Anda di halaman 1dari 4

Nama : Margareta Gallu

Prodi : PAK
Semester : V (lima)
Nim : 0201-6-0210-18
Mk : Sejarah Gereja Indonesia
Dosen Pengampu : Humala S Sihombing, M.Th
Tugas Ringkasan 8-14
Dua Klasis berhenti melayani dan ratusan warga yang ada di desa dan kota dibantai. Ribuan
orang pun mengungsikan diri ke wilayah aman seperti Sulawesi Utara, Bali, dan Papua.
Akibatnya di Ambon dan beberapa tempat bekas kerusuhan muncul pembagian wilayah-wilayah
Islam dan Kristen yang sebenarnya sangat disayangkan, serta muncul trauma-trauma negatif
yang masih tertanam pada kedua pihak. Kini GPM bekerja keras tidak hanya untuk membangun
kembali gereja secara fisik tetapi juga secara mental dan spiritual. Dengan fokus membangun
kehidupan masyarakat Kristen yang berlandaskan teologi hidup dan semangat “pela gandong”
yang diharapkan dapat menyembuhkan luka-luka konflik dan kekerasan. Sehingga masyarakat
Kristen di Maluku khususnya warga GPM dapat kembali melanjutkan pelayanan dengan
semangat penginjilan yang teguh dan tidak terkungkung dalam kebodohan duniawi dengan salah
satu cara yakni; memberikan pelayanan Injil yang komprehensif di tengah masyarakat, seperti
tampak dari keikutsertaan dalam mencerdaskan anak-anak bangsa melalui penyelenggaraan
pendidikan.
Majelis Jemaat Indische Kerk dibentuk pula di Banda, yang berdampak, aktivitas
penginjilan di wilayah Maluku pun mulai kian marak dan intens dilakukan, khususnya melalui
peran Pendeta Adriaan Hulsebos, yang telah berupaya membuat pelayanan ke Ambon, namun
kapalnya tenggelam di Teluk Ambon, dia pun meninggal, dan misinya dilanjutkan oleh
Pendeta Rosskot (yang selanjutnya pula berperan dalam menyelenggarakan
Pendidikan Teologi pertama di Ambon, Maluku, maupun Indonesia).Ketika pekabaran Injil
sudah dilakukan secara sistematis di sejumlah daerah di Indonesia tidak demikian halnya di
Tanah Batak (Utara). Lothar Schreiner,dalam bukunya Adat dan Injil membuat tahapan sejarah
pengkristenan orang Batak denga merujuk pada tugas pelayanan Ingwer Ludwig Nommensen
dan di mulainya pekabaran Injil oleh RMG (Rheinische Mission Gesellschaft) di tanah Batak.
Berbicara tentang peradaban Batak, barangkali akan lain ceritanya jika Dr. Ingwer Ludwig
Nommensen tidak pernah menginjakkan kakinya di Tanah Batak. Siapakah dia dan mengapa ia
dijuluki sebagai “Apostel Batak, sekitar 20 kilometer dari Kota Tarutung, menuju arah Kota
Sibolga.
Impian Nommensen untuk menjadi penginjil sudah muncul sejak kecil, meski pada pada
masa-masa itu ia sudah terbiasa hidup sederhana. Dalam kesederhanaan itu, disebabkan
orangtuanya yang tunakarya dan sering sakit-sakitan, ia bahkan sering kelaparan karena tidak
punya makanan sehingga terpaksa mencari sisa-sisa makanan di rumah-rumah orang kaya
bersama teman-temannya. Maka, sejak usia 8 tahun pun ia sudah menjadi gembala upahan
hingga umur 10 tahun. Tapi, rintangan tak luput menghambat cita-cita mulia itu. Sekali waktu,
ketika berusia 12 tahun, Nommensen mengalami kecelakaan ketika berkejar-kejaran dengan
temannya dan tertabrak kereta kuda sehingga membuat kakinya lumpuh. Akan tetapi Tuhan
berkehendak lain.
Tapi ia tidak takut sebab janjinya kepada Tuhan harus dipenuhi. Sekali waktu ia pun berkata,
”Tidak mungkin, seujung rambut pun tidak akan bisa diambil kalau tidak atas kehendak Allah.”
Sebelumnya, setelah resmi diutus dari RMG Barmen ia terlebih dahulu menemui Dr. H. N. Van
der Tuuk, yang sebelumnya pada 1849 telah diutus oleh Lembaga Alkitab Belanda untuk
mempelajari Bahasa Batak. Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) mempunyai sejarah yang
cukup panjang bila dibandingkan dengan gereja-gereja Protestan lainnya di Indonesia. Berikut
ini sekilas perjalanan GMIT menurut catatan Ketua BP4S GMIT, Pdt. Yuda D. Hawu Haba,
M.Th yang dikirimkan ke Pos Kupang.
Sejarah GMIT telah dimulai sejak zaman Portugis (abad XVI) dan zaman VOC (abad
