Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

PENDIDIKAN NASIONAL DALAM PEMBENTUKAN MORAL BANGSA

KELOMPOK 2

DOSEN PENGAMPU :

SRI SUWARTINI., S.PD., M.PD.

DISUSUN OLEH :

1. UPITA AYU WIDAYANTI (2115100029)

2. DEFITA BERLIANI PUTRI (2115100032)

3. DIAH AYU SEKAR NINGRUM (2115100033)

4. ROFIANA PRILIA ANISA (2115100034)

5. FAUZIYYAH MUNA KAROMAH (2115100035)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS WIDYA DHARMA KLATEN

2021/2022

1
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas karunia yang telah dilimpahkan oleh Allah Swt kepada kami
semua sehingga kami dapat menyelesaikan pembuatan makalah yang berjudul “Pendidikan
Nasional Dalam Moral Bangsa “yang telah ditugaskan oleh Dosen dengan hasil yang baik.
Makalah ini telah kami selesaikan dengan maksimal berkat kerjasama dan bantuan
dari berbagai pihak. Dalam kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada pihak-
pihak yang telah membantu kami dalam menyelesaikan makalah ini, baik secara langsung
maupun tidak langsung yang telah berkontribusi secara maksimal dalam penyelesaian
makalah ini.
Kami menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu jika dalam pembuatan Makalah ini terdapat kesalahan, kami mohon maaf
yang sebesar-besarnya. Selain itu kritik dan saran yang membangun sentiasa kami
harapkan dari pihak mana pun.

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................................................. 1


KATA PENGANTAR ............................................................................................................... 2
DAFTAR ISI .............................................................................................................................. 3

BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG ............................................................................................................ 4
B. RUMUSAN MASALAH ........................................................................................................ 4
C. TUJUAN ..................................................................................................................................5

BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Pendidikan Nasional Dalam Pembentukan Moral Bangsa.....................................6
B. Konsep Perkembangan Pendidikan Moral............................................................................... 6
C. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Pembentukan Moral Bangsa ................. 7
D. Tujuan Pendidikan Dalam Pembentukan Moral Bangsa ......................................................... 8
E. Peran Moral Pendidikan Nasional............................................................................................11
BAB III PENUTUPAN
A. KESIMPULAN .......................................................................................................................14
B. SARAN.. .................................................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................15

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pendidikan nasional memiliki peranan yang sangat penting bagi warga negara.
Pendidikan nasional bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan
manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang
Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan ketrampilan, kesehatan jasmani
dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan
kebangsaan.

Pendidikan juga memiliki peranan penting untuk memenuhi sumber daya manusia
tersebut, sesuai dengan fungsi dan tujuan pendidikan di dalam Undang-Undang No.20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 3 yang menyatakan bahwa: Pendidikan nasional
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermanfaat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakal mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi negara yang
demokratis serta bertanggungjawab.

B. Rumusan Masalah

1. Apa Yang Dimaksud Pendidikan Nasional Dalam Pembentukan Moral Bangsa ?


2. Apa Saja Konsep Perkembangan Pendidikan Moral ?
3. Apa Saja Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Pembentukan Moral Bangsa ?
4. Apa Tujuan Pendidikan Nasional Dalam Pembentukan Moral Bangsa ?
5. Apa Peran Moral Dalam Pendidikan Nasional ?

4
C. Tujuan

1. Untuk mengetahui pengertian tentang pendidikan nasional dalam pembentukan moral


bangsa.

2. Untuk mengetahui konsep dasar pendidikan moral.

3. Untuk mengetahui faktor-faktor dalam perkembangan pembentukan moral bangsa.

4. Untuk mengetahui tujuan pendidikan nasional dalam pembentukan moral bangsa.

5. Untuk mengetahui peran apa saja yang terdapat pada moral pendidikan nasional.

5
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pendidikan Nasional Dalam Pembentukan Moral Bangsa
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.

Konsep Ki Hajar Dewantara dalam Wahab tentang pendidikan adalah daya upaya untuk
memajukan tumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin dan karakter), pikiran (intelek), dan tubuh
anak. Pendidikan moral dapat disebut sebagai pendidikan nilai atau pendidikan afektif. Dalam
hal ini hal-hal yang disampaikan dalam 10 pendidikan moral adalah nilai-nilai yang termasuk
domain afektif. Nilai-nilai afektif tersebut antara lain, meliputi: perasaan, sikap, emosi, kemauan,
keyakinan, dan kesadaran.

