TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Teori
1. Transfusi Darah
Pelayanan darah sebagai salah satu upaya kesehatan dalam rangka
penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan sangat membutuhkan
ketersediaan darah atau komponen darah yang cukup, aman, bermanfaat,
mudah diakses dan terjangkau oleh masyarakat. Pemerintah bertanggung
jawab atas pelaksanaan pelayanan darah yang aman, bermanfaat, mudah
diakses, dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat (Permenkes No 7, 2011).
Dalam pemberian darah harus diperhatikan kondisi pasien, kemudian
kecocokan darah melalui nama pasien, label darah, golonngan darah,
danperiksa warna darah (terjadi gumpalan atau tidak), homogenitas
(bercampur atau tidak). Adapun tujuan dilakukannya transfusi darah adalah
sebagai berikut :
a. Untuk meningkatkan volume sirkulasi darah setelah pembedahan, trauma,
atau perdarahan.
b. Untuk meningkatkan jumlah sel darah merah dan untuk mempertahankan
kadar hemoglobin pada klien yang menderita anemia berat.
c. Untuk memberikan komponen seluler yang terpilih sebagai terapi
pengganti (misalnya faktor-faktor pembekuan plasma untuk membantu
mengontrol perdarahan pada klien penderita hemofilia)(dr. Robert, 2018).
2. Jenis Darah Donor
Terdapat empat klasifikasi jenis pendonor darah yaitu: Donor Sukarela,
Donor pengganti/keluarga, donor bayaran, dan donor plasma khusus.
Transfusi darah dilakukan untuk proses penyembuhan dan pemulihan pasien.
Darah yang dipindahkan dapat berupa darah lengkap dan komponen darah.
4
5
kejang, kanker atau penyakit kronis. Bagi wanita yang sedang haid, hamil atau
menyusui tidak diperkenankan mendonorkan darahnya (PMI, 2008).
4. Alur Transfusi Darah
a. Tahap Persiapan
Tahap persiapan adalah tahap awal dibagi menjadi dua yaitu tahap
persiapan alat dan tahap persiapan pasien.
b. Tahap Tindakan Pemasangan Transfusi Darah
Tahap tindakan merupakan tahap kedua pada prosedur tindakan
pemasangan transfusi darah. Pada tahap ini dilakukan identifikasi ulang
pasien tidak sesuai dengan SOP seperti pada item identifikasi umur,
nomor rekam medis, nomor kantong darah, jumlah darah, cross match,
identifikasi golongan darah, serta pada identifikasi nama pasien.
c. Tahap Post Transfusi Darah
Tahap ini merupakan tahap akhir, tahap pengawasan, dan
pendokumentasian. Hasil penelitian yang telah dilakukan pada tahap ini
melakukan tindakan sesuai dengan SOP, yaitu pada item memperhatikan
reaksi atau komplikasi dari transfusi, observasi tanda tanda Vital (TTV)
pada tiap 5 menit, 15 menit dan 60 menit (Nova Yustitia; dkk, 2020).
5. Reaksi Transfusi Darah
Dalam pelayanan darah dikenal istilah hemovigilance yaitu upaya untuk
mengumpulkan data-data terjadinya reaksi transfusi, melakukan analisis data
tersebut dan kemudian menggunakannya sebagai dasar peningkatan keamanan
pelayanan transfusi darah (Permenkes No 91, 2015).
Reaksi transfusi adalah respons sistemik tubuh terhadap ketidak cocokan
darah donor dengan darah resipien. Reaksi ini disebabkan ketidak cocokan sel
darah merah atau sensitivitas alergi terhadap leukosit, trombosit atau
komponen protein plasma pada darah donor atau terhadap kalium atau
kandungan sitrat di dalam darah. Transfusi darah juga dapat menyebabkan
penularan penyakit (dr. Robert, 2018).
