LAPORAN AWAL
BAB - II
LANDASAN TOERI DAN KEBIJAKAN
LAPORAN AWAL
lingkungan salah satunya adalah penanganan permukiman kumuh, sebagaimana yang
ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan
dan Kawasan Permukiman bahwa penataan perumahan dan permukiman bertujuan untuk:
1) Memenuhi kebutuhan rumah sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia, dalam rangka
peningkatan dan pemerataan kesejahteraan manusia;
2) Mewujudkan perumahan dan permukiman yang layak dalam lingkungan yang sehat,
aman serasi dan teratur. Dan menurut kebijakan RPJMN 2005- 2025 yaitu Meningkatkan
aksesibilitas masyarakat berpenghasilan rendah terhadap hunian yang layak dan
terjangkau.
Perumahan adalah kumpulan rumah sebagai bagian dari permukiman pada wilayah
kawasan perkotaan, yang di lengkapi dengan prasarana, sarana, dan utilitas umum sebagai
hasil upaya pemenuhan rumah layak huni. Konsepsi tentang rumah harus mengacu pada
tujuan utama manusia yang menghuninya dengan segala nilai dan norma yang dianutnya.
Dalam banyak istilah rumah lebih digambarkan sebagai sesuatu yang bersifat fisik (house,
dwelling, shelter) atau bangunan untuk tempat tinggal/ bangunan pada umumnya. Jika
ditinjau secara lebih dalam rumah tidak sekedar bangunan melainkan konteks sosial dari
kehidupan. Ketidak seimbangan pasokan (supply) dan permintaan (demand), kebutuhan
rumah paling banyak adalah berasal dari golongan rumah menengah ke bawah.
Ketidakseimbangan aksesibilitas masyarakat terhadap fasilitas pelayanan kota terutama
masyarakat berpendapatan rendah yang membangun rumahnya dalam batas
kemampuannya pada ruang-ruang kota, karena dianggap ilegal, jadi tidak memiliki akses
yang semestinya ke fasilitas pelayanan kota, seperti prasarana dan sanitasi lingkungan. Hal
ini menunjukkan tidak terlindunginya hak-hak mereka sebagai warga kota. Masalah
perolehan tanah dan masalah-masalah penyediaan rumah layak huni merupakan tanggung
jawab seluruh komponen baik pihk pemerintah , masyarakat dan swasta. Oleh karenanya
setiap pihak harus mengupayakan perbaikan perumahan sesuai dengan kemampuannya
masing-masing, baik melalui sumbang pemikiran, tenaga maupun modal.
Masalah perumahan adalah masalah yang kompleks, yang bukan semata-mata aspek
fisik membangun rumah, tetapi terkait sektor yang amat luas dalam pengadaannya, seperti
pertanahan, lingkungan hidup dan aspek sosial ekonomi budaya masyarakat, dalam upaya
membangun aspek-aspek kehidupan masyarakat yang harmonis. Oleh karena itu,
pembangunan perumahan secara keseluruhan tidak dapat dilepaskan dari keseluruhan
pembangunan permukiman dan bagian penting dalam membangun kehidupan masyarakat
yang effisien dan produktif. Upaya pembangunan perumahan yang telah dilaksanakan
selama ini, bersifat sangat sektoral dan hanya berupa proyek-proyek yang sifatnya parsial
dan tidak berkelanjutan. Selain itu, upaya pembangunan perumahan yang dilakukan di
LAPORAN AWAL
daerah-daerah sangat terbatas sekali karena keterbatasan kemampuan sumber daya
manusia, sumber pembiayaan maupun pengembangan pilihan-pilihan teknologi dan upaya
pemberdayaan masyarakat setempat yang kurang menjadi program utama. Pelaksanaan
penyelenggaraan perumahan dan pemukiman daerah sebagai mana yang dimaksudkan
dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan Dan Kawasan Permukiman
mengemban tujuan-tujuan untuk diupayakan perwujudannya. Pertama, memberikan
kepastian hukum dalam penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman. Kedua,
mendukung penataan dan pengembangan wilayah serta penyebaran penduduk yang
proporsional melalui pertumbuhan lingkungan hunian dan kawasan permukiman sesuai
dengan arahan tata ruang untuk mewujudkan keseimbangan kepentingan, terutama bagi
Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). Ketiga, meningkatkan daya guna dan hasil guna
sumber daya alam bagi pembangunan perumahan dengan tetap memperhatikan kelestarian
fungsi lingkungan pada kawasan perkotaan. Keempat, memberdayakan para pemangku
kepentingan bidang pembangunan perumahan dan kawasan permukiman. Kelima,
menunjang pembangunan di bidang ekonomi, sosial, dan budaya. Keenam, menjamin
terwujudnya rumah yang layak huni dan terjangkau dalam lingkungan yang sehat, aman,
serasi, teratur, terencana, terpadu, dan berkelanjutan.
Adapun faktor-Faktor Penentu Pengadaan Perumahan yaitu faktor-faktor yang
mempengaruhi upaya pengadaan perumahan dan permukiman antara lain :
a. Faktor kebutuhan yaitu menyangkut besarnya kebutuhan berkaitan dengan jumlah
penduduk yang membutuhkan perumahan baru untuk menampung kehidupannya
termasuk :
Kebutuhan sebagai tempat tinggal
Hal ini tentu saja berkaitan dengan bentuk fisik dan lingkungan permukiman yang
layak disebut sebagai tempat tinggal dan lebih baik dari kondisi rumah sebelumnya
dan bertujuan untuk memperoleh ketenangan, kenyamanan dan keamanan.
Kebutuhan sebagai tempat usaha
Jenis kebutuhan ini disamping untuk tempat tinggalnya sekaligus dapat digunakan
untuk membuka tempat usaha baik yang berupa toko atau warung kecil. Mengingat
kondisi masyarakat adalah golongan ekonomi lemah, untuk itu kebutuhan akan
rumah bukan hanya sekedar untuk tempat tinggal, selain itu juga dapat digunakan
usaha menambah penghasilannya.
b. Faktor minat yaitu mengetahui minat ini sangat tergantung oleh keinginan
masyarakat terhadap adanya perumahan baru yang sesuai dengan kemampuan
mereka, antara lain :
Minat untuk suatu bentuk tipe rumah
LAPORAN AWAL
Hal ini berkaitan dengan keinginan penduduk terhadap bentuk tipe rumah yang
sesuai untuk golongan ekonomi lemah, sehingga akan dapat diketahui bentuk tipe
rumah yang bagaimana yang diinginkan oleh penduduk tersebut.
Minat terhadap cara pembayaran atau angsuran untuk pelunasan atau
penyewaanya. Setelah diketahui bentuk tipe yang diinginkan oleh penduduk,
kemudian cara pembayarannya bagaimanan yang diinginkan atau dipilih untuk
pelunasan atau penyewaan.
Minat terhadap jumlah pelunasan atau angsuran untuk pembelian atau penyewaan.
Dengan cara pembayaran/ angsuran yang telah dipilih untuk masyarakat, berapa
kemampuan maksimal masyarakat untuk melunasi atau mengangsur dari perumahan
tersebut baik untuk pembelian atau penyewaan.
c. Faktor kemampuan daya beli atau sewa yaitu mengingat kondisi masyarakat adalah
golongan ekonomi lemah, hal ini tentu saja berpengaruh terhadap upaya pengadaan
perumahan didukung oleh kemampuan daya beli/sewa masyarakat.
