Anda di halaman 1dari 32

BAB IV

PEMBAHASAN

Kemiskinan dapat menggambarkan tingkat keberhasilan pembangunan

suatu daerah. Hal ini dikarenakan kemiskinan merupakan salah satu sasaran

penting dalam pembangunan, sehingga apabila kemiskinan semakin memburuk

dalam jangka waktu tertentu maka dapat dikatakan pembangunan yang

dilakukan belum atau kurang berhasil. Pada bab sebelumnya telah dijelaskan

karakteristik objek penelitian serta gambaran umum variabel penelitian yang

terdiri dari tingkat kemiskinan, pertumbuhan ekonomi, pendidikan, share

pertanian dan share industri seluruh kabupaten/kota di provinsi Jawa Timur pada

tahun 2009 sampai dengan tahun 2015.

Selanjutnya, bab ini akan menjawab pertanyaan yang menjadi rumusan

masalah pada penelitian ini, yakni melihat bagaimana pengaruh jangka pendek

dan jangka panjang pertumbuhan ekonomi, pendidikan, share pertanian dan

share industri terhadap tingkat kemiskinan kabupaten/kota di provinsi Jawa

Timur. Dalam menjawab permasalahan penelitian, akan digunakan metode

analisis Error Correction Model (ECM).

4.1 Deskripsi Objek Penelitian

4.1.1 Gambaran Umum

Letak Indonesia secara geografis berada diantara Benua Australia dan Asia

serta Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Sedangkan letak Indonesia

secara astronomis adalah melintang antara 6º 08’ Lintang Utara sampai dengan

11º 15’ Lintang Selatan serta membujur antara 95º 45’ Bujur Timur sampai

dengan 141º 05’ Bujur Timur. Indonesia memiliki laut seluas kurang lebih 81

persen dari luas keseluruhan wilayah Indonesia atau sekitar 7,9 juta km2, dengan
jumlah pulau lebih dari 17.000 buah serta daratan dengan luas 1,9 juta km2 yang

di dalamnya terdapat ratusan sungai dan gunung.

Provinsi Jawa Timur terletak melintang antara 12º Lintang Selatan sampai

dengan 8º 48’ Lintang Selatan serta membujur antara 111º 0’ Bujur Timur sampai

dengan 114º 4’ Bujur Timur, dengan Kota Surabaya sebagai ibukotanya. Provinsi

Jawa Timur berbatasan dengan Laut Jawa pada bagian utara, Samudera

Indonesia pada bagian Selatan, Selat Bali pada bagian Timur dan Provinsi Jawa

Tengah pada bagian barat. Provinsi Jawa Timur memiliki wilayah daratan seluas

47.130,15 km2 dan luas lautan sekitar 110.764,28 km2, dengan 229 buah pulau di

dalamnya serta terbagi menjadi 38 kabupaten dan kota. Provinsi Jawa Timur

memiliki sumber daya yang melimpah diantaranya pada sektor pertanian,

kehutanan, kelautan dan pertambangan karena topografi wilayah Provinsi Jawa

Timur yang berupa perbukitan, pegunungan dan kepulauan.

Provinsi Jawa Timur memiliki letak strategis karena merupakan penghubung

antara Indonesia bagian barat dan Indonesia bagian tengah. Wilayah Jawa Timur

juga memiliki tanah yang subur dan potensi tambang yang besar karena terdapat

sebaran batuan gunung berapi, didominasi batuan sedimen Alluvium. Iklim

daerah ini adalah tropis lembab dengan suhu antara 18º - 35º Celcius dan curah

hujan setiap tahunnya rata-rata 2.100 mm. Berdasarkan data Badan Pusat

Statistik (BPS) Jawa Timur, jumlah penduduk di provinsi Jawa Timur sekitar

38.848 juta jiwa, dengan laju pertumbuhan penduduk per tahun mulai tahun 2010

hingga 2015 adalah 0,67 persen, sedangkan laju pertumbuhan penduduk tahun

2014-2015 adalah 0,61 persen.

4.1.2 Perkembangan Tingkat Kemiskinan

Kemiskinan merupakan permasalahan global yang tidak dapat dipahami

hanya sebagai kurangnya kekayaan, penghasilan dan materi seperti sandang,

papan dan sebagainya. Namun, kemiskinan seharusnya dapat dipandang secara


kompleks, yakni selain unsur kurangnya kekayaan, penghasilan dan materi, juga

kurang atau tidak terpenuhinya kebutuhan sosial. Tidak terpenuhinya kebutuhan

sosial ini misalnya tidak adanya kemampuan atau daya berpartisipasi dalam

masyarakat.

Selanjutnya akan ditampilkan perkembangan kemiskinan provinsi Jawa

Timur dalam kurun waktu tahun 2012 hingga 2015.

Gambar 4.1 Presentase Penduduk Miskin Provinsi Jawa Timur Tahun 2012-

2015

Presentase Penduduk Miskin (%)


13.2
13.08
13

12.8
12.73
12.6

12.4
12.34
12.28
12.2

12

11.8
2012 2013 2014 2015

Sumber : BPS Jawa Timur 2017, diolah

Berdasarkan gambar 4.1, dapat dijelaskan bahwa presentase penduduk

miskin di provinsi Jawa Timur terus mengalami penurunan dalam kurun waktu

tahun 2012 hingga tahun 2014, namun pada tahun 2015 mengalami kenaikan 6

persen, yakni dari 12,28 persen pada tahun 2014 menjadi 12,34 persen pada

tahun 2015. Selanjutnya akan disajikan lebih terperinci presentase penduduk

miskin setiap kabupaten/kota di provinsi Jawa Timur tahun 2012 hingga tahun

2015.
Tabel 4.1 Presentase Penduduk Miskin Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa
Timur Tahun 2009-2015
Kabupaten/Kota 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 Rata-Rata
Kab. Pacitan 19.01 19.5 18.13 17.29 16.73 16.18 16.68 17.65
Kab. Ponorogo 14.63 13.22 12.29 11.76 11.92 11.53 11.91 12.47
Kab. Trenggalek 18.27 16 14.9 14.21 13.59 13.1 13.39 14.78
Kab. Tulungagung 10.6 10.64 9.9 9.4 9.07 8.75 8.57 9.56
Kab. Blitar 13.19 12.13 11.29 10.74 10.57 10.22 9.97 11.16
Kab. Kediri 17.05 15.52 14.44 13.71 13.23 12.77 12.91 14.23
Kab. Malang 13.57 12.54 11.67 11.04 11.48 11.07 11.53 11.84
Kab. Lumajang 15.83 13.98 13.01 12.4 12.14 11.75 11.52 12.95
Kab. Jember 15.43 13.27 12.44 11.81 11.68 11.28 11.22 12.45
Kab. Banyuwangi 12.16 11.25 10.47 9.97 9.61 9.29 9.17 10.27
Kab. Bondowoso 20.18 17.89 16.66 15.81 15.29 14.76 14.96 16.51
Kab. Situbondo 15.99 16.23 15.11 14.34 12.65 13.15 13.63 14.44
Kab. Probolinggo 27.69 25.22 23.48 22.22 21.21 20.44 20.82 23.01
Kab. Pasuruan 15.58 13.18 12.26 11.58 11.26 10.86 10.72 12.21
Kab. Sidoarjo 6.91 7.45 6.97 6.44 6.72 6.4 6.44 6.76
Kab. Mojokerto 13.24 12.23 11.38 10.71 10.99 10.56 10.57 11.38
Kab. Jombang 14.46 13.84 12.88 12.23 11.17 10.8 10.79 12.31
Kab. Nganjuk 17.22 14.91 13.88 13.22 13.6 13.14 12.69 14.09
Kab. Madiun 16.97 15.45 14.37 13.7 12.45 12.04 12.54 13.93
Kab. Magetan 13.97 12.94 12.01 11.5 12.19 11.8 11.35 12.25
Kab. Ngawi 19.01 18.26 16.74 15.99 15.45 14.48 15.61 16.51
Kab. Bojonegoro 21.27 18.78 17.47 16.66 16.02 15.48 15.71 17.34
Kab. Tuban 23.01 20.19 18.78 17.84 17.23 16.64 17.08 18.68
Kab. Lamongan 20.47 18.7 17.41 16.7 16.18 15.68 15.38 17.22
Kab. Gresik 19.14 16.42 15.33 14.35 13.94 13.41 13.63 15.17
Kab. Bangkalan 30.45 28.12 26.22 24.7 23.23 22.38 22.57 25.38
Kab. Sampang 31.94 32.47 30.21 27.97 27.08 25.8 25.69 28.74
Kab. Pamekasan 24.32 22.47 20.94 19.61 18.53 17.74 17.41 20.15
Kab. Sumenep 26.89 24.61 23.1 21.96 21.22 20.49 20.2 22.64
Kota Kediri 10.41 9.31 8.63 8.14 8.23 7.95 8.51 8.74
Kota Blitar 7.56 7.63 7.12 6.75 7.42 7.15 7.29 7.27
Kota Malang 5.58 5.9 5.5 5.21 4.87 4.8 4.6 5.21
Kota Probolinggo 21.06 19.03 17.74 10.92 8.55 8.37 8.17 13.41
Kota Pasuruan 9.34 9 8.39 7.9 11.26 7.34 7.47 8.67
Kota Mojokerto 7.19 7.41 6.89 6.48 6.65 6.42 6.16 6.74
Kota Madiun 5.93 6.11 5.66 5.37 8.7 4.86 4.89 5.93
Kota Surabaya 6.72 7.07 6.58 6.25 6 5.79 5.82 6.32
Kota Batu 4.81 5.08 4.74 4.47 4.77 4.59 4.71 4.74
Sumber : BPS Jawa Timur 2017, diolah
Berdasarkan table 4.1 dapat dijelaskan bahwa rata-rata presentase

