Riris Risca Peningkatan Tik
Riris Risca Peningkatan Tik
Oleh:
Riris Risca Megawati
(220120180023)
PENDAHULUAN
1
2
1.2 Tujuan
1.2.1. Tujuan Umum
Tujuan pembuatan makalah diharapakan mahasiswa dapat memahami
asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan sistem neurologi khususnya
pada peningkatan tekanan intrakranial.
1.2.2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui tentang epidemiology kasus peningkatan tekanan
intrakranial
b. Untuk mengetahui tentang pengertian peningkatan tekanan intrakranial
pada pasien kritis/kegawatdaruratan
c. Untuk mengetahui tentang etiologi peningkatan tekanan intrakranial pada
pasien kritis/kegawatdaruratan
3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Tekanan intra kranial (TIK) merupakan tekanan volume pada kranium dan
isi kubah kranium. Volume pada kranium terdiri dari darah (2-10%), jaringan
otak (88%), dan cairan serebrospinal (CSS) (9-11%). Apabila terjadinya
peningkatan volume pada salah satu isi tengkorak, maka akan terjadi kompensasi
dengan menurunkan isi volume yang lain (Tarwoto, Wartonah, & Suryati, 2007).
Peningkatan TIK adalah peningkatan CSS yang lebih dari 15 mmHg. Akibat
dari trauma kepala, edema serebral, abses dan infeksi, lesi, dan bedah intrakranial
menjadi penyebab dari peningkatan TIK (Batticaca, 2008).
PTIK merupakan tantangan utama di ruang ICU yang ditandai dengan
peningkatan volume ruang intrakranial. Tekanan intrkranial yang meningkat
secara konsisten dikaitkan dengan hasil yang buruk. Hasil ulasan studi cedera
otak, tingkat kematian sebesar 18,4% untuk pasien dengan tekanan intrakranial
kurang dari 20 mmHg tetapi 55,6% pasien dengan tekanan intrakranial lebih dari
40 mmHg (Treggiari, Schutz, & Romand, 2007).
Rentang normal ICP bervariasi berdasarkan usia. Nilai untuk pediatrik tidak
ditetapkan dengan baik.
4
5
Gambar 2.2 Kondisi fisiologis normal, jaringan otak, cerebral blood volume (CBV), dan CSF yang
menempati ruang intradural, dengan kompartemen jaringan otak sekitar 80% dan CBV
dan CSF masing-masing 10%
Sumber: (Heldt, Zoerle, Teichmann, & Stocchetti, 2019)
2.2 Klasifikasi
Jenis peningkatan TIK menurut (Tarwoto et al., 2007) yaitu:
a. Subfacine midline shift
Adanya desakan lesi di ruang unilateral tanpa adanya gejala walaupun terjadi
oklusi pada arteri serebral anterior ipsilateral
b. Tentorial herniasi (lateral)
Adanya desakan lesi di ruang unilateral yang menimbulkan herniasi pada
tentorial di bagian lobus temporal
c. Tentorial herniasi (central)
Adanya desakan lesi midline yang mendorong ventrikel midbrain dan
diencephalon melalui hiatus tentorial
d. Tensillar herniasi
Adanya perluasan lesi pada subtentorial sehingga menyebabkan herniasi tonsil
serebeller melalui foramen magnum
2.3 Etiologi
Penyebab peningkatan tekanan intrakranial menurut Morton (2017) adalah
sebagai berikut:
a. Sindrom Cushing
Tanda dari sindrom cushing yaitu adanya lesi supratentorial yang dapat
meningkatkan tekanan secara tiba-tiba dan memicunya dekompensasi.
b. Edema Serebral
Edema serebral menyebabkan ekspansi jaringan otak di dalam ruang otak
tertutup kranium.
c. Edema Vasogenik
Tanda dari edema vasogenik yaitu gangguan sawar otak darah dan
ketidakmampuan dinding sel untuk mengendalikan perpindahannya air ke
7
dalam serta keluar sel. Permeabilitas kapiler terganggu dari cairan hingga
protein dapat keluar dari plasma menuju ke ruang ekstraselular. Hal ini
menyebabkan terjadinya peningkatan volume cairan esktraselular terutama di
subtansia alba. Penyebab edema vasogenik yaitu tumor otak, abses serebral,
dan stroke iskemik atau hemoragik.
