Anda di halaman 1dari 120

KETIKA SESUATU HARUS DITULIS

SEKUMPULAN TULISAN DARI RESIDENSI LITERASI


DI TANAH OMBAK, PADANG
KETIKA SESUATU HARUS DITULIS

SEKUMPULAN TULISAN DARI RESIDENSI LITERASI


DI TANAH OMBAK, PADANG
ketika sesuatu harus
ditulis
sekumpulan tulisan dari
residensi literasi
di tanah ombak, padang

Penggagas Buku:
Dr.Kastum
Alipi Muhammad
Yusrizal KW

Editor: Yusrizal KW
Penyelia Akhir: Faiz Ahsoul
Desain Cover: Alfin Rizal
Tata Letak: Azka Maula

Penerbit: Tanah Ombak

ISBN:

© Hak Cipta dilindungi Undang-


undang
Daftar Isi

Untukmu Si Kecil – 1
OLEH: AZIZAH

Membaca dalam Kemacetan – 9


OLEH: EDI DIMYATI

Merantau ke Tanah Minang Bukan untuk Meminang – 15


OLEH: EDY FAJAR PRASETYO

Ombak Kebaikan di Tanak Ombak – 23


OLEH: FEBRINA ODELIA

Ketika Tanah Ombak Bagaikan Tombak – 27


OLEH: HAMDAN

Aku dan “Tanah Ombak” Kota Padang – 33


OLEH: HANNY HUSEIN

Menanam Jati di Gang Setan – 39


OLEH: HARNITA RAHMAN

Mendaki di Gunung Padang – 43


OLEH: HETI WULAN SABRILA

v
Gelombang Literasi di Tanah Ombak – 47
OLEH: INDRA KOMARA

Kehidupan dari Setapak Jalan – 53


OLEH: JUHAINA AMIN

Jalan-jalan ke Pasar Raya Kota Padang – 57


OLEH: LIA NURLITA

Taman Baca di Perkampungan Nelayan – 61


OLEH: LUTFI RETNO WAHYUDYANTI

Koma di Tanah Ombak – 65


OLEH: MASYKURA SAFITRI HADI

Vespa Pustaka Demi Anak-anak Membaca – 71


OLEH: MUHAMAD RISKI

Pedagang Tua – 75
OLEH: MUTIARA SYANDI

Move On Melalui TBM – 77


OLEH: NICKY PUSPITASARI

Dendang Tanah Purus – 81


OLEH: NURRY WAHYUNINGSIH

Saya dan Komunitas Ngejah – 85


OLEH: RULI

Magang Literasi untuk Mengenal Tanah Ombak – 91


OLEH: RIAN

vi ketika sesuatu harus ditulis


SAMBUTAN
Direktur Jendral Pendidikan
Anak Usia Dini dan Pendidikan
Masyarakat

“PANTA REI,” demikian ucapan masyhur Hiraklitos, Filsuf


Yunani kuno yang hidup pada 535-475 SM. Arti ucapan itu,
semua mengalir. Faktanya memang seperti itulah. Semua di
dunia mengalir dan dinamis. Tak ada yang diam. Semua
berkreasi dalam melakoni kehidupan masing-masing.
“Natura abhorret vacuum,” alam tidak menyukai kehampa­
an,” kata Francois Rabelais, seorang pujangga Perancis,
dalam karyanya, Gargantua I:5.
Begitu juga Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
yang berupaya untuk selalu dinamis dalam menjalankan
amanah undang-undang. Kemendikbud terus berusaha
meningkatkan ritme dalam rangka mendekatkan pelayanan
pendidikan sekaligus melibatkan sebanyak mungkin orang
atau lembaga dalam gerakan bersama memajukan pen­
didikan Indonesia.
Program Residensi Literasi bagi pengelola Taman Bacaan
Masyarakat (TBM), yang diselenggarakan oleh Direktorat

vii
Pembinaan Pendidikan Keaksaraan dan Kesetaraan, adalah
contoh nyata upaya penguatan pelaku pendidikan dan
kebudayaan. Saya percaya, pengalaman adalah guru terbaik.
Belajar dari praktik baik adalah pembelajaran terbaik dan
praktik-praktik baik memang seharusnya disebarluaskan.
Dengan alasan ini pula, Program Residensi Literasi di­
de­sain bukan sekadar mempertemukan para pegiat literasi
di satu tempat. Lebih dari itu, kami mengharapkan proses
ini menjadi ajang berbagi energi dan inspirasi untuk mem­
be­sarkan spirit bersama memajukan pendidikan Indonesia.
Saya menyambut baik terbitnya buku yang menyaji­kan
penga­laman dan gagasan hasil “tangkapan” para pengelola
TBM saat menjalani kegiatan Residensi Literasi ini. Melaku­
kan kegiatan lalu menuangkannya menjadi sebuah karya
(buku) merupakan praktik baik yang layak kita jadikan tra­
disi.
Saya mengharapkan buku ini menambah pemahaman
para pengelola TBM di seluruh Tanah Air dalam mengelola
TBM yang kreatif dan rekreatif. Semoga praktik baik ini
memberikan inspirasi dan manfaat bagi banyak pihak.

Jakarta, 28 Agustus 2017


Direktur Jenderal

Harris Iskandar

viii ketika sesuatu harus ditulis


PENGANTAR
Direktur Pembinaan Pendidikan
Keaksaraan dan Kesetaraan

ALHAMDULILLAH , buku karya peserta Program Residensi


Literasi tahun 2017 berhasil kita selesaikan. Buku yang kaya
warna dan gaya ini merupakan hasil keroyokan 60 orang
pengelola Taman Bacaan Masyarakat (TBM) dari berbagai
penjuru negeri, dari Aceh sampai Papua. Mereka dibagi
menjadi tiga kelompok, lalu disebar untuk “nyantrik” selama
empat hari di TBM Tanah Ombak Padang, TBM RB MEP
Jombang, dan Iboekoe di Yogyakarta.
Beragam cerita disajikan dalam buku berjudul Ketika
Sesuatu Harus dituliskan, Jejak Literasi Relawan Nusantara,
dan Satu Taman Banyak Cerita. Kisah-kisah yang disajikan
merupakan hasil refleksi dan pembacaan “dari dalam”
proses gerakan, “gesekan” dengan relawan, juga merasakan
langsung kondisi serta tantangan yang dihadapi setiap
pengelola Taman Bacaan Masyarakat.
Program Residensi Literasi 2017 ini, merupakan bagian
dari upaya Direktorat Pembinaan Pendidikan Keaksaraan

ix
dan Kesetaraan meningkatkan kapasitas pengelola TBM.
Ada empat fokus utama yang dibidik, yaitu, keterampilan
menulis, meningkatkan kemampuan manajerial, menum­
buhkan jiwa kerelawanan, dan kemitraan.
Tujuan residensi ini untuk menyediakan ruang belajar
bersama seligus menempa diri, bergerak bersama dan ber­
bagi pengalaman. Bagaimana menikmati kehidupan sebagai
rela­wan dengan nilai-nilai keiklasan, perjuangan. Maka,
kegiatan sengaja didesain agar setiap peserta dapat
menyaksikan dari dekat dan merasakan langsung tantangan
yang dihadapi oleh pengelola TBM tempat mereka “nyan­
trik”. Ya, esensi kegiatan ini adalah bagaimana me­rasa­kan
langsung proses antara satu sama lain untuk saling meng­
inspirasi.
Pola ini ternyata menghasilkan berbagai keseruan, ter­
utama ketika peserta harus menginap di rumah warga,
makan dengan masakan tuan rumah, menikmati fasilitas
yang tersedia di tempat residensi.
Buku ini bukan saja menyajikan secara original berbagai
keseruan yang dialami para peserta residensi, melainkan
ju­ga bagaimana “gesekan” yang intens di antara para pegiat
lite­rasi ini menghasilkan satu frekuensi untuk saling meng­
ins­pirasi dan menguatkan satu sama lain.