penduduk miskin kabupaten/kota di provinsi Jawa Timur pada tahun 2009 hingga

2014 mengalami penurunan, namun pada tahun 2015 sebagian besar

mengalami kenaikan, yakni 55 persen dari total kabupaten/kota. Kenaikan ini

dikarenakan beberapa hal diantaranya adalah adanya kenaikan harga BBM,

inflasi dan kenaikan harga beras. Pada bulan November 2014, kenaikan harga

BBM telah diresmikan presiden Indonesia, sedangkan pada tanggal 1 Januari

2015 subsidi BBM jenis premium, yang mana jenis ini banyak digunakan

kendaraan bermotor termasuk masyarakat wilayah provinsi Jawa Timur. Inflasi

tertinggi sepanjang tahun 2014 hingga tahun 2015 provinsi Jawa Timur adalah

pada bulan Desember 2014 hingga Januari 2015, secara berturut-turut 7,77

persen dan 6,86 persen, sehingga menyebabkan harga berbagai komoditas pun

mengalami kenaikan. Selain itu, harga beras sebagian besar wilayah Jawa Timur

tahun 2015 mengalami kenaikan, hal ini disebabkan panen padi yang tidak

optimal, baik karena hama maupun banjir yang terjadi di sejumlah wilayah Jawa

Timur. Rata-rata tertinggi presentase penduduk miskin tahun 2009 hingga 2015

adalah kabupaten Sampang sebesar 28,74 persen dan terendah kota Batu

sebesar 4,74 persen.

4.1.3 Perkembangan Pertumbuhan Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi Jawa Timur dihitung berdasarkan Produk Domestik

Regional Bruto (PDRB) Jawa Timur. Kenaikan PDRB itulah yang dinamakan

pertumbuhan ekonomi, sehingga dalam hal ini pertumbuhan ekonomi ditentukan

berdasarkan pertumbuhan PDRB, yakni apakah terjadi peningkatan produksi

pada jangka waktu tertentu ataukah tidak. Selanjutnya akan ditampilkan

pertumbuhan ekonomi tahun 2009 hingga 2015 harga konstan 2000 berdasarkan

PDRB menurut lapangan usaha kabupaten/kota di provinsi Jawa Timur.


Tabel 4.2 Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Timur
Tahun 2009-2015

Kabupaten/Kota 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 Rata-Rata


Kab. Pacitan 6.07 6.53 6.67 6.33 5.87 5.20 5.10 5.97
Kab. Ponorogo 5.01 5.78 6.21 5.98 5.14 5.21 5.25 5.51
Kab. Trenggalek 5.64 6.11 6.46 6.22 6.00 5.28 5.03 5.82
Kab. Tulungagung 6.01 6.48 6.73 6.47 6.13 5.46 4.99 6.04
Kab. Blitar 5.18 6.07 6.33 5.62 5.06 5.02 5.05 5.48
Kab. Kediri 4.95 6.04 6.20 6.11 5.82 5.32 4.88 5.62
Kab. Malang 5.25 6.27 7.17 6.77 5.30 6.01 5.27 6.00
Kab. Lumajang 5.46 5.92 6.26 6.00 5.58 5.32 4.62 5.60
Kab. Jember 5.55 6.05 7.00 5.83 6.06 6.21 5.36 6.01
Kab. Banyuwangi 6.05 6.22 7.02 7.24 6.71 5.72 6.01 6.42
Kab. Bondowoso 5.01 5.64 6.20 6.09 5.81 5.05 4.95 5.54
Kab. Situbondo 5.15 5.75 6.31 5.43 6.19 5.79 4.86 5.64
Kab. Probolinggo 5.72 6.19 6.23 6.44 5.15 4.90 4.76 5.63
Kab. Pasuruan 5.31 6.14 7.02 7.50 6.95 6.74 5.38 6.44
Kab. Sidoarjo 4.91 5.63 6.88 7.26 6.89 6.44 5.24 6.18
Kab. Mojokerto 5.21 6.78 7.03 7.26 6.56 6.45 5.65 6.42
Kab. Jombang 5.28 6.12 6.83 6.15 5.93 5.42 5.35 5.87
Kab. Nganjuk 6.03 6.28 6.42 5.85 5.40 5.10 5.18 5.75
Kab. Madiun 5.08 5.92 6.41 6.12 5.67 5.34 5.26 5.69
Kab. Magetan 5.36 5.79 6.16 5.79 5.85 5.10 5.17 5.60
Kab. Ngawi 5.65 6.09 6.14 6.63 5.50 5.82 5.08 5.84
Kab. Bojonegoro 10.10 11.84 9.19 3.77 2.37 2.29 17.42 8.14
Kab. Tuban 5.99 6.22 7.12 6.29 5.85 5.47 4.89 5.98
Kab. Lamongan 6.31 6.89 7.02 6.92 6.93 6.30 5.77 6.59
Kab. Gresik 10.86 7.06 7.29 6.92 6.05 7.04 6.58 7.40
Kab. Bangkalan 4.96 5.44 6.25 1.42 0.19 7.19 -2.66 2.85
Kab. Sampang 4.64 5.34 6.04 5.77 6.53 0.08 2.08 4.35
Kab. Pamekasan 5.18 5.75 6.21 6.25 6.10 5.62 5.32 5.78
Kab. Sumenep 4.44 5.64 6.24 9.96 14.45 6.23 1.27 6.89
Kota Kediri 5.06 5.91 7.93 5.27 3.52 5.85 5.36 5.56
Kota Blitar 6.21 6.32 6.59 6.52 6.49 5.88 5.68 6.24
Kota Malang 6.21 6.25 7.08 6.26 6.20 5.80 5.61 6.20
Kota Probolinggo 5.35 6.12 6.58 6.49 6.47 5.93 5.86 6.11
Kota Pasuruan 5.03 5.66 6.29 6.31 6.51 5.71 5.52 5.86
Kota Mojokerto 5.14 6.09 6.62 6.09 6.20 5.83 5.74 5.96
Kota Madiun 6.06 6.93 7.18 6.83 7.68 6.62 6.15 6.78
Kota Surabaya 5.53 7.09 7.56 7.35 7.58 6.96 5.97 6.86
Kota Batu 6.99 7.52 8.04 7.26 7.29 6.90 6.69 7.24
Sumber : BPS Jawa Timur 2017, diolah
Berdasarkan tabel 4.2, kenaikan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

atau pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota provinsi Jawa Timur menunjukkan

angka positif sepanjang tahun 2009 hingga 2015, artinya PDRB selalu

mengalami peningkatan, kecuali kabupaten Bangkalan pada tahun 2015. Tidak

hanya kabupaten Bangkalan yang mengalami perlambatan perekonomian

dibandingkan tahun sebelumnya, sebesar 31 kabupaten/kota lainnya atau

sebesar 82 persen juga demikian, meskipun PDRB yang dimiliki tidak menurun.

Rata-rata tertinggi pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota di provinsi Jawa Timur

tahun 2009 hingga tahun 2015 adalah kabupaten Bojonegoro dengan

pertumbuhan sekitar 8,14 persen, kemudian diikuti oleh kabupaten Gresik

dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 7,40 persen. Kabupaten Bojonegoro

mengalami kenaikan pesat pada tahun 2015 karena perkembangan hasil

pertambangan. Sedangkan rata-rata pertumbuhan terendah dimiliki oleh

kabupaten Bangkalan, yakni sebesar 2,85 persen, yang mana lebih rendah

dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi kabupaten Sampang sebesar 4,35.

persen.

4.1.4 Perkembangan Tingkat Pendidikan

Pendidikan merupakan prasyarat penting yang harus dipenuhi ketika suatu

negara menginginkan kemajuan dan pembangunan bangsanya pada masa

depan karena pendidikan menjadi salah satu tolak ukur kondisi sumber daya

manusia suatu bangsa. Sebagian besar masyarakat miskin memiliki pendidikan

yang rendah, hal ini membuat mereka terus terperangkap dalam kebodohan dan

kemiskinan, yang mana selanjutnya menimbulkan banyak masalah sosial.

Apabila ingin memutus rantai tersebut, kunci penting yang harus diperhatikan

adalah memperbaiki pendidikan.


