Anda di halaman 1dari 42

1

MAKALAH KEPERAWATAN KRITIS II


ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN KRITIS/GAWAT DARURAT
DENGAN GANGGUAN SISTEM NEUROLOGI: PENINGKATAN TEKANAN
INTRA KRANIAL

Disusun untuk Memenuhi Tugas Individu


Mata Kuliah Keperawatan Kritis II
Dosen Pengampu: Cecep E. Kosasih, S.Kp, MNS, Ph.D

Oleh:
Riris Risca Megawati
(220120180023)

PEMINANATAN ILMU KEPERAWATAN KRITIS


PROGRAM MAGISTER KEPERAWATAN
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2019
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Otak merupakan salah satu jaringan tubuh yang memiliki tingkat
metabolisme tinggi, dengan berat < 2% dari BB, memerlukan 15% cardiac output
dan 20% oksigen yang beredar ditubuh, hingga membutuhkan 25% dari seluruh
glukosa dalam tubuh. Pada kondisi emergensi dan kritis akan terjadi peningkatan
kebutuhan metabolisme tersebut. Oleh sebab itu, apabila suplai bahan untuk
metabolisme otak terganggu, akan menyebabkan terjadinya kerusakan jaringan
otak. Hal ini dapat berakibat kematian dan kerusakan permanen.
Pasien dengan cedera akut dan kronis pada otak memerlukan perawatan
klinis khusus. Tubuh pengetahuan dan keahlian yang terlibat dalam perawatan
pasien seperti itu biasanya disebut sebagai perawatan neurokritikal/ neurocritical
care (NCC), yang didedikasikan untuk manajemen pasien dengan traumatic
brain injury (TBI) kronik dan akut serta berbagai jenis stroke. Kondisi-kondisi ini
memaparkan pasien dengan ancaman sistemik dan intrakranial yang dapat
berkembang sangat cepat dan dapat berakibat fatal, sehingga membutuhkan
pemantauan fisiologis terus menerus untuk pengenalan tepat waktu terhadap
kemunduran pasien, intervensi cepat, dan inisiasi terapi.
Peningkatan tekanan intrakranial (ICP) adalah jalur umum akhir yang serius
dari berbagai cedera neurologis. Ini ditandai dengan peningkatan volume ruang
intrakranial, dan merupakan tantangan utama di unit perawatan intensif. Tekanan
intrakranial yang meningkat secara konsisten dikaitkan dengan hasil yang buruk.
Dalam ulasan studi cedera otak traumatis, tingkat kematian adalah 18,4% untuk
pasien dengan tekanan intrakranial kurang dari 20 mm Hg tetapi 55,6% untuk
mereka dengan tekanan intrakranial lebih dari 40 mm Hg.

1
2

Penyebab paling umum dari peningkatan tekanan intrakranial (ICP) yaitu


cedera otak traumatis/ traumatic brain injury (TBI), stroke, neoplasma,
hidrosefalus, ensefalopati hepatik, gangguan pengembalian vena CNS, ensefalitis,
dan abses. Pada semua jenis lesi otak akut yang disebutkan di atas, peningkatan
tekanan intrakranial memiliki hubungan langsung dengan kelangsungan hidup
dan seringkali merupakan satu-satunya elemen penyakit yang dapat diperbaiki.
Oleh karena itu pencegahan kerusakan otak sekunder dari peningkatan tekanan
intrakranial merupakan fokus utama perawatan intensif neurologis.
Diagnosis yang cepat dan pemantauan intensif serta terapi kondisi ini sangat
penting untuk keberhasilan manajemen kondisi yang menghancurkan ini.
Peningkatan ICP yang berkelanjutan menyebabkan kerusakan otak dan dapat
berakibat fatal dengan cepat. Inovasi teknis terkini dalam neuromonitoring
memungkinkan peningkatan angka morbiditas dan mortalitas yang disebabkan
oleh peningkatan tekanan intrakranial (ICP). Pemahaman tentang mekanisme
yang berkontribusi pada peningkatan ICP penting untuk mengelola dan
membalikkan proses yang mendasarinya secara efektif sebelum terjadi cedera
neuronal yang ireversibel.

1.2 Tujuan
1.2.1. Tujuan Umum
Tujuan pembuatan makalah diharapakan mahasiswa dapat memahami
asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan sistem neurologi khususnya
pada peningkatan tekanan intrakranial.
1.2.2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui tentang epidemiology kasus peningkatan tekanan
intrakranial
b. Untuk mengetahui tentang pengertian peningkatan tekanan intrakranial
pada pasien kritis/kegawatdaruratan
c. Untuk mengetahui tentang etiologi peningkatan tekanan intrakranial pada
pasien kritis/kegawatdaruratan
3

d. Untuk mengetahui tentang manifestasi klinik peningkatan tekanan


intrakranial pada pasien kritis/kegawatdaruratan
e. Untuk mengetahui tentang patofisiologi peningkatan tekanan intrakranial
pada pasien kritis/kegawatdaruratan
f. Untuk mengetahui tentang penatalaksanaan peningkatan tekanan
intrakranial pada pasien kritis/kegawatdaruratan
g. Untuk mengetahui tentang asuhan keperawatan pada pasien dengan
peningkatan tekanan intrakranial
4

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian
Tekanan intra kranial (TIK) merupakan tekanan volume pada kranium dan
isi kubah kranium. Volume pada kranium terdiri dari darah (2-10%), jaringan
otak (88%), dan cairan serebrospinal (CSS) (9-11%). Apabila terjadinya
peningkatan volume pada salah satu isi tengkorak, maka akan terjadi kompensasi
dengan menurunkan isi volume yang lain (Tarwoto, Wartonah, & Suryati, 2007).
Peningkatan TIK adalah peningkatan CSS yang lebih dari 15 mmHg. Akibat
dari trauma kepala, edema serebral, abses dan infeksi, lesi, dan bedah intrakranial
menjadi penyebab dari peningkatan TIK (Batticaca, 2008).
PTIK merupakan tantangan utama di ruang ICU yang ditandai dengan
peningkatan volume ruang intrakranial. Tekanan intrkranial yang meningkat
secara konsisten dikaitkan dengan hasil yang buruk. Hasil ulasan studi cedera
otak, tingkat kematian sebesar 18,4% untuk pasien dengan tekanan intrakranial
kurang dari 20 mmHg tetapi 55,6% pasien dengan tekanan intrakranial lebih dari
40 mmHg (Treggiari, Schutz, & Romand, 2007).
Rentang normal ICP bervariasi berdasarkan usia. Nilai untuk pediatrik tidak
ditetapkan dengan baik.

Gambar 2.1 Rentang normal ICP berdasarkan umur


Sumber: (Green, 2010)

4
5

Rentang normal nilai TIK menurut Morton (2005) yaitu:


Normal : 5-15 mmHg
PTIK ringan : 15-25 mmHg
PTIK sedang : 25-40 mmHg
PTIK berat : >40 mmHg

Gambar 2.2 Kondisi fisiologis normal, jaringan otak, cerebral blood volume (CBV), dan CSF yang
menempati ruang intradural, dengan kompartemen jaringan otak sekitar 80% dan CBV
dan CSF masing-masing 10%
Sumber: (Heldt, Zoerle, Teichmann, & Stocchetti, 2019)

Hasil gambar CT Scan untuk mendeteksi dan mengukur perubahan dalam


distribusi volume normal. (a) Pada pasien yang sehat, ventrikel simetris tanpa
perubahan garis tengah. (b) Contoh cedera otak traumatis, hiperdensitas berbentuk
bulan sabit di belahan sebelah kanan yaitu pendarahan subdural besar yang
menyebabkan pergeseran garis tengah yang signifikan dan kompresi ventrikel
ipsilateral. Ruang cairan intravaskular dan serebrospinal berkurang volumenya
karena akumulasi darah ekstravaskular. (c) Pada contoh stroke iskemik, daerah
hipodense di belahan sebalah kanan adalah infark serebral, yang menyebabkan
kompresi ventrikel ipsilateral. Ruang cairan intravaskular dan serebrospinal
berkurang karena edema serebral. (d) Pada contoh stroke hemoragik, zona
6

hiperdensit di hemisfer kiri menunjukkan akumulasi darah ekstravaskuler,


dikelilingi oleh jaringan edematosa, sebagaimana dibuktikan oleh daerah hipodens.

