Anda di halaman 1dari 20

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/346520849

Efektivitas Obat Kortikosteroid pada Beberapa Kondisi Inflamasi Mukosa Mulut

Conference Paper · June 2012

CITATIONS READS
0 5,131

2 authors:

Nanan Nuraeny Tenny Setiani


Universitas Padjadjaran Universitas Padjadjaran
67 PUBLICATIONS   61 CITATIONS    39 PUBLICATIONS   21 CITATIONS   

SEE PROFILE SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Pengabdian pada masyarakat 2018 View project

Pomegranate seeds and recurrent aphthous stomatitis View project

All content following this page was uploaded by Nanan Nuraeny on 01 December 2020.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Efektivitas Obat Kortikosteroid pada Beberapa Kondisi Inflamasi Mukosa Mulut

Nanan Nur’aeny, Tenny Setiani Dewi

Departemen Ilmu Penyakit Mulut Fakultas Kedokteran Gigi Universitas

Padjadjaran, Bandung-Indonesia

E-mail: nanan.nuraeny@fkg.unpad.ac.id

Abstrak
Secara fisiologis, respons tubuh terhadap benda asing tidak berhenti pada proses
inflamasi saja tetapi tubuh selanjutnya akan melakukan fungsi kontrolnya melalui
pengeluaran kortisol sebagai kortikosteroid alami untuk menjaga keseimbangan di dalam
tubuh (homeostatis). Pada kondisi inflamasi berat atau kronis yang bersifat sekunder dari
reaksi hipersensitif atau reaksi autoimun, kortikosteroid alami tidak cukup menekan
pengeluaran mediator-mediator inflamasi yang selanjutnya dapat merusak tubuh sehingga
pengunaan obat kortikosteroid (kortikosteroid sintetik) menjadi pilihan terapi yang utama.
Secara umum dosis dan cara pemberian obat yang tepat akan mendukung keberhasilan
terapi, begitu pula untuk pengobatan berbagai kelainan mukosa mulut. Kelainan inflamasi
ringan yang terjadi pada mukosa mulut dapat diterapi dengan pemberian obat kortikosteroid
topikal, tetapi jika kondisi inflamasi cukup berat atau menunjukan perbaikan yang kurang
berhasil dengan pemberian topikal, maka obat kortikosteroid dapat diberikan secara
sistemik, tentunya memerlukan pemantauan yang baik untuk mencegah supresi adrenal,
rekurensi atau eksaserbasi penyakit serta timbulnya efek-efek samping lainnya.
Kata Kunci : Inflamasi, mukosa, mulut, kortikosteroid, topikal, sistemik, efek samping

Abstract
Physiologically, the body’s response against foreign substances in the inflammatory
process doesn’t stop at that time but the body will perform the function of control over the
releasing the cortisol as a natural corticosteroid to maintain balance in the body
(homeostatis). In the severe or chronic inflammatory condition that is secondary to a
hypersensitivity reaction or autoimmune reaction, natural corticosteroid doesn’t enough to
suppress the inflammatory mediators that could further damage the body so that the use of
corticosteroid drugs (synthetic corticosteroid) is a first choice to control the condition. In
general, dose and mode of administration of appropriate drugs will support the success of
therapy, as well as for the treatment of variety oral inflammatory conditions. Mild
inflammatory condition that occur in the oral mucosa can be treated with topical
corticosteroid medication, but if the condition is getting severe or with the topical
administration didn’t show any improvement, the drug can be administered systemically,
which would require to monitoring to prevent adrenal suppression, recurrent or
exacerbation of the disease and the incidence other side effects of drugs.
Key words : inflammatory, oral, mucosa, corticosteroid, topical, systemic, side effect

Pendahuluan

Secara fisiologis, respons tubuh terhadap benda asing tidak berhenti pada proses

inflamasi saja tetapi tubuh selanjutnya akan melakukan fungsi kontrolnya melalui

pengeluaran kortisol sebagai kortikosteroid alami untuk menjaga keseimbangan di dalam

tubuh (homeostatis).1 Pada kondisi inflamasi berat atau kronis yang bersifat sekunder dari

reaksi hipersensitif atau reaksi autoimun, kortikosteroid alami tidak cukup menekan

pengeluaran mediator-mediator inflamasi yang selanjutnya dapat merusak tubuh sehingga

pengunaan obat kortikosteroid (kortikosteroid sintetik) menjadi pilihan terapi yang utama. 2

Pemberian obat kortikosteroid harus dalam pemantauan yang baik untuk mencegah supresi

adrenal, rekurensi atau eksaserbasi penyakit serta timbulnya efek-efek samping lainnya.3

Berikut dalam makalah ini akan dibahas mengenai efektivitas obat kortikosteroid

pada beberapa kondisi inflamasi mukosa mulut seperti pada recurrent aphthous stomatitis