Penyelenggaraan perumahan perumahan harus menggunakan pendekatan ekologi, rumah
dipandang sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari ekosistem. Keseluruhan bagian
rumah, mulai dari proses pembuatan, pemakaian, sampai pembongkarannya akan sangat
berpengaruh terhadap keseimbangan alam. Menurunnya kualitas lingkungan-meningkatnya
suhu global; meningkatnya pencemaran air, udara dan tanah; berkurangnya
keanekaragaman hayati; berkurangnya cadangan energi dari minyak dan gas dsb-yang
sebagian besar diakibatkan oleh pembangunan yang tidak terkendali, adalah masalah yang
harus dipecahkan dengan pendekatan teknologi yang ramah lingkungan. Bagaimanapun,
pembangunan rumah yang sehat harus diikuti dengan pembangunan lingkungan perumahan
melalui penyediaan prasarana dan sarana dasar (PSD) yang memadai, khususnya air minum,
sanitasi lingkungan, jaringan jalan dan listrik. Pemenuhan prasarana dasar tersebut
diyakini besar kontribusinya dalam meningkatkan kesehatan lingkungan dan dalam
menunjang pertumbuhan ekonomi. Namun, pada kenyataannya belum semua masyarakat
dapat menikmati kelengkapan pelayanan dasar ini. Persoalan lain yang penting untuk
diperhatikan adalah masalah ruang yang dilihat sebagai tempat berlangsungnya interaksi
sosial, yang mencakup manusia dengan seluruh kegiatan sosial, ekonomi, dan budaya
dengan ekosistemnya, seperti sumber daya alam dan sumber daya buatan berlangsung.
Ruang perlu ditata agar dapat memelihara keseimbangan lingkungan dan memberikan
dukungan yang nyaman terhadap manusia serta mahluk hidup lainnya dalam melakukan
kegiatan dan memelihara kelangsungan hidupnya secara optimal.
LAPORAN AWAL
Menurut UU No.1/2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, permukiman
adalah kumpulan dari perumahan yang membentuk suatu kawasan permukiman yang
dilengkapi dengan sarana serta prasarana penunjang kawasan permukiman, dan
mempunyai fasilitas lain sebagai penunjang kegiatan fungsi lain dalam suatu kawasan
perkotaan. Sehingga permukiman dapat dikatakan sebagai kumpulan dari perumahan –
perumahan dengan seluruh aspek di dalamnya lengkap dengan fasilitas umum, sarana dan
prasarana. Permukiman adalah kawasan yang didominasi oleh lingkungan yang dilengkapi
dengan prasarana dan sarana lingkungan dan tempat kerja yang memberikan pelayanan
dan kesempatan kerja yang terbatas untuk mendukung perikehidupan dan penghidupan,
sehingga fungsinya dapat berdaya guna dan berhasil guna. Permukiman ini dapat berupa
permukiman perkotaan maupun permukiman perdesaan (Kamus Tata Ruang Tahun 1997).
Definisi permukiman juga tercantum dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan
Perumahan Rakyat Republik Indonesia Nomor 14/PRT/M/2018, bahwa Permukiman adalah
bagian dari lingkungan hunian yang terdiri atas lebih dari satu satuan Perumahan yang
mempunyai prasarana, sarana, utilitas umum, serta mempunyai penunjang kegiatan fungsi
lain di kawasan perkotaan atau kawasan perdesaan. Sifat dan karakter suatu permukiman
biasanya lebih kompleks karena permukiman mencakup suatu batasan wilayah yang lebih
luas dibandingkan dengan luas dan ruang lingkup perumahan. Biasanya suatu perumahan
hanya dikelola oleh suatu pengembangan di bawah koordinasi pemerintah, sedangkan
pengeloaan sebuah permukiman biasanya langsung ditangani oleh pemerintah dan konsep
dan rencana pengembangannya sudah ditentukan dalam bentuk konsep pengembangan
wilayah secara makro melalui RUTRK, RDTRK, maupun RTRK
Faktor Dalam Permukiman adalah dimana terciptanya tertib pembangunan
permukiman, terdapat lima faktor utama yang saling berkaitan dan harus dijadikan pokok
perhatian, yaitu:
a. Alam, menyangkut tentang pola tata guna tanah, pemanfaatan dan pelestarian
sumber daya alam, daya dukung lingkungan serta taman, area rekreasi atau
olahraga.
b. Manusia, antara lain menyangkut tentang pemenuhan kebutuhan fisik atau
fisiologis, penciptaan rasa aman dan terlindung, rasa memiliki lingkungan
c. (handarbeni) serta tata nilai dan estetika.
d. Masyarakat, menyangkut tentang partisipasi penduduk, aspek hukum, pola
kebudayaan, aspek sosial ekonomi, dan kependudukan.
e. Wadah atau sarana kegiatan, menyangkut tentang perumahan, pelayanan umum
dan fasilitas umum.
f. Jaringan prasarana, menyangkut utilitas, transportasi dan komunikasi.
LAPORAN AWAL
Kriteria Permukiman Layak Huni dan Sehat, Menurut WHO, arti kata sehat adalah
keadaan yang sempurna baik fisik, mental, maupun sosial budaya, bukan hanya keadaan
yang bebas dari penyakit dan kelemahan. Sedangkan definisi dari rumah sehat adalah
sebagai tempat untuk berlindung atau bernaung dan tempat untuk beristirahat, sehingga
menumbuhkan keadaan yang sempurna baik fisik, mental, maupun sosial budaya. Berikut
ini kebutuhan perlengkapan yang minimal harus tersedia di permukiman adalah:
1. Ketersediaan prasarana air bersih yang dapat digunakan untuk air minum, mandi,
mencuci, memasak perlu ada di setiap rumah.
2. Pembuangan kotoran dan air hujan, seperti penyediaan septictank dan sistem
pembuangan air hujan yang baik agar tidak menggenang.
3. Penempatan-penempatan utilitas yang mudah untuk dicapai sehingga memudahkan
untuk pemeriksaan ataupun pergantian.
4. Pembuangan sampah, seperti penyediaan berupa tempat penampungan sampah yang
dapat ditutup dan dibersihkan, serta harus tersedia di setiap pekarangan rumah.
5. Tersedianya sarana pelayanan dasar masyarakat seperti sarana pendidikan, kesehatan
yang tidak terlalu jauh dari tempat tinggal.
Permukiman dapat diartikan sebagai sejumlah besar rumah yang terletak pada kawasan
tertentu yang dapat berkembang atau diadakan dan dikembangkan untuk
dapat mengakomodasi sejumlah besar keluarga yang memerlukannya. Berkembang dapat
diartikan sebagai tumbuh secara organis tanpa macam-macam pemikiran, sedangkan
diadakan dan dikembangkan berarti telah melalui berbagai proses dan pertimbangan yang
mempengaruhi pemilihan lokasi, struktur ruang, lingkungan, besaran, letak bangunan
sampai bentuk detail konstruksi bangunan. Adapun kategori permukiman dapat dilihat
sebagai berikut:
1. Permukiman teratur, yaitu permukiman yang dibangun secara berencana, dengan
bangunan dan jaringan jalan yang berkualitas baik;
2. Permukiman tidak teratur, yaitu permukiman yang dibangun secara tidak berencana,
bangunan dan jaringan jalannya pun bervariasi, ada yang berkualitas baik, sedang,
ataupun kurang baik.