Jakarta, 28 Agustus 2017


Direktur

Abdul Kahar

x ketika sesuatu harus ditulis


Prolog
Residensi Literasi
“Mencicipi” Proses Gerakan di
Tanah Ombak

OLEH : YUSRIZAL KW
KETUA RUANG BACA TANAH OMBAK

Tanggal 29 Juli sampai 1 Agustus, Ruang Baca Tanah


Ombak, di Jalan Purus III No.30E Padang, dipercaya
Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan
Pendidikan Masyarakat, Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan RI, menjadi tuan rumah sekaligus penyeleng­
gara “Residensi Literasi” dalam program “Peningkatan
Ka­pasitas Pengelola Taman Bacaan Masyarakat (TBM).
Kegiatan yang diikuti 20 peserta dari kabupaten/kota ini
bertujuan untuk memberi kesempatan pada pengelola TBM
untuk belajar dan merasakan langsung proses membangun
gerakan literasi di Tanah Ombak. Selain itu, kegiatan ini juga
untuk memerkuat kinerja relawan, membangun jaringan,
sekaligus mengasah keterampilan menulis, baik artikel
maupun narasi cerita. Acara dibuka oleh Kasie Budaya Baca
M. Alipi dan ditutup oleh Kasubdit Keaksaraan dan Budaya
Baca, Kastum.

xi
Sebagai TBM yang dipercaya sebagai tuan rumah
pelaksanaan residensi, Tanah Ombak menganggap ini
bagian penting dalam proses pengembangan dan penguatan
internal. Kegiatan ini juga sekaligus untuk berbagi
pengalaman. Kami meyakini sesungguhnya setiap orang
adalah guru yang juga murid: disini terjadi proses saling
belajar. Hakikatnya, belajar itu bisa pada siapa saja dan
berlangsung sepanjang hayat. Spirit inilah yang membung­
kus residensi literasi ini.
Ada hal yang menarik ketika menerima tantangan sebagai
tuan rumah bagi teman-teman dari berbagai provinsi yang
ingin berbagi pengalaman di Tanah Ombak. Pertama, adalah
bagaimana peserta secara tidak langsung menjalani ritme
dan proses keseharian pengelola, relawan, dan anak-anak
Tanah Ombak. Dengan cara ini, peserta merasakan kesulitan
dan tantangan yang dihadapi, dari hal yang sederhana
sampai pelik. Residensi literasi ini, bisa kita istilahkan
“mencicipi proses gerakan langsung dari sumbernya”.

“Jauh Panggang” dari Hotel

Hal menarik kedua, ketika peserta harus menginap di


rumah warga, makan dengan masakan tuan rumah
(relawan), menikmati fasilitas yang tersedia di tempat
residensi, di sinilah kehidupan relawan sesungguhnya
dimulai. Sebagai gambaran, Tanah Ombak berada di ujung
sebuah gang yang dulu sebelum Tanah Ombak ada, dikenal
dengan “Gang Setan”.
Ketika masih menyandang gelar “Gang Setan”, gang ini
hampir tak pernah ada orang luar yang berani masuk. Kesan

xii ketika sesuatu harus ditulis


seram, tidak bersahabat, kumuh, perempuan-perempuan
perokok, judi, dan anak remaja tanggung yang hoby
“ngelem”, serta para lelaki yang mabuk minuman keras,
ditambah satu sama lainnya saling melontar kata kasar,
menjadi gambaran keseharian gang tersebut.
Kala itu, mendengar keluarga atau teman ditangkap
polisi karena kasus kriminal, adalah hal biasa. Mendengar
seorang anak menyebutkan ayahnya sedang dipenjara,
adalah hal biasa. Mendengar seseorang mengatakan ayah
mereka tewas karena menenggak minuman keras oplosan,
adalah potret yang begitu adanya.
Nah, ketika ada beberapa peserta residensi yang pertama
kali masuk gang Tanah Ombak merasa tidak nyaman adalah
hal lumrah adanya. Apalagi sepanjang gang hingga “markas
besar” Tanah Ombak, yang dekat pagar rumah susun Pantai
Padang, di kiri kanan masih terlihat banyak perempuan
yang merokok, berpakaian urakan, dan kadang jika sore,
mereka lesehan sambil bermain kartu dengan taruhan uang.
Padahal, bila dibandingkan tiga tahun lalu, sebelum
Tanah Ombak hadir, pemandangan demikian, sudah jauh
lebih baik. Jalan sudah relatif lebih bersih dan sudah ada
tumbuhan hijau. Juga dapat dirasakan, nyaris tidak ada
menenggak minuman keras, minimal dekat Tanah Ombak.
Judi sesekali memang ada, namun secara umum mereka
sudah bisa menerima orang luar yang masuk. Kini, orang
luar sudah keluar masuk gang tersebut terutama untuk
kepentingan berkunjung dan berkegiatan di Tanah Ombak,
berbagi kebaikan dalam banyak hal. Hal ini secara perlahan,
mengubah perilaku warga sekitar menjadi lebih baik,
mereka mulai terbuka. Walau, beberapa orang, masih belum

ketika sesuatu harus ditulis xiii


menerima sepenuhnya kehadiran Tanah Ombak. Hal itu
biasa dan wajar dalam sebuah gerakan.
Aura kurang sedap semacam itulah yang ditangkap oleh
hampir semua peserta residensi ketika hari pertama datang.
Bagi kami, ini hal yang paling penting dirasakan oleh para
peserta residensi, karena, dengan merasakan bagaimana
relawan Tanah Ombak pada akhirnya bisa menikmati hal-
hal “kurang sedap” itu sebagai bumbu gerakan literasi yang
dijalankan Tanah Ombak. Tentu berbeda ceritanya, jika
kami dari Tanah Ombak, diundang berbagi pengalaman di
sebuah hotel berbintang. Dalam ruang sejuk, makanan enak,
tidur nyaman, rasanya kurang “dahsyat” menceritakan
kehidupan riil semata dalam tayangan slide.
Dengan dikirim langsung ke “tempat peristiwa”, narasi
yang disampaikan ke peserta jelas menjadi lebih meng­
getarkan. Fakta dan realita, tak perlu lagi diceritakan.
Pengalaman, proses serta hal-hal yang menyangkut gerakan
yang menyentuh hati dan pikiran, menjadi sangat menarik
untuk dibagi.
Kami di Tanah Ombak, sejak semula sudah bisa
bayangkan ekspresi atau perasaan “galau” peserta ketika
diberi tahu bahwa tempat menginap mereka tak ada WC,
kecuali numpang ke ruang baca Tanah Ombak, di seberang
jalannya. Warga sekitar Tanah Ombak, rata-rata tak
memiliki WC. Jika mereka buang hajat, cukup pergi ke
pantai atau membungkusnya dengan kantong kresek, lalu
dilempar ke semak-semak. Malah, dulu sering mereka
lempar ke samping markas Tanah Ombak. Kotoran manusia
itu, kadang hinggap di atap rumah, jika itu terjadi, pertanda
di antara mereka sedang bermusuhan.