(RAS), RAS-like, oral lichen planus (OLP), oral lichenoid reaction (OLR), pemfigus,

pemfigoid, erythema multiforme (EM), dan stevens johnson syndrome (SJS)

Tinjauan Umum Obat Kortikosteroid

Menurut kamus kedokteran Dorland, istilah obat (drug) memiliki dua pengetian,

yaitu pertama sebagai bahan kimia yang mempengaruhi proses pikiran dan tubuh,

pengertian kedua, yaitu semua senyawa kimia yang digunakan pada atau diberikan pada
manusia atau hewan sebagai alat bantu diagnosis, pengobatan, atau pencegahan penyakit

atau keadaan abnormal lain, untuk menghilangkan rasa sakit atau penderitaan, atau

mengendalikan atau memperbaiki setiap keadaan fisiologik atau patologik.

Kortikosteroid sintetik merupakan kortikosteroid yang menggantikan senyawa

kortikosteroid alami untuk tujuan terapi, karena memiliki efek yang kuat, longer acting

dibanding kortikosteroid alami, serta lebih selektif untuk aksi glukokortikoid dan memiliki

aktivitas oral yang tinggi.4 Kortikosteroid sintetik sering disebut “obat kortikosteroid” atau

“steroid” saja.3,4 Selanjutnya dalam makalah ini akan memakai istilah “obat kortikosteroid”.

Klasifikasi obat kortikosteroid secara umum dibedakan berdasarkan aktivitasnya

menjadi kelompok glukokortikoid, dan mineralokortikoid. Berdasarkan potensinya,

kelompok glukokortikoid dibagi lagi dalam tiga kelompok, yaitu kelompok short-to

medium acting, yaitu hidrokortison (kortisol), kortison, prednison, prednisolon,

metilprednisolon, dan meprednison. Kelompok kedua yaitu intermediate-acting, terdiri atas

triamsinolon, parametason, dan fluprednisolon. Kelompok ketiga yaitu long-acting terdiri

atas betametason dan deksametason. Kelompok mineralokortikoid terdiri atas

fludrokortison, dan deoksikortikosteron.3 (Tabel 1)

Obat kortikosteroid juga dapat diberikan secara topikal, dan telah dibuat klasifikasi

berdasarkan potensi aktivitasnya dalam berbagai formulasi, dibagi dalam lima kelompok,

yaitu kelompok lowest efficacy, low efficacy, intermediate efficacy,high efficacy, dan

highest efficacy.3 (tabel 2).


Tabel 1. Pembagian kortikosteroid alami dan sintetik secara umum 3
Obat Aktivitas Dosis oral ekivalen Sediaan
Anti inflamasi salt-retaining (mg)

Glukokortikoid short to medium-acting


Hidrokortison
(kortisol) 1 1 20 oral, injeksi,topikal
Kortison 0,8 0,8 25 oral
Prednison 4 0,3 5 oral
Prednisolon 5 0,3 5 oral, injeksi
Metilprednisolon 5 0 4 oral, injeksi
Meprednison 5 0 4 oral, injeksi
Glukokortikoid intermediate-acting
Triamnisolon 5 0 4 oral,injeksi,topikal
Parametason 10 0 2 oral,injeksi
Fluprednisolon 15 0 1,5 oral
Glukokortikoid long-acting
Betametason 25-40 0 0,6 oral,injeksi.topikal
Deksametason 30 0 0,75 oral,injeksi,topikal
Mineralokortikoid
Fludrokortison 10 250 2 oral
Deoksikortison 0 20 injeksi, pellet
asetat

Tabel 2. Klasifikasi obat kortikosteroid topikal dalam berbagai formulasi. 3


Konsentrasi Obat Konsentrasi Obat
Lowest efficacy Intermediate efficacy
0,25-2,5% Hidrokortison 0,05% Flutikason propionat
0,25% Metilprednisolon asetat 0,05% Desonid
0,1% Deksametason 0,025% Halsinonid
1,0% Metilprednisolon asetat 0,05% Desoksimetason
0,5% Prednisolon 0,05% Flurandrenolid
0,2% Betametason 0,1% Triamsinolon asetonid
Low efficacy 0,025% Fluosinolon asetonid
0,01% Fluosinolon asetonid
0,01% Betametason valerat High efficacy
0,05% Fluosinonid
0,025% Fluorometolon 0,05% Betametason dipropionat
0,05% Aklometason dipropionat 0,1% Amsinonid
0,025% Triamsinolon asetonid 0,25% Desoksimetason
0,1% Klokortolon pivalat 0,5% Triamsinolon asetonid
0,03% Flumetason pivalat 0,2% Fluosinolon asetonid
Intermediate efficacy 0,05% Diflorason diasetat
0,2% Hidrokortison valerat 0,1% Halsinonid
0,1% Mometason furoat Highest efficacy
0,1% Hidrokortison butirat 0,05% Betametason dipropionat
(in optimized vehicle)
0,1% Hidrokortison probutat 0,05% Diflorason diasetat
(in optimized vehicle)
0,025% Betametason benzoat 0,05% Halobetasol propionat
0,025% Flurandrenolid 0,05% Klobetasol propionat
0,1% Betametason valerat
0,1% Prednikarbat
Mekanisme aksi seluler obat kortikosteroid memiliki aksi anti inflamasi yang