d. Edema Sitotoksik
Tanda dari edema sitotoksik yaitu pembengkakan neuro dan sel endotel. Hal
ini dapat menyebabkan peningkatan cairan dalam ruang intraseluler dan
mengurangi ruang ekstraselular yang tersedia, sehingga mempengaruhi
substansia grisea. Akhirnya air dan natrium dapat masuk ke sel akibat dari
membran sel tidak dapat lagi mempertahankan keefektifan sawar. Sehingga,
menyebabkan pembengkakan dan hilangnya fungsi.
e. Herniasi
Herniasi merupakan pergeseran jaringan melalui lubang yang kaku.
Pergeseran jaringan otak melalui lubang yang kaku pada tengkorak
menyebabkan pergeseran garis tengah struktur otak dan menekan struktur
yang ada di dalam SSP, hingga menyebabkan sindrom herniasi klinis
tradisional.
b. Inflow dan outflow yang tidak sebanding hingga menyebabkan CVB meningkat.
1) Outflow vena menurun: terjadi obstruksi mekanis pada struktur vena
intrakranial atau ekstrakranial, posisi kepala dibawah (head down), collar
neck yang terlalu ketat, dan obstruksi ventilasi.
2) Meningkatnya CBF (kehilangan autoregulasi vaskular di CPP yang rendah
ataupun tinggi, meningkatnya PaCO2, dan hipoksia)
c. Meningkatnya volume cairan serebrospinal intrakranial. Penyebab
meningkatnya volume cairan serebrospinal adalah:
1) Absorbsi cairan serebrospinal mengalami penurunan di villi arakhnoidalis
yang dikenal dengan hidrosefalus komunikan (perdarahan subarakhnoid,
infeksi)
2) Adanya obstruksi sirkulasi cairan serebrospinal yang dikenal dengan
hidrosefalus obstruktif (neoplasma, perdarahan spontan dan trauma, infeksi)
3) Mneingkatnya jumlah produksi (meningitis, tumor pleksus khoroid).
d. Terdapat massa intra dan ekstra aksial yang mengakibatkan meningkatnya
volume intrakranial. Beberapa yang menyebabkan meliputi neoplasma,
perdarahan, trauma, dan infeksi.
kerusakan BBB (Blood Brain Barrier) lebih lanjut. Siklus ini akan terus berlanjut
sehingga terjadi kematian sel dan bertambahnya edema secara progresif kecuali
2.5 Pathway
13
Kelainan metabolisme
Cedera otak primer Cedera otak sekunder
Untuk pasien yang dapat diselamatkan dengan cedera otak traumatis parah
(GCS≤8 setelah dilakukan resusitasi kardiopulmoner)
Level II : hasil CT Scan abnormal (Catatan: abnormal CT Scan menunjukkan
adanya hematoma (EDH, SDH atau ICH), kontusio, penekanan sisterna basalis,
herniasi atau pembengkakan
Level III : hasil CT Scan normal akan tetapi dengan 2 atau lebih tanda faktor
risiko pada IC-HTN seperti pada gambar 2.2
1) Memantau ICP pasien dengan gagal hati akut dengan INR >1,5 dan
derajat III hingga IV
c. Intraparenkimal
Teknik ini dengan cara memasukkan kateter melalui baut kecil subaraknoid
dan melakukan pungsi durameter dan mengkoagulasi membran arakhnoid,
kateter didorong lebih dalam beberapa sentimeter ke dalam masa putih otak
d. Epidural
teknik ini memerlukan pemasangan alat epidural semacam balon dengan
radionukleid, radio transmitter atau serat optik antara tulang tengkorak dan
durameter. Hasil penelitian bahwa menekan durameter dan regangan
permukaan akan menyebabkan ketidakakuratan penilaian.