xiv ketika sesuatu harus ditulis


Kami menangkap dengan jelas, perasaan risih di wajah
para peserta. Mesti begitu, sebagai tuan rumah kami pura-
pura tak menyadari hal itu. Dalam hati saya berkata dan
tersenyum jahil, “Rasain kalian, dikirim untuk merasakan
sisi menyebalkan orang-orang Tanah Ombak!” Biarlah
selama empat hari mereka merasakan apa yang dirasakan
warga dan anak-anak Tanah Ombak, selama bertahun-
tahun. Jika kelak menjadi kenangan, rindu mereka adalah
merasakan yang indah dari pemandangan tak indah.
Tentu bagi yang terbiasa diundang kegiatan dan nginap
di hotel, tiba-tiba diberi fasilitas sedahsyat di Tanah Ombak,
perasaan ingin pulang adalah hal yang pasti muncul. Secara
kasat mata, lingkungan Tanah Ombak, betul-betul negeri
secuil yang masih berantakan tapi tengah dipaksa belajar
menata peradaban. Namun, bagi kami sebagai tuan rumah,
menganggap program yang mengajari betapa pentingnya
penderitaan, adalah syarat mutlak yang harus dilalui dan
dinikmati oleh para relawan literasi. Kerja keras tanpa
bayaran, upaya maksimal tanpa pujian, pencapaian prestasi
dalam cemoohan, adalah sesuatu yang harus dipahami oleh
para relawan dalam melakoni perjuangan di ranah literasi,
apalagi di tengah masyarakat bawah semacam di lingkungan
Tanah Ombak. Relawan tak boleh cengeng, dalam mengabdi
pada masyarakat di dunia literasi.
Menempatkan peserta Residensi Literasi di Tanah
Ombak, kami menyebutnya “Jauh Panggang dari Hotel”,
semacam jauh dari kenyamanan hotel. Apalagi mem­
bayangkan toilet dan kamar mandi yang bersih, ada air
hangat, nyaman, sungguh di Tanah Ombak sensasinya
berbeda: perasaanmu dalam mandi dan buang hajat tidak

ketika sesuatu harus ditulis xv


menjadi pertimbangan penting, karena memang itulah
adanya yang kita punya.

Hantu Buku di Malam Minggu

Anak-anak Tanah Ombak, sudah diberitahu kalau mereka


akan kedatangan tamu jauh dari berbagai provinsi. Itu
artinya, bakal ada kehilangan dalam hati, ketika dalam
beberapa hari bersama, tahu-tahu pisah. Anak-anak Tanah
Ombak mudah merasa dekat dengan orang asing, tamu-
tamu yang sempat nginap. Ini beda dengan ayah dan ibu
mereka.
Sebelum ada Ruang Baca Tanah Ombak, tak ada orang
lain yang peduli pada mereka dan teman-teman. Citra
negatif orang Gang Setan, bahkan sampai ke sekolah,
mereka sering dicap anak-anak nakal, diremehkan, padahal
di sekolah mereka juga banyak yang berusaha baik. Namun
akibat cenderung dianggap nakal, banyak yang memilih
berhenti sekolah, seperti Edo dan Yudhi. Dua anak pintar
yang terpaksa berhenti sekolah karena sikap guru yang
selalu menuding segala kesalahan di kelas bersumber dari
mereka. Yudhi diberhentikan, karena menghantam teman
sekelas hingga luka, Edo berhenti walau diantar kembali
oleh kami ke sekolah, karena perlakuan guru yang kurang
manusiawi padanya. Kini keduanya, menjadi relawan setia
Tanah Ombak, siap tempur untuk kerja fisik terutama. Kita
sedang mengupayakan ujian paket bagi keduanya, yang di
luar dugaan mereka termasuk tekun membaca buku.
Anak-anak Tanah Ombak selalu gembira jika harus
tampil untuk tamu-tamu, apalagi tamu jauh. Mereka akan

xvi ketika sesuatu harus ditulis


total. Karena mereka menyadari, biasanya tamu jauh mudah
dekat dengan mereka, mau diajak ngobrol, mau menjawab
pertanyaan mereka. Dan mereka akan sedih, ketika tamu-
tamu yang merupakan usia kakak-kakak mereka itu pergi.
Rasa kehilangan tiba-tiba itu bisa kami rasakan dari mata
yang berkaca-kaca, pertayaan yang resah, “Apakah kakak
dan abang-abang itu akan datang lagi?” atau, dari cara
mereka melepas kepergian sang tamu diam-diam.
Begitulah. Sabtu malam, 29 Juli, Residensi Literasi
dibuka oleh M. Alipi. Hadir Pak Lurah yang dalam
sambutannya merasa bangga. Motivasi dari Pak Alipi, yang
jika disimpulkan berarti mengajak pada para pegiat literasi
untuk menempa diri, bergerak bersama dan berbagi
pengalaman dalam Program Residensi Literasi. Bagaimana
menikmati kehidupan sebagai relawan dengan nilai-nilai
keiklasan, perjuangan. Juga disampaikan, setiap relawan
harus memiliki kemampuan menulis. `
Anak-anak Tanah Ombak pun tampil dalam berbagai
atraksi seni, termasuk guru hebatnya anak-anak, Pak
Syuhendri (Abe Pong) dibantu Robby W Riyodi (Obe). Pada
malam pembukaan dengan pentas seni, sesungguhnya kami
tuan rumah tidak semata ingin membahagiakan tamu, tapi
juga ingin memperlihatkan anak-anak ini adalah produk
belajar Taman Bacaan Masyarakat, Ruang Baca Tanah
Ombak. Kami juga ingin mengawali dengan sesegera
mungkin membaurkan semua keluarga besar Tanah Ombak
dengan peserta residensi literasi.
Mereka dihadirkan sebagai hantu buku yang telah
menjadi salah satu program unggulan dan populer Tanah
Ombak. Di Tanah Ombak, setiap Malam Jumat, sekali dalam

ketika sesuatu harus ditulis xvii


sebulan, anak-anak tampil dengan wajah gaya hantu versi
mereka. Kebetulan malam 29 Juli merupakan pembukaan
residensi literasi, mereka dihadirkan sebagai hantu buku
malam minggu. Mereka muncul dengan pantun membaca,
seni tradisi, baca kutipan buku, musik dan lagu, serta
bernyanyi bersama dengan gembira.

Ruang Belajar Bersama

Materi yang diberikan selama kegiatan Peningkatan


Kapasitas Pengelolaan TBM dalam residensi literasi terikat
dalam empat hal besar, yaitu manajemen TBM, kerelawan­
an, menulis artikel serta membangun jaringan. Selain pe­
maparan soal manajemen TBM dan kerelawanan yang
dirangkum sekaligus dengan pengalaman-pengalaman
penting relawan dan pengelola Tanah Ombak, peserta juga
diajak langsung merasakan bagaimana atmosfir gerakan
menemui pembaca dengan Vespa Pustaka.
Di hari pertama dan kedua, kami sengaja memilih jam
sore, Minggu dan Senin, mengajak peserta langsung ke
lapangan dengan Vespa Pustaka, menemui anak-anak
pembaca buku di kawasan Sebrang Pabayan dan Muaro
Lasak. Dua lokasi ini, merupakan pinggiran pantai, dekat
objek wisata. Muaro Lasak di kawasan Pantai Padang sedang
Sebrang Pabayan di kawasan dekat Gunung Padang.
Pemilihan waktu untuk kegiatan tersebut, bagian dari
praktik menjadi relawan Vespa Pustaka, bagaimana secara
langsung peserta residensi bisa menarik suatu kesimpulan
untuk menginspirasi melakukan hal yang lebih hebat di
daerah masing-masing. Pertimbangan lain, untuk meng­