Pendidikan moral berusaha untuk mengembangkan pola perilaku seseorang sesuai dengan
kehendak masyarakatnya. Kehendak ini berwujud moralitas atau kesusilaan yang berisi nilai-
nilai dan kehidupan yang berada dalam masyarakat. Karena menyangkut dua aspek inilah, yaitu
nilai-nilai dan kehidupan nyata, maka pendidikan moral lebih banyak membahas masalah dilema
(seperti makan buah simalakama) yang berguna untuk mengambil keputusan moral yang terbaik
bagi diri dan masyarakatnya.

Jadi,pendidikan moral adalah suatu program pendidikan (sekolah dan luar sekolah) yang
mengorganisasikan dan menyederhanakan sumber-sumber moral dan disajikan dengan
memperhatikan pertimbangan psikologis untuk tujuan pendidikan.

B. Konsep Perkembangan Pendidikan Moral


Menurut Harshorne dan May, dalam Suparno menyatakan bahwa Keefektifan pendidikan
moral disekolah ditemukan hal-hal berikut :

a. Pendidikan watak atau karakter dan pengajaran agama dikelas tidak memengaruhi perbaikan
perilaku moral.

6
b. Pendidikan etika yang dilakukan dengan cara pengklarifikasian nilai, yakni pengajaran
tentang aturan-aturan berperilaku benar dan baik disekolah sedikit berpengaruh terhadap
pembentukan moral sebagaimana yang dikehendaki.

Perilaku moral dianggap sebagai sesuatu yang ditentukan oleh kecenderungan bertindak
yang dimotivasi oleh sifat perilaku dan kebiasaan. Artinya, perilaku moral bukan merupakan
hasil pertimbangan moral yang berpijak pada konsep nilai kemanusiaan dan keadilan.

C. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Pembentukan Moral Bangsa

Menurut Mudjiran faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan pembentukan moral


yaitu:

a. Orang tua atau guru sebagai model

b. Interaksi dengan teman sebaya.

Sedangkan menurut Syamsu beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan moral anak
adalah :

a. Konsisten dalam mendidik anak,Orang tua harus memiliki sikap dan perlakuan yang sama
dalam melarang atau membolehkan tingkah laku tertentu kepada anak. Suatu tingkah laku anak
yang dilarang oleh orang tua pada suatu waktu, harus juga dilarang apabila dilakukan kembali
pada waktu lain.

b. Sikap orang tua dalam keluarga,secara tidak langsung sikap orang tua terhadap anak, sikap
ayah terhadap ibu atau sebaliknya, dapat mempengaruhi perkembangan moral anak, yaitu
melalui proses peniruan (imitasi).

c. Penghayatan dan pengalaman agama yang dianut Orang tua merupakan panutan (teladan) bagi
anak, termasuk panutan dalam mengamalkan ajaran agama. Orang tua yang menciptakan iklim
yang religius (agamis), dengan cara memberikan ajaran atau bimbingan tentang nilai-nilai agama
kepada anak, maka anak akan mengalami perkembangan moral yang baik.

d. Sikap konsisten orang tua dalam menerapkan norma Orang tua yang tidak menghendaki
anaknya berbohong atau berlaku tidak jujur, maka mereka harus menjauhkan dirinya dari
perilaku berbohong atau tidak jujur. Apabila orang tua mengajarkan kepada anak agar

7
berperilaku jujur, bertutur kata yang sopan, bertanggung jawab atau taat beragama, tetapi orang
tua sendiri menampilkan perilaku yang sebaliknya, maka anak akan mengalami konflik pada
dirinya, dan akan menggunakan ketidak konsistenan sebagai alasan untuk tidak melakukan apa
yang diinginkan oleh orang tuanya, bahkan mungkin dia akan berperilaku seperti orang tuanya.

D. Tujuan Pendidikan Dalam Pembentukan Moral Bangsa

Adapun tujuan pendidikan moral menurut nurul Zuriah (2008:36) adalah :

a. Anak mampu memahami nilai-nilai budi pekerti di lingkungan keluarga, lokal, nasional,
dan internasional melalui adat istiadat, hukum, undangan-undangan, dan tatanan antar
bangsa.

b. Anak mampu mengembangkan watak atau tabiatnya secara konsisten dalam mengambil
keputusan budi pekerti di tengah-tengah rumitnya kehidupan bermasyarakat saat ini.

c. Anak mampu menghadapi masalah nyata dalam masyarakat secara rasional bagi
pengambilan keputusan yang terbaik setelah melakukan pertimbangan sesuai dengan
norma budi pekerti.

d. Anak mampu menggunakan pengalaman budi pekerti yang baik bagi pembentukkan
kesadaran dan pola perilaku yang berguna dan bertanggung jawab.

