Buku 3 - Ketika Sesuatu Haruf Ditulis
Buku 3 - Ketika Sesuatu Haruf Ditulis
Penggagas Buku:
Dr.Kastum
Alipi Muhammad
Yusrizal KW
Editor: Yusrizal KW
Penyelia Akhir: Faiz Ahsoul
Desain Cover: Alfin Rizal
Tata Letak: Azka Maula
ISBN:
Untukmu Si Kecil – 1
OLEH: AZIZAH
v
Gelombang Literasi di Tanah Ombak – 47
OLEH: INDRA KOMARA
Pedagang Tua – 75
OLEH: MUTIARA SYANDI
vii
Pembinaan Pendidikan Keaksaraan dan Kesetaraan, adalah
contoh nyata upaya penguatan pelaku pendidikan dan
kebudayaan. Saya percaya, pengalaman adalah guru terbaik.
Belajar dari praktik baik adalah pembelajaran terbaik dan
praktik-praktik baik memang seharusnya disebarluaskan.
Dengan alasan ini pula, Program Residensi Literasi di
desain bukan sekadar mempertemukan para pegiat literasi
di satu tempat. Lebih dari itu, kami mengharapkan proses
ini menjadi ajang berbagi energi dan inspirasi untuk mem
besarkan spirit bersama memajukan pendidikan Indonesia.
Saya menyambut baik terbitnya buku yang menyajikan
pengalaman dan gagasan hasil “tangkapan” para pengelola
TBM saat menjalani kegiatan Residensi Literasi ini. Melaku
kan kegiatan lalu menuangkannya menjadi sebuah karya
(buku) merupakan praktik baik yang layak kita jadikan tra
disi.
Saya mengharapkan buku ini menambah pemahaman
para pengelola TBM di seluruh Tanah Air dalam mengelola
TBM yang kreatif dan rekreatif. Semoga praktik baik ini
memberikan inspirasi dan manfaat bagi banyak pihak.
Harris Iskandar
ix
dan Kesetaraan meningkatkan kapasitas pengelola TBM.
Ada empat fokus utama yang dibidik, yaitu, keterampilan
menulis, meningkatkan kemampuan manajerial, menum
buhkan jiwa kerelawanan, dan kemitraan.
Tujuan residensi ini untuk menyediakan ruang belajar
bersama seligus menempa diri, bergerak bersama dan ber
bagi pengalaman. Bagaimana menikmati kehidupan sebagai
relawan dengan nilai-nilai keiklasan, perjuangan. Maka,
kegiatan sengaja didesain agar setiap peserta dapat
menyaksikan dari dekat dan merasakan langsung tantangan
yang dihadapi oleh pengelola TBM tempat mereka “nyan
trik”. Ya, esensi kegiatan ini adalah bagaimana merasakan
langsung proses antara satu sama lain untuk saling meng
inspirasi.
Pola ini ternyata menghasilkan berbagai keseruan, ter
utama ketika peserta harus menginap di rumah warga,
makan dengan masakan tuan rumah, menikmati fasilitas
yang tersedia di tempat residensi.
Buku ini bukan saja menyajikan secara original berbagai
keseruan yang dialami para peserta residensi, melainkan
juga bagaimana “gesekan” yang intens di antara para pegiat
literasi ini menghasilkan satu frekuensi untuk saling meng
inspirasi dan menguatkan satu sama lain.
Abdul Kahar
OLEH : YUSRIZAL KW
KETUA RUANG BACA TANAH OMBAK
xi
Sebagai TBM yang dipercaya sebagai tuan rumah
pelaksanaan residensi, Tanah Ombak menganggap ini
bagian penting dalam proses pengembangan dan penguatan
internal. Kegiatan ini juga sekaligus untuk berbagi
pengalaman. Kami meyakini sesungguhnya setiap orang
adalah guru yang juga murid: disini terjadi proses saling
belajar. Hakikatnya, belajar itu bisa pada siapa saja dan
berlangsung sepanjang hayat. Spirit inilah yang membung
kus residensi literasi ini.
Ada hal yang menarik ketika menerima tantangan sebagai
tuan rumah bagi teman-teman dari berbagai provinsi yang
ingin berbagi pengalaman di Tanah Ombak. Pertama, adalah
bagaimana peserta secara tidak langsung menjalani ritme
dan proses keseharian pengelola, relawan, dan anak-anak
Tanah Ombak. Dengan cara ini, peserta merasakan kesulitan
dan tantangan yang dihadapi, dari hal yang sederhana
sampai pelik. Residensi literasi ini, bisa kita istilahkan
“mencicipi proses gerakan langsung dari sumbernya”.
Hal paling seru, tentu hal yang semua terlibat. Kita namakan
materinya: Literasi Teh Telur. Literasi teh telur, adalah
bagaimana memahami resep teh telur, dan manfaat
minuman tradisional orang Minang tersebut bagi stamina.
Orang Minang, pada umumnya, menyukai minuman ini.
Pak Kastum, yang baru saja mendarat sore hari di Tanah
Ombak, langsung meminta Bu Des, membuatkan teh telur.
Padahal pesta teh telur baru akan dimulai pukul 22.00. Dasar
Pak Kastum, dengan modal “rayuan maut” berhasil
meluluhkan Bu Des dan Adek untuk menghidangkan teh
telur. “Saya suka teh telur. Kalau minum ini staminanya bisa
tahan berapa lama?” Nah lo, susah kan jawabnya?
Memperkenalkan teh telur kepada peserta residensi,
sejatinya bagian dari literasi bisnis yang dijalankan oleh
Tanah Ombak. Minuman khas Minang ini hampir ada di
seluruh Indonesia, bisnis teh telur bakal berpeluang untuk
menambah biaya operasional TBM. Mana tahu, bisa jadi
selingan. Mana tahu lagi, bisa jadi menu penambah stamina
untuk para relawan ketika lelah bekerja dalam gerakan
literasi.