2.10 Komplikasi
Komplikasi terjadinya peningkatan TIK menurut (Green, 2010) yaitu:
a. Infeksi intrakranial
b. Perdarahan intraserebral
Insiden terjadinya pendarahan yaitu 1,4% untuk semua perangkat. Perdarahan
Angioma Allian adalah gejala akut atau subakut (sakit kepala, kejang,
penurunan kesadaran, atau defisit neurologis fokal baru) disertai dengan dengan
radiologis, patologis, bedah atau jarang hanya bukti cairan serebrospinal dari
perdarahan ekstra atau intralesi baru-baru ini.
20
2.11 Management/Penatalaksanaan
Periksa jalan napas, pernapasan, dan sirkulasi
Ventilasi pasien untuk mempertahankan PaCO2 hingga 35 mmHg
Berikan O2 tambahan untuk mempertahankan PaO2 90-120 mmHg atau SpO2 >95%
Pertahankan suhu normal
Pertahankan posisi HOB untuk mengoptimalkan CP dan meminimalkan TIK
Kurangi stimulus yang membahayakan dan tidak perlu
Ya
Ya
Ya
Ya
Ya
Pertimbangkan CT Scan kepala ulang Dengan hati-hati
Pertimbangkan terapi tingkat kedua hentikan terapi
Koma barbiturat untuk TIK
Pemantauan oksigen otak 22
Kraniektomi dekompresif
Penatalaksanaan peningkatan TIK secara medis menurut (Morton et al., 2017) terdapat 2
tahap, yaitu:
a. Tahap pertama
1) Pemberian Manitol
Manitol termasuk cairan kristaloid hipertonik dimana mampu mengurangi
edema serebral serta menurunkan TIK setelah cedera otak. Larutan ini diberikan
secara bolus IV selama 10-30 menit dengan dosis 0,25-2 g/kg BB. Manitol dapat
diberikan pada pasien dengan TIK tidak dapat diukur. Cara kerja manitol
diekskresikan melalui urine. Sehingga, apabila diberikan dosis besar dan
osmolaritas serum >320 mOsm akan berisiko terjadi nekrosis tubulus akut (ATN).
Pengukuran osmolaritas serum dilakukan setiap 6-8 jam agar melihat tercapainya
target <320 mOsm.
Saat manitol diberikan pada fase resusitasi awal pasien cedera kepala dan
hipovolemik, larutan kristaloid ini diberikan secara bersamaan untuk mengoreksi
hipovolemia. Pemberian larutan kristaloid tambahan dapat membantu
mengekskresikan manitol secara cepat dari ginjal. Ketika fase awal cedera otak
akut, sebaiknya manitol dijadikan monoterapi karena resiko terjadinya diuresis
masif. Bahkan akan menyebabkan deplesi volume intravaskular dan elektrolit
apabila diberikan bersamaan furosemid.
Furosemid digunakan untuk pasien gagal jantung kongestif dan retensi
cairan. Furosemid dapat meningkatkan reabsorpsi natrium di lengkungan Henle
23
Obat fentanil dan morfin merupakan narkotik yang sering digunakan untuk
membatasi nyeri akibat cedera dan intervensi keperawatan, membantu
ventilasi mekanis, serta menguatkan efek sedatif. Namun, memiliki efek
samping yaitu depresi pernapasan, penekanan reflek batuk, perubahan mood,
mual, dan muntah. Pasien cedera berat dengan nyeri hebat, diindikasikan
untuk pemberian fentanil dan morfin. Pemberian morfin secara kontinyu
dimulai dengan 1-2 mg/jam, sedangkan fentanil 50-100 µg/jam dan
ditritasikan 15-30 menit sampai pasien nampak nyaman.
Sedatif
Obat sedatif yang sering diberikan di ICU yaitu benzodiazepin karena dapat
menguatkan efek agens analgesik. Pemberian midazolam, diazepam, dan
lorazepam digunakan sebelum prosedur ICU. Lorazepam digunakan terapi
antikejang. Midazolam untuk menimbulkan amnesia. Benzodiazepin untuk
memberikan perubahan pada CBF, TIK, dan laju metabolik serebral. Efek
samping pemberian sedatif yaitu depresi pernapasan, hipotensi, dan
somnolen.
