Efektivitas Obat Kortikosteroid Pada Beberapa Kondisi in Amasi Mukosa Mulut
Efektivitas Obat Kortikosteroid Pada Beberapa Kondisi in Amasi Mukosa Mulut
net/publication/346520849
CITATIONS READS
0 5,131
2 authors:
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
All content following this page was uploaded by Nanan Nuraeny on 01 December 2020.
Padjadjaran, Bandung-Indonesia
E-mail: nanan.nuraeny@fkg.unpad.ac.id
Abstrak
Secara fisiologis, respons tubuh terhadap benda asing tidak berhenti pada proses
inflamasi saja tetapi tubuh selanjutnya akan melakukan fungsi kontrolnya melalui
pengeluaran kortisol sebagai kortikosteroid alami untuk menjaga keseimbangan di dalam
tubuh (homeostatis). Pada kondisi inflamasi berat atau kronis yang bersifat sekunder dari
reaksi hipersensitif atau reaksi autoimun, kortikosteroid alami tidak cukup menekan
pengeluaran mediator-mediator inflamasi yang selanjutnya dapat merusak tubuh sehingga
pengunaan obat kortikosteroid (kortikosteroid sintetik) menjadi pilihan terapi yang utama.
Secara umum dosis dan cara pemberian obat yang tepat akan mendukung keberhasilan
terapi, begitu pula untuk pengobatan berbagai kelainan mukosa mulut. Kelainan inflamasi
ringan yang terjadi pada mukosa mulut dapat diterapi dengan pemberian obat kortikosteroid
topikal, tetapi jika kondisi inflamasi cukup berat atau menunjukan perbaikan yang kurang
berhasil dengan pemberian topikal, maka obat kortikosteroid dapat diberikan secara
sistemik, tentunya memerlukan pemantauan yang baik untuk mencegah supresi adrenal,
rekurensi atau eksaserbasi penyakit serta timbulnya efek-efek samping lainnya.
Kata Kunci : Inflamasi, mukosa, mulut, kortikosteroid, topikal, sistemik, efek samping
Abstract
Physiologically, the body’s response against foreign substances in the inflammatory
process doesn’t stop at that time but the body will perform the function of control over the
releasing the cortisol as a natural corticosteroid to maintain balance in the body
(homeostatis). In the severe or chronic inflammatory condition that is secondary to a
hypersensitivity reaction or autoimmune reaction, natural corticosteroid doesn’t enough to
suppress the inflammatory mediators that could further damage the body so that the use of
corticosteroid drugs (synthetic corticosteroid) is a first choice to control the condition. In
general, dose and mode of administration of appropriate drugs will support the success of
therapy, as well as for the treatment of variety oral inflammatory conditions. Mild
inflammatory condition that occur in the oral mucosa can be treated with topical
corticosteroid medication, but if the condition is getting severe or with the topical
administration didn’t show any improvement, the drug can be administered systemically,
which would require to monitoring to prevent adrenal suppression, recurrent or
exacerbation of the disease and the incidence other side effects of drugs.
Key words : inflammatory, oral, mucosa, corticosteroid, topical, systemic, side effect
Pendahuluan
Secara fisiologis, respons tubuh terhadap benda asing tidak berhenti pada proses
inflamasi saja tetapi tubuh selanjutnya akan melakukan fungsi kontrolnya melalui
tubuh (homeostatis).1 Pada kondisi inflamasi berat atau kronis yang bersifat sekunder dari
reaksi hipersensitif atau reaksi autoimun, kortikosteroid alami tidak cukup menekan
pengunaan obat kortikosteroid (kortikosteroid sintetik) menjadi pilihan terapi yang utama. 2
Pemberian obat kortikosteroid harus dalam pemantauan yang baik untuk mencegah supresi
adrenal, rekurensi atau eksaserbasi penyakit serta timbulnya efek-efek samping lainnya.3
Berikut dalam makalah ini akan dibahas mengenai efektivitas obat kortikosteroid
pada beberapa kondisi inflamasi mukosa mulut seperti pada recurrent aphthous stomatitis
(RAS), RAS-like, oral lichen planus (OLP), oral lichenoid reaction (OLR), pemfigus,
Menurut kamus kedokteran Dorland, istilah obat (drug) memiliki dua pengetian,
yaitu pertama sebagai bahan kimia yang mempengaruhi proses pikiran dan tubuh,
pengertian kedua, yaitu semua senyawa kimia yang digunakan pada atau diberikan pada
manusia atau hewan sebagai alat bantu diagnosis, pengobatan, atau pencegahan penyakit
atau keadaan abnormal lain, untuk menghilangkan rasa sakit atau penderitaan, atau
kortikosteroid alami untuk tujuan terapi, karena memiliki efek yang kuat, longer acting
dibanding kortikosteroid alami, serta lebih selektif untuk aksi glukokortikoid dan memiliki
aktivitas oral yang tinggi.4 Kortikosteroid sintetik sering disebut “obat kortikosteroid” atau
“steroid” saja.3,4 Selanjutnya dalam makalah ini akan memakai istilah “obat kortikosteroid”.
