Anda di halaman 1dari 136

1.

PENDAHULUAN

Pembangunan infrastruktur ditujukan untuk meningkatkan taraf hidup


manusia. Dewasa ini – semakin berkembangnya populasi manusia dan semakin
meningkatnya standar kualitas hidup – mengakibatkan pesatnya pembangunan
infrastruktur, baik jumlah, jenis, maupun perkembangan teknologinya.
Beragam bahan bangunan telah digunakan dalam pembangunan
infrastruktur. Setiap bahan yang digunakan memberikan kontribusi yang besar
bagi kekuatan, keutuhan, dan keawetan bangunan. Tercapainya tujuan, sasaran,
dan manfaat bangunan tentulah diawali dengan perencanaan yang baik – termasuk
di dalamnya pemilihan bahan bangunan yang akan digunakan.
Setiap bahan bangunan memiliki karakteristik tertentu yang harus
dipertimbangkan dalam penentuan pemilihan bahan bangunan yang akan
digunakan. Setiap jenis bahan bangunan – baik itu kayu, baja, semen, pasir, dan
lainnya – memiliki sifat-sifat tersendiri, dan memiliki kelebihan dan kekurangan
masing-masing, dimana adalah tugas seorang civil engineer untuk memilih bahan
bangunan yang akan digunakan, dengan memadukan sifat-sifat yang dimiliki
bahan bangunan tersebut dengan tuntutan teknis dan peruntukan bangunan,
kondisi lingkungan, serta biaya yang ada.

1
2. KAYU

2.1. Kelebihan & Kekurangan Kayu


Salah satu bahan bangunan yang telah dikenal secara luas
penggunaannya adalah kayu. Kayu termasuk bahan bangunan yang pertama-tama
digunakan. Meskipun saat ini penggunaan kayu tidak lagi seluas dahulu –
penemuan teknologi beton, baja, dan lain-lain menggantikan fungsi kayu sebagai
kuda-kuda, kolom, dan balok – kayu masih digunakan dalam beberapa hal,
terutama yang berkaitan dengan nilai estetika. Pemilihan kayu sebagai bahan
bangunan selain mempertimbangkan prinsip ekonomi dan estetika, hendaknya
dilakukan dengan memperhatikan prinsip-prinsip ekologi mengingat kayu
memiliki daur tumbuh puluhan hingga ratusan tahun. Penebangan kayu yang tidak
memperhatikan kelestarian alam berdampak merusak ekosistem.
Setiap bahan bangunan – termasuk kayu – memiliki karakteristik tertentu
yang harus dipertimbangkan dalam penentuan pemilihan bahan bangunan yang
akan digunakan. Dibandingkan dengan bahan bangunan lain, kayu memiliki
kelebihan-kelebihan sebagai berikut:
a. ringan
Kayu mempunyai berat jenis < 1,00. Bandingkan dengan berat jenis beton =
2,40 dan berat jenis baja = 7,80)
b. mudah dikerjakan
c. kekuatan cukup tinggi
d. cukup awet (tahan lama)
e. mampu menahan lentur, tekan, tarik, geser, dan puntir
f. bersifat isolator (penghantar panas yang buruk)
g. daya tahan tinggi terhadap pengaruh kimia

2
h. mudah dikerjakan
i. relatif murah
j. dapat mudah diganti
k. relatif mudah didapat
l. memiliki nilai estetis
Selain kelebihan-kelebihan di atas, kayu memiliki sifat-sifat yang kurang
menguntungkan yaitu:
a. tidak homogen
Kayu memiliki mata kayu, serat miring, ketidaksamaan sebagai hasil alam
(ujung atas lebih muda daripada ujung bawah, serat tepi berbeda dengan serat
dalam) dan lain-lain.
b. bersifat higroskopis
Kayu mudah terpengaruh oleh perubahan kelembaban udara.
c. mudah terbakar
d. adanya cacat sewaktu tumbuh
Kayu memiliki cacat berupa mata kayu, retak-retak, bagian hati yang busuk,
lapuk, serat miring, serat terpuntir, dan lain-lain.
e. ukuran terbatas
f. beberapa jenis kurang awet
Di Indonesia, kayu digolongkan menjadi 4 (empat) golongan, yaitu:
a. pohon berdaun lebar
b. pohon berdaun jarum
c. pohon sebangsa palm
d. pohon sebangsa bambu (rumput-rumputan)
Daftar kayu Indonesia yang terpenting berikut kelas awet, kelas kuat,
dan berat jenis kering udaranya dapat dilihat lebih lanjut dalam Peraturan
Konstruksi Kayu Indonesia PKKI NI 5 -1961.

2.2. Struktur Kayu


Penampang sebatang pohon yang dipotong melintang terdiri dari
lapisan-lapisan seperti pada Gambar 2.1. sebagai berikut:

3
a. kulit luar (outer bark)
Lapisan ini merupakan lapisan yang sudah mati dan keras. Bagian ini kering
dan bersifat sebagai pelindung lapisan di dalamnya.
b. kulit dalam (bast)
Bagian ini lunak, basah, dan berpori besar, berfungsi untuk mengangkut bahan
makanan dari daun ke bagian lain dari tumbuhan. Pada kulit dalam ini sering
terdapat zat-zat kimia seperti getah dan tanin.
c. Kambium
Berada di bagian dalam kulit dalam. Sel-sel di dalam kambium ini merupakan
sel yang hidup. Bagian inilah yang membuat sel-sel kulit dan sel-sel kayu. Sel-
sel kambium mampu berkembang biak dengan membelah diri. Bagian sebelah
luar menjadi sel yang mati dan menjadi kulit, sedangkan sel yang sebelah
dalam menjadi sel kayu.
d. kayu gubal (sapwood)
Biasanya warnanya keputih-putihan (muda). Lapisan ini tumbuh menjadi kayu
yang keras. Bagian ini mengangkut air dan zat makanan dari tanah ke daun.
e. kayu teras atau galih (heartwood)
bagian ini warnanya lebih tua daripada kayu gubal. Kayu teras sebelumnya
adalah kayu gubal yang sudah tidak berfungsi lagi. Perubahan kayu gubal
menjadi kayu teras terjadi secara perlahan-lahan. Dibandingkan kayu gubal,
kayu teras umumnya lebih tahan terhadap serangan serangga, bubuk kayu,
jamur, dan sebagainya. Bagian inilah yang biasa diambil dan dimanfaatkan
sebagai kayu untuk bangunan.
f. Inti (pitch)
Bagian lingkaran kecil yang berada paling tengah. Kadang-kadang bagian ini
sudah busuk, terutama pada kayu yang sudah sangat tua.
g. jari-jari teras (rays)
Bagian ini menghubungkan berbagai bagian dari pohon untuk penyimpanan
dan peralihan bahan makanan.
h. Lingkaran tahun

4
Pada kayu biasanya tampak suatu garis-garis lingkaran yang mengelilingi
pusat kayu, yang dikenal sebagai lingkaran tahun-tahun. Pertumbuhan sel-sel
kayu tidak selalu tetap pada saat musim kemarau dan musim hujan. Pada
musim hujan sel-sel kayu yang terbentuk besar-besar, sedangkan pada musim
kemarau sel-sel yang terbentuk kecil, akibatnya terjadi perbedaan ukuran sel
dan menyebabkan warna yang sedikit berbeda dan tampak seperti lingkaran-
lingkaran yang mengelilingi pusat kayu. Akan tetapi pada beberapa jenis kayu,
lingkaran ini tidak tampak jelas. Begitupun jika perbedaan musim hujan dan
kemarau tidak begitu besar.

5
Sumber : Al Himawan, 2007
Gambar 2.1. Struktur Kayu

2.3. Karakteristik Kayu


Karakteristik kayu diukur dengan kepadatan kayu, berat jenis, bobot isi,
kelas kuat, kadar lengas, kadar air, susutan, mutu kayu, kelas awet, dan
keterawetan.

a. Kepadatan Kayu
Kepadatan kayu berhubungan erat dengan berat jenis kayu dan kekuatan kayu.
Semakin ringan kayu semakin berkurang kepadatannya, semakin berkurang
pula kekuatannya. Begitu juga sebaliknya.
b. Berat Jenis

6
Berat jenis kayu yang diperhitungkan adalah berat jenis dari kayu kering
udara. Kadar lengas kayu kering udara tergantung pada iklim setempat. Di
Indonesia, kadar air ini berkisar antara 12 – 20% dari kayu kering mutlak
(yang hanya dapat dicapai dalam tempat pemanasan).

c. Kekuatan Kayu
Pada umumnya, kayu dengan berat jenis tinggi mempunyai modulus
elastisitas, kekuatan, kekerasan, dan sifat teknis lain yang tinggi pula, seperti
terlihat pada Tabel 2.1. Namun, susunan kayu juga mempengaruhi kekuatan
kayu. Berdasarkan berat jenisnya, Badan Penelitian dan Pengembangan
Teknologi Hasil Hutan Bogor membagi kekuatan kayu Indonesia dalam 5
(lima) kelas kuat, seperti tercantum dalam Tabel 2.2. di bawah ini.

Tabel 2.1. Kelas Kuat, Berat Jenis, Modulus Elastisitas, dan Tegangan Ijin
Kelas Kuat I II III IV V
Berat Jenis > 0,90 0,90 – 0,60 0,60 – 0,40 0,40 – 0,30 < 0,30
Modulus Elastisitas > 180 180 – 155 155 – 125 125 – 95 < 95
(10 kg/cm )
3 2

Kuat Lentur Mutlak (kg/cm2) > 1100 1100 – 725 725 – 500 500 – 360 < 360
Kuat Desak Mutlak (kg/cm ) 2
> 650 650 – 425 425 – 300 300 – 215 < 215
Tegangan Tarik Sejajar Serat 150 100 75 50 –
Ijin (kg/cm ) 2
Tekan Sejajar 130 85 60 45 –
Serat
Tekan Tegak 40 25 15 10 –
Lurus Serat
Geser Sejajar 20 12 8 5 –
Serat

Tabel 2.2. Kelas Kuat Kayu Indonesia


Kekuatan Lentur Kekuatan Tekan Absolut
Kelas Kuat Berat Jenis
Absolut (kg/cm ) 2
(kg/cm2)
I ≥ 0,90 ≥ 1100 ≥ 650
II 0,90 – 0,60 1100 – 725 650 – 425
III 0,60 – 0,40 725 – 500 425 – 300
IV 0,40 – 0,30 500 – 360 300 – 215

7
V ≤ 0,30 ≤ 360 ≤ 215
Sumber: DEN BERGER (1923)

d. Kadar Air
Kayu bersifat menyerap uap udara jika kandungan air dalam udara cukup
banyak, dan sebaliknya jika udara di sekitarnya kering, uap air akan
dilepaskan. Hal ini mengakibatkan kandungan air dalam kayu tergantung
kelembaban udara di sekitarnya.
Kadar air ditentukan dengan rumus:

dengan:
ω = kadar air (%)
a = berat kayu yang dihitung kadar airnya
b = berat kayu setelah kering tungku

e. Kadar Lengas
Kadar lengas kayu diukur dari kadar airnya. Ada 3 (tiga) macam kadar lengas
(kandungan air) pada kayu, yaitu:
 kadar lengas kayu basah, yaitu kayu yang baru saja ditebang. Kadar lengas
kayu yang baru ditebang berkisar 40 – 200%. Kadar lengas pada kayu
yang berat sekali berkisar 40%, sedangkan kayu yang ringan sekali
berkadar lengas sampai 200%.
 kadar lengas kayu kering udara, yaitu kayu yang kandungan airnya sudah
tetap sesuai dengan udara sekitarnya. Kadar lengas kayu kering udara
tergantung pada keadaan iklim setempat. Di Indonesia kadar air ini
berkisar antara 12 – 20 % dari kayu kering mutlak.
 kadar lengas kayu kering mutlak atau sering disebut juga kering tungku
(oven) yaitu kayu yang dikeringkan di dalam tungku pada suhu 105 0 C
sehingga semua airnya menguap ke luar. Kadar air kayu kering mutlak

8
adalah 0%. Kayu kering mutlak hanya dapat dicapai dalam tungku
pemanasan yang disebut dry kiln.

f. Susutan
Kayu basah makin lama makin kering akibat penyesuaian dengan kadar air di
udara. Jika pengurangan kadar air kayu itu masih di atas titik jenuh serat (fiber
saturation point) maka tidak menyebabkan penyusutan volume kayu. Namun,
jika pengurangan kadar air itu melewati titik jenuh serat, yaitu jika mencapai
kadar air antara 24 – 30% maka terjadi penyusutan.
Jika kayu ditebang dan kayunya dipotong, maka air yang dikandung di dalam
kayu keluar. Jika keluarnya air tidak teratur maka akan menimbulkan retak-
retak. Pada kayu yang masih basah, air yang berada dalam kayu sebagian
berada dalam rongga sel dan sebagian lagi berada di dalam dinding sel. Air
yang berada dalam rongga sel dinamakan air bebas. Pada proses pengeringan,
air bebas keluar terlebih dahulu sampai tidak ada lagi air dalam rongga sel,
sehingga yang tertinggal adalah air di dalam dinding sel. Keadaan saat air
bebas ini habis dan air dalam dinding sel mulai keluar disebut titik jenuh serat.
Sebelum air dalam dinding sel ini keluar, keluarnya air (pengurangan kadar
air) tidak mempengaruhi volume kayu. Akan tetapi bila air dalam dinding sel
mulai keluar, pengurangan kadar air mengakibatkan pengurangan volume
kayu.
Besar penyusutan kayu akibat pengurangan kadar air di bawah titik jenuh ini
tidak sama untuk jenis kayu yang berbeda. Susutan ini juga tidak sama untuk
arah yang berbeda. Pada arah serat, susutan yang terjadi kecil, pada arah radial
susutan yang terjadi agak besar, sedangkan pada arah tangensial terjadi
susutan yang besar, seperti dapat dilihat pada Gambar 2.2.

9
Sumber : Kardiyono, 1989
Gambar 2.2. Susutan Kayu

Penyusutan terbesar terjadi ke arah tangensial sekitar 7%, sedangkan


penyusutan radial sekitar 5%. Perbedaan antara keduanya menyebabkan
distorsi kekeringan kayu yang terlihat pada balok atau papan kayu berupa
pembengkokan, lengkung busur, lengkung mangkok, dan puntiran, seperti
pada Gambar 2.3.

10
Sumber : Al Himawan, 2007
Gambar 2.3. Distorsi Kekeringan Kayu

g. Mutu Kayu
Mutu kayu didasarkan atas kadar air, mata kayu, kayu gubal, kemiringan serat,
dan retak-retak. Mutu kayu dibedakan menjadi 2 (dua) kelas, yaitu:
 Mutu A
Persyaratan kayu mutu A:
1. Kering udara.
2. Besar mata kayu < 1/6 lebar balok atau maksimal 3,5 cm.
3. Kandungan gubal ≤ 1/20 tinggi balok.
4. Kemiringan serat < 1/10.
5. Retak-retak arah radial < ¼ tebal kayu.
6. Retak-retak arah tangensial < 1/5 tebal kayu.
 Mutu B
Persyaratan kayu mutu B:
1. Kadar air < 30%.
2. Besar mata kayu < ¼ lebar balok atau maksimal 5 cm.
3. Kandungan gubal ≤ 1/10 tinggi balok.
4. Kemiringan serat < 1/7.

11
5. Retak-retak arah radial < 1/3 tebal kayu.
6. Retak-retak arah tangensial < ¼ tebal kayu.

h. Kelas Awet
Dari sifatnya, kayu memiliki keawetan yang beragam, Badan Penelitian dan
Pengembangan Teknologi Hasil Hutan membagi keawetan kayu Indonesia
dalam 5 (lima) kelas awet seperti tercantum dalam Tabel 2.2.

Tabel 2.2. Kelas Awet Kayu Indonesia


No. Kondisi I II III IV V
1 Selalu berhubungan 8 thn 5 thn 3 thn sangat sangat
dengan tanah lembab pendek pendek
2 Hanya dipengaruhi cuaca 20 thn 15 thn 10 thn beberapa sangat
tapi dijaga supaya tidak tahun pendek
terendam air & tidak
kekurangan udara
3 Di bawah atap, tidak tak tak sangat beberapa pendek
berhubungan dengan terbatas terbatas lama tahun
tanah lembab & tidak
kekurangan udara
4 Seperti No. 3 tetapi tak tak tak 20 thn 20 thn
dipelihara dengan baik & terbatas terbatas terbatas
dicat secara teratur
5 Serangan rayap tanah tidak jarang agak sangat sangat
cepat cepat cepat
6 Serangan bubuk kayu tidak tidak hampir tidak sangat
kering tidak berarti cepat
Sumber: OEY DJOEN SENG (1951)

i. Keterawetan
Keterawetan menunjukkan mudah tidaknya suatu jenis kayu dimasuki larutan
bahan pengawet. Pengawetan kayu dimaksudkan untuk memperpanjang umur
kayu. Pada umumnya jenis kayu yang berdaun lebar lebih sukar diawetkan
daripada jenis kayu berdaun jarum. Keterawetan dipengaruhi oleh sifat kayu
itu sendiri, cara pengawetan, dan bahan pengawet yang digunakan.

12
Klasifikasi keterawetan kayu dapat dilihat pada Tabel 2.3.

Tabel 2.3. Klasifikasi Keterawetan Kayu


Keterawetan Keterangan Penetrasi
I mudah > 90
II sedang 50 – 90
III sukar 10 – 50
IV sangat sukar <10
Sumber : Suziyanti Al Himawan, 2007

2.4. Pengeringan Kayu


Pengeringan kayu adalah salah satu cara memperbaiki sifat kayu.
Pengeringan kayu yang dilakukan dengan baik dapat memantapkan dimensi kayu,
membebaskan kayu dari tegangan yang dapat menimbulkan retak, pecah, atau
berbagai perubahan bentuk.
Pengeringan kayu dimaksudkan untuk menurunkan kadar air sehingga
didapat keuntungan-keuntungan sebagai berikut:
a. Mengurangi berat.
b. Menambah kekuatan kayu (makin rendah kadar air, makin kuat).
c. Ukuran stabil, tidak menyusut lagi.
d. Menghindari serangan cendawan dan bubuk, karena cendawan dan bubuk
umumnya tidak dapat hidup pada kayu dengan kadar air < 20%.
e. Untuk merekatkan lem jika dipakai sambungan lem.
f. Untuk memudahkan pemasukan obat pengawet jika akan dimasuki zat
pengawet.
Kecepatan pengeringan kayu tergantung pada beberapa faktor, antara
lain:
a. Suhu udara
Pada keadaan kelembaban udara yang tetap, makin tinggi suhu udara makin
cepat proses pengeringan kayu.
b. Kelembaban udara

13
Pada suhu udara yang sama, makin tinggi kelembaban udara makin lama
waktu yang dibutuhkan untuk proses pengeringan.
c. Peredaran udara
Peredaran udara yang baik menyebabkan pengeringan kayu makin cepat.
d. Jenis kayu

Pengeringan kayu dapat dilakukan secara alami maupun dalam dapur


pengering (dry kiln).

a. Pengeringan Alami / Pengeringan Udara Biasa


Dilakukan dengan mengandalkan faktor alam, yaitu sinar matahari,
kelembaban nisbi, dan angin, sehingga lamanya pengeringan tergantung pada
iklim, yang mengakibatkan lamanya waktu pengeringan yang dibutuhkan serta
kadar air kayu yang masih terlalu tinggi.
Kayu-kayu ditumpuk menurut susunan tertentu kemudian dibiarkan untuk
beberapa waktu di udara terbuka tetapi teduh.

b. Pengeringan Dalam Dapur Pengering (Dry Kiln)


Dengan metode pengeringan ini, waktu pengeringan yang dibutuhkan relative
singkat dan kadar air akhir yang bisa dicapai dapat disesuaikan dengan
keperluan.
Kayu-kayu dimasukkan ke dalam ruang pengering. Suhu udara di dalam
ruangan tersebut dipanaskan dengan gas/lampu, aliran udara dibuat baik agar
uap air yang terjadi dari permukaan kayu dapat dibuang. Dengan cara ini,
diharapkan kayu lebih cepat mengering. Harus dihindari terjadinya proses
penguapan air pada permukaan kayu yang lebih cepat daripada aliran air dari
bagian dalam kayu ke bagian luar. Bila hal ini terjadi, maka bagian luar kayu
akan mengeras dan pori-pori akan tertutup sehingga aliran air dari dalam
terhambat, yang mengakibatkan kayu akan retak-retak.

14
2.5. Pengawetan Kayu
Keawetan kayu adalah ketahanan lama pemakaian kayu. Kayu akan
tahan lama bila kayu mempunyai daya tahan terhadap serangga dan cendawan.
Beberapa jenis kayu tahan terhadap serangga dan cendawan, namun benyak jenis
kayu yang tidak tahan terhadap serangga dan cendawan sehingga perlu dilakukan
proses pengawetan.
Pengawetan kayu bertujuan agar bangunan tahan lama, kayu tidak lekas
lapuk, dan kayu yang kurang awet dapat dipakai. Pengawetan kayu umumnya
dilakukan dengan cara ditir, diarangkan, dicat, direndam dalam air, dimasuki zat
pengawet, dengan metode vakum tekan, proses rendaman panas-dingin, proses
rendaman dingin, dan difusi.

Ketentuan kayu yang diawetkan:


a. Kayu yang harus diawetkan adalah jenis kayu yang mempunyai keawetan
alami atau kelas awet III, IV, dan V, serta kayu gubal dari kelas awet I dan II.
Pengawetan harus dilakukan sebelum tahap finishing.
b. Kayu yang diawetkan harus memiliki kadar air sesuai dengan metode
pengawetannya, yaitu pada proses fakum tekan, kering udara kayu sampai
maksimal 35%, sedang pada proses rendaman kering udaranya maksimal
45%.
c. Permukaan kayu harus bersih, bebas dari segala macam kotoran dan tidak
berkulit.
d. Kayu harus sudah dalam bentuk siap pakai. Kalaupun ada pengerjaan lanjutan
yang terpaksa dilakukan setelah pengawetan, maka bagian yang terbuka dan
tidak tembus bahan pengawet harus dilabur dengan bahan pengawet pekat
secara merata.
e. Pengawetan harus dilakukan tersendiri untuk tiap jenis kayu yang mempunyai
sifat keterawetan, berat jenis, ataupun ukuran yang berbeda.
Zat pengawet mempunyai syarat sebagai berikut:

15
a. Mudah dimasukkan ke dalam kayu.
b. Beracun, tetapi tidak berbahaya bagi manusia.
c. Permanen, tidak luntur, tidak menguap karena panas.
d. Tidak bereaksi terhadap zat kayunya.
e. Tidak mudah terbakar.
f. Cepat kering dan mudah dicat.
Ketentuan lain tentang bahan pengawet yakni bahan pengawet yang
dapat digunakan adalah bahan pengawet yang diijinkan untuk diedarkan oleh
Komisi Pestisida – Departemen Pertanian. Bahan pengawet yang digunakan harus
dapat mencegah serangan rayap tanah, rayap kayu kering, bubuk kayu kering, dan
jamur perusak kayu. Formulasi bahan pengawet harus memenuhi salah satu
komposisi bahan aktif berupa garam hidrat, garam anhidrat, oksida asam, atau
hidroksida. Bentuk formulasi dapat berupa serbuk kering, pasta, atau konsentrat.