Di balik semua itu tentu saja, kehadiran teh telur terbukti
mampu memacu kegembiraan bersama. Di malam pe
nutupan, kita ingin menabung momen indah. Mulai dari
memecah kulit telur, menyisihkan putih telur dan mema
sukkan kuning telur ke gelas, sampai mencampurkan gula
lalu dikocok sampai kental. Proses merebus teh dan
menuangkannya sampai terhidang, adalah sisi lain yang bisa
dirasakan bersama.
Penutup
OLEH: AZIZAH
1
tersebut. Suatu permainan yang mereka mainkan hanya
mereka anggap sebagai just for fun (hanya untuk bersenang-
senang atau menghibur diri semata).
Indonesia memiliki begitu banyak bentuk permainan
tradisional; ada yang menggunakan peralatan, ada yang
disertai nyanyian, dan ada pula yang disertai dengan
gerakan-gerakan tertentu. Beberapa bentuk permainan
tradisional dikenal luas di seluruh pelosok Tanah Air, tetapi
ada juga bentuk permainan tradisional yang hanya dikenal
oleh kelompok etnik atau komunitas tertentu dan dengan
persebaran yang terbatas. Permainan gasing, egrang, dan
meriam bambu, misalnya, dikenal luas oleh anak-anak
Indonesia yang bertempat tinggal di berbagai daerah, tetapi
dengan sebutan yang berbeda-beda. Terkait dengan daerah
persebaran yang sangat luas, maka permainan tradisional
tertentu memiliki fungsi untuk dapat dijadikan wahana
forum silaturahmi budaya antaranak Indonesia. Melalui
permainan tradisional, mereka akan saling mengenal dan
dapat menunjukkan kepiawaian sesuai dengan pemaknaan
yang dibangun oleh lingkungan mereka, mengingat mereka
memiliki latar belakang etnik dan budaya yang berbeda.
Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara,
permainan tradisional bukan hanya berfungsi sebagai
sarana hiburan, melainkan juga sarana untuk berinteraksi
dan bersosialisasi. Melalui permainan tradisional, para
pemain dan penontonnya akan dapat membangun kerja
sama dan persabahatan. Mereka akan saling mengenal dan
mengapresiasi kelebihan masing-masing. Di samping itu,
para pemain juga akan mengenal watak dan temperamen
teman-temannya; misalnya, mana yang penyabar dan mana
Jakarta 2017
9
Biasanya saya menggunakan jasa angkutan publik bernama
bus kota untuk menuju tempat di mana biasa beraktivitas,
karena tidak ada pilihan lain bagi mereka yang terpaksa
mencintai angkutan massal berpenumpang yang selalu
melebihi kapasitas normal. Dalam perjalanan, saya—
terpaksa—selalu memperhatikan suasana sekitar di luar.
Lalu, bayangan kerap melambung untuk memikirkan suatu
hal yang mungkin oleh sebagain besar orang dianggap
kurang kerjaan.
Saya selalu mempertanyakan makna waktu yang banyak
terbuang. Ada apa dengan waktu? Mengapa waktu cepat
berlalu? Dan mengapa waktu yang ada menjadi terasa begitu
sia-sia selama ini. Bayangan-bayangan itu pasti akan tetap
menjadi problema buat mereka yang ingin menghargai
waktu; buat mereka yang ingin memberikan makna
tersendiri atas waktu.
Duduk di belakang supir, merapat pada kaca bus. Ya,
kursi itu memang sudah jadi kursi favorit saya setiap kali
berada di bus kota. Sudah pasti diduga, pemandangan apa
saja bisa disaksikan di luar sana. Selain punggung supir yang
berselendang handuk basah, di sisi sebelah kiri bus ada
banyak gedung yang menjulang tinggi. Sementara di sisi
sebelah kanannya, tampak suasana kemacetan. Yang
terakhir adalah kondisi suasana yang sering menjadi tema
besar ibu kota. Orang banyak bilang macet itu sudah biasa.
O L E H: E DY FA JA R P R A SE T YO
15
Sebagai personal yang memiliki interest di bidang
kewirausahaan dan UMKM, mengantarkan perbincangan
awal saya dengan pemuda asli Minang yang menjadi driver
kala itu terkait sumber perekonomian mayoritas masya
rakat di siko (sini, bhs. Minang) pun menemani perjalanan
saya dari bandara menuju Tanah Ombak. Pembahasan
diskusi kian menarik hingga pada satu titik saya berke
simpulan bahwa ternyata benar DNA darah Minang kental
dengan nilai-nilai kemandirian.
Hal ini dibuktikan melalui berbagai komponen fakta
bahwa kebutuhan masyarakat dan perputaran ekonomi
yang ternyata didominasi oleh galur murni keturunan
Minang. Tidak saya lihat satu pun ada retail minimarket
modern menjamur di sini seperti halnya dikota besar
lainnya. Hal ini ternyata menjadi program pemerintah yang
didukung semua elemen masyarakat agar mampu “Menjadi
Tuan Rumah di Negeri Sendiri”, sebuah visi ekonomi
kerakyatan yang nyata ada di sini. Melalui program “1000
Minang Mart”, kaum pribumi menjadi primadona tanpa
harus mendapat intervensi dari pihak mana pun.
Belum tuntas perbincangan eksploratif kami tentang
seluk beluk kota, kami pun kemudian terhenti karena kami
sudah tiba di tempat semua penjelajahan ini akan bermula,
yakni Ruang Baca Tanah Ombak. Menyusuri jalan setapak
menuju Tanah Ombak, mengingatkan saya akan sebuah
film layar lebar dari negeri Tiongkok Kungfu Hustle yang
cukup fenomenal. Mengapa tidak?