2.2 Klasifikasi
Jenis peningkatan TIK menurut (Tarwoto et al., 2007) yaitu:
a. Subfacine midline shift
Adanya desakan lesi di ruang unilateral tanpa adanya gejala walaupun terjadi
oklusi pada arteri serebral anterior ipsilateral
b. Tentorial herniasi (lateral)
Adanya desakan lesi di ruang unilateral yang menimbulkan herniasi pada
tentorial di bagian lobus temporal
c. Tentorial herniasi (central)
Adanya desakan lesi midline yang mendorong ventrikel midbrain dan
diencephalon melalui hiatus tentorial
d. Tensillar herniasi
Adanya perluasan lesi pada subtentorial sehingga menyebabkan herniasi tonsil
serebeller melalui foramen magnum

2.3 Etiologi
Penyebab peningkatan tekanan intrakranial menurut Morton (2017) adalah
sebagai berikut:
a. Sindrom Cushing
Tanda dari sindrom cushing yaitu adanya lesi supratentorial yang dapat
meningkatkan tekanan secara tiba-tiba dan memicunya dekompensasi.
b. Edema Serebral
Edema serebral menyebabkan ekspansi jaringan otak di dalam ruang otak
tertutup kranium.
c. Edema Vasogenik
Tanda dari edema vasogenik yaitu gangguan sawar otak darah dan
ketidakmampuan dinding sel untuk mengendalikan perpindahannya air ke
7

dalam serta keluar sel. Permeabilitas kapiler terganggu dari cairan hingga
protein dapat keluar dari plasma menuju ke ruang ekstraselular. Hal ini
menyebabkan terjadinya peningkatan volume cairan esktraselular terutama di
subtansia alba. Penyebab edema vasogenik yaitu tumor otak, abses serebral,
dan stroke iskemik atau hemoragik.
d. Edema Sitotoksik
Tanda dari edema sitotoksik yaitu pembengkakan neuro dan sel endotel. Hal
ini dapat menyebabkan peningkatan cairan dalam ruang intraseluler dan
mengurangi ruang ekstraselular yang tersedia, sehingga mempengaruhi
substansia grisea. Akhirnya air dan natrium dapat masuk ke sel akibat dari
membran sel tidak dapat lagi mempertahankan keefektifan sawar. Sehingga,
menyebabkan pembengkakan dan hilangnya fungsi.
e. Herniasi
Herniasi merupakan pergeseran jaringan melalui lubang yang kaku.
Pergeseran jaringan otak melalui lubang yang kaku pada tengkorak
menyebabkan pergeseran garis tengah struktur otak dan menekan struktur
yang ada di dalam SSP, hingga menyebabkan sindrom herniasi klinis
tradisional.

Penyebab ICP menurut (Amri, 2017) yaitu:


a. Edema otak
Edema otak yang menyebabkan adanya peningkatan jumlah air pada parenkim
otak.
Macam-macam edema otak yang dapat menyebabkan PTIK adalah:
1) Edema sitotoksik : yang disebabkan karena terganggunya transpor ion dan
cairan di seluler akibat dari gangguan metabolisme
2) Edema vasogenik : adanya edema di ekstraseluler sekunder yang
diakibatkan terjadinya peningkatan perm eabilitas sawar darah otak
3) Edema interstisial : adanya edema di jaringan yang terjadi adanya
perbedaan osmotik antara plasma dengan jaringan otak
8

b. Inflow dan outflow yang tidak sebanding hingga menyebabkan CVB meningkat.
1) Outflow vena menurun: terjadi obstruksi mekanis pada struktur vena
intrakranial atau ekstrakranial, posisi kepala dibawah (head down), collar
neck yang terlalu ketat, dan obstruksi ventilasi.
2) Meningkatnya CBF (kehilangan autoregulasi vaskular di CPP yang rendah
ataupun tinggi, meningkatnya PaCO2, dan hipoksia)
c. Meningkatnya volume cairan serebrospinal intrakranial. Penyebab
meningkatnya volume cairan serebrospinal adalah:
1) Absorbsi cairan serebrospinal mengalami penurunan di villi arakhnoidalis
yang dikenal dengan hidrosefalus komunikan (perdarahan subarakhnoid,
infeksi)
2) Adanya obstruksi sirkulasi cairan serebrospinal yang dikenal dengan
hidrosefalus obstruktif (neoplasma, perdarahan spontan dan trauma, infeksi)
3) Mneingkatnya jumlah produksi (meningitis, tumor pleksus khoroid).
d. Terdapat massa intra dan ekstra aksial yang mengakibatkan meningkatnya
volume intrakranial. Beberapa yang menyebabkan meliputi neoplasma,
perdarahan, trauma, dan infeksi.

Gambar 2.3 Penyebab Peningkatan Tekanan Intrakranial


9

Sumber: (Sadoughi, Rybinnik, & Cohen, 2013)


2.4 Patofisiologi
Ruang intrakranial merupakan ruangan yang kaku dan terisi penuh sesuai
kapasitasnya dengan unsur yang tidak dapat ditekan otak sebanyak 1400 g, cairan
serebrospinal (sekitar 75 ml), dan darah (sekitar 75 ml). Peningkatan volume pada
salah satu dari ketiga unsur utama tersebut mengakibatkan desakan ruang yang
ditempati oleh unsur lainnya dan menaikan tekanan intrakranial. Apabila salah
satu massa intrakranial mulai mengalami peningkatan, kompensasi awal yang
terjadi adalah pemindahan cairan serebrospinal ke kanal spinal. Kemampuan otak
beradaptasi terhadap meningkatnya tekanan tanpa peningkatan TIK dinamakan
dengan compliance. Perpindahan cairan serebrospinal keluar dari kranial
merupakan mekanisme kompensasi pertama dan yang utama. Namun lengkung
kranial dapat mengakomodasi peningkatan volume intrakranial hanya pada satu
titik saja. Ketika compliance otak berlebihan, TIK mengalami peningkatan
sehingga timbul gejala klinis dan usaha kompensasi lain untuk mengurangi
tekanan tersebut (Black & Hawks, 2005).
Kompensasi kedua yaitu dengan menurunkan volume darah dalam otak.
Ketika volume darah diturunkan sampai 40%, jaringan otak menjadi asidosis.
Ketika 60% darah otak menghilang, gambaran EEG akan mengalami perubahan.
Kompensasi ini dengan mengubah metabolisme otak dan mengarah pada hipoksia
jaringan otak dan iskemia. Kompensasi tahap akhir dan paling berbahaya yaitu
pemindahan jaringan otak melintasi tentorium dibawah falx serebri, atau melalui
foramen magnum ke dalam kanal spinal. Proses ini yang dinamakan dengan
herniasi dan sering menimbulkan kematian dari kompresi batang otak. Otak
disokong dengan berbagai kompartemen intrakranial. Kompartemen
supratentorial berisi semua jaringan otak mulai dari bagian atas otak, tengah
hingga ke bawah. Bagian ini terbagi menjadi 2 yaitu kiri dan kanan dimana
keduanya dipisahkan oleh falx serebri sedangkan supratentorial dan infratentorial
(berisi batang otak dan serebellum) oleh tentorium serebri. Otak dapat bergerak
dengan semua kompartemen itu. Tekanan yang meningkat pada satu
10