Menurut Bergling dalam Wibowo (2001:146) bahwa mengembangkan dua macam


metode pendidikan moral yang diprediksi memiliki kemampuan yang sama dalam
meningkatkan pertimbangan moral siswa. Kesamaan kekuatannya dapat ditemukan pada
tujuannya, yakni meningkatkan moralitas siswa. Tinggi atau rendahnya moralitas siswa dapat
dilihat dari tingkat pertimbangan moralnya.

Menurut Kohlberg dalam Nina syam (2011:211) bahwa menyatakan menekankan tujuan
pendidikan moral adalah merangsang perkembangan tingkat pertimbangan moral siswa.
Kemantangan pertimbangan moral jangan diukur dengan standar regional, tetapi hendaknya
diukur dengan pertimbangan moral yang benar-benar menjungjung nilai kemanusiaan yang
bersifat unviersal, berlandaskan prinsip keadilan, persamaan, dan saling terima.

Menurut Kohlberg dalam nina syam (2011:212) menyatakan bahwa untuk tercapainya
tujuan pendidikan moral tersebut, konsep pengembangan pembelajaran yang lebih sesuai adalah

8
melalui imposisi, tidak menyatakan secara langsung sistem nilai yang konkret. Oleh karena itu,
dianjurkan agar para pendidik di sekolah harus meningkatkan pemahamannya mengenai hakikat
pengembangan moral serta memahami metode-metode komunikasi moral.

Menurut Frankena dalam Nina Syam (2011:224) menyatakan bahwa tugas program
pendidikan moral menyampaikan dan memperthankan moral sosial, meningkatkan kemampuan
berpikir moral secara maksimal.

Lebih khusus lagi menurut Maritain dalam Nurul (2008:123) menegaskan bahwa tujuan
pendidikan moral adalah terbentuknya kejujuran dan kebebasan mental spiritual. Lebih lanjut
menurut Frankena, Nina Syam (2011:395) mengemukakan lima tujuan pendidikan moral
sebagai berikut:

a) Mengusahakan suatu pemahaman “pandangan moral” ataupun cara-cara moral dalam


mempertimbangkan tindakan-tindakan dan penetapan keputusan apa yang seharusnya
dikerjakan, seperti membedakan hal estetika, atau pandangan tentang kebijakan.

b) Membantu mengembangkan kepercayaan atau pengadopsian satu atau beberapa prinsip


umum yang fundamental, ide atau nilai sebagai suatu bijakan atau landasan untuk
pertimbangan moral dalam menetapkan suatu keputusan.

c) Membantu mengembangkan kepercayaan pada dan atau pengadopsi norma-norma


kongkret, nilai-nilai, kebaikan-kebaikan seperti pada pendidikan moral tradisional yang
selama ini dipraktikan.

d) Mengembangkan suatu kecenderungan untuk melakukan sesuatu yang secara moral baik
dan benar.

e) Meningkatkan pencapaian refleksi otonom, pengendalian diri atau kebebasan mental


spiritual, meskipun itu disadari dapat membuat seseorang menjadi pengkritik terhadap
ide-ide dan prinsip-prinsip, dan aturan-aturan umum yang sedang berlaku.

Menurut Kohlbrg dalam Ayani (2010:128) bahwa menggabungkan tujuan pendidikan


moral dengan tujuan pendidikan civics (pendidikan kewarganegaraan). dinyatakan bahwa selain
harus memperhatikan tercapainya tujuan moral secara filosofil, juga mengembangkan tingkat
pertimbangan moral yang secara ideal menentukan apa yang seharusnya dilakukan.

9
Tujuan moral secara filosofil menyerupakan kebebasan dan kebiasaan berpikir sehingga
mampu melahirkan perimbangan moral yang bernilai universal untuk seluruh umat manusia.
Prinsip moral secara filosofil tidak membedakan seluruh peraturan, sedangkan nilai moral secara
konkret didasarkan pada aturan khusus yang berlaku untuk suatu masyarakat tertentu. (Kohlberg
dalam Aryani,2019:129)

Menurut Boddoe dalam Nurul (2008:119) menyatakan agar pendidikan moral hendaknya
dilaksanakan dengan mengembangkan suatu kehidupan yang memungkinkan seseorang memiliki
sikap respect yang mendalam kepada orang lain. Pembelajaran yang dianjurkan ialah dengan
cara memecahkan masalah melalui konflik moral agar mampu meningkatkan pertimbangan
moral.

