Anda di halaman 1dari 105

Pengelolaan Persampahan

Menuju Pembangunan Berkelanjutan

PENULIS
Laili Fitria

EDITOR
Maswadi

PENERBIT
UNTAN PRESS
Anggota Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) No. 004/KLB/03
Anggota Asosiasi Penerbitan Perguruan Tinggi Indonesia (APPTI)
No. 004.099.7.08.2019

ALAMAT
Jalan Daya Nasional 78124
No Hp : 0852 4569 6999 ( Dr. Maswadi, M.Sc)
Email : untanpress@untan.ac.id

DICETAK OLEH
Pusat Ketahanan Jurnal dan Penerbitan (PKJP)
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat
Universitas Tanjungpura

CETAKAN PERTAMA - 2020


ISBN : 978 - 623 - 7571 - 20 – 9

COPYRIGHT © 2020
Hak Cipta dilindungi undang-undang
Dilarang mengutip dan/atau memperbanyak tanpa izin tertulis dari
Penerbit sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun.

i
PRAKATA

Puji syukur dipanjatkan kepada Allah SWT karena


berkat Rahmat-Nya buku ini dapat selesai penyusunannya.
Saat ini sampah di Indonesia sebagian besar terdiri dari
sampah domestik. Perilaku membuang sampah tentunya
berkaitan erat dengan gaya hidup dan pola perilaku
masyarakat. Sampah juga menjadi sumber potensial sebagai
sumber pencemaran badan air. Hingga saat ini, pengelolaan
persampahan di Indonesia masih mengacu pada PERMEN
PU 3/2013 tentang Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana
Persampahan (PSP) dalam Penanganan Sampah Rumah
Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga.
Dalam rangka menyebarluaskan pengetahuan
mengenai pengelolaan persampahan di Indonesia, maka
penulis menyusun buku “Pengelolaan Persampahan
Menuju Pembangunan Berkelanjutan”. Buku ini
membahas tentang teori mengenai persampahan, sistem
ekonomi melingkar, pengaplikasian pengelolaan
persampahan saat ini serta perancangan mengenai
pengelolaan sampah di masa depan sehingga sejalan dengan
pembangunan berkelanjutan.

ii
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Rektor
Untan, Dekan Fakultas Teknik, Ketua Jurusan Teknik
Lingkungan, rekan-rekan di Kelompok Bidang Keahlian
Teknologi dan Rekayasa Lingkungan Fakultas Teknik Untan,
Dosen Prodi Teknik Lingkungan dan tentunya Mahasiswa
Teknik Lingkungan Universitas Tanjungpura. Buku ini juga
terwujud atas dukungan keluarga, terima kasih khususnya
bagi Abah dan Ibu, H. Mahdi dan Dra. Hj. Sufiatun, S.Pd,
MPd, serta adik-adik, Iqbal, S.Kom dan Rizqy Fachria, S.Si,
M.Si. Terima kasih juga disampaikan kepada mahasiswa
yang telah dibimbing skripsinya mengenai sampah di Kota
Pontianak, yakni Atni Asdiantri (Teknik Lingkungan 2012)
dan Fitra Mutia Khanza (Teknik Lingkungan 2014), Bella Tri
Andriastuti (Teknik Lingkungan 2015), serta mahasiswa
program studi Teknik Lingkungan yang mengambil Mata
Kuliah Pengelolaan Persampahan Kelas B tahun 2019 yang
ikut andil dalam pengambilan beberapa data mengenai
pengelolaan persampahan di Kota Pontianak (Teknik
Lingkungan angkatan 2017 dan sebagian angkatan 2016).
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah membantu dalam penyelesaian buku ini.
Dengan terbitnya buku ini, diharapkan menjadi sumber
informasi dan referensi bagi mahasiswa teknik lingkungan,
iii
instansi pemerintah, instansi swasta, praktisi teknik
lingkungan, serta professional yang membutuhkan informasi
terkait dengan pengelolaan persampahan. Penulis membuka
kesempatan seluas-luasnya untuk konsultasi, bertanya, atau
sekedar berbagi informasi melalui email:
fitria.laili@gmail.com. Semoga buku ini bermanfaat bagi
pembaca.

Pontianak, Juli 2020

Laili Fitria, ST, MT

iv
DAFTAR ISI Commented [D1]: Penulisan 1.1 pendahuluan berbeda
dari yang lain.
Prakata………………………………………………..……….ii
Daftar Isi………………………………………..…….……....v
Bab 1 Mengenal tentang Sampah.............................................. 1
1.1 Pendahuluan .................................................................... 1
1.2 Bencana Sampah ............................................................. 6
Bab 2 Jenis dan Metode Kelola Sampah................................. 11
2.1 Jenis Sampah ................................................................. 11
2.2 Komposisi Sampah ........................................................ 23
2.3 Teknik Pengolahan Sampah .......................................... 23
Bab 3 Kompleksitas Manajemen Sampah .............................. 28
3.1 Manajemen Sampah ...................................................... 28
3.2 Pengelolaan Sampah di Pontianak ................................ 42
3.3 Belajar dari Berbagai Negara ........................................ 53
Bab 4 Inovasi Pengelolaan Sampah ........................................ 66
4.1 Inovasi pengelolaan sampah di Indonesia ..................... 66
Bab 5 Ekonomi Sirkular dan Sampah ..................................... 84
5.1 Ekonomi Sirkular .......................................................... 84
5.2 Sampah ke Energi (Waste to Energy)............................ 88
DAFTAR PUSTAKA ............................................................. 94
GLOSARIUM ………………………………………….……vi
INDEKS …………………………………………….……….ix

v
Bab 1
Mengenal tentang Sampah

1.1 Pendahuluan
Berbicara tentang sampah tidak akan ada habisnya. Masalah ini
selalu ada dalam daftar isu yang digaungkan oleh para pegiat
lingkungan. Permasalahan sampah yang terjadi hingga saat ini
memiliki sejarah perjalanan yang panjang dan masif. Miller
(2010) menjelaskan bagaimana permasalahan sampah ini bisa
tumbuh menjadi masalah global. Sebelum revolusi industri 1.0
pada tahun 1750, manusia pernah memiliki kebiasaan hidup yang
berkelanjutan. Manusia yang hidup sebelum masa industrialisasi
terbiasa membuat produk berkualitas yang tahan lama. Jika
terjadi kerusakan, manusia akan memperbaiki barang ketimbang
menggantinya dengan barang baru. Sampah yang dihasilkan pun
sangat kecil dan dapat terurai (biodegradable).

Susan Strasser, seorang sejarawan menceritakan pola konsumsi


masyarakat di masa sebelum revolusi 1.0. Pola konsumsi yang
mengurangi jumlah sampah yang dihasilkan. Dulu, pedagang
yang menjual makanan atau produk pembersih akan

1
menggunakan kemasan besar dan pembeli dapat melakukan isi
ulang. Para ibu rumah tangga pun sangat berperan dalam
mengurangi sampah. Makanan sisa di rumah akan dipanaskan
kembali dan diberikan kepada hewan peliharaan. Kebiasaan ini
tentu mengurangi jumlah sampah sisa makanan yang dibuang.

Pola konsumsi lain yang diterapkan adalah memperpanjang umur


pakai suatu barang. Barang yang rusak tidak akan langsung
dibuang, tapi mereka coba untuk memperbaikinya terlebih
dahulu. Jika memang sudah rusak, barang itu akan digunakan
kembali sebagai mainan anak-anak atau dijual kepada pemulung
barang bekas. Beberapa barang bekas yang dapat dijual adalah
kain, kertas, potongan logam atau kayu, botol dan apa pun yang
dapat didaur ulang. Kain katun bekas akan dihancurkan dan
didaur ulang menjadi kertas. Botol kaca dapat dijual ke produsen
untuk digunakan kembali.

Sayangnya, pola konsumsi berubah ketika dimulainya revolusi


industri 1.0, dimana tenaga kerja manusia di industri manufaktur
digantikan oleh mesin. Proses produksi masal dan distribusi
masal pun dikembangkan. Tidak hanya di sisi produksi,
perekonomian para konsumen pun meningkat, sehingga daya beli
masyarakat meningkat. Banyak orang yang mulai membeli lebih
dari yang mereka butuhkan dan mengganti barang rusak dengan

2
yang baru. Pada masa ini, manusia mulai berhenti melihat nilai
dalam barang yang rusak. Mereka mulai melihatnya hanya
sebagai sampah yang tidak perlu diperbaiki kembali. Para
produsen pun mulai beralih. Sebelumnya, perusahaan banyak
yang menggunakan material daur ulang untuk kemasan. Setelah
ditemukannya teknoogi baru, mereka lebih memilih
menggunakan pulp kayu sebagai bahan kertas bukan kain bekas,
botol plastik untuk mengemas minuman bukan botol kaca yang
dapat dikembalikan lagi. Hal ini menyebabkan jalan buntu bagi
barang bekas tersebut. Sistem lup dan berkelanjutan digantikan
oleh sistem yang linier satu arah oleh revolusi industri.

Sistem ini terus berlangsung dari tahun 1900 hingga saat ini,
tahun 2020. Akibatnya jumlah sampah yang dihasilkan
meningkat tiga kali lipat. Sampah yang dihasilkan tidak dapat
tertampung seluruhnya oleh tempat pembuangan akhir (Swaroop,
2020). Permasalahan sampah tidak hanya soal ruang, tapi juga
melebar dari permasalahan estetika hingga kesehatan manusia.
Permasalahan yang diakibatkan oleh sampah dibahas di bawah ini
(Pichtel, 2010). :

3
1. Merusak estetika

Sampah yang dibuang tidak pada tempatnya akan merusak


estetika lingkungan. Menganggu pemandangan lingkungan di
sekitar dan menimbulkan bau tidak sedap.

2. Menyuburkan vektor penyakit

Sampah organik yang tertimbun bersama sampah anorganik


akan menjadi tempat tinggal yang baik bagi hewan. Misalnya,
lalat, tikus, kecoa, kucing, anjing dan sebagainya. Hewan ini
sering membawa penyakit menular kepada manusia. Kejadian
wabah “The Black Death” yang terjadi pada tahun 1347,
merupakan wabah luar biasa yang diakibatkan buruknya
manajemen pengelolaan sampah. Masyarakat Inggris dulunya
biasa membuang sampah langsung ke sungai. Ini menjadi
awal dimulainya wabah. Kemudian wabah menyebar cepat
melalui kutu tikus yang tinggal di tempat kotor. Selama kurun
waktu lima tahun, yakni dari tahun 1347-1352, 25 juta warga
Eropa meninggal akibat wabah ini. Kondisi sanitasi yang
buruk menjadi faktor utama berkembangnya penyakit.

3. Mencemari sumber air


Lindi atau leachate, sebagai efek pembilasan dan penguraian
biologis dari timbunan sampah berpotensi mencemari badan

4
air sekelilingnya, terutama air tanah. Pencemaran air tanah
oleh lindi merupakan masalah terberat yang dihadapi dalam
pengelolaan sampah di Indonesia. Sebuah penelitian air lindi
di India (Mor et al., 2006) menunjukkan bahwa air tanah yang
lokasinya tidak jauh dari tempat pemrosesan akhir memiliki
konsentrasi EC, TDS, Cl−, SO2−4, NO −3
, Na+ dan Fe yang
cukup tinggi. Tapi, ada beberapa parameter lain yang tidak
melebihi standar air minum. Sayangnya dampak dari
menggunakan air ini baru terlihat dalam rentang waktu yang
cukup lama, sehingga seringkali diabaikan.

4. Menyumbat saluran
Sampah yang dibuang langsung ke sungai tentu akan
menyumbat saluran air hujan maupun sungai. Akibatnya
dapat terjadi banjir yang dapat terus berulang. Banjir yang
terjadi di Jakarta tiap tahunnya seringkali dihubungkan
dengan persoalan sampah.

5. Keracunan
Sampah plastik seperti kantong plastik, balon, botol, bentuk
kemasan lainnya dapat masuk ke dalam rantai makanan.
Plastik dibuang tidak dapat terurai secara sempurna, tetapi
dapat terdegradasi menjadi mikroplastik dan dimakan oleh
5
hewan di laut. Kemudian para ikan itu pun dimakan oleh
manusia. Mikroplastik yang masuk ke tubuh manusia
dikhawatirkan dapat menimbulkan penyakit. Tidak hanya
manusia, banyak hewan, seperti penyu dan burung yang
mengira plastik sebagai makanan mereka. Alhasil perut
mereka dipenuhi oleh sampah plastik dan berujung kematian.

1.2 Bencana Sampah


Tidak hanya sampai disitu, sampah juga pernah menyebabkan
bencana longsor hingga memakan korban jiwa. Tabel 1.1
menunjukkan daftar kejadian longsor sampah yang pernah terjadi
di dunia. Kejadian longsor sampah ini sering terjadi di kawasan
tempat pembuang akhir yang menggunakan sistem open
dumping. Salah satu sistem pengolahan sampah paling kuno.
Sistem ini pertama kali diterapkan oleh masyarakat Minoan pada
8000-9000 tahun sebelum masehi. Sampah yang telah
dikumpulkan dibuang dalam suatu lahan besar yang jauh dari
pemukiman, kemudian ditutup dengan tanah. Hingga saat ini
praktek open dumping masih diterapkan di negara maju maupun
berkembang. Namun, sayangnya pengelolaan sampah Tempat
Pemrosesan Akhir (TPA) yang buruk menjadi bencana bagi
manusia.

6
Pada tanggal 10 Juli 2000, pukul 4:30 am, terjadi bencana longsor
sampah di TPA Payatas, Kota Quezon, Filipina. Tragedi ini telah
memakan korban jiwa sedikitnya 278 orang yang tinggal di lereng
TPA. Salah satu yang menjadi penyebabnya adalah tingginya
tumpukan sampah yang sudah mencapai 18 m sampai 40 m.
Kemudian, kondisi ini diperparah dengan hujan deras dan angin
topan. Berdasarkan hasil investigasi dari Jafari, Stark and Merry
(2013), longsor ini disebabkan kemiringan lereng sampah
tersebut, kandungan air lindi dalam tumpukan sampah dan gas
metan dari dekomposisi sampah organik. Peristiwa longsor
sampah ini menjadi bencana sampah paling parah di dunia.

Ternyata tidak hanya di Filipina. Kejadian serupa juga terjadi di


Indonesia. Pada tanggal 21 Februari 2005, pukul 2.00 am WIB,
terjadi longsor sampah pada timbunan sampah yang memiliki
tinggi lebih kurang 30 meter di TPA Leuwigajah, Jawa Barat.
Bencana ini menyebabkan 147 orang yang tinggal di sekitar TPA
meninggal dunia dan rumah warga tertimbun sampah. Peneliti
menyimpulkan, longsor sampah disebabkan oleh hujan deras
yang mengguyur Bandung dan ledakan akibat biogas yang
dihasilkan dari tumpukan sampah organik. Kejadian longsor
sampah di Indonesia menjadi bencana sampah terparah kedua
setelah bencana di Filipina. Sebenarnya, kejadian ini bisa terjadi

7
di negara maju maupun berkembang. Namun, hanya di negara
berkembang yang memakan korban jiwa hingga sebanyak ini.
Bisa jadi akibat pengelolaan sampah di lapangannya yang buruk
atau pembiaran terhadap masyarakat yang tinggal di sekitar TPA.