kelompok glukokortikoid dibagi lagi dalam tiga kelompok, yaitu kelompok short-to
Obat kortikosteroid juga dapat diberikan secara topikal, dan telah dibuat klasifikasi
berdasarkan potensi aktivitasnya dalam berbagai formulasi, dibagi dalam lima kelompok,
yaitu kelompok lowest efficacy, low efficacy, intermediate efficacy,high efficacy, dan
diberikan dalam periode waktu yang pendek (kurang dari 2 minggu), meskipun diberikan
dalam dosis cukup besar.3 Toksisitas terutama terjadi jika pemberian kortikosteroid dalam
jangka waktu yang lama, dengan dosis yang tidak diturunkan. Menurut Baid dan Nieman,
tidak ada ambang dosis kortikosteroid sistemik yang absolut yang menunjukkan tidak
Efek yang tidak diinginkan dari pemberian obat kortikosteroid sistemik dapat
dibedakan dalam tiga bentuk manifestasi klinis yaitu efeknya terhadap proses metabolik
dalam tubuh, supresi adrenal, dan komplikasi lainnya.3 Efek terhadap proses metabolik
dapat terlihat seperti pada pemberian hidrokortison dengan dosis per hari 100 mg yang
diberikan selama lebih dari dua minggu, yaitu terjadinya sindrom Cushing iatrogenik,
berupa moon face atau wajah tampak bulat, bengkak karena deposisi lemak, selain pada
wajah deposisi lemak juga dapat berdistribusi ke arah eksterimitas, punggung sampai
tengkuk (buffalo hump).3 Fenomena farmakokinetik yang berhubungan dengan tanda klinis
Cushingoid biasa disertai dengan berkurangnya albumin plasma. 8 Manifestasi berupa moon
face, buffalo hump, akumulasi lemak di daerah supraklavikular dan abdomen, dikenal
yang terjadi pada pemberian terapi jangka panjang dapat berupa penambahan berat badan,
myopathy, penipisan kulit disertai striae dan memar, hiperglikemi, osteoporosis, diabetes,
Risiko insufisiensi adrenal akibat pemberian secara per oral berhubungan dengan
potensi obat, waktu paruh biologis, dosis harian dan durasi supresi plasma
melalui feedback negatif pada kelenjar hipotalamus dan pituitari, sehingga secara klinis
insufisiensi adrenal terjadi jika obat langsung dihentikan,7 sehingga penghentian terapi
kortikosteroid harus secara bertahap dan lambat, karena diperlukan waktu 2-12 bulan untuk
waktu 6-9 bulan untuk level kortisol dapat kembali normal. 3 Gejala insufisiensi adrenal
kronis yaitu berupa lemah, malaise, mual, anoreksia, penurunan berat badan, atau pusing,
adrenal akut atau “krisis adrenal” yaitu ditandai dengan mual, muntah, demam, hipotensi,
hipertensi dan intoleransi glukosa akibat pemberian kortikosteroid dapat juga memicu
terjadinya penyakit jantung koroner, seperti halnya pada kejadian arterosklerosis setelah
penggunaan obat kortikosteroid jangka panjang dan dengan dosis tinggi. 10 Gangguan pada
saluran cerna juga dapat terjadi seperti ulser peptik yang disertai mual, muntah, pusing,
bahkan beberapa gejala psikosis seperti insomnia, perubahan perilaku (seperti hypomania),
depresi, serta terjadi tekanan intraokular, dan glaukoma. 3,9,11 Kasus steroid-induced ocular
hypertension ditemukan pertama kali oleh McLean pada tahun 1950, setelah pemberian
ACTH sistemik.12 Khusus pada penggunaan kortikosteroid untuk kelainan mata, baik
penelitian juga dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor risiko seperti riwayat glaukoma
(pribadi/keluarga), usia anak, lanjut usia, DM tipe 1, potensi dan cara pemberian obat
kortikosteroid.13
menunjukan pengaruh obat terhadap supresi HPA axis.7 Peningkatan absorpsi sistemik dari
setiap obat kortikosteroid secara topikal baik melalui kulit atau mukosa mulut, dapat terjadi
jika permukaan kulit atau mukosa tidak utuh. Pasien dengan lesi erosif yang besar atau
daerah atrofi dengan ada/tidaknya bagian pembuluh darah yang terbuka memiliki
kecenderungan terjadi adverse effect sistemik yang besar.7 Adverse effect lokal dalam