kompartemen mampu mempengaruhi area sekeliling yang tekanannya lebih


rendah (Black & Hawks, 2005).
Autoregulasi juga merupakan bentuk kompensasi berupa perubahan
diameter pembuluh darah intrakranial dalam mempertahankan aliran darah selama
perubahan tekanan perfusi serebral. Autoregulasi hilang karena meningkatnya
TIK. Peningkatan volume otak walaupun sedikit saja dapat menyebabkan
kenaikan TIK yang drastis dan memerlukan waktu yang lebih lama untuk kembali
ke batas normal (Black & Hawks, 2005)
Edema otak (mungkin penyebab tersering peningkatan tekanan intrakranial)
yang disebabkan oleh banyak hal (termasuk peningkatan cairan intrasel, hipoksia,
iskemia otak, meningitis, dan cedera). Pada dasarnya efeknya sama saja tanpa
melihat faktor penyebabnya. Tekanan intrakranial pada umumnya meningkat
secara bertahap. Setelah cedera kepala, edema terjadi dalam 36 hingga 48 jam
hingga mencapai maksimum.
Peningkatan tekanan intrakranial hingga 33 mmHg (450 mmH2O)
menurunkan secara bermakna aliran darah ke otak (cerebral blood flow/CBF).
Iskemia yang terjadi merangsang pusat vasomotor serta tekanan darah sistemik
meningkat. Rangsangan pada pusat inhibisi jantung mengakibatkan terjadinya
bradikardia dan pernapasan menjadi lebih lambat. Mekanisme kompensasi ini
disebut dengan reflek cushing dengan membantu mempertahankan aliran darah
otak. Namun, menurunnya pernapasan mengakibatkan retensi CO2 dan
mengakibatkan vasodilatasi otak yang membantu menaikan tekanan intracranial.
Tekanan darah sistemik akan mengalami peningkatan terus menerus, yang
sebanding dengan peningkatan tekanan intracranial. Walaupun akhirnya dicapai
suatu titik ketika tekanan intrakranial yang melebihi tekanan arteria dan sirkulasi
otak berhenti, sehingga mengakibatkan kematian otak. Biasanya kejadian ini
didahului oleh tekanan darah arteria yang cepat menurun. Siklus deficit
neurologik progresif yang menyertai kontusio dan edema otak (atau setiap lesi
massa intracranial yang membesar). Peningkatan tekanan pada jaringan akhirnya
meningkatkan tekanan intrakranial yang pada gilirannya akan menurunkan CBF,
iskemia, hipoksia, asidosis (penurunan pH dan peningkatan PaCO2), dan
11

kerusakan BBB (Blood Brain Barrier) lebih lanjut. Siklus ini akan terus berlanjut
sehingga terjadi kematian sel dan bertambahnya edema secara progresif kecuali

bila dilakukan intervensi.


Gambar 2.3 Patofisiologi Peningkatan Tekanan Intrakranial
Sumber : (Drummond & Patel, 2010)
12

2.5 Pathway
13

TIK (edema, hematoma)


Cedera kepala Respon biologis
Hypoksemia

Kelainan metabolisme
Cedera otak primer Cedera otak sekunder

Kontusio, laserasi Kerusakan sel otak

Gangguan autoregulasi Rangsangan simpatis Stress

Aliran darah ke otak Tahanan vaskuler, Katekolamin sekresi


sistematik dan TD sistem lambung

O2 gangguan metabolisme Tek. Pemb.darah Mual, muntah


pulmonal

Tek. hidrostatik Resiko kekurangan


Asam laktat
volume cairan

Edema otak Kebocoran cairan Edema paru Cardiac output

Difusi O2 terhambat Gangguan perfusi jaringan


Gangguan perfusi
jaringan cerebral

Herniasi batang otak Pola napas tidak


efektif
Skema 2.1 Pathway Peningkatan TIK
Sumber : (Batticaca, 2008)
14

2.6 Manifestasi Klinis


Tanda dan gejala PTIK tidak spesifik, tetapi dalam pengaturan klinis yang
tepat dapat menyebabkan pendekatan diagnostik dan pengobatan yang tepat.
Gejala utama pada PTIK adalah sakit kepala, muntah, disorientasi, dan kelesuan.
Sedangkan tanda khas pada PTIK adalah hipertensi, kesadaran global yang
tertekan, papil edema, kelumpuhan pada saraf kranial VI, memar periorbitaal
spontan, muntah proyektil dan tras Cushing (hipertensi, bradikardi, dan
pernapasan tidak teratur). Tiga serangkai Cushing dapat dilihat pada herniasi
batang otak tanpa peningkatan ICP yang signifikan. Adanya korelasi yang
burukantara tanda klinis dan ICP, salah satu cara untuk mendiagnosis peningkatan
ICP dengan benar adlaah dengan mengukurnya secara langsung atau tidak
langsung. Penggunaan radiologi termasuk CT Scan dapat mendukung diagnosis,
namun PTIK dapat terjadi tanpa temuan radiologis pada CT Scan awal (Sadoughi
et al., 2013).

Gambar 2.4 Tanda dan Gejala Peningkatan TIK


Sumber : (Sadoughi et al., 2013)

2.7 Indikasi dan Kontraindikasi Pemantauan Peningkatan Tekanan


Intrakranial
Indikasi pemantauan ICP menurut (Green, 2010) yaitu :
a. Kriteria neurologi
15

Untuk pasien yang dapat diselamatkan dengan cedera otak traumatis parah
(GCS≤8 setelah dilakukan resusitasi kardiopulmoner)
Level II : hasil CT Scan abnormal (Catatan: abnormal CT Scan menunjukkan
adanya hematoma (EDH, SDH atau ICH), kontusio, penekanan sisterna basalis,
herniasi atau pembengkakan
Level III : hasil CT Scan normal akan tetapi dengan 2 atau lebih tanda faktor
risiko pada IC-HTN seperti pada gambar 2.2

Gambar 2.5 Faktor risiko pada IC-HTN dengan CT Scan Normal


Sumber: (Green, 2010)

1) Pasien tidak mengikuti perintah. Pasien yang mengikuti perintah (GCS


≥9) berisiko rendah untuk IC-HTN (Intracranial Hypertension) dan dapat
mengikuti ujian neurologis yang lainnya serta melakukan evaluasi atau
pengobatan lebih lanjut berdasarkan pada penurunan neurologis
2) Pasien yang tidak dapat melokalisasi dan mengikuti pemeriksaan saraf
lainnya
b. Beberapa sistem yang terluka dengan tingkat kesadaran yang berubah (terutama
di maa terapi untuk cedera lain mungkin memiliki efek buruk pada ICP, misal
PEEP tinggi atau kebutuhan cairan IV dalam volume besar atau kebutuhan
untuk sedasi berat)
c. Adanya massa intrakranial traumatis (EDH, SDH, fraktur tengkorak)
1) Dokter dapat memilih untuk pemantauan ICP
2) Pasca operasi, setelah pengangkatan massa
d. Indikasi non trauma untuk pemantauan ICP
16

1) Memantau ICP pasien dengan gagal hati akut dengan INR >1,5 dan
derajat III hingga IV

Gambar 2.6 Indikasi untuk Monitoring Tekanan Intrakranial


Sumber: (Smith, 2008)

Kontraindikasi pemantauan ICP menurut (Green, 2010) yaitu:


a. Pasien yang “awake”: biasanya tidak perlu di monitor, sehingga dapat mengikuti
tes neurologi
b. Koagulopati (termasuk DIC): sering terlihat pada cedera kepala berat. Jika
monitor ICP sangat penting, mengambil langkah-langkah untuk memperbaiki
koagulopati dan mempertimbangkan subarachnoid bold atau memonitor
epidural. Adanya pasien dengan koagulopati, dapat meningkatkan risiko
perdarahan saat pemasangan alat pemantauan ICP. Apabila memungkinkan,
pemantauan TIK ditunda hingga International Normalized Ratio (INR),
Prothrombin Time (PT) dan Partial Thromboplastin Time (PTT) terkoreksi
(INR <1,4 dan PT <13,5 detik). Pada kasus pasien emergensi dapat diberikan
terlebih dahulu Fresh Frozen Plasma (FFP) dan vitamin K.
c. Trombosit lebih dari 100.000/mm3