Gejala dan tanda yang sering muncul termasuk berikut ini yaitu demam
(biasanya berupa peningkatan suhu 1⁰C), menggigil, gangguan pernafasan,
7
hipertensi atau hipotensi, nyeri di tempat infus atau di bagian tubuh lain
misalnya abdomen atau dada, urtikaria dan manifestasi kulit lain, ikterik atau
hemoglobinuria, mual/muntah, perdarahan, oligouria/anuria. Pengenalan dini,
penatalaksanaan yang cepat dan tepat harus dilakukan untuk menghindari
reaksi yang lebih berat bagi pasien. Reaksi transfusi dapat terjadi secara akut
yaitu terjadi dalam 24 jam setelah transfusi, atau terjadi secaralambat
(delayed) yaitu terjadi setelah 24 jam pasca transfusi. Tindak lanjut atas
kecurigaan terjadinya reaksi transfusi dilakukan dengan melakukan evaluasi
klinis pasien dan melakukan verifikasi secara laboratorium. BDRS harus
melakukan penelusuran penyebab reaksi transfusi (Permenkes No 91, 2015).
Langkah penelusuran reaksi transfusi di BDRS, meliputi:
a. Penerimaan keluhan reaksi transfusi secara tertulis daripetugas ruang
perawatan.
b. Penerimaan sisa kantong darah donor dan sampel pasien pascatransfusi
dari ruang perawatan disertai formulir pengiriman sampel untuk
penelusuran reaksi transfusi.
c. Identifikasi kantong darah donor meliputi:
nomor kantong darah
- golongan darah pada label kantong (ABO dan rhesus)
- jenis komponen darah
- perkiraan volume darah donor yang tersisa didalam kantong
- uji saring IMLTD (hasil, waktu, metoda dan petugas pemeriksaan)
- uji silang serasi (hasil, waktu, metoda dan petugas pemeriksaan)
d. Pengecekan silang semua informasi permintaan darah (dilihatdari arsip
formulir permintaan yang ada di BDRS) dengan identitas kantong darah
donor.
e. Pemeriksaan ulang atas golongan darah donor dan pasien meliputi
golongan darah ABO dan rhesus.
f. Pemeriksaan ulang uji silang serasi darah donor dengan darah pasien
menggunakan persediaan darah pasien pra transfusi di BDRS.
g. Pencatatan penelusuran reaksi transfusi meliputi:
8
Assay (ELISA), Rapid Test, dan slide test malaria untuk daerah endemis
berfungsi sebagai rujukan uji saring darah terhadap Infeksi Menular Lewat
Transfusi Darah (IMLTD), kasus serologi golongan darah dan kasus reaksi
transfusi darah secara laboratoris (Permenkes No. 83, 2014).
Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2015 menegaskan bahwa untuk
menjamin keamanan darah, darah harus memiliki hasil uji IMLTD non reaktif
(Permenkes No.72, 2015). Saat diketahui uji saring IMLTD reaktif pada darah
dan komponen darah hendaklah dilakukan hal-hal sebagai berikut:
a. Melaporkan hasil uji saring IMLTD untuk tindak lanjut terhadap pendonor
yang reaktif.
b. Melakukan pemindahan kantong darah reaktif dari tempat penyimpanan
karantina ke tempat penyimpanan darah dan komponen darah untuk
pemusnahan (PPOB CBOB, 2018).
Pemeriksaan IMLTD memiliki beberapa metode pemeriksaan dan
yang digunakan oleh berbagai UTD pun beragam, antara lain 279 UTD
menggunakan metode rapid, 130 UTD menggunakan metode immuno
assay (Enzym Immuno Assay atau Chemiluminescence Immuno Assay),
dan 12 UTD menggunakan selain metode immuno assay juga metode
Nucleic Acid Amplification Technology Test (NAT) (Infodatin PMI, 2015).
7. Resiko Penularan Penyakit
Infeksi oleh virus hepatitis B (Hepatitis B Virus, HBV) seringkali disebut
hepatitis serum,karena ditularkan melalui darah atau cairan tubuh yang
mengalami kontak dengan darah. HBV ditularkan melalui rute parenteral,
yang berarti di luar saluran pencernaan. Sarana utama penularan HBV adalah
melalui darah (penerima produk darah/transfusi darah, pasien hemodialisa,
pekerja kesehatan atau terpapar darah, kontak dengan darah yang terinfeksi
pada jarum hipodermik) (Kemenkes RI,2019).
Virus Hepatitis C umumnya menyebar melalui kontak langsung dengan
darah yang terinfeksi dan produk darah. Hepatitis C juga dapat ditularkan
melalui hubungan seks antara seorang pria dan seorang wanita, tetapi
10