Anda di halaman 1dari 2

MEMORANDUM

Ditujukan kepada:
 Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
 Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas)

Disusun oleh:
 Rawafi Yaputra
 Utami Ainur Nissa
 Henk Mardily
 Nizar Fadhlurrohman
 Shafiah Meike

Persoalan: Program Satu Juta Rumah

Usulan kebijakan ini disusun atas dasar pemikiran bahwa “Program Sejuta Rumah” masih
mengalami berbagai kendala dan memerlukan adanya pembenahan oleh beberapa pihak terkait
dalam rangka memenuhi kebutuhan akan rumah bagi MBR. Salah satu kendala tersebut muncul dari
pihak pengembang. Pembangunan 1 juta rumah terhambat karena minimnya ketersediaan lahan. Hal
ini menyebabkan harga tanah semakin mahal sehingga biaya produksi tinggi. Akibatnya, pihak
pengembang tidak dapat menekan harga rumah yang seminimal mungkin agar terjangkau oleh MBR.
Bagi pihak MBR sendiri, harga yang ditetapkan masih terasa mahal karena biaya yang harus
dikeluarkan menjadi lebih tinggi. Rumah yang dibangun dalam “Program Sejuta Rumah” berlokasi di
pinggiran kota sehingga MBR harus mengeluarkan biaya transportasi lebih untuk mencapai pusat kota
(tempat kerja, pendidikan, dan pelayanan kesehatan).
“Program Sejuta Rumah” menyediakan rumah tapak dan rumah susun dengan jumlah 305.815
unit rumah tapak, 200 unit rusunawa, dan 25.578 rusunami. Jika dilihat dari jumlah unit rumah, maka
pembangunan rumah tapak memiliki kemungkinan menyumbang kendala yang paling besar dalam
merealisasikan program ini. Pasalnya, rumah tapak membutuhkan lahan yang sangat luas. Lahan yang
terbatas –yang dapat digunakan sebagai lokasi strategis dan tidak merugikan penghuni– tidak mampu
menampung sejumlah rumah tapak yang dicanangkan pemerintah. Faktor lahan menjadi salah satu
kekurangan rumah tapak. Rumah tapak menyumbang eksternalitas negatif lebih tinggi dibandingkan
bentuk rumah lain seperti rumah susun. Bentuk eksternalitas negatif tersebut diantaranya adalah
menurunkan kualitas thermal suatu daerah karena berkurangnya ruang terbuka hijau dan
berkurangnya penyerapan air. Berbeda dengan rumah tapak, rumah susun dianggap memiliki
keunggulan. Rumah susun dapat mengatasi kelangkaan han yang terjadi dalam memenuhi kebutuhan
rumah. Aspek lingkungan juga mendukung keunggulan rumah susun. Pasalnya, rumah susun dinilai
lebih ramah lingkungan –adanya alokasi lahan untuk RTH dan penyerapan air yang lebih banyak dan
memulihkan kualitas thermal suatu daerah–. Selain itu, lokasi rumah susun yang memang dibangun di
wilayah perkotaan dianggap strategis bagi MBR (tidak memerlukan biaya lebih untuk menjangkau
tempat kegiatan mereka e.g. tempat kerja, sekolah, dan pelayanan kesehatan). Namun, pembangunan
rumah susun memiliki kekurangan yang salah satunya adalah berkurangnya interaksi sosial antar
penghuni rumah susun.
Berdasarkan hal-hal di atas, “Program Sejuta Rumah” sebaiknya diarahkan kepada
pembangunan rumah susun. Pembangunan rumah susun akan lebih efisien ketimbang rumah tapak

1
baik dari segi penggunaan lahan dan pembiayannya. Rumah susun membutuhkan lahan lebih sedikit
dibandingkan rumah tapak namun dapat menampung lebih banyak keluarga. Hal ini dapat mengatasi
masalah kelangkaan lahan dalam memenuhi kebutuhan rumah bagi MBR. Lokasi rumah susun yang
berada di wilayah perkotaan dapat mengurangi biaya transportasi apabila dibandingkan dengan
tinggal di rumah tapak yang jauh dari pusat kota. Lebih jauh lagi, pembangunan rumah susun oleh
pemerintah harus memperhatikan beberapa hal sebagai berikut:
1. Menyesuaikan klasifikasi masyarakat yang masuk ke dalam kategori MBR dengan harga
rumah di setiap daerah. MBR tidak dapat menjangkau kredit perumahan yang diberikan oleh
pemerintah. Hal ini disebabkan karena terdapat kesamaan pada klasifikasi masyarakat yang
termasuk ke dalam kategori MBR. Seharusnya, klasifikasi MBR di setiap daerah dapat
menyesuaikan tingkat Upah Minimum Regional (UMR). Faktanya, saat ini pemerintah pusat
mengklasifikasikan MBR ke dalam tiga kategori berdasarkan pendapatan. Akan tetapi,
terdapat perbedaan tingkat UMR disetiap daerah. Oleh karena itu, masyarakat MBR
mengalami kesulitan dalam hal kredit perumahan rakyat.
2. Pembangunan rusun dirancang dan disesuaikan dengan budaya penghuni rumah susun.
Pembangunan rumah susun seharusnya dapat memasukan unsur budaya masyarakat
Indonesia. Apabila dilihat dari segi desain, rumah susun di Jepang tetap memakai desain
bangunan tradisional. Di sisi lain, masyarakat Indonesia cenderung memiliki jiwa sosial yang
tinggi. Oleh karena itu, penyediaan fasilitas pendukung seperti ruang komunal, area bermain
anak, serta gedung serbaguna merupakan hal yang penting agar dapat menunjang interaksi
sosial di kawasan rumah susun.
3. Pembangunan rumah susun dirancang dengan kapabilitas yang sesuai dengan kebutuhan
MBR atau penyediaan fasiltas yang memudahkan kegiatan sehari-hari. Khusus bagi
masyarakat homogen, rumah susun seharunya dapat menyediakan berbagai fasilitas
penunjang aktivitas sehari-hari. Contohnya bagi masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan
adalah pembangunan rusun yang tanggap iklim serta tempat untuk menjemur ikan.

Anda mungkin juga menyukai