xviii ketika sesuatu harus ditulis


hilangkan jenuh sekaligus melumpuhkan kantuk yang
mengancam.
Dalam pemaparan materi, kita juga menghadirkan
Henry Pong, Gus tf dan Arlin Teguh untuk berbagi wawasan
dan pengalaman. Khusus Henry Pong berbagi kisah awal
sebelum Tanah Ombak berdiri, kemudian bagaimana men­
jalin interaksi dengan warga serta bagaimana menyiasati
mereka. Gus tf, seorang sastrawan Indonesia, berbagi kiat
dan praktik menulis artikel yang kemudian melahirkan
tulisan-tulisan dalam buku ini. Begitu juga, dengan Arlin,
bagaimana menyiapkan diri dengan yakin untuk meraih
kesuksesan dalam semangat berbagi. Sementara saya, selain
bagaimana mengatur sebuah gerakan, membranding TBM
dan program kerja, serta membangun jaringan sekaligus
memanfaatkan media sosial untuk kepentingan gerakan
yang lebih besar.
Kita ingin, Tanah Ombak menjadi ruang belajar bersa­
ma, ruang yang luasnya tak berhingga. Karena itu, untuk
mengakrabkan semangat dan emosi satu sama lain suasana
yang dihadirkan, adalah keseharian Tanah Ombak, dalam
belajar, berkreasi, berkelakar, berbagi pengalaman dan
memahami pengetahuan dan pengalaman baru. Ruang tak
berhingga, secara formal, materi tetap dipaparkan secara
sistematis dan substantif, namun pada giliran lain semua
bisa dirasakan, diamati, dipahami melalui lingkungan dan
interaksi. Tujuannya, biar esensi residensi bisa sama artinya
dengan merasakan langsung proses antara satu sama lain
untuk saling menginspirasi.

ketika sesuatu harus ditulis xix


Pada Lidah Kalian, Kenangan Kami Titip

Bu Des (Desma Rosi) dan Adek (Cahaya Karmila), kebagian


jatah kerja: menyiapkan makan dan sarapan serta terkait
kosumsi peserta residensi. Amanah yang diberikan kepada
juru masak, terutama Bu Des, adalah menyiapkan segala
sesuatu untuk konsumsi bagai menghidangkan makan bagi
keluarga tercinta. Tentu apa yang kita masak, sajikan, semua
atas dasar begitulah cinta dihidangkan apa adanya.
Bu Des yang memang juru masak relawan, terutama
setiap kegiatan Minggu di Tanah Ombak, menerima
“amanah dapur” tersebut, dengan senang hati. Jika ada
perasaan takut mengecewakan, itu wajar, sebagai tuan
rumah yang ingin lidah tamunya bahagia dalam rasa. Bagi
kami, makanan yang dihidangkan, adalah masakan
rumahan Orang Minang (Padang), yang berbeda jauh
dengan di rumah makan. Karena, masakan yang khas dan
enak itu, justru ada di rumah-rumah masyarakatnya, karena
yang di restoran atau warung Padang, sudah lazim bagi
banyak orang.
Bersama Adek, Bu Des, kemudian dibantu relawan lain,
seperti Uniq, Winda, Finny, Wila, dan yang lain, suasana
meja makan, baik pagi, siang dan malam, tak ada kegaduhan
(mudah-mudahan semua puas atau pasrah menerima apa
adanya, he..he). Untuk snack dan sarapan pagi, kita
memanfaatkan jualan tetangga sebelah yang modalnya kita
bantu melalui jaringan Tanah Ombak beberapa bulan lalu.

xx ketika sesuatu harus ditulis


Literasi Teh Telur

Hal paling seru, tentu hal yang semua terlibat. Kita namakan
materinya: Literasi Teh Telur. Literasi teh telur, adalah
bagaimana memahami resep teh telur, dan manfaat
minuman tradisional orang Minang tersebut bagi stamina.
Orang Minang, pada umumnya, menyukai minuman ini.
Pak Kastum, yang baru saja mendarat sore hari di Tanah
Ombak, langsung meminta Bu Des, membuatkan teh telur.
Padahal pesta teh telur baru akan dimulai pukul 22.00. Dasar
Pak Kastum, dengan modal “rayuan maut” berhasil
meluluhkan Bu Des dan Adek untuk menghidangkan teh
telur. “Saya suka teh telur. Kalau minum ini staminanya bisa
tahan berapa lama?” Nah lo, susah kan jawabnya?
Memperkenalkan teh telur kepada peserta residensi,
sejatinya bagian dari literasi bisnis yang dijalankan oleh
Tanah Ombak. Minuman khas Minang ini hampir ada di
seluruh Indonesia, bisnis teh telur bakal berpeluang untuk
menambah biaya operasional TBM. Mana tahu, bisa jadi
selingan. Mana tahu lagi, bisa jadi menu penambah stamina
untuk para relawan ketika lelah bekerja dalam gerakan
literasi.
Di balik semua itu tentu saja, kehadiran teh telur terbukti
mampu memacu kegembiraan bersama. Di malam pe­
nutupan, kita ingin menabung momen indah. Mulai dari
memecah kulit telur, menyisihkan putih telur dan me­ma­
sukkan kuning telur ke gelas, sampai mencampurkan gula
lalu dikocok sampai kental. Proses merebus teh dan
menuangkannya sampai terhidang, adalah sisi lain yang bisa
dirasakan bersama.

ketika sesuatu harus ditulis xxi


Ketika semua mengocok telur yang dicampur gula
dengan ikatan lidi kelapa sepanjang 30 Cm, terdengar suara
paduan yang sahdu. Cok cok cok cok, begitu kira-kira
bunyinya. Satu sama lain saling tersenyum, lalu sama-sama
menikmati. Hal yang ditawarkan dari suasana ini, kita
butuh kenangan khas. Setidaknya, melalui masakan Bu Des,
lewat teh telur yang dirasakan lidah peserta residensi dan
Tim Kemendikbud dapat merasakan betapa kita pernah
bersama dalam suasana yang riang. Dan ini salah satu yang
akan diingat pada suatu masa kelak. Setidaknya, pada lidah
kenangan kami titip, bahwa kita pernah makan dari hi­dang­
an yang dimasakkan dari nyala kompor yang sama, yaitu
kompor Bu Des.

Video Tiga Menit Obe

Tim kerja khusus Magang Literasi di Tanah Ombak, relatif


kompak dan solid. Semua bekerja dan memiliki inisiatif
yang satu sama lain cukup saling mengisi. Fahmi, Riski,
Yudi, Edo dan Ismawardi, terlihat bersemangat sebagai
relawan sejati Tanah Ombak. Karena mereka sehari-hari
memang acara sudah terbiasa bekerja.
Khusus Obe (Robby W Riyodi) yang ditugasi sebagai
juru foto/video, yang harus merekam seluruh kegiatan
Residensi Literasi. Salah satu kekuatan Tanah ombak, adalah
dokumentasi yang nyaris lengkap. Setiap momen ada foto,
ada video, dan beberapa posting di media sosial.
Tugas Obe tidaklah ringan, karena dia tidak boleh lengah
pada setiap momen menarik dalam Magang Literasi.
Padahal, dia juga harus membantu kegiatan lain. Yang

xxii ketika sesuatu harus ditulis


penting, Obe paham, acara empat hari, divideokan
maksimal lima menit saja. Nah. Hasilnya, bekerja berhari-
hari menyeleksi hasil rekaman, Obe malah berhasil
merekam kegiatan dalam sebuah video tiga menit (silakan
tepuk tangan). Sekarang Video tersebut, sudah bisa ditonton
melalui Youtube. Sekaligus sebagai bukti, juga laporan ke
publik, ini kegiatan memanfaatkan uang negara, Alham­
dulillah telah selesai dengan baik.