kompleks. Pada tingkat sel dapat menyebabkan pendistribusian kembali granulosit

sehingga meningkatkan granulosit dalam sirkulasi. 5 Obat kortikosteroid juga dapat

mencegah pelepasan prostaglandin, meningkatkan stabilitas membran lisosom,

penghambatan metabolisme asam arakhidonat yang dilepas dari membran fosfolipid. 6

Toksisitas obat kortikosteroid jenis glukokortikoid, biasanya tidak ditemukan jika

diberikan dalam periode waktu yang pendek (kurang dari 2 minggu), meskipun diberikan

dalam dosis cukup besar.3 Toksisitas terutama terjadi jika pemberian kortikosteroid dalam

jangka waktu yang lama, dengan dosis yang tidak diturunkan. Menurut Baid dan Nieman,

tidak ada ambang dosis kortikosteroid sistemik yang absolut yang menunjukkan tidak

terjadinya suatu adverse effect.7

Efek yang tidak diinginkan dari pemberian obat kortikosteroid sistemik dapat

dibedakan dalam tiga bentuk manifestasi klinis yaitu efeknya terhadap proses metabolik

dalam tubuh, supresi adrenal, dan komplikasi lainnya.3 Efek terhadap proses metabolik

dapat terlihat seperti pada pemberian hidrokortison dengan dosis per hari 100 mg yang

diberikan selama lebih dari dua minggu, yaitu terjadinya sindrom Cushing iatrogenik,

berupa moon face atau wajah tampak bulat, bengkak karena deposisi lemak, selain pada

wajah deposisi lemak juga dapat berdistribusi ke arah eksterimitas, punggung sampai

tengkuk (buffalo hump).3 Fenomena farmakokinetik yang berhubungan dengan tanda klinis

Cushingoid biasa disertai dengan berkurangnya albumin plasma. 8 Manifestasi berupa moon

face, buffalo hump, akumulasi lemak di daerah supraklavikular dan abdomen, dikenal

dengan istilah corticosteroid induced lipodystrophy (CIL).9 Perubahan metabolik lainnya

yang terjadi pada pemberian terapi jangka panjang dapat berupa penambahan berat badan,
myopathy, penipisan kulit disertai striae dan memar, hiperglikemi, osteoporosis, diabetes,

hipertensi dan terganggunya penyembuhan luka.3

Risiko insufisiensi adrenal akibat pemberian secara per oral berhubungan dengan

potensi obat, waktu paruh biologis, dosis harian dan durasi supresi plasma

adrenocorticotrophic hormone (ACTH) setelah dosis tunggal. Obat kortikosteroid

kelompok glukokortikoid dapat mensupresi hypothalamic-pituitary-adrenal (HPA) axis

melalui feedback negatif pada kelenjar hipotalamus dan pituitari, sehingga secara klinis

insufisiensi adrenal terjadi jika obat langsung dihentikan,7 sehingga penghentian terapi

kortikosteroid harus secara bertahap dan lambat, karena diperlukan waktu 2-12 bulan untuk

hypothalamic-pituitary-adrenal (HPA) axis dapat berfungsi kembali, dan juga memerlukan

waktu 6-9 bulan untuk level kortisol dapat kembali normal. 3 Gejala insufisiensi adrenal

kronis yaitu berupa lemah, malaise, mual, anoreksia, penurunan berat badan, atau pusing,

serta hipoglikemi, hiponatremia, dan hipotensi meskipun jarang. Gejala insufisiensi

adrenal akut atau “krisis adrenal” yaitu ditandai dengan mual, muntah, demam, hipotensi,

dehidrasi, dan terdapatnya hasil pemeriksaan laboratorium yang abnormal. 7

Komplikasi lainnya dari efek samping obat kortikosteroid adalah terjadinya

hipertensi dan intoleransi glukosa akibat pemberian kortikosteroid dapat juga memicu

terjadinya penyakit jantung koroner, seperti halnya pada kejadian arterosklerosis setelah

penggunaan obat kortikosteroid jangka panjang dan dengan dosis tinggi. 10 Gangguan pada

saluran cerna juga dapat terjadi seperti ulser peptik yang disertai mual, muntah, pusing,

bahkan beberapa gejala psikosis seperti insomnia, perubahan perilaku (seperti hypomania),

depresi, serta terjadi tekanan intraokular, dan glaukoma. 3,9,11 Kasus steroid-induced ocular

hypertension ditemukan pertama kali oleh McLean pada tahun 1950, setelah pemberian
ACTH sistemik.12 Khusus pada penggunaan kortikosteroid untuk kelainan mata, baik

dengan pemberian sistemik, topikal, intravena, inhalasi, atau intravitreal, berdasarkan

penelitian juga dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor risiko seperti riwayat glaukoma

