Anda di halaman 1dari 11

PENUGASAN REFERAT BIOETIK

TRANSFUSI DAN PENULARAN PENYAKIT

BLOK KOMPREHENSIF KLINIK (4.3)

Oleh :

Muhammad Afrizal Kurniawan (16711024)

Muhammad Azmi Alfarissi (16711164)

Tutor : dr. Muhammad Subhan Alfaqih

Tutorial : 2

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA

2019
TRANSFUSI DAN PENULARAN PENYAKIT

A. Definisi
Transfusi darah merupakan kegiatan pemindahan darah dari seorang
pendonor ke orang lainnya yang biasanya disebut resipien. fungsi
pemindahan ini adalah untuk kepentingan resipien yang kekurangan darah
bisa akibat perdarahan, syok, operasi dan tidak berfungsinya organ
pembentuk sel darah merah Keputusan untuk melakukan transfusi darah
harus sesuai dengan kebutuhan klinis sesuai penyakit yang tepat. Seseorang
membutuhkan darah jika komponen darahnya tidak mencukupi untuk
menjalankan fungsi secara normal. Indikasi transfusi secara umum adalah
dimana kadar Hemoglobin darah kurang dari 7 g/dL.
Untuk mendapatkan darah yang baik dan aman harus dilakukan
sesuai dengan standar yang telah ditetapkan agar dapat menjamin keadaan
darah. Kegiatan transfuse darah meliputi beberapa tahap diantaranya
adalahpengerahan dari donor, pengambilan darah, penyumbangan darah,
pengolahan, penyimpanan dan yang terakhir adalah penyampaian darah
kepada resipien. Begitu pula para pendonor harus mesehat dan memenuhi
syarat syarat donor.
. Tidak semua orang bisa menjadi donor, setiap orang harus dilakukan
tes terkait penyakit lain yang dapat ditularkan melalui darah. Infeksi Menular
Lewat Transfusi Darah (IMLTD) adalah masalah utama yang paling
dikhawtirkan karena untuk menjamin keamanan pasien. Masalh ini
sebenarnya disebabkan oleh prevalensi pembawa yang tidak memiliki
gejala serta mendonorkan saat dalam window period dimana merupakan
periode yang suah infeksius tetapi skrining masih negative. Penyakit IMLTD
antara lain HIV, hepatitis, sifilis, malaria, toksoplasmosis, herpes, EBV dan
CMV.¹
B. Prevalensi dan Epidemiologi
Suatu penelitian yang dilakukan di Department of Transfusion Medicine ,
King George’s Medical University, Lucknow yang dilakukan selama 4 tahun
dari 2008 hingga 2014 yang bertujuan untuk melihat presentase donor
sukarela dan donor pengganti serta prevalensi IMLTD. Dari penelitian
tersebut terdapat 180.371 donor pengganti yang 4.237 diantaranya telah
seropositive terhadap IMLTD, dan terdapat 11.977 donor sukarela yang 57
diantaranya mempunyai seropositive terhadap IMLTD dengan penyakit
paling banyak adalah Hepatitis B. ²