Tabel 4.3 Rata-Rata Lama Sekolah Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur
Tahun 2009-2015 (dalam persen)

Kabupaten/Kota 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 Rata-Rata


Kab. Pacitan 5.8 6.00 6.10 6.21 6.32 6.43 6.88 6.25
Kab. Ponorogo 6.02 6.12 6.45 6.57 6.86 6.91 6.96 6.56
Kab. Trenggalek 6.32 6.32 6.36 6.55 6.74 6.87 7.18 6.62
Kab. Tulungagung 7.34 7.34 7.37 7.41 7.44 7.45 7.72 7.44
Kab. Blitar 6.23 6.43 6.52 6.59 6.67 6.82 7.24 6.64
Kab. Kediri 7.03 7.03 7.06 7.08 7.24 7.41 7.41 7.18
Kab. Malang 6.34 6.34 6.35 6.51 6.59 6.66 6.73 6.50
Kab. Lumajang 5.36 5.46 5.69 5.78 5.88 6.03 6.04 5.75
Kab. Jember 5.39 5.49 5.53 5.58 5.62 5.63 5.76 5.57
Kab. Banyuwangi 6.28 6.38 6.53 6.68 6.84 6.87 6.88 6.64
Kab. Bondowoso 4.97 4.97 4.97 5.31 5.48 5.52 5.53 5.25
Kab. Situbondo 4.71 4.91 5.04 5.16 5.28 5.54 5.67 5.19
Kab. Probolinggo 4.61 5.11 5.13 5.16 5.61 5.64 5.66 5.27
Kab. Pasuruan 5.83 5.83 5.85 5.96 6.08 6.36 6.50 6.06
Kab. Sidoarjo 9.22 9.22 9.50 9.70 10.03 10.09 10.10 9.69
Kab. Mojokerto 7.22 7.22 7.26 7.30 7.57 7.74 7.75 7.44
Kab. Jombang 7.26 7.26 7.28 7.37 7.40 7.52 7.59 7.38
Kab. Nganjuk 6.61 6.71 6.83 7.00 7.15 7.31 7.33 6.99
Kab. Madiun 5.73 6.13 6.43 6.74 6.74 6.89 6.99 6.52
Kab. Magetan 7.12 7.12 7.23 7.33 7.43 7.55 7.65 7.35
Kab. Ngawi 5.72 5.82 6.19 6.23 6.27 6.52 6.53 6.18
Kab. Bojonegoro 5.31 5.51 5.70 5.80 5.90 6.14 6.64 5.86
Kab. Tuban 5.38 5.58 5.61 5.82 6.14 6.18 6.20 5.84
Kab. Lamongan 6.28 6.48 6.63 6.84 7.06 7.27 7.28 6.83
Kab. Gresik 7.93 7.93 8.26 8.41 8.41 8.42 8.93 8.33
Kab. Bangkalan 4.19 4.29 4.59 4.89 4.90 5.07 5.08 4.72
Kab. Sampang 3.14 3.14 3.20 3.27 3.34 3.49 3.65 3.32
Kab. Pamekasan 4.71 5.11 5.30 5.36 5.68 5.72 5.73 5.37
Kab. Sumenep 3.8 4.20 4.21 4.48 4.58 4.77 4.89 4.42
Kota Kediri 8.98 9.18 9.34 9.49 9.57 9.70 9.88 9.45
Kota Blitar 9.47 9.47 9.51 9.52 9.53 9.81 9.87 9.60
Kota Malang 9.38 9.38 9.52 9.67 9.82 9.97 10.13 9.70
Kota Probolinggo 8.07 8.17 8.17 8.17 8.42 8.44 8.46 8.27
Kota Pasuruan 8.59 8.59 8.74 8.88 9.03 9.06 9.07 8.85
Kota Mojokerto 9.49 9.79 9.83 9.87 9.91 9.91 9.92 9.82
Kota Madiun 10.32 10.32 10.50 10.68 10.86 10.90 11.08 10.67
Kota Surabaya 9.76 9.76 9.85 9.95 10.05 10.07 10.24 9.95
Kota Batu 7.11 7.31 7.64 7.75 8.34 8.41 8.44 7.86
Sumber : BPS Jawa Timur 2017, diolah
Berdasarkan tabel 4.3 dapat dijelaskan bahwa rata-rata lama sekolah

kabupaten/kota di provinsi Jawa Timur dari tahun 2009 hingga 2015 rata-rata

terus mengalami peningkatan. Hal ini sesuai dengan banyaknya program-

program pemerintah provinsi Jawa Timur yang diperuntukkan untuk upaya

perbaikan pendidikan. Dari 38 kabupaten/kota di provinsi Jawa Timur, rata-rata

lama sekolah tertinggi untuk tahun 2009-2015 adalah kota Madiun, yakni 10,67

persen. Sedangkan rata-rata terendah dimiliki oleh kabupaten Sumenep sebesar

4,42 persen. Bahkan, hingga tahun 2017 dalam pendataan BPS, sebagian besar

pendidikan masyarakat kabupaten Sumenep masih belum tamat Sekolah Dasar

(SD), serta bidang kesehatan yang sangat memprihatinkan pula.

4.1.5 Perkembangan Share Pertanian

Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang cukup penting bagi

kehidupan manusia, begitu pula bagi wilayah agraris dengan potensi pertanian

yang besar. Sektor pertanian mayoritas dapat menampung lebih banyak tenaga

kerja daripada sektor lainnya karena sektor tersebut masih padat karya, sehingga

perkembangan sektor pertanian sangat dibutuhkan untuk meningkatkan

kesejahteraan banyaknya tenaga kerja. Provinsi Jawa Timur merupakan daerah

dengan salah satu sektor unggulan pertanian. Nilai PDRB sektor pertanian di

provinsi Jawa Timur rata-rata mengalami kenaikan setiap tahunnya mulai tahun

2009 hingga tahun 2015. Berdasarkan beberapa sektor yang menyumbang

PDRB provinsi Jawa Timur, sektor pertanian merupakan sektor dengan

penyerapan tenaga kerja tertinggi selama beberapa tahun terakhir.


Tabel 4.4 Proporsi Sektor Pertanian terhadap PDRB Kabupaten/Kota di
Provinsi Jawa Timur Tahun 2009-2015

Kabupaten/Kota 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 Rata-Rata


Kab. Pacitan 31.91 30.89 29.71 30.30 30.31 30.53 30.45 30.59
Kab. Ponorogo 35.01 34.15 32.63 32.35 31.72 31.62 31.65 32.73
Kab. Trenggalek 31.14 30.48 29.21 30.09 30.45 31.15 31.42 30.56
Kab. Tulungagung 23.21 22.45 21.72 21.92 22.00 22.34 22.37 22.29
Kab. Blitar 37.52 36.08 35.00 35.08 35.25 35.87 36.38 35.88
Kab. Kediri 27.72 27.02 26.48 26.63 26.31 26.53 26.52 26.74
Kab. Malang 19.98 19.36 18.49 18.16 18.15 18.18 17.97 18.61
Kab. Lumajang 42.43 41.55 40.40 40.34 39.82 39.64 39.65 40.55
Kab. Jember 33.93 33.25 31.99 31.78 31.06 30.81 30.99 31.97
Kab. Banyuwangi 35.97 35.56 34.75 35.77 36.23 36.29 36.45 35.86
Kab. Bondowoso 35.30 35.00 33.98 33.94 33.76 33.72 33.62 34.19
Kab. Situbondo 36.98 36.71 35.45 35.79 35.94 36.32 36.24 36.21
Kab. Probolinggo 40.78 39.77 38.45 39.21 38.78 38.50 38.32 39.12
Kab. Pasuruan 8.17 7.87 7.58 7.65 7.75 7.93 8.00 7.85
Kab. Sidoarjo 2.55 2.43 2.25 2.35 2.38 2.39 2.43 2.40
Kab. Mojokerto 9.57 9.63 9.17 9.28 9.36 9.30 9.29 9.37
Kab. Jombang 24.12 22.97 21.89 22.41 22.27 22.45 22.20 22.62
Kab. Nganjuk 37.65 36.15 35.03 34.36 33.63 32.91 32.51 34.61
Kab. Madiun 37.17 36.46 35.23 35.44 35.09 35.02 34.69 35.59
Kab. Magetan 35.56 34.89 34.21 34.32 34.44 34.60 34.35 34.62
Kab. Ngawi 38.96 38.53 37.51 38.63 39.51 39.20 39.77 38.87
Kab. Bojonegoro 16.16 14.60 13.11 14.05 14.29 15.06 18.13 15.06
Kab. Tuban 21.21 20.18 19.22 20.29 20.69 20.73 21.33 20.52
Kab. Lamongan 41.38 40.29 38.08 39.08 39.56 40.13 39.96 39.78
Kab. Gresik 7.74 7.42 7.08 7.39 7.58 7.74 8.29 7.61
Kab. Bangkalan 20.39 19.66 18.34 19.90 20.58 20.32 25.52 20.67
Kab. Sampang 33.71 32.35 31.08 31.49 29.97 32.10 35.47 32.31
Kab. Pamekasan 35.72 35.23 34.41 35.03 35.19 35.93 35.86 35.34
Kab. Sumenep 39.68 38.13 36.78 36.13 32.71 33.33 38.82 36.51
Kota Kediri 0.31 0.30 0.29 0.28 0.27 0.28 0.28 0.29
Kota Blitar 4.02 3.92 3.80 3.63 3.53 3.47 3.40 3.68
Kota Malang 0.39 0.36 0.32 0.31 0.30 0.31 0.30 0.33
Kota Probolinggo 9.19 8.03 7.26 6.89 6.60 6.94 6.82 7.39
Kota Pasuruan 3.20 3.06 2.88 2.84 2.76 2.70 2.64 2.87
Kota Mojokerto 0.92 0.83 0.75 0.73 0.68 0.69 0.68 0.75
Kota Madiun 1.31 1.27 1.12 1.09 1.03 1.00 0.96 1.11
Kota Surabaya 0.19 0.19 0.18 0.18 0.19 0.18 0.18 0.18
Kota Batu 18.66 18.27 17.68 17.14 16.46 16.41 16.30 17.28
Sumber : BPS Jawa Timur 2017, diolah
Berdasarkan tabel 4.4 dapat dijelaskan bahwa proporsi sektor pertanian

kabupaten/kota di provinsi Jawa Timur dari tahun 2009 hingga 2015 rata-rata

mengalami penurunan sejak tahun 2013. Hal ini dikarenakan terjadinya

penurunan hasil produk pertanian di masing-masing daerah. Penurunan tersebut

dilatarbelakangi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah terjadinya situasi dan

kondisi yang tidak menguntungkan ketika proses tanam hingga panen dan

adanya peningkatan alih fungsi lahan. Dari 38 kabupaten/kota di provinsi Jawa

Timur, proporsi sektor pertanian terhadap PDRB tertinggi untuk tahun 2009-2015

adalah kabupaten Lumajang, yakni 41 persen. Sedangkan rata-rata terendah

dimiliki oleh kota Surabaya sebesar 0,18 persen.

