Anda di halaman 1dari 57

ANALISIS PENGARUH DANA ALOKASI UMUM, DANA ALOKASI

KHUSUS, DANA DESA, PENDAPATAN ASLI DAERAH DAN KONDISI


GEOGRAFIS TERHADAP TINGKAT KEMISKINAN DI 12
KABUPATEN/KOTA PROVINSI SULAWESI TENGGARA

TAHUN 2011-2019

Disusun Guna Memenuhi Tugas Ekonometrika I

Oleh

Samsul Bakri : 12020118130138

Kelas : A

Dosen Pengampu : Firmansyah, S.E., M.Si., Ph.D

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI & STUDI PEMBANGUNAN

FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS


UNIVERSITAS DIPONEGORO

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kemiskinan adalah sebuah kondisi ketidakmampuan seseorang dalam


memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat berlindung, dan
kesehatan. Kondisi ketidakmampuan ini ditandai dengan rendahnya kemampuan
pendapatan untuk memenuhi kebutuhan pokok baik berupa pangan, sandang,
maupun papan. Kemampuan pendapatan yang rendah ini juga akan berdampak
berkurangnya kemampuan untuk memenuhi standar hidup rata-rata seperti standar
kesehatan masyarakat dan standar. Di Indonesia untuk mengukur kemiskinan,
BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs
approach). Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai
ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan
dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Jadi Penduduk Miskin
adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita perbulan dibawah
garis kemiskinan (BPS)

Dalam mengatasi kemiskinan dibutuhkan program-program dan kebijakan


yang tepat dari pemerintah, karena semakin tinggi jumlah dan presentase
penduduk miskin di suatu daerah tentunya akan menjadi beban dalam
pembangunan daerah tersebut. Sehingga dibutuhkan peran yang besar dari
pemerintah dalam penurunan angka kemiskinan. Dengan diberlakukannya
otonomi daerah, pemerintah daerah dituntut untuk dapat melaksanakan fungsi
pembangunan sesuai dengan kewenangan yang dimiliki. Kebijakan pemerintah
tentang pelaksanaan otonomi daerah dipandang sangat demokratis dan memenuhi
aspek desentralisasi yang sesungguhnya. Aspek desentralisasi mempunyai tujuan
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pengembangan kehidupan
berdemokrasi, keadilan, pemerataan, dan pemeliharaan hubungan yang serasi
antar pusat dan daerah. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan umum di Undang-
Undang (UU) Otonomi Daerah Nomor 23 Tahun 2014 mengenai Prinsip Umum
Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dengan Daerah pasal 279 ayat 1 yang
berbunyi “Pemerintah Pusat memiliki hubungan keuangan dengan Daerah untuk
membiayai penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang diserahkan dan/atau
ditugaskan kepada Daerah

Sejak dikeluarkannya UU mengenai otonomi daerah pada tahun 1999


hingga saat ini sudah berjalan lebih dari 20 tahun, nampaknya masih memberikan
hasil yang belum begitu memuaskan. Angka kemiskinan Indonesia terlihat tiap
tahun cenderung menurun, pada tahun 2003 tingkat kemiskinan di tingkat
17,42%, kemudian turun hingga pada tahun 2005 mencapai angka 15,97%. Tahun
2006 kembali mengalami kenaikan pada titik 17,75% dan kembali menurun
hingga tahun 2019 pada angka 9,22%. Namun demikian dengan nilai 9,22% pada
tahun 2019 dengan jumlah penduduk sebesar 267,7 juta jiwa pada tahun yang
sama maka hal ini berarti bahwa setidaknya 24,79 juta jiwa penduduk di
Indonesia yang berada pada kategori miskin. Hal ini tentunya masih menjadikan
permasalahan mengenai kemiskinan dan upaya untuk terus menurunkannya masih
terus dilakukan.

Grafik 1.1
Perkembangan persentase dan jumlah penduduk miskin di Indonesia tahun
1999-Sept.2019

Sumber : CNBC Indonesia 2019

Dengan otonomi daerah yang diberikan, derah-daerah di Indonesia


seharusnya sudah dapat mengurangi tingkat kemiskinan di daerah dengan
mengembangkan potensi daerah masing-masing. Sulawesi Tenggara adalah
provinsi yang berada di ujung tenggara Pulau Sulawesi, meskipun telah ada
gelontoran dana dari pusat dan kekayaan sumber daya alamnya, kabupaten/kota
yang ada di Provinsi Sulawesi Tenggara masih memiliki jumlah penduduk miskin
yang cukup tinggi. Pada tahun 2019 tingkat kemiskinan di Provinsi Sulawesi
Tenggara sebesar 12,81 persen atau sejumlah 331.170 jiwa.

Tabel 1.1

Jumlah penduduk miskin kabupeten kota Provinsi Sulawesi Tenggara

2016-2019
Jumlah penduduk Miskin 2016-2019 
Wilayah
2016 2017 2018 2019
Buton 13.03 13.41 13.78 13.97
Muna 32.65 32.35 29.12 28.47
Konawe 38.14 37.99 33.40 31.25
Kolaka 28.56 26.64 24.74 24
Konawe Selatan 33.94 33.73 33.73 33.89
Bombana 22.04 21.52 19.77 19.37
Wakatobi 15.73 15.48 14.20 14.14
Kolaka Utara 24.32 23.42 21.30 19.80
Buton Utara 9.60 9.63 9.38 9.18
Konawe Utara 5.79 8.44 8.82 8.67
Kolaka Timur 28.52 28.86 25.97 26.29
Konawe
5.70 5.97 5.87 5.86
Kepulauan
Muna Barat 12.32 12.89 11.39 11.52
Buton Tengah 12.33 16.73 13.72 14.64
Buton Selatan 10.75 12.66 11.86 11.81
Kota Kendari 19.58 18.44 17.76 17.30
Sumber : BPS Sulawesi Tenggara.

Berdasarkan data yang dipublikasikan oleh BPS Sulawesi Tenggara pada


tahun 2016-2019 tidak terdapat perubahan yang drastic dalam jumlah kemiskinan
di Sulawesi Tenggara. Kabupaten Konawe Selatan masih menjadi kabupaten
dengan jumlah penduduk miskin terbesar, lalu disusul oleh Kabupaten Konawe
dengan jumlah penduduk miskin sebanyak 31.250 jiwa. Jika dilihat dalam kurun
tiga tahun terakhir jumlah penduduk miskin di Kabupaten Konawe telah
berkurang drastis. Sedangkan jumlah penduduk miskin di Kabupaten Kolaka
Timur dalam tiga tahun terkahir cenderung mengalami kenaikan. Pada tahun 2016
sebanyak 28.520 jiwa lalu pada tahun 2019 jumlahnya naik menjadi 26.290 jiwa.
Sedangkan kabupaten yang memiliki penduduk miskin adalah Kabupaten Konawe
Kepulauan dengan jumlah penduduk miskin sebanyak 5.860 jiwa. Namun untuk
melihat jumlah penduduk miskin tiap-tiap daerah akan lebih baik jika melihat
persentase penduduk miskin terhadap seluruh penduduk suatu kabupaten/kota.

Tabel 1.2
Persetase penduduk miskin Provinsi Sulawesi Tenggara menurut
kabupaten/kota 2016-2019.

Persentase jumlah tinkat miskin


Wilayah
2016 2017 2018 2019
Buton 13.22 13.46 13.67 13.65
Muna 15.22 14.85 13.19 12.85
Konawe 16.09 15.65 13.48 12.34
Kolaka 15.05 13.78 12.51 11.92
Konawe Selatan 11.36 11.14 10.95 10.81
Bombana 13.06 12.36 11.05 10.56
Wakatobi 16.46 16.19 14.85 14.75
Kolaka Utara 17.11 16.24 14.30 13.19
Buton Utara 15.78 15.58 14.93 14.38
Konawe Utara 9.75 13.93 14.22 13.66
Kolaka Timur 15.71 15.64 13.82 13.71
Konawe Kepulauan 17.72 18.10 17.48 17.18
Muna Barat 15.77 16.24 14.17 13.84
Buton Tengah 13.69 18.35 14.88 15.77
Buton Selatan 13.74 15.99 14.82 14.66
Kota Kendari 5.51 5.01 4.69 4.44
Kota Baubau 8.81 8.39 7.57 7.27
Sulawesi Tenggara 12.88 12.81 11.63 11.24
Sumber: BPS Sulawesi Tenggara

Berdasarkan data dari BPS Sulawesi Tenggara tersebut, Kabupaten


Konawe Kepulauan memiliki persentase penduduk miskin tertinggi di Sulawesi
Tenggara sebesar 17.18%. Meskipun secara rata-rata angka kemiskinan di
Sulawesi Tenggara cenderung menurun, masih banyak daerah yang selama tiga
tahun terakhir justru mengalami peningkatan seperti yang terjadi Kabupaten
Buton dan Kabupaten Buton Tengah. Jika dilihat secara geografis dua kabupaten
yang memiliki tingkat kemiskinan yang tinggi berada di kabupaten yang
berbentuk kepulauan. Sedangkan dua kota madya yakni Kota Bau-Bau dan
Kendari meniliki tingkat kemiskinan terendah. Hal tersebut dapat dimaklumi
karena Kota Kendari merupakan kota pusat admistratif sedangkan Kota Bau bau
merupakan kota Pelabuhan yang menjadi gerbang penghubung antara wilayah
Indonesia Barat dengan Indonesia Timur.

Masalah kemiskinan tak lepas dari masalah kemampuan penduduk dalam


memenuhi kebutuhan pokoknya. Hasil penelitian sebelumnya tersebt
menggambarkan bahwa terdapat beberapa variabel yang berpengaruh terhadap
kemiskinan yang diperoleh dari variabel mikro ekonomi maupun makro ekonomi.
Satu hal yang menjadi titik awal penelitian ini adalah bahwa pemerintah baik
pusat maupun daerah merupakan pihak yang memiliki otoritas untuk menjaga
faktor mikro ekonomi maupun makro ekonomi menjadi kondusif. Intervensi
pemerintah dalam menjaga stabilitas harga pangan maupun meningkatkan jumlah
lapangan kerja menjadi hal yang penting dilakukan.

Peran pemerintah termasuk pemerintah daerah dalam mempengaruhi


kemiskinan termasuk dalam mengantisipasi kegagalan pasar dalam perekonomian
sangat penting. Perannya melalui kebijakan fiskal ditargetkan dapat
menyelesaikan masalah pembangunan (kemiskinan, pengangguran dan distribusi
pendapatan). Menurut Mankiw (2003) Kebijakan fiskal terdiri dari dua instrumen
utama yaitu kebijakan pajak dan pengeluaran pemerintah. Peran pemerintah
melalui kebijakan fiskal dengan tiga tujuan yang masing-masing memiliki tujuan
yang berbeda-beda, yaitu:

1) Fungsi alokasi berhubungan dengan persediaan barang-barang


sosial dan proses pemanfaatan sumber daya secara menyeluruh
untuk produksi barang-barang swasta, barang sosial dan kombinasi
dari barang sosial yang telah dipilih.
2) Fungsi distribusi berhubungan dengan persamaan kesejahteraan
dan distribusi pendapatan dalam masyarakat.
3) Fungsi stabilisasi ditujukan untuk menstabilkan atau
mempertahankan rendahnya tingkat pengangguran, harga atau
tingkat inflasi dan pertumbuhan ekonomi yang telah ditargetkan.
APBD yang mencakup pendapatan dan pengeluaran pemerintah daerah
dapat digunakan sebagai cerminan kebijakan yang diambil oleh pemerintah.
Kebijakan pemerintah dalam tiap pembelian barang dan jasa guna pelaksanaan
suatu program mencerminkan besarnya biaya yang akan dikeluarkan pemerintah
untuk melaksanakan program tersebut. Mardiasmo (2009: 63) menyatakan
terdapat beberapa alasan pentingnya anggaran sektor publik yaitu: (a) Anggaran
merupakan alat bagi pemerintah untuk mengarahkan pembangunan
sosialekonomi, menjamin kesinambungan, dan meningkatkan kualitas hidup
masyarakat, (b) Anggaran diperlukan karena adanya masalah keterbatasan sumber
daya (scarcity of resources), pilihan (choise) dan trade offs. (c) Anggaran
diperlukan untuk meyakinkan bahwa pemerintah telah bertanggung jawab
terhadap rakyat. Dalam hal ini anggaran publik merupakan instrumen pelaksanaan
akuntabilitas publik oleh lembaga-lembaga publik yang ada.