2.8 Pemantauan Peningkatan Tekanan Intrakranial Invasif


Pemantauan ICP invasif menurut (Mayer & Chong, 2002) dapat diindikasikan
pada pasien yang memenuhi 3 kriteria berikut:
a. Pasien diduga berisiko mengalami peningkatan ICP
b. Pasien koma (GCS ≤8)
17

c. Prognosis dengan pengobatan ICU agresif


Kecurigaan peningkatan ICP biasanya berdasarkan adanya tanda klinis dan
hasil CT Scan serta riwayat medis pasien. Hasil CT Scan yang menunjukkan
adanya efek massa intrakranial yang signifikan dengan pergederan garis tengah
atau pengangkatan tangki basal, pasien dengan CT Scan awal yang normal
mungkin mengalami peningkatan ICP. Pada studi prospektif pasien dengan cedera
kepala, peningkatan ICP terjadi sekitar 10-15% pasien dengan CT Scan awal
normal. Risiko ini akan lebih tinggi pada pasien yang berusia lebih dari 40 tahun,
dengan postur motorik atau dengan hipotensi. Pedoman penggunaan pemantauan
ICP ditetapkan untuk cedera otak traumatis dan untuk peningkatan ICP yang
terkait dengan kondisi selian trauma, pedomannya kurang jelas (Chesnut, Temkin,
& Carney, 2012).

2.9 Prosedur/Metode Pemantauan TIK secara Invasif


Menurut (Amri, 2017; Hudak & Gallo, 2010) metode/prosedur pemantauan TIK
secara Invasif yaitu:
a. Intraventikular
Teknik ini melakukan pemasangan kateter ke dalam ventrikel lateral. Sekrup
pada bagian lateral ke arah midline setinggi sutura korona yang ditempatkan
di daerah yang tidak dominan. Kateter ventrikulostomi dipasang melalui
serebrum ke dalam kornu antenor ventrikel lateral yang terkadang digunakan
kornu oksipital. Biasanya dihubungkan ke kateter ventrikuler menggunakan
transduser. Ringer Laktat digunakan untuk mengisi cairan di kolumna antara
CSS dan diafragma transduser.
b. Subarakhnoid atau subdural
Mur dimasukkan melalui lubang ulir dril dan dijulurkan ke dalam spasium
subdural atau subaraknoid. Meskipun serebrum tidak terpenetrasi tekanan
seperti teknik intraventikular yang diukur secara langsung dari CSS.
Transduser yang terisi dengan RL dihubungkan dengan stopkok pada mur atau
tabung yang bertekanan.
18

c. Intraparenkimal
Teknik ini dengan cara memasukkan kateter melalui baut kecil subaraknoid
dan melakukan pungsi durameter dan mengkoagulasi membran arakhnoid,
kateter didorong lebih dalam beberapa sentimeter ke dalam masa putih otak
d. Epidural
teknik ini memerlukan pemasangan alat epidural semacam balon dengan
radionukleid, radio transmitter atau serat optik antara tulang tengkorak dan
durameter. Hasil penelitian bahwa menekan durameter dan regangan
permukaan akan menyebabkan ketidakakuratan penilaian.

Metode yang biasa dipakai yaitu intraventrikular dan intraparenkimal


(microtransducer sensor). Metode subarakhnoid dan epidural jarang digunakan
karena tingkat akurat yang rendah.

Tabel 2.7 keuntungan dan kerugian metode pemantauan peningkatan TIK


Sumber: Amri, 2007
19

Gambar 2.8 Lokasi Pemeriksaan TIK


Sumber: (Heldt et al., 2019)

Monitoring pemeriksaan tekanan intrakranial (ICP). (a) Kanulasi ventrikel


dengan kateter berisi cairan dan penempatan sensor tekanan miniatur ke
parenkim otak merupakan modalitas pemantauan ICP pilihan saat ini dalam
perawatan neurokritikal. Metode epidural, subdural, dan subarachnoid
sebagian besar telah dihentikan. (B) Kateter ventrikel umumnya terhubung ke
sistem ventrikulostomi untuk drainase cairan serebrospinal. (c) Monitor pasien
menampilkan (d) bentuk gelombang ICP.

2.10 Komplikasi
Komplikasi terjadinya peningkatan TIK menurut (Green, 2010) yaitu:
a. Infeksi intrakranial
b. Perdarahan intraserebral
Insiden terjadinya pendarahan yaitu 1,4% untuk semua perangkat. Perdarahan
Angioma Allian adalah gejala akut atau subakut (sakit kepala, kejang,
penurunan kesadaran, atau defisit neurologis fokal baru) disertai dengan dengan
radiologis, patologis, bedah atau jarang hanya bukti cairan serebrospinal dari
perdarahan ekstra atau intralesi baru-baru ini.
20

c. Malfungsi atau obstruksi ion


Perangkat yang digabungkan dengan fluida, tingkat obstruksi ion lebih tinggi
dari pada ICP > 50 mmHg.
d. Malposisi
3% IVC membutuhkan reposisi operasi.

Gambar 2.9 Tingkatan komplikasi dengan berbagai jenis monitor ICP


Sumber: (Green, 2010)
21

2.11 Management/Penatalaksanaan
Periksa jalan napas, pernapasan, dan sirkulasi
Ventilasi pasien untuk mempertahankan PaCO2 hingga 35 mmHg
Berikan O2 tambahan untuk mempertahankan PaO2 90-120 mmHg atau SpO2 >95%
Pertahankan suhu normal
Pertahankan posisi HOB untuk mengoptimalkan CP dan meminimalkan TIK
Kurangi stimulus yang membahayakan dan tidak perlu

Pasang monitor TIK

Pertahankan CPP> 65 mmHg

Hipertensi intrakranial ≥20 mmHg Tidak

Ya

Berikan sedasi, Pertahankan CT Scan ulang

Hipertensi intrakranial >20 mmHg Tidak

Ya

Manitol 0,25-1,0 gm dan/atau salin hipertonik (7,5%)


Pertahankan Osmo serum <320 mOsm/f (pertahankan
volume normal pasien)
Pertimbangkan CT Scan kepala ulang

Hipertensi intrakranial ≥20 mmHg Tidak

Ya

Hiperventilasi hingga PaCO2 30-35 mmhg


Pertimbangkan CT Scan ulang

Ya

Hipertensi intrakranial ≥20 mmHg Tidak

Ya
Pertimbangkan CT Scan kepala ulang Dengan hati-hati
Pertimbangkan terapi tingkat kedua hentikan terapi
Koma barbiturat untuk TIK
Pemantauan oksigen otak 22
Kraniektomi dekompresif

Skema 2.1 Algoritma Peningkatan TIK


Sumber: (Morton, Fontaine, Hudak, & Gallo, 2017)