4.1.6 Perkembangan Share Industri

Sektor industri merupakan sektor yang paling besar berkontribusi terhadap

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) provinsi Jawa Timur. Hal ini

dikarenakan terdapat beberapa titik pusat industri yang tersebar di provinsi Jawa

Timur. Perkembangan sektor tersebut membawa banyak kemajuan yang

signifikan terhadap banyak bidang, khususnya teknologi, informasi dan

komunikasi. Berikut adalah perkembangan share industri kabupaten/kota di

provinsi Jawa Timur.


Tabel 4.5 Perkembangan Share Industri Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa
Timur Tahun 2009-2015

Kabupaten/Kota 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 Rata-Rata


Kab. Pacitan 7.34 7.29 7.27 6.92 6.79 6.71 6.58 6.99
Kab. Ponorogo 6.79 6.78 6.76 6.74 6.73 6.77 6.69 6.75
Kab. Trenggalek 14.47 14.40 14.40 14.18 13.97 14.02 14.08 14.22
Kab. Tulungagung 21.02 21.02 21.04 21.00 20.62 20.49 20.67 20.84
Kab. Blitar 13.73 13.67 13.59 12.95 12.82 12.75 12.83 13.19
Kab. Kediri 19.55 19.72 19.87 19.42 19.10 19.06 19.08 19.40
Kab. Malang 29.00 29.34 29.66 29.91 29.32 29.99 30.19 29.63
Kab. Lumajang 18.71 18.77 18.86 18.57 18.57 18.85 18.80 18.73
Kab. Jember 20.21 20.28 20.42 20.81 19.94 19.81 19.53 20.14
Kab. Banyuwangi 11.88 11.82 11.74 11.39 11.16 10.97 10.89 11.41
Kab. Bondowoso 22.09 22.06 22.11 21.59 21.08 20.84 20.80 21.51
Kab. Situbondo 15.76 15.80 15.87 15.77 15.69 15.76 16.09 15.82
Kab. Probolinggo 21.58 21.32 21.35 21.12 21.49 21.64 21.99 21.50
Kab. Pasuruan 56.02 55.96 56.00 56.24 56.03 56.12 56.08 56.07
Kab. Sidoarjo 51.64 50.64 49.68 48.29 46.96 47.06 46.70 48.71
Kab. Mojokerto 53.65 53.17 53.16 52.63 52.06 52.30 52.15 52.73
Kab. Jombang 21.62 21.34 21.23 20.46 20.08 19.97 19.83 20.65
Kab. Nganjuk 13.32 13.20 13.11 12.74 12.64 12.74 12.76 12.93
Kab. Madiun 10.10 10.04 9.99 9.84 9.77 9.76 9.78 9.90
Kab. Magetan 9.77 9.80 9.82 9.64 9.58 9.65 9.62 9.70
Kab. Ngawi 8.89 8.90 8.94 8.76 8.65 8.86 8.59 8.80
Kab. Bojonegoro 5.34 5.25 5.34 5.40 5.47 5.84 6.87 5.64
Kab. Tuban 30.61 30.17 29.78 29.19 29.14 28.48 28.32 29.38
Kab. Lamongan 6.95 6.98 7.23 7.12 7.02 7.14 7.24 7.10
Kab. Gresik 49.21 48.37 48.01 48.15 48.06 48.21 49.10 48.44
Kab. Bangkalan 1.71 1.75 1.80 1.93 1.99 1.99 2.49 1.95
Kab. Sampang 3.30 3.31 3.30 3.26 3.04 3.24 3.50 3.28
Kab. Pamekasan 6.01 5.96 5.96 5.93 5.93 6.00 6.09 5.98
Kab. Sumenep 4.92 4.94 4.95 4.69 4.19 4.24 4.95 4.70
Kota Kediri 83.65 83.61 81.59 81.63 81.51 81.71 81.93 82.23
Kota Blitar 9.83 9.51 9.34 9.28 9.22 9.34 9.48 9.43
Kota Malang 29.51 28.91 28.68 28.64 28.24 27.14 26.50 28.23
Kota Probolinggo 17.28 16.82 16.68 16.21 16.03 15.75 15.72 16.36
Kota Pasuruan 21.84 21.49 21.30 21.05 20.85 21.07 21.06 21.24
Kota Mojokerto 12.43 11.93 11.45 11.14 11.02 11.15 11.26 11.48
Kota Madiun 18.74 18.13 16.97 16.62 16.32 16.18 16.06 17.00
Kota Surabaya 20.51 19.79 19.31 19.50 19.00 19.42 19.23 19.54
Kota Batu 4.80 4.72 4.58 4.52 4.50 4.56 4.66 4.62
Sumber : BPS Jawa Timur 2017, diolah
Berdasarkan tabel 4.5 dapat dijelaskan bahwa proporsi sektor industri

kabupaten/kota di provinsi Jawa Timur terhadap PDRB dari tahun 2009 hingga

2015 rata-rata mengalami kenaikan. Hal ini dikarenakan semakin pesatnya

perkembangan industri di wilayah tersebut. Dari 38 kabupaten/kota di provinsi

Jawa Timur, proporsi sektor pertanian terhadap PDRB tertinggi untuk tahun

2009-2015 adalah kota Kediri, yakni 82,23 persen. Sedangkan rata-rata terendah

dimiliki oleh kabupaten Sampang sebesar 3,28 persen. Kabupaten Sampang

paling rendah dikarenakan di wilayah tersebut jarang sekali terdapat industry,

sehingga banyak penduduk yang melakukan migrasi ke kota Surabaya.

Sedangkan kota Kediri memiliki rata-rata tertinggi dikarenakan beberapa tahun

terakhir pemerintah kota Kediri sedang menjalankan program pengembangan

industri yang bertujuan meningkatkan usaha dan nilai kapasitas produksinya.

4.2 Analisis Hasil Estimasi

Analisis hasil estimasi berguna untuk mengetahui pengaruh pertumbuhan

ekonomi, pendidikan, share pertanian dan share industri terhadap kemiskinan

kabupaten/kota di provinsi Jawa Timur. Langkah awal untuk yang harus

dilakukan dalam pengujian adalah uji stasioneritas.

4.2.1 Hasil Uji Stasioneritas

Data ekonomi dalam kurun waktu atau time series seringkali berhadapan

dengan permasalahan bentuk data yang tidak stasioner. Untuk mengetahui

stasioner atau tidaknya data yang digunakan adalah menggunakan unit roor test

dengan Phillips-Perron Test. Apabila data tidak stasioner maka hasil regresi

meskipun memiliki koefisien yang signifikan, namun sebenarnya antar

variabelnya tidak berhubungan. Dengan kata lain, baik varian, kovarian dan rata-

ratanya dapat berubah sepanjang waktu.


Tabel 4.6 Hasil Uji Phillips-Perron

Level 1st difference


Variabel
Prob Kesimpulan Prob Kesimpulan
KM 0.0000 Stasioner 0.0000 Stasioner
Tidak
PE 0.3195 0.0000 Stasioner
Stasioner
PD 0.0000 Stasioner 0.0000 Stasioner
Tidak
SP 0.2437 0.0000 Stasioner
Stasioner
Tidak
SI 0.9613 0.0000 Stasioner
Stasioner
Sumber : Hasil pengolahan Eviews 6.0 (2017)

Penggunaan uji stasioneritas berguna agar hasil regresi tidak menghasilkan

regresi lancung (spurious regression). Dengan menggunakan unit root test

metode Phillips-Perron dapat diketahui bahwa terdapat variabel yang tidak

signifikan pada derajat level, yakni variabel pertumbuhan ekonomi dengan

probabilitas 0.3195, share pertanian dengan probabilitas 0.2437 dan share

industri dengan probabilitas 0.9613, sehingga harus dilanjutkan untuk menguji

stasioneritas pada tingkat 1st difference. Pada 1st difference diketahui bahwa

semua variabel telah signifikan dengan probabilitas ADF test kurang dari alpha

(0,05) sehingga dapat disimpulkan bahwa data stasioner pada 1st difference.

4.2.2 Uji Kointegrasi

Langkah selanjutnya dalam pengujian Error Correction Model (ECM) adalah

uji kointegrasi. Uji kointegrasi bertujuan untuk mengetahui adanya hubungan

jangka panjang antar variabel dalam model penelitian. Uji kointegrasi telah dapat

dilakukan karena sebelumnya telah disimpulkan bahwa semua data stasioner

pada tingkat 1st difference. Berikut hasil uji kointegrasi dalam penelitian ini.

Tabel 4.7 Hasil Uji Stasioneritas Residual pada Tingkat Level

Method Statistic Prob.


PP – Fisher Chi-square 132.549 0.0001
PP – Choi Z-stat -2.51953 0.0059
Sumber: Data diolah, 2017
Tabel 4.7 menunjukkan uji Philips Perron untuk menguji stasioneritas

residual. Pada uji tersebut menunjukkan probabilitas sebesar 0,0001, yakni

kurang dari alpha 0,05, artinya residual stasioner pada derajat integrasi nol.

Sehingga setiap variabel terindikasi memiliki hubungan jangka panjang. Dalam

pengujian ini masih belum bisa mempresentasikan berapa besar pengaruh setiap

variabel independen terhadap variabel dependennya, dengan demikian harus

dilakukan pengujian ECM untuk tahap selanjutnya.