Ditemukan banyak kemiripan dengan suasana dan
kultur di Tanah Ombak. Lokasi pemukiman yang dikelilingi
bangunan rumah susun tempo jadul dengan dibalut warna
23
III ini. Lingkungan yang bersih dan hijau siap menyambut
kehadiran siapa saja yang memasuki gang itu. Agak sedikit
berbeda ketika masuk ke dalam gang-gang kecil lainnya
yang berada di sekitar gang itu. Melalui kegiatan menanam
pohon, TBM Tanah Ombak telah berhasil mengajak
masyarakat sekitar untuk lebih peduli terhadap ling
kungannya.
Selain lingkungan yang cukup bersih dan asri, ada satu
hal yang bakal sulit untuk dilupakan, yaitu sambutan anak-
anak yang ramah dan bersahabat sungguh akan menente
ramkan hati. Mereka adalah anak-anak yang kesehariannya
mereka habiskan di TBM Tanah Ombak. Mereka anak-anak
biasa yang telah bermetamorfosis menjadi luar biasa.
TBM Tanah Ombak sungguh berhasil menjangkitkan
virus-virus kebaikan ke dalam diri setiap anak Purus III
yang mau memberikan diri mereka untuk dibina di TBM
ini. Mereka memiliki kebebasan untuk mengeksplor bakat
apa saja yang ingin mereka eksplor di ruang baca dan
kreativitas ini. Di TBM ini mereka menemukan kecintaan
mereka pada membaca buku. Dengan membaca, mereka
dapat memperoleh pengetahuan dan kebaikan.
Kebaikan lainnya yang dirasakan dan didapatkan yaitu
mereka dapat belajar berdongeng, berdendang, memainkan
alat musik dan juga seni teater. Mereka juga dapat keluar
dari Purus III melihat daerah-daerah baru yang sebelumnya
mungkin tidak pernah terbayangkan. Dan yang paling
penting dari itu semua, TBM Tanah Ombak berhasil
mengubah cita-cita setiap anak sehingga mereka mempu
nyai cita-cita yang besar dan semangat yang membara untuk
mewujudkan cita-cita yang luar biasa itu.
OLEH: HAMDAN
27
perjalanan ini karena baru pertama kali berkunjung ke Kota
Padang, terlebih sebagai relawan. Waktu berlalu dan
akhirnya aku tiba di Purus dan disambut ramah oleh
sekelompok pemuda yang membawa kamera, merekam
kedatanganku, dan mengantar sampai ke Tanah Ombak.
Beberapa saat aku baru menyadari bahwa mereka adalah
para relawan Tanah Ombak. Setiba di sana, ternyata benar
dugaanku, bahwa semua kegiatan akan dilaksanakan di
lokasi magang termasuk juga penginapan. Tidak terlalu
kaget karena sebelumnya sudah mendengar beberapa
informasi, dan sebenarnya justu senang apabila kegiatan
dilaksanakan di tempat bisa yang berbaur langsung dengan
masyarakat kerena aku termasuk orang yang suka dengan
hal-hal yang baru.
Setelah mingikuti beberapa kegiatan pada hari awal, aku
pun antusias mengikuti program kegiatan unik dari Tanah
Ombak yang aku tunggu-tunggu yaitu mengikuti kegiatan
Vespa Pustaka. Saat senja menyapa, dari Tanah Ombak
menuju tujuan Vespa Pustaka yang akan pergi ke bawah
jembatan, dengan kuat dan semangat membawa amunisi
lengkapnya berisi buku-buku bacaan dengan semboyan
inspiratif “Kutemui kamu sampai membaca”. Aku tersentuh
sekaligus termotivasi mendengar semboyan itu, dan tidak
sabar memutuskan untuk segera memulai perjalanan ini
dengan rasa penuh harap bisa mendapatkan sepotong ilmu
dan pengalaman di tempat ini untuk aku rangkai sebagai
sebuah cerita unik di kemudian hari.
Sembari mengikuti perjalanan Vespa Pustaka, dengan
sengaja kulewati gang-gang jalan berukuran sempit yang
belum pernah kulewati sebelumnya untuk melihat langsung
33
Balikpapan untuk menuju Bandara Internasional Minang
kabau, Padang, Sumatra Barat. Perjalanan yang bagiku
cukup panjang dan melelahkan, namun tidak terlintas
sedikit pun di pikiranku bagaimanakah lokasi yang akan
kunjungi, lokasi tempat aku magang, yaitu Tanah Ombak.
Yang aku rasakan dan pikirkan hanyalah aku bahagia
dengan perjalanan ini. Tepat pukul 14.00 WIB, aku tiba di
Bandara Internasional Mingakabau, Padang.
Seorang teman yang seprofesi denganku menjemputku
dan mengajakku bermalam di rumahnya, karena acara
kegiatanku baru akan dimulai besok, hari Sabtu. Semalam
kami bersama bercerita tentang Tanah Ombak. Temanku
bernama Kak Nina, seorang pemilik PAUD di Kota Padang,
menceritakan Tanah ombak adalah sebuah lokasi yang
sangat ekstrem, sebuah lokasi yang status sosialnya jauh dari
nilai-nilai berkarakter, lokasi yang dulunya dikenal dengan
sebutan Gang Setan. Kehidupan yang jauh berbeda dengan
lingkunganku dan sama sekali tidak pernah kupikirkan
bahwa aku akan masuk ke kawasan itu. Berbagai pertanyaan
dan pikiran terlintas di otakku. Apakah aku akan mampu
beradaptasi di Tanah Ombak, lokasi yang begitu ekstrem
setelah aku mendengar cerita Kak Nina.