(pribadi/keluarga), usia anak, lanjut usia, DM tipe 1, potensi dan cara pemberian obat

kortikosteroid.13

Pada pemberian obat kortikosteroid secara topikal, sedikit publikasi yang

menunjukan pengaruh obat terhadap supresi HPA axis.7 Peningkatan absorpsi sistemik dari

setiap obat kortikosteroid secara topikal baik melalui kulit atau mukosa mulut, dapat terjadi

jika permukaan kulit atau mukosa tidak utuh. Pasien dengan lesi erosif yang besar atau

daerah atrofi dengan ada/tidaknya bagian pembuluh darah yang terbuka memiliki

kecenderungan terjadi adverse effect sistemik yang besar.7 Adverse effect lokal dalam

rongga mulut akibat penggunaan obat kortikosteroid topikal yaitu berupa kandidiasis yang

ditemukan pada sebanyak 25-55% pasien. Hal ini berhubungan dengan jenis obat

kortikosteroid yang sangat poten dalam sediaan larutan/cairan, digunakan dalam waktu

lama, serta konsentrasi tinggi.14 Selain kandidiasis, efek samping lainnya dalam rongga

mulut dapat ditemukannya burning mouth, hypogeusia, dan reaksi hipersensitif terhadap

obat.15,16 Pada pemberian obat kortikosteroid topikal dengan dosis tinggi juga menunjukan

terjadinya absorpsi obat secara sistemik yang dapat menghambat HPA axis dan terjadinya

insufisiensi sekunder adrenal dengan manifestasi klinis berupa moon face, hirsutism dan

fragilitas kapiler.17

Penggunaan Obat Kortikosteroid pada Beberapa Kondisi Inflamasi Mukosa Mulut

Recurrent aphthous stomatitis (RAS) dan RAS-like


Recurrent aphthous stomatitis (RAS) merupakan suatu kelainan yang ditandai

dengan adanya ulser yang berulang pada mukosa mulut pasien tanpa disertai tanda-tanda

penyakit lain. RAS memiliki tiga tipe berdasarkan ukuran, yaitu tipe minor (Gambar 1),

dengan ukuran lesi kurang dari satu sentimeter (4-5 mm), tipe mayor dengan ukuran lebih

dari satu sentimeter, dan tipe herpetiformis dengan ukuran ulser lebih kecil dari satu

sentimeter (1-2 mm) tetapi berjumlah banyak, dan dapat terlihat besar jika ulser-ulser

tersebut bersatu,18 sedangkan RAS-like ditandai secara klinis berupa ulser pada mukosa

mulut yang mirip dengan RAS tetapi dilatarbelakangi oleh suatu kondisi sistemik yang

berulang, misalnya ulserasi mulut pada penyakit Behcet, gangguan nutrisi, gangguan

gastrointestinal, siklik neutropenia, infeksi HIV, MAGIC syndrome, FAPA syndrome, dan

reaksi obat.19

Gambar 1. Lesi ulser RAS tipe minor.18

Terapi kortikosteroid untuk RAS dan RAS-like telah banyak diberikan, baik secara

topikal maupun sistemik. Obat kortikosteroid topikal pada kasus RAS memiliki dua aksi,

yaitu pertama sebagai aksi anti inflamasi yang dapat menunjukan kemajuan penyembuhan

ulser RAS serta dapat mengurangi keluhan tidak nyaman dalam rongga mulut.19 Aksi kedua

dari obat kortikosteroid topikal pada RAS, dikenal dengan specific blocking effect sebagai

interaksi antara limfosit T dengan sel epitel. Aksi ini penting bila obat diberikan pada saat
konsentrasi limfosit baru saja tersensitisasi, yaitu saat sebelum dan selama tahap awal

prodromal terjadinya ulserasi, karena obat dapat memberikan efeknya secara maksimal.