LAPORAN AWAL
kompleks karena pada lingkungan permukiman kumuh ini tidak hanya kondisi fisik
lingkungan yang buruk akan tetapi juga menyangkut permasalahan kondisi ekonomi dan
sosial masyarakat yang tinggal pada permukiman tersebut. Diperkotaan termasuk
perkotaan di Indonesia, permukiman kumuh menjadi permasalahan permukiman kota yang
sangat kompleks. Dari beberapa kesan yang timbul dari permukiman kumuh dapat
disimpulkan definisi dari permukiman kumuh itu sendiri, terdapat beberapa definisi yang
diungkapkan oleh para ahli, berikut penjelasannya: Permukiman kumuh yaitu permukiman
yang padat, kualitas konstruksi rendah, prasarana, dan pelayanan minim adalah
pengejawantahan kemiskinan (Kuswartojo,2005). Sedangkan menurut Suparlan 2002 dalam
Margaretha 2015, permukiman kumuh adalah permukiman atau perumahan orang-orang
miskin kota yang berpenduduk padat, terdapat di loronglorong yang kotor dan merupakan
bagian dari kota secara keseluruhan, juga biasa disebut dengan wilayah semerawut. Secara
umum permukiman kumuh terlihat tingkat kepadatan penduduk, hunian, bangunan sangat
tinggi, kualitas rumah sangat rendah, tidak memadainya kondisi infrastruktur fisik dan
sosial seperti halnya air bersih, jalan, drainase, sanitasi, listrik, fasilitas pendidikan, ruang
terbuka, rekreasi, sosial, atau fasilitas pelayanan kesehatan,perbelanjaan dan sebagainya.
Selain itu juga diwarnai tingkat pendapatan penghuninya yang rendah, tingkat pendidikan
dan keterampilan yang sangat rendah, tingkat privasi keluaraga yang rendah serta
kohesivitas komunitas yang rendah karena beragamnya norma sosial budaya yang dianut.
LAPORAN AWAL
lingkungan perkotaan mulai mengalami penurunan, sehingga daya dukung lingkungan pun
mulai menurun. Kondisi in terutama dialami oleh kota-kota yang berada di negara yang
sedang berkembang. Hal ini terjadi karena pertambahan penduduk yang relatif lebih pesat,
tidak merata dan tidak disertai dengan pembangunan sarana dan prasarana perkotaan
secara berimbang dari aspek fisik, ekonomi ataupun sosial (UN Habitat, 2016). Sedangkan
Menurut PBB, permukiman kumuh adalah tempat dimana orang memiliki status,
kependudukannya tidak aman. Hal ini berarti bahwa permukiman adalah permukiman yang
tidak memiliki legalitas hukum untuk rumah yang mereka tempati. Kumuh ditandai dengan
kurangnya akses air bersih dan sanitasi, perumahan dibangn dengan buruk dan kepadatan
penduduk yang tinggi (PBB dalam Nisbett,2017). Adapun menurut Ditjen Bangda
Kemendagri, karakteristik pemukiman kumuh antara lain: sebagian besar penduduknya
berpenghasilan dan berpendidikan rendah, serta memiliki sistem sosial yang rentan;
sebagian besar penduduknya berusaha atau bekerja di sektor informal; lingkungan
permukiman, rumah, fasilitas dan prasarananya di bawah standar minimal sebagai tempat
bermukim, misalnya memiliki: kepadatan penduduk yang tinggi > 200 jiwa/km2; kepadatan
bangunan > 110 bangunan/Ha; kondisi prasarana buruk (jalan, air bersih, sanitasi,
drainase, dan persampahan); kondisi fasilitas lingkungan terbatas dan buruk, terbangun
<20% dari luas lahan; kondisi bangunan rumah tidak permanen dan tidak memenuhi syarat
minimal untuk tempat tinggal; permukiman rawan terhadap banjir, kebakaran, penyakit
dan keamanan serta kawasan permukiman dapat atau berpotensi menimbulkan ancaman
(fisik dan non fisik) bagi manusia dan lingkungannya. Sedangkan ciri-ciri kekumuhan
menurut Undang-undang No 1 Tahun 2011 adalah :
a. Ketidakteraturan dan kepadatan bangunan yang tinggi;
b. Ketidaklengkapan prasarana, saana dan utilitas umum;
c. Penurunan kualitas rumah, perumahan, dan permukiman, serta prasarana, sarana
dan utilitas umum;
d. Pembangunan rumah, perumahan dan permukiman yang tidak sesuai dengan rencana
tata ruang wilayah.
Permukiman kumuh pada umumnya terjadi di kawasan perkotaan karena keterbatasan oleh
keahlian tenaga kerja mengakibatkan masyarakat tersebut menempati lokasi yang pada
umumnya ilegal dan mendirikan bangunan dengan sangat berdekatan sehingga
menimbulkan kawasan semrawut, kawasn kumuh dibagi menjadi dua yaitu slum area dan
kawasan squater. Kawasan kumuh atau slum area adalah suatu wilayah permukiman
dengan kondisi bangunan dan kondisi lingkungan yang tidak sehat dan tergolong kotor
tetapi wilayah tersebut umunya status kepemilikan lahannya jelas tetapi kesadaran akan
LAPORAN AWAL
pentingnya kesehatan lingkungan tidak. Kawasan squater yaitu merupakan suatu
sekumpulan lahan yang dihuni oleh permukiman – permukiman liar, dimana kondisi
bangunan ada yang baik dan buruk tetapi permasalahannya terdapat pada status lahan
yang illegal. Daerah squater jika diartikan dalam kamus sosiologi adalah kondisi dimana
seseorang dikatakan illegal dalam bertempat tinggal pada suatu tempat (Sukamto
Soerjono, 1985). Sedangkan dalam kamus ilmu-ilmu sosial daerah squater diartikan sebagai
seseorang yang menempati tanah-tanah tanpa ijin resmi. Suatu kawasan dapat dikatakan
sebagai permukiman kumuh memiliki beberapa karakteristik dari berbagai sektor seperti:
1. Permukiman padat penduduk dimana umumnya berada di perkotaan karena
diakibatkan urbanisasi perpindahan penduduk dari desa ke kota
2. Tingkat mata pencaharian yang tidak tetap mengakibatkan penghasilan masyarakat
tergolong rendah.
3. Kondisi bangunana tergolong semi permanen karena ketidakmampuan untuk
membeli bahan bangunan yang kokoh.
4. Kondisi kebersihan dan sanitasi rendah.
5. Pelayanan sarana prasarana lingkungan tidak memadai.
6. Kondisi persil antar satu bangunan dengan bangunan lainnya tidak tertata dengan
baik, tergolong semrawut.
7. Umumnya dihuni oleh kondisi sosial ekonomi menengah kebawah.
8. Status kepemilikan tanah yang tidak jelas dimana sebagian besar adalah tanah milik
negara
Berdasarkan tipologi fisik permukiman kumuh yang diatur dalam Permen PUPR No 14 Tahun
2018 bahwa terdapat 5 tipologi permukiman kumuh seperti:
a. Permukiman kumuh diatas air yaitu suatu permukiman masyarakat yang bertempat
tinggal diatas air, baik daerah pasang surut, rawa, sungai atau laut yang
menitikberatkan kepada kearifan lokal, karena lokasi tersebut cenderung berdampak
kepada terjadinya permukiman kumuh dan dapat dilihat dari sarana prasarana yang
tersedia pada umumnya dibawah standar, sedangkan jika dilihat dari sistem
pengelolaan sarana prasarana tidak memperhatikan dampak terhadap lingkungan.
b. Permukiman kumuh di tepi air merupakan permukiman kumuh yang berlokasi ditepi
badan air seperti tepi sungai, pantai, danau, waduk dan sebagainya, dalam hal ini
banyak perumahan yang berlokasi disepanjang garis sempadan badan air dengan
menitikberatkan kepada kearifan lokal tanpa mempertimbangkan aspek – aspek yang
diperlukan dalam mengelola suatu permukiman sehingga tidak terciptanya lingkungan
kumuh.