Penatalaksanaan peningkatan TIK secara medis menurut (Morton et al., 2017) terdapat 2
tahap, yaitu:
a. Tahap pertama
1) Pemberian Manitol
Manitol termasuk cairan kristaloid hipertonik dimana mampu mengurangi
edema serebral serta menurunkan TIK setelah cedera otak. Larutan ini diberikan
secara bolus IV selama 10-30 menit dengan dosis 0,25-2 g/kg BB. Manitol dapat
diberikan pada pasien dengan TIK tidak dapat diukur. Cara kerja manitol
diekskresikan melalui urine. Sehingga, apabila diberikan dosis besar dan
osmolaritas serum >320 mOsm akan berisiko terjadi nekrosis tubulus akut (ATN).
Pengukuran osmolaritas serum dilakukan setiap 6-8 jam agar melihat tercapainya
target <320 mOsm.
Saat manitol diberikan pada fase resusitasi awal pasien cedera kepala dan
hipovolemik, larutan kristaloid ini diberikan secara bersamaan untuk mengoreksi
hipovolemia. Pemberian larutan kristaloid tambahan dapat membantu
mengekskresikan manitol secara cepat dari ginjal. Ketika fase awal cedera otak
akut, sebaiknya manitol dijadikan monoterapi karena resiko terjadinya diuresis
masif. Bahkan akan menyebabkan deplesi volume intravaskular dan elektrolit
apabila diberikan bersamaan furosemid.
Furosemid digunakan untuk pasien gagal jantung kongestif dan retensi
cairan. Furosemid dapat meningkatkan reabsorpsi natrium di lengkungan Henle
23

dan meningkatkan keluaran urine. Diuresis yang berlebihan dapat memicu


dehidrasi dan penurunan volume darah dengan kolaps sirkulasi dan kemungkinan
terjadi trombosis serta embolisme vaskular.
2) Bantuan Pernapasan
Tekanan jalan napas rerata atau MAP merupakan faktor utama yang
mempengaruhi TIK pasien dengan ventilasi. Tekanan jalan napas yang positif,
dikirim ke ruang intrakranial melalui mediastinum. Oleh sebab itu, kondisi yang
mampu mengurangi komplain paru atau penggunaan tekanan akhir-pernapasan
positif meningkatkan tekanan jalan napas rerata serta mengurangi MAP dan CPP.
Tekanan PaCo2 harus dikurangi secara bertahap agar menghindari adanya
efek rebound vasodilatasi akibat koreksi berlebih. Ketika hiperventilasi
dihentikan, laju ventilasi dikembalikan ke tahap normal secara berkala.
Hiperventilasi berat ditandai dengan PaCO2 <25 mm yang diketahui melalui
monitor saturasi oksigen vena jugularis. Hiperventilasi ekstrem dapat
menyebabkan iskemia sekunder dengan mengkontriksi pembuluh darah serebral.
Apabila peningkatan ICP tidak membahayakan, pemberian hiperventilasi
harus dihindari setelah 24 jam pertama cedera otak trauma. Hal ini dikarenakan
dapat mengganggu perfusi serebral selama masa penurunan CBF kritis.
Hiperventilasi dibutuhkan ketika terjadi gangguan neurologis akut atau
peningkatan TIK yang tidak terkendali dengan pemberian sedasi, paralisis,
drainase CSS, dan diuretik osmotik. Hasil literatur menyebutkan bahwa untuk
menghindari hiperventilasi selama 5 hari pertama setelah terjadi cedera traumatik
terutama 24 jam pertama.
3) Pemberian Analgesik dan Sedasi
Pasien yang mengalami gangguan fungsi neurologi, memerlukan analgesik
dan sedasi untuk mengurangi rasa cemas dan menurunkan kesadaran.pemberian
analgesik dan sedatif mampu saling menguatkan dengan tujuan: mengurangi
agitasi, ketidaknyamanan, dan nyeri; memfasilitasi ventilasi mekanis dengan
menekan reflek batuk; dan membatasi respond terhadap stimulus seperti
pengisapan yang >10 detik sehingga meningkatkan TIK.
 Analgesik
24

Obat fentanil dan morfin merupakan narkotik yang sering digunakan untuk
membatasi nyeri akibat cedera dan intervensi keperawatan, membantu
ventilasi mekanis, serta menguatkan efek sedatif. Namun, memiliki efek
samping yaitu depresi pernapasan, penekanan reflek batuk, perubahan mood,
mual, dan muntah. Pasien cedera berat dengan nyeri hebat, diindikasikan
untuk pemberian fentanil dan morfin. Pemberian morfin secara kontinyu
dimulai dengan 1-2 mg/jam, sedangkan fentanil 50-100 µg/jam dan
ditritasikan 15-30 menit sampai pasien nampak nyaman.
 Sedatif
Obat sedatif yang sering diberikan di ICU yaitu benzodiazepin karena dapat
menguatkan efek agens analgesik. Pemberian midazolam, diazepam, dan
lorazepam digunakan sebelum prosedur ICU. Lorazepam digunakan terapi
antikejang. Midazolam untuk menimbulkan amnesia. Benzodiazepin untuk
memberikan perubahan pada CBF, TIK, dan laju metabolik serebral. Efek
samping pemberian sedatif yaitu depresi pernapasan, hipotensi, dan
somnolen.
 Anestetik
Propofol merupakan anestetik larut lemak yang diberikan secara kontinyu
untuk mengurangi agitasi. Propofol dapat mengurangi CBF, TIK, CPP, dan
fugsi metabolik serebral. Efek samping pemberian obat ini dapat menurunkan
kesadaran selama 2 menit hingga terjadi hipotensi. Propofol harus ditangani
dengan benar dan tepat untuk mencegah terjadinya infeksi bakteri atau jamur.
Jalur IV obat ini harus diganti setiap 12 jam.

b. Tahap Kedua
1) Hipotermia
Hipotermia digunakan untuk mencegah kerusakan otak saat pasca iskemik akibat
setelah berhentinya sirkulasi total dari pembedahan kardiotoraksik.

2) Koma barbiturat
25

Koma barbiturat dilakukan ketika peningkatan TIK berat susah untuk diatasi,
dengan kriteria GCS<7, TIK> 25 mmHg selama 10 menit saat pasien beristirahat,
serta penggunaan maksimum drainase CSS, manitol, analgesik, dan sedasi.
Penggunaan pentobarbital atau tiopental digunakan sebagai induksi koma
barbiturat selama 72 jam. Penggunaan barbiturat menekan aktivitas kejang dan
mengurangi kinerja aktivitas metabolik serebral. Tujuan pemberian barbiturat
untuk mempengaruhi CBF, kebutuhan metabolik, aktivtas EEG, dan
hemodinamik sistemik. Serta mampu mengurangi tekanan darah sistemik untuk
mencegah gangguan sawar darah-otak.
Sebelum barbiturat diberikan, terdapat beberapa tindakan yang harus diperhatikan
yaitu jalan napas aman, pantau TIK, tekanan darah, jantung, arteri pulmonalis,
dan EEG. Pemberian dosis muatan fenobarbital yaitu 5-10 mg/kg selama 30 menit
ditambah dosis rumatan 1 mg/kg/jam sampai supresi lonjakan tercapai.
Tanda klinis harus dihentikan pemberian barbiturat yaitu TIK <15 mmHg selama
24-72 jam, tekanan darah sistolik <90 mmHg, gangguan neurologis progresif, dan
henti jantung. Pemberhentian dilakukan secara bertahap selama 24-72 jam.
3) Terapi antihipertensi
Pemberian terapi antihipertensi agar memanipulasi tekanan darah sistolik dan
arteri rerata atau MAP untuk mempertahankan CPP secara adekuat. Penghitungan
MAP dapat membantu mengevaluasi CPP dan mengukur keefektifan terapi
antihipertensi. Curah jantung juga harus dipantau karena sebagai parameter pada
pasien kritis. Curah jantung yang rendah dapat menyebabkan cedera iskemik,
sedangkan curah jantung yang tinggi akan membuat cedera miokardium karena
kinerja miokardium meningkat.
Pemberian inhibitor Angiotensin Converting Enzyme digunakan untuk pasien
cedera kepala dengan hipertensi sistemik. Pemberian penyekat saluran kalsium
dihindari untuk mengurangi perburukan edema serebral. Penurunan tekanan darah
harus dilakukan secara bertahap. Biasanya di IGD atau ICU dengan pemberian
hidralazin dan labetalol untuk mengatasi hipertensi akut. Apabila masih tinggi,
dapat diberikan nitroprusid karena merupakan vasodilator yang kuat.
4) Kraniektomi dekompresif
26

Strategi ini dilakukan apabila cedera kepala yang susah untuk diatasi. Menurut
konsep, penurunan TIK dapat dilakukan melalui pembukaan tengkorak secara
pembedahan.

