Anda di halaman 1dari 6

PENGARUH DAN NIKMATNYA IBADAH

Hidup visioner itu adalah hidup yang dijalani dengan sadar tujuan. Tujuan
penciptaan manusia untuk beribadah kepada Allah SWT (QS adz-Dzariyat [51]: 56).
Sedangkan, tujuan beribadah kepada-Nya adalah menjadi hamba-Nya yang bertakwa (QS
al-Baqarah [2]: 21).

Bagaimana proses menjadi hamba bertakwa itu dilakukan melalui aneka ibadah
yang dijalani dengan penuh kenikmatan? Pada dasarnya beribadah itu nikmat karena
hamba dapat “bercengkerama” dengan Sang Kekasih.

Namun, merasakan nikmatnya ibadah itu tidak instan, tetapi perlu perjuangan,
latihan, dan pendakian spiritual (mujahadah wa riyadhah ruhiyyah) yang berpangkal
pada penyucian hati. Sebab, nikmat itu soal rasa, bukan rasio, meskipun rasa nikmat
beribadah itu bisa dikembangkan dengan olah rasio. Niat, keikhlasan, cinta,
kesungguhan, ketenangan, dan kekhusyukan untuk merasakan nikmatnya ibadah berporos
di hati yang bersih.
Setidaknya ada lima kunci merasakan beribadah itu nikmat. Pertama, menomorsatukan
cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Selama hati lebih terpatri dengan cinta dunia,
nikmatnya ibadah itu sulit dirasakan.

Nabi SAW bersabda: “Ada tiga sifat yang apabila ada dalam diri seseorang, ia akan
merasakan manis atau nikmatnya iman, yaitu Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai selain
keduanya. Ia mencintai seseorang tidaklah mencintainya, melainkan karena Allah. Ia
membenci untuk kembali kepada kekafiran setelah Allah menyelamatkannya darinya
sebagaimana ia benci apabila dilemparkan ke dalam neraka.” (HR Muslim).

Kedua, beribadah dengan ikhlas semata-mata karena mendamba ridha Allah SWT. “Abu
Umamah RA meriwayatkan bahwa ada seseorang datang menemui Nabi SAW, lalu
bertanya: Tahukah engkau ada seseorang yang berperang untuk memperoleh pahala dan
sebutan tertentu baginya? Rasulullah SAW lalu menegaskan: “Dia tidak mendapat apa-
apa”. Orang itu mengulangi pertanyaannya sampai tiga kali dan Rasulullah Muhammad
SAW menegaskan hal yang sama: “Dia tidak mendapat apa-apa”. Kemudian Rasulullah
SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak menerima amalan kecuali dilakukan dengan
ikhlas, semata-mata mencari ridha-Nya.” (HR an-Nasa’i). 

Ketiga, bersungguh-sungguh dan konsisten (mujahadah wa istiqamah) dalam beribadah,


dengan meneladani tata cara ibadah Rasulullah SAW, dimulai dengan meluruskan dan
memurnikan niat karena Allah (lillah), memenuhi syarat, rukun, dan kaifiyat-nya secara
tertib dan khusyuk. Dengan konsistensi dan kekhusyukan, pelaksanaan ibadah bisa
dirasakan nikmat dan lezat.
Keempat, menjadikan ibadah sebagai kesenangan hati, bukan beban yang memberatkan,
sehingga ibadah dijalani dengan penuh antusiasme, optimisme, dan asketisme. Nabi
Muhammad SAW bersabda: “Sesungguhnya di antara kesenangan dunia kalian yang aku
cintai adalah wanita dan wewangian. Dan dijadikan kesenangan hatiku terletak di dalam
shalat.” (HR Ahmad, at-Thabarani, al-Baihaqi, dan al-Hakim).

Kelima, menjauhkan diri dari maksiat dan perbuatan dosa, melalui habituasi akhlak
mulia. Nikmatnya beribadah makin bertambah seiring dengan aktualisasi akhlak mulia
dalam kehidupan nyata karena akhlak mulia merupakan buah dari ibadah bermakna:
ibadah yang dirasakan sebagai kebutuhan dan kenikmatan.
Di antara kita sering merasa sibuk dengan amal ibadah, akan tetapi sangat sedikit di antara kita yang
menyibukkan diri dengan senantiasa melakukan evaluasi apakah amal ibadah yang kita lakukan tersebut
memiliki pengaruh besar dalam jiwa dan kehidupan kita sehingga kita mampu merasakan kenikmatan
dan kelezatan darinya. Merasakan lebih dekat dengan Allah Swt di mana kedekatan dengan Allah Swt ini
adalah karunia dan nikmat yang luar biasa. Padahal semua ibadah tersebut tidak lain adalah sarana
untuk mendekatkan diri kita dengan Allah Swt. Namun apakah kita merasakan hal seperti itu dari setiap
ibadah yang kita lakukan?