Gambar 1. 1 Lokasi TPA Payatas di Filipina (Jafari, Stark and


Merry, 2013)

8
Tabel 1. 1 Daftar peristiwa longsor sampah di dunia, longsor
sampah di Leuwigajah menjadi nomor dua paling parah di dunia
No Lokasi Tahun Fatalitas
1 Payatas, Manila, Filipina 2000 278
2 Leuwigajah, Bandung, Indonesia 2005 147
3 Belo Horizonte, Brazil 1992 > 100
4 Istanbul, Turki 1993 39
5 Bantargebang, Bekasi, Indonesia 2006 28
6 Bogor, Jawa Barat, Indonesia 2010 4
7 Cianjur, Jawa Barat, Indonesia 2013 1
8 Tuban, Jawa Timur, Indonesia 2012 1
9 Bantargebang, Bekasi, Indonesia 2012 1
10 Atena, Yunani 1997 -

Sumber : (Lavigne et al., 2014)

Perstiwa di Leuwigajah menjadi momentum dimulainya


kesadaran masyarakat Indonesia terhadap sampah yang mereka
hasilkan. Kemudian, sejak 21 Februari 2006 pemerintah
menetapkannya sebagai Hari Peduli Sampah Nasional.
Tujuannya adalah mengingat peristiwa di TPA Leuwigajah dan
evaluasi tahunan. Sudah sampai mana kemajuan Indonesia untuk
mencapai Indonesia bebas sampah.

9
Fakta sampah

Kapal kargo Mobro bermuatan sampah dari New York yang mencari tempat
penampungan
Negara maju, seperti Amerika dan lainnya sering mengekspor sampah mereka ke
negara berkembang, seperti Indonesia, Filipina, Malaysia, maupun negara di
Afrika. Pada tahun 1987, sebuah kapal dari kargo Mobro membawa 3200 ton
sampah dari kota Islip, New York melewati 9.656 km selama 6 bulan mencari
tempat untuk membuang sampahnya. Rencananya sampah ini akan dibawa ke
kota Morehead,Carolina. Ada oknum yang sepakat untuk menerima sampah
tersebut. Namun pemerintah setempat memutuskan untuk menolak kargo
tersebut. Kemudian Mobro mencari daerah lain yang sekiranya mau menerima
muatan sampah dari kapalnya, seperti Meksiko, Bahama, Belize. Namun, semua
pemerintah daerah setempat menolak untuk menerima muatan sampah dari New
York. Akhirnya, kapal kargo Mobro kembali ke New York dan memutuskan
untuk membakar semua sampah tersebut. Peristiwa ini juga menjadi peringatan
bagi semua negara bahwa mereka bertanggung jawab atas sampahnya masing-
masing dan membutuhkan sistem pengelolaan sampah yang baik. Sayangnya
praktek ekspor impor sampah dari negara maju ke negara berkembang ini pun
masih berlangsung hingga sekarang. Pada akhir tahun 2019 hingga awal 2020
negara Indonesia dan Malaysia memulangkan beratus kontainer berisi sampah
elektronik, rumah tangga, bahkan B3 ke negara asal. Sampah tersebut sebagian
besar berasal dari Amerika, Inggris, Jerman, Australia dan negara lainnya.
Bahkan Filipina dan Kanada sempat bersitengang perihal ekspor sampah pada
tahun 2013.

Sumber : Miller (2010); mediaindonesia.com

10
Bab 2
Jenis dan Metode Kelola
Sampah

2.1 Jenis Sampah


Bab 2 ini akan menjelaskan pengelompokan sampah berdasarkan
klasifikasi tertentu. Sampah atau limbah padat merupakan produk
sampingan yang tidak dapat dimanfaatkan lagi oleh konsumen
atau pengguna produk. Bentuknya bisa berupa sampah, buangan,
lumpur, dan bahan padat lainnya yang dihasilkan dari aktivitas
produksi industri, komersial atau kegiatan masyarakat. Namun,
tidak termasuk bahan padat atau senyawa yang terlarut dalam
limbah rumah tangga atau polutan yang sering ditemui di
perairan. Saat ini sampah dianggap memiliki nilai ekonomi yang
negatif, artinya biaya pembuangannya lebih murah daripada
biaya penggunaannya.

11
Bahan baku Energi
sekunder

Bahan baku
primer Proses Produk Konsumsi

Limbah/sisa bahan
yang terbuang

Gambar 2. 1 Proses pembentukan limbah atau buangan


(dimodifikasi dari Damanhuri, 2016)

Jenis dan sifat limbah yang dihasilkan dipengaruhi oleh bahan


baku, energi dan produk yang akan dihasilkan. Misalnya, ketika
memasak nasi. Dalam proses tersebut, beras akan menjadi bahan
baku primernya, air sebagai bahan baku sekundernya, panas
sebagai energi yang akan merubah beras menjadi nasi. Beras tidak
dapat dimasukkan langsung ke dalam penanak nasi, harus
dilakukan pencucian dengan air terlebih dahulu. Maka air cucian
beras ini menjadi limbah yang tidak habis dikonsumsi
(Damanhuri dan Padmi, 2016).

12
Limbah produksi dapat dibagi menjadi lima kelompok
berdasarkan proses terbentuknya limbah. Pengelompokan ini
dipengaruhi oleh bahan baku primer, sekunder, energi dan proses
produksi (Damanhuri, 2016).
1. Limbah yang berasal dari bahan baku. Kelompok limbah
ini hanya mengalami transformasi fisik, seperti
pemotongan bahan baku. Namun tidak terjadi perubahan
secara kimiawi maupun biologis. Limbah kategori ini
masih dapat dimanfaatkan kembali. Misalnya, serpihan
kayu hasil gergaji yang dapat dimanfaatkan sebagai media
tanaman.
2. Limbah dari hasil samping proses produksi yang telah
mengalami perubahan fisik, kimia dan biologi. Limbah
dapat terbentuk akibat kesalahan ataupun proses
berlangsung tidak optimum, sehingga menghasilkan
senyawa sampingan. Proses transformasi limbah
menyebabkan sifat limbah berbeda dari bahan bakunya.
3. Limbah yang terbentuk akibat dari bahan baku sekunder
yang tidak ikut dalam proses pembentukan produk.
Kelompok limbah ini biasanya dihasilkan dalam jumlah
besar, misalnya air buangan dari proses pencucian.
4. Limbah yang berasal dari hasil samping proses
pengolahan limbah. Proses pengolahan limbah tidak dapat
13
mentransformasi semua limbah menjadi non limbah.
Selalu saja ada produk samping yang dihasilkan dari tiap
proses pengolahan. Contoh limbah dari kategori ini
berupa partikulat, gas, dan abu (hasil dari insenerator),
lumpur (unit pengolah limbah cair) atau limbah cair
(proses lahan uruk menghasilkan air lindi).
5. Limbah yang berasal dari bahan samping pemasaran
produk, bukan dari proses produksi. Contoh limbah dalam
kategori ini bisa berupa kemasan produk, seperti kertas,
plastik, kayu, logam, dan sebagainya. Limbah jenis ini
dapat dimanfaatkan kembali sesuai fungsinya semula atau
diolah terlebih dahulu agar menjadi produk baru. Sampah
di perkotaan banyak mengandung limbah jenis ini.

Selain kelima kelompok di atas, limbah/sampah juga sering


diklasifikasikan berdasarkan sumbernya. Pemerintah melalui
dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 97 Tahun
2017 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan
Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah
Tangga mengelompokkan sampah menjadi dua kelompok besar,
yaitu sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah
tangga. Sampah Rumah Tangga adalah sampah yang berasal dari
kegiatan sehari-hari dalam rumah tangga yang tidak termasuk
14
tinja dan sampah spesifik. Kelompok kedua adalah sampah
sejenis sampah rumah tangga, yang berasal dari aktivitas dari
kawasan kawasan komersial, kawasan industri, kawasan khusus,
fasilitas sosial, fasilitas umum, dan/atau fasilitas lainnya.

Klasifikasi sampah penting untuk dipahami agar memudahkan


proses menajemen sampah, teknik pengelolaan sampah, dan
mengetahui siapa yang akan bertanggungjawab. Beberapa
penggolongan sampah berdasarkan sumber secara lebih rinci
dijelaskan pada bagian berikut (Pichtel, 2010) :
1. Sampah domestik
Sampah domestik atau sampah rumah tangga berasal dari
komunitas masyarakat yang tinggal di suatu kawasan.
Sampah bisa berasal dari pemukiman, kelembagaan
industri atau kelembagaan pemerintah. Sampah ini
bersifat sangat heterogen, menyesuaikan aktivitas dari
tiap sumber. Contoh dari sampah domestik adalah
peralatan rumah tangga yang sudah rusak, surat kabar,
kertas kantor, wadah atau kemasan, sampah organik dari
sisa makanan, dan sampah anorganik. Agar memudahkan
pengelolaannya, sampah domestik dibagi menjadi dua
kategori, yaitu sampah basah (garbage) dan sampah
kering (rubbish). Sampah basah bisa berupa sisa makanan
15
yang berasal dari tanaman maupun hewan. Sampah basah
dapat terurai cengan cepat melaui reaksi mikroba, namun
sering menimbulkan bau busuk bahkan menghasilkan gas
berbahaya. Ledakan di lahan pembuangan bisa terjadi
karena reaksi penguraian sampah basah yang
menghasilkan gas metan. Sampah kering adalah sampah
domestik selain limbah makanan. Biasanya sampah
kering ini bersifat mudah terbakar, seperti kertas kantor,
koran, dan kemasan makanan.

2. Limbah yang mengandung bahan berbahaya dan beracun


(B3)
Limbah berbahaya dan beracun dapat didefinisikan
sebagai setiap limbah atau campuran limbah yang
menyebabkan munculnya senyawa yang berpotensi
membahayakan kesehatan manusia atau organisme hidup
lainnya. Senyawa ini tidak dapat terurai di alam, namun
terus terakumulasi dalam jangka waktu yang lama. Maka,
limbah B3 dengan kuantitas, konsentrasi, karakteristik
fisik, kimia dan infeksi dapat membahayakan makhluk
hidup seperti menyebabkan penyakit atau meninggal.
Suatu limbah diklasifikasikan sebagai B3 jika memiliki
sifat mudah terbakar (titik nyala 60° C), korosif, reaktif
16
dan toksik. Contohnya adalah bahan residu dari pelarut
dalam proses electroplating atau penyulingan minyak
bumi.

3. Sampah industri
Miliaran ton limbah padat dihasilkan dari pabrik industri
manufaktur. Jumlahnya berkali-kali lipat leih besar dari
jumlah sampah domestik. Sampah industri banyak berasal
dari industri pulp dan kertas, industri besi dan kimia.
Biasanya perusahaan industri ini diwajibkan untuk
mengelola sampah buangan mereka yang dihasilkan.

4. Medis
Limbah medis adalah limbah yang dihasilkan dari proses
administrasi dan pelayanan medis atau penelitian di
fasilitas kesehatan maupun lembaga medis. Lembaga
yang menghasilkan limbah medis paling banyak adalah
rumah sakit; kantor dokter, dokter gigi, dan dokter hewan;
klinik laboratorium, bank darah; dan rumah pemakaman.
Contoh limbah yang dihasilkan adalah limbah patologis
(jaringan, organ, bagian tubuh, cairan tubuh); limbah
darah manusia dan produk darah; benda tajam (jarum
hipodermik, jarum suntik, pisau pisau bedah) untuk
17
perawatan hewan atau manusia untuk pelayanan medis,
penelitian, atau laboratorium industri; limbah hewan
(karkas terkontaminasi, bagian tubuh, dan tempat tidur
hewan terkena agen menular); dan limbah isolasi (bahan
yang terkontaminasi dengan cairan dari manusia memiliki
penyakit menular. Maka, dalam pengelolaannya, semua
limbah medis yang dihasilkan dianggap menular dan
harus dilakukan pengolahan secara hati-hati.

5. Elektronik
Sampah elektronik (e-waste) akan mencakup peralatan
elektronik dari konsumen maupun perusahaan, berupa
produk utuh, bagian komponen, dan aksesori yang telah
mendekati akhir masa manfaatnya karena telah usang atau
rusak. Contoh umum dari sampah elektronik adalah
komputer pribadi (termasuk keypad dan mouse), printer,
ponsel, televisi, perekam kaset video, stereo, mesin
fotokopi, atau mesin faks. Sebelumnya sampah elektronik
tidak terlalu dipermasalahkan, hingga tahun 1990.
Pertumbuhan ekonomi dan teknologi yang cepat tidak
diikuti dengan daur ulang sampah elektronik. Hal ini
dapat menimbulkan masalah. Bagian yang berbahaya dari
sampah elektronik adalah logam berat yang
18
dikandungnya, seperti kadmium, kromium, merkuri,
timah dan lainnya. Sebenarnya produk sampah elektronik
ini dapat digunakan kembali atau didaur ulang. Namun,
hanya 13,6% komputer rusak yang didaur ulang dan
sisanya hanya ditimbun di TPA. Hal ini disebabkan proses
pemisahan bagian-bagiannya yang sulit.

Gambar 2. 2 Limbah elektronik yang dibuang di lahan


terbuka
6. Konstruksi
Saat membangun atau merenovasi bangunan rumah,
kantor, jalan, jembatan dan konstruksi lainnya, ada
sampah yang dihasilkan. Komponen sampah dari
konstruksi dapat berupa sisa beton, aspal, kayu, logam,
gipsum, atau atap. Adapula sampah dari pembersihan

19
lahan seperti batang pohon, batuan dan tanah juga
termasuk sampah dari konstruksi.

Gambar 2. 3 Limbah radioaktif yang dapat


membahayakan kesehatan

7. Limbah radioaktif
Radioaktif adalah atom tertentu dengan inti yang
mengalami peluruhan, sehingga bersifat tidak stabil.
Atom tersebut melepaskan energi dari inti agar mencapai
kondisi yang stabil. Radiasi yang dipancarkan dapat
berupa partikel atau gelombang elektromagnetik yang
mirip dengan x-ray. Sifat radioaktif yang
mengkhawatirkan adalah kemampuannya untuk
menimbulkan dampak tertentu dari kejauhan dan sifatnya
yang dapat menembus jaringan makhluk hidup. Radiasi
20
yang dilepaskan berpotensi membahayakan kesehatan,
bisa menyebabkan mutasi genetik dan kanker. Limbah
radioaktif dihasilkan dari industri tertentu yang
menggunakan bahan radioaktif. Misalnya, pembangkit
listrik tenaga nuklir, fasilitas senjata nuklir, dan fasilitas
pengolahan limbah nuklir. Limbah radioaktif juga
diproduksi oleh laboratorium penelitian atau fasilitas
medis. Namun, limbah radioaktif tingkat tinggi dihasilkan
di pabrik nuklir oleh fusi inti uranium.