2.6. Bahan-Bahan Yang Terbuat Dari Kayu


a. Papan Serat (Fibre Board)
Berupa papan tiruan yang dibuat dari serat-serat kayu dengan perekat. Bahan
perekat tersebut kadang-kadang diberi fungsi lain agar papan menjadi lebih
kuat, lebih tahan terhadap lembab, lebih tahan api, dan sebagainya.
Bahan baku papan serat dapat berupa serat kayu berdaun jarum, serat bambu,
ampas tebu, tangkai padi, serabut kelapa, dan sebagainya.
Papan serat terdiri dari 2 (dua) macam yaitu hard board dan soft board.
b. Kayu Lapis (Ply Wood)
Yaitu papan kayu yang terbuat dari beberapa lapis papan kayu tipis (tebal tiap
lapis sekitar 3 mm) yang dilekatkan dengan arah serat saling bersilangan.
Papan kayu tipis tersebut diperoleh dari pengupasan kayu dengan mesin
pengupas kayu yang dapat memutar kayu pada sumbunya sehingga kayu
terkupas bersamaan dengan berputarnya kayu tersebut. Dengan cara ini,
didapat papan tipis yang sangat lebar dan tidak ada kayu yang terbuang.
Perekat yang umumnya digunakan untuk merekatkan lapisan papan kayu tipis

16
tersebut umumnya berupa perekat organik (resin) yang ditekan pada suhu
panas.
Jenis yang termasuk dalam kayu lapis ini di antaranya adalah tripleks dan
multipleks.

c. Papan Partikel (Particle Board)


Yaitu papan kayu tiruan yang terbuat dari butir/potongan-potongan kayu kecil
yang direkatkan dengan bahan perekat organik dan melalui proses penekanan.
Potongan kayu yang dipakai dapat diambil dari kayu bermutu rendah atau
sampah kayu (sisa bubutan, sisa gergajian, dan sebagainya).
d. Papan Wol Kayu (Wood Wool Board)
Yaitu papan buatan yang dibuat dari campuran wol kayu dengan bahan ikat
hidrolis. Papan wol kayu ini bersifat ringan, mempunyai daya hantar panas
yang rendah, dan nilai akustik yang baik (dapat meredam suara).
e. Papan Kayu Semen
Berupa papan buatan yang terbuat dari campuran serpih kayu dan semen
portland. Papan jenis ini dapat dipakai untuk dinding sekat atau langit-langit.

Daftar Pustaka
1. Al Himawan, Suziyanti, 2007, “ Serial Rumah - Kayu & Aplikasinya”,
Gramedia, Jakarta
2. Criswell, M.E., dan Vanderbilt, 1983, “Properties and Test of Engineering
Materials”, Department of Civil Engineering, Colege of Engineering,
Colorado State University, Colorado
3. Kardiyono, 1989, “Buku Ajar Bahan Konstruksi Teknik”, Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta
4. N. Jackson, 1978, “Civil Engineering Materials”, English Language Book
Society and Macmillan, Hongkong
5. Peraturan Konstruksi Kayu Indonesia (PKKI NI 5 – 1961)

17
6. Persyaratan Umum Bahan Bangunan di Indonesia (PUBI – 1982)
7. Singh, G. & J. Singh, 1979, “Materials of Construction”, Standard Book
Service, Delhi
8. Yap, Felix K.H., 1964, “ Konstruksi Kayu”, Bina Cipta, Jakarta

18
3. KAPUR

3.1. Pendahuluan
Kapur termasuk bahan bangunan yang sudah lama digunakan. Orang-
orang Mesir kuno memakai kapur untuk memplester bangunan. Di Indonesia,
kapur sejak lama telah digunakan sebagai bahan ikat.
Kapur berdasarkan penggunaannya sebagai bahan bangunan terdiri dari
kapur pemutih dan kapur aduk. Keduanya dapat berbentuk kapur tohor maupun
kapur padam (PUBI – 1982).
Bahan dasar kapur adalah batu kapur. Susunan kimia dan sifat fisik dasar
bahan yang mengandung kapur berbeda dari satu tempat ke tempat lain, bahkan
dalam satu tempatpun belum tentu sama.
Batu kapur mengandung kalsium karbonat (CaCO3). Dengan pemanasan
(kira-kira 9800C), karbon dioksida (CO2) akan keluar sehingga yang tertinggal
hanya kapurnya (Kalsium oksida/CaO), yang disebut quicklime.
Kapur dari hasil pembakaran ini bila ditambahkan air akan mengembang
dan retak-retak. Dalam proses ini akan banyak panas yang dikeluarkan (terlihat
seperti mendidih). Proses pencampuran kapur dan air menghasilkan kalsium
hidroksida (Ca(OH)2). Secara teoritis, air yang diperlukan hanya 32% berat kapur,
namun karena faktor-faktor lain (antara lain: pembakaran, jenis kapur, dan
sebagainya) kadang-kadang air yang diperlukan mencapai 2 – 3 kali volume
kapur. Proses ini disebut slaking, dan hasilnya – kalsium hidroksida – disebut
slaked lime atau hydrated lime.
Bila kalsium hidrat ini dicampur air akan diperoleh mortar kapur. Mortar
ini di udara terbuka menyerap karbon dioksida (CO2), dan dengan melalui proses
kimia menghasilkan CaCO3 yang bersifat keras dan tidak larut dalam air.
Rumus kimia proses tersebut adalah sebagai berikut:

19
CaCO3 CaO + CO2

9800C

CaO + H2O Ca(OH)2 + panas

Ca(OH)2 + CO2 CaCO3 + H2O

Kapur diklasifikasikan dalam beberapa jenis, yaitu:


a. Kapur tohor (CaO)
Hasil pembakaran batu alam yang komposisinya sebagian besar berupa
kalsium karbonat.
b. Kapur padam (Ca(OH)2)
Hasil pemadaman kapur tohor dengan air, membentuk hidrat.
c. Kapur udara
Kapur padam yang apabila diaduk dengan air, setelah beberapa waktu
dapat mengeras di udara karena pengikatan kardon dioksida.
d. Kapur hidrolis
Kapur padam yang apabila diaduk dengan air setelah beberapa waktu
dapat mengeras, baik di dalam air ataupun di udara.

3.2. Kapur Sebagai Bahan Bangunan


Sebagai bahan bangunan, kapur mempunyai sifat-sifat:
a. Mempunyai sifat plastis yang baik (tidak getas).
b. Sebagai mortar, mempunyai kekuatan pada tembok.
c. Dapat mengeras dengan mudah dan cepat.
d. Mudah dikerjakan.
e. Mempunyai ikatan yang baik dengan batu atau bata.
Penggunaan kapur sebagai bahan bangunan di antaranya sebagai berikut:
a. Sebagai bahan ikat pada mortar.
b. Sebagai bahan ikat pada beton. Bila dipakai bersama dengan semen Portland
dapat mengurangi kebutuhan semen Portland.
c. Sebagai batuan jika berbentuk batu kapur .

20
d. Sebagai bahan pemutih.

Daftar Pustaka
1. Kardiyono, 1989, “Buku Ajar Bahan Konstruksi Teknik”, Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta
2. Persyaratan Umum Bahan Bangunan di Indonesia (PUBI – 1982)

21
4. SEMEN PORTLAND

4.1. Pendahuluan
Semen merupakan bahan hidrolis yang dapat bereaksi secara kimia
dengan air (disebut hidrasi), sehingga membentuk material batu padat. Semen
dipakai sebagai bahan ikat pada pembuatan beton, pekerjaan plesteran, pekerjaan
acian, dan lain-lain. Berbagai macam jenis semen dengan sifat-sifat dan
karakteristik yang berbeda-beda telah diproduksi, yang dibedakan dalam dua
kelompok utama yakni: semen dari bahan klinker semen portland dan semen-
semen lain. Yang termasuk semen dari bahan klinker semen portland yaitu semen
portland, semen portland abu terbang, semen portland berkadar besi, semen tanur
tinggi, semen portland tras/puzzolan, dan semen portland putih, sedangkan semen-
semen lain terdiri dari aluminium semen dan semen bersulfat. Perbedaan semen-
semen tersebut berdasarkan karakter dari reaksi pengerasan kimiawi. Semen-
semen dari kelompok yang pertama tidak saling bereaksi satu sama lain (tidak
membentuk persenyawaan lain), tetapi semen dari kelompok yang kedua bila
saling bercampur atau bercampur dengan semen dari kelompok yang pertama
akan membentuk persenyawaan baru. Ini berarti semen-semen dari kelompok
kedua tidak boleh dicampur. Semen yang umum dipakai di Indonesia adalah
semen portland dan semen Portland abu-terbang.
Berdasarkan Persyaratan Umum Bahan Bangunan di Indonesia (PUBI
— 1982) semen portland ialah semen hidrolis yang dihasilkan melalui
penghalusan klinker yang terutama terdiri dari silikat-silikat kalsium yang bersifat
hidrolis dengan gips sebagai bahan tambahan yang mengatur waktu pengikatan.
Bersifat hidrolis berarti semen bereaksi dengan air dan membentuk suatu
batuan massa yang kedap air. Penggunaan semen sebagai ikat dalam

22
pembangunan fisik sudah dikenal luas, menggantikan penggunaan kapur.
Perbedaan kapur dan semen Portland adalah sebagai berikut:
1. Warna kapur biasanya putih, sedangkan warna semen portland umumnya abu-
abu
2. Jika semen portland dicampur dengan air, proses ikatan terjadi sekitar 30
menit dan mencapai kekuatan yang cukup besar dalam waktu sekitar 1 – 2
hari. Kapur memerlukan waktu lebih lama untuk proses pengikatan maupun
pengerasannya.
3. Semen beberapa kali lebih kuat daripada kapur.
4. Kapur sebaiknya dihindarkan dari kontak langsung dengan baja/besi,
sedangkan semen justru dapat melindungi baja/besi dari korosi.
5. Bila air ditambahkan pada quicklime akan tampak dengan jelas keluarnya
panas, akan tetapi pada semen keluarnya panas itu tidak tampak dengan nyata.
Dalam hal kecepatan perkembangan kekuatan, semen dibedakan dalam 3
(tiga) kelas seperti terlihat pada Gambar 4.1., yaitu:

Kelas A : Semen dengan kekuatan awal yang normal


Kelas B : Semen dengan kekuatan awal tinggi
Kelas C : Semen dengan kekuatan awal sangat tinggi.

Jenis semen dan kelas kecepatan perkembangan kekuatannya dapat


dilihat dalam Tabel 4.1.

23
Sumber : Sagel, Kole, Kusuma, 1993
Gambar 4.1. Perkembangan Kekuatan Kelas-Kelas Semen Yang Berbeda-beda

Tabel 4.1. Jenis Semen dan Kecepatan Perkembangan Kekuatannya


Kelas
Jenis Semen Warna
A B C

semen portland √ √ √ abu-abu

semen portland abu terbang √ abu-abu

semen portland putih √ putih


Sumber : Sagel, Kole, Kusuma, 1993

Nama Portland semen diusulkan oleh Joseph Aspdin pada tahun 1824.
Penggunaan nama tersebut diusulkan karena bubuk tersebut dicampur dengan air,
pasir, dan batu-batuan yang ada di Pulau Portland, Inggris. Pertama kali semen
portland diproduksi di pabrik oleh David Saylor di Coplay, Pennsylvania pada
tahun 1875.

4.2. Proses Pembuatan Semen Portland

24
Bahan dasar semen portland yaitu calcareous, argillocalcareous, dan
argillaceous. Secara mudah dapat diartikan bahwa kandungan semen portland
ialah kapur, silika, dan alumina. Ketiga bahan dasar tadi dicampur dan dibakar
dengan suhu 1550 0C dan menjadi klinker. Klinker tadi dihaluskan menjadi bubuk
yang kemudian biasanya ditambahkan gipsum ( ± 2 – 4 %) sebagai bahan
pengontrol waktu pengikatan. Bahan lain kadang-kadang ditambahkan pula untuk
membentuk semen khusus, misalnya kalsium klorida untuk mendapatkan semen
portland yang mempunyai waktu pengerasan yang cepat.
Klinker semen portland dibuat dari batu kapur (CaCO3) , tanah liat, dan
bahan dasar berkadar besi. Bahan dasar dari klinker semen Portland dapat
dipabrikasi secara dua proses (basah dan kering). Pada proses basah, sebelum
dibakar, bahan bakar dicampur air (slurry) dan digiling sampai halus berupa bubur
halus. Pada proses kering, bahan dasar dicampur dan dikeringkan, kemudian
digiling berupa bubuk kasar. Selanjutnya kedua produksi ini dibakar dalam tanur-
putar datar pada temperatur yang sanagt tinggi sehingga diperoleh klinker semen
portland. Proses pembuatan semen portland dapat dilihat pada Gambar 4.2. dan
Gambar 4.3.
Bagian utama dari klinker ini adalah: Trikalsium silikat (C3S) atau
3CaO.SiO2, Dikalsium silikat (C2S) atau 2CaO.SiO2, Trikalsium aluminat (C3A)
atau 3CaO.Al2O3, dan Tetrakalsium aluminoferit (C3AF) atau 4CaO.Al2O3.Fe2O3.
Akhirnnya semen portland didapat dengan cara menggilas klinker tersebut dalam
kilang peluru sampai halus dan ditambah dengan gips (CaSO 42H2O) beberapa
prosen.

Proses Basah Proses Kering

Bagian Bagian dicampur


digiling
Dicampur air Digiling

Bubur halus Bubur kasar

Tanur semen (1400 0C) 25


Klinker semen Portland
Granulasi (udara dingin atau air
Klinker + bahan campuran (gips)
Sumber : Sagel, Kole, Kusuma, 1993
Gambar 4.2. Bagan Proses Pembuatan Semen Portland

Sumber : Sagel, Kole, Kusuma, 1993


Gambar 4.3. Proses Produksi Semen Portland

Semen portland putih adalah suatu jenis tersendiri yang mempunyai sifat
sama dengan semen portland normal namun tidak mengandung zat besi dan
digiling sangat halus. Sedangkan semen portland abu terbang adalah hasil
kombinasi semen portland dengan abu terbang. Abu terbang dimanfaatkan dari
hasil produksi gas pembakar, misalnya dari pusat tenaga listrik tenaga batu bara.
Penggunaan abu terbang ini merupakan pemanfaatan bahan sisa –sebagai salah

26
satu solusi mengurangi pencemaran udara – sebagai pengganti semen asalkan
memenuhi persyaratan tertentu. Abu terbang yang cocok digunakan adalah yang
terdiri dari > 2/3 bagian bahan yang dapat bereaksi dan bersifat pozzolan. Dengan
kata lain, abu terbang dapat bereaksi dengan ikatan kapur dan dapat membentuk
suatu persenyawaan kimiawi dengan semen dan air. Dengan demikian akan
menambahn kepadatan struktur dan perkembangan kekuatan beton. Persyaratan
lainnya mengatur pengotoran, kehalusan, kadar klorida, dan karbon yang
memenuhi syarat tertentu. Penggunaan abu terbang yang baik menghasilkan
reduksi semen sampai sekitar 25%.

4.3. Klasifikasi Semen Portland


Sesuai dengan tujuan pemakaiannya, semen portland dibagi menjadi 5
(lima) jenis, seperti yang tercantum dalam Tabel 4.1. Semen tipe I paling banyak
digunakan untuk bangunan yang tidak memerlukan persyaratan-persyaratan
khusus. Semen tipe II digunakan untuk bangunan yang terletak di daerah dengan
tanah berkadar sulfat rendah. Semen tipe III merupakan semen yang cepat
mengeras dan kekuatan yang dicapainya dalam 24 jam sama dengan kekuatan
beton dari semen biasa umur 7 hari dan mencapai kekuatan tekan setara beton dari
semen biasa umur 28 hari dalam waktu sekitar 3 (tiga) hari saja. Semen tipe V
terutama ditujukan untuk memberikan perlindungan terhadap bahaya korosi air
laut, air danau, maupun pengarah garam sulfat yang terdapat dalam air tanah.
Jenis semen lainnya – semen portland pozzolan – sering dipakai untuk konstruksi
beton massif seperti dam atau bendungan karena menghasilkan panas hidrasi yang
rendah, dan sering dimanfaatkan juga untuk konstruksi bangunan limbah karena
semen ini juga tahan terhadap sulfat.

Tabel 4.1. Jenis-Jenis dan Penggunaan Semen Portland


Jenis I semen portland untuk penggunaan umum yang tidak memerlukan
persyaratan-persyaratan khusus
Jenis II semen portland untuk penggunaan yang memerlukan ketahanan
terhadap sulfat dan panas hidrasi sedang

27
Jenis III semen portland untuk penggunaan yang menuntut persyaratan
kekuatan awal yang tinggi
Jenis IV semen portland untuk penggunaan yang menuntut persyaratan panas
hidrasi rendah
Jenis V semen portland untuk penggunaan yang menuntut persyaratan sangat
tahan terhadap sulfat

4.4. Sifat-Sifat Semen Portland


Perbedaan sifat suatu jenis semen dengan jenis semen lain terjadi karena
perbedaan susunan kimia maupun perbedaan kehalusan butirnya.
a. Susunan Kimia
Semen portland terdiri dari 4 (empat) unsur penting yaitu:
- Trikalsium silikat (C3S) atau 3CaO.SiO2
- Dikalsium silikat (C2S) atau 2CaO.SiO2
- Trikalsium aluminat (C3A) atau 3CaO.Al2O3
- Tetrakalsium aluminoferit (C3AF) atau 4CaO.Al2O3.Fe2O3
Kandungan dua unsur yang pertama biasanya merupakan 70 – 80% sehingga
dominan berpengaruh dalam sifat semen. Bila semen terkena air, C3S segera
mulai berhidrasi dan menghasilkan panas. C3S sangat berpengaruh dalam
pengerasan semen, terutama sebelum mencapai umur 14 (empat belas) hari.
C2S bereaksi dengan air lebih lambat sehingga hanya berpengaruh terhadap
pengerasan semen setelah berumur lebih dari 7 (tujuh) hari.
Unsur C2S membuat semen tahan terhadap serangan kimia (chemical attack)
dan juga mengurangi besar susutan pengeringan.
Unsur C3A berhidrasi secara exothermic dan bereaksi sangat cepat,
memberikan kekuatan sesudah 24 jam. Semen yang mengandung C 3A lebih
dari 10% akan kurang tahan terhadap asam sulfat. Oleh karena itu, semen
tahan sulfat tidak boleh mengandung unsur C 3A terlalu banyak, maksimum
5%. Semen yang terkena asam sulfat (SO 4) di dalam air atau tanah
menyebabkan keluarnya C3A yang bereaksi dengan sulfat dan mengembang
akan menyebabkan retak-retak pada beton.

28
b. Hidrasi Semen
Proses hidrasi pada semen Portland sangat kompleks, tidak semua reaksi dapat
diketahui secara rinci. Rumus proses kimia (perkiraan) reaksi hidrasi dari
unsur C2S dan C3S adalah sebagai berikut:

2 C3S + 6 H2O (C3S2H3) + 3Ca (OH)2


2 C2S + 4 H2O (C3S2H3) + Ca (OH)2

Hasil utama dari proses di atas adalah tubermorite (C3S2H3). Selama proses
hidrasi berlangsung akan keluar panas. Beberapa butir yang bersifat seperti
kristal tampak juga di dalam tubermorite. Proses hidrasi butir-butir semen
berlangsung sangat lambat. Bila masih memungkinkan, penambahan air masih
diperlukan oleh bagian dalam dari butir-butir semen – terutama yang berbutir
besar – untuk menyempurnakan proses hidrasi.
Kekuatan semen yang telah mengeras tergantung pada jumlah air yang dipakai
dalam waktu proses hidrasi berlangsung. Pada dasarnya, jumlah air yang
diperlukan untuk proses hidrasi hanya ±35% dari berat semennya.
Penambahan jumlah air akan mengurangi kekuatan setelah mengeras. Terlalu
banyak air akan mengakibatkan jarak butir-butir semen semakin jauh,
sehingga mengurangi kekuatan dan menjadi porous (berongga). Lebih banyak
air yang digunakan dalam campuran beton akan meningkatkan workability
(kemudahan pengerjaan – memudahkan pencampuran, pengangkutan, dan
penuangan beton) dan didapat beton yang tidak keropos. Akan tetapi terlalu
banyak air akan menurunkan kekuatan beton.
c. Kehalusan Butir
Reaksi antara semen dan air dimulai dari permukaan butir-butir semen. Jadi,
semakin luas permukaan butir-butir semen – dari berat semen yang sama –
makin cepat proses hidrasinya. Hal ini berarti, butir-butir semen yang halus
akan menghasilkan panas hidrasi yang lebih cepat daripada semen dengan
butir-butir yang kasar. Secara umum, semen berbutir halus meningkatkan
kohesi pada beton segar dan dapat mengurangi bleeding (naiknya air

29
campuran ke permukaan bagian yang baru dicor yang dapat mengakibatkan
retakan pada beton. Hal ini terjadi akibat kurangnya butir halus). Akan tetapi,
banyaknya butir halus akan menambah kecenderungan beton untuk menyusut
dan mempermudah terjadinya retak susut. Menurut peraturan, paing sedikit
78% berat semen harus dapat lewat ayakan nomor 200 (lubang 1/200 inci).
4.5. Persyaratan Semen Portland
Semen Portland harus memenuhi persyaratan fisika sebagai berikut:
a. kehalusan butir
Sisa di atas ayakan 0,09 mm maksimum 10% dari berat keseluruhan.
b. waktu pengikatan
Waktu pengikatan awal minimum 60 menit, dan waktu pengikatan akhir
maksimum 8 jam.

Daftar Pustaka
1. Kardiyono, 1989, “Buku Ajar Bahan Konstruksi Teknik”, Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta
2. Jackson, N., 1978, “Civil Engineering Materials”, English Language Book
Society and Macmillan, Hongkong
3. Persyaratan Umum Bahan Bangunan di Indonesia (PUBI – 1982)
4. Sagel, R., Ing. P. Kole, Ir. Gideon H. Kusuma, 1993, Pedoman Pengerjaan
Beton, Erlangga, Jakarta
5. Singh, G, & J. Singh, 1979, “Materials of Construction”, Standard Book
Service, Delhi
6. Wahyudi, L., Syahril A. Rahim, 1997, Struktur Beton Bertulang Standar Baru
SNI T-15-1991-03, Gramedia, Jakarta

30
5. BATUAN

5.1. Pendahuluan
Batuan (agregat) adalah butiran mineral alam yang berfungsi sebagai
bahan pengisi dalam campuran mortar atau beton. Batuan ini kira-kira 70% dari
volume mortar atau beton. Walaupun namanya hanya sebagai bahan pengisi, akan
tetapi batuan sangat berpengaruh terhadap sifat-sifat mortar ataupun beton,
sehingga pemilihan batuan merupakan bagian yang penting dalam pembuatan
mortar dan beton.
Dalam praktek, umumnya batuan digolongkan menjadi 3 (tiga)
kelompok:
a. Batu, dengan ukuran besar butiran lebih dari 40 mm.
b. Kerikil, dengan ukuran besar butiran 5 – 40 mm.
c. Pasir, dengan ukuran besar butiran 0,15 – 5 mm.
Sedangkan butiran dengan ukuran lebih kecil dari 0,15 mm dinamakan silt atau
tanah.

5.2. Sifat Butiran


Volume pasir atau kerikil terdiri atas volume butiran dan volume pori. Secara
matematis dapat ditulis:

dengan :
Vt : Volume total
Vb : Volume butiran
Vp : Volume pori

31
Beberapa sifat butiran antara lain:
- Porositas

- Kepampatan (kepadatan)

Dari rumus-rumus tersebut, didapat hubungan antara nilai kepadatan dan


porositas yaitu:

Bila suatu batuan kering beratnya W, maka diperoleh:

Dari hasil pengujian terhadap batuan, umumnya diperoleh:


- Porositas : 35 – 40%
- Kepampatan : 60 – 65%
- Berat jenis : 2,40 – 2,90
- Berat satuan : 1,20 – 1,80

5.3. Gradasi
Gradasi batuan adalah distribusi ukuran butiran batuan. Bila butir-butir
batuan mempunyai ukuran yang sama (seragam), volume pori akan besar.
Sebaliknya bila ukuran butir bervariasi maka volume pori akan kecil. Hal ini
karena butiran yang kecil mengisi pori di antara butiran yang lebih besar sehingga
pori-porinya menjadi sedikit (dengan kata lain kepampatannya menjadi tinggi).
Pada batuan untuk pembuatan mortar atau beton diinginkan butiran dengan
kepampatan tinggi karena volume porinya sedikit sehingga bahan ikat yang

32
dibutuhkan tidak banyak (karena bahan ikat mengisi pori antara butir batuan, bila
volume pori sedikit berarti bahan ikat sedikit pula).
Gradasi dinyatakan dengan nilai persentase dari berat butiran yang
tertinggal di dalam suatu susunan ayakan. Susunan ayakan itu adalah ayakan
dengan lubang : 76 mm; 38 mm; 19 mm; 9,6 mm; 4,80 mm; 2,40 mm; 1,20 mm;
0,60 mm, 0,30 mm; dan 0,15 mm.
Peraturan menetapkan bahwa untuk campuran beton dengan diameter
maksimum batuan sebesar 40 mm, 30 mm, 20 mm, dan 10 mm, dan harus berada
di dalam batas-batas yang tertera dalam Tabel 5.1., Tabel 5.2., Tabel 5.3., dan
Tabel 5.4. atau kurva yang tertera dalam Gambar 5.1., Gambar 5.2., Gambar 5.3.,
dan Gambar 5.4.