Penutup

Residensi Literasi ini, sungguh sangat berarti bagi Tanah


Ombak. Dengan program ini, ada catatan bermakna, bahwa
Residensi Literasilah yang tepat untuk peningkatan
kapasitas pengelola TBM. Bukan teori apa yang akan di­
adopsi, melainkan pengalaman merasakan langsung proses
dari tempat yang dipilih itulah yang member arti. Baik bagi
yang residensi, maupun yang dipercaya sebagai tuan rumah.
Kesadaran yang kami tanamkan dalam hati, Tanah
Ombak dipilih bukan karena hebat atau terbaik, melainkan
mungkin pada saat ini proses kami memiliki proses yang
bisa dijadikan inspirasi untuk mengembangkan gerakan
masing-masing berdasarkan potensi daerah masing-
masing.
Terima kasih kami ucapkan kepada Direktorat Jenderal
Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, atas ke­per­
cayaan yang diberikan kepada Tanah Ombak. Kepada
peserta Residensi Literasi, kami memohon maaf jika ada
yang tidak berkenan di hati. Bagi kami, hanya ada rindu,

ketika sesuatu harus ditulis xxiii


keinginan bersama lagi untuk saling berbagi dan me­nye­
mangati. Tapi entah kapan?
Salam Sukses mulia!

xxiv ketika sesuatu harus ditulis


Untukmu Si Kecil

OLEH: AZIZAH

P ada saat ini selera bermain sebagian (besar?) anak


Indonesia bukan lagi hanya dibentuk oleh lingkungan yang
membesarkannya, melainkan juga oleh lingkungan lain yang
jauh dari ruh kehidupan dan tradisi mereka. Melalui media
massa cetak dan elektronik, lingkungan lain tersebut
memperkenalkan produk-produk permainan baru dengan
sentuhan teknologi canggih yang dianggap lebih menarik
dan memesona. Fenomena peradaban ini telah menyebab­
kan anak-anak Indonesia menjadi tidak apresiatif terhadap
permainan yang pernah dimainkan oleh para leluhurnya.
Dengan kata lain, produk-produk permainan tradisional
senyatanya mendapat saingan berat dari produk-produk
permainan global yang didistribusikan, dipasarkan, dan
disebarkan melalui teknologi informasi. Akibatnya, anak-
anak Indonesia bukan hanya tidak mencintai permainan
tradisional Indonesia, melainkan juga tidak mengenal nilai-
nilai mulia yang tersembunyi dalam permainan tradisional

1
tersebut. Suatu permainan yang mereka mainkan hanya
mereka anggap sebagai just for fun (hanya untuk bersenang-
senang atau menghibur diri semata).
Indonesia memiliki begitu banyak bentuk permainan
tradisional; ada yang menggunakan peralatan, ada yang
disertai nyanyian, dan ada pula yang disertai dengan
gerakan-gerakan tertentu. Beberapa bentuk permainan
tradisional dikenal luas di seluruh pelosok Tanah Air, tetapi
ada juga bentuk permainan tradisional yang hanya dikenal
oleh kelompok etnik atau komunitas tertentu dan dengan
persebaran yang terbatas. Permainan gasing, egrang, dan
meriam bambu, misalnya, dikenal luas oleh anak-anak
Indonesia yang bertempat tinggal di berbagai daerah, tetapi
dengan sebutan yang berbeda-beda. Terkait dengan daerah
persebaran yang sangat luas, maka permainan tradisional
tertentu memiliki fungsi untuk dapat dijadikan wahana
forum silaturahmi budaya antaranak Indonesia. Melalui
permainan tradisional, mereka akan saling mengenal dan
dapat menunjukkan kepiawaian sesuai dengan pemaknaan
yang dibangun oleh lingkungan mereka, mengingat mereka
memiliki latar belakang etnik dan budaya yang berbeda.
Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara,
permainan tradisional bukan hanya berfungsi sebagai
sarana hiburan, melainkan juga sarana untuk berinteraksi
dan bersosialisasi. Melalui permainan tradisional, para
pemain dan penontonnya akan dapat membangun kerja­
sama dan persabahatan. Mereka akan saling mengenal dan
mengapresiasi kelebihan masing-masing. Di samping itu,
para pemain juga akan mengenal watak dan temperamen
teman-temannya; misalnya, mana yang penyabar dan mana

2 ketika sesuatu harus ditulis


yang pemarah; bahkan juga mengenal siapa yang suka
bermain licik dan siapa yang jujur. Oleh karena itu,
permainan tradisional bukan hanya dapat dimanfaatkan
sebagai sarana hiburan dan medium untuk mempererat tali
persahabatan (menghindari konflik), melainkan juga
memberi informasi kepada anak-anak untuk mengenal
kekayaan budaya (pusaka budaya) yang dimiliki negeri
mereka. Sikap kreatif seperti itulah yang akan membuat
anak lebih percaya diri dan dapat mengapresiasi produk-
produk budaya (pusaka budaya) warisan para leluhur. Oleh
karena itu, dalam situasi ketika permainan “modern”
dikhawatirkan membentuk anak-anak bersikap in­divi­
dualistik, maka permainan tradisional dapat difungsikan
sebagai salah satu penangkalnya.
Memperkenalkan permainan tradisional kepada anak-
anak atau generasi muda, akan memberi banyak manfaat
terutama yang terkait dengan pelestarian dan apresiasi
terhadap pusaka budaya. Permainan tradisional diharapkan
dapat menggugah kesadaran anak-anak Indonesia bahwa
kekayaan budaya bukan hanya membawa manfaat rekreatif,
tetapi juga memiliki pesan yang bermakna sosial dan
ekologis. Mencintai bentuk permainan baru juga tidak bisa
dicegah karena kecenderungan seperti itu merupakan
kebutuhan zaman. Meskipun demikian, memelihara
kelestarian permainan tradisional sebagai pusaka budaya
adalah sebuah komitmen yang harus dibangun oleh para
pewarisnya. Jika gagal membangun komitmen seperti itu,
maka dalam beberapa dasawarsa mendatang akan banyak
jenis permainan tradisional yang punah. Persoalannya
sekarang, jalan apa yang harus ditempuh agar permainan

ketika sesuatu harus ditulis 3


tradisonal kembali menjadi aset budaya yang dicintai anak
negeri dan sekaligus membuatnya menjadi produk budaya
yang memiliki makna dan fungsi bagi para pewarisnya.
Yayasan Untukmu Si Kecil (USK): Rumah Belajar dan
Rumah Bermain adalah lembaga pendidikan nonformal dan
nonprofit untuk anak-anak bangsa. Anak-anak bangsa
adalah generasi penerus yang relatif masih sensitif sifat
kepribadiannya. Untuk mempersiapkan generasi penerus
bangsa yang mempunyai kepekaan budaya, kemampuan
penalaran, berpikir kritis, kreatif, dan tidak tercerabut dari
kebudayaan, maka pola pendidikan mereka perlu di­
perhatikan secara komprehensif. Pola pendidikan tersebut
tidak harus melalui lembaga pendidikan formal, melainkan
dapat juga melalui pendidikan nonformal, seperti kelompok
bermain, sanggar keterampilan, sanggar kesenian, taman
bacaan, dan sebagainya. Untuk itu, kegiatan dan upaya
kepedulian masyarakat dalam bentuk-bentuk pendidikan
nonformal merupakan komplementer dari pola pendidikan
anak bangsa yang harus didukung sepenuhnya.
Yayasan Untukmu Si Kecil: Rumah Belajar dan Rumah
Bermain yang terletak di Jl. Sumatra VI/35 Kelurahan
Sumbersari, Kecamatan Sumbersari, Kabupaten Jember,
Provinsi Jawa Timur, mencoba untuk membantu pemerin­
tah dan masyarakat dalam usaha mempersiapkan anak
bangsa dari “kelompok kecil, yang berezeki kecil”, menjadi
warga yang lebih cerdas, kreatif, terampil, tangguh, toleran,
dan cinta Tanah Air. Yayasan yang didirikan oleh Almarhum
Prof. Ayu Sutarto pada tahun 1998 ini, berawal dari
keprihatinan melihat anak-anak dari “keluarga masyarakat
kecil” yang kurang mampu, tidak terarah, dan tidak sempat