Penatalaksanaan peningkatan TIK secara non medis menurut (Morton et al., 2017) yaitu:
a. Mengatur Posisi
Posisi pasien peningkatan TIK yaitu dengan kepala dan leher posisi netral.
Meninggikan kepala tempat tidur dapat meningkatkan aliran vena dan menurunkan
TIK dengan kepala sudut 15-30 derajat, kecuali adanya kontraindikasi fraktur tulang
belakang atau ekstremitas. Fleksi panggul dengan sudut >90 derajat harus dicegah
karena menyebabkan tekanan intra abdomen dan toraks
b. Mempertimbangkan Lingkungan
Lingkungan sangat mempengaruhi laju metabolik dan aliran darah serebral karena
adanya rasa nyeri, stres bahkan cemas.

2.12 Test Diagnostik


Pemeriksaan diagnostik pada pasien peningkatan TIK yaitu :
a. CT Scan : Meningkat isotop pada tumor.
b. MRI : Identifikasi vaskuler tumor, perubahan ukuran ventrikel serebral
c. Cerebral angiography : Deviasi pembuluh darah
d. PET
e. SPECT

2.12.1 Pengkajian
Pengkajian keperawatan pada pasien dengan peningkatan TIK menurut (Black & Hawks,
2005) yaitu:
a. Pemeriksaan GCS
GCS merupakan pengkajian neurologi yang sering digunakan dengan tiga komponen
pemeriksaan yaitu membuka mata, respon verbal dan respon motorik. Nilai tertinggi
15 dan nilai terendah 3. Pemeriksaan GCS tidak dapat dilakukan apabila pasien
diintubasi sehingga tidak bisa berbicara, mata bengkak dan tertutup, tidak mampu
27

berkomunikasi, buta, afasia, kehilangan pendengaran, dan mengalami


paraplegi/paralysis. Pemeriksaan GCS saat pertama kali menjadi nilai tolak ukur
untuk dibandingkan dengan nilai hasil pemeriksaan selanjutnya agar dapat
mengidentifikasi indikasi keparahan. Penurunan nilai 2 poin dengan GCS 9 atau
kurang menunjukkan injuri yang serius.
b. Tingkat kesadaran
Perubahan pertama pada pasien gangguan perfusi serebral merupakan perubahan
tingkat kesadaran. Proses pengkajian tingkat kesadaran berlanjut dan detail perlu
dilakukan sampai pasien mencapai kesembuhan maksimal
c. Respon pupil
Pada pupil yang diperiksa yaitu tampilan dan respon fisiologisnya. Pupil yang
terpengaruh biasanya pada sisi yang sama (ipsilateral) dengan lesi otak yang terjadi,
dan defisit motorik dan sensorik biasanya pada sisi yang berlawanan (kontralateral).
Pemeriksaan pupil meliputi seperti kesamaan ukuran pupil, ukuran pupil, posisi pupil
(ditengah atau miring), reaksi terhadap cahaya, bentuk pupil (pupil oval bukti awal
peningkatan TIK), akomodasi pupil
d. Gerakan mata
Gerakan mata normalnya bersamaan. Jika bergerak tidak bersamaan (diskonjugasi),
catat dan segera laporkan.
e. Tanda – tanda vital
Tanda-tanda vital diperiksa setiap 15 menit hingga keadaan pasien stabil. Suhu tubuh
diukur setiap 2 jam. Pola nafas pasien dikaji dengan cermat. Apabila TIK meningkat
dan herniasi terjadi di medulla, maka Chusing response dapat terjadi, sehingga
respon ini perlu juga diperiksa.
f. Pemeriksaan saraf kranial
Pemeriksaan ini berupa pemeriksaan gerakan ekstraokular, gangguan refleks,
pemeriksaan otot wajah, dan lain lain. Selain pemeriksaan diatas, pengkajian
menyeluruh terhadap semua data-data lain dari pasien tetap diperlukan agar
mendapatkan data yang lebih lengkap, sehingga dapat disusun rencana keperawatan
dengan akurat dan tepat.
g. Perubahan yang lain
28

1) Sakit kepala yang disebabkan karena peningkatan intensitas, keadaan yang


memburuk melalui gerakan atau tegang
2) Muntah dengan sedikit rasa mual, bahkan muntah proyektil

2.12.2 Masalah Keperawatan Yang Sering Muncul


a. Gangguan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan peningkatan tekanan
intrakranial
b. Ketidakefektifan pola nafas berhubungn dengan kerusakan neurologis
c. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan kesadaran,
gangguan saraf pusat pernafasan
d. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera (fisik, biologis, kimia)
e. Resiko kekurangan volume cairan

BAB III
29

KASUS DAN ASUHAN KEPERAWATAN


DENGAN PASIEN PENINGKATAN TEKANAN INTRA KRANIAL

3.1 Pengkajian
Tanggal: 30-08-2019
A. Identitas Pasien
Nama : Ny.M
Usia : 70 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Suku/Bangsa : jawa/Indonesia
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Pendidikan : SD
Alamat : Pasuruan
Tanggal MRS : 30-08-2019 jam 19.30
Diagnosa Medis : Cedera Otak Berat

B. Riwayat Kesehatan
Riwayat Penyakit Ny.M
Keluhan utama Klien mengalami penurunan kesadaran
Riwayat penyakit Keluarga pasien mengatakan pasien mau membeli keperluan
sekarang rumah tangga di toko terdekat ada pengendara motor dengan
kecepatan tinggi menabrak seorang ibu ada pendarahan di
kepalanya dan tidak sadarkan diri. Pasien langsung di bawa
ke Puskesmas Grati Pasuruan dilakukan rawat luka dan di
rujuk ke RSUD Bangil Pasuruan untuk pemeriksaan lebih
lanjut dan perawatan.
Riwayat penyakit Keluarga pasien mengatakan tidak pernah mengalami
dahulu penyakt seperti ini sebelumnya.
Riwayat keluarga Keluarga pasien mengatakan tidak pernah mengalami COB.

28
30

Riwayat psikososial Pasien hanya bisa bed rest/istirahat total di tempat tidur dan
tidak bisa aktivitas dari sebelumnya.
Pengkajian spiritual Keluarga pasien selalu berikhtiar lahir batin untuk
kesembuhannya, pasien jarang melakukan beribadah.

Pola Gordon
Pola nutrisi Keluarga klien mengatakan sebelum sakit selera makan
3x/hari dengan menu nasi, sayur, lauk-pauk, buah dan
minum air putih 1.500 ml/hari.Ketika sakit, klien terpasang
NGT/ selang makan yang masuk hanya susu dan air putih
lewat selang sonde.
Pola eliminasi Keluarga pasien mengatakan dirumah BAK 6x/hari, warna
kuning jernih, dan BAB 1x/hari warna kuning, bau khas
feses. Saat sakit pasien BAK terpasang kateter dengan
jumlah per 6 jam sebanyak 1.500 cc/jam. BAB 1x/hari pada
pagi hari lembek, warna kuning
Pola istirahat/tidur Keluarga pasien mengatakan di rumah saat siang klien tidak
pernah tidur siang, dan tidur malem 7-8 jam/hari. Ketika di
rumah sakit, klien belum sadar.
Pola aktivitas Disaat klien Ny.M ketika dirumah, keluarga klien
mengatakan melakukan aktivitas dengan mandiri tetapi di
rumah sakit, klien semua aktivitas dibantu oleh keluarganya.
Pola reproduksi seksual Keluarga pasien Ny. M mengatakan sudah tidak ingin
menginginkan anak karena umurnya sudah tua. Ny.M sudah
menikah dan memiliki 3 orang anak.