Sabtu 29 Juli 2017, akhirnya aku pun tiba di lokasi Tanah
Ombak, tempat di mana aku akan belajar banyak hal sebagai
relawan TBM. Dengan penuh kecemasan dan kekhawatiran,
kuinjakkan kaki di lokasi tempat aku akan magang sebagai
relawan TBM. Lingkungan yang sangat jauh berbeda dengan
lingkungan asalku. Melangkah menyusuri gang menuju
lokasi, membuatku ragu untuk meneruskan langkahku. Apa
yang diceritakan oleh temanku, sepertinya benar. Ling
39
Indonesia. Dan perjalanan panjang dari Makassar akhirnya
mendaratkan saya di sana, di Tanah Minang, di mana kisah
Siti Nurbaya bermakam, di kota yang bentuk bangunanan
nya kebanyakan menyerupai rumah adat mereka, di tanah
di mana vokal o mendominasi ruang kata.
Selain kisah fenomenal Datuk Maringgih dan kemudian
Tenggelamnya Kapal Van Der Wick, Kota Padang adalah
kota yang asing dan tidak pernah ada dalam destinasi
perjalanan saya. Karenanya, saya berikrar 3 hari ini adalah
3 hari di mana saya tidak boleh lelah dan akan “belajar”
sebanyak mungkin. Perjalanan menuju lokasi Tanah Ombak
seketika mempertemukan saya dengan realitas yang
langsung terbaca jelas. Kami memasuki pemukiman kumuh,
rumah yang berdesak-desakan, bau got yang menyengat,
jalan yang becek, udara yang pengap, dan mata yang
menatap penuh curiga. Saya khawatir, tetapi tiba tiba
berubah tenang, ketika sambutan gerombolan anak-anak
kecil menyambut saya dengan riang. Ini aneh, semangat
anak-anak itu, berbanding terbalik dengan apa yang saya
dapati di menit-menit pertama di gang ini. Saya tersenyum.
Saya segera tahu, saya akan belajar banyak hal di sini.
Tanah Ombak berada di ujung sebuah gang kecil yang
dulunya bernama Gang Setan. Penuturan terbuka Pak KW
dan Pak Hen, relawan sekaligus pendiri Tanah Ombak,
memperkaya cerita tentang perjuangan Tanah Ombak di
Gang Setan, yang berada di Kelurahan Purus, di pusat Kota
Padang. Kenyataannya, segala yang saya temui kali pertama,
sudah jauh lebih baik dari 3 tahun lalu. Bukan hanya secara
infrastrukturtapi juga secara sosial, gang ini memenuhi
kriteria sempurna sebagai gang yang termarjinalkan.
43
Letaknya sendiri tidak jauh dari Pantai Padang. Hanya butuh
waktu kurang lebih 30 menit sampai ke puncak untuk
menikmati pemandangan Kota Padang dan sekitarnya.
Mulai dari kaki bukit sudah saya temukan monyet-monyet
yang bergelantungan dan mengummandangakan suara-
suaranya yang aneh karena saya tidak terbiasa mendengar
kannya. Dalam perjalanan saya temukan tempat-tempat
bersejarah peninggalan Jepang dengan meriamnya. Tetapi
saya merasa sangat miris dikarenakan kurang terjaganya
peninggalan bersejarah tersebut. Gunung Padang juga
menyimpan bukti sejarah lain. Di puncak Gunung Padang
ada sebuah lubang yang mirip dengan Lubang Japang
terkenal di Bukittinggi. Untuk mencapai puncak Gunung
Padang, saya harus berjalan kaki di lereng bukit. Tapi
jangan khawatir, lereng bukit tersebut sudah dibuatkan anak
tangga untuk memudahkan pengunjung melewatinya.
Perjalan untuk sampai ke puncak memang cukup
menguras tenaga, tetapi itu semua akan dibayar dengan
keindahannya. Letak Gunung Padang yanng di tepi laut,
memberikan keindahan yang memanjakan mata. Akan ada
beberapa tempat persinggahan untuk melepaskan lelah
sambil menikmati indahnya hamparan Kota Padang. Tempat
ini cocok untuk yang suka selfie. Sesampai di puncak,
pengunjung akan semakin terpesona dengan keindahnnya.
Pengunjung bisa melihat Kota Padang keseluruhannya.
Pemandangan kota ditambah dengan laut dan beberapa pulau
tanpa penghuni. Selain itu, di sini pengunjung bisa
bertemu dengan penghuni gunung padang yaitu monyet!
Hati-hati jika membawa makanan, monyet-monyet yang ada
di sini suka meminta makanan yang dibawa pengunjung.
Bahan-bahan:
▷▷ sediakan gelas/cangkir,
▷▷ telur ayam kampung/telur bebek,
▷▷ gula pasir,
▷▷ kopi Capucino/susu cair atau semacamnya,
▷▷ siapkan teh panas,
▷▷ 1 ikat potongan sapu lidi bersih untuk mengocok/
alat kocok telur.
Cara membuat :
Masukkan kuning telur ke dalam gelas, masukkan
gula pasir 1 ½ sendok teh (sesuai selera), masukkan
sedikit Capucino, lalu kocok menggunakan ikatan sapu
lidi bersih sampai warna adonan menjadi putih. Tuang air
teh panas dan ... sajikan. Selamat mencoba!
47
adalah salah satu jalur untuk mampu mengakses, mema
hami, dan menggunakan informasi secara cerdas. Membaca
sebagai pintu masuk dalam langkah-langkah memetakan
masa depan, sedangkan menulis merupakan arah mata
angin yang dapat mengantarkan seseorang ke tujuannya.