4 ketika sesuatu harus ditulis


menikmati fasilitas belajar dan bermain yang memadai.
Pendidikan melalui permainan tradisional, selain
melatih anak-anak memiliki kesetiakawanan, kepekaan
sosial, solidaritas yang harmonis dengan lingkungan
sekitarnya, juga merupakan salah satu upaya untuk
melestarikan pendidikan kearifan lokal. Pola pendidikan
melalui kelompok bermain ini dipilih dengan alasan, antara
lain, masih rendahnya tingkat pemahaman masyarakat pada
saat itu tentang pentingnya pendidikan di luar sekolah yang
berkualitas, sehingga diharapkan dengan pendidikan anak-
anak sejak dini yang dimulai dengan pendidikan kete­
rampilan dan seni, akan timbul semangat mencintai budaya
bangsa dan mencintai Tanah Air.
Visi USK Ikhlas berbagi untuk bangsa dan negeri melalui
penanaman semangat kebangsaan, kesetiakawanan sosial,
rasa cinta budaya bangsa, dan kemampuan bersaing yang
kreatif bagi anak-anak bangsa agar memiliki kepercayaan
diri dan mampu dalam berkompetisi menyongsong masa
depan yang lebih cerah. Misi USK yaitu, 1) membangun
kerukunan melalui dialog dan permainan tradisional, 2)
meningkatkan kecerdasan melalui peningkatan minat baca
dan diskusi, dan 3) merawat keindonesiaan melalui
perawatan dan pengembangan warisan budaya.
Untuk meraih dan menunjang misi yang pertama, USK
memperkenalkan berbagai permainan tradisional kepada
anak-anak, karena dalam permainan tradisional terdapat
pesan yang mulia, yakni rasa kebersamaan, kerja sama,
melatih keterampilan dan berkompetisi secara sehat.
Berpuluh permainan tradisional dirawat dan dimainkan di
sini. Upaya ini dimaksudkan agar anak-anak memiliki jiwa

ketika sesuatu harus ditulis 5


persatuan yang kuat, rukun, suka bekerja sama, dan
memiliki empati (rasa senasib-sepenanggungan).
Untuk menunjang dan meraih misi yang kedua, USK
menyelenggarakan les-les gratis untuk anak-anak, yakni
anak-anak yang bertempat tinggal di wilayah yang
berdekatan dengan USK, khususnya di pinggir Kali
Bedadung, berupa les gratis pelajaran di sekolah dan tari-
tarian. USK juga memiliki perpustakaan yang buka setiap
hari mulai pukul 10.00 s.d. 17.00, baik untuk orang dewasa
maupun untuk anak-anak. Upaya ini dimaksudkan agar
anak-anak menjadi cerdas, kreatif, dan berjiwa kompetitif.
Untuk menunjang dan meraih misi yang ketiga, USK
merawat kearifan lokal dan warisan budaya takbenda
Indonesia, terutama berbagai jenis permainan tradisional.
Di USK terdapat museum hidup permainan tradisional yang
hanya buka dua kali seminggu, yakni hari Sabtu sore dan
Minggu sore. Upaya ini dimaksudkan agar anak-anak tetap
mencintai warisan budaya Indonesia yang akan me­nye­
lamatkan mereka dari gejala culturally uprooted, tercerabut
dari akar budaya.
Selain itu, gebyar literasi adalah kegiatan buka lapak dan
baca buku gratis yang diselenggarakan oleh forum taman
baca Jember. Kegiatan ini diselenggarakan setiap hari
minggu di alun-alun jember. Kegiatan ini juga sebagai ajang
silaturahmi dengan teman-teman FTBM. Beberapa TBM
yang berpartisipasi dalam kegiatan ini antara lain, Kampung
Batja, USK, Matevasi, Nandur Dulur, dan Rumah Bedadung.
Selain di alun-alun Jember, USK juga buka lapak dan baca
buku gratis di Sunday Market Universitas Jember. Selain
berjualan dan baca buku gratis, USK selalu menyempatkan

6 ketika sesuatu harus ditulis


membawa permainan tradisional seperti dakon, egrang,
gasing, dan permainan lainnya, dengan tujuan mengenalkan
serta melestarikan permainan tradisional.

Semua kegiatan yang dilaksanakan oleh Yayasan Untukmu


Si Kecil: Rumah Belajar dan Rumah Bermain ini diharapkan
mampu mengantarkan anak bangsa menjadi insan yang
cerdas dan kompetitif dengan memiliki karakter yang
paham dan apresiatif terhadap kekayaan budaya bangsa
warisan leluhur; sosok yang bisa memanfaatkan karya
budaya untuk menghidupi diri, masyarakat, dan bangsa;
serta sosok yang memiliki keunggulan komparatif.

ketika sesuatu harus ditulis 7


Membaca dalam Kemacetan

OLEH: EDI DIMYATI

Cari waktu untuk membaca! Kalau tidak mau diri


Anda menyerah oleh ketidaktahuan.
—Atwood H. Townsend

Demi Masa. Benar adanya, waktu itu terus berputar. Ia tak


akan pernah berinterupsi, untuk memohon berhenti se-
jenak. Apalagi berdiam diri dan mati. Intinya, tak ada ma-
nusia di muka bumi ini yang bakal sanggup menghentikan
pergerakan waktu. Walau kecil, namun detak jarum pada
jam dinding tak pernah lelah mengitar pada porosnya.

Jakarta 2017

Kota metropolitan telah menjadi dambaan setiap orang


untuk mencari nafkah. Walau sudah disesaki oleh 12 juta
lebih manusia, daya tariknya sangat luar biasa. Bak gula yang
keberadaanya diserbu oleh para semut.
Kisah ini bermula dari rutinitas berpergian ke tempat
kerja karena memang saya kebetulan tinggal di Jakarta.

9
Biasanya saya menggunakan jasa angkutan publik bernama
bus kota untuk menuju tempat di mana biasa beraktivitas,
karena tidak ada pilihan lain bagi mereka yang terpaksa
mencintai angkutan massal berpenumpang yang selalu
melebihi kapasitas normal. Dalam perjalanan, saya—
terpaksa—selalu memperhatikan suasana sekitar di luar.
Lalu, bayangan kerap melambung untuk memikirkan suatu
hal yang mungkin oleh sebagain besar orang dianggap
kurang kerjaan.
Saya selalu mempertanyakan makna waktu yang banyak
terbuang. Ada apa dengan waktu? Mengapa waktu cepat
berlalu? Dan mengapa waktu yang ada menjadi terasa begitu
sia-sia selama ini. Bayangan-bayangan itu pasti akan tetap
menjadi problema buat mereka yang ingin menghargai
waktu; buat mereka yang ingin memberikan makna
tersendiri atas waktu.
Duduk di belakang supir, merapat pada kaca bus. Ya,
kursi itu memang sudah jadi kursi favorit saya setiap kali
berada di bus kota. Sudah pasti diduga, pemandangan apa
saja bisa disaksikan di luar sana. Selain punggung supir yang
berselendang handuk basah, di sisi sebelah kiri bus ada
banyak gedung yang menjulang tinggi. Sementara di sisi
sebelah kanannya, tampak suasana kemacetan. Yang
terakhir adalah kondisi suasana yang sering menjadi tema
besar ibu kota. Orang banyak bilang macet itu sudah biasa.