Anestetik
Propofol merupakan anestetik larut lemak yang diberikan secara kontinyu
untuk mengurangi agitasi. Propofol dapat mengurangi CBF, TIK, CPP, dan
fugsi metabolik serebral. Efek samping pemberian obat ini dapat menurunkan
kesadaran selama 2 menit hingga terjadi hipotensi. Propofol harus ditangani
dengan benar dan tepat untuk mencegah terjadinya infeksi bakteri atau jamur.
Jalur IV obat ini harus diganti setiap 12 jam.
b. Tahap Kedua
1) Hipotermia
Hipotermia digunakan untuk mencegah kerusakan otak saat pasca iskemik akibat
setelah berhentinya sirkulasi total dari pembedahan kardiotoraksik.
2) Koma barbiturat
25
Koma barbiturat dilakukan ketika peningkatan TIK berat susah untuk diatasi,
dengan kriteria GCS<7, TIK> 25 mmHg selama 10 menit saat pasien beristirahat,
serta penggunaan maksimum drainase CSS, manitol, analgesik, dan sedasi.
Penggunaan pentobarbital atau tiopental digunakan sebagai induksi koma
barbiturat selama 72 jam. Penggunaan barbiturat menekan aktivitas kejang dan
mengurangi kinerja aktivitas metabolik serebral. Tujuan pemberian barbiturat
untuk mempengaruhi CBF, kebutuhan metabolik, aktivtas EEG, dan
hemodinamik sistemik. Serta mampu mengurangi tekanan darah sistemik untuk
mencegah gangguan sawar darah-otak.
Sebelum barbiturat diberikan, terdapat beberapa tindakan yang harus diperhatikan
yaitu jalan napas aman, pantau TIK, tekanan darah, jantung, arteri pulmonalis,
dan EEG. Pemberian dosis muatan fenobarbital yaitu 5-10 mg/kg selama 30 menit
ditambah dosis rumatan 1 mg/kg/jam sampai supresi lonjakan tercapai.
Tanda klinis harus dihentikan pemberian barbiturat yaitu TIK <15 mmHg selama
24-72 jam, tekanan darah sistolik <90 mmHg, gangguan neurologis progresif, dan
henti jantung. Pemberhentian dilakukan secara bertahap selama 24-72 jam.
3) Terapi antihipertensi
Pemberian terapi antihipertensi agar memanipulasi tekanan darah sistolik dan
arteri rerata atau MAP untuk mempertahankan CPP secara adekuat. Penghitungan
MAP dapat membantu mengevaluasi CPP dan mengukur keefektifan terapi
antihipertensi. Curah jantung juga harus dipantau karena sebagai parameter pada
pasien kritis. Curah jantung yang rendah dapat menyebabkan cedera iskemik,
sedangkan curah jantung yang tinggi akan membuat cedera miokardium karena
kinerja miokardium meningkat.
Pemberian inhibitor Angiotensin Converting Enzyme digunakan untuk pasien
cedera kepala dengan hipertensi sistemik. Pemberian penyekat saluran kalsium
dihindari untuk mengurangi perburukan edema serebral. Penurunan tekanan darah
harus dilakukan secara bertahap. Biasanya di IGD atau ICU dengan pemberian
hidralazin dan labetalol untuk mengatasi hipertensi akut. Apabila masih tinggi,
dapat diberikan nitroprusid karena merupakan vasodilator yang kuat.
4) Kraniektomi dekompresif
26
Strategi ini dilakukan apabila cedera kepala yang susah untuk diatasi. Menurut
konsep, penurunan TIK dapat dilakukan melalui pembukaan tengkorak secara
pembedahan.
Penatalaksanaan peningkatan TIK secara non medis menurut (Morton et al., 2017) yaitu:
a. Mengatur Posisi
Posisi pasien peningkatan TIK yaitu dengan kepala dan leher posisi netral.
