Oleh
Muhammad Ghifari
ii
ASAL USUL SANAD DALAM WACANA ORIENTALIS : STUDI KRITIS
ATAS PEMIKIRAN MICHAEL COOK
Penulis :
Muhammad Ghifari
Editor :
Ulfah Zakiyah
Penerbit :
Pustaka Harakatuna
Alamat: Griya Ihsani IV No. 1
Jagakarsa Jakarta Selatan, 12620
Email: redaksiharakatuna.com
Website: http//www.harakatuna.com
Narahubung : 087850099453
iii
KATA PENGANTAR
iv
4. Para dosen di lingkungan Fakultas Ushuluddin yang telah berjasa mengajar
dan mendidik penulis selama menjadi mahasiswa di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
5. Secara khusus penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang
setinggi-tingginya kepada LPDP (Lembaga Pengelola Dana Pendiidkan) dari
Kementerian Keuangan RI, yang telah memberikan kemudahan berupa
beasiswa pendidikan, sehingga penulis bisa menyelesaikan studi S2 di UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. Teristimewa untuk kedua orang tua penulis. Untuk Ayah dan Ibu terima
kasih telah memberikan rasa cinta dan kasih sayang yang tulus untuk penulis
sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan baik.
7. Adik kandung yang tersayang Muhammad Nadzir, dan Mulyati yang telah
memberi bantuan berupa semangat, kasih sayang dan doa sejak penulis
memulai studi hingga selesai penulisan tesis ini.
8. Terkhusus kepada KH. Abdul Latif Busyrah dan semua guru saya di
lingkungan Pondok Pesantren Salafiyah Parappe yang telah berjasa mengajar,
mendidik dan terus mensupport saya untuk terus melanjutkan pendidikan.
9. Mahasiswa Program Magister Ilmu Al-Quran dan Tafsir yang menjadi
penggugah semangat dan pemberi motivasi mulai dari semester I (satu)
hingga penulisan tesis ini selesai. Terima kasih atas dukungan kalian
10. Sahabat-sahabatku di Lingkar Santri Cendekia (LSC), Awardee LPDP UIN
Syahid, PK LPDP angkatan 81, PKM KODI angkatan XXV, DPP GENIUS,
Apartemen Saham Group, Padaidi Jakarta, Padaidi Muda, Islam Nusantara
Center, AM 30 Ngaji, Pa’mai,
11. Untuk seseorang yang ada di hati, terima kasih telah menemani penyusun
dalam proses penyelesaian tesis ini. Hadirmu sungguh memberi semangat
penyusun dalam menyelesaikan tesis ini.
12. Terima kasih juga kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyelesaian tesis ini yang tidak dapat kami sebutkan satu per satu.
Akhirnya, Penulis mengucapkan rasa terima kasih kepada semua pihak
dan apabila ada yang tidak tersebutkan penulis mohon maaf, dengan besar
harapan semoga tesis yang ditulis oleh penulis ini dapat bermanfaat khususnya
bagi penulis sendiri dan umumnya bagi pembaca. semoga hasil kerja ini juga
bernilai amal ibadah yang diterima disisi Allah ‘azza wa jalla. Amin.
Muhammad Ghifari
v
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR……………………………………………………….... iv
DAFTAR ISI …………………………………………………………………. vi
PEDOMAN TRASLITERASI ………………………………………………. xi
ABSTRAK…………………………………………………………………….. xiv
BAB I: PENDAHULUAN……………………………………………………. 1
A. Latar Belakang……………………………………………………... 1
B. Permasalahan………………………………………………………. 9
C. Tujuan Penelitian…………………………………………………... 11
D. Manfaat dan Signifikansi Penelitian………………………………. 11
E. Penelitian Terdahulu Yang Relevan……………………………….. 12
F. Metode Penelitian………………………………………………….. 14
G. Sistematikan Penulisan…………………………………………….. 17
vi
2. Skeptis Terhadap Hadis…………………………..…………. 91
3. Menginspirasi Peneliti Hadis Lain........................................... 91
BAB V PENUTUP…………………………………………………………...... 94
A. Kesimpulan………………………………………………………… 94
B. Saran……………………………………………………………….. 95
DAFTAR PUSTAKA..………………………………………………………… 97
INDEKS.............................................................................................................. 106
PROFIL PENULIS............................................................................................ 112
vii
PEDOMAN TRANSLITERASI
1. Konsonan
Daftar huruf bahasa Arab dan transliterasinya ke dalam huruf Latin dapat
dilihat pada halaman berikut:
Huruf
Arab Nama Huruf Latin Nama
ب ba dilambangkan
b be
ت ta t te
ا fath}ah a a
ِا kasrah i i
ا d}ammah u u
َف
َ َكْي : kaifa
َص ْوم
َ : s}aumu
ix
1. Maddah
Maddah atau vokal panjang yang lambangnya berupa harkat dan huruf,
transliterasinya berupa huruf dan tanda, yaitu:
Huruf dan
Harkat dan Huruf Nama Nama
Tanda
fath}ahَdan alif
ََى...َ|َا
َ َََ...
َ atau ya
a> a dan garis di
atas
ػِػى kasrah dan ya i> i dan garis di atas
Contoh:
ص ََلَة َ : s}ala>tu
4. Ta>’ Marbu>t}ah
Transliterasi untuk ta>’ marbu>t}ah ada dua, yaitu: ta>’ marbu>t}ah yang hidup
atau mendapat harkat fath}ah, kasrah, dan d}ammah, transliterasinya adalah [t].
Sedangkan ta>’ marbu>t}ah yang mati atau mendapat harkat sukun, transliterasinya
adalah [h].
Kalau pada kata yang berakhir dengan ta marbu>t}ah diikuti oleh kata yang
menggunakan kata sandang al- serta bacaan kedua kata itu terpisah, maka ta
marbu>t}ah itu ditransliterasikan dengan ta (t).
Contoh:
َح ِاديْث ِ ِ
َ س ْلسلَةََ ْاْل : silsilah al-ah}a>di>s\
x
5. Syaddah (Tasydi>d)
Syaddah atau tasydi>d yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan
dengan sebuah tanda tasydi>d ( َّ ), dalam transliterasi ini dilambangkan dengan
perulangan huruf (konsonan ganda) yang diberi tanda syaddah.
Contoh:
ََربَّنَا : rabbana>
Jika huruf ىber-tasydid di akhir sebuah kata dan didahului oleh huruf
kasrah ()ػػػػِػى, maka ia ditransliterasi seperti huruf maddah (i>).
Contoh:
َعلِ َى : ‘Ali> (bukan ‘Aliyy atau ‘Aly)
ََعَر ى
ب : ‘Arabi> (bukan ‘Arabiyy atau ‘Araby)
6. Kata Sandang
Kata sandang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan huruf َ ال
(alif lam ma‘arifah). Dalam pedoman transliterasi ini, kata sandang ditransliterasi
seperti biasa, al-, baik ketika ia diikuti oleh huruf syamsiah maupun huruf
qamariah. Kata sandang tidak mengikuti bunyi huruf langsung yang mengikutinya.
Kata sandang ditulis terpisah dari kata yang mengikutinya dan dihubungkan dengan
garis mendatar (-).
Contohnya:
7. Hamzah
Aturan transliterasi huruf hamzah menjadi apostrof (’) hanya berlaku bagi
hamzah yang terletak di tengah dan akhir kata. Namun, bila hamzah terletak di
awal kata, ia tidak dilambangkan, karena dalam tulisan Arab ia berupa alif.
Contohnya:
َتَأمرْون : ta’muru>na
xi
8. Penulisan Kata Arab yang Lazim digunakan dalam Bahasa Indonesia
Kata, istilah atau kalimat Arab yang ditransliterasi adalah kata, istilah atau
kalimat yang belum dibakukan dalam bahasa Indonesia. Kata, istilah atau kalimat
yang sudah lazim dan menjadi bagian dari pembendaharaan bahasa Indonesia, atau
sudah sering ditu/lis dalam tulisan bahasa Indonesia, tidak lagi ditulis menurut cara
transliterasi di atas. Misalnya kata Al-Qur’an (dari al-Qur’a>n), Sunnah, khusus dan
umum. Namun, bila kata-kata tersebut menjadi bagian dari satu rangkaian teks
Arab, maka mereka harus ditransliterasi secara utuh.
Contoh:
Siyar A‘la>m al-Nubala>
I‘tiba>r al-Sanad
9. Huruf Kapital
Walau sistem tulisan Arab tidak mengenal huruf kapital (All Caps), dalam
transliterasinya huruf-huruf tersebut dikenai ketentuan tentang penggunaan huruf
kapital berdasarkan pedoman ejaan Bahasa Indonesia yang berlaku (EYD). Huruf
kapital, misalnya, digunakan untuk menuliskan huruf awal nama diri (orang,
tempat, bulan) dan huruf pertama pada permulaan kalimat. Bila nama diri didahului
oleh kata sandang (al-), maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal
nama diri tersebut, bukan huruf awal kata sandangnya. Jika terletak pada awal
kalimat, maka huruf A dari kata sandang tersebut menggunakan huruf kapital (Al-).
Ketentuan yang sama juga berlaku untuk huruf awal dari judul referensi yang
didahului oleh kata sandang al-, baik ketika ia ditulis dalam teks maupun dalam
catatan rujukan.
Contoh:
Takhri>j al-h{adi>s\
Ah}mad bin H{anbal
10. Singkatan
Beberapa singkatan yang dibakukan adalah:
Cet. = Cetakan
saw. = S{allalla>hu ‘Alayhi wa Sallam
swt. = Subh}a>nah wa Ta’a>la
QS. = al-Qur’an Surat
t.p. = Tanpa penerbit
t.t. = Tanpa tempat
t.th. = Tanpa tahun
t.d = Tanpa data
r.a. = Rad}iya Alla>hu ‘Anhu
xii
M. = Masehi
H. = Hijriyah
w. = Wafat Tahun
h. = Halaman
xiii
ABSTRAK
Penelitian ini mengkaji pemikiran Michael Cook tentang sejarah asal usul
penggunaan sanad. Penelitian ini menemukan bahwa sistem sanad sudah digunakan
jauh sebelum Islam datang, yaitu digunakan oleh umat Yahudi dan Arab pra-Islam.
Yahudi menggunakan sanad dalam transmisi riwayat-riwayat Mishnah, sedangkan
Arab pra-Islam menggunakan sanad dalam periwayatan syair-syair yang dilakukan
oleh para penyair Arab klasik. Kesimpulan penelitian ini mendukung pendapat
Josef Horovitz dalam karyanya Alter und Ursprung des Isnad (1918), Gregor
Schoeler dalam karyanya The Oral and The Written In Early Islam (2006),
Muhammad Mustafa al-‘Azami dalam karyanya Studies in Early Hadith Literature
(1978), dan Ali Mustafa Ya’qub dalam karyanya Kritik Hadis (1995) yang
mengatakan bahwa tradisi sanad sudah digunakan oleh umat pra-Islam.
Di sisi lain, hasil penelitian ini berbeda dengan pendapat mayoritas ulama
hadis yang mengatakan bahwa tradisi sanad hanya ada dalam Islam dan tidak
ditemukan pada umat lain di luar Islam, yaitu berbeda dengan pendapat ‘Abdulla>h
ibn Muba>rak (w 181 H), Muhammad ibn H{a>tim al-Mazaffar (w 331 H), dan Ibn
Taimiyah (w 728 H) yang mengatakan bahwa sanad adalah keistimewaan umat
Islam yang tidak dimiliki oleh umat lain. Selain itu, penelitian ini juga berbeda
dengan kesimpulan yang diberikan oleh beberapa orientalis sebelum Michael Cook,
seperti Leone Caentani dalam karyanya Annali Dell’Islam (1935), Joseph Schacht
dalam karyanya The Origins of Muhammadan Jurisprudence (1967), James Robson
dalam karyanya The Isnad in Muslim Traditions (1955), dan Juynboll dalam
karyanya The Date of the Great Fitna (1973) yang mengatakan bahwa tradisi sanad
baru lahir setelah abad kedua atau ketiga Hijriah.
Penelitian ini termasuk jenis penelitian kualitatif, dengan menggunakan
riset kepustakaan (library research). Metode pengumpulan data yang digunakan
adalah metode dokumentasi, yaitu dengan mencari dan mengumpulkan beberapa
literatur yang berkaitan dengan tema yang diteliti, di antaranya mencakup literatur
primer, yaitu tiga karya Michael Cook yang berjudul The Opponents of The
Wirting of Tradition in Early Islam (1997), Studies in the Origins of Early Islamic
Culture and Tradition (2004), dan Early Muslim Dogma: A Source-Critical Study
(1981). Sedangkan sumber sekunder adalah data-data yang diperoleh secara tidak
langsung berupa buku, kitab-kitab, tesis atau disertasi, jurnal, artikel online dan
sumber data lainnya yang relevan dan dapat mendukung penyelesaian tesis ini.
Analisis yang digunakan adalah deskriptif-analisis dengan menggunakan
pendekatan historis.
xiv
ABSTRACT
This study review Michael Cook’s thoughts about the history of the origin
of the use of isnad. From the results of this thesis study found that the isnad system
was used long before Islam came, namely used by Jews and pre-Islamic Arabs. Jews
use isnad in transmitting the narrations of the Mishnah. Whereas pre-Islamic
Arabic uses isnad in the narration of poems performed by classical Arabic poets.
The conclusion of this study supports the opinion of Josef Horovitz in his work
Alter und Ursprung des Isnad (1918), Gregor Schoeler in The Oral and The Written
In Early Islam (2006), Muhammad Mustafa al-‘Azhami in his Studies in Early
Hadith Literature (1978), and Ali Mustafa Ya'qub in his Kritik Hadis (1995) which
said that the tradition of sanad has been used by pre-Islamic people.
On the other hand, this study differ from the opinions of the majority of
hadith scholars who said that the tradition of sanad only exists in Islam and is not
found in other people outside of Islam. This study differ from opinions of ‘Abdulla>h
ibn Muba>rak (w 181 H), Muhammad ibn H{a>tim al-Mazaffar, and Ibn Taimiyah (w
728 H). In addition, this study is also different from the conclusions given by some
orientalists before Michael Cook, such as Leone Caentani in his work (1935),
Annali Dell’Islam (1935), Joseph Schacht in his work The Origins of Muhammadan
Jurisprudence (1967), James Robson in his work The Isnad in Muslim Traditions
(1955), and Juynboll in his work The Date of the Great Fitna (1973)) which said
that the tradition of the new sanad was born after the second or third century Hijri.
This research is a type of qualitative research, on library research. The data
collection method used is the documentation method, which is by searching and
gathering some literatures related to the theme under study, including primary
literature, namely three works of Michael Cook entitled The Opponents of The
Wirting of Tradition in Early Islam (1997), Studies in the Origins of Early Islamic
Culture and Tradition (2004), and Early Muslim Dogma: A Source-Critical Study
(1981). While secondary sources are data obtained indirectly in the form of books,
theses or dissertations, journals, online articles and other data sources that are
relevant and can support the completion of this thesis. This research is descriptive
analysis using a historical approach.
xv
ملخص البحث
زكز هرا البحث زأي مُكائُل كوك ) (Michael Cookعً جازٍخ أصول السىد .وجد هرا
لاالس،مما االستعم ا الودوو والعس قبل لاالس،مم .االستعم ا
البحث أن السىد مستعمل قبل قدوم ا
الودوو عىد هقل زواًاث املصىت و شعساء العس قبل لاالس،مم فى هقل شعس هم .خ،مصت هرا البحث
Alter und Ursprung des Isnad (Josefفى كتابا )Horovitz ًؤكد زأي ًوالسف هوزوفُث
The Oral and The Writtten In (Gregorفى كتابا السكوالز )Schoeler ()9594ا وغسَغوز
)6002( Early Islamا ومحمد مصطفى ألاعظمى فى كتابا وزاالساث فى الحدًث الىبوى و جسٍخ
جدوٍىا ()9534ا وعلي مصطفى ٌعقو فى كتابا هقد الحدًث ( )9551قالوا بؤن إلاالسىاو
قداالستعم ا ألامم قبل إلاالس،مم .خ،مصت هرا البحث ًخالف عبد هللا ابً املبازك ()ٌ 949ا وابً
جُمُت ( )ٌ 364بؤن السىد مً خصوصُت املس مين ال في ألامم ألاخسى .ا
وكرالك فُخت ف هتُجت هرا البحث على معظم املحدثين الرًً ًسون أن السىد موجوو
إالستم ا فى لاالس،مم ولم ًكً فى ألامم الألخسى غير لاالس،ممً .خالف هرا البحث بآزاء املستشسقين
قبل مُكائُل كوك ك ُُووي السُيتان ) )Leone Caentaniفى كتابا )9591( Annali Dell Islamا
The Origins of Muhammadan Jurisprudence وٍوالسف شاخت ) (Joseph Schachtفى كتابا
The Isnad in Muslim Traditions ()9523ا وجُمس زوبسون ) (James Robsonفى كتابا
فى كتابا )9539( The Date of The Great Fitnaالرًً )(Juynboll ()9511ا وٍون بولد
الهجسة .ا
ا قالوا أن السىد هاش ئ بعد القسن الثاوى أو الثالث مً
هرا البحث ٌستخدم املىهج الىوعى او طسٍقت جمع املصاوزها الطسٍقت املكتبُت الجمع
بؤن ًبحث املساجع املتع قت بدا مً املساجع ألاالساالسُت مً كتب مُكائُل كوك وهي The Opponent
Studies in the Origins of Early )9553(of The Writing of Tradition in Early Islamا
Early Muslim Dogma: A Source-Critical )6002( Islamic Culture and Traditionا و
.)9549( Studyوأما املساجع الزٍاوًت فمً الكتب والسالسائل الع مُت وألاكاوًمُت اوالكتاباث
جازٍخي .ا
لالُكتروهُت وما إلى ذلك ,هرا البحث وزاالست مىهج ا
xvi
BAB I
A. Latar Belakang
Dalam kajian Ilmu Hadis, aspek sanad atau yang biasa disebut isna>d al-
1
h}adi>ts menempati posisi yang sangat urgen dan mendasar. Sanad merupakan titik
sentral dalam studi hadis dengan tidak menafikan studi matan hadis itu sendiri.
Kualitas sebuah hadis besar dipengaruhi oleh keberadaan kualitas sanadnya. Jika
sanad suatu hadis berkualitas shahih maka hadis itu dapat diterima. Akan tetapi,
jika sanad suatu hadis tidak shahih maka hadis tersebut ditolak. Oleh karena itu,
diskursus tentang sanad ini merupakan salah satu hal penting yang harus dipahami
dalam melakukan kajian hadis.
Mengingat demikian tinggi nilai dan urgensi sanad, maka para ulama hadis
menempatkan kedudukan sanad sebagai bagian yang tak terpisahkan dari agama.
Sanad merupakan jalan yang mulia untuk menetapkan hukum-hukum Islam. Itulah
sebabnya para ahli hadis sangat berhati-hati dalam menerima suatu hadis, kecuali
apabila mengenal dari siapa perawi hadis tersebut dan sumber yang disebutkan
benar-benar dapat dipercaya. Kehati-hatian dalam menerima suatu hadis juga
merupakan ajaran Islam yang memotivasi umatnya untuk mencari kebenaran. Hal
itu di tegaskan oleh Allah sendiri dalam firman-Nya Q.S Al-Hujurat ayat 6:
ََي َأُّيه َا ذ ِاَّل َين أ ٓ َمنُوا ا ْن َج َاء ُ ُْك فَ ِاس ٌق ِبن َ َب ٍٕا فَتَ َبيذنُوا َأ ْن ت ُِصي ُبوا كَ ْو ًما ِ َِبي َ ٍَاَل فَ ُت ْص ِب ُحوا ػَ َ ىل َما فَ َؼلْ ُ ْت
ّ
َنَ ِد ِم َي
‚Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang Fasik
membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak
menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui
keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.‛2
1
Istilah sanad berasal dari kata Sanada-Yasnudu-Sanadan yang secara etimologi
berarti al-mu’tamad (sandaran, tempat bersandar, tempat berpegang, yang dipercaya, yang
sah). Dikatakan demikian karena hadis itu bersandar kepadanya dan dipegangi atas
kebenarannya. Sedangkan secara terminologi sanad mengandung arti silsilah beberapa orang
(yang meriwayatkan hadis) yang menghubungkannya kepada matan hadis. Adapun kata
isnad mengandung pengertian menyandarkan, mengasalkan, mengangkat hadis kepada
orang yang mengatakannya. Pada tahap selanjutnya kata sanad dan isnad mempunyai arti
yang hampir sama atau berdekatan. Lihat. Mah{mud Thahha>n, Us{u>l al-Takhri>j wa Dira>sah
al-Asa>nid, Cet. III, (Riyadh: Maktabah al-Ma’a>rif, 1991), h. 19.
2
Kementerian Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Banten: Insan Media Pustaka,
2016), h. 516.
1
2
Selain itu, ayat lain yang dapat dijadikan sebagai landasan teologis tentang
pentingnya sanad yaitu Q.S. Al-Israa’ ayat 36. Allah Swt berfirman:
َ َ َو ََل تَ ْل ُف َما مَيْ َس َ ََل ِب ِوۦ ِػ ْ ٌْل ۚ ا ذن أ ذمس ْم َع َوأمْ َب
َص َوأمْ ُف َؤا َد ُ ه
ُك ُأوم َ ٓ ِئ َم ََك َن َغ ْن ُو َم ْس ُو ًل
ّ
‚Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai
pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati,
semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.‛3
َو َح ذدثَنَا ُم َح ذمدُ ْب ُن ُغ َب ْي ٍد امْغ َ َُِب هى َح ذدثَنَا َأبُو َغ َواه َ َة َغ ْن َأ ِِب َح ِصيٍ َغ ْن َأ ِِب َصا ِم ٍح َغ ْن َأ ِِب ى َُرْي َر َة
. َم ْن َن َذ َب ػَ َ ذل ُمتَ َؼ ِّمدً ا فَلْ َيت َ َب ذو ِأ َم ْل َؼدَ ُه ِم َن امنذ ِار-لل ػَلَ ْي ِو َو َس ذ َْل ِ ول ذ
ُ اَّلل َص ذل ُ كَا َل كَا َل َر ُس
Telah menceritakan kepada kami Muhammad ibn ‘Ubaid al-Gubari telah
menceritakan kepada kami Abu> ‘Awanah dari Abi> Hasi>n dari Abi> shalih dari
Abu Hurairah berkata bahwa Rasulullah Saw bersabda: ‚Barang siapa yang
berbohong atas namaku maka tempatnya adalah nereka.‛4
Kedudukan sanad dinilai oleh para ulama hadis sangat penting dilakukan
untuk mengetahui keontetikan sumber atau asal riwayat yang disandarkan kepada
Nabi Muhammad saw. Bahkan kerena begitu pentingnya sistem sanad ini sehingga
melahirkan banyak opini dan pernyataan dari para ulama hadis tentang kedudukan
dan urgensi sanad dalam Islam khususnya dalam studi hadis. Berikut ini
dikemukakan sebagian dari pernyataaan-pernyataan mereka.
ىذا امْ ِؼ ْ َْل ِد ْي ٌن فَاه ُْظ ُر ْوا َ ذَع ْن تَأِخ ُُذ ْو َن ِديْنَ ُ ْك
َ ا ذن
ّ
‚Sesungguhnya pengetahuan (sanad) ini adalah agama. Maka perhatikanlah
dari siapa kamu mengambil agamamu itu.‛5
3
Kementerian Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 285
4
Abu al-Husain Muslim ibn al-Hajjaj al-Naisaburi, Shahih Muslim, Juz V (Beirut:
Dar al-Afaq al-Jadidah, t.th), h 7
5
Abu H{usain Muslim ibn al-Hajja>j al-Qusyairi> al-Naisaburi>, al-Jami’ al-Sh}ahi>h
(Beirut: Da>r al-Afa>q al-Jadi>dah, tt), h. 14}
3
َأ َْل ْس نَا ُد ِس ََل ُح امْ ُم ْؤ ِم ِن ْ ِي فَ ِا َذا م َ ْم يَ ُك ْن َم َؼ ُو ِس ََل ٌح فَ ِبأَ ِ ّي َش ْ ٌْي يُلَا ِت ُل
ّ
‚Sanad itu merupakan senjata bagi orang-orang yang beriman. Jika mereka
tidak memiliki senjata, maka dengan apa mereka dapat menghadapi
peperangan.‛7
َا َْل ْس نَا ُد ِم َن ّ ِال ْي ِن َوم َ ْو ََل ْاَل ْس نَا ُد مَلَا َل َم ْن َش َاء َما َش َاء
ّ ّ
‚Sanad itu merupakan bagian dari agama. Dan sekiranya sanad itu tidak ada,
niscaya siapa saja dapat menyatakan apa yang dikehendakinya.‛8
6
Nu>r al-Di>n ‘Itr, Manhaj al-Naqd fi> ‘Ulu>m al-Hadi>ts (Damaskus: Da>r al-Fikr, 1399
H/1979 H), h. 345
7
Muh}ammad Luqma>n al-Salafi, Ih}tima>m al-Muh}additsi>n bi Naqd al-Hadi>ts Sanad
wa Matn (Riyadh: Maktabah al-Riyadh, 1984), h. 153; Akram Dhiya’ al-’Umari, Buh}u>ts fi>
Tarikh al-Sunnah al-Musyrafah, cet. 4 (Beiru>t: Basath, 1984), h. 56 ; Muhammad
Muhammad Abu> Syuhbah, Fi> Rihab al-Sunnah al-Kutu>b al-Sh}ih}ah al-Sittah (Azhar:
Majma’ al-Turats, 1969), h. 37
8
Abu H{usain Muslim ibn al-Hajja>j al-Qusyairi> al-Naisaburi>, al-Jami’ al-Sh}ahi>h, h.
15
4
kalangan orientalis juga tidak sedikit telah melahirkan banyak teori yang dibuat
untuk membuktikan bahwa hadis merupakan sesuatu yang tidak otentik dari Nabi
Saw, di antara teori-teori tersebut adalah projecting back,9 common link,10 isnad
family,11 isnad cum matn analysis,12The Spread of Isnad,13 dan lain-lain.
Studi sanad di kalangan orientalis berbeda secara fundamental dengan studi
sanad yang dilakukan oleh ulama hadis. Jika ulama hadis mengkaji sanad lebih
kepada kualitas perawinya, maka orientalis lebih menekankan pada asal usulnya.
Mereka lebih banyak menyoroti kapan, oleh siapa dan di mana sanad itu dibuat.
Upaya yang mereka lakukan adalah melakukan kajian ilmiah dengan menelususri,
mendeteksi dan menaksir kapan awal mula penggunaan sistem sanad dalam hadis.
9
Teori projecting back dikenal juga dengan istilah backward projection. Teori ini
dicetuskan oleh Jeseph Schahch. Projecting back adalah teori proyeksi kebelakang, yakni
menisbahkan pendapat ulama abad kedua dan ketiga Hijriah kepada ulama atau tokoh-tokoh
sebelumnya sampai pada Rasulullah Saw. Schach dengan procecting back-nya berasumsi
bahwa hadis nabi sesungguhnya tidak berasal dari dirinya. Nabi tidak berkata dan berbuat
sebagaimana yang dijelaskan dalam hadis-hadisnya itu. Hadis-hadis itu hanyalah perkataan
orang-orang pada abad pertama atau kedua hijriah yang kemudian disandarkan kepada
sahabat lalu kepada Rasulullah. Penyandaran itu dilakukana supaya dapat memperoleh
sandaran dan kekuatan hukum. Joseph Schach, An Introduction to Islamic Law (Oxford:
Clarendom Press, 1964), h. 31-32
10
Pencetus teori ini adalah Juynboll. Menurut Juynboll, common link adalah
periwayat yang dalam isnad pertama kali menyampaikan hadis, biasanya satu orang, kepada
beberapa orang periwayat berikutnya dan terus tersebar hingga ada banyak orang yang
meriwayatkan hadis tersebut diberbagai tingkatan isnadnya. Common link dalam isnad
hadis sering terjadi dikalangan tabiin dan tabi’ tabiin. Jarang sekali ditemui dikalangan
sahabat atau nabi yang menjadi kaitan bersama suatu hadis. Karenanya, hadis nabi secara
historitas tidak berasal dari Nabi atau sahabat tetapi dari tabiin dan tabi’ tabiin. G.H.A.
Juynboll (ed.), Early Islamic Society as Reflected in Its Use Of Isnads, vol. 107 (Lemosion,
1994), h. 153
11
Teori Isnad Family ini dicetuskan oleh Nabia Abbott. Yang dimaksud dengan
Isnad Family adalah ketika periwayatan suatu hadis hanya diriwayatkan kepada orang-
orang tertentu, yaitu diriwayakan dari jalur atas ke bawah dalam hubungan nasab, seperti
seorang ayah yang meriwayatkan hadis kepada anaknya, atau melompati generasi di
bawahnya, seperti seorang kakek yang langsung meriwayatkan hadis kepada cucunya tanpa
melalui ayah cucu tersebut. Nabia Abbott, Studies in Arabic Literary Papyri II: Qur’anic
Commentary and Tradition (Chicago: The University of Chicago Press, 1967), h. 72
12
Teori isnad cum matn analysis dibuat oleh Harald Motzki. Teori ini digunakan
untuk melakukan penanggalan (dating) hadis, yaitu menaksir dan memperkirakan umur dan
asal muasal sebuah hadis dengan cara menghimpun dan membandingkan variasi teks hadis
secara bersamaan. Harald Motzki, The Origin of Islamic Jurisprudence Meccan Fikih before
the Clasiccal Schools (Leiden: Brill, 2002), h. 36
13
Teori The Spread of Isnad ini diciptakan oleh Michael Cook. Terori ini dibuat
untuk membantu memahami fenomena teori Common Link dengan mudah. Selain itu, teori
The Spread of Isnad juga digunakan untuk menemukan saksi kunci pemalsuan hadis dalam
suatu sanad. Lihat Michael Cook, Early Muslim Dogma: A Source-Critical Study
(Cambridge University Press, 1981/2003), h. 111
5
14
Joseph Schacht, The Origins of Muhammad Jurisprudence (Oxford: University
Press, 1975), h.163
15
Ali Masrur, Teori Common Link G.H.A. Juynboll: Melacak akar Kesejarahan
Hadis Nabi (Yogyakarta: LKIS, 2007), h. 57
16
Hiangga penelitian ini ditulis Michael Cook masih hidup. Ia tinggal di New
Jersey, Inggris, dan menjadi guru besar di Peinceton University di bidang Near Eastern
Studies.
17
Hal ini dibuktikan dengan masih sedikitnya penelitian mengenai Michael Cook.