Pengkajian Primer
a) Airway
31

Pasien terpasang ETT No 7,5 kedalaman 22 cm, OPA, adanya sekret, suara napas
ronchi.
b) Breathing
Pasien menggunakan ventilator dengan mode PSIMV dimana Tidal Volume 348,
I:R ratio 1: 2, PEEP +12, RR 12, Minute Volume 4,1, FiO 2 90 %, Mandatori 20,
Trigger + 3, SpO2 82 %.
c) Circulation
Nadi pasien regular, HR 129x/menit, pasien tampak lemas, cappilary refill lebih
dari 2 detik, akral dingin, TD 95/52 mmHg, suhu 37 0C
d) Neurolgi
Nilai GCS : Eye = 1
Verbal = 1 (terpasang ETT dan OPA)
Motorik = 1
Kesadaran Kuantitatif : Koma

Pemeriksaan fisik
Suhu 37 0C
Nadi 129 x/menit
TD 95/52 mmHg
RR 26x/menit
SpO2 82%
GCS 3
Kesadaran Koma
Keadaan Umum Lemah, tidak muntah, terdapat luka di kepala sebelah kiri bawah dan
edema di dahi kanan
Kepala Inspeksi: Wajah berbentuk bulat, rambut berwarna hitam, panjang,
kulit kepala kotor dan bau.
Mata Inspeksi: Mata kanan dan kiri simetris, reflek cahaya (+), bentuk
pupil oval, ukuran pupil kanan dan kiri 3mm
Hidung Inspeksi: tidak ada polip, adanya darah yang mengalir
Telinga Inspeksi: Telinga kanan dan kiri simetris, tidak menggunakan alat
bantu pendengaran, terlihat adanya memar di telinga kanan. Palpasi:
tidak ada benjolan pada daun telinga.
Leher Inspeksi: Tidak ada benjolan pada leher, terpasang collar neck
32

Palpasi: tidak ada pembesaran kelenjar tiroid.


Mulut dan gigi Inspeksi: Ada karies gigi, mukosa bibir kering dan pucat, klien tidak
menggunakan gigi palsu dan lidahnya bersih. Pasien terpasang ETT ,
NGT, dan OPA
Thoraks dan paru Inspeksi: simetris kanan kiri, bentuk dada normal chest, adanya
retraksi interkosta, pergerakan dada saat inspirasi dan ekspirasi
normal, terdengar suara ronkhi. Payudara normal, tidak ada jejas.
Jantung Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat, tidak adanya epitaksis
Palpasi : ictus cordis teraba di ICS 5 mid clavicula
Perkusi : terdengar bunyi pekak
Auskultasi: Bunyi jantung I dan II tunggal, bunyi jantung tambahan
tidak ditemukan, HR: 129 x/menit
Abdomen Inspeksi: abdomen simetris, datar, tidak ada luka, tidak ada jejas.
Palpasi: Tidak ada nyeri tekan. Auskultasi: bising usus 30 x/menit.
Genetalia Inspeksi: Nampak keputihan, terpasang kateter urine, warna urine
kuning jernih, jumlah 55cc/jam
Muskuloskeletal Ekstremitas atas: Pasien tidak bisa menggerakkan tangannya.
Terdapat luka bagian siku. Dan terpasang infus Ns
20 tpm.
Ektremitas bawah: Pasien tidak bisa menggerakkan kakinya sendiri.

C. Hasil Laboratorium (Tanggal 2 Sept 2019)

Pemeriksaan Hasil Nilai Normal


Leukosit 22,25 3,70-10,1
Netrofil % 86,9 39,3-73,7
Limfosit% 5,5 18,0-48,3
Eritrosit 4,880 4,6-6,2
Hemoglobin 14,60 13,5-18,0
Hematokrit 44,90 40-54
Natrium 143,70 135-147
33

Kalium 3,96 3,5-5


Klorida 101,40 95-105
Kalsium Ion 1,186 1,16-1,32
pH 7.29 7.35-7.45
PCO2 32-42
PO2 120.0 80-108

Hasil Foto rontgent: foto thorax AP, cervical AP/ latankle

D. Terapi obat
Inf. Ns 20 tpm
Inj Manitol
Inj Pumpitor 3x40 mg
Inj Ondansentron 2x4 mg
Inj Santagesic 3x1 gr
Inj Ceftriaxon 3x1 gr
Inj Citicollin 2x500 mg
Inj Piracetam 3x3 gr

3.2 Analisa Data


34

DATA FOKUS ETIOLOGI PROBLEM


DS: Peningkatan tekanan Perfusi jaringan serebral tidak
klien tidak sadarkan diri.
intrakranial efektif
DO:
Keadaan umum lemah, tidak muntah,
mukosa bibir kering, kesadaran koma
GCS 3, CRT > 2 detik.
TTV: TD: 95/52 mmHg, N: 129
x/menit, S: 37, RR: 26 x/menit, SPO2:
82 %, akral dingin, terdapat luka di
bagian kepala dengan kedalaman 4
cm, terpasang infus Ns 20 tpm,
terpasang collar neck, darah keluar
dari hidung, adanya memar pada
telinga kanan

DS: Kerusakan neurologis Pola nafas tidak efektif


Klien tidak sadarkan diri
DO:
KU lemah, TD: 95/52 mmHg, N: 129
x/menit, S: 37, RR: 26 x/menit, SPO2:
82 %, akral hangat, terpasanga
Oksigen 10 liter/menit, nampak
takipnea
Pasien terpasang ETT No 7,5
kedalaman 22 cm, OPA
Pasien menggunakan ventilator
dengan mode PSIMV dimana Tidal
Volume 348, I:R ratio 1: 2, PEEP +12,
RR 26, Minute Volume 4,1, FiO2 90
%, Mandatori 20, Trigger + 3, SpO2
82 %, ronchi +, adanya retraksi
interkosta

DS: Obstruksi jalan napas Bersihan jalan napas tidak


Klien tidak sadarkan diri
efektif
DO:
Pasien bedrest, KU lemah, kesadaran
koma, GCS 3, CRT>2 detik, terdengar
suara ronkhi, terpasang ETT dan OPA,
TD: 95/52 mmHg, N: 129 x/menit, S:
37, RR: 26 x/menit, SPO2: 82 %
35

3.3 Diagnosa Keperawatan Menurut (Herdman & Kamitsuru, 2018)


1. Perfusi jaringan serebral tidak efektif b.d. peningkatan tekanan intra kranial
2. Pola nafas tidak efektif b.d. kerusakan neurologis
3. Bersihan jalan napas tidak efektif b.d. obstruksi jalan napas

Int Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervens


erv
ens
i
Me
nu
rut
(B
ule
che
ck,
K,
M,
&
M,
20
13;
Mo
or
he
ad,
Jo
hn
son
,
Ma
as,
&
Sw
ans
on,
20
36

13)
XN
o.
1. Perfusi jaringan Setelah dilakukan asuhan selama 3x 7 jam, NIC
serebral tidak efektif perfusi jaringan cerebral efektif. a. Monitor TTV
b.d. peningkatan b. Monitor adanya diplopia
tekanan intra kranial NOC : nyeri kepala
a. Circulation status c. Monitor level kebingunga
b. Neurologic status d. Monitor tonus otot perger
c. Tissue Prefusion : cerebral e. Monitor tekanan intrk
nerologis
Kriteria hasil: f. Catat perubahan pasien
a. Tekanan systole dan diastole dalam rentang stimulus
yang diharapkan g. Monitor status cairan
b. Tidak ada ortostatikhipertensi h. Pertahankan parameter he
c. Menunjukkan konsentrasi dan i. Tinggikan kepala 0-45
orientasi
konsisi pasien dan order m
d. Bebas dari aktivitas kejang
e. Tidak mengalami nyeri kepala