rongga mulut akibat penggunaan obat kortikosteroid topikal yaitu berupa kandidiasis yang
ditemukan pada sebanyak 25-55% pasien. Hal ini berhubungan dengan jenis obat
kortikosteroid yang sangat poten dalam sediaan larutan/cairan, digunakan dalam waktu
lama, serta konsentrasi tinggi.14 Selain kandidiasis, efek samping lainnya dalam rongga
mulut dapat ditemukannya burning mouth, hypogeusia, dan reaksi hipersensitif terhadap
obat.15,16 Pada pemberian obat kortikosteroid topikal dengan dosis tinggi juga menunjukan
terjadinya absorpsi obat secara sistemik yang dapat menghambat HPA axis dan terjadinya
insufisiensi sekunder adrenal dengan manifestasi klinis berupa moon face, hirsutism dan
fragilitas kapiler.17
dengan adanya ulser yang berulang pada mukosa mulut pasien tanpa disertai tanda-tanda
penyakit lain. RAS memiliki tiga tipe berdasarkan ukuran, yaitu tipe minor (Gambar 1),
dengan ukuran lesi kurang dari satu sentimeter (4-5 mm), tipe mayor dengan ukuran lebih
dari satu sentimeter, dan tipe herpetiformis dengan ukuran ulser lebih kecil dari satu
sentimeter (1-2 mm) tetapi berjumlah banyak, dan dapat terlihat besar jika ulser-ulser
tersebut bersatu,18 sedangkan RAS-like ditandai secara klinis berupa ulser pada mukosa
mulut yang mirip dengan RAS tetapi dilatarbelakangi oleh suatu kondisi sistemik yang
berulang, misalnya ulserasi mulut pada penyakit Behcet, gangguan nutrisi, gangguan
gastrointestinal, siklik neutropenia, infeksi HIV, MAGIC syndrome, FAPA syndrome, dan
reaksi obat.19
Terapi kortikosteroid untuk RAS dan RAS-like telah banyak diberikan, baik secara
topikal maupun sistemik. Obat kortikosteroid topikal pada kasus RAS memiliki dua aksi,
yaitu pertama sebagai aksi anti inflamasi yang dapat menunjukan kemajuan penyembuhan
ulser RAS serta dapat mengurangi keluhan tidak nyaman dalam rongga mulut.19 Aksi kedua
dari obat kortikosteroid topikal pada RAS, dikenal dengan specific blocking effect sebagai
interaksi antara limfosit T dengan sel epitel. Aksi ini penting bila obat diberikan pada saat
konsentrasi limfosit baru saja tersensitisasi, yaitu saat sebelum dan selama tahap awal
prodromal terjadinya ulserasi, karena obat dapat memberikan efeknya secara maksimal.
Setelah terbentuk ulserasi pada RAS dan terjadi penurunan konsentrasi limfosit yang
tersensitisasi, maka aksi kedua dari obat kortikosteroid topikal pada RAS menjadi kurang
penting, sehingga hanya aksi pertama sebagai anti inflamasi saja yang berperan. 19
Obat-obat kortikosteroid topikal yang dapat diberikan pada kasus RAS adalah
hidrokortison sodium suksinat, dalam sediaan tablet 2,5 mg yang dapat larut, diberikan
empat kali sehari, mulai fase prodromal.18,20 Dalam sediaan tablet yang bersifat
mucoadhesive seperti prednisolon 5 mg juga telah terbukti dapat diberikan pada kasus
RAS, yaitu dengan cara meletakkannya pada lesi, ditekan selama beberapa detik dilakukan
sebanyak dua kali sehari, setelah sarapan dan makan malam. 18 Obat lainnya adalah
sebanyak empat kali sehari menggunakan jari yang lembab (moist) pada permukaan ulser
mengaplikasikan orabase ini tetapi jika sudah menempel dapat bertahan baik terutama saat
pemakaian malam hari. Sediaan lain selain pasta yaitu dalam bentuk obat kumur atau spray
juga dapat diberikan terutama jika dengan pemberian pasta kurang berespons baik,
misalnya untuk lesi yang luas atau lesi di orofaring / sulit dijangkau.21
Pada kasus RAS yang parah dapat pula dilakukan pemberian secara topikal, tetapi
obat kortikosteroid yang digunakan adalah golongan yang lebih kuat seperti fluosinonid,
penyembuhan dan mengurangi ukuran lesi ulser.2 Keefektifan pemberian secara topikal
tergantung pada penyampaian instruksi yang baik dan penggunaan yang tepat oleh pasien.