Setelah terbentuk ulserasi pada RAS dan terjadi penurunan konsentrasi limfosit yang

tersensitisasi, maka aksi kedua dari obat kortikosteroid topikal pada RAS menjadi kurang

penting, sehingga hanya aksi pertama sebagai anti inflamasi saja yang berperan. 19

Obat-obat kortikosteroid topikal yang dapat diberikan pada kasus RAS adalah

hidrokortison sodium suksinat, dalam sediaan tablet 2,5 mg yang dapat larut, diberikan

empat kali sehari, mulai fase prodromal.18,20 Dalam sediaan tablet yang bersifat

mucoadhesive seperti prednisolon 5 mg juga telah terbukti dapat diberikan pada kasus

RAS, yaitu dengan cara meletakkannya pada lesi, ditekan selama beberapa detik dilakukan

sebanyak dua kali sehari, setelah sarapan dan makan malam. 18 Obat lainnya adalah

triamsinolon asetonid 0,1% dalam pasta orabase carboxymethylcellulosa, diaplikasikan

sebanyak empat kali sehari menggunakan jari yang lembab (moist) pada permukaan ulser

yang telah dikeringkan sebelumnya. Banyak pasien mengeluhkan sulit dalam

mengaplikasikan orabase ini tetapi jika sudah menempel dapat bertahan baik terutama saat

pemakaian malam hari. Sediaan lain selain pasta yaitu dalam bentuk obat kumur atau spray

juga dapat diberikan terutama jika dengan pemberian pasta kurang berespons baik,

misalnya untuk lesi yang luas atau lesi di orofaring / sulit dijangkau.21

Pada kasus RAS yang parah dapat pula dilakukan pemberian secara topikal, tetapi

obat kortikosteroid yang digunakan adalah golongan yang lebih kuat seperti fluosinonid,

betametason sodium fosfat, atau klobetasol, sehingga dapat mempercepat waktu

penyembuhan dan mengurangi ukuran lesi ulser.2 Keefektifan pemberian secara topikal

tergantung pada penyampaian instruksi yang baik dan penggunaan yang tepat oleh pasien.
Contoh pemberian secara topikal betametason sodium fosfat tablet 0,5 mg yaitu dengan

cara melarutkannya dalam 10 ml air, dikumur dalam mulut selama 3 menit, dilakukan

sebanyak empat kali sehari, setelah makan dan sebelum tidur, atau dapat dikombinasikan

dengan suatu bahan adhesif seperti orabase sebelum diaplikasikan pada lesi. Pada lesi yang

besar, aplikasi dapat dibantu dengan memakai gauze sponge yang diletakkan pada lesi

selama 15-30 menit, sehingga memungkinkan kontak obat lebih lama. 2,19,22 Ulserasi yang

terletak pada daerah yang sulit terlihat atau terjangkau dapat dikontrol dengan pemberian

deksametason elixir 0,5 mg/5 ml atau aplikasi dengan saturated gauge pad sebanyak empat

kali sehari selama 15 menit.2 Pada RAS tipe mayor, dapat diberikan obat kortikosteroid

secara sistemik, seperti pemberian tablet prednison dengan dosis 40 mg/hari selama 7 hari,

untuk mengontrol lesi yang ada.2 Untuk kasus RAS atau RAS-like yang berat, terapi dengan

prednison sistemik sebaiknya diberikan dengan dosis 1 mg/kg per hari sebagai dosis

tunggal dan dilakukan tappering setelah 1-2 minggu.2 Berdasarkan penelitian Qayyum,dkk

merekomendasikan dosis prednisolon dalam 3 hari pembagian dosis yang disebut “regimen

of 3” yaitu tiga tablet setiap hari selama tiga hari yang menunjukkan hasil yang

memuaskan.22

Oral Lichen Planus (OLP) dan Oral Lichenoid Reaction (OLR)

Lichen planus adalah suatu penyakit inflamasi kronik yang bermanifestasi di kulit

dan membran mukosa.23 Oral lichen planus merupakan suatu kelainan pada mukosa mulut

yang terjadi sebelum, setelah, atau bersamaan dengan munculnya lesi di kulit. Lesi pada

mulut dapat berupa retikuler(Gambar 2), plaque-like, papula, atrofik, erosif/ulser (Gambar

3), dan tipe bulosa.19,23


Gambar 2. Lesi OLP tipe retikuler.18 Gambar 3. Lesi OLP tipe ulseratif.18

Manifestasi klinis OLP hampir sama dengan OLR, kecuali lokasi lesi pada OLP

sering ditemukan bilateral, sedangkan lesi OLR bersifat unilateral. Berdasarkan etiologi

juga terdapat perbedaan yaitu OLR sering dikaitkan dengan faktor pemicu berupa obat-

obatan (obat anti inflamasi non steroid, ACE inhibitors, antimalaria, obat diuretik, obat

hipoglikemi oral, gold, dan penisilin) atau substansi lain (amalgam/ nikel), yang apabila

faktor tersebut dihilangkan maka lesi akan menghilang. 19,23

Obat kortikosteroid merupakan terapi pilihan utama pada kasus OLP dan OLR

karena memiliki kemampuan mengatur inflamasi dan respon imun. 23 Pemberian secara

topikal dapat diberikan untuk kasus OLP tipe mild dan moderate atau pada kasus OLR,