Tabel 5.1. Persen Butiran Yang Lewat Ayakan


(Untuk Batuan Dengan Butir Maksimum 40 Mm)

Lubang (mm) Kurva 1 Kurva 2 Kurva 3 Kurva 4

38,00 100 100 100 100


19,00 50 59 67 75

9,60 36 44 52 60

4,80 24 32 40 47

2,40 18 25 31 38

1,20 12 17 24 30

0,60 7 12 17 23

0,30 3 7 11 15

0,15 0 0 2 5

Sumber : Kardiyono, 1989

Tabel 5.2. Persen Butiran Yang Lewat Ayakan

33
(Untuk Batuan Dengan Butir Maksimum 30 Mm)
Lubang (mm) Kurva 1 Kurva 2 Kurva 3
38,00 100 100 100
19,00 74 86 93
9,60 47 70 82
4,80 28 52 70
2,40 18 40 57
1,20 10 30 46
0,60 6 21 32
0,30 4 11 19
0,15 0 1 4
Sumber : Kardiyono, 1989

Tabel 5.3. Persen Butiran Yang Lewat Ayakan


(Untuk Batuan Dengan Butir Maksimum 20 Mm)

Lubang (mm) Kurva 1 Kurva 2 Kurva 3 Kurva 4

19,00 100 100 100 100

9,60 45 55 65 75

4,80 30 35 42 48

2,40 23 28 35 42

1,20 16 21 28 34

0,60 9 14 21 27

0,30 2 3 5 12

0,15 0 0 0 2

Sumber : Kardiyono, 1989

Tabel 5.4. Persen Butiran Yang Lewat Ayakan


(Untuk Batuan Dengan Butir Maksimum 10 Mm)

34
Lubang (mm) Kurva 1 Kurva 2 Kurva 3 Kurva 4
9,60 100 100 100 100
4,80 30 45 60 75
2,40 20 33 46 60
1,20 16 26 37 46
0,60 12 19 28 34
0,30 4 8 14 20
0,15 0 1 3 6
Sumber : Kardiyono, 1989

35
Gambar 5.1. Gradasi Standar Batuan Dengan Butir Maksimum 40 mm (Sumber : Kardiyono, 1989)

36
Gambar 5.2. Gradasi Standar Batuan Dengan Butir Maksimum 30 mm (Sumber : Kardiyono, 1989)

37
Gambar 5.3. Gradasi Standar Batuan Dengan Butir maksimum 20 mm (Sumber : Kardiyono, 1989)

38
39
Gambar 5.4. Gradasi Standar Batuan Dengan Butir maksimum 10 mm (Sumber : Kardiyono, 1989)

40
Dalam pelaksanaan proyek, diperlukan suatu campuran pasir dan kerikil
dengan perbandingan tertentu agar gradasi campuran dapat masuk dalam kurva
standar di atas. Untuk mendapatkan nilai perbandingan antara berat pasir dan
kerikil yang tepat, dapat dilakukan dengan cara coba-coba sebagai berikut:
1. Tetapkan nilai banding antara berat pasir dan berat kerikil, misalnya:
P : K = 1 : 3
2. Buatlah Tabel dengan:
Kolom 1 : lubang ayakan
Kolom 2 : berat pasir yang lewat (%)
Kolom 3 : berat kerikil yang lewat (%)
Kolom 4 : kolom 2 dikalikan P
Kolom 5 : kolom 3 dikalikan K
Kolom 6 : kolom 4 ditambah kolom 5
Kolom 7 : kolom 6 dibagi (P+K)
3. Gambarkan gradasi hasil campuran (kolom 7) ke dalam diagram kurva standar
(Gambar 5.1., Gambar 5.2., Gambar 5.3., dan Gambar 5.4., tergantung besar
butir maksimum yang digunakan.
4. Bila hasil gradasi yang diperoleh di atas tidak masuk dalam kurva standar,
maka besar nilai banding antara pasir dan kerikil diulangi lagi. Demikian
berulang-ulang sehingga diperoleh diagram gradasi yang memenuhi syarat.
Contoh gradasi campuran P : K = 1 : 3 dapat dilihat pada Tabel 5.5.
berikut ini.

Tabel 5.5. Contoh Gradasi Campuran Pasir dan Kerikil dengan Campuran P : K = 1 :
3
Berat Butir Lewat
Lubang Kolom (2) x Kolom (3) Kolom (4) + Kolom (6) /
Kerikil
Ayakan Pasir (%) P xK Kolom (5) (P+K)
(mm) (%) (%) (%) (%) (%)
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

41
38,00 100 100 100 300 400 100
19,00 100 100 100 300 400 100
9,60 100 31 100 93 193 48
4,80 100 7 100 21 121 30
2,40 92 0 92 0 92 23
1,20 76 0 76 0 76 19
0,60 48 0 48 0 48 12
0,30 20 0 20 0 20 5
0,15 3 0 3 0 3 1
Keterangan:
Kolom 1 : lubang ayakan
Kolom 2 : berat pasir yang lewat (%), hasil pengayakan
Kolom 3 : berat kerikil yang lewat (%), hasil pengayakan
Kolom 4 : kolom 2 dikalikan P
Kolom 5 : kolom 3 dikalikan K
Kolom 6 : kolom 4 ditambah kolom 5
Kolom 7 : kolom 6 dibagi (P+K), kolom (6) dibagi (1+3)

Sumber : Kardiyono, 1989

5.4. Modulus Halus


Modulus halus (fineness modulus) adalah suatu indeks yang dipakai
untuk menjadi ukuran kehalusan atau kekasaran butir-butir batuan. Modulus halus
butir (mhb) didefinisikan sebagai jumlah persen kumulatif dari butir-butir batuan
yang tertinggal di atas suatu set ayakan dan kemudian dibagi 100. Susunan lubang
ayakan itu adalah: 38 mm; 19 mm; 9,6 mm; 4,80 mm; 2,40 mm; 1,20 mm; 0,60
mm, 0,30 mm; dan 0,15 mm. Makin besar nilai modulus halus menunjukkan
makin besar butir-butir batuannya.
Pada umumnya, pasir dapat dikelompokkan dalam 3 (tiga) tingkat
kehalusan, yaitu:
- Pasir halus, m.h.b. = 2,20 – 2,60
- Pasir sedang, m.h.b. = 2,60 – 2,90
- Pasir kasar, m.h.b. = 2,90 – 3,20
Adapun m.h.b. kerikil biasanya antara 5,00 sampai 8,00.
Contoh perhitungan modulus halus diberikan pada Tabel 5.6.

42
Tabel 5.6. Contoh Perhitungan Modulus Halus Butir Batuan
Lubang Berat Berat Berat Tertinggal
Ayakan Tertinggal Tertinggal Kumulatif
(mm) (gram) (%) (%)
(1) (2) (3) (4)
38,00 0 0 0
19,00 0 0 0
9,60 0 0 0
4,80 48 4,8 4,8
2,40 74 7,4 12,2
1,20 184 18,4 30,6
0,60 210 21,0 51,6
0,30 288 28,8 80,4
0,15 172 17,2 97,6
sisa 24 2,4 - *
jumlah 1000 gram 100% 277,2
* Pada sel ini harus diisikan nol (tidak dihitung)

Sumber : Kardiyono, 1989

Modulus halus butir selain menjadi ukuran halus butir juga dapat dipakai
untuk mencari nilai perbandingan berat antara pasir dan kerikil bila kita membuat
campuran beton. Modulus halus butir batuan dari campuran pasir dan kerikil
untuk bahan pembuat beton berkisar antara 5,00 dan 6,50.
Hubungan antara m.h.b. pasir, m.h.b. kerikil, dan m.h.b. campurannya
dapat dinyatakan dengan rumus sebagai berikut.

Dengan :
W = persentase berat pasir terhadap kerikil
K= m.h.b. kerikil

43
P = m.h.b. pasir
C = m.h.b. campuran
Misalnya dari hasil pemeriksaan pasir dan kerikil diperoleh m.h.b. pasir
dan kerikil berturut-turut 2,80 dan 7,60. Diinginkan m.h.b. campurannya sebesar
5,60, maka dapat dihitung:

Ini berarti berat pasir terhadap kerikil sebesar 71%, atau dapat dikatakan
perbandingan antara berat pasir dengan kerikil sebesar 71 : 100 atau 1 : 1,4.
Cara menentukan perbandingan dengan rumus ini dapat dipakai, akan
tetapi hasilnya masih harus digambarkan dengan diagram gradasi karena nilai
m.h.b. tidak menggambarkan variasi besar butir yang teliti. Jadi, sebaiknya rumus
ini hanya dipakai untuk menentukan perbandingan pasir dan kerikil secara kasar
saja sebelum memulai hitungan gradasi campuran yang menggunakan tabel-tabel
dan diagram gradasi
.
5.5. Kadar Air
Di dalam batuan, air ada yang meresap dan adapula yang terdapat pada
permukaan butir. Air yang meresap berada dalam pori antar butir dan mungkin
tidak tampak di permukaan, adapun air yang ada di permukaan butir tampak di
permukaan. Air yang ada pada batuan perlu diketahui untuk menghitung jumlah
air dalam campuran adukan beton dan untuk mengetahui berat volume batuan.
Kandungan air di dalam batuan dibedakan menjadi beberapa tingkat, yaitu:
- kering tungku
Benar-benar tidak berair, ini berarti batuan akan dapat secara penuh menyerap
air.
- kering udara

44
Permukaan butir-butir batuan kering, tetapi mengandung sedikit air di dalam
porinya. Oleh karena itu, pasir dalam tingkat ini masih dapat sedikit mengisap
air.
- jenuh-kering-muka
Pada tingkat ini, tidak ada air di permukaan, tetapi butir-butirnya berisi air
sejumlah yang dapat diserap. Dengan demikian, butiran-butiran batuan pada
tahap ini tidak dapat menyerap air lagi dan tidak menambah jumlah air bila
dipakai dalam campuran adukan beton.
- basah
Pada tingkat ini, butir-butir mengandung banyak air, baik di permukaan
maupun di dalam butiran, sehingga bila dipakai untuk campuran akan
memberi air.
Kadar air dalam pasir dapat diukur dengan cara sebagai berikut: Pasir
ditimbang sebanyak 500 gram. Lalu dikeringkan pasir tersebut dengan
memasukkannya ke dalam oven sampai tidak berkurang beratnya.

Dalam perhitungan campuran beton, dipakai berat satuan pasir tingkat


jenuh-kering-muka karena tidak menambah atau mengurangi jumlah air ke dalam
campuran. Sering pula dipakai berat jenis pasir jenuh-kering-muka, yang
diperoleh dengan rumus:

Dengan :
A = berat jenis pasir jenuh-kering-muka di udara
B = berat pasir tersebut di dalam air

5.6. Pemeriksaan Agregat


Untuk mengetahui sifat-sifat pasir, cara-cara pemeriksaan yang dapat
dilakukan antara lain:

45
a. Ambil sedikit pasir, kemudian remaslah pasir dengan jari. Bila tampak kotoran
tanah menempel pada tangan berarti pasir tersebut mengandung tanah liat.
b. Pasir dapat juga diperiksa dengan memasukkan sedikit pasir ke dalam mulut.
Rasanya dapat dipakai untuk mendeteksi adanya kandungan garam.
c. Isilah gelas dengan air, lalu masukkan sedikit pasir ke dalamnya. Setelah
diaduk dan didiamkan beberapa waktu. Bila pasir tersebut mengandung tanah
liat, akan tampak endapan di atas pasirnya.
d. Untuk memeriksa kandunngan zat organik, pasir dimasukkan ke dalam larutan
Natrium Hidroksida 3%. Setelah diaduk dan didiamkan selama 24 jam, cairan
di atas endapan tidak boleh lebih gelap dari warna pembanding.
e. Sifat kekal diuji dengan larutan jenuh garam Natrium Sulfat atau Magnesium
Sulfat. Jika diuji dengan Natrium Sulfat, maka fraksi yang hancur tidak boleh
lebih dari 12% beratnya, dan jika diuji dengan Magnesium Sulfat, fraksi yang
hancur tidak boleh lebih dari 10% beratnya.
Untuk memeriksa kerikil alam dan batu pecah, selain pemeriksaan
dengan cara-cara di atas, dilakukan pula pemeriksaan kekerasan/ketahanan aus
menggunakan bejana Rudellof atau mesin Los Angeles. Pada pemeriksaan
kekerasan dengan bejana Rudellof, bagian yang hancur (yang tembus ayakan 2
mm) tidak boleh lebih dari 32%. Sedangkan pemeriksaan dengan mesin Los
Angeles, bagian yang hancur tidak boleh melebihi 50%.

5.7. Pasir
Pasir terbentuk dari pecahan batu oleh berbagai sebab. Pasir dapat
diperoleh dari dalam tanah, dari dasar sungai, atau dari tepi laut. Oleh karena itu,
pasir dapat digolongkan menjadi 3 (tiga) macam:

a. pasir tanah/galian
Diperoleh langsung dari permukaan tanah atau dengan cara menggali terlebih
dahulu. Pasir ini biasanya tajam, bersudut, berpori, dan bebas dari kandungan
garam, tetapi biasanya harus dibersihkan dari kotoran tanah dengan jalan
dicuci.

46
b. pasir sungai
Pasir ini diperoleh langsung dari dasar sungai, yang pada umumnya berbutir
halus, bulat-bulat akibat proses gesekan. Daya lekat antar butir agak kurang
karena butir yang bulat. Karena besar butir-butirnya kecil, maka baik dipakai
untuk memplester tembok.

c. pasir laut
Pasir laut diambil dari pantai. Butir-butirnya halus dan bulat karena gesekan.
Pasir ini jelek karena banyak mengandung garam-garaman yang dapat
menyerap kandungan air dari udara dan mengakibatkan pasir selalu agak
basah dan menyebabkan terjadinya pengembangan bila sudah menjadi
bangunan. Oleh karena itu, sebaiknya pasir laut jangan dipakai.

Volume pasir biasanya mengembang bila sedikit mengandung air


disebabkan adanya lapisan tipis air di sekitar butir-butir pasir. Ketebalan lapisan
air itu bertambah dengan bertambahnya kandungan air di dalam pasir, dan ini
berarti pengambangan volume secara keseluruhan. Akan tetapi pada suatu kadar
air tertentu, volume pasir mulai berkurang dengan bertambahnya kadar air. Pada
suatu kadar air tertentu pula, besar penambahan volume pasir itu menjadi nol
(berarti volume pasir menjadi sama dengan volume pasir kering).
Untuk menghindari kesalahan perhitungan akibat pengaruh pengembangan
pasir tersebut, perlu dilakukan sedikit koreksi bila mencampur pasir untuk mortar
atau beton. Pasir halus mengembang lebih banyak daripada pasir yang kasar.
Besar pengembangan volume pasir itu dapat mencapai 25 – 40% pada kadar air
sekitar 5 – 8%. Pengembangan volume pasir dapat dilihat pada Gambar 5.5.

47
Sumber : Kardiyono, 1989
Gambar 5.5. Pengembangan Volume Pasir Akibat Kandungan Air

Untuk mengetahui besar pengembangan volume pasir dilakukan percobaan


sebagai berikut. Mula-mula pasir yang sedikit mengandung air dimasukkan ke
dalam gelas ukur. Catatlah tinggi pasir tersebut, misalnya h1. Keluarkanlah pasir
dari gelas ukur dan usahakan tidak ada pasir yang tumpah. Isilah gelas ukur tadi
dengan air sampai kira-kira lebih dari setengah tinggi h 1. Masukkan dengan hati-
hati pasir yang tadi ke dalam gelas ukur dan aduklah sebentar. Setelah tenang,
akan tampak pasir mengendap, lalu ukurlah tinggi pasir endapan di bawah muka
air itu, misalnya h2. Tinggi pasir endapan ini sama dengan jika pasir itu kering.

Persyaratan pasir untuk bahan bangunan antara lain:


a. Butir-butirnya tajam, kuat, dan bersudut.

48
b. Tidak mengandung tanah atau kotoran lain. Jumlah kandungan kotoran (lewat
ayakan 0,15 mm) harus tidak lebih dari 5% untuk pasir, sedangkan untuk
kerikil maksimum 1%.
c. Tidak mengandung garam yang menghisap air dari udara.
d. Tidak boleh mengandung zat-zat yang dapat bereaksi dengan kapur atau
semen. Kandungan zat organik dapat mengurangi mutu beton.
e. Harus mempunyai gradasi yang baik sehingga rongganya sedikit. Untuk pasir,
m.h.b. antara 1,50 – 3,80 sehingga hanya memerlukan bahan ikat sedikit saja.
f. Bersifat kekal, tidak hancur atau berubah karena cuaca.

Jika pasir yang baik tidak dapat diperoleh atau jauh dari lokasi pekerjaan,
maka bahan lain, misalnya pecahan batu, pecahan bata, atau pecahan genteng
keramik (tanah liat bakar) dapat dipakai untuk menggantikan pasir. Batu pecah
merupakan butir-butir halus dari hasil pemecahan batu. Butir-butirnya berbentuk
tajam sehingga dapat sedikit memperkuat mortarnya. Pecahan bata yang
digunakan sebagai pengganti pasir harus bebas dari kotoran dan tidak
mengandung zat-zat yang merusak. Mutu tanah liat berbeda, begitu pula dengan
cara/suhu pembakaran yang juga berbeda dapat mengakibatkan mutu bahan ini
juga berbeda-beda. Pecahan bata bersifat seperti pasir, dapat sedikit menaikkan
kekuatan mortar, dan menaikkan sifat hidrolis mortar. Namun pecahan bata
mudah terpengaruh oleh udara dan kelembaban, sehingga mortar dari pecahan
bata ini sebaiknya tidak dipakai untuk struktur luar.

5.8. Agregat Untuk Beton


Agregat untuk beton harus memenuhi ketentuan dari Mutu dan Cara Uji
Agregat Beton dalam SII 0052-80 ataupun persyaratan dari ASTM C330 tentang
Specification for Concrete Agregate. Ukuran nominal butir agregat terbesar tidak
boleh melebihi nilai berikut:
- 1/5 jarak terkecil antara bidang-bidang samping cetakan.
- 1/3 tebal plat

49
- ¾ jarak bersih minimum antar batang tulangan, berkas batang tulangan,
ataupun kabel prategang atau tendon prategang.

Daftar Pustaka
1. Kardiyono, 1989, “Buku Ajar Bahan Konstruksi Teknik”, Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta
2. Mindness, S., & Young, J.F., 1981, “Concrete”, Prentice-Hall, Inc., New
Jersey.
3. Popovics, S., 1982, “Fundamentals of Portland Cement Concrete”’ John
Wiley & Sons
4. Prawoto, H, 1995, Diktat Kuliah Struktur Beton, Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta
5. Puslitbang Pemukiman, Persyaratan Umum Bahan Bangunan di Indonesia
(PUBI – 1982)
6. Raju, K.N., 1983, “Design of Concree Mixes”, CBS Publishers & Distributors,
Delhi
7. Singh, G, & J. Singh, 1979, “Materials of Construction”, Standard Book
Service, Delhi
8. Wahyudi, L., Syahril A. Rahim, 1997, Struktur Beton Bertulang Standar Baru
SNI T-15-1991-03, Gramedia, Jakarta

50
6. BETON

6.1. Pendahuluan
Beton merupakan bahan bangunan yang dihasilkan dari campuran air,
semen portland, pasir, dan kerikil dengan perbandingan tertentu dan cara-cara
tertentu. Air dan semen dicampur menjadi bahan pengikat, sedangkan batuan
(pasir dan kerikil) di dalam beton berfungsi sebagai bahan pengisi (filler). Bahan-
bahan dasar beton setelah dicampur merata akan menghasilkan suatu campuran
yang plastis yang disebut adukan yang akan dituang ke dalam cetakan (bekisting)
yang dibuat sedemikian rupa hingga sesuai dengan bentuk padat yang diinginkan.
Biasanya beton dikombinasikan dengan baja tulangan menjadi beton bertulang.
Penggunaan beton bertulang sebagai bahan bangunan saat ini sangat
meluas, baik dalam pembangunan gedung, jalan raya, jembatan, bangunan
pengairan, dan lain-lain. Sebagai bahan bangunan, beton mempunyai kelebihan-
kelebihan antara lain: harga beton relatif lebih murah daripada baja, beton tidak
memerlukan biaya perawatan sementara baja harus dicat secara berkala untuk
mencegah karat, beton tahan lama karena tidak akan berkarat seperti baja ataupun
busuk seperti kayu. Selain itu, beton memiliki kekuatan tekan yang besar, bahkan
jika dikombinasikan dengan baja tulangan, beton bertulang mampu terhadap
tekan, tarik, puntir, dan geser. Kekuatan beton dinyatakan melalui kuat tekannya
(MPa) melalui pengujian kuat tekan terhadap kubus/silinder beton.
Untuk mendapatkan beton dengan kuat tekan yang diharapkan,
diperlukan perencanaan campuran, pelaksanaan pengecoran, dan perawatan yang
baik. Pencampuran harus direncanakan dengan baik karena jika proporsi
campuran tidak tepat, maka beton yang dihasilkan dapat menjadi kurang pampat
yang menyebabkan rendahnya kuat tekan, keropos karena proporsi agregat yang
tidak sesuai, dan lain-lain.

51
Bahan-bahan dasar beton – yaitu semen portland, pasir, kerikil, dan air
dicampur menjadi campuran yang plastis, kemudian dituang ke dalam cetakan
sesuai dimensi yang diinginkan. Karena proses kimia yang terjadi antara semen
portland dan air sebagai bahan pengikat, sifat campuran yang plastis berubah
menjadi keras seperti batuan. Batuan – yaitu pasir dan kerikil – tidak mengalami
proses kimia, melainkan sebagai bahan yang diikat.
Beton yang telah mengeras memiliki kekuatan tekan, tarik, dan lekat,
rapat air, tahan terhadap aus, cuaca, zat kimia, dan sebagainya, susutan
pengerasan yang rendah, rayapan (pertambahan panjang) yang kecil, dan
elastisitas besar. Pada umumnya, apabila beton mempunyai kuat tekan tinggi,
sifat-sifat lain juga akan lebih baik. Pada dasarnya beton bukan bahan yang elastis
karena beton akan bersifat elastis hanya bila bebannya kecil saja. Beban yang
terus-menerus bekerja pada beton menyebabkan beton mengalami deformasi tetap
yang disebut rayapan (creep). Deformasi rayapan ini lebih besar daripada
deformasi elastis, dan pada beton umumnya deformasi rayapan ini berakibat baik
karena menjadikan beban terdistribusi dengan baik di dalam struktur. Daerah
elastis beton rendah, terutama pada tarik.
Dalam membicarakan beton, beberapa definisi yang patut diketahui di
antaranya sebagai berikut:
a. Agregat : material granular seperti pasir, kerikil, batu pecah, dan kerak tanur
tinggi, yang dipakai bersama-sama dengan suatu media pengikat sehingga
terbentuk suatu beton.
b. Agregat halus : pasir alam hasil desintegrasi alami dari batuan, atau pasir
buatan yang dihasilkan oleh industri pemecah batu, yang mempunyai ukuran
butiran sampai dengan 5 mm.
c. Agregat kasar : kerikil hasil desintegrasi alami dari batuan, atau hasil
pemecahan batu, yang mempunyai ukuran butiran antara 5 mm sampai 40
mm.
d. Bahan tambahan : suatu bahan yang dapat berupa bubuk atau cairan yang
ditambahkan ke dalam campuran beton selama pengadukan, dengan jumlah
tertentu, dengan tujuan untuk mendapatkan beton dengan sifat-sifat khusus.