Contoh pemberian secara topikal betametason sodium fosfat tablet 0,5 mg yaitu dengan
cara melarutkannya dalam 10 ml air, dikumur dalam mulut selama 3 menit, dilakukan
sebanyak empat kali sehari, setelah makan dan sebelum tidur, atau dapat dikombinasikan
dengan suatu bahan adhesif seperti orabase sebelum diaplikasikan pada lesi. Pada lesi yang
besar, aplikasi dapat dibantu dengan memakai gauze sponge yang diletakkan pada lesi
selama 15-30 menit, sehingga memungkinkan kontak obat lebih lama. 2,19,22 Ulserasi yang
terletak pada daerah yang sulit terlihat atau terjangkau dapat dikontrol dengan pemberian
deksametason elixir 0,5 mg/5 ml atau aplikasi dengan saturated gauge pad sebanyak empat
kali sehari selama 15 menit.2 Pada RAS tipe mayor, dapat diberikan obat kortikosteroid
secara sistemik, seperti pemberian tablet prednison dengan dosis 40 mg/hari selama 7 hari,
untuk mengontrol lesi yang ada.2 Untuk kasus RAS atau RAS-like yang berat, terapi dengan
prednison sistemik sebaiknya diberikan dengan dosis 1 mg/kg per hari sebagai dosis
tunggal dan dilakukan tappering setelah 1-2 minggu.2 Berdasarkan penelitian Qayyum,dkk
merekomendasikan dosis prednisolon dalam 3 hari pembagian dosis yang disebut “regimen
of 3” yaitu tiga tablet setiap hari selama tiga hari yang menunjukkan hasil yang
memuaskan.22
Lichen planus adalah suatu penyakit inflamasi kronik yang bermanifestasi di kulit
dan membran mukosa.23 Oral lichen planus merupakan suatu kelainan pada mukosa mulut
yang terjadi sebelum, setelah, atau bersamaan dengan munculnya lesi di kulit. Lesi pada
mulut dapat berupa retikuler(Gambar 2), plaque-like, papula, atrofik, erosif/ulser (Gambar
Manifestasi klinis OLP hampir sama dengan OLR, kecuali lokasi lesi pada OLP
sering ditemukan bilateral, sedangkan lesi OLR bersifat unilateral. Berdasarkan etiologi
juga terdapat perbedaan yaitu OLR sering dikaitkan dengan faktor pemicu berupa obat-
obatan (obat anti inflamasi non steroid, ACE inhibitors, antimalaria, obat diuretik, obat
hipoglikemi oral, gold, dan penisilin) atau substansi lain (amalgam/ nikel), yang apabila
Obat kortikosteroid merupakan terapi pilihan utama pada kasus OLP dan OLR
karena memiliki kemampuan mengatur inflamasi dan respon imun. 23 Pemberian secara
topikal dapat diberikan untuk kasus OLP tipe mild dan moderate atau pada kasus OLR,
seperti hidrokortison lozenges, pasta adesif triamsinolon asetonid, tablet betametason yang
larut dalam air digunakan secara kumur, beklometason dipropionat spray, fluosinonid salep
yang dicampur bahan adesif, dan triamsinolon kumur.19,25 Sediaan topikal lainnya seperti
jel 0,05% klobetasol propionat, jel 0,05% fluosinonid, jel 0,1-0,05% betametason valerat,
salep atau krim 0,05% klobetasol butirat dan salep 0,1% triamsinolon asetonid. 2 Pasien
kali sehari setelah makan dan sebelum tidur. Obat kortikosteroid yang potent dapat
menunda penyembuhan luka sehingga jika lesi eritem atau erosif sudah membaik,
Obat kortikosteroid sistemik dapat diberikan pada kasus OLP dan OLR yang berat,
atau pada kasus eksaserbasi akut, dan sudah diberi secara topikal tapi gagal. 2 Prednison
dapat diberikan dalam dosis tunggal pagi hari untuk mengurangi insomnia dan sebaiknya
diberikan bersamaan dengan makanan untuk menghindari mual dan ulkus peptik.2 Dosis
prednisolon per oral dapat diberikan dalam dosis 40-80 mg selama 5 sampai 7 hari.23
Pemfigus adalah suatu kelompok gangguan imunobulosa yang mengenai kulit dan
antigen pada permukaan sel keratinosit, dan terbentuknya bula pada daerah intraepitel yang
terletak di atas lapisan basal. Manifestasi klinis yang khas adalah terdapatnya ulserasi parah
dalam rongga mulut (Gambar 4), dan hanya sedikit mukosa normal berada di antaranya.