Berdasarkan hasil penelusuran penulis belum ada tesis, disertasi maupun buku mengenai
Michael Cook di Indonesia. Sedangkan di Barat, Cook sangat diapresiasi dan menjadi tema
diskursus hadis. Salah satu evidencenya adalah dari berbagai tokoh hadis Barat, hanya
6
dilakukannya juga lebih banyak terkonsentrasi pada persolan sanad. Salah satunya
ia melakukan sorotan tajam terhadap asal-usul penggunaan sanad. Bila orientalis
sebelum-sebelumnya berpandangan bahwa sistem sanad adalah hasil buatan
kreatifitas ulama hadis pada abad kedua dan ketiga Hijriah, maka Michael Cook
memiliki pandangan yang berbeda. Ia menarik sejarah asal-usul penggunaan sanad
mundur jauh ke belakang melewati masa Islam ke masa pra-Islam.\
Menurut Cook, jauh sebelum datangnya Islam sistem sanad sudah
digunakan oleh umat terdahulu, yaitu telah digunakan oleh umat Yahudi dan Arab
klasik pra-Islam. Umat Yahudi menggunakannya dalam periwayatan Mishnah.18
Riwayat Mishnah disampaikan secara lisan dari generasi awal masa Nabi Musa lalu
disampaikan ke genarasi berikutnya, kemudian generasi ini menyampaikan ke
generasi berikutnya lagi, begitu seterusnya hingga akhirnya membentuk suatu
rentetan sistem sanad. Periwayatan Mishnah baru berhenti disampaikan secara lisan
setelah penulisan Mishnah dilakukan pada tahun 200 M.19
Lebih lanjut, Cook mengatakan bahwa sistem sanad hadis erat kaitannya
dengan sanad Yahudi. Sistem sanad Yahudi dan Islam memiliki banyak kemiripan
dan kesamaan. Cook dalam risetnya menemukan bahwa sistem sanad Islam besar
dipengaruhi oleh tradisi sanad yang ada pada Yahudi. Oleh karena itu, Michael
Cook kemudian berkesimpulan bahwa Islam telah menyalin dan menjiplak sistem
sanad dari tradisi Yahudi.20
Michael Cook menambahkan bahwa sistem sanad mulai gencar digunakan
sebagai sebuah sistem periwayatan bermula pada masa Arab jahiliyah. Para penyair
pra-Islam telah menggunakan sanad dalam menyampaikan syair-syair yang
dilakukan dikalangan para penyair. Ketika itu, sanad berfungsi sebagai tools dalam
menyampaikan berbagai maklumat seperti syair, berita-berita daripada pimpinan
dan berbagai macam maklumat lainnya.21
Juynboll, Motzki, dan Cook yang karya-karyanya dibukukan oleh penerbit Asghate
Variorum.
18
Mishnah atau yang biasa disebut Oral Law adalah bagian utama dari kitab
Talmud. kitab ini menjadi rujukan utama umat Yahudi dalam hal permasalahan hukum.
Kitab ini juga disebut sebagai Undang-Undang Kedua (Second Law). Isi Mishnah mirip
dengan Fikih dalam Islam, pembahasannya mengenai halal-haram, aturan-aturan dalam
beribadah, perkawinan dan perceraian, hukum pidana dan perdata, sesembahan kurban dan
semua upacara keagamaan. Lihat Hermann L. Strack, Introduction to The Talmud and
Midrash, (Pihladelphia: Varda Books, 1931), h. 12-20
19
Michael Cook, ‚The Opponents of The Writing of Traditional in Early Islam‛,
dalam Jurnal Arbica XLIV, 1997, h. 511
20
Michael Cook, ‚The Opponents of The Writing of Traditional in Early Islam‛, h.
508
21
Michael Cook, ‚The Opponents of The Writing of Traditional in Early Islam‛, h.
508
7
َشفَيَا َوفَضذ لَيَا ِِب َْل ْس نَا ِد َومَيْ َس ِ َْل َح ٍد ِم َن ْ ُاْل َم ِم ُ ِكّيَا كَ ِديْ ِميِ ْم َو لل اَ ْن َر َم ى ِذ ِه ْ ُاْل ذم َة َو َ ذ
َ ا ذن
ّ ّ
ُص ٌف ِف َأيْ ِدُّيْ ِ ْم َوكَدْ َخلَ ُط ْوا ِب ُك ُتبِ ِ ْم َأ ْخبَ َار ْه ُُ ه َِ َح ِديْثِ ِ ْم ا ْس نَا ٌد َواه ذ َما
ّ ّ
‚Sesungguhnya Allah memuliakan dan memberikan kelebihan kepada umat
ini dengan adanya sanad. Tidak satupun dari semua umat terdahulu yang
memikiliki sistem isna>d. Yang ada hanyalah lembaran-lembaran di tangan
22
Abu Abd al-Rahman Shalah bin Muhammad, Tahqiqan kitab Muqaddimah Ibn
Shalah, (Beirut: Da>r al-Fikr, 1991) h. 271.
23
Michael Cook, ‚The Opponents of The Writing of Traditional in Early Islam‛, h.
508
24
Abu H{usain Muslim ibn al-Hajja>j al-Qusyairi> al-Naisaburi>, al-Jami’ al-Sh}ahi>h,
(h. 15
8
mereka yang kadang tercampur antara isi kitab mereka dengan khabar-khabar
mereka.‛25
Secara lebih lugas, eksistensi sanad dalam Islam juga diutarakan oleh Ibnu
Taimiyah (w 728 H). Beliau mengungkapkan pandangannya bahwa Ahlul Kitab
tidak memiliki sistem sanad. Penggunaan sanad hanya ada pada umat Muhammad
Saw. Pernyataan beliau sebagai berikut:
لل ػَلَ ْي ِو َو َس ذ َْل َو َج َؼ َ ُل ُسل ًما ِا َل ّ ِال َراي َ ِة فَأَى ُْل ْام ِكتَ ِاب
ُ لل بِو ُأ ذم َة ُم َح ذم ٍد َص ذل ُ اَل ْس نَا ُد خ ذَص
ّ
ََل ا ْس نَا َد مَي ُْم يَأِث ُُر ْو َن ِب َو امْ َم ْن ُل ْو ََل ِت
ّ
‚Sanad adalah sesuatu yang Allah khususkan untuk umat Muhammad Saw.
Allah jadikan ini sebagai cara untuk sampai kepada hadis (dirayah). Adapun
Ahlul kitab tidak memiliki sanad dalam menyampaikan berita yang dinukil
diantara mereka.‛26
Dari beberapa pernyataan di atas, tampak jelas para ulama hadis sepakat
bahwa sanad adalah sebuah kekhususan yang diberikan kepada umat Muhammad
Saw. Sebaliknya, kelemahan umat-umat selain Islam adalah karena tidak adanya
sebuah sistem seperti sistem sanad yang ada pada Islam, sehingga keaslian dan
kemurnian ajaran mereka tidak dapat dipertanggung jawabkan.
Dari sini, terdapat perbedaan pendapat antara ulama hadis dan orientalis,
yaitu Michael Cook tentang asal-usul sanad. Mayoritas ulama hadis berpandangan
bahwa sanad adalah milik khazanah peradaban Islam yang tidak dimiliki oleh umat
lain. Sedangkan Michael Cook membantah pendapat tersebut. Menurutnya, Islam
bukanlah satu-satunya sebagai pemilik tunggal metodologi periwayatan dengan
cara transimisi dari generasi ke generasi ini. Tradisi sanad sudah digunakan oleh
umat terdahulu sebelum Islam datang. Perbedaan pendapat ini tentunya menarik
untuk diteliti dan dikaji lebih lanjut dengan cara melakukan penelitian yang lebih
komprehensif.
25
Muh}ammad Luqma>n al-Salafi, Ih}tima>m al-Muh}additsi>n bi Naqd al-Hadi>ts Sanad
wa Matn, (Riyadh: Maktabah al-Riyadh, 1984), h. 153; Akram Dhiya’ al-’Umari, Buh}u>ts fi>
Tarikh al-Sunnah al-Musyrafah, cet. 4 (Beiru>t: Basath, 1984), h. 56 ; Muhammad
Muhammad Abu> Syuhbah, Fi> Rihab al-Sunnah al-Kutu>b al-Sh}ih}ah al-Sittah (Azhar:
Majma’ al-Turats, 1969), h. 37
26
Muh}ammad Luqma>n al-Salafi, Ih}tima>m al-Muh}additsi>n bi Naqd al-Hadi>ts Sanad
wa Matn, h. 155 153; Akram Dhiya’ al-’Umari, Buh}u>ts fi> Tarikh al-Sunnah al-Musyrafah,
cet. 4 , h. 165
9
27
Pemikiran dan kritikan Cook banyak menuai perdebatan di kalangan pengkaji
hadis. Terutama kritikannya mengenai sanad menjadi tema seminar-seminar mengenai
dirinya. Sayangnya kajian tentang Cook masih minim di Indonesia. Hal ini dubuktikan
dengan belum tersedianya penelitian baik itu tesis, disertasi maupun buku mengenai
Michael Cook di Indonesia. Sedangkan di Barat, Cook sangat diapresiasi dan menjadi tema
diskursus hadis. Salah satu bukti yang dapat diajukan adalah dari berbagai tokoh hadis
Barat, hanya Juynboll, Motzki, dan Cook yang karya-karyanya dibukukan oleh penerbit
Asghate Variorum. Karya-karya Michael Cook banyak difokuskan pada kajian hadis,
terdapat 9 karyanya yang konsen pada kajian hadis, yaitu Hadith and Muhammad,
Eschatology and the Dating of Tradition, Studies in the Origins of Early Islamic Culture
and Tradition, The Opponents of the Writing of Tradition in Early Islam, The Islamic
Scholarly Tradition. Selain itu, hal yang menjadikan pemikiran hadis Michael Cook
menarik untuk diteliti adalah pandangannya yang tampak lebih skeptis daripada Goldziher
dan Schacht dalam memandang autentisitas hadis. Oleh karena itu, tidak mengherangkan
kalau Herbert Berg mengklasifikasikan Cook sebagai Renewed Scepticism. Lihat Herbert
Berg, The Development of Exegesis in Early Islam, (Curzon, 2000), h. 42
10
ٔأخَبَن غبد امرمحن بن َعر امصفار ثنا ٔأبو سؼيد ٔأمحد بن محمد بن زَيد بن اْلٔغرايب ثنا محمد بن غبد28
ِ ول
لل ُ كال َر ُس: لل احلرضيم ثنا ػيل بن هبرام ثنا غبد املكل بن ٔأيب هرمية غن بن جرجي غن غطاء غن جابر كَا َل
خ ْ َُْي امنذ ِاس َأهْ َف ُؼي ُْم ِنلنذ ِاس:َص ذل لل ػَلَيو َوس ذْل
Telah menceritakan kepada kami Abd Rahman bin Umar as-Shaffar telah
menceritakan kepada kami Abu Sa’id Ahmad bin Muhammad bin Ziyad bin Al-
A’rabi telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abdullah al-Hadhrami telah
menceritakan kepada kami Ali bin Bahram telah menceritakan kepada kami Abdul
Malik bin Abi Karimah dari Juraij dari Atha’ dari Jabir berkata bercerita bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‚Sebaik-baik manusia adalah yang
paling bermanfaat bagi manusia.‛ Lihat Muh}ammad bin Salamah bin Ja’far al-
Qadha’i>, Musnad As-Syihab (Beirut: Muassasah Ar-Risalah, 1986), h. 223
12
karya hadis mereka pada abad berikutnya, yakni abad III H. hingga akhirnya
meneguhkan abad ini sebagai era keemasan kodifikasi hadis Nabi Saw.
Imam Sahal Ramdhani dalam karyanya ‚Teori The Spread of Isnad: Telaah
atas Pemikiran Michael Allan Cook‛. Dalam tulisan ini, Imam Sahal Ramdhani
membedah pemikiran Cook terkait teorinya tentang The Spread of Isnad. Teori ini
pada dasarnya adalah tawaran Michael Cook dalam memahami fenomena teori
common link. Dalam penelitiannya, Imam Sahal Ramdhani menemukan bahwa
Michael Cook memiliki perspektif yang berbeda dalam memahami teori common
link. Solusi yang diberikan Michael Cook untuk memahami fenomena common link
adalah dengan mencari ‚data eksternal‛ (external criteria) berupa data historis
‚makro‛. Untuk bisa menemukan data eksternal tersebut, seorang peneliti harus
memiliki perspektif makro dan pandangan yang luas atas konteks hadits yang
sedang diteliti.
Ali Masrur menulis dalam jurnal dengan judul ‚Neo-Skeptisisme Michael
Cook dan Norman Calder Terhadap Hadis Nabi Muhammad‛. Tulisan ini fokus
menelaah pemikiran neo skeptisisme Michael Cook dan Norman Calder terhadap
hadis Nabi dan terhadap common link. Ali Masrur menyimpulkan bahwa
skeptisisme Cook dan Calder melebihi skeptisisme Goldziher dan Schacht. Oleh
karena itu, keduanya dapat dikategorikan sebagai orientalis neo-skeptisisme. Cook
dan Calder berpendapat bahwa common link tidak memberikan makna bahwa
sebuah hadis tertentu itu berasal dari seorang periwayat kunci atau periwayat
bersama, tetapi ia merupakan akibat dari skenario yang berbeda mengenai
penyebaran isnād dan akibat dari kompetisi isnād di berbagai aliran fikih Islam
(mazāhib) dalam masyarakat Islam awal.
Namun sebelum tiga karya di atas tersebut, sudah ada dua karya yang
dilakukan di luar Indonesia, yaitu The Islamic Scholarly Tradition : Studies in
History, Law, and Thought in Honor of Professor Michael Allan Cook.29 Buku ini
adalah hasil karya tiga orang penulis, yaitu Assad Q. Ahmed, Behnam Sadeghi, dan
Michael Bonner. Dalam buku ini, para penulis mengulas berbagai pemikiran
Michael Cook baik tentang sejarah Islam, pemikiran, hukum dan lain-lain.
Sedangkan R. Stephen Humprey menulis bagian biografi yang berisi sketsa riwayat
hidup, karir, dan akademik dari Michael Cook.
Selanjutnya, Herbert Berg menulis buku yang berjudul ‚The Development
of Exegesis in Early Islam.30 Pada buku ini sedikit disinggung pemikiran Michael
29
Humpreys, R. Stephen, The Scholarship of Michael A. Cook: A Restrospective
in Progress, dalam Asad Q. Ahmed (ed), The Islamic Shcolarly Tradition: Studies in
History, Law, and Thought in Honor of Professor Michael Allan Cook , Leiden and Boston:
Brill, 2011
30
Herbert Berg, The Development of Exegesis in Early Islam, (Curzon, 2000), h.
102
14
Cook tentang hadis. Hanya saja Herbert Berg mengulas pemikiran hadis Cook
secara umum, tidak spesifik pada kajian tertentu. Adapun pembahasan tentang asal
usul sanad hanya dijelaskan secara sepintas dan tidak dijelaskan secara mendalam.
Berbeda dengan tulisan-tulisan di atas, penelitian ini tidak memusatkan
perhatian pada pemikiran Michael Cook tentang oposisi penulisan hadis di masa
awal seperti yang tulis oleh Ummu Farida, tidak juga tentang sikap skeptisisme
Michael Cook terhadap hadis seperti tulisan Ali Masrur, dan juga tidak fokus pada
pemikiran Michael Cook tentang teori the spread of isnad seperti karya Imam Sahal
Ramdhani. Selain itu, penelitian ini juga tidak mengulas pemikiran Cook
diberbagai persoalan seperti yang ditulis oleh Assad Q. Ahmed, Behnam Sadeghi,
Michael Bonner, dan Herbert Berg.
Titik tekan penelitian ini berada pada analisa pemikiran Michael Cook
tentang asal usul sanad dengan lebih menitik beratkan pada analisis secara lebih
mendalam pada argumentasi yang dibangun oleh Michael Cook tentang asal usul
sanad. Penelitian terdahulu sama sekali tidak mengulas pemikiran Michael Cook
tentang asal usul sanad. Karenanya, penelitian ini penting untuk menambah
khazanah ilmiah kajian hadis dan sangat esensial untuk dibahas dalam sebuah karya
ilmiah.
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian dan Sumber Data
Pada dasarnya jenis penelitian dikelompokkan menjadi dua macama, yaitu
jenis penelitian kuantitatif dan kualitatif. Pada penelitian ini, penulis menggunakan
jenis penelitian kualitatif, atau yang dikenal dengan istilah riset kepustakaan
(Library Research), yaitu semua bahan-bahan yang dikumpulkan bersumber dari
kajian teks atau tulisan-tulisan yang relevan dengan penelitian ini baik secara
langsung maupun tidak. Studi pustaka ini digunakan sebagai landasan untuk
menjadi pedoman dalam menganalisa dan memecahkan problem yang sedang
diteliti. Dengan demikian, penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi
yang lebih akurat dan valid tentang kajian yang sedang dibahas.
Untuk mendukung pelaksanaan penelitian ini secara komprehenshif, maka
langka pertama yang penulis lakukan adalah menghimpun berbagai macam data
yang berkaitan dengan tema yang sedang dibahas. Teknik pengumpulan data
tersebut dilakukan dengan menggunakan dua sumber data, yaitu data primer
(primary data) dan data sekunder (secondary data). Pengumpulan dua sumber data
ini sangat penting sebagai referensi untuk mendukung kualitas dari penelitian yang
sedang dilakukan. Data primer dimaksudkan untuk mendapatkan sumber data yang
faktual dan asli (origin). Sedangkan data sekunder sebagai data tambahan dari
sebuah hasil analisis terhadap data primer yang kemudian dapat digunakan untuk
melengkapi data-data yang dikumpulkan.
15
Literatur yang dapat digunakan sebagai data primer dalam penelitian ini
adalah beberapa karya Michael Cook, di antaranya: ‚The Opponents of Writing of
Tradition in Early Islam‛ yang terbit dalam jurnal Arabica XLIV 1997. Karya
Michael Cook ini telah diterjemahkan oleh Ali Masrur dengan judul ‚Kontroversi
Hadis: Percaturan dan Pertarungan Awal Islam‛ terbit pada tahun 2015. Selain itu,
buku karya Michael Cook yang juga dapat dijadikan sebagai sumber data primer,
yaitu The Islamic Scholarly Tradition.31
Sedangkan data sekunder yang digunakan sebagai rujukan untuk menambah
kedalaman pembahasan sejarah awal pemakaian sanad adalah Hadis dan Orientalis
karya Idri, Teori Common Link G.H.A. Juynboll : Melacak Akar Kesejarahan Hadis
Nabi karya Ali Masrur, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis karya
Kamaruddin Amin, Hadis di Mata Orientalis karya Wahyudin Darmalaksana,
Studies In Early Hadith Literature karya Muhammad Mustafa Azami, Alter und
Ursprung des Isnad karya Josep Horovitz, Oral Tradition and History karya Robert
H. Lowie, Islamic and Talmudic Jurisprudence: The Four Roots of Islamic Law and
Their Talmudic Counterparts karya Judith Romney Wegner. Juga tulisan serta
karya lain dari Michael Cook seperti; Commanding Right and Forbidding Wrong in
Islamic Thought,32 The Origins of Kalam,33 dan Ibnu> Qut}ayba and the Monkeys.34
Literatur yang disebutkan dalam tinjauan pustaka di atas juga digunakan
sebagai data sekunder yaitu, Polemik Penulisan Hadis: Perspektif Michael A. Cook
dalam The Opponents of Writing of Tradition in Early Islam karya Ummu Farida,
Teori The Spread of Isnad: Telaah atas Pemikiran Michael Allan Cook‛ karya
Imam Sahal Ramdhani, Neo-Skeptisisme Michael Cook dan Norman Calder
Terhadap Hadis Nabi Muhammad karya Ali Masrur, The Islamic Scholarly
Tradition : Studies in History, Law, and Thought in Honor of Professor Michael
Allan Cook karya Assad Q, Ahmed, Behnam Sadeghi, dan Michael Bonner, dan
terakhir The Development of Exegesis in Early Islam karya Herbert Berg.
Selain itu, penulis juga menggunkan data-data pendukung lainnya baik itu
yang bersumber dari kitab-kitab, skripsi/tesis/disertasi, majalah ilmiah, junal,
artikel online dan sumber data lainnya yang relevan dan dapat mendukung terhadap
penyelesaian tesis ini.
31
Asad, Q. Ahmed, dkk, Islamic Scholarly Tradition: Studies in History Law and
Thought in Honor of Profesor Michael Allan Cook, Leiden: Brill, 2011 (Buku ini didapat
penulis dalam kondisi tidak lengkap karena berbentuk PDF copian dari Australian North
University, Canberra)
32
Michael Cook, Commading Right and Forbidding Wrong in Islamic Thought,
Cambridge 2004
33
Michael Cook, The Origins of Kalam, dalam Michael Cook, Studies in the
Origins of Early Islamic Culture and Tradition, Variorum Collected Studies Series
34
Michael Cook, Ibnu Qutayba and the Monkeys, Studia Islamica, 1999
16
1
Diambil dari http://en:en.wikipedia.org/wiki/Michael_Cook_(hostorian) diakses
pada tanggal 12 April 2019.
2
Michael Cook, Kontroversi Hadis: Percaturan dan Pertarungan awal Islam , terj.
Ali Masrur (Bandung: Marja, 2015), h. 169
3
Edward W. Said menyebut bahwa Inggris merupakan negara yang memiliki
sejarah panjang ihwal tradisi orientalisme. Berbagai studi ketimuran dan keislaman menjadi
objek kajian mereka, termsuk di dalamnya adalah kajian hadis, itulah sebabnya tidak
mengherangkan bila negara ini melahirkan banyak tokoh-tokoh orientalis hadis. Lihat
Edwar W. Said, Orientalisme, terj. Asep Hikmat (Bandung: Pustaka: 1978), h. 334 ; lihat
juga dalam A. Badawi, Ensiklopedi Tokoh Orientalis (Yogyakarta: LKiS, 2003), h. 30
4
Michael Cook, Kontroversi Hadis: Percaturan dan Pertarungan awal Islam , terj.
Ali Masrur, h. 169
5
Dalam mencari data-data tentang kehidupan Michael Cook, penulis menghadapi
berbagai kesulitan disebabkan karena masih terbatasnya tulisan yang mengungkapkan
riwayat hidupnya secara lengkap. Selain itu, data yang ditampilkan oleh wikipedia.org dan
website universitas Princeton hanya menjelaskan lebih banyak tentang karir ilmiahnya
18
19
Michael Cook adalah salah satu intelektual yang paling penting, produktif
dan berpengaruh yang aktif sampai saat ini dalam bidang sejarah Islam, studi
Qur’an, studi hadis, teologi Islam, dan beberapa bidang dan sub bidang yang
terkait. Karyanya menggali banyak topik dan berbagai disiplin ilmu.
dibanding perjalan karirnya. Oleh karena itu, untuk melengkapi data-data tersebut, penulis
menghubungi langsung Michael Cook melalui e-mail pada tanggal 24 April 2019 dan
mendapat respon balasan dua hari setelahnya. Michael Cook mengirimkan CV-nya kepada
penulis dalam bentuk Microsoft word sebanyak lima halaman. Dalam CV tersebut Michael
Cook menjelaskan tentang perjalanan karirnya mulai dari perjalanan studi akademiknya,
pengalaman kerja, megajar, publikasi ilmiah, dan terakhir penghargaan-pengahargaan yang
pernah diraihnya.
6
Behnam Sadeghi, The Islamic Scholarly Tradition (Leiden: Brill, 2011), h. 1
7
Kritik Michael Cook kepada Joseph Schacht dan Juynboll ditulis dalam bukunya
yang berjudul Early Muslim Dogma: A Source Critical Study. Lihat Michael Cook Early
Muslim Dogma: A Source Critical Study (Cambridge: Cambridge University Press, 1981),
h. 107-108
8
Teori ini mengatakan bahwa para periwayat hadis terbiasa menciptakan isnad-
isnad tambahan untuk mendukung sebuah matan hadis yang sama. Proses penyebaran isnad
(the spread of isnad) paling tidak dapat terjadi dalam tiga cara: pertama, melompati
20
Perhatian Cook terhadap hadis semakin intens setelah menulis buku yang
berjudul Early Muslim Dogma: A Source Critical-Study yang diterbitkan oleh
Cambridge University Press tahun 1981. Buku ini memberikan pengaruh penting
pada kajian hadis selama kurang lebih 30 tahun terakhir.9 Meski dalam bentuk
pembahasan yang berbeda dan segar, pada buku ini Cook kembali mencari jawaban
dari pertanyaannya: Apakah teks awal literartur Muslim mampu digunakan sebagai
bukti keaslian ajaran agama Islam?
Pada buku ini, Cook terlebih dahulu membahas teori yang diajukan oleh
Josef van Ess. Lalu kemudian Cook membahas teori yang ditawarkan oleh Wilfred
Madelung. Titik fokus yang dibahas Cook baik dari Josef van Ess maupun
Madelung adalah mengenai hadis Murjiah10 dan surat Ibad untuk Abdul Ma>lik.11
Baik Josef van Ess maupun Madelung, keduanya meyakini bahwa dua poin tersebut
merupakan data hadis yang berasal dari abad pertama hijriyah. Hal ini didasarkan
pada masa hidup ‘Abdul al-Malik (685-705 M).
Dengan berbagai penjelasan dan analisis terhadap argumen-argumen Josef
van Ess, Cook menunjukkan bahwa banyak gap dan inkonsistensi pada argumen
Josef van Ess mengenai penanggalan awal hadis. Selain itu Cook juga mengatakan
bahwa pada sisi historis, argumen, bahasa, dan susunan formal dari data tersebut
sudah menunjukkan bahwa hipotesis keduanya rancu.
Cook sendiri meyakini bahwa data hadis yang paling awal (yang masih bisa
diakses) terbatas pada data hadis yang ditemukan dari masa Dinasti Umayyah.
Pada akhir analisisnya, Cook masih tetap menegaskan bahwa apa yang ditawarkan
oleh Josef van Ess maupun Madelung tidak memungkinkan diyakini sebagai data
hadis awal otentik.
Ketika Michael Cook selesai menerbitkan bukunya, Early Muslim Dogma:
A Source Critical-Study, maka sejak itu ia banyak memusatkan perhatiannya pada
studi hadis dengan menuliskan banyak artikel yang fokus pada kajian hadis. Di
antaranya adalah: Eschatology and the Dating of Traditions (1992), The Opponents
periwayat yang sezaman; kedua, menyandarkan hadis pada seorang guru yang berbeda;
ketiga, mengatasi persoalan hadis-hadis yang ‚terisolasi‛. Menurut Cook, fenomena
common link tidak menunjukkan bahwa sebuah hadis benar-benar bersumber dari seorang
periwayat kunci. Oleh karena itu, metode common link yang dikembangkan oleh Juynboll
tidak dapat dipakai untuk menelusuri asal usul, sumber, dan kepengarangan hadis. Lihat
Michael Cook, Early Muslim Dogma: A Source Critical Study (Cambridge: Cambridge
University Press, 1981), h. 107-108.
9
Humpreys, R. Stephen, ‚The Scholarship of Michael A. Cook: A Restrospecive in
Progress‛, dalam Asad Q. Ahmed (ed) The Isalamic Scholarly Tradition: Studies in History,
Law, and Thought in Honor of Professor Michael Allan Cook, (Leiden and Boston: Brill,
2011), h. xxiii
10
Michael Cook, Early Muslim Dogma: A Source Critical Study, h. 23-47
11
Michael Cook, Early Muslim Dogma: A Source Critical Study, h. 51-67
21
of The Writing Traditional in Early Islam yang terbit dalam jurnal Arabica XLIV
(1997), Hadith in Late Antiquity A Guide to the Postclassical World, The
Heraclian Dynasty in Muslim Eschatology, An Early Islamic Apocalyptic
Chronicle, An Early Islamic Apocalyptic Chronicle dan Ibn Qutayba and the
Monkeys.12 Kelima karya ini adalah tulisan yang konsen pada kajian hadis. Ini
sekaligus juga membuktikan bahwa Cook adalah termasuk tokoh orientalis yang
cukup dapat diperhitungkan dalam hal kajian hadis di Barat.
Selain menulis kajian hadis, pada tahun 2000 dan 2004, Cook juga menulis
dua kajian yang bertemakan al-Quran. Tulisan ini dipublikasikan dalam jurnal
Garaeco-Arabica. Kedua artikelnya ini membahas manuskrip al-Quran paling awal.
Cook mendukung tesis yang menyatakan Usman melakukan kodifikasi,
standarisasi, penyesuaian teks resmi, dan peniadaan manuskrip lain di luar mushap
utama.13
Sejak 1986, Cook mengembangkan karier akademiknya dengan mengajar
pada Program Pascasarjana di Universitas Princeton. Di universitas ini Cook
mendapat gelar Professor dibidang kajian timur tengah (Near Eastern Studies) dan
diangkat sebagai guru besar di universitas tersebut. Mata kuliah yang diajarkannya
juga masih tidak dilepaskan dari studi sejarah. Ia mengajar mata kuliah seperti:
Sejarah Islam di Abad-abad Awal, studi al-Quran dan hadis.
Mata kuliah yang diajarkannya di program pascasarjana cenderung
disesuaikan dengan ketertarikannya sendiri dan ketertarikan mahasiswa
pascasarjana. Ia lebih suka mengajar mata kuliah yang terpusat pada teks-teks
berbahasa Arab dan dirancang untuk memberikan penjelasan kepada mahasiswa
pascasarjana tentang praktik mencari dan menemukan sumber-sumber primer. Ia
mengajar sejarah Islam di abad-abad awal. Ia mengajar mata kuliah ini setiap tahun
dan seringkali diambil oleh mahasiswa pascasarjana dengan upgrade yang sesuai. Ia
juga menawarkan matakuliah baru untuk program sarjana tentang sejarah dunia
hingga ekspansi Eropa. Ia berharap, matakuliah ini akan memberi keuntungan bagi
para mahasiswa pascasarjana untuk mengamati sejarah Islam.14
Kecintaannya terhadap ilmu mendorong dirinya mempelajari beberapa
bahasa, selain bahasa inggris yang menjadi bahasanya sendiri ia juga menguasai
12
Kelima karya tersebut penulis peroleh langsung dari Michael Cook melalui
jawaban e-mail pada tanggal 23 April 2019. Sehari sebelumnya penulis mengirim e-mail
untuk meminta beberapa data tentang beliau, termasuk di antaranya adalah beberapa karya
beliau yang fokus pada kajian hadis.