C. Dilema Etik yang Dihadapi Ditinjau dari Sisi Medis, Sosioekonomi Kultural,
dan Perspektif Islam
1. Dilema Etik dari Sisi Medis
Beberapa bahaya transfusi darah yang merugikan pasien diantaranya:
1. Reaksi Hemolitik (ditandai destruksi eritrosit dengan adanya
hemoglobinuria dan Ikterus)
a. Golongan darah yang tidak cocok
1). Reaksi hemolitik akut, umumnya terjadi segera saat transfuse
berlangsung dan 50 cc darah dari golongan yang tidak cocok sudah bisa
menimbulkan reaksi dengan gejala seperti rasa panas sepanjang vena
cubiti menjalar sampai axilla, nyeri pinggang yang khas, nyeri tertekan di
dada, Sakit kepala, suhu sub febris.
2). Reaksi hemolitik delay, umumnya dialami penderita yang sering
mendapat transfusi atau pernah melahirkan. Reaksi muncul beberapa jam
atau beberapa hari setelah transfusi dengan gejala hampir sama, tapi
yang paling tampak adalah sakit kepala dan sakit pinggang.
b. Reaksi hemolitik oleh faktor lain
1). Transfusi diberikan bersamaan dengan larutan hipotonik, missal
Dextrose 5% hingga eritrosit yang masuk langsung mengalami hemolisis.
2). Pemberian darah yang sudah hemolisis karena pemanasan mendadak
yang melebihi suhu tubuh, frozen blood karena salah penyimpanan ( -4º
Celsius) eritrosit akan bengkak dan hancur,
3). Transfusi dengan tetesan cepat atau kadang dipompa hingga eritrosit
hancur dalam transfuse set yang kecil.
4). Khusus penderita PNH (Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria)
pemberian whole blood memperburuk keadaan karena plasma donor
mengandung komponen aktif yang menyebabkan hemolisis.
5). Kesalahan petugas rumah sakit dalam memberikan cap golongan
darah, label tertukar, salah mengambil tabung karena nama hamper
sama.
2. Reaksi Non Hemolitik3
a. Reaksi alergi karena pemindahan darah dari donor pada penderita
atau reaksi penderita pada plasma donor.
b. Febris karena pembuatan larutan antikoagulan dan set yang kurang
steril atau reaksi antibodi terhadap leukosit dan trombosit. Gejalanya
panas, menggigil, sakit kepala, nyeri seluruh badan.
c. Reaksi kontaminasi bakteri terjadi saat pengambilan darah atau terlalu
lama dalam suhu kamar, bakteri gram negatif bisa berkembang biak pada
suhu 4 derajat celsius dengan gejala terjadi saat transfusi atau beberapa
hari setelahnya seperti panas tinggi, nyeri kepala, menggigil, muntah,
nyeri perut, buang air darah.
d. Reaksi overloading akibat transfuse masif yaitu lebih dari 1,5 liter dalam
waktu singkat dengan tetesan cepat atau bias terjadi pada waktu
pemberian donor bagi penderita penyakit jantung.
e. Cardiac Arrest terjadi tiba-tiba karena pemberian ice-cold blood yang
segera ditransfusikan dalam tubuh penderita tanpa adaptasi dengan suhu
kamar dahulu dengan tetesan cepat, keracunan kalium bila darah yang
dipakai telah disimpan lebih dari satu minggu hingga kadar kalium plasma
telah meningkat dan pemberian transfusi masif cepat.
f. Asidosis, pada penderita yang sudah pumya potensi untuk asidosis
seperti penyakit ginjal maka transfusi darah akan memperburuk keadaan,
karena kadar asam laktat meningkat akibat metabolisme eritrosit yang
menyebabkan penurunan PH.
g. Keracunan kalium karena penyimpanan lebih dari 10 hari
menyebabkan kadar kalium meningkat karena pertukaran ion dengan
natrium.
h. Emboli karena kesalahan teknik dapat timbul hipotensi hingga pingsan
dan sianosis.
3. Reaksi Penularan Penyakit1
Hepatitis, Malaria, Sifilis, HIV AIDS.
2. Dilema Etik dari Sisi Sosioekonomi
Darah yang diberikan oleh pendonor adalah secara sukarela. Sering
timbul pertanyaan banyak pihak, mengapa hasil transfusi darah
masyarakat diharuskan membayarnya. Sebenarnya biaya untuk membeli
darah merupakan biaya pengganti pengolahan darah dan digunakan
untuk menjaga kesinambungan pelayanan oleh PMI tanpa mengambil
keuntungan. Biaya tersebut untuk proses pengolahan darah mulai dari
pemeriksaan darah dari berbagai penyakit menular lewat darah,
pengolahan darah, pendistribusian darah, pembinaan donor, administrasi
cetak, serta pemakaian alat habis pakai. Berdasarkan PP No. 18 Tahun
1980 Bab III Pasal 3, darah dilarang memperjualbelikan dengan dalih
apapun. Kemudian dipertegas dengan Undang – Undang No. 23 Tahun
1992 tentang Kesehatan Bab V pasal 33 bahwa Transfusi darah sebagai
upaya penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dilarang untuk
tujuan komersil. Penggunaan darah untuk tujuan komersil sangat dilarang
menurut peraturan perundang-undangan maupun oleh norma
masyarakat.4
