Limbah Nikel (slag) merupakan material buangan dari proses peleburan bijih nikel di smelter yang awalnya berwujud cair namun akan akan mengeras setelah mendingin akibat kontak dengan air/udara.
Slag cair ini dikeluarkan melalui slag runner dalam keadaaan suhu tinggi (±1550°C).
Pendinginan slag ini dibagi
atas 2 metode: 1. Pendinginan mendadak: disemprot dengan air bertekanan tinggi untuk memecah ukuran slag sehingga berbentuk granule (butiran). 2. Pendinginan natural dengan udara: ukuran butir slag nikel dapat diatur dengan pemecah batu (stone crusher).
Nah, menanggapi pro kontra pemanfaatan slag untuk dijadikan bahan perkerasan jalan, maka slag dari kedua metode ini dianalisis untuk mengetahui kelayakannya, hasilnya:
Slag dari metode
pendinginan mendadak • Sifat fisiknya yang bulat (rounded) membuat kemampuan interlocking antar agregatnya lemah • Bidang pecah/angularitas rendah. • Nilai kekuatan daya dukung lapisannya rendah. Diuji melalui tes California Bearing Ratio (CBR) hasilnya di angka 34%, tidak memenuhi syarat untuk dijadikan lapisan fondasi melainkan hanya cukup digunakan untuk bahan timbunan.
Slag dari pendinginan alami/menggunakan udara • Kelebihan slag yang mendingin alami dengan udara adalah saat sudah mengeras, angularitas dan ukuran butirnya bisa diatur melalui stone crusher.
• Nilai CBR nya juga lebih besar (115%) di atas
90% yang mana menandakan slag jenis ini bisa digunakan untuk lapis base fondasi jalan.
Untuk mengetahui komposisi zat berbahayanya, maka dilakukan uji zat berbahaya dalam limbah atau Toxicity Characteristic Leaching Procedure (TCLP) yang ternyata kandungan limbah berbahaya pada slag nikel di bawah acuan TCLP-B sehingga aman untuk dimanfaatkan sebagai bahan jalan secara langsung.
Memang saat ini di beberapa daerah masyarakat sudah memanfaatkan slag nikel ini sebagai paving block dan batako, namun penyerapannya masih sangat minim di angka 1% mengingat ada lebih dari 13 juta ton slag yang dihasilkan di Indonesia setiap tahunnya.