2. Pola nafas tidak efektif Setelah dilakukan asuhan selama 3x 7 jam, pola NIC :
b.d. kerusakan napas pasien efektif. Airway Management
neurologis a. Buka jalan nafas, guanak
NOC : atau jaw thrust bila perlu
a. Respiratory status : Ventilation b. Posisikan pasien untu
b. Respiratory status : Airway patency ventilasi
c. Vital sign Status c. Identifikasi pasien perlun
jalan nafas buatan
d. Pasang mayo bila perlu
Kriteria Hasil : e. Lakukan fisioterapi dada
a. Suara nafas yang bersih, tidak ada sekret dengan batuk atau s
sianosis dan dyspneu (mampu f. Auskultasi suara nafas,
mengeluarkan sputum, mampu bernafas tambahan
dengan mudah, tidak ada pursed lips) g. Lakukan suction pada may
b. Menunjukkan jalan nafas yang paten h. Berikan bronkodilator bila
(klien tidak merasa tercekik, irama nafas, i. Berikan pelembab udara
frekuensi pernafasan dalam rentang Lembab
normal, tidak ada suara nafas abnormal) j. Atur intake untuk caira
c. Tanda Tanda vital dalam rentang normal keseimbangan.
(tekanan darah, nadi, pernafasan) k. Monitor respirasi dan statu

Terapi Oksigen
a. Bersihkan mulut, hidung d
b. Pertahankan jalan nafas ya
c. Atur peralatan oksigenasi
d. Monitor aliran oksigen
e. Pertahankan posisi pasien
37

f. Onservasi adanya tanda ta


g. Monitor adanya kecemas
oksigenasi

Vital sign Monitoring


a. Monitor TD, nadi, suhu, d
b. Catat adanya fluktuasi tek
c. Monitor VS saat pasien
atau berdiri
d. Auskultasi TD pada k
bandingkan
e. Monitor TD, nadi, RR, se
setelah aktivitas
f. Monitor kualitas dari nadi
g. Monitor frekuensi dan iram
h. Monitor suara paru
i. Monitor pola pernapasan a
j. Monitor suhu, warna, dan
k. Monitor sianosis perifer
l. Monitor adanya cushing
yang melebar, bradik
sistolik)
m. Identifikasi penyebab da
sign

3. Bersihan jalan napas Setelah dilakukan tindakan keperawatan NIC:


tidak efektif b.d selama 3x7 jam pasien menunjukkan a. Pastikan kebutuhan oral / tr
obstruksi jalan napas keefektifan jalan nafas b. Berikan O2  
c. Anjurkan pasien untuk i
NOC: dalam
a. Respiratory status : Ventilation d. Posisikan pasien untuk
b. Respiratory status : Airway patency ventilasi
c. Aspiration Control e. Lakukan fisioterapi dada ji
f. Keluarkan sekret dengan ba
Kriteria hasil : g. Auskultasi suara nafas,
a. Mendemonstrasikan batuk efektif dan tambahan
suara nafas yang bersih, tidak ada h. Berikan bronkodilator
sianosis dan dyspneu (mampu i. Monitor status hemodinam
mengeluarkan sputum, bernafas dengan j. Berikan pelembab udara
mudah, tidak ada pursed lips) Lembab
b. Menunjukkan jalan nafas yang paten k. Berikan antibiotik 
(klien tidak merasa tercekik, irama l. Atur intake untuk caira
nafas, frekuensi pernafasan dalam keseimbangan.
rentang normal, tidak ada suara nafas m. Monitor respirasi dan statu
abnormal) n. Pertahankan hidrasi yan
c. Mampu mengidentifikasikan dan mengencerkan sekret
mencegah faktor yang penyebab.
38

d. Saturasi O2 dalam batas normal o. Jelaskan pada pasien da


e. Foto thorak dalam batas normal penggunaan peralatan : O2
39

BAB IV

KESIMPULAN

4.1 Kesimpulan
Peningkatan tekanan intrakranial (ICP) adalah jalur umum akhir yang serius dari
berbagai cedera neurologis. Ini ditandai dengan peningkatan volume ruang intrakranial, dan
merupakan tantangan utama di unit perawatan intensif. Tekanan intrakranial yang meningkat
secara konsisten dikaitkan dengan hasil yang buruk. Dalam ulasan studi cedera otak
traumatis, tingkat kematian adalah 18,4% untuk pasien dengan tekanan intrakranial kurang
dari 20 mm Hg tetapi 55,6% untuk mereka dengan tekanan intrakranial lebih dari 40 mm Hg.
Pemantauan ICP invasif dapat diindikasikan pada pasien yang memenuhi 3 kriteria
yaitu Pasien diduga berisiko mengalami peningkatan ICP, Pasien koma (GCS ≤8), dan
Prognosis dengan pengobatan ICU agresif. Penatalaksanaan medis pada pasien peningkatan
TIK yaitu Pemberian Manitol, Bantuan Pernapasan, Pemberian Analgesik dan Sedasi,
Hipotermia, Koma barbiturat, Terapi antihipertensi, dan Kraniektomi dekompresif.

38
40

DAFTAR PUSTAKA

Amri, I. (2017). Pengelolaan Peningkatan Tekanan Intrakranial. Jurnal Ilmiah Kedokteran, 4(3).

Batticaca, F. . (2008). Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem Persarafan.
Jakarta: Salemba Medika.

Black, J. M., & Hawks, J. H. (2005). Medical-Surgical Nursing, Clinical Management for
Positive Outcomes (7th ed.). St. Louis: Missiuri. Elsivier Saunders.

Bulecheck, G. M., K, B. H., M, D. J., & M, W. C. (2013). Nursing Intervenstions Classification


(NIC) (6th ed.). Indonesia: Elsevier.

Chesnut, R., Temkin, N., & Carney, N. (2012). A Trial of Intracranial Pressure Monitoring in
Traumatic Brain Injury. N Engl J Med, 367, 2471–2481.

Drummond, J. C., & Patel, P. M. (2010). Neurosurgical Anesthesia (7th ed.). Philadelphia:
Churchill-Livingstone.

Green, M. S. (2010). Handbook of Neurosurgery (8th ed.). Florida: Thieme.

Heldt, T., Zoerle, T., Teichmann, D., & Stocchetti, N. (2019). Intracranial Pressure and
Intracranial Elastance Monitoring in Neurocritical Care, 21, 523–551.

Herdman, H., & Kamitsuru, S. (2018). Diagnosisi Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi 2018-
2020 (11th ed.). Jakarta: EGC.

Hudak, C. M., & Gallo, B. M. (2010). Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik: Volume 2 (6th
ed.). Jakarta: EGC.

Mayer, S. A., & Chong, J. Y. (2002). Critical Care Management of Increased Intracranial
Pressure. Journal Intensive Care Med, 17, 55–67.

Moorhead, S., Johnson, M., Maas, M. L., & Swanson, E. (2013). Nursing Outcomes
Classification (NOC) (5th ed.). Indonesia: Elsevier.

Morton, P. G., Fontaine, D., Hudak, C. M., & Gallo, B. M. (2017). Keperawatan Kritis
Pendekatan Asuhan Holistik: Volume 2 (8th ed.). Jakarta: EGC.

Sadoughi, A., Rybinnik, I., & Cohen, R. (2013). Measurement and Management of Increased
Intracranial Pressure. The Open Critical Care Medicine Journal, 6, 56–65.

Smith, M. (2008). Monitoring Intracranial Pressure in Traumatic Brain Injury. International


Anesthesia Research Society, 106(1), 240–248.
https://doi.org/10.1213/01.ane.0000297296.52006.8e
41

Tarwoto, Wartonah, & Suryati, E. S. (2007). Keperawatan Medikal Bedah: Gangguan Sistem
Persarafan (1st ed.). Jakarta: Sagung Seto.

Treggiari, M., Schutz, N., & Romand, J. A. (2007). Role of Intracranial Pressure Values and
Patterns in Predicting Outcome of Traumatic Brain Injury: A Systematic Review. Neurocrit
Care, 6, 104–112.

Anda mungkin juga menyukai