Sesuatu yang terarah dan bertahap akan lebih bertahan
lama, ketimbang arah dan tahapan yang tak tidak sesuai
dengan kemampuan diri.
Dalam sebuah film Literasi Indonesia yang berjudul
Nyanyian Tanah Ombak produksi Kapatabang dan Teater
Noktah yang bercerita tentang literasi, tampak peranan yang
sangat penting untuk kehidupan anak-anak di Tanah
Ombak. Ibu Lili sebagai seorang yang sempat merantau dan
meninggalkan Tanah Ombak, memutuskan untuk kembali
dan memiliki niat baik untuk mendirikan Taman Bacaan
Masyarakat. Dia membawa buku-buku yang dia punya
selama masa perantauan.
Ia sangat bersemangat dalam mewujudkan keinginan
nya. Beberapa anak mulai mengunjungi dan mulai senang
pada keberadaan TBM Tanah Ombak. Ibu Lili membuka
TBM-nya setiap Hari Minggu, anak-anak bisa membaca dan
meminjam buku. Ibu Lili berharap dengan adanya TBM
Tanah Ombak bisa membuat anak-anak menjadi lebih
pintar dalam menghadapi masalah dan tahu apa yang harus
dilakukan.
Namun beberapa orang tua tidak menyambut ramah
dengan adanya TBM Tanah Ombak, bahkan ada yang
melarang anak-anaknya untuk membaca. Padahal membaca
itu sama seperti memberi makanan pada rohani. Meski
begitu, ada sebagian orang tua yang menganggap penting
53
tenaga. Anak-anak bersekolah, orang-orang berlalu lalang
di jalan raya, dan banyak hal lainnya sama seperti di
daerahku. Yang berbeda hanya bahasa/logat serta bangunan
yang memiliki ciri khas yang menjadi ikon Kota Padang,
dengan bentuk di dua sisi atap pada bangunan melengkung
dan mengerucut runcing ke atas.
Aku tersentak dengan suara yang memberitahuku bahwa
kami telah sampai di tujuan. Ketika kaki turun menapak ke
jalan, terdengan suara lantang para pedagang dengan gigih
menawarkan apa yang mereka jual ke orang-orang yang
ingin dipuaskan hasratnya dalam berbelanja. Sedikit
kusipitkan mata dan berusaha mempertajam pendengaran
ku mendengarkan nyanyian pedagang untuk memastikan
apa yang mereka lantunkan. Karena aku tak cukup paham
dengan bahasa yang mereka gunakan, walaupun di tubuhku
juga mengalir darah Minang melalui ibuku. Aku dilahirkan
dan dibesarkan di Medan dan dibiasakan dengan bahsa
Indonesia.
Kami menyusuri pasar, memasuki lorong dan sudut-
sudut bangunan pasar. Ada yang berjualan, bahan pokok,
sayur, perabotan, alat rumah tangga, buah, pakaian, dan
bumbu-bumbu dapur. Tak ada yang mengesankan buatku.
Ah ... putus sudah harapan mencari inspirasi tulisan.
Ketika teman yang lain sibuk membeli teh yang katannya
asal Jambi, kusorotkan pandangan ke satu sisi jalan yang di
sana kulihat banyak kaum ibu-ibu yang bekerja mem
bersihkan cabai-cabai dan juga bawang. Memilah-milah
memisahkan yang masih bagus dan yang sudah busuk.
Tertegak pandanganku pada seorang lelaki tua yang duduk
di sebelah ibu-ibu yang membersihkan cabai dan bawang.
57
menyeberang agar kejadian seperti tadi tidak terulang
kembali.
Menurut kabar berita, Pasar Raya Padang adalah pasar
tradisional terbesar yang menjadi pusat perdagangan utama
di Kota Padang. Pasar ini didirikan pada zaman kolonial
Belanda oleh seorang kapiten China bernama Lie Saay.
Dalam perkembangannya pada era 1980-an, Pasar Raya
Padang pernah menjadi sentra perdagangan bagi masyara
kat di Sumatra Barat, Riau, Jambi, dan Bengkulu. Pasar Raya
Padang mulai mengalami kemunduran sejak hilangnya
Terminal Lintas Andalas dan Terminal Goan Hoat yang
memiliki peran vital dalam mobilitas warga dan komoditas.
Kedua terminal tersebut berubah mejadi pusat perbelanjaan
modern Plaza Andalas dan SPR Plaza. Para pedagang kaki
lima yang sebelumnya berjualan di lingkungan terminal
beralih memakai sebagian besar badan jalan sehingga
membuat semrawut kondisi pasar. Puncak kemunduran
Pasar Raya adalah bencana gempa bumi tahun 2009 yang
menghancurkan infrastruktur pasar.
Aku mencoba berbincang dengan seorang pedagang
kelontongan yang, jika dilihat dari tubuhnya, aku bisa
menebak berapa usianya, kira-kira lebih dari lima puluh
tahun. Pas banget, kupikir dia pasti tahu tentang info Pasar
Raya ini. Menurutnya, selama ini pasar yang ada di kawasan
perencanaan dikelola oleh Dinas Pasar. Sebagai timbal balik
dari pengelolaan tersebut, dilakukan pungutan atas semua
jasa pelayanan yang disediakan. Aksesibilitas yang dimiliki
kawasan tersebut sangat baik karena jarak yang dimiliki
cukup berdekatan dengan tempat tinggal penduduk. Untuk
penduduk yang bertempat tinggal cukup jauh pun
61
Kawasan Purus terkenal sebagai daerah dengan tingkat
kejahatan tinggi. Kampung tersebut juga kumuh karena
penduduk terbiasa membuang sampah sembarangan.