8. Pertambangan
Limbah yang berasal dari pertambangan bisa berupa
tanah, atau lapisan batuan dari pembukaan lapisan tanah.
Kemudian limbah dari proses peleburan maupun
pemurnian.

9. Limbah pertanian
Pertanian yang dimaksud adalah pertanian secara luas,
maka peternakan dan budidaya ikan pun masuk dalam
limbah pertanian ini. Limbah pertanian sebagian besar
berasal dari bagian hewan maupun tanaman yang tidak
dapat dimanfaatkan langsung. Selain itu, wadah kemasan
pestisida dan bahan pertanian lainnya juga menjadi bagian
21
dari limbah pertanian. Sebagian besar limbah pertanian
sebenarnya dapat didaur ulang langsung ke permukaan
tanah. Namun, jika suatu kawasan kecil memiliki berbagai
ragam bentuk pertanian dengan skala besar akan
menimbulkan masalah.

Tabel 2. 1 Komposisi sampah rata-rata yang dihasilkan


kota-kota besar Indonesia

No. Komponen Komposisi (%)


1. Organik atau sampah 73,98
makanan
2. Kertas dan karton 10,18
3. Kaca 1,75
4. Plastik 7,86
5. Logam 2,04
6. Kayu 0,98
7. Tekstil 1,57
8. Karet 0,55
9. Baterai 0,29

22
2.2 Komposisi Sampah
Komponen dan sifat sampah akan menggambarkan
keanekaragaman sampah yang dihasilkan oleh masyarakat.
Indonesia mengelompokkan sampah menjadi sembilan
komponen berdasarkan SNI 19-3964-1995, yaitu sampah
makanan, kertas dan karton, gelas kaca, plastik, logam, kayu dan
sampah taman, tekstil dan produk tekstil, karet dan kulit, lain-lain.
Tabel 2.1 menunjukkan komposisi sampah yang dihasilkan di
kota-kota besar Indonesia.

2.3 Teknik Pengolahan Sampah


Komposisi sampah yang dikandung tentu akan menentukan
metode pengolahan sampah. Saat ini ada beberapa cara
pengolahan sampah yang sering diterapkan di berbagai negara.
Misalnya, sampah organik yang berasal dari sisa makanan
maupun limbah pertanian bisa diolah menjadi pakan ternak,
pupuk atau penghasil biogas. Pengolahan sampah organik ini
harus menjadi perhatian utama bagi negara-negara di Asia,
termasuk Indonesia yang kandungannya didominasi oleh sampah
organik. Namun, cara yang banyak diterapkan oleh negara
berkembang adalah dengan pembuangan langsung ke lahan
terbuka (open dumping). Hampir 90% sampah organik dibuang

23
langsung ke lahan, kemudian cara pengomposan menjadi pilihan
kedua dengan tingkat kelola 1-6%. Terakhir adalah fermentasi
anaerobik yang dapat menghasilkan biogas. Secara singkat, tiap
metode pengolahan sampah dijelaskan di bawah ini (Thi, Kumar
and Lin, 2015) :

a) Sampah organik sebagai pakan hewan ternak :


Menggunakan sampah organik sebagai pakan ternak umum
digunakan di beberapa negara, seperti Jepang, Korea Selatan
dan Taiwan. Tingkat pengolahannya dari 33% hingga 72%
dari total sampah sisa makanan. Namun, cara ini tidak dapat
diterapkan di negara berkembang, seperti Indonesia,
Malaysia dan Vietnam, karena hampir semua sisa makanan
tercampur dengan sampah anorganik yang berupa limbah
elektronik. Melaui laporan dari Badan Penelitian dan
Pengembangan Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber
Daya Air (2008), diketahui bahwa di dalam hati sapi yang
digembalakan di TPA Jatibarang memiliki kandungan 2,48
mg/L timbal (Pb) dan 0,02 mg/L merkuri (Hg). Angka ini
telah melebihi nilai Maximum Residue Limit (MRL) yang
ditetapkan oleh Departemen Keseahatan. Timbal dan
merkuri pada hati sapi ini berasal dari batu baterai atau
limbah elektronik yang termakan oleh sapi. Maka,
24
penggunaan sampah organik sebagai pakan ternak hewan
belum bisa dilakukan, karena tingkat pemisahan sampah di
Indonesia masih sangat rendah.

b) Proses anaerobik
Proses ini telah banyak diterapkan di negara Uni Eropa dan
negara maju di Asia sejak tahun 2006. Di India dan Cina
lembaga pemerintahan maupun LSM giat mengaplikasikan
proses anaerobik, baik skala rumah tangga maupun industri.
Misalnya India telah memiliki pabrik biogas yang dapat
menyuplai energi untuk berbagai lembaga. Namun, hingga
saat ini, tahun 2020, proses ini masih jarang diterapkan di
negara berkembang. Kendalanya adalah di bagian teknis,
operasi dan manajemen yang belum memadai. Namun,
negara Vietnam, Filipina dan Indonesia mulai
mengintegrasikan proses anaerobik ini dengan pengomposan
di tempat pengelolaan sampah terpadu (TPST). Namun, gas
yang dihasikan belum dapat dimanfaatakan masyarakat,
karena terkendala oleh penyaluran dari TPST ke rumah
warga. Sementara itu, Jamaika dengan perusahaan
CaribShare Biogas dapat mengolah sampah sisa makanan
untuk memasok listrik ke masyarakat pedesaan. Thailand

25
pun telah memiliki pabrik Rayong yang menghasilkan pupuk
cair dan biogas untuk dimanfaatkan masyarakat.

c) Pengomposan
Pengomposan adalah metode yang efisien untuk mengolah
sampah organik dan dapat membantu pemenuhan pupuk
pada pertanian organik. Saat ini, India telah berhasil mendaur
ulang 5,9% limbah organiknya dan menghasilkan 4,3 juta ton
kompos tiap tahunnya.

d) Pembakaran menggunakan insinerator


Insinerasi adalah cara yang efisien untuk mengurangi
volume limbah dan permintaan ruang pembuangan sampah.
Metode ini sering digunakan di berbagai negara, baik negara
maju, seperti Amerika, Jerman, Singapura maupun negara
berkembang, seperti Malaysia dan Indonesia. Namun,
berbeda pada skala dan teknologinya. Semakin canggih
inseneratornya, semakin efisien proses dan sedikit residu
yang dihasilkan. Tentunya membutuhkan teknis, dan
operasional yang harganya cukup tinggi.

26
e) Timbunan sampah di lahan terbuka
Metode ini menjadi cara yang paling utama dan banyak
diterapkan oleh negara berkembang. Namun, tentunya ini
adalah cara yang paling tidak diinginkan. Hampir 90% dari
total sampah yang berhasil dikumpulkan akan berakhir di
tempat pemrosesan akhir ini. Tapi dengan pembuangan
sampah yang tercampur di lahan terbuka berpotensi
menghasilkan emisi gas sebesar 8% yang sebenarnya dapat
dimanfaatkan sebagai energi. Namun, negara berkembang
belum mampu memanfaatkannya sebagai energi terbarukan.
Cara ini juga disebut-sebut sebagai tempat berkumpulnya
vektor penyakit.

27
Bab 3
Kompleksitas Manajemen
Sampah

3.1 Manajemen Sampah


Berbicara tentang manajemen sampah tentunya sangat kompleks,
karena tidak hanya berbicara tentang aspek teknis, tapi juga aspek
regulasi, finansial hingga partisipasi perusahaan swasta dan
masyarakat. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008
tentang Pengelolaan Sampah, pengelolaan sampah adalah
kegiatan yang sistematis, menyeluruh, dan berkesinambungan
yang meliputi pengurangan dan penanganan sampah. Negara
maju mendefinisikan pengelolaan sampah sebagai kontrol
terhadap timbulan sampah, dimulai dari proses pewadahan
sampah, pengumpulan, pemindahan, pengangkutan, pemrosesan,
serta pembuangan akhir dengan penanganan-penanganan terbaik
untuk kesehatan, ekonomi, estetika, lingkungan, teknis,
konservasi, dan juga terhadap sikap masyarakat.

Namun, tentunya proses kelola sampah ini tidak dapat berjalan


dengan mudah, ada beberapa kendala yang dihadapi. Suksesnya
pengelolaan sampah, tidak hanya ditentukan pada aspek teknis,
28
tapi juga nonteknis. Sehingga untuk menciptakan sistem kelola
yang baik perlu melibatkan berbagai ahli dari berbagai
keilmuwan. Misalnya, ilmu lingkungan, teknik sipil, bioproses,
perencanaan kota, ekonomi, kesehatan masyarakat, sosiologi,
komunikasi, konservasi, dan lainnya. Hingga mampu meniptakan
sistem pengelolaan sampah yang baik. Walaupun memerlukan
proses yang panjang.

Negara maju telah melalui proses yang panjang hingga sampai


pada pengelolaan sampah yang berkelanjutan. Kondisi
pengelolaan sampah di negara berkembang saat ini adalah kondisi
pengelolaan negara maju pada abad ke-19. Kondisi yang sedang
dialami adalah peningkatan populasi, besarnya kesenjangan
sosial, kesadaran lingkungan masyarakat rendah, pembuangan
limbah dimana-mana, kurangnya pasokan air minum dan fasilitas
sanitasi yang tidak memadai. Kondisi ini muncul akibat
permsalahan di berbagai sektor. Menurut Marshall and
Farahbakhsh (2013) kondisi ini disebabkan oleh 1.) urbanisasi
yang cepat, adanya ketidaksetaraan, dan pertumbuhan ekonomi;
2.) kondisi budaya dan sosio-ekonomi; 3.) politik yang tidak
berpihak pada lingkungan.

29
1. Urbanisasi yang cepat, adanya ketidaksetaraan, dan
pertumbuhan ekonomi
Pertumbuhan populasi yang sangat cepat mendorong terjadinya
tata kota lahan yang tidak terencana.Pertumbuhan ini
doproyeksikan akan terjadi secara masif di kawasan perkotaan.
Namun, penyediaan fasilitas bagi masyarakat di perkotaaan
berjalan lambat. Akibatnya, masyarakat perkotaan yang tidak
mampu mendapatkan fasilitas yang sesuai didorong untuk
tinggal di daerah yang kumuh. Sehingga akses untuk membuang
sampah ke TPS pun cukup sulit. Mereka yang tinggal di kawasan
kumuh memilih untuk membuang sampah di sembarang tempat,
bisa dibuang ke sungai atau jalanan. Kondisi ini telah
melumpuhkan kapasitas pemerintah nasional dan daerah untuk
mengatur pelayanan pengelolaan sampah di kota.

2. Kondisi budaya dan sosial-ekonomi

Kesadaran masyarakat dan sikap terhadap limbah dapat


berdampak pada seluruh sistem pengelolaan sampah. Dimulai
dari penyimpanan sampah di rumah tangga hingga pemisahan,
kemudian minat pengurangan limbah, daur ulang, kemauan
untuk membayar biaya pengelolaan sampah, perdebatan
terhadap lokasi fasilitas limbah, jumlah limbah di jalan, dan

30
akhirnya menentukan keberhasilan atau kegagalan sistem.
Misalnya, ada pandangan di negara tertentu, bahwa profesi yang
berkaitan dengan pengelolaan limbah dinilai tidak terhormat.
Sehingga menyulitkan mencari sumber daya manusia yang
kompeten dalam pengolahan. Sikap membuang sampah juga
dipengaruhi oleh kondisi sosial masyarakat. Ada sebagian
masyarakat yang membuang sampah di tempat pembuangan,
namun ada juga yang membuangnya secara ilegal di jalanan.
Ketika pembuang sampah ilegal dibiarkan, akan mengundang
masyarakat lain untuk membuang sampah secara ilegal.

3. Politik yang tidak berpihak pada lingkungan


Politik mencakup kebijakan, tata kelola negara dan institusi.
Ketiganya memainkan peran besar dalam sistem pengelolaan
sampah. Struktur, fungsi dan tata kelola sampah dipengaruhi
oleh hubungan pemerintah pusat dan daerah, peran partai politik,
dan sejauh mana warga dilibatkan dalam proses pembuatan
kebijakan. Di negara yang sedang berkembang, proses
menyeimbangkan kebijakan, tata kelola, mekanisme teknis dan
penyediaan sumber daya menjadi tantangan. Pada saat proses
pembuatan kebijakan, persoalan sampah jarang mendapatkan
prioritas tinggi, baik di tingkat lokal maupun nasional dari
pembuat kebijakan dan perencana. Akibatnya, sedikit biaya yang

31
dianggarkan oleh pemerintah. Selain itu, kurangnya komitmen
jangka panjang dari penyelenggara pemerintahan. Bisa jadi
dalam lima tahun, pemerintah di tahun itu sangat baik
pengelolaan sampahnya, namun setelah pergantian pemimpin
daerah, pengelolaan sampah kembali memburuk.

Menjalankan pemerintahan tentunya membutuhkan partisipasi


dan kolaborasi dari semua pihak, baik itu kelompok masyarakat,
organisasi pemerintah dan non pemerintah dan sektor swasta.
Selain itu, ada empat elemen prinsip tata pemerintahan yang
harus dimiliki, yaitu akuntabilitas, partisipasi, prediktabilitas,
dan transparansi. Tata pemerintahan yang baik memungkinkan
kelompok masyarakat yang berstatus sosial rendah untuk
memengaruhi kebijakan dan alokasi sumber daya dan ini sangat
penting untuk mewujudkan sistem pengelolaan sampah yang
adil, efektif, dan efisien. Negara berkembang biasanya tidak
memiliki tata kelola lembaga yang mampu menampung aspirasi
masyarakat yang terdampak dari ketidakadilan lingkungan. Di
negara maju terdapat lembaga penelitian kebijakan publik,
otonomi peradilan, auditor umum, akademi, peneliti dan polisi
yang berfungsi dengan baik. Sehingga proses pembuatan dan
penerapan kebijakan terkait pengelolaan sampah bisa
dilaksanakan.
32
Aspek kelembagaan juga menjadi kendala di negara
berkembang. Seringkali peran dan tanggung jawab suatu
lembaga terkait pengelola sampah ini tidak jelas, sehingga
terjadi kontroversi, ketidakefektifan, kelambanan, dan membuat
sistem pengelolaan tidak stabil. Aspek kelembagaan ini meliputi
tingkat desentralisasi, struktur sistem kelembagaan, prosedur
organisasi, kapasitas lembaga dan keterlibatan sektor lain.
Tingkat desentralisasi berkaitan dengan distribusi kewenangan,
fungsi, dan tanggung jawab antara lembaga pemerintah pusat
dan daerah; struktur sistem kelembagaan adalah tentang siapa
yang bertanggung jawab untuk kelola sampah dan bagaimana
mereka berinteraksi dengan sektor manajemen perkotaan
lainnya; prosedur organisasi mengatur strategi perencanaan dan
manajemen serta kapasitas lembaga; dan keterlibatan sektor lain,
termasuk sektor swasta dan kelompok masyarakat.