Namun dalam realita sering ditemukan bahwa sebagian masyarakat
pengguna layanan Unit Transfusi Darah menginginkan agar beban yang
harus dibayarkan untuk mendapat sekantong darah menjadi semurah
mungkin, jika perlu tanpa mengeluarkan uang sepeserpun. Sebaliknya
PMI menginginkan agar masyarakat pengguna dapat memenuhi apa yang
diharapakan oleh PMI karena dalam pelaksanaan UTD jelas PMI tidak
bisa membebaskan semua biaya pengolahan darah yang amat mahal.
Sedangkan sumber dana PMI dari bulan dana hanya dilakukan setahun
sekali. Kritik pun berdatangan antara lain menyebutkan bahwa bulan
dana PMI dilakukan ditengah kondisi ekonomi masyarakat yang kembang
kempis. Sentimen negatif kerap muncul dari masyarakat yang merasa
’terbebani’ untuk iuran. Karcis merah muda yang nominalnya sebenarnya
tidak terlalu besar kemudian dirasakan sebagai sesuatu yang ikut
membebani pengeluaran keluarga.7
Secara hukum berdasarkan Undang-Undang memang PMI berhak
menarik service cost dengan pertimbangan tertentu agar roda kegiatan
PMI dapat berjalan. Penarikan service cost tersebut berdasar pada PP
No. 18 Tahun 1980 Bab IV Pasal 10 yang menyebutkan bahwa: ”Biaya
pengolahan dan pemberian darah kepada si penderita ditetapkan dengan
Keputusan Menteri atas usul PMI dengan memperhitungkan biaya – biaya
untuk pengadaan, pengolahan, penyimpanan dan pengangkutan tanpa
memperhitungkan laba”. Hal senada disebutkan juga dalam
PERMENKES RI Nomor 478/MENKES/Peraturan/X/1990 Bab V yang
menyatakan : 1. Biaya penggantian penggunaan darah diperoleh dari
pasien dengan tidak mencari keuntungan. 2. Biaya tersebut
diperhitungkan sesuai dengan biaya yang diperlukan untuk kegiatan
pengelolaan darah. 3. Biaya penggantian tersebut ditetapkan berdasar
pola perhitungan yang ditetapkan oleh Direktorat Jendral 4. Besarnya
biaya penggantian ditetapkan oleh Dinas Kesehatan Propinsi setempat
atas usul UTD PMI yang berpedoman pada pola perhitungan yang
ditetapkan dengan memperhatikan masyarakat setempat.5
Hakekatnya usaha transfusi darah merupakan bagian penting dari
tugas pemerintah di bidang pelayanan kesehatan rakyat dan merupakan
bentuk pertolongan sesama umat manusia. Disamping aspek pelayanan
kesehatan rakyat, terkait pula aspek-aspek sosial, organisasi,
interdependensi nasional dan internasional yang luas (Penjelasan PP No.
18 tahun 1980). PMI sebagai lembaga yang ditugasi dan mendapat
wewenang penuh melakukan penyelenggaraan transfusi darah, PMI
mendapat subsidi dari pemerintah yang pelaksanaanya diatur oleh
menteri (PP No. 18 tahun 1980 pasal 9 ayat 2). Namun itu belum cukup
untuk menutup biaya operasional penyelenggaraan transfusi darah. Pada
akhirnya PMI sendiri yang harus mengusahakan sendiri dana-dana untuk
operasional tersebut, termasuk adanya bulan dana PMI dan Biaya
penggantian Pengelolaan Darah yang tidak dipungkiri bahwa itu akan
menuai kritik dari masyarakat.6
3. Dilema Etik dari Perspektif Islam
Transfusi darah merupakan upaya menyelamatkan nyawa seseorang
yang berada dalam kondisi darurat. Menurut syariat Islam, pemeliharaan
jiwa (hifz al-nafs) merupakan salah satu bagian dari maqasid alsyari’ah
(peringkat kedua setelah pemeliharaan agama atau hifz al- din). Karena
itu transfusi darah pada dasarnya dibolehkan oleh Islam. Islam
membolehkan seorang muslim mendonorkan darahnya untuk tujuan
kemanusiaan baik disumbangkan secara langsung kepada yang
membutuhkan maupun melalui Palang Merah Indonesia atau Bank Darah.
Hal ini didasarkan kepada QS. Al- Maidah: 32 ‘… Barangsiapa yang
membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang
lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-
akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang
memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah
memelihara kehidupan manusia semuanya…’. Ayat tersebut
menunjukkan keharusan adanya kesatuan umat dan kewajiban mereka
terhadap yang lain, yakni harus menjaga keselamatan hidup dan
kehidupan bersama serta menjauhi hal-hal yang membahayakan orang
lain.9
Di samping itu, transfusi darah merupakan aktivitas muamalah
(hubungan sosial dalam dimensi horisontal) sehingga berlaku ketentuan
yang berkaitan dengan muamalah, yang didasarkan kepada kaedah fiqh
‘Pada prinsipnya segala sesuatu itu adalah boleh (mubah) kecuali ada
dalil yang mengharamkannya.’ Menurut kaedah fiqh di atas menunjukkan,
bahwa hukum asal dari semua aktivitas muamalah (keduniaan) boleh
dilakukan sepanjang tidak ada dalil yang mengharamkannya. Dalam