seperti hidrokortison lozenges, pasta adesif triamsinolon asetonid, tablet betametason yang

larut dalam air digunakan secara kumur, beklometason dipropionat spray, fluosinonid salep

yang dicampur bahan adesif, dan triamsinolon kumur.19,25 Sediaan topikal lainnya seperti

jel 0,05% klobetasol propionat, jel 0,05% fluosinonid, jel 0,1-0,05% betametason valerat,

salep atau krim 0,05% klobetasol butirat dan salep 0,1% triamsinolon asetonid. 2 Pasien

diinstruksikan untuk mengaplikasikan obat kortikosteroid topikal selapis tipis maksimal 3

kali sehari setelah makan dan sebelum tidur. Obat kortikosteroid yang potent dapat
menunda penyembuhan luka sehingga jika lesi eritem atau erosif sudah membaik,

disarankan untuk menurunkan dosis obat. 2

Obat kortikosteroid sistemik dapat diberikan pada kasus OLP dan OLR yang berat,

atau pada kasus eksaserbasi akut, dan sudah diberi secara topikal tapi gagal. 2 Prednison

dapat diberikan dalam dosis tunggal pagi hari untuk mengurangi insomnia dan sebaiknya

diberikan bersamaan dengan makanan untuk menghindari mual dan ulkus peptik.2 Dosis

prednisolon per oral dapat diberikan dalam dosis 40-80 mg selama 5 sampai 7 hari.23

Pemfigus dan Pemfigoid

Pemfigus adalah suatu kelompok gangguan imunobulosa yang mengenai kulit dan

membran mukosa.19 Penyakit ini ditandai dengan terbentuknya autoantibodi terhadap

antigen pada permukaan sel keratinosit, dan terbentuknya bula pada daerah intraepitel yang

terletak di atas lapisan basal. Manifestasi klinis yang khas adalah terdapatnya ulserasi parah

dalam rongga mulut (Gambar 4), dan hanya sedikit mukosa normal berada di antaranya.

Lesi pada mukosa mulut merupakan lesi awal dari 50% kasus pemfigus yang

bermanifestasi di kulit. Terdapat empat macam pemfigus, yaitu pemfigus vulgaris,

vegetans, foliaseus, dan eritematosus. Pemfigus vulgaris merupakan yang paling sering

terjadi, yaitu sebanyak 70% dari semua kasus pemfigus.19

Gambar 4. Lesi ulserasi pemfigus.18


Prognosis penyakit ini sangat buruk sebelum ditemukannya obat kortikosteroid.

Perbaikan klinis setelah pemberian obat kortikosteroid diikuti dengan menurunnya titer

autoantibodi. Efek obat kortikosteroid dalam menurunkan produksi autoantibodi adalah

dengan cara mengganggu subpopulasi limfosit, dan bukan dengan cara mencegah

pengikatan antibodi pemfigus terhadap jaringan target.2 Prednisolon dapat diberikan dalam

dosis tinggi untuk menekan pembentukan bula, yaitu 1 mg/kg berat badan yang terbagi

dalam 2-3 dosis setiap hari2, kemudian dosis dipertahankan selama 6-10 minggu dan

diturunkan sebanyak 10-20 mg setiap 2-4 minggu. Jika tidak ada rekurensi, pasien

diberikan dosis maintenance yaitu 5 mg per hari atau setiap beberapa hari selama beberapa

tahun. Kebanyakan pasien menunjukan perbaikan dalam waktu 4-12 minggu.2 Pemberian

terapi sistemik dapat bersamaan dengan penambahan obat kortikosteroid konsentrasi tinggi

secara kumur, karena mukosa mulut sering kurang berespons dibandingkan kulit. 19

Pemfigoid adalah suatu kelompok gangguan imunobulosa yang ditandai dengan

pembentukan bula subepidermis dan adanya imunoreaktan pada dasar membran. Terdapat

dua tipe yaitu yang sering ditemukan pada kulit, dan jarang pada mukosa, disebut bullous

pemphigoid (BP), tipe kedua yaitu yang lebih sering ditemukan pada membran mukosa, dan

jarang ditemukan di kulit, disebut juga dengan mucous membrane pemphigoid (MMP),

sebelumnya dikenal dengan istilah benign mucous membrane pemphigoid atau cicatrical

pemphigoid.19

Efek obat kortikosteroid pada kasus BP atau MMP adalah efek aksi anti

inflamasinya, termasuk menurunkan pelepasan enzim, mengurangi migrasi sel, dan

menurunkan kebocoran faktor humoral.27 Lesi lokal yang ringan berespons terhadap obat

kortikosteroid topikal, seperti triamsinolon, fluosinonid dan klobetasol propionat.2 Untuk


lesi pemfigoid yang berupa gingivitis deskuamasi sering diterapi dengan pemberian topikal

kortikosteroid seperti klobetasol propionat 0,05% dalam suatu mouth tray yang

diaplikasikan selama 5 menit sebanyak tiga kali sehari (setelah sarapan, setelah makan

siang, dan setelah makan malam) dapat menunjukan hasil yang sangat memuaskan.2,26