XVII-XVIII). GMIT tak terpisahkan dengan sejarah gereja-gereja di Indonesia pada umumnya.
Wilayah di mana Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) dianugerahi hak hidup bergerak dan
berkembang adalah seluas Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) kecuali Pulau Sumba dan
Sumbawa di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Termasuk Pulau Sumbawa karena warisan
masa lampau yakni bagian dari keresidenan Timor dan daerah taklukkannya.
Latar belakang tumbuhnya GMIT berawal dari kedatangan Injil ke Timor setelah ditemukannya
Pulau Timor secara tidak sengaja oleh Adapun sejarah pertumbuhan GMIT dapat terlihat dalam
babakan berikut ini. Pertama, permulaan tumbuhnya gereja diawali dengan Portugis, tahun 1556
-1613. Kedua, Gereja Protestan selama Pemerintahan Belanda tahun 1614-1842 yang terbagi atas
Masa Oud Hollandse (1614-1819); Masa Nederlandsche Zendeling Genootschaap (1814-1860);
Masa Indische Kerk (GPI) 1860-1942; Gereja di Timor pada masa pendudukan Jepang tahun
1942-1945; Situasi menjelang pembentukan GMIT dari tahun 1945 -1947 dan Gereja Masehi
Injili di Timor dari tahun 1947 sampai sekarang ini. Meski demikian, hal ini perlahan-lahan
mulai diatasi. Persatuan dan kesatuan yang sangat diperlukan untuk memanfaatkan kesempatan-
kesempatan pencapaian efisiensi pelayanan gereja di NTT merupakan persoalan bagi GMIT
Gereja Toraja lahir dan tumbuh dari hasil kegiatan pekabaran injil
misionaris Perhimpunan Pekabaran Injil Gereformeerd (Gereformeerde Zendingsbond-Belanda
(GZB)). GZB didirikan oleh satu aliran dalam tubuh Gereja Hervormd Belanda (NHK). GZB
mengutus penginjil dan guru-guru sekolah di kalangan suku Toraja. Pdt. A.A. van de
Loosdrecht menjadi misionaris pertama yang tiba di Rantepao, Sulawesi Selatan, pada 7
November 1913. Namun, tragis karena ia terbunuh di tempat itu. Atas kerja keras dan
pengorbanan mereka, terbentuklah jemaat-jemaat di berbagai tempat yang kemudian mendirikan
Gereja Toraja yang berdiri sendiri. Pada masa pemberontakan DI/TII Kahar Muzakar, banyak
anggota jemaat Gereja Toraja yang terbunuh. Tahun 2000, anggota jemaatnya sebanyak 375.000
orang. Saat ini, kantor Pusat Gereja Toraja terletak di Rantepao, Sulawesi Selatan. Gereja Toraja
kemudian tersebar di luar Toraja, seperti Makassar, Surabaya, Jakarta, dan kota lainnya hingga
luar negeri
Gereja Toraja adalah salah satu kelompok gereja Protestan di Indonesia yang bermula di
Tana Toraja, Sulawesi Selatan. Gereja ini adalah lembaga gereja terbesar di Sulawesi Selatan.
Meskipun memakai nama Toraja, Gereja Toraja terbuka bagi semua suku. Nama Gereja Toraja
awalnya adalah Gereja Kristen Toraja Makale dan Rantepao dan Gereja Toraja berdiri sendiri
(mandiri) pada tahun 1947 dengan nama Gereja Kristen Toraja Makale dan Rantepao. Gereja ini
berbentuk Presbiterial Sinodal yang berarti pengaturan tata hidup dan pelayanan gereja yang
dilaksanakan oleh para presbiter (penatua, pendeta, dan diaken) dalam suatu jemaat dengan
keterikatan dan ketaataan dalam lingkup yang lebih luas (klasis, sinode wilayah, dan sinode).
Papua memiliki kurang lebih 251 suku dan sub suku dengan ragam budaya yang berbeda.
Keragaman budaya ini terbentuk oleh beberapa sistem yang berkembang di setiap
masyarakatnya. Tidak mengherankan bila banyak ditemukan perbedaan diantara keragaman
budaya Papua. Sebelum masuknya agama samawi ke Papua, masyarakat di Papua telah memiliki
kepercayaan atau “agama” sendiri. Masyarakat Papua memiliki kepercayaan, bila dalam
kehidupan ini mereka dilindungi oleh roh nenek moyang. Masing-masing suku bangsa
mempunyai kepercayaan tradisi yang percaya akan adanya satu dewa atau tuhan yang berkuasa
diatas dewa-dewa. Misalnya pada orang Biak Numfor, dewa tertingginya “Manseren Nanggi”;
orang Moi menyebut “Fun Nah”; orang Seget menyebut “Naninggi”; orang Wandamen
menyebut “Syen Allah”.

Anda mungkin juga menyukai