Nah, Sekarang kita akan membicarakan soal macet. Dan, kita


kaitkan dengan dunia baca. Kok bisa?. Ya, ikuti saja dulu!

10 ketika sesuatu harus ditulis


Tahukah Anda, rata-rata penduduk ibu kota telah meng-
habiskan waktu 4 jam perjalanan dalam satu hari. Itu sudah
termasuk pulang-pergi ke lokasi kerja. Artinya, selama 4 jam
karyawan yang bekerja di Jakarta praktis berada di atas
kendaraan. Dari riset sederhana menanyakan kepada 20
orang, mereka mengiyakan bahwa kira-kira 4 jam rata-rata
waktu yang dihabiskan untuk perjalanan ke kantor mereka
masing-masing. Itu sungguh luar biasa, lama sekali.
Sekedar asumsi. Jika saja kita bekerja hingga pensiun,
coba, berapa waktu yang telah dihabiskan dalam kendaraan?
Misalnya, umur 22 tahun masuk kerja dan pensiun pada
usia 55. Coba ambil kalkulator, mari sama-sama kita hitung.
Kalkulasi:
▷▷ Lama bekerja hingga pensiun; 55 - 22 = 33 tahun.
▷▷ Lama di perjalanan selama sebulan 4 jam x 21 hari =
84 jam.
▷▷ Lama di perjalanan dalam setahun, 84 jam x 12 bulan
= 1.008 jam
▷▷ Lama di perjalanan selama bekerja sampai pensiun =
1.008 jam x 33 = 33.264 jam
▷▷ Cek: 33.264 jam = 1.386 hari atau 3 tahun 9 bulan 21
hari

Hasil akhir yang mencengangkan. Tapi ini adalah sebuah


realita. Ya, Anda secara tidak sadar bisa menghabiskan
waktu hanya di kendaraan selama kurang lebih 4 tahun.
Mungkin hitungan-hitungan di atas tidak berlaku buat Anda
yang tinggal di luar Jakarta. Ini memang hanya perenungan
saja. Yang pasti, dalam keisengan, saya hanya menggambar­
kan betapa pentingnya makna waktu. Di mana pun Anda

ketika sesuatu harus ditulis 11


tinggal, kapan pun Anda beraktivitas, waktu adalah
segalanya.
Pertanyaannya—buat yang mau jawab saja—apa yang Anda
lakukan dan akan dilakukan selama 4 tahun berada di atas
kendaraan.? Tentu sia-sia kalau kita hanya berdiam diri saja,
tanpa memperkerjakan otak kita berpikir dan mencari sesuatu.
Jangan bermuram durja. Jangan mengumbar caci atas
kondisi kemacetan. Ya, alangkah bermanfaatnya kalau kita
menggunakan waktu itu dengan hal-hal luar biasa. Jadi, apa
yang mesti kita lakukan?
Pertama, membaca buku menjadi aktivitas yang sangat
bagus. Kedua, lihat pemandangan di luar kaca bus, di sana
ada banyak benda-benda yang berbicara. Mereka memiliki
simbol-simbol penuh makna. Serap semua yang kita lihat
lalu olah ke dalam bentuk lain yang menghasilkan sesuatu.
Seperti menjadi bahan tulisan dan atau disimpan dalam
memori untuk kemudian nanti dikeluarkan pada waktunya.
Ketiga, melamun saja dengan sesuka hati. Rangkai lamunan
itu dengan perlahan hingga membentuk satu tema. Sebuah
tema kreativitas yang mesti kita wujudkan beberapa hari
atau bulan kemudian. Itulah yang selama ini saya lakukan.
Hasilnya, di luar dugaan.
Percaya, tak ada waktu yang sia-sia di dunia ini. Asalkan
kita bisa mengolahnya dan menempatkannya pada porsi
yang tepat. Baca buku di mana pun berada. Ya, walaupun
dalam suasana macet yang bikin mumet. Membaca lebih
menghasilkan daripada mengumpat atas kemacetan yang
sudah jadi sarapan keseharian.
Terus terang, sekarang—mungkin karena terbiasa—saya
jadi merindukan kemacetan. Karena kemacetan bisa

12 ketika sesuatu harus ditulis


membuka ruang dan kesempatan saya untuk membaca.
Supaya kesempatan itu selalu ada, saya lebih suka berada di
bus dibanding mengendarai sepeda motor. Akhirnya, hobi
petualang menjadi idaman dan semakin melekat. Tempat-
tempat baru menjadi agenda rutin untuk dikunjung kala
liburan.
Kini, dari petualangan yang selama ini sudah dijalankan,
kebanyakan saya menyambangi museum ke setiap kota yang
disinggahi. Alhasil, agar perjalanan lebih bermakna, saya
berusaha menorehkannya dalam bentuk tulisan. Alham­
dulillah saya berhasil mendokumentasikan seluruh museum
yang ada di Jakarta. Lainnya, petualangan wisata kota tua
Jakarta juga sudah saya tulis dalam sebuah buku panduan
buat para wisatawan.
Dari Kemacetan, saya juga mendapatkan inspirasi untuk
membuat sebuah perpustakaan masyarakat. Tempat baca
sederhana yang berdiri semenjak 23 Januari 2010 itu
bernama Kampung Buku. Dari kampung buku saya
berharap bisa dijadikan sarana tempat bertemunya orang-
orang yang suka membaca. Kemudian, saya juga ingin agar
Kampung Buku bisa menjadi tempat berkreasi dan rekreasi
anak-anak.
Belum puas di Taman Baca Masyarakat (TBM), dari
kemacetan lagi saya sempat menelurkan ide membuat situs
resensi buku. Situs itu akhirnya lahir sejak tahun 2007
dengan alamat www.wisata-buku.com.Walau terlalu muluk,
setidaknya saya mempunyai cita-cita ingin mempublikasi­
kan informasi buku-buku yang pernah terbit di Indonesia
sepanjang masa. Semua itu dipusatkan di situs www.wisata-
buku.com. Situs itu pula yang menambah semangat untuk

ketika sesuatu harus ditulis 13


terus bergelut dengan dunia buku. Makanya, selalu hargai
buku dan manfaatkan keberadaanya.
Ohh ... kemacetan. Sebagian besar orang membenci
kamu, namun tidak bagi saya. Karena kemacetan telah
menguatkan saya dengan dunia baca dan tulis menulis. Bisa
jadi, kalau kemacetan hilang di Jakarta, maka akan hilang
pula semangat saya dalam membaca dan menulis. Tapi yang
pasti, kemacetan tak akan pernah musnah di Ibu Kota,
sehingga saya bisa tetap terus berkarya. Tetap membaca
dalam kemacetan. Kalau tidak, lebih baik mati saja.

14 ketika sesuatu harus ditulis


Merantau ke Tanah Minang
Bukan untuk Meminang
Mulai dari Teh yang Berkokok,

Hingga Literasi ke Pelosok

O L E H: E DY FA JA R P R A SE T YO

Rasa keingintahuan tentang negeri Malin Kundang yang


dahulu hanya saya dapatkan dari kisah cerita ataupun
dongeng sebelum lelap, kini mulai terkuak. Sebuah
kesempatan besar dan seakan menjadi sajian paket lengkap
ketika saya diperkenankan berkunjung ke Padang mem­
bersamai para pegiat literasi di penjuru negeri untuk saling
belajar dan menginspirasi.
Ruang Baca Tanah Ombak yang terletak di Jalan Purus
atau kerap mendapat julukan “Gang Setan” inilah menjadi
destinasi berhimpunnya kami para makhluk berlabel
Relawan Literasi selama bermukim di Padang dalam
beberapa hari ke depan. Kesan pertama menginjakkan
tapak kaki kanan pertama di Tanah Minang kala mendarat
di Bandara Internasional Minangkabau langsung meng­
ingatkan saya akan sebuah filosofi nilai rantau yang erat
dengan unsur kemandirian.