Meninggikan kepala tempat tidur dapat meningkatkan aliran vena dan menurunkan
TIK dengan kepala sudut 15-30 derajat, kecuali adanya kontraindikasi fraktur tulang
belakang atau ekstremitas. Fleksi panggul dengan sudut >90 derajat harus dicegah
karena menyebabkan tekanan intra abdomen dan toraks
b. Mempertimbangkan Lingkungan
Lingkungan sangat mempengaruhi laju metabolik dan aliran darah serebral karena
adanya rasa nyeri, stres bahkan cemas.
2.12.1 Pengkajian
Pengkajian keperawatan pada pasien dengan peningkatan TIK menurut (Black & Hawks,
2005) yaitu:
a. Pemeriksaan GCS
GCS merupakan pengkajian neurologi yang sering digunakan dengan tiga komponen
pemeriksaan yaitu membuka mata, respon verbal dan respon motorik. Nilai tertinggi
15 dan nilai terendah 3. Pemeriksaan GCS tidak dapat dilakukan apabila pasien
diintubasi sehingga tidak bisa berbicara, mata bengkak dan tertutup, tidak mampu
27
BAB III
29
3.1 Pengkajian
Tanggal: 30-08-2019
A. Identitas Pasien
Nama : Ny.M
Usia : 70 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Suku/Bangsa : jawa/Indonesia
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Pendidikan : SD
Alamat : Pasuruan
Tanggal MRS : 30-08-2019 jam 19.30
Diagnosa Medis : Cedera Otak Berat
B. Riwayat Kesehatan
Riwayat Penyakit Ny.M
Keluhan utama Klien mengalami penurunan kesadaran
Riwayat penyakit Keluarga pasien mengatakan pasien mau membeli keperluan
sekarang rumah tangga di toko terdekat ada pengendara motor dengan
kecepatan tinggi menabrak seorang ibu ada pendarahan di
kepalanya dan tidak sadarkan diri. Pasien langsung di bawa
ke Puskesmas Grati Pasuruan dilakukan rawat luka dan di
rujuk ke RSUD Bangil Pasuruan untuk pemeriksaan lebih
lanjut dan perawatan.
Riwayat penyakit Keluarga pasien mengatakan tidak pernah mengalami
dahulu penyakt seperti ini sebelumnya.
Riwayat keluarga Keluarga pasien mengatakan tidak pernah mengalami COB.
28
30
Riwayat psikososial Pasien hanya bisa bed rest/istirahat total di tempat tidur dan
tidak bisa aktivitas dari sebelumnya.
Pengkajian spiritual Keluarga pasien selalu berikhtiar lahir batin untuk
kesembuhannya, pasien jarang melakukan beribadah.
Pola Gordon
Pola nutrisi Keluarga klien mengatakan sebelum sakit selera makan
3x/hari dengan menu nasi, sayur, lauk-pauk, buah dan
minum air putih 1.500 ml/hari.Ketika sakit, klien terpasang
NGT/ selang makan yang masuk hanya susu dan air putih
lewat selang sonde.
Pola eliminasi Keluarga pasien mengatakan dirumah BAK 6x/hari, warna
kuning jernih, dan BAB 1x/hari warna kuning, bau khas
feses. Saat sakit pasien BAK terpasang kateter dengan
jumlah per 6 jam sebanyak 1.500 cc/jam. BAB 1x/hari pada
pagi hari lembek, warna kuning
Pola istirahat/tidur Keluarga pasien mengatakan di rumah saat siang klien tidak
pernah tidur siang, dan tidur malem 7-8 jam/hari. Ketika di
rumah sakit, klien belum sadar.
Pola aktivitas Disaat klien Ny.M ketika dirumah, keluarga klien
mengatakan melakukan aktivitas dengan mandiri tetapi di
rumah sakit, klien semua aktivitas dibantu oleh keluarganya.
Pola reproduksi seksual Keluarga pasien Ny. M mengatakan sudah tidak ingin
menginginkan anak karena umurnya sudah tua. Ny.M sudah
menikah dan memiliki 3 orang anak.