Berangkat dari tujuan tersebut diatas maka dalam pelaksanaannya terdapat tiga faktor
penting dalam pendidikan moral di Indonesia yang perlu diperhatikan yaitu:

a. Peserta didik sejatinya memiliki tingkat kesadaran dan perbedaan perkembangan


kesadaran moral yang tidak merata maka perlu dilakukan identifikasi yang berujung
pada sebuah pengertian mengenai kondisi perkembangan moral dari peserta didik itu
sendiri.

b. Nilai-nilai (moral) pancasila, berdasarkan tahapan kesadaran dan perkembangan moral


manusia maka perlu diketahui pula tingkat tahapan kemampuan peserta didik. Hal ini
penting mengingat dengan tahapan dan tingkatan tang berbeda itu pula maka semua
nilai-nilai moral yang terkandung dalam pendidikan moral tersebut memiliki batasan-
batasan tertentu untuk dapat terpatri pada kesadaran moral peserta didik.

c. Guru sebagai fasilitator, apabila kita kembali mengingat teori perkembangan moral
manusia dari Kholberg dengan empat dalilnya maka guru seyognyanya adalah fasilitator
yang memberikan kemungkinan bagi siswa untuk memahami dan menghayati nilai-nilai
pendidikan moral itu.

Berdasarkan uraian diatas, dapat dipahami bahwa pada dasarnya tujuan pendidikan moral
di sekolah membantu siswa mempertnggi tingkat pertimbangan, pemikiran, dan penalaran
moralnya sesuai dengan tahapan dan tingkatannya.

10
E. Peran Moral Pendidikan Nasional

Bagaimanapun, krisis mentalis, moral dan karakter anak didik jelas berkaitan dengan kris
is-krisis lain yang dihadapi pendidikan nasional kita umumnya. Karena itu, kalau kita mau menil
ai secara lebih adil dan fair- meskipun makro- krisis mentalis dan moral peserta didik merupaka
n cermin dari krisis lebih luas, yang terdapat dan berakar kuat dalam masyarakat umumnya. Den
gan kata lain, krisis mentalis dan moral diantara peserta didik pada berbagai jenjang pendidikan-
khususnya jenjang menengah dan tinggi-bagaimana pun merupakan cermin dari krisis mentalitas
dan moraldalam masyarakat lebih luas.

Meski demikian,sekolah bukan tidak berkewajiban untuk memulai upaya mengatasi krisis
mentalitas dan moral itu, setidaknya dengan memulainya di lingkungannya sendiri. Walaupun up
aya itu belum tentu dapat menyembuhkan semua krisis, tetapi karena sekolah memiliki posisi ya
ng sangat strategis dalam masyarakat,upaya sekolah dapat menjadi titik pusat dan awal dari usah
a penyembuhan krisis dalam masyarakat kita secara menyeluruh.

Dalam konteks ini, saya memandang relevan mengutip “World Declaration on Higher Ed
ucation for the Twenty-First Century: Vision and Action” (UNESCO, 1998. Dalam deklarasi yan
g dirumuskan pada “World Conference on Higher Education” (Paris, 5-9 Oktober 1998) menyan
gkut misi dan fungsi pendidikan, dalam hal ini perguruan tingg, antara lain, dinyatakan: bahwa p
erguruan tinggi juga memiliki misi dan fungsi untuk membantu melindungi dan memperkuat nila
i-nilai sosial dengan melatih anak-anak muda dalam nilai-nilaiyang membentuk dasar kewargane
garaan demokratis; dan dengan memberikan perspektif kritis dan tidak bias guna membantu dala
m pembahasan tentang pilihan-pilihan strategis, dan penguatan perspektif humanistik.

Menurut Deklarasi UNESCO lembaga-lembaga pendidikan tinggi, personel pendidikan ,


dan paramahasiswa haruslah, antara ; menjaga dan mengembangkan fungsi-fungsi krusial merek
a dengan pelaksanakan etika; dan kelugasan ilmiah dan akademis dalam berbagai kegiatan, mam
pu berbicara lantang tentang masalah-masalah etika, budaya dan sosial secara independen sepenu
hnya dan sadar betul tentang tanggung jawab mereka; melaksanakan kapasitas intelektual dan pr

11
estise moral mereka dan secara aktif menyebarkan nilai-nilai yang telah diterima secara universal,
termasuk perdamaian,keadilan, kebebasan, kesetaraan, dan solidaritas.