kaitan ini tidak ada dalil, baik dari al-Qur’an maupun hadis yang secara
tegas melarang transfusi darah. Pada dasarnya transfusi darah yang
memenuhi persyaratan medis boleh dilakukan. Hal yang terpenting
adalah kesamaan golongan darah antara resipien dengan donor serta
donor dalam kondisi sehat agar tidak membahayakan jiwanya serta tidak
menularkan penyakit yang dideritanya kepada resipien. 8 Namun
demikian, suatu bahaya tidak boleh diatasi dengan cara yang justru
menimbulkan bahaya orang yang lain, baik terhadap orang lain (resipien)
maupun diri sendiri (donor). Hukum Islam sangat fleksibel dalam
mengatur tatanan kehidupan umat manusia. Sebesar apapun usaha
manusia dalam meraih prestasi kebaikan, namun tidak dibolehkan sampai
membahayakan dirinya sendiri serta orang lain. Hal ini selaras dengan
hukum Islam yang selain bertujuan untuk kemaslahatan umat manusia,
juga bertujuan untuk menghindari segala bentuk kemudaratan. Karena itu
mendonorkan darah kepada orang lain (resipien) yang sangat
membutuhkannya menurut kesepakatan ulama fiqh termasuk dalam
kerangka tujuan syariat Islam, yaitu menghindari salah satu bentuk
kemudaratan yang akan menimpa diri seseorang.10
Berkaitan dengan donor darah antar orang yang berbeda agama,
Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa. Fatwa ini
dikeluarkan sebagai jawaban dari banyaknya kasus donor darah yang
terjadi di masyarakat, Majelis Ulama Indonesia memandang perlu untuk
memberikan legalitas dan kejelasan terhadap masalah tersebut. MUI
dalam hal ini telah mengambil sebuah keputusan dengan mengeluarkan
fatwa, bahwa tidak ada halangan untuk mendonorkan darah antar yang
berlainan agama. Dalil yang dikemukakan dalam fatwa ini terdiri dari ayat
al-Qur’an dan argumen yang bersifat rasional. Fatwa MUI mengutip QS.
al-Mumtahanah (60): 8 ‘Allah tidak melarang kamu untuk berbuat
kebaikan dan bersikap jujur terhadap orang orang yang tidak memerangi
kamu karena agamamu dan tiada mengusir kamu dari kampung
halamanmu, sesungguhnya Allah itu mencintai orang-orang yang jujur.’
Argumen rasional dalam fatwa tersebut, bahwa dibolehkan mendonorkan
darah karena darurat untuk menghindari kematian orang yang
kekurangan darah, tetapi juga tidak menimbulkan bahaya kematian
terhadap orang yang diambil darahnya. Hal itu merupakan tanggung
jawab kemanusiaan dengan tidak memperhatikan perbedaan agama
antara kedua belah pihak. Bagi orang yang menyumbangkan darah
merupakan suatu perbuatan kebajikan yang dianjurkan oleh agama. 11
Dilihat dari segi metodologi fatwa ini hanya merujuk kepada sebuah ayat
al-Qur’an walaupun sebenarnya fatwa ini dapat diperkuat lagi oleh dalil-
dalil lain seperti QS. Al-Maidah (5): 32, yang intinya “jika mempertahankan
hidup seseorang nilainya sama dengan mempertahankan hidup manusia
semuanya.” Dengan demikian mendonorkan darah yang dilakukan
dengan ikhlas merupakan suatu amal kemanusiaan yang sangat dihargai
dan dianjurkan oleh Islam.12
Kesimpulan yang dapat diambil dari pendapat diatas adalah transfuse
darah itu diperbolehkan karena terkait menolong seseorang yang sedang
dalam kondisi darurat sebagaimana dalam suatu kaidah fiqhiyah yang
berbunyi “tidak ada yang haram bila berhadapan dengan yang hajat
(kebutuhan)”
D. Pendapat Anda Terkait Solusi Dilema Etik
Menurut pendapat kami, tindakan transfuse darah bukan karena
adanya indikasi medis tidak diperbolehkan. Hal ini berdasarkan dalil-dalil dari
Al-Qur’an, hadis, kaidah fiqih, pendapat ulama yang telah disebutkan di atas
yang menyatakan bahwa darah haram hukumnya dikonsumsi ataupun
dipergunakan kecuali hal tersebut dibutuhkan.. Indikasi medis yang dimaksud
seperti perdarahan, trauma, syok, operasi dan hal lain yang membutuhkan
darah agar fungsinya bisa berjalan normal.
E. Kesimpulan
Transfusi darah merupakan kegiatan pemindahan darah dari seorang
pendonor ke orang lainnya yang biasanya disebut resipien. fungsi
pemindahan ini adalah untuk kepentingan resipien yang kekurangan darah
bisa akibat perdarahan, syok, operasi dan tidak berfungsinya organ
pembentuk sel darah. Dalam sisi medis, sosioekonomi dan perspektif islam,
transfusi darah tidak boleh dilakukan kecuali pada kondisi yang
diperbolehkan, pada kegiatan transfuse darah juga tidak boleh dijadikan
bahan untuk komersil melainkan secara sukarela. Penarikan biaya yang
dilakukan adalah untuk biaya pengelolaan obat. Transfuse darah harus
dilakukan secara professional agar tidak menimbulkan bahaya bahaya yang
dapat merugikan pasien.
Daftar Pustaka

