2. Legenda, yaitu cerita tentang asal mula terjadinya suatu tempat, misalnya Rawapening,
Banyuwangi, Batu Belah Batu Betangkup, dan sebagainya.
3. Mite, yaitu cerita tentang makhluk halus atau dewa-dewa dan erat kaitannya dengan
kepercayaan masyarakat, misalnya Nyai Rara Kidul.
Di daerahmu tentu juga banyak dongeng yang berkembang. Dapatkah kamu menyebutkan
beberapa di antaranya?
Waktu terus berlalu. Grendi kini semakin besar. Ia tidak lagi bermain dengan pihon apel
sahabatnya. Pohon apel itu sangat sedih. Namun, dengan setia pohon itu terus menunggu
kedatangan Grendi. Sampai suatu hari, dengan wajah sedih dan murung Grendi mendatangi
pohon apel itu lagi.
“Aku bukan anak kecil lagi. Sudah tidak pantas lagi memanjat pohon,” jawab Grendi. “Aku
ingin membeli mainan seperti punya teman-temanku, tapi aku tak punya uang untuk
membelinya,” pohon apel ikut merasa sedih. “Aku pun tak punya uang untuk membantumu.
Tetapi kau boleh memetik semua buah pirku dan menjualnya ke pasar. Kau bisa membeli
mainan dengan uang itu,” kata pohon apel.
Grendi sangat senang mendengarkannya. Ia segera memanjat pohon pir dan mulai memetiki
buah-buahnya. Buah-buah apel itu dijualnya dan uangnya ia belikan mainan.
Akan tetapi, setelah memiliki mainan, Grendi pun asyik bermain dengan teman-temannya. Ia
kembali lupa mengunjungi pohon apel sahabatnya. Pohon apel itu kembali merasa sedih dan
kesepian.
Setelah bertahun-tahun, Grendi mulai dewasa. Ia kembali mengunjungi pohon apel. Pohon
apel itu sangat gembira saat melihat Grendi datang.
“Aku tak punya waktu” jawab Grendi. “Aku harus mengurus dan menghidupi keluargaku.
Kami butuh rumah untuk tempat tinggal. Maukah kau menolongku?” tanya Grendi
memohon.
“Oh…, sayang sekali aku pun tak punya rumah. Tapi kau boleh menebang semua dahan
ranting rantingku untuk membuat rumah untuk keluargamu,” jawab pohon apel.
Dengan gembira Grendi menebang semua dahan dan ranting pohon itu sampai pohon itu
kelihatan gundul. Meskipun begitu, pohon apel itu sangat senang karena bisa membantu
Grendi. Setelah itu, Grendi tidak pernah lagi mengunjungi pohon apel.
Pohon apel itu kembali sedih dan kesepian. Pada suatu musim panas, kembali Grendi
mendatangi pohon apel. Pohon apel dengan sukacita menyambut kedatangan Grendi.
“Aku sedih. Aku sudah tua. Aku ingin hidup tenang dan menikmati hidup,” jawab Grendi
dengan lesu.
“Aduh …Maaf. Aku tak punya kapal untuk kuberikan padamu. Tapi kau boleh memotong
tubuhku dan memakainya untuk membuat kapal yang kau inginkan,” jawab pohon apel.
“Maaf Anakku,” kata pohon apel. “Aku sudah tidak punya apa-apa lagi untuk diberikan
padamu.”
“Tidak apa-apa. Aku pun sudah tidak punya gigi untuk menggigit buahmu,”
jawab Grendi.
“Aku juga sudah tidak punya batang dan dahan lagi untuk kau panjat,” kata pohon apel.
“Aku pun sudah terlalu lemah untuk memanjat pohon,” jawab Grendi.
“Aku benar-benar sudah tidak punya apa-apa lagi sekarang. Yang tersisa hanya tinggal
akar-akarku yang sudah tua dan sekarat,” kata pohon apel itu sambil meneteskan air mata.
“Aku pun sudah tidak memerlukan apa-apa lagi dalam hidupku. Aku hanya memerlukan
tempat beristirahat di masa tuaku. Aku sangat lelah setelah sekian lama meninggalkanmu,”
jawab Grendi.
“Oohh…, bagus sekali. Tahukah Anakku, akar-akar pohon yang tua adalah tempat terbaik
untuk berbaring dan beristirahat. Mari, marilah berbaring di pelukan akarakarku dan
beristirahatlah dengan tenang.”
Grendi pun beristirahat dan merebahkan tubuhnya di akar-akar pohon pir tua itu.
Pohon apel itu sangat senang sekali dan tersenyum sambil tiada hentinya menitikkan air
mata.
Pohon itu bagaikan orang tuanya yang bersedia memberikan apa pun yang mereka miliki
untuk kebahagiaan anak-anaknya.