LAPORAN AWAL
c. Permukiman kumuh di dataran rendah yaitu perumahan dan permukiman kumuh yang
berada pada kemiringan lereng.
d. Permukiman kumuh didaerah perbukitan yaitu dimana perumahan dan permukiman
kumuh berada di daerah dataran tinggi dengan kemiringan lereng >10% dan 40%.
e. Permukiman kumuh di daerah rawan bencana yaitu suatu perumahan dan permukiman
kumuh yang berada di daerah rawan bencana khususnya seperti : bencana longsor,
banjir dan gempa bumi.
LAPORAN AWAL
b. Ketidaktersediaan drainase.
c. Tidak terhubungnya dengan sistem drainase perkotaan.
d. Kualitas konstruksi drainase lingkungan buruk.
5) Kondisi pengelolaan air limbah dengan faktor kriteria sebagai berikut:
a. Sistem pengelolaan air limbah tidak sesuai dengan standar teknis yang berlaku.
b. Prasarana dan sarana pengelolaan air limbah tidak memenuhi persyaratan teknis.
6) Kondisi pengelolaan persampahan dengan faktor kriteria sebagai berikut:
a. Prasarana dan sarana persampahan tidak sesuai denga persayaratan yang berlaku.
b. Sistem pengelolaan persampahan tidak memenuhi persyaratan teknis.
c. Tidak terpeliharanya sarana dan prasarana pengelolaan persampahan.
7) Kriteria kekumuhan ditinjau dari proteksi kebakaran mencakup sebagai berikut :
a. Prasarana proteksi kebakaran tidak tersedia.
b. Ketidak tersediaan sarana proteksi kebakaran.
Tipologi perumahan kumuh dan permukiman umuh merupakan pengelompokan perumahan
kumuh dan permukiman kumuh berdasarkan letak lokasi secara geografis.
LAPORAN AWAL
yang lebih luas. Beberapa dimensi permukiman kumuh yang menjadi penyebab tumbuhnya
permukiman adalah sebagai berikut:
a. Faktor Urbanisasi Dan Migrasi Penduduk
Substansi tentang urbanisasi yaitu proses modernisasi wilayah desa menjadi kota
sebagai dampak dari tingkat keurbanan (kekotaan) dalam suatu wilayah (region) atau
negara. Konsekuensinya adalah terjadi perpindahan penduduk (dengan aktifitas
ekonominya) secara individu atau kelompok yang berasal dari desa menuju kota atau
daerah hinterland lainnya. Hal ini perlu dibedakan dengan pengertian tingkat pertumbuhan
kota (urban growth) yang diartikan sebagai laju (rate) kenaikan penduduk kota, baik skala
mandiri maupun kebersamaan secara nasional. Ukuran tingkat keurbanan, biasanya dalam
konteks kependudukan yaitu dengan memproporsikan antara jumlah penduduk perkotaan
terhadap jumlah penduduk nasional. Tetapi masalah urbanisasi tidak harus
diinterpretasikan dalam konteks kependudukan semata, kenyataannya harus mencakup
dimensi perkembangan dan kondisi sosial, ekonomi masyarakat, bahkan lebih jauh
mencakup pula aspek budaya dan politik. Pada intinya dalam aspek kegiatan ekonomi,
pengertian urbanisasi merupakan substansi pergeseran atau transformasi perubahan corak
sosio-ekonomi masyarakat perkotaan yang berbasis industri dan jasa-jasa (Tommy Firman,
1996).
Rumusan beberapa faktor secara umum yang dapat mempengaruhi terjadinya proses
keurbanan, antara lain :
1) Ketimpangan tingkat pertumbuhan ekonomi antara desa dengan perkotaan.
2) Peluang dan kesempatan kerja yang lebih terbuka di daerah perkotaan
dibandingkan dengan daerah perdesaan.
3) Terjadinya pola perubahan minat tentang lapangan pekerjaan dari pertanian ke
industri, utamanya bagi penduduk usia kerja di perdesaan.
4) Lebih majunya teknologi dan infrastruktur prasarana transportasi, sehingga
memudahkan terjadinya mobilitas penduduk baik yang permanen atau yang ulang
alik.
5) Keberadaan fasilitas perkotaan yang lebih menjanjikan, utamanya aspek
pendidikan, kesehatan, pariwisata dan aspek sosial lainnya.
Proses urbanisasi perkotaan adalah suatu gejala umum yang dialami oleh negara-negara
sedang berkembang. Proses pembangunan yang berlangsung relatif pesat. Karena daya
tarik kota sangat kuat, baik yang bersifat ekonomis maupun non ekonomis. Keadaan daerah
perdesaan yang serba kekurangan merupakan pendorong yang kuat dalam meningkatnya
arus urbanisasi ke kota-kota besar. Bagi kota yang mulai padat penduduknya, pertambahan
penduduk tiap tahunnya jauh melampaui penyediaan kesempatan kerja didalam
LAPORAN AWAL
wilayahnya sehingga dirasakan menambah berat permasalahan kota. Tekanan ekonomi dan
kepadatan tinggal bagi kaum urban memaksa mereka menempati daerah-daerah pinggiran
(slum area) hingga membentuk lingkungan permukiman kumuh.
b. Faktor Lahan di Perkotaan
Pertumbuhan dan perkembangan kota yang sangat pesat telah menyebabkan berbagai
persoalan serius diantaranya adalah permasalahan perumahan. Permasalahan perumahan
sering disebabkan oleh ketidakseimbangan antara penyediaan unit hunian bagi kaum
mampu dan kaum tidak mampu di perkotaan. Di samping itu sebagian kaum tidak mampu
tidak menguasai sumber daya kunci untuk menopang kehidupannya, sehingga kaum tidak
mampu ini hanya mampu tinggal di unit-unit hunian sub standar di permukiman yang tidak
layak. Permasalahan perumahan di atas semakin memberatkan kaum tidak mampu ketika
kebijakan investasi pemanfaatan lahan mengikuti arus mekenisme pasar tanpa
mempertimbangkan secara serius pentingnya keberadaan hunian yang layak bagi kaum
miskin diperkotaan. Investasi pemanfaatan lahan yang salah, semata-mata berpihak pada
kaum mampu pada akhirnya mendorong lingkungan permukiman kaum tidak mampu yang
tidak layak ini terus mengalami penurunan kualitas dan rentan masalah sosial lainnya.
c. Faktor Prasarana dan Sarana Dasar
Secara umum karakteristik permukiman kumuh diwarnai juga oleh tidak memadainya
kondisi sarana dan prasarana dasar seperti halnya suplai air bersih, jalan, drainase,
jaringan sanitasi, listrik, sekolah, pusat pelayanan kesehatan, ruang terbuka, pasar dan
sebagianya. Bahkan hampir sebagian besar rumah tangga di lingkungan permukiman kumuh
ini mempunyai akses yang sangat terbatas terhadap pelayanan sarana dan prasarana dasar
tersebut. Rendahnya kemampuan pelayanan sarana dan prasarana dasar ini pada umumnya
disebabkan kemampuan pemerintah yang sangat terbatas dalam pengadaan serta
pengelolaan sarana dan prasarana lingkungan permukiman, kemampuan dan kapasitas serta
kesadaran masyarakat juga terbatas pula. Bahkan juga disebabkan pula oleh terbatasnya
peran berbagai lembaga maupun individu atau pihak di luar pemerintah, baik secara
profesional atau sukarela dalam peningkatan permasalahan sarana dan prasarana dasar.
d. Faktor Sosial Ekonomi
Pada umumnya sebagian besar penghuni lingkungan permukiman kumuh mempunyai tingkat
pendapatan yang rendah karena terbatasnya akses terhadap lapangan kerja yang ada.