Indonesia menjadikan Kementerian Lingkungan Hidup dan


Kementerian Pekerjaan Umum sebagai lembaga utama dalam
pengelolaan sampah, terutama dalam menyiapkan standar,
norma dan peraturan yang dibutuhkan. Namun, proses
pengelolaan sampah di daerah tanggung jawab pemerintah
daerah. Kelembagaan seperti ini bisa mengaburkan tanggung
jawab dari tiap lembaga. Selain itu, pemerintah juga
33
membutuhkan sebuah kerangka hukum dan peraturan yang
mudah, transparan, tidak ambigu, termasuk pengawasan yang
berfungsi dalam penegakan di tingkat nasional, provinsi, dan
lokal. Di negara berkembang, pengelolaan sampah sering kurang
didanai karena sumber daya yang tidak memadai dari
pendapatan pajak kota, biaya retribusi dan salah urus dana.
Pengelolaan sampah Biaya retribusi nasional Indonesia dari
masyarakat untuk kelola sampah hanya mencapai 20%.
Penarikan biaya retribusi yang berjalan selama ini belum
didasarkan pada perhitungan dan pendataan yang memadai, baik
dilihat dari jumlah timbulan maupun jumlah potensi bayar.
Perhitungan tarif juga belum optimal dilihat dari sumber
sampahnya, baik itu dari rumah tangga, komersial maupun
industri.

Salah urus dana juga bisa dilihat dari alokasi dana antara negara
maju dan negara berkembang. Di negara berkembang, 80 – 90%
dari anggaran pengelolaan sampah dihabiskan untuk
pengumpulan, sementara di negara maju hanya kurang dari 10%
dihabiskan untuk layanan pengumpulan. Hal ini disebabkan
harga tanah di perkotaan yang mahal dan tidak tersedianya lahan
yang luas, sehingga tempat pengelolaan sampah jauh dari

34
perkotaan. Akibatnya, biaya transportasi sampah dari perkotaan
ke tempat kelola membengkak.

Indonesia sebagai negara berkembang mengalami ketiga kendala


yang disebutkan di atas. Akibatnya, timbulan sampah yang terus
meningkat, tapi pengelola sampah masih belum bisa mengatasi
semua timbulan sampah tersebut. Dalam pelaksanaannya,
Indonesia mengikuti adalah Standar Nasional Indonesia (SNI)
No. 19- 2454-2002 tentang Tata Cara Pengelolaan Sampah di
Permukiman. Teknik operasional pengelolaan sampah ini adalah
penampungan/ pewadahan, pengumpulan, pemindahan,
pengangkutan sampai dengan pembuangan/pengolahan.
Sayangnya, pada praktik di lapangan masih jauh dari standar.
Kondisi dari pengelolaan sampah yang ada di Indonesia dan
beberapa negara berkembang di Asia ditunjukkan pada Tabel 3.1.

Tabel 3. 1 Kondisi pengolahan sampah di negara berkembang


di Asia (Marshall and Farahbakhsh, 2013)

No Tahap Pola pengelolaan di negara


pengelolaan berkembang di Asia
1. Jenis sampah Komposisi sampah sebanyak 50%
yang berupa sampah organik
dihasilkan

35
2. Pengumpulan - Rendahnya pemilahan sampah
sampah - Tingkat pengumpulan sampah
tidak mencapai 100%
- Sampah dikumpulkan melalui
berbagai cara, ada yang melaui
sektor informal (pemulung) atau
organisasi berbasis komunitas
(bank sampah)
3. Transfer dan - Jasa ini biasanya dilakukan oleh
transportasi pemerintah daerah dan peran
sektor informal lebih berkurang
- Banyak TPS yang tidak dikelola
dengan baik
4. Proses - Sampah yang didominasi bahan
penanganan organik akan menyulitkan teknis
sampah pengolahan. Misalnya, akan
menghambat proses pembakaran
sampah. Selain itu, pembakaran
sampah sering dilakukan di lahan
terbuka, sehingga mencemari
udara sekitar.

36
- Tingkat daur ulang yang relatif
tinggi dapat tercapai karena adanya
sektor informal yang aktif dalam
proses daur ulang.
- Penerapan pengolahan fisik masih
terbatas.
5. Pembuangan Sistem open dumping banyak
diterapkan hingga saat ini, karena
keterbatasan untuk menerapkan
sanitary landfills.
6. Sektor - Sektor informal aktif di sepanjang
informal aliran pengelolaan sampah,
terutama pengumpulan dan daur
ulang
- Kondisi kerja yang diterapkan
sektor informal biasanya tidak
memenuhi standar keselamatan
kerja dan peran mereka jarang
diketahui oleh otoritas pemerintah.

37
Selama bertahun-tahun, telah disadari bahwa untuk menangani
sampah ini perlu untuk merancang sistem yang terintegrasi secara
keseluruhan. Cara ini lebih baik daripada memilih subsistem
komponen individu yang tidak dapat bekerja dengan baik.
Konsep sistem pengelolaan sampah terintegrasi telah diterima di
berbagai negara. Semua komponen yang terlibat dalam
pengolahan sampah ini harus memiliki perencanaan dan
pelaksanaan yang efektif. Sehingga meningkatkan kinerja secara
keseluruhan. Pengelolaan limbah padat terpadu juga memiliki
cara pemilihan dan penerapan teknik, teknologi, dan pendekatan
manajemen yang sesuai untuk mencapai tujuan dan sasaran
tertentu. Adapun komponen tersebut dijelaskan sebagai berikut
(Shekdar, 2009) :

1. Kerangka kerja kebijakan dan hukum


Setiap negara harus memiliki kebijakan tentang pengelolaan
limbah yang mencakup aspek-aspek seperti kebersihan,
pemeliharaan standar kesehatan masyarakat, pelestarian
kualitas lingkungan dan penyediaan pembiayaan
berkelanjutan. Kebijakan tersebut harus membahas
keberlanjutan sehubungan dengan ketersediaan ruang TPA
untuk generasi mendatang. Di negara maju, inisiatif kebijakan
saat ini ditujukan untuk efektivitas biaya, sementara di negara

38
berkembang, pembuat undang-undang ditujukan untuk
menciptakan lingkungan yang sehat dan bersih.

2. Teknologi tepat guna


Manajemen pengelolaan sampah terintegrasi harus
merancang teknologi sesuai karakter dan jumlah sampah,
serta harus dapat dioperasikan di lokasi tersebut. Berbagai
peralatan penanganan seperti kendaraan untuk transportasi,
mesin untuk peralatan pengolahan dan pembuangan harus
dirancang dengan tepat sesuai dengan karakteristik sampah.
Misalnya, limbah yang dihasilkan di negara-negara kaya
memiliki kepadatan rendah yang membutuhkan penggunaan
pemadat. Namun, di negara-negara berkembang, sampahnya
memiliki nilai kalori yang rendah, sehingga pemrosesan
termal mungkin tidak sesuai. Teknologi harus dikembangkan
sesuai dengan kondisi setempat. Salah satu teknologi terbaik
adalah sanitary landfill, namun harus dikembangkan agar
lebih murah dan semakin banyak negara yang dapat
mengadopsinya. Penelitian lebih lanjut harus terus dilakukan
untuk mendapatkan teknologi yang sesuai dengan kebutuhan
di negara masing-masing. Berikut adalah tabel perbandingan
dari beberapa teknologi.

39
Tabel 3. 2 Perbandingan dari beberapa teknologi pengolahan
sampah
Proses Anaerobik Aerobik Pirolis Gasifi- Inisine Plasma
pengelolaan is kasi rasi Gasifikasi
sampah
Reduksi 30 – 50% 40 – 60% 70 – 70 – 80% 80 – 90 95 – 100%
sampah 80% %
Lahan besar sedang Kecil kecil kecil kecil

Residu kompos kompos char, syngas abu syngas dan


cair (air cair (air tar dan abu
lindi). lindi) dan syngas
kompos kompos
padat dan padat
gas bio
Kestabilan tidak stabil tidak tidak stabil tidak stabil
proses stabil stabil stabil

Biaya Rp 660 Rp 500 Rp 160 Rp 640 Rp 225 Rp 550


Investasi juta – juta – 2,4 juta – juta – 1,7 juta – juta – 5
2,64 milyar/to 1,3 milyar/ton 3,3 milyar/ton
milyar/to n milyar sampah/ha milyar/t sampah/ha
n sampah/h /ton ri on ri
sampah/h ari sampa sampah
ari h/hari /hari
Biaya Rp Rp 80 Rp Rp350 Rp 400 Rp 750
pengoperasi- 125ribu ribu – 200 300 ribu – ribu – ribu – 850
an, – 250 ribu/ton ribu 500 600 ribu/ton
pemeliharaa ribu/ton – ribu/to ribu/ton
n, perawatan 400 n
ribu/
ton

3. Manajemen operasi
Sistem operasional mencakup penanganan dan pengelolaan
sampah yang melalui proses pengumpulan, pengangkutan,
proses, dan pembuangan. Prosedur dan praktik untuk setiap
sistem komponen perlu didefinisikan secara jelas, dan harus

40
ada mekanisme terpadu untuk memantau dan mengendalikan
operasi.

4. Manajemen keuangan
Pegelolaan sampah yang terintegrasi membutuhkan sumber
daya dalam bentuk tenaga kerja manusia yang handal,
kendaraan, mesin dan tanah. Sistem harus dibiayai secara
memadai, sehingga membutuhkan modal investasi dan biaya
operasional rutin. Ini adalah masalah kritis di negara-negara
berkembang, di mana pemerintah kota sebagai
penanggungjawab kelola sampah mengalokasikan dana yang
sedikit. Prosedur penganggaran pun perlu
mempertimbangkan isu keberlanjutan, terutama dengan
memasukkan subsidi untuk pemulihan sumber daya.
Misalnya dengan memanfaatkan program jual beli karbon
juga bisa menjadi salah satu cara.

5. Partisipasi dan kesadaran publik


Pengelolaan sampah ini sebenarnyta ditujukan untuk
meningkatkan kualitas kesehatan dan lingkungan masyarakat.
Maka, tanpa adanya kerjasama publik, sistem pengelolaan
sampah tidak dapat dioperasikan dengan tepat. Oleh karena

41
itu, diperlukan cara untuk menarik partisipasi dari
masyarakat. Commented [D2]: Beri jarak dengan 3.2

3.2 Pengelolaan Sampah di Pontianak


Timbulan Sampah di Kota Pontianak
Kota Pontianak terdiri dari enam kecamatan, yaitu Pontianak
Barat, Pontianak Selatan, Pontianak Kota, Pontianak
Tenggara, Pontianak Utara dan Pontianak Timur. Sampah
yang dihasilkan tentunya berbeda di masing-masing
kecamatan. Bergantung pada jumlah penduduk dan aktivitas
yang mendominasi di wilayah kecamatan. Adapun timbulan
sampah yang dihasilkan Kota Pontianak per kecamatannya
dicantumkan pada Tabel 3.3.

42
Tabel 3. 3 Jumlah Penduduk dan Timbulan Sampah Tiap
Kecamatan di Kota Pontianak
Jumlah
Penduduk Timbulan
No Kecamatan (jiwa) (m3/hari)
1 Kecamatan Pontianak Barat 150.150 412.913
2 Kecamatan Pontianak Selatan 93.014 255.789
3 Kecamatan Pontianak Kota 126.600 348.150
4 Kecamatan Pontianak Tenggara 49.026 134.822
5 Kecamatan Pontianak Utara 143.984 395.956
6 Kecamatan Pontianak Timur 104.279 286.767
Total 667.053 1.834.397
Sumber: DLH Kota Pontianak, 2019
Total timbulan sampah dari Kota Pontianak sebesar
1.834.397 m3/hari. Menurut laporan dari Dinas Lingkungan
Hidup, sampah yang dapat diangkut sebesar 1.619.000
m3/hari atau sekitar 88% dari total sampah. Sisa 12%- nya
bisa berakhir di jalanan, sungai, dibakar langsung oleh
warga, atau digunakan untuk pengomposan.

Pengumpulan sampah
Sampah yang dihasilkan oleh masyarakat akan dikumpulkan
untuk selanjutnya dikelola. Pada umumnya, masyarakat akan
membawa sampah mereka ke tempat pembuangan sampah

43
sementara (TPS) yang tersebar di Kota Pontianak. Pontianak
memiliki 131 TPS legal yang diatur oleh Dinas Lingkungan
Hidup (DLH) Pontianak. Semua sampah yang terkumpul di 131
TPS tersebut dapat diangkut oleh DLH. Namun, masih banyak
TPS ilegal yang digunakan masyarakat untuk membuang
sampahnya. Sehingga sampah tersebut tidak terangkut oleh
pertugas kebersihan. Sebelum sampah dibawa ke TPA, ada
sebagian sampah yang dibawa ke tempat pengolahan sampah
terpadu (TPST) atau tempat pengepul sampah yang dimiliki oleh
swasta.

Salah satu TPST yang ada di Kota Pontianak adalah TPST


Edelweis yang mengangkut sampah sampah pasar pagi yang
berada di Jl Dr. Wahidin. Sampah yang diangkut akan dipisahkan
berdasarkan sampah organik dan sampah anorganik. TPST
memililiki fasilitas pengomposan dan biogas untuk mengelola
sampah organik, sedangkan sampah anorganik akan dijual ke
pengepul atau dibuang ke TPA.

44
Gambar 3.1 TPST Edelweis Kota Pontianak

TPST Edelweis menggunakan sistem pengomposan dengan


sistem bak terbuka, dimana proses pengomposan dilakukan
dalam bak terbuka. Proses ini membutuhkan waktu yang cukup
lama, bahkan hingga 2 bulan. TPST ini memiliki 21 buah bak
pengomposan. Sampah organik dari pasar akan langsung
dimasukkan ke dalam bak 1, kemudian ditambahkan amfus dan
bokashi untuk menambah kualitas kompos. Pada hari kedua,

45
sampah dari bak ke 1 akan dipindahkan ke bak nomor 2. Begitu
seterusnya hingga mencapai bak ke-21. Lokasi bak yang terbuka
menyebabkan proses pembuatan kompos akan bergantung pada
cuaca. Jika terjadi hujan terus menerus, akan memperlambat
proses pengeringan kompos. Sampah yang terlah kering akan
diayak dan siap untuk dikemas. Kompos produksi TPST Edelweis
sering digunakan untuk tanaman di taman kota Pontianak atau
jika masyarakat membutuhkan, bisa langsung datang ke TPST.