13
Humpreys, R. Stephen, ‚The Scholarship of Michael A. Cook: A Restrospecive
in Progress‛, dalam Asad Q. Ahmed (ed) The Isalamic Scholarly Tradition: Studies in
History, Law, and Thought in Honor of Professor Michael Allan Cook, (Leiden and Boston:
Brill, 2011), h. xxiv
14
Michael Cook, Kontroversi Hadis: Percaturan dan Pertarungan awal Islam , terj.
Ali Masrur, h 170
22
bahasa Arab. Selain itu, ia juga menguasai bahasa Turki dan Persia. Ia
menghabiskan waktu selama dua tahun untuk mempelajari bahasa Turki dan Persia
di King’s College, Cambridge 1959–1963. Cook mempelajari ketiga bahasa
tersebut untuk membantu menggali informasi dan data penelitian ilmiahnya.
Mayoritas penelitiannya memiliki keterkaitan dengan karya-karya yang berbahasa
Arab, Turki dan Persia.
Dalam kehidupan kesehariannya, Michael Cook menghabiskan waktu
dalam penelitian, mengajar dan membimbing disertasi. Ia telah membimbing
beberapa disertasi sejak ia mengajar di Universitas Princeton. Beberapa orang yang
telah dibimbing disertasinya oleh Michael Cook di antaranya adalah Michael
Bonner yang menulis disertasi tentang Garis Perbatasan Bizantium-Arab di zaman
Abbasiyah awal. Keith Lewinstein menulis disertasi tentang analisa terhadap
pembentukan dan transmisi literature heresiografi Islam di masa awal. Jon Katz
mengkaji buku harian yang berisi mimpi-mimpi seorang sufi Afrika Utara yang
eksentrik di akhir abad pertengahan, dan lain-lain.
Michael Cook sebagai seorang ilmuwan kelas dunia telah banyak menerima
penghargaan dan nominasi. Penghargaan yang diterimahnya tidak hanya berasal
dari negaranya tapi juga dari luar negeri. Adapun penghargaan dan nominasi yang
diterimahnya adalah sebagai berikut:
1. Terpilih mejadi anggota American Philosophical Society, (2001).
2. Memenangkan 1,5 juta dolar dalam Distinguished Achievement Award dari
Mellon Foundation atas karya yang memberikan kontribusi penting dalam
bidang Humanities Research, (2002).
3. Terpilih sebagai anggota dari American Academy of Arts and Sciences, (2004).
4. Memenangkan Howard T. Behrman Award for Distinguished Achievement
dalam kategori Humanities di Universitas Princeton, (2006).
5. Memenangkan Farabi Award in the Humanities and Islamic Studies, (2008).
6. Mendapat penghargaan sebagai sejarawan Cambride dalam hal sejarah Islam
pada acara Asosiasi Sejarah Amerika, Waldo G. Leland Prize, (2011).
7. Mendapatkan gelar doktor kehormatan dari Universitas Leiden (2013).
8. Mendapat Nobel penghargaan dari The Holberg Prize sebagai sejarawan Islam
(2014).
9. Mendapatkan pengahargaan President’s Award sebagai pengajar terkemuka di
Universitas Priceton, (2016)
10. Mendapatkan Honorary Fellowship dari King’s College, Cambridge, (2017).
B. Karya-karya Michael Cook
Sebagai tokoh orientalis, Michael Cook termasuk salah satu tokoh orientalis
yang terbilang gemilang, setidaknya kegemilangan intelekualnya dapat dilihat dari
23
karya-karya yang berhasil ia terbitkan, baik dalam bentuk buku maupun artikel,
yang pada gilirannya ikut memberikan sumbangan terhadap studi Islam.
Michael Cook termasuk penulis yang sangat produktif. Sejauh ini, Cook
telah menghasilkan 59 karya, yaitu 14 buku dan 45 artikel. Karya-karya tersebut
meliputi berbagai persoalan seperti, sejarah Islam, ilmu kalam, hukum Islam, studi
al-Qur’an dan hadis, kebudayaan Islam, ekonomi dan lain-lain. Karya-karya itu di
antaranya:
1. Karya - Karya Michael Cook dalam Bentuk Buku
a. Studies in the Economic History of the Middle East from the Rise of Islam
to the Present Day, diedit dengan tambahan pengantar, Oxford University
Press, 1970.
b. Population Pressure in Rural Anatolia, 1450–1600, Oxford University Press,
1972.
c. A History of the Ottoman Empire to 1730, diedit dengan tambahan
pengantar (ditulis bersama V.J. Parry, dkk), Cambridge University Press,
1976.
d. Hagarism: The Making of the Islamic World (dengan Patricia Crone),
Cambridge University Press, 1977.
e. Early Muslim Dogma: A Source-Critical Study, Cambridge University Press,
1981/2003.
f. Muhammad, Oxford University Press, 1983 (pada Seri ‚Past Masters‛);
dicetak ulang dalam M. Carrithers,dkk, Founders of Faith, Oxford University
Press, 1986; ditulis kembali dalam, Oxford University Press, 1996.
Terjemahan: Hebrew, Bialik Institute, Jerusalem, 1989; Chinese, Chung-kuo
she hui k’o hsüeh ch’u pan she, Peking, 1990; Czech, Odeon, Prague, 1994;
Polish, Proszynski i-Ska, Warsaw, 1999.
g. The Koran: A Very Short Introduction, dalam Seri ‚Very Short
Introductions‛, Oxford: Oxford University Press, 2000. Terjemahan: Italian,
Einaudi, Turin, 2001; Polish, Proszynski i-Ska, Warsaw, 2001; Portuguese,
Temase Debates, Lisbon, 2001; German, Phillip Reclam jun., Stuttgart,
2002; Danish, Fortlaget Vandkunsten K/S, 2003; Korean, Seoul, Imprima
Korean Agency, 2004; Romanian, Bucharest, Allfa, 2004; Bulgarian,
Izdatelstvo ‚Zakhariy Stoyanov‛, Sofia, 2004; Japanese, Iwanami Shoten,
Tokyo, 2005; Hebrew, Yed‘iot Akharonot, Tel Aviv, 2006; Portuguese,
Quasi Edições, Vila Nova de Famaliçaõ, 2006; Russian, AST: Astrel’,
Moscow, 2007; Spanish, Editorial Océano de México, Mexico City, 2007.
h. Commanding Right and Forbidding Wrong in Islamic Thought, Cambridge:
Cambridge University Press, 2000/2002 (mendapat Penghargaan Albert
Hourani Book Award oleh the Middle East Studies Association of North
24
aa. Comment (pp. 29–30) dan Comment (pp. 194–9) dalam P. Bernholz dan R.
Vaubel (ed.), Political Competition, Innovation, and Growth in the Historyof
Asian Civilizations, Cheltenham: Edward Elgar, 2004.
bb. Studies in the origins of early Islamic culture and tradition, Aldershot and
Burlington, Ashgate (Variorum), 2004 (a collection of twelve articles
originally published elsewhere).
cc. Encyclopaedia of Islam, New Edition, Supplement, Fascicules 9-10, Leiden:
Brill, 2004, pp. 644-6, article ‚al-Nahy ʿan al-munkar‛. Comments in P.
Bernholz and R. Vaubel (ed.), Political competition, innovation and growth
in the history of Asian civilizations, Cheltenham: Edward Elgar, 2004,
‚Comment‛, pp. 29-30, and ‚Comment‛, pp. 194-9.
dd. Encyclopaedia of the Qurʾān, volume 5, Leiden: Brill, 2006, pp. 436-43,
article ‚Virtues and Vices, Commanding and Forbidding‛.
ee. Virtues and Vices, Commanding and Forbidding, Encyclopedia of the
Qur’an, vol. 5, Brill, 2006.
ff. On Islam and Comparative Intellectual History, Daedalus: Journal of the
American Academy of Arts and Sciences, vol. 135, no. 4, 2006. Terjemahan
berbahasa Spanyol: ‚Islam e historia intelectual comparada‛, Revista de
Libros de la Fundaci.n Caja Madrid, no. 131, Nov. 2007.
gg. Ibn Sa’di on Truth-Blindness, Jerusalem Studies in Arabic and Islam, vol. 33,
2007.
hh. The Namesake Taboo, Muqarnas, vol. 25, 2008.
ii. Islam: history’s first shot at a global culture?‛, in D.A. Yerxa (ed.), Recent
themes in world history and the history of the West: historians in
conversation, Columbia: University of South Carolina Press, 2009, pp. 46-52.
jj. Ḥadīthī muʿammāʾī dar bāb-i qibla dar al-Kāfī-i Kulaynī, ʿUlūm-u Ḥadīth,
Spring 1388 shamsī, pp. 150-70.
kk. Did the Prophet Muḥammad keep court? In A. Fuess and J.-P. Hartung,
Court cultures in the Muslim world: seventh to nineteenth centuries, London
and New York: Routledge, 2011, pp. 23–9.
ll. Why incline to the left in prayer? Sectarianism, dialectic, and archaeology in
Imami Shi‘ism, in M. Cook and others (ed.), Law and tradition in classical
Islamic thought: studies in honor of Professor Hossein Modarressi, New
York: Palgrave Macmillan, 2013, pp. 99–124
mm. Is political freedom an Islamic value? In Q. Skinner and M. van Gelderen
(ed.), Freedom and the construction of Europe, Cambridge 2013, vol. 2, pp.
283–310.
nn. The appeal of Islamic fundamentalism, Journal of the British Academy, vol.
2 (2014), pp. 27–41.
27
oo. Written and oral aspects of an early Wahhābī epistle, Bulletin of SOAS, 78
(2015), pp. 161–78.
pp. Muḥammad’s deputies in Medina, in al-ʿUṣūr al-Wusṭā, vol. 23 (2015), pp.
1–66.
qq. War der Prophet Mohammed ungerecht zu einem Blinden? In W. Steul and
others (ed.), Koran erklärt: Ein Beitrag zur Aufklärung, Berlin 2017, pp. 78–
80.
rr. Early medieval Christian and Muslim attitudes to pagan law: a comparison ,
in C. Bakhos and M. Cook (ed.), Islam and its past: Jahiliyya, late antiquity,
and the Qur’an, Oxford 2017, pp. 213–46.
ss. Comparing Carolingians and ʿAbbasids, in D.G. Tor (ed.), The ʿAbbasid and
Carolingian empires: comparative studies in civilizational formation, Leiden:
Brill, 2018, pp. 191–219.
3. Karya-Karya Michael Cook dalam Ranah Studi Hadis
Dari karya-karya Michael Cook di atas baik yang dalam bentuk buku
maupun artikel terbagi dalam berbagai persoalan disiplin ilmu, di antaranya:
Sejarah Islam, Ilmu Kalam, Fikhi dan hukum Islam, Ekonomi, Studi al-Quran, dan
termasuk di antaranya adalah studi hadis. Dari 52 karya Cook di atas, terdapat 9
tulisan yang berkaitan dengan kajian hadis. Hal ini menunjukkan bahwa Michael
Cook adalah termasuk orientalis yang banyak memusatkan perhatian pada studi
kajian hadis.
Salah satu buku Cook yang bisa disebut sebagai magnum opus karya-
karyanya adalah buku yang berjudul Early Muslim Dogma: A Source-Critical Study
terbitan Cambridge University Press, yang dicetak pada tahun 1981. Di dalam buku
ini berisi analisis Cook dalam perdebatan sumber otoritas dasar Islam pada masa
awal. Termasuk di dalamnya perdebatan penyebaran hadis dan juga indikasi
fenomena Common Link.
Selain buku Early Muslim Dogma: A Source-Critical Study, buku yang
dapat dijadikan sebagai rujukan penting dalam wacana hadis adalah buku yang
berjudul Studies in the Origins of Early Islamic Culture and Tradition. Diterbitkan
pertama kali di kota Aldershot dan Burlngton oleh penerbit Asghate (Variorum)
pada tahun 2004. Buku ini sebenarnya bukanlah buku Cook secara langsung.
Namun buku ini merupakan kumpulan tulisan dan artikel Cook yang tersebar
diberbagai jurnal-jurnal ilmiah seantero dunia. Misalnya jurnal Princeton Papers in
Near Eastern Studies, Studies Islamica, Al-Qantara, Jerussalem Studies in Arabic
and Islam, Bulletin of The School of Oriental and African Studies, Journal of Near
Eastern Studies, Arabica, dan jurnal Graeco-Arabica. Jurnal-jurnal ini terbit
diberbagai kota dunia, semisal Leiden, Paris, Athena, London, Jerussalem, Chicago,
dan Madrid.
28
Buku Studies in the Origins of Early Islamic Culture and Tradition ini
mencakup 12 artikel Cook yang empat diantaranya berbicara tentang tema hadis.
Sisanya membicarakan tema hukum Islam dan persoalan teologi. Artikel Cook yang
pertama dalam buku tersebut adalah artikel yang berjudul ‚The Heraclian Dynasty
in Muslim Eschatology‛, diterbitkan dalam jurnal al-Qantara, vol. 13, pada tahun
1992. Dalam artikel ini terlihat sejauh mana apresiasi Cook yang tinggi terhadap
wacana hadis.15
Artikel kedua yang bisa dijadikan sebagai sumber perdebatan keaslian hadis
adalah artikel Cook berjudul ‚Eschatology and the Dating of Traditions‛, yang
diterbitkan dalam B. Lewis dan C. Issawi (ed.), Princeton Papers, Number 1, pada
tahun 1992. Pada karyanya yang satu ini, Cook berusaha mencari metode
pananggalan hadis yang menjadi diskursus utama wacana hadis di barat. Pada
artikelnya yang satu ini, Cook banyak menganalisa pemikiran dan pendapat
Schacht, Jorge Aguade, dan Wilfred Madelung. Cook mengkritik metode Common
Link yang selama ini diterapkan dikalangan Schachtian16. Pada artikel ini pula
Cook mengkaji jalur-jalur isnad yang disinyalir sebagai fenomena Common Link.17
Artikel Cook yang ketiga adalah artikel yang berjudul ‚The Opponents of
the Writing of Tradition in Early Islam‛, di dalam jurnal Arabica, vol. 44, pada
tahun 1997. Artikel ini banyak mendapat apresiasi sehingga diterjemahkan kedalam
dua bahasa, yaitu diterjemahkan kedalam bahasa Persia dengan judul Mukhalifan-i
nigarish-i hadith dar sadr-I islam yang diterbitkan dalam jurnal ‘Ulum-i Hadith, di
kota Qom. Selanjutnya artikel ini juga diterjemahkan dalam bahasa Indonesia
dengan judul Kontroversi Hadis: Percaturan dan Pertarungan Awal Islam yang
diterbitkan di Bandung dengan Penerbit Marja, pada tahun 2015. Tulisan Cook ini
dapat digunakan sebagai bahan untuk mencari data informasi sejarah awal
penulisan hadis.18
Selain karya-karya di atas, masih terdapat banyak karya Cook yang
berkaitan dengan hadis. Secara keseluruhan dari 52 karya Cook terdapat 9 karyanya
yang bersinggungan dengan kajian hadis. Diantara karya-karyanya tersebut adalah:
1. Early Muslim Dogma: A Source-Critical Study, Cambridge University Press,
1981/2003.
15
Baca Michael Cook, ‚The Heraclian Dynasty in Muslim Eschatology‛ dalam
Micahel Cook, Studies in the Origins of Early Islamic Culture and Tradition , (Great Britain:
Asghate Variorum), 2004
16
Sebutan bagi para pengikut Joseph Schacht
17
Baca Michael Cook, ‚Eschatology and the Dating of Traditions‛, h. 23-47 dalam
Michael Cook, Studies in the Origins of Early Islamic Culture and Tradition , (Great Britain:
Asghate Variorum), 2004
18
Baca Michael Cook, ‚The Opponents of the Writing of Tradition in Early
Islam‛, h. 437-530 dalam Michael Cook, Studies in the Origins of Early Islamic Culture
and Tradition, (Great Britain: Asghate Variorum), 2004
29
2. Eschatology and the Dating of Traditions, dalam B. Lewis dan C. Issawi (ed.),
Princeton Papers, Number 1, 1992.
3. The Opponents of The Writing Traditional in Early Islam, Arabica, vol. 44,
1997. Terjemah berbahasa Persia: Mukhalifan-i nigarish-i hadith dar sadr-I
islam, ‘Ulum-i Hadith, nos. 8–10 (1377 AH, Qom). Indonesia: Kontroversi
Hadis: Percaturan dan Pertarungan Awal Islam, (Bandung: Penerbit Marja,
2015)
4. The Heraclian Dynasty in Muslim Eschatology, Journal Al-Qantara, Vol 13,
1992.
5. An Early Islamic Apocalyptic Chronicle, Journal of Near Eastern Studies, vol.
52, 1993.
6. Ibn Qutayba and the Monkeys, Studia Islamica, Vol. 89, 1999.
7. Van Ess’s Second Volume: A Testing Sample, Bibliotheca Orientalis, vol. 51,
1994.
8. Hadith and Muhammad, G.W. Bowersock, Peter Brown, dan Oleg Grabar
(ed.), Late Antiquity: A Guide to the Post-Classical World, Cambridge dan
London: Belknap Press of Harvard University Press, 1999.
9. Hadi>th Mu’amma>’i> Dar Ba>b Qibla Da>r al-Ka>fi Kulayni>, Ulum Hadith, Spring
1388, pp. 150-70.
C. Posisi Michael Cook dalam Peta Studi Hadis di Kalangan Orientalis
Bila ditelisik lagi lebih jauh secara umum, metode pendekatan yang
dilakukan orientalis dalam studi Islam,19 agama dan budaya Timur dapat di
pisahkan dalam dua hal. Pertama, normatif, yaitu studi terhadap agama dan budaya
lain yang didasarkan atas dorongan komitmen keagaman yang kuat dari para
penelitinya (outsider). Peneliti ada maksud untuk melakukan konversi agama dari
kelompok yang dijadikan objek penelitian. Kedua, model deskriptif yaitu hanya
sekedar ingin memenuhi rasa ingin tahu intelektual (intellectual curiosity) serta
mencari kejelasan (clarity) dalam memahami objek yang dikaji sebagaimana
adanya.20 Model deskriptif ini dapat difahami bahwa tidak semua orientalis ketika
mengkaji Islam dan budaya Timur mempunyai pandangan awal yang negatif.
Bahkan sering kali pandangan satu orientalis bertolak belakang dengan orientalis
lainya. Akan tetapi pembagian metode pendekatan seperti ini tidaklah selalu sesuai
dengan kenyataan sebagaimana yang dilakukan oleh beberapa orientalis yang sering
19
Namun dewasa ini ada kecenderungan dari mereka yang melakukan studi
keislaman untuk tidak menggunakan kata orientalis sebagai nama buat mereka tetapi
menunjuk diri mereka dengan nama Islamist. Lihat, M. Quraish Shihab, ‚Orientalisme‛
dalam Jurnal Studi Al-Qur’an Vol. 1, No. 2, 2006, h. 44.
20
Charles J. Adams, Islamic Religious Traditions dalam Leonard Binder , The
Study of Middle East: Research and Scholarship in the Humanities and Social Sciences,
(New York, 1976), h. 34.
30
keluar dari dua metode pendekatan diatas. Hal ini tentunya terlihat dalam studi
teks, naskah (hadis/al-Qur’an).
Bila ditinjau dari segi asumsi pandangan-pandangan orientalis tentang
hadis, maka ditemukan ada banyak analisis dan klasifikasi pemetaan kajian hadis
yang dilakukan oleh mereka. Di antara analisis klasifikasi dan pemetaan orientalis
dalam kajian hadis yang cukup komprehensif adalah klasifikasi yang dilakukan oleh
Herbert Berg. Dalam bukunya yang berjudul The Development of Exegesis in Early
Islam, Herbert Berg termasuk sukses dalam memetakan tokoh-tokoh yang bergelut
dalam perdebatan hadis.21 Selain Herbert Berg, terdapat tiga tokoh di Indonesia
juga melakukan hal yang sama, yaitu Kamaruddin Amin, Mun’im Sirri dan Ali
Masrur.22 Namun dari pemetaannya tidak berbedah jauh dengan Herbert Berg.
Jika mengacu pada klasifikasi sikap orientalis yang dibuat oleh Herbert
Berg. Maka bisa diambil 4 aliran. Pertaman, aliran skeptis/skeptisisme awal (Early
Western Scepticisme).23 Aliran ini dipelopori oleh Ignaz Goldziher,24 Joseph
Schacht,25 Joseph van Ess,26 dan beberapa tokoh orientalis lain yang memakai
pendekatan keduannya. Kelompok ini berusaha meragukan autentisitas hadis
dengan argumentasi bahwa telah terjadi pemalsuan besar-besaran dalam sejarah
periwayatannya. Misalnya, Ignaz Goldziher mengatakan bahwa hadis tidak dapat
diyakini validitasnya serta banyak terjadi pemalsuan hadis. Lebih lanjut Goldziher
mengatakan bahwa hadis lebih banyak diriwayatkan oleh orang-orang belakangan
dibandingkan orang-orang di masa awal.27
Senada dengan Goldziher, Joseph Schacht juga mewariskan sikap skeptis
terhadap hadis. Schacht mengemukakan pendapat yang benyak diapresiasi berbagai
ilmuan. Schacht mengkritik hadis pada beberapa sisi, di antaranya pada sistem
Isna>d yang menjadi tumpuan otentisitas hadis.28 Dalam buku The Origins of
Muhammad Jurisprudence, Schacht memfokuskan kajiannya pada tema keaslian
hukum Islam dan dalil syariah. Salah satu poin penting yang dia angkat adalah
21
Herbert Berg membagi kajian di barat atas hadis berdasarkan segi asumsi
menjadi empat, yakni Early Western Scepticism, Reaction Agagains Scepticism, The
Search for Middle Ground dan Renewed Scepticism. Mengenai pembagian ini dapat dilihat
dalam Herbert Berg, The Development of Exegesis in Early Islam, (Curzon, 2000) h. 8-50
22
Ali Masrur membagi kajian hadis di barat menjadi tiga kategori, yaitu: aliran
revisionis, tradisionalis, dan tengah-tengah. Pembagian ini bisa dibaca dalam Ali Masrur,
Teori Common Link G.H.A Juynboll, h. 31-35
23
Herbert Berg, The Development of Exegesis in Early Islam, (Curzon, 2000) h. 8-
9
24
Ignaz Goldziher, Muslim Studies, 2 vols (London) 1967
25
Joseph Schacht, The Origins of Muhammad Jurisprudence (Oxpord) 1950
26
Joseph van Ess, Zwischen Hadit und Theologie (Berlin) 1950
27
Herbert Berg, The Development of Exegesis in Early Islam (Curzon, 2000) h. 9-
12
28
Idri, Hadis dan Orientalis (Depok: Kencana, 2017), h. 183
31
29
Herbert Berg, The Development of Exegesis in Early Islam (Curzon, 2000) , h.
18
30
Fuat Seigzin, Geschichte des Arabichen Scriftums (Leiden) 1967
31
Nabia Abbot, Studies in Arabic Literary Papyri II, Quranic Commentary and
Tradition (The University of Chicago Press), 1967
32
M. Mustafa Azami, Studies in Early Hadith Lierature with a Critical Edition of
some Early Text (Beirut) 1968
33
Herbert Berg, The Development of Exegesis in Early Islam (Curzon, 2000) , h.
21
34
Herbert Berg, The Development of Exegesis in Early Islam (Curzon, 2000) , h.
18
35
Herbert Berg, The Development of Exegesis in Early Islam (Curzon, 2000) , h.
23-26
32
bahkan membuat bagan isna>d tandingan meski belakangan kritikan Azami dinilai
kurang memadai karena dianggap tidak memahami konsep dari Schacht sendiri.
Ketiga, aliran tengah (middle ground).36 Aliran ini dipelopori oleh G.H.A.
Juynboll,37 Grego Schoeler,38 Harald Motzki39 dan beberapa tokoh lain. Aliran ini
berusaha mencari jalan tengah dan menengahi ketegangan antara kelompok skeptis
dengan kelompok penentang skeptis. Juynbol misalnya berusaha mengkritisi teori
Schacht. Tapi di sisi lain Juynboll juga mengkritisi sanggahan dari Azami. Hal yang
sama juga dilakukan oleh Harald Motzki,40 di satu sisi dia bersinggungan dengan
kelompok pertama, namun lain pihak dia juga tidak sependapat dengan kelompok
kedua. Ada beberapa pendapatnya yang sama dengan para orientalis lain yang
bersifat skeptis dalam memandang hadis. Namun juga ia mengkritik satu persatu
teori-teori para ilmuan Barat tentang hadis mulai dari Ignaz Goldziher, Joseph
Schacht, Norman Calder dan lain-lain.41
Keempat, aliran Neo Skeptisisme (Renewed Scepticisme).42 Kelompok ini
dinilai sebagai kelompok yang memberikan pandangan skeptisisme baru. Mereka
36
Herbert Berg, The Development of Exegesis in Early Islam (Curzon, 2000) , h.
26
37
Beliau dijuluki sebagai The Search of Middle Ground yaitu golongan moderat di
antara Early Western Scepticism (golongan skeptis awal) dengan Reaction Againts
Scepticism (golongan reaksionis atas paham skeptis). Baca G.H.A. Juynboll, Muslim
Tradition. Studies in Chornology, Provence and Authorship of Early Hadith, Cambirdge
1983
38
Herbert Berg, The Development of Exegesis in Early Islam (Curzon, 2000) , h.
34-36
39
Harald Motzki, The Origins of Islamic Jurisprudence Meccan Fiqh Before The
Classical Schools, Leiden, Brill 2002
40
Terdapat perbedaan dalam menempatkan posisi Junyboll diantara pemikir
pengkaji hadis modren di Barat, Wael B.Hallaq dan Michel Cook menempatkan Juynboll
pada aliran pertama semazhab dengan Ignaz dan Schacht. Lain lagi dengan David S. Power
dan Herbert Berg menggolongkan Junyboll ke dalam the search for middle ground
(pencarain jalan tengah). Perbedaan ini berdasarkan paradigm yang dipakai oleh Junyboll
dalam studi hadis, selain itu juga ada yang memperhatikan hasil temuannya yang sedikit
banyaknya menjembatani gap antara kelompok pertama dan ketiga. Namun bila dilihat dari
tulisan-tulisan Junyboll, adanya rasa kekaguman dari karya-karya Ignaz dan Schacht. Lebih
lanjut lihat Ali Masrur, Teori Common Link G.H.A. Junyboll; Melacak Akar Kesejaraha
Hadis Nabi, (Yogyakarta; LkiS, 2007), h. 48-50.
41
Kamaruddin Amin, ‚Book Review of the Origin of Islamic Jurisprudence: Mecca
Fikih before Classical Schools‛, dalam Al-Ja>mi’ah: Jurnal of Islamic Studies, Vol. 41, No. 1
(2003), h. 202; Harald Motzki, The Mus}annaf of Abd Razza>q al-San’a>ni> as a Source of
Authentic Aha>di>s of ;the First Century A.H dalam Near Eastern Studies, 50 (1991), h. 1-21;
juga Ali Masrur, Penerapan Metode Tradition-Historical dalam , The Mus}annaf of Abd
Razza>q al-San’a>ni> dan Imlikasinya terhadap Persoalan Dating Hadis dan Perkembangan
Fikih Mekkah‛, dalam Jurnal Teologia, Vol. 24, No. 1, Januari-Juni 2013.
42
Herbert Berg, The Development of Exegesis in Early Islam (Curzon, 2000) , h.
48
33
meragukan otentisitas hadis Nabi dengan mengacu pada metode para kelompok
skeptis awal, selain itu mereka juga menggunakan metodenya sendiri. Tokoh tokoh
yang termasuk ke dalam fase keempat ini adalah Michael A. Cook, Patricia Crone
dan Norman Calder.43 Dengan demikian, berdasarkan dari hasil klasifikasi di atas,
tampak jelas bahwa Herbert Berg menempatkan Cook dalam kelompok Neo
Skeptis (Renewed Scepticism). Meskipun pada dasarnya Cook sendiri tidak mau
menyebut dirinya sebagai kelompok Renewed Scepticism, namun ia tidak
memungkiri bahwa dirinya skeptis dalam memandang hadis.44
Sejalan dengan Herbert Berg, Kamaruddin Amin mengatakan bahwa
Michael Cook merupakan pewaris dari pemikiran-pemikiran Joseph Schacht.
Namun demikian, meskipun Cook dipengaruhi oleh pemikiran hadis Schacht, Cook
tidak serta merta menerima secara keseluruhan gagasan yang ditawarkan oleh
Schacht utamanya tentang teori Common Linknya. Teori ini telah diperluas dan
dikembangkan lebih lanjut oleh Cook. Di samping itu, Cook juga melakukan
kritikan atas teori Coommon Link yang dicetuskan oleh Schacht dan Juynboll.45
Penilaian yang sama juga dilakukan oleh Mun’im Sirry dalam bukunya
Kontroversi Islam Awal antara Mazhab Tradisionalis dan Revisionis, yang mana
bila dilihat dari pemaparannya dapat dikatakan bahwa beliau mengkategorikan
Cook sebagai tokoh orientalis yang beraliran skeptis. Hanya saja, Mun’im
menggunakan istilah lain, tidak menggunakan istilah Neo Skeptisisme. Beliau
menyebutnya dengan istilah Revisonis Radikal. Menurut Mun’im, Revisonis
Radikal yaitu sebuah aliran yang meragukan sumber-sumber Muslim tradisional
yang normatif atas teori kemunculan Islam awal. Yaitu Mereka mempertanyakan
apakah sumber-sumber Muslim Tradisionalis itu dapat dipertanggungjawabkan
secara akademis atau tidak, mengingat sumber-sumber tersebut baru ditulis
43
Norman Calder, Studies in Early muslim Jurisprudence, Oxford, 1993. Baca juga
Book Review atas karya Calder tersebut: Book Reviews of Norman Calder: Studies in Early
Muslim Juresprudence, by Yasin Dutton dalam Journal of Islamic Studies, Vol 5 Number 1
januari 1994, h. 102
44
Cook mengakui bahwa dirinya termasuk golongan skeptis, tetapi kurang setuju
apabila dikategorisasikan sebagai Renewed Scepticism sebagaimana yang dibuat Berg.
Cook mengatakan dalam balasan e-mailnya pada bulan april 2019 ‚Someone else asked me
abaout Breg’s classification recently, and I replied as blow. I think he would be right to
include me as taking a skeptical view. Thai I criticized the common link theory is correct. I
took me a while to find a copy of the book, but I looked at the introductory chapter, and it
seemed to me that in general he has given a useful analysis of the divergent opinions. But I
saw a problem with chronology (Motzki’s work came later than the work he categorises as
‚renewed skepticism‛), and in some cases I don’t think his account of the views of scholars
is accurte‛.