Dalam struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)


mencakup dua bagian penting yaitu anggaran pendapatan daerah dan anggaran
belanja daerah. Belanja daerah merupakan pengalokasian dana yang harus
dilakukan secara efektif dan efisien, karena tolok ukur keberhasilan pelaksanaan
kewenangan daerah ditentukan oleh belanja daerah. Dengan adanya otonomi
daerah, maka pemerintah dituntut untuk mengelola keuangan daerah secara baik
dan efektif. Belanja daerah merupakan belanja pemerintah daerah yang
manfaatnya melebihi satu anggaran dan akan menambah aset atau kekayaan
daerah dan selanjutnya akan menambah belanja yang bersifat rutin seperti biaya
pemeliharaan pada kelompok Belanja Administrasi Umum. Kelompok belanja ini
mencakup Jenis Belanja baik untuk bagian Belanja Aparatur Daerah maupun
Pelayanan Publik.Sesuai aturan APBD dan tujuan otonomi daerah, bahwa hakikat
Anggaran Daerah adalah merupakan alat untuk meningkatkan pelayanan publik
dan kesejahteraan masyarakat, maka APBD harus benar-benar menggambarkan
kerangka perangkaan ekonomis yang mencerminkan kebutuhan masyarakat untuk
memecahkan masalahnya dan meningkatkan kesejahteraannya.
Untuk meningkatkan produktivitas perekonomian, peningkatan alokasi
belanja daerah dalam bentuk aset tetap seperti infrastruktur dan peralatan sangat
penting dan perlu ditingkatkan karena semakin tinggi belanja daerah semakin
tinggi pula produktivitas perekonomian. Saragih (2003) menyatakan bahwa
pemanfaatan belanja hendaknya dialokasikan untuk hal-hal yang produktif seperti
untuk melakukan aktivitas pembangunan. Sejalan dengan pendapat tersebut, Stine
(1994) menyatakan bahwa penerimaan pemerintah hendaknya lebih banyak untuk
program–program pelayanan publik. Kedua pendapat ini menyiratkan pentingnya
mengalokasikan belanja untuk berbagai kepentingan publik.

Berdasarkan pasal 26 PP No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan


Keuangan Daerah bagian keempat tentang Belanja Daerah ayat 1 menunjukkan
bahwa belanja daerah digunakan dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan
yang menjadi kewenangan propinsi atau kabupaten/kota yang terdiri dari urusan
wajib dan urusan pilihan yang ditetapkan dengan ketentuan perundang-undangan.
Selanjutnya di ayat 2 disebutkan bahwa belanja penyelenggaraan urusan wajib
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diprioritaskan untuk melindungi masyarakat
dalam upaya memenuhi kewajiban daerah yang diwujudkan dalam bentuk
peningkatan pelayanan dasar, pendidikan, kesehatan, fasilitas sosial, dan fasilitas
umum yang layak serta mengembangkan sistem jaminan sosial.

Namun demikian menurut rilis Forum Indonesia untuk Transparansi


Anggaran (FITRA) dalam www.seknasfitra.ord (diakses Juni 2014) menunjukkan
bahwa beban belanja pegawai pada APBN memang semakin berat. Pada RAPBN
2012, belanja pegawai merupakan alokasi belanja tertinggi, sebesar Rp. 215,7
triliun. Bahkan mengalahkan belanja subsidi yang selama ini mendominasi. Potret
yang sama terjadi di daerah. Hasil analisa FITRA pada APBD 2011, terdapat 124
daerah yang beban belanja pegawainya melebihi 60% dan 16 daerah diantaranya
mencapai 70%. Semakin besarnya anggaran belanja tidak langsung ini
menjadikan masyarakat kurang bisa merasakan dampak APBD secara optimal.
Komposisi anggaran idealnya harusnya berbalik, di mana belanja langsung bisa
lebih besar. Komposisi anggaran yang tidak ideal dapat membuat pemerintah
daerah sulit untuk melaksanakan pembangunan karena kurangnya dana untuk
membiayai pembangunan infrastruktur yang dibutuhkan oleh masyarakat dalam
upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi, padahal dalam anggaran belanja
daerah, pemerintah daerah juga mendapatkan dukungan anggaran dari pemerintah
pusat. Berdasarkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, salah satu sumber pendapatan daerah adalah Pendapatan Asli Daerah
(PAD) yang terdiri dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil
pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain PAD yang sah.
Peningkatan PAD diharapkan meningkatkan investasi belanja daerah pemerintah
daerah sehingga kualitas pelayanan publik semakin baik. Fenomena yang terjadi
adalah peningkatan pendapatan asli daerah tidak diikuti dengan kenaikan
anggaran belanja daerah yang signifikan hal ini disebabkan karena pendapatan asli
daerah tersebut banyak tersedot untuk membiayai belanja lainnya.

Berlakunya Undang-undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan


Keuangan Pusat dan Daerah, membawa perubahan mendasar pada sistem dan
mekanisme pengelolaan pemerintahan daerah. UU ini menegaskan bahwa untuk
pelaksanaan kewenangan Pemda (Pemerintah Daerah), Pempus (Pemerintah
Pusat) akan mentransferkan dana perimbangan kepada Pemda. Dana Perimbangan
tersebut terdiri dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Bagi Hasil (DBH), dan
bagian daerah dari bagi hasil pajak pusat.

Dana Alokasi Umum (DAU) pengalokasiannya menekankan aspek


pemerataan dan keadilan yang selaras dengan penyelenggaraan urusan
pemerintahan (UU No. 32/2004). Dengan adanya transfer dana dari pusat ini
diharapkan pemerintah daerah bisa lebih mengalokasikan PAD yang diperolehnya
untuk membiayai belanja daerah di daerahnya. Transfer dari Pemerintah pusat
seringkali digunakan sebagai sumber pendanaan utama Pemerintah daerah untuk
membiayai operasi utamanya seharihari, yang oleh Pemda dilaporkan di
perhitungan APBD. Tujuan dari transfer ini adalah untuk mengurangi (kalau tidak
mungkin menghilangkan) kesenjangan fiskal antar pemerintah dan menjamin
tercapainya standar pelayanan publik minimum
Kemudian sejak tahun 2015, pemerintah memberikan Dana Desa kepada
desa yang bersumber dari APBN yang ditransfer melalui APBD kabupaten/ kota.
Desa mempunyai hak untuk mengelola kewenangan dan pendanaannya.
Kenyataannya dengan adanya dana bantuan keuangan khusus kepada desa tidak
diikuti dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat yang merata di
kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Tenggara dari Tabel 1.2 pada kabupaten
Buton, Muna, Konawe, Kolaka, Wakatobi, Kolaka Utara, Buton Utara, Konawe
Utara, Kolaka Timur, Konawe Timur, Konawe Kepulauan, Muna Barat, Buton
Tengah dan kabupaten Buton Selatan masih dibawah rata-rata kesejahteraan
masyarakat Provinsi Bali. Selain itu adanya ketimpangan antara tingkat
kemiskinan di daerah kepulauan seperti yang terjadi di Kabupaten Konawe
Kepulauan dan Buton Tengah yang memiliki tingkat kemiskinan tertinggi di
Provinsi Sulawesi Tenggara, padahal seharusnya pemberian bantuan khusus
keuangan dapat menunjang pertumbuhan perekonomian masyarakat dan
diharapkan mampu mengatasi permasalahan-permasalahan yang dialami
masyarakat selama ini (Wirawan, 2015).

Berdasarkan adanya fenomena temuan yang ada di Provinsi Sulawesi


Tenggara dengan APBD yang cukup besar dan bantuan khusus yang diberikan
oleh pemerintah pusat seharusnya sudah mampu mengurangi tingkat kemiskinan
di Sulawesi Tenggara serta tingginya angka kemiskinan yang ada di beberapa
kabupaten/kota kepulauan maka penelitian ini selanjutnya mengambil studi kasus
Sulawesi Tenggara dengan judul “Pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Dana
Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, Dana Desa, Pendapatan Asli Daerah
dan Kondisi Geografis Terhadap Tingkat Kemisikinan di Kabupaten/Kota
Provinsi Sulawesi Tenggara”

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang sebelumnya, maka permasalahan dalam


penelitian ini adalah tingkat kemiskinan di Sulawesi Tenggara. Sebagai otoritas
yang bertanggung jawab untuk menanggulangi kemiskinan, pemerintah
seharusnya dapat membantu dalam menghadapi kemiskinan dengan strimulus
yang dapat menciptakan lapangan kerja serta menciptakan proyek yang dapat
membantu masyarakat miskin dari segi pendapatan melalui perlindungan sosial
yang meningkatkan kemampuan masyarakat miskin dalam menghadapi
ketidakpastian ekonomi. Selain itu APBD dan dana bantuan dari pemerintah pusat
merupakan instrumen pemerintah yang dapat digunakan untuk memperbaiki
indikator-indikator pembangunan manusia sehingga dapat menurunkan
kemiskinan.

Didasari latar belakang tersebut muncul pertanyaan penelitian yang dapat


dikemukakan adalah :

1. Bagaimana pengaruh PAD terhadap tingkat kemiskinan di Sulawesi


Tenggara?
2. Bagaimana pengaruh DAU terhadap tingkat kemiskinan di Sulawesi
Tenggara?
3. Bagaimana Pengaruh DAK terhadap tingkat kemiskinan di Sulawesi
Tenggara?
4. Bagiamana pengaruh Dana Desa terhadap tingkat kemiskinan di
Sulawesi Tenggara?
5. Bagiamana pengaruh kondisi geografis kabupaten terhadap tingkat
kemiskinan di Sulawesi Tenggara?
6. Bagaimana pengaruh PAD, DAU, DAK, Dana Desa dan kondisi
geografis terhadap tingkat kemiskinan di Sulawesi Tenggara?
1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah:

1. Menganalisis pengaruh PAD terhadap tingkat kemiskinan di Sulawesi


Tenggara
2. Menganalisis pengaruh DAU terhadap tingkat kemiskinan di Sulawesi
Tenggara.
3. Menganalisis pengaruh Dana Alokasi Khusus terhadap tingkat
kemiskinan di Sulawesi Tenggara
4. Menganalisis pengaruh Dana Desa daerah terhadap tingkat kemiskinan
di Sulawesi Tenggara.
5. Menganalisis pengaruh kodisi geografis terhadap tingkat kemiskinan
di Sulawesi Tenggara
6. Menganalisis pengaruh PAD, DAU, DAK, Dana Desa dan Kondisi
Geografis secara bersama-sama terhadap tingkat kemiskinan di DKI
Jakarta.

BAB II
TINJAUAN PUSTKAKA

2.1 Grand Teori

2.1.1 Kemiskinan

Definisi menurut UNDP (2009), kemiskinan adalah suatu situasi dimana


seseorang atau rumah tangga mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan
dasar, sementara lingkungan pendukungnya kurang memberikan peluang untuk
meningkatkan kesejahteraan secara berkesinambungan atau untuk keluar dari
kerentanan.

Pada dasarnya definisi kemiskinan dapat dilihat dari dua sisi, yaitu :

1. Kemiskinan Absolut. Kemiskinan yang dikaitkan dengan perkiraan


tingkat pendapatan dan kebutuhan yang hanya dibatasi pada
kebutuhan pokok atau kebutuhan dasar minimum yang
memungkinkan seseorang untuk hidup secara layak. Dengan demikian
kemiskinan diukur dengan membandingkan tingkat pendapatan orang
dengan tingkat pendapatan yang dibutuhkan untuk memperoleh
kebutuhan dasarnya yakni makanan, pakaian dan perumahan agar
dapat menjamin kelangsungan hidupnya. Bank dunia mendefinisikan
kemiskinan absolut sebagai hidup dengan pendapatan di bawah USD
$1/hari dan kemiskinan menengah untuk pendapatan di bawah $2/hari.
2. Kemiskinan Relatif. Kemiskinan dilihat dari aspek ketimpangan
sosial, karena ada orang yang sudah dapat memenuhi kebutuhan dasar
minimumnya tetapi masih jauh lebih rendah dibanding masyarakat
sekitarnya (lingkungannya). Semakin besar ketimpangan antara tingkat
penghidupan golongan atas dan golongan bawah maka akan semakin
besar pula jumlah penduduk yang dapat dikategorikan miskin,
sehingga kemiskinan relatif erat hubungannya dengan masalah
distribusi pendapatan.

Dalam pengertian umum kemiskinan dipahami sebagai keadaan


kekurangan uang dan barang untuk menjamin kelangsungan hidup. Dalam arti
luas, (Chambers dalam Chriswardani Suryawati, 2005 pada Adit Agus Prastyo,
2010: 18) mengatakan bahwa kemiskinan adalah suatu intergrated concept yang
memiliki lima dimensi, yaitu: 1) kemiskinan (proper), 2) ketidakberdayaan
(powerless), 3) kerentanan menghadapi situasi darurat (state of emergency), 4)
ketergantungan (dependence), dan 5) keterasingan (isolation) baik secara
geografis maupun sosiologis.