52
e. Beton normal : beton yang mempunyai berat jenis antara 2.200 t/m 3 hingga
2.500 t/m3.
f. Beton ringan struktur : beton yang mengandung agregat ringan. Berat jenisnya
tidak lebih dari 1.900 t/m3.
g. Beton polos (beton) : beton tanpa tulangan atau beton dengan tulangan di
bawah ketentuan tulangan minimumnya.
h. Kuat tekan beton yang disyaratkan (f”c) : kuat tekan beton yang ditetapkan
dan digunakan di dalam perencanaan struktur. Dinyatakan dalam satuan MPa
dan umumnya digunakan standar umur beton 28 hari.

6.2. Kekuatan Beton


Beberapa sifat setelah mengeras antara lain: kuat tekan, kuat tarik,
kekuatan lekat, kerapatan air, ketahanan terhadap ausan/cuaca/zat kimia, susutan
pengerasan, rayapan, elastisitas. Sifat paling penting dari beton adalah kuat tekan.
Umumnya bila kuat tekannya tinggi, maka sifat-sifat lainnya juga baik.
Pengukuran kuat tekan beton dapat dilakukan dengan cara uji destruktif
– yaitu pengujian tekan sampai hancur terhadap benda uji berbentuk silinder atau
kubus – dan uji non-destruktif – pengujian pada struktur beton yang sudah
keras/sudah jadi tanpa merusak benda ujinya. Alat yang digunakan adalah
Hammer Test atau Ultrasonic Pulsa Velocity Test (UPVT)/Pundit.
Pengujian tekan dengan mesin uji tekan beton dilakukan dengan
membuat benda uji berupa kubus beton – dengan ukuran tiap sisi 150 mm – atau
silinder beton – dengan diameter 150 mm dan tinggi 300 mm. Kedua benda uji ini
ditekan dengan mesin tekan sampai pecah. Beban tekan maksimum yang
memecahkan itu dibagi dengan luas penampang kubus atau luas penampang
silinder, diperoleh nilai kuat tekan yang dinyatakan dalam MPa atau kg/cm2. Dari
hasil percobaan diperoleh bahwa kuat tekan beton dengan benda uji silinder
menghasilkan kuat tekan sekitar 84% daripada benda uji kubus. Adakalanya
pengujian kuat tekan ini dilakukan pada saat umur beton kurang dari 28 hari,
sehingga diperlukan faktor yang menghubungkan hasil kuat tekan beton umur
tertentu ke kuat tekan beton umur 28 hari, sebagaimana rumusan Branson ini:

53
dengan :
h = umur beton
f’c28 = kuat tekan beton yang disyaratkan
f’c = kuat tekan beton pada umur h

Kuat tekan beton setelah mengeras tergantung pada faktor air semen
(f.a.s.), jenis semen, gradasi batuan, bentuk batuan, ukuran maksimum batuan, dan
cara pengerjaan (pencampuran, pengangkutan, pemadatan, dan perawatan).

a. Faktor air semen (f.a.s.)


Faktor air semen ialah perbandingan antara berat air dan berat semen di dalam
campuran adukan beton. Kekuatan beton dan kemudahan pengerjaan
campuran adukan beton sangat dipengaruhi oleh jumlah air campuran yang
dipakai. Untuk suatu perbandingan bahan pencampur beton tertentu
diperlukan jumlah air yang tertentu pula agar diperoleh kekuatan beton yang
maksimum. Jumlah air yang lebih atau kurang dari jumlah tertentu tersebut
akan menghasilkan kekuatan beton yang lebih rendah.
Pada dasarnya semen membutuhkan air sekitar 35% berat semen untuk
berekasi secara sempurna. Akan tetapi bila berat air kurang dari 40% berat
semen, reaksi kimia tersebut tidak dapat selesai dengan sempurna dan adukan
beton sulit dipadatkan. Sulitnya pemadatan adukan beton ini berakibat beton
yang dihasilkan berongga sehingga kekuatan beton berkurang.
Hubungan antara f.a.s. dengan kekuatan beton menurut Duff Abrams (1919)
sesuai dengan rumus di bawah ini dan sesuai dengan Gambar 6.1.

54
dengan:
fc = kekuatan beton pada umur tertentu
x = perbandingan berat antara air dan semen
A, B = konstanta

Sumber : Kardiyono, 1989


Gambar 6.1. Hubungan Kuat Tekan dan Faktor Air Semen

Untuk perancangan secara praktis, dapat digunakan hubungan antara f.a.s.


dengan kuat tekan beton pada umur 28 hari seperti pada Tabel 6.1.

Tabel 6.1. Hubungan Antara f.a.s. dengan Kuat Tekan Beton Pada Umur 28
Hari
Faktor Air Semen Kuat Tekan Beton Umur 28 Hari (MPa)

55
(f.a.s.) Beton Kedap Air Beton Tidak Kedap Air
0,356 35 42,5
0,445 28 35
0,534 22,5 28
0,623 18,5 22,5
0,712 14 17,5
Sumber: American Concrete Institute
b. Umur beton
Kekuatan beton (kuat tekan, kuat tarik, kuat lekat) bertambah tinggi dengan
bertambahnya umur dihitung sejak beton dibuat. Kenaikan kekuatan beton
mula-mula cepat, akan tetapi lama-lama kenaikan itu melambat (seperti pada
Gambar 6.2). Oleh karena itu, digunakan kekuatan beton umur 28 hari sebagai
standar. Bila diinginkan untuk mengetahui kekuatan beton umur kurang dari
28 hari dapat dilakukan dengan menguji kuat tekan beton pada umur tertentu
dikalikan dengan faktor pengali untuk mendapatkan perkiraan kuat beton pada
umur 28 hari.

Sumber : Kardiyono, 1989


Gambar 6.2. Hubungan Antara Umur dan Kuat Tekan Beton

56
6.3. Semen
Semen portland yang digunakan sebagai bahan ikat beton dapat dilihat
dalam Bab 4.

6.4. Air
Dalam campuran beton, air akan bereaksi dengan semen portland. Air
yang digunakan dalam campuran beton tidak boleh mengandung minyak, asam,
alkali, garam-garaman, dan bahan-bahan organik karena dapat mengurangi
kekuatan beton yang dihasilkan. Dapat dikatakan bahwa air yang dapat diminum
dapat digunakan sebagai campuran beton. Air laut dapat dipakai, akan tetapi
biasanya kekuatan beton yang dihasilkan hanya sekitar 80 – 90% dibandingkan
kekuatan beton yang menggunakan air tawar.
Air yang digunakan dalam campuran beton harus memenuhi syarat:
a. Tidak mengandung lumpur (benda melayang lainnya) >2
gram/liter.
b. Tidak mengandung garam-garaman yang merusak beton (asam, zat organik,
dan sebagainya) > 15 gram/liter.
c. Tidak mengandung klorida (Cl) > 0,5 gram/liter.
d. Tidak mengandung senyawa sulfat > 1 gram/liter.
Jika persyaratan tersebut tidak dipenuhi maka akan mempengaruhi
proses reaksi kimia semen, mempengaruhi lekatan antara pasta semen dengan
butiran batuan, mengurangi kekuatan dan keawetan beton, dan dapat juga
membuat beton mengembang sehingga terjadi retak-retak. Secara umum, air yang
dapat digunakan untuk campuran beton adalah air yang bila dipakai akan dapat
menghasilkan beton dengan kekuatan > 90% kekuatan beton yang memakai air
suling.
Proporsi air yang sedikit akan memberikan kekuatan yang tinggi pada
beton, tetapi kelemasan beton (daya kerja/workability) akan berkurang.
Sedangkan proporsi air yang agak banyak akan memberikan kemudahan pada
waktu pelaksanaan pengecoran, tetapi kuat tekan beton menjadi rendah. Proporsi

57
air ini dinyatakan dalam faktor air semen/rasio air semen (water-cement ratio),
yaitu angka yang menyatakan perbandingan antara berat air (kg) dibagi dengan
berat semen (kg) dalam adukan beton tersebut.

6.5. Batuan (Agregat)


Yang dimaksud dengan batuan (agregat) adalah pasir dan kerikil. Pasir
didefinisikan sebagai agregat dengan ukuran maksimum butirannya kurang atau
sama dengan 5 mm, sedangkan kerikil adalah agregat yang ukuran minimum
butirannya lebih dari 5 mm. Batuan yang dipakai untuk campuran beton tidak
boleh mengandung zat-zat perusak yang dapat merusak secara fisik maupun
secara kimia. Batuan yang digunakan harus bersih, tidak berselaput, kuat, padat,
dan tidak berubah bentuk oleh pengaruh cuaca.
Bentuk batuan yang yang dipakai dapat berbentuk bulat, bersudut, dan
campuran. Bentuk batuan yang bulat tidak mempunyai ikatan antar butir
(interlocking) yang baik. Bentuk butiran yang pipih atau panjang merupakan
butiran yang kurang baik karena kekuatannya rendah.
Butiran yang permukaannya kasar mempunyai lekatan yang baik dengan
pasta semennya. Butiran yang permukaannya halus tetapi berlubang-lubang juga
memiliki ikatan yang baik dengan pastanya. Butiran yang berongga-rongga dan
menghisap air tidak baik untuk digunakan.
Gradasi butiran (variasi ukuran butir) berpengaruh terhadap jumlah volume
di antara rongga butir. Pengaturan gradasi butiran dimaksudkan agar batuan yang
kecil mengisi rongga-rongga di antara butiran-butiran yang lebih besar sehingga
didapatkan campuran yang padat/pampat dengan volume rongga yang sedikit dan
akibatnya hanya diperlukan pasta semen yang sedikit pula. Gradasi batuan juga
berpengaruh terhadap kemudahan cara pengerjaan (workability) dalam
pengadukan, pengangkutan, penuangan, dan pemadatan. Gradasi butir yang baik
juga dapat mencegah adanya pemisahan butir saat penuangan/pemadatan maupun
keluarnya air dari campuran (bleeding). Bentuk diagram gradasi butiran batuan
yang baik untuk campuran beton telah dibahas dalam Bab 5.

58
Adukan beton dengan tingkat kemudahan pengerjaan (workability) yang
sama atau untuk menghasilkan beton dengan kekuatan yang sama, akan
membutuhkan semen yang lebih banyak apabila dipakai batuan dengan butir-butir
yang kecil-kecil. Oleh karena itu, untuk mengurangi biaya pembuatan beton
dibutuhkan ukuran-ukuran butir yang besar. Pengurangan adukan semen juga
berarti pengurangan panas hidrasi sehingga dapat mengurangi kemungkinan beton
untuk retak-retak akibat susut atau perbedaan panas yang besar. Namun besar
butir maksimum batuan tidak boleh terlalu besar, sebagaimana syarat berikut:
a. Butir batuan tidak boleh > ¾ kali jarak bersih antar baja tulangan atau antara
baja tulangan dengan cetakan.
b. Butir batuan tidak boleh > 1/3 kali tebal plat.
Dengan pertimbangan tersebut di atas, maka besar butir maksimum batuan yang
umum dipakai adalah 10 mm, 20 mm, 30 mm, atau 40 mm.

6.6. Bahan Kimia Tambahan


Bahan kimia tambahan (chemical admixture) ialah bahan kimia yang
dicampurkan pada adukan beton dengan tujuan agar dihasilkan adukan beton
segar atau beton yang lebih baik, misalnya bahan adukan beton yang lebih encer
agar dapat mudah dikerjakan, beton yang lebih cepat mengeras, dan sebagainya.
Tujuan dari penambahan bahan kimia ini adalah untuk memperbaiki sifat-sifat
tertentu dari campuran beton, tetapi tidak dapat mengurangi komposisi spesi beton
yang buruk sehingga harus diusahakan komposisi beton seoptimal mungkin
dengan bahan-bahan dasar yang sesuai. Sebelum bahan kimia pembantu dipakai,
sebaiknya dibuktikan lebih dahulu dengan percobaan laboratorium untuk
memastikan manfaatnya.
Bahan kimia tambahan dapat dibedakan menjadi 5 (lima) jenis:
a. Bahan tambahan untuk mengurangi jumlah air yang dipakai. Dengan
demikian, adukan yang dibuat akan mempunyai f.a.s. yang lebih rendah pada
nilai slump yang sama.
b. Bahan tambahan untuk memperlambat proses pengikatan dan pengerasan
beton.

59
c. Bahan tambahan untuk mempercepat proses pengikatan dan pengerasan beton.
d. Bahan tambahan berfungsi ganda yang berfungsi untuk mengurangi air dan
memperlambat proses pengikatan dan pengerasan beton.
e. Bahan tambahan berfungsi ganda yang berfungsi untuk mengurangi air dan
mempercepat proses pengikatan dan pengerasan beton.
Bahan kimia tambahan yang umum dipakai adalah:
a. Super-plasticizer, yang bertujuan untuk mempertinggi kelecakan dan
mengurangi jumlah air pencampur.
b. Pembentuk gelembung udara, yang bertujuan untuk meninggikan sifat kedap
air dan meninggikan kelecakan.
c. Retarder, untuk memperlambat awal pengikatan/pengerasan, memperpanjang
waktu pengerjaan, membatasi panas hidratasi (struktur tingkat berat).
d. Bahan warna, untuk memberi warna permukaan.

6.7. Sifat Beton Segar


Beton segar mempunyai 3 (tiga) sifat penting yaitu kemudahan
pengerjaan (workability), pemisahan kerikil (segregation), dan pemisahan air
(bleeding). Kemudahan pengerjaan (workability) merupakan tingkat kemudahan
adukan untuk diaduk, diangkut, dituang, dan dipadatkan. Tingkat kemudahan
pengerjaan berkaitan erat dengan kelecakan adukan beton. Makin cair adukan
beton, makin mudah pengerjaannya. Untuk mengetahui tingkat kelecakan
(keenceran/kepadatan) adukan beton, dilakukan percobaan slump. Makin besar
nilai slump berarti adukan beton semakin encer dan berarti makin mudah
dikerjakan. Pada umumnya nilai slump berkisar antara 5 – 12,5 cm.
Percobaan slump dilakukan dengan corong baja yang berbentuk konus
berlubang pada kedua ujungnya. Bagian bawah berdiameter 20 cm, bagian
atasnya berdiameter 10 cm dan tinggi 30 cm. Alat lain adalah tongkat baja
berujung bulat dengan diameter 16 mm dan panjang 60 cm. Mula-mula corong
baja ditaruh di atas permukaan yang rata dan kedap air. Adukan beton
dimasukkan ke dalam corong tersebut dengan hati-hati dan dijaga agar corong
tidak bergerak. Masukkan adukan kira-kira 1/3 volume corong, lalu ditusuk-tusuk

60
sebanyak 25 kali dengan tongkat baja. Tambahkan adukan kira-kira sebanyak tadi,
dan ditusuk-tusuk. Penusukan jangan sampai menusuk lapisan pertama. Masukkan
lagi adukan lagi sampai corong penuh, kemudian ditusuk-tusuk lagi. Setelah itu,
ratakan permukaan adukan sama dengan permukaan corong. Tunggu 60 detik,
kemudian tarik corong lurus ke atas. Ukurlah penurunan permukaan atas adukan
beton setelah corong ditarik. Besar penurunan adukan beton tersebut disebut nilai
slump. Nilai slump yang diperoleh merupakan keenceran adukan. Makin besar
nilai slump berarti makin encer adukan. Nilai slump pada pekerjaan beton biasa
umumnya berkisar antara 75 mm – 100 mm, sedangkan pada pekerjaan beton
yang pemadatannya menggunakan alat getar, nilai slump-nya dapat sampai 50 mm
(lebih kental). Pengukuran slump dapat dilihat pada Gambar 6.3.

Sumber : Sagel, Kole, Kusuma, 1993

61
(a) Slump sesungguhnya (b) Slump geser (c) Terlalu encer
Sumber : Kardiyono, 1989
Gambar 6.3. Percobaan Slump

Perbandingan bahan-bahan dan sifat-sifat bahan berpengaruh terhadap


kemudahan pengerjaan beton segar. Hal-hal yang mempengaruhi sifat kemudahan
pengerjaan antara lain:
a. Jumlah air yang dipakai dalam campuran adukan beton. Makin banyak air
yang digunakan, makin mudah adukan beton tersebut dikerjakan.
b. Penambahan semen ke dalam campuran memudahkan cara pengerjaan adukan
karena penambahan semen pasti diikuti dengan bertambahnya air campuran
untuk mempertahankan nilai f.a.s.
c. Bila gradasi campuran pasir dan kerikil mengikuti peraturan yang ditetapkan –
seperti telah diulas pada Bab 5 – maka adukan akan mudah dikerjakan.
d. Pemakaian butir-butir yang bulat mempermudah cara pengerjaan beton.
e. Makin besar ukuran butir maksimum kerikil yang dipakai, makin mudah
pengerjaannya.
f. Cara pemadatan adukan beton menentukan sifat pengerjaan yang berbeda.
Bila pemadatan dilakukan dengan alat getar, adukan dapat dibuat lebih kental
sehingga hanya diperlukan jumlah air yang lebih sedikit daripada jika
dipadatkan dengan tangan.
Segregation adalah kecenderungan butir-butir kerikil untuk memisahkan
diri dari campuran adukan beton. Kecenderungan ini makin kuat bila campuran
kurus (kurang semen), terlalu banyak air, semakin besarnya ukuran maksimum

62
butir kerikil, atau semakin kasarnya permukaan kerikil. Pemisahan kerikil dari
adukan beton berakibat kurang baik terhadap betonnya setelah mengeras. Usaha-
usaha yang dapat dilakukan untuk mengurangi kecenderungan pemisahan kerikil
di antaranya adalah penggunaan air sesedikit mungkin, adukan beton jangan
dijatuhkan dari ketinggian yang terlalu besar, dan cara pengangkutan, penuangan,
maupun pemadatan harus dilakukan mengikuti cara-cara yang benar.
Kecenderungan air dalam campuran untuk naik ke atas (memisahkan
diri) pada beton segar yang baru saja dipadatkan disebut bleeding. Air naik sambil
membawa semen dan butir-butir halus pasir, sehingga setelah beton mengeras
akan tampak sebagai lapisan selaput yang disebut laitance. Untuk mengurangi
kecenderungan pemisahan air dapat dilakukan pemberian lebih banyak semen,
penggunaan air sesedikit mungkin, penggunaan butiran pasir halus lebih banyak,
dan memasukkan sedikit udara dalam adukan.

6.8. Pengukuran Bahan Campuran Beton


Pengukuran bahan campuran beton dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara
yaitu perbandingan berat dan perbandingan volume. Semen portland umumnya
diukur berdasarkan beratnya atau dapat juga berdasarkan volumenya atau
berdasarkan jumlah kantong. Di lapangan, pengukuran pasir diukur jumlahnya
dengan timbangan untuk pekerjaan-pekerjaan besar, sedangkan untuk pekerjaan-
pekerjaan kecil umumnya pasir diukur dengan volumenya. Kandungan air di
antara butir-butir pasir harus dipertimbangkan karena dapat mengurangi berat
satuan air akibat sifat anomali air. Pengukuran kerikil di lapangan dilakukan
sesuai dengan cara pengukuran pasir. Sedangkan air umumnya diukur dengan
volumenya. Jumlah air ditetapkan berdasarkan persentasi terhadap berat
semennya dan harus memperhitungkan jumlah air yang telah ada di dalam pasir
maupun kerikil.

6.9. Perencanaan Campuran Adukan Beton

63
Perencanaan campuran beton pada dasarnya adalah menetapkan proporsi
bahan-bahan penyusun beton dan dimaksudkan untuk mendapatkan beton yang
ekonomis dan memenuhi syarat teknis yang ditetapkan. Perencanaan adukan
beton dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran perbandingan bahan-bahan
beton sebaik-baiknya untuk mendapatkan beton dengan kekuatan dan kemudahan
pengerjaan yang diinginkan. Hal-hal yang dapat mempengaruhi proporsi
campuran antara lain ialah gradasi dan sifat-sifat agregat, berat jenis bahan,
karakteristik semen, dan faktor air semen (f.a.s.). Secara garis besar, faktor-faktor
yang mempengaruhi mutu beton adalah bahan, proses pencampuran,
pengangkutan, pengecoran, pemadatan, finishing, dan pemeliharaan (curing).
Beton yang diinginkan adalah beton dengan kuat tekan tertentu sesuai
dengan spesifikasi – misalnya 20 MPa, 22 MPa, 25 MPa, beton yang mudah
dikerjakan (mudah diangkut, dituang, dan dipadatkan), tahan lama, tidak lekas
lapuk, tidak bocor, ekonomis, tahan aus (misalnya untuk jalan raya, dinding
saluran air sungai), dan lain-lain.
Cara perencanaan perbandingan bahan-bahan beton di Indonesia antara
lain: American Concrete Institute (ACI), Portland Cement Association (PCA),
coba-coba, Road Note No. 4 (Inggris), Department of Environment (Inggris),
Gabungan antara Road Note No. 4 (Inggris) dan Department of Environment
(Inggris). Cara sesuai ACI, PCA, dan coba-coba sekarang sudah tidak banyak
digunakan di Indonesia. Di dalam penentuan campuran coba (trial mix) secara
praktis, umumnya cukup memuaskan jika digunakan kuat tekan rencana sebesar
kuat tekan yang disyaratkan ditambah 12 MPa.

a. Perancangan Menurut Road Note No. 4 (Inggris)


Cara perancangan menurut Road Note No. 4 disimpulkan atas penelitian
Glanville dkk. Yang ditekankan pada pengaruh gradasi agregat terhadap
kemudahan pengerjaan adukan beton.
Langkah-langkah perancangan adukan beton menurut Road Note No. 4 adalah
sebagai berikut:

64
1. Hitung kuat tekan rata-rata beton sesuai yang disyaratkan dalam
spesifikasi, dengan rumus sebagai berikut:

dengan :
f’cr = kuat tekan rata-rata (MPa)
f’c = kuat tekan yang disyaratkan (MPa)
m = nilai margin (MPa)
sd = nilai deviasi standar, dari Tabel 6.2.
atau jika belum diketahui tingkat mutu pekerjaannya, diambil sd
= 7,0

Tabel 6.2. Nilai Deviasi Standar Untuk Berbagai Tingkat Pengendalian Mutu
Pekerjaan
Tingkat Pengendalian Mutu Pekerjaan Sd (MPa)
Memuaskan 2,8
Sangat Baik 3,5
Baik 4,2
Cukup 5,6
Jelek 7,0
Tanpa Kendali 8,4

2. Tetapkan faktor air semen berdasarkan kuat tekan rata-rata pada umur
beton yang dikehendaki dan jenis semen yang dipakai (lihat Gambar 6.4.
dan Gambar 6.5.) dan keawetannya (lihat Tabel 6.3.). Dari keduanya,
dipilih hasil yang terendah.

Tabel 6.3. Persyaratan Faktor Air Semen Maksimum Untuk Berbagai Pembetonan
dan Lingkungan Khusus

65
Jenis Pembetonan f.a.s. Maksimum

Beton di dalam ruang bangunan :

a. Keadaan keliling non-korosif 0,60

b. Keadaan keliling korosif, disebabkab oleh kondensasi atau uap 0,52


korosif

Beton diluar ruang bangunan :

a. Tidak terlindung dari hujan 0,55

b. Terlindung dari hujan dan terik matahari langsung 0,60

Beton yang masuk ke dalam tanah :

a. Mengalami keadaan basah dan kering berganti-ganti 0,55

b. Mendapat pengaruh sulfat dan alkali dari tanah Lihat Tabel 6.7.

