Fitrianingsing. Yogyakarta: Ombak.
Agrawal & Perin. (2008) “Climate Adapation, Local Institutions, and Rural Sud, N. (2014) “The Men in the Middle: a Missing Dimension in Global Land Deals.”
Livelihoods.” IFRI Working Paper (# W08I-­‐6):1-­‐17 The Journal of Peasant Studies, 41(4): 593-612.
Astuti, R., & McGregor, A. (2014) “Indigenous Land Claims or Green Grabs? Takeshi, I., Rachman, N. F., & Savitri, L. A. (2014) Power to Make Land Dispossession
Inclusions and Exclusions within Forest Carbon Politics in Indonesia.” The Acceptable: a Policy Discourse Analysis of the Merauke Integrated Food and
Journal of Peasant Studies, 44(2): 445-466. Energy Estate (MIFEE), Papua, Indonesia.” The Journal of Peasant Studies, 41(1):
Bachriadi, D., & Suryana, E. (2016) “Land Grabbing and Speculation for Energy 29-50.
Business: A Case Study of ExxonMobil in East Java, Indonesia.” Canadian Journal Taylor, M. (2014) The Political Ecology of Climate Change Adaptation: Livelihoods,
of Development Studies/Revue canadienne d’études du développement, 37(4): Agrarian Change and the Conflicts of Development. Routledge.
578-594.

154 | TRILOGI INDONESIA MENGHADAPI PERUBAHAN IKLIM – PERUBAHAN IKLIM: KRISIS SOSIAL-EKOLOGIS DAN KEADILAN IKLIM Perubahan Iklim dan Jerat Kemiskinan | 155

Anda mungkin juga menyukai