Pengolahan sampah organik lainnya yang ada di TPST Edelweis


adalah pembuatan biogas. Proses pembuatan biogas lebih cepat Commented [D3]: Jarak antar paragraph diesuaikan
dengan paragraph yang lain
daripada pengomposan. Jika pengomposan membutuhkan waktu
21 hari, biogas dapat diproduksi dalam waktu tujuh hari dalam
biodigester. Pada proses pembuatan biogas terdapat cairan yang
merupakan hasil samping dari fermentasi anaerobik. Cairan yang
dihasilkan dipastikan tidak berbahaya. Caranya air tersebut
dialirkan ke bak kontrol yang di dalamnya terdapat ikan air tawar
dan menjadi indikator biologis. Biodigester yang terdapat di
TPST Edelweiss hanya dapat mengolah 700-1000 kg sampah
dengan jenis fixed dome. Pada model fixed, penampung gas
menjadi satu konstruksi dengan digester. Gas yang terbentuk akan
langsung disalurkan ke pengumpul gas di luar reaktor berupa
kantung yang berbentuk balon (akan mengembang bila

46
tekanannya naik). Namun, gas yang dihasilkan belum dapat
dimanfaatkan masyarakat. Tujuan dari adanya biodigester ini
hanya digunakan untuk mereduksi sampah, Gas yang dihasilkan
akan dibuang begitu saja. Hal ini dikarenakan kapasitas
biodigester yang belum memadai dan hasil akhir biogas yang
tidak memenuhi standar untuk dimanfaatkan sebagai sumber
energi.

Namun di tahun 2020, TPST Edelweis dilengkapi dengan


Fasilitas Pengelolaan Sampah (FPB) Biodigester oleh
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dengan
kapasitas tiga ton per hari. Biodigester ini bisa menghasilkan
tenaga listrik, pupuk kompos maupun gas untuk memasak. FPS
Biodigester juga bisa menjadi sarana edukasi dalam pengelolaan
sampah dan gasnya bisa disalurkan kepada masyarakat.

47
Gambar 3.2 Kegiatan peresmian FPS Biodigester TPST Edelwies
oleh Walikota Pontianak tahun 2020 (Sumber : Kiwi/Suara
Pemred Kalbar)

Tempat Pengumpulan Sampah Anorganik di Pontianak

Selama ini, usaha mengumpulkan sampah sering dipandang


sebelah mata. Padahal penghasilan dari usaha ini cukup
menjanjikan dan dapat membuka lapangan perkerjaan. Usaha
swasta ini memegang peranan penting dalam pengelolaan
sampah. Melalui usaha inilah sampah anorganik, berupa plastik,
kertas, logam dan barang lainnya bisa memiliki nilai jual dan

48
didaur ulang. Di Pontianak, ada beberapa tempat pengepul
sampah yang tersebar. Namun, belum ada pendataan secara
menyeluruh mengenai tempat pengumpulan sampah ini. Tapi, ada
dua tempat yang bisa menjadi gambaran tentang usaha
pengumpulan sampah ini, yaitu tempat pengumpulan sampah
Suwignyo dan tempat pengolahan sampah Pasar Ibu. Tempat
pengumpulan sampah di Suwignyo telah beroperasi selama 10
tahun dengan lima orang pekerja, sedangkan yang Pasar Ibu telah
ada selama 21 tahun dengan delapan orang pekerja.

Proses pengelolaan sampah yang dilakukan oleh pengepul


dimulai dengan pengumpulan sampah dari warga oleh pemulung.
Lalu pemulung akan mengantarkan langsung ke tempat
pengumpulan sampah Suwignyo atau tempat pengumpulan
sampah Pasar Ibu. Kemudian, dilakukan pengecekan untuk
memastikan sampah yang didapat bukanlah barang curian
ataupun barang milik pemerintah yang dilarang diperjualbelikan.
Setelah itu, sampah dipilah dan ditimbang. Harga yang
dibayarkan sesuai dengan berat dan jenis sampahnya. Sampah
tersebut diproses dengan mesin pencacah dan dipadatkan.
Terakhir dikemas dan dikirim ke perusahaan daur ulang di
Jakarta.

49
Rantai daur ulang ini, akan memengaruhi harga jual dari sampah
yang akan dibeli oleh pengepul. Jika pabrik daur ulang membeli
dengan harga yang tinggi, pengepul pun akan membeli sampah
dari masyarakat dengan harga yang baik. Jika terjadi penurunan
harga beli dari pabrik daur ulang, pengepul lebih memilih untuk
menyimpan barang hingga harga kembali normal. Tabel 3.4
mencantumkan harga yang beli sampah oleh pengepul.
Keuntungan yang diambil oleh pengepul dari hasil penjualan ke
pabrik daur ulang berkisar 500-1000 per kilogramnya, sesuai
dengan jenis sampahnya. Dari hasil penjualannya, tempat
pengepul bisa mendapatkan keuntungan bersih Rp 30.000.000 per
bulan dari 2750 kg sampah untuk pengepul Suwignyo dan Rp
45.000.000 per bulan dari 3200 kg sampah untuk pengepul
Suwignyo.

Tabel 3. 4 Harga beli sampah oleh pengepul

No. Jenis Sampah Rata-Rata Harga Beli


1. Botol Plastik Rp. 2.500 / kg
2. Kardus Rp. 1.500 / kg
3. Besi Rp. 4.000 / kg
4. Tembaga Rp. 60.000 / kg
5. Ember Plastik Rp. 2.000 / kg
6. Botol Kaca Rp. 700 / botol
7. Botol Bekas Oli Rp. 3.000 / kg
8. Seng Rp. 2.500 / kg

50
Tempat Pemrosesan Akhir Batulayang (TPA Batulayang)

Saat ini Kota Pontianak memiliki TPA dengan luas 26.6 hektar.
TPA ini mulai beroperasi pada tahun 1996 dengan masa guna 20
tahun. Sampah dari masyarakat akan diangkut ke TPA dengan
armada Fuso, Dump Truk dan Amroll Truk. Setiap kendaraan
yang masuk akan ditimbang di jembatan timbang. TPA Batu
Layang menggunakan sistem operasi open dumping, yaitu
sampah yang ada hanya ditempatkan begitu saja tidak
dimusnahkan secara langsung, namun dibiarkan membusuk
menjadi sampah organik. Tetapi sesekali dilakukan Controll
Landfill dengan tumpukan sampah yang ditimbun dengan tanah
pada beberapa tahun setelah sampah dibuang.

Metode Open Dumping ini masih berlaku karena biaya untuk


menuju Controll Landfill dan Sanitary Landfill itu membutuhkan
biaya yang besar karena sampah yang masuk perharinya harus
ditimbun pada hari itu juga menggunakan tanah merah. Karena
alasan ini, TPA sementara hingga akhir tahun 2019 masih
menggunakan metode Open Dumping. Untuk tahun 2020 yang
akan datang TPA Batu Layang akan menerapkan metode Controll
Landfill dan Sanitary Landfill.

51
Gambar 3.3 UPTD TPA Batu Layang yang menggunakan
sistem open dumping

Salah satu keresahan dari penggunaan sistem open dumping


adalah air lindi yang dapat mencemari tanah dan air. Suwendi
(2011) melaporkan kajian mengenai penyebaran limbah
logam berat kadmium (Cd) pada air tanah di sekitar TPA
Batu Layang. Air tanah tersebut memiliki kadar kadmium
yang berada di atas baku mutu yaitu 1,1667 mg/l. Untuk
mencegahnya, di sepanjang aliran air buangan lindi di TPA
Batulayang, ditambahkan zat deogone yang dapat
menghilangkan bau dari air lindi. Pada tahun tahun 2020
akan direncanakan pengolahan yang lebih optimal secara
horizontal dan bertingkat untuk memperoleh aerasi alami.

52
Namun, rencana ini masih dalam perencanaan dan
mempertimbangkan jenis tanah gambut di lahan TPA.

3.3 Belajar dari Berbagai Negara


Korea Selatan, semakin besar sampah, semakin besar
biayanya

Salah satu negara yang telah berhasil mengelola sampah adalah


Korea Selatan. Negara yang terkenal dengan ginseng, drama
korea dan K-Pop juga merupakan salah satu panutan dalam
pengembangan industri hijaunya. Sehingga pembangunan negara
dapat berkembang secara berkelanjutan. Negara ini tidak serta
merta dari awal langsung menjadi negara yang berwawasan
lingkungan. Pada tahun 1977, Korea Selatan pernah menghadapi
banyak persoalan lingkungan seperti yang Indonesia hadapi saat
ini. Sistem pengelolaan sampah masih mengandalkan TPA
dengan sistem open dumping. Akibatnya, terjadi pencemaran
sungai yang mengundang protes dari masyrakat sekitar. Salah
satu TPA yang pernah beroperasi adalah TPA Nanji, namun
ditutup pada tahun 1983 dan diubah menjadi Tempat
Penampungan Sementara Terpadu (TPST) yang berbasis institusi
dan sebagian dialihfungsikan menjadi taman. Perubahan bermula
saat kebijakan pengelolaan sampah diubah. Dari safe disposal
53
yang diterapkan pada tahun 1980 menjadi reduce, recycle, dan
safe disposal yang mulai diterapkan pada tahun 1990. Kemudian
diubah lagi menjadi reduce, recycle, energy recovery dan safe
disposal pada tahun 2000. Perubahan ini membawa Korea Selatan
sebagai salah satu negara yang mampu menerapkan industri hijau
dan ramah lingkungan.

Pada tahun 1977, pencemaran sampah dan limbah domestik


maupun industri banyak yang mencemari tanah dan air, terutama
air Sungai Han. Saat itu, pengolahan sampah dipusatkan di TPA
Nanji. Sampah dibuang langsung ke TPA dan dibiarkan di lahan
terbuka, tanpa ada pengolahan apa pun. Hal ini disebabkan
terkendala oleh kurangnya sumber daya manusia yang
berpengalaman dalam menangani limbah dan belum dikuasainya
teknik mengolah limbah menjadi energi. Masyarakat memprotes
beroperasinya TPA Nanji, karena menimbulkan wabah penyakit
yang berasal dari pencemaran TPA. Akhirnya TPA Nani ditutup
pada tahun 1993 dan diubah menjadi TPST yang berbasis
institusi.

Setelah teknik pengolahan sampah menjadi energi dikuasai,


sampah tersebut diolah oleh Mapo Resources Recycle. TPST
Mapo Resources Recycle memiiki insinerator yang berkapasitas
750 ton/hari yang dapat menghasilkan listrik sebesar 5 MW.

54
Warga sekitar pun dapat menggunakan listrik yang dihasilkan
oleh sampah ini. Untuk mendukung program ini, Kementrian
Lingkungan Hidup Korea Selatan membentuk Sudokowon
Landfill Site Management Corporation (SLC) pada tahun 2000.
SLC menjadi badan usaha milik negara yang bekerja sama
dengan pemerintah kota Seol untuk merencanakan dan
membangun, mengoperasikan, memelihara dan merawat
infrastruktur pengolahan sampah. Kontrak kerja sama dilakukan
selama 46 tahun, dari tahun 2000-2046. Perusahaan ini tergolong
sebagai pengelola TPA tingkat dunia dan menjadi percontohan
sebagai eco-friendly sanitary landfill. TPA ini memiliki luas
lahan 1600 hektar dari lahan hasil reklamasi. Luas lahan ini
diperkirakan mampu melayani 22 juta penduduk di Kota Seoul,
Incheon, dan Provinsi Gyeonggi. TPA dibagi menjadi empat unit
pengolahan sampah. Unit sampah pertama memiliki luas 409
hektar yang beroperasi dari tahun 1991 sampai tahun 2000.
Setelah kapasitas penampungan penuh, lahan ini dikonversi
menjadi taman untuk kegiatan masyarakat, seperti lapangan golf,
kolam renang, taman kota, dan taman bermain. Unit pengolahan
kedua dengan luas 381 hektar mulai dioperasikan pada tahun
2000. TPA yang kedua ini menggunakan sistem sanitary landfill
atau lahan uruk saniter. Lahan ketiga dan keempat masih dalam
perencanaan pembangunan guna mengantisipasi lahan kedua
55
yang mencapai kapasitas maksimumnya. Sampah yang masuk ke
TPA berasal dari sampah rumah tangga, kantor, konstruksi, dan
lainnya. TPA ini dilengkapi dengan fasilitas sistem sampling
otomatis dan sistem kontrol yang menggunakan CCTV.
Kemudian fasilitas utamanya adalah pengolahan gas dan lindi
untuk menjadi sumber daya. Fasilitas pengolahan ini mampu
menampung lindi sebanyak 6.700 ton/hari, menyalurkan gas
hingga sejauh 308 km. Terdapat 50 MW landfill gas power plant
yang merupakan pembangkit listrik dari gas TPA terbesar di
dunia yang menyediakan sistem bagi sekitar 440.000 rumah
tangga.

Tidak hanya teknologi di TPA, kesuksesan pengolahan sampah di


Korea juga didorong oleh masyarakat yang sadar lingkungan.
Masyarakat diwajibkan untuk memilah sampah dan dimasukkan
ke kantong plastik yang berbeda. Sampah dipilah menjadi sampah
organik, sampah anorganik, dan sampah lain yang pengolahannya
berbeda. Jika peraturan tidak ditaati, warga akan dikenakan
sanksi, berupa denda yang nominalnya cukup besar. Kadangkala
sampah pun tidak diangkut jika sampahnya tidak dipilah. Selain
denda, kadang mereka juga akan menerima sanksi sosial oleh
warga lainnya. Masyarakat akan saling mengawasi dan
mengingatkan jika ada yang melanggar aturan ini. Kegiatan daur

56
ulang sampah yang dilakukan. Kesadaran warganya terhadap
pengelolaan sampah sangat tinggi. Para warga membentuk
komunitas yang akan membantu sosialisasi dan mengawasi
penangan sampah dilingkungan masing-masing. Seluruh
informasi terkait pengelolaan sampah pun dipublikasikan kepada
masyarakat secara transparan, sehingga masyarakat dapat
memantau pelaksanaan kelola sampah di lingkungannya dan di
TPA. Publikasi ini mencakup data sampah yang masuk ke TPA,
parameter hasil pengolahan air lindi, dan lain-lain.

Pemerintah Korea Selatan telah menyiapkan undang-undang dan


teknis implementasi pengolahan sampah. Pada tahun 1986 ada
Undang-Undang Pengelolaan Sampah yang mengatur klasifikasi
sampah dan pembagian tanggung jawab dari pemangku
kepentingan, teknik pengolahan dan teknik daur ulang. Kemudian
sejak tahun 1990, Pemerintah Korea Selatan menerapkan konsep
volume based waste fee (VBWF), yaitu sistem pembuangan
sampah berdasarkan volume. Setiap warga akan membayar
sampah yang mereka keluarkan sesuai ukuran volumenya.
Semakin besar volume sampah, maka semakin besar biaya yang
dikeluarkan. Melalui kebijakan ini warga dipaksa untuk
mengurangi volume sampah yang dihasilkan. Sampah tersebut
dimasukkan dalam kantong plastik khusus yang harus dibeli oleh

57
masyarakat, sehingga membantu pengelola memilah sampah
ketika sampai di TPA. Untuk memastikan masyarakat melakukan
sesuai peraturan ini, pemerintah memasang CCTV di lokasi yang
berpotensi menjadi tempat pembuangan sampah liar.