Syuhendri yang lama merantau miris melihat keadaan
tersebut. Ia mengajak anak-anak yang tergabung di Teater
Noktah untuk bekerja bakti membersihkan got. Ia kemudian
menggunakan rumah mertuanya sebagai pusat kegiatan.
Awalnya, anak-anak di sekitar rumahnya berdatangan
karena mereka membutuhkan tempat untuk bermain.
Mulailah Syuhendri mengajak anak-anak tersebut berlatih
teater. Tumbuh di lingkungan yang keras membuat mereka
terbiasa berkata kasar, hobi berkelahi, dan sukar diatur.
Syuhendri dan asistennya di Noktah sempat kewalahan.
Setelah memenangkan perlombaan Teater di Taman
Ismail Marzuki, Jakarta. sahabat lama Syuhendri yang
bernama Yusrizal KW mengatakan pentingnya mengubah
kegiatan tersebut menjadi gerakan literasi. Anak-anak di
Purus akan memiliki lebih banyak pilihan untuk hidup lebih
baik jika banyak membaca. Mulailah mereka menamai
tempat tersebut dengan Tanah Ombak. Nama yang
didedikasikan untuk pengarang Minangkabau, Abrar Yusra,
yang memiliki novel berjudul serupa. Selain itu kata tanah
mengandung asosiasi tempat tumbuh bagi semua. Sedang
kan kata ombak selain mengacu pada lokasi geografis, juga
mengandung harapan agar kegiatan tersebut terus-menerus
bergerak.
Kedua pendiri tanah ombak tersebut kemudian memiliki
komitmen untuk mengurangi angka putus sekolah di
lingkungan Purus. Mereka bermimpi kelak ada anak Purus
yang mengenyam bangku kuliah. Mulailah mereka
65
Ombak mampu memenuhi kebutuhan mereka. Hal ini lah
yang akhirnya membuatku bersedia untuk melangkahkan
kaki ke luar kamar dan menaiki angkot menuju Purus III,
walau sebelum sampai di Tanah Ombak aku harus talonsong
(baca: terlewat) sejauh 400 meter ke Toko Buku Gramedia.
Akhirnya aku memesan ojek online dan sampailah di Tanah
Ombak.
Detik itu, kehidupan komaku di Tanah Ombak dimulai.
Ketika aku memasuki ruangan, semua peserta telah hadir
dan berbincang layaknya mereka telah saling kenal
sebelumnya padahal mereka berasal dari daerah yang
berbeda. “Daerah yang berbeda” yang kumaksudkan di sini
adalah mereka berasal dari berbagai kota di Tanah Air.
Mulai dari Pasaman dan Padang Panjang (Sumatra Barat),
hingga ke Pulau Kalimantan. Begitu tahu mereka datang ke
Padang khusus untuk mengikuti pelatihan TBM ini (tentu
diselingi dengan liburan), aku merasa kagum. Jujur! Dan
komaku sebagai seorang relawan yang memang berasal dari
Padang namun masih setengah hati untuk datang, menda
patkan terguran pertama.
Acara selanjutnya di pelatihan TBM ini adalah field trip
Vespa Pustaka di salah satu objek wisata, yaitu Pantai
Padang. Vespa Pustaka merupakan sebuah program dari
Tanah Ombak, di mana sebuah vespa yang memiliki rak di
masing-masing sisinya diisi dengan puluhan buku yang
nantinya dibawa ke tempat yang ramai pengunjung,
terutama anak-anak karena sebagian besar buku yang
dibawa adalah untuk anak-anak. Untuk menuju Pantai
Padang dapat ditempuh hanya dengan berjalan kaki dari
pusat Tanah Ombak. Sepanjang perjalan menuju lokasi
Aku kira abang tidak akan ke sini lagi,” kata seorang anak
usia sekolah dasar pada saya, ketika baru datang dengan
Vespa Pustaka tanah Ombak, untuk kemudian membuka
lapak baca di kampong dia, Sebarang Pabayan Padang.
Vespa Pustaka Tanah Ombak, sebuah vespa yang di
modifikasi dengan menggunakan rak buku berbentuk kotak,
berisi buku anak-anak dan novel remaja yang berjumlah 200
sampai 300 judul buku sekali bergerak. Vespa adalah sebuah
kendaraan dengan mesin tanpa rantai dengan posisi mesin
yang di keluarkan pabrikan Piagio Italia, dan pada tahun
50-an mulai diproduksi massal. Tanah ombak memodifikasi
vespa ini menjadi pustaka bergeraknya.
Saat matahari sore mulai menuju arah barat, dengan
langit mulai menguning hambar, para relawan (saya, Obe,
Fahmi dan Is) mulai bersiap-siap menuju target baca,
menghidupkan mesin. Di antara kami, ada yang mulai
71
membawa buku keluar dari Ruang Baca Tanah Ombak,
untuk menyusun buku di rak buku Vespa Pustaka.
Setelah semua kelengkapan untuk buka lapak baca
dianggap oke, Vespa Pustaka pun melaju perlahan, mulai
dari gang Tanah Ombak, menuju kawasan dekat lapangan
bola Sebrang Pembayan, kawasan dekat sungai Batang Arau
Padang. Sepanjang perjalanan, penampilan vespa menarik
perhatian banyak orang. Sebelum sampai ke target lapak
baca, kadang-kadang anak-anak di kampung sebelahnya,
berusaha menyetop, untuk buka di tempatnya saja. Padahal,
tempat mereka ada giliran, belum hari ini.
Vespa Pustaka diresmikan 28 Februari 2017 oleh Duta
Baca Indonesia, Najwa Sihab dengan tagline: Kutemui Kamu
Sampai Membaca. Tiga kali dalam seminggu, Jumat, Sabtu
dan Minggu, Vespa Pustaka menemui anak-anak pemba
canya di tiga tempat yang telah ditentukan, seperti Sebrang
Pembayan, Pancalangan serta Muaro Lasak. Ketiganya sepan
jang pesisir pantai Padang. Dan sesekali daerah yang dipilih
secara acak. Dan anak-anak di tempat-tempat tersebut selalu
riang dan antusias, bahkan para remaja dan orangtua mereka.