45
Kamarudddin Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis
(Jakarta: PT Mizan Publika, 2009), h. 145
34
belakangan, yaitu lebih dari seratus tahun pasca wafatnya Nabi Muhammad.46 Dari
sini dapat dikatakan bahwa Mun’im Sirry memasukkan Michael Cook dalam
kelompok Neo Skeptisisme (Renewed Scepticism).
Dimasukkannya Cook dalam kelompok Renewed Scepticism tidak terlepas
dari sikapnya yang meragukan otentisitas hadis khususnya proses penyebaran hadis.
Dan bisa dikatakan bahwa sikap skeptis Cook tidak lepas dari pengaruh skeptisisme
tokoh-tokoh pendahulunya. Utamanya banyak dipengaruhi oleh pemikiran Schacht.
Hal ini juga dikuatkan oleh pendapat Wael B. Hallaq. Menurutnya, respon para
sarjana barat terhadap pemikiran hadis Joseph Schacht melahirkan tiga kelompok,
yaitu (1) pihak yang berupaya keras mempertahankan pendapat Schacht (2) pihak
yang menolak pendapat beliau dan (3) pihak yang mencari jalan tengah. Dari ketiga
kategori tersebut, Wael B. Hallaq memasukkan Michael Cook dalam kelompok
pertama, yaitu kelompok yang sejalan dengan pemikiran Joseph Schacht.47
Meskipun Cook sendiri tidak mengakui bahwa dia penganut ajaran
Schacht. Namun jika mendalami lebih pemikiran Cook dan Schacht, maka benang
merahnya akan muncul. Teori dasar yang memunculkan pandangan Cook baik
mengenai fenomena Common Link maupun teori The Spread of Isnad> sebenarnya
lahir dari apresiasi Cook yang besar terhadap teori Backward Projectionnya
Schacht. Sikap skeptis dari Cook terhadap sistem penyebaran isnad> sebenarnya
juga sangat tercermin dengan apa yang Schacht lakukan.
Pada titik hipotesis bahwa sistem isnad> adalah palsu sebenarnya baik Cook,
Schacht, bahkan Juynboll hampir sama. Objek materi yang mereka kaji sama,
namun pada akhirnya menghasilkan kesimpulan yang justru berbeda. Ada dua poin
yang bisa diambil: Pertama, Schacht sendiri meyakini bahwa hadis berkembang
dengan cara menyebar ke belakang. Hal ini menunjukan bahwa sistem isnad>
merupakan ‚rekaan‛, ‚ciptaan‛, dan ‚pemalsuan‛ dari rawi-rawi. Juynboll pun
mengamini paradigma ini. Namun meski sistem isnad> ini merupakan hasil
pemalsuan, baik Juynboll maupun Schacht meyakini bahwa sistem yang palsu ini
tetap membuka peluang untuk menemukan si pembuat hadis (yang kemudian
disebut dengan Common Link) dengan cara membandingkan jalur-jalur dan redaksi
matan hadis yang muncul. Maka jika si pemalsu dapat ditemukan maka artinya
sumber dan kapan hadis itu muncul bisa ditemukan. Sehingga tidak salah jika
Juynboll dan Schacht meyakini bahwa si Common Link dapat menjadi informasi
kunci untuk penanggalan hadis.
46
Mun’im Sirry, Kontroversi Islam Awal antara Mazhab Tradisionalis dan
Revisionis (Yogyakarta: Mizan, 2015), h. 85
47
Wael B. Hallaq, The Authenticity of Prophetic Hadith: A Pseudo-problem (Studi
Islamica, 1991), h. 75-76
35
Kedua, Cook berpijak dengan kuat pada hipotesis sistem penyebaran isna>d
adalah hasil pemalsuan. Oleh karena itu sejak awal Cook sudah memperlihatkan
sikap skeptisnya. Jika Schahct maupun Juynboll meyakini bahwa si pemalsu
(Common Link) masih bisa ditelusuri. Sedangkan Cook sangat skeptis dengan
pendapat tersebut. Cook meragukan kalau tidak dikatakan sangat sulit untuk
menemukan si pemalsu kunci. Karena pada dasarnya sistem isna>d yang menyebar
ke belakang itu sudah palsu. Maka tindakan pemalsuan bisa terjadi di level mana
saja, pada thabaqah mana saja, dan pada jalur isnad> yang mana saja.
Dari penelitian ini terlihat bahwa pada dasarnya baik Cook maupun
Schacht dan Juynboll hampir sama dalam memahami apa yang disebut dengan
Common Link. Hanya saja yang berbeda adalah cara pandang Cook terhadap sistem
isnad> secara keseluruhan berakibat pada cara pandang Cook terhadap Common
Link. Jika Common Link diartikan sebagai pemalsu hadis saja, maka pada titik ini
Cook pun berpendapat begitu. Namun jika Common Link dipahami sebagai
pemalsu kunci, Cook tidak sependapat. Karena bagi Cook, tidak ada pemalsu kunci
karena bisa saja pemalsuan tersebut selain dilakukan oleh orang yang diduga
memalsukan juga dilakukan oleh rawi lain. Bagaimana mungkin mendapatkan
periwayat kunci jika pemalsuan terjadi secara masif. Maka tidak salah jika
kemudian dikatakan bahwa Common Link yang difahami oleh Juynboll dan
Schacht tidak dapat dipakai sebagai sumber penanggalan hadis.
Dari penjelasan di atas, poin penting yang bisa diambil bahwa Cook skeptis
terhadap teori Common Link yang dikembangkan dan dipahami oleh Schahct dan
Juynboll. Hal ini berdasarkan kenyataan bahwa Cook terlebih dahulu sudah skeptis
terhadap cakupan umum dari sistem penyebaran isnad> nya. Jadi bisa dikatakan
bahwa Cook ‚skeptis terhadap aliran skeptis‛. Sikap skeptis Cook terhadap
Common Link jelas meruntuhkan teori tersebut. Sehingga sia-sia saja orang
mencari sumber penanggalan hadis via Common Link.
Pada akhirnya jelas mengapa Cook masuk dalam aliran Renewed
Scepticism. Jawabannya adalah karena sikap skeptis Cook jauh lebih besar
dibanding sikap skeptis para pendahulunya. Cook tidak hanya skeptis terhadap
sistem penyebaran isnad > namun juga skeptis terhadap sikap skeptis Schacht dan
Juynboll.
D. Gambaran Umum Pemikiran Hadis Michael Cook
Sebelum masuk pada pembahasan inti dari tesis ini tentang asal usul sanad
dalam perspektif Michael Cook. Terlebih dahulu akan diuraikan pemikiran hadis
Cook secara umum. Pada dasarnya Cook memiliki banyak pemikiran dan kritik
hadis yang dilakukannya di mana banyak menitip beratkan pada persoalan sanad,
tapi paling tidak ada lima hal pokok yang menjadi perhatian tersendiri di mata
36
seorang Michael Cook – walaupun sebenarnya masih banyak lagi hal-hal yang lain
– yaitu;
1. Hadis Nabi dalam Perspektif Michael Cook
Salah satu yang penting diutarakan pada sub pembahasan ini adalah
bagaimana definisi atau pengertian hadis dalam perspektif Michael Cook. Hal ini
penting diketahui untuk melihat bagaimana paradigma Cook dalam memandang
hadis Nabi Saw. sebab pada umumnya para orientalis memiliki pandangan yang
berbeda dengan ulama hadis dalam mendefinisikan hadis Nabi Saw.
Michael Cook mengartikan hadis sebagai cerita yang dikemas dalam
bentuk tradisi lisan yang kontennya berisi tentang perbuatan Muslim awal,
khususnya gambaran kehidupan Nabi Muhammad Saw. Hal itu dapat dilihat dari
pernyataan Cook sebagai berikut:
The term hadith may refer to the entire body of such orally transmitted texts,
or it may refer to an individual unit of transmission. A hadith is typically a
short text reporting a saying or describing an action of en early Muslim, in
particular, the prophet to it is prefixed a chain of transmission.48
Istilah hadis dapat merujuk ke semua konten teks yang ditransmisikan secara
lisan, atau dapat merujuk pada sesuatu yang ditransmisikan secara individu.
Sebuah hadis biasanya berupa teks pendek yang berisi tentang perkataan atau
menggambarkan tindakan Muslim awal, khususnya nabi yang diawali dengan
sistem transmisi mata rantai.
48
Michae Cook, Late Antiquity A Guied to Postclassical World (London: The
Belknap Press of Harvard University Press, 1999), h. 482
49
Michae Cook, Late Antiquity A Guied to Postclassical World, h. 482
37
digunakan oleh Cook dalam meneliti hadis adalah pendekatan sejarah, termasuk
dalam mengartikan hadis ia cenderung mengartikannya dengan perpekstif historis.
2. Kritik Michael Cook terhadap teori Common Link
Teori common link adalah istilah untuk seorang periwayat yang menerima
hadis dari periwayat sebelumnya lalu dia meriwayatkan pada murid-muridnya dan
murid-muridnya meriwayatkan lagi kepada lebih banyak murid-murid di bawah
mereka. Dengan kata lain common link adalah periwayat tertua yang disebut dalam
jalur isnad> yang meriwayatkna hadis lebih kepada satu murid. Dengan demikian,
ketika jalur isnad> hadis mulai menyebar untuk pertama kalinya, maka penyebar
inilah disebut common link.50
Juynboll berpendapat bahwa perawi yang menempati posisi sebagai
common link merupakan originator (pencetus) atau fabricator (pemalsu) isnad dan
matan hadis yang kemudian disebarkan kepada beberapa muridnya. Pada level ini,
Juynboll mempertanyakan mengapa jalur isna>d itu baru bercabang pada common
link. Dari sini Juynboll kemudian berkesimpulan bahwa common link adalah saksi
kunci pemalsu hadis, ia merupakan aktor pertama yang melakukan penyebaran
berita bohong yang diberitakan sebagai hadis.51
Michael Cook melakukan kritik atas pemikiran Juynboll di atas.
Menurutnya, perawi yang berstatus sebagai common link tidak bisa dijadikan dasar
penilaian sebagai aktor utama dalam pemalsuan hadis. Ia mengatakan bahwa setiap
perawi dalam sebuah sanad memiliki potensi yang sama dalam melakukan
pemalsuan hadis, tidak hanya pada perawi yang bersatatus sebagai common link
saja, akan tetapi setiap perawi memiliki potensi yang sama dalam melakukan
pemalsuan hadis.52
Pada dasarnya baik Cook maupun Schacht dan Juynboll hampir sama dalam
memahami apa yang disebut dengan common link. Hanya saja yang berbeda adalah
cara pandang penentuan perawi kunci pemalsu hadis. Jika common link diartikan
sebagai pemalsu hadis saja, maka pada titik ini Cook pun berpendapat begitu.
Namun jika common link dipahami sebagai pemalsu kunci, Cook tidak sependapat.
Karena bagi Cook, tidak ada pemalsu kunci karena bisa saja pemalsuan hadis selain
dilakukan oleh orang yang diduga memalsukan juga dilakukan oleh rawi lain.
Bagaimana mungkin mendapatkan periwayat kunci jika pemalsuan terjadi secara
50
Ali Masrur, Teori Common Link G.H.A Juynboll: Melacak Kesejarahan Hadis
Nabi, (Yogyakarta: LKIS, 2007), h. 3
51
Ali Masrur, Teori Common Link G.H.A Juynboll: Melacak Kesejarahan Hadis
Nabi, h. 4
52
Michael Cook, Early Muslim Dogma: A Source Critical Study. (Cambridge:
Cambridge University Press, 1981), h. 109
38
masif. Oleh karena itu, Cook berpandangan bahwa teori common link tidak dapat
digunakan untuk menelusuri asal-usul, sumber, dan kepengarangan hadis.53
3. Teori The Spread of Isnad
Michael Cook mencetuskan teori The Spread of Isnad (penyebaran isna>d)
untuk menjelakan proses terjadinya penciptaan dan berkembangnya jalur sanad.
Secara implisit teori ini menyatakan bahwa sistem periwayatan hadis setidaknya
terjadi dalam tiga skenario dan seluruh jalur dengan tiga skenario tersebut adalah
palsu.54
Pertama, melompati periwayat yang sezaman. Pada proses ini, Cook
memberikan analogi sebagai berikut: Misalnya C dan B adalah orang yang baru
muncul belakangan. Lalu C belajar sesuatu hal dari B.55 Lalu B sendiri
mendapatkan hal tersebut dari A. Jika C berusaha untuk jujur, maka C akan
mengatakan: C mendapatkan ilmu ini dari B, dan B dari A. Sehingga bentuk
diagram isnad> nya akan berbentuk seperti ini:
53
Ali Masrur, Teori Common Link G.H.A. Juynboll; Melacak Akar Kesejarahan
Hadis Nabi, h. 185.
54
Michael Cook, Early Muslim Dogma: A Source Critical Study (Cambridge:
Cambridge University Press, 1981), h. 107
55
Ilustrasi lain dari penjelasan Cook disampaikan lebih simpel oleh Ali Masrur berikut ini:
‚Pada proses pertama misalnya Ibn Jubair dan Ibn Juraij adalah kawan sezaman dan kemudian Ibn
Juraij belajar hadis kepada Ibn Jubair. Lalu ibn Jubair mengatakan mendapatkan hadis dari gurunya,
yaitu Ibn ‘Abba>s. Jika Ibn Juraij adalah seorang yang jujur dan dapat dipercaya, maka ia akan
meriwayatkan hadis itu dari Ibn Jubair dari Ibn ‘Abba>s. Sehingga diagram isnad nya akan seperti
diagram diatas‛, lihat Ali Masrur, Teori Common Link G.H.A Juynboll,, h. 185.
39
dalam sistem isna>d, jalur isna>d yang terpendeklah yang lebih bagus daripada yang
panjang.56 Sehingga bentuk isna>dnya menjadi seperti ini:
B C
56
Pada bagian ini Ali Masrur kembali melanjutkan ilustrasinya: ‚Akan tetapi
meski Ibn Juraij tidak secara langsung menerima hadis dari Ibn ‘Abba>s, guru Ibn Jubair, bisa
saja ia tidak meriwayatkan dari teman sezamannya, namun langsung dari gurunya, Ibn
‘Abba>s dengan cara meloncatinya (meloncati Ibn Jubair). Sikap ini didasari dengan
keyakinan bahwa isnad yang baik adalah isnad yang pendek karena secara ideal seseorang
seharusnya mendengarkan sebuah hadis secara langsung dari orang yang mengatakannya.
Dan semakin sedikit periwayat yang menyalahinya, maka semakin baik isnadnya sehingga
diagramnya menjadi seperti diagram diatas‛, lihat Ali Masrur, Teori Common Link G.H.A
Juynboll, h. 185-186.
57
Michael Cook, Early Muslim Dogma: A Source Critical Study, h. 110
58
Michael Cook, Early Muslim Dogma: A Source Critical Study, h. 110
59
Skenario kedua ini diilustrasikan oleh Ali Masrur sebagai berikut: ‚Misalnya Abdullah
menyampaikan sebuah matan hadis kepada Ibn Sa’id yang ia dengar dari Ibn Jubair. Dia sendiri
menerimanya dari Ibn ‘Abba>s (gurunya). Daripada mengklaim telah mendengar hadis dari Ibn Jubair,
guru Abdullah, Ibn Sa’id menyandarikan hadis dari Ibn ‘Abba>s tersebut kepada gurunya sendiri, Ibn
Juraij. Ini dilakukan oleh Ibn Sa’id karena ia mungkin tidak pernah bertemu dengan Ibn Jubair atau
Ibn Jubair tidak dianggap sebagai periwayat yang dapat diterima oleh kelompok Ibn Sa’id. Untuk
menghindari persoalan ini, ia menyandarkan hadis tersebut kepada gurunya sendiri, Ibn Juraij. Hal ini
mengakibatkan isnad hadis tersebut bercabang seperti diagram diatas.‛ Lihat Ali Masrur, Teori
Common Link G.H.A Juynboll, h. 186
40
B C
D E
60
Yang dimaksud dengan hadis yang ‚terisolasi‛ adalah hadis-hadis yang infirad >
atau single strand. Bagi Cook, awalnya hadis-hadis ini berjalur tunggal, namun karena ahli-
ahli hadis atau si terduga pemalsu membutuhkan legalitas yang kuat atas hadisnya lalu si
terduga pemalsu ini menambahkan jalur-jalur yang lain sehingga menambah jalur yang
sudah ada.
61
Michael Cook, Early Muslim Dogma: A Source Critical Study, h. 111
41
62
Kamaruddin Amin, ‚Western Methods of Dating vis-a-vis Ulumul Hadis:
Refleksi Metodologis atas diskursus Keserjanaan Hadis Islam dan Bara‛, http://www.uin-
alauddin.ac.id/uin-982-html, h. 5 (Diakses pada 14 Oktober 2019)
63
Michael Cook, Early Muslim Dogma: A Source Critical Study, h. 115
64
Michael Cook, Early Muslim Dogma: A Source Critical Study, h. 115
42
masing fase, juga pola kompromi yang ditempuh untuk menghubungkan dua
pendapat yang berseberangan tersebut.65
Dari hasil riset yang dilakukan oleh Cook, ia menemukan bahwa baik
tokoh-tokoh hadis di Basrah pada abad kedua Hijriyah adalah orang-orang yang
tidak ingin menulis hadis, seperti Ibn Si>ri>n (w. 110 H), Ayyu>b as-Sakhtiyani> (w.
132 H), dan Ibn ‘Aun (w. 151 H). Sikap orang-orang Basrah banyak melakukan
penentangan terhadap penulisan hadis ini dikaitkan Cook dengan adanya hadis Nabi
Saw. yang menentang penulisan hadis. Cook tidak hanya mensinyalir bahwa orang-
orang Basrahlah yang paling banyak berperan dalam mempropagandakan hadis
tentang larangan penulisan hadis ini, melainkan ia juga menyatakan bahwa
sebenarnya hadis-hadis ini memang diciptakan di sana.66
Fase kedua, adalah fase umum yang meliputi Kufah, Makkah, Madinah
Yaman, dan Syria. Jika pada fase Basrah resistensi penentangan penulisan hadis
sangat besar maka berbeda pada pada fase kedua ini. Meskipun ada banyak yang
menentang penulisan hadis di berbagai kota (Kufah, Makkah, Madinah Yaman, dan
Syria). Namun, sudah muncul beberapa tokoh yang membolehkan penulisan hadis,
di antaranya: Muhammad ibn Syihab az-Zuhri> (w. 124 H) di Madinah, Khashib ibn
Jahdar (w. 122 H) di Kufah, dan Wasilah ibn al-Asqa (w. 83) di Syria.67
Jika polemik yang terjadi pada fase umum melahirkan dua kutub: Satu
kutub menyetujui penulisan hadis sedangkan kutub lain menentang penulisan
tersebut. Maka pada fase berikutnya, yakni abad ketiga Hijriyah, polemik ini
mereda, di antaranya dengan mengambil pola kompromi dalam rangka menyatukan
dua kutub berbeda ini. Kompromi ini mengambil bentuk dengan adanya toleransi
bagi penulisan hadis.68
Pola kompromi yang terjadi pada abad ketiga Hijriyah memberi pengaruh
pada penciptaan suasana yang mendukung para muhaddisi>n untuk melakukan
pencatatan dan pembukuan hadis. Dukungan dari otoritas penguasa saat itu juga
65
Michael Cook, ‚The Opponents of The Writing of Traditional in Early Islam‛, h.
29-31
66
Argumen yang dibangun Cook adalah peran Abu> Sa’i>d al-Khudri>. Ia tidak saja
menjadi sumber tunggal periwayat yang menyampaikan hadis tentang larangan penulisan
hadis dalam kampanyenya menentang penulisan, tetapi ia juga menghitung dirinya sebagai
otoritas dalam riwayatnya sendiri, yang dibuktikan dengan banyaknya hadis lainnya yang
menyebutkan bahwa ia menolak mengijinkan para muridnya untuk menulis hadis. Cook
menuturkan bahwa Abu> sa’i>d bukan satu-satunya sahabat dari Hijaz yang diminta
bantuannya oleh orang-orang Basrah untuk menentang penulisan. Mereka juga
mengerahkan Abu Hurairah, Ibn Umar, Zaid ibn Tsabit, dan Ibn Abbas. Lihat Michael
Cook, ‚The Opponents of The Writing of Traditional in Early Islam‛, h. 29
67
Michael Cook, ‚The Opponents of The Writing of Traditional in Early Islam‛, h.
29
68
Michael Cook, ‚The Opponents of The Writing of Traditional in Early Islam‛, h.
30
43
69
Michael Cook, ‚The Opponents of The Writing of Traditional in Early Islam‛, h.
31
BAB III
1
Siti Fahimah, Sistem Isnad dan Otentisitas Hadits: Kajian Orientalis dan
Gugatan atasnya, Jurnal Ulul Albab Volume 15, No. 2 Tahun 2014, h. 210
44
45
ُض ُللاُ ُ َُعُْنوُ ُ َُع ُِن ُي ُ َعُ ْنُ ُ ُش ُْعَُب َُة ُ َُع ْنُ ُقَُُتَا َُد َةُ ُ َُع ْنُ ُ َأُو َ ِسُ ُ ْب ِن ُ َم ِ ك
َُ ِ ال ُ َُر َُْ ََُح َُدثَُُنَاُمُ َُس َُددُ ُقَُا َُل ُ َُح َُدثَُُن
ُ َ اُي
ُُ(رواه.اُي ُّ َّ ُ ِمنَ ْس ِس ُِو
ِ ُي َ َّ ُ َُأل ِخ ْه ِو ُ َمِ ََّ ََ ُ ُْ ُإل ُي ْْ ِمن ُ َأ َحد: َُ ُ ىلُللا ُ ُعَُلَُْي ُِو ُ َُو ُ َُس َ ّْلُ ُُقَا َُل
ُ ب ُ َُض ُِ ِ َامُن
ُ )امبخارى
‚Telah menceritakan kepada kami Musaddad, berkata telah menceritakan
kepada kami Yahya dari Syu’bah dari Qata>dah dari Anas bin Ma>lik dari Nabi
2
Abd Rahman bin Abi Bakar al-Suyuti, Tadrib al-Rawi, (Riyad: Maktabah al-
Riyadh al-Hadisah, t.th.), h. 41.
3
Mahmu>d T{ahha>n, Taisir Musthalah al-Hadis (Cet. VIII; Riyadh: Maktabah al-
Ma’arif, 1407 H/1987 M), h. 10.
4
Muhammad Ajjad al-Khatib, Ushul al-Hadis, Ulummuh wa Musthalahuh (Cet.
III: Bairut: Dar-Fikr, 1395 H/1975 M), h. 32.
5
Ibnu Hajar, Syarah} Nukhbah al-Fika>r (Beirut: Da>r al-Fikr, 1990), h. 56
46
Saw. beliau bersabda: ‚Tidak beriman salah seorang di antara kamu hingga
dia mencintai saudaranya sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri‛ (HR.
al-Bukhari).6
Pada hadis di atas terdapat adanya silsilah para perawi yang membawa kita
sampai kepada matan hadis, yaitu al-Bukhari> dari Musaddad dari Yahya dari
Syu’bah dari Qata>dah dari Anas dari Nabi Saw. Rangkaian nama-nama itulah yang
disebut dengan sanad dari hadis tersebut, karena merekalah yang menjadi jalan bagi
kita untuk sampai ke matan hadis dari sumbernya yang pertama. Mereka secara
berantai dan sandar menyandar dari si A ke B dari B ke C dan seterusnya disebut
sanad. Sedangakan al-Bukhari disebut sebagai perawi atau mukharri>j artinya dialah
yang menyebutkan hadis tersebut dalam kitab karyanya Al-Ja>mi’ Ash-Shahi>h li al-
Bukha>ri>.7
Untuk mempermudah pemahaman dari penjelasan di atas maka berikut ini
dijelaskan dalam bentuk tabel:
ُحدثناُمسددُقالُحدثناُييُعنُشعبةُعنُقتادةُعنُأوسُرضُللا
Sanad Hadis
عنوُعنُامنبُضىلُللاُعليوُوُسّل
Sebuah hadis dapat memiliki beberapa sanad dengan jumlah penutur atau
perawi yang bervariasi dalam lapisan sanadnya, lapisan dalam sanad disebut
dengan thabaqah, signifikansi jumlah sanad dan penutur dalam tiap thabaqah sanad
akan menentukan derajat hadis tersebut. Jadi, yang perlu dicermati dalam
memahami hadis terkait dengan sanadnya adalah keutuhan sanadnya, jumlahnya,
dan perawi akhirnya. Adapun sebutan sanad hanya berlaku pada serangkaian orang,
bukan dilihat dari sudut pribadi seseorang. Sebutan untuk pribadi yang
menyampaikan hadis dilihat dari sudut orang per-orangan disebut rawi.8
6
Imam Bukhari, Al-Ja>mi’ Ash-Shahi>h li Al-Bukha>ri>, Juz I, (Beirut: Dar Ibnu
Katsir, 1987), h. 14
7
M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadis (Bandung : Angkasa, 1991), h. 17.
8
Solahudin, M.Agus & Agus Suryadi. Ulumul Hadis.Bandung (Pustaka Setia,
2011), h. 92
47
Dalam ilmu hadis ada beberapa istilah yang erat kaitannya dengan istilah
sanad ierepes isna>d, musna>d, dan musni>d. Adapun penjelasan ketiganya sebagai
berikut:
a. Secara bahasa, kata Isna>d satu akar dengan kata sanad dengan menambahkan
Hamzah yang berfungsi mengubah kata kerja intransitif ( )الفعل الالزمmenjadi kata
kerja transitif ( )الفعل المتعدىyang berarti menyandarkan, menegaskan,
(mengembalikan ke asal) yang dimaksudkan al-isna>d di sini adalah
menyandarkan hadis pada orang yang mengatakannya atau dalam bahasa lain
mengasalkan hadis pada orang yang mengatakannya. Akan tetapi isna>d juga
digunakan untuk menyebutkan suatu rangkaian periwayat hadis. Dengan kata
lain, ulama hadis menyamakan pengertian sanad dengan isna>d. Hal ini dapat
dilihat dari ungkapan mereka ((هذا الحديث روي بإسناد صحيح. Sehingga ulama
mhaditsi>n memandang kedua istilah tersebut mempunyai pengertian yang
u
sama, yang eamnarn anrne asrn ns ie npn uepkantian.9 Jika isna>d dalam ilmu
hadis diartikan sama dengan sanad, itu berarti isna>d mempunyai pengertian yang
sama dengan sanad yaitu: Jalan matan hadis atau silsilah para rawi yang
menukilkan matan hadis dari sumbernya yang pertama. Untuk dalam tulisan ini,
sesuai pendapat jumhur ulama hadis, istilah sanad dan isna>d juga dipakai untuk
pengertian yang sama.
b. Musna>d mempunyai beberapa arti yang berbeda dengan istilah isna>d. Musna>d
adalah bentuk isim maf’u>l dari kata kerja asnada, yang berarti sesuatu yang
disandarkan kepada yang lain.10Pertama, musna>d berarti hadis yang
diriwayatkan dan disandarkan (di-isna>d-kan) kepada seseorang yang
membawanya, seperti dalam contoh hadis yang diriwayatkan imam al-Bukhari
di atas. Kedua, musna>d berarti nama suatu kitab yang menghimpun hadis-hadis
aeakna isieeu rearmimana uepaninp na anun rnpn insnune pnes hadis, seperti
kitab Musna>d Ah}mad Bin H{anbal, Musna>d Abi> Da>wud, Musna>d Abu Bakar
‘Abdulla>h, Musna>d Asa>d bin Musa>wa al-Uma>wi> dan lain-lain. Ketiga musna>d
berarti nama bagi hadis yang mempunyai kriteria marfu’ (disandarkan kepada
Nabi Saw) dan mutthasil (sanadnya uepinuumakinurns ernan Nabi SAW).
c. Musni>d adalah isim fa>’il yang berasal dari asnada-yusnidu, yang berarti ‚orang
yang menyadarkan sesuatu kepada yang lainnya‛. Sedangkan pengertiannya
dalam istilah Ilmu Hadis adalah setiap perawi hadis yang meriwayatkan hadis
dengan menyebutkan sanadnya, apakah ia mempunyai pengetahuan tentang
sanad tersebut, atau tidak mempunyai pengetahuan tentang sanad tersebut,
tetapi hanya sekadar meriwayatkan saja.
9
Solahudin, M.Agus & Agus Suryadi. Ulumul Hadis.Bandung, h. 25
10
Mahmud at-Thahan, Taisir Must}halah al-Hadi>s, h. 15.
48
11
Muhammad Mustafa Azami. Studies in Early Hadith Literature with a Critical
Edition of some Early Teks (Beirut : Al-Maktab al-Islami, 1966), h. 531
12
Umar bin Khattab mengatakan : ‚Kami dengan seorang tetangga dari golongan
Anshar di kampung Bani Umayyah bin Zaid di pinggiran (‘ awaly) kota Madinah saling
bergantian untuk mengikuti majelis ta’lim yang diadakan oleh Nabi Saw. Apabila dia yang
ikut aku diberitahukan tentang hal-hal yang diajarkan oleh Rasulullah Saw., baik berupa
49
ُّ ُاُر َجُ ُامَ ُْكُفَُهُُْن َُظرُُ ِاُ َ ُلُ َأُ ُْى ُِل
ُامسُُنَ ُِة ُُّ َ تُامُْ ِسُُْتُنَ ُةُقَُ ُام ُْو
ُِ َاُس ُْواُمُ َُن َُ ُم َ ُْمُيَُكُ ْوهُ ُْواُُي َ ُْسُأَمُ ُْو َنُُ َُع ُِنُ ْاُ ُإل ْسُُنَا ُِدُُفَلََُُم
ُِ اُوُقََُع
ّ
ُ ُفَهُُأِ َخُذُُ َحُ ُِدُْيثَُ ُْمُ َُوُيُْن َُظرُُُِا َ ُلَُُأ ُْى ُِلُُْام ِبُدَُ ِعُُُفَ َلُُُيُأِ َخُذُُ َحُ ُِد ْيُثُ ُْم
‚Dulu mereka (para ulama) tidak pernah bertanya tentang sanad. Namun
ketika terjadi fitnah, mereka pun berkata : sebutkan pada kami rijal kalian.
Apabila ia melihat rijal tersebut dari kalangan ahl al-Sunnah, maka diterima
hadisnya, dan jika dari kalangan ahl al-Bid’ah, maka tidak diterima.15
Hanya saja, tidak dapat diartikan bahwa eksistensi sanad baru muncul
setelah terjadinya tragedi fitnah sebab mempertanyakan sanad hadis telah ada
sebelum fitnah terjadi, meski tidak banyak orang yang melakukannya. Disadari atau
tidak oleh para sahabat, sanad sebagai silsilah periwayat hadis telah muncul pada
zaman Nabi Saw. Pada saat itu tidak semua sahabat menghadiri setiap majelis ilmu
Rasulullah karena sibuk dengan urusan pemerintahan, perniagaan, pertanian, dan
lain-lain sehingga sebagian sahabat yang hadir ke majelis Nabi kemudian
menyampaikan hadis itu kepada sahabatnya yang tidak hadir.
wahyu atau lainnya. Dan apabila aku yang ikut majelis pengajian tersebut, maka aku yang
memberitahukan isi pengajian tersebut kepadanya‛. Lihat Abi ‘Abdillah Muhammad bin
Isma’il al-Bukhari, Shahih al-Bukhari bi Hasyiah al-Sindy, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th) Jilid
III, h. 259, Kitab Nikah, Bab Mau’izah alRajul ibnatuha li Hal Zaujiha.
13
Muhammad Mustafa Azami. Studies in Early Hadith Literature with a Critical
Edition of some Early Teks, h. 531
14
Fitnah al-Kubro adalah peperangan, perselisihan dan perpecahan yang terjadi
pada umat Islam generasi awal. Mengenai kapan terjadinya peristiwa tersebut terdapat ada
tiga pendapat, yaitu: pertama, ketika masa terbunuhnya Usman. Kedua, pada masa Ali
berperang melawan Mu’awiyah. Ketiga, pada saat perang Karbala dengan terbunuhnya
Husein ibn Ali. Lihat Toha Hussein, Fitnah Kubra, Malapetaka Besar dalam Sejarah Islam
(Jakarta: Pustaka Jaya, 1985), h. 254
15
‘Abd al-Qa>dir Mahmu>d al-Bakka>r, Qawa>’id al-Tahdi>ts (Kairo: Da>r Sala>m, 2008),
h. 30
50
Pada masa Rasulullah, para sahabat betul-betul menjaga diri dari sikap dan
sifat-sifat tercelah seperti berbohong, berkhiat atau menipu baik dalam kehidupan
sehari-hari maupun berkenaan dengan hadis Nabi Saw. Karena tidak ada
kebohongan di antara mereka, maka sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Al-
Bara>’ ibn ‘A<zib (w. 72 H), para sahabat tidak mengenal apa itu dusta. Hal ini
misalnya terlihat pada kasus Anas bin Ma>lik (w. 93 H) yang begitu marah ketika
dikatakan kepadanya ‚Apakah Anda mendengarnya sendiri dari Rasulullah?‛ Ia
menjawab bahwa tak seorang pun dari kalangan sahabat yang berdusta satu sama
lain.16 Hal itu berbeda dengan setelah terjadinya fitnah, orang-orang mulai berdusta
satu sama lain, bahkan sebagian mereka berdusta atas nama Rasulullah dengan
membuat hadis-hadis palsu. Dengan demikian, tragedi fitnah menjadi garis
pembatas yang jelas tentang awal-mula umat Islam mempersoalkan sanad hadis
yang sebelumnya mereka tidak begitu mempersoalkannya. Dengan kata lain,
tragedi fitnah menjadi garis pembatas antara kejernihan sunnah yang terjadi
sebelum fitnah dengan sunnah yang telah terkontaminasi polusi kepentingan
setelah terjadinya fitnah.17
Pada masa-masa setelah terjadinya fitnah itu, hadis banyak ditumpangi
berabagai kepentingan seperti kepentingan politik, kultus individu, chauvinisme,18
fanatik mazhab, dan lain-lain. Orang-orang yang tidak bertanggung jawab dengan
sengaja membuat hadis-hadis palsu lengkap dengan sanadnya, bahkan ada yang
membuat sanad ‘ali> untuk memperkuat kecenderungan mereka. Akibatnya, hadis-
hadis palsu kemudian tersebar dikalangan masyarakat muslim bercampur dengan
hadis-hadis yang shahih. Sebagian umat Islam tentunya, mengalami kesulitan
memilih mana hadis yang shahih dan mana yang palsu. Hanya saja, hal ini tidak
dibiarkan berlanjut terus menerus. Para ulama mengantisipasi kekacauan ini dengan
cara meneliti sanad dan matan hadis serta mengkaji keberadaan para periwayatnya,
apakah mereka terkena polusi kepentingan seperti ahli bid’ah atau tidak, meski
sebelumnya mereka saling percaya dalam meriwayatkan hadis.
Di penghujung abad pertama Hijriah, ilmu sanad (dalam arti mencermati
sanad hadis dengan lebih teliti) berkembang dengan pesat dan mendapat perhatian
16
Muhajirin, Politisasi Ujaran Nabi (Yogyakarta: Maghza Books, 2016), h. 61
17
Muhajirin, Politisasi Ujaran Nabi, h. 61
18
Chauvinisme yang disebut juga sauvinisme/sovinisme yaitu suatu paham yang
mengajarkan tentang rasa cinta, loyalitas atau atau tindakan yang berlebihan bahkan rela
berkorban pada apa yang ia percayai bahkan rela mengorbankan nyawanya. Dengan kata
lain, chauvinisme merupakan fanatisme yang ekstrim. Istilah ini diambil dari nama Nicolas
Chauvin, seorang prajurit yang setia dan fanatik terhadap Kaisar Napoleon Bonaparte.
Meskipun Napoleon kalah dan dibuang, namun Chauvin tetap setia. Hingga arti dan isitlah
Chauvinisme dikonsep sama seperti Chauvin. Lihat, Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI), Edisi Keempat (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 285 Lihat Juga
Oxford English Dictionary (Inggris: Oxford University Press, 1998), h. 301
51
lebih. Syu’bah bin al-Hajja>j (w. 160 H), misalnya, sengaja mengamati bibir
Qata>dah (w. 117 H) untuk bisa membedakan apakah Qata>dah mendapatkan hadis
itu lewat tangan pertama atau kedua dengan memperhatikan lafal al-tahammul wa
al-‘da>’ yang digunakannya.19 Bahkan, bukan hanya para ahli hadis yang
‚meributkan‛ masalah ini, tetapi juga pernah seorang Arab Badui (A’ra>bî)
menanyakan secara lengkap sanad sebuah hadis kepada Sufyan bin ‘Uyainah (w.
194 H).20
Dalam masa-masa selanjutnya, para sahabat berperan sebagai tempat
bertanya dan berkumpul bagi para penuntut ilmu. Walaupun mereka bersikap hati-
hati dalam periwayatannya, tetapi biasanya dalam kesempatan berkumpul itu
disampaikan hadis-hadis Nabi. Maka tidak heran jika ada seorang sahabat
meriwayatkan hadis kepada lebih dari seorang murid dari generasi sesudah mereka
(tabi’in), yang pada gilirannya melanjutkan peran sahabat sebagai penyampai hadis
kepada generasi di bawahnya (tabi’ tabi’un). Inilah yang terjadi dalam
perkembangan sanad hadis. Merupakan sebuah fenomena umum bahwa semakin
bertambah masa (waktu) semakin panjang rantai periwayatan. Semakin panjang
rantai periwayatan, makin bertambah jumlah perawi dan makin meluas wilayah
penyebaran hadis.
Hanya patut dicatat bahwa tidak semua hadis mengalami perkembangan
sanad sebagaimana terjadi pada hadis-hadis Nabi umumnya. Terkadang ada yang
menyendiri (fard/gharib) dalam periwayatannya, baik terjadi pada awal sanad dan
atau di tengah atau bahkan pada seluruh jalur sanadnya. Fenomena perkembangan
sanad yang ‘agak menyimpang’ inilah yang menarik perhatian para pengkaji hadis
modern (muslim – non muslim) untuk meneliti keotentikan hadis-hadis seperti ini.
Demikianlah proses pertumbuhan, perkembangan dan penyebaran sanad
yang memperlihatkan betapa rapinya periwayatan mayoritas hadis. Hal inilah yang
kemudian menjadi alasan para ulama menguji otentisitas hadis dengan menjadikan
sanad sebagai salah satu salah satu batu uji keshahihannya. Kerapian sistem sanad
memudahkan mereka mengetahui kesalahan perawi ataupun setiap pemalsuan yang
disengaja, dan sekaligus mengoreksi setiap kesalahan tersebut.
2. Sejarah Sanad Menurut Orientalis
Dalam diskursus pemikiran orientalis, para orientalis lebih banyak terpokus
dan menaruh perhatian yang cukup besar pada sejarah awal mula penggunaan sanad
dalam periwayatan hadis dibanding kajian matan, di antara orientalis yang menaruh
19
Muhammad Mushthafa Al-‘Azami>, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya,
terj. Ali Mustafa Ya’kub (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), h. 531; ‘Abd al-Majid Mahmud,
Amtsa>l al-Hadi>s wa Taqdîmat fi> ‘Ulu>m al-Hadi>s (Kairo: Da>r al-Tura>ts, 1975), h. 25; al-
Salafi>, Ihtima>m al-Muhadditsi>n, h. 152-153; al-’Umari>, Buhu>ts fi> Ta>ri>kh, h. 49.
20
Muhammad Mushthafa ‘Azami>, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, terj.
Ali Mustafa Ya’kub, h. 54
52
perhatian besar pada kajian sanad adalah Leone Caetani,21 Aloys Sprenger,22 Josef
Horovitz,23 James Robson,24 Johann Fück,25 Joseph Schacht,26 dan G.H.A.
21
Leone Caetani (1869-1935) adalah seorang orientalis yang berasal dari Italia.
Caetani menghabiskan waktu bertahun-tahun meneliti beragam budaya Islam dengan
mengunjungi berbagai wiliayah di Timur Tengah, seperti Tunisia, Aljazair, Mesir, Suriah,
Turki, Irak dan lain-lain. Caetani memiliki tiga karya hasil penelitianya tentang Islam yang
terkenal, yaitu Annali dell’ Islam (1906), Uthman and the Recension of the Koran (1915),
dan Study of the History of the Orient (1914). Selain sebagai peneliti, Caetani juga adalah
seorang politikus, Caetani pernah menjabat sebagai wakil Parlemen Italia (Deputy of The
Italian Parliament) pada tahun 1909-1913. Lihat Bilal Ahmad, ‚Leone Caetani’s dell’Isla>m
on Sirah of the Prophet Muh}ammad‛ dalam Islamic Studies (2015), h. 204
22
Aloys Sprenger adalah seorang missionaris asal Jerman sekaligus sebagai
orientalis. Menurut Muhammad Jamaluddin dalam penelitiannya Kritik Methodolgi Kajian
Hadis (2008) mengatakan bahwa Sprenger adalah pelopor orientalis yang pertama kali
mempersoalkan hadis dalam Islam sebelum Ignaz Goldziher. Orientalis yang pernah tinggal
lama di India ini dalam bukunya Das Ieben Und Die Lehre Des Muhammad mengklaim
bahwa hadis merupakan kumpulan anekdot (cerita-cerita bohong). Lihat Aloys Sprenger
‚On the Origin and Progress of Writing Down the Historical Facts among the Mosulmans,‛
dalam Journal of Asiatic Society of Bengal 25 (1856-1857), 375-376 ; lihat juga dalam
Daniel W. Brown, Rethinking Tradition in Modern Islamic Thought (Bandung: Mizan,
2000), 111.
23
Josef Horovitz adalah orientalis yang lahir dan besar di Lauenburg, Jerman. Ia
pernah mengajar di Aligarh Muslim University, India, dari tahun 1907 sampai 1915. Ia
mengajar bahasa Arab di universitas tersebut atas permintaan pemerintah India. Selain itu,
ia juga pernah mengajar di Hebrew Univeristy, di universitas ini ia mendirikan Departemen
of Oriental Studies dan menjadi direkturnya. Karyanya yang terkenal di bidang hadis adalah
Alter und Ursprung des Isnad, dalam karyanya ini ia menjunukkan bahwa sistem sanad baru
digunakan dalam hadis pada akhir abad pertama Hijriah. Lihat Josef Horovitz, ‚Alter und
Ursprung des Isnad‛ Jurnal der Islam, vol. 8 (1917-1918), h. 44
24
James Robson adalah tokoh orientalis berkebangsaan Inggris. Ia lahir pada tahun
1890 dan tidak ada informasi yang menyebutkan kapan meninggalnya. Tetapi jika dilihat
dari karya-karyanya yang muncul terakhir, kemungkinan besar dapat disimpulkan bahwa
Robson meninggal skitar tahun 1970-an. Robson mengajar di Glasgow University,
Skotlandia, dengan mengapu mata kuliah bahasa Arab. Selain itu, ia juga menjadi dosen
tamu di Manchester University pada tahun 1949 dan kemudian menetap di sana. Semasa
hidupnya, Robson banyak membuat karya dalam bentuk buku maupun artikel yang
diterbitkan di jurnal. Salah satu karnya dalam bidang hadis yang banyak dijadikan rujukan
adalah The Material Traditian. Karyanya ini diterbitkan di The Muslim World pada tahun
1951. Lihat Hamam Faizin ‚James Robson and His Matn Hadith Critics‛, dalam Jurnal
Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an dan Hadis, Vol 12, (2011), h. 91
25
Nama lengkapnya adalah Johann Wilhelm Fück yang selanjutnya dipanggil Fück.
Ia adalah orientalis berkebangsaan Jerman yang hidup antara tahun 1894 dan meninggal
pada tanggal 24 November 1974. Ia menjadi dosen di Goethe University Frankfurt, Jerman,
dari tahun 1921 sampai 1938. Mata kuliah yang diajarkannya ada dua, yaitu bahasa Ibrani
dan Studi Filologi Islam Arab. Pada tahun 1938 ia pindah ke Martin Luther University
hingga sampai pensiun pada tahun 1962. Lihat Herbert Berg, The Development of Exegesis
in Early Islam; The Authencity of Muslim Literature from The Formative Period (Surrey:
Curzon Press Richmond. 2000), h. 19
53
Juynboll.27 Namun, para orientalis tersebut berbeda pendapat tentang sejarah awal
mula munculnya penggunaan sanad dalam periwayatan hadis.
Menurut Leone Caetani, isna>d bukanlah kata asing dalam bahasa Arab.
Namun, kata ini digunakan pada pra-Islam dalam sejulah literatur dan bahkan suatu
sarana dalam menyampaikan syair-syair Arab.28 Kemudian Caetani juga
mengomentari tentang awal mula penggunaan sanad dalam Islam. Menurutnya,
orang yang pertama menghimpun hadis Nabi itu adalah Urwah (w. 94 H.), dan ia
tidak memakai isna>d dan tidak menyebutkan sumber-sumbernya selain al-Qur’an.
Di samping itu, pada masa Khalifah ‘Abd al-Ma>lik bin Marwan (w. 86 H), juga
belum ada penggunaan isna>d. Caetani berpendapat bahwa penggunaan sanad baru
dimulai pada masa antara ‘Urwah (w. 94 H.) dengan Ibn Ishaq (w. 151 H.).
Berdasar padangannya itu, ia berkesimpulan bahwa sebagian besar sanad yang
terdapat dalam kitab-kitab hadis merupakan rekayasa para ahli hadis pada abad
kedua, bahkan abad ketiga Hijriah.29 Pendapat ini didukung oleh Aloys Sprenger.30
Orientalis lain yang meneliti masalah awal mula penggunaan sanad adalah
Josef Horovitz, ia membantah keras pendapat Caetani dan Sprenger. Menurut
Horovitz, orang-orang yang mengatakan bahwa ‘Urwah (w. 94 H) tidak memakai
sanad sebenarnya mereka belum mempelajari kitab-kitab ‘Urwah (w. 94 H.) berikut
26
Joseph Schacht lahir di Silisie Jerman pada 15 Maret 1902.Karirnya sebagai
orientalis dimulai dengan belajar pilologi klasik, theologi, dan bahasa-bahasa Timur di
Universitas Berslauw dan Universitas Leipzig. Karya tulisnya yang paling monumental dan
melambungkan namanya adalah bukunya The Origins of Muhammadan Jurisprudence yang
terbit pada tahun 1950, kemudian bukunya An Introduction to Islamic Lau yang terbit pada
tahun 1960.4 Dalam dua karyanya inilah ia menyajikan hasil penelitiannya tentang Hadits
Nabawi, di mana ia berkesimpulan bahwa Hadits Nabawi, terutama yang berkaitan dengan
Hukum Islam, adalah buatan para ulama abad kedua dan ketiga hijrah. Lihat Ali Mustafa
Yaqub, Kritik Hadis, (Jakarta, Pustaka Firdaus, 1995), h. 19; Abdurrahman Baidawi,
Ensiklopedia Tokoh Orientalis (Yogyakarta: LKiS, 2003), h. 62
27
G.H.A Juynboll yang lahir di leiden, belanda, pada 1935 adalah seorang
orientalis yang pakar di bidang sejarah perkembangan awal hadis. Selama tiga puluh tahun
lebih ia secara serius mencurahkan perhatiannya untuk melakukan penelitian hadis dari
persoalan klasik hingga kontemporer. Lihat Ali Masrur, Teori Common Link G.H.A
Juynboll: Melacak kesejarahan Hadits Nabi, ( Yogjakarta: LKIS,2007), h. 2; Idri, ‚Otentitas
Hidis Mutawātir Dalam Teori Common link G.H.A Juynboll‛, ISLAMICA, 7, (2013), h.
251.
28
Nashir Al-Din Al-Asad, Mashadir Al-Syi’ir Al-Jahili, (Kairo: 1978), h. 255
29
Leone Caetani, Annali Dell’Islam, Jilid I (Milan: Ulrico Hoepli, tth), h. 28-31;
Muhammad Mustafa Azami, On Schacht’s Origins of Muhammadan Jurisprudence (Oxford:
The Oxford Center fo Islamic Studies and Islamic Text Society, 1996), h. 234; Lihat juga
dalam Idri, Hadis & Orientalisme (Depok: Kencana, 2017), h. 135
30
Aloys Sprenger ‚On the Origin and Progress of Writing Down the Historical
Facts among the Mosulmans,‛ dalam Journal of Asiatic Society of Bengal 25 (1856-1857),
375-376 ; lihat juga dalam Daniel W. Brown, Rethinking Tradition in Modern Islamic
Thought (Bandung: Mizan, 2000), 111.
54
31
Josef Horovitz, ‚Alter und Ursprung des Isnad‛ Jurnal der Islam, vol. 8 (1917-
1918), h. 44; Muhammad Mustafa Azami, Hadis Nabawi dan Kodifikasinya, terj. Ali
Mustafa Ya’qub (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), h. 532 ; Ali Mustafa Ya’qub, Kritik Hadis
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004), h. 99
32
James Robson, The Isnad in Muslim Traditions, vol. XV (Glasgow: Univ.
Oriental Society Transaction, 1955), h. 18; Syamsuddin Arif, Orientalisme dan Diabolisme
Pemikiran (Jakarta: Gema Insani Press, 2008), h. 30 Muhammad Mustafa Azami, Hadis
Nabawi dan Kodifikasinya, terj. Ali Mustafa Ya’qub, h. 532; Ali Mustafa Ya’qub, Kritik
Hadis (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004), h. 99
33
Johann Fuck, ‚The Role of Traditionalism in Islam‛, dalam Studies in Islam.
Oxford, 1981, h. 114 ; Lihat Juga dalam Herbert Berg, The Development of Exegesis in
Early Islam; The Authencity of Muslim Literature from The Formative Period (Surrey:
Curzon Press Richmond. 2000), h. 19
55
paruh kedua abad ketiga Hijriah.34 Dia menyatakan bahwa sanad merupakan hasil
rekayasa para ulama abad kedua Hijriah dalam menyandarkan sebuah hadis kepada
tokoh-tokoh terdahulu hingga akhirnya sampai pada Nabi untuk mencari legitimasi
yang kuat terhadap hadis tersebut.35
Teori ini berawal dari pemahaman Schacht terhadap perkembangan hadis
sejalan dengan perkembangan hukum Islam. Menurutnya, hukum Islam baru
dikenal sejak pengangkatan para qa>di> pada masa dinasti Ummayah. Sekitar akhir
abad pertama Hijriah, pengangkatan para qa>di> ditunjukan kepada para fukaha yang
jumlahnya kian bertambah sehingga akhirnya menjadi aliran fiqh klasik (madzhab).
Untuk memperoleh legitimasi yang kuat terhadap putusan hukum yang diambil,
maka para qa>di> menyandarkan putusan-putusan itu kepad tokoh-tokoh yang
sebelumnya dipandang mempunyai otoritas.36
Selain itu, Schacht juga menyanggah pernyataan bahwa tradisi sanad
tumbuh setelah meninggalnya Khalifah Utsman. Schacht mengatakan bahwa sanad
tidak digunakan secara sistematis sebelum abad ke-2 H, dan kemudian
menambahkan bahwa pertikaian (fitnah) yang disebut oleh Ibnu Si>ri>n sesungguhna
adalah perang saudara yang dimulai dengan terbunuhnya Khalifah Al-Walid ibn
Yazi>d (w. 744 M) dari Umayyah pada tahun 126 H/743 M, bukan setelah fitnah
yang membuat Khalifah Utsman terbunuh.37 Sementara itu, pendapat G.H.A.
Juynboll lain lagi, dia menulis bahwa pertikaian yang dimaksud ialah perang
saudara yang dimulai pada tahun 63 H/682 M dengan naiknya ‘Abdulla>h ibn Zubair
(w. 692 M) di Makkah sebagai khalifah tandingan bagi kekhalifahan Umayyah di
Damaskus. Dengan dmikian, peristiwa ini adalah merupakan permulaan bagi
kelahiran isna>d hadis.38
Pendapat Juynboll bahwa perang saudara antara Ibnu Zubair dan ‘Abd al-
Malik membidani lahirnya tradisi sanad lebih bisa dipercaya daripada pendapat
34
Joseph Schacht, The Origins of Muhammadan Jurisprudence (Oxford: University
Press, 1975), h. 163
35
Joseph Schacht, The Origins of Muhammadan Jurisprudence, h. 164
36
Kamaruddin Amin, ―Book Review: The Origins of Islamic Jurisprudence
Mecca Fiqh before the Classical Schools‖, dalam Jurnal al-Jāmiah: Journal Islamic Studies,
vol. 41, no. 1, 2003/1424H, h. 208.
37
Joseph Schacht, The Origin of Muhammadan Jurisprudence (Oxford, 1964), h.
36
38
G.H.A. Juynboll, ‚The Date of the Great Fitna,‛ dalam Arabica 20, (1973), h.
159; lihat juga ‚Muslim’s Introduction on his Shahih, translated and annontated with an
excursus on the chronology of fitna and bid’ah, h. 303-308; Ali Masrur, Teori Common link
G.H.A. Juynboll (Yogyakarta: Lkis, 2007), h. 54
56
Schacht. Dia juga dapat menunjukkan beberapa keterangan dari awa’il39 dan
menafsirkan keterangan-ketarangan tersebut untuk mendukung pendapatnya.40
Namun, sarjana-sarjana muslim umumnya tak percaya pada awa’il, karena awa’il
baru muncul jauh dikemudian hari dan dianggap tak seilmiah ilmu hadis.
Pendapat Juynboll, bahwa perang saudara antara Ibnu Zubair dan ‘Abd Al-
Malik membidani lahirnya tradisi sanad berkembang jadi sebuah metode yang
diterima secara luas tak lama sebelum Ima>m Ma>lik. Sebagian besar para perawi
yang disebut Ima>m Ma>lik mengutip hadis-hadis dari para tabi’i>n yang meninggal
dalam rentang dua decade selama berlangsungnya perang saudara yang menurut
Juynboll, membinahi lahirnya tradisi sanad ini. Sebagian dari tabi’i>n itu meninggal
pada awal 70-an H, dan beberapa pada 60-an H sebelum perang saudara ini meletus
(sekitar 70 H/689 M). Seandainya berasumsi bahwa cukup banyak sumber yang
disebut Ima>m Ma>lik tidak menyertakan sanad mereka, maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa tradisi sanad telah berkembang luas dan sangat maju dalam
kurun waktu dua puluh tahun sejak kemunculannya. Mungkin perkembangan ini
berlangsung secara gradual.41
Al-‘Azami membantah pendapat pendapat Juynboll di atas. Al-‘Azami
menyatakan bahwa pembunuhan Khalifah Al-Walid ibn Yazid atau naiknya Ibnu
Zubair sebagai khalifah tandingan jauh kurang signifikan dalam sejarah Islam
daripada pertikaian besar yang kemudian disusul dengan pembunuhan Khalifah
Utsman. Jika pemalsuan hadis yang dikaitkan dengan kekacauan politik ini
mendorong para ahli hadis untuk lebih teliti dalam memeriksa sumber-sumber
hadis, pertikaian yang dipicu oleh pembunuhan dan menjadi saksi atas munculnya
hadis-hadis yang bias politik niscaya menimbulkan dorongan yang lebih kuat lagi.42
Al-‘Azami menambahkan bahwa ada cukup banyak hadis yang
diriwayatkan oleh para sahabat bukan berasal dari Nabi Muhammad, tetapi dari
sahabat-sahabat lainnya. Ini mendukung pendapat bahwa tradisi sanad berkembang
lebih awal daripada yang diperkirakan Juynboll, sebab jika tidak demikian, sanad
ini takkan pernah sampai pada kita. Jika semua hadis adalah palsu, mengapa para
pemalsu hadis ini bisa saja dengan mudah membuat sanad yang hanya menyebutkan
satu nama sahabat, bukan dua, dan sanad ini dipercaya.43
39
Awa’il berisikan keterangan-keterangan tentang siapa yang pertama kali
melakukan sesuatu, atau tentang kapan institusi-institusi tertentu pertama kali lahir. Lihat
G.H.A. Juynboll, Muslim Tradition (Cambridge, 1983), h. 6
40
G.H.A. Juynboll, Muslim Tradition (Cambridge, 1983), h. 17
41
G.H.A. Juynboll, ‚The Date of the Great Fitna,‛ h. 159
42
Muhammad Mustafa al-‘Azami, Studies in Early Hadith Literature
(Indianapolis, 1964), h. 216
43
Muhammad Mustafa al-‘Azami, Studies in Early Hadith Literature, h. 217
57
44
Muhammad Mustafa al-‘Azami, Studies in Early Hadith Literature, h. 217
58
Kehidupan
Nabi
Muhammad -50 H 51-75 H 76-100 H 101-125 H 126-150 H
sanad hadis. Cook tidak sepakat dengan pendapat para ulama hadis yang
mengatakan bahwa sistem sanad adalah tradisi Islam yang tidak ditemukan pada
umat lain di luar Islam. Berdasarkan hasil riset Cook, ia menemukan bahwa sistem
sanad merupakan fenomena yang umum dikenal di berbagai tempat dan masa
sebelum Islam datang.45
Sebagaimana diketahui pada umumnya mayoritas ulama hadis sepakat
bahwa tradisi sanad hanya ada dalam Islam dan tidak ditemukan di luar Islam.
Misalnya pernyataan ‘Abdulla>h ibn Muba>rak (w 181 H) yang mengatakan:
ُ ْ ُأل َح كد ُ ِم َن
ِ ُاأل َم ِم
ُُكيَاُقَ ُِديْ ِميِ ْم َُو َ ِ َاُِب ْإل ْس نَا ِد َُومَيْ َسِ َاُوفَضَ لَي َ َشفَي ُ ْ ُللا ُاَ ْك َر َم ُى ِذ ِه
َ َ ُاأل َم َة َُو َ ا َن
ّ ّ
ُ ُاُِهُُصف ُِِفُ َأيْ ِدْيْ ِ ْم َُوقَدْ ُ َخلَط ْواُُِبكتِبِ ِ ْمُ َأ ْخ َب َار ُْه َِ َح ِد ْيثِ ِ ْمُا ْس نَاد َُواه َ َم
ّ ّ
‚Sesungguhnya Allah memuliakan dan memberikan kelebihan kepada umat
ini dengan adanya sanad. Tidak satupun dari semua umat terdahulu yang
memikiliki sistem sanad. Yang ada hanyalah lembaran-lembaran di tangan
mereka yang kadang tercampur antara isi kitab mereka dengan khabar-khabar
mereka.‛47
Secara lebih lugas, eksistensi sanad dalam Islam juga ditegaskan oleh Ibnu
Taimiyah (w 728 H). Beliau mengungkapkan pandangannya dengan mengatakan
45
Michael Cook, ‚The Opponents of The Writing of Traditional in Early Islam‛,
dalam Jurnal Arbica XLIV, 1997, h. 508
46
Abu H{usain Muslim ibn al-Hajja>j al-Qusyairi> al-Naisaburi>, al-Jami’ al-Sh}ahi>h,
(h. 15
47
Muh}ammad Luqma>n al-Salafi, Ih}tima>m al-Muh}additsi>n bi Naqd al-Hadi>ts Sanad
wa Matn, (Riyadh: Maktabah al-Riyadh, 1984), h. 153; Akram Dhiya’ al-’Umari, Buh}u>ts fi>
Tarikh al-Sunnah al-Musyrafah, cet. 4 (Beiru>t: Basath, 1984), h. 56 ; Muhammad
Muhammad Abu> Syuhbah, Fi> Rihab al-Sunnah al-Kutu>b al-Sh}ih}ah al-Sittah (Azhar:
Majma’ al-Turats, 1969), h. 37
60
bahwa Ahlul Kitab tidak memiliki sistem sanad. Penggunaan sanad hanya ada pada
umat Muhammad Saw, sebagai berikut:
ُاب ُ للاُعَلَ ْي ُِوُ َو َس ََُّلُ َو َج َع َُلُسل ًماُ ِا َُلُ ِال َراي َ ُِةُفَأَى
ُِ َْلُ ْام ِكت ُ َ َصُللاُُبِوُ ُأ َم َُةُم َح َم كُدُ َض
ُ ُىل ُ َ ُاإل ْس نَادُُخ
ّ
ُ َُُإلُا ْس نَا َدُُمَي ْمُُيَأِثر ْو َُنُ ِب َُوُامْ َم ْنق ْو َإل ِت
ّ
‚Sanad adalah sesuatu yang Allah khususkan untuk umat Muhammad Saw.
Allah jadikan ini sebagai cara untuk sampai kepada hadis (dirayah). Adapun
Ahlul kitab tidak memiliki sanad dalam menyampaikan berita yang dinukil
diantara mereka.‛48
Dari beberapa pernyataan di atas, tampak jelas para ulama hadis sepakat
bahwa sanad adalah sebuah kekhususan yang diberikan kepada umat Muhammad
Saw yang tidak diberikan kepada umat lain. Selain itu, pandangan ulama hadis di
atas juga mengatakan bahwa kelemahan umat-umat sebelum Islam adalah tidak
adanya sebuah sistem seperti sistem sanad yang dimiliki oleh Islam, sehingga
keaslian dan kemurnian ajaran mereka tidak dapat dipertanggung jawabkan.
Pendapat di atas ditanggapi oleh Michael Cook. Ia tidak sepakat dengan
pendapat ulama hadis di atas yang megatakan bahwa sistem sanad hanya ada dalam
Islam yang tidak ditemukan pada umat lain di luar Islam. Ketidaksepakan Cook
berangkat dari hasil riset yang dilakukannya yang menemukan bahwa Islam
bukanlah satu-satunya pemilik tunggal sistem sanad. Cook meyakini bahwa sistem
sanad merupakan fenomena yang dikenal di berbagai tempat dan masa sebelum
Islam datang. Jauh sebelum Islam datang sanad sudah digunakan oleh umat
terdahulu, seperti Yahudi, Arab klasik pra-Islam dan lain-lain.49
Menurut Michael Cook, sistem sanad dalam ajaran Yahudi dapat ditemui
dalam kitab Mishnah (Oral Law atau Oral Tradition).50 Kitab Mishnah adalah salah
satu kitab yang menjadi rujukan utama umat Yahudi dalam hal permasalahan
hukum.51 Mishnah secara bahasa berasal dari bahasa Ibrani yang asal katanya
48
Muh}ammad Luqma>n al-Salafi, Ih}tima>m al-Muh}additsi>n bi Naqd al-Hadi>ts Sanad
wa Matn, h. 155 153; Akram Dhiya’ al-’Umari, Buh}u>ts fi> Tarikh al-Sunnah al-Musyrafah,
cet. 4 , h. 165
49
Michael Cook, ‚The Opponents of The Writing of Traditional in Early Islam‛,
dalam Jurnal Arbica XLIV, 1997, h. 508 - 511
50
Michael Cook, ‚The Opponents of The Writing of Traditional in Early Islam‛, h.
509
51
Salah satu ciri utama dari ajaran Yahudi adalah dikotomi antara Taurat tertulis
dan Taurat lisan. Taurat tertulis biasa disebut Taurat, Torah, Pentateukh, atau Tanakh.
Dalam keyakinan umat Yahudi, Taurat merupakan firman Allah yang didiktekan kepada
Nabi Musa lalu Musa menuliskannya dalam dua buah lempeng batu, dan hal itu terjadi saat
61
adalah shanah yang berarti adalah "pengulangan" atau ‚peninjauan.52 Hal ini bisa
tercermin dari praktik penyampaian Mishnah dengan cara sistem hafalan secara
turun-temurun oleh orang-orang bijak Yahudi.53
Mishnah merupakan bagian pertama dan utama dari semua varian isi
Talmud.54 Kitab ini juga disebut sebagai Undang-Undang Kedua (Second Law)
sesudah Taurat yang isinya berupa tentang kumpulan hukum lisan Yudaisme.55 Isi
Mishnah mirip dengan Fikih dalam Islam, pembahasannya mengenai halal-haram,
aturan-aturan dalam beribadah, perkawinan dan perceraian, hukum pidana dan
perdata, sesembahan kurban dan semua upacara keagamaan.56
Michael Cook mengatakan bahwa sejarah kodifikasi dan transmisi hadis
memiliki kemiripan dengan Mishnah Yahudi.57 Sebagaimana hadis, sejarah
penulisan Mishnah memakan waktu yang lama. Pada awalnya penyebaran ayat-ayat
Mishnah hanyalah secara lisan saja. Bahan-bahannya disampaikan oleh guru secara
lisan, lalu dihafalkan oleh para murid. Dengan demikian, tersusunlah sebuah sistem
rangkaian sanad yang menyandarkan kepada Nabi Musa.58
nabi musa menemui Allah di bukit sinai selama empat puluh hari empat puluh malam.
Sedangkan Taurat lisan adalah penjelasan atau perincian atas Taurat tertulis. Taurat lisan
inilah yang biasa disebut dengan istilah Talmud. Pada prinsipnya kitab Talmud terbagi
dalam dua komponen yaitu, Misnah dan Gemara. Misnah adalah bagian utama dari Talmud
sebagai naskah asli (matan), sedangkan Gemara adalah versi pelengkap atau komplemen
atas Misnah yang berisi tentang rekaman diskusi oleh para tokoh agama Yahudi. Lihat
dalam Philip Birnbaum, Encyclopedia of Jewish Consepts, vol. V, (New York, Hebrew
Publishing Company, 1948), h. 12 ; A. Fabian, The Babylonian Talmud, (Universjty of
Queensland, 1963), h. 20 ; Branaites, Fadh at-Talmud, (Beirut: Da>r an-Nafais, 1999), h. 13
52
Michael J. Broyde dan Ira Bedzow, The Codification of Jewish Law and an
Introduction to the Jurisprudence of The Mishnah Berura, (t.t: Academic Studies Press,
2014), h. 11
53
Polano, The Talmud, (Inggirs: Cambridge University Press, 1979), h. 213-295 ;
Lihat juga Karen Armstrong, Sejarah Al-Kitab. Penerjemah Fransiskus Borgias, (Bandung:
PT Mizan Pustaka, 2013), h. 122
54
Talmud terdiri dari dua bagian utama, yaitu Misnah dan Gemara. Misnah biasa
disebut sebagai Talmud Yerusalem dan Gemara biasa disebut sebagai Talmud Babilonia.
Namun, selain dua kitab tersebut masih terdapat lagi kitab lain, seperti: Midrasah, Haggada,
Kabbalah dan lain-lain. Lihat Hermann L. Strack, Introduction to The Talmud and Midrash,
(Pihladelphia: Varda Books, 1931), h. 12-20
55
Yudaisme adalah nama yang diperuntukkan bagi lingkup Yahudi baik dalam
bidang keagamaan maupun dalam bidang kebudayaan, yang berasal dari masa sesudah
pembuangan bangsa Israel (sesudah tahun 538). Lihat Ensiklopedi Perjanjian Baru,
(Yogyakarta: Kanisius, 1990), h. 25.
56
David L. Baker, Ten Commandments, Two Tablets : The Shape of the
Decalogue, (Themelios, 1999), h. 55
57
Michael Cook, ‚The Opponents of The Writing of Traditional in Early Islam‛, h.
508
58
Karen Armstrong, Sejarah Al-Kitab. Penerjemah Fransiskus Borgias (Bandung:
PT Mizan Pustaka, 2013), h. 124
62
Selain itu, alasan lain larangan penulisan Mishnah karena masih adanya
Kuil Sulaiman (Solomon Temple)62 yang menjadi sekolah para rabbi. Kuil ini
menjadi pusat pendidikan agama Yahudi untuk mengajarkan ilmu-ilmu keagamaan.
Seluruh pelajaran agama yang disampaikan pada saat itu harus diberikan dengan
metode lisan.
Namun, setelah berabad-abad Mishnah disampaikan secara lisan dengan
turun-temurun, situasi berubah secara drastis terutama sebagai akibat
penghancuran komunitas Yahudi pada tahun 70 M, dan pergolakan norma-norma
59
Joseph Barcklay, Hebrew Literature, (New York, 1901), h. 42
60
Talmud Babilonia, Gittin, f. 60b. 13 (London, 1952), h.52
61
Talmud Palestina, Megillah, f. 74d. 16 (London, 1982), h. 142
62
Kuil Sulaiman (Solomon Temple) juga disebut Bait Salomo ataupun Haikal
Sulaiman. Tempat ini merupakan bangunan suci pertama agama Yahudi di Yarusalem.
Solomon Temple dibangun oleh King Sulaiman (Nabi Sulaiman) pada abad ke 8 SM.
Bangunan ini digunakan oleh umat Yahudi untuk pemujaan dan pengorbanan yang disebut
korbanot dalam tradisi mereka. Lihat Philip Birnbaum , Encyclopedia of Jewish Consepts,
h.101
63
sosial dan hukum Yahudi yang ditimbulkannya. Selalin itu, orang-orang Yahudi
sudah tersebar diseluruh dunia. Karena itu penting bagi setiap orang Yahudi
memiliki buku pedoman yang menguraikan penjelasan-penjelasan kitab suci secara
tertulis. Maka berdasarkan realitas baru yang dihadapi oleh orang Yahudi tersebut
maka munculah gagasan untuk menuliskan Mishnah. Metode lisan yang selama ini
telah berjalan berabad-abad dianggap tidak dapat lagi dipertahankan. Akhirnya,
diputuskanlah untuk memulai penulisan Taurat Lisan.63
Kitab Mishnah ini disusun sekitar tahun 200 M oleh seorang rabbi yang
bernama Judah Hanasi (135-220 M),64 kira-kira satu abad setelah Kaisar Titus
bersama legium Romawi menghancurkan Kuil Sulaiman.65 Rabbi Judah Hanasi
kemudian berinisiatif untuk mengumpulkan dan menulis Taurat Lisan. Namun,
penulisan Mishnah yang dilakukannya masih belum selesai hingga ia meninggal,
para rabbi setelahnya kemudian melanjutkan proyek penulisan tersebut dari satu
generasi ke generasi berikutnya, hingga baru selesai ditulis pada tahun 500 M di
kota Thabariyah (Palestina).66
Para rabbi Yahudi yakin bahwa Nabi Musa adalah sumber pertama dari
kitab Mishnah yang diterima di Thur Sinai. Kitab ini ditransmisikan turun-temurun
secara lisan dari Nabi Musa ke Nabi Joshua, lalu Joshua menyampaikannya kepada
ke para Tetua, lalu ke para Nabi, dan para Nabi menyampaikannya kepada orang-
orang dari Majelis Agung (Great Assembly) yang dipimpin oleh Ezra.67 Lalu
kemudian mereka menyampaikannya dari generasi ke generasi sehingga sampailah
pada suatu saat di mana pesan lisan ini tidak dapat dikuasai dan dijaga kecuali
dengan hanya tulisan.68
63
https://jewishcentersurabaya.wordpress.com (Diakses pada tanggal 11 Juli 2019).
64
Philip Birnbaum, Encyclopedia of Jewish Consepts, h. 99
65
Kuil ini diruntuhkan musuh Yahudi dua kali, yaitu tahun 589 SM oleh
Nebukadnezar dari kerajaan Babilonia. Kuil Sulaiman dibangun kembali pada tahun 520
SM. Dan Kaisar Titus dari Romawi bersama pasukannya menghancurkannya persis pada
tanggal 9 Agustus 70 M.. Tanggal ini dirayakan oleh kaum Yahudi setiap tahun. Lihat
Philip Birnbaum, Encyclopedia of Jewish Consepts, h. 111
66
Thariq as-Suwaidan, Ensiklopedia Yahudi, Penerjemah Iman Firdaus, (Jakarta:
Pustaka Imam Ays-Syafi’i, 2015), h. 149
67
Nama Ezra di kalangan bangsa Yahudi adalah termasuk salah satu nama yang
paling masyhur. Ia adalah seorang ahli Taurat ternama, pemimpin orang Yahudi pada abad
kelima dan keenam sebelum Masehi. Ezra telah berjasa dalam pengumpulan dan penulisan
kitab-kitab Yahudi. Ia juga berhasil mengumpulkan kembali sebagian dari tulisan-tulisan
Kitab Suci yang musnah terbakar. Selain itu, Ia membuat ‚Zinagage besar‛. yaitu suatu
tempat yang dijadikan majelis orang-orang cerdik-pandai Yahudi untuk bermusyawarah.
Lihat dalam Abujamin Roham, Pembicaraan Di sekitar Bible dan Al-Qur’an Dalam Segi Isi
dan Riwayat Penulisannya, (Jakarta : PT Bulan Bintang, 1984), h. 44
68
Karen Armstrong, Sejarah Al-Kitab, h. 124
64
Menurut Cook, rangkaian sanad seperti ini banyak dijumpai dalam kitab
Mishnah (Talmud Yerusalem), bahkan tidak hanya di Mishnah dalam kitab Gemara
(Talmud Babilonia) pun kerap ditemui rangkaian sanad seperti ini. Namun, menurut
Cook, sanad lebih umum banyak ditemui dalam Mishnah daripada Gemara.70
Michael Cook menambahkan bahwa meskipun sanad Mishnah dan hadis
memiliki tipologi yang sama namun keduanya tetap memiliki perbedaan.
Perbedaannya terletak pada ketersambungan sanadnya. Bila dalam Islam ada
banyak hadis yang sanadnya bersambung kepada Nabi Saw tanpa terputus, maka
berbeda dengan sanad yang ada dalam kitab Mishnah. Riwayat-riwayat Mishnah
dengan rangkaian sanad yang sampai kepada Nabi Musa tanpa terputus adalah
jarang terjadi, tetapi Cook mengatakan bahwa rangkaian sanad semacam itu tetap
dapat ditemukan dan benar-benar ada.71 Salah satu contohnya adalah sebagai
berikut:
69
Josef Horovitz mencantumkan rangkain sanad Mishnah ini di dalam karnyanya
yang berjudul ‚Alter und Ursprung des Isna>d‛ dalam jurnal Der Islam der Islam, (1917), h.
33. Horovits mengutipnya dari Mishnah, Berakhot, f. 11b. 48.
70
Michael Cook, ‚The Opponents of The Writing of Traditional in Early Islam‛, h.
126
71
Michael Cook, ‚The Opponents of The Writing of Traditional in Early Islam‛, h.
510
65
Halakah given to Moses from Sinai, that Elijah will not come to declare
unclean or clean….‛
‚R. Joshuan mengatakan: saya telah menerima sebuah riwayat dari Robban
Johanan b. Zakka’i, yang mendengar dari gurunya, dan gurunya mendengar
dari gurunya, sebagai sebuah Halakah yang diberikan kepada Musa dari bukit
Sinai, bahwa Elija tidak datang untuk mengumumkan yang najis atau yang
suci….‛.72
Michael Cook mengklaim sanad ini bersambung sampai kepada Nabi Musa
tanpa adanya keterputusan. Cook mengakui bahwa sanad yang bersambung tanpa
mengalami keterputusan memang jarang ditemui dalam Mishnah. Namun, sanad
yang muttasil seperti ini tetap dapat ditemukan meskipun jumlahnya terbatas dan
tidak banyak. Yang jelasnya, bagi Cook, sanad yang bersambung tidak hanya ada
dalam hadis, tapi juga terdapat dalam kitab Mishnah.
Selain kemiripan dalam hal rangakaian nama-nama perawi Mishnah,
terdapat juga istilah-istilah yang digunakan dalam periwayatan Mishnah yang mirip
dengan istilah-istilah yang digunakan dalam periwayatan hadis, istilah-istilah
tersebut yaitu: meneruskan/menerima (masar/qibbel), berkata/mendengar
(amar/shema), memberi/menerima (natan/laqah).73 Dalam studi hadis, istilah-istilah
tersebut mirip dengan metode yang digunakan dalam menerima dan mendengar
suatu riwayat hadis (Tahammul wal ada’). Namun, dari penelusuran penulis tidak
ada keterangan lebih lanjut bagaimana metode tersebut digunakan.
Adapun sanad dalam sejarah Kristen tidak dijelaskan oleh Michael Cook.
Namun, ia menyebutkan bahwa fenomena sanad merupakan tradisi yang dikenal di
beberapa tempat dan masa di luar Islam. Sebagaimana pernyataannya yang penulis
kutip:
72
Herbert Danby ‚The Misnah‛ ‘Eduyot, 8:7 (New York: Oxford University Press,
1933), h. 436
73
Samuel Belkin, In His Image: The Jewish Philosophy of Man as Expressed in
Rabbinic Tradition (London: Abelard-Schuman, 1961), h. 99
74
Michael Cook, ‚The Opponents of The Writing of Traditional in Early Islam‛, h.
519
66
75
Ibnu Hazm tidak menjelaskan pada bagian mana dan halaman berapa sanad
tersebut terletak dalam Injil. Ibnu Hazm hanya mengatakan bahwa sistem sanad terdapat
juga dalam injil tapi ia hanya mengatakan tanpa memperlihatkannya dan tidak
mengutipnya. Sehingga perlu dilakukan penelitian yang lebih lanjut. Lihat Imam Jalaluddin
As-Suyuthi, Tadrib ar-Ra>wy>, Jilid 2, (Beirut: Da>r al-Kutub al-Ilm’iyah, 1997), h. 94
76
Maurice Bucaille, Bibel, Quran dan Sains Modern. Penerjemah H.M Rasyidi
(Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 59
77
P.W. Comfort, Early Manuscript and Modern Translations of the New
Tastament), h. 96
67
78
Yesus memiliki dua belas murid yang dalam teologi Kristen mereka disebut para
Rasul. Kedua belas murid tersebut adalah murid-murid utama Yesus, tokoh sentral agama
Kristen yang menjadi pengikut-pengikut terdekat Yesus. Di kemudian hari, pengikiut-
pengikut terdekat ini menjadis informan utaman yang diwartakan Yesus. Dua belas murid
Yesus tersebut adalah: Petrus, Yakobus, Yohanes, Simon, Matius, Yudas, Andrew, James,
Philip, Thomas, Bartolomeus, dan Yudas Iskariot. Sebenarnya masih ada 70 orang lagi
murid Yesus namun ke 12 tersebutlah yang dipilih langsung oleh Yesus untuk
mengikutinya, karena mereka akan memiliki tugas-tugas khusus. Lihat Yakob Tomatala,
Alkitab dan Komunikasi, (Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 2001), h. 90 ; Lihat juga
Arnold, Chris Marantika, (Yogyakarta: ST11, 1997), h. 101
79
Charles Swindoll, Yesus: Tokoh Terbesar, Terjemahan Yahya Kristianto
(Jakarta: Nifira Gabriel, 2008), h. 78
80
L. Berkhof, Sejarah Perkembangan Ajaran Trinitas, Penerjemah Thoriq A,
(Bandung: CV Sinar Baru, 1992)
68
ُ ُامش ْعرُ ِديْ َوانُامْ َع َر ِبُبِوَُ ِس َظ ِت ُْاإلو ْ َساب َُوع ِرُفَ ِتُاملأ ِثر َُو ِم ْنوُثع ِل َمتُانلُّغَ َة
ِ
ّ
Syair adalah catatan bangsa Arab, dengan syair garis keturunan dilestarikan,
dengannya jejak peninggalan (pendahulu) dikenal, dan dengannya bahasa
diajarkan.84
Cook juga mengatakan bahwa periwayatan syair telah lebih dahulu ada
daripada periwayatan hadis. Setiap syair memiliki rawi, rawi-rawi inilah yang
menjaga dan menjamin ketersambungan periwayatan syair. Hubungan antara rawi
dan syairnya tak jauh berbeda dengan hubungan antara perawi hadis dengan hadis
yang diriwayatkannya itu. Hal ini diterangkan oleh Michael Cook sebagaimana
penjelasannya sebagai berikut:
‚The suggestion has been made that the origin of the isna>d lies in practice of
transmission among the pre-Islamic poets; a poet would have a ra>wi> or ra>wis
who would memorise and recite his poetry.‛85
‚Pernyataan telah diajukan bahwa asal usul isna>d terletak pada praktik
periwayatan di kalangan para penyair pra-Islam; sebuah syair memiliki rawi
atau beberapa rawi yang menghafal dan membaca syairnya.‛
81
Yu>suf Khulaif, Dira>sa>t Fi> al-Syi’r al-ja>hili>, (Kairo: Maktabah al-Gari>b, 1981 ), h.
25
82
A. Sprenger, Ar-Riwa>yah wa ar-Ruwa>t ‘ind al-‘Arab, dalam Dira>sa>t al-
Mustaryriqi>n Haula Shihhat ary-Syi’r al-Ja>hili>, Penerjemah Abdurrahman Badawi, (Beirut:
Da>r al-‘Ilm li al-Mala>yi>n, 1986), h. 270
83
84
Abu> al-Husain ibn Fa>ris al-Lugawi>, At-Shahi>hi fi> Fiqh al-Lugah al-‘Arabiyyah
wa Sunan al-‘Arab fi Kalamihi, (Beirut: Maktabah alMa'arif, 1414 H/1993 M), h. 267
85
Michael Cook, ‚The Opponents of The Writing of Traditional in Early Islam‛, h.
511
69
86
Michael Cook, ‚The Opponents of The Writing of Traditional in Early Islam‛, h.
520
87
Badri Yatim, Histografi Islam, (Jakarta: Logos 1997), h 29-39
70
penyampaian semacam ini mengenal istilah riwayah yang sekaligus terkait dengan
sanad (tansmisi), matan (materi/isi), dan al-‘ardh wa al-ada’ (penyampaian).
Penggunaan sistem sanad pada masa Arab jahili bermula pada masa
perkembangan kesusasteraan syair Arab. Para penyair khususnya telah
menggunakan sistem ini di dalam menyampaikan syair-syair yang dilakukan di
kalangan para penyair dan orang ramai.88 Ini menunjukkan bahwa sistem sanad ini
berfungsi bukan saja untuk menyampaikan hadis Nabi Saw tetapi maklumat-
maklumat lain seperti syair, berita-berita daripada pemimpin dan berbagai lagi jenis
maklumat. Hal inilah yang kemudian diyakini oleh Michael Cook bahwa sistem
sanad sudah lazim digunakan oleh Arab pra-Islam sebelum Islam datang. Setelah
Islam datang maka sistem ini tetap dilanjutkan dan direduksi oleh Islam, sanad
menjadi sistem yang modern dan sempurna seteleh para perawi hadis
menggunakannya sebagai sistem transimisi hadis.
D. Asumsi Dasar Pemikiran Michael Cook tentang Islam Menjiplak Sistem Sanad
Yahudi
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa menurut Michael Cook sistem
sanad sudah digunakan oleh umat terdahulu jauh sebelum Islam datang, yaitu
digunakan oleh umat Yahudi dalam transmisi riwayat Mishnah, dan juga digunakan
oleh orang-orang Arab pra-Islam dalam periwayatan syair.89 Namun, pemikiran
Cook ini tidak berhenti sampai di sini. Ia kemudian mempresentasikan
pemikirannya secara komprehesif dengan berpendapat bahwa sistem sanad hadis
besar dipengaruhi oleh sistem sanad Yahudi. Hal ini dijelaskan oleh Cook dengan
mengatakan bahwa sanad hadis sangat erat kaitannya dengan sanad Yahudi. Oleh
karena itu, Cook berani menyipulkan bahwa sistem sanad hadis adalah sesuatu yang
dipinjam dari Yahudi. Hal tersebut sebagaimana yang dijelakan oleh Cook sebagai
berikut:
88
Nasir al-Asad, Mashsadir al-Syi’r al-Jahili, ed (Cairo: 1962). h. 245
89
Michael Cook, ‚The Opponents of The Writing of Traditional in Early Islam‛,
dalam Jurnal Arbica XLIV, 1997, h. 511
90
Michael Cook, ‚The Opponents of The Writing of Traditional in Early Islam‛, h.
508
71
‚Dikotomi antara wahyu tertulis dan tradisi lisan tidak hanya sama-sama
dimiliki oleh Yahudi dan Islam, tetapi pada waktu dan tempat di mana Islam
terbentuk, ia juga merupakan suatu kombinasi yang khusus bagi keduanya
yang tidak saya temukan di tempat lain (Yahudi dan Islam). Oleh karena itu,
merupakan suatu hipotesis yang jelas bahwa seluruh pemahaman mengenai
sanad merupakan sesuatu yang dipinjam oleh Islam dari Yahudi.‛
‚This was a more peculiar, not to say perverse, cultural project, and I have
argued in this study that its adoption makes historical sense only as a rasidue
of Rabbinic Judaism.‛91
‚Ini adalah proyek budaya yang aneh, bukan untuk mengatakan tidak wajar,
dan saya telah mengemukakan argumen dalam studi ini bahwa pemakaian
sanad secara historis dapat dipahami hanya sebagai sisa dari ajaran Yahudi.‛
91
Michael Cook, ‚The Opponents of The Writing of Traditional in Early Islam‛, h.
521
72
‚R. Zeriqa said: R. Ammi said: R. Simeon ben Laqish said: ‚R. Yehudah
said: Rav said: ‚R. Abba said: R. Hiyya bar Ashi said: Rav said:…..‛.92
Pola rangkaian sanad seperti ini memiliki kesamaan dengan pola sanad
yang ada dalam hadis. Menurut Cook, tidak ditemukan pola yang sama dari sumber
lain, baik pada sanad Kristen maupun sanad Arab Klasik. Pola rangkaian sanad
secara berantai dan sandar menyandarkan seperti ini hanya dapat ditemukan dalam
kitab Mishnah dan hadis.93 Sehingga ini menguatkan asumsi Cook bahwa sanad
hadis besar dipengaruhi oleh sistem sanad Misnhah.
Kedua, Cook mengatakan bahwa pada awalnya praktik penulisan Mishnah
ditentang oleh beberapa kalangan Yahudi, Mishnah hanya boleh dihafalkan dan
ditransmisikan secara oral dengan disampaikan dari mulut ke mulut.94 Praktik
larangan penulisan tersebut ditentang sebab ada beberapa ayat yang melarang
penulisan, yaitu salah satu di antaranya terdapat dalam kitab Talmud Babilonia
sebagai berikut:
‚You may not transmit written words orally and you may not transmit oral
words in writing‛.95
Selain itu, dalil lain yang sering dijadikan sebagai landasan untuk melarang
melakukan penulisan terhadap kitab Mishnah yaitu terdapat dalam kitab Talmud
Palestina sebagai berikut:
‚Words which have been transmitted orally must be transmittend orally, and
words which have been transmitted in writing must be transmitted in
writing‛.
92
Joseph Horovits mencantumkan rangkain sanad Misnah ini di dalam karnyanya
yang berjudul ‚Alter und Ursprung des Isna>d‛ dalam jurnal Der Islam der Islam, (1917), h.
33. Horovits mengutipnya dari Misnah, Berakhot, f. 11b. 48.
93
Michael Cook, ‚The Opponents of The Writing of Traditional in Early Islam‛, h.
509-511
94
Michael Cook, ‚The Opponents of The Writing of Traditional in Early Islam‛, h.
509
95
Talmud Babilonia, Gittin, f. 60b. 13 (London, 1952), h.52
73
Penulisan Mishnah baru dilakukan oleh rabbi Judan Hanasi pada tahun 200
M. Namun, ia meninggal sebelum tulisan tersebut selesai. Proyek penulisan
Mishnah kemudian dilanjutkan oleh para rabbi generasi setelahnya dan akhirnya
baru selesai pada tahun 500 M.97 Menurut Cook, kasus ini sama persis dengan apa
yang terjadi dalam penulisan hadis. Pada awalnya muncul larangan penulisan hadis.
Nabi Saw melarang melakukan penulisan hadis dan hanya boleh disampaikan dari
mulut ke mulut. Proses transimisi hadis secara oral berlangsung sampai pada masa
Dinasti Muawiah, yaitu sekitar 100 tahun setelahnya atas perintah dari Khalifah
Umar bin Abdul Aziz.98
Ketiga, Michael Cook juga menjelaskan bahwa selain ada banyak dalil yang
melarangan penulisan Mishnah, akan tetapi ada pula beberapa dalil yang
mendukung tulisan walaupun dalil tersebut jumlahnya terbatas dan tidak banyak.
Cook mengutip salah satu contoh ayat yang melarang penulisan Mishnah yang
terdapat dalam kitab Talmud Babilonia sebagai berikut:
‚They reply to the sayings forbidding writing that the Rabbies do indeed rely
on what they lern by heart, but since there is a danger of forgetting, they
write it down and deposit it, and when they forget something, they look in
the book‛.
Sama seperti dalam Islam, meskipun di satu sisi ada keterangan dari Nabi
Saw yang melarangan penulisan hadis, akan tetapi di sisi lain ditemukan juga
beberapa riwayat yang memperbolehkan penulisan hadis. Oleh karena itu, baik
hadis maupun Mishnah sama-sama memiliki sejarah pro-kontra dalam hal
96
Talmud Palestina, Megillah, f. 74d. 16 (London, 1982), h. 142
97
Thariq as-Suwaidan, Ensiklopedia Yahudi, Penerjemah Iman Firdaus, (Jakarta:
Pustaka Imam Ays-Syafi’i, 2015), h. 149
98
Michael Cook, ‚The Opponents of The Writing of Traditional in Early Islam‛, h.
476-481
99
Michael Cook, ‚The Opponents of The Writing of Traditional in Early Islam‛, h.
500
74
penulisan. Menurut Cook, kesamaan ini menjadi salah satu indikasi kuat yang
membuktikan bahwa sanad hadis diadopsi dari tradisi sanad Yahudi.
Keempat, untuk mengumpulkan suatu riwayat, baik periwayat Mishnah
maupun periwayat hadis, mereka sama-sama melakukan perjalanan jauh,
mengunjungi berbagai kota demi untuk menemui para perawi untuk mendapatkan
riwayat. Rabbi Zera adalah salah satu periwayat Mishnah yang terkemuka, ketika ia
mendengarkan suatu riwayat tertentu dari tempat yang jauh, ia mengungkapkan
harapan bahwa suatu hari ia akan ke tempat itu dan mendengarkan perkataan
tersebut secara langsung sebagaimana ia lakukan pada akhirnya.100 Demikian pula
dengan para perawi hadis. Abu> al-A<liyah (w. 90) misalnya, ketika ia mendapat
kabar bahwa ada sahabat di Madinah yang memiliki beberapa riwayat hadis, maka
ia segerah berangkat ke Madinah untuk mendengarkan hadis-hadis itu langsung dari
para sahabat sendiri.101
Kelima, baik Mishnah dan hadis keduanya memiliki kesamaan dalam hal
pengumpulan dan penulisan dalam bentuk buku, dimana antara hadis dan Mishnah
masing-masing memiliki kumpulan enam kitab. Pada saat ditulis, Mishnah dibagi
menjadi enam bagian sesuai dengan pokok bahasan. Keenam bagian tersebut
dikenal dengan istilah The Six Orders (Enam Buku).102 Sedangkan dalam Islam
keenam kitab hadis disebut dengan Kutub al-Sittah (Kitab Enam). Cook mengutip
pendapat Josef Horovitz bahwa adanya kesamaan jumlah antara pembagian enam
kitab hadis dan enam kitab Mishnah mungkin bukan kebetulan, tentu ini
mengundang banyak pertanyaan dan kemungkinan besar kitab hadis dipengaruhi
oleh kitab Mishnah.103
Lima hal di atas adalah landasan yang diajukan oleh Micahel Cook untuk
memperkuat argumennya. Bagi Cook, lima poin di atas cukup menjadi bukti untuk
mengatakan bahwa sanad Islam berasal dan dipengaruhi oleh tradisi sanad yang ada
pada Yahudi. Sanad Yahudi dan Islam memiliki persamaan, baik dari segi metode
penyandaran, sejarah penulisan, tradisi periwayatan, proses pencarian riwayat dan
100
Michael Cook, ‚The Opponents of The Writing of Traditional in Early Islam‛,
h. 511
101
Michael Cook, ‚The Opponents of The Writing of Traditional in Early Islam‛,
h. 511
102
Sampai hari ini, Talmud lengkap, yang mengikuti divisi enam yang disebut
dengan istilah "The Six Orders." Enam buku tersebut yaitu: (1) Zera>’i>m, hukum pertanian;
(2) Mo>’e>d, hukum-hukum Sabat dan perayaan festival; (3) Na>shi>m, undang-undang tentang
perempuan (pernikahan, perceraian, dll.); (4) Nezi>qi>n, hukum kerusakan sipil (gugatan,
kontrak, properti, bukti dan prosedur); (5) Qoda>shi>m, hukum tentang hal-hal suci
(pengorbanan, pelayanan ilahi, dll.); dan (6) T{oha>ro>t, hukum kemurnian ritual.