Beton yang selalu berhubungan dengan air tawar/payau/laut Lihat Tabel 6.8.

66
Gambar 6.4. Hubungan Kuat Tekan Rata-Rata dan f.a.s. Pada Semen Biasa
(Sumber: Kardiyono, 1989)

67
Gambar 6.5. Hubungan Kuat Tekan Rata-Rata dan f.a.s. Pada Semen Cepat Keras
(Sumber: Kardiyono, 1989)

68
3. Buatlah proporsi agregat dari masing-masing fraksi (perbandingan pasir
dan kerikil dengan cara yang diuraikan dalam Bab 5 dan Tabel 5.5
sehingga masuk dalam salah satu kurva yang telah ditentukan/ masuk
dalam diagram pada salah satu Gambar 5.1. sampai dengan 5.4.

4. Tetapkan proporsi antara agregat dan semen berdasarkan jenis agregat


kasar, diameter maksimum agregat kasar, dan f.a.s. (Lihat Tabel 6.4.).

Tabel 6.4. Proporsi Agregat – Semen (Berat Agregat / Semen)

Jenis agregat Ukuran Maksimum f.a.s. A/S


Kasar (mm)
Kerikil 40 0,35 2,9
0,40 4,3
0,45 5,7
0,50 7,1
0,55 8,1
Batu pecah 40 0,40 3,2
0,45 3,9
0,50 4,7
0,55 5,4
0,60 6,1
0,65 6,8
Kerikil 20 0,35 2,8
0,40 3,9
0,45 5,0
0,50 5,9
0,55 7,4
0,60 8,0
Batu pecah 20 0,35 2,3
0,40 2,9
0,45 3,4
0,50 3,9
0,55 4,5
0,60 4,9
0,65 5,4
0,70 5,8
Sumber: Kardiyono, 1989

5. Hitung proporsi antara semen, air, dan agregat dengan dasar faktor air
semen (f.a.s.) dan proporsi antara agregat-semen yang diperoleh masing-
masing dari langkah (2) dan (4).

69
6. Kebutuhan bahan dasar per meter kubik beton dihitung berdasarkan
volume absolut, yaitu dengan berat jenis butir semen dan berat jenis
agregat. Prinsip dari hitungan ini ialah bahwa volume beton padat adalah
sama dengan jumlah dari absolut volume bahan-bahan dasarnya.
Apabila tidak dilakukan pemeriksaan laboratorium yang teliti, nilai-nilai
berikut dapat digunakan:
bj semen = 3,25 bj pasir= 2,60
bj kerikil = 2,60 bj air = 1,00
kandungan udara = 1- 2%

Cara Road Note No. 4 ini memiliki kekurangan antara lain sulit mendapatkan
nilai slump yang diharapkan karena pengaruh agregat (misalnya gradasi,
bentuk, kekasaran, dan sebagainya) sulit diukur.

Contoh perhitungan:
Diketahui:

bj semen = s bj pasir= psr


bj kerikil = krk bj air = air
persentase udara dalam beton = v
berat semen diperlukan untuk 1 m3 beton = S
Ditetapkan :
Perbandingan berat Semen : Pasir : Kerikil : Air = 1 : Ppsr : Pkrk : A
Hitung kebutuhan masing-masing bahan untuk membuat 1 m3 beton!
Penyelesaian :
Digunakan persamaan sebagai berikut:

Dengan rumus di atas dapat dihitung kebutuhan semen S per meter kubik
beton. Kebutuhan air, pasir, dan kerikil dihitung berdasarkan harga S tersebut.

70
b. Perancangan Menurut Department of Environment (Inggris)
Perancangan adukan beton cara Inggris (The British mix design Method) ini
tercantum dalam Design of Normal Concrete Mixes dan telah menggantikan
cara Road Note No. 4 sejak tahun 1975. Di indonesia, cara ini dikenal sebagai
cara DOE (Department of Environment, building Research Establishment,
Britain). Cara ini dipakai sebagai cara standar perencanaan oleh Departemen
Pekerjaan Umum di Indonesia dan dimuat dalam buku standar Tata Cara
Pembuatan Rencana Campuran Beton Normal SK SNI T-15-1990-03.

Langkah-langkah perancangan adukan beton cara DOE adalah sebagai


berikut:

1. Penetapan kuat tekan beton yang disyaratkan (f ‘c) pada umur tertentu.
Kuat tekan beton yang disyaratkan ditetapkan sesuai dengan persyaratan
perencanaan strukturnya dan sesuai dengan kondisi setempat.

2. Penetapan nilai deviasi standar (Sd).


Deviasi standar ditetapkan berdasarkan tingkat mutu pengendalian
pelaksanaan pencampuran betonnya. Makin baik mutu pelaksanaan, makin
kecil nilai deviasi standarnya. Penetapan nilai deviasi standar ini
berdasarkan pada hasil pengalaman praktek pelaksana pada waktu yang
lalu dalam pembuatan beton dengan mutu yang sama dan menggunakan
bahan dasar yang sama pula.
a. Catatan tersebut harus berupa data hasil uji kuat tekan dari minimum
30 buah benda uji. Satu data hasil uji kuat tekan adalah hasil rata-rata
dari uji tekan dua silinder yang dibuat dari contoh beton yang sama
dan diuji pada umur 28 hari atau umur pengujian lain yang ditetapkan.
Jika jumlah data hail uji kurang dari 30 buah maka dilakukan koreksi
terhadap nilai deviasi standar dengan suatu faktor pengali yang
tercantum dalam Tabel 6.5.

71
Tabel 6.5. Faktor Pengali Deviasi Standar
Jumlah data (buah) 30 25 20 15 <15

Faktor pengali 1,00 1,03 1,08 1,16 tidak boleh

Untuk nilai antara, dipakai interpolasi


Sumber: Kardiyono, 1989

b. Jika pelaksana tidak mempunyai catatan pengalaman hasil pengujian


beton pada masa lalu yang memenuhi persyaratan tersebut atau data
hasil uji kurang dari 15 buah, maka nilai margin pada langkah (3)
langsung diambil sebesar 12 MPa.
Untuk memberikan gambaran bagaimana cara menilai tingkat
pengendalian mutu pekerjaan beton, Pedoman yang dipakai di Inggris
dapat dilihat pada Tabel 6.6.

Tabel 6.6. Nilai Deviasi Standar Untuk Berbagai Tingkat Pengendalian Mutu
Pekerjaan
Tingkat Pengendalian Mutu Pekerjaan Sd (MPa)
Memuaskan 2,8
Sangat Baik 3,5
Baik 4,2
Cukup 5,6
Jelek 7,0
Tanpa Kendali 8,4
Sumber: Kardiyono, 1989

3. Penghitungan nilai tambah/margin (m)


Jika nilai tambah ini sudah ditetapkan sebesar 12 MPa (lihat langkah 2.b),
maka langsung ke langkah (4).
Nilai tambah dihitung berdasarkan nilai deviasi standar S d dengan rumus
sebagai berikut:

72
Dengan:
m : nilai tambah (MPa)
k : 1,64
Sd : deviasi standar (MPa)
4. Menetapkan kuat tekan rata-rata beton yang ditargetkan.
Kuat tekan beton rata-rata yang ditargetkan diperoleh dengan rumus:

Dengan:
f ‘cr : kuat tekan rata-rata (MPa)
f ‘c : kuat tekan yang disyaratkan (MPa)
m : nilai tambah (MPa)

5. Penetapan jenis semen portland. Penjelasan tentang jenis-jenis semen


portland dapat dilihat pada Bab 4.

6. Penetapan jenis agregat.


Jenis agregat kasar dan agregat halus ditetapkan, apakah berupa agregat
alami (tak dipecahkan) ataukah agregat jenis batu pecah (crushed
aggregate).

7. Tetapkan faktor air semen (f.a.s.)


Berdasarkan jenis semen (yang telah ditentukan pada langkah (5), jenis
agregat kasar yang dipakai dan kuat tekan rata-rata silinder beton yang
ditargetkan pada umur tertentu, ditetapkan nilai f.a.s. dengan melihat
Gambar 6.4. dan Gambar 6.5.

8. Penetapan f.a.s. maksimum.


Penetapan f.a.s. maksimum dilakukan dengan Tabel 6.3. Jika nilai f.a.s.
maksimum ini lebih rendah daripada nilai f.a.s. dari langkah (7), maka

73
nilai f.a.s. yang dipakai untuk perhitungan selanjutnya diambil dari Tabel
6.7. dan Tabel 6.8. berikut ini.

Tabel 6.7. Faktor Air Semen Maksimum Untuk Beton Yang Berhubungan
Dengan Air Tanah Yang Mengandung Sulfat
Konsentrasi Sulfat (SO3)
Dalam Tanah
SO3 dalam SO3 dalam f.a.s.
Jenis semen
Total SO3 campuran air : air tanah maksimum
(%) tanah = 2 : 1 (gr/ltr)
(gr/ltr)
Tipe I dengan atau
< 0,2 < 0,1 < 0,3 tanpa pozolan (15- 0,50
40%)
Tipe I tanpa pozolan 0,50
Tipe I dengan pozolan
0,2 – 0,5 1,0 – 1,9 0,3 – 1,2 (15-40%) atau semen 0,55
portland pozolan
Tipe II atau V 0,55
Tipe I dengan pozolan
(15-40%) atau semen 0,45
0,5 – 1,0 1,9 – 3,1 1,2 – 2,5
portland pozolan
Tipe II atau V 0,50
1,20 -2,0 3,1 – 5,6 2,5 – 5,0 Tipe II atau V 0,45
Tipe II atau V dan
>2,0 >5,60 >5,00 0,45
lapisan pelindung
Sumber: Kardiyono, 1989

Tabel 6.8. Faktor Air Semen Maksimum Untuk Beton Bertulang Dalam Air
Berhubungan Tipe Semen f.a.s.
dengan:

Air tawar Semua tipe I - V 0,50


Air payau Tipe I + pozolan (15 – 40%) 0,45
atau semen portland pozolan

74
Tipe II atau V 0,50
Air laut Tipe II atau V 0,45

Sumber: Kardiyono, 1989

9. Penetapan nilai slump.


Penetapan nilai slump dilakukan dengan memperhatikan pelaksanaan
pembuatan, pengangkutan, penuangan, pemadatan, maupun jenis
strukturnya. Cara pengangkutan adukan beton dengan aliran dalam pompa
yang dipompa dengan tekanan membutuhkan nilai slump yang besar,
adapun pemadatan adukan dengan alat getar dapat dilakukan dengan nilai
slump yang agak kecil. Nilai slump yang diinginkan dapat dilihat pada
Tabel 6.9.

Tabel 6.9. Penetapan Nilai Slump (cm)


Nilai Slump
Pemakaian beton
maks min
dinding, plat pondasi, & pondasi telapak bertulang 12,5 5,0
pondasi telapak tidak bertulang, kaison, & struktur di 9,0 2,5
bawah tanah
pelat, balok, kolom, & dinding 15,0 7,5
pengerasan jalan 7,5 5,0
pembetonan masal 7,5 2,5

10. Penetapan besar butir agregat maksimum.


Penetapan besar butir agregat maksimum dilakukan berdasarkan nilai
terkecil dari ketentuan-ketentuan berikut:
a. ¾ kali jarak bersih minimum antar baja tulangan atau berkas baja
tulangan atau tendon prategang atau selongsong.
b. 1/3 kali tebal pelat.
c. 1/5 jarak terkecil antara bidang samping dari cetakan.

75
11. Tetapkan jumlah air yang diperlukan per meter kubik beton, berdasarkan
ukuran maksimum agregat, jenis agregat, dan slump yang diinginkan,
berdasarkan Tabel 6.10.

Tabel 6.10. Perkiraan Kebutuhan Air Per Meter Kubik Beton (Liter)
Ukuran maks. Slump
Jenis batuan
kerikil (mm) 0 – 10 10 – 30 30 – 60 60 – 80
10 Alami 150 180 205 225
Batu pecah 180 205 230 250
20 Alami 135 160 180 195
Batu pecah 170 190 210 225
40 Alami 115 140 160 175
Batu pecah 155 175 190 205

Dalam Tabel 6.10. di atas, apabila agregat halus dan agregat kasar yang
dipakai dari jenis yang berbeda (alami dan batu pecah), maka jumlah air
yang diperkirakan harus diperbaiki dengan rumus:

Dengan :
A = jumlah air yang dibutuhkan (liter/m3)
Ah = jumlah air yang dibutuhkan menurut jenis agregat halusnya
Ak = jumlah air yang dibutuhkan menurut jenis agregat kasarnya

12. Hitung berat semen yang diperlukan.


Berat semen per meter kubik beton dihitung dengan membagi jumlah air
(dari langkah (11)) dengan f.a.s. yang diperoleh pada langkah (7) dan
langkah (8).
13. Kebutuhan semen minimum.
Kebutuhan semen minimum ditetapkan dengan Tabel 6.11. Kebutuhan
semen minimum ini ditetapkan untuk menghindarkan beton dari kerusakan
akibat lingkungan khusu, misalnya lingkungan korosif, air payau, dan air
laut.

76
Tabel 6.11. Kebutuhan Semen Minimum Untuk berbagai Pembetonan &
Lingkungan Khusus

Semen minimum
Jenis pembetonan
(kg/m3 beton)

Beton di dalam ruang bangunan :

a. Keadaan keliling non-korosif 275

b. Keadaan keliling korosif, disebabkan oleh kondensasi


325
atau uap korosif

Beton di luar ruang bangunan :

a. Tidak terlindung dari hujan & terik matahari langsung 325

b. Terlindung dari hujan & terik matahari langsung 275

Beton yang masuk ke dalam tanah :

a. Mengalami keadaan basah & kering berganti-ganti 325

b. Mendapat pengaruh sulfat dan alkali dari tanah Lihat Tabel 6.12.

Beton yang selalu berhubungan dengan air tawar/payau/laut Lihat Tabel 6.13.

Sumber: Kardiyono, 1989

Tabel 6.12. Kandungan Semen Minimum Untuk Beton Yang Berhubungan


Dengan Air Tanah Yang Mengandung Sulfat
Jenis semen Kandungan
Konsentrasi sulfat (SO3) Semen Min.
(kg/m3 beton)
SO3 Ukuran Maks.
Dalam tanah
dalam air Agregat (mm)
Total SO3 SO3 dalam 40 20 10

77
campuran air
tanah = 2 : 1
(%) tanah
(gr/ltr)
(gr/ltr)
< 0,2 < 1,0 < 0,3 Tipe I dengan atau 280 300 350
tanpa pozolan
(15 – 40%)
0,2 – 0,50 1,0 – 1,9 0,3 – 1,2 Tipe I tanpa pozolan 290 330 380
Tipe I dengan 270 310 360
pozolan (15 – 40%)
atau semen portland
pozolan
0,5 – 1,0 1,9 – 3,1 1,2 – 2,5 Tipe I dengan 340 380 430
pozolan (15 – 40%)
atau semen portland
pozolan
Tipe II atau V 290 330 380
1,0 – 2,0 3,1 – 5,6 2,5 – 5,0 Tipe II atau V 330 370 420
>2,0 >5,6 >5,0 Tipe II atau V dan 330 370 420
lapisan pelindung
Sumber: Kardiyono, 1989

Tabel 6.13. Kebutuhan Semen Minimum Untuk Beton Bertulang Dalam


Air
Berhubungan Tipe semen Kandungan semen minimum
dengan : Ukuran Maks. Agregat (mm)
40 20
Air tawar Semua tipe I - V 280 300
Air payau Tipe I + pozolan (15 – 340 380
40%) atau SP pozolan
Tipe II atau V 290 330
Air laut Tipe II atau V 330 370
Sumber: Kardiyono, 1989

14. Penyesuaian kebutuhan semen

78
Apabila kebutuhan semen yang diperoleh dari langkah (12) ternyata lebih
sedikit daripada kebutuhan semen minimum pada langkah (13), maka
kebutuhan semen harus dipakai adalah kebutuhan semen minimum (yang
nilainya lebih besar).

15. Penyesuaian jumlah air atau f.a.s.


Jika jumlah semen ada perubahan akibat langkah (14), maka nilai f.a.s.
berubah. Dalam hal ini, dapat dilakukan dua cara berikut:
a. f.a.s. dihitung kembali dengan cara membagi jumlah air dengan jumlah
semen minimum.
b. Jumlah air disesuaikan dengan mengalikan jumlah semen minimum
dengan f.a.s.
Cara pertama akan menurunkan f.a.s. yang dapat menaikkan kuat tekan
beton, sedangkan cara kedua akan menaikkan jumlah air yang diperlukan
sehingga nilai slump naik (adukan beton lebih encer).

16. Penentuan daerah gradasi agregat halus.


Penentuan daerah gradasi agregat halus didasarkan atas tabel gradasi yang
diberikan dalam Tabel 6.14.

Tabel 6.14. Batas Gradasi Pasir


Persen berat butir yang lewat ayakan
Lubang ayakan (mm)
1 2 3 4
10 100 100 100 100
4,8 90 – 100 90 – 100 90 – 100 95 – 100
2,4 60 – 95 75 – 100 85 – 100 85 – 100
1,2 30 – 70 55 – 90 75 – 100 90– 100
0,6 15 – 34 35 – 59 60 – 79 80 – 100
0,3 5 – 20 8 – 30 12 – 40 15 – 50
0,15 0 - 10 0 – 10 0 – 10 0 - 15
Catatan: 1 : kasar 2: agak kasar 3 : agak halus 4: halus
Sumber : Kardiyono, 1989

79
17. Perbandingan agregat halus dan agregat campuran.
Nilai banding antara berat agregat halus dan agregat kasar diperlukan
untuk memperoleh gradasi agregat campuran yang baik. Pada langkah ini
dicari nilai banding antara berat agregat halus dan agregat campuran.
Penetapan dilakukan dengan memperhatikan besar butir maksimum
agregat kasar, nilai slump, f.a.s., dan daerah gradasi agregat halus.
Penetapan persentase berat agregat halus terhadap agregat campuran
dilakukan dengan melihat grafik pada Gambar 6.6., Gambar 6.7., atau
Gambar 6.8.

80
Gambar 6.6. Grafik Persentase Agregat Halus Terhadap Agregat Keseluruhan
Untuk Ukuran Butir Maksimum 10 mm (Sumber: Kardiyono, 1989)

81
Gambar 6.7. Grafik Persentase Agregat Halus Terhadap Agregat Keseluruhan
Untuk Ukuran Butir Maksimum 20 mm (Sumber: Kardiyono, 1989)

82
Gambar 6.8. Grafik Persentase Agregat Halus Terhadap Agregat Keseluruhan
Untuk Ukuran Butir Maksimum 40 mm (Sumber: Kardiyono, 1989)

83
18. Berat jenis agregat campuran.
Berat jenis agregat campuran dihitung dengan rumus :

Dengan :
bj camp : berat jenis agregat campuran
bj agrgt hls : berat jenis agregat halus
bj agrgt ksr : berat jenis agregat kasar
P : persentase agregat halus thdp agregat campuran
K : persentase agregat kasar thdp agregat campuran
Berat jenis agregat halus dan agregat kasar diperoleh dari hasil
pemeriksaan laboratorium (jika tidak ada dapat diambil sebesar 2,60 untuk
agregat alami dan 2,70 untuk agregat pecahan).

19. Penentuan berat jenis beton.


Dengan data berat jenis campuran dari langkah (18) dan kebutuhan air tiap
meter kubik betonnya maka dengan grafik pada Gambar 6.9. dapat
diperkirakan berat jenis betonnya.
Caranya adalah sebagai berikut:
a. Dari berat jenis agregat campuran pada langkah (17) dibuat garis kurva
berat jenis gabungan yang sesuai dengan garis kurva yang paling dekat
dengan garis kurva pada Gambar 6.9.
b. Kebutuhan air yang diperoleh pada langkah (11) dimasukkan dalam
Gambar 6.9. Kemudian dari nilai ini ditarik garis vertikal ke atas
sampai mencapai garis kurva yang dibuat pada langkah (19.a.) di atas.
c. Dari titik potong ini kemudian ditarik garis horisontal ke kiri sehingga
diperoleh nilai berat jenis beton.

84
Gambar 6.9. Grafik Hubungan Berat Jenis Beton, Berat jenis Agregat Campuran, dan Kandungan Air
(Sumber: Kardiyono, 1989)

85
20. Kebutuhan agregat campuran.
Kebutuhan agregat campuran dihitung dengan cara mengurangi berat
beton per meter kubik dikurangi kebutuhan air dan semen.

21. Kebutuhan agregat halus.


Hitung berat agregat halus yang diperlukan berdasarkan hasil langkah (17)
dan (20). Kebutuhan agregat halus dihitung dengan cara mengalikan
kebutuhan agregat campuran dengan persentase berat agregat halusnya.

22. Kebutuhan agregat kasar.


Hitung berat agregat kasar yang diperlukan berdasarkan hasil langkah (20)
dan (21). Kebutuhan agregat kasar dihitung dengan cara mengurangi
kebutuhan agregat campuran dengan persentase berat agregat kasarnya.

Dalam perhitungan di atas, agregat halus dan agregat kasar dianggap dalam
keadaan jenuh kering muka sehingga di lapangan pada umumnya keadaan
agregatnya tidak jenuh kering muka, maka harus dilakukan koreksi terhadap
kebutuhan bahannya. Koreksi harus selalu dilakukan minimum satu kali per
hari.
Hitungan koreksi dilakukan dengan rumus sebagai berikut:

Dengan :
A : jumlah kebutuhan air (liter/m3)
B : jumlah kebutuhan agregat halus (kg/m3)

86
C : jumlah kebutuhan agregat kasar (kg/m3)
Ah : kadar air sesungguhnya dalam agregat halus (%)
Ak : kadar air sesungguhnya dalam agregat kasar (%)
A1 : kadar air pada agregat halus jenuh kering muka (%)
A2 : kadar air pada agregat kasar jenuh kering muka (%)

Cara ini mempunyai kekurangan, antara lain:


1. Jenis agregat yang hanya ditetapkan sebagai batu pecah dan batu alami
saja tampaknya sulit karena seringkali walaupun agregat alami tetapi
bentuk dan permukaannya tidak bulat dan halus. Kekasaran permukaan
butir merupakan hal yang sulit diukur, dan ini berpengaruh terhadap
jumlah air yang diperoleh pada langkah (11).
2. Diagram proporsi agregat halus terhadap agregat total yang dipakai pada
langkah (16) sulit mendapatkan hasil yang tepat. Hal ini karena gradasi
agregat halus yang tersedia kadang-kadang tidak berimpit dengan salah
satu kurva dari keempat kurva gradasi yang tersedia.
3. Diagram hubungan antara f.a.s. dan kuat tekan rata-rata silinder beton
tidak sama untuk berbagai jenis agregat yang dipakai untuk beton sehingga
sebaiknya dipakai diagram yang sesuai untuk tiap agregat yang dipakai.

Untuk mempermudah pelaksanaan perencanaan beton dengan metode ini,


formulir isian berikut dapat dipakai.

No. Uraian
1. Kuat tekan yang disyaratkan pada umur …. hari : ………. MPa
2. Deviasi standar (s) : ………. MPa
3. Nilai tambah (m) : ………. MPa
4. Kuat tekan rata-rata yang direncanakan (f ‘cr) : ………. MPa
5. Jenis semen (biasa/cepat keras) : …………….