Pengkajian Primer
a) Airway
31
Pasien terpasang ETT No 7,5 kedalaman 22 cm, OPA, adanya sekret, suara napas
ronchi.
b) Breathing
Pasien menggunakan ventilator dengan mode PSIMV dimana Tidal Volume 348,
I:R ratio 1: 2, PEEP +12, RR 12, Minute Volume 4,1, FiO 2 90 %, Mandatori 20,
Trigger + 3, SpO2 82 %.
c) Circulation
Nadi pasien regular, HR 129x/menit, pasien tampak lemas, cappilary refill lebih
dari 2 detik, akral dingin, TD 95/52 mmHg, suhu 37 0C
d) Neurolgi
Nilai GCS : Eye = 1
Verbal = 1 (terpasang ETT dan OPA)
Motorik = 1
Kesadaran Kuantitatif : Koma
Pemeriksaan fisik
Suhu 37 0C
Nadi 129 x/menit
TD 95/52 mmHg
RR 26x/menit
SpO2 82%
GCS 3
Kesadaran Koma
Keadaan Umum Lemah, tidak muntah, terdapat luka di kepala sebelah kiri bawah dan
edema di dahi kanan
Kepala Inspeksi: Wajah berbentuk bulat, rambut berwarna hitam, panjang,
kulit kepala kotor dan bau.
Mata Inspeksi: Mata kanan dan kiri simetris, reflek cahaya (+), bentuk
pupil oval, ukuran pupil kanan dan kiri 3mm
Hidung Inspeksi: tidak ada polip, adanya darah yang mengalir
Telinga Inspeksi: Telinga kanan dan kiri simetris, tidak menggunakan alat
bantu pendengaran, terlihat adanya memar di telinga kanan. Palpasi:
tidak ada benjolan pada daun telinga.
Leher Inspeksi: Tidak ada benjolan pada leher, terpasang collar neck
32
D. Terapi obat
Inf. Ns 20 tpm
Inj Manitol
Inj Pumpitor 3x40 mg
Inj Ondansentron 2x4 mg
Inj Santagesic 3x1 gr
Inj Ceftriaxon 3x1 gr
Inj Citicollin 2x500 mg
Inj Piracetam 3x3 gr
13)
XN
o.
1. Perfusi jaringan Setelah dilakukan asuhan selama 3x 7 jam, NIC
serebral tidak efektif perfusi jaringan cerebral efektif. a. Monitor TTV
b.d. peningkatan b. Monitor adanya diplopia
tekanan intra kranial NOC : nyeri kepala
a. Circulation status c. Monitor level kebingunga
b. Neurologic status d. Monitor tonus otot perger
c. Tissue Prefusion : cerebral e. Monitor tekanan intrk
nerologis
Kriteria hasil: f. Catat perubahan pasien
a. Tekanan systole dan diastole dalam rentang stimulus
yang diharapkan g. Monitor status cairan
b. Tidak ada ortostatikhipertensi h. Pertahankan parameter he
c. Menunjukkan konsentrasi dan i. Tinggikan kepala 0-45
orientasi
konsisi pasien dan order m
d. Bebas dari aktivitas kejang
e. Tidak mengalami nyeri kepala
2. Pola nafas tidak efektif Setelah dilakukan asuhan selama 3x 7 jam, pola NIC :
b.d. kerusakan napas pasien efektif. Airway Management
neurologis a. Buka jalan nafas, guanak
NOC : atau jaw thrust bila perlu
a. Respiratory status : Ventilation b. Posisikan pasien untu
b. Respiratory status : Airway patency ventilasi
c. Vital sign Status c. Identifikasi pasien perlun
jalan nafas buatan
d. Pasang mayo bila perlu
Kriteria Hasil : e. Lakukan fisioterapi dada
a. Suara nafas yang bersih, tidak ada sekret dengan batuk atau s
sianosis dan dyspneu (mampu f. Auskultasi suara nafas,
mengeluarkan sputum, mampu bernafas tambahan
dengan mudah, tidak ada pursed lips) g. Lakukan suction pada may
b. Menunjukkan jalan nafas yang paten h. Berikan bronkodilator bila
(klien tidak merasa tercekik, irama nafas, i. Berikan pelembab udara
frekuensi pernafasan dalam rentang Lembab
normal, tidak ada suara nafas abnormal) j. Atur intake untuk caira
c. Tanda Tanda vital dalam rentang normal keseimbangan.