2.1.2. Teori Lingkaran Setan Kemiskinan

Teori Lingkaran Setan Kemiskinan Penyebab kemiskinan bermuara pada


teori lingkaran setan kemiskinan. Adanya keterbelakangan, ketidaksempurnaan
pasar, dan kurangnya modal menyebabkan rendahnya produktivitas. Rendahnya
produktivitas menyebabkan rendahnya pendapatan yang mereka terima.
Rendahnya pendapatan akan berimplikasi pada rendahnya tabungan dan investasi.
Rendahnya investasi berakibat pada keterbelakangan, dst. Logika berpikir ini
dikemukakan oleh Ragnar Rukse, ekonom pembangunan ternama di tahun 17
1953, yang mengatakan “ A poor country is poor because it is poor” (Negara
miskin itu karena dia miskin).

Gambar 2.1
Teori Lingkaran Setan Kemiskinan

2.1.3. Otonomi Daerah

Otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan


mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan
aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan (UU No. 22
tahun 1999). Otonomi daerah dilaksanakan berdasarkan azas dari desentralisasi
yang berarti bahwa penyerahan wewenang pemerintahan kepada daerah otonom
dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (UU No. 22 tahun 1999).
Pelaksanaan ini dilakukan untuk memudahkan pemerintah pusat untuk
mengkoordinasi setiap daerah dalam pertumbuhan ekonomi dari daerah tersebut
terutama peningkatan atau penurunan Pendapatan Asli Daerah yang sangat
berpengaruh terhadap pelaksanaan otonomi daerah tersebut.

UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah adalah salah satu


landasan yuridis bagi pengembangan otonomi daerah di Indonesia. Dalam
undang-undang ini disebutkan bahwa pengembangan otonomi pada daerah
kabupaten dan kota diselenggarakan dengan memperhatikan prinsip-prinsip
demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan, dan keadilan, serta
memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah. Otonomi yang diberikan
kepada daerah kabupaten dan kota dilaksanakan dengan memberikan kewenangan
yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada pemerintah daerah secara
proporsional. Artinya, pelimpahan tanggung jawab akan diikuti oleh pengaturan
pembagian, dan pemanfaatan dan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta
perimbangan keuangan pusat dan daerah (Mardiasmo, 2009).

Undang-Undang ini memberikan otonomi secara utuh kepada daerah


kabupaten dan kota untuk membentuk dan melaksanakan kebijakan menurut
prakarsa dan aspirasi masyarakatnya. Artinya, saat sekarang daerah sudah diberi
kewenangan yang utuh dan bulat untuk merencanakan, melaksanakan,
mengawasi, mengendalikan dan mengevaluasi kebijakan-kebijakan daerah.
Dengan semakin besarnya partisipasi masyarakat ini, desentralisasi kemudian
akan mempengaruhi komponen kualitas pemerintahan lainnya. Salah satunya
berkaitan dengan pergeseran orientasi pemerintah, dari command and control
menjadi berorientasi pada tuntutan dan kebutuhan publik. Orientasi yang seperti
ini kemudian akan menjadi dasar bagi pelaksanaan peran pemerintah sebagai
stimulator, fasilitator, koordinator dan entrepreneur (wirausaha) dalam proses
pembangunan (Mardiasmo, 2009).

Dalam penerapannya pemerintah pusat tidak lepas tangan secara penuh dan masih
memberikan bantuan kepada pemerintah daerah berupa dana perimbangan yang
dapat digunakan oleh pemerintah daerah dalam pembangunan dan menjadi
menjadi komponen pendapatan daerah dalam APBD. Pemerintah daerah harus
dapat menjalankan rumah tangganya secara mandiri dan dalam upaya peningkatan
kemandirian ini, pemerintah dituntut untuk meningkatkan pelayanan publiknya.
Oleh karena itu, anggaran belanja daerah akan tidak logis jika proporsi
anggarannya lebih banyak untuk belanja rutin.

Pemberian otonomi daerah akan mengubah perilaku pemerintah daerah


untuk lebih efisien dan profesional. Untuk meningkatkan efisiensi dan
profesionalisme, Pemerintah daerah perlu melakukan rekayasa ulang terhadap
birokrasi yang selama ini dijalankan (bureaucracy reengineering). Hal tersebut
karena pada saat ini dan di masa yang akan datang pemerintah (pusat dan daerah)
akan menghadapi gelombang perubahan baik yang berasal dari tekanan eksternal
maupun dari internal masyarakatnya. Untuk Indonesia, perkembangan manajemen
dan administrasi publik memang dinilai kurang maju. Tetapi dengan adanya
otonomi daerah menyebabkan muncul era baru dalam sistem administrasi
pemerintahan dan manajemen publik. Disahkannya UU No. 22 Tahun 1999 dan
UU No. 25 Tahun 1999 memberikan harapan baru bagi pengembangan otonomi
yang sebenarnya. Pengembangan otonomi daerah saat ini diselenggarakan dengan
memperhatikan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan,
dan keadilan, serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah
(Mardiasmo, 2009).

Mardiasmo (2009) menjelaskan bahwa momentum otonomi daerah saat ini


hendaknya dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh Pemerintah daerah untuk
mengoptimalkan pembangunan daerahnya. Untuk itu, hal yang pertama kali perlu
dilakukan oleh Pemerintah daerah adalah melakukan perbaikan lembaga
(institutional reform), perbaikan sistem manajemen keuangan publik, dan
reformasi manajemen publik. Oleh karena itu, untuk dapat membangun landasan
perubahan yang kuat, pemerintah perlu melakukan perenungan kembali
(rethinking government) yang kemudian diikuti dengan reinventing government
untuk menciptakan pemerintah yang baru yang lebih baik.

Pemerintah daerah dan masyarakat pada umumnya cenderung lebih


sensitif terhadap penurunan kesejahteraan daripada sebaliknya. Hal ini
menunjukkan bahwa untuk melakukan penggantian sumber pembiayaan anggaran
(fiscal replacement), biaya politik atas kenaikan pajak menjadi lebih besar
daripada keuntungan politik yang diperoleh pemerintah atas pengurangan pajak.
Lebih lanjut, birokrat pemerintah daerah dan masyarakat memandang bahwa
kemudahan transfer yang diterima pada saat yang sedang berjalan tetap memiliki
nilai sekarang (present value) yang lebih tinggi daripada jumlah transfer yang
diterima pada waktu-waktu yang akan datang meskipun dengan nilai sekarang
yang lebih tinggi. Dengan demikian, fungibilitas transfer tersebut akan
memberikan pengaruh konsumsi yang jauh lebih besar. Hal ini memberikan
implikasi lebih lanjut bahwa masyarakat akan menggunakan aspek fungibilitas
transfer ini untuk mengevaluasi kinerja pemerintahannya (Hines dan Thaler, 1995;
Alderete, dalam Kuncoro, 2007).

2.1.4. Pendapatan Asli Daerah

Salah satu wujud dari pelaksanaan desentralisasi fiskal adalah pemberian


sumber-sumber penerimaan bagi daerah yang dapat digali dan digunakan sendiri
sesuai dengan potensinya masing-masing. PAD mencerminkan local taxing power
yang “cukup” sebagai necessary condition bagi terwujudnya otonomi daerah yang
luas karena nilai dan proporsinya yang cukup dominan utuk mendanai daerah
(Simanjuntak, 2005). Secara teoritis pengukuran kemandirian daerah diukur dari
Pendapatan Asli Daerah (PAD). Sumber PAD berasal dari pajak daerah, hasil
retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah, dan hasil pengolahan kekayaan
daerah lainnya yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan daerah yang sah.

Berdasarkan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan


antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Pendapatan Asli Daerah (PAD)
merupakan Pendapatan Daerah yang bersumber dari hasil Pajak Daerah, hasil
Retribusi Daerah, hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang dipisahkan, dan
Lainlain Pendapatan Asli Daerah yang Sah, yang bertujuan untuk memberikan
keleluasaan kepada Daerah dalam menggali pendanaan dalam pelaksanaan
Otonomi Daerah sebagai perwujudan asas Desentralisasi.

Identifikasi sumber Pendapatan Asli Daerah adalah meneliti, menentukan,


dan menetapkan sumber Pendapatan Asli Daerah dengan cara meneliti dan
mengusahakan serta mengelola sumber pendapatan tersebut dengan benar
sehingga memberikan hasil yang maksimal. Kebijakan keuangan Daerah
diarahkan untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah sebagai sumber utama
Pendapatan Daerah yang dapat dipergunakan oleh Daerah dalam melaksanakan
Pemerintahan dan pembangunan Daerah sesuai dengan kebutuhannya guna
memperkecil ketergantungan dalam mendapatkan dana dari Pemerintah tingkat
atas (subsidi). Usaha peningkatan Pendapatan Asli Daerah seharusnya dilihat dari
perspektif yang lebih luas tidak hanya ditinjau dari segi Daerah masing-masing
tetapi kaitannya dengan kesatuan perekonomian Indonesia. Pendapatan Asli
Daerah itu sendiri dianggap sebagai alternatif untuk memperoleh tambahan dana
yang dapat digunakan untuk berbagai keperluan pengeluaran yang ditentukan oleh
Daerah sendiri khususnya keperluan rutin. Peningkatan pendapatan tersebut
merupakan hal yang dikehendaki setiap Daerah.

Dalam upaya meningkatkan Pendapatan Asli Daerah, sebagaimana yang


disebutkan dalam UU No. 33 Tahun 2004 yaitu Daerah dilarang menetapkan
peraturan Daerah tentang pendapatan yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi
dan menetapkan peraturan Daerah tentang pendapatan yang menghambat
mobilitas penduduk, lalu lintas barang dan jasa antar Daerah, dan kegiatan
impor/ekspor. Adapun sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD)
sebagaimana diatur dalam UU No. 33 Tahun 2004 yaitu:

1) Pajak Daerah

Menurut UU No. 28 Tahun 2009 Pajak Daerah yang selanjutnya disebut


Pajak, adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi
atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-undang, dengan tidak 23
mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah
bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyatnya. Menurut Mardiasmo (2009) jenis
Pajak Daerah dibagi menjadi 2 bagian, yaitu:

1. Pajak Daerah Provinsi yang terdiri dari:


a. Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di atas Air sebesar 5%;

b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di atas Air


sebesar

10%

c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor sebesar 5%;


d. Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air

Permukaan sebesar 20%.

2. Pajak Daerah Kabupaten/Kota yang terdiri dari:


a. Pajak Hotel sebesar 10%;
b. Pajak Restoran sebesar 10%;
c. Pajak Hiburan sebesar 35%;
d. Pajak Reklame sebesar 25%;
e. Pajak Penerangan Jalan sebesar 10%;
f. Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C sebesar 20%;
g. Pajak Parkir sebesar 20%.
2) Retribusi Daerah

Menurut UU No. 28 Tahun 2009 Retribusi Daerah yang selanjutnya


disebut Retribusi adalah pungutan Daerah sebagian pembayaran atas jasa atau 24
pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh
Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.

Menurut Mardiasmo (2009) jenis Retribusi Daerah dibagi menjadi tiga


golongan, yaitu:

1. Retribusi Jasa Umum

a. Retribusi Pelayanan Kesehatan;


b. Retribusi Pelayanan Persampahan /Kebersihan;
c. Retribusi Penggantian Biaya Cetak Kartu Tanda Penduduk dan
Akte Catatan Sipil;
d. Retribusi Pelayanan Pemakaman dan Penguburan Mayat;
e. Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum;
f. Retribusi Pelayanan Pasar;
g. Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor;
h. Retribusi Pemeriksaan Alat Pemadam Kebakaran;
i. Retribusi Penggantian Biaya Cetak Peta;
j. Retribusi Pengujian Kapal Perikanan.

2. Retribusi Jasa Usaha

1. Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah;


2. Retribusi Pasar Grosir dan/atau Pertokoan;
3. Retribusi Tempat Pelelangan;
4. Retribusi Terminal;
5. Retribusi Tempat Khusus Parkir;
6. Retribusi Tempat Penginapan/Pesanggrahan/Villa;
7. Retribusi Penyedotan Kakus;
8. Retribusi Rumah Potong Hewan;
9. Retribusi Pelayanan Pelabuhan Kapal;
10. Retribusi Tempat Rekreasi dan Olah Raga;
11. Retribusi Penyeberangan di Atas Air;
12. Retribusi Pengolahan Limbah Cair;
13. Retribusi Penjualan Produksi Daerah.

3. Retribusi Perizinan Tertentu

a. Retribusi Izin Mendirikan Bangunan;


b. Retribusi Tempat Penjualan Minuman Beralkohol;
c. Retribusi Izin Gangguan;
d. Retribusi Izin Trayek.

4) Hasil Pengelolaan Kekayaan Milik Daerah yang Dipisahkan

Hasil Pengelolaan Kekayaan Milik Daerah yang Dipisahkan merupakan


penerimaan Daerah yang berasal dari pengelolaan kekayaan Daerah yang
dipisahkan (Halim, 2008). Jenis pendapatan ini dirinci menurut objek pendapatan
yang mencakup:

a. Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik Daerah/BUMD,


b. Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik negara/BUMN,
c. Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik
swasta/kelompok usaha masyarakat.