Lapak baca Vespa Pustaka dibuka di atas trotoar dekat
lapangan sepak bola menghadap Sungai Batang Arau yang
terlihat kumuh. Di sana juga terlihat kapal kecil dan perahu
tertambat secara acak-acakan.
Di atas plastik bekas baliho, buku-buku dijejer sebanyak
antara 200 sampai 300 judul. Kebanyakan buku cerita anak-
anak, komik dongeng dan lainnya. Buku-buku dipilih
sengaja yang banyak gambarnya.
Mula-mula hanya sedikit anak-anak yang datang. Karena
mereka menduga, itu buku disewa atau bayar. Akhirnya
75
berkualitas bagus, dengan harga standar. Kita juga akan
menemui beberapa toko yang menyediakan barang yang
menjadi ciri khas dari Kota Padang.
Di satu toko, kutemui benda yang berhasil mencuri
perhatianku. Kudekati toko itu. Kulihat wajah pedagang
yang menatap aneh ke arahku, seolah ragu menawarkan
barang dagangannya. Kudekati pedagang renta itu,
kutanyakan harga benda tersebut. Dengan perlahan, dia
tersenyum dan berbicara dengan dialek yang sangat kental.
Tanpa ragu, benda itu kubeli. Senyum yang awalnya ragu,
kembali merekah, menjadi sangat ramah dan bersahaja. Ya,
dia adalah pedagang renta yang berjuang mencari nafkah di
hari senjanya.
77
Indonesia dan sangat mengapresiasi kegiatan-kegiatan yang
sudah dilakukan oleh para pegiat literasi. Hasilnya, ada
program donasi buku melalui Kemdikbud bekerja sama
dengan BUMN PT. Pos Indonesia untuk mendistribusikan
buku secara gratis setiap bulan di tanggal 17.
Keberadaan TBM saat ini tentunya tidak hanya sekedar
mengajak masyarakat untuk membaca dan/atau menulis,
tetapi yang lebih penting adalah adanya unsur pemberdaya
an masyarakat. Sehingga keberadaan TBM memiliki impact
bagi masyarakat dan bisa menjadi solusi terhadap kebutuh
an dan masalah yang terjadi di masyarakat melalui literasi.
Hal tersebut menjadi sebuah tantangan bagi pengelola dan
relawan TBM ketika kondisi masyarakat cukup beragam.
Literasi adalah hal sangat mendasar untuk kemajuan
suatu bangsa. Literasi dapat mengubah seseorang yang
tadinya tidak tahu menjadi tahu, tidak bisa menjadi bisa,
bahkan dapat mengubah kondisi sosial budaya masyarakat.
Salah satunya bisa dilihat di TBM Tanah Ombak, dengan
lingkungan yang berlokasi di pesisir Pantai Padang.
“Gang Setan”, menjadi sebutan yang ber-imej kurang baik
bagi masyarakat sekitar TBM Tanah Ombak. Kampung
nelayan dengan lingkungan kumuh ini dihuni warga yang
memiliki kebiasaan buruk. Masyarakat gemar berjudi dan
mengonsumsi minuman keras, anak-anak tumbuh di tengah
caci-maki sehari-hari, bahkan ada remaja yang sudah
terkontaminasi narkoba. “Memang tidak mudah mendiri
kan TBM di tengah-tengah masyarakat seperti ini. Namun,
ini merupakan bagian dari usaha untuk menyelamatkan
generasi baru yang lebih baik,” ucap Bapak Suhendri, salah
satu pendiri TBM Tanah Ombak.
Hari pertama
Panas, itulah suasana yang kurasakan saat tiba di Tanah
Minang, Padang. Ditambah saat aku memasuki sebuah
rumah warga yang berada di gang kecil yang dulu dijuluki
sebagai Gang Setan oleh warga sekitar. Mulai kurebahkan
diriku sebentar di atas lantai untuk sejenak melepas penat
dan lelah. Tiba-tiba datanglah anak-anak yang akhirnya
kutahu mereka adalah anak-anak Tanah Ombak, sebuah
tempat baca dan pustaka yang didirikan oleh Bang
Syuhendri dan Pak Yusrizal KW. Mereka menyapa dan
bertanya kepada diriku dengan penuh canda dan tawa.
Nama, asal aku datang, di mana aku mengajar, apa yang
kuajarkan, semua kujawab dan kujelaskan kepada mereka.
Begitu banyak pertanyaan yang mereka ajukan. Bahkan
kami pun sempat saling bertukar bahasa, bahasa Padang,
Jawa, dan sunda.
81
Dendang Malam.
Tiba waktunya aku dan kawan-kawanku menyaksikan
adegan demi adegan yang mereka suguhkan. Mulai dari
sajak, menyayi, menari, sampai memainkan alat musik.
Surpriseeeeeee, di luar dugaanku. Anak yang tinggal di
daerah yang dulu katanya kumuh dan kurang sehat (baik
dalam hal kebersihan dan pergaulan), mampu bergaya
layaknya artis-artis yang sudah berpengalaman. Wajah nan
aduhai, gaya yang lucu, ekpresi yang segar itulah bakat alami
yang memang sudah Tuhan anugerahkan kepada mereka di
tengah-tengah kekurangan yang keluarga mereka miliki.