Gagasan konsep yang terkandung dalam Deklarasi UNESCO yang dikutip diatas juga sel
aras dengan kerangka dasar konsep “paradigm baru” perguruan tinggi yang dirumuskan Depdikb
ud (kini Depdiknas), para pemikir dan praktisi pendidikan nasional setelah jatuhnya pemerintah
Presiden Soeharto. Dalam paradigma baru perguruan tinggi, pendidikan dirumuskan sebagai pros
es pembudayaan (enkulturisasi) peserta didik, sehingga mereka menjadi warga Negara yang me
miliki “keadaban” (civility), yang pada gilirannya menjadi pilar bagi pembentukan masyarakat m
adani dalam Indonesia baru.

Dilihat dari segi ini,hemat saya, pendidikan-termasuk di perguruan tinggi-bertugas menge


mbangkan setidak-tidaknya lima bentuk kecerdasan. Pertama, kecerdasan intelektual; kedua, kec
erdasan emosional; ketiga, kecerdasan spiritual dan moral. Kelima bentuk kecerdasan ini harus di
kembangkan secara simultan; dan jika berhasil dilaksanakan dengan baik, maka akan mampu me
nghasilkan mahasiswa dan lulusan yang bukan hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga cerda
s secara emosional, praktikal, sosial, dan spiritual-moral.

Dalamkerangka paradigma baru pendidikan nasional itu, kiranya baik pula dikutip rumus
an tentang “nilai-nilai dasar pendidikan nasional” yang terdiri dari delapan butir. Pertama, keima
nan dan ketaqwaan, yakni bahwa pendidikan harus memberikan atmosfer religiusitas kepada pes
erta didik. Kedua, kemerdekaan, yakni kebebasan dalam pengembangan gagasan, pemikiran, dan
kreativitas. Ketiga, kebangsaan, yakni komitmen kepada kesatuan kebangsaan dengan sekaligus
menghormati pluralitas. Keempat, keseimbangan dalam perkembangan kepribadian dan kecerdas
an anak. Kelima, pembudayaan, yakni memiliki ketahanan budaya dalam ekspansi budaya global.
Keenam, kemandirian dalam pikiran dan tindakan, tidak tergantung pada orang lain. Ketujuh, ke
manusiaan, yakni menghormati nilai-nilai kemanusiaan, akhlak,budi pekerti dan keadaban.Kedel
apan, kekeluargaan, yakni iktan yang erat antara komponen sekolah, keluarga, dan masyarakat.

Selanjutnya dalam kerangka mikro, visi pendidikan nasional adalah “terwujudnya individ
u manusia Indonesia baru yang memiliki sikap dan wawasan keimanan dan akhlak tinggi dan mu
lia, kemerdekaan dan demokrasi,toleransi dan menjunjung tinggi HAM, saling pengertian dan be
rwawasan global.

12
Sedangkan tentang tujuan makro pendidikan nasional adalah “membentuk organisasi pen
didikan yang otonomi, sehingga mampu melakukan inovasi dalam pendidikan untuk menuju pem
bentukan lembaga yang beretika, selalu menggunakan nalar, berkemampuan kunikasi sosial yang
positif dan memiliki SDM yang sehat dan tangguh”. Kemudian, tujuan mikro pendidikan nasiona
l adalah “membentuk manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan, beretika (beradab dan
berwawasan budaya bangsa Indonesia), memiliki nalar (maju dan cakap, cakap, cerdas, kreatif,da
n inovatif dan bertanggung jawab), berkemampuan komunikasi sosial (tertib dan sadar hukum ko
operatif dan kompetitif, demokratis), dan berbadan sehat sehingga menjadi manusia mandiri.

BAB III

13
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Jadi dapat di simpulkan bahwa tujuan pendidikan moral untuk mengembangkan pola
perilaku seseorang sesuai dengan kehendak masyarakatnya.

Di sisi lainnya banyak faktor-faktor yang mempengaruhi pendidikan moral bangsa seperti:

1. Lingkungan keluarga yang terdiri dari orangtua sebagai model.

2. Lingkungan masyarakat yang terdiri dari teman sebaya,tetangga,serta lingkup masyarakat


yang lebih besar.
B. SARAN
Demi kelancaran dan kelengkapan materi makalah, kami menghimbau kritik dan saran
yang sifatnya membangun untuk pembaca agar bisa menjadi reverensi bagi kelompok kami
dalam menyusun makalah-makalah berikutnya.
Bagi pembaca kami dari pemakalah menghimbau untuk menambahkan baik dari segi
materi maupun dari segi format tulisan yang ada dan mengembangkan materi yang ada dalam
makalah ini agar berguna bagi kaum yang gemar membaca.

DAFTAR PUSTAKA

14
15

Anda mungkin juga menyukai