5) Lain-lain PAD yang Sah

Pendapatan ini merupakan penerimaan Daerah yang berasal dari lain-lain


Pemda. Rekening ini disediakan untuk mengakuntansikan penerimaan Daerah
selain yang disebut di atas (Halim, 2008). Jenis pendapatan ini meliputi objek
pendapatan berikut:

a. Hasil penjualan kekayaan Daerah yang tidak dapat dipisahkan;


b. Jasa giro;
c. Pendapatan bunga;
d. Penerimaan atas tuntutan ganti rugi keuangan Daerah;
e. Penerimaan komisi, potongan ataupun bentuk lain sebagai akibat
dari penjualan, pengadaan barang dan jasa oleh Daerah;
f. Penerimaan keuangan dari selisih nilai tukar rupiah terhadapmata
uang asing;
g. Pendapatan denda atas keterlambatan pelaksanaan pekerjaan;
h. Pendapatan denda pajak;
i. Pendapatan denda retribusi;
j. Pendapatan hasil eksekusi atas jaminan;
k. Pendapatan dari pengembalian;
l. Fasilitas sosial dan umum;
m. Pendapatan dari penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan;
n. Pendapatan dari angsuran/cicilan penjualan;

Secara konseptual, perubahan pendapatan akan berpengaruh terhadap


belanja atau pengeluaran, namun tidak selalu seluruh tambahan pendapatan
tersebut akan dialokasikan dalam belanja. Abdullah & Halim (2004) menemukan
bahwa sumber pendapatan daerah berupa PAD dan dana perimbangan
berpengaruh terhadap belanja daerah secara keseluruhan. Meskipun proporsi PAD
maksimal hanya sebesar 10% dari total pendapatan daerah, kontribusinya terhadap
pengalokasian anggaran cukup besar, terutama bila dikaitkan dengan kepentingan
politis.

PAD suatu daerah umumnya mencerminkan kemakmuran (wealth) dari


pemerintah daerah ataupun propinsi. Peningkatan PAD merupakans alah satu
sumber pendanaan daerah untuk dengan peningkatan kualitas layanan publik (Adi,
2006). Kualitas layanan publik yang baik akan mencerminkan kinerja suatu
pemerintah daerah untuk meningkatkan nilai PAD, akan berdampak pada
peningkatan kemakmuran penduduk. Peningkatan PAD akan mendorong
pertumbuhan ekonomi daerah. Adanya kenaikan PAD akan memicu dan memacu
pertumbuhan ekonomi daerah menjadi lebih baik daripada pertumbuhan ekonomi
daerah sebelumnya. Kenaikan PAD juga dapat mengoptimalkan dan
meningkatkan aktivitas pada sektor-sektor yang terkait dengan pertumbuhan
ekonomi, seperti sektor industri dan perdagangan, sektor jasa, dan sektor-sektor
lainnya.

2.1.5 Dana Alokasi Umum

Berdasarkan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan


antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Dana Perimbangan adalah dana
yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah untuk
mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.
Perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah pada hakekatnya
mencakup pembagian keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah secara
proporsional, demokratis, adil, dan transparan dengan memperhatikan potensi,
kondisi, dan kebutuhan Daerah, sebagai konsekuensi dari adanya pembagian tugas
antara Pemerintah pusat dan Pemerintah Daerah. Perimbangan keuangan antara
Pemerintah pusat dan Daerah merupakan suatu sistem yang menyuruh dalam
rangka penyelenggaraan asas desentralisasi, dekonsentrasi, maupun tugas
pembantuan.
Pentingnya Dana Perimbangan dari Pemerintah Pusat untuk Pemerintah
Daerah adalah untuk menjaga atau menjamin tercapainya standar pelayanan
publik minimum di seluruh negeri. Impelementasi Dana Perimbangan merupakan
konsekuensi dari tidak meratanya kemampuan keuangan dan ekonomi Daerah.
Selain itu, tujuan dari Dana Perimbangan adalah mengurangi kesenjangan
keuangan horizontal antar-Daerah, mengurangi kesenjangan vertikal PusatDaerah,
mengatasi persoalan efek pelayanan publik antar-Daerah dan utnuk menciptakan
stabilitas aktivitas perekonomian di Daerah. Bentuk Dana Perimbangan di
Indonesia yang paling penting selain Dana Bagi Hasil (DBH) adalah Dana
Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK).

Berdasarkan Undang-undang No. 33 Tahun 2004 tantang Perimbangan


Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, Dana Alokasi Umum yang
selanjutnya disebut DAU adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN
yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar-Daerah
untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.

Dana Alokasi Umum adalah sejumlah dana yang dialokasikan kepada


setiap Daerah Otonom (Provinsi/Kabupaten/Kota) di Indonesia setiap tahunnya
sebagai dana pembangunan. Dana Alokasi Umum yang merupakan penyangga
utama pembiayaan APBD sebagian besar untuk belanja pegawai, sehingga belanja
untuk proyek-proyek pembangunan menjadi sangat berkurang.

Prinsip dasar alokasi Dana Alokasi Umum terdiri dari:

1. Kecukupan (Adequacy)
2. Netral dan efisien (Neutrality and efficiency)
3. Akuntabilitas (Accountability)
4. Relevansi (Relevancy)
5. Keadilan (Equity)
6. Objektivitas dan transparansi (Objektivity and transparansi)
7. Kesederhanaan (Simplicity)
Peraturan Pemerintah Daerah yang mengatur Dana Alokasi Umum yaitu
Peraturan Daerah No. 10 Tahun 2004 tentang bagaimana Pengelolaan Dana
Alokasi Umum, pembuatan rumus dana alokasi umum harus memenuhi
kaidahkaidah dasar yang telah dicantumkan dalam UU No. 33 Tahun 2004. Salah
satu kaidah yang terpenting adalah bahwa Dana Alokasi Umum dialokasikan
kepada Daerah dengan menggunakan bobot Daerah itu sendiri harus dirumuskan
dengan menggunakan suatu formula yang didasarkan atas pertimbangan
kebutuhan dan potensi penerimaan Daerah.

2.1.6 Dana Alokasi Khusus

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2005 tentang


Dana Perimbangan menyebutkan bahwa Dana Alokasi Khusus (DAK) ádalah
dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah
tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang
merupakan urusan daerah yang sesuai dengan prioritas nasional yang
dilaksanakan di tingkat daerah. Kegiatan khusus ini sulit untuk diperkirakan
dengan rumus alokasi khusus. DAK ditujukan untuk daerah khusus yang terpilih
untuk tujuan khusus. Karena itu, alokasi yang didistribusikan oleh pernerintah
pusat sepenuhnya merupakan wewenang psrnerintah pusat untuk tujuan nasional
Kebutuhan khusus alokasi DAK meliputi :

1. Kebutuhan prasarana dan sarana fisik di daerah terpencil yang tidak


rnempunyai akses yang memadai ke daerah lain.
2. Kebutuhan prasarana dan sarana fisik di daerah yang menampung
tiansrnigrasi.
3. Kebutuhan prasarana dan sarana fisik yang terletak di daerah pesisir
kepulauan dan tidak mempunyai prasarana dan sarana yang rnemadai.
4. Kebutuhan prasarana dan sarana fisik di daerah guna mengatasi dampak
kerusakan lingkungan.
5. Pembangunan Jalan, rumah sakit, irigási dan air bersih DAK disalurkan
dengan cara pemindah bukuan dari rekening Kas Umum Negara ke
rekening Kas Umum Daerah, oleh sebab itu DAK dicantumkan dalam
APBD.

DAK tidak dapat digunakan untuk mendanai adiministrasi kegiatan,


penelitian, pelatihan dan perjalanan dinas. Pembiayaan yang bersumber dari Dana
Alokasi Khusus (DAK) ini bisa disamakan dengan belanja pembangunan karena
digunakan untuk mendanai peningkatan kwalitas pelayanan publik berupa
pembangunan sarana dan prasana publik ( Ndadari dan Adi, 2008). Menurut
Abdullah dan Halim (2006) aset tetap yang dimiliki dari penggunaan belanja
modal merupakan prasyarat utama dalam memberikan pelayanan publik oleh
pemerintahan daerah. Menurut Abimayu (2005) yang dikutip oleh Arianto dan
Adi (2007) infrastruktur dan sarana prasana yang ada di daerah akan berdampak
pada pertumbuhan ekonomi daerah tersebut. Jika sarana prasana yang memadai di
daerah itu maka masyarakat akan dapat melaksanakan aktifitas pekerjaan sehinga
akan berdampak positip terhadap roda perekonomian sehingga akan berpengaruh
pada produktifitas yang semakin meningkat.

2.1.7 Ketimpangan Pembangunan Antar Wilayah

Ketimpangan pembangunan yang terjadi antar wilayah di suatu daerah


merupakan aspek yang umum terjadi dalam kegiatan ekonomi di daerah tersebut.
Menurut (Syafrizal, 2008) ketimpangan yang terjadi antar wilayah disebabkan
oleh perpedaan kandungan sumberdaya alam dan perbedaan kondisi demografi
yang terdapat pada masing-masing wilayah, sehingga kemampuan suatu daerah
dalam mendorong proses pembangunan menjadi berbeda. Perbedaan kekayaan
daerah ini yang pada akhirnya menimbulkan adanya wilayah maju (develop
region) dan wilayah terbelakang. (underdeveloped region).

Menurut Mudrajat Koncoro (2003), kesenjangan mengacu pada standar


hidup relatif dari seluruh masyarakat. Sebab kesenjangan antar wilayah yaitu
adanya perbedaan faktor anugrah awal (endowment factor). Perbedaan inilah yang
menyebabkan tingkat pembangunan di berbagai wilayah dan daerah berbeda-beda,
sehingga menimbulkan gap atau jurang kesejahteraan di berbagai wilayah tersebut
(sukirno,2003).

Menurut Mydral (dalam Arsyad, 2004). Perbedaan tingkat kemajuan


ekonomi antar daerah yang berlebihan akan mengakibatkan pengaruh yang
menguntungkan (spread effects) yang dalam hal ini dapat menyebabkan
ketidakseimbangan. Pelaku-pelaku yang mempunyai kekuatan di pasar secara
normal akan cenderung meningkat bukannya menurun, sehingga mengakibatkan
18 kesenjangan antar daerah miskin di mana industri modern tidak pernah dapat
berkembang dalam berbagai skala umumnya di tandai dengan daerah pertanian
dengan usaha tani subsisten dan kecil, berpenduduk jarang dan tersebar dan tidak
terdapat kota atau konsentrasi pemukiman yang relatif besar.

Menurut Hipotesa Neo-klasik, pada permulaan proses pembangunan suatu


negara, ketimpangan pembangunan antar wilayah cenderung meningkat. Proses
ini akan terjadi sampai ketimpangan tersebut mencapai titik puncak. Setelah itu,
bila proses pembangunan terus berlanjut, maka secara berangsur-angsur
ketimpangan pembangunan antar wilayah tersebut akan menurun. (Syafrizal,
2008) Ketimpangan pada kenyataannya tidak dapat dihilangkan dalam
pembangunan suatu daerah. Adanya ketimpangan, akan memberikan dorongan
kepada daerah yang terbelakang untuk dapat berusaha meningkatkan kualitas
hidupnya agar tidak jauh tertinggal dengan daerah sekitarnya. Selain itu
daerahdaerah tersebut akan bersaing guna meningkatkan kualitas hidupnya,
sehingga ketimpangan dalam hal ini memberikan dampak positif. Akan tetapi ada
pula dampak negatif yang ditimbulkan dengan semakin tingginya ketimpangan
antar wilayah. Dampak negatif tersebut berupa inefisiensi ekonomi, melemahkan
stabilitas sosial dan solidaritas, serta ketimpangan yang tinggi pada umumnya
dipandang tidak adil (Todaro, 2004).

2.1.8 Faktor-Faktor Penyebab Ketimpangan Pembangunan Wilayah


Ketimpangan antar wilayah pada umumnya terjadi karena perbedaan endowment
faktor yang dimiliki masing daerah, yakni faktor demografi dan faktor-faktor
kekayaan yang dimiliki oleh setiap masing-masing daerah. Selain itu masih
banyak faktor-faktor lain dari penyebab ketimpangan antar wilayah. Adelman dan
Morris (1973) dalam Arsyad (2004) mengemukakan 8 faktor yang menyebabkan
ketidakmerataan distribusi pendapatan di negara-negara sedang berkembang,
yaitu:

1. Pertambahan penduduk yang tinggi yang mengakibatkan menurunnya


pendapatan per kapita;
2. Inflasi di mana pendapatan uang 23 bertambah tetapi tidak diikuti secara
proporsional dengan pertambahan produksi barang-barang;
3. Ketidakmerataan pembangunan antar daerah;
4. Investasi yang sangat banyak dalam proyek-proyek yang padat modal
(capital intensive), sehingga persentase pendapatan modal dari tambahan
harta lebih besar dibandingkan dengan persentase pendapatan yang berasal
dari kerja, sehingga pengangguran bertambah;
5. Rendahnya mobilitas sosial;
6. Pelaksanaan kebijaksanaan industri substitusi impor yang mengakibatkan
kenaikan hargaharga barang hasil industri untuk melindungi usaha-usaha
golongan kapitalis;
7. Memburuknya nilai tukar (term of trade) bagi negara-negara sedang
berkembang dalam perdagangan dengan negara-negara maju, sebagai
akibat ketidak elastisan permintaan negara-negara terhadap barang ekspor
negara-negara sedang berkembang; dan
8. Hancurnya industri-industri kerajinan rakyat seperti pertukangan, industri
rumah tangga, dan lain-lain.

