Askep ICH Nanda
Askep ICH Nanda
19
INTERVENSI
D.0017 Setelah dilakukan tindakan keperawatan Pemantauan Neurologis 1. Mengetahui respon syaraf
selama 2x8 Jam masalah keperawatan Observasi : 2. Mengetahui dan mencegah
risiko perfusi serebral tidak efektif dapat 1. Monitor ukuran, bentuk, kesimetrisan, adanya penurunan kesadaran
diatasi dengan Kriteria hasil : dan reaktifitas pupil. 3. Mengetahui tanda-tanda vital
Perfusi Perifer (L.02011) 2. Monitor tingkat kesadaran pasien
Kriteria Hasil : 3. Monitor tanda-tanda vital 4. Mengetahui efektifitas
- Tingkat kesadaran meningkat 4. Monitor respon terhadap pengobatan. pengobatan
- Tekanan intrakranial menurun Terapeutik 5. Mencegah terjadinya syok dan
- Nilai rata-rata tekanan darah membaik 1. Tingkatkan frekuensi pemantauan penurunan kondisi karena TIK
- Kesadaran membaik neurologis, jika perlu 6. Mencegah resiko terjadinya
- Tekanan darah sistolik dan diastolic 2. Hindari aktivitas yang dapat peningkatan TIK
membaik meningkatkan tekanan intrakranial 7. Keluarga mengetahui tujuan
- Refleks saraf membaik Edukasi pemantauan
1. Jelaskan tujuan dan prosedur 8. Keluarga mengetahui hasil
pemantauan pemantauan yang dilakukan
2. Informasikan hasil pemantauan
20
D.0001 Setelah dilakukan tindakan keperawatan Manajemen jalan napas (I.01011) Observasi
selama 3x24jam, diharapkan bersihan jalan Observasi 1. Memantau pola nafas (frekuensi,
nafas meningkat dengan kriteria hasil: 1. Monitor pola nafas (frekuensi, kedalaman, usaha napas)
Bersihan jalan napas (L.01001) kedalaman, usaha napas) 2. Memantau adanya nafas tambahan
- Produksi sputum menurun 2. Monitor bunyi napas tambahan Terapeutik
- Wheezing menurun Terapeutik 3. Memberikan posisi yang nyaman
- Pola napas membaik 3. Posisikan semi fowler 4. Membantu pengeluran sputum
4. Lakukan fisioterapi dada 5. Mengurangi jumlah sputum
5. Berikan oksigen 6. Memenuhi kebutuhan oksigen
Kolaborasi Kolaborasi
6. Kolaborasi pemberian bronkodilator, 7. Mengencerkan sputum
expetoran,mukolitik jika perlu.
21
22
BAB III
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil pengkajian dan pemeriksaan penunjang pada pasien ditemukan bahwa
terdapat ICH dengan hasil CT SCAN edema perifokal pada ganglia basalis sinistra dan corona
radiata sinistra dengan tanda pasien mengalami penurunan kesadaran. Sehingga diagnosa utama
yang diteakkan adalah resiko perfusi serebral tidak efektif.
Menurut Vik (2008), peningkatan tekanan intrakranial merupakan penyebab utama
menyebabkan kematian dan disabilitas pasien cedera kepala, peningkatan TIK ini menimbulkan
iskemia, herniasi serebral dan kematian. Tindakan resusitasi, anamnesis, dan pemeriksaan fisik
umum serta neurologis harus dilakukan secara serentak (Mansjoer, 2012). Kraniotomi
merupakan operasi untuk membuka tengkorak (tempurung kepala) dengan maksud untuk
mengetahui dan memperbaiki kerusakan otak (Stocchetti, 2015). Kraniotomi merupakan
tindakan yang diindikasikan untuk mengatasi hematoma atau perdarahan otak, pengambilan sel
atau jaringan intrakranial yang mengganggu sistem neorologik dan fisiologis, pembenahan letak
anatomi intrakranial, dan mengatasi peningkatan tekanan intrakranial yang tidak terkontrol
(Wani, 2008).