87
6. Jenis agregat kasar (alami/batu pecah) : …………….
7. Jenis agregat halus (alami/batu pecah) : …………….
8. Faktor air semen ( gambar ………………..) : …………….
9. Faktor air semen maksimum ( gambar ………………..) : …………….
10. Dipakai f.a.s. yang rendah : …………….
11. Nilai slump ( Tabel …..) : ………. cm
12. Ukuran maksimum agregat kasar : ………. mm
13. Kebutuhan air (Tabel ….) : ………. liter
14. Kebutuhan semen portland ( dari butir …. & ….) : ………. kg
15. Kebutuhan semen portland minimum (Tabel ….) : ………. kg
16. Dipakai kebutuhan semen portland : ………. kg
17. Penyesuaian jumlah air atau f.a.s. : …………….
18. Daerah gradasi agregat halus (Tabel….) : 1, 2, 3, 4
19. Persen agregat halus terhadap campuran (Gambar ….) : ………. %
20. Berat jenis agregat campuran (dihitung) : ………. t/m3
21. Berat jenis beton (Gambar …) : ……… kg/m3
22. Kebutuhan agregat (langkah 19 – 11 – 14) : ……. kg/m3
23. Kebutuhan agregat halus (langkah 17 x 20) : ……. kg/m3
24. Kebutuhan agregat kasar (langkah 20 – 21) : ……. kg/m3
Kesimpulan:
Volume Berat total Air Semen Ag Halus Ag kasar
1m 3
………… kg ………… ltr ………… kg ………… kg ………. kg
1 adukan ………… kg ………… ltr ………… kg ………… kg ………. kg

c. Cara Perencanaan Campuran di Laboratorium Bahan Bangunan


Jurusan Teknik Sipil Fakultas teknik Universitas Gadjah Mada
Setelah mempelajari cara perencanaan campuran adukan beton dengan Road
Note No. 4 dan DOE serta melihat kekurangan-kekurangan dari kedua cara
tersebut serta banyaknya faktor yang mempengaruhi kelecakan adukan beton
segar maupun kekuatan betonnya setelah mengeras – dimana faktor-faktor
tersebut sulit diukur – maka tampak bahwa semua cara masih merupakan cara
coba-coba.

88
Pada prinsipnya, cara yang dilakukan di Laboratorium Bahan Bangunan
Jurusan Teknik Sipil Fakultas teknik Universitas Gadjah Mada adalah sebagai
berikut:
1. Perbandingan berat antara air dan semen ditentukan berdasarkan kuat
tekan rata-rata yang ditargetkan (lihat Gambar 6.4. dan Gambar 6.5.).
2. Perbandingan berat antara agregat halus dan agregat kasar ditentukan
berdasarkan teori dalam Sub Bab 5.3. dan Tabel 5.5. serta salah satu
diagram pada Gambar 5.1. sampai dengan Gambar 5.4.
3. Perbandingan antara pasta semen (campuran air dan semen) dan agregat
(campuran agregat halus dan agregat kasar) dilakukan dengan
percobaan/eksperimen berdasarkan nilai slump yang diinginkan.
Pelaksanaannya dilakukan dengan coba-coba, yaitu sedikit demi sedikit
pasta semen dicampurkan ke dalam agregat sambil diperiksa keencerannya
(dengan pengujian slump).

Langkah-langkah yang dilakukan adalah sebagai berikut:


1. Tetapkan f.a.s. sebagaimana langkah (7) cara DOE dengan melihat
Gambar 6.4. dan Gambar 6.5. dan memperhatikan Tabel 6.3.
2. Tetapkan berat semen minimum per meter kubik beton berdasarkan
keadaan sekeliling (berdasarkan Tabel 6.11.).
3. Hitung berat air minimum per meter kubik beton. Berat air minimum sama
dengan berat semen minimum dikalikan f.a.s.
4. Tetapkan dengan cara analitis (rumus pada sub Bab 5.4. dan Tabel 5.5),
proporsi antara agregat halus dan agregat kasar sehingga masuk ke dalam
salah satu diagram gradasi (Gambar 5.1. sampai dengan Gambar 5.4.)
5. Hitung kebutuhan agregat campuran per meter kubik beton dengan cara
mengurangi berat beton tiap meter kubik dengan berat semen dan air dari
langkah (2) dan langkah (3).

89
6. Hitung kebutuhan agregat halus dan agregat kasar per meter kubik beton,
dari langkah (4) dan langkah (5).
7. Hitung proporsi berat antara air, semen, agregat halus, dan agregat kasar
dari langkah (2), langkah (3), dan langkah (6).
8. Hitung kebutuhan air, semen, agregat halus, dan agregat kasar untuk satu
adukan (misalnya untuk 3 atau 6 silinder) dari hasil langkah (7).
9.
a. Masukkan air, agregat halus, agregat kasar, dan semen sebanyak yang
telah dihitung pada langkah (8) ke dalam pengaduk beton.
b. Sementara itu, buatlah pasta semen dengan f.a.s. yang diperoleh dari
langkah (1) secukupnya di tempat lain. Pasta semen ini digunakan
sebagai cadangan jika campuran adukan beton segar mempunyai nilai
slump yang kurang dari yang diharapkan.
10. Tetapkanlah nilai slump berdasarkan Tabel 6.9.
a. Bila slump adukan beton segar sama dengan atau lebih besar
daripada slump yang ditetapkan, maka campuran sudah baik berarti
proporsi berat pada langkah (7) tidak berubah.
b. Bila slump adukan beton segar sama kurang daripada slump yang
ditetapkan, tambahkan pasta semen cadangan ke dalam drum adukan
sedikit demi sedikit sampai mencapai slump yang diinginkan,
kemudian hitungkah proporsi berat yang baru antara berat air, semen,
agregat halus, dan agregat kasar.
11. Masukkan adukan beton segar ke dalam cetakan silinder beton. Bila
diinginkan berat jenis beton segar yang lebih teliti (pada langkah (5)
baru berupa perkiraan), berat jenis beton segar diperoleh dengan
menimbang berat dan mengukur volume adukan yang berada dalam
cetakan silinder beton.
12. Koreksi proporsi berat pada langkah (7) dengan proporsi berat yang baru
hasil dari langkah (10.b) dan langkah (11).

90
Kekuatan beton dipengaruhi oleh banyak faktor. Cara analitis dianggap belum
dapat menggantikan cara coba-coba. Oleh karena itu, dalam konsep Pedoman
Beton 1989 dicantumkan bahwa campuran coba yang mempunyai proporsi dan
konsistensi yang diperlukan untuk pekerjaan yang diusulkan harus dibuat paling
sedikit sebanyak 3 (tiga) nilai f.a.s. yang berbeda atau 3 (tiga) kandungan semen
yang berbeda sehingga menghasilkan suatu spektrum kekuatan yang mencakup
kuat tekan rata-rata (f ‘cr) yang direncanakan.

6.10. Pelaksanaan Pekerjaan Beton


Beton yang baik dibentuk dari butir-butir yang dicampur dalam
perbandingan tertentu untuk mendapatkan gradasi yang sesuai agar hampir
seluruh rongga dapat terisi rapat. Pasta semen akan mengikat seluruh butir-butir
agregat. Disamping gradasi yang tepat, syarat kelecakan (workability) spesi beton
harus dipenuhi. Kelecakan (workability) dipengaruhi oleh kadar semen, tipe
semen, bentuk butiran, kadar agregat halus, kadar air, dan bahan kimia tambahan
yang dipakai. Kelecakan (workability) berkaitan dengan pengangkutan dan
pemampatannya.
Proses pencampuran semen, air, pasir, dan kerikil dalam perbandingan
yang tepat disebut proses pengadukan beton. Pengadukan dilakukan sampai warna
adukan tampak rata, kelecakan yang cukup (tidak cair tetapi tidak padat), dan
campuran tampak homogen. Dalam proses pengadukan tidak boleh terjadi
pemisahan butir.
Pengadukan beton dapat dilakukan di lokasi pekerjaan (in-situ) – dengan
mesin pengaduk beton (molen/concrete mixer) atau dengan tangan – atau
diperoleh dari batching plan berupa ready mix yang diangkut ke lokasi
pengecoran dengan truk-aduk-beton/truk molen. Umumnya penggunaan ready mix
digunakan untuk proyek-proyek yang membutuhkan volume beton yang besar.
Dikarenakan lokasi batching plan umumnya jauh dari lokasi pekerjaan, maka
dalam adukan betonnya digunakan bahan campuran tambahan yang berfungsi
untuk memperlambat proses pengikatan dan pengerasan beton.

91
Pengadukan beton dengan mesin pengaduk beton (molen/concrete
mixer) dan truk molen dapat dilihat dapat dilihat pada Gambar 6.10. dan Gambar
6.11.

Gambar 6.10. Pengadukan Beton Dengan Mesin Pengaduk Beton


(Molen/Concrete Mixer)

Gambar 6.11. Truk-Aduk-Beton/ Truk Molen

92
Pengadukan dengan tangan biasanya dilakukan apabila jumlah beton
yang dibuat hanya sedikit. Alat pencampur dapat berupa cangkul, sekop, atau
cetok. Mula-mula semen dan pasir dicampur secara kering di atas tempat yang
rata, bersih, keras, dan tidak menyerap air. Pencampuran secara kering ini
dilakukan sampai warnanya merata, kemudian dicampur dengan kerikil dan
diaduk sampai rata. Selanjutnya ditengah-tengah adukan tersebut dibuat lubang
dan ditambahkan air sebanyak 75% dari jumlah air yang diperlukan, lalu diaduk
kembali dan ditambahkan sisa air sampai adukan tampak merata.
Untuk pekerjaan-pekerjaan besar yang menggunakan beton dengan
jumlah yang banyak, pengadukan dengan mesin akan lebih efektif dan efisien.
Beton yang dibuat dengan mesin lebih homogen dan dapat dilakukan dengan
faktor air semen (f.a.s.) yang lebih sedikit daripada bila diaduk dengan tangan.
Adukan beton harus segera diangkut ke tempat penuangan sebelum
semen mulai berhidrasi (bereaksi dengan air). Selama pengangkutan harus selalu
dijaga agar tidak ada bahan-bahan yang tumpah atau yang memisahkan diri dari
campuran. Cara pengangkutan tergantung pada jumlah adukan yang dibuat dan
tergantung keadaan tempat penuangan. Pengangkutan dapat dilakukan dengan
ember, gerobak dorong, truk-aduk-beton, ban berjalan, atau pompa. Umumnya
pengangkutan dengan ember atau gerobak dilakukan bila pengadukan beton
dilakukan di dekat lokasi penuangan. Bila tempat pengadukan beton cukup jauh
dari tempat penuangannya, pengangkutan dilakukan dengan truk-aduk-beton/ truk
molen. Pengangkutan dengan pompa dilakukan bila kondisi tempat pengadukan
beton dan tempat penuangan tidak memungkinkan pengangkutan dengan ember
atau gerobak. Pengangkutan dengan ban berjalan dipilih bila pengangkutan
berlangsung secara terus-menerus dan ditujukan ke tempat yang lebih tinggi.
Pengangkutan adukan beton dapat dilihat pada Gambar 6.12. dan Gambar 6.13.

93
Sumber : Sagel, Kole, Kusuma, 1993

Gambar 6.12. Pengangkutan Adukan Beton Secara Manual dan Pengangkutan


Adukan Beton Dengan Truk Molen

94
Sumber : Sagel, Kole, Kusuma, 1993

Gambar 6.13. Pengangkutan Adukan Beton Dengan Concrete Pump

Pengisian bekisting dengan beton dinamakan penuangan/pengecoran.


Karena spesi beton harus dikerjakan dalam waktu yang singkat, maka pekerjaan
pengecoran merupakan suatu pekerjaan yang “kritis”. Cara penuangan
(pengecoran) sangat besar pengaruhnya terhadap kualitas akhir beton yang

95
dihasilkan. Apabila pada penuangan terjadi suatu kesalahan, maka tindakan
perbaikannya sulit dilakukan dan memakan biaya yang sangat besar. Sebelum
dilakukan penuangan, bekisting harus diperiksa dahulu (letaknya, dimensi, dan
kekuatannya). Bekisting harus dalam keadaan bersih dari kotoran, sisa-sisa kawat
pengikat, kayu-kayu, dan lain-lain. Kayu bekisting harus disemprot/diminyaki
dengan minyak bekisting agar pembongkaran bekisting mudah dikerjakan.
Tinggi-jatuh adukan beton harus tepat. Jika terlalu tinggi akan mengakibatkan
segregasi spesi beton karena bahan-bahan yang terberat dan terbesar akan jatuh ke
bawah lebih dahulu, yaitu kerikil terlebih dahulu, diikuti pasir dan pasta semen.
Meskipun adukan beton telah direncanakan sebaik mungkin, namun jika pada
pelaksanaan pengecoran terjadi segregasi, maka kualitas beton yang dihasilkan
akan buruk sekali. Segregasi dapat dilihat pada Gambar 6.14.

Sumber : Sagel, Kole, Kusuma, 1993


Gambar 6.14. Segregasi Akibat Tinggi-jatuh Yang Besar
Untuk mencegah terjadinya segregasi, tinggi-jatuh dibatasi maksimal 1,5
meter. Untuk tinggi-jatuh yang sangat tinggi, harus digunakan talang cor atau klep
cor pada bekisting. Selama proses penuangan berlangsung harus memperhatikan
hal-hal sebagai berikut:

96
a. Adukan beton harus dituang secara terus-menerus agar diperoleh beton yang
homogen dan tidak terjadi garis batas.
b. Permukaan cetakan yang berhadapan dengan adukan beton harus diolesi
minyak agar beton yang dihasilkan tidak melekat dengan cetakannya.
c. Selama penuangan dan pemadatan harus dijaga agar posisi cetakan maupun
tulangan tidak berubah.
d. Adukan beton jangan dijatuhkan dengan tinggi adukan lebih dari satu meter
agar tidak terjadi pemisahan bahan-bahan pencampurnya.
e. Penuangan tidak boleh dilakukan pada waktu turun hujan, kecuali bila
penuangan dilakukan di dalam ruangan.
f. Sebaiknya tebal lapisan beton untuk setiap kali penuangan tidak lebih dari 45
cm pada beton masa dan 30 cm pada beton bertulang.
g. Harus dijaga agar beton yang masih segar tidak diinjak.

Setelah beton dituang dalam cetakan, adukan beton harus segera


dipadatkan sebelum semen dan air mulai bereaksi, karena di antara dinsing
bekisting dan spesi beton maupun di dalam adukan itu sendiri terdapat banyak
udara yang membentuk ruang-ruang kosong dalam beton yang sangat merugikan
bagi kualitas beton. Pada umumnya semen mulai bereaksi dengan air satu jam
setelah semen dicampur dengan air.
Pada prinsipnya, pemadatan adukan beton dilakukan dengan tujuan agar
pori/rongga yang terjadi dalam beton sesedikit mungkin. Pemadatan berarti ruang-
ruang kosong ( biasanya berupa gelembung udara yang tersekap di sekitar
tulangan dan di sudut-sudut bekisting) dalam spesi beton akan ditiadakan agar
spesi beton menempati seluruh sudut-sudut bekisting dan sekeliling tulangan
secara optimal. Proses pemadatan dapat dilihat pada Gambar 6.15.

97
Sumber : Sagel, Kole, Kusuma, 1993
Gambar 6.15. Proses Pemadatan Dengan Jarum Penggetar

Pemadatan adukan beton dapat dilakukan secara manual atau dengan


mesin. Pemadatan secara manual dilakukan dengan alat berupa tongkat baja atau
tongkat kayu. Adukan beton yang baru saja dituang harus segera dipadatkan
dengan cara ditusuk-tusuk dengan tongkat baja/kayu. Sebaiknya tebal beton yang
ditusuk tidak lebih dari 15 cm. Pemadatan ini dilakukan beberapa lama sampai
tampak suatu lapisan mortel di atas permukaan adukan beton. Pemadatan yang
kurang atau yang berlebihan mengakibatkan kurang baiknya mutu beton yang
dihasilkan. Gambar pemadatan adukan beton secara manual dapat dilihat pada
Gambar 6.16.

98
Sumber : Sagel, Kole, Kusuma, 1993
Gambar 6.16. Pemadatan Adukan Beton Secara Manual

Pemadatan dengan mesin dilakukan dengan alat getar (vibrator).


Penggetaran yang terlalu lama harus dicegah untuk menghindari mengumpulnya
kerikil di bagian bawah dan bahan lain di bagian atas. Alat getar yang biasa
dipakai ada 2 (dua) macam yaitu alat getar intern (internal vibrator) dan alat getar
cetakan (form vibrator, external vibrator). Alat getar intern berbentuk seperti
tongkat, seperti yang terlihat pada Gambar 6.17. Alat getar ini digetarkan dengan
mesin dan dimasukkan ke dalam beton segar yang baru saja dituang.

99
Gambar 6.17. Alat Getar Intern (Internal Vibrator)

Alat getar cetakan adalah alat getar yang ditempelkan di bagian luar
cetakan sehingga cetakan bergetar dan membuat beton segar ikut bergetar pula
sehingga padat. Alat penggetar yang umumnya dipakai umumnya adalah jarum,
yang terdiri dari mesin penggetar, selang karet, dan jarum penggetar terbuat dari
baja lancip yang bergetar antara 3000 dan 12000 getaran per menit.
Pemadatan beton sangat menentukan kekuatan dan ketahanan beton.
Banyak sekali kegagalan beton diakibatkan karena kurangnya pemadatan dan
terjadinya keropos-keropos pada beton. Kesalahan pemadatan dapat berupa terlalu
lamanya pemadatan ataupun terlalu cepat, seperti terlihat pada Gambar 6.18.

Sumber : Sagel, Kole, Kusuma, 1993


Gambar 6.18. Kesalahan Pemadatan
Untuk menghindari kesalahan-kesalahn dalam pemadatan, pedoman
umum dalam pemadatan dengan jarum penggetar yang dapat dipakai sebagai
berikut:

100
- Pada tempat-tempat yang dekat jaraknya dilakukan penggetaran dengan waktu
getar yang pendek.
- Masukkan jarum penggetar dalam arah vertikal dan dengan beratnya sendiri
(jangan dipaksakan).
- Bila tampak permukaan di sekitar jarum penggetar mulai licin, tarik perlahan-
lahan sehingga lubang yang ditinggalkan jarum penggetar akan menutup
dengan sendirinya.
- Perhatikan letak kerja dari alat penggetar, jarak yang digetarkan harus
sedemikian agar tidak ada yang terlewat.
- Jangan sampai menggetarkan konstruksi tulangan.
- Hindarkan terjadinya persinggungan antara alat penggetar dengan bekisting.
- Tidak boleh memindahkan/menggeser/mengangkut spesi beton dengan alat
penggetar.
Selama pemadatan harus dijaga agar posisi cetakan maupun tulangan
tidak berubah. Sesudah beton selesai dipadatkan dilakukan perataan permukaan
beton segar menggunakan cetok dan papan perata. Harus dijaga agar beton yang
masih segar tidak diinjak.

6.11. Perawatan Beton


Setelah penuangan, pemadatan, dan perataan adukan beton, dilakukan
perawatan beton. Perawatan beton ialah suatu pekerjaan menjaga agar permukaan
beton segar selalu lembab. Sejak adukan beton dipadatkan sampai beton dianggap
cukup keras, kelembaban permukaan beton harus dijaga untuk menjamin proses
hidrasi semen berlangsung dengan sempurna. Bila tidak dilakukan perawatan
beton, beton yang dihasilkan kurang kuat dan akan terjadi retak-retak. Selain itu,
kelembaban permukaan tadi juga menambah beton lebih tahan cuaca dan lebih
kedap air.
Fungsi primer dari perawatan beton adalah :
- Mencegah kehilangan zat cair yang banyak ketika pengerasan beton jam-jam
awal.

101
- Mencegah penguapan air dari beton yang terlalu besar pada pengerasan beton
hari pertama.
- Menghindarkan adanya perbedaan temperatur dalam beton yang
mengakibatkan retakan pada beton.
Perawatan beton dilakukan terhadap beton yang dicetak maupun
terhadap benda uji (silinder/kubus beton). Beberapa cara perawatan kubus/silinder
beton yang biasa dilakukan ialah menaruh beton segar di dalam ruangan yang
lembab, menaruh beton segar di atas genangan air, dan menaruh beton segar di
dalam air. Perawatan beton di lapanngan dilakukan dengan menyelimuti
permukaan beton dengan karung basah, menggenangi permukaan beton dengan
air, menyirami permukaan beton setiap saat secara terus-menerus (sprinkling), dan
menyemprot permukaan beton dengan curing compound.

6.12. Evaluasi Kuat Tekan Beton


Kekuatan beton yang dihasilkan memiliki kecenderungan bervariasi dari
adukan ke adukan karena dimungkinkan adanya variasi mutu bahan yang berbeda
dari setiap adukan, variasi dalam mengaduk, variasi keterampilan/stabilitas
pekerja, dan lain-lain. Untuk mendapatkan keseragaman kekuatan sesuai yang
diinginkan dalam bestek maka perlu dilakukan pengendalian/pengawasan mutu
(quality control). Untuk itu, setiap kali pengadukan beton dibuat benda uji.
Pengambilan benda uji dilakukan secara acak sehingga diharapkan dapat
mencerminkan variasi mutu beton seluruh beton yang dibuat di lapangan.
Untuk membuat benda uji ini, adukan beton dituang ke dalam cetakan
berbentuk kubus/silinder, dipadatkan, dan diratakan permukaannya. Silinder beton
yang dihasilkan akan mempunyai diameter 150 mm dan tinggi 300 mm. Jika
benda uji berbentuk kubus, maka kubus beton yang dihasilkan akan mempunyai
sisi 150 mm. Untuk mencegah tertukarnya benda uji suatu proyek dengan benda
uji dari proyek lain dan untuk mengetahui umur kubus beton, maka setiap kubus
beton harus diberi identitas berupa nama proyek dan tanggal pembuatan, berikut
nama perusahaan pelaksana pekerjaan jika dalam proyek tersebut terdapat

102
beberapa perusahaan pelaksana pekerjaan. Pembuatan benda uji dan contoh benda
uji kubus beton dapat dilihat pada Gambar 6.19. dan Gambar 6.20.

Gambar 6.19. Pembuatan Benda Uji

Gambar 6.20. Contoh Benda Uji Kubus Beton

103
Kubus/silinder beton akan digunakan dalam tes kuat tekan di
laboratorium untuk mengetahui kuat tekan beton yang dibuat di lapangan.
Menurut standar yang berlaku di Indonesia, pekerjaan beton dapat dinyatakan
memenuhi syarat (mutuya tercapai) jika persyaratan berikut terpenuhi:
1. Kuat tekan rata-rata (f ‘cr) dari 4 (empat) benda uji yang berurutan tidak
kurang dari kuat tekan yang disyaratkan ditambah dengan 0,82 standar deviasi
rencananya. Jika dinyatakan dengan formula matematis, adalah sebagai
berikut:

2. Tidak satupun dari hasil uji kuat tekan yang kurang dari 0,85 f ‘ c.
3. Benda uji dengan kuat tekan kurang dari f ‘c jumlahnya kurang dari 5% atau

Jika syarat pertama tidak terpenuhi, harus diambil langkah-langkah


untuk meningkatkan kuat tekan rata-rata betonnya. Jika persyaratan kedua yang
tidak dipenuhi maka harus diambil langkah-langkah untuk memastikan bahwa
kapasitas daya dukung struktur terhadap beban yang akan ditahan masih tidak
membahayakan, antara lain melalui analisis ulang struktur berdasarkan kuat tekan
beton sesungguhnya (aktual) atau terlebih dahulu melakukan uji tidak merusak
(undestructive test) dengan menggunakan Hammer Test atau Ultrasonic Pulsa
Velocity Test (UPVT)/pundit.
Selain persyaratan di atas, jika kuat tekan rata-ratanya (f ‘cr) kurang dari
kuat tekan yang disyaratkan ditambah dengan 1,26 standar deviasi rencananya ( f
‘cr < f ‘c + 1,26 Sr ), maka rancangan campurannya harus diperbaiki. Di dalam hal
ini, persyaratan untuk f ‘c yang dimaksudkan di atas adalah untuk benda uji
berbentuk silinder. Jika benda uji yang dibuat berbentuk kubus maka harus
dilakukan konversi dengan rumus:

Standar deviasi dihitung dengan rumusan statistik sebagai berikut:

104
Dengan :
S : deviasi standar
xi : kuat tekan beton yang didapat dari masing-masing benda uji

: kuat tekan beton rata-rata

Nilai Sr merupakan standar deviasi rencana, diperoleh dari standar deviasi


statistik dikalikan dengan faktor yang terdapat dalam Tabel 6.15.
Tabel 6.15. Faktor Pengali Deviasi Standar (Sumber : Prawoto, 1995)
Jumlah benda uji Faktor pengali

< 15 *

15 1,16

20 1,08

25 1,03

≤ 30 1,00

*Digunakan f ‘ c = ( f ‘cr + 12 ) MPa

Dalam konsep Tata Cara Perancangan dan Pelaksanaan Kontruksi Beton


– 1989 (TPPKB-89) ditetapkan bahwa pengambilan benda uji harus dilakukan.
Frekuensinya dipertimbangkan berdasarkan sifat pekerjaan betonnya. Setiap kali
pengambilan contoh harus dibuat 2 (dua) buah benda uji.
Namun, dianjurkan pada awal pelaksanaan pekerjaan dilakukan
pengambilan benda uji dalam jumlah yang banyak (dalam selang waktu yang
pendek), agar dengan segera dapat dilakukan evaluasi. Pengambilan benda uji
dalam jumlah banyak pun dianjurkan pada saat timbul keraguan tehadap kualitas
beton yang sedang dikerjakan.