Selain VBWF, ada juga kebijakan Extended Producer


Responsibility (EPR). Kebijakan ini mewajibkan perusahaan dan
industri untuk mendaur ulang sebagian produk yang dihasilkan.
Sehingga produsen diwajibkan untuk memasukkan biaya daur
ulang sampah kemasan mereka ke dalam biaya produksi.
Produsen akan bertanggung jawab terhadap produk dan kemasan
yang beredar di masyarakat. Setelah lima tahun diterapkan sejak
2003, sebanyak 6 juta ton sampah dapat didaur ulang dengan
keuntungan finansial mencapai US$1,6 miliar. Tidak hanya itu,
dalam masa empat tahun, penerapan EPR (2003-2006) berhasil
menciptakan 3.200 lapangan kerja baru.

Walaupun jumlah sampah di Korea terus meningkat (sejak tahun


2000), namun jumlah sampah yang berhasil didaur ulang juga
terus naik. Contoh, pada tahun 1995, sebanyak 72,3% sampah
padat dibuang di tempat pemrosesan akhir (TPA) dan hanya
23,7% yang berhasil didaur ulang. Pada tahun 2007, 57,8%
sampah padat berhasil didaur ulang dan hanya 23,6% yang
dibuang. Pada tahun yang sama, sebanyak 81,1% dari total

58
sampah berhasil didaur ulang. Melalui penerapan berbagai
kebijakan ini, Korea mampu memperlambat laju timbulan
sampah hingga 47%. Kemudian pada tahun 2012 meningkat
menjadi 84,4%

Malaysia dan masalah pemilahan sampah

Malaysia merupakan negara berkembang yang memiliki masalah


sampah di sektor kelembagaan, keuangan, dan pengolahan
sampahnya. Sebelum akhir 1970-an, pengelolaan limbah padat
merupakan tanggung jawab pemerintah daerah, di dalamnya
termasuk kebersihan jalan dan transportasi limbah padat ke lokasi
pembuangan kota. Pada masa ini belum ada pertimbangan untuk
memisahkan sampah untuk didaur ulang, karena jumlah sampah
yang dihasilkan tidak banyak. Malaysia pernah menyusun Action
Plan for Beautiful and Clean Malaysia (ABC Plan) atau Rencana
Aksi untuk Malaysia yang Indah dan Bersih (Rencana ABC) pada
tahun 1987. Namun, sejak disusunnya ABC Plan, belum ada
instrumen hukum dan fiskal yang mengatur rencana tersebut.
Walaupun tidak memiliki instrumen hukum, pemerintah
membuat perencanaan untuk pengelolaan sampah di Malaysia
melalui program daur ulang pada tahun 1993 dan 2000. Pada
program daur ulang nasional yang pertama, belum mencapai
59
keberhasilan yang diinginkan. Program ini tidak direspon oleh
masyarakat dan partisipasi publik masih rendah. Salah satu
alasannya adalah ketidakmampuan pemerintah daerah untuk
mempertahankan programnya, permintaan untuk bahan daur
ulang masih rendah; layanan pengumpulan yang buruk, program
kesadaran yang tidak efektif, dan kurangnya kebijakan dan
rencana induk yang berfokus pada daur ulang. Berkaca dari
program sebelumnya, program daur ulang kedua di tahun 2000
pemerintah mulai menanamkan kebiasaan 3R dan kampanye
kesadaran lainnya. Misalnya mempromosikan slogam seperti
'Berpikir sebelum membuang' di televisi. Sayangnya, kampanye
tersebut belum berhasil membuat warga Malaysia untuk
melakukan pemilahan sampah.

Pemerintah Malaysia memperkuat pengelolaan sampah dengan


membuat undang-undang pengolahan sampah. Pemerintah
Malaysia mengadaptasi peraturan undang-undang serupa dari
negara-negara maju lainnya (seperti Jepang, Denmark, Swiss,
Jerman, dan Amerika Serikat). Undang-Undang Pengelolaan
Sampah dan Limbah Publik 2007 atau juga dikenal dengan UU
672 mencakup tentang pengurangan dan daur ulang limbah.
Melaui peraturan ini, pemerintah mulai mengatur tata cara
pengelolaan sampah di negaranya. Ada hal menarik lagi yang bisa

60
dipelajari dari Malaysia, yaitu privastisasi pengelolaan sampah
kepada perusahaan. Hal ini dilakukan karena pemerintah daerah
tidak mampu mengelola sampah di daerahnya. Kekurangan
sumber daya manusia yang memahami teknis dan operasional
pengolahan sampah. Pemerintah daerah membayar sejumlah
uang kepada perusahaan untuk mengolah sampah di daerah
mereka. Ada dua perusahaan yang masih menjadi penanggung
jawab pengelolaan, yaitu Alam Flora Sdn Bhd dan Southern
Waste Management Environment Sdn Bhd.

Sebelum tahun 2007, Malaysia masih mengelola sampahnya


dengan sistem open dumping. Pembangunannya pun dilakukan
tanpa adanya rekayasa yang tepat. Sistem ini memberikan
dampak buruk bagi lingkungan, selalu masalah lindi juga bau
yang tidak sedap bisa sampai ke masyarakat sekitar. Sejak tahun
2007 hingga 2020, Malaysia mulai beralih dari pengelolaan
sampah open dumping ke modern sanitary landfills dan
pembakaran dengan insinerator. Insinerator digunakan untuk
menghilangkan limbah klinis dan berbahaya. Metode insinerasi
membutuhkan biaya investasi yang besar dan tenaga operasional
yang terampil, tapi cara ini adalah salah satu cara yang efektif.
Malaysia telah memiliki insinerator yang disebar di beberapa
wilayah, yaitu di Pulau Pangkor (20 ton/hari) dan Lumut (50

61
ton/hari) di negara bagian Perak, Pulau Langkawi (100 ton/hari)
di negara bagian Kedah, Pulau Tioman (15 ton/hari) dan Cameron
Highlands (40 ton/hari) di negara bagian Pahang, dan Labuan (50
ton/hari). Kemudian ada tiga insinerator berskala besar yang
diusulkan untuk dibangun di Taman Bering (Kuala Lumpur),
bukit payung (Johor), dan Sungai udang (Melaka). Rencana
penggunaan insinerator ini masih memiliki pertentangann dengan
komunitas masyarakat lokal. Alasannya adalah kekhawatiran atas
emisi dioxin dan polutan karsinogenik yang dapat dihasilkan oleh
gas insinerator. Misalnya penolakan dari komunitas lokal Broga
yang menentang proyek dengan dan mengajukan tuntutan hukum
selama bertahun-tahun sejak 2002 karena keprihatinan emisi
dioxin terhadap kesehatan dan lingkungan serta ketidaksesuaian
dalam biaya proyek dan latar belakang dari perusahan EBARA.
Penggunaan insinerator ini ternyata tidak berjalan efektif. Hal ini
disebabkan dari limbah yang masih tercampur dengan sampah
organik, sehingga kadar kelembabannya tinggi. Kondisi ini
menyebabkan insinerator rusak dan tidak diperbaiki akibat
terkendala keuangan (Moh and Abd Manaf, 2017).

62
Jepang, teknologi canggih untuk negara dengan lahan sempit

Jepang adalah negara dengan sistem pengelolaan sampah terbaik.


Pada awalnya, sistem pengolahan sampah bertujuan hanya untuk
mempertahankan standar kesehatan masyarakat. Kemudian,
selama tahun 1970-an, pemulihan energi menjadi fokus utama.
Selama 1990-an, daur ulang diamanatkan secara hukum dalam
sistem. Pada tahun 2000, undang-undang dasar pengelolaan
limbah diberlakukan untuk mempromosikan masyarakat yang
berfokus pada daur ulang. Ini merupakan misi Jepang untuk
mencapai pembangunan berkelanjutan. Masyarakat Jepang telah
mengenal konsep tanggung jawab dalam pengelolaan sampah.
Masyarakat diajak untuk memisahkan sampah menjadi bahan
bakar, non-bahan bakar dan dapat didaur ulang kemudian
mengumpulkannya di pusat pengumpulan setempat. Pemerintah
kotamadya mengumpulkan kertas limbah, kaca, logam, dll.
Sebagian sampah akan didaur ulang, sementara sampah besar
(seperti peralatan atau furnitur rumah) mengandung plastik, kaca,
atau logam perlu dihancurkan sebelum didaur ulang. Selama
2005, sekitar 53 juta ton sampah padat dapat dikelola, 19% di
antaranya didaur ulang, 68% dihilangkan yang sebagian besar
melalui pembakaran, dan 13% ditimbun. Saat ini, teknologi
insinerasi melalui pembakaran plasma mampu mengurangi

63
volume sampah hingga 98%. Namun metode ini membutuhkan
biaya yang sangat besar. Jepang yang memiliki lahan sempit
mendorong penggunaan teknologi tinggi.

Tiongkok, negara penghasil sampah terbanyak

Cina atau Tiongkok pada tahun 2004 menghasilkan 190 juta ton
sampah. Jumlah ini adalah yang tertinggi dibandingkan negara
manapun. Selama dua dekade terakhir, terjadi perkembangan
ekonomi dan pertumbuhan populasi yang pesat di Cina.
Pertumbuhan ini juga diikuti dengan banyaknya timbulan sampah
yang dihasilkan masyarakat, baik oleh domestik maupun industri.
Kondisi ini diatasi dengan sigap oleh pemerintahnya. Berbagai
upaya dilakukan untuk menurunkan produksi sampah dan
meningkatkan daur ulang sampah. Bahkan, Cina pun mengimpor
plastik dari negara lain untuk didaur ulang dan digunakan
kembali. Namun, sejak Januari 2018, pemerintah
memberhentikan impor sampah plastik, besi dan tekstil. Mereka
berfokus untuk menyelesaikan masalah sampah yang ada dalam
negeri. Sejak tahun 1950, daur ulang sampah telah diakui sebagai
kegiatan yang berkelanjutan. Saat ini, ada sekitar 5.000
perusahaan daur ulang yang mempekerjakan sekitar 1,4 juta
orang. Perusahaan memiliki 160.000 pusat pengumpulan dan
64
lebih dari 300 fasilitas pemrosesan. Cina memiliki enam kategori
material dari sampah yang dapat didaur ulang, yaitu besi dan baja,
logam non-besi, plastik, karet, kertas dan kaca. Cina telah berhasil
mendaur ulang 50 juta ton sampah dengan nilai 50 miliar RMB
(yuan). Selain itu, sekitar 400.000 kendaraan telah didaur ulang.
Tidak hanya itu, pemerintah Cina melalui Badan Perlindungan
Lingkungan Negara telah merumuskan konsep “Taman
Pemrosesan Sumberdaya Terbarukan” di mana semua fasilitas
dasar seperti listrik, air dan transportasi akan disediakan dari
sampah. Walaupun Cina memiliki banyak pabrik daur ulang,
namun harus ada upaya pengurangan sampah dari sumbernya.
Saat ini, tidak ada batasan jumlah sampah padat yang dihasilkan
di perumahan, sehingga masyarakat bebas untuk membuang
sampah. Jika pemerintah dapat memperbaiki sistem pemungutan
biaya limbah, ini dapat membantu keuangan fasilitas pengolahan
limbah yang ada dan mempromosikan insentif ekonomi bagi
masyarakat yang mengurangi timbulan sampah dan mengubah
perilaku pengelolaan limbah mereka (Zhang, Tan and Gersberg,
2010).

65
Bab 4
Inovasi Pengelolaan
Sampah
4.1 Inovasi pengelolaan sampah di Indonesia
Gejolak inovasi dalam pengelolaan sampah mulai banyak tumbuh
dari komunitas masyarakat. Bukan karena diperintah oleh siapa
pun, tapi murni karena keresahan mereka akan masalah
lingkungan yang ada di sekitar. Beberapa inovasi tersebut adalah
bank sampah yang membantu untuk tahap pengumpulan sampah,
inovasi yang membuat material baru dari limbah pertanian,
insinerator tanpa bahan bakar dan sedikit asap, hingga pembuatan
paving block dari plastik. Adapun cerita dari masing-masing Commented [D4]: Semua “Paving block” dimiringkan, bias
search lalu replace
inovasi dijabarkan pada bagian berikut ini.

66
Gambar 4. 1 Sebaran bank sampah di Indonesi yang ditunjukkan
oleh warna (Badan Pusat Statistik, 2018)
Bank sampah merupakan salah satu tempat yang betujuan untuk
edukasi persoalan sampah kepada masyarakat. Bank sampah
memiliki sistem pengelolaan sampah, khususnya sampah kering.
Di dalamnya terdapat aktivitas penampungan, pemilahan dan
penyaluran sampah yang masih dapat didaur ulang dan memiliki
nilai ekonomi. Nilai ekonomi inilah yang menjadi daya tarik bagi
masyarakat yang mendaftarkan diri sebagai nasabahnya. Namun,
tentunya bukan menjadi tujuan utama. Sampah yang akan
disetorkan oleh nasabah hanyalah sampah anorganik, sehingga
masyarakat dipaksa untuk memilah dan mengelompokkan
sampah. Setiap kota di daerah, khususnya tingkat RT didorong
oleh pemerintah untuk mendirikan bank sampah.

Diharapkan bank sampah ini akan membantu pemilahan sampah


dan mengurangi jumlah sampah yang ditimbun di TPA. Gambar
67
4.1 menunjukkan sebaran bank sampah tahun 2016. Semua
provinsi di Indonesia telah memiliki bank sampah. Warna hijau
di Jawa menunjukkan jumlah bank sampah di Jawa telah ada lebih
dari 235 bank sampah. KLHK menyatakan terdapat sebanyak
5.244 Bank Sampah yang tersebar di 34 provinsi atau 219
kabupaten/kota pada tahun 2017. Bank sampah telah
berkontribusi dalam pengurangan sampah. Dari 5.244 bank
sampah pada tahun 2015 kontribusinya sebesar 0,01 persen,
kemudian di tahun 2016 naik menjadi 0,14 persen, dan tahun
2017 naik sebesar 1,7 persen.

Kota Pontianak memiliki 13 Bank Sampah yang telah diresmikan


oleh Dinas Lingkungan Hidup Kota Pontianak. Namun, dari 13
bank sampah tersebut, setidaknya ada 5 bank sampah yang masih
aktif hingga saat ini. Tiga diantaranya adalah, Bank Sampah
Berkah Mendawai, Bank Sampah Rosella, Bank Sampah Palem
Asri.

68
Bank Sampah Berkah Mendawai

Gambar 4. 2 Bank Sampah Berkah Mendawai (Sumber : Tamaz


Faiz Dicelebica, dkk, 2019)

Bank sampah Berkah Mendawai terletak di Gang Rahmah,


Mendawai Tengah, Jl Imam Bonjol, Bansir Laut, Pontianak
Tenggara, Kota Pontianak. Sebelumnya, merupakan tempat
pengumpulan barang bekas yang kemudian disulap menjadi bank
sampah. Kehadiran bank sampah Berkah Mendawai didorong
oleh keprihatinan para ibu terhadap masyarakat yang langsung
membuang sampah ke badan Sungai Kapuas. Bank sampah ini
diinisiasi oleh 10 orang ibu, salah satunya adalah Ibu Mariamah
yang sekarang dipercaya sebagai manajer bank sampah. Bank
69
Sampah Berkah Mendawai telah disahkan pada tahun 2018
berdasarkan Keputusan Lurah Bansir Laut, Kecamatan Pontianak
Tenggara, Nomor 18 Tahun 2018 tentang Pembentukan Pengurus
Bank Sampah Tahun 2018.