Tentunya jawabannya “tidak selalu”, kenapa? Karena keimanan yang ada dalam diri kita ini

senantiasa mengalami fluktuasi, naik turun sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah Saw.

Dan kita semua tahu bahwa amal itu buah dari iman, jika ia sedang naik, mungkin kita bisa

merasakan nikmatnya beramal dan beribadah, dan sebaliknya sebagaimana yang penanya alami,

pasti kita semua juga mengalaminya.

Dari miliaran manusia, hanya sedikit yang mau beribadah, dari yang mau beribadah hanya

sedikit yang beribadah dengan sungguh-sungguh, dan dari yang sudah bersungguh-sungguh,

hanya sedikit yang benar-benar bisa merasakan nikmatnya pengabdian kepada Allah. Mereka

adalah manusia-manusia yang istimewa. Ibadah bagi orang-orang seperti ini bukan lagi beban

tapi kesenangan, rehat dan aktivitas yang penuh kenikmatan sebagaimana kita ketahui bahwa

Rasulullah sangat menikmati salat beliau tanpa merasakan kaki beliau hingga bengkak.

Lalu bagaimanakah cara meraih kenikmatan dalam ibadah? Tentunya, kita tidak mungkin mendapatkan
caranya tanpa mencoba mencari tahu dari orang-orang yang pernah merasakannya, yakni Rasulullah
Saw, dan para ulama dan shalihin. Di antaranya apa yang disampaikan oleh seorang ulama bernama
Ahmad bin Harb ra, ia pernah berkata: ”Aku telah beribadah kepada Allah Swt selama 50 tahun dan
tidaklah kudapati kenikmatan beribadah melainkan setelah kutinggalkan tiga perkara: “Kutinggalkan
mencari rida manusia sehingga aku sanggup mengatakan kebenaran. Kutinggalkan pertemanan dengan
orang-orang yang gemar berbuat kerusakan sehingga aku mendapatkan teman-teman yang saleh.
Kutinggalkan kenikmatan dunia sehingga aku mendapatkan kenikmatan akhirat.”  Dan untuk itu kita
sangat memerlukan tips sebagai berikut:

Pertama, mujahadatun nafs (bersungguh-sungguh dan banyak berlatih).  Inilah aktivitas tersulit

bagi kita. Sehingga Rasulullah Saw pernah menyampaikan bahwa hal ini termasuk jihad besar,

karena tidak mudah dilakukan. Meski demikian dengan kesungguhan dan terus berlatih, maka
tidak mustahil untuk kita lakukan sebab Allah Swt berfirman: ‫ۚ وَِإ َّن هَّللا َ لَ َم َع‬ ‫َوالَّ ِذينَ َجاهَدُوا فِينَا لَنَ ْه ِديَنَّهُ ْم ُسبُلَنَا‬

َ‫ْال ُمحْ ِسنِين‬


“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridaan) Kami, benar-benar akan Kami

tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta

orang-orang yang berbuat baik.” (Q.S. Al-Ankabut: 69)

Siapa yang memiliki kesungguhan, maka Allah Swt memberikan kemudahan jalan untuknya.

Seperti juga dalam meraih nikmatnya ibadah. Meski ini sangat sulit akan tetapi dengan keinginan

yang kuat, kesungguhan, dan usaha untuk selalu berlatih, maka dengan izin Allah kita akan

mampu melakukannya.

Kedua, berusaha menjauhi maksiat dan dosa; baik besar maupun kecil. Sebab kemaksiatan akan

berakibat pada tertutupnya hati dan jiwa, dan menjauhkan kita juga anggota tubuh kita yang lain

dari ketaatan, apalagi sampai pada merasakan kenikmatan dari ketaatan tersebut. Padahal

kenikmatan dalam beribadah itu bukan terletak pada lima indera kita melainkan jiwa kita.