Obat kortikosteroid sistemik dapat diberikan sebagai terapi awal bagi pasien dengan

lesi ulserasi mulut yang luas atau sebagai terapi tambahan pada pasien yang tidak berespon

terhadap obat kortikosteroid topikal.2 Sediaan berupa prednison dengan dosis 40 mg setiap

pagi selama 5 hari lalu dosis diturunkan menjadi 20 mg setiap pagi selama 2-3

minggu.18,28,29

Erythema Multiforme (EM) dan Stevens Johnson Syndrome (SJS)

EM adalah suatu penyakit vesikulobulosa akut, dan dapat pula rekuren sebagai

reaksi hipersensitif, yang bermanifestasi pada kulit dan membran mukosa dengan gambaran

klinis yang bervariasi (Gambar 5), dapat dipicu oleh banyak faktor termasuk infeksi (virus),

beberapa obat, neoplasia, dan kehamilan.19,25 EM tipe minor biasanya terjadi pada satu

tempat, mulut saja atau kulit atau mukosa lain, juga ditandai adanya lesi target pada

ekstremitas.25 SJS adalah EM tipe mayor, yang ditandai dengan keterlibatan pada kulit dan

mukosa yang lebih luas yaitu berupa erosi yang luas pada mukosa dan bibir, terutama bibir

bawah yang disertai krusta dan perdarahan, dan ditandai adanya lesi target di kulit. 18,19,25
Gambar 5. Gambaran klinis lesi EM.18

Sampai saat ini masih sedikit diketahui perubahan imunopatologis pada EM setelah

pemberian obat kortikosteroid, tetapi kebanyakan lesi EM sensitif terhadap aksi obat

kortikosteroid dengan ditandai adanya emigrasi sel mononuklear, produksi antibodi, dan

pembentukan kompleks imun dan aktivasi komplemen. 2 Terapi obat kortikosteroid secara

kumur terutama pada EM yang ringan dapat berespon baik, karena dapat mengurangi gejala

dan menghambat proses kerusakan lebih lanjut dalam beberapa hari, meskipun selanjutnya

kortikosteroid sistemik tetap diperlukan.25 Pemberian sistemik diindikasikan jika terdapat

kondisi kelainan pada kulit atau rongga mulut yang parah atau ketika ada lesi di mata.

Penggunaan secara sistemik seperti pada EM tipe mayor atau SJS dapat diberikan

prednison atau prednisolon sebanyak 40 mg setiap hari selama 1-4 minggu, kemudian

diturunkan dosisnya dalam beberapa minggu berikutnya dapat memberi hasil yang efektif

karena dapat membantu mempercepat waktu penyembuhan terutama jika diberikan di awal

perjalanan penyakit.2,18,25

Simpulan

Penggunaan obat kortikosteroid sebagai anti inflamasi untuk beberapa kondisi

inflamasi mukosa mulut seperti pada RAS, RAS-like, OLP, OLR, pemfigus, pemfigoid,

EM, dan SJS sangat efektif, karena selain dapat menghilangkan rasa nyeri juga dapat
membantu dalam penyembuhan lesi, dan meningkatkan kualitas hidup pasien. Dokter gigi

sesuai kompetensinya sebaiknya membekali diri dengan pengetahuan tentang obat meliputi

jenis obat, dosis, cara pemberian, termasuk mengetahui efek terapi, efek samping, dan

toksisitas berbagai obat yang sesuai dengan bidang Kedokteran Gigi, termasuk jenis obat

kortikosteroid, sehingga dapat membantu meringankan keluhan pasien sesuai kondisi

klinisnya.

Daftar Pustaka

1. Guyton AC, Hall JE. Textbook of Medical Physiology. 9 th ed. Philadelphia: WB

Saunders Company. 1996. Diterjemahkan oleh Setiawan I. Jakarta; penerbit Buku

Kedokteran EGC.

2. Venkatesh E, Bagewadi A, Keluskar V, shetti A. Role of Corticosteroid in Dentistry.

Archives of Dental Sciences. 2010 Vol.1 Issue 1:3-11. 2010

3. Katzung BG. Basic & Clinical Pharmacology. 10th ed. 2007. Boston: McGraw Hill.

4. Tripathi KD. Essentials of Medical Pharmacology. 4 th ed. 1999. India: Jaypee Brothers

Medical Publishers (P) Ltd.