(tekanan darah, nadi, pernafasan) k. Monitor respirasi dan statu
Terapi Oksigen
a. Bersihkan mulut, hidung d
b. Pertahankan jalan nafas ya
c. Atur peralatan oksigenasi
d. Monitor aliran oksigen
e. Pertahankan posisi pasien
37
BAB IV
KESIMPULAN
4.1 Kesimpulan
Peningkatan tekanan intrakranial (ICP) adalah jalur umum akhir yang serius dari
berbagai cedera neurologis. Ini ditandai dengan peningkatan volume ruang intrakranial, dan
merupakan tantangan utama di unit perawatan intensif. Tekanan intrakranial yang meningkat
secara konsisten dikaitkan dengan hasil yang buruk. Dalam ulasan studi cedera otak
traumatis, tingkat kematian adalah 18,4% untuk pasien dengan tekanan intrakranial kurang
dari 20 mm Hg tetapi 55,6% untuk mereka dengan tekanan intrakranial lebih dari 40 mm Hg.
Pemantauan ICP invasif dapat diindikasikan pada pasien yang memenuhi 3 kriteria
yaitu Pasien diduga berisiko mengalami peningkatan ICP, Pasien koma (GCS ≤8), dan
Prognosis dengan pengobatan ICU agresif. Penatalaksanaan medis pada pasien peningkatan
TIK yaitu Pemberian Manitol, Bantuan Pernapasan, Pemberian Analgesik dan Sedasi,
Hipotermia, Koma barbiturat, Terapi antihipertensi, dan Kraniektomi dekompresif.
38
40
DAFTAR PUSTAKA
Amri, I. (2017). Pengelolaan Peningkatan Tekanan Intrakranial. Jurnal Ilmiah Kedokteran, 4(3).
Batticaca, F. . (2008). Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem Persarafan.
Jakarta: Salemba Medika.
Black, J. M., & Hawks, J. H. (2005). Medical-Surgical Nursing, Clinical Management for
Positive Outcomes (7th ed.). St. Louis: Missiuri. Elsivier Saunders.
Chesnut, R., Temkin, N., & Carney, N. (2012). A Trial of Intracranial Pressure Monitoring in
Traumatic Brain Injury. N Engl J Med, 367, 2471–2481.
Drummond, J. C., & Patel, P. M. (2010). Neurosurgical Anesthesia (7th ed.). Philadelphia:
Churchill-Livingstone.
Heldt, T., Zoerle, T., Teichmann, D., & Stocchetti, N. (2019). Intracranial Pressure and
Intracranial Elastance Monitoring in Neurocritical Care, 21, 523–551.
Herdman, H., & Kamitsuru, S. (2018). Diagnosisi Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi 2018-
2020 (11th ed.). Jakarta: EGC.
Hudak, C. M., & Gallo, B. M. (2010). Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik: Volume 2 (6th
ed.). Jakarta: EGC.
Mayer, S. A., & Chong, J. Y. (2002). Critical Care Management of Increased Intracranial
Pressure. Journal Intensive Care Med, 17, 55–67.
Moorhead, S., Johnson, M., Maas, M. L., & Swanson, E. (2013). Nursing Outcomes
Classification (NOC) (5th ed.). Indonesia: Elsevier.
Morton, P. G., Fontaine, D., Hudak, C. M., & Gallo, B. M. (2017). Keperawatan Kritis
Pendekatan Asuhan Holistik: Volume 2 (8th ed.). Jakarta: EGC.
Sadoughi, A., Rybinnik, I., & Cohen, R. (2013). Measurement and Management of Increased
Intracranial Pressure. The Open Critical Care Medicine Journal, 6, 56–65.
Tarwoto, Wartonah, & Suryati, E. S. (2007). Keperawatan Medikal Bedah: Gangguan Sistem
Persarafan (1st ed.). Jakarta: Sagung Seto.
Treggiari, M., Schutz, N., & Romand, J. A. (2007). Role of Intracranial Pressure Values and
Patterns in Predicting Outcome of Traumatic Brain Injury: A Systematic Review. Neurocrit
Care, 6, 104–112.