4.2.3 Hasil Estimasi Error Correction Model (ECM)

Pengujian ECM dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh jangka

pendek dan jangka panjang setiap variabel independen terhadap variabel

dependennya. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah kemiskinan (KM),

sedangkan variabel independennya adalah pertumbuhan ekonomi (PE),

pendidikan (PD), share pertanian (SP) dan share industri (SI).

4.2.3.1 Hasil Estimasi Jangka Pendek ECM

Data yang berkaitan dengan perekonomian seringkali mengalami keadaan

ketidakseimbangan atau disekuilibrium antara variabel independen dan

dependennya. Keadaan tersebut mengindikasikan bahwa terdapat

ketidakseimbangan jangka pendek antara variabel dalam model sehingga

menimbulkan adanya keseimbangan jangka panjang setelah dilakukan

penyesuaian dengan memanfaatkan error/residual dari hubungan jangka

panjang. Adanya hubungan dalam jangka panjang dalam penelitian ini telah

dibuktikan dengan uji kointegrasi pada tahap sebelumnya. Besarnya

ketidakseimbangan dapat diketahui melalui persamaan berikut:

ECT = PEt-1 + PDt-1 + SPt-1 + SIt-1 – KMt-1 …………………………………... (4.1)

Nilai probabilitas ECT menentukan apakah model yang digunakan telah valid

atau tidak untuk dilanjutkan dalam menguji ECM. Apabila nilai probabilitas ECT

kurang dari alpha (0,05) dan koefisien ECT bertanda negatif maka dapat
disimpulkan bahwa terjadi ketidakseimbangan dalam jangka pendek. Koefisien

ECT menunjukkan penyesuaian antar variabel sehingga terdapat keseimbangan

pada jangka panjang.

Tabel 4.8 Hasil Pengujian Simultan, Parsial dan Koefisien Determinasi


Model Jangka Pendek

Variabel Dependen : D(KM)


Variabel
Koefisien t-statistik Prob. Keterangan
Independen
D(PE) 0.014348 1.152836 0.2505 Tidak Signifikan
D(PD) -0.555929 -2.621050 0.0095 Signifikan
D(SP) 0.177328 5.690711 0.0000 Signifikan
D(SI) 0.112643 1.160923 0.2472 Tidak Signifikan
RES(-1)/ECT -0.416369 -13.76353 0.0000 Signifikan
C -0.532330 -14.66513 0.0000
Weighted Statistics Unweighted Statistics
R-Square 0.781256 R-Square 0.329026
Adj. R-Square 0.731595 Adj. R-Square 0.313914
F-statistik 15.73183 F-statistik 21.77247
Prob. F-stat 0.000000 Prob. F-stat 0.000000
Sumber : Hasil Pengolahan Eviews 6.0 (2017)

Pengujian di atas menggunakan pembobotan dengan metode Fixed Effect

Model (FEM). Pembobotan bertujuan mengatasi masalah heteroskedastisitas

pada data cross section. Selain itu dengan pembobotan, hasil regresi juga

memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan tidak diberikan

pembobotan. Hal ini dibuktikan dengan nilai R-square yng lebih tinggi yakni

0.781256, dibandingkan hasil tanpa pembobotan sebesar 0.329026. Sehingga

hasil estimasi ECM jangka pendek sebagai berikut :

D(KM) = -0.532330 + 0.014348*D(PE) – 0.555929*D(PD) + 0.177328*D(SP) +

0.112643*D(SI) – 0.416369*ECT

Berdasarkan model di atas, nilai koefisien ECT sebesar -0.416369

menunjukkan bahwa perbedaan antara kemiskinan dan nilai keseimbangannya

sebesar 42 persen atau dalam lain kalimat dapat dijelaskan bahwa penyesuaian
dalam jangka pendek adalah dalam waktu 2,5 tahun, sedangkan untuk jangka

panjang adalah sepanjang tahun penelitian, yakni 9 tahun. Sedangkan untuk uji

F, uji T dan uji koefisien determinasi beserta uji asumsi klasik akan dijelaskan

sebagai berikut.

1. Uji F-Statistik

Hasil ECM jangka pendek yang ditunjukkan pada tabel 4.8 menjelaskan

bahwa secara simultan seluruh variabel independen berpengaruh signifikan

terhadap variabel dependen, yaitu kemiskinan (KM). Hal ini dapat dibuktikan

dengan nilai probabilitas F-statistik sebesar 0.000000, yang mana nilai tersebut

kurang dari alpha (0,05 atau 5%). Sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel

pertumbuhan ekonomi (PE), pendidikan (PD), share pertanian (SP) dan share

industri (SI) secara bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap kemiskinan

(KM).

2. Uji T-Statistik

Tabel 4.8 menunjukkan bahwa secara parsial, share industri (SI)

pertumbuhan ekonomi (PE) tidak berpengaruh signifikan terhadap kemiskinan

(KM), dibuktikan dengan nilai probabilitas yang lebih dari alpha (0,05).

Sedangkan variabel pendidikan (PD) dan share pertanian (SP) secara parsial

berpengaruh signifikan terhadap kemiskinan (KM). Hal ini ditunjukkan dengan

nilai probabilitas t-statistik kurang dari alpha (0,05) yakni 0.0000.

Variabel pendidikan berpengaruh signifikan terhadap kemiskinan, dibuktikan

dengan nilai probabilitas t-statistik sebesar 0.0095, yang mana nilai tersebut

kurang dari alpha (0,05). Sedangkan nilai koefisien variabel pendidikan sebesar

0.555929 dengan arah hubungan negatif (-). Artinya, setiap kenaikan 1 satuan

variabel pendidikan mampu menurunkan 0.555929 persen jumlah penduduk

miskin dengan asumsi variabel lain tetap (cateris paribus).


Variabel share pertanian berpengaruh signifikan terhadap kemiskinan,

dibuktikan dengan nilai probabilitas t-statistik sebesar 0.0000, yang mana nilai

tersebut kurang dari alpha (0,05). Sedangkan nilai koefisien variabel share

pertanian sebesar 0.177328 dengan arah hubungan positif (+). Artinya, setiap

kenaikan 1 persen share pertanian mampu meningkatkan 0.177328 persen

jumlah penduduk miskin dengan asumsi variabel lain tetap (cateris paribus).

3. Uji Koefisien Determinasi (R-Square)

Nilai R-Square umumnya memiliki nilai cukup besar yang menunjukkan

seberapa besar variabel independen dapat menjelaskan variabel dependen.

Namun berbeda dengan uji ECM, R-Square yang tinggi umumnya hanya ditemui

pada hasil estimasi jangka panjang, untuk jangka pendek tidak sehingga dalam

R-Square jangka pendek hanya dapat menjelaskan seberapa besar variabel

independen dapat menggambarkan variabel dependen. Pada penelitian ini, R-

Square menunjukkan nilai 0.781256, artinya variasi variabel independen yang

terdiri dari pertumbuhan ekonomi, pendidikan (PD), share pertanian (SP) dan

share industri (SI) mampu menjelaskan variabel dependen yaitu kemiskinan

sebesar 78 persen, sedangkan sisanya 22 persen dijelaskan variabel lain di luar

model.
4.2.3.2 Hasil Estimasi Jangka Panjang ECM

Hasil estimasi jangka panjang ECM dalam penelitian ini akan dijelaskan

sebagai berikut.

Tabel 4.9 Hasil Pengujian Simultan, Parsial dan Koefisien Determinasi


Model Jangka Panjang

Variabel Dependen : KM
Variabel
Koefisien t-statistik Prob. Keterangan
Independen
PE 0.072946 2.234753 0.0264 Signifikan
PD -3.865301 -24.45091 0.0000 Signifikan
SP 0.410846 8.289768 0.0000 Signifikan
SI -0.147774 -1.508389 0.1329 Tidak Signifikan
C 34.08437 11.70511 0.0000
Weighted Statistics Unweighted Statistics
R-Square 0.984516 R-Square 0.957443
Adj. R-Square 0.981682 Adj. R-Square 0.949653
F-statistik 347.3863 F-statistik 122.9139
Prob. F-stat 0.000000 Prob. F-stat 0.000000
Sumber : Hasil Pengolahan Eviews 6.0 (2017)

Hasil estimasi model selama periode 2009-2015 menggunakan OLS sebagai

model jangka panjang didapatkan sebagai berikut :

KM = 34.08437 + 0.072946*PE - 3.865301*PD + 0.410846*SP - 0.147774*SI

Uji F, uji T dan uji koefisien determinasi beserta uji asumsi klasik akan

dijelaskan sebagai berikut.

1. Uji F-Statistik

Hasil ECM jangka panjang yang ditunjukkan pada tabel 4.9 menjelaskan

bahwa secara simultan seluruh variabel independen berpengaruh signifikan

terhadap variabel dependen, yaitu kemiskinan (KM). Hal ini dapat dibuktikan

dengan nilai probabilitas F-statistik sebesar 0.000000, yang mana nilai tersebut

kurang dari alpha (0,05 atau 5%). Sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel

pertumbuhan ekonomi (PE), pendidikan (PD), share pertanian (SP) dan share
industri (SI) secara bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap kemiskinan

(KM).

2. Uji T-Statistik

Tabel 4.8 menunjukkan bahwa secara parsial, variabel pertumbuhan

ekonomi (PE), pendidikan (PD) dan share pertanian (SP) berpengaruh signifikan

terhadap kemiskinan (KM), dibuktikan dengan nilai probabilitas yang kurang dari

alpha (0,05). Sedangkan variabel share industri (SI) secara parsial tidak

berpengaruh signifikan terhadap kemiskinan (KM). Hal ini ditunjukkan dengan

nilai probabilitas t-statistik lebih dari alpha (0,05) yakni 0.0000.