5. Greaves MW. Anti inflammatory action of corticosteroids. Postgraduate Medical

Journal. 1976;52:631-633

6. Goodwin JS, Atluru D, Sierakowski S, Lianos EA. Mechanism of action of

glucocorticoids. Inhibition of T cell proliferation and interleukin 2 production by

hydrocortisone is reversed by leukotriene B4. J Clin.Invest. 1986:77;1244-1250.

7. Baid SK, Nieman LK. Therapeutic doses of glucocorticoids:implications for oral

medicine. Oral Disease. 2006;12:436-442


8. Downie WW, Dixon JS, Lowe JR, Rhind VM, Leatham PA, Pickup ME. Adrenocortical

suppression by synthetic corticosteroid drugs: a comparative study of prednisolone and

betamethasone. Br.J.Clin.Pharmac. 1978:6;397-399.

9. Fardet L, Cabane J, Kettaneh A, Lebbe C, dan Flahault A. Corticosteroid-induced

lipodystrophy is associated with features of metabolic syndrome. Rheumatology

2007;46:1102-1106

10. Lorenzo CV, Rodriguez LAG, Maguire A, Castellsague J, Gutthann SP. Use of oral

corticosteroid and the risk of acute myocardial infarction. Atherosclerosis.

2007:192;376-383.

11. Brown ES, Chandler PA. Mood and cognitive changes during systemic corticosteroid

therapy. Primary care comparison J Clin Psychiatry. 2001;3:1.

12. McLean JM. Use of ACTH and cortisone. Trans Am Ophthalmol Soc. 1950;48:293-

296

13. Jones R, Rhee DJ. Corticosteroid-induced ocular hypertension and glaucoma: a brief

review and update of the literature. Curr Opin Ophthalmol 2006;17:163-167

14. Moles MAG. The use of topical corticoids in oral pathology. Med Oral Patol Oral Cir

Bucal. 2010. 1;15:6. P.827-31.

15. Lozada-Nur F, Huang MZ, Zhou GA. Open preliminary clinical trial of clobetasol

propionate ointment in adhesive paste for treatment of chronic oral vesiculoerosive

disease. Oral Surg Oral Med Oral Pathol. 1991;71:283-7

16. Bircher AJ, Pelloni F, Langauer Messmer S, Muller D. Delayed hypersensitivity

reactions to corticosteroids applied to mucous membranes. Br J Dermatol.

1996;135:310-3.
17. Gonzales-Moles MA, Morales P, Rodriguez-Archilla A, Isabel IR, Gonzales-Moles S.

Treatment of severe chronic oral erosive lesions with clobetasol propionate in aqueous

solution. Oral Surg Oral Med Oral Pathol Oral Radiol Endod. 2002;93:264-70

18. Greenberg MS, Glick M. Burket’s Oral Medicine Diagnosis and Treatment. 11 th ed,

2008. Hamilton: BC Decker Inc.

19. Field A, Longman L. Tyldesley’s Oral Medicine. 5 th ed. 2003. Oxford: Oxford

University Press.

20. Gandolfo S, Scully C, Carrozzo M. Oral Medicine. 2006. Edinburgh: Churchill

Livingstone Elsevier.

21. Ghabanchi J, Najafi RB, Haghnegahdar S. Treatment of oral inflammatory disease with

a new mucoadhesive prednisolone tablet versus triamcinolone acetonide paste. Iranian

Red Crescent Medical journal. 2009; 11 (2):155-159.

22. Qayyum A, Raza SN, Najam A, Abbas S. A comparison of oral and topical steroid

therapy for recurrent apthous stomatitis. Pakistan Oral & Dental journal. 2010;10:1

23. Jayanthi LN, Rao UK, Ranganathan K. Oral lichen planus: An update on pathogenesis

and treatment. Journal of Oral and Maxillofacial pathology. 2011:15(2);127-132.

24. Ismail SB, Kumar SK, Zain RB. Oral lichen planus and Lichenoid reactions;

etiopathogenesis, diagnosis, management and malignant transformation. J Oral Sci.

2007;49:89-106.

25. Scully C. Oral and maxillofacial medicine. the basis of diagnosis and treatment. 2 nd ed.

2008. Edinburgh: Churchill Livingstone Elsevier.


26. Moles MAG, et al. Treatment of severe erosive gingival lesions by topical application

of clobetasol propionate in custom trays. Oral surg oral med oral pathol oral radiol

endod. 2003;95:688-92.

27. Parillo JE, Fauci AS. Mechanism of glucocorticoid action on immune processes.

Annual Review Pharmacology Toxicology. 1979;19:179-201

28. Pederson, Klausen B. Glucocorticosteroid and oral medicine. J.O.P.M. 1984;13:1-15

29. Reich RF, Kerpel SM. Differential diagnosis and treatment of ulcerative, erosive, and

vesiculobullous lesion of oral mucosa. Oral and Maxillofacial Surgery Clinics os North

America. 1998;10:95-129.

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai