Anda di halaman 1dari 128

ASAL USUL SANAD DALAM WACANA

ORIENTALIS STUDI KRITIS ATAS PEMIKIRAN


MICHAEL COOK

Oleh
Muhammad Ghifari

ii
ASAL USUL SANAD DALAM WACANA ORIENTALIS : STUDI KRITIS
ATAS PEMIKIRAN MICHAEL COOK

Penulis :
Muhammad Ghifari

Editor :
Ulfah Zakiyah

Desain Sampul dan Tata Letak :


Saddam Husain

Penerbit :
Pustaka Harakatuna
Alamat: Griya Ihsani IV No. 1
Jagakarsa Jakarta Selatan, 12620
Email: redaksiharakatuna.com
Website: http//www.harakatuna.com
Narahubung : 087850099453

ISBN : 9 786239 164850

Cetakan Pertama, Januari 2020

iii
KATA PENGANTAR

‫هللا َّالر ْْح ِن َّالر ِح ْ ِي‬


ِ ‫ب ِْس ِم‬
Alhamdulillah penulis panjatkan puji syukur kepada Allah Swt, atas
limpahan rahmat nikmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini yang
berjudul: ‚Asal-usul Sanad dalam Wacana Orientalis: Studi Kritis atas Pemikiran
Michael Cook‛. Shalawat dan salam semoga senantiasa terlimpah curahkan keada
Nabi Muhammad Saw, beserta keluarga, sahabat dan para pengikut ajarannya
hingga hari kiamat.
Setelah melalui perjalanan yang cukup melelahkan, akhirnya tesis ini dapat
selesai dengan segala kekuranganya. Tesis ini penulis dedikasikan dengan penuh
cinta kepada kedua orang tua penulis, yaitu yang tercinta bapak Kamaruddin Saeni
dan ibunda Halija atas doa dan jerih payahnya dalam mengasuh dan mendidik
penulis dengan sabar, penuh pengorbanan baik lahiriyah maupun batiniyyah sampai
saat ini, semoga Allah swt melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada mereka.
Amin.
Selain itu, tak lupa penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-
dalamnya kepada berbagai pihak yang telah banyak membantu sehingga tesis ini
dapat terselesaikan dengan baik, di antaranya:
1. Kepada Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Prof. Dr. Amany Lubis,
MA., Dekan Fakultas Ushuluddin Dr. Yusuf Rahman, MA., ketua jurusan
Program Magister Ilmu Al-Quran dan Tafsir Dr. Bustamin, M.Si., saya
ucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya yang telah menetapkan
kebijakan-kebijakan strategis berkenaan dengan iklim keilmuan di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Pembimbing penulis, Dr. Ahmad Fudhaili, MA., dan Dr. Abdul Hakim Wahid
MA., yang dengan sabar, tulus dan ikhlas meluangkan waktu, tenaga dan
pikirannya dalam memberikan bimbingan, motivasi, arahan, dan saran-saran
yang sangat berharga kepada penulis selama menyusun tesis ini. Penulis
bersyukur dapat dibimbing oleh beliau berdua. Ide-idenya mencerdaskan,
mencerahkan dan menginisiasi agar penulis membaca refrensi sebanyak
mungkin.
3. Dr. Atiyatul Ulya, MA. dan Dr. Muhammad Zuhdi Zaini, MA., sebagai
penguji tesis, baik pada ujian tertutup dan ujian terbuka, yang telah
memberikan berbagai masukan yang berarti untuk meningkatkan kualitas
tesis ini.

iv
4. Para dosen di lingkungan Fakultas Ushuluddin yang telah berjasa mengajar
dan mendidik penulis selama menjadi mahasiswa di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
5. Secara khusus penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang
setinggi-tingginya kepada LPDP (Lembaga Pengelola Dana Pendiidkan) dari
Kementerian Keuangan RI, yang telah memberikan kemudahan berupa
beasiswa pendidikan, sehingga penulis bisa menyelesaikan studi S2 di UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. Teristimewa untuk kedua orang tua penulis. Untuk Ayah dan Ibu terima
kasih telah memberikan rasa cinta dan kasih sayang yang tulus untuk penulis
sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan baik.
7. Adik kandung yang tersayang Muhammad Nadzir, dan Mulyati yang telah
memberi bantuan berupa semangat, kasih sayang dan doa sejak penulis
memulai studi hingga selesai penulisan tesis ini.
8. Terkhusus kepada KH. Abdul Latif Busyrah dan semua guru saya di
lingkungan Pondok Pesantren Salafiyah Parappe yang telah berjasa mengajar,
mendidik dan terus mensupport saya untuk terus melanjutkan pendidikan.
9. Mahasiswa Program Magister Ilmu Al-Quran dan Tafsir yang menjadi
penggugah semangat dan pemberi motivasi mulai dari semester I (satu)
hingga penulisan tesis ini selesai. Terima kasih atas dukungan kalian
10. Sahabat-sahabatku di Lingkar Santri Cendekia (LSC), Awardee LPDP UIN
Syahid, PK LPDP angkatan 81, PKM KODI angkatan XXV, DPP GENIUS,
Apartemen Saham Group, Padaidi Jakarta, Padaidi Muda, Islam Nusantara
Center, AM 30 Ngaji, Pa’mai,
11. Untuk seseorang yang ada di hati, terima kasih telah menemani penyusun
dalam proses penyelesaian tesis ini. Hadirmu sungguh memberi semangat
penyusun dalam menyelesaikan tesis ini.
12. Terima kasih juga kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyelesaian tesis ini yang tidak dapat kami sebutkan satu per satu.
Akhirnya, Penulis mengucapkan rasa terima kasih kepada semua pihak
dan apabila ada yang tidak tersebutkan penulis mohon maaf, dengan besar
harapan semoga tesis yang ditulis oleh penulis ini dapat bermanfaat khususnya
bagi penulis sendiri dan umumnya bagi pembaca. semoga hasil kerja ini juga
bernilai amal ibadah yang diterima disisi Allah ‘azza wa jalla. Amin.

Ciputat, 29 Januari 2020


Penulis,

Muhammad Ghifari

v
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR……………………………………………………….... iv
DAFTAR ISI …………………………………………………………………. vi
PEDOMAN TRASLITERASI ………………………………………………. xi
ABSTRAK…………………………………………………………………….. xiv
BAB I: PENDAHULUAN……………………………………………………. 1
A. Latar Belakang……………………………………………………... 1
B. Permasalahan………………………………………………………. 9
C. Tujuan Penelitian…………………………………………………... 11
D. Manfaat dan Signifikansi Penelitian………………………………. 11
E. Penelitian Terdahulu Yang Relevan……………………………….. 12
F. Metode Penelitian………………………………………………….. 14
G. Sistematikan Penulisan…………………………………………….. 17

BAB II BIOGRAFI MICHAEL COOK DAN POSISINYA DALAM STUDI


HADIS DI BARAT ………………………………………………………....... 18
A. Biografi Michael Cook…………………………...……………….. 18
B. Karya-karya Michael Cook……………………………………….. 22
C. Posisi Michael Cook dalam Peta Studi Hadis di Kalangan Barat... 29
D. Gambaran Umum Pemikiran Hadis Michael Cook.......................... 35

BAB III DISKURSUS PEMIKIRAN MICHAEL COOK TENTANG SANAD


DAN ASAL-USULNYA….………................................................................... 44
A. Pengertian Sanad menurut Michael Cook................................…..... 44
B. Sejarah Asal-usul Sanad..............................…………...………....... 48
1. Sejarah Sanad menurut Ulama Hadis......................................... 48
2. Sejarah Sanad Menurut Orientalis.............................................. 51
C. Asal-usul Sanad Menurut Perspektif Michael Cook.………..…….. 58
D. Asumsi Dasar Pemikiran Michael Cook tentang Islam Menjiplak
Sistem Sanad Yahudi........................................................................ 70

BAB IV ANALISIS TERHADAP PEMIKIRAN MICHAEL COOK…......... 76


A. Kritik atas Metodologi Sistem Sanad pra-Islam………………... 76
B. Kritik atas Pemikiran Cook tentang Islam Menjiplak Sistem
Sanad Yahudi……………………………………………………. 82
C. Kelebihan dan Kekurangan Pemikiran Michael Cook................... 88
D. Implikasi Pemikiran Michael Cook……………………………... 90
1. Otentisitas Ajaran Islam……………………………….…… 90

vi
2. Skeptis Terhadap Hadis…………………………..…………. 91
3. Menginspirasi Peneliti Hadis Lain........................................... 91

BAB V PENUTUP…………………………………………………………...... 94
A. Kesimpulan………………………………………………………… 94
B. Saran……………………………………………………………….. 95

DAFTAR PUSTAKA..………………………………………………………… 97
INDEKS.............................................................................................................. 106
PROFIL PENULIS............................................................................................ 112

vii
PEDOMAN TRANSLITERASI

1. Konsonan
Daftar huruf bahasa Arab dan transliterasinya ke dalam huruf Latin dapat
dilihat pada halaman berikut:

Huruf
Arab Nama Huruf Latin Nama

‫ا‬ alif tidak tidak dilambangkan

‫ب‬ ba dilambangkan
b be

‫ت‬ ta t te

‫ث‬ s\a s\ es (dengan titik di atas)


‫ج‬ jim j je
‫ح‬ h}a h} ha (dengan titik di bawah)
‫خ‬ kha kh ka dan ha
‫د‬ dal d de
‫ذ‬ z\al z\ zet (dengan titik di atas)
‫ر‬ ra r er
‫ز‬ zai z zet
‫س‬ sin s es
‫ش‬ syin sy es dan ye
‫ص‬ s}ad
s}
es (dengan titik di bawah)
‫ض‬ d}ad d} de (dengan titik di bawah)
‫ط‬ t}a t} te (dengan titik di bawah)
‫ظ‬ z}a z} zet (dengan titik di bawah)
‫ع‬ ‘ain ‘ apostrof terbalik
‫غ‬ gain g ge
‫ف‬ fa f viii ef
‫ق‬ qaf q qi
‫ك‬ kaf k ka
‫ل‬ lam l el
‫م‬ mim m em
‫ن‬ nun n en
‫و‬ wau w we
‫هػ‬ ha h ha
‫ء‬ hamzah ’ apostrof
‫ى‬ ya y ye

Hamzah (‫ )ء‬yang terletak di awal kata mengikuti vokalnya tanpa diberi


tanda.
2. Vokal
Vokal tunggal bahasa Arab yang lambangnya berupa tanda atau harakat,
transliterasinya sebagai berikut:

Tanda Nama Huruf Latin Nama

‫ا‬ fath}ah a a

‫ِا‬ kasrah i i

‫ا‬ d}ammah u u

Vokal rangkap bahasa Arab yang lambangnya berupa gabungan antara


harakat dan huruf, transliterasinya berupa gabungan huruf.
Contoh:

َ‫ف‬
َ ‫َكْي‬ : kaifa

َ‫ص ْوم‬
َ : s}aumu

ix
1. Maddah
Maddah atau vokal panjang yang lambangnya berupa harkat dan huruf,
transliterasinya berupa huruf dan tanda, yaitu:

Huruf dan
Harkat dan Huruf Nama Nama
Tanda

fath}ahَdan alif
‫ََى‬...َ|َ‫ا‬
َ َََ...
َ atau ya
a> a dan garis di
atas
‫ػِػى‬ kasrah dan ya i> i dan garis di atas

‫ػػػو‬ d}ammah dan u> u dan garis di


wau
atas

Contoh:

‫ص ََلَة‬ َ : s}ala>tu

‫فِْي َِه‬ : fi>hi

َ‫يَق ْول‬ : yaqu>lu

4. Ta>’ Marbu>t}ah
Transliterasi untuk ta>’ marbu>t}ah ada dua, yaitu: ta>’ marbu>t}ah yang hidup
atau mendapat harkat fath}ah, kasrah, dan d}ammah, transliterasinya adalah [t].
Sedangkan ta>’ marbu>t}ah yang mati atau mendapat harkat sukun, transliterasinya
adalah [h].
Kalau pada kata yang berakhir dengan ta marbu>t}ah diikuti oleh kata yang
menggunakan kata sandang al- serta bacaan kedua kata itu terpisah, maka ta
marbu>t}ah itu ditransliterasikan dengan ta (t).
Contoh:

‫َح ِاديْث‬ ِ ِ
َ ‫س ْلسلَةََ ْاْل‬ : silsilah al-ah}a>di>s\

َ‫طَبَ َقة‬ : t}abaqah

x
5. Syaddah (Tasydi>d)
Syaddah atau tasydi>d yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan
dengan sebuah tanda tasydi>d ( َّ ), dalam transliterasi ini dilambangkan dengan
perulangan huruf (konsonan ganda) yang diberi tanda syaddah.
Contoh:

َ‫َربَّنَا‬ : rabbana>

Jika huruf ‫ ى‬ber-tasydid di akhir sebuah kata dan didahului oleh huruf
kasrah (‫)ػػػػِػى‬, maka ia ditransliterasi seperti huruf maddah (i>).
Contoh:
‫َعلِ َى‬ : ‘Ali> (bukan ‘Aliyy atau ‘Aly)

َ‫َعَر ى‬
‫ب‬ : ‘Arabi> (bukan ‘Arabiyy atau ‘Araby)
6. Kata Sandang
Kata sandang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan huruf َ ‫ال‬
(alif lam ma‘arifah). Dalam pedoman transliterasi ini, kata sandang ditransliterasi
seperti biasa, al-, baik ketika ia diikuti oleh huruf syamsiah maupun huruf
qamariah. Kata sandang tidak mengikuti bunyi huruf langsung yang mengikutinya.
Kata sandang ditulis terpisah dari kata yang mengikutinya dan dihubungkan dengan
garis mendatar (-).
Contohnya:

َ‫اَ ْْلَ ِديْث‬ : al-h{adi>s\

7. Hamzah
Aturan transliterasi huruf hamzah menjadi apostrof (’) hanya berlaku bagi
hamzah yang terletak di tengah dan akhir kata. Namun, bila hamzah terletak di
awal kata, ia tidak dilambangkan, karena dalam tulisan Arab ia berupa alif.
Contohnya:

َ‫تَأمرْون‬ : ta’muru>na

َ‫َش ْيء‬ : syai’un

xi
8. Penulisan Kata Arab yang Lazim digunakan dalam Bahasa Indonesia
Kata, istilah atau kalimat Arab yang ditransliterasi adalah kata, istilah atau
kalimat yang belum dibakukan dalam bahasa Indonesia. Kata, istilah atau kalimat
yang sudah lazim dan menjadi bagian dari pembendaharaan bahasa Indonesia, atau
sudah sering ditu/lis dalam tulisan bahasa Indonesia, tidak lagi ditulis menurut cara
transliterasi di atas. Misalnya kata Al-Qur’an (dari al-Qur’a>n), Sunnah, khusus dan
umum. Namun, bila kata-kata tersebut menjadi bagian dari satu rangkaian teks
Arab, maka mereka harus ditransliterasi secara utuh.
Contoh:
Siyar A‘la>m al-Nubala>
I‘tiba>r al-Sanad
9. Huruf Kapital
Walau sistem tulisan Arab tidak mengenal huruf kapital (All Caps), dalam
transliterasinya huruf-huruf tersebut dikenai ketentuan tentang penggunaan huruf
kapital berdasarkan pedoman ejaan Bahasa Indonesia yang berlaku (EYD). Huruf
kapital, misalnya, digunakan untuk menuliskan huruf awal nama diri (orang,
tempat, bulan) dan huruf pertama pada permulaan kalimat. Bila nama diri didahului
oleh kata sandang (al-), maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal
nama diri tersebut, bukan huruf awal kata sandangnya. Jika terletak pada awal
kalimat, maka huruf A dari kata sandang tersebut menggunakan huruf kapital (Al-).
Ketentuan yang sama juga berlaku untuk huruf awal dari judul referensi yang
didahului oleh kata sandang al-, baik ketika ia ditulis dalam teks maupun dalam
catatan rujukan.
Contoh:
Takhri>j al-h{adi>s\
Ah}mad bin H{anbal
10. Singkatan
Beberapa singkatan yang dibakukan adalah:
Cet. = Cetakan
saw. = S{allalla>hu ‘Alayhi wa Sallam
swt. = Subh}a>nah wa Ta’a>la
QS. = al-Qur’an Surat
t.p. = Tanpa penerbit
t.t. = Tanpa tempat
t.th. = Tanpa tahun
t.d = Tanpa data
r.a. = Rad}iya Alla>hu ‘Anhu

xii
M. = Masehi
H. = Hijriyah
w. = Wafat Tahun
h. = Halaman

xiii
ABSTRAK

Penelitian ini mengkaji pemikiran Michael Cook tentang sejarah asal usul
penggunaan sanad. Penelitian ini menemukan bahwa sistem sanad sudah digunakan
jauh sebelum Islam datang, yaitu digunakan oleh umat Yahudi dan Arab pra-Islam.
Yahudi menggunakan sanad dalam transmisi riwayat-riwayat Mishnah, sedangkan
Arab pra-Islam menggunakan sanad dalam periwayatan syair-syair yang dilakukan
oleh para penyair Arab klasik. Kesimpulan penelitian ini mendukung pendapat
Josef Horovitz dalam karyanya Alter und Ursprung des Isnad (1918), Gregor
Schoeler dalam karyanya The Oral and The Written In Early Islam (2006),
Muhammad Mustafa al-‘Azami dalam karyanya Studies in Early Hadith Literature
(1978), dan Ali Mustafa Ya’qub dalam karyanya Kritik Hadis (1995) yang
mengatakan bahwa tradisi sanad sudah digunakan oleh umat pra-Islam.
Di sisi lain, hasil penelitian ini berbeda dengan pendapat mayoritas ulama
hadis yang mengatakan bahwa tradisi sanad hanya ada dalam Islam dan tidak
ditemukan pada umat lain di luar Islam, yaitu berbeda dengan pendapat ‘Abdulla>h
ibn Muba>rak (w 181 H), Muhammad ibn H{a>tim al-Mazaffar (w 331 H), dan Ibn
Taimiyah (w 728 H) yang mengatakan bahwa sanad adalah keistimewaan umat
Islam yang tidak dimiliki oleh umat lain. Selain itu, penelitian ini juga berbeda
dengan kesimpulan yang diberikan oleh beberapa orientalis sebelum Michael Cook,
seperti Leone Caentani dalam karyanya Annali Dell’Islam (1935), Joseph Schacht
dalam karyanya The Origins of Muhammadan Jurisprudence (1967), James Robson
dalam karyanya The Isnad in Muslim Traditions (1955), dan Juynboll dalam
karyanya The Date of the Great Fitna (1973) yang mengatakan bahwa tradisi sanad
baru lahir setelah abad kedua atau ketiga Hijriah.
Penelitian ini termasuk jenis penelitian kualitatif, dengan menggunakan
riset kepustakaan (library research). Metode pengumpulan data yang digunakan
adalah metode dokumentasi, yaitu dengan mencari dan mengumpulkan beberapa
literatur yang berkaitan dengan tema yang diteliti, di antaranya mencakup literatur
primer, yaitu tiga karya Michael Cook yang berjudul The Opponents of The
Wirting of Tradition in Early Islam (1997), Studies in the Origins of Early Islamic
Culture and Tradition (2004), dan Early Muslim Dogma: A Source-Critical Study
(1981). Sedangkan sumber sekunder adalah data-data yang diperoleh secara tidak
langsung berupa buku, kitab-kitab, tesis atau disertasi, jurnal, artikel online dan
sumber data lainnya yang relevan dan dapat mendukung penyelesaian tesis ini.
Analisis yang digunakan adalah deskriptif-analisis dengan menggunakan
pendekatan historis.

xiv
ABSTRACT

This study review Michael Cook’s thoughts about the history of the origin
of the use of isnad. From the results of this thesis study found that the isnad system
was used long before Islam came, namely used by Jews and pre-Islamic Arabs. Jews
use isnad in transmitting the narrations of the Mishnah. Whereas pre-Islamic
Arabic uses isnad in the narration of poems performed by classical Arabic poets.
The conclusion of this study supports the opinion of Josef Horovitz in his work
Alter und Ursprung des Isnad (1918), Gregor Schoeler in The Oral and The Written
In Early Islam (2006), Muhammad Mustafa al-‘Azhami in his Studies in Early
Hadith Literature (1978), and Ali Mustafa Ya'qub in his Kritik Hadis (1995) which
said that the tradition of sanad has been used by pre-Islamic people.
On the other hand, this study differ from the opinions of the majority of
hadith scholars who said that the tradition of sanad only exists in Islam and is not
found in other people outside of Islam. This study differ from opinions of ‘Abdulla>h
ibn Muba>rak (w 181 H), Muhammad ibn H{a>tim al-Mazaffar, and Ibn Taimiyah (w
728 H). In addition, this study is also different from the conclusions given by some
orientalists before Michael Cook, such as Leone Caentani in his work (1935),
Annali Dell’Islam (1935), Joseph Schacht in his work The Origins of Muhammadan
Jurisprudence (1967), James Robson in his work The Isnad in Muslim Traditions
(1955), and Juynboll in his work The Date of the Great Fitna (1973)) which said
that the tradition of the new sanad was born after the second or third century Hijri.
This research is a type of qualitative research, on library research. The data
collection method used is the documentation method, which is by searching and
gathering some literatures related to the theme under study, including primary
literature, namely three works of Michael Cook entitled The Opponents of The
Wirting of Tradition in Early Islam (1997), Studies in the Origins of Early Islamic
Culture and Tradition (2004), and Early Muslim Dogma: A Source-Critical Study
(1981). While secondary sources are data obtained indirectly in the form of books,
theses or dissertations, journals, online articles and other data sources that are
relevant and can support the completion of this thesis. This research is descriptive
analysis using a historical approach.

xv
‫ملخص البحث‬
‫زكز هرا البحث زأي مُكائُل كوك )‪ (Michael Cook‬عً جازٍخ أصول السىد‪ .‬وجد هرا‬
‫لاالس‪،‬مما االستعم ا الودوو والعس قبل لاالس‪،‬مم‪ .‬االستعم ا‬
‫البحث أن السىد مستعمل قبل قدوم ا‬
‫الودوو عىد هقل زواًاث املصىت و شعساء العس قبل لاالس‪،‬مم فى هقل شعس هم‪ .‬خ‪،‬مصت هرا البحث‬
‫‪Alter und Ursprung des Isnad‬‬ ‫‪ (Josef‬فى كتابا‬ ‫)‪Horovitz‬‬ ‫ًؤكد زأي ًوالسف هوزوفُث‬
‫‪The Oral and The Writtten In‬‬ ‫‪ (Gregor‬فى كتابا‬ ‫السكوالز )‪Schoeler‬‬ ‫(‪)9594‬ا وغسَغوز‬
‫‪)6002( Early Islam‬ا ومحمد مصطفى ألاعظمى فى كتابا وزاالساث فى الحدًث الىبوى و جسٍخ‬
‫جدوٍىا (‪)9534‬ا وعلي مصطفى ٌعقو فى كتابا هقد الحدًث (‪ )9551‬قالوا بؤن إلاالسىاو‬
‫قداالستعم ا ألامم قبل إلاالس‪،‬مم‪ .‬خ‪،‬مصت هرا البحث ًخالف عبد هللا ابً املبازك (‪)ٌ 949‬ا وابً‬
‫جُمُت (‪ )ٌ 364‬بؤن السىد مً خصوصُت املس مين ال في ألامم ألاخسى‪ .‬ا‬
‫وكرالك فُخت ف هتُجت هرا البحث على معظم املحدثين الرًً ًسون أن السىد موجوو‬
‫إالستم ا فى لاالس‪،‬مم ولم ًكً فى ألامم الألخسى غير لاالس‪،‬مم‪ً .‬خالف هرا البحث بآزاء املستشسقين‬
‫قبل مُكائُل كوك ك ُُووي السُيتان )‪ )Leone Caentani‬فى كتابا ‪)9591( Annali Dell Islam‬ا‬
‫‪The Origins of Muhammadan Jurisprudence‬‬ ‫وٍوالسف شاخت )‪ (Joseph Schacht‬فى كتابا‬
‫‪The Isnad in Muslim Traditions‬‬ ‫(‪)9523‬ا وجُمس زوبسون )‪ (James Robson‬فى كتابا‬
‫فى كتابا ‪ )9539( The Date of The Great Fitna‬الرًً‬ ‫)‪(Juynboll‬‬ ‫(‪)9511‬ا وٍون بولد‬
‫الهجسة‪ .‬ا‬
‫ا‬ ‫قالوا أن السىد هاش ئ بعد القسن الثاوى أو الثالث مً‬
‫هرا البحث ٌستخدم املىهج الىوعى او طسٍقت جمع املصاوزها الطسٍقت املكتبُت الجمع‬
‫بؤن ًبحث املساجع املتع قت بدا مً املساجع ألاالساالسُت مً كتب مُكائُل كوك وهي ‪The Opponent‬‬

‫‪Studies in the Origins of Early‬‬ ‫‪)9553(of The Writing of Tradition in Early Islam‬ا‬
‫‪Early Muslim Dogma: A Source-Critical‬‬ ‫‪)6002( Islamic Culture and Tradition‬ا و‬
‫‪ .)9549( Study‬وأما املساجع الزٍاوًت فمً الكتب والسالسائل الع مُت وألاكاوًمُت اوالكتاباث‬
‫جازٍخي‪ .‬ا‬
‫لالُكتروهُت وما إلى ذلك‪ ,‬هرا البحث وزاالست مىهج ا‬

‫‪xvi‬‬
BAB I

A. Latar Belakang
Dalam kajian Ilmu Hadis, aspek sanad atau yang biasa disebut isna>d al-
1
h}adi>ts menempati posisi yang sangat urgen dan mendasar. Sanad merupakan titik
sentral dalam studi hadis dengan tidak menafikan studi matan hadis itu sendiri.
Kualitas sebuah hadis besar dipengaruhi oleh keberadaan kualitas sanadnya. Jika
sanad suatu hadis berkualitas shahih maka hadis itu dapat diterima. Akan tetapi,
jika sanad suatu hadis tidak shahih maka hadis tersebut ditolak. Oleh karena itu,
diskursus tentang sanad ini merupakan salah satu hal penting yang harus dipahami
dalam melakukan kajian hadis.
Mengingat demikian tinggi nilai dan urgensi sanad, maka para ulama hadis
menempatkan kedudukan sanad sebagai bagian yang tak terpisahkan dari agama.
Sanad merupakan jalan yang mulia untuk menetapkan hukum-hukum Islam. Itulah
sebabnya para ahli hadis sangat berhati-hati dalam menerima suatu hadis, kecuali
apabila mengenal dari siapa perawi hadis tersebut dan sumber yang disebutkan
benar-benar dapat dipercaya. Kehati-hatian dalam menerima suatu hadis juga
merupakan ajaran Islam yang memotivasi umatnya untuk mencari kebenaran. Hal
itu di tegaskan oleh Allah sendiri dalam firman-Nya Q.S Al-Hujurat ayat 6:

‫ََي َأُّيه َا ذ ِاَّل َين أ ٓ َمنُوا ا ْن َج َاء ُ ُْك فَ ِاس ٌق ِبن َ َب ٍٕا فَتَ َبيذنُوا َأ ْن ت ُِصي ُبوا كَ ْو ًما ِ َِبي َ ٍَاَل فَ ُت ْص ِب ُحوا ػَ َ ىل َما فَ َؼلْ ُ ْت‬
ّ
‫َنَ ِد ِم َي‬
‚Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang Fasik
membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak
menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui
keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.‛2

1
Istilah sanad berasal dari kata Sanada-Yasnudu-Sanadan yang secara etimologi
berarti al-mu’tamad (sandaran, tempat bersandar, tempat berpegang, yang dipercaya, yang
sah). Dikatakan demikian karena hadis itu bersandar kepadanya dan dipegangi atas
kebenarannya. Sedangkan secara terminologi sanad mengandung arti silsilah beberapa orang
(yang meriwayatkan hadis) yang menghubungkannya kepada matan hadis. Adapun kata
isnad mengandung pengertian menyandarkan, mengasalkan, mengangkat hadis kepada
orang yang mengatakannya. Pada tahap selanjutnya kata sanad dan isnad mempunyai arti
yang hampir sama atau berdekatan. Lihat. Mah{mud Thahha>n, Us{u>l al-Takhri>j wa Dira>sah
al-Asa>nid, Cet. III, (Riyadh: Maktabah al-Ma’a>rif, 1991), h. 19.
2
Kementerian Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Banten: Insan Media Pustaka,
2016), h. 516.

1
2

Selain itu, ayat lain yang dapat dijadikan sebagai landasan teologis tentang
pentingnya sanad yaitu Q.S. Al-Israa’ ayat 36. Allah Swt berfirman:

َ َ ‫َو ََل تَ ْل ُف َما مَيْ َس َ ََل ِب ِوۦ ِػ ْ ٌْل ۚ ا ذن أ ذمس ْم َع َوأمْ َب‬
‫َص َوأمْ ُف َؤا َد ُ ه‬
‫ُك ُأوم َ ٓ ِئ َم ََك َن َغ ْن ُو َم ْس ُو ًل‬
ّ
‚Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai
pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati,
semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.‛3

Rasulullah Saw juga meberikan peringatan kepada umatnya untuk berhati-


hati dalam menyampaikan sebuah hadis. Sabda beliau:

‫َو َح ذدثَنَا ُم َح ذمدُ ْب ُن ُغ َب ْي ٍد امْغ َ َُِب هى َح ذدثَنَا َأبُو َغ َواه َ َة َغ ْن َأ ِِب َح ِصيٍ َغ ْن َأ ِِب َصا ِم ٍح َغ ْن َأ ِِب ى َُرْي َر َة‬
.‫ َم ْن َن َذ َب ػَ َ ذل ُمتَ َؼ ِّمدً ا فَلْ َيت َ َب ذو ِأ َم ْل َؼدَ ُه ِم َن امنذ ِار‬-‫لل ػَلَ ْي ِو َو َس ذ َْل‬ ِ ‫ول ذ‬
ُ ‫اَّلل َص ذل‬ ُ ‫كَا َل كَا َل َر ُس‬
Telah menceritakan kepada kami Muhammad ibn ‘Ubaid al-Gubari telah
menceritakan kepada kami Abu> ‘Awanah dari Abi> Hasi>n dari Abi> shalih dari
Abu Hurairah berkata bahwa Rasulullah Saw bersabda: ‚Barang siapa yang
berbohong atas namaku maka tempatnya adalah nereka.‛4

Kedudukan sanad dinilai oleh para ulama hadis sangat penting dilakukan
untuk mengetahui keontetikan sumber atau asal riwayat yang disandarkan kepada
Nabi Muhammad saw. Bahkan kerena begitu pentingnya sistem sanad ini sehingga
melahirkan banyak opini dan pernyataan dari para ulama hadis tentang kedudukan
dan urgensi sanad dalam Islam khususnya dalam studi hadis. Berikut ini
dikemukakan sebagian dari pernyataaan-pernyataan mereka.

1. Muhammad Ibn Sirin (w 110 H/728 M) menyatakan:

‫ىذا امْ ِؼ ْ َْل ِد ْي ٌن فَاه ُْظ ُر ْوا َ ذَع ْن تَأِخ ُُذ ْو َن ِديْنَ ُ ْك‬
َ ‫ا ذن‬
ّ
‚Sesungguhnya pengetahuan (sanad) ini adalah agama. Maka perhatikanlah
dari siapa kamu mengambil agamamu itu.‛5

3
Kementerian Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 285
4
Abu al-Husain Muslim ibn al-Hajjaj al-Naisaburi, Shahih Muslim, Juz V (Beirut:
Dar al-Afaq al-Jadidah, t.th), h 7
5
Abu H{usain Muslim ibn al-Hajja>j al-Qusyairi> al-Naisaburi>, al-Jami’ al-Sh}ahi>h
(Beirut: Da>r al-Afa>q al-Jadi>dah, tt), h. 14}
3

2. Abu> ‘Amr al-Awza’i> (w 157 H/774 M) menyatakan:

‫َاب ْاَل ْس نَا ِد‬


ُ ‫َاب امْ ِؼ ْ ِْل ا ذَل َذى‬
ُ ‫َما َذى‬
ّ ّ
‚Hilangnya pengetahuan (hadis) tidak akan terjadi, terkecuali bila sanad
hadis telah hilang.‛6

3. Sufya>n al-Sauri> (w 161 H/778 M) menyatakan:

‫َأ َْل ْس نَا ُد ِس ََل ُح امْ ُم ْؤ ِم ِن ْ ِي فَ ِا َذا م َ ْم يَ ُك ْن َم َؼ ُو ِس ََل ٌح فَ ِبأَ ِ ّي َش ْ ٌْي يُلَا ِت ُل‬
ّ
‚Sanad itu merupakan senjata bagi orang-orang yang beriman. Jika mereka
tidak memiliki senjata, maka dengan apa mereka dapat menghadapi
peperangan.‛7

4. ‘Abdulla>h ibn al-Muba>rak (w 181 H/797 M) mentatakan :

‫َا َْل ْس نَا ُد ِم َن ّ ِال ْي ِن َوم َ ْو ََل ْاَل ْس نَا ُد مَلَا َل َم ْن َش َاء َما َش َاء‬
ّ ّ
‚Sanad itu merupakan bagian dari agama. Dan sekiranya sanad itu tidak ada,
niscaya siapa saja dapat menyatakan apa yang dikehendakinya.‛8

Pernyataan-pernyataan di atas memberikan petunjuk bahwa persoalan


sanad merupakan sesuatu yang sangat urgen dan penting. Sebab sanad merupakan
sarana untuk mengetahui sekaligus mengkritik hadis. Itulah sebabnya studi sanad
tidak pernah sepi dan tidak pernah berhenti dilakukan. Dari waktu ke waktu studi
sanad selalu menarik banyak perhatian bagi para pengkaji hadis, tidak hanya dari
kalangan umat Islam tapi juga menarik perhatian dari kalangan non Muslim
(orientalis).
Dari kalangan ulama hadis, studi tentang sanad telah melahirkan banyak
teori sebagai upaya serius untuk menjaga dan merawat eksistensi hadis dari
penyelewengan dan pemalsuan, di antara teori yang telah diciptakan oleh para
ulama hadis adalah ‘Ilmu Jarh} wa al-Ta’di>l, ‘Ilmu Rija>l al-H{adi>s, ‘Ilmu Tari>kh Ar-
Ruwah, ‘Ilmu T{abaqat ar-Ruwah, dan lain-lainnya. Sedangkan studi sanad di

6
Nu>r al-Di>n ‘Itr, Manhaj al-Naqd fi> ‘Ulu>m al-Hadi>ts (Damaskus: Da>r al-Fikr, 1399
H/1979 H), h. 345
7
Muh}ammad Luqma>n al-Salafi, Ih}tima>m al-Muh}additsi>n bi Naqd al-Hadi>ts Sanad
wa Matn (Riyadh: Maktabah al-Riyadh, 1984), h. 153; Akram Dhiya’ al-’Umari, Buh}u>ts fi>
Tarikh al-Sunnah al-Musyrafah, cet. 4 (Beiru>t: Basath, 1984), h. 56 ; Muhammad
Muhammad Abu> Syuhbah, Fi> Rihab al-Sunnah al-Kutu>b al-Sh}ih}ah al-Sittah (Azhar:
Majma’ al-Turats, 1969), h. 37
8
Abu H{usain Muslim ibn al-Hajja>j al-Qusyairi> al-Naisaburi>, al-Jami’ al-Sh}ahi>h, h.
15
4

kalangan orientalis juga tidak sedikit telah melahirkan banyak teori yang dibuat
untuk membuktikan bahwa hadis merupakan sesuatu yang tidak otentik dari Nabi
Saw, di antara teori-teori tersebut adalah projecting back,9 common link,10 isnad
family,11 isnad cum matn analysis,12The Spread of Isnad,13 dan lain-lain.
Studi sanad di kalangan orientalis berbeda secara fundamental dengan studi
sanad yang dilakukan oleh ulama hadis. Jika ulama hadis mengkaji sanad lebih
kepada kualitas perawinya, maka orientalis lebih menekankan pada asal usulnya.
Mereka lebih banyak menyoroti kapan, oleh siapa dan di mana sanad itu dibuat.
Upaya yang mereka lakukan adalah melakukan kajian ilmiah dengan menelususri,
mendeteksi dan menaksir kapan awal mula penggunaan sistem sanad dalam hadis.

9
Teori projecting back dikenal juga dengan istilah backward projection. Teori ini
dicetuskan oleh Jeseph Schahch. Projecting back adalah teori proyeksi kebelakang, yakni
menisbahkan pendapat ulama abad kedua dan ketiga Hijriah kepada ulama atau tokoh-tokoh
sebelumnya sampai pada Rasulullah Saw. Schach dengan procecting back-nya berasumsi
bahwa hadis nabi sesungguhnya tidak berasal dari dirinya. Nabi tidak berkata dan berbuat
sebagaimana yang dijelaskan dalam hadis-hadisnya itu. Hadis-hadis itu hanyalah perkataan
orang-orang pada abad pertama atau kedua hijriah yang kemudian disandarkan kepada
sahabat lalu kepada Rasulullah. Penyandaran itu dilakukana supaya dapat memperoleh
sandaran dan kekuatan hukum. Joseph Schach, An Introduction to Islamic Law (Oxford:
Clarendom Press, 1964), h. 31-32
10
Pencetus teori ini adalah Juynboll. Menurut Juynboll, common link adalah
periwayat yang dalam isnad pertama kali menyampaikan hadis, biasanya satu orang, kepada
beberapa orang periwayat berikutnya dan terus tersebar hingga ada banyak orang yang
meriwayatkan hadis tersebut diberbagai tingkatan isnadnya. Common link dalam isnad
hadis sering terjadi dikalangan tabiin dan tabi’ tabiin. Jarang sekali ditemui dikalangan
sahabat atau nabi yang menjadi kaitan bersama suatu hadis. Karenanya, hadis nabi secara
historitas tidak berasal dari Nabi atau sahabat tetapi dari tabiin dan tabi’ tabiin. G.H.A.
Juynboll (ed.), Early Islamic Society as Reflected in Its Use Of Isnads, vol. 107 (Lemosion,
1994), h. 153
11
Teori Isnad Family ini dicetuskan oleh Nabia Abbott. Yang dimaksud dengan
Isnad Family adalah ketika periwayatan suatu hadis hanya diriwayatkan kepada orang-
orang tertentu, yaitu diriwayakan dari jalur atas ke bawah dalam hubungan nasab, seperti
seorang ayah yang meriwayatkan hadis kepada anaknya, atau melompati generasi di
bawahnya, seperti seorang kakek yang langsung meriwayatkan hadis kepada cucunya tanpa
melalui ayah cucu tersebut. Nabia Abbott, Studies in Arabic Literary Papyri II: Qur’anic
Commentary and Tradition (Chicago: The University of Chicago Press, 1967), h. 72
12
Teori isnad cum matn analysis dibuat oleh Harald Motzki. Teori ini digunakan
untuk melakukan penanggalan (dating) hadis, yaitu menaksir dan memperkirakan umur dan
asal muasal sebuah hadis dengan cara menghimpun dan membandingkan variasi teks hadis
secara bersamaan. Harald Motzki, The Origin of Islamic Jurisprudence Meccan Fikih before
the Clasiccal Schools (Leiden: Brill, 2002), h. 36
13
Teori The Spread of Isnad ini diciptakan oleh Michael Cook. Terori ini dibuat
untuk membantu memahami fenomena teori Common Link dengan mudah. Selain itu, teori
The Spread of Isnad juga digunakan untuk menemukan saksi kunci pemalsuan hadis dalam
suatu sanad. Lihat Michael Cook, Early Muslim Dogma: A Source-Critical Study
(Cambridge University Press, 1981/2003), h. 111
5

Umumnya kesimpulan dari hasil temuan mereka menghasilkan pandangan yang


skeptis terhadap hadis. Sanad hadis dalam pandangan orientalis merupakan sesuatu
yang palsu dan dibuat-buat. Bagi mereka sanad adalah hasil buatan dan hasil
kreatifitas dari para ulama hadis. hal tersebut sebagaimana yang telah diungkapkan
oleh Joseph Schacht.
Menurut Joseph Schacht, hampir keseluruhan bagian dari sanad hadis
adalah palsu. Pada mulanya sanad muncul dalam bentuk yang sangat sederhana,
hingga terus berkembang dan mencapai tingkat kesempurnaannya pada abad kedua
dan ketiga Hijriah. Sehingga Joseph Schacht menyimpulkan bahwa sanad
merupakan hasil kreatifitas para ulama abad kedua Hijriah dalam menyandarkan
sebuah hadis kepada ulama-ulama terdahulu hingga akhirnya sampai kepada Nabi
Saw. Hal ini dilakukan untuk mencari legitimasi yang kuat terhadap hadis yang
mereka sampaikan. Jadi menurut Schacht, sanad adalah hasil dari buah kreatifitas
ulama ahli hadis yang dimana merupakan hasil rekayasa ulama hadis pada abad
kedua dan ketiga Hijriah.14
Sementara itu, Juynboll dalam melakukan analisis sanad mengadopsi teori
common link yang dicetuskan oleh Schacht. Common link sendiri merupakan
istilah untuk perawi hadis yang mendengar hadis dari orang yang otoritatif. Lalu ia
menyandarkan pada murid, kemudian muridnya kepada satu murid atau lebih
banyak. Dengan kata lain, common link merupakan sebutan untuk perawi tertua
dalam isna>d yang meneruskan hadis kepada lebih dari satu murid. Menurut
Juynboll, dalam isna>d hadis, common link sering terjadi di kalangan ta>bi>n dan ta>bi’
al-ta>bi>n. Sangat jarang terjadi pada sahabat atau Nabi yang berkaitan bersama
dalam suatu hadis. Karenanya, hadis secara historis tidak bersumber dari Nabi atau
sahabat tetapi dari generasi ta>bi>n dan ta>bi’ al-ta>bi>n.15
Selain itu, tokoh orientalis lain yang ikut mempersoalkan sistem sanad
adalah Micheal Cook. Namanya tidak sepopuler Joseph Schacht, Juynboll dan
tokoh-tokoh orientalis lainnya. Cook adalah tokoh orientalis kontemporer yang
muncul belakangan16 dan masih sedikit yang mengkajinya.17 Studi hadis yang

14
Joseph Schacht, The Origins of Muhammad Jurisprudence (Oxford: University
Press, 1975), h.163
15
Ali Masrur, Teori Common Link G.H.A. Juynboll: Melacak akar Kesejarahan
Hadis Nabi (Yogyakarta: LKIS, 2007), h. 57
16
Hiangga penelitian ini ditulis Michael Cook masih hidup. Ia tinggal di New
Jersey, Inggris, dan menjadi guru besar di Peinceton University di bidang Near Eastern
Studies.
17
Hal ini dibuktikan dengan masih sedikitnya penelitian mengenai Michael Cook.
Berdasarkan hasil penelusuran penulis belum ada tesis, disertasi maupun buku mengenai
Michael Cook di Indonesia. Sedangkan di Barat, Cook sangat diapresiasi dan menjadi tema
diskursus hadis. Salah satu evidencenya adalah dari berbagai tokoh hadis Barat, hanya
6

dilakukannya juga lebih banyak terkonsentrasi pada persolan sanad. Salah satunya
ia melakukan sorotan tajam terhadap asal-usul penggunaan sanad. Bila orientalis
sebelum-sebelumnya berpandangan bahwa sistem sanad adalah hasil buatan
kreatifitas ulama hadis pada abad kedua dan ketiga Hijriah, maka Michael Cook
memiliki pandangan yang berbeda. Ia menarik sejarah asal-usul penggunaan sanad
mundur jauh ke belakang melewati masa Islam ke masa pra-Islam.\
Menurut Cook, jauh sebelum datangnya Islam sistem sanad sudah
digunakan oleh umat terdahulu, yaitu telah digunakan oleh umat Yahudi dan Arab
klasik pra-Islam. Umat Yahudi menggunakannya dalam periwayatan Mishnah.18
Riwayat Mishnah disampaikan secara lisan dari generasi awal masa Nabi Musa lalu
disampaikan ke genarasi berikutnya, kemudian generasi ini menyampaikan ke
generasi berikutnya lagi, begitu seterusnya hingga akhirnya membentuk suatu
rentetan sistem sanad. Periwayatan Mishnah baru berhenti disampaikan secara lisan
setelah penulisan Mishnah dilakukan pada tahun 200 M.19
Lebih lanjut, Cook mengatakan bahwa sistem sanad hadis erat kaitannya
dengan sanad Yahudi. Sistem sanad Yahudi dan Islam memiliki banyak kemiripan
dan kesamaan. Cook dalam risetnya menemukan bahwa sistem sanad Islam besar
dipengaruhi oleh tradisi sanad yang ada pada Yahudi. Oleh karena itu, Michael
Cook kemudian berkesimpulan bahwa Islam telah menyalin dan menjiplak sistem
sanad dari tradisi Yahudi.20
Michael Cook menambahkan bahwa sistem sanad mulai gencar digunakan
sebagai sebuah sistem periwayatan bermula pada masa Arab jahiliyah. Para penyair
pra-Islam telah menggunakan sanad dalam menyampaikan syair-syair yang
dilakukan dikalangan para penyair. Ketika itu, sanad berfungsi sebagai tools dalam
menyampaikan berbagai maklumat seperti syair, berita-berita daripada pimpinan
dan berbagai macam maklumat lainnya.21

Juynboll, Motzki, dan Cook yang karya-karyanya dibukukan oleh penerbit Asghate
Variorum.
18
Mishnah atau yang biasa disebut Oral Law adalah bagian utama dari kitab
Talmud. kitab ini menjadi rujukan utama umat Yahudi dalam hal permasalahan hukum.
Kitab ini juga disebut sebagai Undang-Undang Kedua (Second Law). Isi Mishnah mirip
dengan Fikih dalam Islam, pembahasannya mengenai halal-haram, aturan-aturan dalam
beribadah, perkawinan dan perceraian, hukum pidana dan perdata, sesembahan kurban dan
semua upacara keagamaan. Lihat Hermann L. Strack, Introduction to The Talmud and
Midrash, (Pihladelphia: Varda Books, 1931), h. 12-20
19
Michael Cook, ‚The Opponents of The Writing of Traditional in Early Islam‛,
dalam Jurnal Arbica XLIV, 1997, h. 511
20
Michael Cook, ‚The Opponents of The Writing of Traditional in Early Islam‛, h.
508
21
Michael Cook, ‚The Opponents of The Writing of Traditional in Early Islam‛, h.
508
7

Adapun penggunaan sanad dalam sejarah umat Nasrani tidak begitu


familiar dengan sistem metode periwayatan seperti ini. Akan tetapi, dari hasil
penelususran Ibn Hazm, ia menemukan ada satu jalur sanad dalam injil yang
berkaitan dengan talak. Dengan demikian, sistem sanad juga pernah digunakan oleh
umat Nasrani meskipun yang ditemukan hanya ada satu jalur sanad saja, tapi
setidaknya ini sudah menggambarkan bahwa sejarah penggunaan sanad sudah ada
sejak masa pra-Islam.22
Pernyataan Cook yang mengatakan bahwa tradisi sanad sudah ada jauh
sebelum Islam datang adalah respon Cook atas pernyataan ulama hadis yang
mengatakan bahwa tradisi sanad hanya ada dalam Islam. Cook tidak sepakat
dengan pernyataan tersebut, sebab menurutnya sistem sanad sudah ada juah
sebelum Islam datang. Pernyataan bahwa sistem sanad tidak ditemukan di luar
Islam adalah pernyataan yang tidak berdasar menurut Cook.23
Pada umumnya mayoritas ulama hadis sepakat bahwa tradisi sanad hanya
ada dalam Islam dan tidak ditemukan di luar Islam. ‘Abdulla>h ibn Muba>rak (w 181
H) misalnya mengatakan bahwa:

‫ب َ ْينَنَا َوب َ ْ َي امْلَ ْو ِم امْلَ َو ِ ُاِئ ي َ ْؼ ِِن َا َْل ْس نَا ُد‬


ّ
‚Yang membedakan antara kita dengan umat lain (di luar Islam) adalah
sistem sanad.‛24

Selain itu, Muhammad ibn H{a>tim al-Muzaffar (w 331 H) juga mengatakan


hal yang sama. Menurutnya, Allah memuliakan umat Islam dengan memberikan
suatu sistem transmisi (sanad) yang tidak dimiliki oleh umat lain. Sebagaimana
pernyataan beliau sebagai berikut:

‫َشفَيَا َوفَضذ لَيَا ِِب َْل ْس نَا ِد َومَيْ َس ِ َْل َح ٍد ِم َن ْ ُاْل َم ِم ُ ِكّيَا كَ ِديْ ِميِ ْم َو‬ ‫لل اَ ْن َر َم ى ِذ ِه ْ ُاْل ذم َة َو َ ذ‬
َ ‫ا ذن‬
ّ ّ
ُ‫ص ٌف ِف َأيْ ِدُّيْ ِ ْم َوكَدْ َخلَ ُط ْوا ِب ُك ُتبِ ِ ْم َأ ْخبَ َار ْه‬ ُُ ‫ه‬ َِ ‫َح ِديْثِ ِ ْم ا ْس نَا ٌد َواه ذ َما‬
ّ ّ
‚Sesungguhnya Allah memuliakan dan memberikan kelebihan kepada umat
ini dengan adanya sanad. Tidak satupun dari semua umat terdahulu yang
memikiliki sistem isna>d. Yang ada hanyalah lembaran-lembaran di tangan

22
Abu Abd al-Rahman Shalah bin Muhammad, Tahqiqan kitab Muqaddimah Ibn
Shalah, (Beirut: Da>r al-Fikr, 1991) h. 271.
23
Michael Cook, ‚The Opponents of The Writing of Traditional in Early Islam‛, h.
508
24
Abu H{usain Muslim ibn al-Hajja>j al-Qusyairi> al-Naisaburi>, al-Jami’ al-Sh}ahi>h,
(h. 15
8

mereka yang kadang tercampur antara isi kitab mereka dengan khabar-khabar
mereka.‛25

Secara lebih lugas, eksistensi sanad dalam Islam juga diutarakan oleh Ibnu
Taimiyah (w 728 H). Beliau mengungkapkan pandangannya bahwa Ahlul Kitab
tidak memiliki sistem sanad. Penggunaan sanad hanya ada pada umat Muhammad
Saw. Pernyataan beliau sebagai berikut:

‫لل ػَلَ ْي ِو َو َس ذ َْل َو َج َؼ َ ُل ُسل ًما ِا َل ّ ِال َراي َ ِة فَأَى ُْل ْام ِكتَ ِاب‬
ُ ‫لل بِو ُأ ذم َة ُم َح ذم ٍد َص ذل‬ ُ ‫اَل ْس نَا ُد خ ذَص‬
ّ
‫ََل ا ْس نَا َد مَي ُْم يَأِث ُُر ْو َن ِب َو امْ َم ْن ُل ْو ََل ِت‬
ّ
‚Sanad adalah sesuatu yang Allah khususkan untuk umat Muhammad Saw.
Allah jadikan ini sebagai cara untuk sampai kepada hadis (dirayah). Adapun
Ahlul kitab tidak memiliki sanad dalam menyampaikan berita yang dinukil
diantara mereka.‛26

Dari beberapa pernyataan di atas, tampak jelas para ulama hadis sepakat
bahwa sanad adalah sebuah kekhususan yang diberikan kepada umat Muhammad
Saw. Sebaliknya, kelemahan umat-umat selain Islam adalah karena tidak adanya
sebuah sistem seperti sistem sanad yang ada pada Islam, sehingga keaslian dan
kemurnian ajaran mereka tidak dapat dipertanggung jawabkan.
Dari sini, terdapat perbedaan pendapat antara ulama hadis dan orientalis,
yaitu Michael Cook tentang asal-usul sanad. Mayoritas ulama hadis berpandangan
bahwa sanad adalah milik khazanah peradaban Islam yang tidak dimiliki oleh umat
lain. Sedangkan Michael Cook membantah pendapat tersebut. Menurutnya, Islam
bukanlah satu-satunya sebagai pemilik tunggal metodologi periwayatan dengan
cara transimisi dari generasi ke generasi ini. Tradisi sanad sudah digunakan oleh
umat terdahulu sebelum Islam datang. Perbedaan pendapat ini tentunya menarik
untuk diteliti dan dikaji lebih lanjut dengan cara melakukan penelitian yang lebih
komprehensif.

25
Muh}ammad Luqma>n al-Salafi, Ih}tima>m al-Muh}additsi>n bi Naqd al-Hadi>ts Sanad
wa Matn, (Riyadh: Maktabah al-Riyadh, 1984), h. 153; Akram Dhiya’ al-’Umari, Buh}u>ts fi>
Tarikh al-Sunnah al-Musyrafah, cet. 4 (Beiru>t: Basath, 1984), h. 56 ; Muhammad
Muhammad Abu> Syuhbah, Fi> Rihab al-Sunnah al-Kutu>b al-Sh}ih}ah al-Sittah (Azhar:
Majma’ al-Turats, 1969), h. 37
26
Muh}ammad Luqma>n al-Salafi, Ih}tima>m al-Muh}additsi>n bi Naqd al-Hadi>ts Sanad
wa Matn, h. 155 153; Akram Dhiya’ al-’Umari, Buh}u>ts fi> Tarikh al-Sunnah al-Musyrafah,
cet. 4 , h. 165
9

Berangkat dari problem-problem di atas kemudian menarik minat penulis


untuk meneliti lebih jauh masalah ini dengan mengangkat judul: Asal usul Sanad
dalam Wacana Orientalis: Studi Kritis atas Pemikiran Michael Cook. Harapannya,
dari hasil penelitian ini dapat memberikan pemaparan yang komprehensif terkait
simpangsiurnya asal usul sanad hadis dalam percaturan sejarah.
B. Permasalahan
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka perlu dilakukan
identifikasi masalah agar dapat memperjelas masalah-masalah yang menjadi fokus
penelitian ini. Adapun permasalahan yang dapat diangkat dari latar belakang di atas
adalah sebagai berikut:
a. Selama ini penelitian terhadap sejarah sanad terfokus pada sejarah sanad
hadis dalam Islam. Masih jarang ditemui penelitian yang fokus pada sejarah
sanad di luar Islam. Oleh karena itu, pertanyaan pertama yang muncul
adalah sejauh mana pentingnya penelitian sejarah asal usul sanad? Lalu
kemudian bagaimanakah sejarah sanad yang sesungguhnya? apakah sistem
sanad telah digunakan oleh umat lain? Bila digunakan sejauh mana
urgensitas pemakaian sanad di luar Islam?
b. Masih sedikit karya yang fokus mengkaji pemikiran Michael Cook padahal
ia adalah termasuk tokoh orientalis yang penting dalam perdebatan hadis.27
Michael Cook juga menyoroti pada bagian terpenting dalam perdebatan
hadis, yaitu keaslian hadis. Hal ini menarik untuk diteliti lebih lanjut
bagaimana pemikiran hadis Michael Cook. Oleh karena itu, pertanyaan yang
dapat diajukan adalah bagaimana posisi Cook dalam peta studi hadis di
kalangan orientalis? Apa saja pemikiran-pemikiran Cook tentang hadis?

27
Pemikiran dan kritikan Cook banyak menuai perdebatan di kalangan pengkaji
hadis. Terutama kritikannya mengenai sanad menjadi tema seminar-seminar mengenai
dirinya. Sayangnya kajian tentang Cook masih minim di Indonesia. Hal ini dubuktikan
dengan belum tersedianya penelitian baik itu tesis, disertasi maupun buku mengenai
Michael Cook di Indonesia. Sedangkan di Barat, Cook sangat diapresiasi dan menjadi tema
diskursus hadis. Salah satu bukti yang dapat diajukan adalah dari berbagai tokoh hadis
Barat, hanya Juynboll, Motzki, dan Cook yang karya-karyanya dibukukan oleh penerbit
Asghate Variorum. Karya-karya Michael Cook banyak difokuskan pada kajian hadis,
terdapat 9 karyanya yang konsen pada kajian hadis, yaitu Hadith and Muhammad,
Eschatology and the Dating of Tradition, Studies in the Origins of Early Islamic Culture
and Tradition, The Opponents of the Writing of Tradition in Early Islam, The Islamic
Scholarly Tradition. Selain itu, hal yang menjadikan pemikiran hadis Michael Cook
menarik untuk diteliti adalah pandangannya yang tampak lebih skeptis daripada Goldziher
dan Schacht dalam memandang autentisitas hadis. Oleh karena itu, tidak mengherangkan
kalau Herbert Berg mengklasifikasikan Cook sebagai Renewed Scepticism. Lihat Herbert
Berg, The Development of Exegesis in Early Islam, (Curzon, 2000), h. 42
10

Bagaimana pandangannya terkait asal-usul sanad? dan bagaimana implikasi


pemikiran Cook terhadap perkembangan studi hadis?
c. Muncul polemik terhadap asal usul tradisi sanad disebabkan oleh adanya
perbedaan pandangan mengenai sejarah awal pemakaian sanad. Mayoritas
ulama hadis mengatakan bahwa sanad adalah milik Islam dan tidak
ditemukan di luar Islam. Pendapat ini diwakili oleh Sufyan al-Tsauri>, ‘Abd
al-Qa>dir Mah{mu>d, Abu H{atim al-Razi, Muh}ammad bin Hatim al-Mazhfar,
Ibnu Taimiyah dan lain-lain. Sedangkan Michael Cook membantah
pernyataan tersebut. Menurutnya, sanad sudah digunakan oleh umat
terdahulu jauh sebelum Islam datang. Dari perbedaan pendapat tersebut
muncul beberapa masalah, yaitu apa yang melatar belakangi munculnya
perbedaan pendapat tersebut? Apa bangunan argumentasi mereka dari
pendapat masing-masing? Manakah pendapat yang lebih kuat dari dua
pandangan tersebut? Apa implikasi dari dua pendapat tersebut terhadap
hadis?
d. Adanya pendapat Michael Cook yang mengatakan bahwa sistem sanad
Islam dipengaruhi oleh tradisi sanad Yahudi. Oleh karena itu, ada beberapa
masalah yang perlu di-clear-kan, yaitu : apakah benar Islam menjiplak
sistem sanad Yahudi? Apa alasan Michael Cook mengatakan bahwa sanad
Islam erat kaitannya dengan sanad Yahudi? Bagaimana sikap ulama hadis
dalam menanggapi pernyataan tersebut? Bagaiaman sarjana muslim dan
sarjana barat memandang sejarah sanad?

Itulah beberapa masalah yang dapat diindentifikasi oleh penulis dari


pemaparan latar belakang di atas.
2. Batasan Masalah
Setelah mengidentifikasi masalah-masalah yang mucul di atas, nampakanya
tidak semua masalah di atas perlu dibahas. Oleh karena itu, perlu memberikan
batasan masalah agar supaya pembahasan penelitian ini tidak terlalu meluas.
Karenanya batasan masalah yang dimaksud pada penelitian ini adalah melacak
sejarah awal pemakaian sanad menurut perspektif orientalis dalam hal ini adalah
Michael Cook kemudian selanjutnya penulis melakukan analisis terhadap
pemikirannya. Sehingga dari itu semua akan tergambar secara jelas bagaimana
sejarah asal usul pemakaian sanad.
3. Rumusan Masalah
Berdasarkan batasan masalah di atas, dapat diketahui bahwa pemikiran
Michael Cook tentang sejarah asal usul penggunaan sanad perlu penjelasan yang
lebih tepat. Oleh karena itu, penulis mengajukan beberapa rumusan masalah sebagai
berikut:
11

1. Bagaimana sejarah awal tradisi penggunaan sanad dalam perspektif


Michael Cook?
2. Bagaimana metodologi kritik Sanad sebelum Islam?
3. Bagamaimana implikasi pemikiran Michael Cook terhadap perkembangan
studi hadis?
C. Tujuan Penelitian
Beranjak dari ketertarikan dan minat penyusun dalam kajian hadis
kontemporer, khususnya studi hadis orientalis, maka tujuan yang hendak dicapai
dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk mengkaji dan mengetahui pokok-pokok (fundamental idea)
pemikiran Michael Cook tentang asal usul sanad.
2. Untuk mengetahui bagaimana validitas kesejarahan asal usul sanad
menurut Michael Cook.
3. Untuk memverifikasi bagaimana keakuratan pandangan Michael Cook
tentang asal usul sanad.
4. Untuk mengetahui bagaimana implikasi pemikiran Michael Cook terhadap
studi hadis.
5. Untuk mengetahui bagaiman perkembangan terbaru dan terakhir kajian
hadis di dunia barat.
D. Manfaat dan Signifikansi Penelitian
Sebaik-baik manusia adalah yang memberi manfaat kepada yang lainnya.28
Begitulah bunyi sabda nabi yang menganjurkan umatnya untuk senantiasa memberi
manfaat kepada sesama. Karenanya, penelitian ini juga harus memberikan manfaat
kepada umat khususnya kepada para pengkaji dan peneliti hadis baik secara teoritis
maupun praktis.

‫ ٔأخَبَن غبد امرمحن بن َعر امصفار ثنا ٔأبو سؼيد ٔأمحد بن محمد بن زَيد بن اْلٔغرايب ثنا محمد بن غبد‬28
ِ ‫ول‬
‫لل‬ ُ ‫ كال َر ُس‬: ‫لل احلرضيم ثنا ػيل بن هبرام ثنا غبد املكل بن ٔأيب هرمية غن بن جرجي غن غطاء غن جابر كَا َل‬
‫ خ ْ َُْي امنذ ِاس َأهْ َف ُؼي ُْم ِنلنذ ِاس‬:‫َص ذل لل ػَلَيو َوس ذْل‬
Telah menceritakan kepada kami Abd Rahman bin Umar as-Shaffar telah
menceritakan kepada kami Abu Sa’id Ahmad bin Muhammad bin Ziyad bin Al-
A’rabi telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abdullah al-Hadhrami telah
menceritakan kepada kami Ali bin Bahram telah menceritakan kepada kami Abdul
Malik bin Abi Karimah dari Juraij dari Atha’ dari Jabir berkata bercerita bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‚Sebaik-baik manusia adalah yang
paling bermanfaat bagi manusia.‛ Lihat Muh}ammad bin Salamah bin Ja’far al-
Qadha’i>, Musnad As-Syihab (Beirut: Muassasah Ar-Risalah, 1986), h. 223
12

1. Dalam tataran wacana diharapkan penelitian ini dapat memberikan


kontribusi terhadap perkembangan studi hadis kontemporer.
2. Diharapkan dapat menambah khazanah keilmuan dalam kajian hadis
terutama yang berkaitan tentang sejarah awal penggunaan sanad baik
dalam Islam maupun di luar Islam.
3. Diharapkan dapat memberikan wawasan pada peneliti hadis sehubungan
dengan kajian hadis dikalangan orientalis.
4. Diharapakan dapat menjadi pembuka awal bagi kajian-kajian lain di masa
mendatang dan sebagai bahan sumber inspirasi bagi para pengkaji hadis
yang berminat untuk mengkaji lebih lanjut.
5. Diharapkan menjadi contoh bagi peneliti-peneliti berikutnya untuk
kemudian dikembangkan kebeberapa tokoh hadis orientalis lainnya.
Dengan demikian, penelitian ini menjadi sangat penting karena
menyangkut persoalan hak kepemilikan dalam hal khazanah keilmuan bukan hanya
berhubungan dengan suatu agama tertentu tapi juga berkaitan dengan hak
kepemilikan suatu sistem disiplin ilmu.
E. Penelitian Terdahulu yang Relevan
Kajian pustaka ini adalah sebagai acuan dasar untuk memenuhi syarat
ilmiah dalam menyampaikan informasi hasil dari penelusuran pustaka yang relevan
dengan penelitan ini. Penelusuran pustaka tentang hasil penelitian terdahulu
sangatlah diperlukan untuk membandingkan dan membedakan dengan penelitian
yang akan dilakukan.
Sepanjang penelusuran yang dilakukan, ada tiga buah penelitian tentang
Michael Cook yang pernah dilakukan, yaitu penelitian Ummu Farida dengan judul
‚Polemik Penulisan Hadis: Perspektif Michael A. Cook dalam The Opponents of
Writing of Tradition in Early Islam‛ (Riwayah : Jurnal Studi Hadis, Vol. 1, No. 1,
Maret 2015), Imam Sahal Ramdhani dalam karyanya yang berjudul ‚Teori The
Spread of Isnad: Telaah atas Pemikiran Michael Allan Cook‛ (Jurnal Studi Ilmu-
ilmu Al-Quran dan Hadis, Vol. 16, No. 2, Juli 2015), dan Ali Masrur menulis jurnal
dengan judul ‚Neo-Skeptisisme Michael Cook dan Norman Calder Terhadap Hadis
Nabi Muhammad‛ (Jurnal Theologia, Vol 28, No. 1, Januari 2017).
Dalam tulisannya, Ummu Farida menyoroti pemikiran Michael Cook
seputar hadis Nabi Saw, ihwal percaturan dan pertarungan antara mereka yang
membolehkan penulisan hadis Nabi dan mereka yang menentangnya. Kesimpulan
tulisan ini mengungkap bahwa adanya oposisi atau penetang atas penulisan hadis
Nabi dalam Islam kurun abad II H. Adanya oposisi terhadap penulisan hadis pada
masa itu bukan tanpa solusi. Sikap kompromistis ditempuh untuk menyatukan dua
kubu yang berpolemik tersebut, hingga akhirnyan memberikan pengaruh pada
pembentukan suasana yang kondusif bagi para muhaddisin untuk menciptakan
13

karya hadis mereka pada abad berikutnya, yakni abad III H. hingga akhirnya
meneguhkan abad ini sebagai era keemasan kodifikasi hadis Nabi Saw.
Imam Sahal Ramdhani dalam karyanya ‚Teori The Spread of Isnad: Telaah
atas Pemikiran Michael Allan Cook‛. Dalam tulisan ini, Imam Sahal Ramdhani
membedah pemikiran Cook terkait teorinya tentang The Spread of Isnad. Teori ini
pada dasarnya adalah tawaran Michael Cook dalam memahami fenomena teori
common link. Dalam penelitiannya, Imam Sahal Ramdhani menemukan bahwa
Michael Cook memiliki perspektif yang berbeda dalam memahami teori common
link. Solusi yang diberikan Michael Cook untuk memahami fenomena common link
adalah dengan mencari ‚data eksternal‛ (external criteria) berupa data historis
‚makro‛. Untuk bisa menemukan data eksternal tersebut, seorang peneliti harus
memiliki perspektif makro dan pandangan yang luas atas konteks hadits yang
sedang diteliti.
Ali Masrur menulis dalam jurnal dengan judul ‚Neo-Skeptisisme Michael
Cook dan Norman Calder Terhadap Hadis Nabi Muhammad‛. Tulisan ini fokus
menelaah pemikiran neo skeptisisme Michael Cook dan Norman Calder terhadap
hadis Nabi dan terhadap common link. Ali Masrur menyimpulkan bahwa
skeptisisme Cook dan Calder melebihi skeptisisme Goldziher dan Schacht. Oleh
karena itu, keduanya dapat dikategorikan sebagai orientalis neo-skeptisisme. Cook
dan Calder berpendapat bahwa common link tidak memberikan makna bahwa
sebuah hadis tertentu itu berasal dari seorang periwayat kunci atau periwayat
bersama, tetapi ia merupakan akibat dari skenario yang berbeda mengenai
penyebaran isnād dan akibat dari kompetisi isnād di berbagai aliran fikih Islam
(mazāhib) dalam masyarakat Islam awal.
Namun sebelum tiga karya di atas tersebut, sudah ada dua karya yang
dilakukan di luar Indonesia, yaitu The Islamic Scholarly Tradition : Studies in
History, Law, and Thought in Honor of Professor Michael Allan Cook.29 Buku ini
adalah hasil karya tiga orang penulis, yaitu Assad Q. Ahmed, Behnam Sadeghi, dan
Michael Bonner. Dalam buku ini, para penulis mengulas berbagai pemikiran
Michael Cook baik tentang sejarah Islam, pemikiran, hukum dan lain-lain.
Sedangkan R. Stephen Humprey menulis bagian biografi yang berisi sketsa riwayat
hidup, karir, dan akademik dari Michael Cook.
Selanjutnya, Herbert Berg menulis buku yang berjudul ‚The Development
of Exegesis in Early Islam.30 Pada buku ini sedikit disinggung pemikiran Michael

29
Humpreys, R. Stephen, The Scholarship of Michael A. Cook: A Restrospective
in Progress, dalam Asad Q. Ahmed (ed), The Islamic Shcolarly Tradition: Studies in
History, Law, and Thought in Honor of Professor Michael Allan Cook , Leiden and Boston:
Brill, 2011
30
Herbert Berg, The Development of Exegesis in Early Islam, (Curzon, 2000), h.
102
14

Cook tentang hadis. Hanya saja Herbert Berg mengulas pemikiran hadis Cook
secara umum, tidak spesifik pada kajian tertentu. Adapun pembahasan tentang asal
usul sanad hanya dijelaskan secara sepintas dan tidak dijelaskan secara mendalam.
Berbeda dengan tulisan-tulisan di atas, penelitian ini tidak memusatkan
perhatian pada pemikiran Michael Cook tentang oposisi penulisan hadis di masa
awal seperti yang tulis oleh Ummu Farida, tidak juga tentang sikap skeptisisme
Michael Cook terhadap hadis seperti tulisan Ali Masrur, dan juga tidak fokus pada
pemikiran Michael Cook tentang teori the spread of isnad seperti karya Imam Sahal
Ramdhani. Selain itu, penelitian ini juga tidak mengulas pemikiran Cook
diberbagai persoalan seperti yang ditulis oleh Assad Q. Ahmed, Behnam Sadeghi,
Michael Bonner, dan Herbert Berg.
Titik tekan penelitian ini berada pada analisa pemikiran Michael Cook
tentang asal usul sanad dengan lebih menitik beratkan pada analisis secara lebih
mendalam pada argumentasi yang dibangun oleh Michael Cook tentang asal usul
sanad. Penelitian terdahulu sama sekali tidak mengulas pemikiran Michael Cook
tentang asal usul sanad. Karenanya, penelitian ini penting untuk menambah
khazanah ilmiah kajian hadis dan sangat esensial untuk dibahas dalam sebuah karya
ilmiah.
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian dan Sumber Data
Pada dasarnya jenis penelitian dikelompokkan menjadi dua macama, yaitu
jenis penelitian kuantitatif dan kualitatif. Pada penelitian ini, penulis menggunakan
jenis penelitian kualitatif, atau yang dikenal dengan istilah riset kepustakaan
(Library Research), yaitu semua bahan-bahan yang dikumpulkan bersumber dari
kajian teks atau tulisan-tulisan yang relevan dengan penelitian ini baik secara
langsung maupun tidak. Studi pustaka ini digunakan sebagai landasan untuk
menjadi pedoman dalam menganalisa dan memecahkan problem yang sedang
diteliti. Dengan demikian, penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi
yang lebih akurat dan valid tentang kajian yang sedang dibahas.
Untuk mendukung pelaksanaan penelitian ini secara komprehenshif, maka
langka pertama yang penulis lakukan adalah menghimpun berbagai macam data
yang berkaitan dengan tema yang sedang dibahas. Teknik pengumpulan data
tersebut dilakukan dengan menggunakan dua sumber data, yaitu data primer
(primary data) dan data sekunder (secondary data). Pengumpulan dua sumber data
ini sangat penting sebagai referensi untuk mendukung kualitas dari penelitian yang
sedang dilakukan. Data primer dimaksudkan untuk mendapatkan sumber data yang
faktual dan asli (origin). Sedangkan data sekunder sebagai data tambahan dari
sebuah hasil analisis terhadap data primer yang kemudian dapat digunakan untuk
melengkapi data-data yang dikumpulkan.
15

Literatur yang dapat digunakan sebagai data primer dalam penelitian ini
adalah beberapa karya Michael Cook, di antaranya: ‚The Opponents of Writing of
Tradition in Early Islam‛ yang terbit dalam jurnal Arabica XLIV 1997. Karya
Michael Cook ini telah diterjemahkan oleh Ali Masrur dengan judul ‚Kontroversi
Hadis: Percaturan dan Pertarungan Awal Islam‛ terbit pada tahun 2015. Selain itu,
buku karya Michael Cook yang juga dapat dijadikan sebagai sumber data primer,
yaitu The Islamic Scholarly Tradition.31
Sedangkan data sekunder yang digunakan sebagai rujukan untuk menambah
kedalaman pembahasan sejarah awal pemakaian sanad adalah Hadis dan Orientalis
karya Idri, Teori Common Link G.H.A. Juynboll : Melacak Akar Kesejarahan Hadis
Nabi karya Ali Masrur, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis karya
Kamaruddin Amin, Hadis di Mata Orientalis karya Wahyudin Darmalaksana,
Studies In Early Hadith Literature karya Muhammad Mustafa Azami, Alter und
Ursprung des Isnad karya Josep Horovitz, Oral Tradition and History karya Robert
H. Lowie, Islamic and Talmudic Jurisprudence: The Four Roots of Islamic Law and
Their Talmudic Counterparts karya Judith Romney Wegner. Juga tulisan serta
karya lain dari Michael Cook seperti; Commanding Right and Forbidding Wrong in
Islamic Thought,32 The Origins of Kalam,33 dan Ibnu> Qut}ayba and the Monkeys.34
Literatur yang disebutkan dalam tinjauan pustaka di atas juga digunakan
sebagai data sekunder yaitu, Polemik Penulisan Hadis: Perspektif Michael A. Cook
dalam The Opponents of Writing of Tradition in Early Islam karya Ummu Farida,
Teori The Spread of Isnad: Telaah atas Pemikiran Michael Allan Cook‛ karya
Imam Sahal Ramdhani, Neo-Skeptisisme Michael Cook dan Norman Calder
Terhadap Hadis Nabi Muhammad karya Ali Masrur, The Islamic Scholarly
Tradition : Studies in History, Law, and Thought in Honor of Professor Michael
Allan Cook karya Assad Q, Ahmed, Behnam Sadeghi, dan Michael Bonner, dan
terakhir The Development of Exegesis in Early Islam karya Herbert Berg.
Selain itu, penulis juga menggunkan data-data pendukung lainnya baik itu
yang bersumber dari kitab-kitab, skripsi/tesis/disertasi, majalah ilmiah, junal,
artikel online dan sumber data lainnya yang relevan dan dapat mendukung terhadap
penyelesaian tesis ini.

31
Asad, Q. Ahmed, dkk, Islamic Scholarly Tradition: Studies in History Law and
Thought in Honor of Profesor Michael Allan Cook, Leiden: Brill, 2011 (Buku ini didapat
penulis dalam kondisi tidak lengkap karena berbentuk PDF copian dari Australian North
University, Canberra)
32
Michael Cook, Commading Right and Forbidding Wrong in Islamic Thought,
Cambridge 2004
33
Michael Cook, The Origins of Kalam, dalam Michael Cook, Studies in the
Origins of Early Islamic Culture and Tradition, Variorum Collected Studies Series
34
Michael Cook, Ibnu Qutayba and the Monkeys, Studia Islamica, 1999
16

2. Teknik Analisis Data


Setelah mengumpulkan literatur-literatur yang terkait dengan penelitian
ini, baik data primer maupun sekunder. Maka langkah selanjutnya ialah
menganalisis data tersebut. Caranya dengan merinci fokus masalah yang diteliti,
melacak, mengidentifkasi, mencatat dan mengorganisasi semua data yang telah
dikumpulkan, lalu melakukan perbandingan antara satu dengan data lain, kemudian
mediskripsikan semua gejala-gejala, isyarat-isyarat, sarta fenomena yang
berhubungan dengan penelitian ini. Setelah itu, langka selanjutnya yang ditempuh
penulis adalah mencoba mengintrepretasikan data-data yang sedang dikaji dengan
analisis yang mendalam terhadap semua data yang telah diidentifikasi, dan terakhir
menarik sebuah kesimpulan sebagai hasil final dari penelitian yang dilakukan.
3. Pendekatan Penelitian
Adapun pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan historis. Pendekatan ini dalam muatan kerangka yang bersifat
deskriktif-analisis. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan historis untuk
menggali berbagai data dan informasi mengenai Michael Cook beserta
pemikirannya. Dengan cara mendeskripsikan pemikiran Michael Cook tentang
sejarah penggunaan sanad secara jelas, yang selanjutnya dianalisis dan dikritisi
dengan menguji hipotesa Michael Cook tentang sejarah asal usul pemakaian sanad.
Kemudian setelah itu melakukan komparasi, yaitu melakukan perbandingan antara
penggunaan sanad dalam Islam menurut ulama hadis dan menurut orientalis dalam
hal ini Michael Cook dengan melihat persamaan dan perbedaan dua atau lebih
fakta-fakta yang telah ditemukan.
Pendekatan Historis menjadi sebuah keniscayaan dalam mengungkap hal-
hal yang melatarbelakangi sejarah penggunaan sanad baik dalam Islam maupun di
luar Islam. Dengan menggunakan pendekatan ini maka data-data terkait dapat
diperoleh dengan melakukan pelacakan dengan melihat kapan peristiwa penggunaan
sanad itu mulai dipakai, di mana, apa sebabnya, siapa yang terlibat dalam kegiatan
tersebut dan masih banyak pertanyaan yang dapat diajukan. Dengan demikian
pendekatan historis pada penelitian ini berupaya untuk mensistematiskan fakta dan
data masa lalu melalui pembuktian, analisis, dan juga menalar fakta-fakta yang telah
ditemukan.
4. Teknik Penulisan
Karya ilmiah adalah merupakan laporan hasil penelitian atau pengkajian
yang disusun sesuai dengan panduan metodologi penulisan karya Ilmiah. Dalam
menyusun tesis ini, penulis berpegang pada ‚Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis, dan
Disertasi‛ edisi terbaru yang diterbitkan oleh UIN Jakarta Press pada tahun 2018.
Catatan kaki yang digunakan tidak memakai istilah Ibid, loc.cit dan op.cit. akan
17

tetapi menggantinya dengan menggunakan nama penulis dengan menambahkan


judul karyanya.
Untuk pedoman penulisan trasnliterasi, penulis merujuk pada pedoman
transliterasi yang ditentukan oleh UIN Syarif Hidayatullah Jakarta edisi Februari
2014. Transliterasi digunakan agar dapat terwakili dalam penulisan latin. Dalam
tesis ini transliterasi dipakai untuk keperluan menulis yang berbahasa Arab seperti
nama, judul buku dan istilah-istilah Arab.
G. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan tesis ini, penulis berpedoman pada buku Panduan
Penulisan Skripsi, Tesis dan Desertasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Adapun
sistematika dari penulisan tesis ini adalah sebagai berikut:
Bab I merupakan pendahuluan yang berisi tentang rencana penelitian yang
akan menggambarkan goal (tujuan) dari penelitian. Bab I ini mencakup latar
belakang masalah, Identifikasai masalah, batasan masalah, rumusan masalah, tujuan
dan kegunaan penelitian, penelitian terdahulu yang relevan, metodologi penelitian
dan sistematika penulisan.
Bab II Seputar penjelasan tentang sanad mulai dari pengertian sanad,
sejarah sanad hadis, eksistensi sanad dalam hadis, kemudian selanjutnya penulis
memaparkan sanad dalam perspektif orientalis dan ulama hadis.
Bab III berisi tentang pendeskripsian biografi singkat mengenai Michael
Cook baik dari sisi kehidupan sosialnya maupun sisi perjalanan akademiknya.
Didukung pula oleh karya-karyanya baik yang berupa buku maupun artikel. Selain
itu pula, akan dibahas pula pada bab II ini mengenai posisi Michael Cook dalam
peta studi hadis di kalangan orientalis.
Bab IV berisi tentang analisis pemikiran Michael Cook tentang sumber dan
sejarah asal-usul sanad, melakukan komparasi antara sanad pada masa sebelum
Islam dan masa Islam, melakukan analisis terhadap metodologi sistem sanad para-
Islam, yaitu anlisis komparatif antara sanad Islam dan pra-Islam. Lebih lanjut,
penulis mencoba melakukan kritik atas metodologi sistem sanad sebelum Islam,
dan terakhir memaparkan implikasi pemikiran Michael Cook terhadap
perkembangan studi hadis.
Bab V adalah bagian penutup. Di sini penulis akan menyajikan kesimpulan
penelitian dari pembahasan sebelumnya dan menjadi jawaban dari rumusana
masalah pada Bab I. selain itu, berisi pula saran-saran konstruktif bagi penelitian
lebih lanjut agar dapat dikembangkan.
BAB II

BIOGRAFI MICHAEL COOK DAN POSISINYA DALAM


STUDI HADIS DI BARAT

A. Biografi Michael Cook


Michael Cook adalah salah satu tokoh orientalis terkemuka di abad
modern. Nama lengkapnya adalah Michael Allan Cook yang selanjutnya dipanggil
‚Cook‛. Ia lahir pada tangggal 24 Desember 1940 di Inggris.1 Ia adalah seorang
sejarawan yang berkebangsaan Inggris. Selain dikenal sebagai sejarawan Inggris ia
juga dikenal sebagai sarjana sejarawan Islam yang masyhur di Universitas
Princeton, New Jersey Inggris.2 Selama ini, Inggris memang banyak melahirnya
tokoh-tokoh orientalis hadis, selain Michael Cook dikenal nama James Robson,
Joseph Schacht, Norman Calder, D.S. Margoliouth, H.A.R. Gibb dan lain-lain.3
Michael Cook sebagai orientalis diawali dengan belajar kajian Timur
Tengah dan Sejarah Islam (Introduction to the Middle East and Islamic history) di
King’s College, Cambridge dari tahun 1959 sampai tahun 1963.4 Setelah itu, Cook
melanjutkan studinya di Program Pascasarjana School of Oriental and African
Studies (SOAS) Universitas London dari tahun 1936-1966. Di universitas ini Cook
dibimbing oleh Profesor Bernard Lewis. Dibawah bimbingannya, Cook berhasil
menghadirkan kajian baru tentang sejarah sosial dan politik Dinasti Ottoman,
Turki. Keberhasilan kajian ini ditunjang oleh akses yang diperoleh Cook dari arsip-
arsip di Istanbul. Hasil dari kajian ini menjadi monograf pertamanya, Population
Pressure ini Rural Anatolia, 1450-1600 (1972). Cook juga menjadi dosen Sejarah
Ekonomi yang berhubungan dengan kajian Timur Tengah di SOAS dari tahun
1966-1984.5

1
Diambil dari http://en:en.wikipedia.org/wiki/Michael_Cook_(hostorian) diakses
pada tanggal 12 April 2019.
2
Michael Cook, Kontroversi Hadis: Percaturan dan Pertarungan awal Islam , terj.
Ali Masrur (Bandung: Marja, 2015), h. 169
3
Edward W. Said menyebut bahwa Inggris merupakan negara yang memiliki
sejarah panjang ihwal tradisi orientalisme. Berbagai studi ketimuran dan keislaman menjadi
objek kajian mereka, termsuk di dalamnya adalah kajian hadis, itulah sebabnya tidak
mengherangkan bila negara ini melahirkan banyak tokoh-tokoh orientalis hadis. Lihat
Edwar W. Said, Orientalisme, terj. Asep Hikmat (Bandung: Pustaka: 1978), h. 334 ; lihat
juga dalam A. Badawi, Ensiklopedi Tokoh Orientalis (Yogyakarta: LKiS, 2003), h. 30
4
Michael Cook, Kontroversi Hadis: Percaturan dan Pertarungan awal Islam , terj.
Ali Masrur, h. 169
5
Dalam mencari data-data tentang kehidupan Michael Cook, penulis menghadapi
berbagai kesulitan disebabkan karena masih terbatasnya tulisan yang mengungkapkan
riwayat hidupnya secara lengkap. Selain itu, data yang ditampilkan oleh wikipedia.org dan
website universitas Princeton hanya menjelaskan lebih banyak tentang karir ilmiahnya

18
19

Cook adalah seorang ilmuwan yang cukup penting diketahui dalam


penelitian hadis dari kalangan orientalis. Dilihat dari sepak terjangnya dalam dunia
intelektual, nama Michael Cook patut diperhitungkan. Melalui keseriusannya
mempelajari dan meneliti Islam menyebabkannya cukup antusias dalam
mempelajari studi Islam. Hal ini diakui kepakarannya oleh Michael Bonner, seorang
Profesor sejarah Islam di University of Michigan, Amerika Serikat. Beliau
menuturkan bahwa:

Michael Cook is one of the most important, productive and influential


scholars active today in Islamic history, Qurʾānic studies, Hadith studies,
theology, and several related fields and subfields. His work delves deeply
into many topics and disciplines.6

Michael Cook adalah salah satu intelektual yang paling penting, produktif
dan berpengaruh yang aktif sampai saat ini dalam bidang sejarah Islam, studi
Qur’an, studi hadis, teologi Islam, dan beberapa bidang dan sub bidang yang
terkait. Karyanya menggali banyak topik dan berbagai disiplin ilmu.

Michael Cook mulai dikenal sejak beliau mengkritik pemikiran Joseph


Schacht dan Juynboll terkait teori common link pada tahun 1981, dan berupaya
membuktikan keakuratan pemikirannya.7 Menurut Cook, perawi yang berstatus
sebagai common link tidak bisa dijadikan dasar penilaian sebagai pemalsu hadis. Ia
mengatakan bahwa setiap perawi dalam sebuah sanad punya potensi yang sama
dalam melakukan pemalsuan hadis, tidak hanya pada perawi yang bersatatus
sebagai common link saja, akan tapi semua perawi bisa juga melakukan pemalsuan
hadis. untuk memperkuat argumentasinya, Cook mencetuskan sebuah teori yang
diberi nama the spread of isnad (penyebaran sanad).8

dibanding perjalan karirnya. Oleh karena itu, untuk melengkapi data-data tersebut, penulis
menghubungi langsung Michael Cook melalui e-mail pada tanggal 24 April 2019 dan
mendapat respon balasan dua hari setelahnya. Michael Cook mengirimkan CV-nya kepada
penulis dalam bentuk Microsoft word sebanyak lima halaman. Dalam CV tersebut Michael
Cook menjelaskan tentang perjalanan karirnya mulai dari perjalanan studi akademiknya,
pengalaman kerja, megajar, publikasi ilmiah, dan terakhir penghargaan-pengahargaan yang
pernah diraihnya.
6
Behnam Sadeghi, The Islamic Scholarly Tradition (Leiden: Brill, 2011), h. 1
7
Kritik Michael Cook kepada Joseph Schacht dan Juynboll ditulis dalam bukunya
yang berjudul Early Muslim Dogma: A Source Critical Study. Lihat Michael Cook Early
Muslim Dogma: A Source Critical Study (Cambridge: Cambridge University Press, 1981),
h. 107-108
8
Teori ini mengatakan bahwa para periwayat hadis terbiasa menciptakan isnad-
isnad tambahan untuk mendukung sebuah matan hadis yang sama. Proses penyebaran isnad
(the spread of isnad) paling tidak dapat terjadi dalam tiga cara: pertama, melompati
20

Perhatian Cook terhadap hadis semakin intens setelah menulis buku yang
berjudul Early Muslim Dogma: A Source Critical-Study yang diterbitkan oleh
Cambridge University Press tahun 1981. Buku ini memberikan pengaruh penting
pada kajian hadis selama kurang lebih 30 tahun terakhir.9 Meski dalam bentuk
pembahasan yang berbeda dan segar, pada buku ini Cook kembali mencari jawaban
dari pertanyaannya: Apakah teks awal literartur Muslim mampu digunakan sebagai
bukti keaslian ajaran agama Islam?
Pada buku ini, Cook terlebih dahulu membahas teori yang diajukan oleh
Josef van Ess. Lalu kemudian Cook membahas teori yang ditawarkan oleh Wilfred
Madelung. Titik fokus yang dibahas Cook baik dari Josef van Ess maupun
Madelung adalah mengenai hadis Murjiah10 dan surat Ibad untuk Abdul Ma>lik.11
Baik Josef van Ess maupun Madelung, keduanya meyakini bahwa dua poin tersebut
merupakan data hadis yang berasal dari abad pertama hijriyah. Hal ini didasarkan
pada masa hidup ‘Abdul al-Malik (685-705 M).
Dengan berbagai penjelasan dan analisis terhadap argumen-argumen Josef
van Ess, Cook menunjukkan bahwa banyak gap dan inkonsistensi pada argumen
Josef van Ess mengenai penanggalan awal hadis. Selain itu Cook juga mengatakan
bahwa pada sisi historis, argumen, bahasa, dan susunan formal dari data tersebut
sudah menunjukkan bahwa hipotesis keduanya rancu.
Cook sendiri meyakini bahwa data hadis yang paling awal (yang masih bisa
diakses) terbatas pada data hadis yang ditemukan dari masa Dinasti Umayyah.
Pada akhir analisisnya, Cook masih tetap menegaskan bahwa apa yang ditawarkan
oleh Josef van Ess maupun Madelung tidak memungkinkan diyakini sebagai data
hadis awal otentik.
Ketika Michael Cook selesai menerbitkan bukunya, Early Muslim Dogma:
A Source Critical-Study, maka sejak itu ia banyak memusatkan perhatiannya pada
studi hadis dengan menuliskan banyak artikel yang fokus pada kajian hadis. Di
antaranya adalah: Eschatology and the Dating of Traditions (1992), The Opponents

periwayat yang sezaman; kedua, menyandarkan hadis pada seorang guru yang berbeda;
ketiga, mengatasi persoalan hadis-hadis yang ‚terisolasi‛. Menurut Cook, fenomena
common link tidak menunjukkan bahwa sebuah hadis benar-benar bersumber dari seorang
periwayat kunci. Oleh karena itu, metode common link yang dikembangkan oleh Juynboll
tidak dapat dipakai untuk menelusuri asal usul, sumber, dan kepengarangan hadis. Lihat
Michael Cook, Early Muslim Dogma: A Source Critical Study (Cambridge: Cambridge
University Press, 1981), h. 107-108.
9
Humpreys, R. Stephen, ‚The Scholarship of Michael A. Cook: A Restrospecive in
Progress‛, dalam Asad Q. Ahmed (ed) The Isalamic Scholarly Tradition: Studies in History,
Law, and Thought in Honor of Professor Michael Allan Cook, (Leiden and Boston: Brill,
2011), h. xxiii
10
Michael Cook, Early Muslim Dogma: A Source Critical Study, h. 23-47
11
Michael Cook, Early Muslim Dogma: A Source Critical Study, h. 51-67
21

of The Writing Traditional in Early Islam yang terbit dalam jurnal Arabica XLIV
(1997), Hadith in Late Antiquity A Guide to the Postclassical World, The
Heraclian Dynasty in Muslim Eschatology, An Early Islamic Apocalyptic
Chronicle, An Early Islamic Apocalyptic Chronicle dan Ibn Qutayba and the
Monkeys.12 Kelima karya ini adalah tulisan yang konsen pada kajian hadis. Ini
sekaligus juga membuktikan bahwa Cook adalah termasuk tokoh orientalis yang
cukup dapat diperhitungkan dalam hal kajian hadis di Barat.
Selain menulis kajian hadis, pada tahun 2000 dan 2004, Cook juga menulis
dua kajian yang bertemakan al-Quran. Tulisan ini dipublikasikan dalam jurnal
Garaeco-Arabica. Kedua artikelnya ini membahas manuskrip al-Quran paling awal.
Cook mendukung tesis yang menyatakan Usman melakukan kodifikasi,
standarisasi, penyesuaian teks resmi, dan peniadaan manuskrip lain di luar mushap
utama.13
Sejak 1986, Cook mengembangkan karier akademiknya dengan mengajar
pada Program Pascasarjana di Universitas Princeton. Di universitas ini Cook
mendapat gelar Professor dibidang kajian timur tengah (Near Eastern Studies) dan
diangkat sebagai guru besar di universitas tersebut. Mata kuliah yang diajarkannya
juga masih tidak dilepaskan dari studi sejarah. Ia mengajar mata kuliah seperti:
Sejarah Islam di Abad-abad Awal, studi al-Quran dan hadis.
Mata kuliah yang diajarkannya di program pascasarjana cenderung
disesuaikan dengan ketertarikannya sendiri dan ketertarikan mahasiswa
pascasarjana. Ia lebih suka mengajar mata kuliah yang terpusat pada teks-teks
berbahasa Arab dan dirancang untuk memberikan penjelasan kepada mahasiswa
pascasarjana tentang praktik mencari dan menemukan sumber-sumber primer. Ia
mengajar sejarah Islam di abad-abad awal. Ia mengajar mata kuliah ini setiap tahun
dan seringkali diambil oleh mahasiswa pascasarjana dengan upgrade yang sesuai. Ia
juga menawarkan matakuliah baru untuk program sarjana tentang sejarah dunia
hingga ekspansi Eropa. Ia berharap, matakuliah ini akan memberi keuntungan bagi
para mahasiswa pascasarjana untuk mengamati sejarah Islam.14
Kecintaannya terhadap ilmu mendorong dirinya mempelajari beberapa
bahasa, selain bahasa inggris yang menjadi bahasanya sendiri ia juga menguasai
12
Kelima karya tersebut penulis peroleh langsung dari Michael Cook melalui
jawaban e-mail pada tanggal 23 April 2019. Sehari sebelumnya penulis mengirim e-mail
untuk meminta beberapa data tentang beliau, termasuk di antaranya adalah beberapa karya
beliau yang fokus pada kajian hadis.
13
Humpreys, R. Stephen, ‚The Scholarship of Michael A. Cook: A Restrospecive
in Progress‛, dalam Asad Q. Ahmed (ed) The Isalamic Scholarly Tradition: Studies in
History, Law, and Thought in Honor of Professor Michael Allan Cook, (Leiden and Boston:
Brill, 2011), h. xxiv
14
Michael Cook, Kontroversi Hadis: Percaturan dan Pertarungan awal Islam , terj.
Ali Masrur, h 170
22

bahasa Arab. Selain itu, ia juga menguasai bahasa Turki dan Persia. Ia
menghabiskan waktu selama dua tahun untuk mempelajari bahasa Turki dan Persia
di King’s College, Cambridge 1959–1963. Cook mempelajari ketiga bahasa
tersebut untuk membantu menggali informasi dan data penelitian ilmiahnya.
Mayoritas penelitiannya memiliki keterkaitan dengan karya-karya yang berbahasa
Arab, Turki dan Persia.
Dalam kehidupan kesehariannya, Michael Cook menghabiskan waktu
dalam penelitian, mengajar dan membimbing disertasi. Ia telah membimbing
beberapa disertasi sejak ia mengajar di Universitas Princeton. Beberapa orang yang
telah dibimbing disertasinya oleh Michael Cook di antaranya adalah Michael
Bonner yang menulis disertasi tentang Garis Perbatasan Bizantium-Arab di zaman
Abbasiyah awal. Keith Lewinstein menulis disertasi tentang analisa terhadap
pembentukan dan transmisi literature heresiografi Islam di masa awal. Jon Katz
mengkaji buku harian yang berisi mimpi-mimpi seorang sufi Afrika Utara yang
eksentrik di akhir abad pertengahan, dan lain-lain.
Michael Cook sebagai seorang ilmuwan kelas dunia telah banyak menerima
penghargaan dan nominasi. Penghargaan yang diterimahnya tidak hanya berasal
dari negaranya tapi juga dari luar negeri. Adapun penghargaan dan nominasi yang
diterimahnya adalah sebagai berikut:
1. Terpilih mejadi anggota American Philosophical Society, (2001).
2. Memenangkan 1,5 juta dolar dalam Distinguished Achievement Award dari
Mellon Foundation atas karya yang memberikan kontribusi penting dalam
bidang Humanities Research, (2002).
3. Terpilih sebagai anggota dari American Academy of Arts and Sciences, (2004).
4. Memenangkan Howard T. Behrman Award for Distinguished Achievement
dalam kategori Humanities di Universitas Princeton, (2006).
5. Memenangkan Farabi Award in the Humanities and Islamic Studies, (2008).
6. Mendapat penghargaan sebagai sejarawan Cambride dalam hal sejarah Islam
pada acara Asosiasi Sejarah Amerika, Waldo G. Leland Prize, (2011).
7. Mendapatkan gelar doktor kehormatan dari Universitas Leiden (2013).
8. Mendapat Nobel penghargaan dari The Holberg Prize sebagai sejarawan Islam
(2014).
9. Mendapatkan pengahargaan President’s Award sebagai pengajar terkemuka di
Universitas Priceton, (2016)
10. Mendapatkan Honorary Fellowship dari King’s College, Cambridge, (2017).
B. Karya-karya Michael Cook
Sebagai tokoh orientalis, Michael Cook termasuk salah satu tokoh orientalis
yang terbilang gemilang, setidaknya kegemilangan intelekualnya dapat dilihat dari
23

karya-karya yang berhasil ia terbitkan, baik dalam bentuk buku maupun artikel,
yang pada gilirannya ikut memberikan sumbangan terhadap studi Islam.
Michael Cook termasuk penulis yang sangat produktif. Sejauh ini, Cook
telah menghasilkan 59 karya, yaitu 14 buku dan 45 artikel. Karya-karya tersebut
meliputi berbagai persoalan seperti, sejarah Islam, ilmu kalam, hukum Islam, studi
al-Qur’an dan hadis, kebudayaan Islam, ekonomi dan lain-lain. Karya-karya itu di
antaranya:
1. Karya - Karya Michael Cook dalam Bentuk Buku
a. Studies in the Economic History of the Middle East from the Rise of Islam
to the Present Day, diedit dengan tambahan pengantar, Oxford University
Press, 1970.
b. Population Pressure in Rural Anatolia, 1450–1600, Oxford University Press,
1972.
c. A History of the Ottoman Empire to 1730, diedit dengan tambahan
pengantar (ditulis bersama V.J. Parry, dkk), Cambridge University Press,
1976.
d. Hagarism: The Making of the Islamic World (dengan Patricia Crone),
Cambridge University Press, 1977.
e. Early Muslim Dogma: A Source-Critical Study, Cambridge University Press,
1981/2003.
f. Muhammad, Oxford University Press, 1983 (pada Seri ‚Past Masters‛);
dicetak ulang dalam M. Carrithers,dkk, Founders of Faith, Oxford University
Press, 1986; ditulis kembali dalam, Oxford University Press, 1996.
Terjemahan: Hebrew, Bialik Institute, Jerusalem, 1989; Chinese, Chung-kuo
she hui k’o hsüeh ch’u pan she, Peking, 1990; Czech, Odeon, Prague, 1994;
Polish, Proszynski i-Ska, Warsaw, 1999.
g. The Koran: A Very Short Introduction, dalam Seri ‚Very Short
Introductions‛, Oxford: Oxford University Press, 2000. Terjemahan: Italian,
Einaudi, Turin, 2001; Polish, Proszynski i-Ska, Warsaw, 2001; Portuguese,
Temase Debates, Lisbon, 2001; German, Phillip Reclam jun., Stuttgart,
2002; Danish, Fortlaget Vandkunsten K/S, 2003; Korean, Seoul, Imprima
Korean Agency, 2004; Romanian, Bucharest, Allfa, 2004; Bulgarian,
Izdatelstvo ‚Zakhariy Stoyanov‛, Sofia, 2004; Japanese, Iwanami Shoten,
Tokyo, 2005; Hebrew, Yed‘iot Akharonot, Tel Aviv, 2006; Portuguese,
Quasi Edições, Vila Nova de Famaliçaõ, 2006; Russian, AST: Astrel’,
Moscow, 2007; Spanish, Editorial Océano de México, Mexico City, 2007.
h. Commanding Right and Forbidding Wrong in Islamic Thought, Cambridge:
Cambridge University Press, 2000/2002 (mendapat Penghargaan Albert
Hourani Book Award oleh the Middle East Studies Association of North
24

America, 2001, dan penghargaan the Kuwait British Friendship Society


Book Prize, 2002). Terjemahan: Persian, Tehran, Nigah-i Mu.asir, 1384 AH
(partial); Persian, Mashhad, Bunyad-i Pizhuhishha-i Islami, 1384 (full),
1385/1386; Arabic, Beirut, al-Shabaka al-‘Arabiyya li-’l-Abhath wa-’l-Nashr,
2009.
i. Forbidding Wrong in Islam, Cambridge: Cambridge University Press, 2003.
j. A Brief History of the Human Race, New York: W.W. Norton, 2003;
London: Granta, 2004; paperback, Granta, 2005 and Norton, 2005.
Terjemahan: Japanese, Kashiwa Shobo, Tokyo, 2005; Brazilian Portuguese,
Rio de Janeiro, Jorge Zahar Editor, 2005; Dutch, Utrecht, Spectrum.
k. Studies in the Origins of Early Islamic Culture and Tradition, Aldershot dan
Burlington, Ashgate (Variorum), 2004.
l. A brief history of the human race, New York: W.W. Norton, 2003; London:
Granta, 2004; paperback, Granta 2005 and Norton 2005; terjemahan: Jepan,
Kashiwa Shobo, Tokyo, 2005; Brazilian Portuguese, Rio de Janeiro, Jorge
Zahar Editor, 2005; Belanda, Utrecht, Spectrum, 2005; Spanyol, Barcelona,
Antoni Bosch, 2012
m. The New Cambridge History of Islam, six volumes, Cambridge: Cambridge
University Press, 2010 (General Editor).
n. Ancient religions, modern politics: the Islamic case in comparative
perspective, Princeton: Princeton University Press, 2014 (translation: Arabic,
Beirut, Arab Network for Research and Publishing, 2017).
2. Karya - Karya Michael Cook dalam Bentuk Jurnal
a. Economic Developments, dalam J. Schacht dan C.E. Bosworth (ed.), The
Legacy of Islam, edisi kedua, Clarendon Press, 1974, jilid 5.
b. The Origins of Kalam, Bulletin of the School of Oriental and African
Studies, vol. 43, 1980.
c. Activism and Quietism in Islam: The Case of the Early Murji’a , dalam A.S.
Cudsi dan A.E.H. Dessouki (ed.), Islam and Power, Croom Helm, 1981.
d. Abu Hamid al-Qudsi (d.888/1483), Journal of Semitic Studies, vol. 28, 1983.
e. Pharaonic History in Medieval Egypt, Studia Islamica, Fasc. 57, 1983.
f. Magian Cheese: An Archaic Problem in Islamic Law, Bulletin of the School
of Oriental and African Studies, vol. 47, 1984.
g. Early Islamic Dietary Law, Jerusalem Studies in Arabic and Islam, vol. 7,
1986.
h. The Emergence of Islamic Civilisation, dalam S.N. Eisenstadt (ed.), The
Origins and Diversity of Axial Age Civilizations, SUNY, 1986, jilid 21.
i. The Provenance of the Lam al-shihab fi sirat Muhammad ibn ‘Abd al-
Wahhab, Journal of Turkish Studies, vol. 10, 1986.
25

j. Anan and Islam: The Origins of Karaite Scripturalism, Jerusalem Studies in


Arabic and Islam, vol. 9, 1987.
k. Max Weber und islamische Sekten, dalam W. Schluchter (ed.), Max Webers
Sicht des Islams: Interpretation und Kritik, Suhrkamp, 1987. Terjemahan
berbahasa Arab: al-Ijtihad, vol. 5, 1993. Edisi berbahasa Inggris dalam T.E.
Huff and W. Schluchter (ed.), Max Weber and Islam, New Brunswick and
London: Transaction Publishers, 1999.
l. Islam: A Comment, dalam J. Baechler,dkk (ed.), Europe and the Rise of
Capitalism, Oxford: Basil Blackwell, 1988,
m. The Expansion of the First Saudi State: The Case of Washm, dalam C.E.
Bosworth, dkk (ed.), The Islamic World from Classical to Modern Times:
Essays in Honor of Bernard Lewis, Princeton: Darwin Press, 1989.
n. The Historians of Pre-Wahhabi Najd, Studia Islamica, Fasc. 76, 1992.
o. On the Origins of Wahhabism, Journal of the Royal Asiatic Society, Seri
Ketiga, Vol. 2, 1992.
p. The Heraclian Dynasty in Muslim Eschatology, al-Qantara, vol. 13, 1992.
q. Eschatology and the Dating of Traditions, dalam B. Lewis dan C. Issawi
(ed.), Princeton Papers, Number 1, 1992.
r. An Early Islamic Apocalyptic Chronicle, Journal of Near Eastern Studies,
vol. 52, 1993.
s. Van Ess’s Second Volume: A Testing Sample, Bibliotheca Orientalis, vol.
51, 1994.
t. The Opponents of the Writing of Tradition in Early Islam, Arabica, vol. 44,
1997. Terjemah berbahasa Persia: Mukhalifan-i nigarish-i hadith dar sadr-I
islam, ‘Ulum-i Hadith, nos. 8–10 (1377 AH, Qom). Indonesia: Kontroversi
Hadis: Percaturan dan Pertarungan Awal Islam, (Bandung: Penerbit Marja,
2015)
u. Ibn Qutayba and the Monkeys, Studia Islamica, vol. 89, 1999.
v. Hadith and Muhammad, G.W. Bowersock, Peter Brown, dan Oleg Grabar
(ed.), Late Antiquity: A Guide to the Post-Classical World, Cambridge dan
London: Belknap Press of Harvard University Press, 1999.
w. A Koranic Codex Inherited by Malik from His Grandfather, Graeco- Arabica,
vols. 7–8, 2000.
x. The Voice of Honest Indignation is the Voice of God, Proceedings of the
American Philosophical Society, vol. 147, 2003.
y. The Stemma of the Regional Codices of the Koran, Graeco-Arabica, vols. 9–
10, 2004.
z. Al-Nahy ‘an al-Munkar, Encyclopedia of Islam, New Edition, Supplement,
Fasc., 9–10, Brill, 2004.
26

aa. Comment (pp. 29–30) dan Comment (pp. 194–9) dalam P. Bernholz dan R.
Vaubel (ed.), Political Competition, Innovation, and Growth in the Historyof
Asian Civilizations, Cheltenham: Edward Elgar, 2004.
bb. Studies in the origins of early Islamic culture and tradition, Aldershot and
Burlington, Ashgate (Variorum), 2004 (a collection of twelve articles
originally published elsewhere).
cc. Encyclopaedia of Islam, New Edition, Supplement, Fascicules 9-10, Leiden:
Brill, 2004, pp. 644-6, article ‚al-Nahy ʿan al-munkar‛. Comments in P.
Bernholz and R. Vaubel (ed.), Political competition, innovation and growth
in the history of Asian civilizations, Cheltenham: Edward Elgar, 2004,
‚Comment‛, pp. 29-30, and ‚Comment‛, pp. 194-9.
dd. Encyclopaedia of the Qurʾān, volume 5, Leiden: Brill, 2006, pp. 436-43,
article ‚Virtues and Vices, Commanding and Forbidding‛.
ee. Virtues and Vices, Commanding and Forbidding, Encyclopedia of the
Qur’an, vol. 5, Brill, 2006.
ff. On Islam and Comparative Intellectual History, Daedalus: Journal of the
American Academy of Arts and Sciences, vol. 135, no. 4, 2006. Terjemahan
berbahasa Spanyol: ‚Islam e historia intelectual comparada‛, Revista de
Libros de la Fundaci.n Caja Madrid, no. 131, Nov. 2007.
gg. Ibn Sa’di on Truth-Blindness, Jerusalem Studies in Arabic and Islam, vol. 33,
2007.
hh. The Namesake Taboo, Muqarnas, vol. 25, 2008.
ii. Islam: history’s first shot at a global culture?‛, in D.A. Yerxa (ed.), Recent
themes in world history and the history of the West: historians in
conversation, Columbia: University of South Carolina Press, 2009, pp. 46-52.
jj. Ḥadīthī muʿammāʾī dar bāb-i qibla dar al-Kāfī-i Kulaynī, ʿUlūm-u Ḥadīth,
Spring 1388 shamsī, pp. 150-70.
kk. Did the Prophet Muḥammad keep court? In A. Fuess and J.-P. Hartung,
Court cultures in the Muslim world: seventh to nineteenth centuries, London
and New York: Routledge, 2011, pp. 23–9.
ll. Why incline to the left in prayer? Sectarianism, dialectic, and archaeology in
Imami Shi‘ism, in M. Cook and others (ed.), Law and tradition in classical
Islamic thought: studies in honor of Professor Hossein Modarressi, New
York: Palgrave Macmillan, 2013, pp. 99–124
mm. Is political freedom an Islamic value? In Q. Skinner and M. van Gelderen
(ed.), Freedom and the construction of Europe, Cambridge 2013, vol. 2, pp.
283–310.
nn. The appeal of Islamic fundamentalism, Journal of the British Academy, vol.
2 (2014), pp. 27–41.
27

oo. Written and oral aspects of an early Wahhābī epistle, Bulletin of SOAS, 78
(2015), pp. 161–78.
pp. Muḥammad’s deputies in Medina, in al-ʿUṣūr al-Wusṭā, vol. 23 (2015), pp.
1–66.
qq. War der Prophet Mohammed ungerecht zu einem Blinden? In W. Steul and
others (ed.), Koran erklärt: Ein Beitrag zur Aufklärung, Berlin 2017, pp. 78–
80.
rr. Early medieval Christian and Muslim attitudes to pagan law: a comparison ,
in C. Bakhos and M. Cook (ed.), Islam and its past: Jahiliyya, late antiquity,
and the Qur’an, Oxford 2017, pp. 213–46.
ss. Comparing Carolingians and ʿAbbasids, in D.G. Tor (ed.), The ʿAbbasid and
Carolingian empires: comparative studies in civilizational formation, Leiden:
Brill, 2018, pp. 191–219.
3. Karya-Karya Michael Cook dalam Ranah Studi Hadis
Dari karya-karya Michael Cook di atas baik yang dalam bentuk buku
maupun artikel terbagi dalam berbagai persoalan disiplin ilmu, di antaranya:
Sejarah Islam, Ilmu Kalam, Fikhi dan hukum Islam, Ekonomi, Studi al-Quran, dan
termasuk di antaranya adalah studi hadis. Dari 52 karya Cook di atas, terdapat 9
tulisan yang berkaitan dengan kajian hadis. Hal ini menunjukkan bahwa Michael
Cook adalah termasuk orientalis yang banyak memusatkan perhatian pada studi
kajian hadis.
Salah satu buku Cook yang bisa disebut sebagai magnum opus karya-
karyanya adalah buku yang berjudul Early Muslim Dogma: A Source-Critical Study
terbitan Cambridge University Press, yang dicetak pada tahun 1981. Di dalam buku
ini berisi analisis Cook dalam perdebatan sumber otoritas dasar Islam pada masa
awal. Termasuk di dalamnya perdebatan penyebaran hadis dan juga indikasi
fenomena Common Link.
Selain buku Early Muslim Dogma: A Source-Critical Study, buku yang
dapat dijadikan sebagai rujukan penting dalam wacana hadis adalah buku yang
berjudul Studies in the Origins of Early Islamic Culture and Tradition. Diterbitkan
pertama kali di kota Aldershot dan Burlngton oleh penerbit Asghate (Variorum)
pada tahun 2004. Buku ini sebenarnya bukanlah buku Cook secara langsung.
Namun buku ini merupakan kumpulan tulisan dan artikel Cook yang tersebar
diberbagai jurnal-jurnal ilmiah seantero dunia. Misalnya jurnal Princeton Papers in
Near Eastern Studies, Studies Islamica, Al-Qantara, Jerussalem Studies in Arabic
and Islam, Bulletin of The School of Oriental and African Studies, Journal of Near
Eastern Studies, Arabica, dan jurnal Graeco-Arabica. Jurnal-jurnal ini terbit
diberbagai kota dunia, semisal Leiden, Paris, Athena, London, Jerussalem, Chicago,
dan Madrid.
28

Buku Studies in the Origins of Early Islamic Culture and Tradition ini
mencakup 12 artikel Cook yang empat diantaranya berbicara tentang tema hadis.
Sisanya membicarakan tema hukum Islam dan persoalan teologi. Artikel Cook yang
pertama dalam buku tersebut adalah artikel yang berjudul ‚The Heraclian Dynasty
in Muslim Eschatology‛, diterbitkan dalam jurnal al-Qantara, vol. 13, pada tahun
1992. Dalam artikel ini terlihat sejauh mana apresiasi Cook yang tinggi terhadap
wacana hadis.15
Artikel kedua yang bisa dijadikan sebagai sumber perdebatan keaslian hadis
adalah artikel Cook berjudul ‚Eschatology and the Dating of Traditions‛, yang
diterbitkan dalam B. Lewis dan C. Issawi (ed.), Princeton Papers, Number 1, pada
tahun 1992. Pada karyanya yang satu ini, Cook berusaha mencari metode
pananggalan hadis yang menjadi diskursus utama wacana hadis di barat. Pada
artikelnya yang satu ini, Cook banyak menganalisa pemikiran dan pendapat
Schacht, Jorge Aguade, dan Wilfred Madelung. Cook mengkritik metode Common
Link yang selama ini diterapkan dikalangan Schachtian16. Pada artikel ini pula
Cook mengkaji jalur-jalur isnad yang disinyalir sebagai fenomena Common Link.17
Artikel Cook yang ketiga adalah artikel yang berjudul ‚The Opponents of
the Writing of Tradition in Early Islam‛, di dalam jurnal Arabica, vol. 44, pada
tahun 1997. Artikel ini banyak mendapat apresiasi sehingga diterjemahkan kedalam
dua bahasa, yaitu diterjemahkan kedalam bahasa Persia dengan judul Mukhalifan-i
nigarish-i hadith dar sadr-I islam yang diterbitkan dalam jurnal ‘Ulum-i Hadith, di
kota Qom. Selanjutnya artikel ini juga diterjemahkan dalam bahasa Indonesia
dengan judul Kontroversi Hadis: Percaturan dan Pertarungan Awal Islam yang
diterbitkan di Bandung dengan Penerbit Marja, pada tahun 2015. Tulisan Cook ini
dapat digunakan sebagai bahan untuk mencari data informasi sejarah awal
penulisan hadis.18
Selain karya-karya di atas, masih terdapat banyak karya Cook yang
berkaitan dengan hadis. Secara keseluruhan dari 52 karya Cook terdapat 9 karyanya
yang bersinggungan dengan kajian hadis. Diantara karya-karyanya tersebut adalah:
1. Early Muslim Dogma: A Source-Critical Study, Cambridge University Press,
1981/2003.
15
Baca Michael Cook, ‚The Heraclian Dynasty in Muslim Eschatology‛ dalam
Micahel Cook, Studies in the Origins of Early Islamic Culture and Tradition , (Great Britain:
Asghate Variorum), 2004
16
Sebutan bagi para pengikut Joseph Schacht
17
Baca Michael Cook, ‚Eschatology and the Dating of Traditions‛, h. 23-47 dalam
Michael Cook, Studies in the Origins of Early Islamic Culture and Tradition , (Great Britain:
Asghate Variorum), 2004
18
Baca Michael Cook, ‚The Opponents of the Writing of Tradition in Early
Islam‛, h. 437-530 dalam Michael Cook, Studies in the Origins of Early Islamic Culture
and Tradition, (Great Britain: Asghate Variorum), 2004
29

2. Eschatology and the Dating of Traditions, dalam B. Lewis dan C. Issawi (ed.),
Princeton Papers, Number 1, 1992.
3. The Opponents of The Writing Traditional in Early Islam, Arabica, vol. 44,
1997. Terjemah berbahasa Persia: Mukhalifan-i nigarish-i hadith dar sadr-I
islam, ‘Ulum-i Hadith, nos. 8–10 (1377 AH, Qom). Indonesia: Kontroversi
Hadis: Percaturan dan Pertarungan Awal Islam, (Bandung: Penerbit Marja,
2015)
4. The Heraclian Dynasty in Muslim Eschatology, Journal Al-Qantara, Vol 13,
1992.
5. An Early Islamic Apocalyptic Chronicle, Journal of Near Eastern Studies, vol.
52, 1993.
6. Ibn Qutayba and the Monkeys, Studia Islamica, Vol. 89, 1999.
7. Van Ess’s Second Volume: A Testing Sample, Bibliotheca Orientalis, vol. 51,
1994.
8. Hadith and Muhammad, G.W. Bowersock, Peter Brown, dan Oleg Grabar
(ed.), Late Antiquity: A Guide to the Post-Classical World, Cambridge dan
London: Belknap Press of Harvard University Press, 1999.
9. Hadi>th Mu’amma>’i> Dar Ba>b Qibla Da>r al-Ka>fi Kulayni>, Ulum Hadith, Spring
1388, pp. 150-70.
C. Posisi Michael Cook dalam Peta Studi Hadis di Kalangan Orientalis
Bila ditelisik lagi lebih jauh secara umum, metode pendekatan yang
dilakukan orientalis dalam studi Islam,19 agama dan budaya Timur dapat di
pisahkan dalam dua hal. Pertama, normatif, yaitu studi terhadap agama dan budaya
lain yang didasarkan atas dorongan komitmen keagaman yang kuat dari para
penelitinya (outsider). Peneliti ada maksud untuk melakukan konversi agama dari
kelompok yang dijadikan objek penelitian. Kedua, model deskriptif yaitu hanya
sekedar ingin memenuhi rasa ingin tahu intelektual (intellectual curiosity) serta
mencari kejelasan (clarity) dalam memahami objek yang dikaji sebagaimana
adanya.20 Model deskriptif ini dapat difahami bahwa tidak semua orientalis ketika
mengkaji Islam dan budaya Timur mempunyai pandangan awal yang negatif.
Bahkan sering kali pandangan satu orientalis bertolak belakang dengan orientalis
lainya. Akan tetapi pembagian metode pendekatan seperti ini tidaklah selalu sesuai
dengan kenyataan sebagaimana yang dilakukan oleh beberapa orientalis yang sering

19
Namun dewasa ini ada kecenderungan dari mereka yang melakukan studi
keislaman untuk tidak menggunakan kata orientalis sebagai nama buat mereka tetapi
menunjuk diri mereka dengan nama Islamist. Lihat, M. Quraish Shihab, ‚Orientalisme‛
dalam Jurnal Studi Al-Qur’an Vol. 1, No. 2, 2006, h. 44.
20
Charles J. Adams, Islamic Religious Traditions dalam Leonard Binder , The
Study of Middle East: Research and Scholarship in the Humanities and Social Sciences,
(New York, 1976), h. 34.
30

keluar dari dua metode pendekatan diatas. Hal ini tentunya terlihat dalam studi
teks, naskah (hadis/al-Qur’an).
Bila ditinjau dari segi asumsi pandangan-pandangan orientalis tentang
hadis, maka ditemukan ada banyak analisis dan klasifikasi pemetaan kajian hadis
yang dilakukan oleh mereka. Di antara analisis klasifikasi dan pemetaan orientalis
dalam kajian hadis yang cukup komprehensif adalah klasifikasi yang dilakukan oleh
Herbert Berg. Dalam bukunya yang berjudul The Development of Exegesis in Early
Islam, Herbert Berg termasuk sukses dalam memetakan tokoh-tokoh yang bergelut
dalam perdebatan hadis.21 Selain Herbert Berg, terdapat tiga tokoh di Indonesia
juga melakukan hal yang sama, yaitu Kamaruddin Amin, Mun’im Sirri dan Ali
Masrur.22 Namun dari pemetaannya tidak berbedah jauh dengan Herbert Berg.
Jika mengacu pada klasifikasi sikap orientalis yang dibuat oleh Herbert
Berg. Maka bisa diambil 4 aliran. Pertaman, aliran skeptis/skeptisisme awal (Early
Western Scepticisme).23 Aliran ini dipelopori oleh Ignaz Goldziher,24 Joseph
Schacht,25 Joseph van Ess,26 dan beberapa tokoh orientalis lain yang memakai
pendekatan keduannya. Kelompok ini berusaha meragukan autentisitas hadis
dengan argumentasi bahwa telah terjadi pemalsuan besar-besaran dalam sejarah
periwayatannya. Misalnya, Ignaz Goldziher mengatakan bahwa hadis tidak dapat
diyakini validitasnya serta banyak terjadi pemalsuan hadis. Lebih lanjut Goldziher
mengatakan bahwa hadis lebih banyak diriwayatkan oleh orang-orang belakangan
dibandingkan orang-orang di masa awal.27
Senada dengan Goldziher, Joseph Schacht juga mewariskan sikap skeptis
terhadap hadis. Schacht mengemukakan pendapat yang benyak diapresiasi berbagai
ilmuan. Schacht mengkritik hadis pada beberapa sisi, di antaranya pada sistem
Isna>d yang menjadi tumpuan otentisitas hadis.28 Dalam buku The Origins of
Muhammad Jurisprudence, Schacht memfokuskan kajiannya pada tema keaslian
hukum Islam dan dalil syariah. Salah satu poin penting yang dia angkat adalah
21
Herbert Berg membagi kajian di barat atas hadis berdasarkan segi asumsi
menjadi empat, yakni Early Western Scepticism, Reaction Agagains Scepticism, The
Search for Middle Ground dan Renewed Scepticism. Mengenai pembagian ini dapat dilihat
dalam Herbert Berg, The Development of Exegesis in Early Islam, (Curzon, 2000) h. 8-50
22
Ali Masrur membagi kajian hadis di barat menjadi tiga kategori, yaitu: aliran
revisionis, tradisionalis, dan tengah-tengah. Pembagian ini bisa dibaca dalam Ali Masrur,
Teori Common Link G.H.A Juynboll, h. 31-35
23
Herbert Berg, The Development of Exegesis in Early Islam, (Curzon, 2000) h. 8-
9
24
Ignaz Goldziher, Muslim Studies, 2 vols (London) 1967
25
Joseph Schacht, The Origins of Muhammad Jurisprudence (Oxpord) 1950
26
Joseph van Ess, Zwischen Hadit und Theologie (Berlin) 1950
27
Herbert Berg, The Development of Exegesis in Early Islam (Curzon, 2000) h. 9-
12
28
Idri, Hadis dan Orientalis (Depok: Kencana, 2017), h. 183
31

mengenai perkembangan dan proses periwayatan hadis. Termasuk di dalamnya


mengenai otentisitas dan kronologi periwayatan.
Dari penjelasan di atas, terlihat bagaimana Goldziher dan Schacht
memperkenalkan paradigm skeptis dalam dunia hadis. Keduanya berupaya
membuat keraguan tentang otentisitas hadis dengan mecari mekanisme pemalsuan
hadis. perdebatan yang dihasilkan dari pemikiran kelompok pertama ini akhirnya
menimbulkan kemunculan kelompok kedua.
Kedua, aliran penentang skeptis/skeptisisme (Reaction Againts
Scepticism).29 Kelompok ini dipelopori oleh Fuat Seigzin,30 Nabia Abbot,31
Muhammad Mustafa Azami,32 dan lain-lalin. Kelompok atau aliran ini lahir sebagai
respon terhadap aliran skeptis. Fuat Seigzin misalnya banyak memberikan
sanggahan dan kritikan atas analisis dari Goldziher. Salah satunya argument
Seigzin mengenai tradisi menulis pada masa awal yang tercantum dalam bukunya
Geschichte des Arabichen Scriftums, Band I Quran, Wissenshachen, Hadith,
Geschicthe, Fiqh, Dogmatik, Mystic.33
Begitu juga dengan Nabia Abbot banyak mengeluarkan sanggahan-
sanggahan terkait kritikan dari beberapa tokoh skeptis awal. Salah satunya
argumen Nabia yang menyatakan bahwa tradisi menulis hadis sudah ada sejak masa
awal dan terus berkembang sampai pada masa kodifikasi hadis. Masa awal yang
dimaksud oleh Nabia adalah masa Nabi dan para sahabat. Dengan kata lain, Nabia
mengatakan bahwa tradisi menulis hadis sudah ada sejak nabi masih hidup lalu
dihafal dan ditulis secara berkelanjutan. Argumen ini menunjukan bahwa bagi
Nabia, tradisi menulis masa awal ini bisa menjamin keotentikan dari data hadis
yang sampai ke masa modern.34
Lebih lanjut Muhammad Mustafa Azami banyak menyanggah analisis dari
Schacht terutama keritikan Schacht terhadapa masalah sistem isna>d.35 dua karya
besar Azami berjudul Studies in Early Hadith Lierature with a Critical Edition of
some Early Text dan On Schacht’s Origins of Muhammadan Jurisprudence. Azami

29
Herbert Berg, The Development of Exegesis in Early Islam (Curzon, 2000) , h.
18
30
Fuat Seigzin, Geschichte des Arabichen Scriftums (Leiden) 1967
31
Nabia Abbot, Studies in Arabic Literary Papyri II, Quranic Commentary and
Tradition (The University of Chicago Press), 1967
32
M. Mustafa Azami, Studies in Early Hadith Lierature with a Critical Edition of
some Early Text (Beirut) 1968
33
Herbert Berg, The Development of Exegesis in Early Islam (Curzon, 2000) , h.
21
34
Herbert Berg, The Development of Exegesis in Early Islam (Curzon, 2000) , h.
18
35
Herbert Berg, The Development of Exegesis in Early Islam (Curzon, 2000) , h.
23-26
32

bahkan membuat bagan isna>d tandingan meski belakangan kritikan Azami dinilai
kurang memadai karena dianggap tidak memahami konsep dari Schacht sendiri.
Ketiga, aliran tengah (middle ground).36 Aliran ini dipelopori oleh G.H.A.
Juynboll,37 Grego Schoeler,38 Harald Motzki39 dan beberapa tokoh lain. Aliran ini
berusaha mencari jalan tengah dan menengahi ketegangan antara kelompok skeptis
dengan kelompok penentang skeptis. Juynbol misalnya berusaha mengkritisi teori
Schacht. Tapi di sisi lain Juynboll juga mengkritisi sanggahan dari Azami. Hal yang
sama juga dilakukan oleh Harald Motzki,40 di satu sisi dia bersinggungan dengan
kelompok pertama, namun lain pihak dia juga tidak sependapat dengan kelompok
kedua. Ada beberapa pendapatnya yang sama dengan para orientalis lain yang
bersifat skeptis dalam memandang hadis. Namun juga ia mengkritik satu persatu
teori-teori para ilmuan Barat tentang hadis mulai dari Ignaz Goldziher, Joseph
Schacht, Norman Calder dan lain-lain.41
Keempat, aliran Neo Skeptisisme (Renewed Scepticisme).42 Kelompok ini
dinilai sebagai kelompok yang memberikan pandangan skeptisisme baru. Mereka

36
Herbert Berg, The Development of Exegesis in Early Islam (Curzon, 2000) , h.
26
37
Beliau dijuluki sebagai The Search of Middle Ground yaitu golongan moderat di
antara Early Western Scepticism (golongan skeptis awal) dengan Reaction Againts
Scepticism (golongan reaksionis atas paham skeptis). Baca G.H.A. Juynboll, Muslim
Tradition. Studies in Chornology, Provence and Authorship of Early Hadith, Cambirdge
1983
38
Herbert Berg, The Development of Exegesis in Early Islam (Curzon, 2000) , h.
34-36
39
Harald Motzki, The Origins of Islamic Jurisprudence Meccan Fiqh Before The
Classical Schools, Leiden, Brill 2002
40
Terdapat perbedaan dalam menempatkan posisi Junyboll diantara pemikir
pengkaji hadis modren di Barat, Wael B.Hallaq dan Michel Cook menempatkan Juynboll
pada aliran pertama semazhab dengan Ignaz dan Schacht. Lain lagi dengan David S. Power
dan Herbert Berg menggolongkan Junyboll ke dalam the search for middle ground
(pencarain jalan tengah). Perbedaan ini berdasarkan paradigm yang dipakai oleh Junyboll
dalam studi hadis, selain itu juga ada yang memperhatikan hasil temuannya yang sedikit
banyaknya menjembatani gap antara kelompok pertama dan ketiga. Namun bila dilihat dari
tulisan-tulisan Junyboll, adanya rasa kekaguman dari karya-karya Ignaz dan Schacht. Lebih
lanjut lihat Ali Masrur, Teori Common Link G.H.A. Junyboll; Melacak Akar Kesejaraha
Hadis Nabi, (Yogyakarta; LkiS, 2007), h. 48-50.
41
Kamaruddin Amin, ‚Book Review of the Origin of Islamic Jurisprudence: Mecca
Fikih before Classical Schools‛, dalam Al-Ja>mi’ah: Jurnal of Islamic Studies, Vol. 41, No. 1
(2003), h. 202; Harald Motzki, The Mus}annaf of Abd Razza>q al-San’a>ni> as a Source of
Authentic Aha>di>s of ;the First Century A.H dalam Near Eastern Studies, 50 (1991), h. 1-21;
juga Ali Masrur, Penerapan Metode Tradition-Historical dalam , The Mus}annaf of Abd
Razza>q al-San’a>ni> dan Imlikasinya terhadap Persoalan Dating Hadis dan Perkembangan
Fikih Mekkah‛, dalam Jurnal Teologia, Vol. 24, No. 1, Januari-Juni 2013.
42
Herbert Berg, The Development of Exegesis in Early Islam (Curzon, 2000) , h.
48
33

meragukan otentisitas hadis Nabi dengan mengacu pada metode para kelompok
skeptis awal, selain itu mereka juga menggunakan metodenya sendiri. Tokoh tokoh
yang termasuk ke dalam fase keempat ini adalah Michael A. Cook, Patricia Crone
dan Norman Calder.43 Dengan demikian, berdasarkan dari hasil klasifikasi di atas,
tampak jelas bahwa Herbert Berg menempatkan Cook dalam kelompok Neo
Skeptis (Renewed Scepticism). Meskipun pada dasarnya Cook sendiri tidak mau
menyebut dirinya sebagai kelompok Renewed Scepticism, namun ia tidak
memungkiri bahwa dirinya skeptis dalam memandang hadis.44
Sejalan dengan Herbert Berg, Kamaruddin Amin mengatakan bahwa
Michael Cook merupakan pewaris dari pemikiran-pemikiran Joseph Schacht.
Namun demikian, meskipun Cook dipengaruhi oleh pemikiran hadis Schacht, Cook
tidak serta merta menerima secara keseluruhan gagasan yang ditawarkan oleh
Schacht utamanya tentang teori Common Linknya. Teori ini telah diperluas dan
dikembangkan lebih lanjut oleh Cook. Di samping itu, Cook juga melakukan
kritikan atas teori Coommon Link yang dicetuskan oleh Schacht dan Juynboll.45
Penilaian yang sama juga dilakukan oleh Mun’im Sirry dalam bukunya
Kontroversi Islam Awal antara Mazhab Tradisionalis dan Revisionis, yang mana
bila dilihat dari pemaparannya dapat dikatakan bahwa beliau mengkategorikan
Cook sebagai tokoh orientalis yang beraliran skeptis. Hanya saja, Mun’im
menggunakan istilah lain, tidak menggunakan istilah Neo Skeptisisme. Beliau
menyebutnya dengan istilah Revisonis Radikal. Menurut Mun’im, Revisonis
Radikal yaitu sebuah aliran yang meragukan sumber-sumber Muslim tradisional
yang normatif atas teori kemunculan Islam awal. Yaitu Mereka mempertanyakan
apakah sumber-sumber Muslim Tradisionalis itu dapat dipertanggungjawabkan
secara akademis atau tidak, mengingat sumber-sumber tersebut baru ditulis

43
Norman Calder, Studies in Early muslim Jurisprudence, Oxford, 1993. Baca juga
Book Review atas karya Calder tersebut: Book Reviews of Norman Calder: Studies in Early
Muslim Juresprudence, by Yasin Dutton dalam Journal of Islamic Studies, Vol 5 Number 1
januari 1994, h. 102
44
Cook mengakui bahwa dirinya termasuk golongan skeptis, tetapi kurang setuju
apabila dikategorisasikan sebagai Renewed Scepticism sebagaimana yang dibuat Berg.
Cook mengatakan dalam balasan e-mailnya pada bulan april 2019 ‚Someone else asked me
abaout Breg’s classification recently, and I replied as blow. I think he would be right to
include me as taking a skeptical view. Thai I criticized the common link theory is correct. I
took me a while to find a copy of the book, but I looked at the introductory chapter, and it
seemed to me that in general he has given a useful analysis of the divergent opinions. But I
saw a problem with chronology (Motzki’s work came later than the work he categorises as
‚renewed skepticism‛), and in some cases I don’t think his account of the views of scholars
is accurte‛.
45
Kamarudddin Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis
(Jakarta: PT Mizan Publika, 2009), h. 145
34

belakangan, yaitu lebih dari seratus tahun pasca wafatnya Nabi Muhammad.46 Dari
sini dapat dikatakan bahwa Mun’im Sirry memasukkan Michael Cook dalam
kelompok Neo Skeptisisme (Renewed Scepticism).
Dimasukkannya Cook dalam kelompok Renewed Scepticism tidak terlepas
dari sikapnya yang meragukan otentisitas hadis khususnya proses penyebaran hadis.
Dan bisa dikatakan bahwa sikap skeptis Cook tidak lepas dari pengaruh skeptisisme
tokoh-tokoh pendahulunya. Utamanya banyak dipengaruhi oleh pemikiran Schacht.
Hal ini juga dikuatkan oleh pendapat Wael B. Hallaq. Menurutnya, respon para
sarjana barat terhadap pemikiran hadis Joseph Schacht melahirkan tiga kelompok,
yaitu (1) pihak yang berupaya keras mempertahankan pendapat Schacht (2) pihak
yang menolak pendapat beliau dan (3) pihak yang mencari jalan tengah. Dari ketiga
kategori tersebut, Wael B. Hallaq memasukkan Michael Cook dalam kelompok
pertama, yaitu kelompok yang sejalan dengan pemikiran Joseph Schacht.47
Meskipun Cook sendiri tidak mengakui bahwa dia penganut ajaran
Schacht. Namun jika mendalami lebih pemikiran Cook dan Schacht, maka benang
merahnya akan muncul. Teori dasar yang memunculkan pandangan Cook baik
mengenai fenomena Common Link maupun teori The Spread of Isnad> sebenarnya
lahir dari apresiasi Cook yang besar terhadap teori Backward Projectionnya
Schacht. Sikap skeptis dari Cook terhadap sistem penyebaran isnad> sebenarnya
juga sangat tercermin dengan apa yang Schacht lakukan.
Pada titik hipotesis bahwa sistem isnad> adalah palsu sebenarnya baik Cook,
Schacht, bahkan Juynboll hampir sama. Objek materi yang mereka kaji sama,
namun pada akhirnya menghasilkan kesimpulan yang justru berbeda. Ada dua poin
yang bisa diambil: Pertama, Schacht sendiri meyakini bahwa hadis berkembang
dengan cara menyebar ke belakang. Hal ini menunjukan bahwa sistem isnad>
merupakan ‚rekaan‛, ‚ciptaan‛, dan ‚pemalsuan‛ dari rawi-rawi. Juynboll pun
mengamini paradigma ini. Namun meski sistem isnad> ini merupakan hasil
pemalsuan, baik Juynboll maupun Schacht meyakini bahwa sistem yang palsu ini
tetap membuka peluang untuk menemukan si pembuat hadis (yang kemudian
disebut dengan Common Link) dengan cara membandingkan jalur-jalur dan redaksi
matan hadis yang muncul. Maka jika si pemalsu dapat ditemukan maka artinya
sumber dan kapan hadis itu muncul bisa ditemukan. Sehingga tidak salah jika
Juynboll dan Schacht meyakini bahwa si Common Link dapat menjadi informasi
kunci untuk penanggalan hadis.

46
Mun’im Sirry, Kontroversi Islam Awal antara Mazhab Tradisionalis dan
Revisionis (Yogyakarta: Mizan, 2015), h. 85
47
Wael B. Hallaq, The Authenticity of Prophetic Hadith: A Pseudo-problem (Studi
Islamica, 1991), h. 75-76
35

Kedua, Cook berpijak dengan kuat pada hipotesis sistem penyebaran isna>d
adalah hasil pemalsuan. Oleh karena itu sejak awal Cook sudah memperlihatkan
sikap skeptisnya. Jika Schahct maupun Juynboll meyakini bahwa si pemalsu
(Common Link) masih bisa ditelusuri. Sedangkan Cook sangat skeptis dengan
pendapat tersebut. Cook meragukan kalau tidak dikatakan sangat sulit untuk
menemukan si pemalsu kunci. Karena pada dasarnya sistem isna>d yang menyebar
ke belakang itu sudah palsu. Maka tindakan pemalsuan bisa terjadi di level mana
saja, pada thabaqah mana saja, dan pada jalur isnad> yang mana saja.
Dari penelitian ini terlihat bahwa pada dasarnya baik Cook maupun
Schacht dan Juynboll hampir sama dalam memahami apa yang disebut dengan
Common Link. Hanya saja yang berbeda adalah cara pandang Cook terhadap sistem
isnad> secara keseluruhan berakibat pada cara pandang Cook terhadap Common
Link. Jika Common Link diartikan sebagai pemalsu hadis saja, maka pada titik ini
Cook pun berpendapat begitu. Namun jika Common Link dipahami sebagai
pemalsu kunci, Cook tidak sependapat. Karena bagi Cook, tidak ada pemalsu kunci
karena bisa saja pemalsuan tersebut selain dilakukan oleh orang yang diduga
memalsukan juga dilakukan oleh rawi lain. Bagaimana mungkin mendapatkan
periwayat kunci jika pemalsuan terjadi secara masif. Maka tidak salah jika
kemudian dikatakan bahwa Common Link yang difahami oleh Juynboll dan
Schacht tidak dapat dipakai sebagai sumber penanggalan hadis.
Dari penjelasan di atas, poin penting yang bisa diambil bahwa Cook skeptis
terhadap teori Common Link yang dikembangkan dan dipahami oleh Schahct dan
Juynboll. Hal ini berdasarkan kenyataan bahwa Cook terlebih dahulu sudah skeptis
terhadap cakupan umum dari sistem penyebaran isnad> nya. Jadi bisa dikatakan
bahwa Cook ‚skeptis terhadap aliran skeptis‛. Sikap skeptis Cook terhadap
Common Link jelas meruntuhkan teori tersebut. Sehingga sia-sia saja orang
mencari sumber penanggalan hadis via Common Link.
Pada akhirnya jelas mengapa Cook masuk dalam aliran Renewed
Scepticism. Jawabannya adalah karena sikap skeptis Cook jauh lebih besar
dibanding sikap skeptis para pendahulunya. Cook tidak hanya skeptis terhadap
sistem penyebaran isnad > namun juga skeptis terhadap sikap skeptis Schacht dan
Juynboll.
D. Gambaran Umum Pemikiran Hadis Michael Cook
Sebelum masuk pada pembahasan inti dari tesis ini tentang asal usul sanad
dalam perspektif Michael Cook. Terlebih dahulu akan diuraikan pemikiran hadis
Cook secara umum. Pada dasarnya Cook memiliki banyak pemikiran dan kritik
hadis yang dilakukannya di mana banyak menitip beratkan pada persoalan sanad,
tapi paling tidak ada lima hal pokok yang menjadi perhatian tersendiri di mata
36

seorang Michael Cook – walaupun sebenarnya masih banyak lagi hal-hal yang lain
– yaitu;
1. Hadis Nabi dalam Perspektif Michael Cook
Salah satu yang penting diutarakan pada sub pembahasan ini adalah
bagaimana definisi atau pengertian hadis dalam perspektif Michael Cook. Hal ini
penting diketahui untuk melihat bagaimana paradigma Cook dalam memandang
hadis Nabi Saw. sebab pada umumnya para orientalis memiliki pandangan yang
berbeda dengan ulama hadis dalam mendefinisikan hadis Nabi Saw.
Michael Cook mengartikan hadis sebagai cerita yang dikemas dalam
bentuk tradisi lisan yang kontennya berisi tentang perbuatan Muslim awal,
khususnya gambaran kehidupan Nabi Muhammad Saw. Hal itu dapat dilihat dari
pernyataan Cook sebagai berikut:
The term hadith may refer to the entire body of such orally transmitted texts,
or it may refer to an individual unit of transmission. A hadith is typically a
short text reporting a saying or describing an action of en early Muslim, in
particular, the prophet to it is prefixed a chain of transmission.48

Istilah hadis dapat merujuk ke semua konten teks yang ditransmisikan secara
lisan, atau dapat merujuk pada sesuatu yang ditransmisikan secara individu.
Sebuah hadis biasanya berupa teks pendek yang berisi tentang perkataan atau
menggambarkan tindakan Muslim awal, khususnya nabi yang diawali dengan
sistem transmisi mata rantai.

Bagi Cook, hadis tidak hanya merupakan gambaran kehidupan Nabi


Muhammad akan tetapi juga mencakup informasi tentang perbuatan dan aktivitas
generasi muslim awal. Aktivitas-aktivitas generasi Muslim awal dalam hal ini
adalah para sahabat dan ta>bi’i>n direkam kemudian disampaikan kepada generasi
berikutnya secara lisan, selanjutnya berita itu dianggap sebagai tindakan dari Nabi
Muhammad Saw padahal bukan dari dirinya melainkan hanya praktik perbuatan
dan aktivitas para sahabat dan ta>bi’i>n.49
Dengan demikian, Cook dalam mendefinisikan hadis tidak melihatnya
dengan kecamata ulama hadis, Cook memiliki terminologi sendiri yang berbeda
dengan definisi yang dibuat oleh ulama hadis, ia mengartikan hadis dengan lebih
melihat dari perspektif historisnya. Hal tersebut tidak terlepas karena Cook sendiri
adalah seorang sejarawan. Bidang ilmu yang ditekuninya selama ini banyak dalam
bidang sejarah, kususnya sejarah Islam. Oleh karena itu, pendekatan yang sering

48
Michae Cook, Late Antiquity A Guied to Postclassical World (London: The
Belknap Press of Harvard University Press, 1999), h. 482
49
Michae Cook, Late Antiquity A Guied to Postclassical World, h. 482
37

digunakan oleh Cook dalam meneliti hadis adalah pendekatan sejarah, termasuk
dalam mengartikan hadis ia cenderung mengartikannya dengan perpekstif historis.
2. Kritik Michael Cook terhadap teori Common Link
Teori common link adalah istilah untuk seorang periwayat yang menerima
hadis dari periwayat sebelumnya lalu dia meriwayatkan pada murid-muridnya dan
murid-muridnya meriwayatkan lagi kepada lebih banyak murid-murid di bawah
mereka. Dengan kata lain common link adalah periwayat tertua yang disebut dalam
jalur isnad> yang meriwayatkna hadis lebih kepada satu murid. Dengan demikian,
ketika jalur isnad> hadis mulai menyebar untuk pertama kalinya, maka penyebar
inilah disebut common link.50
Juynboll berpendapat bahwa perawi yang menempati posisi sebagai
common link merupakan originator (pencetus) atau fabricator (pemalsu) isnad dan
matan hadis yang kemudian disebarkan kepada beberapa muridnya. Pada level ini,
Juynboll mempertanyakan mengapa jalur isna>d itu baru bercabang pada common
link. Dari sini Juynboll kemudian berkesimpulan bahwa common link adalah saksi
kunci pemalsu hadis, ia merupakan aktor pertama yang melakukan penyebaran
berita bohong yang diberitakan sebagai hadis.51
Michael Cook melakukan kritik atas pemikiran Juynboll di atas.
Menurutnya, perawi yang berstatus sebagai common link tidak bisa dijadikan dasar
penilaian sebagai aktor utama dalam pemalsuan hadis. Ia mengatakan bahwa setiap
perawi dalam sebuah sanad memiliki potensi yang sama dalam melakukan
pemalsuan hadis, tidak hanya pada perawi yang bersatatus sebagai common link
saja, akan tetapi setiap perawi memiliki potensi yang sama dalam melakukan
pemalsuan hadis.52
Pada dasarnya baik Cook maupun Schacht dan Juynboll hampir sama dalam
memahami apa yang disebut dengan common link. Hanya saja yang berbeda adalah
cara pandang penentuan perawi kunci pemalsu hadis. Jika common link diartikan
sebagai pemalsu hadis saja, maka pada titik ini Cook pun berpendapat begitu.
Namun jika common link dipahami sebagai pemalsu kunci, Cook tidak sependapat.
Karena bagi Cook, tidak ada pemalsu kunci karena bisa saja pemalsuan hadis selain
dilakukan oleh orang yang diduga memalsukan juga dilakukan oleh rawi lain.
Bagaimana mungkin mendapatkan periwayat kunci jika pemalsuan terjadi secara

50
Ali Masrur, Teori Common Link G.H.A Juynboll: Melacak Kesejarahan Hadis
Nabi, (Yogyakarta: LKIS, 2007), h. 3
51
Ali Masrur, Teori Common Link G.H.A Juynboll: Melacak Kesejarahan Hadis
Nabi, h. 4
52
Michael Cook, Early Muslim Dogma: A Source Critical Study. (Cambridge:
Cambridge University Press, 1981), h. 109
38

masif. Oleh karena itu, Cook berpandangan bahwa teori common link tidak dapat
digunakan untuk menelusuri asal-usul, sumber, dan kepengarangan hadis.53
3. Teori The Spread of Isnad
Michael Cook mencetuskan teori The Spread of Isnad (penyebaran isna>d)
untuk menjelakan proses terjadinya penciptaan dan berkembangnya jalur sanad.
Secara implisit teori ini menyatakan bahwa sistem periwayatan hadis setidaknya
terjadi dalam tiga skenario dan seluruh jalur dengan tiga skenario tersebut adalah
palsu.54
Pertama, melompati periwayat yang sezaman. Pada proses ini, Cook
memberikan analogi sebagai berikut: Misalnya C dan B adalah orang yang baru
muncul belakangan. Lalu C belajar sesuatu hal dari B.55 Lalu B sendiri
mendapatkan hal tersebut dari A. Jika C berusaha untuk jujur, maka C akan
mengatakan: C mendapatkan ilmu ini dari B, dan B dari A. Sehingga bentuk
diagram isnad> nya akan berbentuk seperti ini:

Akan tetapi terkadang meskipun C tidak mendapatkan langsung dari A, C


malah mengatakan bahwa ia mendapatkan dari A. Hal ini karena C meyakini bahwa

53
Ali Masrur, Teori Common Link G.H.A. Juynboll; Melacak Akar Kesejarahan
Hadis Nabi, h. 185.
54
Michael Cook, Early Muslim Dogma: A Source Critical Study (Cambridge:
Cambridge University Press, 1981), h. 107
55
Ilustrasi lain dari penjelasan Cook disampaikan lebih simpel oleh Ali Masrur berikut ini:
‚Pada proses pertama misalnya Ibn Jubair dan Ibn Juraij adalah kawan sezaman dan kemudian Ibn
Juraij belajar hadis kepada Ibn Jubair. Lalu ibn Jubair mengatakan mendapatkan hadis dari gurunya,
yaitu Ibn ‘Abba>s. Jika Ibn Juraij adalah seorang yang jujur dan dapat dipercaya, maka ia akan
meriwayatkan hadis itu dari Ibn Jubair dari Ibn ‘Abba>s. Sehingga diagram isnad nya akan seperti
diagram diatas‛, lihat Ali Masrur, Teori Common Link G.H.A Juynboll,, h. 185.
39

dalam sistem isna>d, jalur isna>d yang terpendeklah yang lebih bagus daripada yang
panjang.56 Sehingga bentuk isna>dnya menjadi seperti ini:

B C

Kedua, menyandarkan hadis pada seorang guru yang berbeda. Pada


skenario kedua ini, Cook meyakini penyebaran isna>d mulai terjadi.57 Cook kembali
mengilustrasikan dengan redaksi sebagai berikut: ‚Kamu meriwayatkan hadis dari
gurumu. Lalu saya tertarik dengan hadis tersebut dan ingin meriwayatkannya tanpa
terkait dengan keberadaan kamu. Namun bukannya meriwayatkan dengan mengaku
telah menerima dari gurumu, saya malah mengaku mendapat hadis dari guru saya.
Hal ini bisa saja karena saya belum pernah bertemu dengan guru kamu (makanya
saya lebih memilih menyebut guru saya karena jelas saya bertemu dengan guru
saya), atau karena bagi saya gurumu tidak layak masuk dalam jalur isnad> , atau
karena ada pertimbangan politik.‛58 maka hasil dari tindakan tersebut berakibat
> sebagai berikut:59
pada bercabangnya jalur isnad

56
Pada bagian ini Ali Masrur kembali melanjutkan ilustrasinya: ‚Akan tetapi
meski Ibn Juraij tidak secara langsung menerima hadis dari Ibn ‘Abba>s, guru Ibn Jubair, bisa
saja ia tidak meriwayatkan dari teman sezamannya, namun langsung dari gurunya, Ibn
‘Abba>s dengan cara meloncatinya (meloncati Ibn Jubair). Sikap ini didasari dengan
keyakinan bahwa isnad yang baik adalah isnad yang pendek karena secara ideal seseorang
seharusnya mendengarkan sebuah hadis secara langsung dari orang yang mengatakannya.
Dan semakin sedikit periwayat yang menyalahinya, maka semakin baik isnadnya sehingga
diagramnya menjadi seperti diagram diatas‛, lihat Ali Masrur, Teori Common Link G.H.A
Juynboll, h. 185-186.
57
Michael Cook, Early Muslim Dogma: A Source Critical Study, h. 110
58
Michael Cook, Early Muslim Dogma: A Source Critical Study, h. 110
59
Skenario kedua ini diilustrasikan oleh Ali Masrur sebagai berikut: ‚Misalnya Abdullah
menyampaikan sebuah matan hadis kepada Ibn Sa’id yang ia dengar dari Ibn Jubair. Dia sendiri
menerimanya dari Ibn ‘Abba>s (gurunya). Daripada mengklaim telah mendengar hadis dari Ibn Jubair,
guru Abdullah, Ibn Sa’id menyandarikan hadis dari Ibn ‘Abba>s tersebut kepada gurunya sendiri, Ibn
Juraij. Ini dilakukan oleh Ibn Sa’id karena ia mungkin tidak pernah bertemu dengan Ibn Jubair atau
Ibn Jubair tidak dianggap sebagai periwayat yang dapat diterima oleh kelompok Ibn Sa’id. Untuk
menghindari persoalan ini, ia menyandarkan hadis tersebut kepada gurunya sendiri, Ibn Juraij. Hal ini
mengakibatkan isnad hadis tersebut bercabang seperti diagram diatas.‛ Lihat Ali Masrur, Teori
Common Link G.H.A Juynboll, h. 186
40

B C

D E

Ketiga, mengatasi persoalan hadis-hadis yang ‚terisolasi‛.60 Skenario yang


ketiga ini diakui oleh Cook merupakan fenomena yang ditemukan dan dianggap
oleh Schacht sebagai penyebab berkembangnya isna>d. Cook meyakini bahwa
penyebaran isnad > ini dilakukan untuk mengatasi keberatan-keberatan yang diajukan
ahli hadis pada masa periwayat tersebut atas hadis-hadis yang menyendiri (infirad> ).
Hadis-hadis yang menyendiri ini (khabar al-wah> id, khabar al infirad> ) tidak dapat
diterima sebagai hadis otentik karena sebuah hadis dapat diterima jika
diriwayatkan sekurang-kurangnya oleh dua orang saksi yang terpercaya.
Tiga skenario yang disajikan oleh Cook, merupakan gambaran terjadinya
penyebaran dan penciptaan jalur isnad> , yaitu para periwayat hadis terbiasa
menciptakan isna>d-isna>d tambahan untuk mendukung sebuah matan hadis yang
sama. Cook berpendapat bahwa pemalsuan hadis telah dilakukan secara massif
dengan skala besar oleh para perawi hadis. Oleh karena itu, bagi Cook mayoritas
hadis tidak dapat diterima sebab perawinya telah melakukan berbagai rekayasa.61
4. Teori External Criteria
Salah satu fokus dari penelitian hadis yang dilakukan oleh orientalis adalah
mencari asal usul hadis dengan mempertanyakan kapan, siapa dan dimana hadis itu
dibuat, apakah ia benar-benar otentik bersumber dari Nabi Muhammad atau tidak.
Bagi orientalis, kebanyakan dari mereka meragukan bahkan sampai yakin bahwa
tidak ada hadis yang otentik dari Nabi Muhammad, semua hadis merupakan hasil
rekayasa dan ciptaan para ulama hadis. Untuk membuktikan itu, para orientalis

60
Yang dimaksud dengan hadis yang ‚terisolasi‛ adalah hadis-hadis yang infirad >
atau single strand. Bagi Cook, awalnya hadis-hadis ini berjalur tunggal, namun karena ahli-
ahli hadis atau si terduga pemalsu membutuhkan legalitas yang kuat atas hadisnya lalu si
terduga pemalsu ini menambahkan jalur-jalur yang lain sehingga menambah jalur yang
sudah ada.
61
Michael Cook, Early Muslim Dogma: A Source Critical Study, h. 111
41

melakukan penelusuran sejarah dengan melakukan penanggalan (dating), yaitu


menaksir kapan suatu hadis itu dibuat.62
Cook menawarkan alternatif penanggalan hadis. Jika Schacht dan Juynboll
mencari sumber atau penanggalan hadis via teori Common Link, Cook menawarkan
pencarian penanggalan lewat istilah yang dia sebut sebagai ‚external criteria‛.
‚Kriteria ekternal‛ ini menurut Cook bisa menunjukan kapan dan sumber hadis
tersebut.63
‚Kriteria eksternal‛ ini berupa risalah-risalah atau data kesejarahan yang
bisa menguak persoalan kapan hadis tersebut muncul. Dengan menggunakan
adanya ‚kriteria eksternal‛ Cook menghindari pencarian penanggalan hadis lewat
Common Link yang baginya hanya langkah yang sia-sia. Penelitian ini menilai
bahwa metode alternatif penanggalan hadis yang diajukan Cook bisa digunakan.
Dengan menggunakan ‚kriteria ekternal‛ maka seorang observer bisa menemukan
benang merah dari petunjuk (clue) informasi historisitas hadis yang diteliti.
Terkadang seorang observer hanya berfokus pada jalur-jalur isnad> saja atau fokus
pada Common Link (sebagaimana Schachtian) dan melupakan ‚konteks historis‛
yang melekat pada hadis tersebut. Padahal jalur-jalur isnad> atau Common Link
terkadang menyimpan bias sebagaimana dalam 3 skenario penyebaran isnad> .
Jika diperhatikan secara seksama, sebenarnya tawaran alternatif dari Cook
ini berupa ‚kriteria ekternal‛ bisa di sandingkan dengan teori milik Harald Motzki,
yaitu teori Isnad
> cum Matan. ‚Kriteria ekternal‛ milik Cook akan menambah daya
jangkau dari teori milik Motzki dan memperdalam penelusuran atas asal muasal
hadis.
Namun satu hal yang perlu disadari, pencarian data ‚kriteria ekternal‛ ini
bukan langkah yang mudah. Terkadang justru sangat sulit karena terbatasnya
keberadaan data sejarah masa hadis yang bisa diakses. Untuk mempermudah akses
dengan cara mengumpulkan data-data dari kitab Rijal> , Asbab> al-Nuzul> , sejarah
umum dan sebagainya.64
5. Polemik Penulisan Hadis
Dalam The Opponents of the Writing of Tradition in Early Islam Michael
Cook secara apik menggambarkan bagaimana polemik penentangan terhadap
penulisan hadis. Cook mengklasifikan oposisi penulisan hadis pada masa awal
Islam ke dalam dua fase, yaitu fase Basrah dan fase umum yang meliputi Kufah,
Madinah, Makkah, Yaman, dan Syria, beserta argumen yang dibangun masing-

62
Kamaruddin Amin, ‚Western Methods of Dating vis-a-vis Ulumul Hadis:
Refleksi Metodologis atas diskursus Keserjanaan Hadis Islam dan Bara‛, http://www.uin-
alauddin.ac.id/uin-982-html, h. 5 (Diakses pada 14 Oktober 2019)
63
Michael Cook, Early Muslim Dogma: A Source Critical Study, h. 115
64
Michael Cook, Early Muslim Dogma: A Source Critical Study, h. 115
42

masing fase, juga pola kompromi yang ditempuh untuk menghubungkan dua
pendapat yang berseberangan tersebut.65
Dari hasil riset yang dilakukan oleh Cook, ia menemukan bahwa baik
tokoh-tokoh hadis di Basrah pada abad kedua Hijriyah adalah orang-orang yang
tidak ingin menulis hadis, seperti Ibn Si>ri>n (w. 110 H), Ayyu>b as-Sakhtiyani> (w.
132 H), dan Ibn ‘Aun (w. 151 H). Sikap orang-orang Basrah banyak melakukan
penentangan terhadap penulisan hadis ini dikaitkan Cook dengan adanya hadis Nabi
Saw. yang menentang penulisan hadis. Cook tidak hanya mensinyalir bahwa orang-
orang Basrahlah yang paling banyak berperan dalam mempropagandakan hadis
tentang larangan penulisan hadis ini, melainkan ia juga menyatakan bahwa
sebenarnya hadis-hadis ini memang diciptakan di sana.66
Fase kedua, adalah fase umum yang meliputi Kufah, Makkah, Madinah
Yaman, dan Syria. Jika pada fase Basrah resistensi penentangan penulisan hadis
sangat besar maka berbeda pada pada fase kedua ini. Meskipun ada banyak yang
menentang penulisan hadis di berbagai kota (Kufah, Makkah, Madinah Yaman, dan
Syria). Namun, sudah muncul beberapa tokoh yang membolehkan penulisan hadis,
di antaranya: Muhammad ibn Syihab az-Zuhri> (w. 124 H) di Madinah, Khashib ibn
Jahdar (w. 122 H) di Kufah, dan Wasilah ibn al-Asqa (w. 83) di Syria.67
Jika polemik yang terjadi pada fase umum melahirkan dua kutub: Satu
kutub menyetujui penulisan hadis sedangkan kutub lain menentang penulisan
tersebut. Maka pada fase berikutnya, yakni abad ketiga Hijriyah, polemik ini
mereda, di antaranya dengan mengambil pola kompromi dalam rangka menyatukan
dua kutub berbeda ini. Kompromi ini mengambil bentuk dengan adanya toleransi
bagi penulisan hadis.68
Pola kompromi yang terjadi pada abad ketiga Hijriyah memberi pengaruh
pada penciptaan suasana yang mendukung para muhaddisi>n untuk melakukan
pencatatan dan pembukuan hadis. Dukungan dari otoritas penguasa saat itu juga
65
Michael Cook, ‚The Opponents of The Writing of Traditional in Early Islam‛, h.
29-31
66
Argumen yang dibangun Cook adalah peran Abu> Sa’i>d al-Khudri>. Ia tidak saja
menjadi sumber tunggal periwayat yang menyampaikan hadis tentang larangan penulisan
hadis dalam kampanyenya menentang penulisan, tetapi ia juga menghitung dirinya sebagai
otoritas dalam riwayatnya sendiri, yang dibuktikan dengan banyaknya hadis lainnya yang
menyebutkan bahwa ia menolak mengijinkan para muridnya untuk menulis hadis. Cook
menuturkan bahwa Abu> sa’i>d bukan satu-satunya sahabat dari Hijaz yang diminta
bantuannya oleh orang-orang Basrah untuk menentang penulisan. Mereka juga
mengerahkan Abu Hurairah, Ibn Umar, Zaid ibn Tsabit, dan Ibn Abbas. Lihat Michael
Cook, ‚The Opponents of The Writing of Traditional in Early Islam‛, h. 29
67
Michael Cook, ‚The Opponents of The Writing of Traditional in Early Islam‛, h.
29
68
Michael Cook, ‚The Opponents of The Writing of Traditional in Early Islam‛, h.
30
43

memotivasi para tokoh hadis untuk produktif menciptakan karya-karya hadisnya,


seperti al-Bukhari dengan al-Ja>mi’ as}-S{ah}i>h}nya. Demikian pula dengan Imam
Muslim. Juga Imam an-Nasa’i, Abu Dawud, at-Tirmidzi, ad-Darimi dan Ibn Majah
yang menghasilkan karya Sunannya. Sehingga wajar jika dalam sejarah
perkembangan hadis abad ketiga ini disebut sebagai masa keemasan kodifikasi
hadis-hadis Nabi Saw.69
Demikianlah gambaran umum pemikiran hadis Michael Cook. Pada
dasarnya masih ada beberapa pemikiran hadis Cook yang dapat diakses dalam
beberapa karyanya, seperti dalam karyanya yang berjudul: Eschatology and the
Dating of Traditions (1992), The Heraclian Dynasty in Muslim Eschatology (1992),
An Early Islamic Apocalyptic Chronicle (1993), Ibn Qutayba and the Monkeys
(1999), dan Hadith and Muhammad, (1999). Selanjutnya akan dijabarkan pemikiran
hadis Michael Cook tentang asal usul sanad pada bab IV berikut.

69
Michael Cook, ‚The Opponents of The Writing of Traditional in Early Islam‛, h.
31
BAB III

DISKURSUS PEMIKIRAN MICHAEL COOK TENTANG


SANAD DAN ASAL-USULNYA

A. Pengertian Sanad Menurut Michael Cook


Pada dasarnya Michael Cook tidak pernah menjelaskan tentang bagaimana
pengertian sanad yang dipahaminya. Dalam berbagai karyanya tidak ditemukan
penjelasan tentang pengertian sanad. Sebagaimana pada umumnya, para orientalis
sebelum Cook juga demikian, mereka tidak memberikan penjelasan tetang
pengertian sanad. Meskipun pada umumnya kajian yang dilakukan oleh para
orientalis lebih banyak terfokus dan terpusat pada persoalan sanad dibanding
matan, tapi mereka tidak membuat pengertian dan definisi terhadap sanad. Selain
itu, para orienatalis juga tidak mempersoalkan pengertian sanad yang dibuat oleh
ulama hadis.
Menurut Siti Fahimah dalam karyanya yang berjudul ‚Sistem Isna>d dan
Otentisitas Hadits: Kajian Orientalis dan Gugatan atasnya‛, ia menjelakan bahwa
pandangan orientalis tetang pengertian sanad tidak jauh berbeda dengan apa yang
dikenal di kalangan para sarjana muslim, yaitu sekumpulan perawi yang
mentransmisikan suatu berita dari Nabi Saw.1 Oleh karena itu, tidak ada perbedaan
pandangan antara ulama hadis dan orientalis tentang pengertian sanad, termasuk
dalam hal ini adalah Michael Cook.
Konstruksi pemikiran orientalis dalam mengkaji hadis berbeda dengan
ulama hadis. Jika ulama hadis mengkaji sanad pertama-tama dengan memberikan
pengertian kemudian menitip beratkan pada kajian kualitas para perawinya, maka
orientalis lebih banyak mengkaji sanad pada persoalan lain, yaitu lebih banyak
menekankan pada lingkup historisitasnya. Kajian yang mereka lakukan lebih
banyak menyoroti tentang bagaimana asal-usul sanad dan kapan mulai digunakan
dalam periwayatan hadis.
Oleh karena itu, bila Michael Cook tidak memberikan pengertian terhadap
sanad dan juga tidak mempersoalkan pengertian sanad yang dibuat oleh ulama
hadis maka dengan demikian dapat dikatakan bahwa pengertian sanad yang
dipahami oleh Michael Cook sama dengan pengertian sanad yang dipahami oleh
ulama hadis. Adapun pengertian sanad menurut ulama hadis terdapat beberapa
pengertian, yaitu antara lain:

1
Siti Fahimah, Sistem Isnad dan Otentisitas Hadits: Kajian Orientalis dan
Gugatan atasnya, Jurnal Ulul Albab Volume 15, No. 2 Tahun 2014, h. 210

44
45

1. Al-Suyuti menulis definisi sebagai berikut:


ُِ ْ َ ‫اإل ْخ َبارُُ َع ْنُُ َط ِريْ ِقُُ ْامل‬
‫ت‬
ّ
‚Informasi tentang jalan atau silsilah matan hadis‛.2
2. Mah}mud al-Tahha>n memahaminya dengan:
ُِ‫ِسلْ ِس َلُُ ِامر َجالُُِامْ َم ْوض ْو َُِلُ ِنلْ َم ْت‬
‚Silsilah orang-orang yang meriwayatkan hadis yang menyampaikan kepada
matan hadis‛.3

3. Ajja>j al-Khati>b mendefenisikannya dengan:


ُِ َ ُ‫ِسلْ ِس َلُُ ُّامر َواُِة‬
َُ ْ ‫اّل ْي َنُُهَقَل ْواُامْ َم‬
ُ ُِ‫تُ َع ُْنُ َم ْطدَ َرُِةُ ْا َأل َول‬
‚Silsilah para perawi yang menukilkan hadis dari sumbernya yang pertama‛.4
4. Ibnu Hajar memberikan pengertian sanad dengan:
ُ ُُِ‫امطُِرُيْقُُامُْ َُم ُْوضُ ْوُ َُلُاُ َ ُلُامُْ َُم ْت‬
َُ
ّ
Jalan yang menghubungkan ke matan.5
Dari berbagai macam defenisi ulama hadis di atas, meskipun terlihat
berbeda tapi pada dasarnya memiliki subtansi yang sama, yaitu sanad adalah
silsilah atau mata rantai para perawi hadis mulai dari mukharri>j (yang
mengeluarkan hadis dari kitabnya) sampai pada perawi yang mengetahui matan
hadis. Contoh sanad dalam sebuah hadis sebagai berikut:

ُ‫ض ُللاُ ُ َُعُْنوُ ُ َُع ُِن‬ ُ‫ي ُ َعُ ْنُ ُ ُش ُْعَُب َُة ُ َُع ْنُ ُقَُُتَا َُد َةُ ُ َُع ْنُ ُ َأُو َ ِسُ ُ ْب ِن ُ َم ِ ك‬
َُ ِ ‫ال ُ َُر‬ َُْ َ‫َُح َُدثَُُنَاُمُ َُس َُددُ ُقَُا َُل ُ َُح َُدثَُُن‬
ُ َ ‫اُي‬
ُ‫ُ(رواه‬.‫اُي ُّ َّ ُ ِمنَ ْس ِس ُِو‬
ِ ‫ُي َ َّ ُ َُأل ِخ ْه ِو ُ َم‬ِ ََّ ََ ُ ُْ ‫ُإل ُي ْْ ِمن ُ َأ َحد‬: َُ ُ ‫ىلُللا ُ ُعَُلَُْي ُِو ُ َُو ُ َُس َ ّْلُ ُُقَا َُل‬
ُ ‫ب ُ َُض‬ ُِ ِ َ‫امُن‬
ُ )‫امبخارى‬
‚Telah menceritakan kepada kami Musaddad, berkata telah menceritakan
kepada kami Yahya dari Syu’bah dari Qata>dah dari Anas bin Ma>lik dari Nabi

2
Abd Rahman bin Abi Bakar al-Suyuti, Tadrib al-Rawi, (Riyad: Maktabah al-
Riyadh al-Hadisah, t.th.), h. 41.
3
Mahmu>d T{ahha>n, Taisir Musthalah al-Hadis (Cet. VIII; Riyadh: Maktabah al-
Ma’arif, 1407 H/1987 M), h. 10.
4
Muhammad Ajjad al-Khatib, Ushul al-Hadis, Ulummuh wa Musthalahuh (Cet.
III: Bairut: Dar-Fikr, 1395 H/1975 M), h. 32.
5
Ibnu Hajar, Syarah} Nukhbah al-Fika>r (Beirut: Da>r al-Fikr, 1990), h. 56
46

Saw. beliau bersabda: ‚Tidak beriman salah seorang di antara kamu hingga
dia mencintai saudaranya sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri‛ (HR.
al-Bukhari).6

Pada hadis di atas terdapat adanya silsilah para perawi yang membawa kita
sampai kepada matan hadis, yaitu al-Bukhari> dari Musaddad dari Yahya dari
Syu’bah dari Qata>dah dari Anas dari Nabi Saw. Rangkaian nama-nama itulah yang
disebut dengan sanad dari hadis tersebut, karena merekalah yang menjadi jalan bagi
kita untuk sampai ke matan hadis dari sumbernya yang pertama. Mereka secara
berantai dan sandar menyandar dari si A ke B dari B ke C dan seterusnya disebut
sanad. Sedangakan al-Bukhari disebut sebagai perawi atau mukharri>j artinya dialah
yang menyebutkan hadis tersebut dalam kitab karyanya Al-Ja>mi’ Ash-Shahi>h li al-
Bukha>ri>.7
Untuk mempermudah pemahaman dari penjelasan di atas maka berikut ini
dijelaskan dalam bentuk tabel:

ُ‫حدثناُمسددُقالُحدثناُييُعنُشعبةُعنُقتادةُعنُأوسُرضُللا‬
Sanad Hadis
‫عنوُعنُامنبُضىلُللاُعليوُوُسّل‬

Matan Hadis ُ‫اُي ُّ َُّ ِمنَ ْس ِس ِو‬


ِ ‫ َُّ َأل ِخ ْه ِوُ َم‬ ِ ََّ ََ ُُْ ‫إلُي ْْ ِمنُ َأ َحد‬
َُ ‫ُي‬
Mukharri>j ‫امامُامبخارى‬

Sebuah hadis dapat memiliki beberapa sanad dengan jumlah penutur atau
perawi yang bervariasi dalam lapisan sanadnya, lapisan dalam sanad disebut
dengan thabaqah, signifikansi jumlah sanad dan penutur dalam tiap thabaqah sanad
akan menentukan derajat hadis tersebut. Jadi, yang perlu dicermati dalam
memahami hadis terkait dengan sanadnya adalah keutuhan sanadnya, jumlahnya,
dan perawi akhirnya. Adapun sebutan sanad hanya berlaku pada serangkaian orang,
bukan dilihat dari sudut pribadi seseorang. Sebutan untuk pribadi yang
menyampaikan hadis dilihat dari sudut orang per-orangan disebut rawi.8

6
Imam Bukhari, Al-Ja>mi’ Ash-Shahi>h li Al-Bukha>ri>, Juz I, (Beirut: Dar Ibnu
Katsir, 1987), h. 14
7
M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadis (Bandung : Angkasa, 1991), h. 17.
8
Solahudin, M.Agus & Agus Suryadi. Ulumul Hadis.Bandung (Pustaka Setia,
2011), h. 92
47

Dalam ilmu hadis ada beberapa istilah yang erat kaitannya dengan istilah
sanad ‎ ierepes isna>d, musna>d, dan musni>d.‎ Adapun penjelasan ketiganya sebagai
berikut:
a. Secara bahasa, kata Isna>d satu akar dengan kata sanad dengan menambahkan
Hamzah yang berfungsi mengubah kata kerja intransitif (‫ )الفعل الالزم‬menjadi kata
kerja transitif (‫ )الفعل المتعدى‬yang berarti menyandarkan, menegaskan,
(mengembalikan ke asal) yang dimaksudkan‎ al-isna>d di sini adalah
menyandarkan hadis pada orang yang mengatakannya atau dalam bahasa lain
mengasalkan hadis pada orang yang mengatakannya. Akan tetapi isna>d juga
digunakan untuk menyebutkan suatu rangkaian periwayat hadis. Dengan kata
lain, ulama hadis menyamakan pengertian sanad dengan isna>d. Hal ini dapat
dilihat dari ungkapan mereka (‫(هذا الحديث روي بإسناد صحيح‬. Sehingga ulama
‎ mhaditsi>n memandang kedua istilah tersebut mempunyai pengertian yang
u
sama, yang ‎ eamnarn‎ anrne‎ asrn ns‎ ie npn‎ uepkantian.‎9 Jika isna>d dalam ilmu
hadis diartikan sama dengan sanad, itu berarti isna>d mempunyai pengertian yang
sama dengan sanad yaitu: Jalan matan hadis atau silsilah para rawi yang
menukilkan matan hadis dari sumbernya yang pertama. Untuk dalam tulisan ini,
sesuai pendapat jumhur ulama hadis, istilah sanad dan isna>d juga dipakai untuk
pengertian yang sama.
b. Musna>d mempunyai beberapa arti yang berbeda dengan istilah isna>d.‎ Musna>d
adalah bentuk isim maf’u>l dari kata kerja asnada, yang berarti sesuatu yang
disandarkan kepada yang lain.10Pertama, musna>d berarti hadis yang
diriwayatkan dan disandarkan (di-isna>d-kan) kepada seseorang yang
membawanya,‎ seperti dalam contoh hadis yang diriwayatkan imam al-Bukhari
di atas. Kedua, musna>d berarti nama suatu kitab yang menghimpun hadis-hadis
‎ aeakna‎ isieeu‎ rearmimana‎ uepaninp na‎ anun‎ rnpn‎ insnune‎ pnes hadis, seperti
kitab Musna>d Ah}mad Bin H{anbal, Musna>d Abi> Da>wud, Musna>d Abu Bakar
‘Abdulla>h, Musna>d Asa>d bin Musa>wa al-Uma>wi> dan lain-lain.‎ Ketiga musna>d
berarti nama bagi hadis yang mempunyai kriteria ‎marfu’ (disandarkan kepada
Nabi Saw) dan mutthasil (sanadnya ‎‎uepinuumak‎inurns‎ ernan Nabi SAW)‎.
c. Musni>d adalah isim fa>’il yang berasal dari asnada-yusnidu, yang berarti ‚orang
yang menyadarkan sesuatu kepada yang lainnya‛. Sedangkan pengertiannya
dalam istilah Ilmu Hadis adalah setiap perawi hadis yang meriwayatkan hadis
dengan menyebutkan sanadnya, apakah ia mempunyai pengetahuan tentang
sanad tersebut, atau tidak mempunyai pengetahuan tentang sanad tersebut,
tetapi hanya sekadar meriwayatkan saja.

9
Solahudin, M.Agus & Agus Suryadi. Ulumul Hadis.Bandung, h. 25
10
Mahmud at-Thahan, Taisir Must}halah al-Hadi>s, h. 15.
48

B. Sejarah Asal-usul Sanad


Sebelum membahas pemikiran Michael Cook tentang sejarah asal-usul
sanad, penting juga terlebih dahulu diuraikan di sini mengenai pandangan ulama
hadis dan orientalis tentang sejarah sanad. Sehingga akan terlihat jelas bagaimana
perbandingan sejarah sanad versi ulama hadis dan versi orientalis. Secara garis
besar terdapat perbedaan pendapat antara ulama hadis dan orientalis tentang
sejarah awal mula penggunaan sanad. Selain itu, Michael Cook juga memiliki versi
sejarah sendiri yang berbeda dengan ulama hadis dan orientalis lainnya. Oleh
karena itu, di sini terlebih dahulu akan dijelaskan sejarah awal mula penggunaan
sanad versi ulama hadis dan versi orientalis.
1. Sejarah Sanad Menurut Ulama Hadis
Muhammad Mustafa al-‘Azami menuturkan bahwa tradisi penggunaan
sanad sudah ada sejak masa Nabi Saw. Para sahabat sudah terbiasa meriwayatkan
hadis ketika Nabi Saw masih hidup, di mana mereka yang hadir dalam majelis
pengajian Nabi Saw memberitahukan kepada mereka yang tidak hadir tentang hal-
hal yang mereka dengar dalam majelis tersebut. Pada waktu menuturkan hal-hal
yang mereka dengar atau hal-hal yang mereka lihat dari Nabi Saw, mereka selalu
menisbatkannya kepada Nabi Saw. Bahkan Nabi Saw sendiri terkadang
menyebutkan bahwa sumber sabdanya itu berasal Jibril As. Dan begitupun para
sahabat juga menuturkan sumber-sumber berita yang diterimanya, baik Nabi Saw
maupun sahabat yang lain. Apabila yang meriwayakan hadis itu tidak melihat
sendiri kejadiaanya dan tidak mendengarnya langsung dari Nabi Saw, maka dengan
sendirinya ia akan menyebutkan sumber hadis itu dari mana ia menerimanya. Inilah
sebenarnya yang disebut pemakaian sanad. Dan metode yang dipakai para sahabat
pada masa Nabi Saw itulah yang kemudian melahirkan isna>d atau metode pemakain
sanad.11
Namun tentu saja penggunaan sanad pada masa Nabi Saw masih sangat
sederhana. Mereka tidak pernah mempersoalkan bagaiman kredibilitas para sahabat
lain yang menyampaikan hadis kepada mereka. Ini dikarenakan mereka masih
saling mempercayai, menjaga dan mempunyai komitmen dengan keislaman mereka.
Sudah menjadi kebiasaan di kalangan sahabat untuk saling bertanya dan
menyampaikan hadis. Bahkan di antara mereka membuat aturan khusus untuk
saling menggantikan dalam menghadiri majelis Nabi saw, seperti yang dilakukan
Umar dan tetangganya.12 Karena itu, merupakan suatu hal yang wajar apabila

11
Muhammad Mustafa Azami. Studies in Early Hadith Literature with a Critical
Edition of some Early Teks (Beirut : Al-Maktab al-Islami, 1966), h. 531
12
Umar bin Khattab mengatakan : ‚Kami dengan seorang tetangga dari golongan
Anshar di kampung Bani Umayyah bin Zaid di pinggiran (‘ awaly) kota Madinah saling
bergantian untuk mengikuti majelis ta’lim yang diadakan oleh Nabi Saw. Apabila dia yang
ikut aku diberitahukan tentang hal-hal yang diajarkan oleh Rasulullah Saw., baik berupa
49

dalam menyampaikan sebuah berita (hadis), mereka menggunakan ungkapan ‚Nabi


berbuat begini-begitu‛ atau ‚Nabi berkata ini-itu‛. Metode-metode seperti inilah
yang kemudian menjadi cikal bakal kelahiran sistem sanad. Dan inilah awal
penggunaan sistem sanad dalam Islam.13
Namun pasca wafatnya Nabi, ketika kekuasaan Islam telah meluas dan
pemeluknya semakin banyak, para sahabat mulai bertanya tentang sanad hadis.
Puncak dari aktivitas ini adalah ketika peristiwa terjadinya fitnah al-kubro14 yang
menyebabkan munculnya pemalsuan hadis. Sejak saat itu, para sahabat semakin
berhati-hati dan mulai menyeleksi sumber pemberitaannya. Hal ini seperti
ditegaskan Ibn Si>ri>n, beliau berkata:

ُّ ُ‫اُر َجُ ُامَ ُْكُفَُهُُْن َُظرُُ ِاُ َ ُلُ َأُ ُْى ُِل‬
ُ‫امسُُنَ ُِة‬ ُُّ َ ‫تُامُْ ِسُُْتُنَ ُةُقَُ ُام ُْو‬
ُِ َ‫اُس ُْواُمُ َُن‬ َُ ‫ُم َ ُْمُيَُكُ ْوهُ ُْواُُي َ ُْسُأَمُ ُْو َنُُ َُع ُِنُ ْاُ ُإل ْسُُنَا ُِدُُفَلََُُم‬
ُِ ‫اُوُقََُع‬
ّ
ُ ‫ُفَهُُأِ َخُذُُ َحُ ُِدُْيثَُ ُْمُ َُوُيُْن َُظرُُُِا َ ُلَُُأ ُْى ُِلُُْام ِبُدَُ ِعُُُفَ َلُُُيُأِ َخُذُُ َحُ ُِد ْيُثُ ُْم‬
‚Dulu mereka (para ulama) tidak pernah bertanya tentang sanad. Namun
ketika terjadi fitnah, mereka pun berkata : sebutkan pada kami rijal kalian.
Apabila ia melihat rijal tersebut dari kalangan ahl al-Sunnah, maka diterima
hadisnya, dan jika dari kalangan ahl al-Bid’ah, maka tidak diterima.15

Hanya saja, tidak dapat diartikan bahwa eksistensi sanad baru muncul
setelah terjadinya tragedi fitnah sebab mempertanyakan sanad hadis telah ada
sebelum fitnah terjadi, meski tidak banyak orang yang melakukannya. Disadari atau
tidak oleh para sahabat, sanad sebagai silsilah periwayat hadis telah muncul pada
zaman Nabi Saw. Pada saat itu tidak semua sahabat menghadiri setiap majelis ilmu
Rasulullah karena sibuk dengan urusan pemerintahan, perniagaan, pertanian, dan
lain-lain sehingga sebagian sahabat yang hadir ke majelis Nabi kemudian
menyampaikan hadis itu kepada sahabatnya yang tidak hadir.

wahyu atau lainnya. Dan apabila aku yang ikut majelis pengajian tersebut, maka aku yang
memberitahukan isi pengajian tersebut kepadanya‛. Lihat Abi ‘Abdillah Muhammad bin
Isma’il al-Bukhari, Shahih al-Bukhari bi Hasyiah al-Sindy, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th) Jilid
III, h. 259, Kitab Nikah, Bab Mau’izah alRajul ibnatuha li Hal Zaujiha.
13
Muhammad Mustafa Azami. Studies in Early Hadith Literature with a Critical
Edition of some Early Teks, h. 531
14
Fitnah al-Kubro adalah peperangan, perselisihan dan perpecahan yang terjadi
pada umat Islam generasi awal. Mengenai kapan terjadinya peristiwa tersebut terdapat ada
tiga pendapat, yaitu: pertama, ketika masa terbunuhnya Usman. Kedua, pada masa Ali
berperang melawan Mu’awiyah. Ketiga, pada saat perang Karbala dengan terbunuhnya
Husein ibn Ali. Lihat Toha Hussein, Fitnah Kubra, Malapetaka Besar dalam Sejarah Islam
(Jakarta: Pustaka Jaya, 1985), h. 254
15
‘Abd al-Qa>dir Mahmu>d al-Bakka>r, Qawa>’id al-Tahdi>ts (Kairo: Da>r Sala>m, 2008),
h. 30
50

Pada masa Rasulullah, para sahabat betul-betul menjaga diri dari sikap dan
sifat-sifat tercelah seperti berbohong, berkhiat atau menipu baik dalam kehidupan
sehari-hari maupun berkenaan dengan hadis Nabi Saw. Karena tidak ada
kebohongan di antara mereka, maka sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Al-
Bara>’ ibn ‘A<zib (w. 72 H), para sahabat tidak mengenal apa itu dusta. Hal ini
misalnya terlihat pada kasus Anas bin Ma>lik (w. 93 H) yang begitu marah ketika
dikatakan kepadanya ‚Apakah Anda mendengarnya sendiri dari Rasulullah?‛ Ia
menjawab bahwa tak seorang pun dari kalangan sahabat yang berdusta satu sama
lain.16 Hal itu berbeda dengan setelah terjadinya fitnah, orang-orang mulai berdusta
satu sama lain, bahkan sebagian mereka berdusta atas nama Rasulullah dengan
membuat hadis-hadis palsu. Dengan demikian, tragedi fitnah menjadi garis
pembatas yang jelas tentang awal-mula umat Islam mempersoalkan sanad hadis
yang sebelumnya mereka tidak begitu mempersoalkannya. Dengan kata lain,
tragedi fitnah menjadi garis pembatas antara kejernihan sunnah yang terjadi
sebelum fitnah dengan sunnah yang telah terkontaminasi polusi kepentingan
setelah terjadinya fitnah.17
Pada masa-masa setelah terjadinya fitnah itu, hadis banyak ditumpangi
berabagai kepentingan seperti kepentingan politik, kultus individu, chauvinisme,18
fanatik mazhab, dan lain-lain. Orang-orang yang tidak bertanggung jawab dengan
sengaja membuat hadis-hadis palsu lengkap dengan sanadnya, bahkan ada yang
membuat sanad ‘ali> untuk memperkuat kecenderungan mereka. Akibatnya, hadis-
hadis palsu kemudian tersebar dikalangan masyarakat muslim bercampur dengan
hadis-hadis yang shahih. Sebagian umat Islam tentunya, mengalami kesulitan
memilih mana hadis yang shahih dan mana yang palsu. Hanya saja, hal ini tidak
dibiarkan berlanjut terus menerus. Para ulama mengantisipasi kekacauan ini dengan
cara meneliti sanad dan matan hadis serta mengkaji keberadaan para periwayatnya,
apakah mereka terkena polusi kepentingan seperti ahli bid’ah atau tidak, meski
sebelumnya mereka saling percaya dalam meriwayatkan hadis.
Di penghujung abad pertama Hijriah, ilmu sanad (dalam arti mencermati
sanad hadis dengan lebih teliti) berkembang dengan pesat dan mendapat perhatian

16
Muhajirin, Politisasi Ujaran Nabi (Yogyakarta: Maghza Books, 2016), h. 61
17
Muhajirin, Politisasi Ujaran Nabi, h. 61
18
Chauvinisme yang disebut juga sauvinisme/sovinisme yaitu suatu paham yang
mengajarkan tentang rasa cinta, loyalitas atau atau tindakan yang berlebihan bahkan rela
berkorban pada apa yang ia percayai bahkan rela mengorbankan nyawanya. Dengan kata
lain, chauvinisme merupakan fanatisme yang ekstrim. Istilah ini diambil dari nama Nicolas
Chauvin, seorang prajurit yang setia dan fanatik terhadap Kaisar Napoleon Bonaparte.
Meskipun Napoleon kalah dan dibuang, namun Chauvin tetap setia. Hingga arti dan isitlah
Chauvinisme dikonsep sama seperti Chauvin. Lihat, Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI), Edisi Keempat (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 285 Lihat Juga
Oxford English Dictionary (Inggris: Oxford University Press, 1998), h. 301
51

lebih. Syu’bah bin al-Hajja>j (w. 160 H), misalnya, sengaja mengamati bibir
Qata>dah (w. 117 H) untuk bisa membedakan apakah Qata>dah mendapatkan hadis
itu lewat tangan pertama atau kedua dengan memperhatikan lafal al-tahammul wa
al-‘da>’ yang digunakannya.19 Bahkan, bukan hanya para ahli hadis yang
‚meributkan‛ masalah ini, tetapi juga pernah seorang Arab Badui (A’ra>bî)
menanyakan secara lengkap sanad sebuah hadis kepada Sufyan bin ‘Uyainah (w.
194 H).20
Dalam masa-masa selanjutnya, para sahabat berperan sebagai tempat
bertanya dan berkumpul bagi para penuntut ilmu. Walaupun mereka bersikap hati-
hati dalam periwayatannya, tetapi biasanya dalam kesempatan berkumpul itu
disampaikan hadis-hadis Nabi. Maka tidak heran jika ada seorang sahabat
meriwayatkan hadis kepada lebih dari seorang murid dari generasi sesudah mereka
(tabi’in), yang pada gilirannya melanjutkan peran sahabat sebagai penyampai hadis
kepada generasi di bawahnya (tabi’ tabi’un). Inilah yang terjadi dalam
perkembangan sanad hadis. Merupakan sebuah fenomena umum bahwa semakin
bertambah masa (waktu) semakin panjang rantai periwayatan. Semakin panjang
rantai periwayatan, makin bertambah jumlah perawi dan makin meluas wilayah
penyebaran hadis.
Hanya patut dicatat bahwa tidak semua hadis mengalami perkembangan
sanad sebagaimana terjadi pada hadis-hadis Nabi umumnya. Terkadang ada yang
menyendiri (fard/gharib) dalam periwayatannya, baik terjadi pada awal sanad dan
atau di tengah atau bahkan pada seluruh jalur sanadnya. Fenomena perkembangan
sanad yang ‘agak menyimpang’ inilah yang menarik perhatian para pengkaji hadis
modern (muslim – non muslim) untuk meneliti keotentikan hadis-hadis seperti ini.
Demikianlah proses pertumbuhan, perkembangan dan penyebaran sanad
yang memperlihatkan betapa rapinya periwayatan mayoritas hadis. Hal inilah yang
kemudian menjadi alasan para ulama menguji otentisitas hadis dengan menjadikan
sanad sebagai salah satu salah satu batu uji keshahihannya. Kerapian sistem sanad
memudahkan mereka mengetahui kesalahan perawi ataupun setiap pemalsuan yang
disengaja, dan sekaligus mengoreksi setiap kesalahan tersebut.
2. Sejarah Sanad Menurut Orientalis
Dalam diskursus pemikiran orientalis, para orientalis lebih banyak terpokus
dan menaruh perhatian yang cukup besar pada sejarah awal mula penggunaan sanad
dalam periwayatan hadis dibanding kajian matan, di antara orientalis yang menaruh

19
Muhammad Mushthafa Al-‘Azami>, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya,
terj. Ali Mustafa Ya’kub (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), h. 531; ‘Abd al-Majid Mahmud,
Amtsa>l al-Hadi>s wa Taqdîmat fi> ‘Ulu>m al-Hadi>s (Kairo: Da>r al-Tura>ts, 1975), h. 25; al-
Salafi>, Ihtima>m al-Muhadditsi>n, h. 152-153; al-’Umari>, Buhu>ts fi> Ta>ri>kh, h. 49.
20
Muhammad Mushthafa ‘Azami>, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, terj.
Ali Mustafa Ya’kub, h. 54
52

perhatian besar pada kajian sanad adalah Leone Caetani,21 Aloys Sprenger,22 Josef
Horovitz,23 James Robson,24 Johann Fück,25 Joseph Schacht,26 dan G.H.A.

21
Leone Caetani (1869-1935) adalah seorang orientalis yang berasal dari Italia.
Caetani menghabiskan waktu bertahun-tahun meneliti beragam budaya Islam dengan
mengunjungi berbagai wiliayah di Timur Tengah, seperti Tunisia, Aljazair, Mesir, Suriah,
Turki, Irak dan lain-lain. Caetani memiliki tiga karya hasil penelitianya tentang Islam yang
terkenal, yaitu Annali dell’ Islam (1906), Uthman and the Recension of the Koran (1915),
dan Study of the History of the Orient (1914). Selain sebagai peneliti, Caetani juga adalah
seorang politikus, Caetani pernah menjabat sebagai wakil Parlemen Italia (Deputy of The
Italian Parliament) pada tahun 1909-1913. Lihat Bilal Ahmad, ‚Leone Caetani’s dell’Isla>m
on Sirah of the Prophet Muh}ammad‛ dalam Islamic Studies (2015), h. 204
22
Aloys Sprenger adalah seorang missionaris asal Jerman sekaligus sebagai
orientalis. Menurut Muhammad Jamaluddin dalam penelitiannya Kritik Methodolgi Kajian
Hadis (2008) mengatakan bahwa Sprenger adalah pelopor orientalis yang pertama kali
mempersoalkan hadis dalam Islam sebelum Ignaz Goldziher. Orientalis yang pernah tinggal
lama di India ini dalam bukunya Das Ieben Und Die Lehre Des Muhammad mengklaim
bahwa hadis merupakan kumpulan anekdot (cerita-cerita bohong). Lihat Aloys Sprenger
‚On the Origin and Progress of Writing Down the Historical Facts among the Mosulmans,‛
dalam Journal of Asiatic Society of Bengal 25 (1856-1857), 375-376 ; lihat juga dalam
Daniel W. Brown, Rethinking Tradition in Modern Islamic Thought (Bandung: Mizan,
2000), 111.
23
Josef Horovitz adalah orientalis yang lahir dan besar di Lauenburg, Jerman. Ia
pernah mengajar di Aligarh Muslim University, India, dari tahun 1907 sampai 1915. Ia
mengajar bahasa Arab di universitas tersebut atas permintaan pemerintah India. Selain itu,
ia juga pernah mengajar di Hebrew Univeristy, di universitas ini ia mendirikan Departemen
of Oriental Studies dan menjadi direkturnya. Karyanya yang terkenal di bidang hadis adalah
Alter und Ursprung des Isnad, dalam karyanya ini ia menjunukkan bahwa sistem sanad baru
digunakan dalam hadis pada akhir abad pertama Hijriah. Lihat Josef Horovitz, ‚Alter und
Ursprung des Isnad‛ Jurnal der Islam, vol. 8 (1917-1918), h. 44
24
James Robson adalah tokoh orientalis berkebangsaan Inggris. Ia lahir pada tahun
1890 dan tidak ada informasi yang menyebutkan kapan meninggalnya. Tetapi jika dilihat
dari karya-karyanya yang muncul terakhir, kemungkinan besar dapat disimpulkan bahwa
Robson meninggal skitar tahun 1970-an. Robson mengajar di Glasgow University,
Skotlandia, dengan mengapu mata kuliah bahasa Arab. Selain itu, ia juga menjadi dosen
tamu di Manchester University pada tahun 1949 dan kemudian menetap di sana. Semasa
hidupnya, Robson banyak membuat karya dalam bentuk buku maupun artikel yang
diterbitkan di jurnal. Salah satu karnya dalam bidang hadis yang banyak dijadikan rujukan
adalah The Material Traditian. Karyanya ini diterbitkan di The Muslim World pada tahun
1951. Lihat Hamam Faizin ‚James Robson and His Matn Hadith Critics‛, dalam Jurnal
Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an dan Hadis, Vol 12, (2011), h. 91
25
Nama lengkapnya adalah Johann Wilhelm Fück yang selanjutnya dipanggil Fück.
Ia adalah orientalis berkebangsaan Jerman yang hidup antara tahun 1894 dan meninggal
pada tanggal 24 November 1974. Ia menjadi dosen di Goethe University Frankfurt, Jerman,
dari tahun 1921 sampai 1938. Mata kuliah yang diajarkannya ada dua, yaitu bahasa Ibrani
dan Studi Filologi Islam Arab. Pada tahun 1938 ia pindah ke Martin Luther University
hingga sampai pensiun pada tahun 1962. Lihat Herbert Berg, The Development of Exegesis
in Early Islam; The Authencity of Muslim Literature from The Formative Period (Surrey:
Curzon Press Richmond. 2000), h. 19
53

Juynboll.27 Namun, para orientalis tersebut berbeda pendapat tentang sejarah awal
mula munculnya penggunaan sanad dalam periwayatan hadis.
Menurut Leone Caetani, isna>d bukanlah kata asing dalam bahasa Arab.
Namun, kata ini digunakan pada pra-Islam dalam sejulah literatur dan bahkan suatu
sarana dalam menyampaikan syair-syair Arab.28 Kemudian Caetani juga
mengomentari tentang awal mula penggunaan sanad dalam Islam. Menurutnya,
orang yang pertama menghimpun hadis Nabi itu adalah Urwah (w. 94 H.), dan ia
tidak memakai isna>d dan tidak menyebutkan sumber-sumbernya selain al-Qur’an.
Di samping itu, pada masa Khalifah ‘Abd al-Ma>lik bin Marwan (w. 86 H), juga
belum ada penggunaan isna>d. Caetani berpendapat bahwa penggunaan sanad baru
dimulai pada masa antara ‘Urwah (w. 94 H.) dengan Ibn Ishaq (w. 151 H.).
Berdasar padangannya itu, ia berkesimpulan bahwa sebagian besar sanad yang
terdapat dalam kitab-kitab hadis merupakan rekayasa para ahli hadis pada abad
kedua, bahkan abad ketiga Hijriah.29 Pendapat ini didukung oleh Aloys Sprenger.30
Orientalis lain yang meneliti masalah awal mula penggunaan sanad adalah
Josef Horovitz, ia membantah keras pendapat Caetani dan Sprenger. Menurut
Horovitz, orang-orang yang mengatakan bahwa ‘Urwah (w. 94 H) tidak memakai
sanad sebenarnya mereka belum mempelajari kitab-kitab ‘Urwah (w. 94 H.) berikut

26
Joseph Schacht lahir di Silisie Jerman pada 15 Maret 1902.Karirnya sebagai
orientalis dimulai dengan belajar pilologi klasik, theologi, dan bahasa-bahasa Timur di
Universitas Berslauw dan Universitas Leipzig. Karya tulisnya yang paling monumental dan
melambungkan namanya adalah bukunya The Origins of Muhammadan Jurisprudence yang
terbit pada tahun 1950, kemudian bukunya An Introduction to Islamic Lau yang terbit pada
tahun 1960.4 Dalam dua karyanya inilah ia menyajikan hasil penelitiannya tentang Hadits
Nabawi, di mana ia berkesimpulan bahwa Hadits Nabawi, terutama yang berkaitan dengan
Hukum Islam, adalah buatan para ulama abad kedua dan ketiga hijrah. Lihat Ali Mustafa
Yaqub, Kritik Hadis, (Jakarta, Pustaka Firdaus, 1995), h. 19; Abdurrahman Baidawi,
Ensiklopedia Tokoh Orientalis (Yogyakarta: LKiS, 2003), h. 62
27
G.H.A Juynboll yang lahir di leiden, belanda, pada 1935 adalah seorang
orientalis yang pakar di bidang sejarah perkembangan awal hadis. Selama tiga puluh tahun
lebih ia secara serius mencurahkan perhatiannya untuk melakukan penelitian hadis dari
persoalan klasik hingga kontemporer. Lihat Ali Masrur, Teori Common Link G.H.A
Juynboll: Melacak kesejarahan Hadits Nabi, ( Yogjakarta: LKIS,2007), h. 2; Idri, ‚Otentitas
Hidis Mutawātir Dalam Teori Common link G.H.A Juynboll‛, ISLAMICA, 7, (2013), h.
251.
28
Nashir Al-Din Al-Asad, Mashadir Al-Syi’ir Al-Jahili, (Kairo: 1978), h. 255
29
Leone Caetani, Annali Dell’Islam, Jilid I (Milan: Ulrico Hoepli, tth), h. 28-31;
Muhammad Mustafa Azami, On Schacht’s Origins of Muhammadan Jurisprudence (Oxford:
The Oxford Center fo Islamic Studies and Islamic Text Society, 1996), h. 234; Lihat juga
dalam Idri, Hadis & Orientalisme (Depok: Kencana, 2017), h. 135
30
Aloys Sprenger ‚On the Origin and Progress of Writing Down the Historical
Facts among the Mosulmans,‛ dalam Journal of Asiatic Society of Bengal 25 (1856-1857),
375-376 ; lihat juga dalam Daniel W. Brown, Rethinking Tradition in Modern Islamic
Thought (Bandung: Mizan, 2000), 111.
54

sanad-sanadnya secara lengkap. Horovitz menunjuk adanya perbedaan dalam sistem


penulisan antara tulisan yang menjadi jawaban suatu pertanyaan, dengan tulisan
yang memang sejak semula disuguhkan kepada orang-orang yang terpelajar.
Akhirnya Horovitz berkesimpulan bahwa pemakaian sanad dalam meriwayatkan
hadis sudah dimulai sejak sepertiga yang ketiga dari abad pertama Hijriah.31
Sejalan dengan pendapat Horovitz, James Robson juga berpendapat yang
sama, sarjana Skotlandia ini mengatakan bahwa pada pertengahan abad pertama
Hijriah mungkin sudah ada metode semacam sanad. Sebab, pada masa itu sejumlah
sahabat sudah wafat sedangkan orang-orang yang tidak pernah bertemu dengan
Nabi mulai meriwayatkan hadis-hadisnya, dengan sendirinya mereka akan ditanya
oleh orang-orang yang mendengarnya, dari siapa mereka mendapatkan hadis itu.
Hanya saja, metode sanad secara detail tentulah berkembang setelah itu secara
bertahap.32
Berbeda dengan Horovitz, Johann Fück mengatakan bahwa isna>d adalah
sesuatu yang palsu, menurut dia dalam hal isna>d, baru disebut oleh para sahabat
kecil yang sering disebut seperti Abu Hurairah dan Ibn ‘Abba>s dari pada sahabat
besar seperti Abu> Bakar dan Utsma>n, fakta ini membuktikan bahwa memang isna>d
adalah palsu, karena seharusnya yang lebih tahu tentang Muhammad Saw adalah
sahabat besar. Tetapi kemudian Johan Fuck melihat kesimpulan dari kebalikannya,
menurut dia jika semua isna>d adalah palsu kenapa para sahabat masih memakai
isna>d, dengan tidak memotong sahabat besar, sehingga akan ditemukan keaslian
sanad?33
Sementara itu, Joseph Schacht dalam The Origins of Muhammadan
Jurisprudence, berpendapat bahwa bagian terbesar dari sanad hadis adalah palsu.
Menurutnya, semua orang mengetahui bahwa sanad pada mulanya muncul dalam
bentuk yang sangat sederhana, kemudian mencapai tingkat kesempurnaannya pada

31
Josef Horovitz, ‚Alter und Ursprung des Isnad‛ Jurnal der Islam, vol. 8 (1917-
1918), h. 44; Muhammad Mustafa Azami, Hadis Nabawi dan Kodifikasinya, terj. Ali
Mustafa Ya’qub (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), h. 532 ; Ali Mustafa Ya’qub, Kritik Hadis
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004), h. 99
32
James Robson, The Isnad in Muslim Traditions, vol. XV (Glasgow: Univ.
Oriental Society Transaction, 1955), h. 18; Syamsuddin Arif, Orientalisme dan Diabolisme
Pemikiran (Jakarta: Gema Insani Press, 2008), h. 30 Muhammad Mustafa Azami, Hadis
Nabawi dan Kodifikasinya, terj. Ali Mustafa Ya’qub, h. 532; Ali Mustafa Ya’qub, Kritik
Hadis (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004), h. 99
33
Johann Fuck, ‚The Role of Traditionalism in Islam‛, dalam Studies in Islam.
Oxford, 1981, h. 114 ; Lihat Juga dalam Herbert Berg, The Development of Exegesis in
Early Islam; The Authencity of Muslim Literature from The Formative Period (Surrey:
Curzon Press Richmond. 2000), h. 19
55

paruh kedua abad ketiga Hijriah.34 Dia menyatakan bahwa sanad merupakan hasil
rekayasa para ulama abad kedua Hijriah dalam menyandarkan sebuah hadis kepada
tokoh-tokoh terdahulu hingga akhirnya sampai pada Nabi untuk mencari legitimasi
yang kuat terhadap hadis tersebut.35
Teori ini berawal dari pemahaman Schacht terhadap perkembangan hadis
sejalan dengan perkembangan hukum Islam. Menurutnya, hukum Islam baru
dikenal sejak pengangkatan para qa>di> pada masa dinasti Ummayah. Sekitar akhir
abad pertama Hijriah, pengangkatan para qa>di> ditunjukan kepada para fukaha yang
jumlahnya kian bertambah sehingga akhirnya menjadi aliran fiqh klasik (madzhab).
Untuk memperoleh legitimasi yang kuat terhadap putusan hukum yang diambil,
maka para qa>di> menyandarkan putusan-putusan itu kepad tokoh-tokoh yang
sebelumnya dipandang mempunyai otoritas.36
Selain itu, Schacht juga menyanggah pernyataan bahwa tradisi sanad
tumbuh setelah meninggalnya Khalifah Utsman. Schacht mengatakan bahwa sanad
tidak digunakan secara sistematis sebelum abad ke-2 H, dan kemudian
menambahkan bahwa pertikaian (fitnah) yang disebut oleh Ibnu Si>ri>n sesungguhna
adalah perang saudara yang dimulai dengan terbunuhnya Khalifah Al-Walid ibn
Yazi>d (w. 744 M) dari Umayyah pada tahun 126 H/743 M, bukan setelah fitnah
yang membuat Khalifah Utsman terbunuh.37 Sementara itu, pendapat G.H.A.
Juynboll lain lagi, dia menulis bahwa pertikaian yang dimaksud ialah perang
saudara yang dimulai pada tahun 63 H/682 M dengan naiknya ‘Abdulla>h ibn Zubair
(w. 692 M) di Makkah sebagai khalifah tandingan bagi kekhalifahan Umayyah di
Damaskus. Dengan dmikian, peristiwa ini adalah merupakan permulaan bagi
kelahiran isna>d hadis.38
Pendapat Juynboll bahwa perang saudara antara Ibnu Zubair dan ‘Abd al-
Malik membidani lahirnya tradisi sanad lebih bisa dipercaya daripada pendapat

34
Joseph Schacht, The Origins of Muhammadan Jurisprudence (Oxford: University
Press, 1975), h. 163
35
Joseph Schacht, The Origins of Muhammadan Jurisprudence, h. 164
36
Kamaruddin Amin, ―Book Review: The Origins of Islamic Jurisprudence
Mecca Fiqh before the Classical Schools‖, dalam Jurnal al-Jāmiah: Journal Islamic Studies,
vol. 41, no. 1, 2003/1424H, h. 208.
37
Joseph Schacht, The Origin of Muhammadan Jurisprudence (Oxford, 1964), h.
36
38
G.H.A. Juynboll, ‚The Date of the Great Fitna,‛ dalam Arabica 20, (1973), h.
159; lihat juga ‚Muslim’s Introduction on his Shahih, translated and annontated with an
excursus on the chronology of fitna and bid’ah, h. 303-308; Ali Masrur, Teori Common link
G.H.A. Juynboll (Yogyakarta: Lkis, 2007), h. 54
56

Schacht. Dia juga dapat menunjukkan beberapa keterangan dari awa’il39 dan
menafsirkan keterangan-ketarangan tersebut untuk mendukung pendapatnya.40
Namun, sarjana-sarjana muslim umumnya tak percaya pada awa’il, karena awa’il
baru muncul jauh dikemudian hari dan dianggap tak seilmiah ilmu hadis.
Pendapat Juynboll, bahwa perang saudara antara Ibnu Zubair dan ‘Abd Al-
Malik membidani lahirnya tradisi sanad berkembang jadi sebuah metode yang
diterima secara luas tak lama sebelum Ima>m Ma>lik. Sebagian besar para perawi
yang disebut Ima>m Ma>lik mengutip hadis-hadis dari para tabi’i>n yang meninggal
dalam rentang dua decade selama berlangsungnya perang saudara yang menurut
Juynboll, membinahi lahirnya tradisi sanad ini. Sebagian dari tabi’i>n itu meninggal
pada awal 70-an H, dan beberapa pada 60-an H sebelum perang saudara ini meletus
(sekitar 70 H/689 M). Seandainya berasumsi bahwa cukup banyak sumber yang
disebut Ima>m Ma>lik tidak menyertakan sanad mereka, maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa tradisi sanad telah berkembang luas dan sangat maju dalam
kurun waktu dua puluh tahun sejak kemunculannya. Mungkin perkembangan ini
berlangsung secara gradual.41
Al-‘Azami membantah pendapat pendapat Juynboll di atas. Al-‘Azami
menyatakan bahwa pembunuhan Khalifah Al-Walid ibn Yazid atau naiknya Ibnu
Zubair sebagai khalifah tandingan jauh kurang signifikan dalam sejarah Islam
daripada pertikaian besar yang kemudian disusul dengan pembunuhan Khalifah
Utsman. Jika pemalsuan hadis yang dikaitkan dengan kekacauan politik ini
mendorong para ahli hadis untuk lebih teliti dalam memeriksa sumber-sumber
hadis, pertikaian yang dipicu oleh pembunuhan dan menjadi saksi atas munculnya
hadis-hadis yang bias politik niscaya menimbulkan dorongan yang lebih kuat lagi.42
Al-‘Azami menambahkan bahwa ada cukup banyak hadis yang
diriwayatkan oleh para sahabat bukan berasal dari Nabi Muhammad, tetapi dari
sahabat-sahabat lainnya. Ini mendukung pendapat bahwa tradisi sanad berkembang
lebih awal daripada yang diperkirakan Juynboll, sebab jika tidak demikian, sanad
ini takkan pernah sampai pada kita. Jika semua hadis adalah palsu, mengapa para
pemalsu hadis ini bisa saja dengan mudah membuat sanad yang hanya menyebutkan
satu nama sahabat, bukan dua, dan sanad ini dipercaya.43

39
Awa’il berisikan keterangan-keterangan tentang siapa yang pertama kali
melakukan sesuatu, atau tentang kapan institusi-institusi tertentu pertama kali lahir. Lihat
G.H.A. Juynboll, Muslim Tradition (Cambridge, 1983), h. 6
40
G.H.A. Juynboll, Muslim Tradition (Cambridge, 1983), h. 17
41
G.H.A. Juynboll, ‚The Date of the Great Fitna,‛ h. 159
42
Muhammad Mustafa al-‘Azami, Studies in Early Hadith Literature
(Indianapolis, 1964), h. 216
43
Muhammad Mustafa al-‘Azami, Studies in Early Hadith Literature, h. 217
57

Al-‘Azami melanjutkan bahwa pernyataan Ibnu Siri>n secara jelas mengacu


pada sebuah masa sebelum dia menjadi seorang ahli hadis, yang terjadi lebih dahulu
daripada konflik antara Ibnu Zubair dan Ibnu Marwah. Lagi pula, menyamakan
pertikaian itu (fitnah) dengan perang-perang saudara pada waktu berikutnya
berimplikasi bahwa sebenarnya tak ada cukup waktu bagi sanad berkembang jadi
sebuah tradisi yang meluas pada generasi sebelum Imam Malik. Sekalipun Juynboll
dapat menemukan awa’il yang bertentangan dengan keyakinan banyak kaum
muslim, ada banyak keterangan dalam literatur hadis dan sumber sejarah yang
bertentangan dengan dugaan Juynboll tersebut. Salah satu dari banyak sekali
sumber yang terkumpul pada zaman klasik menyebutkan bahwa perbedaan
keterangan hampir-hampir selalu dijumpai dalam setiap isu. Sekalipun sarjana-
sarjana muslim setuju dengan awa’il yang disodorkan oleh Juynboll, mereka tetap
lebih condong pada sumber yang selalu mereka pegang.44
Bagi Al-‘Azami, Juynboll keliru dalam mencermati pernyataan Ibnu Si>ri>n
tersebut. Ibnu Si>rin> tidak menyatakan bahwa sanad dimulai sejak munculnya
perpecahan di kalangan umat Muslim, tetapi para periwayat hadis waktu itu tidak
mempersoalkan sanad karena mereka terpercaya, tidak ada yang berbohong,
berbeda ketika terjadi perpecahan itu kebohongan mulai terjadi termasuk dalam
periwayatan hadis. Karena itu, para ulama kemudian menanyakan dan meneliti
hadis-hadis diriwayakan dari siapa saja dan bagaimana kualitas para periwayat itu.
Berdasarkan pemaparan di atas, terdapat perbedaan pendapat antara ahli
hadis dengan orientalis dalam masalah awal mula penggunaan sanad. Di kalangan
orientalis ada beberapa variasi pendapat yang pada intinya sama, yaitu tradisi sanad
dalam Islam baru digunakan jauh setelah Nabi Saw meninggal. Para orientalis
berpendapat bahwa sistem sanad belum menjadi kebiasaan para sahabat ketika
meriwayatkan kehidupan Nabi Muhammad saw. Namun mereka berbeda pendapat
mulai kapan sistem sanad tersebut diaplikasikan oleh umat Islam. Sedangkan para
ulama hadis berpendapat bahwa sanad sudah mulai ada dan sudah mulai digunakan
pada masa sahabat untuk meriwayatkan informasi mengenai Nabi Muhammad saw.
Perbedaan pendapat tersebut dapat dilihat dengan jelas pada gambar diagram
berikut ini:

44
Muhammad Mustafa al-‘Azami, Studies in Early Hadith Literature, h. 217
58

Muhadditsu>n Juynboll Joseph Horovitz Joseph Schacht Leone Caentani


(1935 – 2010) (1874 - 1931) (1902 – 1969 ) (1869 – 1935)
dan dan
Awal mula James Robson Awal musal Aloys Sprenger
Awal mula penggunaan (1956 - 1964) penggunaan (1862 – 1937)
penggunaan sanad pada sanad dikalangan
sanad sudah masa al-fitnah Sistem umat Islam Al-Zuhri adalah
dilakukan pada yang terjadi periwayatan adalah pada orang pertama
masa kehidupan ketika hadis secara seperempat awal yang
sahabat perselisihan berantai dengan abad kedua mengaplikasikan
antara sistem sanad hijriah sanad ke dalam
‘Abdullah bin diperkenalkan hadis, kemudian
Zubair dengan dan diterapkan dikemabangkan
Kekhalifaan pada sepertiga oleh muridnya,
Umayyah yang terakhir abad Musa bin Uqbah
bermula pada pertama hijriah (w. 141 H) dan
tahun 63 H Ibn Ishaq (w.
sampai 73 H 151 H.) dan juga
lainnya

Kehidupan
Nabi
Muhammad -50 H 51-75 H 76-100 H 101-125 H 126-150 H

Pendapat orientalis mengenai awal mula pemalsuan sanad berbanding lurus


dengan pendapat mereka mengenai awal mula penggunaan sistem sanad di
kalangan umat Islam. Sebab, yang dimaksud dengan awal mula penggunaan sanad
oleh umat Islam – menurut mereka - adalah awal mula umat Islam membuat sanad
palsu beserta matannya yang disandarkan kepada ta>bi’i>n, sahabat atau Nabi dengan
tujuan untuk memperkuat otoritas.
Selain beberapa pendapat orientalis di atas tentang asal mula sanad,
pendapat menarik lainnya adalah pendapat yang diutarakan oleh Michael Cook.
Orientalis berkebangsaan Inggris ini berpendapat bahwa sistem sanad sudah
digunakan jauh sebelum Islam datang.
C. Asal-usul Sanad Menurut Perspektif Michael Cook
Michael Cook dalam karyanya yang berjudul The Opponents of The
Writing of Traditional in Early Islam melakukan kritikan terhadap sejarah asal usul
59

sanad hadis. Cook tidak sepakat dengan pendapat para ulama hadis yang
mengatakan bahwa sistem sanad adalah tradisi Islam yang tidak ditemukan pada
umat lain di luar Islam. Berdasarkan hasil riset Cook, ia menemukan bahwa sistem
sanad merupakan fenomena yang umum dikenal di berbagai tempat dan masa
sebelum Islam datang.45
Sebagaimana diketahui pada umumnya mayoritas ulama hadis sepakat
bahwa tradisi sanad hanya ada dalam Islam dan tidak ditemukan di luar Islam.
Misalnya pernyataan ‘Abdulla>h ibn Muba>rak (w 181 H) yang mengatakan:

ُ ُ‫اُوب َ ْ َْيُامْقَ ْو ِمُامْقَ َو ِاِئُي َ ْع ِِنُ َا ْإل ْس نَاد‬


َ َ‫ب َ ْينَن‬
ّ
‚Yang membedakan antara kita dengan umat lain (di luar Islam) adalah
sistem sanad.‛46

Selain itu, Muhammad ibn H{a>tim al-Muzaffar (w 331 H) juga mengatakan


hal yang sama. Menurutnya, Allah memuliakan umat Islam dengan memberikan
suatu sistem transmisi (sanad) yang tidak dimiliki oleh umat lain. Sebagaimana
pernyataan beliau sebagai berikut:

ُ ْ ‫ُأل َح كد ُ ِم َن‬
ِ ‫ُاأل َم ِم‬
ُ‫ُكيَاُقَ ُِديْ ِميِ ْم َُو‬ َ ِ ‫َاُِب ْإل ْس نَا ِد َُومَيْ َس‬ِ ‫َاُوفَضَ لَي‬ َ ‫َشفَي‬ ُ ْ ‫ُللا ُاَ ْك َر َم ُى ِذ ِه‬
َ َ ‫ُاأل َم َة َُو‬ َ ‫ا َن‬
ّ ّ
ُ ُ‫اُِهُُصف ُِِفُ َأيْ ِدْيْ ِ ْم َُوقَدْ ُ َخلَط ْواُُِبكتِبِ ِ ْمُ َأ ْخ َب َار ُْه‬ َِ ‫َح ِد ْيثِ ِ ْمُا ْس نَاد َُواه َ َم‬
ّ ّ
‚Sesungguhnya Allah memuliakan dan memberikan kelebihan kepada umat
ini dengan adanya sanad. Tidak satupun dari semua umat terdahulu yang
memikiliki sistem sanad. Yang ada hanyalah lembaran-lembaran di tangan
mereka yang kadang tercampur antara isi kitab mereka dengan khabar-khabar
mereka.‛47

Secara lebih lugas, eksistensi sanad dalam Islam juga ditegaskan oleh Ibnu
Taimiyah (w 728 H). Beliau mengungkapkan pandangannya dengan mengatakan

45
Michael Cook, ‚The Opponents of The Writing of Traditional in Early Islam‛,
dalam Jurnal Arbica XLIV, 1997, h. 508
46
Abu H{usain Muslim ibn al-Hajja>j al-Qusyairi> al-Naisaburi>, al-Jami’ al-Sh}ahi>h,
(h. 15
47
Muh}ammad Luqma>n al-Salafi, Ih}tima>m al-Muh}additsi>n bi Naqd al-Hadi>ts Sanad
wa Matn, (Riyadh: Maktabah al-Riyadh, 1984), h. 153; Akram Dhiya’ al-’Umari, Buh}u>ts fi>
Tarikh al-Sunnah al-Musyrafah, cet. 4 (Beiru>t: Basath, 1984), h. 56 ; Muhammad
Muhammad Abu> Syuhbah, Fi> Rihab al-Sunnah al-Kutu>b al-Sh}ih}ah al-Sittah (Azhar:
Majma’ al-Turats, 1969), h. 37
60

bahwa Ahlul Kitab tidak memiliki sistem sanad. Penggunaan sanad hanya ada pada
umat Muhammad Saw, sebagai berikut:

ُ‫اب‬ ُ ‫للاُعَلَ ْي ُِوُ َو َس ََُّلُ َو َج َع َُلُسل ًماُ ِا َُلُ ِال َراي َ ُِةُفَأَى‬
ُِ َ‫ْلُ ْام ِكت‬ ُ َ ‫َصُللاُُبِوُ ُأ َم َُةُم َح َم كُدُ َض‬
ُ ُ‫ىل‬ ُ َ ‫ُاإل ْس نَادُُخ‬
ّ
ُ ُ‫َُإلُا ْس نَا َدُُمَي ْمُُيَأِثر ْو َُنُ ِب َُوُامْ َم ْنق ْو َإل ِت‬
ّ
‚Sanad adalah sesuatu yang Allah khususkan untuk umat Muhammad Saw.
Allah jadikan ini sebagai cara untuk sampai kepada hadis (dirayah). Adapun
Ahlul kitab tidak memiliki sanad dalam menyampaikan berita yang dinukil
diantara mereka.‛48

Dari beberapa pernyataan di atas, tampak jelas para ulama hadis sepakat
bahwa sanad adalah sebuah kekhususan yang diberikan kepada umat Muhammad
Saw yang tidak diberikan kepada umat lain. Selain itu, pandangan ulama hadis di
atas juga mengatakan bahwa kelemahan umat-umat sebelum Islam adalah tidak
adanya sebuah sistem seperti sistem sanad yang dimiliki oleh Islam, sehingga
keaslian dan kemurnian ajaran mereka tidak dapat dipertanggung jawabkan.
Pendapat di atas ditanggapi oleh Michael Cook. Ia tidak sepakat dengan
pendapat ulama hadis di atas yang megatakan bahwa sistem sanad hanya ada dalam
Islam yang tidak ditemukan pada umat lain di luar Islam. Ketidaksepakan Cook
berangkat dari hasil riset yang dilakukannya yang menemukan bahwa Islam
bukanlah satu-satunya pemilik tunggal sistem sanad. Cook meyakini bahwa sistem
sanad merupakan fenomena yang dikenal di berbagai tempat dan masa sebelum
Islam datang. Jauh sebelum Islam datang sanad sudah digunakan oleh umat
terdahulu, seperti Yahudi, Arab klasik pra-Islam dan lain-lain.49
Menurut Michael Cook, sistem sanad dalam ajaran Yahudi dapat ditemui
dalam kitab Mishnah (Oral Law atau Oral Tradition).50 Kitab Mishnah adalah salah
satu kitab yang menjadi rujukan utama umat Yahudi dalam hal permasalahan
hukum.51 Mishnah secara bahasa berasal dari bahasa Ibrani yang asal katanya

48
Muh}ammad Luqma>n al-Salafi, Ih}tima>m al-Muh}additsi>n bi Naqd al-Hadi>ts Sanad
wa Matn, h. 155 153; Akram Dhiya’ al-’Umari, Buh}u>ts fi> Tarikh al-Sunnah al-Musyrafah,
cet. 4 , h. 165
49
Michael Cook, ‚The Opponents of The Writing of Traditional in Early Islam‛,
dalam Jurnal Arbica XLIV, 1997, h. 508 - 511
50
Michael Cook, ‚The Opponents of The Writing of Traditional in Early Islam‛, h.
509
51
Salah satu ciri utama dari ajaran Yahudi adalah dikotomi antara Taurat tertulis
dan Taurat lisan. Taurat tertulis biasa disebut Taurat, Torah, Pentateukh, atau Tanakh.
Dalam keyakinan umat Yahudi, Taurat merupakan firman Allah yang didiktekan kepada
Nabi Musa lalu Musa menuliskannya dalam dua buah lempeng batu, dan hal itu terjadi saat
61

adalah shanah yang berarti adalah "pengulangan" atau ‚peninjauan.52 Hal ini bisa
tercermin dari praktik penyampaian Mishnah dengan cara sistem hafalan secara
turun-temurun oleh orang-orang bijak Yahudi.53
Mishnah merupakan bagian pertama dan utama dari semua varian isi
Talmud.54 Kitab ini juga disebut sebagai Undang-Undang Kedua (Second Law)
sesudah Taurat yang isinya berupa tentang kumpulan hukum lisan Yudaisme.55 Isi
Mishnah mirip dengan Fikih dalam Islam, pembahasannya mengenai halal-haram,
aturan-aturan dalam beribadah, perkawinan dan perceraian, hukum pidana dan
perdata, sesembahan kurban dan semua upacara keagamaan.56
Michael Cook mengatakan bahwa sejarah kodifikasi dan transmisi hadis
memiliki kemiripan dengan Mishnah Yahudi.57 Sebagaimana hadis, sejarah
penulisan Mishnah memakan waktu yang lama. Pada awalnya penyebaran ayat-ayat
Mishnah hanyalah secara lisan saja. Bahan-bahannya disampaikan oleh guru secara
lisan, lalu dihafalkan oleh para murid. Dengan demikian, tersusunlah sebuah sistem
rangkaian sanad yang menyandarkan kepada Nabi Musa.58

nabi musa menemui Allah di bukit sinai selama empat puluh hari empat puluh malam.
Sedangkan Taurat lisan adalah penjelasan atau perincian atas Taurat tertulis. Taurat lisan
inilah yang biasa disebut dengan istilah Talmud. Pada prinsipnya kitab Talmud terbagi
dalam dua komponen yaitu, Misnah dan Gemara. Misnah adalah bagian utama dari Talmud
sebagai naskah asli (matan), sedangkan Gemara adalah versi pelengkap atau komplemen
atas Misnah yang berisi tentang rekaman diskusi oleh para tokoh agama Yahudi. Lihat
dalam Philip Birnbaum, Encyclopedia of Jewish Consepts, vol. V, (New York, Hebrew
Publishing Company, 1948), h. 12 ; A. Fabian, The Babylonian Talmud, (Universjty of
Queensland, 1963), h. 20 ; Branaites, Fadh at-Talmud, (Beirut: Da>r an-Nafais, 1999), h. 13
52
Michael J. Broyde dan Ira Bedzow, The Codification of Jewish Law and an
Introduction to the Jurisprudence of The Mishnah Berura, (t.t: Academic Studies Press,
2014), h. 11
53
Polano, The Talmud, (Inggirs: Cambridge University Press, 1979), h. 213-295 ;
Lihat juga Karen Armstrong, Sejarah Al-Kitab. Penerjemah Fransiskus Borgias, (Bandung:
PT Mizan Pustaka, 2013), h. 122
54
Talmud terdiri dari dua bagian utama, yaitu Misnah dan Gemara. Misnah biasa
disebut sebagai Talmud Yerusalem dan Gemara biasa disebut sebagai Talmud Babilonia.
Namun, selain dua kitab tersebut masih terdapat lagi kitab lain, seperti: Midrasah, Haggada,
Kabbalah dan lain-lain. Lihat Hermann L. Strack, Introduction to The Talmud and Midrash,
(Pihladelphia: Varda Books, 1931), h. 12-20
55
Yudaisme adalah nama yang diperuntukkan bagi lingkup Yahudi baik dalam
bidang keagamaan maupun dalam bidang kebudayaan, yang berasal dari masa sesudah
pembuangan bangsa Israel (sesudah tahun 538). Lihat Ensiklopedi Perjanjian Baru,
(Yogyakarta: Kanisius, 1990), h. 25.
56
David L. Baker, Ten Commandments, Two Tablets : The Shape of the
Decalogue, (Themelios, 1999), h. 55
57
Michael Cook, ‚The Opponents of The Writing of Traditional in Early Islam‛, h.
508
58
Karen Armstrong, Sejarah Al-Kitab. Penerjemah Fransiskus Borgias (Bandung:
PT Mizan Pustaka, 2013), h. 124
62

Sejalan dengan pandangan Michael Cook, Joseph Barcklay menyatakan


bahwa Mishnah bersumber dari Nabi Musa yang diriwayatkan secara lisan secara
turun temurun dari generasi ke generasi. Rabbi Yahudi asal Inggris ini menjelaskan
bahwa penulisan Mishnah baru dilakukan pada sekitar tahun 200 M. Sebelum itu,
belum ada penulisan sama sekali terhadap kitab ini karena terlarang menuliskannya
menurut syariat Yahudi.59
Michael Cook menjelaskan bahwa larangan penulisan Mishnah datang dari
kitab Talmud sendiri. Ada dua sumber tentang larangan penulisan tersebut, yaitu
Pertama, dalam kitab Talmud Babilonia dikatakan:
‚You may not transmit written words orally and you may not transmit oral
words in writing‛.60

‚Kalian tidak mungkin meriwayatkan kata-kata tertulis secara lisan, dan


kalian tidak mungkin meriwayatkan kata-kata lisan dalam tulisan‛.

Kedua, sumber lain yang dijadikan rujukan sebagai landasan melarang


penulisan Mishnah terdapat dalam kitab Talmud Palestina, yaitu:
‚Words which have been transmitted orally must be transmittend orally, and
words which have been transmitted in writing must be transmitted in
writing‛.

‚Kata-kata yang diriwayatkan secara lisan harus diriwayatkan secara lisan,


dan kata-kata yang diriwayatkan secara tulisan harus diriwatkan secara
tulisan‛.61

Selain itu, alasan lain larangan penulisan Mishnah karena masih adanya
Kuil Sulaiman (Solomon Temple)62 yang menjadi sekolah para rabbi. Kuil ini
menjadi pusat pendidikan agama Yahudi untuk mengajarkan ilmu-ilmu keagamaan.
Seluruh pelajaran agama yang disampaikan pada saat itu harus diberikan dengan
metode lisan.
Namun, setelah berabad-abad Mishnah disampaikan secara lisan dengan
turun-temurun, situasi berubah secara drastis terutama sebagai akibat
penghancuran komunitas Yahudi pada tahun 70 M, dan pergolakan norma-norma

59
Joseph Barcklay, Hebrew Literature, (New York, 1901), h. 42
60
Talmud Babilonia, Gittin, f. 60b. 13 (London, 1952), h.52
61
Talmud Palestina, Megillah, f. 74d. 16 (London, 1982), h. 142
62
Kuil Sulaiman (Solomon Temple) juga disebut Bait Salomo ataupun Haikal
Sulaiman. Tempat ini merupakan bangunan suci pertama agama Yahudi di Yarusalem.
Solomon Temple dibangun oleh King Sulaiman (Nabi Sulaiman) pada abad ke 8 SM.
Bangunan ini digunakan oleh umat Yahudi untuk pemujaan dan pengorbanan yang disebut
korbanot dalam tradisi mereka. Lihat Philip Birnbaum , Encyclopedia of Jewish Consepts,
h.101
63

sosial dan hukum Yahudi yang ditimbulkannya. Selalin itu, orang-orang Yahudi
sudah tersebar diseluruh dunia. Karena itu penting bagi setiap orang Yahudi
memiliki buku pedoman yang menguraikan penjelasan-penjelasan kitab suci secara
tertulis. Maka berdasarkan realitas baru yang dihadapi oleh orang Yahudi tersebut
maka munculah gagasan untuk menuliskan Mishnah. Metode lisan yang selama ini
telah berjalan berabad-abad dianggap tidak dapat lagi dipertahankan. Akhirnya,
diputuskanlah untuk memulai penulisan Taurat Lisan.63
Kitab Mishnah ini disusun sekitar tahun 200 M oleh seorang rabbi yang
bernama Judah Hanasi (135-220 M),64 kira-kira satu abad setelah Kaisar Titus
bersama legium Romawi menghancurkan Kuil Sulaiman.65 Rabbi Judah Hanasi
kemudian berinisiatif untuk mengumpulkan dan menulis Taurat Lisan. Namun,
penulisan Mishnah yang dilakukannya masih belum selesai hingga ia meninggal,
para rabbi setelahnya kemudian melanjutkan proyek penulisan tersebut dari satu
generasi ke generasi berikutnya, hingga baru selesai ditulis pada tahun 500 M di
kota Thabariyah (Palestina).66
Para rabbi Yahudi yakin bahwa Nabi Musa adalah sumber pertama dari
kitab Mishnah yang diterima di Thur Sinai. Kitab ini ditransmisikan turun-temurun
secara lisan dari Nabi Musa ke Nabi Joshua, lalu Joshua menyampaikannya kepada
ke para Tetua, lalu ke para Nabi, dan para Nabi menyampaikannya kepada orang-
orang dari Majelis Agung (Great Assembly) yang dipimpin oleh Ezra.67 Lalu
kemudian mereka menyampaikannya dari generasi ke generasi sehingga sampailah
pada suatu saat di mana pesan lisan ini tidak dapat dikuasai dan dijaga kecuali
dengan hanya tulisan.68

63
https://jewishcentersurabaya.wordpress.com (Diakses pada tanggal 11 Juli 2019).
64
Philip Birnbaum, Encyclopedia of Jewish Consepts, h. 99
65
Kuil ini diruntuhkan musuh Yahudi dua kali, yaitu tahun 589 SM oleh
Nebukadnezar dari kerajaan Babilonia. Kuil Sulaiman dibangun kembali pada tahun 520
SM. Dan Kaisar Titus dari Romawi bersama pasukannya menghancurkannya persis pada
tanggal 9 Agustus 70 M.. Tanggal ini dirayakan oleh kaum Yahudi setiap tahun. Lihat
Philip Birnbaum, Encyclopedia of Jewish Consepts, h. 111
66
Thariq as-Suwaidan, Ensiklopedia Yahudi, Penerjemah Iman Firdaus, (Jakarta:
Pustaka Imam Ays-Syafi’i, 2015), h. 149
67
Nama Ezra di kalangan bangsa Yahudi adalah termasuk salah satu nama yang
paling masyhur. Ia adalah seorang ahli Taurat ternama, pemimpin orang Yahudi pada abad
kelima dan keenam sebelum Masehi. Ezra telah berjasa dalam pengumpulan dan penulisan
kitab-kitab Yahudi. Ia juga berhasil mengumpulkan kembali sebagian dari tulisan-tulisan
Kitab Suci yang musnah terbakar. Selain itu, Ia membuat ‚Zinagage besar‛. yaitu suatu
tempat yang dijadikan majelis orang-orang cerdik-pandai Yahudi untuk bermusyawarah.
Lihat dalam Abujamin Roham, Pembicaraan Di sekitar Bible dan Al-Qur’an Dalam Segi Isi
dan Riwayat Penulisannya, (Jakarta : PT Bulan Bintang, 1984), h. 44
68
Karen Armstrong, Sejarah Al-Kitab, h. 124
64

Untuk membuktikan eksistensi sanad dalam sejarah Mishnah, maka


Michael Cook berusaha meyakinkan pembacanya dengan menunjukkan contoh
beberapa sanad dalam kitab tersebut. Ia ingin mengatakan bahwa sistem sanad
benar-benar ada dan telah digunakan oleh umat Yahudi. Cook menunjukkan contoh
rangkaian sanad yang ia kutip dari Josef Horovitz yang di mana pada sebelumnya
Horovitz telah melakukan penelitian komparasi antara hadis dan Mishnah. Horovitz
menemukan beberapa contoh rangkaian sanad yang ia cantumkan dalam tulisannya
yang berjudul Alter und Ursprung des Isna>d. Salah satu contohnya adalah sebagai
berikut:
‚R. Zeriqa said: R. Ammi said: R. Simeon ben Laqish said: ‚R. Yehudah
said: Rav said: ‚R. Abba said: R. Hiyya bar Ashi said: Rav said:…..‛.

‚R. Zeriqa mengatakan: R. Ammi mengatakan: R. Simeon ben Laqish


mengatakan: ‚R. Yehudah mengatakan: Rav mengatakan: ‚R. Abba
mengatkan: R. Hiyya bar Ashi mengatkan: Rav mengatakan:…..‛.69

Menurut Cook, rangkaian sanad seperti ini banyak dijumpai dalam kitab
Mishnah (Talmud Yerusalem), bahkan tidak hanya di Mishnah dalam kitab Gemara
(Talmud Babilonia) pun kerap ditemui rangkaian sanad seperti ini. Namun, menurut
Cook, sanad lebih umum banyak ditemui dalam Mishnah daripada Gemara.70
Michael Cook menambahkan bahwa meskipun sanad Mishnah dan hadis
memiliki tipologi yang sama namun keduanya tetap memiliki perbedaan.
Perbedaannya terletak pada ketersambungan sanadnya. Bila dalam Islam ada
banyak hadis yang sanadnya bersambung kepada Nabi Saw tanpa terputus, maka
berbeda dengan sanad yang ada dalam kitab Mishnah. Riwayat-riwayat Mishnah
dengan rangkaian sanad yang sampai kepada Nabi Musa tanpa terputus adalah
jarang terjadi, tetapi Cook mengatakan bahwa rangkaian sanad semacam itu tetap
dapat ditemukan dan benar-benar ada.71 Salah satu contohnya adalah sebagai
berikut:

R Joshua Sid: I have received (as a tradition) from Rabban Johanan b.


Zakkai, who heard from his teacher, and his teacher from his teacher, as a

69
Josef Horovitz mencantumkan rangkain sanad Mishnah ini di dalam karnyanya
yang berjudul ‚Alter und Ursprung des Isna>d‛ dalam jurnal Der Islam der Islam, (1917), h.
33. Horovits mengutipnya dari Mishnah, Berakhot, f. 11b. 48.
70
Michael Cook, ‚The Opponents of The Writing of Traditional in Early Islam‛, h.
126
71
Michael Cook, ‚The Opponents of The Writing of Traditional in Early Islam‛, h.
510
65

Halakah given to Moses from Sinai, that Elijah will not come to declare
unclean or clean….‛

‚R. Joshuan mengatakan: saya telah menerima sebuah riwayat dari Robban
Johanan b. Zakka’i, yang mendengar dari gurunya, dan gurunya mendengar
dari gurunya, sebagai sebuah Halakah yang diberikan kepada Musa dari bukit
Sinai, bahwa Elija tidak datang untuk mengumumkan yang najis atau yang
suci….‛.72

Michael Cook mengklaim sanad ini bersambung sampai kepada Nabi Musa
tanpa adanya keterputusan. Cook mengakui bahwa sanad yang bersambung tanpa
mengalami keterputusan memang jarang ditemui dalam Mishnah. Namun, sanad
yang muttasil seperti ini tetap dapat ditemukan meskipun jumlahnya terbatas dan
tidak banyak. Yang jelasnya, bagi Cook, sanad yang bersambung tidak hanya ada
dalam hadis, tapi juga terdapat dalam kitab Mishnah.
Selain kemiripan dalam hal rangakaian nama-nama perawi Mishnah,
terdapat juga istilah-istilah yang digunakan dalam periwayatan Mishnah yang mirip
dengan istilah-istilah yang digunakan dalam periwayatan hadis, istilah-istilah
tersebut yaitu: meneruskan/menerima (masar/qibbel), berkata/mendengar
(amar/shema), memberi/menerima (natan/laqah).73 Dalam studi hadis, istilah-istilah
tersebut mirip dengan metode yang digunakan dalam menerima dan mendengar
suatu riwayat hadis (Tahammul wal ada’). Namun, dari penelusuran penulis tidak
ada keterangan lebih lanjut bagaimana metode tersebut digunakan.
Adapun sanad dalam sejarah Kristen tidak dijelaskan oleh Michael Cook.
Namun, ia menyebutkan bahwa fenomena sanad merupakan tradisi yang dikenal di
beberapa tempat dan masa di luar Islam. Sebagaimana pernyataannya yang penulis
kutip:

‚Oral Tradition is a phenomenon known from a diversity of places and times,


and like many such phenomena it varies in character from case to case.‛74

‚Tradisi lisan (sanad) merupakan fenomena yang dikenal di berbagai tempat


dan masa, sebagaimana fenomena semacam itu, ia beragam dalam
karakternya dari satu kasus ke kasus lainnya.‛

72
Herbert Danby ‚The Misnah‛ ‘Eduyot, 8:7 (New York: Oxford University Press,
1933), h. 436
73
Samuel Belkin, In His Image: The Jewish Philosophy of Man as Expressed in
Rabbinic Tradition (London: Abelard-Schuman, 1961), h. 99
74
Michael Cook, ‚The Opponents of The Writing of Traditional in Early Islam‛, h.
519
66

Pernyataan Cook di atas yang mengatakan bahwa sistem sanad adalah


sebuah fenomena yang dapat ditemui dibeberapa tradisi keagamaan di luar Islam
memberikan signal bahwa bisa jadi sistem sanad juga ada dalam tradisi Kristen.
Berangkat dari pernyataan Cook tersebut maka penulis mencoba melakukan
penelusuran untuk mencari apakah sistem sanad juga ada dalam tradisi Kristen atau
tidak. Sebab pernyataan Cook tersebut masih sebatas hipotesis yang dimana masih
perlu pengkajian dan penelitian lebih lanjut.
Menurut informasi dari Ibnu Hazm yang dikutip oleh Imam As-Suyuthi
dalam kitabnnya Tadri>b ar-Ra>wi>, ia mengatakan bahwa sesunggunhnya sistem
sanad juga dapat ditemui dalam tradisi Kristen. Sejarah mencatat bahwa sistem
sanad menjadi bagian dalam tradisi Kristen, sanad pernah digunakan oleh Kristen
dalam hal periwayatan Injil. Ibnu Hazm menjelaskan bahwa sanad yang ada dalam
Injil berkaitan tentang riwayat talak. Namun sanad tersebut menjadi satu-satunya
sanad yang terdapat dalam kitab suci umat Nasrani. Selain itu, tidak ditemukan lagi
sanad yang lain.75
Menurut Maurice Bucaille dalam bukunya La Bible Le Coran Et La Scince
yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Bibel, Quran dan
Sains Modern, Maurice Bucaille mengatakan bahwa Injil sebelum dikodifikasi
dalam bentuk kitab ia ditransmisikan secara lisan dari mulut ke mulut. Proses ini
berlangsung dari generasi ke generasi hingga membentuk suatu rentetan silsilah
sanad. Tahapan dari metode transmisi lisan tersebut merupakan langkah awal
pembentukan Injil sebelum dituliskan.76
Pendapat senada yang dikemukakan oleh Comfrot. Menurutnya, sebelum
Injil terwujud dalam bentuk tulisan ia pertama kali diketahui di kalangan Kristen
secara oral. Setelah dirasa adanya kebutuhan teks tertulis, misalnya sebagai
pedoman untuk para pengajar Injil, para rasul mulai mencatat ajaran agama itu.
Maka setelah itu, lahirlah keempat injil (Matius, Markus, Lukas, Yohanes) yang
ditulis dalam bahasa Yunani.77
Menurut sejarah versi Kristen, Yesus tidak meninggalkan karangan tertulis.
Seluruh informasi mengenai ajaran Yesus dan apa yang dikerjakan selama hidupnya

75
Ibnu Hazm tidak menjelaskan pada bagian mana dan halaman berapa sanad
tersebut terletak dalam Injil. Ibnu Hazm hanya mengatakan bahwa sistem sanad terdapat
juga dalam injil tapi ia hanya mengatakan tanpa memperlihatkannya dan tidak
mengutipnya. Sehingga perlu dilakukan penelitian yang lebih lanjut. Lihat Imam Jalaluddin
As-Suyuthi, Tadrib ar-Ra>wy>, Jilid 2, (Beirut: Da>r al-Kutub al-Ilm’iyah, 1997), h. 94
76
Maurice Bucaille, Bibel, Quran dan Sains Modern. Penerjemah H.M Rasyidi
(Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 59
77
P.W. Comfort, Early Manuscript and Modern Translations of the New
Tastament), h. 96
67

di dunia ini disampaikan oleh para informannya. Informan-informan yang paling


penting adalah kedua belas muridnya.78 Murid-murid tersebut bergaul dan
berkeliling menemani Yesus selama kurang lebih tiga tahun dengannya.79
Setelah Yesus wafat, para murid-muridnya diserahi tanggung jawab untuk
menjelaskan kepada khalayak tetang siapa Yesus sesungguhnya dan apa yang telah
diajarkannya. Pada kesempatan itulah para murid-muridnnya memberikan berbagai
informasi mengenai diri Yesus. Dalam hal ini mereka bersumber pada pengalaman
mereka selama tiga tahun bergaul dengan Yesus. Mereka menggambarkan
penyembuhan orang-orang sakit yang mereka saksikan, kekuatan Yesus yang
bahkan melampaui daya manusia biasa. Mereka mengulang cerita-cerita yang telah
dibawakan oleh Yesus dan pengajaran yang diberikannya.80
Dengan demikikan banyak bahan pewartaan mulai beredar pada jemaat-
jemaat Kristiani baik di Palestina maupun di luar Palestina. Bahan-bahan itu
beredar pada jemaat-jemaat Kristiani dan disampaikan dari mulut ke mulut. Para
murid Yesus dan pimpinan jemaat lainnya terus mengawasi semuanya supaya kaum
beriman dididik dengan kebenaran sesuai sabda Yesus. Dengan adanya pengawasan
langsung dari pimpinan jemaat tentu membuat bahan-bahan tersebut tetap terjaga
orisinalitasnya dan tidak berubah sedikit pun. Lama-kelaman, macam-macam bahan
yang beredar dikalangan jemaat Kristiani mulai dikumpulkan dan disusun secara
teratur.
Selain ditemukan dalam sejarah Yahudi dan Kristen, Michael Cook juga
berpendapat bahwa tradisi sanad sebagai metode transmisi sudah lazim digunakan
oleh orang-orang Arab pra-Islam. Di kalangan orang-orang Arab pra-Islam sistem
sanad menjadi media utama dalam melakukan transfer ilmu. Selain itu, merupakan
sesuatu yang istimewa dalam tradisi bangsa Arab bila setiap berita yang

78
Yesus memiliki dua belas murid yang dalam teologi Kristen mereka disebut para
Rasul. Kedua belas murid tersebut adalah murid-murid utama Yesus, tokoh sentral agama
Kristen yang menjadi pengikut-pengikut terdekat Yesus. Di kemudian hari, pengikiut-
pengikut terdekat ini menjadis informan utaman yang diwartakan Yesus. Dua belas murid
Yesus tersebut adalah: Petrus, Yakobus, Yohanes, Simon, Matius, Yudas, Andrew, James,
Philip, Thomas, Bartolomeus, dan Yudas Iskariot. Sebenarnya masih ada 70 orang lagi
murid Yesus namun ke 12 tersebutlah yang dipilih langsung oleh Yesus untuk
mengikutinya, karena mereka akan memiliki tugas-tugas khusus. Lihat Yakob Tomatala,
Alkitab dan Komunikasi, (Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 2001), h. 90 ; Lihat juga
Arnold, Chris Marantika, (Yogyakarta: ST11, 1997), h. 101
79
Charles Swindoll, Yesus: Tokoh Terbesar, Terjemahan Yahya Kristianto
(Jakarta: Nifira Gabriel, 2008), h. 78
80
L. Berkhof, Sejarah Perkembangan Ajaran Trinitas, Penerjemah Thoriq A,
(Bandung: CV Sinar Baru, 1992)
68

disampaikan selalu disandarkan kepada sumbernya dengan menyebutkan tiap orang


yang menjadi jalur transmisinya.81
Begitu lekatnya isna>d dengan tradisi periwayatan berbagai materi keilmuan
Arab, sehingga pada abad ke-20 M, ketika Aloys Sprenger berkunjung ke negeri
Arab, ia dibuat takjub oleh seseorang yang begitu bangga memiliki riwayat adzan
dengan sanad yang bersambung sampai kepada Sahabat Bilal.82
Menurut Michael Cook, penggunaan sanad dalam tradisi Arab klasik
banyak digunakan pada periwayatan syair.83 Budaya Arab sangat kental dengan
tradisi bersyairnya. Bahkan tradisi syair memiliki kedudukan yang sangat penting
dalam kebudayaan Arab. Hal itu bisa terlihat dari ungkapan Ibn Faris:

ُ ُ‫امش ْعرُ ِديْ َوانُامْ َع َر ِبُبِوَُ ِس َظ ِت ُْاإلو ْ َساب َُوع ِرُفَ ِتُاملأ ِثر َُو ِم ْنوُثع ِل َمتُانلُّغَ َة‬
ِ
ّ
Syair adalah catatan bangsa Arab, dengan syair garis keturunan dilestarikan,
dengannya jejak peninggalan (pendahulu) dikenal, dan dengannya bahasa
diajarkan.84

Cook juga mengatakan bahwa periwayatan syair telah lebih dahulu ada
daripada periwayatan hadis. Setiap syair memiliki rawi, rawi-rawi inilah yang
menjaga dan menjamin ketersambungan periwayatan syair. Hubungan antara rawi
dan syairnya tak jauh berbeda dengan hubungan antara perawi hadis dengan hadis
yang diriwayatkannya itu. Hal ini diterangkan oleh Michael Cook sebagaimana
penjelasannya sebagai berikut:
‚The suggestion has been made that the origin of the isna>d lies in practice of
transmission among the pre-Islamic poets; a poet would have a ra>wi> or ra>wis
who would memorise and recite his poetry.‛85

‚Pernyataan telah diajukan bahwa asal usul isna>d terletak pada praktik
periwayatan di kalangan para penyair pra-Islam; sebuah syair memiliki rawi
atau beberapa rawi yang menghafal dan membaca syairnya.‛

81
Yu>suf Khulaif, Dira>sa>t Fi> al-Syi’r al-ja>hili>, (Kairo: Maktabah al-Gari>b, 1981 ), h.
25
82
A. Sprenger, Ar-Riwa>yah wa ar-Ruwa>t ‘ind al-‘Arab, dalam Dira>sa>t al-
Mustaryriqi>n Haula Shihhat ary-Syi’r al-Ja>hili>, Penerjemah Abdurrahman Badawi, (Beirut:
Da>r al-‘Ilm li al-Mala>yi>n, 1986), h. 270
83
84
Abu> al-Husain ibn Fa>ris al-Lugawi>, At-Shahi>hi fi> Fiqh al-Lugah al-‘Arabiyyah
wa Sunan al-‘Arab fi Kalamihi, (Beirut: Maktabah alMa'arif, 1414 H/1993 M), h. 267
85
Michael Cook, ‚The Opponents of The Writing of Traditional in Early Islam‛, h.
511
69

Secara sederhana Cook ingin mengatakan bahwa sistem periwayatan syair


pada masa Arab pra-Islam memiliki kemiripan dengan sistem sanad yang ada pada
hadis. Baik sanad syair atau sanad hadis keduanya memiliki rentetan nama-nama
rawi yang bertugas melakukan transmisi riwayat. Menurut hemat Cook bahwa
setelah Islam datang maka tradisi sanad ini direduksi dan dilanjutkan oleh umat
Islam, sehingga kebudayaan Arab sedikit banyak memberikan pengaruh terhadap
sistem isna>d yang ada dalam hadis. Hal itu dapat dilihat dari pernyataan Cook
sebagai berikut:

‚Unselfconscious oral tradition was represented by the folk Tradition on the


pre-Islamic Arabs. In some form or other much of this was reduced to writing
in the early Islamic period. Interesting comparative questions arise about
both the content and the redaction of this material. But given the Islamic
endorsement of the Arabian idenrity, it is no suprise that the Arabs should
have been among the peoples who succeeded recording their folk Traditions
for literate posterity.‛86

‚Secara tidak sadar tradisi lisan (sanad) merepresentasikan tradisi


masyarakat Arab pra-Islam. Dalam beberapa bentuk atau lainnya,
kebanyakan tradisi ini direduksi dalam tulisan pada periode Islam awal.
Berbagai pertanyaan yang menarik muncul mengenai isi maupun redaksi
bahan ini. Namun, dengan adanya dukungan Islam terhadap identitas Arab,
tidak mengherankan bahwa orang-orang Arab termasuk di antara orang-
orang yang sukses merekam tradisi mereka untuk keturuan yang melek
huruf.‛

Masyarakat Arab jahiliyah dikenal sebagai masyarakat yang tidak bisa


membaca dan menulis (ummi). Maka satu-satunya yang dapat diandalkan ketika
mereka menerima informasi adalah kekuatan hafalan. Di samping itu, juga adanya
faktor eksternal yang sangat dominan, yaitu mereka terdorong untuk manghafal al-
Ayyam (peristiwa penting) dan al-Ansab (geneologi) yang menjadi kebanggaan.
Dua jenis pengetahuan itu banyak tersimpan dalam karya sastra baik berupa syair
maupun berupa prosa.87 Maka amat wajar kalau pada masa jahiliyah karya sastra
disosialisasikan melalui sarana tradisi oral. Dengan kata lain, seorang penyair
meriwayatkan gubahan syair kepada generasi penyair lainnya, kemudian penyair
tersebut meriwayatkannya kepada penyair berikutnya. Pada akhirnya proses

86
Michael Cook, ‚The Opponents of The Writing of Traditional in Early Islam‛, h.
520
87
Badri Yatim, Histografi Islam, (Jakarta: Logos 1997), h 29-39
70

penyampaian semacam ini mengenal istilah riwayah yang sekaligus terkait dengan
sanad (tansmisi), matan (materi/isi), dan al-‘ardh wa al-ada’ (penyampaian).
Penggunaan sistem sanad pada masa Arab jahili bermula pada masa
perkembangan kesusasteraan syair Arab. Para penyair khususnya telah
menggunakan sistem ini di dalam menyampaikan syair-syair yang dilakukan di
kalangan para penyair dan orang ramai.88 Ini menunjukkan bahwa sistem sanad ini
berfungsi bukan saja untuk menyampaikan hadis Nabi Saw tetapi maklumat-
maklumat lain seperti syair, berita-berita daripada pemimpin dan berbagai lagi jenis
maklumat. Hal inilah yang kemudian diyakini oleh Michael Cook bahwa sistem
sanad sudah lazim digunakan oleh Arab pra-Islam sebelum Islam datang. Setelah
Islam datang maka sistem ini tetap dilanjutkan dan direduksi oleh Islam, sanad
menjadi sistem yang modern dan sempurna seteleh para perawi hadis
menggunakannya sebagai sistem transimisi hadis.
D. Asumsi Dasar Pemikiran Michael Cook tentang Islam Menjiplak Sistem Sanad
Yahudi
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa menurut Michael Cook sistem
sanad sudah digunakan oleh umat terdahulu jauh sebelum Islam datang, yaitu
digunakan oleh umat Yahudi dalam transmisi riwayat Mishnah, dan juga digunakan
oleh orang-orang Arab pra-Islam dalam periwayatan syair.89 Namun, pemikiran
Cook ini tidak berhenti sampai di sini. Ia kemudian mempresentasikan
pemikirannya secara komprehesif dengan berpendapat bahwa sistem sanad hadis
besar dipengaruhi oleh sistem sanad Yahudi. Hal ini dijelaskan oleh Cook dengan
mengatakan bahwa sanad hadis sangat erat kaitannya dengan sanad Yahudi. Oleh
karena itu, Cook berani menyipulkan bahwa sistem sanad hadis adalah sesuatu yang
dipinjam dari Yahudi. Hal tersebut sebagaimana yang dijelakan oleh Cook sebagai
berikut:

‚The dichotomy between a written revelation and an oral Tradition is thus


not merely something which Judaism and Islam had in common; it was also,
at the time and place at which Islam took shape, a combinatio that was
peculiar to them, and one to which I know of no parallel elsewhere. It is then
an obvious hypotesis that the whole notion of an oral Tradition is something
which Islam borrowed from Judaism.‛90

88
Nasir al-Asad, Mashsadir al-Syi’r al-Jahili, ed (Cairo: 1962). h. 245
89
Michael Cook, ‚The Opponents of The Writing of Traditional in Early Islam‛,
dalam Jurnal Arbica XLIV, 1997, h. 511
90
Michael Cook, ‚The Opponents of The Writing of Traditional in Early Islam‛, h.
508
71

‚Dikotomi antara wahyu tertulis dan tradisi lisan tidak hanya sama-sama
dimiliki oleh Yahudi dan Islam, tetapi pada waktu dan tempat di mana Islam
terbentuk, ia juga merupakan suatu kombinasi yang khusus bagi keduanya
yang tidak saya temukan di tempat lain (Yahudi dan Islam). Oleh karena itu,
merupakan suatu hipotesis yang jelas bahwa seluruh pemahaman mengenai
sanad merupakan sesuatu yang dipinjam oleh Islam dari Yahudi.‛

Kemudian Cook melanjutkan pernyataanya dengan mengatakan bahwa


tradisi sanad merupakan proyek budaya untuk melanggengkan Islam supaya dapat
berkembang dan bisa terus bertahan sebagai sebuah ajaran. Sistem sanad tidak lahir
secara alamiah dalam Islam, bukan pula hasil temuan dari ijtihad para ulama hadis.
Namun, ia adalah sebuah proyek budaya dengan kata lain bahwa sistem sanad
adalah sesuatu yang di direduksi dan diadopsi dari tradisi dan kebudayaan Yahudi.
Pernyataan Cook tersebut sebagai berikut:

‚This was a more peculiar, not to say perverse, cultural project, and I have
argued in this study that its adoption makes historical sense only as a rasidue
of Rabbinic Judaism.‛91

‚Ini adalah proyek budaya yang aneh, bukan untuk mengatakan tidak wajar,
dan saya telah mengemukakan argumen dalam studi ini bahwa pemakaian
sanad secara historis dapat dipahami hanya sebagai sisa dari ajaran Yahudi.‛

Hipotesis Cook yang mengatakan bahwa sistem sanad hadis adalah


contekan dari sistem sanad Yahudi berangkat dari beberapa asumsi. Berdasarkan
hasil bacaan penulis tentang pemikiran Michael Cook, maka penulis merumuskan
beberapa poin penting yang menjadi landasan argumen Michael Cook dalam
menguatkan pendapatnya tentang sistem sanad hadis adalah hasil pinjaman dari
Yahudi, poin-poin tersebut adalah sebagai berikut:
Pertama, rangakaian sanad hadis sama persis dengan rangkaian sistem
sanad Mishnah, yaitu keduanya sama-sama memiliki pola penyandaran yang sama.
Baik sanad hadis dan sanad Mishnah masing-masing memiliki rawi yang secara
personal menyampaikan riwayatnya secara oral kepada perawi berikutnya dan
disampaikan lagi kepada perawi setelahnya, begitu seterusnya dari generasi ke
generasi, hingga akhirnya terbentuk suatu pola rangkaian sistem sanad. Contoh
rangkaian sanad Mishnah sebagai berikut:

91
Michael Cook, ‚The Opponents of The Writing of Traditional in Early Islam‛, h.
521
72

‚R. Zeriqa said: R. Ammi said: R. Simeon ben Laqish said: ‚R. Yehudah
said: Rav said: ‚R. Abba said: R. Hiyya bar Ashi said: Rav said:…..‛.92

‚R. Zeriqa mengatakan: R. Ammi mengatakan: R. Simeon ben Laqish


mengatakan: ‚R. Yehudah mengatakan: Rav mengatakan: ‚R. Abba
mengatkan: R. Hiyya bar Ashi mengatkan: Rav mengatakan:…..‛.

Pola rangkaian sanad seperti ini memiliki kesamaan dengan pola sanad
yang ada dalam hadis. Menurut Cook, tidak ditemukan pola yang sama dari sumber
lain, baik pada sanad Kristen maupun sanad Arab Klasik. Pola rangkaian sanad
secara berantai dan sandar menyandarkan seperti ini hanya dapat ditemukan dalam
kitab Mishnah dan hadis.93 Sehingga ini menguatkan asumsi Cook bahwa sanad
hadis besar dipengaruhi oleh sistem sanad Misnhah.
Kedua, Cook mengatakan bahwa pada awalnya praktik penulisan Mishnah
ditentang oleh beberapa kalangan Yahudi, Mishnah hanya boleh dihafalkan dan
ditransmisikan secara oral dengan disampaikan dari mulut ke mulut.94 Praktik
larangan penulisan tersebut ditentang sebab ada beberapa ayat yang melarang
penulisan, yaitu salah satu di antaranya terdapat dalam kitab Talmud Babilonia
sebagai berikut:

‚You may not transmit written words orally and you may not transmit oral
words in writing‛.95

‚Kalian tidak mungkin meriwayatkan kata-kata tertulis secara lisan, dan


kalian tidak mungkin meriwayatkan kata-kata lisan dalam tulisan‛.

Selain itu, dalil lain yang sering dijadikan sebagai landasan untuk melarang
melakukan penulisan terhadap kitab Mishnah yaitu terdapat dalam kitab Talmud
Palestina sebagai berikut:

‚Words which have been transmitted orally must be transmittend orally, and
words which have been transmitted in writing must be transmitted in
writing‛.

92
Joseph Horovits mencantumkan rangkain sanad Misnah ini di dalam karnyanya
yang berjudul ‚Alter und Ursprung des Isna>d‛ dalam jurnal Der Islam der Islam, (1917), h.
33. Horovits mengutipnya dari Misnah, Berakhot, f. 11b. 48.
93
Michael Cook, ‚The Opponents of The Writing of Traditional in Early Islam‛, h.
509-511
94
Michael Cook, ‚The Opponents of The Writing of Traditional in Early Islam‛, h.
509
95
Talmud Babilonia, Gittin, f. 60b. 13 (London, 1952), h.52
73

‚Kata-kata yang diriwayatkan secara lisan harus diriwayatkan secara lisan,


dan kata-kata yang diriwayatkan secara tulisan harus diriwatkan secara
tulisan‛.96

Penulisan Mishnah baru dilakukan oleh rabbi Judan Hanasi pada tahun 200
M. Namun, ia meninggal sebelum tulisan tersebut selesai. Proyek penulisan
Mishnah kemudian dilanjutkan oleh para rabbi generasi setelahnya dan akhirnya
baru selesai pada tahun 500 M.97 Menurut Cook, kasus ini sama persis dengan apa
yang terjadi dalam penulisan hadis. Pada awalnya muncul larangan penulisan hadis.
Nabi Saw melarang melakukan penulisan hadis dan hanya boleh disampaikan dari
mulut ke mulut. Proses transimisi hadis secara oral berlangsung sampai pada masa
Dinasti Muawiah, yaitu sekitar 100 tahun setelahnya atas perintah dari Khalifah
Umar bin Abdul Aziz.98
Ketiga, Michael Cook juga menjelaskan bahwa selain ada banyak dalil yang
melarangan penulisan Mishnah, akan tetapi ada pula beberapa dalil yang
mendukung tulisan walaupun dalil tersebut jumlahnya terbatas dan tidak banyak.
Cook mengutip salah satu contoh ayat yang melarang penulisan Mishnah yang
terdapat dalam kitab Talmud Babilonia sebagai berikut:

‚They reply to the sayings forbidding writing that the Rabbies do indeed rely
on what they lern by heart, but since there is a danger of forgetting, they
write it down and deposit it, and when they forget something, they look in
the book‛.

‚Mereka menjawab perkataan yang melarang tulisan bahwa para Rabbi


memang benar bersandar pada apa yang mereka hafal, tetapi sejak ada
bahaya lupa, mereka menulis dan menyimpannya, dan ketika mereka lupa
akan sesuatu, mereka melihat tulisan tersebut‛.99

Sama seperti dalam Islam, meskipun di satu sisi ada keterangan dari Nabi
Saw yang melarangan penulisan hadis, akan tetapi di sisi lain ditemukan juga
beberapa riwayat yang memperbolehkan penulisan hadis. Oleh karena itu, baik
hadis maupun Mishnah sama-sama memiliki sejarah pro-kontra dalam hal

96
Talmud Palestina, Megillah, f. 74d. 16 (London, 1982), h. 142
97
Thariq as-Suwaidan, Ensiklopedia Yahudi, Penerjemah Iman Firdaus, (Jakarta:
Pustaka Imam Ays-Syafi’i, 2015), h. 149
98
Michael Cook, ‚The Opponents of The Writing of Traditional in Early Islam‛, h.
476-481
99
Michael Cook, ‚The Opponents of The Writing of Traditional in Early Islam‛, h.
500
74

penulisan. Menurut Cook, kesamaan ini menjadi salah satu indikasi kuat yang
membuktikan bahwa sanad hadis diadopsi dari tradisi sanad Yahudi.
Keempat, untuk mengumpulkan suatu riwayat, baik periwayat Mishnah
maupun periwayat hadis, mereka sama-sama melakukan perjalanan jauh,
mengunjungi berbagai kota demi untuk menemui para perawi untuk mendapatkan
riwayat. Rabbi Zera adalah salah satu periwayat Mishnah yang terkemuka, ketika ia
mendengarkan suatu riwayat tertentu dari tempat yang jauh, ia mengungkapkan
harapan bahwa suatu hari ia akan ke tempat itu dan mendengarkan perkataan
tersebut secara langsung sebagaimana ia lakukan pada akhirnya.100 Demikian pula
dengan para perawi hadis. Abu> al-A<liyah (w. 90) misalnya, ketika ia mendapat
kabar bahwa ada sahabat di Madinah yang memiliki beberapa riwayat hadis, maka
ia segerah berangkat ke Madinah untuk mendengarkan hadis-hadis itu langsung dari
para sahabat sendiri.101
Kelima, baik Mishnah dan hadis keduanya memiliki kesamaan dalam hal
pengumpulan dan penulisan dalam bentuk buku, dimana antara hadis dan Mishnah
masing-masing memiliki kumpulan enam kitab. Pada saat ditulis, Mishnah dibagi
menjadi enam bagian sesuai dengan pokok bahasan. Keenam bagian tersebut
dikenal dengan istilah The Six Orders (Enam Buku).102 Sedangkan dalam Islam
keenam kitab hadis disebut dengan Kutub al-Sittah (Kitab Enam). Cook mengutip
pendapat Josef Horovitz bahwa adanya kesamaan jumlah antara pembagian enam
kitab hadis dan enam kitab Mishnah mungkin bukan kebetulan, tentu ini
mengundang banyak pertanyaan dan kemungkinan besar kitab hadis dipengaruhi
oleh kitab Mishnah.103
Lima hal di atas adalah landasan yang diajukan oleh Micahel Cook untuk
memperkuat argumennya. Bagi Cook, lima poin di atas cukup menjadi bukti untuk
mengatakan bahwa sanad Islam berasal dan dipengaruhi oleh tradisi sanad yang ada
pada Yahudi. Sanad Yahudi dan Islam memiliki persamaan, baik dari segi metode
penyandaran, sejarah penulisan, tradisi periwayatan, proses pencarian riwayat dan

100
Michael Cook, ‚The Opponents of The Writing of Traditional in Early Islam‛,
h. 511
101
Michael Cook, ‚The Opponents of The Writing of Traditional in Early Islam‛,
h. 511
102
Sampai hari ini, Talmud lengkap, yang mengikuti divisi enam yang disebut
dengan istilah "The Six Orders." Enam buku tersebut yaitu: (1) Zera>’i>m, hukum pertanian;
(2) Mo>’e>d, hukum-hukum Sabat dan perayaan festival; (3) Na>shi>m, undang-undang tentang
perempuan (pernikahan, perceraian, dll.); (4) Nezi>qi>n, hukum kerusakan sipil (gugatan,
kontrak, properti, bukti dan prosedur); (5) Qoda>shi>m, hukum tentang hal-hal suci
(pengorbanan, pelayanan ilahi, dll.); dan (6) T{oha>ro>t, hukum kemurnian ritual.
103
Josef Horovitz, ‚Alter und Ursprung des Isna>d‛ dalam jurnal Der Islam der
Islam, (1917), h. 113
75

pembukuan atau kodifikasi. Dengan demikian, Cook yakin bahwa Islam telah
menjiplak sistem sanad dari tradisi sanad Yahudi.
BAB IV

ANALISIS TERHADAP PEMIKIRAN MICHAEL COOK

A. Kritik atas Metodologi Sistem Sanad Pra-Islam


Pernyataan Michael Cook yang mengatakan bahwa sanad sudah digunakan
oleh umat terdahulu sebelum Islam adalah pernyataan yang dapat dibenarkan. Hal
ini juga diutarakan oleh Mustafa al-‘Azami dalam kitabnya Dira>sat fi> al-Hadi>s al-
Nabawi wa Tari>kh Tadwi>nih. Menurutnya, sebelum Islam datang, sistem sanad
sudah digunakan oleh umat Yahudi dalam kitab Mishnah.1 Ali Mustafa Ya’qub
sejalan dengan Azami, ia juga mengatakan bahwa sistem sanad sudah digunakan
oleh Yahudi dalam kitab Mishnah. Namun, tidak diketahui sejauh mana urgensi
penggunaan sanad dalam kitab Yahudi tersebut.2
Meskipun ada fakta yang menunjukkan bahwa sistem sanad sudah
digunakan oleh umat terdahulu. Namun, sistem sanad yang ada pada mereka
memiliki parbedaan yang cukup jauh dengan sanad yang digunakan oleh Islam,
yaitu pada urgensi dan arti penting penggunaanya. Sistem periwayatan yang ada
pada mereka tidak memandang penting kualitas para perawinya. Mereka tidak
memiliki sifat daya kritis dan penilaian terhadap kredibilitas para perawinya.
Dengan begitu, mereka tidak mementingkan kejujuran terhadap kebenaran cerita-
cerita yang mereka riwayatkan.
Sikap yang cenderung apatis terhadap penyelidikan keadaan para
perawinya terlihat dari tidak adanya suatu sistem metodologi yang digunakan
dalam memverifikasi suatu riwayat. Mereka tidak memiliki perangkat lengkap,
seperti penilaian serta penyaringan terhadap apa yang diriwayatkan, seperti yang
dimiliki dalam sistem periwayatan Islam. Akhirnya, mereka tidak melakukan
penyelidikan keadaan para periwayatnya dan kecocokan cerita-cerita itu dengan
kebenaran dan kenyataan sebenarnya.3
Kritik terhadap para pembawa riwayat sangat penting dilakukan agar
riwayat yang dibawanya tetap terjaga kemurniannya. Namun hal itu tidak berlaku
kepada periwayat-periwayat umat lain sehingga riwayat yang ada pada mereka
diragukan kebenarannya. Hal itu dapat dilihat misalnya dalam periwayatan Arab
pra-Islam. Periwayatan yang terjadi dalam masyarakat Arab sebelum Islam
memiliki perbedaan yang cukup prinsip. Tradisi periwayatan dalam masyarakat
Arab sebelum Islam atau pada masa jahiliah tidak mementingkan kebenaran berita
dari apa yang mereka terima. Sehingga mereka tidak kritis terhadap siapa yang
membawa berita itu. Tidak mementingkan kejujuran dan kebenaran yang
disampaikan apalagi terhadap penelusuran berita yang diterimanya.4

1
Muhammad Mustafa Al-‘Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya,
Penerjemah Ali Mustafa Ya’qub (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), h. 530
2
Ali Mustafa Ya’qub, Kritik Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), h. 97
3
Muhammad Ali, ‚Kajian Sanad‛, dalam Tahdis: Jurnal Kajian Ilmu Hadis,
Volume 6, no. 2, 2015, h. 97
4
Muhammad Ali, ‚Kajian Sanad‛, dalam Tahdis: Jurnal Kajian Ilmu Hadis, h. 97

76
77

Hal ini dapat dimaklumi, mengingat bahwa apa yang mereka riwayatkan
itu tidak mengandung nilai-nilai sakral yang harus diagungkan seperti periwayatan
yang terdapat dalam Islam. Karena itu, mereka tidak begitu teliti dalam
meriwayatkan. Hal ini dapat kita saksikan pada sebagian besar cerita kuno dan
syair-syair yang mereka bawa. Cerita-cerita tersebut hanya dimaksudkan untuk
memuaskan perasaan, sebagai hiburan, atau untuk menyebarkan semangat
perjuangan dan keberanian serta membangkitkan semangat pertempuran.5
Urgensi dan arti penting penggunaan sistem sanad baru tampak dan lebih
penting pada masa Islam. Islam menjadikan sanad sebagai bagian daripada agama.
Periwayatan dalam Islam mempunyai keistimewaan dan ciri-ciri khusus yang akan
membedakannya dengan periwayatan-periwayatan yang telah ada sebelumnya.
Keistimewaan ini dilihat dari dua aspek,6 yaitu: pertama, perhatian umat Islam
terhadap aspek periwayatan; kedua, adanya unsur persambungan sanad sampai
kepada Nabi. Sedangkan periwayatan sebelum Islam di kalangan Yahudi, Kristen
dan Arab pra Islam sebatas pada penyampaian kabar atau berita tanpa
memperhatikan orang yang menyampaikan dan kebenaran berita tersebut.
Periwayatan terdahulu selain tidak memiliki prangkat lengkap dalam
melakukan kritik sanad, kebanyakan sanad mereka juga terputus. Banyak dari
riwayat mereka yang berstatus dengan status mursal atau mu’dhal (jenis-jenis
riwayat yang terputus jalur periwayatannya). Sanad-sanad riwayat mereka
mengalami keterputusan baik di awal, tengah maupun akhir periwayat. Hal tersebut
sebagaimana yang diungkapkan oleh Ibnu Hazm, dalam pernyataanya yang
mengatakan bahwa salah satu kelemahan dari sanad Yahudi yaitu tidak adanya
sanad yang bersambung sampai kepada Nabi Musa. Riwayat orang-orang Yahudi
itu hanya sampai pada orang yang antara dia dengan Nabi Musa jaraknya lebih dari
30 generasi (thabaqat). Ibnu Hazm menambahkan bahwa sanad yang dimiliki oleh
Yahudi hanya sampai kepada Syam’un atau semasanya, tidak ditemukan sanad
yang sampai kepada Nabi Musa. Dengan demikian sanad mereka jelas memiliki
keterputusan.7
Michael Cook mengakui bahwa rangkaian sanad riwayat-riwayat Mishnah
yang sampai kepada Nabi Musa tanpa terputus adalah jarang terjadi. Namun, ia
menambahkan bahwa meskipun jarang ada sanad yang ditemui bersmbung tetapi
rangkaian sanad yang bersambung tetap dapat ditemukan dan benar-benar ada
dalam Mishnah.8 Salah satu contohnya adalah sebagai berikut:

5
Penggunaan sanad Masyarakat Jahiliyah bukan hal-hal yang bersifat sakral dan
suci serta tidak memiliki ketentuan-ketentuan yang ketat. Lihat Muhammad Abu Syuhbat,
Fi> Rihat al-Sunnah al Kutub al-Shihal al-Sittah, (Kairo: Majma al-Buhut al-Islamiyah,
1989), h. 32.
6
Muhammad Imran, Analisis ke-Siqah-an Perawi Hadis (Yogyakarta: Istana
Publishing, 2016), h. 47
7
Mustafa Amin Ibrahim at-Taziy, Muhadrat fi> ‘Ulum al-Hadis, Juz,I, cet. IV
(Mesir: Da>r al-Taf’lif bi al-Maliyyah, t.t), h. 3
8
Michael Cook, ‚The Opponents of The Writing of Traditional in Early Islam‛, h.
510
78

R Joshua Sid: I have received (as a tradition) from Rabban Johanan b.


Zakkai, who heard from his teacher, and his teacher from his teacher, as a
Halakah given to Moses from Sinai, that Elijah will not come to declare
unclean or clean….‛

‚R. Joshuan mengatakan: saya telah menerima sebuah riwayat dari Robban
Johanan b. Zakka’i, yang mendengar dari gurunya, dan gurunya mendengar
dari gurunya, sebagai sebuah Halakah yang diberikan kepada Musa dari bukit
Sinai, bahwa Elija tidak datang untuk mengumumkan yang najis atau yang
suci….‛.9

Menurut Cook, sanad ini bersambung sampai kepada Nabi Musa tanpa adan
keterputusan. Sanad yang bersambung memang jarang ditemui dalam Mishnah.
Namun, sanad yang muttasil seperti ini tetap bisa ditemui meskipun jumlahnya
tidak banyak.10
Pernyataan Cook yang mengatakan bahwa sanad di atas merupakan sanad
yang bersambung kepada Nabi Musa tanpa adanya keterputusan perlu dikritisi.
Letak permasalahannya karena Cook tidak memaparkan bagaimana cara ia
mengetahui bahwa sanad tersebut muttasil, ia tidak menjelaskan metode apa yang
ia gunakan untuk mengklaim ketersambungan sanad Mishnah tersebut. Sehingga
pernyataan Cook di atas masih sebatas asumsi.
Bila dikaji lebih lanjut, sanad yang dikutip oleh Cook di atas pada dasarnya
mengalami keterputusan. Dalam rangkaian sanad tersebut terdapat nama Rabban
Johanan yang menerima riwayat dari gurunya dan gurunya mendengar dari gurunya.
Di sinilah letak titik permasalahannya sebab tidak diketahui siapa sosok guru dari
Rabban Johanan tersebut. Ia hanya menyebutkan bahwa ia menerima dari gurunya
tapi tidak diketahui siapa namanya dan bagaimana profil gurunya. Dalam tinjauan
ilmu hadis tentu kasus seperti ini dikategorikan sebagai sanad yang terputus, sebab
guru Rabban Jonanan majhul (tidak diketahui). Oleh karena itu, klaim Cook yang
mengatakan bahwa sanad di atas bersambung kepada Nabi Musa tidak dapat
diterima.
Demikian juga pada kitab suci Kristen tidak ditemukan adanya sanad yang
menghubungkan sampai kepada Yesus (Nabi Isa). Periwayatannya yang dianggap
diterima secara lisan dari generasi ke generasi tidak dapat dibuktikan secara
kongkrit. Para perawi yang terlibat dalam transmisi riwayat Perjanjian Lama dan
Perjanjian Baru tidak memiliki identitas yang jelas. Para periwinya tidak bisa
ditelusuri sebab nama dan identitasnya tidak ada, karenanya silsilah Injil baik Injil
Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru bisa dipastikan sanadnya terputus.
Adapun pernyataan Ibnu Hazm yang mengatakan bahwa ada satu sanad
yang terdapat dalam Injil yang berbicara tentang pengaharaman talak adalah

9
Herbert Danby ‚The Misnah‛ ‘Eduyot, 8:7 (New York: Oxford University Press,
1933), h. 436
10
79

pernyataan yang tidak bisa dijadikan sebagai landasan ilmiah.11 Sebab Ibn Hazm
tidak menerangkan pada bagian mana dan ayat berapa sanad tersebut terletak
dalam Injil. Ibn Hazm hanya mengatakan bahwa terdapat sanad dalam Injil yang
berkaitan tentang talak. Namun, ia tidak menjelaskannya secara mendetail dimana
letak sanad tersebut dalam Injil. Dengan demikian, tak satu pun ayat Injil yang
memiliki jalur riwayat yang bersambung kepada Nabi Isa (Yesus). Jika ditelaah
menurut kacamata ilmu hadis, maka seluruh ayat Injil adalah dha’i>f karena semua
dalam kategori munqathi’ (terputus jalur), periwayatnya tidak diketahui (majhul)
maupun tidak jelas asalnya (la ashla lahu).
Yang menarik adalah temuan hasil penelitian dari Robert W. Funk,
professor ilmu Perjanjian Baru dari Harvad University ini membuktikan bahwa
ucapan Yesus dalam Injil hanya 18 persen, artinya sebanyak 82 persen ayat Injil itu
palsu. Hasil penelitiannya ini cukup menggemparkan dunia pada saat itu, dalam
pemaparan hasil penelitiannya ia mengatakan :

‚Eighty-two percent of the words ascribed to Jesus in the Gospels were not
actually spoken by him.‛

‚Delapan puluh dua persen kalimat yang disebut-sebut sebagai ucapan Yesus
dalam kitab-kitab Injil sebenarnya tidak pernah diucapkan oleh Yesus.‛12

Dalam kacamata ilmu hadis, meskipun 18 persen Injil dianggap sebagai


ucapan Yesus oleh para pakar, tetapi tetap saja tidak dapat diterima untuk
dijadikan sebagai landasan hukum karena tidak memiliki sanad yang bersambung,
maka nilainya pun menjadi sangat lemah (dha’i>f).
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya di atas bahwa kelemahan dari
sanad pra-Islam adalah tidak adanya suatu sistem metode yang baku menjaga
kemurnian riwayat mereka. Berbeda dengan Islam, salah satu keistimewaan
periwayatan yang ada dalam Islam adalah adanya suatu metodologi yang dapat
digunakan untuk mengkroscek kredibilitas seorang periwayat, yaitu metode ini
dikenal dengan istilah Ilmu al-Jarh wa al-Ta’dil. Ilmu ini digunakan untuk
mengungkap secara terbuka segala bentuk sikap-sikap buruk para perawi hadis
seperti sifat pembohong dan sebagainya. Ulama ahli kritik hadis tetap menyadari
bahwa mengemukakan kejelekan seseorang dilarang oleh agama. Tetapi untuk
kepentingan penelitian hadis yang merupakan salah satu sumber ajaran Islam, maka
kejelekan atau kekurangan pribadi perawi dalam kaitannya dengan periwayat hadis

11
Mustafa Amin Ibrahim at-Taziy, Muhadrat fi ‘Ulum al-Hadis, h. 34
12
Hasil penelitian ini disampaikan oleh Robert W. Funk dalam sebuah seminar di
California, Amerika Serikat pada tahun 1993. Penelitian ini dilakukan bersama 76 orang
ahli dari berbagai kalangan, seperti, ahli ilmu teologi Kristen, ahli kitab suci, ahli bahasa
Ibrani. Hasil penelitiannya kemudian ia publikansikan dalam bentuk buku yang berjudul
The Five Gospels, What did Jesus Really Say?. Lihat Robert W. Funk, The Five Gospels,
What did Jesus Really Say?, (New York: HarperOne, 1993), h. 5
80

sangat perlu dikemukakan. Kejelekan atau kekurangan yang dikemukakan hanyalah


sebatas pada kepentingan periwayatan hadis.13
Ilmu al-Jarh wa al-Ta’dil memiliki urgensi yang sangat penting dalam
Islam khususnya dalam studi hadis. Ilmu ini berfungsi sebagai instrumen untuk
menjaga kemurnian hadis, keberadaanya paling tidak memiliki tiga manfaat.
Pertama, karena dengan ilmu ini terkuak data-data perawi hadis yang terlibat dalam
civitas periwayatan hadis dari masa ke masa semenjak zaman Rasulullah, baik dari
segi biografi maupun dari segi kualitas rijalnya. Kedua, dengan ilmu ini diketahui
pula sikap dan pandangan para ahli hadis yang menjadi kritikus (jarihun dan
Mu’tadilun) terhadap para rawi yang menjadi transmitter hadis dan sikap mereka
dalam menjaga otentisitas hadis-hadis Nabi. Ketiga, ini yang paling urgen, dengan
ilmu ini – meski tidak secara langsung – dapat diketahui kualitas dan otentisitas
suatu hadis.14
Kelemahan dari sanad pra Islam adalah mereka tidak memiliki ilmu
semacam ilmu al-Jarh wa al-Ta’dil sehingga rawi-rawi yang yang menjadi
transmitter dalam silsilah mereka tidak diketahui identitasnya. Sedangkan Islam
telah membuat kaedah khusus untuk mengatur secara cermat dan teliti terhadap
periwayatan dan segala aspeknya yang belum pernah ada kaedah serupa sebelumnya
baik dikalangan Yahudi, Kristen Arab pra-Islam maupun umat-umat seluruh dunia.
Selain Ilmu al-Jarh wa al-Ta’dil, Islam juga mengharuskan adanya
persambungan sanad, mulai dari periwayat yang disandari oleh mukharrij sampai
kepada periwayat tingkat sahabat yang menerima hadis yang bersangkutan dari
Nabi Saw yang semuanya itu harus diterima dari para periwayat yang ‘adil dan
dabit. Sedangkan sebagaimana telah disebut di atas, bahwa periwayatan yang ada
pada umat lainnya adalah sebatas sebagai sebuah periwayatan, yaitu menerima dan
menyampaikan berita tanpa ada persyaratan-persyaratan yang mengikat.
Tradisi sanad yang bersambung merupakan sistem yang istimewa dalam
Islam yang tidak dimiliki oleh tradisi agama lain. Sehingga adanya pemalsuan yang
terjadi terhadap kitab-kitab mereka disebabkan karena tidak adanya sistem yang
kuat dalam menjaga transmisi tersebut baik berupa periwayatan maupun tulisan.
Perhatian terhadap sanad merupakan tradisi keilmuan yang ada dalam Islam
semenjak periode awal Islam. Yaitu dengan melihat usaha para sahabat, tabi’in,
tabi’u tabiin dan ulama-ulama selajutnya dalam mengkritisi setiap perawi yang
meriwayatkan hadis dengan melihatnya dari segi keagamaan, kecerdasan bahkan
ketersambungan dan keterputusannya dengan rawi sebelumnya.
Di luar Islam tidak ditemukan suatu sistem seperti metode yang digunakan
oleh Islam dalam menjaga orisinalitas kitabnya. Satu-satunya sistem yang
digunakan untuk menjaga otentisitas kitab suci mereka yaitu membuat suatu
institusi lembaga seperti yang dilakukan oleh Yahudi. Menurut Joshua Abelson,
untuk menjamin kemurnian Taurat Tulisan dan Taurat Lisan maka dibentuk sebuah
komisi di Yerusalem, yaitu Mahkamah Agama (Sanhedrin) dan di kota-kota kecil
13
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis. Cet I (Jakarta: Bulan Bintang,
1992), h. 72
14
Suryadi, Metodologi Ilmu Rijal Hadis (Yogyakarta: Madani Pustaka Hikmah,
2003), h. 6
81

ada Mahkamah Agama lokal yang menjaga pelaksanaan hukum di tempatnya.


Lembaga ini adalah tempat perkumpulan para rabbi-rabbi yang mendapat mandat
sebagai tempat konfirmasi dan klarifikasi ayat-ayat Taurat yang beredar di tengah
umat.15 Namun permasalahannya, tidak diketahui sejauh mana urgensi dan seperti
apa metodologi yang digunakan oleh para rabbi dalam lembaga ini untuk menjaga
orisinalitas kitab suci mereka.
Periwayatan dalam Islam mempunyai keistimewaan dan ciri-ciri khusus
yang akan membedakannya dari periwayatan-periwayatan yang telah ada
sebelumnya. Mereka tidak menekankan persambungan sanad, tidak ada kriteria
yang mengharuskan perawinya bersifat tsiqah (‘adil dan dhabit) dan mereka juga
tidak melakukan kritik konten (matan). Untuk lebih jelasnya perhatikan tabel
dibawa ini:

No Masalah Sanad Islam Sanad Pra-Islam


Islam mengharuskan Mereka tidak
Ketersambungan adanya ketersambungan menekankan adanya
1
Sanad sanad mulai dari mukharrij ketersambungan sanad
sampai kepada Nabi Saw
Salah satu kriteria perawi Tidak ada syarat tertentu
Kredibilitas hadis yang dapat diterima yang mengharuskan para
2
Perawi riwayatnya yaitu perawi perawinya bersifat adil
yang ‘adil
Hafalan yang kuat adalah Kualitas hafalan tidak
salah satu kriterian yang menjadi kriteria yang
3 Kualitas Hafalan harus dimiliki oleh perawi harus dimiliki oleh
hadis seorang perawi dalam
meriwayatkan
Ulama hadis membuat Tidak ditemukan suatu
sistem untuk menjaga sistem pada pra-Islam
kemurnian hadis, yaitu untuk menjaga kemurnian
4 Sistem diantaranya: Ilmu Rija>l kitab mereka.
Hadi>s, Ilmu Ta>rikh Ar-
Ruwa>h dan Ilmu al-Jarh wa
al-Ta’dil
Ulama hadis melakukan Mereka tidak melakukan
kritik matan untuk menjaga kroscek terhadap
5 Kritik Matan
kemurnian konten (matan) kebenaran konten riwayat
sebuah hadis yang mereka terima

Keistimewaan Islam dalam penggunaan sistem sanad sudah diakui


keakuratannya oleh banyak pihak, pengakuan tersebut tidak hanya dari umat Islam
sendiri tapi juga datang dari luar Islam, misalnya oleh Herbert Sprenger, salah satu

15
Joshua Abelson, The Immanence of God in Rabbinical Literature (London:
Bibliolife DBA, 1912), h. 110
82

orientalis terkenal yang bersal dari Jerman. Dia mengatakan : ‚Tidak ada satupun
dari bangsa-bangsa terdahulu dan juga pada bangsa-bangsa sekarang yang
menghasilkan karya seperti Ilmu Asma’ Rijal (Ilmu yang memuat biografi para
perawi hadis) seperti disusun oleh umat Islam dalam ilmu yang agung ini.
Ilmu ini memuat informasi dan hal ihwal sekitar 500.000 perawi hadis.‛16
Maurice Bucaille seorang orientalis berkebangsaan Prancis yang pada akhir
usianya terketuk masuk Islam juga mengakui kehebatan sistem sanad hadis. Ia
mengatakan bahwa: ‚Para ulama hadis membukukan nama-nama periwayat yang
menukilkan ucapan dan perbuatan Nabi Saw hingga nama-nama tersebut
bersambung sampai kepada generasi pertama, baik dari keluarga Nabi Saw atau
sahabat-sahabat beliau yang langsung bertemu dengan beliau. Usaha ini dilakukan
setelah meneliti satu persatu biografi periwayat. Serta menjauhi periwayat yang
diketahui memiliki rekam jejak yang buruk dan tidak jujur. Metodologi ini hanya
dimiliki oleh ulama Islam dalam setiap meneliti semua kabar dari Nabi Mereka‛.17
Selain itu, pengakun lain juga datang dari seorang sejarawan Nasrani asal
Libanon yang bernama Asad Gabriel Rustum (1897-1965 M). Ketika ia mecatat
karyanya yang berjudul Mushthalah At-Tarikh, ia memberikan pengakuan tentang
hebatnya metodologi penukilan berita sejarah dalam tradisi Islam. Bagaimana
ummat Islam memilah, mana pewarta yang terpecaya dan mana yang bukan
sungguh luar biasa. Mana yang adil dan mana yang amanah. Sehingga ia pun
mengambil sebagian berita sejarah dari ahli sejarah Islam.18
B. Kritik atas Pemikiran Michael Cook tentang Islam Menjiplak Sistem Sanad
Yahudi
Dari ulasan yang lalu, ada satu problem yang perlu mendapat perhatian
khusus untuk dikaji lebih lanjut, yaitu pernyataan Cook yang mengatakan bahwa
Islam telah menjiplak sistem sanad Yahudi. Hal ini diungkapkannya dengan
mengatakan bahwa sanad hadis sangat erat kaitannya dengan sanad Yahudi.
Sehingga Cook berkesimpulan bahwa sistem sanad hadis adalah plagiat yang
diadopsi dari Yahudi.
Dari pernyataan Michael Cook tersebut, tidak secara langsung ia membuat
framing negatif terhadap hadis dengan cara menggiring opini para pembaca bahwa
Islam adalah agama imitasi. Ajaran Islam adalah ajaran plagiasi yang dimana
sistem dan metodologinya banyak diapdopsi dari agama terdahulu. Dengan
demikian, Islam bukanlah ajaran yang murni dari Allah melainkan agama yang
dibuat-buat dengan cara menjiplak dan menyalin sistem ajaran terdahulu, yaitu
dalam hal ini adalah ajaran Yahudi. Pertanyaannya banarkah Islam melakukan
plagiasi sistem sanad dari Yahudi? Pertanyaan ini harus dijawab, oleh karena itu

16
Seperti yang dikutip oleh ‘Abdul Halim Mahmu>d, Al-Sunnah fi> Maka>natiha> wa
fi> Ta>rikhiha> (Kairo: Da>r al-Kutub al-‘Arabi>, 1996 M), h. 69
17
Maurice Bucaille, Dirasah al-Kutub al-Muwaddasah fi Dhaui al-Ma’rifah al-
Hadits
18
Asad Gabriel Rustum, Mushtalah at-Ta>ri>kh: Wa huawa Bah}s fi> Naqd al-Usul
(Beirut: Al-Maktabah al-‘Asyri>yah, 2012), h. 116
83

pada bagian ini penulis fokus membahas dan menganalisis bangunan argumentasi
Michael Cook tentang polemik orisinalitas sejarah sistem sanad hadis.
Bila ditelusuri lebih mendalam, pemikiran Cook sesungguhnya tidak jauh
berbedah dengan pemikiran orientalis pendahulunya. Pada umumnya orientalis
sebelum Cook mengatakan bahwa akar ajaran Islam dipandang banyak berasal dari
ajaran-ajaran Yahudi dan Kristen. Misalnya pandangan Abraham Geiger, seorang
orientalis dan rabbi Yahudi kelahiran Jerman. Ia mengatakan bahwa Islam tidak
hanya menyalin ajaran asli Yahudi, akan tetapi juga sebagai wadah untuk
menyalurkan paham monoteis Yahudi terhadap agama pagan di dunia.
Pandangannya tersebut dituangkan dalam tulisannya yang berjudul What Did
Muhammad Borrow from Judaism.19 Selain itu, W. St. Clair Tisdall mengatakan
yang sama bahwa Yahudi bukan satu-satunya yang mempengaruhi al-Qur’an dan
hadis, akan tetapi di sana juga terdapat pengaruh dari ajaran Kristen.20 Padahal bila
dikaji lebih lanjut tidak ada bukti yang subtansial mengenai orang-orang Yahudi
dan Kristen yang hidup di Makkah di mana Rasulullah lahir dan menghabiskan
tahun-tahun hidupnya untuk pembentukan Islam.21
Perjumpaan Rasulullah dengan Yahudi dan Kristen baru terjadi di kota
Madinah, yakni lebih dari 13 tahun setelah wahyu al-Qur’an yang pertama
diturunkan. Tuduhan bahwa orang-orang Yahudi dan Kristen menjadi sumber Islam
adalah tidak berdasar, karena dalam pertemuan dengan mereka Rasulullah
mengajak mereka masuk Islam, bukan sebaliknya dimana mereka mengajarkan
Rasulullah tentang agama mereka.22 Hal ini berbanding terbalik dengan tuduhan-
tuduhan orientalis. Selain itu, Injil versi Arab belum ada pada masa Rasulullah
masih hidup. Perjanjian Lama Versi Arab tertua ditulis oleh Saadias Gaon pada
tahun 900 M (lebih dari 250 tahun setelah kematian Rasulullah).23
Membandingkan kitab Islam dan kitab umat terdahulu adalah tolak ukur
yang lazim digunakan oleh hampir semua orientalis dalam mengakaji al-Quran dan
hadis. Hal yang serupa juga dilakukan oleh Cook dalam membuat kesimpulan
bahwa sistem sanad hadis dijiplak dari sistem sanad Mishnah Yahudi. Klaim
tersebut diaplikasikan dalam penelitianannya dengan mencoba menghubung-
hubungkan sanad hadis dengan sanad Mishanh. Sehingga nampak terlihat bahwa
sistem sanad hadis dijiplak dari sistem sanad Mishnah padahal fakta yang
sesunggunhnya tidak demikian.

19
Abraham Geiger, What Did Muhammad Borrow from Judaism dalam jurnal
‚The Origins of The Koran: Classic Essays on Islam’s Holy Book‛ (Leeds: Promoteus
Books, 1998), h. 21
20
William Saint Clair Tisdall, The Original Source of The Qur’an, (t.tp: Creative
Media Partners, LLC, 2000), h. 153
21
Muhammad Abdul Rauf, Outsider’s interpretations of Islam: A Muslim’s Point
Of View dalam Richard C. Martin, ‚Approaches to Islam in Religious Studies‚, (USA: The
University of Arizona Press), h. 185
22
Adian Husaini, Tinjauan Historis Konflik Yahudi - Kristen - Islam (Jakarta:
Gema Insani Press, 2004), h. 71
23
Adnin Armas, Pengruh Kristen-Orientalis terhadap Islam Liberal (Jakarta: Gema
Insani Press, 2003), h. 88
84

Sebenarnya pandangan Cook ini bukanlah hal yang baru, pemikiran seperti
ini sudah dikemukakan oleh orientalis terdahulu, seperti Ignaz Goldziher dan
Joseph Horovits. Mereka mengatakan bahwa hadis berhutang besar kepada Taurat
Lisan (Mishnah). Bahkan menurut Goldziher bahwa tidak hanya Taurat, tetapi
segala sesuatu yang tampak bermanfaat untuk diubah menjadi hadis maka hal itu
akan diadopsi.24 Selain Goldziher dan Horovits, seorang tokoh orientalis bernama
H.A.R Gibb menyatakan yang sama bahwa hadis hanya merupakan contekan Nabi
Muhammad dan pengikutnya dari ajaran Yahudi dan Kristen.25
Keberadaan Islam sebagai agama baru yang muncul belakangan setelah
Yahudi dan Kristen memang menjadi lahan basah untuk dinilai ataupun distigama,
apakah ia bersifat imitatif, duplikasi, sempalan agama semit sebelumnya ataupun
sebuah formulasi ajaran final dari rentetan sejarah kenabian. Dalam permasalahan
ini, pernyataan Cook bahwa sistem sanad hadis banyak meminjam ide dari sistem
transmisi Mishnah merupakan usaha Cook untuk membuat umat Islam ragu
terhadapa otentisistas hadis Nabi Saw.
Setiap kali ada kemiripan sistem hadis dengan sistem sanad Mishnah maka
Cook mengklaim hadis Nabi berasal dari atau setidaknya berbasis pada Mishnah.26
Cara yang dilakukan oleh Cook ini tidak adil dan hanya berdasarkan asumsi saja.
Siapa bisa menjamin bahwa hadis yang memiliki kesamaan atau kemiripan dengan
Mishnah itu benar-benar berasal dari Mishnah dan kemudian umat Islam
menirunya? Dan apakah salah jika memang hadis memiliki kemiripan atau
kesamaan dengan Mishnah? Bukankah hampir semua agama memiliki ajaran yang
universal? Di samping itu, perbandingan antara sanad hadis dan sanad Mishnah
sebetulnya tidaklah seimbang jika ditinjau dari segi kaedah dan metodologinya.
Sebab hadis nyata-nyata memiliki metodologi yang sangat kompleks dan lengkap,
yakni Ilmu Musthalah al-Hadi>s, sedangkan Mishnah tidak memiliki perangkat
metode seperti demikian. Oleh karena itu, kesamaan antara hadis dan Mishnah
dalam hal penyandaran (Isna>d) tidak berarti bahwa hadis mengadopsi dari Mishnah.
Selain itu, pernyataan Cook yang mengatakan bahwa Islam menjiplak
sistem sanad Yahudi sesungguhnya sudah dijawab oleh Azami. Memang jawaban
Azami tidak ditujukan langsung kepada Cook, tapi dari penjelasan Azami bisa
digunakan untuk menanggapi pernyataan Cook. Azami membantah pernyataan
yang mengatakan bahwa tradisi Islam banyak dipengaruhi oleh tradisi Yahudi,
dalam hal ini termasuk pengaruh Mishnah terhadap hadis. Bahkan untuk
pembahasan Mishnah, Azami membuat pembahasan khusus tentang ini. Dalam
bukunya yang berjudul The History of The Qur’anic Text: from Revelation to

24
James Robson, ‚The Material of Tradition‛, dalam The Muslim World, 41,
(1951), h. 15
25
H.A.R Gibb, Muhammedanism: An Historical Survey (New York: Oxford
University Press, 1962), h. 188
26
Ada lima poin tentang kemiripan hadis dan Mishnah. Hal ini telah penulis ulas
pada sub bab tentang ‚Analisis Terhadap Polemik Orisinalitas Sistem Sanad Hadis‛ pada
halaman 111
85

Compilation, Azami menulis dua sub bab pembahasan khusus tentang tema ini,
yaitu pertama, Sejarah Hukum Lisan (Mishnah),27 yang kedua, Talmud dan
pengaruh Islam.28
Menurut Azami, asumsi para ahli Barat bahwa Islam meminjam metodologi
Yahudi tanpa malu-malu bertentangan dengan realitas yang terjadi. Yang terjadi
sesungguhnya adalah orang-orang Yahudi justru yang mendapat manfaat besar dari
kemajuan-kemajuan metodologi dan kebudayaan Islam. Mereka memanfaatkannya
sebagai inspirasi pencapaian-pencapaian masa depan mereka.29
Azami menjelaskan bahwa kebangkitan Yahudi banyak dipengaruhi oleh
Islam, di antaranya adalah tradisi tulis menulis. Awalnya mereka tidak mengenal
simbol-simbol baca, yakni tanda-tanda pengenal, titik dan lain-lain. Namun,
mereka belajar dari tulisan-tulisan Arab hingga akhirnya mereka mendapatkan
pencerahan.30 Hal itu terjadi ketika umat Yahudi mendiami semenanjung Arab,
banyak dari kalangan Yahudi tidak memahami isi Taurat yang berbahasa Ibrani,
orang Yahudi tidak memahami tulisan huruf Ibrani lagi seteleh mereka mengalami
pengusiran dari Yerusalem ke berbagai tempat di Arab dan Eropa.31
Pemahaman huruf-huruf Ibrani itu baru tersingkap oleh Yahudi Arab ketika
orang Islam berhasil membuat standar pada huruf Hijaiyah Arab dengan bantuan
titik dan konsonan (penanda harakat/pointing). Dari sistem ini, orang Yahudi di
Arab, Syam, dan Persia mendapat pencerahan kembali. Mereka belajar dari Islam
dengan meminjam metode penulisan Islam Arab ini, kaum terpelajar Yahudi mulai

27
Muhammad Mustafa Al-Azami, Sejarah Teks Al-Qura’an dari Wahyu sampai
Kompilasi , Penerjemah Sohirin Solihin dkk. (Depok: Gema Insani Press, 2014), h. 233
28
Muhammad Mustafa Al-Azami, Sejarah Teks Al-Qura’an dari Wahyu sampai
Kompilasi , h. 246
29
Muhammad Mustafa Al-Azami, Sejarah Teks Al-Qura’an dari Wahyu sampai
Kompilasi , h. 280-281
30
Muhammad Mustafa Al-Azami, Sejarah Teks Al-Qura’an dari Wahyu sampai
Kompilasi , h. 244
31
Orang-orang Yahudi mengalami pengusiran setelah Raja Titus dari Romawi
menginvasi kerajaan Yahudi di Yerusalem. Pasukan Romawi yang dipimpin oleh Raja Titus
menyerang dan memorak-porandakan kerajaan Yehudi pada 70 Masehi. Semua pemukiman
dan tempat Ibadah (Kuil Sulaiman) dihancurkannya, setelah itu semua rakyat Yahudi diusir
dari Yerusalem hingga mereka mangasingkan diri ke berbagai tempat di Arab dan Eropa. Di
negeri pembuangannya itu mereka mengalami asimilasi budaya dan pernikahan campur
dengan penduduk setempat yang mengakibatkan mereka kehilangan identitas. Bahkan
dalam waktu yang lama generasi Yahudi berikutnya tidak lagi mengerti bahasa ibunya
sendiri (Ibrani). Pasca pengasingan, mereka kembali ke Yerusalem dan mulai kembali
mempelajari bahasa Ibrani yang sempat mati. Pada saat itu bangsa Yahudi masih
menggunakan bahasa Yaddish, Yunani dan Arab sebagai percakapan sehari-hari. Selama
beberpa tahun lamanya bahasa Ibrani hanya digunakan untuk mempelajari Taurat, Mishnah,
ritual dan doa-doa. Pada awal abad ke -19 barulah bahasa Ibrani kembali dihidupkan lagi
dan menjadi sebuah bahasa sejati bangsa Yahudi hingga saat ini. Lihat Max Isaac Dimont,
Yahudi, Tuhan, dan Sejarah, Penerjemah Joko S. Kahar (Yogyakarta: Ircisod, 2018), h. 145
86

bisa membuka dan membaca tulisan pada kitab-kitabnya.32 Apalagi bahasa Ibrani
sangat mirip dengan bahasa Arab sehingga para rabbi dapat dengan mudah terbantu
dalam mempelajari kitab-kitab suci mereka yang berbahasa Ibrani.
Menurut Herbert Danby, setelah Babilonia (Irak) ditakalukkan oleh Islam,
kota ini masih menjadi pusat utama pendidikan Yahudi. Pada saat itu kontak
dengan ulama-ulama Arab dalam batas tertentu berfungsi sebagai sebuah
penyegaran stimulus kaum Yahudi untuk memulai melakukan studi gramatikal
tentang literatur Ibrani. Hai Gaon merupakan orang yang paling awal membuat
komentar tentang Mishnah. Ketika ia mengupas problem-problem bahasa, dan
dalam pencariannya untuk derivikasi kata-kata yang kabur dia lebih banyak
merujuk dan menggunakan bahasa Arab.33 Oleh karena itu, hakikatnya Mishnah
banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Islam.
Danby menambahkan bahwa seorang tokoh besar Yahudi bernama
Maimonides yang hidup antara tahun 1135 dan 1204 menulis sebuah pendahuluan
dan komentar terhadap Mishnah. Hal ini ditulis dalam bahasa Arab dengan judul
Kitab El-Siraj. Kitab ini sengaja ditulis dengan berbahasa Arab dengan tujuan agar
Mishnah dapat dibaca dan dipelajari dengan mudah oleh orang-orang Yahudi pada
saat itu. Dengan begitu ia membuang salah satu kesulitan-kesulitan utama dalam
memahami Mishnah.34
Dengan fakta-fakta di atas, Azami tidak secara langsung membantah
dugaan Cook yang menganggap Islam telah meminjam dan menjiplak metodologi
ilmiah Yahudi. Yang sebenarnya terjadi adalah justru umat Yahudi mendapat angin
segar dari kemajuan-kemajuan metodologi dari keilmuan Islam. Mereka
memanfaatkannya sebagai inspirasi pencapaian-pencapaian masa depan mereka,
hingga akhirnya mereka dapat kembali membaca dan mempelajari kitab suci
mereka dengan baik.35
Selanjutnya Azami juga memberikan tanggapannya terhadap Mishnah.
Menurutnya, Mishnah bukanlah hukum lisan dari Musa melainkan sebuah
penafsiran hukum tertulis (Taurat). Penafsiran tersebut murni berasal dari para
rabbi bukan bersumber dari Musa. Apa yang dikatakan oleh para rabbi bahwa
penafsiran tersebut mereka terima secara turun temurun dari Nabi Musa sebenarnya
hanya sebuah klaim. Adapun hukum lisan (Mishnah) yang aslinya diterima Musa
sudah hilang beberapa millennium yang lalu dan sudah tidak ada wujudnya.36
Menurut Azami, pandangan para rabbi yang mengatakan bahwa Mishnah memiliki

32
Muhammad Mustafa Al-Azami, Sejarah Teks Al-Qura’an dari Wahyu sampai
Kompilasi , h. 24
33
Herbert Danby, The Misnah, Introduction, (Oxford University Press, 1993), h.
xxviii-xxix
34
Herbert Danby, The Misnah, Introduction, h. xxix
35
Muhammad Mustafa Al-Azami, Sejarah Teks Al-Qura’an dari Wahyu sampai
Kompilasi , h. 248
36
Muhammad Mustafa Al-Azami, Sejarah Teks Al-Qura’an dari Wahyu sampai
Kompilasi , h. 235
87

silsilah yang tak terputus sampai ke Musa dapat dengan mudah dibantah dengan
melihat sekilas sejarah kitab suci Yahudi.37
Dalam banyak literatur sejarah Yahudi dijelaskan bahwa Tuhan
memberikan Taurat kepada Musa secara keseluruhan dalam bentuk tertulis, lalu
Musa menyampaikannya kepada Imam-imam Bani Lewi.38 Sepeninggal Musa para
Imam Lewi inilah yang bertugas menjaga Taurat dengan baik. Kitab Taurat
tersebut disimpan dalam sebuah peti (The Ark) yang telah disegel. Taurat tidak
pernah lagi dibuka dan tidak disampaikan kepada orang-orang Israel sebab para
imam-imam Lewi menjadi murtad setelah Musa meninggal, karenanya Taurat tidak
dikenal lagi oleh banyak orang.39 Bahkan menurut dokumen Damsyik,40peti itu
sendiri hilang ketika terjadi perang dan invasi palestina selama tuju bulan.41
Peti tersebut secara ajaib baru ditemukan dan dipublikasikan pada masa
Raja Yosia dari Yehuda (abad ketujuh SM.), yaitu lima abad setelahnya. Artinya
ada jarak waktu yang cukup lama dengan berabad-abad lamanya Taurat Tertulis
dan Taurat Lisan tidak pernah dibacakan lagi kepada orang-orang Israel. Tentu hal
ini merupakan indikasi jelas bahwa Taurat sejak itu telah terhapus dari memori
kolektif bangsa Yahudi. Setelah Taurat ditemukan, kitab ini masih tidak
dipergunakan secara umum untuk waktu dua abad lagi paling tidak, tampaknya
Taurat ini benar-benar menghilang dari kesadaran orang-orang Yahudi. Pembacaan
dan penjelasan Hukum Tuhan pertama kali dilakukan secara publik (setelah masa
Musa) oleh Ezra pada tahun 449 SM.42
Azami menjelaskan bahwa ketika Taurat pertama kali dibacakan oleh Ezra
kepada banyak orang, ia dibacakan disertai dengan penjelasan-penjelasan. Namun

37
Muhammad Mustafa Al-Azami, Sejarah Teks Al-Qura’an dari Wahyu sampai
Kompilasi , h. 234
38
Bani Lewi adalah salah satu suku dari dua belas suku Yahudi. Pada masa Nabi
Musa suku Lewi ditunjuk dan diangkat sebagai Imam dikalangan bangsa Israel.
Pengangkatan suku Lewi sebagai Imam berawal ketika Nab\\ i Musa kembali dari bukit Sinai.
Nabi Musa berada di bukit Sinai selama empat puluh hari. Ketika kembali dari bukit Sinai
Nabi Musa mendapati kaumnaya dalam keadaan murtad dengan menyembah sebuah patung
lembu yang terbuat dari emas untuk dijadikan Tuhan yang baru. Hampir keseluruhan kaum
Yahudi menjadi murtad kecuali suku Lewi. Setelah kejadian tersebut, Allah memerintahkan
kepada Nabi Musa untuk mencabut hak imam dari suku lain dan diserahkan kepada suku
Lewi. Lihat www.majalahpraise.com, (Dikutip pada tanggal 15 Juli 2019.
39
Ulangan 31: 9-12 (Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia), h. 265
40
Dokumen Damsyik atau juga disebut Dokumen Damaskus adalah salah satu
dokumen penting yang ditemukan pada tahun 1947 di gua Wadi Qumran (sebelah barat
daya pantai Laut mati). Terdiri dari lebih kurang 900 dokumen, termasuk teks-teks dari
kitab suci Ibrani. Dokumen ini mempunyai makna keagamaan dan sejarah penting bagi
kaum Yahudi, karena merupakan satu-satunya dokumen yang berasal dari masa sebelum
tahun 100 Masehi. Lihat ttps://id.m.wikipedia.org/wiki/Dokumen_Damaskus. Diakses pada
tanggal 16 Juli 2019.
41
Muhammad Mustafa Al-Azami, Sejarah Teks Al-Qura’an dari Wahyu sampai
Kompilasi , h. 227
42
Muhammad Mustafa Al-Azami, Sejarah Teks Al-Qura’an dari Wahyu sampai
Kompilasi , h. 228
88

pada masa-masa berikutnya, muncul berbagai macam penjelasan-penjelasan yang


tak terhindarkan, untuk menghidari perbedaan-perbedaan ini yang berdampak
parah, maka perlu ditulisnya penjelasan yang dianggap otoritatif dan benar. Ada
banyak rabbi yang mencoba melakukan penulisan. Namun, tulisan dari rabbi Judah
Hanasi yang disepakati karena dianggap lebih otoritatif. Dari hasil tulisannya itulah
yang kemudian disebut Mishnah. Jadi menurut Azami, Mishnah bukanlah Hukum
Lisan yang bersumber dari Musa sebagaimana klaim Yahudi, melainkan sebuah
penafsiran Kitab Taurat dari para rabbi.43
Karenanya, Azami menangkal pernyataan yang mengatakan bahwa
Mishnah adalah kitab suci Yahudi yang bersumber dari Nabi Musa yang
ditransmisikan dari generasi ke generasi hingga sampai kepada para rabbi Yahudi.
Menurut Azami, pernyataan tersebut dangkal sebab pernah ada suatu masa dimana
kitab tersebut tidak pernah dibacakan dan diajarkan selama berabad-abad baik itu
Taurat Tertulis maupun Taurat Lisan (Mishnah). Dengan begitu bisa dipastikan
bahwa silsilah Mishnah telah terputus sejak saat itu. Wajar bila Azami sangat
meragukan kevalidan Mishnah.
Keraguan Azami terlihat dari beberapa pertanyaan kritis yang diajukannya,
yaitu seberapa validkah Mishnah yang ada pada umat Yahudi sekarang? Siapakah
orang-orang yang dianggap penjadi aktor dalam transmisi Mishnah? Otoritas
ketuhanan apakah yang dimiliki oleh para rabbi Yahudi dalam menuliskan
Mishnah? Dan siapakah yang punya hak untuk mentukannya sebagai satu-satunya
yang difinitif?44 Rasanya pertanyaan-pertanyaan ini sangat sulit dijawab oleh
orang-orang Yahudi. Oleh karena itu, kitab ini tidak bisa dijadikan sebagai
pegangan sebab orisinalitasnya tidak ilmiah.
C. Kelebihan dan Kekurangan Pemikiran Michael Cook
Michael Cook merupakan salah satu tokoh orientalis kontemporer yang
berada di garda terdepan dalam melakukan kritik terhadap hadis khusunya terkait
tentang sanad. Bahkan dia digolongkan sebagai tokoh orientalis yang beraliran neo-
skeptisisme. Sikap awal yang skeptis inilah yang kemudian banyak mempengaruhi
hasil pemikirannya terhadap kajian hadis.
Kelebihan dari kajian yang dilakukan oleh Michael Cook adalah terlatak
pada metode atau pendekatan yang digunakannya. Dalam melakukan penelitian
khususnya terhadap hadis, Cook menggunakan pendekatan sejarah atau biasa
disebut historical approach atau biasa juga disebut historical criticism,45 bukan

43
Muhammad Mustafa Al-Azami, Sejarah Teks Al-Qura’an dari Wahyu sampai
Kompilasi , h. 235
44
Muhammad Mustafa Al-Azami, Sejarah Teks Al-Qura’an dari Wahyu sampai
Kompilasi , h. 235
45
Maksud pendekatan ini adalah mengkaji sejarah secarah kritis. Teori ini
mengatakan bahwa suatu dokumen harus dipelajari sebagaimana memperlakukan mayat
yang tidak bergerak dan tidak berbuat apa-apa. Yang dimaksud dokumen di sini adalah
sesuatu yang tertulis, bukan yang diucapkan. Karena itu, tradisi dokumen ini tidak
berhubungan dengan tradisi oral atau lisan. Fokus kajiannya hanya pada teks ( written
document). Lihat Mokh. Fatkhur Rokhzi, Pendekatan sejarah dalam Studi Islam (Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2011), h. 25
89

dengan menggunakan pendekatan teologi atau hukum. Pendekatan sejarah memiliki


keunggulan sendiri, dengan pendekatan sejarah berarti mempelajari suatu objek
pengetahuan dengan melihat jejak kesejarahannya meliputi waktu peristiwa, tempat
peristiwa, dan tokoh yang terlibat di dalamnya.46
Berdasarkan metode pendekatan historis dalam mengkaji dan meneliti
hadis Nabi Saw, Cook lebih banyak menyoroti sanad hadis daripada matannya. Hal
ini dikarenakan, dilihat dari prangkat awal Cook dalam meneliti hadis
menggunakan metode historis. Sehingga ia lebih banyak tertarik pada sanad hadis,
karena hadis dalam pandangannya berkaitan erat dengan aspek sejarah.
Pendekatan Historis yang digunakan oleh Cook menjadi sebuah
keniscayaan dalam mengungkap sejarah awal mula penggunaan sanad baik dalam
Islam maupun di luar Islam. Dengan menggunakan pendekatan ini maka data-data
terkait dapat diperoleh dengan melakukan pelacakan dengan melihat kapan
peristiwa penggunaan sanad itu mulai digunakan, di mana, apa sebabnya, siapa
yang terlibat dalam kegiatan tersebut dan masih banyak pertanyaan yang dapat
diajukan. Oleh karena itu, sangat tepat bila Cook menggunakan pendekatan sejarah
dalam melakukan penelitiannya tersebut.
Berbeda dengan Cook, para ulama hadis cenderung menggunakan
pendekatan ijma’ dalam menentukan orisinalitas sejarah sanad. Mayoritas ulama
hadis bersepakat bahwa tradisi sanad hanya ada dalam Islam yang tidak dimiliki
oleh umat lain di luar Islam. Hal ini terlihat, misalnya dari pernyataan tokoh-tokoh
ulama hadis, seperti ‘Abdulla>h ibn Muba>rak (w 181 H), Muhammad ibn H{a>tim al-
Muzaffar (w 331 H), Ibnu Taimiyah (w 728 H) dan ulama hadis lainnya yang
semuanya satu pandangan dengan mengatakan bahwa tradisi periwayatan dengan
menggunakan sistem sanad merupakan keistimewaan yang diberikan oleh Allah
kepada umat Nabi Muhammad Saw. Sehingga penggunaan pendekatan tersebut
membawa pada kesimpulan yang berbeda pula antara ulama hadis dan Michael
Cook.
Selain memiliki kelebihan dalam menguraikan pemikirannya, Michael
Cook sebagai seorang sarjana barat juga tidak terlepas dari kekurangan. Selain
memiliki kelebihan tentu juga pasti banyak memiliki kekurangan. Adapaun
kekurangan dari uraian pemikiran Michael Cook tentang asal-usul sanad adalah
sebagai berikut:
1. Michael Cook dalam karyanya yang berjudul The Opponents of The Writing
of Traditional in Early Islam melakukan kritikan terhadap sejarah asal usul
sanad hadis. Namun, ia tidak pernah menjelaskan bagaimana pengertian
sanad yang dipahaminya. Dalam berbagai karyanya tidak ditemukan
penjelasan tentang pengertian sanad yang dipahaminya. Sehingga tidak
diketahui apakah sanad yang dipahami oleh Cook sama dengan sanad yang
dipahami oleh ulama hadis.
2. Cook tidak menyebutkan perbedaan yang signifikan antara penelitian yang ia
lakukan tentang asal usul sanad, dengan penelitian serupa yang sebelumnya

46
Mokh. Fatkhur Rokhzi, Pendekatan sejarah dalam Studi Islam, h. 23
90

juga telah dilakukan oleh orientalis lain, seperti Ignaz Goldziher dan Josef
Horovitz.
3. Cook tidak merujuk langsung kepada sumber utama. Untuk memperkuat
argumentasinya tentang eksistensi sanad terkadang Cook hanya mengutip
pendapat seorang tokoh tanpa merujuk langsung kepada sumber aslinya.
Seperti yang dilakukannya ketika ia ingin membuktikan bahwa sistem sanad
benar-benar ada dalam tradisi Yahudi, ia hanya mengutip contoh sanad hasil
temuan Josef Horovitz, bukan contoh sistem sanad yang ia temukan sendiri
langsung dari kitab Mishnah.
4. Ketika berargumen Cook kadangkala tidak menyertakan bukti yang kongkrit,
misalnya ketika ia mengklaim bahwa Isnad Family juga dapat ditemui dalam
Mishnah, Cook tidak mencantumkan contoh Isnad Family yang
dimaksudnya. Sehingga landasan argumentasi Cook tidak begitu kuat karena
tidak ada bukti yang dicantumkan.
5. Cook tidak menjelaskan beberapa istilah-istilah asing yang muncul dalam
penelitian beliau. Misalnyan saja, karya beliau tentang asal usul sanad yang
berjudul ‚The Opponents of The Writing of Traditional in Early Islam‛,
terdapat beberapa istilah asing yang tidak dijelaskan oleh Cook, seperti
tosefta, targum dan lain sebagainya.
D. Implikasi Pemikiran Michael Cook
Dari beberapa penjelasan yang lalu, penulis menemukan beberapa hal
implikasi dan konsekuensi dari pemikiran Michael Cook. Gagasan Cook tentang
sejarah asal-usul sanad hadis paling tidak berimplikasi kepada tiga hal, yaitu
sebagai berikut:
1. Otentisitas Ajaran Islam
Pernyataan Cook yang mengatakan bahwa sanad hadis berasal dan
dipengaruhi oleh sistem sanad Mishnah memilliki implikasi dan konsekuensi
terhadap kemurnian ajaran Islam. Tidak secara langsung Cook membuat framing
negatif terhadap hadis dengan cara menggiring opini pembaca bahwa Islam adalah
agama imitasi. Ajaran Islam adalah ajaran plagiasi yang dimana sistem dan
metodologinya banyak diadopsi dari agama terdahulu. Dengan demikian, Islam
bukanlah ajaran yang murni bersumber dari Allah melainkan agama yang dibuat-
buat dengan cara menjiplak dan menyalin system ajaran agama terdahulu, yaitu
dalam hal ini adalah menyalin ajaran Yahudi.
Pada umumnya umat Islam berpandangan bahwa Islam adalah agama yang
otentik, semua ajarannya murni berumber dari wahyu Allah Swt yang diterima oleh
Nabi Muhammad Saw. Selain itu, metodologi dan kaedah-kaedah yang digunakan
dalam Islam adalah murni dari hasil ijtihad para ulama yang berlandaskan al-Quran
dan hadis. Namun, pandangan orientalis berbeda yang dimana mereka
berpandangan bahwa ajaran Islam dipengaruhi dan diadopsi dari agama terdahulu.
Salah satunya adalah dari pandangan Michael Cook ini yang mengatakan bahwa
metodologi Islam yang dalam hal ini sistem transmisi (sanad) dijiplak dari sistem
silsilah Yahudi dalam menyandarkan Mishnah.
Dengan memandang bahwa sistem sanad berumber dari tradisi penyandaran
Mishnah Yahudi maka akan memunculkan kesan bahwa Islam adalah agama yang
91

diadopsi dari ajaran agama sebelumnya. Sehingga akan berdampak pada otentisitas
ajaran Islam. Ajaran Islam akan dipandang tidak otentik lagi sebab sistemnya
banyak diadopsi dari sistem umat terdahulu. Akhirnya, otentisitas ajaran Islam
akan diragukan karena ajarannnya dianggap sudah tidak sakral lagi. Kesakralitas
hadis akan hilang dengan sendirinya padahal hadis merupakan sumber hukum yang
kedua setelah al-Quran. Dengan demikian, hadis tidak akan dianggap lagi sebagai
rujukan karena mereka meragukan eksistensi hadis sebagai sumber ajaran Islam.
2. Skeptis Terhadap Hadis
Sikap dan pandangan Michael Cook yang menyangsikan kebenaran sejarah
asal usul isna>d dapat berdampak pada kesan negatif yang akan muncul terhadap
hadis. Para pembaca bila tidak memiliki daya kritis maka akan mudah terpengaruh
dengan pemikiran Cook itu. Sehingga hal ini dapat menyebabkan salah pengertian
(misunderstanding) dan salah persepsi (misperception) terhadap hadis yang pada
akhirnya akan menimbulkan sikap skeptis terhadap hadis Nabi Saw. Apabila hal itu
terjadi, maka para pemerhati Islam dan juga umat Islam di Barat bisa saja tidak
mendapatkan informasi yang objektif dan ilmiah tentang hadis sebagaimana yang
telah menjadi tradisi di kalangan Barat dalam meneliti bahwa tradisi mereka selalu
objektif dan ilmiah secara akademik.
Selain menjadi rujukan bagi para peneliti hadis di barat (orientalis),
pendapat Cook tersebut juga dapat dijadikan sebagai dasar argumentasi orang-
orang yang tidak mengakui hadis (kelompok inkar sunnah) di kalangan umat Islam,
meskipun minoritas tapi mereka bisa saja menularkan virus negatif di tengah umat
Islam, sehingga sedikit banyaknya akan mempengaruhi pola pikir umat Islam
terhadap hadis Nabi Saw. Jika pendapat Cook tersebut dibenarkan dan diikuti oleh
umat Islam, maka mereka akan meninggalkan hadis nabi sebagai sumber ajaran
Islam kedua setelah al-Qur’an.
Sikap skeptis terhadap hadis Nabi adalah tujuan kebanyakan orientalis
yang telah dilakukan sejak lama. Mereka berusaha membuat keraguan terhadap
nilai kebenaran ajaran nabi Muhammad. Upaya peraguan yang mereka lakukan
mencakup salah satunya adalah hadis. Apabila tujuan mereka benar-benar
membuahkan hasil maka umat Islam dengan sendirinya akan meninggalkan Islam
sebagai agamanya bahkan kemungkinan yang terparah adalah berbalik memusuhi
Islam.47
Meskipun implikasi pemikiran Michael Cook di atas akan melahirkan
pandangan yang skeptis terhadap hadis namun tidak akan berpengaruh terhadap
autentisitas hadis. Sebab autentisitas hadis dinilai dari kualitas para perawinya dan
ketersambungan sanadnya, tidak dinilai dari historisitas penggunaan sanadnya.
Oleh karena itu, pemikiran Cook tersebut tidak memberikan dampak terhadap
kualitas sebuah hadis.
3. Menginspirasi Peneliti Hadis Lain
Mencuatnya Michael Cook dengan pemikiran hadisnya mampu memotivasi
sejumlah pemerhati hadis untuk melakukan kajian yang sama dan lebih

47
Muhammad Bahar Akkase Teng, Orientalis dan Orientalisme dalam Perspektif
Sejarah, Jurnal Ilmu Budaya, Vol. 4, No.1, Juni 2016, ISSN 2354-7294, h. 60.
92

komprehesif. Hal tersebut terbukti dengan bermunculnya para ahli hadis, khususnya
di kalangan orientalis yang juga berupaya mengkaji ulang dan mempersoalkan
historisitas asal usul sanad dengan meneliti sejumlah bukti otentik yang menjadi
fakta sejarah.
Salah satu di antara mereka yang terinspirasi dari pemikiran Michael Cook
adalah Gregor Schoeler, seorang tokoh orientalis pengkaji hadis yang menjadi
professor di University of Basel, Swiss. Pada tahun 2006 Schoeler menulis buku
dengan judul The Oral and The Written in Early Islam,48 dalam buku ini Schoeler
banyak mengutip pendapat Cook tentang hadis dan Mishnah. Buku dengan tebal
257 halalman ini memuat pembahasan yang lebih komprehensif dibanding
penelitian yang dilakukan oleh Cook tentang sejarah sanad Islam dan pra Islam
(Yahudi dan Arab Klasik).
Selain Schoeler, satu nama lagi yaitu Harald Motzki, ia adalah salah satu
orientalis hadis yang tertarik mengomentari pemikiran Cook. Namun Motzki lebih
menunujukkan ketidaksetujuannya terhadap pemikiran hadis Cook. Terutama
dalam hal common link, teori Joseph Schacht. Bagi Cook teori common link tidak
dapat digunakan sebagai sebuah metode untuk melacak asal usul, sumber dan
kepengarangan hadis. Untuk mengkritik metode common link, Cook
mengembangkan dan memperluas teori Schacht yang lain, yakni teori penyebaran
isna>d (the spread of isna>d). Sementara itu, Motzki tidak skeptis seperti Cook, tetapi
ia juga tidak seoptimis Juynboll. Bagi Motzki, teori common link adalah para
kolektor sistematis pertama yang sekaligus berperan sebagai guru yang
mengajarkan ilmu pengetahuan secara umum dan mengajarkan hadis secara khusus.
Maka menurut Motzki teori common link masih tetap relevan dan dapat digunakan.
Dengan demikian, pada titik inilah Motzki tidak sependapat dengan Cook.49
Selain Schoeler dan Motzki, peneliti hadis lain yang tertarik meneliti
pemikiran Cook adalah Suleiman A. Mourad, yaitu seorang peneliti hadis di Smith
College, Amerika Serikat. Suleiman mereview buku Cook yang berjudul Studies in
The Origins of Early Islamic Culture and Tradition. Hasil review buku ini
kemudian dipublikasikan dalam Journal of Islamic Studies yang diterbitkan oleh
Oxford University Press pada tahun 2007.50
Di Indonesia sendiri ada beberapa peneliti hadis yang ikut termotivasi
mengkaji pemikiran Michael Cook. Di antara mereka adalah Ali Masrur yang
menulis artikel jurnal dengan judul Neo Skeptisisme Michael Cook dan Norman
Calder Terhadap Hadis Nabi Muhammad,51 Ummu Faridah menulis artikel jurnal

48
Gregor Schoeler, The Oral and The Written in Early Islam (Kanada: Routledge,
2006)
49
Perdebatan Motzki dan Cook lebih lanjut dapat dibaca dalam buku karya Harald
Motzki yang berjudul Analysing Muslim Traditions: Studi in Legal, Exegenical and
Maghazi Hadith pada chapter ketiga, yaitu The Prophet and the Debtors.
50
Suleiman A. Mourad, Reviewed Book: Studies in the Origins of Early Islamic
Culture and Tradition. VariorumCollected Studies Series by Michael Cook (Inggris: Oxford
University Press).
51
Ali Masrur, ‚Neo Skeptisisme Michael Cook dan Norman Calder Terhadap
Hadis Nabi Muhammad‛ dalam Jurnal Theologia,Vol 28 No 1 (2017).
93

dengan judul Polemik Penulisan Hadis: Perspektif Michael Cook dalam The
Opponents of The Writing of Tradition in Early Islam,52 Waffada Arief Najiyya
menulis karya dengan judul Hadis Dua Belas Imam Syiah Menurut Michael Cook,53
dan Imam Sahal Ramdhani menulis artikel jurnal dengan judul Teori The Spread of
Isnad: Telaah atas Pemikiran Michael Cook.54
Dari catatan di atas menunjukkan bahwa pemikiran hadis Michael Cook
berimplikasi kepada para peneliti hadis, baik di kalangan orientalis maupun
kalangan peneliti hadis Muslim, yaitu memotivasi dan menginspirasi para peneliti
hadis untuk melakukan eksplorasi terhadap pemikiran Cook secara komprehensif.

52
Ummu Faridah, ‚Polemik Penulisan Hadis: Perspektif Michael A. Cook Dalam
The Opponents of The Writing of Tradition in Early Islam‛ dalam Jurnal Riwayah, Vol. 1,
No. 1, (Maret 2015).
53
Waffada Arief Najiyya, Hadis Dua Belas Imam Syiah Menurut Michael Cook
(Yogyakarta: Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga).
54
Imam Sahal Ramdhani, ‚Teori The Spread of Isnad: Telaah atas Pemikiran
Michael Cook‛ dalam Jurnal Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an dan Hadis, Vol. 16, No. 2, (Juli
2015).
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan
Setelah memaparkan mengenai beragam penjelasan dan analisis terhadap
pemikiran Michael Cook tentang asal usul sanad, maka peneliti sampai pada
kesimpulan yang merupakan jawaban dari rumusan masalah yang peneliti ajukan.
Pertanyaan yang diajukan dalam rumusan masalah tersebut, yaitu mengenai
bagaimana historisitas pemakaian sanad dalam perspektif Michael Cook?
bagaiamana metodologi kritik sanad pra-Islam? dan bagaimana implikasi pemikiran
Cook terhadap perkembangan studi hadis.
Menurut Cook, Islam bukanlah satu-satunya pemilik tunggal sistem sanad,
jauh sebelum Islam datang sistem sanad sudah digunakan oleh umat terdahulu,
yaitu digunakan oleh umat Yahudi dan Arab Klasik. Sistem sanad dalam sejarah
Yahudi digunakan dalam transmisi riwayat Mishnah. Sedangkan sistem sanad
dalam sejarah Arab pra-Islam digunakan dalam periwayatan syair-syair Arab klasik.
Selain itu, Cook juga berpendapat bahwa sistem sanad hadis erat kaitannya dengan
sanad Yahudi dengan memiliki banyak kemiripan dan kesamaan. Dengan demikian,
Cook berkesimpulan bahwa sanad hadis adalah hasil dari plagiasi dari sistem sanad
Mishnah Yahudi. Namun, penulis mengkritik pernyataan Cook ini, Cook
mengklaim sanad hadis adalah hasil jiplakan dari sanad Mishnah atas dasar adanya
kemiripan sistem sanad hadis dengan sanad Mishnah. Cara yang dilakukan oleh
Cook ini tidak adil dan hanya berdasarkan asumsi saja sebab tidak ada yang bisa
menjamin bahwa sanad hadis yang memiliki kesamaan atau kemiripan dengan
Mishnah itu benar-benar berasal dari Mishnah. Bukankah hampir semua agama
memiliki ajaran yang universal. Maka wajar apabila terjadi kemiripan dan
kesamaan antara hadis dan Mishnah. Oleh karena itu, kesamaan antara hadis dan
Mishnah dalam hal penyandaran (Isna>d) tidak berarti bahwa hadis menjiplak sanad
Mishnah.
Sistem sanad pra-Islam memiliki parbedaan yang cukup jauh dengan sanad
yang digunakan oleh Islam. Perbedaan tersebut tampak terlihat dalam hal urgensi
dan arti penting penggunaanya. Sistem sanad yang ada pada masa pra-Islam tidak
memandang penting kualitas para perawinya, sebab mereka tidak memiliki metode
kritis semacam ‘Ilmu Jarh wa Ta’dil seperti yang dimiliki oleh Islam. Akhirnya,
mereka tidak melakukan penyelidikan keadaan para periwayatnya dan kecocokan
cerita-cerita itu dengan kebenaran dan kenyataan sebenarnya. Selain itu,
kebanyakan juga sanad mereka terputus, banyak dari riwayat mereka yang berstatus
mursal atau mu’dhal. Keadaan sanad-sanad riwayat mereka banyak mengalami
keterputusan baik itu di awal, tengah maupun akhir periwayat.

94
95

Pemikiran Michael Cook tentang sejarah asal-usul sanad hadis berimplikasi


pada tiga hal, yaitu: Pertama, berimplikasi terhadap kemurnian ajaran Islam. Islam
dapat dianggap sebagai agama yang melakukan plagiasi terhadap ajaran umat
terdahulu. Sehigga akan lahir sebuah pandangan bahwa Islam bukanlah ajaran yang
murni dari Allah Swt melainkan agama yang dibuat-buat dengan cara menjiplak
ajaran umat terdahulu. Kedua, berimplikasi pada sikap orang-orang terhadap hadis
dengan munculnya kesan negatif terhadap hadis. Pernyataan Cook yang
mengatakan bahwa sistem isna>d berasal dari ajaran umat terdahulu akan membuat
orang-orang salah pengertian (misunderstanding) dan salah persepsi
(misperception) terhadap hadis, dan pada akhirnya akan melahirkan sikap
skeptisisme terhadap hadis Nabi Saw. dan Ketiga, Pemikiran Michael Cook dapat
menginspirasi sejumlah pemerhati hadis untuk melakukan kajian yang sama yang
lebih komprehesif. Baik di kalangan orientalis sendiri maupun di kalangan peneliti
hadis muslim.
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian ini, ada beberapa rekomendasi yang bisa
ditawarkan:
1. Perlu adanya minat dan motivasi besar bagi para sarjana – khususnya
Muslim – untuk lebih mengenal, mempelajari, dan memahami, atau bahkan
mengkritisi teori-teori kontemporer terhadap kajian hadis-hadis Nabi yang
telah diusung oleh para orierntalis Barat. Harus diakui bahwa sampai detik
ini masih ada paradigma stereotip terhadap orientalis khususnya Sarjana
Hadis Barat. Stereotip ini mau tidak mau membuat minat yang rendah
terhadap penelitian tentang teori-teori yang dimunculkan oleh Sarjana
Hadis Barat. Padahal teori-teori yang disampaikan oleh mereka sangat
menarik untuk dikaji dan diuji validitasnya. Harus diakui bahwa dari segi
metodologi, Sarjana Hadis Barat sudah sedemikian progresif dan
berkembang. Teori-teori orientalis tersebut bukanlah sesuatu yang sudah
final dan selesai. Melainkan masih berlajut dan berproses, sehingga masih
banyak terbuka celah untuk merespon dan mengkritisinya. Tidak
seharusnya ketakutan teologis menjadi penghalang semangat keilmuan dan
penelitian.
2. Mengenai Cook, dari penelitian ini dapat direkomendasikan masih banyak
celah yang bisa diteliti dari konteks pemikiran Cook dalam ranah hadis.
Peluang penelitian yang masih bisa dilakukan diantaranya persoalan
wacana pembentukan hukum Islam menurut Cook, wacana penentuan hadis
yang pertama kali muncul versi Cook, wacana pandangan Cook mengenai
problem eskatologis Islam, dan lain sebagainya. Penulis berharap kepada
peneliti-peneliti selanjutnya untuk dapat melakukan kritisasi terhadap
96

teori-teori otentisitas hadis yang telah ada, sehingga tradisi akademis tarsus
berlanjut dengan munculnya penemuan-penemuan beru yang lebih progresif
dan relevan.
DAFTAR PUSTAKA

Abbot, Nabia. Studies in Arabic Literary Papyri II, Quranic Commentary and
Tradition, The University of Chicago Press, 1967

Abelson, Joshua. The Immanence of God in Rabbinical Literature, London:


Bibliolife DBA, 1912

Abu> Syuhbah, Muhammad. Fi> Rihab al-Sunnah al-Kutu>b al-Sh}ih}ah al-Sittah,


Azhar: Majma’ al-Turats, 1969

Adams, Charles J. Islamic Religious Traditions dalam Leonard Binder, The Study
of Middle East: Research and Scholarship in the Humanities and Social
Sciences, New York, 1976

Agus, Solahudin, M. & Agus Suryadi. Ulumul Hadis.Bandung, Pustaka Setia, 2011

Ahmad, Arifuddin. Qawaid Al-Tahdis, Makassar : Universitas Islam Negeri


Alauddin, 2013

Ahmed, Asad, Q. dkk, Islamic Scholarly Tradition: Studies in History Law and
Thought in Honor of Profesor Michael Allan Cook, Leiden: Brill, 2011.

Al-‘Umari>, Akram Ḍiya>. Buḥu>ṡ fi> Ta>ri>kh al-Sunnah al-Musyarrafah, Beirut: Tp.,
1984

Al-Asad, Nashir Al-Din. Mashadir Al-Syi’ir Al-Jahili, Kairo: 1978

Al-Azami, Muhammad Mushthafa. On Schacht’s Origins of Muhammadan


Jurisprudence, Oxford: The Oxford Center fo Islamic Studies and Islamic
Text Society, 1996

---------------------------------------------. Studies in Early Hadith Literature


Indianapolis, 1964

---------------------------------------------. Sejarah Teks Al-Qura’an dari Wahyu sampai


Kompilasi, Penerjemah Sohirin Solihin dkk. Depok: Gema Insani Press, 2014

---------------------------------------------. Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya,


terj. Ali Mustafa Ya’kub, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994

Al-Bakka>r, ‘Abd al-Qa>dir Mahmu>d. Qawa>’id al-Tahdi>s, Kairo: Da>r Sala>m, 2008

Al-Ishbaha>ni>, Abu> al-Faraj. AI-Aga>ni, Vol. VIII

97
98

Al-Khathib, M. ’Ajjaj. Ushu>l al-Hadi>s, h. 303; Shubhi al-Shalih, Ulu>m al-Hadi>s wa


Musthalahuhu Beirut: Dar al-Fikr, 1973

Al-Khati>b, Muhammad ‘Ajja>j Ushul Al-Hadis, Pokok-Pokok Ilmu Hadis,


Penerjemah Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq, Jakarta: Gaya Media
Permata, 2013

Alkitab, Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia,

Al-Lugawi>, Abu> al-Husain ibn Fa>ris. At-Shahi>hi fi> Fiqh al-Lugah al-‘Arabiyyah wa
Sunan al-‘Arab fi Kalamihi, Beirut: Maktabah alMa'arif, 1414 H/1993 M

Al-Naisabury, Abu Husein Muslim bin Hajjaj. Shahih Muslim, Muaqaddimah, Bab
Fi> an an-Isnad min al-Di>n, Beirut: Da>r al-Fikr, 1993

Al-Qadha’I, Muhammad bin Salamah bin Ja’far. Musnad As-Syihab, Beirut:


Muassasah Ar-Risalah, 1986.

Al-Salafi, Muhammad Luqman. Ihtimam al Muhadditsin bi Naqd al-Hadits Sanad


wa Matn, Riyadh: Maktabah al-Riyadh, 1984.

Al-Suyu>ti} >, Jala>l al-Di>n. Tadri>b al-Ra>wi fi> Syarh Taqri>b al-Nawa>wi>, ed. Ahmad
Ma’bad ‘Abd al-Kari>m dan T{ariq bin ‘Aud}, Riya>d}: Da>r al-‘As}imah, 2003

Al-Syari>f, Al-Qa>di. Al-Hadi>s Riwayah wa Dirayah, Kairo: Al-Majelis al-A’la> li>


Syu’u>n al-Islamiyah, 139 H/1975, M

Al-Zabi>di>, Muhammad Murtadha al-Husaini.> Ta>j al-‘Aru>sy min Jawa>hir al-Qa>mu>s,


ed. ‘Abdul al-Satta>r Ahmad Farra>j, Kuait: Wiza>rat al-Irsyad wa al-Anba>’,
1965

Ali, Muhammad. “Kajian Sanad”, dalam Tahdis: Jurnal Kajian Ilmu Hadis, Volume
6, no. 2, 2015

Amin, Kamarudddin. Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis, Jakarta:


PT Mizan Publika, 2009

-------------------------. “Book Review of the Origin of Islamic Jurisprudence: Mecca


Fikih before Classical Schools”, dalam Al-Ja>mi’ah: Jurnal of Islamic Studies,
Vol. 41, No. 1, 2003

Arif, Syamsuddin. Orientalisme dan Diabolisme Pemikiran, Jakarta: Gema Insani


Press, 2008

Armas, Adnin Pengruh Kristen-Orientalis terhadap Islam Liberal Jakarta: Gema


Insani Press, 2003
99

Armstrong, Karen. Sejarah Al-Kitab. Penerjemah Fransiskus Borgias, Bandung: PT


Mizan Pustaka, 2013

Arnold, Chris Marantika, Yogyakarta: ST11, 1997

As-Suwaidan, Thariq Ensiklopedia Yahudi, Penerjemah Iman Firdaus, Jakarta:


Pustaka Imam Ays-Syafi’i, 2015

'Atswa>n, Husein. Muqaddimah al-Qashi>dah al-'Arabiyyah, Kairo: Da>r al-Ma'a>rif,


1970

At-Taziy, Mustafa Amin Ibrahim Muhadrat fi> ‘Ulum al-Hadis, Juz,I, cet. IV Mesir:
Da>r al-Taf’lif bi al-Maliyyah, t.t

Badawi, A. Ensiklopedi Tokoh Orientalis, Yogyakarta: LKiS, 2003

Baker, David L. Ten Commandments, Two Tablets : The Shape of the Decalogue,
Themelios, 1999

Barcklay, Joseph. Hebrew Ltterature, New York,1901

Belkin, Samuel. In His Image: The Jewish Philosophy of Man as Expressed in


Rabbinic Tradition, London: Abelard-Schuman, 1961

Berg, Herbert.The Development of Exegesis in Early Islam; The Authencity of


Muslim Literature from The Formative Period, Surrey: Curzon Press
Richmond. 2000

Berkhof, L. Sejarah Perkembangan Ajaran Trinitas, Penerjemah Thoriq A,


Bandung: CV Sinar Baru, 1992

Birnbaum, Philip. Encyclopedia of Jewish Consepts, vol. V, New York, Hebrew


Publishing Company, 1948

Brochelmann, Carl. Tarikh al-Adab al-‘Arabi>, Terj. Abdul Hakim al-Najjar Beirut:
Da>r al-Ma’arif, t.t

Brown, Daniel W. Rethinking Tradition in Modern Islamic Thought, Bandung:


Mizan, 2000

Broyde, Michael J. dan Ira Bedzow, The Codification of Jewish Law and an
Introduction to the Jurisprudence of The Mishnah Berura, t.t: Academic
Studies Press, 2014

Bukhari, Imam. Al-Ja>mi’ Ash-Shahi>h li Al-Bukha>ri>, Juz I, Beirut: Dar Ibnu Katsir,
1987
100

Calder, Norman.Studies in Early muslim Jurisprudence, Oxford, 1993.

Chaetani, Leone Annali Dell’Islam, Jilid I, Milan: Ulrico Hoepli, tth

Comfort, P.W. Early Manuscript and Modern Translations of the New Tastament

Cook, Michael. Early Muslim Dogma: A Source Critical Study, Cambridge:


Cambridge University Press, 1981

-------------------. Eschatology and the Dating of Tradition, dalam Michael Cook,


Studies in the Origins of Early Islamic Culture and Tradition, Variorum
Collected Studies Series, t.th.

-------------------. Ibnu Qutayba and the Monkeys, Studia Islamica, 1999.

-------------------. Kontroversi Hadis: Percaturan dan Pertarungan awal Islam, terj.


Ali Masrur, Bandung: Marja, 2015.

-------------------. Studies in the Origins of Early Islamic Culture and Tradition,


Variorum Collected Studies Series, t.th.

The Origins of Kalam, dalam Michael Cook, Studies in the


-------------------.
Origins of Early Islamic Culture and Tradition, Variorum Collected Studies
Series, t.th.

-------------------. “The Heraclian Dynasty in Muslim Eschatology” dalam Micahel


Cook, Studies in the Origins of Early Islamic Culture and Tradition, Great
Britain: Asghate Variorum, 2004

-------------------. “The Opponents of The Writing of Traditional in Early Islam”,


dalam Jurnal Arbica XLIV, 1997

-------------------. Commading Right and Forbidding Wrong in Islamic Thought,


Cambridge, 2004.

Danby, Herbert. The Misnah, Introduction, Oxford University Press, 1993

Dhaif, Syauqi.> Al-Fann wa Madzahibuhu fi> asy-Syi’ir al-'Arabi>, Cairo: Da>r al-
Ma'a>rif, 1960

Dimont, Max Isaac Yahudi, Tuhan, dan Sejarah, Penerjemah Joko S. Kahar
Yogyakarta: Ircisod, 2018

Dutton, Yasin. Book Review atas karya Calder tersebut: Book Reviews of Norman
Calder: Studies in Early Muslim Juresprudence, by dalam Journal of Islamic
Studies, Vol 5 Number 1 januari 1994,
101

Ensiklopedi Perjanjian Baru, Yogyakarta: Kanisius, 1990

Ess, Joseph van. Zwischen Hadit und Theologie, Berlin, 1950

Fabian, A. The Babylonian Talmud, (Universjty of Queensland, 1963), h. 20 ;


Branaites, Fadh at-Talmud, Beirut: Da>r an-Nafais, 1999

Fahimah, Siti.Sistem Isnad dan Otentisitas Hadits: Kajian Orientalis dan Gugatan
atasnya, Jurnal Ulul Albab Volume 15, No. 2 Tahun 2014

Fuck, Robert W. The Five Gospels, What did Jesus Really Say?, New York:
HarperOne, 1993

Geiger, Abraham. What Did Muhammad Borrow from Judaism dalam jurnal “The
Origins of The Koran: Classic Essays on Islam’s Holy Book” Leeds:
Promoteus Books, 1998

Gibb, H.A.R. Muhammedanism: An Historical Survey, New York: Oxford


University Press, 1962

Goldziher, Ignaz. Muslim Studies, 2 vols, London, 1967

Hajar, Ibnu. Syarah} Nukhbah al-Fika>r, Beirut: Da>r al-Fikr, 1990

Hallaq, Wael B. The Authenticity of Prophetic Hadith: A Pseudo-problem, Studi


Islamica, 1991

Horovitz, Joseph. Alter und Ursprung des Isnad, dalam jurnal der Islam, 1917-1918.

Husaini, Adian. Tinjauan Historis Konflik Yahudi - Kristen - Islam Jakarta: Gema
Insani Press, 2004

Husein, Atswa>n. Muqaddimah al-Qashidah al-‘Arabyyah, Kairo: Da>r al-Ma'a>rif,


1970

Idri, Hadis & Orientalisme, Depok: Kencana, 2017

Imran, Muhammad. Analisis ke-Siqah-an Perawi Hadis, Yogyakarta: Istana


Publishing, 2016

Injil Lukas dan Terjemahan, Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 2018

Ismail, M. Syuhudi. Metodologi Penelitian Hadis. Cet I Jakarta: Bulan Bintang,


1992

------------------------. Pengantar Ilmu Hadis, Bandung : Angkasa, 1991


102

------------------------. Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual, Jakarta: Bulan


Bintang, 2009

Johann Fuck, “The Role of Traditionalism in Islam”, dalam Studies in Islam.


Oxford, 1981

Juynboll, G.H.A. (ed.), Early Islamic Society as Reflected in Its Use Of Isnads, vol.
107, Lemosion, 1994.

--------------------. Muslim Tradition. Studies in Chornology, Provence and


Authorship of Early Hadith, Cambirdge 1983

--------------------. “The Date of the Great Fitna,” dalam Arabica 20, 1973

Keene Michael, Alkitab: Sejarah, Proses Terbentuk, dan Pengaruhnya, Yogyakarta :


Kanisius, 2006

Kementerian Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Banten: Insan Media Pustaka,


2016

Khallika>n, Ibn. Wafaya>t al-A’ya>n, ed. Ihsan 'Abbas, Beirut: Da>r Shadir, 1968

Khita>b, Rati>bah Ibrahi>m. Maba>h}its fi> Dira>sah al-Asa>ni>d wa al-H{ukm ‘ala> al-Hadi>s,
Kairo: Azhar University, 2009

Khulaif, Yu>suf. Dira>sa>t Fi> al-Syi’r al-ja>hili>, Kairo: Maktabah al-Gari>b, 1981

Kraus, Samuel.The Mishnah Treatise Sanhedrin, Leiden: Semitic Studies Serie,


1909

Mahmu>d, ‘Abdul Halim. Al-Sunnah fi> Maka>natiha> wa fi> Ta>rikhiha> Kairo: Da>r al-
Kutub al-‘Arabi>, 1996 M

Mahmud, ‘Abd al-Majid. Amtsa>l al-Hadi>s wa Taqdîmat fi> ‘Ulu>m al-Hadi>s,(Kairo:


Da>r al-Tura>ts, 1975

Masrur, Ali. Neo-Skeptisisme Michael Cook dan Norman Calder Terhadap Hadis
Nabi Muhammad, Jurnal THEOLOGIA, Vol 28 No 1 2017.

-------------. Penerapan Metode Tradition-Historical dalam, The Mus}annaf of Abd


Razza>q al-San’a>ni> dan Implikasinya terhadap Persoalan Dating Hadis dan
Perkembangan Fikih Mekkah”, dalam Jurnal Teologia, Vol. 24, No. 1,
Januari-Juni 2013

-------------. Teori Common Link G.H.A. Junyboll; Melacak Akar Kesejaraha Hadis
Nabi, Yogyakarta; LkiS, 2007
103

Metzger, Bruce M. The Canon of The New Tastament New York: Oxford
University Press: 1989

Motzki, Harald. The Mus}annaf of Abd Razza>q al-San’a>ni> as a Source of Authentic


Aha>di>s of ;the First Century A.H dalam Near Eastern Studies, 50, 1991

-------------------. The Origins of Islamic Jurisprudence Meccan Fiqh Before The


Classical Schools, Leiden, Brill 2002

Muhajirin, Politisasi Ujaran Nabi, Yogyakarta: Maghza Books, 2016

Mustamar, Marzuki. Kodifikasi Sastra Arab Periode Klasik (Jahily).

Nashr, Al-Shadiq Basyir. Dhawabith al-Riwayah ‘Inda al-Muhaddisin, Tripoli:t.p.,


1992

Polano, The Talmud, Inggirs: Cambridge University Press, 1979

Purnomo, Mukhlisin.Sejarah Kitab-Kitab Suci, Yogyakarta: Penerbit Forum, 2017

Qutaibah, Ibnu. al-Syi’ru wa al-Syu\’ard’,Kairo: Da>r al-Hadi>s, 1433 H/ 2003 M

Rauf, Muhammad Abdul. Outsider’s interpretations of Islam: A Muslim’s Point Of


View dalam Richard C. Martin, “Approaches to Islam in Religious Studies“,
USA: The University of Arizona Press

Robson, James. “The Isnad in Muslim Tradition,” Glasgow University Oriental


Society Transactions, XV, 1955

-------------------. “The Material of Tradition”, dalam The Muslim World, 41, 1951

Roham, Abujamin. Pembicaraan Di sekitar Bible dan Al-Qur’an Dalam Segi Isi dan
Riwayat Penulisannya, Jakarta : PT Bulan Bintang, 1984

Rustum, Asad. Mushtalah at-Ta>ri>kh: Wa huawa Bah}s fi> Naqd al-Usul, Beirut: Al-
Maktabah al-‘Asyri>yah, 2012

Sadeghi, Behnam. The Islamic Scholarly Tradition, Leiden: Brill

Said, Edward W. Orientalisme, terj. Asep Hikmat, Bandung: Pustaka: 1978

Saifuddin, Arus Tradisi Tadwin Hadis dan Historiografi Islam, Yogyakarta:


Pustaka Pelajar, 2011

Schacht, Joseph. The Origins of Muhammad Jurisprudence, Oxford: University


Press, 1975.
104

-------------------. An Introduction to Islamic Law, Oxford: Clarendom Press, 1964.

Schoeler, Gregor. The Oral and The Written In Early Islam, New York: Routladge,
2006

Sezgin, Fuat. Geschichte Des Arabischen Schriffutms, diterjemahkan kedalam


bahasa Arab oleh Ahmad Fahmi Hijazi dengan judul, Ta>rikh Al-Tura>ts Al-
‘Arabi>, Riyad: Sha>hib Al-Samu> Al-Ma>liki>, 1411/1991

Shalah, Abu Abd al-Rahman. Tahqiqan kitab Muqaddimah Ibn Shalah, Beirut: Da>r
al-Fikr, 1991

Shihab, M. Quraish. “Orientalisme” dalam Jurnal Studi Al-Qur’an Vol. 1, No. 2,


2006

Sirry, Mun’im. Kontroversi Islam Awal antara Mazhab Tradisionalis dan


Revisionis, Yogyakarta: Mizan, 2015

Sprenger, Alois. Ar-Riwa>yah wa ar-Ruwa>t ‘ind al-‘Arab, dalam Dira>sa>t al-


Mustaryriqi>n Haula Shihhat ary-Syi’r al-Ja>hili>, Penerjemah Abdurrahman
Badawi, Beirut: Da>r al-‘Ilm li al-Mala>yi>n, 1986

--------------------. “On the Origin and Progress of Writing Down the Historical
Facts among the Mosulmans,” dalam Journal of Asiatic Society of Bengal
25, 1856-1857

Stephen, Humpreys, R. “The Scholarship of Michael A. Cook: A Restrospecive in


Progress”, dalam Asad Q. Ahmed (ed) The Isalamic Scholarly Tradition:
Studies in History, Law, and Thought in Honor of Professor Michael Allan
Cook, Leiden and Boston: Brill, 2011

Strack, Hermann L. Introduction to The Talmud and Midrash, Pihladelphia: Varda


Books, 1931

Suryadi, dkk. Metodologi Penelitian Hadis, Yogyakarta: Pokja Akademik UIN


Sunan Kalijaga: 2009

Swindoll, Charles. Yesus: Tokoh Terbesar, Terjemahan Yahya Kristianto Jakarta:


Nifira Gabriel, 2008

Sya’ba>n, ‘Abdullah. Al-Ta’si>l al-Syar’i li Qawa>’id al-Muhadditsi>n, Kairo: Da>r al-


Sala>m, 2008

Sya’roni¸ Usman. Otentisitas Hadis Menurut Ahli Hadis dan Kaum Sufi, Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2008.
105

Syuhbat, Abu. Fi> Rihat al-Sunnah al Kutub al-Shihal al-Sittah, Kairo: Majma al-
Buhut al-Islamiyah, 1989

T{ahha>n, Mahmu>d. Taisir Musthalah al-Hadis, Cet. VIII; Riyadh: Maktabah al-
Ma’arif, 1407 H/1987 M

Talmud Babilonia, London, 1952

Talmud Palestina, London, 1982

Teng, Muhammad Bahar Akkase. Orientalis dan Orientalisme dalam Perspektif


Sejarah, Jurnal Ilmu Budaya, Vol. 4, No.1, Juni 2016

Thah}a>n, Mah}mud. Us}u>l al-Takhri>j wa Dirasah al-Asanid, Riyadh: Maktabah al-


Ma’arif, Cet. III, 1991

The Misnah, Oxford, 1933

Tisdall, William Saint Clair The Original Source of The Qur’an, t.tp: Creative
Media Partners, LLC, 2000

Tomatala, Yakob. Alkitab dan Komunikasi, Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia,


2001

ttps://id.m.wikipedia.org/wiki/Dokumen_Damaskus.

Ya’qub, Ali Mustafa. Kritik Hadis, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004

Yatim, Badri. Histografi Islam, Jakarta: Logos 1997

http://en:en.wikipedia.org/wiki/Michael_Cook_(hostorian)

http://www.rokhim.net/peranan-sanad-dalam-pendokumentasian-hadis/hadis-dan-
matan-hadis.html

http://www.rokhim.net/peranan-sanad-dalam-pendokumentasian-hadis/hadis-dan-
matan-hadis.html

https://jewishcentersurabaya.wordpress.com

www.majalahpraise.com

http://odjat_blog.blogspot.com/2010/10/03/peran-sanad-dalam pendokumentasian-
hadis/ulumul-hadis.html
106

INDEKS
Analisis, 5, 10, 14, 16, 17, 20, 27, 30,
Abd al-Qa>dir Mah{mu>d,10 31
Abd al-Ma>lik bin Marwan, 53 Anas bin Ma>lik, 45, 50
Abdul Ma>lik, 20 Apatis, 1
Abdulla>h ibn al-Muba>rak, 3, 14, 59 Apresiasi, 28, 34
Abdulla>h ibn Zubair, 55 Artikel, 20, 23, 27, 28
Abi> Hasi>n, 2 Asad Gabriel Rustum, 7
Abi> shalih, 2 Asghate, 27, 28
Abraham Geiger, 8 Asnada-yusnidu, 47
Abu Dawud, 43 Assad Q. Ahmed, 13, 14
Abu Hurairah, 2 Asumsi, 30
Abu> ‘Amr al-Awza’i, 3 At-Tirmidzi, 43
Abu> ‘Awanah, 2 Awa’il, 56
Abu> al-A<liyah, 74 Babilonia, 11
Abu> Bakar, 54 Badui, 51
Ad-Darimi, 43 Bani Lewi, 12
Adil, 5, 6 Behnam Sadeghi, 13, 14, 15
Ahl al-Bid’ah, 49 Bernard Lewis, 18, 25
Ahl al-Sunnah, 49 Biografi, 13, 17
Ahlul Kitab, 8, 60 Bizantium, 22
Ajja>j al-Khati>b, 45 Cambridge, 18, 19, 20, 22, 23, 24, 25,
Akademik, 13 26, 27, 28, 29, 37, 38
Akses, 18, 41 Chauvinisme, 50
Al-Ansab, 69 Clear, 10
Al-Ayyam, 69 Clue, 41
Al-Bara>’ ibn ‘A<zib, 50 Comfrot, 66
Ali Masrur, 5, 12, 13, 14, 15, 17, 18, Common Link, 4, 5, 13, 17, 18, 19,
21, 30, 32, 37, 38, 39 20, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29,
Ali Mustafa Ya’qub, 1 33, 37, 38, 27, 28, 30, 32, 34, 35,
Al-Ja>mi’ as}-S{ah}i>h, 43 37, 38, 39, 41
Al-Ja>mi’ Ash-Shahi>h li al-Bukha>ri>., D.S. Margoliouth, 18
46 Dabit, 5
Aloys Sprenger, 52, 53, 68 Damaskus, 55
Al-Qantara, 25, 28 Damsyik, 12
Al-Suyuti, 45 Dating, 41
Al-tahammul wa al-‘da>, 51 Definisi, 36
Al-Walid ibn Yazi>d, 55 Derivikasi, 11
Amar/shema, 65 Deskriptif, 29
107

Dha’i>f, 4 H.A.R. Gibb, 18


Diadopsi, 7, 9, 15, 16 Halakah, 3, 65
Difinitif, 13 H.A.R Gibb, 9
Dikotomi, 71 Hai Gaon, 11
Dinasti ottoman 18 Harald Motzki, 17, 32, 41
Dinasti umayyah, 20, 55 Harvad University, 4
Disertasi, 5, 9, 15, 22 Herbert Sprenger, 6
Diskursus, 1, 5, 9 Hijaiyah, 10
Duplikasi, 9 Historical Approach, 13
Ekspansi, 21 Historical Criticism, 13
Eropa, 21 Historis, 14
External criteria, 40 Hamzah, 47
Eksternal, 69 Hipotesa, 16, 66, 71
Elija, 65 Herbert Danby, 3, 11
Eksplorasi, 18 Hijriah, 4, 5, 6, 42, 50, 52, 53, 54, 55
Elija, 3 Hukum Lisan, 10, 13
Ezra, 12 Herbert Berg, 9, 13, 14, 15, 30, 31,
Eksistensi, 3, 8, 17, 49, 59, 64 32, 33
Ekonomi, 18, 27 Hadis, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11,
Fabricator, 37 12, 13, 14, 16, 17, 18, 19, 20, 21,
Fuat Seigzin, 31 23, 27, 28, 30, 31, 32, 33, 34, 35,
Fiqh, 55 36, 37, 38, 39, 40, 41, 42, 43
Fitnah al-Kubro, 49 Historis, 5, 13, 16, 20, 37, 41
Formulasi, 9 Ibid, 16
Framing, 7, 15 Ibn Faris, 68
Fenomena, 20, 27, 28, 34, 40, 51, 59, Ibn Hazm, 7
60, 65, 66 Ibn Ishaq, 53
G.H.A. Juynboll, 4, 5, 6, 9, 15, 32, Ibn Majah, 43
38, 53, 55, 56 Ibnu Hajar, 45
Gemara, 61, 64 Ibnu Hazm, 2, 3, 66
Geneologi, 69 Ibnu Si>ri>n, 55, 57
Gradual, 56 Ibnu Taimiyah, 8, 10, 14, 59
Garda, 13 Ibrani, 4, 10, 11, 12
Gramatikal, 11 Identifikasai, 17
Generasi, 4, 5, 6, 8, 49, 51, 57, 62, 63, Ignaz Goldziher, 9, 15, 30, 32
66, 69, 71, 73 Ilmiah, 4, 11, 13, 16
Goldziher, 9, 13 Ilmu Asma’ Rijal, 7
Grego schoeler, 17, 32 Ilmu Al-Jarh wa al-Ta’dil, 3, 4
Gap, 20, 32 Ilmu Hadis, 46, 47
108

Ilmu Musthalah Al-Hadi>S, 9 Judith Romney Wegner, 15


Ilmu Rija>l al-H{adi>s, 3 Jumhur, 47
Ilmu T{abaqat ar-Ruwah, 3 Jurnal Arabica, 15
Ima>M Ma>lik, 56 Jurnal, 21, 27, 28
Imam An-Nasa’i, 43 Kaisar Titus, 63
Imam Muslim, 43 Karier, 21
Imam Sahal Ramdhani, 18 Kitab El-Siraj, 11
Imitatif, 9 Kompleks, 9
Implikasi, 10, 11, 17 Konsonan, 10
Indikasi, 27, 74 Konten, 6
Individu, 50 Keith Lewinstein, 22
Informasi, 12, 14, 16, 22, 28, 34, 36, Khalayak, 67
41, 52, 57, 66, 67, 69 Khashib Ibn Jahdar, 42
Inggris, 21 Klasifikasi, 30, 33
Injil, 3, 4, 8 Kompromi, 42
Inkonsistensi, 20 Konstruksi, 44
Inspirasi, 10, 11 Konversi, 29
Intransitif, 47 Kriteria Ekternal, 41
Invasi, 12 Kualitas, 1, 4, 5, 14, 16, 44, 57
Isna>d al-H}adi>ts, 1 Kualitatif, 14
Isna>D, 9, 30, 34, 41, 47, 48, 53, 54, Kuantitatif, 14
55, 68, 69 Kultus, 50
Isnad Cum Matn, 4 Kutub Al-Sittah, 74
Isnad Family, 4, 15 Komprehenshif, 8, 9, 14
Jahiliyah, 69 Khazanah, 8, 12, 14
James Robson, 18, 52, 54 Kreatifitas, 5, 6
Jarihun, 5 Kamaruddin Amin, 15, 30, 32, 33, 41
Jibril As, 48 Komparasi, 16, 17
Johann Fück, 52, 54 Komprehensif, 17, 18
Jon Katz, 22 King’s College, 18, 22
Jorge Aguade, 28 Kodifikasi, 21, 31, 43
Josef Horovitz, 9, 15, 52, 53, 54, 64, La Ashla Lahu, 4
74 Legitimasi, 5, 55
Josef Van Ess, 20 Legium Romawi, 63
Joseph Schacht, 5, 18, 19, 28, 30, 32, Leone Caetani, 52, 53
33, 34, 52, 53, 54, 55 Library Research, 14
Joshua Abelson,, 5, 6 Literatur, 11, 12, 15, 20
Joshua, 63, 64 Loc.Cit, 16
Judah Hanasi, 63 Lukas, 66
109

Magnum Opus, 27 Muhaddisi>n, 42, 47


Mah}mud Al-Tahha>n, 45 Muhammad Ibn ‘Ubaid Al-Gubari
Maimonides, 11 Muhammad Ibn ‘Ubaid Al-Gubari, 2
Majelis Agung, 63 Muhammad Ibn H{a>tim Al-Muzaffar,
Majelis, 48, 49, 63 7, 14, 56
Majhul, 3, 4 Muhammad Ibn Sirin, 2
Marfu, 47 Muhammad Ibn Syihab Az-Zuhri, 42
Markus, 66 Muhammad Mustafa Al-‘Azami, 31,
Masar, 65 48, 56, 57
Matan, 1 Mukharri>j, 5,6, 45, 46
Matius, 66, 67 Mun’im Sirry, 30, 33, 34
Maurice Bucaille, 7, 66 Munqathi’, 4
Mayoritas, 22 Murjiah, 20
Mazhab, 50 Mursal, 2
Mekanisme, 31 Mushthalah At-Tarikh, 7
Memverifikasi, 11 Musna>d Abi> Da>wud, 47
Menafikan, 1 Musna>d Abu Bakar ‘Abdulla>h, 47
Menaksir, 4 Musna>d Ah}mad bin H{anbal, 47
Mendeteksi, 4 Musna>d Asa>d bin Musa>wa Al-
Mengidentifikasi, 10 Uma>wi, 47
Metodologi, 1, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, Musna>d, 47
15, 16, 17 Musni>d, 47
Michael Allan Cook, 18, 20, 21 Mustafa Al-‘Azami, 1
Michael Bonner, 13, 14, 15, 19, 22 Muttasil, 3, 47, 65
Michael Cook, 5, 7, 13, 14, 15, 16, Nabi Musa, 2, 3, 11, 12, 13
17, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 27, Nabi Musa, 60, 61, 62, 63, 64, 65
28, 29, 33, 34, 35, 36, 37, 38, 39, Nabia Abbot, 31
40, 41, 42, 43, 44, 48, 58, 59, 60, Natan/laqah, 65
61, 62, 64, 65, 67, 68, 69, 70, 71, Negatif, 7, 15, 16
72, 73, 74 Neo-skeptisisme, 13
Mishnah, 1, 2, 3, 6, 8, 9, 10, 11, 13, Nobel, 22
15, 17, 60, 61, 62, 63, 64, 65, 70, Nominasi, 22
71, 72, 73, 74 Norman Calder, 17, 18, 32, 33
Misperception, 16 Objek, 14
Misunderstanding, 16 Op.cit, 16
Monograf, 18 Opini, 2, 7, 15
Monoteis, 8 Oposisi, 41
Mu’dhal, 2 Oral, 62, 66, 69, 70, 71, 72, 73
Mu’tadilun, 5
110

Orientalis, 3, 4, 5, 7, 8, 9, 10, 11, 12, R. Simeon Ben Laqish, 64, 72


13, 16, 17, 18, 19, 21, 22, 27, 29, R. Stephen Humprey, 13
30, 32, 33, 36, 40, 44, 48, 51, 52, R. Yehudah, 64, 72
53, 57, 58 Rabbi Zera, 74
Originator, 37 Rabbi, 6, 8, 11, 13
Orisinalitas, 5, 8, 14 Rancu, 20
Otentik, 4, 20, 40 Rangkaian, 2, 3, 47, 61, 64, 71, 72
Otentisitas, 5, 15, 16 Rawi, 46, 47, 68, 69, 71
Otoritas, 13, 27, 42 Relevan, 12, 14, 15, 17
Otoritatif, 13 Renewed Scepticisme, 32
Pascasarjana, 21 Resistensi, 42
Perdata, 61 Rija>l, Asba>b Al-Nuzu>l, 41
Pidana, 61 Riset, 42
Pokok-Pokok, 11 Riwayat, 1, 2, 3, 4, 6
Primary Data, 14 Robban Johanan B. Zakka’i, 3, 63
Projecting Back, 4 Robert H. Lowie, 15
Pro-Kontra, 73 Robert W. Funk, 4
Periwayatan, 4, 6, 7, 8 Rumusan Masalah, 10
Perjanjian Baru, 3, 4 Saadias Gaon, 8
Perjanjian Lama, 3, 8 Sanad, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11,
Professor, 4, 17 12, 14, 15, 16, 17, 44, 45, 46, 47,
Plagiasi, 7, 15 48, 49, 50, 51, 52, 53, 54, 55, 56,
Problem, 9, 14 57, 58, 59, 60, 61, 64, 65, 66, 67,
Primer, 14, 15, 16 68, 69, 70, 71, 72, 74
Polemik, 12, 15, 41, 42 Schachtian, 28, 41
Perspektif, 10, 11, 13, 17, 35, 36 Secondary Data, 14
Perawi, 1, 3, 4, 5, 6, 7, 19, 37, 40, 44, Sekunder, 14, 15, 16
45, 46, 47, 51, 56, 65, 68, 70, 71, Sempalan, 9
74 Shahih, 1
Persia, 22, 25, 28, 29 Signal, 66
Patricia Crone, 23, 33 Silsilah, 3, 5, 12, 13, 15, 45, 46, 47,
Qa>di, 55 49, 66
Qata>dah, 45, 46, 51 Sinai, 3, 12
Qibbel, 65 Sistem, 1, 2, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 14, 15
Qom, 25, 28, 29 Sistem, 47, 49, 51, 52, 54, 57, 58, 59,
R. Abba, 64, 72 60, 61, 64, 66, 67, 69, 70, 71, 72,
R. Ammi, 64, 72 75
R. Hiyya Bar Ashi, 64, 72 Sistematika, 17
R. Joshuan, 3 Siti Fahimah, 44
111

Skenario, 38, 39, 40, 41 Tosefta, 15


Skeptisisme, 13, 14, 30, 31, 32, 34 Tragedi, 49, 50
Skripsi, 15 Transfer, 67
Solomon Temple, 62 Transitif, 47
Standarisasi, 21 Transmisi, 3, 5, 7, 9, 13, 15, 22, 36,
Stimulus, 11 59, 61, 66, 67, 69, 70
Studi Matan Hadis, 1 Trasnliterasi, 17
Studi, 1, 2, 3, 4, 9, 11, 12, 17 Turki, 22
Subtansial, 8 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 17
Sufi, 22 Umar bin Abdul Aziz, 73
Sufyan Al-Tsauri, 3, 10 Ummu Farida, 12, 14, 15
Sufyan Bin ‘Uyainah, 51 Universitas Princeton, 18, 21, 22
Suleiman A. Mourad,, 17 University of Michigan, 19
Sumber, 20, 21, 27, 28, 33, 34, 35, Upgrade, 21
38, 41, 42 Urgensi, 1, 2, 5, 6
Syariah, 30 Urwah, 53
Syu’bah, 45, 46, 51 Variorum, 24, 26, 27, 28
Ta>bi’ al-ta>bi>n, 5 Validitas, 11
Ta>bi>n, 5, 56 Versi, 48, 61, 66
Tabi’u tabiin, 5 W. St. Clair Tisdall, 8
Tadri>b ar-Ra>wi>, 66 Wacana, 12
Tahammul wal ada’, 65 Wael B. Hallaq, 34
Talak, 7, 66 Waffada Arief Najiyya, 18
Talmud Babilonia, 61, 62, 64, 72, 73 Wahyudin Darmalaksana, 15
Talmud Yerusalem, 61, 64 Wasilah ibn al-Asqa, 42
Targum, 15 Wilfred Madelung, 20, 28
Taurat Lisan, 5, 9, 12, 13, 63 Yahya, 45, 46, 67
Taurat Tulisan, 5 Yesus, 66, 67
Teknik, 14, 16 Yohanes, 66, 67
Teks, 20, 21, 30, 36 Yudaisme, 61
Teori, 3, 4, 5, 13, 14 Zeriqa, 64, 72
Teori-teori, 4
Tesis, 5, 9, 15, 16, 17, 21, 35
Thabaqah, 35, 46
The Ark, 12
The Six Orders, 74
The Spread of Isnad, 4, 12, 13, 15,
17, 19, 38
Thur Sinai, 63
PROFIL PENULIS
Muhammad Ghifari, lahir di Maros, Sulawesi-selatan,
17 Juni 1991. Putra pertama dari tiga bersaudara dari
pasangan Kamaruddin Saeni dan Halija. Ia tumbuh
besar di lingkungan pesantren, memulai pendidikan
dasarnya di Pondok Pesantren Darul Ulum Maros,
Sulawesi-Selatan (1997), Madrasah Tsanawiyah di
Pondok Pesantren Salafiyah Parappe Polman, Sulawesi-
Barat (2003), Madrasah Aliyah juga di Pondok
Pesantren Salafiyah Parappe Polman, Sulawesi-Barat
(2006). Setelah itu ia kemudian melanjutkan
pendidikannya di perguruan tinggi pada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
UIN Alauddin Makassar dengan mengambil jurusan Tafsir Hadis (2010).
Setelah resmi menyandang gelar Sarjana Hadis (S.Hd) pada tahun
2015, ia tidak berhenti sampai disitu, ia memiliki asa untuk tetap
melanjutkan pendidikannya. Pada tahun 2017 ia mendapatakan beasiswa
LPDP untuk melanjutakn pendidikan Magisternya. Ia memilih UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta sebagai tempat untuk memperdalam dan
mengembangkan ilmunya. Di kampus ini ia mengambil jurusan yang sama
pada S1, yaitu Ilmu al-Quran dan Tafsir dengan Konsentrasi Ilmu Hadis dan
berhasil menyelesaikannya pada tahun 2020.
Penulis aktif diberbagai organisasi dan ikut menggagas berdirinya
beberapa organisasi. Salah satunya pada tanggal 22 Oktober 2018, bersama
beberapa aktivis dan peneliti muda ia mendirikan Lingkar Santri Cendeki
(LSC), sebuah lembaga non profit yang fokus bergerak pada pengkajian,
penelitian dan riset yang bertajuk khazanah keislaman, dan pada tahun 2019
ia dipercayakan menjabat sebagai Direktur pada lembaga tersebut hingga
tahun 2021.
Penulis juga aktif menjadi narasumber dalam pelbagai kajian,
diskusi, dialog, seminar dan bepartisipasi dalam berbagai konferensi, baik
konferensi nasional maupun internasional. Salah satunya dengan menjadi
partisipan pada International Colloquium on Interdisciplinary Islamic
Studies (ICISS 2019) yang diselenggarakan oleh Sekolah Pascasarjana UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penulis menggemari buku-buku pemikiran, wawasan keislaman,
filsafat dan sosial politik. Sebagai media diskusi yang produktif bisa
berkomunikasi melalui e-mail: Muhghifari19@yahoo.com.

112

Anda mungkin juga menyukai