105
Benda uji yang dibuat, sebelum diuji, harus dirawat sesuai dengan
perawatan di laboratorium (misalnya disimpan dalam udara lembab, dalam pasir
basah, atau direndam dalam air). Dari hasil uji tekan beton akan didapat gambaran
mutu hasil pembuatan beton. Namun hal itu tidak dapat menggambarkan mutu
beton pada struktur yang sebenarnya di lapangan terkait dengan tingkat
pelaksanaan perawatan dan perlindungan.
Untuk memeriksa tingkat pelaksanaan perawatan dan perlindungan
struktur sebenarnya di lapangan, dalam konsep TPPKB-89 tercantum cara
pemeriksaannya, yaitu dengan membuat benda uji yang dirawat di lapangan
dengan perawatan dan perlindungan sesuai dengan dengan tingkat pelaksanaan
perawatan dan perlindungan struktur yang sebenarnya. Benda uji tersebut diambil
dari adukan yang sama dengan yang dirawat di laboratorium.
Cara perawatan di lapangan harus ditingkatkan apabila kuat tekan benda
uji yang dirawat di lapangan kurang dari 85% daripada kuat tekan benda uji yang
dirawat di alboratorium, kecuali jika kuat tekkan benda uji yang dirawat di
lapangan masih lebih tinggi dari f ‘c + 4 (MPa).
Jika hasil uji tekan benda uji yang dirawat di laboratorium menunjukkan
bahwa ada salah satu hasil uji (rata-rata dari dua benda uji yang diambil dari beton
pada saat yang sama) kuat tekannya kurang dari 85% kuat tekan yang disyaratkan
atau jika hasil uji tekan benda uji yang dirawat di lapangan menunjukkan kurang
dari 85% hasil uji kuat tekan benda uji yang dirawat di laboratorium, maka harus
diambil langkah untuk memastikan bahwa struktur beton masih mempunyai
kapasitas daya dukung beban yang cukup.
Langkah pertama yang dapat diambil antara lain melakukan analisis
ulang struktur berdasarkan kuat tekan beton sesungguhnya (aktual) atau terlebih
dahulu melakukan uji tidak merusak (undestructive test). Jika langkah pertama
menunjukkan bahwa struktur tidak akan mampu menahan beban yang terjadi,
maka langkah kedua adalah melakukan uji bor inti (core drill) pada daerah yang
diperkirakan kurang memenuhi syarat. Di daerah yang kuat tekannya meragukan
itu, biambil benda uji minimum 3 (tiga) buah. Kuat tekan beton dianggap tidak
membahayakan jika memenuhi dua syarat berikut:

106
a. Kuat tekan rata-rata dari 3 (tiga) benda uji hasil bor inti mempunyai kuat tekan
tidak kurang dari 0,85 f ‘c.
b. Kuat tekan masing-masing benda uji hasil bor inti tidak ada satupun yang
kurang dari 0,75 f ‘c.
Jika hasil uji bor inti ternyata menunjukkan beton tidak memenuhi syarat, maka
langkah selanjutnya dapat berupa uji beban untuk menguji bagian struktur yang
diragukan atau langkah-langkah lain yang dianggap tepat oleh penanggung jawab
proyek.

6.13. Cacat Pada Beton


Beberapa cacat yang terjadi pada beton diantaranya adalah pendarahan
(bleeding), sangkar kerikil, dan retak-retak.
Tidak tercampurnya spesi beton mungkin terjadi dalam penuangan
akibat berbagai sebab. Bahan-bahan yang halus (ringan) biasanya terdesak oleh
bahan kasar (berat). Air yang merupakan bahan paling ringan dalam campuran
naik ke permukaan beton. Pengendapan dan penaikan air ini dinamakan
pendarahan (bleeding). Banyak atau sedikitnya bleeding tergantung dari susunan
butir, banyaknya air, dan kecepatan spesi mengeras. Pendarahan (bleeding) dapat
dilihat pada Gambar 6.21.

Sumber : Sagel, Kole, Kusuma, 1993


Gambar 6.21. Pendarahan (bleeding).
Akibat dari terlalu tingginya tinggi-jatuh atau terlalu rapatnya tulangan
atau jarak antara tulangan dan dinding bekisting terlalu dekat, dapat terjadi

107
sangkar kerikil. Sangkar kerikil adalah pengumpulan kerikil di satu tempat
dimana kadar pasir dan semennya sedikit. Sangkar kerikil dapat dicegah dengan
pengaturan tinggi-jatuh yang rendah, kecukupan ruangan antara batang tulangan
dengan bekisting, ukuran butir-butir sesuai dengan ruang bebas bekisting, dan
pemampatan yang baik. Sangkar kerikil dapat dilihat pada Gambar 6.22.

Sumber : Sagel, Kole, Kusuma, 1993


Gambar 6.22. Sangkar Kerikil

Retakan diakibatkan terjadinya perbedaan temperatur yang terlalu besar


dalam proses pengerasan beton. Retakan tidak diharapkan karena penampilannya
yang buruk, tetapi yang berbahaya adalah akibat adanya permukaan ini kualitas
permukaan beton sangat berkurang dan bahan-bahan perusak dapat masuk dan
mencapai tulangan yang dapat mengakibatkan korosi, seperti yang terlihat pada
Gambar 6.23.

108
Sumber : Sagel, Kole, Kusuma, 1993
Gambar 6.23. Kerusakan Beton Akibat retakan

Daftar Pustaka
1. Criswell, M . E. dan Vanderbilt M. D., 1983, “Properties and Tests of
Engineering Materials”, Department of Civil engineering, Colorado State
University, Colorado
2. Kardiyono, 1989, “Buku Ajar Bahan Konstruksi Teknik”, Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta
3. Mindness, S., & Young, J.F., 1981, “Concrete”, Prentice-Hall, Inc., New
Jersey.
4. Prawoto, H, 1995, Diktat Kuliah Struktur Beton, Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta
5. Puslitbang Pemukiman, Persyaratan Umum Bahan Bangunan di Indonesia
(PUBI – 1982)
6. Sagel, R., Ing. P. Kole, Ir. Gideon H. Kusuma, 1993, Pedoman Pengerjaan
Beton, Erlangga, Jakarta
7. Singh, G, & J. Singh, 1979, “Materials of Construction”, Standard Book
Service, Delhi
8. Wahyudi, L., Syahril A. Rahim, 1997, Struktur Beton Bertulang Standar Baru
SNI T-15-1991-03, Gramedia, Jakarta

109
7. LOGAM

7.1. Pendahuluan
Bahan logam banyak dipakai dalam berbagai keperluan teknik, terutama
besi. Logam yang kandungannya sebagian besar terdiri dari unsur besi disebut
logam besi (ferrous metal), sedangkan logam yang tidak berisi besi disebut logam
non-besi (non-ferrous metal). Logam besi terdiri dari 3 (tiga) macam yaitu besi
tuang, besi tempa, dan baja.
Besi diperoleh dari tambang bijih besi. Kandungan besi dalam bijih besi
ini berbentuk oksida besi (Fe2O3) dan jumlahnya amat tergantung dari lokasi
pengambilannya. Bijih besi ini biasanya bercampur dengan bahan-bahan lain,
misalnya silika, alumina, mangaan, belerang, dan fosfor. Bahan besi yang
diperoleh dari alam disebut besi gubal yang terdiri dari ± 90 - 95% besi, 3 – 4%
karbon, dan sisanya dapat berupa belerang, mangaan, fosfor, dan sebagainya. Besi
gubal ini merupakan bahan dasar untuk pembuatan besi tuang, besi tempa,
maupun baja.

7.2. Besi Tuang

Sesuai dengan namanya, besi ini dibuat dengan cara dituang atau dicor.
Dalam pembuatannya, besi gubal dilebur untuk mendapatkan tingkat kandungan
karbon yang diinginkan, kemudian dituang/dicetak untuk mendapatkan bentuk
yang diinginkan.
Besi tuang mengandung karbon 2 – 4%, mangaan, fosfor, belerang, dan
silikon. Keempat unsur tersebut mempengaruhi sifat besi, sebagai berikut:
a. Mangaan, membuat besi tuang lebih keras dan getas. Kandungan mangaan
tidak boleh lebih dari 0,7%.

110
b. Fosfor, membuat besi mudah mencair dan bertambah getas. Bila kandungan
fosfor lebih dari 0,3% besi tuang menjadi kehilangan kekerasannya dan tidak
mudah dikerjakan. Bila besi yang diinginkan tipis maka kandungan fosfornya
sekitar 1 – 1,5%.
c. Belerang, membuat besi tuang keras dan getas. Adanya bahan ini
mengakibatkan besi tuang cepat mengeras, yang berakibat adanya cacat
berupa pori-pori udara yang terperangkap. Kandungan belerang umumnya
tidak boleh dari 0,1%.
d. Silikon, mengurangi besar susut pengerasan maupun menjadikan besi bersifat
lunak. Bila kandungan silikon kurang dari 2,5% menjadikan besi bersifat lebih
mudah dituang.
Besi tuang mempunyai sifat-sifat sebagai berikut:
a. Keras dan mudah melebur/mencair
b. Getas, sehingga tidak dapat menahan benturan
c. Temperatur leleh 12500C
d. Tidak berkarat
e. Tidak dapat diberi muatan magnet
f. Dapat dikeraskan dengan cara dipanasi kemudian didinginkan secara
mendadak
g. Menyusut waktu pendinginan, sehingga perlu diperhatikan ukuran cetakan
agar diperoleh hasil yang sesuai dengan ukuran yang diinginkan
h. Kuat dalam menahan gaya tekan tetapi lemah dalam menahan gaya tarik. Kuat
tekannya sekitar 6000 kg/cm2, sedangkan kuat tariknya hanya 500 kg/cm2
i. Tidak dapat disambung dengan paku keeling atau dilas. Besi tuang hanya
dapat disambung dengan baut dan sekrup.

Besi tuang dipakai untuk keperluan struktur antara lain:


a. Pipa yang menahan tekanan sangat tinggi
b. Tutup lubang saluran drainase dan alat sanitair lain
c. Bagian struktur rangka (truss) yang menahan gaya tekan
d. Bagian-bagian mesin, blok mesin, dan sebagainya

111
e. Pintu gerbang, tiang lampu, dan sebagainya
f. Sendi dan roll jembatan

7.3. Besi Tempa


Besi tempa adalah jenis besi yang paling sedikit mengandung campuran
bahan lain. Bahan-bahan lain itu ialah karbon 0,05 – 0,15%, silika 0,15 – 0,2%,
fosfor 0,12 – 0,16%, belerang 0,02 – 0,03%, mangaan 0,03 – 0,1%, dan lain-lain
sekitar 2%.
Besi tempa memiliki sifat-sifat sebagai berikut:
a. Daktail (liat), kuat, dan dapat ditempa
b. Dapat dilas
c. Tidak dapat dituang karena sulit mencair
d. Tahan korosi
e. Temperatur leleh sekitar 1535oC
f. Kuat tarik maksimum sekitar 4000 kg/cm2, dan kuat tekannya sekitar 2000
kg/cm2.
Pemakaian besi tempa telah lama digantikan oleh baja struktur (mild
steel). Penggunaannya belakangan ini hanya pada paku sumbat/keeling, pipa air,
pipa gas, baut, sekrup, rantai, dan sebagainya.

7.4. Baja
Dewasa ini baja merupakan bahan yang amat penting dan dipakai secara
luas di bidang teknik. Baja merupakan paduan antara besi dan karbon. Besi murni
tanpa karbon tidak dapat kuat, akan tetapi bila dipadukan dengan karbon
kekuatannya bertambah. Bila besi dipadu dengan karbon disebut baja, akan tetapi
bila besi dipadu dengan logam lain, hasilnya disebut baja-paduan (steel alloy).
Sifat dan kandungan baja terletak di antara sifat dan kandungan besi
tuang dan besi tempa. Besi tuang mengandung sejumlah besar karbon, sedangkan
pada besi tempa sangat sedikit. Besi tuang sangat baik untuk dipakai sebagai
bagian struktur yang menahan gaya tekan, sebaliknya besi tempa baik untuk

112
menahan gaya tarik. Baja dapat dipakai untuk bagian struktur yang menahan tekan
maupun tarik.
Sesuai dengan kandungan karbonnya, baja dibedakan menjadi 3 (tiga)
jenis, yaitu:
a. Baja dengan sedikit karbon, atau baja lunak, atau baja struktur
Baja ini mengandung karbon smpai 0,25%.
b. Baja dengan karbon sedang
Baja ini mengandung karbon 0,25 – 0,7%.
c. Baja dengan karbon banyak
Baja ini mengandung karbon 0,7 – 1,5%.
Kekuatan, elastisitas, dan daktilitas merupakan sifat-sifat penting yang
dimiliki baja. Sifat-sifat tersebut amat dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai
berikut:
a. Kandungan karbon
Tingkat mutu baja ditentukan oleh jumlah kandungan karbonnya. Makin
banyak kandungan karbon, baja makin keras dan kuat, akan tetapi sifat
daktilnya semakin berkurang. Baja dengan kandungan karbon kurang dari
0,1% disebut deed steel, kandungan karbon 0,1 – 0,25% disebut baja lunak,
kandungan karbon 0,25 – 0,7% disebut medium carbon steel, kandungan
karbon 0,7 – 1,5% disebut high carbon steel atau baja keras.
Baja lunak banyak dipakai untuk pekerjaan-pekerjaan struktur. Pemakaian
baja berdasarkan jumlah kandungan karbon dapt dilihat pada Tabel 7.1.

Tabel 7.1. Pemakaian Baja


% Karbon Pemakaian
0,05 – 0,10 pipa-pipa, kawat, paku, badan mobil, plat tipis, tabung
0,10 – 0,20 paku keling, baut, pipa, tabung, kawat, bagian mesin yang hanya
menahan gaya ringan
0,20 – 0,30 gir, plat ketel, bagian mesin, kawat, pipa
0,30 – 0,40 gir, kunci, as
0,40 – 0,50 bagian mesin yang menahan beban berat, gir, as, kawat per
0,60 – 0,70 rel, kunci mur, bagian lokomotif
0,70 – 0,80 per, palu

113
0,80 – 0,90 alat-alat (kunci), alat pembuat lubang, pisau untuk mesin potong
dengan pemanasan
0,90 – 1,00 bor, gunting, as, per
1,00 – 1,10 per, bor, alat peruncing, as
1,10 – 1,20 alat-alat pertukangan kayu, gunting
1,20 – 1,30 bor, silet, pisau
1,30 – 1,40 silet, bagian pemecah batu, bor
Sumber : Kardiyono, 1989

b. Kandungan bahan lain


- Belerang
Kandungan belerang sampai 0,1% tidak mempengaruhi sifat-sifat baja.
Sifat dapat ditempa berkurang pada temperatur tinggi. Kelebihan belerang
mengakibatkan baja kurang kuat dan daktilitasnya berkurang.
- Fosfor
Fosfor menambah sifat cair baja pada saat meleleh, akan tetapi kelebihan
fosfor akan mengurangi kekuatan, daktilitas, maupun ketahanan terhadap
benturan.
- Silikon
Kandungan silicon sampai dengan 0,2% tidak berpengaruh terhadap sifat
bajanya. Bila kandungan silicon berlebihan, kekuatan maupun elastisitas
baja agak naik tanpa mengurangi sifat daktilitasnya.
- Mangaan
Kandungan mangaan sampai 1% akan sedikit menaikkan kekuatan baja.
Akan tetapi di atas 1,5%, baja akan menjadi sangat getas.
c. Pemanasan
Sifat-sifat baja dapat diubah agar sesuai dengan keinginan dangan cara
pemanasan dan pendinginan yang terkontrol dengan baik.
Sifat-sifat baja lunak (baja struktur) adalah sebagai berikut:
- berat jenis 7,8
- temperatur leleh sekitar 1400oc
- daktail (liat)
- mudah dilas

114
- dapat diberi muatan magnit
- mudah berkarat
- lebih keras dan kuat daripada besi tempa
- dapat dipakai untuk hampir semua struktur, sehingga sering dinamakan baja
struktur.
Contoh baja lunak adalah baja tulangan beton.
Sifat-sifat baja keras adalah sebagai berikut:
- dapat diberi muatan magnit yang tetap (permanen)
- dapat dilas
- lebih elastik dan kuat daripada baja lunak
- mudah berkarat
- berat jenis 7,9
- temperatur leleh sekitar 1300oc
- kuat tarik dan kuat geser hampir sama besar
- banyak dipakai untuk bagian alat yang sering menerima beban kejut dan
getaran, misalnya pangkal kunci/alat, baja prategang, baut mutu tinggi (high
strength bolt).

7.5. Pengerjaan Baja


Pengerjaan baja secara mekanis dilakukan untuk mendapatkan bentuk
tertentu. Maksud utama pengerjaan mekanis adalah untuk menaikkan kualitasnya
degan cara memberi gaya terhadap butir-butirnya sehingga jaraknya lebih dekat.
Metode yang dilakukan dapat berupa pengerjaan panas atau pengerjaan dingin.
Pada pengerjaan panas, baja dipanaskan sampai di atas temperatur rekristalisasi,
kemudian dibentuk. Adapun pada pengerjaan dingin, baja dibentuk pada
temperatur kamar. Pengerjaan panas lebih umum dilakukan daripada pengerjaan
dingin. Pengerjaan baja dapat dilakukan menurut cara-cara sebagai berikut:
a. Drawing
Cara ini dipakai pada pabrik kawat dan batang baja bulat. Baja dimasukkan
melalui lubang atau alat lain, dan ditarik sehingga berbentuk kawat.
b. Forging

115
Pada cara ini, baja dipanasi sampai suatu temperatur tertentu. Baja panas tadi
diletakkan di atas alas dan ditempa dengan palu berkali-kali. Proses ini
memperbaiki ukuran butir baja dan memampatkannya sehingga berat jenisnya
sedikit bertampah.
c. Pressing
Cara ini dikerjakan dengan alat press. Baja yang akan dibentuk diletakkan
dalam cetakan, kemudian secara perlahan-laha diberi tekanan sampai baja
tersebut mengisi penuh cetakan. Baja itu kemudian ditekan di antara cetakan
sampai mendapatkan bentuk yang diinginkan. Cara ini tepat digunakan untuk
pembuatan dengan jumlah banyak. Plat baja untuk tangki, silinder berlubang,
dan kepala ketel biasanya dibuat dengan cara ini.
d. Rolling
Pada cara ini dipakai alat roll khusus. Baja yang akan dibentuk dipijarkan,
kemudian dipaksakan masuk ke dalam roll (roda) yang mempunyai ukuran
lubang berbeda-beda, makin lama makin kecil, sampai terbentuk ukuran baja
yang diinginkan. Hampir semua baja struktur misalnya baja tulangan beton,
rel, plat, profil, dan sebagainya.
e. Extrusion
Pada proses ini, logam yang telah dipanaskan ditekan dengan tekanan yang
sangat besar agar melewati suatu lubang. Tekanan yang amat besar itu berasal
dari tekanan mekanis atau tekanan hidrolis. Batang baja, pipa, tabung, dan
sebagainya dibuat dengan cara ini.

7.6. Korosi Besi/Baja

Korosi adalah perubahan logam menjadi bentuk oksida. Salah satu sifat
buruk besi/baja adalah mudah korosi/berkarat. Untuk mencegah atau
memperlambat terjadinya karat, dapat dilakukan cara-cara berikut:

- Tarring

116
Permukaan baja dilapisis dengan gas batu bara (coaltar) yang diproses dengan
temperatur panas dan dengan bantuan sikat. Gas batu bara ini sedikit meresap
di permukaan baja.
- Electroplatting
Pada cara ini, permukaan logam baja dilapisi dengan perak, copper, nikel, dan
sebagainya, dengan proses yang disebut electrolysis.
- Galvanizing
Baja yang permukaannya telah dibersihkan, direndam dalam cairan seng
sehingga permukaan baja terlapisi seng. Lapisan seng melindungi baja dari
karat.
- Metal spraying
Permukaan baja disemprot dengan cairan gas/cairan seng, aluminium, atau
timah. Lapisan ini amat bagus dalam mencegah baja dari karat.
- Dilapisi cat
Permukaan baja dilapisi cat. Pengecatan dapat dilakukan dengan sikat/kuas
atau disemprotkan.
- Dimasukkan ke dalam beton
Batang baja ditutup dengan beton, sehingga tidak dapat berkarat. Dengan
dasar ini pula mengapa tulangan beton tidak berkarat karena berada di dalam
beton. Tebal lapisan beton di luar baja (selimut beton) tidak boleh terlalu tipis.

7.7. Baja Tulangan


Baja tulangan beton adalah baja yang berbentuk baja, yang digunakan
untuk penulangan beton. Dalam perdagangan disebut juga besi beton. Menurut
Persyaratan Umum Bahan Bangunan Indonesia (PUBI-1982), baja tulangan harus
liat, yang diketahui dari hasil uji tarik. Pada pengujian tarik baja tulangan, harus
tampak adanya tegangan leleh, regangan akhir ± 20%, dan nampak pula adanya
pengurangan luas tampang sebelum patah.
Di dalam struktur beton bertulang, baja berfungsi antara lain sebagai
pemikul tegangan tarik, pemikul kelebihan tegangan tekan yang sudah tidak dapat
dipikul oleh betonnya, serta merupakan rangka struktur.

117
Untuk menjalankan fungsinya, secara umum baja tulangan harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Tidak berkarat, karena karat dapat mengurangi kemampuan baja dalam
memikul tegangan yang terjadi dalam penampang.
b. Bebas dari kotoran dn minyak yang dapat menurunkan lekatan antara baja
tulangan dengan betonnya.
c. Tidak cacat, karena cacat pada baja tulangan dapat menyebabkan daya dukung
baja terhadap tegangan tidak merata.
Berdasarkan bentuknya, baja tulangan beton terdiri dari baja tulangan
polos (plain bar) dan baja tulangan ulir (deformed bar). Ulir yang ada pada
permukaan baja dimaksudkan untuk menambah daya lekat antara baja dengan
beton disekitarnya. Untuk menyatakan mutu, SNI T-15-1991-03 menggunakan
simbol BJTP (baja tulangan polos) dan BJTD (baja tulangan deform), yang diikuti
angka yang menyatakan tegangan leleh karakteristiknya, sebagai contoh BJTP-24
menyatakan baja tulangan polos dengan tegangan leleh material 24 KN/cm 2. Mutu
baja tulangan dapat dilihat dalam Tabel 7.2.