Hingga kini, Bank Sampah Berkah Mendawai memiliki 40


nasabah. Proses pengumpulan sampah biasa dilakukan 1-2 kali
dalam seminggu, pada hari Sabtu dan Minggu. Selain dari
nasabah, para pengurus juga aktif mengumpulkan sampah yang
dibuang di pinggir Sungai Kapuas. Ada sampah yang langsung
dijual kepada pengepul atau dijadikan bahan kerajinan.
Sedangkan sampah organik diolah menjadi pupuk kompos. Tidak
hanya itu, Bank Sampah Mendawai juga melakukan inovasi
dalam pengelolaan sampah, diantaranya adalah menjadikan
sampah untuk membuat paving block. Inovasi ini masih dalam
tahap pengembangan yang memerlukan penelitian dan uji coba
lebih lanjut.

70
Bank Sampah Rosella

Gambar 4. 3 Bank Sampah Rosella (Sumber : Sekolastika Febria


Ema, dkk, 2019)
Bank Sampah Rosella adalah satu dari 13 bank sampah yang ada
di Kota Pontianak. Bank Sampah Rosella resmi berdiri pada tahun
2013 yang diinisiasi oleh Ibu Endah (Alm), selaku lurah Parit
Tokaya. Bank Sampah Rosella berada di jalan Purnama 1, gang
Purnama Agung VII, kelurahan Parit Tokaya, kecamatan
Pontianak Selatan, kota Pontianak. Bank sampah Rosella
memiliki sistem pengumpulan dan pengelolaan sampah yang
baik. Dalam pengelolaannya, ada sampah yang dijual langsung ke
pengepul dan ada yang dijadikan sebagai bahan kerajinan.

71
Kerajinan ini dibuat oleh pekerja di Bank Sampah Rosella.
Produk yang dihasilkan ada kotak tisu dari kaleng susu, keset dari
kain bekas, tas dari sedotan atau bunga buatan dari kantong
kresek. Produk ini dijual melalui media sosial, maupun pameran.
Keuntungannya akan digunakan untuk biaya operasional bank
sampah.

Gambar 4. 4 Kerajinan dari Bank Sampah Rosella (Sumber :


Facebook Bank Sampah Rosella, 2019)

72
Bank Sampah Palem Asri

Bank sampah ketiga adalah Bank Sampah Palem Asri yang


berlokasi di Jalan. Pal 4 Gg. Kayumanis II, Sungai Jawi,
Kecamatan Pontianak Kota, Kalimantan Barat. Bank Sampah
Palem Asri berdiri pada Maret 2018. Berbeda dengan bank
sampah sebelumnya, bank sampah ini diketuai oleh seorang
Bapak bernama Muhammad Ali Imran. Selain itu, ada yang unik
dari bank sampah ini. Bank Sampah Palem Asri bekerja sama
dengan pegadaiann sehingga sampah dapat ditukar menjadi uang
atau emas. Program ini dinamakan The Gade Clean and Gold
bersama pegadaian. Penukaran dengan emas dapat dilakukan jika
jumlah saldo di bank sampah sudah mencapai Rp 700.000. Selain
itu, nasabah juga dapat meminjam uang di pegadaian
menggunakan buku tabungan sebagai jaminan.

Ketiga bank sampah ini memiliki tujuan dan peran yang berbeda
dalam pengelolaan sampah. Tapi, yang pasti ketiganya membawa
dampak positif dalam masyarakat. Masyarakat pun mulai
memahami pentingnya pemilahan sampah dan menjaga
kelestarian lingkungannya dari sampah. Namun, sosialisasi harus
terus dilakukan, karena masih banyak nasabah yang menukar
sampah yang belum dibersihkan atau belum terpilah. Selain itu,

73
keterampilan dan inovasi pengelolaan sampah juga harus terus
dikembangkan.

Limbah pertanian sebagai menjadi material baru yang


berkelanjutan

Gambar 4. 5 Panel dinding yang terbuat dari limbah pertanian


(Adi Permana / ITB)

74
Saat ini, praktik biodesign mulai banyak dilakukan. Biodesign
adalah proses desain dan fabrikasi yang menggunakan agen
biologi atau didasari oleh biologi. Komponen dari organisme
hidup menjadi komponen dalam desain. Ini dapat terjadi ketika
seorang arsitektur atau desainer berkolaborasi dengan ilmuwan
biologi untuk mengeksplor material baru ini dan bagaimana cara
menggunakannya. Material ini dapat diperoleh dengan cara
ditumbuhkan, bukan melalui proses produksi yang seringkali
menghancurkan alam. Melalui integrasi makhluk hidup, seperti
bakteri, ganggang atau jamur dengan proses desain. Mereka dapat
mencari solusi material yang lebih berkelanjutan.

75
Gambar 4.6 Tas terbuat dari jamur tempe (Sumber :
Antara/Tempo, 2019)

Salah satu material yang telah diproduksi dan digunakan adalah


material berbasis miselium. Miselium adalah bagian vegetatif
dari jamur yang terbuat dari hifa. Hifa jamur yang bertindak
sebagai agen penumbuh ini memiliki struktur yang panjang dan
bercabang. Hifa di alam memiliki peran utama untuk
membusukkan limbah organik melalui enzim yang dihasilkan.
Miselium akan memecah biopolimer menjadi senyawa sederhana
76
yang akan menjadi nutrisi karbon bagi makhluk hidup lainnya.
Pada saat proses pembusukan ini, hifa akan tumbuh melingkupi
limbah organik yang merupakan substratnya kemudian
membentuk lapisan halus yang disebut kulit jamur. Miselium ini
biasanya digunakan dalam industri medis untuk memproduksi
enzim dan senyawa antibiotik atau asam organik lainnya.

Penggunaan miselium untuk membuat material baru telah dimulai


pada tahun 1980 oleh ilmuwan Jepang, Shigure Yamanaka yang
meneliti kekuatan miselium untuk menghasilkan kertas dan
bangunan tertentu. Eksplorasi lebih lanjut baru dilakukan lagi
akhir-akhir ini. Para perancang produk dan arsitek mulai
mengeksplorasi penggunaan miselium dalam desain produk,
fashion, dan arsitektur sebagai alternatif material yang
berkelanjutan. Beberapa produk yang telah dihasilkan adalah
bahan kulit, peralatan dapur, kemasan, panel dinding dan langit,
kursi dan lainnya (Ghazvinian et al., 2020).
Di Indonesia sendiri sudah ada sebuah perusahaan start up yang
memproduksi material ini. Mycotech adalah perusahaan yang
berbasis di Bandung, namun sudah dikenal sampai Singapura,
Swiss, Jepang dan negara lainnya. Mycotech memanfaatkan
sampah pertanian untuk dijadikan material baru dengan kualitas
tinggi. Sampah pertanian berupa biomassa tumbuhan bisa diolah
77
menjadi material bangunan (biobo) atau bahan kulit (mylea). Ide
ini terinspirasi dari jamur tempe. Dalam proses pembuatan tempe,
jamur bekerja untuk merekatkan butiran biji kedelai. Prinsip yang
sama digunakan dalam proses pembuatan material. Serat yang
dibentuk oleh jamur dapat menjadi perekat biomassa limbah
pertanian dan membentuk material yang kuat. Inovasi ini mampu
menyelesaikan dua permasalahan sekaligus, yaitu pengolahan
limbah pertanian dan menjawab kebutuhan material yang
berkelanjutan.

Black Soldier Fly (BSF) sebagai biomesin pengolah sampah


organik

Salah satu inovasi yang berpotensi untuk dikembangkan


kedepannya adalah pengolahan dengan black soldier fly (BSF)
atau lalat tantara hitam. Larva dari spesies Hermetia illucens L ini
dapat memakan berbagai bahan organik, seperti buah-buahan dan
sayuran, sampah pasar, sampah dapur, limbah ikan, bungkil
kelapa sawit, dan kotoran hewan. Kemampuannya dalam
mereduksi sampah organik sebesar 66 – 85 %. Pengolahan
sampah dengan BSF tepat diaplikasikan di Indonesia, karena
komposisi sampah masih didominasi oleh sampah organik yang
memiliki kadar air 65-75%. Kadar air yang tinggi ini dapat

78
menghambat pengolahan sampah dengan teknik pemanasan atau
pirolisis. Larva BSF dapat membuka peluang ekonomi baru yang
cocok diterapkan di masyarakat perkotaan di negara berkembang.
Larva BSF memiliki sifat yang sangat aktif memakan berbagai
bahan organik, seperti buah-buahan dan sayuran, sampah pasar,
sampah dapur, limbah ikan, bungkil kelapa sawit, dan kotoran
hewan ternak dan manusia. Kemampuannya dalam mereduksi
sampah organik sebesar 66 – 85%. Selain kemampuan larva BSF
dalam memakan sampah, fase akhir larva yang disebut prepupa
dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Kandungan proteinnya
yang tinggi, yaitu protein 40% dan lemak 30% bisa digunakan
sebagai pakan ikan maupun hewan ternak. Indonesia saat ini
memiliki masalah dalam pemenuhan pakan, terutama tepung ikan
dan tepung udang. Selama ini pakan ternak di Indonesia masih
bergantung pada pakan impor. Tepung ikan dan tepung udang
telah mengalami penurunan sebesar 15.56%. Di sisi lain,
kandungan lemak larva BSF sebesar 30% berpotensi untuk
menjadi bahan baku produksi diesel. Residu sampah yang
dihasilkan dalam proses pemanfaatan BSF dapat digunakan
sebagai kompos dan amandemen tanah di bidang pertanian
(Monita et al., 2017)

79
Gambar 4. 7 Komunitas Kreasi Sungai Putat (KSP) telah
mengembangkan pengolahan sampah organik dengan BSF di
Pontianak (Sumber: Syamhudi KSP, 2019)

Pontianak memiliki komunitas Kreasi Sungai Putat (KSP) yang


menjadi penggagas pengolahan sampah organik dengan BSF.
Komunitas ini diketuai oleh Syamhudi dan berlokasi di Jalan
Dharma Putra No.25, Siantan Hilir, Pontianak Utara, Kota
Pontianak, Kalimantan Barat. Walaupun masih baru, aktivitas
pengolahan ini terus berkembang. Sampah organik yang berasal
dari pasar ada sebagian yang diolah disini. Namun, sampah

80
organik dan anorganik yang masih tercampur menjadi salah satu
kendala dalam proses pengolahannya.

Sampah plastik menjadi Paving Block

Aziz Pusantaraka dan Angga Nurdiansah berinovasi dengan


mengubah sampah plastik menjadi paving block. Aziz dan Angga
membutuhkan waktu enam sampai tujuh bulan untuk menemukan
formula yang tepat dalam pembuatan paving block ini. Awalnya
mereka melakukan eksperimen dengan membuat konblok dari
lelehan pembakaran kantong plastik dicampur pasir. Hasilnya,
satu konblok berukuran satu meter persegi (m2) dapat dihasilkan
dari 50 kg plastik.

Gambar 4. 8 Paving block dari kantong plastik (sumber:


dokumen Sumpah Sampah / Mongabay, 2019)

Konblok telah diuji dan diketahui mempunyai kekuatan hampir


dua kali lipat dibandingkan konblok biasa. Namun, jika terkena
air hujan konblok dari plastik ini cepat rusak. Selain itu proses

81
pembuatannya dengan pemanasan dapat menghasilkan bau
menyengat dan asap hitam pekat yang dikhawatirkan akan
mengganggu kesehatan. Namun, tidak sampai disitu, kelemahan-
kelemahan dari paving block ini mampu diperbaiki melalui uji
coba lebih lanjut. Hingga akhirnya mereka mendapatkan bantuan
pendanaan dari suatu organisasi. Saat ini, proses produksi
dilakukan di Citeureup, Jabar. Lokasinya pun berdekatan dengan
pemasok bahan baku, yaitu ibu-ibu dan para pemulung. Melalui
kerja sama dengan warga kampung Citeuruep untuk
mengumpulkan sampah. Mereka dapat menukarkan satu kilo
sampah kantong plastik dengan Rp1.300-Rp1.500. Uang ini dapat
ditukarkan untuk membeli sembako.

Insinerator ramah lingkungan

Gambar 4. 9 Insinerator ramah lingkungan dapat menjadi pilihan


dalam pengolahan sampah di tingkat institusi (Sumber : Hikmat
Ramdan, 2018)
82
Insinerator menjadi pilihan bagi semua negara dalam mengurangi
jumlah sampah. Namun, ada efek negatif yang timbul dari
pembakaran sampah dengan insinerator, yaitu asap yang
dihasilkan sering menganggu warga sekitar. Sebuah inovasi oleh
CV Trima Aqila, insinerator yang dapat digunakan tanpa bahan
bakar minyak atau gas. Namun, jika ingin membakar sampai suhu
1000 derajat celcius dibutuhkan gas untuk meningkatkan panas.
Gas yang keluar juga sedikit karena telah mengalami proses
penyaringan bertahap. Sehingga aman bagi lingkungan.
Insinerator ini cocok digunakan di tingkat institusi besar, seperti
universitas, sekolah, maupun perusahaan industri kecil. Sisa abu
yang dihasilkan berpotensi didaur ulang menjadi pot tanaman,
karena memiliki kandungan karbon dan nutrisi lain yang
dibutuhkan tanaman. Insinerator ini telah digunakan di Institut
Pertanian Bogor dan pabrik kulit di Garut, Jawa Barat.

83
Bab 5
Ekonomi Sirkular dan
Sampah

5.1 Ekonomi Sirkular


Populasi dunia akan terus tumbuh dan ekonomi dunia terus
berkembang. para ahli sepakat bahwa diperlukan strategi
pengelolaan limbah yang lebih efektif untuk meminimalkan
dampak tambahan terhadap lingkungan dan kesehatan manusia.
Ini bukan hanya masalah satu negara, namun masalah global. Saat
ini, Eropa dan Asia Tengah menghasilkan 392 juta ton limbah
pada tahun 2016, atau 1,18 kg per orang setiap hari. Sekitar tiga
perempat dari limbah ini memiliki potensi untuk dipulihkan
kembali melalui proses daur ulang atau pengelolaan organik.
Namun, hingga saat ini, hanya 31% dari sampah yang melalui
daur ulang dan pengomposan. Banyaknya timbulan sampah ini
tidak hanya menurunkan kualitas lingkungan dan kesehatan bagi
masyarakat yang tinggal di sekitar, tetapi juga memperburuk
kualitas udara dan mempercepat perubahan iklim. Pada tahun
2016, 1,6 miliar ton gas karbon dioksida dihasilkan oleh proses

84
pengolahan limbah yang tidak tepat, jumlah ini mewakili 5% dari
total emisi di seluruh dunia. Praktik ini sangat tidak sesuai dengan Commented [D5]: Menurut kbbi “praktik”

konsep pembangunan berkelanjutan yang menjadi tujuan global.