Adapun penyebab–penyebab ketimpangan pembangunan ketimpangan


antar wilayah menurut Syafrizal (2008), yakni :

b) Perbedaan Kandungan Sumberdaya Alam Penyebab pertama yang


mendorong timbulnya ketimpangan pembangunan antar wilayah adalah
adanya perbedaan yang sangat besar dalam kandungan sumberdaya alam
pada masing-masing daerah. Perbedaan kandungan sumberdaya alam ini
jelas akan mempengaruhi kegiatan produksi pada daerah bersangkutan.
Daerah dengan kandungan sumberdaya alam cukup tinggi akan dapat
memproduksi barang-barang tertentu dengan biaya relatife murah
dibandingkan dengan daerah lain yang mempunyai kandungan
sumberdaya alam lebih rendah.
c) Perbedaan kondisi demografis faktor lainnya yang juga mendorong
terjadinya ketimpangan pembangunan antar wilayah adalah bilamana
terdapat perbedaan kondisi demografis yang cukup besar antar daerah.
Kondisi demografis yang dimaksud adalah perbedaan tingkat pertumbuhan
dan stuktur kependudukan, perbedaan tingkat pendidikan dan kesehatan,
perbedaan kondisi ketenagakerjaan dan perbedaan dalam tingkah laku dan
kebiasaan serta etos kerja yang dimiliki masyarakat daerah bersangkutan.
Kondisi demografis ini akan dapat mempengaruhi ketimpangan
pembangunan antar wilayah karena hal ini akan berpengaruh terhadap
produktivitas kerja masyarakat pada daerah bersangkutan. Daerah dengan
kondisi demografis yang baik akan cenderung mempunyai produktivitas
kerja yang lebih tinggi sehingga hal ini akan mendorong peningkatan
investasi yang selanjutnya akan meningkatkan penyediaan lapangan kerja
dan pertumbuhan ekonomi daerah bersangkutan. Sebaliknya, bila pada
suatu daerah tertentu kondisi demografisnya kurang baik maka hal ini akan
menyebabkan relatife rendahnya produktivitas kerja masyarakat setempat
yang menimbulkan kondisi yang kurang menarik bagi penanaman modal
sehingga pertumbuhan ekonomi daerah bersangkutan akan menjadi lebih
rendah. Kurang lancarnya mobilitas barang dan jasa kurang lancarnya
mobilitas barang dan jasa dapat pula mendorong terjadinya peningkatan
ketimpangan pembangunan atar wilayah.
d) Kosentrasi Kegiatan Ekonomi Wilayah Terjadinya kosentrasi kegiatan
ekonomi yang cukup tinggi pada wilayah tertentu jelas akan
mempengaruhi ketimpangan pembangunan antar wilayah. Pertumbuhan
ekonomi daerah akan cenderung lebih cepat pada daerah di mana terdapat
konsentrasi kegiatan ekonomi yang cukup besar. Kosentrasi kegiatan
ekonomi dapat disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, karena adanya
sumberdaya alam yang lebih banyak pada daerah tertentu. Kedua,
meratanya fastilitas transportasi, baik darat, laut dan udara, juga ikut
mempengaruhi kosentrasi kegiatan ekonomi antar daerah. Ketiga, kondisi
demografis (kependudukan) juga ikut mempengaruhi karena kegiatan
ekonomi akan cenderung terkosentrasi dimana sumberdaya manusia
tersedia dengan kualitas yang lebih baik.
e) Alokasi Dana Pembangunan Antar Wilayah Alokasi investasi pemerintah
ke daerah lebih banyak ditentukan oleh sistem pemerintahan daerah yang
dianut. Bila sistem pemerintahan daerah yang dianut bersifat sentralistik,
maka alokasi dana pemerintah akan cenderung lebih banyak dialokasikan
pada pemerintah pusat, sehingga ketimpangan pembangunan antar wilayah
akan cenderung tinggi. Akan tetapi jika sebaliknya di mana sistem
pemerintahan yang dianut adalah otonomi atau federal, maka dana
pemerintah akan lebih banyak dialokasikan ke daerah sehingga
ketimpangan pendapatan akan cenderung rendah. Alokasi dana pemerintah
yang antara lain akan memberikan dampak pada ketimpangan
pembangunan antar wilayah adalah alokasi dana untuk sektor pendidikan,
kesehatan, jalan, irigasi dan dan listrik. Semua sektor ini akan memberikan
dampak pada peningkatan pada peningkatan produktivitas tenaga kerja,
pendapatan perkapita, dan pada akhirnya dapat meningkatkan pergerakan
ekonomi di daerah tersebut.

2.1.9 Tipologi Daerah

Pendekatan tipologi daerah digunakan untuk mengetahui gambaran tentang


pola dan struktur ekonomi masing-masing daerah. Dengan menggunakan alat
tipologi klassen adalah dengan pendekatan wilayah/daerah seperti yang digunakan
dalam penelitian Syafrizal untuk mengetahui klasifikasi daerah berdasarkan dua
indikator utama, yaitu pertumbuhan ekonomi dan pendapatan atau produk
domestik regional bruto (PDRB) per kapita daerah. Dengan menentukan rata-rata
pertumbuhan ekonomi sebagai sumbu vertikal dan rata-rata PDRB per kapita
sebagai sumbu horizontal. Seperti pada pendekatan pertama, pendekatan wilayah
juga menghasilkan empat klasifikasi kabupaten yang masingmasing mempunyai
karakteristik pertumbuhan ekonomi yang berbeda yaitu :

1. Daerah bertumbuh maju dan cepat (rapid growth region) Daerah maju dan
cepat tumbuh (rapid growth region) adalah daerah yang mengalami laju
pertumbuhan PDRB dab tingkat pendapatan per kapita yang lebih tinggi
dari rata-rata seluruh daerah. Pada dasarnya daerahdaerah tersebut
merupakan daerah yang paling maju, baik dari segi tingkat pembangunan
maupun kecepatan pertumbuhan. Biasanya daerah-daerah ini merupakan
merupakan daerah yang mempunyai potensi pembangunan yang sangat
besar dan telah dimanfaatkan secara baik untuk kemakmuran masyarakat
setempat. Karena diperkirakan daerah ini akan terus berkembang dimasa
mendatang.
2. Daerah maju tapi tertekan (retarted region). Daerah maju tapi tertekan
(retarted region) adalah daerah-daerah yang relatif maju tetapi dalam
beberapa tahun terakhir laju pertumbuhannya menurun akibat tertekannya
kegiatan utama daerah yang bersangkutan. Karena itu, walaupun daerah ini
merupakan daerah telah maju tetapi dimasa mendatang diperkirakan
pertumbuhannya tidak akan begitu cepat, walaupun potensi pembangunan
yang dimiliki pada dasarnya sangat besar.
3. Daerah berkembang cepat (growing region). Daerah berkembang cepat
(growing region) pada dasarnya adalah daerah yang memiliki potensi
pengembangan sangat besar, tetapi masih belum diolah secara baik. Oleh
karena itu, walaupun tingkat pertumbuhan ekonominya tinggi namun
tingkat pendapatan per kapitanya, yang mencerminkan tahap
pembangunan yang telah dicapai sebenarnya masih relatif rendah
dibandingkan dengan daerah-daerah lain. Karena itu dimasa mendatang
daerah ini diperkirakan mampu berkembang dengan pesat untuk mengejar
ketertinggalannya dengan daerah maju.
4. Daerah relatif tertinggal (relatively backward region). Kemudian daerah
relatif tertinggal (relatively backward region) adalah daerah yang
mempunyai tingkat pertumbuhan dan pendapatan per kapita yang berada
dibawah rata-rata dari seluruh daerah. Ini berarti bahwa baik tingkat
kemakmuran masyarakat maupun tingkat pertumbuhan ekonomi di daerah
ini masih relatif rendah. Tetapi hal ini tidak berarti bahwa didaerah ini
tidak akan berkembang di masa mendatang. Melalui pengembangan sarana
dan prasarana perekonomian daerah berikut tingkat pendidikan dan
pengetahuan masyarakat setempat diperkirakan daerah ini secara bertahap
akan dapat pula mengejar ketertinggalannya Syafrizal, 1997 ( dalam
kuncoro, 2002)

2.2 Telaah Jurnal

No Peneliti Variabel Metode Penelitian Hasil


1 Dewi I,S Y =Kemiskinan Metode analisis yang berdasarkan metode analisa regresi
Paulus, digunakan adalah analisis berganda untuk pengujian analisis jalur
X1 = PAD
Rosalina A.M kualitatif dan kuantitati yang digunakan dapat diketahui bahwa
X2 = DAK dengan program EViews 7 hubungan antara PAD, DAU, DAK

X3 = DAU regresi linear berganda terhadap kemiskinan melalui Belanja


Daerah adalah hubungan negatif.
BD=α +βPAD+ βDAU+
Dimana penurunan 1 persen kemiskinan
βDAK+et M o d e l 1
adalah kontribusi dari PAD 0.6216
K= α + γBD+ M o d e l 2 persen, DAU 4,7930 persen dan DAK
0.2101 persen melalui Belanja Daerah
Kota Bitung. Sedangkan secara
keseluruhan diketahui bahwa jika terjadi
kenaikan 1 persen pada Belanja Daerah
maka akan terjadi penurunan angka
kemiskinan sekitar 0.1856 persen.

2 Sutarno dan PDRB perkapita, 1.Indeks Williamson IW = 1. Berdasarkan tipologi


Mudrajad dan pertumbuhan ∑( − ) Klassen,daerah/kecamatan di Kabupaten
Kuncoro Ekonomi. / Y Dimana : Yi = PDRB Banyumas dapat diklasifikasikan
per kapita daerah i Y = berdasarkan pertumbuhan dan
PDRB per kapita rata-rata pendapatan per kapita menjadi empat
seluruh daerah fi = Jumlah kelompok yaitu daerah/kecamatan cepat
penduduk daerah i n = maju dan cepat tumbuh, kecamatan yang
Jumlah penduduk seluruh maju tapi tertekan, kecamatan/daerah
daerah. 2. Indeks Entrophy yang berkembang cepat dan
Theil I(y) = ∑ @ABC D , kecamatan/daerah tertinggal. 2. Pada
EFG[(ABC )/(IB 牡 )]) Di periode pengamatan 1993– 2000 terjadi
mana : I(y) : Indeks kecenderungan peningkatan
Entrophy Theil yj : PDRB ketimpangan, baik dianalisis dengan
per kapita kota/kabupaten j indeks Williamson maupun dengan
Y : Rata-rata PDRB per indeks entropi Theil. Ketimpangan ini
kapita Provinsi xj :Jumlah salah satunya diakibatkan konsentrasi
penduduk kota/kabupaten j aktivitas ekonomi secara spasial. 3.
X : Jumlah penduduk Hipotesis Kuznets mengenai
Provinsi 3. Tipologi ketimpangan yang berbentuk kurva U
Klassen. Alat analisis terbalik berlaku di Kabupaten
tipologi Klassen digunakan Banyumas, ini terbukti dari hasil analisis
untuk mengetahui trend dan korelasi Pearson. Hubungan
klasifikasi daerah antara pertumbuhan dengan indeks
berdasarkan dua indikator ketimpangan Williamson dan entropi
utama, yaitu pertumbuhan Theil untuk kasus Kabupaten Banyumas
ekonomi dan pendapatan selama periode 1993–2000 terbukti
atau produk domestik berlaku hipotesis Kuznets.
regional bruto per kapita
daerah.

3 Andika Arief Kemiskinan, Menggunakan alat analisis Hasil pengujian pengaruh Pendapatan
Pratomo PAD, DAU, regresi linear berganda. Asli Daerah terhadap Kemiskinan tidak
DAK,Dana bagi Data yang digunakan terdapat pengaruh yang signifikan
Hasil dan Belanja adalah data sekunder dan terhadap angka kemiskinan. Hasil
Daerah merupakan data kuantitatif. pengujian pengaruh Dana Bagi Hasil
Data diperoleh melalui terhadap Kemiskinan terdapat pengaruh
dokumentasi dari data-data negatif dan signifikan terhadap angka
yang dimiliki Badan Pusat Kemiskinan. Hasil pengujian pengaruh
Statistik DKI Jakarta. Data Dana Alokasi Umum terhadap
yang digunakan adalah data Kemiskinan tidak terdapat pengaruh
time series, dalam kurun yang signifikan terhadap Kemiskinan.
waktu 12 tahun dengan Hasil pengujian pengaruh Belanja
program eviews. Daerah terhadap Kemiskinan tidak
terdapat pengaruh yang signifikan
terhadap Kemiskinan. Koefisien
determinasi menunjukkan besarnya
pengaruh variabel bebas secara
bersama–sama terhadap angka
kemiskinan.