1. Irfan, S.M., Uddin, J., Zaheer, H.A., Sultan, S., Baig, A., 2013. Trends in Transfusion
Transmitted Infections Among Replacement Blood Donors in Karachi, Pakistan.
Turkish Journal of Hematology. 30(2):163-167.
2. World Health Organization WHO), 2013. Global Database on Blood Safety.
Summary report 2011. Available:
http://www.who.int/bloodsafety/global_database/GDBS_Summary_Report_2011.pdf
3. Rencana Aksi Pelayanan Transfusi Darah Yang Aman, Direktorat Bina Pelayanan
Medik Dasar, Dirjen Bina Pelayanan Medik, Departemen Kesehatan RI, Jakarta,
2008.
4. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1980 Tentang Transfusi
Darah
5. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 478/MENKES/Peraturan/X/1990 Tentang
Upaya Kesehatan Transfusi Darah
6. Surat Keputusan Direktorat Jendral Pelayanan Medis
No.1147/YANMED/RSKS/1991 Tentang Juklak PERMENKES No.
478/MENKES/Peraturan/X/1990
7. Unit Transfusi Darah PMI Pusat. Pedoman Pelayanan Transfusi Darah: ketentuan
Umum, Organisasi Unit Transfusi Darah, dan Ketenagaan Unit Transfusi Darah.
Edisi Ketiga tahun 2007
8. Umar, M.Hasbi. Nalar Fiqih Kontemporer, Cet. I; Jakarta: Gaung Persada Press,
2007.
9. ------. Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jilid 2, Cet. III; Jakarta: Departemen Agama, 2009.
10. Zein, Satria Effendi M. Ushul Fiqh. Cet. I; Jakarta: Prenada Media, 2005.
11. Dahlan, Abdul Azis, et al. (ed.). Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 1. Cet. VI; Jakarta:
Ichtiar Baru van Hoeve, 2003.
12. Majelis Ulama Indonesia Provinsi Jambi. Kumpulan Fatwa-Fatwa Majelis Ulama,
Jambi: Sekretariat Islamic Centre, 1995.

Anda mungkin juga menyukai