Mulai timbul pertanyaan yang mencuat dalam hati,
mengenai kenapa mereka bisa seekpresif itu, siapa orang tua
mereka, bagaimana mereka hidup dengan keceriaan, dan
bagaimana mereka bersekolah. Satu per satu kucari tahu
walaupun belum sempurna. Banyak sekali latar belakang
yang mewarnai kehidupan mereka, itulah informasi yang
kuperoleh dari Bu Des dan Bang Hendri sebagai relawan di
sini. Beberapa warga di sini ternyata hanya mengontrak
rumah dari generasi ke generasi. Banyak pula wanita yang
menikah di usia 17 tahun, ibu-ibu mereka yang suka berjudi,
orang tua mereka yang berkata dan berbuat kasar, bahkan
melakukan hubungan suami istri di depan anak-anak
mereka. Ya, memang karena di rumah tersebut tidak ada
sekat yang memisahkan siapa anak dan siapa orang tua,
bagaimana seharusnya anak dan bagaimana seharusnnya
orang tua. Budaya kebersihan yang kurang, tidak adanya
MCK di beberapa rumah, adalah beberapa hal yang semakin
membuatku terkaget-kaget karena tidak pernah kubayang
kan aku pernah tinggal di daerah seperti ini.
Harapan
Seandainya saja aku bisa tinggal lebih lama bersama
mereka, ingin rasanya aku berbagi kasih dan sayang. Simpel,
dengan bercanda bersama mereka dan menasihati mereka
mengenai tata krama, agama, dan bagaimana mereka harus
bersikap terhadap lawan jenis. Kutaruh harapanku khusnya
kepada anak-anak wanita Tanah Ombak, agar mereka bisa
lebih santun, lebih anggun, lebih halus dan lebih berakhlak
sebagai wanita muslim sesungguhnya. Kugantungkan
kepada generasi anak laki-laki, agar suatu saat mereka bisa
menjadi imam yang soleh, lebih menghargai dan melin
dungi kawan wanitanya. Dan tentu saja mereka tetap
OLEH: RULI
85
Kedua orang tua pernah menyuruh saya untuk mencoba
mencari penghidupan ke kota. Maklum, tinggal di kampung
dengan pekerjaan menjadi guru honorer, secara finansial tak
ada yang bisa diharapkan. Namun, sejauh ini ada perasaan
betah yang tak bisa saya tolak untuk tetap berada di
kampung. Ya, sejauh ini saya menikmati kehidupan kam
pung halaman, sebuah kampung paling selatan di Kabu
paten Garut, tempat saya lahir dan tumbuh dewasa, dengan
segala pernak-perniknya.
Seperti yang saya tulis di atas, di kampung saya bekerja
sebagai guru honorer, namun sebenarnya pekerjaan utama
saya bukan itu, melainkan menghidupkan Komunitas
Ngejah. Hampir di setiap kegiatan Komunitas Ngejah saya
selalu terlibat. Namun keterlibatan saya bukan memimpin
jalannya kegiatan atau berbicara di depan orang, akan tetapi
berusaha mendokumentasikan seluruh kegiatan Komunitas
Ngejah, baik dalam bentuk foto ataupun video sederhana.
Foto dan video sederhana tersebut kemudian akan saya
unggah ke media sosial dan blog Komunitas Ngejah.
Selain mendokumentasikan kegiatan, saya juga berbagi
tugas dengan relawan yang lain untuk melayani para
pengunjung yang hendak membaca atau meminjam buku.
O ya, para pengunjung yang datang ke Komunitas Ngejah
tidak selalu datang untuk membaca dan meminjam buku.
Ada juga yang hendak membuat blog, atau sekedar mem
buat e-mail, dan biasanya mereka akan menemui saya.
Saya juga kerap mengajak anak-anak belajar bernyanyi.
Tujuannya bukan melatih anak-anak untuk menjadi
penyanyi, melainkan supaya anak-anak selalu senang datang
ke saung Komunitas Ngejah. Saya yakin, keriangan harus
OLEH: RIAN
91
jambret, rampok , dan masih banyak lagi yang tentunya
melanggar hukum.
Seorang narasumber yang tidak saya sebut namanya
mengungkapkan bahwa ketika pemerintah memberikan
bantuan untuk para janda, maka semua istri di kawasan ini
akan berubah status menjadi janda, tentunya hanya agar
mendapatkan bantuan tersebut. Ia juga menambahkan
bahwa, ketika Jokowi, Presiden Republik Indonesia,
berkunjung melihat keadaan di kawasan kampung nelayan
ini, pihak pemerintah, dalam hal ini Wali Kota Padang,
Sumatra Barat, mengalihkan kunjungan Presiden tersebut
ke tempat lain.
Ruang baca Tanah Ombak didirikan pada tahun 2014
oleh dua orang sahabat yaitu Syuhendri yang kerap disapa
Om Hen dan Yusrizal KW yang lebih kerap disapa Bang
KW. Kehadiran Tanah Ombak di tengah-tengah kawasan
ini sering mendapat penolakan oleh warga setempat,
namun kegigihan Om Hen, Bang KW, bersama para
relawan Tanah Ombak, akhirnya masyarakat mulai bisa
menerima kehadiran Tanah Ombak dan mengizinkan
anak-anakk mereka untuk bermain dan berekspresi di
Tanah Ombak.
Meskipun baru beberapa tahun berdiri, Tanah Ombak
sudah meraih beragam prestasi. Mulai dari penampil terbaik
festival teater anak-anak nasional 2014 di Taman Ismail
Marzuki Jakarta, Juara 1 regional Sumatra pada Gramedia
Reading Community Competition 2016, Peraih Anugerah
Literasi Minangkabau 2016 sebagai Komunitas Terbaik 1
Sumatra Barat dari Gubernur Sumatra Barat, sampai
undangan makan bersama Presiden Republik Indonesia di
95