Variabel pertumbuhan ekonomi berpengaruh signifikan terhadap kemiskinan,

dibuktikan dengan nilai probabilitas t-statistik sebesar 0.0264, yang mana nilai

tersebut kurang dari alpha (0,05). Sedangkan nilai koefisien variabel

pertumbuhan ekonomi sebesar 0.072946 dengan arah hubungan positif (+).

Artinya, setiap kenaikan 1 persen pertumbuhan ekonomi mampu meningkatkan

0.072946 persen jumlah penduduk miskin dengan asumsi variabel lain tetap

(cateris paribus).

Variabel pendidikan berpengaruh signifikan terhadap kemiskinan, dibuktikan

dengan nilai probabilitas t-statistik sebesar 0.0000, yang mana nilai tersebut

kurang dari alpha (0,05). Sedangkan nilai koefisien variabel pendidikan sebesar

3.865301 dengan arah hubungan negatif (-). Artinya, setiap kenaikan 1 satuan

rata-rata lama sekolah mampu menurunkan 3.865301 persen jumlah penduduk

miskin dengan asumsi variabel lain tetap (cateris paribus).

Variabel share pertanian berpengaruh signifikan terhadap kemiskinan,

dibuktikan dengan nilai probabilitas t-statistik sebesar 0.0000, yang mana nilai

tersebut kurang dari alpha (0,05). Sedangkan nilai koefisien variabel share

pertanian sebesar 0.410846 dengan arah hubungan positif (+). Artinya, setiap
kenaikan 1 persen share pertanian mampu meningkatkan 0.410846 persen

jumlah penduduk miskin dengan asumsi variabel lain tetap (cateris paribus).

3. Uji Koefisien Determinasi (R-Square)

Hasil uji koefisien determinasi didapatkan nilai sebesar 0.984516, artinya

bahwa keempat variabel independen yang terdiri dari pertumbuhan ekonomi

(PE), pendidikan (PD), share pertanian (SP) dan share industri (SI) mampu

menjelaskan variabel dependen yaitu kemiskinan sebesar 98 persen, sisanya 2

persen dijelaskan oleh variabel lain di luar model.

4.3 Uji Asumsi Klasik

4.3.1 Hasil Uji Multikolinearitas

Uji asumsi klasik yang pertama adalah uji multikolinearitas. Uji

multikolinearitas dilakukan untuk menguji apakah terdapat korelasi antar variabel

independen. Penelitian ini menggunakan menggunakan uji pair-wise correlation,

yang mana apabila nilai hubungan antar variabel independen kurang dari 83

persen maka dapat disimpulkan memiliki hubungan yang rendah atau tidak

mengandung masalah multikolinearitas. Berikut hasil uji pair-wise correlation.

Tabel 4.10 Hasil Uji Pair-Wise Correlation

Correlation
PE PD SP SI
PE 1.000000 0.169589 -0.161913 0.075729
PD 0.169589 1.000000 -0.770541 0.351821
SP -0.161913 -0.770541 1.000000 -0.515816
SI 0.075729 0.351821 -0.515816 1.000000
Sumber : Hasil pengolahan Eviews 6.0 (2017)

Berdasarkan hasil uji pada table 4.10, dapat disimpulkan bahwa model

regresi tidak mengandung masalah multikolinearitas. Hal ini dibuktikan dengan

nilai korelasi pada table 4.10 yang kurang dari 0,83. Uji multikolinearitas sangat

dibutuhkan agar hasil estimasi tidak bias dan menghasilkan model terbaik.
4.4 Pembahasan Hasil Penelitian

Sub bab pembahasan hasil penelitian, akan dijelasakan secara terperinci

hasil output untuk mengetahui pengaruh jangka pendek dan jangka panjang

pertumbuhan ekonomi, pendidikan, share pertanian dan share industri terhadap

kemiskinan kabupaten/kota di provinsi Jawa Timur.

4.4.1 Pengaruh Petumbuhan Ekonomi terhadap Kemiskinan

Berdasarkan hasil estimasi yang telah dilakukan, variabel pertumbuhan

ekonomi memiliki tidak berpengaruh signifikan terhadap kemiskinan

kabupaten/kota di provinsi Jawa Timur dalam jangka pendek, dibuktikan dengan

nilai probabilitas (p-value) sebesar 0.2505, yakni lebih dari alpha 0,05 atau 5

persen. Sedangkan dalam jangka panjang, pertumbuhan ekonomi berpengaruh

positif signifikan terhadap kemiskinan, dibuktikan dengan nilai probabilitas (p-

value) sebesar 0.0264 yakni kurang dari alpha 0,05. Sedangkan nilai koefisien

regresi pertumbuhan ekonomi (PE) dalam jangka panjang adalah sebesar

0.072946 dengan arah positif, artinya apabila pertumbuhan ekonomi suatu

kabupaten/kota meningkat 1 persen maka tingkat kemiskinan akan meningkat

sebesar 0.072946 persen. Hasil tersebut tidak sesuai dengan hipotesis yang

telah diajukan dalam penelitian ini, yang mana pertumbuhan ekonomi

berpengaruh negatif signifikan terhadap tingkat kemiskinan dalam jangka pendek

dan jangka panjang.

Hasil penelitian ini dalam jangka pendek mendukung hasil penelitian yang

dilakukan oleh Siti Walida Mustamin dkk tahun 2015 yang meneliti kota Makassar

provinsi Sulawesi Selatan yang menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi

secara langsung tidak berpengaruh signifikan terhadap tingkat kemiskinan.

Demikian pula dengan hasil penelitian Arsenio M. Balisacan, Ernesto M. Pernia

dan Gemma E.B.E tahun 2003 yang meneliti Vietnam tahun 1992-1993 dan

1997-1998 yang menyatakan bahwa cepatnya laju pertumbuhan ekonomi tidak


berpengaruh signifikan terhadap tingkat kemiskinan meskipun dalam jangka

panjang diprediksi dapat berpengaruh signifikan tingkat kemiskinan.

Sesuai dengan penelitian Arsenio M. Balisacan, Ernesto M. Pernia dan

Gemma E.B.E di atas, dalam jangka panjang pertumbuhan ekonomi

kabupaten/kota di provinsi Jawa Timur berpengaruh signifikan terhadap

kemiskinan namun dengan arah korelasi positif. Artinya, ketika pertumbuhan

ekonomi meningkat dalam jangka panjang akan meningkatkan jumlah penduduk

miskin. Hal ini dikarenakan kondisi pertumbuhan ekonomi yang terus

berlangsung dalam jangka panjang tetapi tidak bisa dirasakan masyarakat miskin

menyebabkan melebarnya ketimpangan pendapatan. Ketimpangan tersebut juga

terjadi dalam jangka pendek namun belum dapat menambah jumlah penduduk

miskin tetapi kondisi demikian akan terakumulasi dalam jangka panjang sehingga

signifikan meningkatkan kemiskinan. Tingginya pertumbuhan ekonomi diikuti

ketimpangan pendapatan dibuktikan sebagai berikut.

Tabel 4.11 Perbandingan Pertumbuhan Ekonomi dan Rasio Gini


(Ketimpangan Pendapatan) Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa
Timur Tahun 2009-2015

Pertumbuhan Rasio
Kabupaten/Kota Kategori Kategori
Ekonomi Gini
Kab. Pacitan 5.967313 Rendah 0.311429 Tinggi
Kab. Ponorogo 5.5124 Rendah 0.301429 Rendah
Kab. Trenggalek 5.819628 Rendah 0.322857 Tinggi
Kab. Tulungagung 6.038548 Tinggi 0.321429 Tinggi
Kab. Blitar 5.475826 Rendah 0.317143 Tinggi
Kab. Kediri 5.617242 Rendah 0.298571 Rendah
Kab. Malang 6.004943 Tinggi 0.332857 Tinggi
Kab. Lumajang 5.596523 Rendah 0.251429 Rendah
Kab. Jember 6.008927 Tinggi 0.284286 Rendah
Kab. Banyuwangi 6.424167 Tinggi 0.291429 Rendah
Kab. Bondowoso 5.536206 Rendah 0.274286 Rendah
Kab. Situbondo 5.640469 Rendah 0.282857 Rendah
Kab. Probolinggo 5.626035 Rendah 0.298571 Rendah
Kab. Pasuruan 6.436299 Tinggi 0.284286 Rendah
Kab. Sidoarjo 6.178919 Tinggi 0.311429 Tinggi
Pertumbuhan Rasio
Kabupaten/Kota Kategori Kategori
Ekonomi Gini
Kab. Mojokerto 6.41974 Tinggi 0.272857 Rendah
Kab. Jombang 5.869569 Rendah 0.302857 Rendah
Kab. Nganjuk 5.751174 Rendah 0.308571 Tinggi
Kab. Madiun 5.68774 Rendah 0.292857 Rendah
Kab. Magetan 5.601603 Rendah 0.312857 Tinggi
Kab. Ngawi 5.841421 Rendah 0.298571 Rendah
Kab. Bojonegoro 8.141028 Tinggi 0.291429 Rendah
Kab. Tuban 5.975835 Rendah 0.265714 Rendah
Kab. Lamongan 6.592545 Tinggi 0.27 Rendah
Kab. Gresik 7.399747 Tinggi 0.315714 Tinggi
Kab. Bangkalan 2.848823 Rendah 0.298571 Rendah
Kab. Sampang 4.354085 Rendah 0.257143 Rendah
Kab. Pamekasan 5.77628 Rendah 0.267143 Rendah
Kab. Sumenep 6.891739 Tinggi 0.268571 Rendah
Kota Kediri 5.557869 Rendah 0.342857 Tinggi
Kota Blitar 6.242721 Tinggi 0.355714 Tinggi
Kota Malang 6.199045 Tinggi 0.38 Tinggi
Kota Probolinggo 6.114227 Tinggi 0.308571 Tinggi
Kota Pasuruan 5.862169 Rendah 0.33 Tinggi
Kota Mojokerto 5.960212 Rendah 0.324286 Tinggi
Kota Madiun 6.77879 Tinggi 0.35 Tinggi
Kota Surabaya 6.862691 Tinggi 0.381429 Tinggi
Kota Batu 7.243218 Tinggi 0.308571 Tinggi
Sumber : BPS Jawa Timur 2017, diolah