Tingkat pendapatan yang rendah ini menyebabkan tingkat daya beli yang rendah pula atau
terbatasnya kemampuan untuk mengakses pelayanan sarana dan prasarana dasar. Di sisi
lain, pada kenyataannya penghuni lingkungan permukiman kumuh yang sebagian besar
berpenghasilan rendah itu memiliki potensi berupa tenaga kerja kota yang memberikan
konstribusi sangat signifikan terhadap kegiatan perekonomian suatu kota. aktivitas
LAPORAN AWAL
ekonomi di sektor informal terbukti telah memberikan kontribusi yang signifikan terhadap
berlangsungnya kehidupan produksi melalui sektor informal. Dengan demikian tingkat
pendapatan penghuni lingkungan permukiman kumuh yang rendah ini merupakan
permasalahan yang serius keberlangsungan produtivitas suatu kota. Permasalahan sosial
ekonomi merupakan salah satu pendorong meningkatnya arus urbanisasi dari desa ke kota,
dari daerah pinggiran ke pusat kegiatan ekonomi sehingga menumbuhkan lingkungan
permukiman kumuh baru.
Persoalan ketidak mampuan ekonomi merupakan imbas urbanisasi, lonjakan pengangguran,
serta tingginya tuntutan dan biaya hidup yang memaksa manusia kota kreatif untuk
berusaha di bidang ekonomi. Berdasar survei Bappenas pada 2002, kuantitas pekerja di
sektor informal selalu paralel dengan tingkat Pemutusan Hubungan Kerja serta angka
pengangguran. Semakin tinggi angka Pemutusan Hubungan Kerja dan tingkat
pengangguran, berarti jumlah Pekerja pada sektor informal juga akan bertambah.
Urbanisasi juga menyumbang pertambahan pekerja pada sektor informal lantaran para
pendatang dari perdesaan umumnya tak memiliki keterampilan yang memadai di sektor
formal.
Aktivitas-aktivitas formal tidak terbatas pada pekerjaan-pekerjaan dipinggiran kota saja,
tetapi bahkan juga meliputi berbagai aktivitas ekonomi. Aktivitas-aktivitas ekonomi
informal adalah cara melakukan sesuatu yang ditandai dengan :
1) Mudah untuk dimasuki
2) Bersandar pada sumber daya lokal
3) Usaha milik sendiri
4) Operasinya dalam skala kecil
5) Padat karya dan teknologinya bersifat adaptif
6) Keterampilan dapat diperoleh diluar sistem sekolah formal
7) Tidak terkena langsung oleh regulasi dan pasarnya bersifat kompetitif.
Ketidakmampuan ekonomi bagi masyarakat berpenghasilan rendah, untuk membangun
rumah yang layak huni menambah daftar panjang permasalahan permukiman kumuh
diperkotaan. Jika golongan miskin dianggap tidak mampu untuk membantu dirinya sendiri
dalam membangun rumah yang layak huni maka mereka seharunya dapat difasilitasi.
e. Faktor Sosial Budaya
Permukiman kumuh juga sering ditandai oleh tingkat pendidikan dan keterampilan yang
sangat rendah. Pada umumnya tingkat pendidikan dan keterampilan yang rendah ini sangat
erat dengan rendahnya tingkat pedapatan penduduk sehingga mambatasi akses terhadap
peningkatan kualitas sumber daya manusia. Di samping itu struktur sosial penghuni
lingkungan permukiman sangat majemuk dengan beragam norma-norma sosialnya masing
LAPORAN AWAL
masing. Keragaman ini kadang-kadang menimbulkan kesalah pahaman, saling tidak percaya
antar penghuni, yang menyebabkan rendahnya tingkat kohesivitas komunitas. Masing-
masing mengikuti struktur hubungan antar sesama dan budaya yang beragam, yang
mempengaruhi bagaimana sebuah individu, keluarga dan tetangga dalam berinteraksi di
lingkungannya. Sehingga kadang-kadang menyulitkan upaya membentuk suatu lembaga
yang berbasis pada komunitas atau upaya-upaya peningkatan kesejahteraan bersama.
Masyarakat yang tidak memiliki kemampuan/skill dan potensi akan tersingkir dari dunia
usaha yang sifatnya formal. Akibatnya untuk mencari pekerjaan mereka menciptakan
lapangan pekerjaan sendiri dengan bergerak dalam sektor usaha informal.
Oleh karena itu setiap penanganan permukiman kumuh harus secara serius melaksanakan
identifikasi asal-usul tumbuh kembangnya lingkungan permukiman tersebut guna
membantu melakukan rekonstruksi nilai-nilai sosial budaya yang ada dan berlaku di
dalamnya, termasuk keterkaitan dengan konfigurasi struktur sosial budaya kota.
f. Faktor Tata Ruang
Dalam konstelasi tata ruang kota, permukiman kumuh merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari konfigurasi struktur ruang kota. oleh karena itu, perencanaan tata ruang
kota perlu didasarkan pada pemahaman bahwa pengembangan kota harus dilakukan sesuai
dengan daya dukungnya termasuk daya dukung yang relatif rendah di lingkungan
permukiman kumuh. Investasi yang salah terhadap pemanfaatan ruang kota akan
menimbulkan dampak yang merusak lingkungan serta berpotensi mendorong tumbuh
kembangnya lingkungan permukiman kumuh atau kantong-kantong lingkungan permukiman
kumuh baru, bahkan bisa jadi akan menghapus lingkungan permukiman lama atau kampung
kampung kota yang mempunyai nilai warisan budaya tinggi yang kebetulan pada saat itu
lingkungan telah mengalami kemerosotan atau memburuk.
g. Faktor Aksesibilitas
Secara umum, salah salah satu penyebab munculnya permukiman kumuh adalah
terbatasnya akses penduduk miskin kepada kapital komunitas (community capital). Kapital
komunitas ini meliputi kapital terbangun, individu dan sosial serta lingkungan alam. Kapital
terbangun meliputi informasi, jalan, sanitasi, drainase,jaringan listrik, ruang terbuka,
perumahan, pasar, bangunan-bangunan pelayanan publik, sekolah dan sebagainya. Kapital
individu, antara lain meliputi pendidikan, kesehatan kemampuan dan keterampilan.