Tabel 7.2. Sifat Mekanik Baja Tulangan


Persyaratan tarik
Simbol mutu Tegangan leleh Kekuatan tarik Perpanjangan
minimum (KN/cm ) 2
minimum (KN/cm ) 2
minimum (%)
BJTP-24 24 39 18

BJTP-30 30 49 14

BJTD-30 30 49 14

BJTD-35 35 50 18

BJTD-40 40 57 16

Sumber: Wahyudi, Rahim, 1997

a. Baja Tulangan Polos


Baja tulangan polos tersedia dalam beberapa macam diameter, tetapi
ketentuan SNI hanya memperkenankan pemakaiannya untuk sengkang dan

118
tulangan spiral. Baja tulangan polos yang tersedia di pasaran tercantum dalam
Tabel 7.3.

Tabel 7.3. Dimensi Nominal Tulangan Polos


Diameter (mm) Berat (kg/m) Keliling (cm) Luas penampang
(cm2)

6 0,222 1,88 0,283

8 0,395 2,51 0,503

10 0,617 3,14 0,785

12 0,888 3,77 1,13

16 1,58 5,02 2,01

Sumber: Wahyudi, Rahim, 1997

b. Baja Tulangan Ulir (Deform)


Berdasarkan SNI T-15-1991-03 Pasal 3.5., baja tulangan ulir lebih
diutamakan pemakaiannya utuk batang tulangan beton struktur, dengan tujuan
agar struktur beton bertulang tersebut memiliki keandalan terhadap efek gempa
karena adanya lekatan yang baik antara beton dengan tulangannya. Baja tulangan
ulir yang tersedia di pasaran tercantum dalam Tabel 7.4.

Tabel 7.4. Dimensi Nominal Tulangan Ulir


Diameter (mm) Berat (kg/m) Keliling (cm) Luas penampang
(cm2)

10 0,617 3,14 0,785

119
13 1,04 4,08 1,33

16 1,58 5,02 2,01

19 2,23 5,96 2,84

22 2,98 6,91 3,80

25 3,85 7,85 4,91

32 6,31 10,05 8,04

36 7,99 11,30 10,20

40 9,87 12,56 12,60

Sumber: Wahyudi, Rahim, 1997

7.8. Baja Struktur


Baja struktur umumnya digunakan dalam bangunan pabrik (sebagai
rangka kuda-kuda, balok, dan kolom), sebagai balok dan diafragma jembatan, dan
lain-lain. Tampang lintang baja struktur diberi nama sesuai dengan bentuk dari
tambangnya, yakni bulat (round), persegi (square), pelat (flat), sudut (angle),
profil T (tee), kanal (channel), profil I (I-sec), tampang H (H-sec) yang dikenal
juga sebagai profil WF (wide flange), profil Z (Z-sec), profil siku. Setiap jenis
baja struktur tersedia dalam berbagai ukuran yang dapat dipilih sesuai
kebutuhannya, sebagai contoh: profil siku-siku tidak sama kaki tersedia dari
ukuran penampang 20.30.3 – yang berarti memiliki lebar salah satu kaki 20 mm
dan kaki yang lain 30 mm dan tebal kaki 3 mm – sampai dengan 100.200.18 ––
yang berarti memiliki lebar salah satu kaki 100 mm dan kaki yang lain 200 mm
dan tebal kaki 18 mm. Tampang melintang baja struktur dapat dilihat pada Tabel
7.5.

Tabel 7.5. Tampang Melintang Baja Struktur

120
Beberapa profil baja mudah diperoleh di pasaran sesuai dengan
kebutuhan yang ada, sedangkan profil yang jarang di pasaran dapat dipesan di
pabrik atau dibuat dari pelat yang digabungkan. Pada pelaksanaan pembangunan
gedung atau jembatan, batang-batang baja struktur dihubungkan satu sama lain
menjadi satu kesatuan struktur sesuai dengan kebutuhan. Penyambungan dapat
dilakukan dengan sambungan baut (bolted connections), sambungan pin (pin
connections), sambungan las (welded connections), dan sambungan paku keling

121
(riveted connections). Pada setiap titik sambungan (titik buhul) atau pertemuan
antar batang-batang struktur biasanya diberi pelat bantu yang disebut gusset plate.
Contoh gambar sambungan baja struktur dapat dilihat pada Gambar 7.1.
Sedangkan gambar konstruksi bangunan dengan baja struktur dapat dilihat pada
Gambar 7.2.

Sumber : PT. Tambang Batu Bara Bukit Asam


Gambar 7.2. Sambungan Baja Struktur

122
Gambar 7.3. Penggunaan Baja Struktur Dalam Pembangunan Jembatan
Komposit

Daftar Pustaka
1. Kardiyono, 1989, “Buku Ajar Bahan Konstruksi Teknik”, Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta

123
2. Prawoto, H, 1995, Diktat Kuliah Struktur Beton, Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta
3. Puslitbang Pemukiman, Persyaratan Umum Bahan Bangunan di Indonesia
(PUBI – 1982)
4. Sagel, R., Ing. P. Kole, Ir. Gideon H. Kusuma, 1993, Pedoman Pengerjaan
Beton, Erlangga, Jakarta
5. Singh, G, & J. Singh, 1979, “Materials of Construction”, Standard Book
Service, Delhi
6. Materi Pelatihan Gambar Struktur Baja – PT. Tambang Batu Bara Bukit Asam
7. Wahyudi, L., Syahril A. Rahim, 1997, Struktur Beton Bertulang Standar Baru
SNI T-15-1991-03, Gramedia, Jakarta

124
8. BATA MERAH

8.1. Pendahuluan
Bata merah yang umumnya digunakan untuk membuat dinding
bangunan dibuat dari tanah liat dengan atau tanpa campuran bahan lain, dibakar
pada suhu tinggi sehingga tidak hancur bila direndam air. Mula-mula tanah liat
dibuat plastis dan dicetak dalam cetakan kayu atau baja. Tanah hasil cetakan itu
kemudian dikeringkan, lalu dibakar dengan suhu tinggi. Hasil dari pembakaran
tersebut, bata tidak boleh berubah bentuk dan tetap segi empat. Bentuk umum bata
adalah empat persegi panjang, bersudut siku, tajam, dan permukaannya rata.
Panjang bata umumnya dua kali lebarnya, tebalnya sekitar ½ atau ¾ lebar bata.
Ukuran tersebut dipilih agar bata dapat diangkat hanya dengan satu tangan tanpa
alat bantu.
Bata yang baik sebagian besar terdiri atas pasir (silica) dan tanah liat
(alumina), yang dicampur dalam perbandingan tertentu sedemikian rupa sehingga
bila diberi sedikit air menjadi bersifat plastis. Sifat plastis ini penting agar tanah
dapat dicetak dengan mudah, dikeringkan tanpa susut, retak-retak, maupun
melengkung.
Kandungan tanah liat membuat pasir bersifat plastis, akan tetapi terlalu
banyak tanah liat (kurang pasir) berakibat susutan bata cukup besar selama
pengeringan dan pembakaran, dan berpotensi mengakibatkan bata retak dan
melengkung. Pasir akan mereduksi sifat buruk tersebut, akan tetapi jika terlalu
banyak pasir berakibat tidak ada lekatan antar butir-butirnya yang berakibat bata
menjadi getas dan tidak kuat.
Dalam campuran bata, sebaiknya sedikit mengandung bubuk kapur yang
berguna untuk membantu proses pelelehan pasir saat pembakaran dan mengikat
butir-butir tanah. Bila ada kapur yang menggumpal, maka butir kapur tersebut

125
akan menjadi CaO (kapur tohor) setelah pembakaran. Kapur tohor ini akan
bereaksi dan mengembang bila terkena kandungan air, sehingga dapat meretakkan
bata. Selain itu, terlalu banyak kapur dalam campuran bata akan mengakibatkan
bata menjadi mudah retak.
Sedikit kandungan oksida besi dalam campuran bata diperlukan untuk
memperbaiki proses pembakaran dan memberi warna merah setelah pembakaran.
Kekurangan oksida besi menyebabkan warna bata agak kuning (kurang gelap).

8.2. Sifat-Sifat Bata


Bila dibandingkan dengan batu, bata mempunyai kelebihan dan
kekurangan sebagai berikut:
a. Batu memiliki sifat sangat kuat, awet, dan lebih tahan cuaca daripada bata.
Oleh sebab itu, pada struktur yang menahan beban berat, lebih baik dipakai
batu daripada menggunakan bata merah.
b. Pasangan batu dapat dibuat tanpa plester penutup karena tahan cuaca dan tidak
menghisap air, berbeda halnya dengan pasangan dari bata merah.
c. Bata merah lebih tahan bakar daripada batu, oleh karena itu untuk mebuat
struktur tahan api lebih baik dibuat dari pasangan bata merah.
d. Bata merah lebih mudah menyerap air daripada batu, oleh karena itu bata
tidak cocok untuk dipakai sebagai struktur bawah air. Bata akan mudah rusak
bila kandungan garam dalam air ikut terserp ke dalam bata.
e. Tembok bata lebih mudah dibuat tinggi karena bata lebih ringan daripada
batu. Untuk membuat tembok batu diperlukan tenaga tukang yang lebih mahir.
f. Karena batu mempunyai berat jenis yang tinggi, maka ongkos angkut ke
tempat pekerjaan menjadi mahal daripada ongkos angkut bata. Bila letak
sumber batu terlalu jauh, lebih murah membuat bata daripada mendatangkan
batu karena pembuatan bata dapat dilakukan dimana saja.
g. Karena bentuknya yang prismatik, maka tembok bata hanya membutuhkan
mortar sedikit saja. Hal yang demikian tidak terjadi pada dinding yang terbuat
dari batu.

126
Baik batu maupun bata merah memiliki kelebihan dan kekurangan
masing-masing, sehingga tidak bisa dikatakan bahwa yang satu lebih baik
daripada yang lain, melainkan penggunaannya disesuaikan dengan sifat masing-
masing.

8.3. Persyaratan Bata


SII-0021-78 dan PUBI-1982 mengatur persyaratan bata untuk bahan
bangunan sebagai berikut:
a. Bentuk standar bata adalah prisma empat persegi panjang, bersudut siku-siku
dan tajam, permukaannya rata dan tidak retak-retak.
b. Ukuran standar bata adalah:
Modul M-5a : 190 x 90 x 65 mm
Modul M-5b : 190 x 140 x 65 mm
Modul M-6 : 230 x 110 x 55 mm
c. Bata dibagi menjadi 6 (enam) kelas kekuatan, yang diketahui dari besar kuat
tekannya, yaitu kelas 25, kelas 50, kelas 100, kelas 150, kelas 200, dan kelas
250. Kelas kuat itu menunjukkan kekuatan tekan rata-rata minimum dari 30
buah bata yang diuji.
d. Bata merah tidak boleh mengandung garam yang dapat larut sedemikian
banyaknya sehingga pengkristalannya (yang berupa bercak-bercak putih)
menutup lebih dari 50% permukaan batanya.

8.4. Pengujian Bata


Pengujian terhadap bata dilakukan untuk mengetahui kualitas bata. Uji
yang dilakukan dapat berupa uji serapan air, uji kuat desak, uji kekerasan, uji
bentuk dan ukuran, uji bunyi, dan uji kandungan garam.

a. Uji Serapan Air


Pada pengujian ini, bata dipilih dari tumpukan bata dan ditimbang dalam
keadaan kering mutlak. Kemudian bata direndam dalam air beberapa waktu

127
sampai semua pori terisi air. Besar penyerapan air dihitung dengan rumus sebagai
berikut:

Dengan :
P = prosentase air yang terserap bata
Wb = berat bata setelah direndam dalam air
Wk = berat bata kering mutlak sebelum direndam air
Umumnya bata dianggap baik bila penyerapan airnya kurang dari 20%.

b. Uji Kuat Desak


Bata dipilih dari tumpukan, kemudian permukaannya sedikit diratakan
dan dibersihkan. Bata kemudian dipotong menjadi dua sama panjang. Potongan
pertama ditaruh di atas potongan kedua dengan posisi bidang potong pertama
berlawanan dengan bidang potong kedua. Di antara kedua potongan bata tersebut
diberi mortar dengan perbandingan campuran 1 PC : 3 Pasir. Setelah beberapa
hari apabila kekuatan mortar telah lebih besar daripada kekuatan bata, bata diuji
tekan dengan mesin uji tekan. Hasil pengujian ini menentukan kelas kekuatan, dan
koefisien variasi yang diijinkan dapat dilihat pada Tabel 27-3 PUBI-1982.

c. Uji Kekerasan
Uji kekerasan bata dilakukan dengan menggoreskan kuku pada
permukaan bata. Bekas yang ada pada permukaan bata itu merupakan ukuran
kekerasan bata.

d. Uji Bentuk dan Ukuran


Semua permukaan bata harus rata dan bersudut siku-siku. Ukuran
hendaknya sesuai ukuran standar. Besar penyimpangan ukuran dari standar yang
diijinkan dapat dilihat pada Tabel 27-2 PUBI-1982.

128
e. Uji Bunyi
Pengujian bunyi dilakukan dengan memegang dua bata dan memukulkan
satu sama lain dengan pukulan tidak terlalu keras. Kedua bata tersebut akan
mengeluarkan bunyi/suara. Bata yang baik akan mengeluarkan bunyi nyaring
adapun bata yang jelek bunyinya tidak nyaring.

f. Uji Kandungan Garam


Kandungan garam yang ada di dalam bata dapat mengakibatkan bercak-
bercak putih (“berbunga”). Pengujian kadar garam dalam bata dilakukan dengan
merendam sebagian bata di dalam air dan sebagian bata yang lain di atas air (bata
ditaruh berdiri). Air akan terserap ke dalam bata lewat bagian yang terendam,
kemudian mengalir ke atas dan menguap melalui permukaan bata yang
berhubungan dengan udara. Dalam perjalanan air di dalam bata itu dari bawah ke
atas disertai pula dengan membawa garam yang berupa larutan. Di permukaan
bata yang berhubungan dengan udara, air itu menguap dan larutan garam
tertinggal sehingga permukaan bata menjadi tertutup oleh bercak-bercak putih.
Banyaknya bercak putih yang ada di permukaan itu merupakan ukuran banyaknya
kandungan garam di dalam batanya. Bila luas permukaan bata yang tertutup
bercak putih lebih dari 50% sebaiknya bata tidak dipakai.

Daftar Pustaka
1. Kardiyono, 1989, “Buku Ajar Bahan Konstruksi Teknik”, Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta
2. Puslitbang Pemukiman, Persyaratan Umum Bahan Bangunan di Indonesia
(PUBI – 1982)

129
9. GENTENG

9.1. Pendahuluan
Genteng atau genting merupakan bahan bangunan yang berfungsi
sebagai penutup atap agar bangunan tidak kena air hujan, panas matahari, dan
lainnya. Dalam PUBI-1982 ada beberapa macam genteng penutup atap, misalnya
genteng keramik, genteng beton, genteng kaca, dan genteng bambu.
Genteng keramik terbuat dari tanah liat dengan atau tanpa campuran
bahan lain, yang dibakar sampai suhu yang cukup tinggi sehingga tidak hancur
jika direndam dalam air. Berdasarkan bentuknya, genteng keramik dapat dibagi
menjadi 3 (tiga) macam, yaitu:
- Genteng lengkung cekung, yaitu genteng dengan penampang yang berbentuk
gelombang, tidak simetris, dan tidak mempunyai bagian yang rata.
- Genteng lengkung rata, yaitu genteng dengan penampang bagian tengah yang
rata dan tepi-tepinya melengkung.
- Genteng rata, yaitu genteng dengan permukaan yang rata, tepi yang satu
beralur dan tepi lainnya berlidah, biasanya dinuat dengan mesin press.
Genteng beton terbuat dari campuran semen Portland, agregat halus, air,
dan atau tanpa kapur, trass, pigmen, dan bahan pembantu lain, yang dibuat
sedemikian rupa sehingga dapat digunakan untuk atap. Genteng beton harus
mempunyai bentuk sama (panjang, lebar, dan tebal genteng beton untuk semua
partai yang diserahkan kepada proyek harus sama dan seragam). Bentuknya harus
sedemikian sehingga dapat tersusun rapi pada rangka atap dan tidak
memungkinkan masuknya air hujan secara langsung maupun tempias.
Genteng kaca terbuat dari kaca dengan atau tanpa dicampur dengan
bahan tambahan. Genteng kaca harus mempunyai bentuk dan ukuran seperti
genteng keramik atau genteng beton, terutama ukuran panjang dan lebar yang
tidak boleh melampaui toleransi sebesar 1,5 mm.

130
Genteng bambu dibuat dari belahan bambu yang dipotong-potong
dengan ukuran panjang kurang lebih sama, dengan panjang minimum satu ruas.
Pemotongan bilah bambu (arah memanjang) harus diusahakan sedekat mungkin
dengan bukunya agar bambu tidak mudah pecah akibat beban maupun akibat
susut. Bagian dalam harus dibuat rata dengan bagian ruas dalam. Panjang genteng
bambu harus disesuaikan dengan bagian lurus yang terdapat pada bambu yang
tersedia. Diameter bambu yang tertelentang harus diusahakan sama besarnya –
sekitar 7 cm, sedangkan diameter bambu yang tertelungkup boleh dibuat sama
dengan bambu yang tertelentang atau lebih kecil sampai minimum 4 cm.

9.2. Persyaratan
Genteng yang digunakan sebagai penutup atap harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
a. Genteng Keramik
Tingkat mutu genteng keramik dibagi menjadi 5 (lima) tingkat yaitu: Mutu I,
II, III, IV, dan V.
Genteng keramik untuk semua tingkat mutu harus memenuhi ukuran-ukuran
sebagaimana tertera dalam Tabel 9.1.

Tabel 9.1. Ukuran Genteng Keramik


Ukuran (mm)
Uraian Keterangan
Kecil Sedang Besar
Panjang berguna 200 250 333 Jarak reng, penyimpangan
Lebar berguna 200 200 200 < 6 mm
Jarak penutup Min. 40 Min. 50 Min. 67 Memanjang
Min. 40 Min. 40 Min. 40 Melintang
Kaitan : Tinggi 10 10 10
Panjang 30 30 30
Lebar 10 10 10
Sumber : Kardiyono, 1989

131
Syarat pandangan luar genteng keramik harus memenuhi syarat sebagaimana
tercantum dalam Tabel 9.2.

Tabel 9.2. Persyaratan Pandangan Luar Genteng Keramik


Mutu Syarat Pandangan Luar
I Harus mempunyai permukaan yang utuh (tanpa cacat)
Kerapatan baik (rapi dan tidak tempias)
Warna sama untuk semua partai (seragam)
Suara nyaring (jika diadu pada dua genteng)
II Harus mempunyai permukaan utuh
Kerapatan pada pemasangan baik
III Cacat-cacat hanya sedikit (bintik-bintik hitam yang terdapat pada permukaan
genteng, lubang, dan tonjolan karena butir-butir kasar.
Sedikit retak rambut
Kerapatan pada pemasangan cukup baik
IV Cacat-cacat tidak terlalu besar
Sedikit retak-retak
Kerapatan pada pemasangan cukup baik
V Terdapat cacat-cacat dan retak-retak tetapi masih dapat dipakai
Sumber : Kardiyono, 1989

Genteng keramik juga harus memenuhi persyaratan ketetapan bentuk


(kelengkungan arah memanjang) seperti tercantum dalam Tabel 9.3.

Tabel 9.3. Persyaratan Ketetapan Bentuk Genteng Keramik


Syarat Kelengkungan Memanjang Maks. (%)
Ukuran
Mutu
(mm) Lengkung cekung Lengkung rata Rata

200 4 3 2,5
I 250 4 3 2,5
333 5 3,3 3

132
200 4 4 3
II 250 5 4 3
333 6 4,5 4

200 6 5 4
III 250 6 5 4
333 7 5,5 5

200 7 6 5
IV 250 7 6 5
333 8 7 6

200 8 7 6
V 250 8 7 6
333 9 8 7

Sumber : Kardiyono, 1989

Genteng keramik harus memenuhi persyaratan kekuatan lentur sebagaimana


tercantum dalam Tabel 9.4.

Tabel 9.4. Persyaratan Kuat Lentur Genteng Keramik


Beban Lentur Minimum (kg)
Mutu Rata-rata Beban terendah
(dari min. 6 benda uji) (dari semua benda uji)
I 150 110
II 120 90
III 80 60
IV 50 35
V 30 25
Sumber : Kardiyono, 1989

133
Genteng keramik untuk semua mutu harus tahan terhadap perembesan air.
Pada pengujian perembesan air, air tidak boleh menetes dari bagian bawah
genteng dalam waktu kurang dari 2 jam.

b. Genteng Beton
Ukuran panjang, lebar, dan tebal genteng beton untuk seluruh partai yang
diserahkan harus sama dan seragam. Seluruh partai genteng harus dapat
tersusun rapi pada rangka atap sehingga tidak memungkinkan masuknya air
hujan secara langsung maupun karena tempias. Ukuran panjang efektif
genteng beton harus sesuai dengan jarak reng dari luar ke luar sehingga akan
memberikan beban lentur yang masih dapat diijinkan.
Tebal genteng beton tidak boleh kurang dari 8 mm, sedangkan tebal minimum
pada bagian penumpangan adalah 6 mm. genteng harus mempunyai kaitan
untuk mengkaitkan pada reng. Tebal/tinggi kait minimum 12 mm, lebar kait
minimum 20 mm. Jika diperlukan, genteng dapat diberi lubang untuk paku,
yang dipakukan pada kasau (usuk). Genteng harus mempunyai penumpangan
tepi yang lebarnya minimum 25 mm dan dilengkapi dengan minimum satu
alur air yang kediamannya minimum 5 mm.
Ditinjau dari pandangan luar, genteng harus mempunyai permukaan atas yang
mulus, tidak terdapat retak, atau cacat lain yang mempengaruhi sifat
pemakaian, dan setiap jenis bentuknya harus seragam.
Sesuai dengan tingkat mutunya, genteng beton harus memenuhi syarat kuat
lentur seperti tertera pada Tabel 9.5.

Tabel 9.5. Mutu dan Kuat Lentur Minimum Genteng Beton


Tingkat Mutu Kuat Lentur Rata-Rata dari Kuat Lentur Masing-Masing
10 Genteng Yang Diuji (kg) Genteng (kg)

I 150 120

II 80 60

Sumber : Kardiyono, 1989

134
Daya serap air genteng beton diukur dari daya serap air rata-rata 10 (sepuluh)
contoh genteng yang diuji. Daya serap air yang diijinkan adalah 10% dari
berat genteng.
Dari hasil pengujian kerapatan air tidak boleh ada tetesan air dari bagian
bawah genteng. Genteng diperbolehkan basah, asalkan tidak menetes.

c. Genteng Kaca
Genteng kaca harus dibuat dari kaca putih bening, putih buram, atau warna
dengan tebal minimum 2 mm. Ukuran genteng kaca sesuai dengan ukuran
genteng keramik dengan toleransi panjang dan lebar maksimum 1,5 mm.
d. Genteng Bambu
Bambu yang digunakan untuk penutup atap harus yang berumur tua, lurus,
berwarna kuning jernih, hitam, atau hijau tua dengan bintik-bintik di bagian
bawahnya, berserat padat dengan permukaan yang mengkilap, dan di tempat
buku tidak boleh pecah. Bambu harus direndam dahulu dalam air mengalir.
Bambu yang telah direndam dalam air harus sudah berwarna pucat (tidak
kuning, hijau, atau hitam lagi) dan berbau asam yang khas.
Ukuran panjang genteng bambu harus disesuaikan dengan bagian lurus yang
terdapat pada bambu yang tersedia. Diameter bambu yang tertelentang kurang
lebih 70 mm, sedangkan diameter bambu yang tertelungkup boleh dibuat sama
(70 mm) atau lebih kecil dengan diamater minimum 40 mm. Untuk alat
penambat genteng bambu dapat digunakan paku seng, tali bambu, atau kawat
baja berlapis seng.

Daftar Pustaka
1. Kardiyono, 1989, “Buku Ajar Bahan Konstruksi Teknik”, Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta

135
2. Puslitbang Pemukiman, Persyaratan Umum Bahan Bangunan di Indonesia
(PUBI – 1982)

136

Anda mungkin juga menyukai