4 Anis PAD, DAU, Analisis data pada Hasil pengujian secara langsung dengan
Setyawati, DAK, Belanja penelitian ini menggunakan regresi berganda menunjukkan PAD
Arif Hamza Pembangunan, hasil statistik deskriptif dan berpengaruh positif terhadap
Pertumbuhan analisis jalur dengan pertumbuhan ekonomi, sedangkan DAU
Ekonomi, menggunakan regresi linier berpengaruh negatif terhadap
Kemiskinan, dan pertumbuhan ekonomi. Untuk pengujian
Pengangguran. secara langsung untuk pengaruh
pertumbuhan ekonomi terhadap
kemiskinan dan pengangguran
menunjukkan adanya pengaruh yang
signifikan, tetapi pertumbuhan ekonomi
berpengaruh negatif terhadap
kemiskinan dan berpengaruh positif
terhadap pengangguran. Hasil pengujian
secara tidak langsung PAD terhadap
kemiskinan adalah sebesar 9,66% dan
pengangguran sebesar 16,95%,
sedangkan DAU terhadap kemiskinan
adalah sebesar 4,9% dan terhadap
pengangguran sebesar 8,6%.

5 Julianus PAD, DAU, DAK Penelitian ini menggunakan .Penelitian ini menemukan bahwa : 1)
Kemisikinan data sekunder maka PAD berpengaruh signifikan terhadap
langkah pertama peneliti pertumbuhan ekonomi. 2) DAU
akan mengumpulkan data berpengaruh signifikan terhadap
berbentuk data data panel pertumbuhan ekonomi. 3) DAK tidak
berupa selama 5 tahun berpengaruh signifikan terhadap
terakhir yaitu tahun 2010 – pertumbuhan ekonomi. 4) PAD
2014. Penelitian ini berpengaruh signifikan terhadap
dilakukan pada Pemerintah kemiskinan. 5) DAU berpengaruh
Kabupaten/Kota di Provinsi signifikan terhadap kemiskinan. 6) DAK
Sumatera Barat yang tidak berpengaruh signifikan terhadap
berjumlah 19 kemiskinan. 7) Pertumbuhan ekonomi
Kabupaten/Kota di Provinsi berpengaruh signifikan terhadap
Sumatera Barat kemiskinan. 8) Pendapatan asli daerah
berpengaruh signifikan terhadap
kemiskinan melalui pertumbuhan
ekonomi sebagai variabel intervening. 9)
DAU berpengaruh signifikan terhadap
kemiskinan melalui pertumbuhan
ekonomi sebagai variabel intervening.
10) DAK tidak berpengaruh signifikan
terhadap kemiskinan melalui
pertumbuhan ekonomi sebagai variabel
intervening

2.3 Kerangka Berpikir

Berdasarakan latar belakang masalah yang telah dikemukakan penulis,


dimunculkan kerangka berfikir untuk menjelaskan pengaruh Pendapatan Asli
Daerah, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus dan kondisi geografis
terhadap tingkat kemiskinan di 13 kabupaten/kota Provinsi Sulawesi Tenggara.
Berikut gambar pemikiran yang skematis:
Pendaptan Asli Daerah (X1)

Dana Alokasi Khusus (X2)


Tingkat
Dana Alokasi Khusus (X3) Kemiskinan (Y)

Kondisi Geografis (X4) Bukan


Kepulauan

Kepulauan

2.4 Hipotesis

Hipotesis adalah jawaban sementara/kesimpulan yang diambil untuk


menjawab permasalahan yang diajukan dalam suatu penelitian yang sebenarnya
masih harus diuji secara empiris. Hipotesis yang dimaksud merupakan dugaan
yang mungkin benar atau mungkin salah.

Dengan mengacu pada dasar pemikiran yang bersifat teoritis dan


berdasarkan studi empiris yang pernah dilakukan berkaitan dengan penelitian
dibidang ini, maka akan diajukan hipotesis sebagai berikut :

1. Pendapatan Asli Daerah diduga mempunyai pengaruh negatif dan


signifikan terhadap kemiskinan
2. Dana Alokasi Umum diduga mempunyai pengaruh positif dan
signifikan terhadap tingkat kemiskinan.
3. Dana Alokasi khusus diduga berpengaruh negatif dan signifikan
terhadap tingkat kemiskinan
4. Kondisi geografis diduga berpengaruh positif dan signifikan
terhadap tingkat kemiskinan
5. PAD, DAU, DAK, dan kondisi geografis secara bersama-sama
diduga berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

Variabel penelitian pada dasarnya adalah segala sesuatu yang berbentuk


apa saja yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari sehingga diperoleh
informasi tentang hal tersebut, kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2011:
38). Variabel penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kemiskinan
sebagai variabel terikat sedangkan variabel bebasnya adalah pendapatan asli
daerah, dana alokasi umum, dana bagi hasil dan belanja daerah.

Adapun definisi operasional variabel yang digunakan dalam penelitian ini


yaitu sebagai berikut:

a. Kemiskinan adalah ketidakmampuan memenuhi standar minimum


kebutuhan dasar yang meliputi kebutuhan makan maupun non makan.
Data kemiskinan yang dipakai dalam penelitian ini adalah data kemiskinan
DKI tahun 2002-2013 (Dalam Persen) yang diperoleh dari Data BPS DKI
Jakarta.
b. Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah pendapatan yang diperoleh daerah
yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Data Pendapatan Asli Daerah (PAD) diperoleh dari
BPS Sulawesi Tenggara
c. Dana Alokasi Umum (DAU) adalah dana yang bersumber dari pendapatan
APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan.
d. Dana Alokasi Khusus adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN
yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu
mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai
dengan prioritas nasional. Program yang menjadi prioritas nasional dimuat
dalam Rencana Kerja Pemerintah tahun anggaran bersangkutan. Menteri
teknis mengusulkan kegiatan khusus yang akan didanai dari DAK dan
ditetapkan setelah berkoordinasi dengan Menteri Dalam Negeri, Menteri
Keuangan, dan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional,
sesuai dengan Rencana Kerja Pemerintah dimaksud. Menteri teknis
kemudian menyampaikan ketetapan tentang kegiatan khusus dimaksud
kepada Menteri Keuangan.
e. Kondisi Geografis Kondisi geografis adalah kondisi atau keadaan suatu
wilayah dengan dilihat dari keadaannya yang berkaitan dengan aspek

geografis. Aspek-aspek itu meliputi letak, relief, sumber daya, jenis tanah,


iklim dan lain-lain.

Dalam penelitian ini kondisi geografis dibagi dua yaitu kabupaten/kota Bukan
Kepulauan dan Kepulauan

No Bukan Kepulauan Kepulauan


1. Kab. Konawe Utara Kab. Buton Utara
2. Kab. Kolaka Utara Kab. Wakatobi
3. Kab. Bombana Kab. Muna
4. Kota Kendari Kab. Buton
5. Kab. Kolaka Kota Bau bau
6. Kab. Konawe
7. Kab. Konawe Selatan

Dalam penelitian ini menggunaan dummy kondisi geografis. Penggunaan


dummy kondisi geografis dalam penelitian ini adalah untuk melihat perbedaan
tingkat kemiskinan antara kabupaten/kota yang memiliki bentuk bukan kepulauan
dan kepulauan.

3.2. Jenis dan Sumber Data

3.2.1 Metode Data Panel


Data Panel merupakan gabungan antara lintas waktu (time series) dan
lintas indinvidu (Cross Sistem), dimana unit cross system diukur dalam waktu
yang berbeda. Analisis data panel digunakan untuk mengamati hubungan antara
satu variable terikat dengan satu atau lebih variable bebas

Untuk mencapai tujuan penelitian dalam menganalisis tingkat kemiskinan,


jenis data yang digunakan adalah data kuantitatif. Data kuantitatif terdiri dari data
PAD, DAU, DAK, dan kondisi geografis di Sulawesi Tenggara. Data yang
digunakan berupa tahun periode 2011 – 2019. Sedangkan data yang digunakan
sebagai observasi adalah data deret waktu (time-series data) untuk kurun waktu
tahun tahun 2011 – 2019 di Provinsi Sulawesi Tenggara dan menghasilkan 10
observasi.

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder,
yaitu data yang diperoleh dalam bentuk yang sudah jadi atau sudah dikumpulkan
dari sumber lain dan diperoleh dari pihak lain seperti buku-buku literatur, catatan
catatan atau sumber yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.

3.3. Metode Pengumpulan Data

Data yang digunakan untuk mencapai tujuan dalam penelitian ini


sepenuhnya melalui data sekunder. Data yang diperoleh merupakan data-data dari
literatur yang berkaitan baik berupa, dokumen, artikel, catatan-catatan, maupun
arsip. Data yang diperoleh kemudian disusun dan diolah sesuai dengan
kepentingan dan tujuan penelitian. Untuk tujuan penelitian ini data yang
dibutuhkan adalah data di Provinsi Sulawesi Tenggara yang diperoleh dari Badan
Pusat Statistik (BPS) Sulawesi Tenggara.

3.4 Metode Analisis Data


Penelitian ini mengistimasi pengaruh PAD, DAU, DBH dan Belanja
Daerah terhadap kemiskinan di 12 kabupaten/kota Provinsi Sulawesi Tenggara.
Data yang digunakan adalah

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Objek Penelitian


Provinsi Sulawesi Tenggara terletak di jazirah Tenggara Pulau Sulawesi.
Secara astronomis terletak di bagian Selatan Garis Khatulistiwa, memanjang dari
Utara ke Selatan di antara 02°45'-06°15' Lintang Selatan dan membentang dari
Barat ke Timur di antara 120°45'-124°45' Bujur Timur. Provinsi Sulawesi
Tenggara mencakup daratan Pulau Sulawesi dan kepulauan. Wilayah daratan,
mencakup jazirah tenggara Pulau Sulawesi dan beberapa pulau kecil, seluas
38.067,7 km². Sedangkan wilayah perairan (laut) Sulawesi Tenggara diperkirakan
seluas 110.000 km² (74 persen).

Daratan Sulawesi Tenggara umumnya memiliki permukaan tanah yang


bergunung, bergelombang berbukit-bukit. Di antara gunung dan bukit-bukit,
terbentang dataran-dataran yang merupakan daerah potensial untuk
pengembangan sektor pertanian. Dengan kondisi ini, sebagian besar masyarakat
Sulawesi Tenggara bermata pencaharian dari sektor pertanian. Secara administrasi
sejak tahun 2014, Provinsi Sulawesi Tenggara terbagi dalam lima belas wilayah
Kabupaten (yaitu Kabupaten Buton, Muna, Konawe, Kolaka, Konawe Selatan,
Wakatobi, Bombana, Kolaka Utara, Buton Utara, Konawe Utara, Kolaka Timur,
Konawe Kepulauan, Buton Tengah, Buton Selatan, Muna Barat) dan dua wilayah
kota (yaitu Kota Kendari dan Kota Baubau). Kabupaten Konawe Selatan menjadi
kabupaten/ kota terluas di Sulawesi Tenggara, sedangkan Kota Baubau saat ini
memiliki luasan terkecil
4.2 Estimasi Data Panel

Dalam metode estimasi model regresi dengan menggunakan data panel


dapat dilakukan tiga pendekatan. Namun pada penelitian ini digunakan uji chow
untuk menentukan model yang digunakan, dengan ketentuan sebagai berikut :

a. Pendekatan Pooled Least Square/ Common Effect Model

Pertama-tama dilakukan pengolahan data dengan pendekatan Polled Least


Square sebagai salah satu syarat melakukan uji F Restricted (uji chow). Dari hasil
pengolahan program E-Views10.0 didapat hasil sebagai berikut:

Regresi Data Panel : Common Effect Model

R-Squared 0.331046

Adjusted R-Squared 0.311749

Sumber data diolah, lampiran

b. Pendekatan Fixed Effect Model (FEM)

Setelah itu dilakukan pengolahan data dengan pendekatan Fixed Effect


Model untuk dibandingkan dengan Pooled Least Square pada uji f restricted atau
uji chow. Dari hasil pengolahan program E-Views 10.0 didapat hasil sebagai
berikut :

Regresi Data Panel : Fixed Effect Model

R-Squared 0.911689

Adjusted R-Squared 0.898395

Sumber data diolah, lampiran

b. CEM Vs FEM

Untuk mengetahui data panel yang akan digunakan, maka digunkan uji
Chow dengan membandingkan F-Statistika. Sebelum membandingkan F-stitistika
dan F-Tabel terlebih dulu dibuat hipotesisinya
Ho : CEM/PLS

H1 : FEM

Dari hasil regresi Common Effect Model dan Fixed Effect Model
diporeleh hasil sebagai berikut :

Tabel F-Restricted/Uji Chow

Redundant Fixed Effects Tests


Equation: Untitled
Test cross-section fixed effects

Effects Test Statistic   d.f.  Prob. 