Kapital sosial, antara lain meliputi koneksitas dalam suatu komunitas-cara manusia
berinteraksi dan berhubungan dengan lainnya. Dalam skala lebih luas, sekelompok manusia
membentuk organisasi, baik organisasi sukarela, bisnis melalui perusahaan maupun
pemerintah dan sebagainya, termasuk berbagai sistem sosial yang ada, termasuk kebijakan
pembangunan kota. Sedangkan kapital lingkungan alam meliputi sumber daya alam,
LAPORAN AWAL
pelayanan ekosistem dan estetika alam. Sumber daya alam adalah apa saja yang diambil
dari alam sebagai bagian dari bahan dasar yang dipakai untuk proses produksi. Pelayanan
ekosistem antara lain berupa kemampuan tanah untuk budidaya tanaman yang bisa
memberikan bahan makanan, bahan untuk pakaian dan sebagainya.
h. Faktor Pendidikan
Pendidikan merupakan salah satu faktor penentu dalam hal pencapaian pekerjaan dan
pendapatan. Meskipun begitu, pendidikan sangat ditentukan oleh pendidikan itu sendiri
dan pekerjaan orang tua untuk mampu menyekolahkan anak mereka pada jenjang
pendidikan yang lebih tinggi. Hal ini berarti perbedaan latar belakang budaya dan sosial
ekonomi (pendidikan dan pekerjaan) orang tua tidak hanya berpengaruh terhadap
pendidikan anak. tetapi juga untuk pencapaian pekerjaan dan pendapatan mereka.
Sedangkan faktor lain seperti : tempat tinggal, agama, status perkawinan dan status
migrasi, serta umur sangat kecil pengaruhnya terhadap pencapaian pekerjaan dan
pendapatan. Banyak kaum migran tidak bisa bekerja dengan standar-standar yang tinggi.
Sementara persaingan untuk mencari lapangan kerja sangat tinggi dan kesemuanya
dituntut dengan tingkat propesionalisme dan tingkat pendidikan pula yang harus dapat
bersaing dengan orang lain. Dilain pihak kota-kota di Indonesia memiliki kelebihan jumlah
tenaga kerja yang belum dapat tersalurkan baik yang memiliki pendidikan tinggi maupun
mereka yang sama sekali tidak memiliki skill dan keterampilan yang tinggi untuk bisa
bertahan pada jalur formal.
Adapun Ciri-Ciri Permukiman Kumuh Menurut Adisasmita (2010: 119) pengertian
lingkungan permukiman kumuh secara umum di perkotaan yakni:
1) Dari Segi Fisik
Pada umumnya ukuran persil dan tanah sempit serta di bawah standar dalam arti rasio
luas ruang tempat tinggal per satu jiwa sangat rendah, pola penggunaan tanah tak
teratur, letak dan bentuk bangunan tidak teratur, prasarana fisik lingkungan seperti
air minum, drainase, air limbah dan sampah di bawah standar.
2) Dari Segi Sosial
Lingkungan yang dihuni oleh sejumlah penduduk yang padat dalam area terbatas.
Tingkat pendidikan dan kesehatan masyarakat rata-rata rendah, hubungan antara
individu lebih menonjol, kegotongroyongannya relatif lebih kuat dibanding masyarakat
kota lainnya.
3) Dari Segi Hukum
Sebagian besar kawasan kumuh umumnya terbentuk tanpa melalui prosedur
perundang-undangan yang ada, hal ini disebabkan karena langka dan mahalnya tanah
di perkotaan.
LAPORAN AWAL
4) Dari Segi Ekonomi
Tingkat keinginan menabung penduduk umumnya rendah karena tingkat pendapatan
yang hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Secara umum, Beberapa faktor penyebab timbulnya Perumahan Kumuh dan Permukiman
Kumuh dapat dijelaskan sebagai berikut :
Gambar.2.1.
Faktor Penyebab Timbulnya Perumahan dan Permukiman Kumuh
Gambar.2.2.
Faktor Penyebab Dan Dampak Perumahan dan Permukiman Kumuh
LAPORAN AWAL
LAPORAN AWAL
a. Tingkat Permukiman Kumuh Tinggi, merupakan tingkatan dimana indikator
permukiman kumuh terpenuhi pada rentan 76% - 100%.
b. Tingkat Permukiman Kumuh Sedang, merupakan tingkatan dimana indikator
permukiman kumuh terpenuhi pada rentan 51% - 75%.
c. Tingkat Permukiman Kumuh Rendah, merupakan tingkatan dimana indikator
permukiman kumuh terpenuhi pada rentan 26% - 50%.
d. Tingkat Permukiman Bukan Kumuh, merupakan tingkatan dimana indikator
permukiman kumuh terpenuhi pada rentan 0% - 25% .
LAPORAN AWAL
berbagai perbaikan dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah yaitu demokratisasi
dan pemberdayaan daerah. Dalam peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat
dipandang perlu sebagai landasan untuk mewujudkan good governance dengan tiga pilar
utamanya yaitu transparansi, akuntabilitas dan partisipasi masyarakat, oleh karena itu
perbaikan instrumen pelayanan publik oleh pemerintah daerah dari waktu kewaktu
semakin ditingkatkan dalam rangka untuk menghasilkan penyelenggaraan layanan yang
lebih baik yaitu efisien, efektif dan produktif termasuk dalam persoalan penanganan
permukiman kumuh.
Salah satu aspek yang bersifat urgen, vital dan strategis dalam dinamika
penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik khususnya di
Indonesia adalah penanganan permukiman kumuh (slum’s settlement management)
terutama di daerah perkotaan. Konsepsi permukiman kumuh adalah permukiman yang
tidak laik huni karena ketidakteraturan bangunan, tingkat kepadatan bangunan yang tinggi,
dan kualitas bangunan serta sarana dan prasarana yang tidak memenuhi syarat (Pasal 1
angka 13 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan).
Permukiman kumuh sebagai daerah slum yang bukan saja dari segi fisik tetapi juga dari
segi sosial. Permukiman kumuh merupakan suatu kawasan dengan bentuk hunian yang tidak
terstruktur, tidak berpola (misalnya letak rumah dan jalannya tidak beraturan, tidak
tersedianya fasilitas umum, prasarana dan sarana air bersih, dan MCK), bentuk fisiknya
yang tidak layak misalnya secara reguler mengalami kebanjiran tiap tahunnya. Permukiman
kumuh dipandang sebagai permukiman atau perumahan bagi orang-orang miskin perkotaan
yang berpenduduk padat, terdapat dipinggir-pinggir jalan atau lorong-lorong yang
kondisinya kotor dan merupakan bagian dari kota secara keseluruhan. Permukiman kumuh
dianggap sebagai tempat dimana mayoritas anggota masyarakat kota berpenghasilan
rendah dengan membentuk permukiman tempat tinggal dalam kondisi minim.