Lesi pada mukosa mulut merupakan lesi awal dari 50% kasus pemfigus yang
vegetans, foliaseus, dan eritematosus. Pemfigus vulgaris merupakan yang paling sering
Perbaikan klinis setelah pemberian obat kortikosteroid diikuti dengan menurunnya titer
dengan cara mengganggu subpopulasi limfosit, dan bukan dengan cara mencegah
pengikatan antibodi pemfigus terhadap jaringan target.2 Prednisolon dapat diberikan dalam
dosis tinggi untuk menekan pembentukan bula, yaitu 1 mg/kg berat badan yang terbagi
dalam 2-3 dosis setiap hari2, kemudian dosis dipertahankan selama 6-10 minggu dan
diturunkan sebanyak 10-20 mg setiap 2-4 minggu. Jika tidak ada rekurensi, pasien
diberikan dosis maintenance yaitu 5 mg per hari atau setiap beberapa hari selama beberapa
tahun. Kebanyakan pasien menunjukan perbaikan dalam waktu 4-12 minggu.2 Pemberian
terapi sistemik dapat bersamaan dengan penambahan obat kortikosteroid konsentrasi tinggi
secara kumur, karena mukosa mulut sering kurang berespons dibandingkan kulit. 19
pembentukan bula subepidermis dan adanya imunoreaktan pada dasar membran. Terdapat
dua tipe yaitu yang sering ditemukan pada kulit, dan jarang pada mukosa, disebut bullous
pemphigoid (BP), tipe kedua yaitu yang lebih sering ditemukan pada membran mukosa, dan
jarang ditemukan di kulit, disebut juga dengan mucous membrane pemphigoid (MMP),
sebelumnya dikenal dengan istilah benign mucous membrane pemphigoid atau cicatrical
pemphigoid.19
Efek obat kortikosteroid pada kasus BP atau MMP adalah efek aksi anti
menurunkan kebocoran faktor humoral.27 Lesi lokal yang ringan berespons terhadap obat
kortikosteroid seperti klobetasol propionat 0,05% dalam suatu mouth tray yang
diaplikasikan selama 5 menit sebanyak tiga kali sehari (setelah sarapan, setelah makan
siang, dan setelah makan malam) dapat menunjukan hasil yang sangat memuaskan.2,26
Obat kortikosteroid sistemik dapat diberikan sebagai terapi awal bagi pasien dengan
lesi ulserasi mulut yang luas atau sebagai terapi tambahan pada pasien yang tidak berespon
terhadap obat kortikosteroid topikal.2 Sediaan berupa prednison dengan dosis 40 mg setiap
pagi selama 5 hari lalu dosis diturunkan menjadi 20 mg setiap pagi selama 2-3
minggu.18,28,29
EM adalah suatu penyakit vesikulobulosa akut, dan dapat pula rekuren sebagai
reaksi hipersensitif, yang bermanifestasi pada kulit dan membran mukosa dengan gambaran
klinis yang bervariasi (Gambar 5), dapat dipicu oleh banyak faktor termasuk infeksi (virus),
beberapa obat, neoplasia, dan kehamilan.19,25 EM tipe minor biasanya terjadi pada satu
tempat, mulut saja atau kulit atau mukosa lain, juga ditandai adanya lesi target pada
ekstremitas.25 SJS adalah EM tipe mayor, yang ditandai dengan keterlibatan pada kulit dan
mukosa yang lebih luas yaitu berupa erosi yang luas pada mukosa dan bibir, terutama bibir
bawah yang disertai krusta dan perdarahan, dan ditandai adanya lesi target di kulit. 18,19,25
Gambar 5. Gambaran klinis lesi EM.18
Sampai saat ini masih sedikit diketahui perubahan imunopatologis pada EM setelah
pemberian obat kortikosteroid, tetapi kebanyakan lesi EM sensitif terhadap aksi obat
kortikosteroid dengan ditandai adanya emigrasi sel mononuklear, produksi antibodi, dan
pembentukan kompleks imun dan aktivasi komplemen. 2 Terapi obat kortikosteroid secara
kumur terutama pada EM yang ringan dapat berespon baik, karena dapat mengurangi gejala
dan menghambat proses kerusakan lebih lanjut dalam beberapa hari, meskipun selanjutnya
kondisi kelainan pada kulit atau rongga mulut yang parah atau ketika ada lesi di mata.