Cross-section F 55.588729 (11,93) 0.0000


Cross-section Chi-square 218.684319 11 0.0000

Dari table diatas dapat kita lihat nilai F statistika adalah 55,588729 dengan
nilai f table (d.f) 11,93 α= 0,05% sehingga f statistic lebih besar dari F table maka
H. ditolak. Cara lain untuk mentukanya adalah dengan melihat probabilitas F
sebesar 0.000 lebih kecil dari alpha 0,05 sehingga model data panel yang sesuai
adalah Fixed Effect Model

Hasil Regresi Fixed Effect (tanpa variable dummy)

Dependent Variable: Y
Method: Panel Least Squares
Date: 06/26/20 Time: 22:06
Sample: 2011 2019
Periods included: 9
Cross-sections included: 12
Total panel (balanced) observations: 108

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.  

C 14.44677 0.515154 28.04359 0.0000


X1 -5.18E-06 2.66E-06 -1.947129 0.0545
X2 -1.22E-06 1.21E-06 -1.011464 0.3144
X3 -2.29E-06 1.32E-06 -1.737285 0.0856

Effects Specification

Cross-section fixed (dummy variables)

R-squared 0.911689     Mean dependent var 13.27907


Adjusted R-squared 0.898395     S.D. dependent var 3.300867
S.E. of regression 1.052168     Akaike info criterion 3.067828
Sum squared resid 102.9563     Schwarz criterion 3.440347
Log likelihood -150.6627     Hannan-Quinn criter. 3.218871
F-statistic 68.57863     Durbin-Watson stat 1.542020
Prob(F-statistic) 0.000000

Dari hasil pengolahan data menggunakan Fixed Effect Model menggunakan


program E-views 10.0 diperoleh persamaan linear berganda sebagai berikut:

In Y = 14.44677 – 5.18E-06 X1 – 1.22E-06 X2-2.29E-06 X3

SE : ( 0.515154) (2.66E-06) (1.21E-06) (1.32E-06)

T hitung = 0.911689

R2 =
0.898396

DW = 1.542020

Pemaknaan

Koefisen determinasi digunakan untuk mengetahui seberapa besar porsi


sumbangan variable independent secara bersama-sama mempengaruhi nilai
variable dependen. Dari table diatas dapat dilihat bahwa nilai R2 dari model adalah
sebesar 0.898396. Hal ini dapat diartikan bhwa varibel bebas dalam model
mampu menjelaskan variasi pengaruh dari variable tergentung sebesr 89,84
persen, sedangkan sisanya yaitu 10,16 persen dipengaruhi oleh factor diluar
model.
Nilai F hitung dari persamaan menunjukan angka sebesar 68.57863
dengan tingkat kepercayaan sebesar 95% ( α = 5 %) sedangkan F tabel dengan K
= 1 , N = 108 df2 = 3.09 karena F hitung > Ftabel maka hipotesis Ho berada di daerah
penolakan, dan Ha diterima.Sehingga dpat dikatakan bahwa Pendapatan Asli
Daerah, Dana Alokasi Umum, dan Dana Alokasi khusus mempengaruhi tingkat
kemiskinan di 12 Kabupeten Kota di Sulawesi Tenggara.

Kemudian dari hasil regresi diatas nilai t hitung variable bebas secara
beruurut -1.947129, -1.01146 dan -1.737285. untuk mencari t table perlu dilihat n
dan k. Dalam penelitian ini n= 108 dan k = 3, alpha = 0.05. t table 0.05 = 104

Uji Asumsi Klasik

a. Uji Normalitas

Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi, variabel
pengganggu atau residual memiliki distribusi normal. Seperti diketahui bahwa uji
t dan F mengasumsikan bahwa nilai residual mengikuti distribusi normal. Kalau
asumsi ini dilanggar maka uji statistik menjadi tidak valid untuk jumlah sampel
kecil.

14
Series: Standardized Residuals
12 Sample 2011 2019
Observations 108
10

Mean -8.22e-18
8
Median -0.095005
Maximum 2.325118
6
Minimum -2.422004
4 Std. Dev. 0.980922
Skewness 0.050149
2 Kurtosis 3.227126

0 Jarque-Bera 0.277405
-2.5 -2.0 -1.5 -1.0 -0.5 0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5
Probability 0.870487
Berdasarkan hasil uji normalitas pada data dengan model fixed effect didapat
bahwa nilai probabilitas sebesar 0.87 karena lebih besar dari 0.05 maka dalam
pengujian ini data dapat dikatakan terdistribusi dengan normal.

b.Uji Multikolinearitas

X1 X2 X3
 1.000000  0.535980  0.261106
 0.535980  1.000000  0.439376
 0.261106  0.439376  1.000000

Hasil uji multikolinearitas menunjukan terdapat beberapa gejala multikolinearitas


karena hubungan beberapa variable bebas lebih besar dari 0.90

C. Uji Autokorelasi

Dependent Variable: Y
Method: Panel Least Squares
Date: 06/27/20 Time: 07:08
Sample: 2011 2019
Periods included: 9
Cross-sections included: 12
Total panel (balanced) observations: 108

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.  

C 14.44677 0.515154 28.04359 0.0000


X1 -5.18E-06 2.66E-06 -1.947129 0.0545
X2 -1.22E-06 1.21E-06 -1.011464 0.3144
X3 -2.29E-06 1.32E-06 -1.737285 0.0856

Effects Specification

Cross-section fixed (dummy variables)

R-squared 0.911689     Mean dependent var 13.27907


Adjusted R-squared 0.898395     S.D. dependent var 3.300867
S.E. of regression 1.052168     Akaike info criterion 3.067828
Sum squared resid 102.9563     Schwarz criterion 3.440347
Log likelihood -150.6627     Hannan-Quinn criter. 3.218871
F-statistic 68.57863     Durbin-Watson stat 1.542020
Prob(F-statistic) 0.000000

Dw stat = 1.542020

K=3

Jumlah observasi 108

DL = 1.6676 DU= 1.737

Berdasarkan hasil regresi kriteri peneriamaan yang menggunakan nilai dL dan Du


dapat dilihat pada table durbin Watson bahwa nilai dl= 1.6676 dan du = 1.737
sehingg nilainya sulit untuk dikeathui jikan menggunakan grafik autokorelasi

d. Uji Heteroskedastisitas

Dependent Variable: RESABS


Method: Panel Least Squares
Date: 06/27/20 Time: 07:41
Sample: 2011 2019
Periods included: 9
Cross-sections included: 12
Total panel (balanced) observations: 108

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.  

C 1.335181 0.271701 4.914164 0.0000


X1 2.44E-06 1.40E-06 1.738155 0.0855
X2 -1.57E-06 6.38E-07 -2.453621 0.0160
X3 2.75E-07 6.96E-07 0.394980 0.6938

Effects Specification

Cross-section fixed (dummy variables)

R-squared 0.325936     Mean dependent var 0.748264


Adjusted R-squared 0.224464     S.D. dependent var 0.630140
S.E. of regression 0.554930     Akaike info criterion 1.788297
Sum squared resid 28.63910     Schwarz criterion 2.160815
Log likelihood -81.56802     Hannan-Quinn criter. 1.939339
F-statistic 3.212076     Durbin-Watson stat 1.858158
Prob(F-statistic) 0.000373
Berdasarkan data diatas terlihat nilai probalitas x1 (0.0855) dan x3 (0.6938)
masing-masing tidak meiliki gejala heterogedastisitas. Namun x2 (0.0160) lebih
kecil dari nilai probabilitas 0,05. Sehingga dapat disimpulkan terjadi gejala
heteroskedastisitas

4.2 Estimasi Dengan Variabel Dummy

Dependent Variable: Y
Method: Panel Least Squares
Date: 06/27/20 Time: 08:04
Sample: 2011 2019
Periods included: 9
Cross-sections included: 12
Total panel (balanced) observations: 108

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.  

C 14.97534 1.057815 14.15687 0.0000


X1 -3.08E-05 5.23E-06 -5.884314 0.0000
X2 1.28E-07 2.60E-06 0.049101 0.9609
X3 1.77E-06 3.18E-06 0.556411 0.5791
DUMMY -0.607541 0.568636 -1.068419 0.2878

R-squared 0.338379     Mean dependent var 13.27907


Adjusted R-squared 0.312685     S.D. dependent var 3.300867
S.E. of regression 2.736567     Akaike info criterion 4.896476
Sum squared resid 771.3465     Schwarz criterion 5.020649
Log likelihood -259.4097     Hannan-Quinn criter. 4.946824
F-statistic 13.16954     Durbin-Watson stat 0.403810
Prob(F-statistic) 0.000000

Dari table hasil regresi E-Views 10, dapat dibuat persamaan sebagai berikut :

In Y = 14.97534 – 3.08E-05 + 5.23E-06 + 1.77E-06 – 0,0607541

Koefisien determinasi (R2) pada table diatas adalah 0.312685 artinya


variable-variabel bebas hanya mepengaruhi 31,3% variable dependen sisanya
dipengaruhi oleh factor lain. Perbedaan antara R square setelah dammy adalah
mungkin karena perbedaan metode analisis yang digunakan, sebelumnya metode
yang digunakan adalah Fixed Effect Model.

Lalu dari hasil diatas menunjukan secara berurut nilai t hitung variable-
variable dependen adalah sebagai berikut : -5.884314; 0.049101; 0.556411;
-1.068419. Nilai T tihitung perlu memperhatikan nilai n dan k. k 4 dan n = 108
dengan signifikansi 5% = 2,5%. > 5%/2 ; n-k-1. > 2,5 ; 108-4-1 = 0.025 103

Variabel Pendaatan Asli Daerah dengan nilai t hitung 5.884314 > 1.96326
t table nilai tersebut menunjukan bahwa variable pendapatan asli daerah
mempengaruhi secara signifikan tingkat kemiskinan di 12 Kota/kabupaten
Provinsi Sulawesi Tenggara.
Variabel Dana Alokasi Umum dengan nilai t hitung sebesar 0.049101 <
1.96326 t table yang berarti Dana Alokasi Umum tidak berpengaruh secara
signifikan terhadap tingkat kemiskinan di kota/kabupaten sampel. Varibel Dana
aloksi khusus dengan nilai t hitung sebesar ; 0.556411< 1.96326 t table yang
berarti DAK tidak berpengaruh terhadap tangkat kemiskinan. Lalu pada variable
dummy dengan nilai 1 untuk kabupaten kota bukan kepulauan dan nilai nol untuk
kabupaten kota kepulauan memiliki nilai t hitung sebsear 1.068419 < 1.96326 t
table yang menunjukan bahwa nilai variable dummy tidak memiliki pengaruh
yang sgnifikan terjadap tingkat kemiskinan

Kemudian uji F digunakan untuk menguji pengaruh secara bersama-sama


variable independent terhadap variable dependen. Diketahui berdasarkan table F
hitung = 13.16954, alpha = 5%, df1 = k-1, df2 = n-k dimana n = 108, k = 5 maka
df1 = 4 dan df2 = 103. F table = 2.69 artinya t hitung > dari t table maka variable
independent secara simultan mempengaruhi tingkat kemiskinan (Y)

Uji Asumsi Klasik


a. Uji Normalitas
14
Series: Standardized Residuals
12 Sample 2011 2019
Observations 108
10

Mean 1.45e-15
8
Median 0.566986
Maximum 5.876158
6
Minimum -5.931071
4 Std. Dev. 2.684929
Skewness -0.400513
2 Kurtosis 2.415157

0 Jarque-Bera 4.426578
-6 -5 -4 -3 -2 -1 0 1 2 3 4 5 6
Probability 0.109340

Berdasarkan data diatas terlihat bahwa nilai probabilitas < 5% sehingga dapat
disimpulkan bahwa data tidak terdistribusi secara normal.

b. Uji Heterodekastisitas

Dependent Variable: RESABS


Method: Panel Least Squares
Date: 06/27/20 Time: 09:13
Sample: 2011 2019
Periods included: 9
Cross-sections included: 12
Total panel (balanced) observations: 108

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.  