Kehadiran pemukiman kumuh tersebut tentunya memberatkan beban bagi
lingkungan dan permukiman perkotaan yang bersangkutan, lingkungan permukiman kumuh
secara nyata memperlihatkan kondisi negatif terhadap kehidupan sosial, yang pada
akhirnya menjadi tantangan pemerintah daerah untuk dapat memfasilitasi terhadap
persoalan permukiman kumuh ini. Kebijakan Pemerintah dalam pembangunan permukiman
terus diupayakan untuk mewujudkan perkotaan tanpa permukiman kumuh. Amanat ini
berdasarkan target nasional dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
(RPJMN) Tahun 2015-2019 yaitu tercapainya pengentasan permukiman kumuh perkotaan 0%
pada tahun 2019 (Perpres RI No. 2 Tahun 2015) dan Sustainable Development Goals (SDGs)
tujuan ke-11 (Sustainable Cities and Communities) pada target ke-1 Indikator kekumuhan
yang menjadi prioritas penanganan yaitu terkait dengan pemenuhan kebutuhan masyarakat
LAPORAN AWAL
atas akses ke sumber air bersih, akses ke fasilitas sanitasi yang baik, ruang huni yang
cukup, kekokohan atau daya tahan rumah dan, jaminan kepemilikan atau rasa aman
bermukim dengan target dapat dicapai pada tahun 2030 (UN- Habitat, 2016). Dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah ditegaskan bahwa
masalah Permukiman Kumuh termasuk salah satu sub urusan Perumahan Rakyat dan
Kawasan Permukiman yang merupakan urusan pemerintahan konkuren yang bersifat wajib
berkaitan dengan pelayanan dasar, oleh karena itu Pemerintah Daerah wajib untuk
menyelenggarakannya. Berikut Regulasi terkait kebijakan permukiman kumuh :
Undang-Undang nomor 26 tahun 2007 meliputi ruang daratan, ruang lautan dan ruang
udara sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan tata ruang adalah wujud
struktural dan pola pemanfaatan ruang, baik direncanakan maupun tidak. Pengertian
penataan ruang adalah proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan
pengendalian pemanfaatan ruang termasuk didalamnya penataan ruang kota. Dengan
LAPORAN AWAL
diundangkannya UU Penataan Ruang No.26/2007. Sesuai UU ini, peraturan zonasi disusun
berdasarkan rencana rinci tata ruang untuk setiap zona pemanfaatan ruang. Selanjutnya
peraturan zonasi ditetapkan dengan: (a) peraturan pemerintah untuk arahan peraturan
zonasi sistem nasional; (b) peraturan daerah provinsi untuk arahan peraturan zonasi sistem
provinsi; dan (c) peraturan daerah kabupaten/kota untuk peraturan zonasi.
Maka perlu adanya pengendalian pemanfaatan ruang agar pelaksanaannya sesuai dengan
perencanaan ruang yang telah dibuat. Begitu banyaknya dana, tenaga dan pikiran yang
telah dikeluarkan dalam pembuatan Rencana Tata Ruang seperti pembuatan Rencana Tata
Ruang Wilayah Kota/Kabupaten (RTRWK), RDTRK, RTBL, Blok Plan dan dokumen rencana
detail lainnya. Sayang bila dokumen-dokumen rencana ini tidak diimplementasikan
sebagaimana mestinya. Untuk itu, agar dokumen perencanaan ruang bisa dilaksanakan dan
pemanfaatan ruang yang ada mengacu kepada dokumen ini, perlu pengendalian
pemanfaatan ruang. Pemerintah selaku pelaku utama dalam pengendalian pemanfaatan
ruang, mempunyai bebrbagai instrumen atau alat pengendalian. Sesuai dengan UU
Penataan Ruang No.26/2007, instrumen tersebut adalah peraturan zonasi, perizinan,
pemberian insentif dan disinsentif, serta pengenaan sanksi sehingga kelak diharapkan tidak
terjadi kekumuhan pada suatu daerah.
LAPORAN AWAL
dengan mengidentifikasikan dan memahami apa saja komponen dalam kebijakan, rencana
dan/atau program yang potensial berpengaruh terhadap isu pembangunan berkelanjutan
guna mengantisikpasi timbulanya permukiman kumuh.
LAPORAN AWAL
5. menunjang pembangunan di bidang ekonomi, sosial, dan budaya; dan
6. menjamin terwujudnya rumah yang layak huni dan terjangkau dalam lingkungan
yang sehat, aman, serasi, teratur, terencana, terpadu, dan berkelanjutan.
Kewenangan Pemerintah yang terkait dengan Perumahan Kumuh dan Permukiman Kumuh,
yaitu:
1. menyusun dan menetapkan norma, standar, pedoman, dan kriteria rumah,
perumahan, permukiman, dan lingkungan hunian yang layak, sehat, dan aman;
2. menyusun dan menyediakan basis data perumahan dan kawasan permukiman;
3. memfasilitasi peningkatan kualitas terhadap perumahan kumuh dan permukiman
kumuh;
4. memfasilitasi pengelolaan prasarana, sarana, dan utilitas umum perumahan dan
kawasan permukiman;
Kewenangan Pemerintah Provinsi yang terkait dengan Perumahan Kumuh dan Permukiman
Kumuh, yaitu:
1. menyusun dan menyediakan basis data perumahan dan kawasan permukiman pada
tingkat provinsi;
2. menyusun dan menyempurnakan peraturan perundang-undangan bidang perumahan
dan kawasan permukiman pada tingkat provinsi;
3. memfasilitasi peningkatan kualitas terhadap perumahan kumuh dan permukiman
kumuh pada tingkat provinsi;
LAPORAN AWAL
Kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota yang terkait dengan Perumahan Kumuh dan
Permukiman Kumuh, yaitu:
1. menyusun dan menyediakan basis data perumahan dan kawasan permukiman pada
tingkat kabupaten/kota;
2. menyusun dan menyempurnakan peraturan perundang-undangan bidang perumahan
dan kawasan permukiman pada tingkat kabupaten/kota bersama DPRD;
3. menetapkan lokasi perumahan dan permukiman sebagai perumahan kumuh dan
permukiman kumuh pada tingkat kabupaten/kota; dan
4. memfasilitasi peningkatan kualitas terhadap perumahan kumuh dan permukiman
kumuh pada tingkat kabupaten/kota.
Pencegahan dan peningkatan kualitas terhadap perumahan kumuh dan permukiman kumuh
bertujuan guna:
1. meningkatkan mutu kehidupan dan penghidupan masyarakat penghuni ;
2. mencegah tumbuh dan berkembangnya perumahan kumuh dan permukiman kumuh
baru; serta
3. menjaga dan meningkatkan kualitas dan fungsi perumahan dan permukiman.
4. Dilaksanakan berdasarkan pada prinsip kepastian bermukim yang menjamin hak
setiap warga negara untuk menempati, menikmati, dan/atau memiliki tempat
tinggal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
5. Wajib dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau setiap orang.
LAPORAN AWAL
sarana yang memenuhi syarat. perumahan kumuh dan permukiman kumuh ke depan harus
ditetapkan lokasinya oleh Pemerintah Daerah. Legitimasi penetapan lokasi oleh Pemerintah
Daerah tersebut akan menjadi auan bagi Pemerintah dalam mengidentifiasi luasan
perumahan kumuh dan kawasan permuiman kumuh di Indonesia. Dengan adanya penetapan
secara formal, maka akan diperoleh validitas identifikasi luasan perumahan dan kawasan
permukiman kumuh yang perlu ditangani.
LAPORAN AWAL
1. Pemerintah Pusat
a. Penetapan sistem kawasan permukiman.
b. Penataan dan peningkatan kualitas kawasan permukiman kumuh dengan luas 15
(lima belas) ha atau lebih.
2. Pemerintah Daerah Provinsi
a. Penataan dan peningkatan kualitas kawasan permukiman kumuh dengan luas 10
(sepuluh) ha sampai dengan di bawah 15 (lima belas) ha.
3. Pemerintah Daerah Kabupaten / Kota
a. Penerbitan izin pembangunan dan pengembangan kawasan permukiman.
b. Penataan dan peningkatan kualitas kawasan permukiman kumuh dengan luas di
bawah 10 (sepuluh) ha.