Penggunaan secara sistemik seperti pada EM tipe mayor atau SJS dapat diberikan
prednison atau prednisolon sebanyak 40 mg setiap hari selama 1-4 minggu, kemudian
diturunkan dosisnya dalam beberapa minggu berikutnya dapat memberi hasil yang efektif
karena dapat membantu mempercepat waktu penyembuhan terutama jika diberikan di awal
perjalanan penyakit.2,18,25
Simpulan
inflamasi mukosa mulut seperti pada RAS, RAS-like, OLP, OLR, pemfigus, pemfigoid,
EM, dan SJS sangat efektif, karena selain dapat menghilangkan rasa nyeri juga dapat
membantu dalam penyembuhan lesi, dan meningkatkan kualitas hidup pasien. Dokter gigi
sesuai kompetensinya sebaiknya membekali diri dengan pengetahuan tentang obat meliputi
jenis obat, dosis, cara pemberian, termasuk mengetahui efek terapi, efek samping, dan
toksisitas berbagai obat yang sesuai dengan bidang Kedokteran Gigi, termasuk jenis obat
klinisnya.
Daftar Pustaka
Kedokteran EGC.
3. Katzung BG. Basic & Clinical Pharmacology. 10th ed. 2007. Boston: McGraw Hill.
4. Tripathi KD. Essentials of Medical Pharmacology. 4 th ed. 1999. India: Jaypee Brothers
Journal. 1976;52:631-633
2007;46:1102-1106
10. Lorenzo CV, Rodriguez LAG, Maguire A, Castellsague J, Gutthann SP. Use of oral
2007:192;376-383.
11. Brown ES, Chandler PA. Mood and cognitive changes during systemic corticosteroid
12. McLean JM. Use of ACTH and cortisone. Trans Am Ophthalmol Soc. 1950;48:293-
296
13. Jones R, Rhee DJ. Corticosteroid-induced ocular hypertension and glaucoma: a brief
14. Moles MAG. The use of topical corticoids in oral pathology. Med Oral Patol Oral Cir
15. Lozada-Nur F, Huang MZ, Zhou GA. Open preliminary clinical trial of clobetasol
1996;135:310-3.
17. Gonzales-Moles MA, Morales P, Rodriguez-Archilla A, Isabel IR, Gonzales-Moles S.
Treatment of severe chronic oral erosive lesions with clobetasol propionate in aqueous
solution. Oral Surg Oral Med Oral Pathol Oral Radiol Endod. 2002;93:264-70
18. Greenberg MS, Glick M. Burket’s Oral Medicine Diagnosis and Treatment. 11 th ed,
19. Field A, Longman L. Tyldesley’s Oral Medicine. 5 th ed. 2003. Oxford: Oxford
University Press.
Livingstone Elsevier.
21. Ghabanchi J, Najafi RB, Haghnegahdar S. Treatment of oral inflammatory disease with
22. Qayyum A, Raza SN, Najam A, Abbas S. A comparison of oral and topical steroid
therapy for recurrent apthous stomatitis. Pakistan Oral & Dental journal. 2010;10:1
23. Jayanthi LN, Rao UK, Ranganathan K. Oral lichen planus: An update on pathogenesis
24. Ismail SB, Kumar SK, Zain RB. Oral lichen planus and Lichenoid reactions;
2007;49:89-106.
25. Scully C. Oral and maxillofacial medicine. the basis of diagnosis and treatment. 2 nd ed.
of clobetasol propionate in custom trays. Oral surg oral med oral pathol oral radiol
endod. 2003;95:688-92.
27. Parillo JE, Fauci AS. Mechanism of glucocorticoid action on immune processes.
29. Reich RF, Kerpel SM. Differential diagnosis and treatment of ulcerative, erosive, and
vesiculobullous lesion of oral mucosa. Oral and Maxillofacial Surgery Clinics os North
America. 1998;10:95-129.