Gambar 5. 1 Tujuan global saat ini adalah pembangunan yang


berkelanjutan

Saah satu cara untuk keluar dari paradigma lama adalah dengan
menerapkan konsep Circular Economy (CE) yang sejalan dengan
pembangunan berkelanjutan. Tujuan dari konsep ini adalah
mempertahankan nilai tambah produk selama mungkin dan
meminimalkan pemborosan, menjaga sumber daya dalam
perekonomian ketika produk tidak lagi memenuhi fungsinya,
sehingga bahan dapat digunakan lagi dan menghasilkan nilai
85
tambahan. Dengan demikian, model bisnis sirkuler menciptakan
nilai lebih dari setiap unit sumber daya alam dibandingkan
dengan model tradisional yang linier (Robaina et al., 2020).

Gambar 5. 2 Ilustrasi konsep ekonomi sirkular (Sumber: Jouni


Korhonen, 2017)
Konsep CE pertama kali diperkenalkan pada tahun 1966 oleh
ekonom Kenneth Boulding dalam esainya ' The Economics of
Coming Spaceship Earth’. Kemudian, konsep ini dibahas lebih
lanjut oleh ekonom lingkungan Pearce dan Turner dalam buku
mereka ‘Economics of natural resources and the environment'.
Konsep ini menerapkan sistem Resource Recovery and Reuse
86
(3R) yang melibatkan loop sumber daya seperti pada gambar
(Rathore and Sarmah, 2020). Tujuannya adalah untuk
pemanfaatan sumber daya yang berkelanjutan sambil
meningkatkan ekonomi. Tidak seperti paradigma lama yang
menggunakan sumber daya alam secara linier sampil menurunkan
nilai ekonomi dari prosuk. Selain itu, konsep ini juga berdampak
positif bagi lingkungan dengan mengurangi polusi lingkungan
melalui daur ulang limbah dari proses produksi sumber daya.
Misalnya, sampah yang dapat digunakan sebagai sumber daya
untuk menghasilkan biogas untuk bahan bakar dalam pembangkit
listrik dan mengurangi ketergantungan pada batubara. Melalui
cara ini akan mengurangi kebutuhan akan tambang batubara dan
mengurangi polusi lingkungan.

Ada beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk merangsang


transisi menuju ekonomi sirkular. Adapun langkah – langkah
tersebut adalah sebagai berikut:

1. Desain produk ditujukan untuk membuat produk yang


lebih tahan lama atau lebih mudah untuk diperbaiki,
ditingkatkan atau diproduksi ulang.
2. Proses produksi yang menggunakan sumber daya yang
lebih efisien.

87
3. Meningkatkan kesadaran konsumsi melalui transparansi
informasi, seperti jejak lingkungan, label efisiensi energi,
ketersediaan perbaikan dan suku cadang, dan desain
perpajakan untuk memberikan insentif ekonomi yang
memadai.
4. Pengelolaan limbah untuk meningkatkan daur ulang atau
memulihkan kandungan energinya.
5. Keterkaitan sumber daya limbah, untuk memasukkan
kembali bahan mentah sekunder ke dalam loop ekonomi
dan meningkatkan daur ulang air.

5.2 Sampah ke Energi (Waste to Energy)


Salah satu bentuk dari penerapan konsep ekonomi sirkular adalah
penggunaan sampah sebagai energi terbarukan. Sistem sampah ke
energi atau waste to energy (WTE) bekerja dengan cara
membakar sampah. Panas yang menghasilkan uap akan
mendorong turbin dan dapat memproduksi listrik. Di Amerika
Serikat, WTE ini sudah menjadi sumber energi yang signifikan.
WTE sering digunakan di negara maju yang memiliki sumber
daya terbatas. Misalnya Singapura dengan luas lahan 683 km2
yang meproduksi sampah 7200 ton/hari. Singapura mengelola
sampah dengan cara dibakar hingga sampah tereduksi menjadi

88
10% dan dijadikan sebagai bahan untuk membuat pulau baru.
Singapura memiliki empat insinerator, yaitu Ulu Pandan (tahun
1979) dengan kapasitas 1.100 ton/hari, Tuas (tahun 1986) yang
berkapasitas 1.700 ton/hari, Senoko (tahun1992) dengan
kapasitas 2.400 ton/hari dan Tuas (tahun 2000) yang dapat
mengolah sampah 3.000 ton/hari.

Pemerintah Indonesia memiliki kebijakan dalam pengelolaan


sampah ke energi. Hal itu diatur dalam UU Nomor 30 Tahun 2007
tentang Energi, pemerintah akan mengatur penyediaan dan
pemanfaatan energi secara berkelanjutan. Peraturan ini
mewajibkan pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk
memanfaatkan energi terbarukan sesuai dengan kewenangannya
dan menyediakan insentif untuk pemanfaatan energi baru
terbarukan. Kemudian di tahun 2020, pemerintah menerbitkan
PERMEN No. ESDM 50/2017 jo No. 4/2020 tentang
Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan untuk Listrik. Di
dalamnya terdapat pengaturan mekanisme pembelian dan tarif
tenaga listrik yang berasal dari sumber energi terbarukan. Selain
itu, pemerintah mewajibkan PLN untuk membeli listrik dari
sumber energi terbarukan dengan mengacu pada Kebijakan
Energi Nasional dan Rencana Umum Ketenagalisitrikan.

89
Penggunaan teknologi WTE sudah diperkenalkan di Indonesia
sejak tahun 1980-an. Namun, hingga saat in belum pernah
dibangun dan dioperasikan karena belum mempunyai
pengalaman dan kemampuan sendiri untuk mengembangkan
teknologi tersebut dalam kapasitas besar. Namun, dalam lima
tahun terakhir, pemerintah giat melakukan percepatan
pembangunan fasilitas WTE. Pemerintah mengeluarkan
peraturan presiden No. 18/2016 tentang pembangunan WTE di
tujuh kota dan Peraturan Presiden No. 35/2018 tentang
percepatan pembangunan WTE untuk 12 kota di Indonesia.
Pemerintah Kota Pontianak pun memulai pembangunan ini
melalui kerja sama dengan PT Gikoko Kogyo pada 18 Januari
2007.

90
91
Salah satu metode mengonversi sampah menjadi energi adalah
melalui proses refused-derived fuel (RDF). Melalui RDF, sampah
yang telah dipilah melalui proses pembakaran pada suhu tertentu.
Kemudian dilakukan proses homogenisasi menjadi ukuran
butiran kecil atau dibentuk menjadi pelet yang dapat digunakan
sebagai pengganti bahan bakar fosil. RDF dapat diproduksi dari
berbagai jenis limbah, seperti municipal solid waste (MSW) atau
limbah padat perkotaan, limbah industri, limbah komersial,
ataupun limbah pertanian/hutan.Teknologi RDF ini dapat
mengurangi timbulan sampah dalam jumlah yang signifikan
dalam waktu relatif singkat. Kualitas kalori RDF sangat
tergantung dari jenis sampah yang dimanfaatkan. Salah satu
kendala yang mungkin dihadapi dalam penerapannya di
Indonesia adalah tercampurnya sampah organik dan anorganik.
Sampah yang tercampur akan mengurangi efektifitas pembakaran
dan kualitas dari pelet yang dihasilkan.

Tugas selanjutnya untuk masyarakat, akademisi dan pemerintah


adalah terus mencari solusi bagi sampah ini melalui penelitian
yang berkelanjutan. Sehingga sampah yang ada di Indonesia
dapat digunakan sebagai bahan primer maupun sekunder di
proses produksi lainnya. Sesuai dengan konsep ekonomi sirkular.
Jika jenis sampah yang dihasilkan berbeda, maka tiap negara pun

92
memiliki caranya masing-masing dalam pengolahan sampah ini.
Intinya adalah tercipta integrasi holistik yang harmonis dari
pengelolaan limbah kota, pengemasan makanan dan limbah
makanan, sampah laut, pariwisata, pertanian lokal, dan ekonomi
lokal.

93
DAFTAR PUSTAKA

Damanhuri, E dan Padmi,T. (2016). Pengelolaan Sampah


Terpadu. Penerbit ITB.

Ghazvinian, A. et al. (2020) ‘Mycelium-Based Bio-Composites


For Architecture: Assessing the Effects of Cultivation Factors
on Compressive Strength’, 2, pp. 505–514. doi:
10.5151/proceedings-ecaadesigradi2019_465.

Jafari, N. H., Stark, T. D. and Merry, S. (2013) ‘The July 10


2000 Payatas Landfill Slope Failure’, International Journal of
Geoengineering Case Histories, 2(3), pp. 208–228. doi:
10.4417/IJGCH-02-03-03.

Lavigne, F. et al. (2014) ‘The 21 February 2005, catastrophic


waste avalanche at Leuwigajah dumpsite, Bandung, Indonesia’,
Geoenvironmental Disasters, 1(1), pp. 1–12. doi:
10.1186/s40677-014-0010-5.

Marshall, R. E. and Farahbakhsh, K. (2013) ‘Systems


approaches to integrated solid waste management in developing
countries’, Waste Management, 33(4), pp. 988–1003. doi:
10.1016/j.wasman.2012.12.023.

Miller, D. a (2010) Garbage and Recycling. Cengage Learning.


94
Moh, Y. C. and Abd Manaf, L. (2017) ‘Solid waste management
transformation and future challenges of source separation and
recycling practice in Malaysia’, Resources, Conservation and
Recycling. Elsevier B.V., 116(2017), pp. 1–14. doi:
10.1016/j.resconrec.2016.09.012.

Monita, L. et al. (2017) ‘PENGOLAHAN SAMPAH


ORGANIK PERKOTAAN MENGGUNAKAN LARVA
BLACK SOLDIER FLY (Hermetia illucens)’, Jurnal
Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (Journal of
Natural Resources and Environmental Management), 7(3), pp.
227–234. doi: 10.29244/jpsl.7.3.227-234.

Mor, S. et al. (2006) ‘Leachate characterization and assessment


of groundwater pollution near municipal solid waste landfill
site’, Environmental Monitoring and Assessment, 118(1–3), pp.
435–456. doi: 10.1007/s10661-006-1505-7.

Pichtel, J. (2010) Waste Management Practices: Municipal,


Hazardous, and Industrial (Google eBook). Available at:
http://books.google.com/books?id=vKW-Imcs6FAC&pgis=1.

Rathore, P. and Sarmah, S. P. (2020) ‘Economic, environmental


and social optimization of solid waste management in the
context of circular economy’, Computers and Industrial

95
Engineering. Elsevier, 145(April), p. 106510. doi:
10.1016/j.cie.2020.106510.

Robaina, M. et al. (2020) ‘Circular economy in plastic waste -


Efficiency analysis of European countries’, Science of the Total
Environment, 730. doi: 10.1016/j.scitotenv.2020.139038.

Shekdar, A. V. (2009) ‘Sustainable solid waste management: An


integrated approach for Asian countries’, Waste Management.
Elsevier Ltd, 29(4), pp. 1438–1448. doi:
10.1016/j.wasman.2008.08.025.

Swaroop, K. (2020) Waste of a Nation: Garbage and Growth in


India, South Asia: Journal of South Asian Studies. Harvard
University Press. doi: 10.1080/00856401.2020.1704531.

Thi, N. B. D., Kumar, G. and Lin, C. Y. (2015) ‘An overview of


food waste management in developing countries: Current status
and future perspective’, Journal of Environmental Management.
Elsevier Ltd, 157, pp. 220–229. doi:
10.1016/j.jenvman.2015.04.022.

Zhang, D. Q., Tan, S. K. and Gersberg, R. M. (2010) ‘Municipal


solid waste management in China: Status, problems and
challenges’, Journal of Environmental Management. Elsevier
Ltd, 91(8), pp. 1623–1633. doi: 10.1016/j.jenvman.2010.03.012.
96
GLOSARIUM

Lindi: cairan yang timbul sebagai limbah akibat masuknya air


eksternal ke dalam urugan atau timbunan sampah,
melarutkan dan membilas materi terlarut, termasuk juga
materi organik hasil proses dekomposisi biologis.
Pemilahan: kegiatan mengelompokkan dan memisahkan sampah
sesuai dengan jenis.
Pengangkutan: kegiatan membawa sampah dari sumber atau
tempat penampungan sementara menuju tempat
pengolahan sampah terpadu atau tempat pemrosesan akhir
dengan menggunakan kendaraan bermotor yang didesain
untuk mengangkut sampah.
Pengolahan: kegiatan mengubah karakteristik, komposisi,
dan/atau jumlah sampah.
Pengumpulan: kegiatan mengambil dan memindahkan sampah
dari sumber sampah ke tempat penampungan sementara
atau tempat pengolahan sampah dengan prinsip 3R.
Pemrosesan Akhir Sampah: proses pengembalian sampah
dan/atau residu hasil pengolahan sampah sebelumnya ke
media lingkungan secara aman.

vi
Pewadahan: kegiatan menampung sampah sementara dalam
suatu wadah individual atau komunal di tempat sumber
sampah dengan mempertimbangkan jenis-jenis sampah.
Sampah Rumah Tangga: sampah yang berasal dari kegiatan
sehari-hari dalam rumah tangga, yang tidak termasuk tinja
dan sampah spesifik.
Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga: sampah rumah
tangga yang berasal dari kawasan komersial, kawasan
industri, kawasankhusus, fasilitas sosial, fasilitas umum,
dan/atau fasilitas lainnya.
Sumber Sampah: asal timbulan sampah.
Residu: sampah yang tidak dapat diolah dengan pemadatan,
pengomposan, daur ulang materi dan/atau daur ulang
energi.
Tempat Penampungan Sementara, yang selanjutnya
disingkat TPS: tempat sebelum sampah diangkut ke
tempat pendauran ulang, pengolahan, dan/atau tempat
pengolahan sampah terpadu.
Tempat Pengolahan Sampah Terpadu, yang selanjutnya
disingkat TPST: tempat dilaksanakannya kegiatan
pengumpulan, pemilahan, penggunaan ulang, pendauran
ulang, pengolahan, dan pemrosesan akhir.

vii
Tempat Pemrosesan Akhir yang selanjutnya disingkat TPA:
tempat untuk memproses dan mengembalikan sampah ke
media lingkungan.

viii
INDEKS

Lindi, 4,6, 11, 28, 34, 36, 37, 40


Pemilahan, 25, 38, 39, 44, 47
Pengangkutan, 20, 24, 28
Pengolahan, 5, 10, 15, 17, 21, 24, 25
Pengumpulan, 20, 24-26, 28, 30
Pemrosesan Akhir Sampah, 4, 5, 19, 33, 38
Pewadahan, 20, 24
Sampah Rumah Tangga, 11, 12, 36
Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga, 11, 12, 36
Sumber Sampah, 24
Residu, 13, 18, 19, 28, 50
Tempat Penampungan Sementara, 21, 25, 30
Tempat Pengolahan Sampah Terpadu, 18, 30, 31, 35, 36
Tempat Pemrosesan Akhir, 4, 5, 19, 33, 38

ix

Anda mungkin juga menyukai