C 2.480515 0.541770 4.578541 0.0000


X1 1.24E-05 2.68E-06 4.611377 0.0000
X2 -1.80E-06 1.33E-06 -1.352040 0.1793
X3 -1.83E-06 1.63E-06 -1.121642 0.2646
DUMMY 0.274530 0.291232 0.942649 0.3481

R-squared 0.202365     Mean dependent var 2.189377


Adjusted R-squared 0.171389     S.D. dependent var 1.539699
S.E. of regression 1.401558     Akaike info criterion 3.558237
Sum squared resid 202.3297     Schwarz criterion 3.682410
Log likelihood -187.1448     Hannan-Quinn criter. 3.608585
F-statistic 6.532955     Durbin-Watson stat 1.023217
Prob(F-statistic) 0.000100
Berdasarkan data diatas terlihat bahwa nilai nilai probalitas variable x1, x2, x3
dan variable dummy memiliki niai yang lebih rendah dari 0.05 probablitas alpha
sehingga dapat disimpulkan terjadi gejala heterogedastisitas

c. Uji Autokorelasi

Dependent Variable: Y
Method: Panel Least Squares
Date: 06/27/20 Time: 09:23
Sample: 2011 2019
Periods included: 9
Cross-sections included: 12
Total panel (balanced) observations: 108

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.  

C 14.97534 1.057815 14.15687 0.0000


X1 -3.08E-05 5.23E-06 -5.884314 0.0000
X2 1.28E-07 2.60E-06 0.049101 0.9609
X3 1.77E-06 3.18E-06 0.556411 0.5791
DUMMY -0.607541 0.568636 -1.068419 0.2878

R-squared 0.338379     Mean dependent var 13.27907


Adjusted R-squared 0.312685     S.D. dependent var 3.300867
S.E. of regression 2.736567     Akaike info criterion 4.896476
Sum squared resid 771.3465     Schwarz criterion 5.020649
Log likelihood -259.4097     Hannan-Quinn criter. 4.946824
F-statistic 13.16954     Durbin-Watson stat 0.403810
Prob(F-statistic) 0.000000

Dari table diatas didapat informasi DW stat = 0.403810 k = 4, jumlah observasi


108. dL = 1.5993 dU = 1.7603. Lalu 4-dL dan 4-dU. 2.4007 dan 2.2397 dengan
nilai demikian maka dapat disimpulkan data ini masih terkena Autokorelasi
negatif.
Lampiran Common Effect Model

Dependent Variable: Y
Method: Panel Least Squares
Date: 06/26/20 Time: 21:42
Sample: 2011 2019
Periods included: 9
Cross-sections included: 12
Total panel (balanced) observations: 108

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.  

C 14.85723 1.052737 14.11295 0.0000


X1 -3.16E-05 5.18E-06 -6.104793 0.0000
X2 -4.56E-07 2.55E-06 -0.179010 0.8583
X3 2.43E-06 3.12E-06 0.780634 0.4368

R-squared 0.331046     Mean dependent var 13.27907


Adjusted R-squared 0.311749     S.D. dependent var 3.300867
S.E. of regression 2.738429     Akaike info criterion 4.888979
Sum squared resid 779.8951     Schwarz criterion 4.988318
Log likelihood -260.0049     Hannan-Quinn criter. 4.929257
F-statistic 17.15553     Durbin-Watson stat 0.415912
Prob(F-statistic) 0.000000

Lampiran Data 12 kabupaten/kota, DAU,DAK, PAD, dan Kondisi Geografis

Tahun Kabupaten/Kota Y1 X1 X2 X3
2011 Konawe Utara 12.80 88043.08 289562.45 47830.50
2012 Konawe Utara 11.78 11391.16 377863.76 43938.48
2013 Konawe Utara 10.62 22998.46 417340.32 441295.58
2014 Konawe Utara 10.15 10540.27 53616.95 54715.28
2015 Konawe Utara 9.97 9255.77 433074.13 109518.24
2016 Konawe Utara 9.75 14806.65 459090.81 178922.16
2017 Konawe Utara 13.93 21690.02 454226.84 110317.75
2018 Konawe Utara 14.22 15614.20 454226.84 124848.69
2019 Konawe Utara 13.93 20902.50 471019.25 163306.27
2011 Kota Kendari 7.46 62800.13 399585.27 31326.80
2012 Kota Kendari 6.39 70857.92 478763.60 42248.22
2013 Kota Kendari 6.07 94863.57 555693.88 54258.37
2014 Kota Kendari 5.56 167470.39 611179.53 55353.89
2015 Kota Kendari 5.59 170642.04 629906.64 110478.45
2016 Kota Kendari 5.51 179062.77 674633.29 354551.60
2017 Kota Kendari 5.01 218340.63 662782.15 156901.63
2018 Kota Kendari 4.69 176116.07 662782.15 249387.87
2019 Kota Kendari 5.01 509452.35 705042.48 208306.45
2011 kota Bau bau 11.24 22025.27 317720.78 24673.60
2012 kota Bau bau 10.02 26271.30 370653.91 34663.27
2013 kota Bau bau 10.11 35373.40 427509.76 36286.08
2014 kota Bau bau 9.25 54989.80 465583.88 41601.96
2015 kota Bau bau 9.24 57507.65 485032.23 144734.99
2016 kota Bau bau 8.81 69322.98 518115.29 140103.52
2017 kota Bau bau 8.39 106399.88 509013.67 168722.98
2018 kota Bau bau 7.57 67321.91 509013.67 145949.91
2019 kota Bau bau 8.39 75717.00 504422.83 177234.03
2011 Buton Utara 17.34 5339.52 250149.37 18715.00
2012 Buton Utara 15.74 10600.88 291312.07 40562.20
2013 Buton Utara 17.53 9826.18 329371.28 56514.21
2014 Buton Utara 16.35 9307.04 366551.47 64860.93
2015 Buton Utara 15.86 15256.54 379995.22 408633.61
2016 Buton Utara 15.78 12828.36 408633.61 126181.59
2017 Buton Utara 15.58 26049.22 405650.59 109784.02
2018 Buton Utara 14.93 15266.64 410109.24 112502.72
2019 Buton Utara 15.58 16727.38 428779.56 102644.94
2011 Kolaka Utara 18.76 32050.00 273275.70 35129.20
2012 Kolaka Utara 16.39 12748.07 336532.27 30947.47
2013 Kolaka Utara 17.41 21187.41 387721.16 58867.15
2014 Kolaka Utara 16.10 34848.37 438746.76 67739.32
2015 Kolaka Utara 16.53 40531.45 452597.32 108370.96
2016 Kolaka Utara 17.11 40246.18 469964.08 188537.03
2017 Kolaka Utara 16.24 55454.85 467026.89 101010.65
2018 Kolaka Utara 14.30 46066.84 475754.19 120905.71
2019 Kolaka Utara 16.24 41805.35 505030.64 126603.02
2011 Wakatobi 17.10 9985.16 251896.91 30722.30
2012 Wakatobi 15.99 18195.07 308676.98 44851.26
2013 Wakatobi 17.40 19397.24 353873.35 61264.64
2014 Wakatobi 16.27 23357.95 387267.03 71555.96
2015 Wakatobi 16.88 24671.82 402871.10 124561.93
2016 Wakatobi 16.46 25029.15 448607.75 191587.46
2017 Wakatobi 16.19 46657.11 444717.68 150606.86
2018 Wakatobi 14.85 33554.44 463652.33 204709.15
2019 Wakatobi 16.19 32557.62 485397.25 250763.37
2011 Bombana 14.68 14713.44 282064.01 41137.10
2012 Bombana 12.81 22710.06 328634.38 49693.38
2013 Bombana 14.28 24646.49 382986.68 71254.68
2014 Bombana 13.20 38149.04 414006.95 77800.12
2015 Bombana 12.55 29646.97 435541.50 94568.85
2016 Bombana 13.06 31274.21 481299.89 178786.53
2017 Bombana 12.36 54510.47 477202.60 126529.63
2018 Bombana 11.05 65544.25 482294.44 61185.84
2019 Bombana 12.36 45578.92 504112.00 127462.00
2011 Konawe Selatan 12.57 12449.69 362035.23 56350.50
2012 Konawe Selatan 11.22 18035.02 481737.62 66988.47
2013 Konawe Selatan 12.45 25762.48 538654.99 97978.59
2014 Konawe Selatan 11.60 45766.89 581807.67 105956.75
2015 Konawe Selatan 11.58 43850.46 598467.03 161251.34
2016 Konawe Selatan 11.36 48028.70 666694.03 181714.43
2017 Konawe Selatan 11.14 102590.87 661162.08 171881.03
2018 Konawe Selatan 10.95 61320.15 666731.36 248877.06
2019 Konawe Selatan 11.14 81314.57 694858.87 268633.83
2011 Kolaka 17.62 37472.90 450297.98 33256.50
2012 Kolaka 15.55 39840.23 535098.52 52618.84
2013 Kolaka 16.20 48110.91 613742.50 69384.49
2014 Kolaka 14.99 67736.38 454342.51 68059.09
2015 Kolaka 14.68 66365.25 572933.35 181448.53
2016 Kolaka 15.05 72205.07 593123.36 215375.86
2017 Kolaka 13.78 122419.91 582704.09 124821.07
2018 Kolaka 12.51 101143.71 582742.37 167763.94
2019 Kolaka 13.78 107044.24 611181.70 232521.60
2011 Konawe 16.24 22125.72 473516.64 55115.50
2012 Konawe 14.62 21638.49 520676.41 106521.25
2013 Konawe 16.20 23644.41 613724.50 60384.49
2014 Konawe 14.99 33215.38 454342.51 68059.09
2015 Konawe 14.68 56039.77 639180.85 136596.90
2016 Konawe 15.05 57702.18 690044.91 231076.31
2017 Konawe 13.78 97586.84 677923.04 162356.28
2018 Konawe 12.51 76707.52 673419.30 190314.72
2019 Konawe 15.65 142421.22 717543.43 361240.50
2011 Buton 16.64 16048.70 382188.01 47587.10
2012 Buton 15.46 20533.41 468956.93 59419.25
2013 Buton 15.25 23147.86 535326.60 85447.46
2014 Buton 14.31 34468.62 601624.42 83915.42
2015 Buton 13.75 24778.97 252280.18 135891.38
2016 Buton 13.22 39141.77 427465.43 183902.87
2017 Buton 13.46 48262.95 423599.04 113459.18
2018 Buton 13.67 27641.92 424357.65 182515.57
2019 Buton 13.46 19157.62 440488.71 157869.80
2011 Kab. Muna 16.14 22162.67 425648.39 561580.53
2012 Kab. Muna 14.64 19382.60 65746.10 80745.00
2013 Kab. Muna 15.32 25039.73 635053.32 105851.25
2014 Kab. Muna 14.46 42127.73 689447.64 81175.06
2015 Kab. Muna 15.45 38272.71 502390.81 203064.01
2016 Kab. Muna 15.22 39775.36 669896.27 310799.57
2017 Kab. Muna 14.85 81248.09 658128.35 235631.89
2018 Kab. Muna 13.19 84329.38 656128.35 243260.16
2019 Kab. Muna 14.85 117771.60 685011.63 270627.97

Lampiran Fixed Effect Model

Dependent Variable: Y
Method: Panel Least Squares
Date: 06/26/20 Time: 22:06
Sample: 2011 2019
Periods included: 9
Cross-sections included: 12
Total panel (balanced) observations: 108

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.  

C 14.44677 0.515154 28.04359 0.0000


X1 -5.18E-06 2.66E-06 -1.947129 0.0545
X2 -1.22E-06 1.21E-06 -1.011464 0.3144
X3 -2.29E-06 1.32E-06 -1.737285 0.0856

Effects Specification

Cross-section fixed (dummy variables)

R-squared 0.911689     Mean dependent var 13.27907


Adjusted R-squared 0.898395     S.D. dependent var 3.300867
S.E. of regression 1.052168     Akaike info criterion 3.067828
Sum squared resid 102.9563     Schwarz criterion 3.440347
Log likelihood -150.6627     Hannan-Quinn criter. 3.218871
F-statistic 68.57863     Durbin-Watson stat 1.542020
Prob(F-statistic) 0.000000

Lampiran Uji Chow

Redundant Fixed Effects Tests


Equation: Untitled
Test cross-section fixed effects

Effects Test Statistic   d.f.  Prob. 

Cross-section F 55.588729 (11,93) 0.0000


Cross-section Chi-square 218.684319 11 0.0000

Cross-section fixed effects test equation:


Dependent Variable: Y
Method: Panel Least Squares
Date: 06/26/20 Time: 22:08
Sample: 2011 2019
Periods included: 9
Cross-sections included: 12
Total panel (balanced) observations: 108

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.  

C 14.85723 1.052737 14.11295 0.0000


X1 -3.16E-05 5.18E-06 -6.104793 0.0000
X2 -4.56E-07 2.55E-06 -0.179010 0.8583
X3 2.43E-06 3.12E-06 0.780634 0.4368

R-squared 0.331046     Mean dependent var 13.27907


Adjusted R-squared 0.311749     S.D. dependent var 3.300867
S.E. of regression 2.738429     Akaike info criterion 4.888979
Sum squared resid 779.8951     Schwarz criterion 4.988318
Log likelihood -260.0049     Hannan-Quinn criter. 4.929257
F-statistic 17.15553     Durbin-Watson stat 0.415912
Prob(F-statistic) 0.000000

Anda mungkin juga menyukai