103
Josef Horovitz, ‚Alter und Ursprung des Isna>d‛ dalam jurnal Der Islam der
Islam, (1917), h. 113
75
pembukuan atau kodifikasi. Dengan demikian, Cook yakin bahwa Islam telah
menjiplak sistem sanad dari tradisi sanad Yahudi.
BAB IV
1
Muhammad Mustafa Al-‘Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya,
Penerjemah Ali Mustafa Ya’qub (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), h. 530
2
Ali Mustafa Ya’qub, Kritik Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), h. 97
3
Muhammad Ali, ‚Kajian Sanad‛, dalam Tahdis: Jurnal Kajian Ilmu Hadis,
Volume 6, no. 2, 2015, h. 97
4
Muhammad Ali, ‚Kajian Sanad‛, dalam Tahdis: Jurnal Kajian Ilmu Hadis, h. 97
76
77
Hal ini dapat dimaklumi, mengingat bahwa apa yang mereka riwayatkan
itu tidak mengandung nilai-nilai sakral yang harus diagungkan seperti periwayatan
yang terdapat dalam Islam. Karena itu, mereka tidak begitu teliti dalam
meriwayatkan. Hal ini dapat kita saksikan pada sebagian besar cerita kuno dan
syair-syair yang mereka bawa. Cerita-cerita tersebut hanya dimaksudkan untuk
memuaskan perasaan, sebagai hiburan, atau untuk menyebarkan semangat
perjuangan dan keberanian serta membangkitkan semangat pertempuran.5
Urgensi dan arti penting penggunaan sistem sanad baru tampak dan lebih
penting pada masa Islam. Islam menjadikan sanad sebagai bagian daripada agama.
Periwayatan dalam Islam mempunyai keistimewaan dan ciri-ciri khusus yang akan
membedakannya dengan periwayatan-periwayatan yang telah ada sebelumnya.
Keistimewaan ini dilihat dari dua aspek,6 yaitu: pertama, perhatian umat Islam
terhadap aspek periwayatan; kedua, adanya unsur persambungan sanad sampai
kepada Nabi. Sedangkan periwayatan sebelum Islam di kalangan Yahudi, Kristen
dan Arab pra Islam sebatas pada penyampaian kabar atau berita tanpa
memperhatikan orang yang menyampaikan dan kebenaran berita tersebut.
Periwayatan terdahulu selain tidak memiliki prangkat lengkap dalam
melakukan kritik sanad, kebanyakan sanad mereka juga terputus. Banyak dari
riwayat mereka yang berstatus dengan status mursal atau mu’dhal (jenis-jenis
riwayat yang terputus jalur periwayatannya). Sanad-sanad riwayat mereka
mengalami keterputusan baik di awal, tengah maupun akhir periwayat. Hal tersebut
sebagaimana yang diungkapkan oleh Ibnu Hazm, dalam pernyataanya yang
mengatakan bahwa salah satu kelemahan dari sanad Yahudi yaitu tidak adanya
sanad yang bersambung sampai kepada Nabi Musa. Riwayat orang-orang Yahudi
itu hanya sampai pada orang yang antara dia dengan Nabi Musa jaraknya lebih dari
30 generasi (thabaqat). Ibnu Hazm menambahkan bahwa sanad yang dimiliki oleh
Yahudi hanya sampai kepada Syam’un atau semasanya, tidak ditemukan sanad
yang sampai kepada Nabi Musa. Dengan demikian sanad mereka jelas memiliki
keterputusan.7
Michael Cook mengakui bahwa rangkaian sanad riwayat-riwayat Mishnah
yang sampai kepada Nabi Musa tanpa terputus adalah jarang terjadi. Namun, ia
menambahkan bahwa meskipun jarang ada sanad yang ditemui bersmbung tetapi
rangkaian sanad yang bersambung tetap dapat ditemukan dan benar-benar ada
dalam Mishnah.8 Salah satu contohnya adalah sebagai berikut:
5
Penggunaan sanad Masyarakat Jahiliyah bukan hal-hal yang bersifat sakral dan
suci serta tidak memiliki ketentuan-ketentuan yang ketat. Lihat Muhammad Abu Syuhbat,
Fi> Rihat al-Sunnah al Kutub al-Shihal al-Sittah, (Kairo: Majma al-Buhut al-Islamiyah,
1989), h. 32.
6
Muhammad Imran, Analisis ke-Siqah-an Perawi Hadis (Yogyakarta: Istana
Publishing, 2016), h. 47
7
Mustafa Amin Ibrahim at-Taziy, Muhadrat fi> ‘Ulum al-Hadis, Juz,I, cet. IV
(Mesir: Da>r al-Taf’lif bi al-Maliyyah, t.t), h. 3
8
Michael Cook, ‚The Opponents of The Writing of Traditional in Early Islam‛, h.
510
78
‚R. Joshuan mengatakan: saya telah menerima sebuah riwayat dari Robban
Johanan b. Zakka’i, yang mendengar dari gurunya, dan gurunya mendengar
dari gurunya, sebagai sebuah Halakah yang diberikan kepada Musa dari bukit
Sinai, bahwa Elija tidak datang untuk mengumumkan yang najis atau yang
suci….‛.9
Menurut Cook, sanad ini bersambung sampai kepada Nabi Musa tanpa adan
keterputusan. Sanad yang bersambung memang jarang ditemui dalam Mishnah.
Namun, sanad yang muttasil seperti ini tetap bisa ditemui meskipun jumlahnya
tidak banyak.10
Pernyataan Cook yang mengatakan bahwa sanad di atas merupakan sanad
yang bersambung kepada Nabi Musa tanpa adanya keterputusan perlu dikritisi.
Letak permasalahannya karena Cook tidak memaparkan bagaimana cara ia
mengetahui bahwa sanad tersebut muttasil, ia tidak menjelaskan metode apa yang
ia gunakan untuk mengklaim ketersambungan sanad Mishnah tersebut. Sehingga
pernyataan Cook di atas masih sebatas asumsi.
Bila dikaji lebih lanjut, sanad yang dikutip oleh Cook di atas pada dasarnya
mengalami keterputusan. Dalam rangkaian sanad tersebut terdapat nama Rabban
Johanan yang menerima riwayat dari gurunya dan gurunya mendengar dari gurunya.
Di sinilah letak titik permasalahannya sebab tidak diketahui siapa sosok guru dari
Rabban Johanan tersebut. Ia hanya menyebutkan bahwa ia menerima dari gurunya
tapi tidak diketahui siapa namanya dan bagaimana profil gurunya. Dalam tinjauan
ilmu hadis tentu kasus seperti ini dikategorikan sebagai sanad yang terputus, sebab
guru Rabban Jonanan majhul (tidak diketahui). Oleh karena itu, klaim Cook yang
mengatakan bahwa sanad di atas bersambung kepada Nabi Musa tidak dapat
diterima.
Demikian juga pada kitab suci Kristen tidak ditemukan adanya sanad yang
menghubungkan sampai kepada Yesus (Nabi Isa). Periwayatannya yang dianggap
diterima secara lisan dari generasi ke generasi tidak dapat dibuktikan secara
kongkrit. Para perawi yang terlibat dalam transmisi riwayat Perjanjian Lama dan
Perjanjian Baru tidak memiliki identitas yang jelas. Para periwinya tidak bisa
ditelusuri sebab nama dan identitasnya tidak ada, karenanya silsilah Injil baik Injil
Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru bisa dipastikan sanadnya terputus.
Adapun pernyataan Ibnu Hazm yang mengatakan bahwa ada satu sanad
yang terdapat dalam Injil yang berbicara tentang pengaharaman talak adalah
9
Herbert Danby ‚The Misnah‛ ‘Eduyot, 8:7 (New York: Oxford University Press,
1933), h. 436
10
79
pernyataan yang tidak bisa dijadikan sebagai landasan ilmiah.11 Sebab Ibn Hazm
tidak menerangkan pada bagian mana dan ayat berapa sanad tersebut terletak
dalam Injil. Ibn Hazm hanya mengatakan bahwa terdapat sanad dalam Injil yang
berkaitan tentang talak. Namun, ia tidak menjelaskannya secara mendetail dimana
letak sanad tersebut dalam Injil. Dengan demikian, tak satu pun ayat Injil yang
memiliki jalur riwayat yang bersambung kepada Nabi Isa (Yesus). Jika ditelaah
menurut kacamata ilmu hadis, maka seluruh ayat Injil adalah dha’i>f karena semua
dalam kategori munqathi’ (terputus jalur), periwayatnya tidak diketahui (majhul)
maupun tidak jelas asalnya (la ashla lahu).
Yang menarik adalah temuan hasil penelitian dari Robert W. Funk,
professor ilmu Perjanjian Baru dari Harvad University ini membuktikan bahwa
ucapan Yesus dalam Injil hanya 18 persen, artinya sebanyak 82 persen ayat Injil itu
palsu. Hasil penelitiannya ini cukup menggemparkan dunia pada saat itu, dalam
pemaparan hasil penelitiannya ia mengatakan :
‚Eighty-two percent of the words ascribed to Jesus in the Gospels were not
actually spoken by him.‛
‚Delapan puluh dua persen kalimat yang disebut-sebut sebagai ucapan Yesus
dalam kitab-kitab Injil sebenarnya tidak pernah diucapkan oleh Yesus.‛12
11
Mustafa Amin Ibrahim at-Taziy, Muhadrat fi ‘Ulum al-Hadis, h. 34
12
Hasil penelitian ini disampaikan oleh Robert W. Funk dalam sebuah seminar di
California, Amerika Serikat pada tahun 1993. Penelitian ini dilakukan bersama 76 orang
ahli dari berbagai kalangan, seperti, ahli ilmu teologi Kristen, ahli kitab suci, ahli bahasa
Ibrani. Hasil penelitiannya kemudian ia publikansikan dalam bentuk buku yang berjudul
The Five Gospels, What did Jesus Really Say?. Lihat Robert W. Funk, The Five Gospels,
What did Jesus Really Say?, (New York: HarperOne, 1993), h. 5
80
15
Joshua Abelson, The Immanence of God in Rabbinical Literature (London:
Bibliolife DBA, 1912), h. 110
82
orientalis terkenal yang bersal dari Jerman. Dia mengatakan : ‚Tidak ada satupun
dari bangsa-bangsa terdahulu dan juga pada bangsa-bangsa sekarang yang
menghasilkan karya seperti Ilmu Asma’ Rijal (Ilmu yang memuat biografi para
perawi hadis) seperti disusun oleh umat Islam dalam ilmu yang agung ini.
Ilmu ini memuat informasi dan hal ihwal sekitar 500.000 perawi hadis.‛16
Maurice Bucaille seorang orientalis berkebangsaan Prancis yang pada akhir
usianya terketuk masuk Islam juga mengakui kehebatan sistem sanad hadis. Ia
mengatakan bahwa: ‚Para ulama hadis membukukan nama-nama periwayat yang
menukilkan ucapan dan perbuatan Nabi Saw hingga nama-nama tersebut
bersambung sampai kepada generasi pertama, baik dari keluarga Nabi Saw atau
sahabat-sahabat beliau yang langsung bertemu dengan beliau. Usaha ini dilakukan
setelah meneliti satu persatu biografi periwayat. Serta menjauhi periwayat yang
diketahui memiliki rekam jejak yang buruk dan tidak jujur. Metodologi ini hanya
dimiliki oleh ulama Islam dalam setiap meneliti semua kabar dari Nabi Mereka‛.17
Selain itu, pengakun lain juga datang dari seorang sejarawan Nasrani asal
Libanon yang bernama Asad Gabriel Rustum (1897-1965 M). Ketika ia mecatat
karyanya yang berjudul Mushthalah At-Tarikh, ia memberikan pengakuan tentang
hebatnya metodologi penukilan berita sejarah dalam tradisi Islam. Bagaimana
ummat Islam memilah, mana pewarta yang terpecaya dan mana yang bukan
sungguh luar biasa. Mana yang adil dan mana yang amanah. Sehingga ia pun
mengambil sebagian berita sejarah dari ahli sejarah Islam.18
B. Kritik atas Pemikiran Michael Cook tentang Islam Menjiplak Sistem Sanad
Yahudi
Dari ulasan yang lalu, ada satu problem yang perlu mendapat perhatian
khusus untuk dikaji lebih lanjut, yaitu pernyataan Cook yang mengatakan bahwa
Islam telah menjiplak sistem sanad Yahudi. Hal ini diungkapkannya dengan
mengatakan bahwa sanad hadis sangat erat kaitannya dengan sanad Yahudi.
Sehingga Cook berkesimpulan bahwa sistem sanad hadis adalah plagiat yang
diadopsi dari Yahudi.
Dari pernyataan Michael Cook tersebut, tidak secara langsung ia membuat
framing negatif terhadap hadis dengan cara menggiring opini para pembaca bahwa
Islam adalah agama imitasi. Ajaran Islam adalah ajaran plagiasi yang dimana
sistem dan metodologinya banyak diapdopsi dari agama terdahulu. Dengan
demikian, Islam bukanlah ajaran yang murni dari Allah melainkan agama yang
dibuat-buat dengan cara menjiplak dan menyalin sistem ajaran terdahulu, yaitu
dalam hal ini adalah ajaran Yahudi. Pertanyaannya banarkah Islam melakukan
plagiasi sistem sanad dari Yahudi? Pertanyaan ini harus dijawab, oleh karena itu
16
Seperti yang dikutip oleh ‘Abdul Halim Mahmu>d, Al-Sunnah fi> Maka>natiha> wa
fi> Ta>rikhiha> (Kairo: Da>r al-Kutub al-‘Arabi>, 1996 M), h. 69
17
Maurice Bucaille, Dirasah al-Kutub al-Muwaddasah fi Dhaui al-Ma’rifah al-
Hadits
18
Asad Gabriel Rustum, Mushtalah at-Ta>ri>kh: Wa huawa Bah}s fi> Naqd al-Usul
(Beirut: Al-Maktabah al-‘Asyri>yah, 2012), h. 116
83
pada bagian ini penulis fokus membahas dan menganalisis bangunan argumentasi
Michael Cook tentang polemik orisinalitas sejarah sistem sanad hadis.
Bila ditelusuri lebih mendalam, pemikiran Cook sesungguhnya tidak jauh
berbedah dengan pemikiran orientalis pendahulunya. Pada umumnya orientalis
sebelum Cook mengatakan bahwa akar ajaran Islam dipandang banyak berasal dari
ajaran-ajaran Yahudi dan Kristen. Misalnya pandangan Abraham Geiger, seorang
orientalis dan rabbi Yahudi kelahiran Jerman. Ia mengatakan bahwa Islam tidak
hanya menyalin ajaran asli Yahudi, akan tetapi juga sebagai wadah untuk
menyalurkan paham monoteis Yahudi terhadap agama pagan di dunia.
Pandangannya tersebut dituangkan dalam tulisannya yang berjudul What Did
Muhammad Borrow from Judaism.19 Selain itu, W. St. Clair Tisdall mengatakan
yang sama bahwa Yahudi bukan satu-satunya yang mempengaruhi al-Qur’an dan
hadis, akan tetapi di sana juga terdapat pengaruh dari ajaran Kristen.20 Padahal bila
dikaji lebih lanjut tidak ada bukti yang subtansial mengenai orang-orang Yahudi
dan Kristen yang hidup di Makkah di mana Rasulullah lahir dan menghabiskan
tahun-tahun hidupnya untuk pembentukan Islam.21
Perjumpaan Rasulullah dengan Yahudi dan Kristen baru terjadi di kota
Madinah, yakni lebih dari 13 tahun setelah wahyu al-Qur’an yang pertama
diturunkan. Tuduhan bahwa orang-orang Yahudi dan Kristen menjadi sumber Islam
adalah tidak berdasar, karena dalam pertemuan dengan mereka Rasulullah
mengajak mereka masuk Islam, bukan sebaliknya dimana mereka mengajarkan
Rasulullah tentang agama mereka.22 Hal ini berbanding terbalik dengan tuduhan-
tuduhan orientalis. Selain itu, Injil versi Arab belum ada pada masa Rasulullah
masih hidup. Perjanjian Lama Versi Arab tertua ditulis oleh Saadias Gaon pada
tahun 900 M (lebih dari 250 tahun setelah kematian Rasulullah).23
Membandingkan kitab Islam dan kitab umat terdahulu adalah tolak ukur
yang lazim digunakan oleh hampir semua orientalis dalam mengakaji al-Quran dan
hadis. Hal yang serupa juga dilakukan oleh Cook dalam membuat kesimpulan
bahwa sistem sanad hadis dijiplak dari sistem sanad Mishnah Yahudi. Klaim
tersebut diaplikasikan dalam penelitianannya dengan mencoba menghubung-
hubungkan sanad hadis dengan sanad Mishanh. Sehingga nampak terlihat bahwa
sistem sanad hadis dijiplak dari sistem sanad Mishnah padahal fakta yang
sesunggunhnya tidak demikian.
19
Abraham Geiger, What Did Muhammad Borrow from Judaism dalam jurnal
‚The Origins of The Koran: Classic Essays on Islam’s Holy Book‛ (Leeds: Promoteus
Books, 1998), h. 21
20
William Saint Clair Tisdall, The Original Source of The Qur’an, (t.tp: Creative
Media Partners, LLC, 2000), h. 153
21
Muhammad Abdul Rauf, Outsider’s interpretations of Islam: A Muslim’s Point
Of View dalam Richard C. Martin, ‚Approaches to Islam in Religious Studies‚, (USA: The
University of Arizona Press), h. 185
22
Adian Husaini, Tinjauan Historis Konflik Yahudi - Kristen - Islam (Jakarta:
Gema Insani Press, 2004), h. 71
23
Adnin Armas, Pengruh Kristen-Orientalis terhadap Islam Liberal (Jakarta: Gema
Insani Press, 2003), h. 88
84
Sebenarnya pandangan Cook ini bukanlah hal yang baru, pemikiran seperti
ini sudah dikemukakan oleh orientalis terdahulu, seperti Ignaz Goldziher dan
Joseph Horovits. Mereka mengatakan bahwa hadis berhutang besar kepada Taurat
Lisan (Mishnah). Bahkan menurut Goldziher bahwa tidak hanya Taurat, tetapi
segala sesuatu yang tampak bermanfaat untuk diubah menjadi hadis maka hal itu
akan diadopsi.24 Selain Goldziher dan Horovits, seorang tokoh orientalis bernama
H.A.R Gibb menyatakan yang sama bahwa hadis hanya merupakan contekan Nabi
Muhammad dan pengikutnya dari ajaran Yahudi dan Kristen.25
Keberadaan Islam sebagai agama baru yang muncul belakangan setelah
Yahudi dan Kristen memang menjadi lahan basah untuk dinilai ataupun distigama,
apakah ia bersifat imitatif, duplikasi, sempalan agama semit sebelumnya ataupun
sebuah formulasi ajaran final dari rentetan sejarah kenabian. Dalam permasalahan
ini, pernyataan Cook bahwa sistem sanad hadis banyak meminjam ide dari sistem
transmisi Mishnah merupakan usaha Cook untuk membuat umat Islam ragu
terhadapa otentisistas hadis Nabi Saw.
Setiap kali ada kemiripan sistem hadis dengan sistem sanad Mishnah maka
Cook mengklaim hadis Nabi berasal dari atau setidaknya berbasis pada Mishnah.26
Cara yang dilakukan oleh Cook ini tidak adil dan hanya berdasarkan asumsi saja.
Siapa bisa menjamin bahwa hadis yang memiliki kesamaan atau kemiripan dengan
Mishnah itu benar-benar berasal dari Mishnah dan kemudian umat Islam
menirunya? Dan apakah salah jika memang hadis memiliki kemiripan atau
kesamaan dengan Mishnah? Bukankah hampir semua agama memiliki ajaran yang
universal? Di samping itu, perbandingan antara sanad hadis dan sanad Mishnah
sebetulnya tidaklah seimbang jika ditinjau dari segi kaedah dan metodologinya.
Sebab hadis nyata-nyata memiliki metodologi yang sangat kompleks dan lengkap,
yakni Ilmu Musthalah al-Hadi>s, sedangkan Mishnah tidak memiliki perangkat
metode seperti demikian. Oleh karena itu, kesamaan antara hadis dan Mishnah
dalam hal penyandaran (Isna>d) tidak berarti bahwa hadis mengadopsi dari Mishnah.
Selain itu, pernyataan Cook yang mengatakan bahwa Islam menjiplak
sistem sanad Yahudi sesungguhnya sudah dijawab oleh Azami. Memang jawaban
Azami tidak ditujukan langsung kepada Cook, tapi dari penjelasan Azami bisa
digunakan untuk menanggapi pernyataan Cook. Azami membantah pernyataan
yang mengatakan bahwa tradisi Islam banyak dipengaruhi oleh tradisi Yahudi,
dalam hal ini termasuk pengaruh Mishnah terhadap hadis. Bahkan untuk
pembahasan Mishnah, Azami membuat pembahasan khusus tentang ini. Dalam
bukunya yang berjudul The History of The Qur’anic Text: from Revelation to
24
James Robson, ‚The Material of Tradition‛, dalam The Muslim World, 41,
(1951), h. 15
25
H.A.R Gibb, Muhammedanism: An Historical Survey (New York: Oxford
University Press, 1962), h. 188
26
Ada lima poin tentang kemiripan hadis dan Mishnah. Hal ini telah penulis ulas
pada sub bab tentang ‚Analisis Terhadap Polemik Orisinalitas Sistem Sanad Hadis‛ pada
halaman 111
85
Compilation, Azami menulis dua sub bab pembahasan khusus tentang tema ini,
yaitu pertama, Sejarah Hukum Lisan (Mishnah),27 yang kedua, Talmud dan
pengaruh Islam.28
Menurut Azami, asumsi para ahli Barat bahwa Islam meminjam metodologi
Yahudi tanpa malu-malu bertentangan dengan realitas yang terjadi. Yang terjadi
sesungguhnya adalah orang-orang Yahudi justru yang mendapat manfaat besar dari
kemajuan-kemajuan metodologi dan kebudayaan Islam. Mereka memanfaatkannya
sebagai inspirasi pencapaian-pencapaian masa depan mereka.29
Azami menjelaskan bahwa kebangkitan Yahudi banyak dipengaruhi oleh
Islam, di antaranya adalah tradisi tulis menulis. Awalnya mereka tidak mengenal
simbol-simbol baca, yakni tanda-tanda pengenal, titik dan lain-lain. Namun,
mereka belajar dari tulisan-tulisan Arab hingga akhirnya mereka mendapatkan
pencerahan.30 Hal itu terjadi ketika umat Yahudi mendiami semenanjung Arab,
banyak dari kalangan Yahudi tidak memahami isi Taurat yang berbahasa Ibrani,
orang Yahudi tidak memahami tulisan huruf Ibrani lagi seteleh mereka mengalami
pengusiran dari Yerusalem ke berbagai tempat di Arab dan Eropa.31
Pemahaman huruf-huruf Ibrani itu baru tersingkap oleh Yahudi Arab ketika
orang Islam berhasil membuat standar pada huruf Hijaiyah Arab dengan bantuan
titik dan konsonan (penanda harakat/pointing). Dari sistem ini, orang Yahudi di
Arab, Syam, dan Persia mendapat pencerahan kembali. Mereka belajar dari Islam
dengan meminjam metode penulisan Islam Arab ini, kaum terpelajar Yahudi mulai
27
Muhammad Mustafa Al-Azami, Sejarah Teks Al-Qura’an dari Wahyu sampai
Kompilasi , Penerjemah Sohirin Solihin dkk. (Depok: Gema Insani Press, 2014), h. 233
28
Muhammad Mustafa Al-Azami, Sejarah Teks Al-Qura’an dari Wahyu sampai
Kompilasi , h. 246
29
Muhammad Mustafa Al-Azami, Sejarah Teks Al-Qura’an dari Wahyu sampai
Kompilasi , h. 280-281
30
Muhammad Mustafa Al-Azami, Sejarah Teks Al-Qura’an dari Wahyu sampai
Kompilasi , h. 244
31
Orang-orang Yahudi mengalami pengusiran setelah Raja Titus dari Romawi
menginvasi kerajaan Yahudi di Yerusalem. Pasukan Romawi yang dipimpin oleh Raja Titus
menyerang dan memorak-porandakan kerajaan Yehudi pada 70 Masehi. Semua pemukiman
dan tempat Ibadah (Kuil Sulaiman) dihancurkannya, setelah itu semua rakyat Yahudi diusir
dari Yerusalem hingga mereka mangasingkan diri ke berbagai tempat di Arab dan Eropa. Di
negeri pembuangannya itu mereka mengalami asimilasi budaya dan pernikahan campur
dengan penduduk setempat yang mengakibatkan mereka kehilangan identitas. Bahkan
dalam waktu yang lama generasi Yahudi berikutnya tidak lagi mengerti bahasa ibunya
sendiri (Ibrani). Pasca pengasingan, mereka kembali ke Yerusalem dan mulai kembali
mempelajari bahasa Ibrani yang sempat mati. Pada saat itu bangsa Yahudi masih
menggunakan bahasa Yaddish, Yunani dan Arab sebagai percakapan sehari-hari. Selama
beberpa tahun lamanya bahasa Ibrani hanya digunakan untuk mempelajari Taurat, Mishnah,
ritual dan doa-doa. Pada awal abad ke -19 barulah bahasa Ibrani kembali dihidupkan lagi
dan menjadi sebuah bahasa sejati bangsa Yahudi hingga saat ini. Lihat Max Isaac Dimont,
Yahudi, Tuhan, dan Sejarah, Penerjemah Joko S. Kahar (Yogyakarta: Ircisod, 2018), h. 145
86
bisa membuka dan membaca tulisan pada kitab-kitabnya.32 Apalagi bahasa Ibrani
sangat mirip dengan bahasa Arab sehingga para rabbi dapat dengan mudah terbantu
dalam mempelajari kitab-kitab suci mereka yang berbahasa Ibrani.
Menurut Herbert Danby, setelah Babilonia (Irak) ditakalukkan oleh Islam,
kota ini masih menjadi pusat utama pendidikan Yahudi. Pada saat itu kontak
dengan ulama-ulama Arab dalam batas tertentu berfungsi sebagai sebuah
penyegaran stimulus kaum Yahudi untuk memulai melakukan studi gramatikal
tentang literatur Ibrani. Hai Gaon merupakan orang yang paling awal membuat
komentar tentang Mishnah. Ketika ia mengupas problem-problem bahasa, dan
dalam pencariannya untuk derivikasi kata-kata yang kabur dia lebih banyak
merujuk dan menggunakan bahasa Arab.33 Oleh karena itu, hakikatnya Mishnah
banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Islam.
Danby menambahkan bahwa seorang tokoh besar Yahudi bernama
Maimonides yang hidup antara tahun 1135 dan 1204 menulis sebuah pendahuluan
dan komentar terhadap Mishnah. Hal ini ditulis dalam bahasa Arab dengan judul
Kitab El-Siraj. Kitab ini sengaja ditulis dengan berbahasa Arab dengan tujuan agar
Mishnah dapat dibaca dan dipelajari dengan mudah oleh orang-orang Yahudi pada
saat itu. Dengan begitu ia membuang salah satu kesulitan-kesulitan utama dalam
memahami Mishnah.34
Dengan fakta-fakta di atas, Azami tidak secara langsung membantah
dugaan Cook yang menganggap Islam telah meminjam dan menjiplak metodologi
ilmiah Yahudi. Yang sebenarnya terjadi adalah justru umat Yahudi mendapat angin
segar dari kemajuan-kemajuan metodologi dari keilmuan Islam. Mereka
memanfaatkannya sebagai inspirasi pencapaian-pencapaian masa depan mereka,
hingga akhirnya mereka dapat kembali membaca dan mempelajari kitab suci
mereka dengan baik.35
Selanjutnya Azami juga memberikan tanggapannya terhadap Mishnah.