Tabel 4.11 menjelaskan perbandingan antara pertumbuhan ekonomi dan

ketimpangan pendapatan yang diwakili oleh rasio gini kabupaten/kota di provinsi

Jawa Timur. Berdasarkan tabel 4.11, sebanyak 23 kabupaten atau sekitar 61

persen pola pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan pendapatan

kabupaten/kota mendukung hasil penelitian ini. Dari 23 kabupaten/kota tersebut,

sebanyak 13 kabupaten/kota berpola pertumbuhan ekonomi rendah dengan

ketimpangan pendapatan yang rendah pula, sedangkan 10 kabupaten/kota

berpola pertumbuhan ekonomi tinggi dengan ketimpangan pendapatan yang

tinggi pula. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa apabila kabupaten/kota

memiliki pertumbuhan ekonomi yang tinggi maka diikuti ketimpangan pendapatan


yang tinggi pula dan sebaliknya, yang mana dibuktikan dengan sebagian besar

kabupaten/kota di provinsi Jawa Timur.

Ketimpangan pendapatan yang semakin meluas akan semakin menyulitkan

akses kesejahteraan untuk penduduk miskin. Misalnya biaya-biaya yang semakin

mahal seperti biaya pendidikan dan kesehatan, dikarenakan pertumbuhan

ekonomi menyebabkan daya beli masyarakat meningkat, dalam hal ini

diasumsikan terjadi peningkatan pendapatan bagi masyarakat menengah dan

atas, sehingga permintaan atas berbagai produk juga meningkat dan cukup

berpotensi terjadinya peningkatan harga. Ditambah lagi, dengan semakin

cepatnya laju inflasi dan fakta bahwa rata-rata sulitnya peningkatan pendapatan

masyarakat miskin.

Hasil penelitian ini tidak sepenuhnya mendukung teori pertumbuhan neo

klasik model solow yang mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi yang

diwujudkan dengan peningkatan output barang dan jasa akan meningkatkan

kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pendapatan dalam jangka waktu

tertentu. Hal ini dikarenakan perlu penelitian lebih lanjut siapa saja orang-orang

yang menikmati hasil pertumbuhan ekonomi tersebut, apakah seluruh

masyarakat ataukah hanya sekelompok saja. Apabila mereka yang berpartisipasi

dalam pertumbuhan tersebut hanya sekelompok orang, maka hanya merekalah

yang dapat menikmatinya, begitu pula sebaliknya.

Hasil penelitian ini dalam jangka panjang sesuai dengan penelitian yang

dilakukan oleh Anil B. Deolalikar pada tahun 2002 yang meneliti seluruh provinsi

di Thailand periode 1992-1999 yang menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi

berpengaruh positif signifikan terhadap tingkat kemiskinan. Namun, kurang

sesuai dengan penyataan Kuznets dalam Tambunan (2011) bahwa terdapat

korelasi kuat antara kemiskinan dan pertumbuhan ekonomi, yang mana pada

awal pembangunan suatu wilayah tingkat kemiskinan cenderung naik, namun


pada masa akhir pembangunan tingkat kemiskinan wilayah tersebut akan

berkurang.

Hasil penelitian dalam jangka pendek menyebutkan bahwa adanya

pertumbuhan ekonomi belum dapat mempengaruhi tingkat kemiskinan. Hal ini

berkaitan dengan adanya waktu untuk proses pendistribusian manfaat dari

pertumbuhan tersebut kepada masyarakat. Waktu yang cukup singkat belum

dapat memberikan pengaruh signifikan terhadap kemiskinan. Oleh karenanya

dibuktikan dengan hasil penelitian dalam jangka panjang bahwa pertumbuhan

ekonomi berpengaruh signifikan, namun dengan arah positif. Arah positif tersebut

menunjukkan bahwa dalam kurun waktu penelitian, pertumbuhan ekonomi justru

menambah penduduk miskin sehingga manfaat pertumbuhan ekonomi yang

diharapkan belum tercapai. Untuk menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang

bermanfaat pada masyarakat miskin, perlu adanya kontrol dari pemerintah

berupa kebijakan untuk mengendalikan perkembangan perekonomian dan

mengarahkan kemanfaatan atas pertumbuhan tersebut kepada seluruh

masyarakat sehingga pertumbuhan tinggi dan stabil akan tercapai di masa

depan.

Gambaran kondisi di atas menunjukkan bahwa tingginya pertumbuhan

ekonomi atau adanya kenaikan PDRB tidak dapat menjadi jaminan adanya

penurunan kemiskinan. Selama ini peran masyarakat miskin dalam menyumbang

perekonomian masih kecil sehingga wajar apabila adanya pertumbuhan ekonomi

sulit berdampak pada perbaikan ekonomi masyarakat miskin. Seharusnya sektor

yang menjadi mata pencaharian utama mayoritas masyarakat miskin menjadi

perhatian dan prioritas utama pemerintah, sehingga sektor tersebut memiliki

peran cukup besar dalam menunjang tumbuhnya perekonomian secara

keseluruhan.
4.4.2 Pengaruh Pendidikan terhadap Kemiskinan

Berdasarkan hasil estimasi yang telah dilakukan, variabel pendidikan

memiliki pengaruh negatif signifikan terhadap kemiskinan kabupaten/kota di

provinsi Jawa Timur dalam jangka pendek, dibuktikan dengan nilai probabilitas

(p-value) sebesar 0.0095, yakni kurang dari alpha 0,05 atau 5 persen. Nilai

koefisien pendidikan dalam jangka pendek sebesar 0.555929 dengan arah

negatif, artinya apabila rata-rata lama sekolah suatu kabupaten/kota meningkat 1

persen maka tingkat kemiskinan akan menurun sebesar 0.555929 persen.

Begitu pula dalam jangka panjang. nilai koefisien regresi Pendidikan (PD)

sebesar 3.865301 dengan arah negatif, artinya apabila tingkat pendidikan suatu

kabupaten/kota meningkat 1 satuan maka nilai tingkat kemiskinan akan menurun

sebesar 3.865301 persen. Nilai probabilitas (p-value) sebesar 0.0000

menunjukkan bahwa tingkat pendidikan berpengaruh negatif signifikan terhadap

kemiskinan dengan tingkat kepercayaan 95 persen.Hal ini sesuai hipotesis yang

menyatakan bahwa tingkat pendidikan berpengaruh negatif signifikan terhadap

tingkat kemiskinan dalam jangka pendek dan jangka panjang.

Berdasarkan hasil penelitian dalam jangka pendek maupun jangka panjang,

pendidikan yang tinggi kabupaten/kota di provinsi Jawa Timur mampu

mengurangi tingkat kemiskinan secara signifikan. Hal tersebut sesuai dengan

teori pertumbuhan endogen yang dikemukakan Romer dan Lucas bahwa

pendidikan yang tinggi dapat meningkatkan kesempatan individu untuk

berpartisipasi terhadap perkembangan perekonomian, dengan demikian

pendapatan per kapita masyarakat akan meningkat. Semakin tinggi pendapatan

masyarakat maka akan semakin mengurangi jumlah masyarakat miskin suatu

daerah. Baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang, pendidikan yang

menunjukkan tingkat pengetahuan secara umum akan menentukan nilai dari

produktivitas individu. Dengan pendidikan yang semakin tinggi dan kesempatan


kerja yang semakin luas, individu akan lebih mudah meningkatkan derajat

kemakmurannya, secara otomatis hal yang demikian dirasakan keluarga yang

menjadi tanggungjawabnya dalam segi ekonomi.

Pendidikan yang tinggi dengan kemiskinan yang rendah maupun sebaliknya

telah terbukti pada sebagian besar kabupaten/kota di Jawa Timur, yakni sekitar

76 persen dari 38 kabupaten/kota yang ada. Hasil penelitian ini dalam jangka

panjang mendukung hasil penelitian yang dilakukan oleh Ummi Duwila tahun

2016 yang meneliti Kawasan Timur Indonesia (KTI) yang menyatakan bahwa

tingkat pendidikan secara langsung berpengaruh signifikan terhadap tingkat

kemiskinan. Demikian pula dengan hasil penelitian Rangga Sakti Wardana tahun

2012 yang meneliti Indonesia yang menyatakan bahwa tingkat pendidikan

berpengaruh negatif signifikan terhadap tingkat kemiskinan.