Selanjutnya di dalam Pasal 236, dinyatakan bahwa untuk menyelenggarakan Otonomi
Daerah dan Tugas Pembantuan, Daerah membentuk Perda, yang memuat materi muatan:
penyelenggaraan Otonomi Daerah dan Tugas Pembantuan; dan
penjabaran lebih lanjut ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Berdasarkan ketentuan Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 2015, salah satu urusan pemerintahan konkuren yang bersifat wajib
dan berkaitan dengan pelayanan dasar adalah urusan perumahan rakyat dan kawasan
permukiman. Urusan perumahan dan kawasan perumahan tersebut meliputi beberapa
sub urusan yaitu:
perumahan;
kawasan permukiman;
perumahan dan kawasan permukiman Kumuh;
Prasarana, Sarana, dan Utilitas Umum (PSU); dan
sertifikasi, kualifikasi, klasifikasi, dan Registrasi Bidang Perumahan dan Kawasan
Permukiman.
Dalam rangka penyelenggaraan kewenangan daerah di bidang perumahan rakyat dan
kawasan permukiman tersebut dan sekaligus menjadi atas permasalahan di daerah
(local problem solving) terkait di bidang Perumahan dan kawasan permukiman, dipandang
perlu membentuk Peraturan Daerah sebagai acuan Pemerintah Daerah dalam
menyelenggarakan urusan Perumahan rakyat dan Kawasan Permukiman.
LAPORAN AWAL
Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3747);
LAPORAN AWAL
Pemerintah dan/atau pemerintah daerah dapat memberikan insentif kepada badan hukum
untuk mendorong pembangunan perumahan dengan hunian berimbang.
Peraturan Pemerintah Nomor 88 Tahun 2014 tentang Pembinaan Penyelenggaraan
Perumahan dan Kawasan Permukiman Peraturan Pemerintah No 88 Tahun 2014 ini
dibentuk untuk melaksanakan ketentuan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011
tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman dan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2011 tentang Rumah Susun. Beberapa ketentuan dalam Peraturan Pemerintah No 88
Tahun 2014 yang memiliki relevansi dengan tulisan ini antara lain:
Pasal 2
(1) Pembinaan Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman menjadi
tanggung jawab:
a. Menteri pada tingkat nasional;
b. gubernur pada tingkat provinsi; dan
c. bupati/walikota pada tingkat kabupaten/kota.
(3) Pembinaan Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman dilaksanakan
secara berjenjang dari:
a. Menteri kepada gubernur, bupati/walikota, dan pemangku kepentingan;
b. gubernur kepada bupati/walikota dan pemangku kepentingan; dan
c. bupati/walikota kepada pemangku kepentingan.
Pasal 3
Pembinaan Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman dilakukan
terhadap aspek:
a. perencanaan;
b. pengaturan;
c. pengendalian; dan
d. pengawasan.
Pasal 8
Pembinaan Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 dilaksanakan dengan cara:
a. koordinasi;
b. sosialisasi peraturan perundang-undangan;
c. pemberian bimbingan, supervisi dan konsultasi;
d. pendidikan dan pelatihan;
e. penelitian dan pengembangan;
f. pendampingan dan pemberdayaan; dan/atau
g. pengembangan sistem layanan informasi dan komunikasi.
LAPORAN AWAL
2.2.10. Peraturan Menteri PUPR Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2016 tentang
Peningkatan Kualitas Terhadap Perumahan Kumuh dan Permukiman Kumuh;
LAPORAN AWAL
Meningkatnya jumlah penduduk serta semakin padat dan kumuhnya perumahan dan
kawasan permukiman berpotensi menjadikan kawasan permukiman yang berfungsi sebagai
lingkungan hunian menjadi semakin tidak layak huni. Kondisi perumahan dan kawasan
permukiman yangg tidak layak huni berpotensi menurunkan kualitas hidup, menghambat
perkembangan dan pertumbuhan masyarakat. Hal ini perlu diantisipasi dengan berbagai
kebijakan dan peraturan guna menjamin hak masyarakat terhadap lingkungan hidup yang
layak. Memasuki era otonomi daerah, kegiatan pembangunan perumahan dan kawasan
permukiman di daerah terus meningkat, baik kuantitas, kualitas maupun kompleksitasnya.
Dengan semakin menigkatnya kegiatan pembangunan tanpa ditunjang peraturan
perundangan yang memadai,dikhawatirkan tingkat laju pembangunan tanpa disertai
pencegahan dan peningkatan kualitas kumuh akan semakin menambah beban terahdap
pemenuhan lingkungan hidup yang layak.
Ditegaskan dalam dasar pertimbangannya dalam Permen ini bahwa dalam rangka
meningkatkan mutu kehidupan dan penghidupan masyarakat melalui perumahan dan
permukiman yang sehat, aman, serasi, dan teratur dibutuhkan meningkatan kualitas
terhadap perumahan kumuh dan permukiman kumuh serta berdasarkan Pasal 96 Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, dalam upaya
peningkatan kualitas terhadap perumahan kumuh dan permukiman kumuh, Pemerintah
dan/atau pemerintah daerah menetapkan kebijakan, strategi, serta pola-pola penanganan
yang manusiawi, berbudaya, berkeadilan, dan ekonomis.
2.2.11 Peraturan Menteri PUPR Republik Indonesia Nomor 14/PRT/M/ 2018 tentang
Pencegahan dan Peningkatan Kualitas terhadap Perumahan Kumuh dan Permukiman
Kumuh;
Dalam Pasal 1 pada Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Perumahan Kumuh adalah Perumahan yang mengalami penurunan kualitas fungsi
sebagai tempat hunian.
Permukiman Kumuh adalah Permukiman yang tidak layak huni karena
ketidakteraturan bangunan, tingkat kepadatan bangunan yang tinggi, dan kualitas
bangunan serta Sarana dan Prasarana yang tidak memenuhi syarat.
Pencegahan adalah tindakan yang dilakukan untuk menghindari tumbuh dan
berkembangnya Perumahan Kumuh dan Permukiman Kumuh baru.
Peningkatan Kualitas terhadap Perumahan Kumuh dan Permukiman Kumuh adalah
upaya untuk meningkatkan kualitas bangunan, serta Prasarana, Sarana dan Utilitas
Umum.
LAPORAN AWAL
Dalam Pasal 2 menjelaskan bahwa Peraturan Menteri ini dimaksudkan sebagai acuan,
Pemerintah Daerah, dan Setiap Orang dalam penyelenggaraan Pencegahan dan Peningkatan
Kualitas terhadap Perumahan Kumuh dan Permukiman Kumuh. dalam Pasal 67 bahwa
Peningkatan Kualitas Perumahan Kumuh dan Permukiman Kumuh di daerah perlu dilakukan
dengan mempertimbangkan Kearifan Lokal yang berlaku pada masyarakat setempat dengan
tidak bertentangan pada ketentuan peraturan perundang-undangan.
2.2.12 Peraturan Daerah Kota Tangerang Nomor 6 Tahun 2012 tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Kota Tangerang Tahun 2012 – 2032.
Berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Tangerang, Tahun 2012, bahwa
kebijakan Rencana pengembangan kawasan perumahan (Pasal 38 Ayat 2 Huruf e,f,g)
diantaranya meliputi :
a) rehabilitasi dan peremajaan lingkungan pada kawasan permukiman kumuh.
b) melakukan pengendalian dan penataan di lokasi permukiman yang berada pada wilayah
rawan banjir.
c) melengkapi secara bertahap prasarana, sarana dan utilitas setiap kawasan perumahan
dan permukiman dengan jenis dan jumlah yang disesuaikan dengan standar berdasarkan
jumlah penduduk pendukung.