Menurutnya, Mishnah bukanlah hukum lisan dari Musa melainkan sebuah
penafsiran hukum tertulis (Taurat). Penafsiran tersebut murni berasal dari para
rabbi bukan bersumber dari Musa. Apa yang dikatakan oleh para rabbi bahwa
penafsiran tersebut mereka terima secara turun temurun dari Nabi Musa sebenarnya
hanya sebuah klaim. Adapun hukum lisan (Mishnah) yang aslinya diterima Musa
sudah hilang beberapa millennium yang lalu dan sudah tidak ada wujudnya.36
Menurut Azami, pandangan para rabbi yang mengatakan bahwa Mishnah memiliki
32
Muhammad Mustafa Al-Azami, Sejarah Teks Al-Qura’an dari Wahyu sampai
Kompilasi , h. 24
33
Herbert Danby, The Misnah, Introduction, (Oxford University Press, 1993), h.
xxviii-xxix
34
Herbert Danby, The Misnah, Introduction, h. xxix
35
Muhammad Mustafa Al-Azami, Sejarah Teks Al-Qura’an dari Wahyu sampai
Kompilasi , h. 248
36
Muhammad Mustafa Al-Azami, Sejarah Teks Al-Qura’an dari Wahyu sampai
Kompilasi , h. 235
87
silsilah yang tak terputus sampai ke Musa dapat dengan mudah dibantah dengan
melihat sekilas sejarah kitab suci Yahudi.37
Dalam banyak literatur sejarah Yahudi dijelaskan bahwa Tuhan
memberikan Taurat kepada Musa secara keseluruhan dalam bentuk tertulis, lalu
Musa menyampaikannya kepada Imam-imam Bani Lewi.38 Sepeninggal Musa para
Imam Lewi inilah yang bertugas menjaga Taurat dengan baik. Kitab Taurat
tersebut disimpan dalam sebuah peti (The Ark) yang telah disegel. Taurat tidak
pernah lagi dibuka dan tidak disampaikan kepada orang-orang Israel sebab para
imam-imam Lewi menjadi murtad setelah Musa meninggal, karenanya Taurat tidak
dikenal lagi oleh banyak orang.39 Bahkan menurut dokumen Damsyik,40peti itu
sendiri hilang ketika terjadi perang dan invasi palestina selama tuju bulan.41
Peti tersebut secara ajaib baru ditemukan dan dipublikasikan pada masa
Raja Yosia dari Yehuda (abad ketujuh SM.), yaitu lima abad setelahnya. Artinya
ada jarak waktu yang cukup lama dengan berabad-abad lamanya Taurat Tertulis
dan Taurat Lisan tidak pernah dibacakan lagi kepada orang-orang Israel. Tentu hal
ini merupakan indikasi jelas bahwa Taurat sejak itu telah terhapus dari memori
kolektif bangsa Yahudi. Setelah Taurat ditemukan, kitab ini masih tidak
dipergunakan secara umum untuk waktu dua abad lagi paling tidak, tampaknya
Taurat ini benar-benar menghilang dari kesadaran orang-orang Yahudi. Pembacaan
dan penjelasan Hukum Tuhan pertama kali dilakukan secara publik (setelah masa
Musa) oleh Ezra pada tahun 449 SM.42
Azami menjelaskan bahwa ketika Taurat pertama kali dibacakan oleh Ezra
kepada banyak orang, ia dibacakan disertai dengan penjelasan-penjelasan. Namun
37
Muhammad Mustafa Al-Azami, Sejarah Teks Al-Qura’an dari Wahyu sampai
Kompilasi , h. 234
38
Bani Lewi adalah salah satu suku dari dua belas suku Yahudi. Pada masa Nabi
Musa suku Lewi ditunjuk dan diangkat sebagai Imam dikalangan bangsa Israel.
Pengangkatan suku Lewi sebagai Imam berawal ketika Nab\\ i Musa kembali dari bukit Sinai.
Nabi Musa berada di bukit Sinai selama empat puluh hari. Ketika kembali dari bukit Sinai
Nabi Musa mendapati kaumnaya dalam keadaan murtad dengan menyembah sebuah patung
lembu yang terbuat dari emas untuk dijadikan Tuhan yang baru. Hampir keseluruhan kaum
Yahudi menjadi murtad kecuali suku Lewi. Setelah kejadian tersebut, Allah memerintahkan
kepada Nabi Musa untuk mencabut hak imam dari suku lain dan diserahkan kepada suku
Lewi. Lihat www.majalahpraise.com, (Dikutip pada tanggal 15 Juli 2019.
39
Ulangan 31: 9-12 (Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia), h. 265
40
Dokumen Damsyik atau juga disebut Dokumen Damaskus adalah salah satu
dokumen penting yang ditemukan pada tahun 1947 di gua Wadi Qumran (sebelah barat
daya pantai Laut mati). Terdiri dari lebih kurang 900 dokumen, termasuk teks-teks dari
kitab suci Ibrani. Dokumen ini mempunyai makna keagamaan dan sejarah penting bagi
kaum Yahudi, karena merupakan satu-satunya dokumen yang berasal dari masa sebelum
tahun 100 Masehi. Lihat ttps://id.m.wikipedia.org/wiki/Dokumen_Damaskus. Diakses pada
tanggal 16 Juli 2019.
41
Muhammad Mustafa Al-Azami, Sejarah Teks Al-Qura’an dari Wahyu sampai
Kompilasi , h. 227
42
Muhammad Mustafa Al-Azami, Sejarah Teks Al-Qura’an dari Wahyu sampai
Kompilasi , h. 228
88
43
Muhammad Mustafa Al-Azami, Sejarah Teks Al-Qura’an dari Wahyu sampai
Kompilasi , h. 235
44
Muhammad Mustafa Al-Azami, Sejarah Teks Al-Qura’an dari Wahyu sampai
Kompilasi , h. 235
45
Maksud pendekatan ini adalah mengkaji sejarah secarah kritis. Teori ini
mengatakan bahwa suatu dokumen harus dipelajari sebagaimana memperlakukan mayat
yang tidak bergerak dan tidak berbuat apa-apa. Yang dimaksud dokumen di sini adalah
sesuatu yang tertulis, bukan yang diucapkan. Karena itu, tradisi dokumen ini tidak
berhubungan dengan tradisi oral atau lisan. Fokus kajiannya hanya pada teks ( written
document). Lihat Mokh. Fatkhur Rokhzi, Pendekatan sejarah dalam Studi Islam (Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2011), h. 25
89
46
Mokh. Fatkhur Rokhzi, Pendekatan sejarah dalam Studi Islam, h. 23
90
juga telah dilakukan oleh orientalis lain, seperti Ignaz Goldziher dan Josef
Horovitz.
3. Cook tidak merujuk langsung kepada sumber utama. Untuk memperkuat
argumentasinya tentang eksistensi sanad terkadang Cook hanya mengutip
pendapat seorang tokoh tanpa merujuk langsung kepada sumber aslinya.
Seperti yang dilakukannya ketika ia ingin membuktikan bahwa sistem sanad
benar-benar ada dalam tradisi Yahudi, ia hanya mengutip contoh sanad hasil
temuan Josef Horovitz, bukan contoh sistem sanad yang ia temukan sendiri
langsung dari kitab Mishnah.
4. Ketika berargumen Cook kadangkala tidak menyertakan bukti yang kongkrit,
misalnya ketika ia mengklaim bahwa Isnad Family juga dapat ditemui dalam
Mishnah, Cook tidak mencantumkan contoh Isnad Family yang
dimaksudnya. Sehingga landasan argumentasi Cook tidak begitu kuat karena
tidak ada bukti yang dicantumkan.
5. Cook tidak menjelaskan beberapa istilah-istilah asing yang muncul dalam
penelitian beliau. Misalnyan saja, karya beliau tentang asal usul sanad yang
berjudul ‚The Opponents of The Writing of Traditional in Early Islam‛,
terdapat beberapa istilah asing yang tidak dijelaskan oleh Cook, seperti
tosefta, targum dan lain sebagainya.
D. Implikasi Pemikiran Michael Cook
Dari beberapa penjelasan yang lalu, penulis menemukan beberapa hal
implikasi dan konsekuensi dari pemikiran Michael Cook. Gagasan Cook tentang
sejarah asal-usul sanad hadis paling tidak berimplikasi kepada tiga hal, yaitu
sebagai berikut:
1. Otentisitas Ajaran Islam
Pernyataan Cook yang mengatakan bahwa sanad hadis berasal dan
dipengaruhi oleh sistem sanad Mishnah memilliki implikasi dan konsekuensi
terhadap kemurnian ajaran Islam. Tidak secara langsung Cook membuat framing
negatif terhadap hadis dengan cara menggiring opini pembaca bahwa Islam adalah
agama imitasi. Ajaran Islam adalah ajaran plagiasi yang dimana sistem dan
metodologinya banyak diadopsi dari agama terdahulu. Dengan demikian, Islam
bukanlah ajaran yang murni bersumber dari Allah melainkan agama yang dibuat-
buat dengan cara menjiplak dan menyalin system ajaran agama terdahulu, yaitu
dalam hal ini adalah menyalin ajaran Yahudi.
Pada umumnya umat Islam berpandangan bahwa Islam adalah agama yang
otentik, semua ajarannya murni berumber dari wahyu Allah Swt yang diterima oleh
Nabi Muhammad Saw. Selain itu, metodologi dan kaedah-kaedah yang digunakan
dalam Islam adalah murni dari hasil ijtihad para ulama yang berlandaskan al-Quran
dan hadis. Namun, pandangan orientalis berbeda yang dimana mereka
berpandangan bahwa ajaran Islam dipengaruhi dan diadopsi dari agama terdahulu.
Salah satunya adalah dari pandangan Michael Cook ini yang mengatakan bahwa
metodologi Islam yang dalam hal ini sistem transmisi (sanad) dijiplak dari sistem
silsilah Yahudi dalam menyandarkan Mishnah.
Dengan memandang bahwa sistem sanad berumber dari tradisi penyandaran
Mishnah Yahudi maka akan memunculkan kesan bahwa Islam adalah agama yang
91
diadopsi dari ajaran agama sebelumnya. Sehingga akan berdampak pada otentisitas
ajaran Islam. Ajaran Islam akan dipandang tidak otentik lagi sebab sistemnya
banyak diadopsi dari sistem umat terdahulu. Akhirnya, otentisitas ajaran Islam
akan diragukan karena ajarannnya dianggap sudah tidak sakral lagi. Kesakralitas
hadis akan hilang dengan sendirinya padahal hadis merupakan sumber hukum yang
kedua setelah al-Quran. Dengan demikian, hadis tidak akan dianggap lagi sebagai
rujukan karena mereka meragukan eksistensi hadis sebagai sumber ajaran Islam.
2. Skeptis Terhadap Hadis
Sikap dan pandangan Michael Cook yang menyangsikan kebenaran sejarah
asal usul isna>d dapat berdampak pada kesan negatif yang akan muncul terhadap
hadis. Para pembaca bila tidak memiliki daya kritis maka akan mudah terpengaruh
dengan pemikiran Cook itu. Sehingga hal ini dapat menyebabkan salah pengertian
(misunderstanding) dan salah persepsi (misperception) terhadap hadis yang pada
akhirnya akan menimbulkan sikap skeptis terhadap hadis Nabi Saw. Apabila hal itu
terjadi, maka para pemerhati Islam dan juga umat Islam di Barat bisa saja tidak
mendapatkan informasi yang objektif dan ilmiah tentang hadis sebagaimana yang
telah menjadi tradisi di kalangan Barat dalam meneliti bahwa tradisi mereka selalu
objektif dan ilmiah secara akademik.
Selain menjadi rujukan bagi para peneliti hadis di barat (orientalis),
pendapat Cook tersebut juga dapat dijadikan sebagai dasar argumentasi orang-
orang yang tidak mengakui hadis (kelompok inkar sunnah) di kalangan umat Islam,
meskipun minoritas tapi mereka bisa saja menularkan virus negatif di tengah umat
Islam, sehingga sedikit banyaknya akan mempengaruhi pola pikir umat Islam
terhadap hadis Nabi Saw. Jika pendapat Cook tersebut dibenarkan dan diikuti oleh
umat Islam, maka mereka akan meninggalkan hadis nabi sebagai sumber ajaran
Islam kedua setelah al-Qur’an.
Sikap skeptis terhadap hadis Nabi adalah tujuan kebanyakan orientalis
yang telah dilakukan sejak lama. Mereka berusaha membuat keraguan terhadap
nilai kebenaran ajaran nabi Muhammad. Upaya peraguan yang mereka lakukan
mencakup salah satunya adalah hadis. Apabila tujuan mereka benar-benar
membuahkan hasil maka umat Islam dengan sendirinya akan meninggalkan Islam
sebagai agamanya bahkan kemungkinan yang terparah adalah berbalik memusuhi
Islam.47
Meskipun implikasi pemikiran Michael Cook di atas akan melahirkan
pandangan yang skeptis terhadap hadis namun tidak akan berpengaruh terhadap
autentisitas hadis. Sebab autentisitas hadis dinilai dari kualitas para perawinya dan
ketersambungan sanadnya, tidak dinilai dari historisitas penggunaan sanadnya.
Oleh karena itu, pemikiran Cook tersebut tidak memberikan dampak terhadap
kualitas sebuah hadis.
3. Menginspirasi Peneliti Hadis Lain
Mencuatnya Michael Cook dengan pemikiran hadisnya mampu memotivasi
sejumlah pemerhati hadis untuk melakukan kajian yang sama dan lebih
47
Muhammad Bahar Akkase Teng, Orientalis dan Orientalisme dalam Perspektif
Sejarah, Jurnal Ilmu Budaya, Vol. 4, No.1, Juni 2016, ISSN 2354-7294, h. 60.
92
komprehesif. Hal tersebut terbukti dengan bermunculnya para ahli hadis, khususnya
di kalangan orientalis yang juga berupaya mengkaji ulang dan mempersoalkan
historisitas asal usul sanad dengan meneliti sejumlah bukti otentik yang menjadi
fakta sejarah.
Salah satu di antara mereka yang terinspirasi dari pemikiran Michael Cook
adalah Gregor Schoeler, seorang tokoh orientalis pengkaji hadis yang menjadi
professor di University of Basel, Swiss. Pada tahun 2006 Schoeler menulis buku
dengan judul The Oral and The Written in Early Islam,48 dalam buku ini Schoeler
banyak mengutip pendapat Cook tentang hadis dan Mishnah. Buku dengan tebal
257 halalman ini memuat pembahasan yang lebih komprehensif dibanding
penelitian yang dilakukan oleh Cook tentang sejarah sanad Islam dan pra Islam
(Yahudi dan Arab Klasik).
Selain Schoeler, satu nama lagi yaitu Harald Motzki, ia adalah salah satu
orientalis hadis yang tertarik mengomentari pemikiran Cook. Namun Motzki lebih
menunujukkan ketidaksetujuannya terhadap pemikiran hadis Cook. Terutama
dalam hal common link, teori Joseph Schacht. Bagi Cook teori common link tidak
dapat digunakan sebagai sebuah metode untuk melacak asal usul, sumber dan
kepengarangan hadis. Untuk mengkritik metode common link, Cook
mengembangkan dan memperluas teori Schacht yang lain, yakni teori penyebaran
isna>d (the spread of isna>d). Sementara itu, Motzki tidak skeptis seperti Cook, tetapi
ia juga tidak seoptimis Juynboll. Bagi Motzki, teori common link adalah para
kolektor sistematis pertama yang sekaligus berperan sebagai guru yang
mengajarkan ilmu pengetahuan secara umum dan mengajarkan hadis secara khusus.
Maka menurut Motzki teori common link masih tetap relevan dan dapat digunakan.
Dengan demikian, pada titik inilah Motzki tidak sependapat dengan Cook.49
Selain Schoeler dan Motzki, peneliti hadis lain yang tertarik meneliti
pemikiran Cook adalah Suleiman A. Mourad, yaitu seorang peneliti hadis di Smith
College, Amerika Serikat. Suleiman mereview buku Cook yang berjudul Studies in
The Origins of Early Islamic Culture and Tradition. Hasil review buku ini
kemudian dipublikasikan dalam Journal of Islamic Studies yang diterbitkan oleh
Oxford University Press pada tahun 2007.50
Di Indonesia sendiri ada beberapa peneliti hadis yang ikut termotivasi
mengkaji pemikiran Michael Cook. Di antara mereka adalah Ali Masrur yang
menulis artikel jurnal dengan judul Neo Skeptisisme Michael Cook dan Norman
Calder Terhadap Hadis Nabi Muhammad,51 Ummu Faridah menulis artikel jurnal
48
Gregor Schoeler, The Oral and The Written in Early Islam (Kanada: Routledge,
2006)
49
Perdebatan Motzki dan Cook lebih lanjut dapat dibaca dalam buku karya Harald
Motzki yang berjudul Analysing Muslim Traditions: Studi in Legal, Exegenical and
Maghazi Hadith pada chapter ketiga, yaitu The Prophet and the Debtors.
50
Suleiman A. Mourad, Reviewed Book: Studies in the Origins of Early Islamic
Culture and Tradition. VariorumCollected Studies Series by Michael Cook (Inggris: Oxford
University Press).
51
Ali Masrur, ‚Neo Skeptisisme Michael Cook dan Norman Calder Terhadap
Hadis Nabi Muhammad‛ dalam Jurnal Theologia,Vol 28 No 1 (2017).
93
dengan judul Polemik Penulisan Hadis: Perspektif Michael Cook dalam The
Opponents of The Writing of Tradition in Early Islam,52 Waffada Arief Najiyya
menulis karya dengan judul Hadis Dua Belas Imam Syiah Menurut Michael Cook,53
dan Imam Sahal Ramdhani menulis artikel jurnal dengan judul Teori The Spread of
Isnad: Telaah atas Pemikiran Michael Cook.54
Dari catatan di atas menunjukkan bahwa pemikiran hadis Michael Cook
berimplikasi kepada para peneliti hadis, baik di kalangan orientalis maupun
kalangan peneliti hadis Muslim, yaitu memotivasi dan menginspirasi para peneliti
hadis untuk melakukan eksplorasi terhadap pemikiran Cook secara komprehensif.
52
Ummu Faridah, ‚Polemik Penulisan Hadis: Perspektif Michael A. Cook Dalam
The Opponents of The Writing of Tradition in Early Islam‛ dalam Jurnal Riwayah, Vol. 1,
No. 1, (Maret 2015).
53
Waffada Arief Najiyya, Hadis Dua Belas Imam Syiah Menurut Michael Cook
(Yogyakarta: Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga).
54
Imam Sahal Ramdhani, ‚Teori The Spread of Isnad: Telaah atas Pemikiran
Michael Cook‛ dalam Jurnal Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an dan Hadis, Vol. 16, No. 2, (Juli
2015).
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah memaparkan mengenai beragam penjelasan dan analisis terhadap
pemikiran Michael Cook tentang asal usul sanad, maka peneliti sampai pada
kesimpulan yang merupakan jawaban dari rumusan masalah yang peneliti ajukan.
Pertanyaan yang diajukan dalam rumusan masalah tersebut, yaitu mengenai
bagaimana historisitas pemakaian sanad dalam perspektif Michael Cook?
bagaiamana metodologi kritik sanad pra-Islam? dan bagaimana implikasi pemikiran
Cook terhadap perkembangan studi hadis.
Menurut Cook, Islam bukanlah satu-satunya pemilik tunggal sistem sanad,
jauh sebelum Islam datang sistem sanad sudah digunakan oleh umat terdahulu,
yaitu digunakan oleh umat Yahudi dan Arab Klasik. Sistem sanad dalam sejarah
Yahudi digunakan dalam transmisi riwayat Mishnah. Sedangkan sistem sanad
dalam sejarah Arab pra-Islam digunakan dalam periwayatan syair-syair Arab klasik.
Selain itu, Cook juga berpendapat bahwa sistem sanad hadis erat kaitannya dengan
sanad Yahudi dengan memiliki banyak kemiripan dan kesamaan. Dengan demikian,
Cook berkesimpulan bahwa sanad hadis adalah hasil dari plagiasi dari sistem sanad
Mishnah Yahudi. Namun, penulis mengkritik pernyataan Cook ini, Cook
mengklaim sanad hadis adalah hasil jiplakan dari sanad Mishnah atas dasar adanya
kemiripan sistem sanad hadis dengan sanad Mishnah. Cara yang dilakukan oleh
Cook ini tidak adil dan hanya berdasarkan asumsi saja sebab tidak ada yang bisa
menjamin bahwa sanad hadis yang memiliki kesamaan atau kemiripan dengan
Mishnah itu benar-benar berasal dari Mishnah. Bukankah hampir semua agama
memiliki ajaran yang universal. Maka wajar apabila terjadi kemiripan dan
kesamaan antara hadis dan Mishnah. Oleh karena itu, kesamaan antara hadis dan
Mishnah dalam hal penyandaran (Isna>d) tidak berarti bahwa hadis menjiplak sanad
Mishnah.
Sistem sanad pra-Islam memiliki parbedaan yang cukup jauh dengan sanad
yang digunakan oleh Islam. Perbedaan tersebut tampak terlihat dalam hal urgensi
dan arti penting penggunaanya. Sistem sanad yang ada pada masa pra-Islam tidak
memandang penting kualitas para perawinya, sebab mereka tidak memiliki metode
kritis semacam ‘Ilmu Jarh wa Ta’dil seperti yang dimiliki oleh Islam. Akhirnya,
mereka tidak melakukan penyelidikan keadaan para periwayatnya dan kecocokan
cerita-cerita itu dengan kebenaran dan kenyataan sebenarnya. Selain itu,
kebanyakan juga sanad mereka terputus, banyak dari riwayat mereka yang berstatus
mursal atau mu’dhal. Keadaan sanad-sanad riwayat mereka banyak mengalami
keterputusan baik itu di awal, tengah maupun akhir periwayat.
94
95
teori-teori otentisitas hadis yang telah ada, sehingga tradisi akademis tarsus
berlanjut dengan munculnya penemuan-penemuan beru yang lebih progresif
dan relevan.
DAFTAR PUSTAKA
Abbot, Nabia. Studies in Arabic Literary Papyri II, Quranic Commentary and
Tradition, The University of Chicago Press, 1967
Adams, Charles J. Islamic Religious Traditions dalam Leonard Binder, The Study
of Middle East: Research and Scholarship in the Humanities and Social
Sciences, New York, 1976
Agus, Solahudin, M. & Agus Suryadi. Ulumul Hadis.Bandung, Pustaka Setia, 2011
Ahmed, Asad, Q. dkk, Islamic Scholarly Tradition: Studies in History Law and
Thought in Honor of Profesor Michael Allan Cook, Leiden: Brill, 2011.
Al-‘Umari>, Akram Ḍiya>. Buḥu>ṡ fi> Ta>ri>kh al-Sunnah al-Musyarrafah, Beirut: Tp.,
1984
Al-Bakka>r, ‘Abd al-Qa>dir Mahmu>d. Qawa>’id al-Tahdi>s, Kairo: Da>r Sala>m, 2008
97
98
Al-Lugawi>, Abu> al-Husain ibn Fa>ris. At-Shahi>hi fi> Fiqh al-Lugah al-‘Arabiyyah wa
Sunan al-‘Arab fi Kalamihi, Beirut: Maktabah alMa'arif, 1414 H/1993 M
Al-Naisabury, Abu Husein Muslim bin Hajjaj. Shahih Muslim, Muaqaddimah, Bab
Fi> an an-Isnad min al-Di>n, Beirut: Da>r al-Fikr, 1993
Al-Suyu>ti} >, Jala>l al-Di>n. Tadri>b al-Ra>wi fi> Syarh Taqri>b al-Nawa>wi>, ed. Ahmad
Ma’bad ‘Abd al-Kari>m dan T{ariq bin ‘Aud}, Riya>d}: Da>r al-‘As}imah, 2003
Ali, Muhammad. “Kajian Sanad”, dalam Tahdis: Jurnal Kajian Ilmu Hadis, Volume
6, no. 2, 2015
At-Taziy, Mustafa Amin Ibrahim Muhadrat fi> ‘Ulum al-Hadis, Juz,I, cet. IV Mesir:
Da>r al-Taf’lif bi al-Maliyyah, t.t
Baker, David L. Ten Commandments, Two Tablets : The Shape of the Decalogue,
Themelios, 1999
Brochelmann, Carl. Tarikh al-Adab al-‘Arabi>, Terj. Abdul Hakim al-Najjar Beirut:
Da>r al-Ma’arif, t.t
Broyde, Michael J. dan Ira Bedzow, The Codification of Jewish Law and an
Introduction to the Jurisprudence of The Mishnah Berura, t.t: Academic
Studies Press, 2014
Bukhari, Imam. Al-Ja>mi’ Ash-Shahi>h li Al-Bukha>ri>, Juz I, Beirut: Dar Ibnu Katsir,
1987
100
Comfort, P.W. Early Manuscript and Modern Translations of the New Tastament
Dhaif, Syauqi.> Al-Fann wa Madzahibuhu fi> asy-Syi’ir al-'Arabi>, Cairo: Da>r al-
Ma'a>rif, 1960
Dimont, Max Isaac Yahudi, Tuhan, dan Sejarah, Penerjemah Joko S. Kahar
Yogyakarta: Ircisod, 2018
Dutton, Yasin. Book Review atas karya Calder tersebut: Book Reviews of Norman
Calder: Studies in Early Muslim Juresprudence, by dalam Journal of Islamic
Studies, Vol 5 Number 1 januari 1994,
101
Fahimah, Siti.Sistem Isnad dan Otentisitas Hadits: Kajian Orientalis dan Gugatan
atasnya, Jurnal Ulul Albab Volume 15, No. 2 Tahun 2014
Fuck, Robert W. The Five Gospels, What did Jesus Really Say?, New York:
HarperOne, 1993
Geiger, Abraham. What Did Muhammad Borrow from Judaism dalam jurnal “The
Origins of The Koran: Classic Essays on Islam’s Holy Book” Leeds:
Promoteus Books, 1998
Horovitz, Joseph. Alter und Ursprung des Isnad, dalam jurnal der Islam, 1917-1918.
Husaini, Adian. Tinjauan Historis Konflik Yahudi - Kristen - Islam Jakarta: Gema
Insani Press, 2004
Juynboll, G.H.A. (ed.), Early Islamic Society as Reflected in Its Use Of Isnads, vol.
107, Lemosion, 1994.
--------------------. “The Date of the Great Fitna,” dalam Arabica 20, 1973
Khallika>n, Ibn. Wafaya>t al-A’ya>n, ed. Ihsan 'Abbas, Beirut: Da>r Shadir, 1968
Khita>b, Rati>bah Ibrahi>m. Maba>h}its fi> Dira>sah al-Asa>ni>d wa al-H{ukm ‘ala> al-Hadi>s,
Kairo: Azhar University, 2009
Khulaif, Yu>suf. Dira>sa>t Fi> al-Syi’r al-ja>hili>, Kairo: Maktabah al-Gari>b, 1981
Mahmu>d, ‘Abdul Halim. Al-Sunnah fi> Maka>natiha> wa fi> Ta>rikhiha> Kairo: Da>r al-
Kutub al-‘Arabi>, 1996 M
Masrur, Ali. Neo-Skeptisisme Michael Cook dan Norman Calder Terhadap Hadis
Nabi Muhammad, Jurnal THEOLOGIA, Vol 28 No 1 2017.
-------------. Teori Common Link G.H.A. Junyboll; Melacak Akar Kesejaraha Hadis
Nabi, Yogyakarta; LkiS, 2007
103
Metzger, Bruce M. The Canon of The New Tastament New York: Oxford
University Press: 1989
-------------------. “The Material of Tradition”, dalam The Muslim World, 41, 1951
Roham, Abujamin. Pembicaraan Di sekitar Bible dan Al-Qur’an Dalam Segi Isi dan
Riwayat Penulisannya, Jakarta : PT Bulan Bintang, 1984
Rustum, Asad. Mushtalah at-Ta>ri>kh: Wa huawa Bah}s fi> Naqd al-Usul, Beirut: Al-
Maktabah al-‘Asyri>yah, 2012
Schoeler, Gregor. The Oral and The Written In Early Islam, New York: Routladge,
2006
Shalah, Abu Abd al-Rahman. Tahqiqan kitab Muqaddimah Ibn Shalah, Beirut: Da>r
al-Fikr, 1991
--------------------. “On the Origin and Progress of Writing Down the Historical
Facts among the Mosulmans,” dalam Journal of Asiatic Society of Bengal
25, 1856-1857
Sya’roni¸ Usman. Otentisitas Hadis Menurut Ahli Hadis dan Kaum Sufi, Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2008.
105
Syuhbat, Abu. Fi> Rihat al-Sunnah al Kutub al-Shihal al-Sittah, Kairo: Majma al-
Buhut al-Islamiyah, 1989
T{ahha>n, Mahmu>d. Taisir Musthalah al-Hadis, Cet. VIII; Riyadh: Maktabah al-
Ma’arif, 1407 H/1987 M
Tisdall, William Saint Clair The Original Source of The Qur’an, t.tp: Creative
Media Partners, LLC, 2000
ttps://id.m.wikipedia.org/wiki/Dokumen_Damaskus.
http://en:en.wikipedia.org/wiki/Michael_Cook_(hostorian)
http://www.rokhim.net/peranan-sanad-dalam-pendokumentasian-hadis/hadis-dan-
matan-hadis.html
http://www.rokhim.net/peranan-sanad-dalam-pendokumentasian-hadis/hadis-dan-
matan-hadis.html
https://jewishcentersurabaya.wordpress.com
www.majalahpraise.com
http://odjat_blog.blogspot.com/2010/10/03/peran-sanad-dalam pendokumentasian-
hadis/ulumul-hadis.html
106
INDEKS
Analisis, 5, 10, 14, 16, 17, 20, 27, 30,
Abd al-Qa>dir Mah{mu>d,10 31
Abd al-Ma>lik bin Marwan, 53 Anas bin Ma>lik, 45, 50
Abdul Ma>lik, 20 Apatis, 1
Abdulla>h ibn al-Muba>rak, 3, 14, 59 Apresiasi, 28, 34
Abdulla>h ibn Zubair, 55 Artikel, 20, 23, 27, 28
Abi> Hasi>n, 2 Asad Gabriel Rustum, 7
Abi> shalih, 2 Asghate, 27, 28
Abraham Geiger, 8 Asnada-yusnidu, 47
Abu Dawud, 43 Assad Q. Ahmed, 13, 14
Abu Hurairah, 2 Asumsi, 30
Abu> ‘Amr al-Awza’i, 3 At-Tirmidzi, 43
Abu> ‘Awanah, 2 Awa’il, 56
Abu> al-A<liyah, 74 Babilonia, 11
Abu> Bakar, 54 Badui, 51
Ad-Darimi, 43 Bani Lewi, 12
Adil, 5, 6 Behnam Sadeghi, 13, 14, 15
Ahl al-Bid’ah, 49 Bernard Lewis, 18, 25
Ahl al-Sunnah, 49 Biografi, 13, 17
Ahlul Kitab, 8, 60 Bizantium, 22
Ajja>j al-Khati>b, 45 Cambridge, 18, 19, 20, 22, 23, 24, 25,
Akademik, 13 26, 27, 28, 29, 37, 38
Akses, 18, 41 Chauvinisme, 50
Al-Ansab, 69 Clear, 10
Al-Ayyam, 69 Clue, 41
Al-Bara>’ ibn ‘A<zib, 50 Comfrot, 66
Ali Masrur, 5, 12, 13, 14, 15, 17, 18, Common Link, 4, 5, 13, 17, 18, 19,
21, 30, 32, 37, 38, 39 20, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29,
Ali Mustafa Ya’qub, 1 33, 37, 38, 27, 28, 30, 32, 34, 35,
Al-Ja>mi’ as}-S{ah}i>h, 43 37, 38, 39, 41
Al-Ja>mi’ Ash-Shahi>h li al-Bukha>ri>., D.S. Margoliouth, 18
46 Dabit, 5
Aloys Sprenger, 52, 53, 68 Damaskus, 55
Al-Qantara, 25, 28 Damsyik, 12
Al-Suyuti, 45 Dating, 41
Al-tahammul wa al-‘da>, 51 Definisi, 36
Al-Walid ibn Yazi>d, 55 Derivikasi, 11
Amar/shema, 65 Deskriptif, 29
107
112