4.4.3 Pengaruh Share Pertanian terhadap Kemiskinan

Nilai koefisien regresi Share Pertanian (SP) dalam jangka pendek adalah

sebesar 0.177328 dengan arah positif, artinya apabila share pertanian suatu

kabupaten/kota meningkat 1 persen maka tingkat kemiskinan akan meningkat

sebesar 0.177328 persen. Nilai probabilitas (p-value) sebesar 0.0000

menunjukkan bahwa share pertanian berpengaruh positif signifikan terhadap

kemiskinan dengan tingkat kepercayaan 95 persen. Begitu pula dalam jangka

panjang. Nilai koefisien regresi share pertanian (SP) dalam jangka panjang

adalah sebesar 0.410846 dengan arah positif, artinya apabila share pertanian

suatu kabupaten/kota meningkat 1 persen maka tingkat kemiskinan akan

meningkat sebesar 0.410846 persen. Nilai probabilitas (p-value) sebesar 0.0000

menunjukkan bahwa share pertanian berpengaruh positif signifikan terhadap

kemiskinan dengan tingkat kepercayaan 95 persen.Hal ini sesuai tidak hipotesis

yang menyatakan bahwa share pertanian berpengaruh negatif signifikan

terhadap tingkat kemiskinan dalam jangka pendek dan jangka panjang.


Share pertanian dalam jangka pendek maupun jangka panjang dapat

mempengaruhi tingkat kemiskinan kabupaten/kota di provinsi Jawa Timur. Hal ini

dikarenakan sebagian besar penduduk yang dinyatakan miskin berasal dari

pedesaan, yang mana didominasi oleh sektor pertanian. Selain itu dibuktikan

dengan tingginya tenaga kerja pada sektor pertanian dibandingkan sektor

lainnya, yakni sekitar 37 persen dari seluruh tenaga kerja pada tahun 2015.

Namun, korelasi antara share pertanian dan kemiskinan dalam penelitian ini

adalah positif, artinya ketika share pertanian meningkat justru tingkat kemiskinan

akan meningkat, begitu pula sebaliknya.

Sektor pertanian kurang menguntungkan, khususnya bagi para petani

dikarenakan oleh beberapa kondisi. Pertama, terkait kepemilikan lahan.

Sebagian besar petani hanya memiliki lahan pertanian yang sempit, dibuktikan

dengan data BPS hingga tahun 2015 bahwa lahan pertanian rata-rata hanya 0,5

Ha per keluarga tani di Indonesia. Lahan pertanian yang sempit membuat petani

melakukan proses produksi yang kurang efisien, misalnya terkait penggunaan

input. Dengan minimnya lahan yang dimiliki, para petani akan kesulitan untuk

meningkatkan taraf kesejahteraan hidupnya. Apabila peningkatan share

pertanian mencerminkan adanya peningkatan pula pada sisi tenaga kerja sektor

pertanian maka semakin banyak orang yang terjebak dalam kondisi tidak

menguntungkan tersebut, ditambah fakta bahwa lahan pertanian semakin

berkurang karena masalah alih fungsi lahan untuk sektor non pertanian.

Kedua, terkait harga yang seringkali tidak menguntungkan para petani.

Dalam berbagai kondisi, keuntungan terbesar pada sektor pertanian bukanlah

dinikmati para petani, tetapi para tengkulak, pengepul, pedagang besar maupun

kecil, terutama ketika terdapat hasil panen yang melimpah. Peningkatan hasil

pertanian dapat menyebabkan turunnya harga produk apabila tidak disertai

dengan permintaan yang meningkat. Para tengkulak sebagai perantara


penjualan produk akan lebih mudah menekan harga dikarenakan berlebihnya

produk yang tersedia, dalam kondisi ini para petani tidak memiliki daya tawar

yang tinggi sehingga dengan harga rendah pun harus tetap dijual. Hal ini

mengakibatkan turunnya laba yang diterima para petani, atau bahkan

pendapatan tersebut belum dapat menutup biaya produksi. Inilah yang

mengakibatkan kemiskinan masih melilit pekerja sektor pertanian. Penurunan

proporsi PDRB sektor pertanian dalam penelitian ini dapat lebih mensejahterakan

petani. Hal ini dibuktikan dengan rata-rata nilai tukar petani yang rata-rata

meningkat tahun 2009-2015 ketika proporsi PDRB sektor pertanian rata-rata

menurun pada periode tersebut.

Selain itu, para petani juga memiliki keterbatasan dalam meningkatkan

kesejahteraan, diantaranya adalah kurangnya faktor produktif yang dimiliki

petani, keterbatasan akses permodalan usaha tani dan terbatasnya informasi

serta teknologi yang digunakan. Apabila petani memiliki lahan pertanian, artinya

masih ada faktor produktif yang dapat didayagunakan selain tenaganya, namun

apabila tidak memiliki lahan atau hanya sebagai buruh maka petani hanya dapat

mendayagunakan tenaganya, sedangkan pendapatan buruh tani sangatlah kecil.

Petani mengalami kesulitan dalam mendapatkan akses pembiayaan dan

permodalan dikarenakan ketidakmampuan mereka dalam menjangkau informasi

terkait pembiayaan dan permodalan tersebut. Petani justru mengandalkan

permodalan informal misalnya tengkulak atau pengepul dengan pengembalian

yang kurang menguntungkan. Informasi dan teknologi juga kurang menyentuh

para petani sehingga petani berproduksi kurang efisien. Dengan demikian, hasil

penelitian mengatakan peningkatan porsi pertanian mengakibatkan

meningkatnya penduduk miskin bukan diartikan adanya kesalahan pada

peningkatan proporsinya, tetapi adanya proses yang harus diperbaiki dalam

produksi hingga pengambilan manfaat oleh petani.


Hasil penelitian ini tidak mendukung hasil penelitian yang dilakukan oleh

Dian Candra Sakti dan Bustani Berachim pada tahun 2016 yang berjudul

Pengaruh Output Sektor Pertanian, Industri Pengolahan dan Perdagangan

terhadap Jumlah Penduduk Miskin di Provinsi Jawa Timur, mengatakan bahwa

output sektor pertanian berpengaruh negatif signifikan terhadap jumlah penduduk

miskin di provinsi Jawa Timur. Artinya, peningkatan output sektor pertanian dapat

mengurangi jumlah penduduk miskin secara signifikan. Namun, hasil penelitian

ini mendukung hasil penelitian Ni Made Sasih Purnami dan Ida Ayu Nyoman

Saskara tahun 2016 yang berjudul Analisis Pengaruh Pendidikan dan Kontribusi

Sektor Pertanian terhadap Pertumbuhan Ekonomi serta Jumlah Penduduk

Miskin, yang mengatakan bahwa sektor pertanian memiliki pengaruh positif

signifikan terhadap jumlah penduduk miskin.

4.4.4 Pengaruh Share Industri terhadap Kemiskinan

Nilai probabilitas (p-value) Share Industri (SI) sebesar 0.2472 menunjukkan

bahwa share industri tidak berpengaruh signifikan terhadap kemiskinan dengan

tingkat kepercayaan 95 persen. Begitu pula dalam jangka panjang. Nilai

probabilitas (p-value) Share Industri (SI) sebesar 0.1329 menunjukkan bahwa

share industri tidak berpengaruh signifikan terhadap kemiskinan dengan tingkat

kepercayaan 95 persen. Hal ini sesuai tidak hipotesis yang menyatakan bahwa

share industri berpengaruh negatif signifikan terhadap tingkat kemiskinan dalam

jangka pendek dan jangka panjang.

Share Industri (SI) tidak berpengaruh signifikan terhadap penurunan

penduduk miskin pada jangka pendek maupun jangka panjang dikarenakan

peningkatan share industri hanya dapat dinikmati oleh para pemilik industri dan

tenaga kerja di dalamnya, sedangkan sebagian besar tenaga kerja sektor industri

bukanlah dari kalangan penduduk yang miskin, ditambah fakta bahwa penduduk

miskin juga sulit memasuki sektor tersebut. Hal ini dikarenakan keterbatasan
penduduk miskin dalam memenuhi kualifikasi tenaga kerja sektor tersebut,

khususnya dalam bidang pendidikan dan keterampilan. Dengan demikian,

perkembangan sektor industri tidak memberikan pengaruh yang signifikan

terhadap pengurangan penduduk miskin.

Perkembangan sektor industri dalam penelitian ini tidak berpengaruh

signifikan terhadap kemiskinan, oleh karenanya perlu adanya campur tangan

pemerintah dalam pemerataan manfaat perkembangan sektor industri yang

merupakan sektor penyokong mayoritas PDRB tersebut. Meskipun penduduk

miskin tidak terlibat dalam proses perkembangan industri, namun sebenarnya

penduduk juga dapat melakukan aktivitas lain untuk menyeimbangi

perkembangan tersebut. Misalnya adanya pertumbuhan ekonomi masyarakat di

sekitar lokasi industri. Tidak hanya itu, pajak yang dibebankan kepada industry

sebaiknya didistribusikan kepada masyarakat luas, khususnya untuk membantu

masyarakat ekonomi menengah ke bawah. Dengan demikian, kemanfaatan

perkembangan sektor industri dapat dirasakan seluruh masyarakat dan

meminimalisir ketimpangan.

Hasil penelitian ini tidak mendukung hasil penelitian yang dilakukan oleh

Dian Candra Sakti dan Bustani Berachim pada tahun 2016 yang berjudul

Pengaruh Output Sektor Pertanian, Industri Pengolahan dan Perdagangan

terhadap Jumlah Penduduk Miskin di Provinsi Jawa Timur, mengatakan bahwa

output sektor industri pengolahan berpengaruh negatif signifikan terhadap jumlah

penduduk miskin di provinsi Jawa Timur. Artinya, peningkatan output sektor

industri pengolahan dapat mengurangi jumlah penduduk miskin secara signifikan.

Anda mungkin juga menyukai