Penatalaksanaan untuk memperbaiki perfusi serebral dan perbaikan aliran darah ke otak,
dengan cara menurunkan tekanan intrakranial yang meningkat, mempertahankan volume
intravaskuler normal, memelihara MAP (Mean Arterial Blood Pressure) yang normal, dan
mempertahankan hiperventilasi (Urden, 2010). Tindakan stabilisasi kardiovaskular dan fungsi
pernapasan untuk mempertahankan perfusi serebral adekuat, hemoragi terkontrol, hipovolemia
diperbaiki, dan nilai gas darah dipertahankan pada nilai yang diinginkan (Smeltzer, 2008). Pasien
pasca operasi biasanya diberi obat sedasi untuk mengendalikan rasa sakit, gelisah, dan kejang
yang berefek terjadinya penurunan kesadaran dan ketidaknyamanan akan peralatan life support
pada tubuh pasien (Morton, 2009). Hal ini dapat memicu cedera lain yang dapat timbul akibat
ketidaktepatan selama mengawasi pasien. Sehingga dibutuhkan alat untuk menjaga pasien dari
resiko cedera atau komplikasi berkelanjutan dari penatalaksaan perawatan yang dilakukan.
Restrain fisik adalah membatasi gerak yang bertujuan untuk meningkatkan kesehatan dan
kondisi (misalnya, hipoksemia) atau mencegah komplikasi dengan membatasi gerakan pasien
23
atau akses ke tubuhnya (Gerald, 2003). Restrain dibutuhkan untuk mencegah terjadinya cedera,
pencegahan pencabutan alat yang tidak disengaja, dan pengendalian gelisah (Morton, 2009).
Dalam penelitian Bir (2015), telah menunjukkan bahwa restrain yang tidak tepat dapat
mengakibatkan cidera fisik dan psikologis pada pasien.
Restrain fisik mengacu pada pembatasan pergerakan pasien. Di unit perawatan intensif
(ICU), restrain fisik adalah metode yang kontroversial digunakan untuk mengontrol perilaku
pasien dengan delirium dan agitasi, mencegah pasien mengeluarkan perangkat medis melekat
pada tubuh mereka (Kandeel, 2013). Dalam penelitian Acevedo (2018) menyatakan bahwa tanda
vital dan perangkat pendukung (tabung dan saluran) dapat dipertahankan tanpa menggunakan
pengekangan fisik pada pasien. Saat ini, metode baru sedang dikembangkan untuk mengurangi
penggunaan pengekangan fisik.
Hal tersebut sesuai dengan implementasi yang diberikan kepada pasien dilapangan
dimana pasien tidak hanya dilakukan monitoring terhadap hemodinamik dan peningkatan TIK
akan tetapi juga diberikan penanganan tambahan berupa strein untuk meminimalisir aktifitas
beresiko yang dilakukan pasien.
24
DAFTAR PUSTAKA
Ipaenin, R. (2018). Hubungan dukungan keluarga terhadap motivasi pasien pasca stroke selama
menjalani latihan fisioterapi di RS PKU Muhamadiyah Gamping Yogyakarta.
Retrieved from http://eprints.ums.ac.id/25264/
Mubarak, W. 2015. Buku Ajar Ilmu Keperawatan Dasar. Jakarta: Salemba Medika
Muttaqin, A. 2011. Pengkajian Keperawatan Aplikasi dan Praktik Kinik. Jakarta: Salemba
Medika
PPNI (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia. Defenisi dan Kriteria Hasil
Keperawatan. Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI
PPNI (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Defenisi dan Tindakan Keperawatan.
Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI
PPNI (2016). Standar Diagnostik Keperawatan Indonesia. Defenisi dan Indikator Diagnostik.
Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI
25