Rasulullah Saw bersabda, “Sesungguhnya seorang mukmin, jika melakukan satu perbuatan

dosa, maka ditorehkan di hatinya satu titik hitam. Jika ia bertobat, berhenti dan minta ampun,

maka hatinya akan dibuat mengkilat (lagi). Jika semakin sering berbuat dosa, maka titik-titik itu

akan bertambah sampai menutupi hatinya. Itulah raan yang disebutkan Allah dalam Al-

Qur’an.  َ‫ َكاَّل بَلْ َرانَ َعلَى قُلُوبِ ِه ْم َما َكانُوا يَ ْك ِسبُون‬ Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang

selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka. [Al Muthaffifin/83:14].” (H.R. abu Daud)

Ketiga,  berusaha menghadirkan khasyyah “takut disertai dengan mahabbah (cinta)

dan ta’dzim (pengagungan).” Kuatnya cinta dan ta’zhim akan membuat ibadah semakin nikmat

dirasa. Segala perintah Allah akan terasa ringan bahkan menyenangkan. Begitu pula saat

menghadapi godaan maksiat. Kuatnya cinta dan ta’zhim akan membuat hati mudah

meninggalkan perbuatan dosa dan tak gampang tergiur untuk melakukannya. Maka dari itu

Rasulullah SAW bersabda, “Tiga sifat yang jika ada pada diri seseorang, ia akan meraih

manisnya iman, Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai dari selain keduanya, ia mencintai

seseorang, tidaklah mencintainya melainkan karena Allah,  ia membenci untuk kembali kepada
kekafiran setelah Allah menyelamatkannya darinya sebagaimana ia benci apabila dilempar ke

dalam neraka.” (H.R. Muslim)

Iman itu rasanya manis dan bisa dirasakan oleh kita. Rasa manis ini tentu saja hanya bisa

dinikmati oleh orang-orang yang jujur kecintaannya terhadap Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana

yang dijelaskan di dalam hadis di atas. Jika memang iman itu manis, lezat dan bisa dirasakan

kenikmatanya oleh kita. Maka begitu pula ibadah-ibadah yang kita kerjakan. Karena ibadah, baik

ibadah lahiriah dan batiniah, adalah bagian dari iman.

Keempat, berusaha tidak tergoda dengan penilaian manusia. Semua dilakukan hanya dalam

rangka taat untuk Allah dan hanya mencari rida-Nya, dan bahwa ibadah ini dicintai Allah, diridai

dan bisa mendekatkan dirinya kepada-Nya.

Rasulullah Saw bersabda, “Akan  merasakan manisnya iman, seorang yang rida Allah sebagai

Rabbnya, Islam sebagai agamanya, dan Muhammad SAW sebagai rasul.” (H.R. Muslim)

Kelima, berusaha senantiasa melalukan perbaikan dalam setiap amal dan ibadah dengan ilmu.

Sebab ilmu itu ibarat cahaya yang akan memberikan penerangan kepada kita dan jalan juga

aktivitas yang kita tempuh. Dengan itulah kenapa Allah Swt meninggikan derajat orang-orang

yang berilmu dengan ketakwaan mereka, bahkan Rasulullah Swt memberikan perbandingan

yang jauh antara ahli ilmu dan ahli ibadah dalam sabda beliau yang artinya, “Keutamaan ahli

ilmu atas ahli ibadah adalah seperti keutamaanku atas orang yang paling rendah di antara

kalian.” Setelah itu beliau melanjutkan, “Sesungguhnya Allah, para malaikat, para penduduk

langit dan bumi, bahkan semut di lubangnya, dan para ikan mendoakan pengajar kebaikan pada

manusia.” (H.R. Tirmidzi)

Sangat jelas di sini bahwa apa pun amal ibadah yang kita lakukan dalam rangka untuk meraih

rida Allah Swt dan mendapatkan kelezatan dan kenikmatannya, maka kita harus terus belajar

untuk memperbaiki semuanya dengan ilmu. Sebab Allah Swt berfirma, “Dan perumpamaan-

perumpamaan ini Kami buat untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang

yang berilmu.” (Q.S. Al-Ankabut: 43)


Termasuk di sini adalah memahami bagaiamana kenikmatan beribadah dan bagaimana bisa itu

tercapai dan harus berusaha kita mencapainya. Demikianlah penjelasan singkat kami. Semoga

dapat dipahami dengan baik. Wallahu a’lam bish-shawwaab. <Dimuat di Majalah Hadila Edisi

februari 2021>

Anda mungkin juga menyukai