15
Sebagai personal yang memiliki interest di bidang
kewirausahaan dan UMKM, mengantarkan perbincangan
awal saya dengan pemuda asli Minang yang menjadi driver
kala itu terkait sumber perekonomian mayoritas masya­
rakat di siko (sini, bhs. Minang) pun menemani perjalanan
saya dari bandara menuju Tanah Ombak. Pembahasan
diskusi kian menarik hingga pada satu titik saya ber­ke­
simpulan bahwa ternyata benar DNA darah Minang kental
dengan nilai-nilai kemandirian.
Hal ini dibuktikan melalui berbagai komponen fakta
bahwa kebutuhan masyarakat dan perputaran ekonomi
yang ternyata didominasi oleh galur murni keturunan
Minang. Tidak saya lihat satu pun ada retail minimarket
modern menjamur di sini seperti halnya dikota besar
lainnya. Hal ini ternyata menjadi program pemerintah yang
didukung semua elemen masyarakat agar mampu “Menjadi
Tuan Rumah di Negeri Sendiri”, sebuah visi ekonomi
kerakyatan yang nyata ada di sini. Melalui program “1000
Minang Mart”, kaum pribumi menjadi primadona tanpa
harus mendapat intervensi dari pihak mana pun.
Belum tuntas perbincangan eksploratif kami tentang
seluk beluk kota, kami pun kemudian terhenti karena kami
sudah tiba di tempat semua penjelajahan ini akan bermula,
yakni Ruang Baca Tanah Ombak. Menyusuri jalan setapak
menuju Tanah Ombak, mengingatkan saya akan sebuah
film layar lebar dari negeri Tiongkok Kungfu Hustle yang
cukup fenomenal. Mengapa tidak?
Ditemukan banyak kemiripan dengan suasana dan
kultur di Tanah Ombak. Lokasi pemukiman yang dikelilingi
bangunan rumah susun tempo jadul dengan dibalut warna

16 ketika sesuatu harus ditulis


yang sudah kusam bahkan cenderung memudar, seolah
memberi makna bahwa ada kisah sejarah kelam masa silam
yang lekat akan rentetan kasus pelanggaran norma, mulai
dari kejahatan, tindakan asusila, hingga peredaran obat
terlarang. Tak ayal lokasi ini termahsyur di seantero Padang
dengan sebutan “Gang Setan”. Setiap nama gang tersebut
diucapkan, akan membuat semua yang mendengarnya
pastilah menjadi bergidik.
Sama halnya ketika pertama kali ruang kreatif Tanah
Ombak berdiri yang kala itu baru dengan amunisi relawan
tidak lebih dari 3 orang: Obe, Risky, dan Fahmi yang
menjadi pionir awal. Cibiran, cacian, intimidasi, dan
berbagai ancaman seolah menjadi berbagai menu santapan
harian yang rutin dikonsumsi, tetapi semua itu tidak
menggetarkan motivasi mereka. Bahkan seolah menjadi pil
obat pahit yang kemudian para relawan paksakan me­
minumnya. Sebab mereka yakin, sebenarnya, dibalik rasa
pahit tersebut, terkandung kekayaan akan khasiat. Me­
minjam istilah pak Anies Baswedan, “Dicaci tidak tumbang,
dipuji tidak terbang”; seolah menjadi sebuah kalimat yang
menggambarkan kondisi tersebut.
Kini semua seolah terbayar tuntas. Jerih payah meng­
gelorakan minat dan kegemaran membaca berbuah manis
dengan banyaknya adik-adik Tanah Ombak yang mampu
berkarya dan berkompetisi di kancah nasional melalui
pendekatan literasi, teater, dan beragam kesenian. Di sisi
lain, perubahan kultur dan dinamika masyarakat sekitar
pemukiman TBM pun kini menjadi lebih ramah dan
kooperatif, berbeda dibanding saat awal keberadaan TBM
dirintis. Dan, hari ini, kami dapat belajar banyak tentang

ketika sesuatu harus ditulis 17


esensi kontribusi dan sinergi saling membangun, karena
semua keberhasilan dan apa yang telah dicapai bukan
karena andil seseorang saja, melainkan peran seluruh
komponen.
Selain perjuangan literasi di sini, terdapat banyak hal
lain yang dapat kami petik, yakni budaya dan kearifan lokal
yang masih kental dilestarikan oleh warga pribumi. Salah
satu pengalaman berkesan ketika para peserta magang
literasi ditantang untuk membuat dan mengkreasikan
langsung salah satu minuman khas Padang teh talua (teh
telur), saya lebih suka menyebutnya “teh yang berkokok”,
karena ada nilai tersirat di mana menggunakan bahan baku
telur kampung sebagai kunci terbentuknya tekstur dan
aroma yang kuat dari teh talua.
Semua seperti terlihat mudah dalam proses pem­
buatannya. Hanya bermodalkan gelas, telur ayam kampung,
bubuk kopi, dan lidi yang sudah diikat, tapi secara praktek
tak semudah yang dibayangkan. Proses pertama, saat
memisahkan putih dan kuning telur, sudah cukup menguras
konsentrasi. Walhasil, di percobaan pertama, saya kurang
begitu sempurna. Kemudian dimasukkan kopi bubuk
secukupnya, setelah itu beri gula satu setengah sendok
makan, dan tibalah waktu pamungkas saat semua bahan
tercampur dalam gelas yang sudah disiapkan, yakni “AHK”
(Aduk Hingga Kental). Namun ternyata, perlu upaya yang
cukup besar untuk bisa membuat tekstur teh talua berada
atau sesuai dengan kadar kekentalan tertentu. Walhasil,
tangan dan sendi saya pun merasakan pegal yang “akut”.
Di sini saya belajar filosofi makna bahwa “upaya keras
akan membuahkan hasil sepadan”. Setelah hampir berkutat

18 ketika sesuatu harus ditulis


20 menit lebih, teh talua buah tangan saya pun bisa tersaji
dengan nikmat. Rasa teh talua sekilas mirip dengan teh
tarik dari Aceh, tetapi dari segi tekstur dan jumlah buih
yang di hasilkan lebih banyak dan lebih lembut. Tidak heran
bila kemudian teh ini menjadi kegemaran dan keunggulan
di tanah Minang.
Ada kisah menggelitik dalam keberadaan teh ini di luar
tanah Minang. Mungkin kita sering melihat banyaknya
rumah makan Padang di berbagai kota di Indonesia, namun
mengapa kedai teh talua tidak sering kita jumpai di berbagai
kota tersebut? Dengan sedikit berkelakar Bang KW bertutur
bahwa orang Padang cenderung malas membuatnya
dikarenakan proses penyajiannya yang memerlukan waktu
yang lama. Justru orang Minang yang bermukim di tanah
rantau rindu mengkonsumsi teh talua. Maka kita, selaku
warga pribumi di kota-kota tempat warga Minang
bermukim, berpeluang besar, dan akan sangat beruntung,
bila kita membuka usaha kedai teh talua.
Malam itu, kala menyeruput teh talua yang nikmat,
semakin terasa nikmatnya saat dibumbui diskusi dan
sharing literasi dan gerakan kerelawanan. Dimulai dari
tukar pemikiran konsep yang pernah diaplikasikan dan
diinisiasi oleh TBM di masing-masing daerah. TBM Ngejah
di Garut, misalnya, melalui pendekatan sarana permainan,
mampu menarik antusiasme anak anak dan masyarakat
untuk gemar membaca. Sama halnya dengan kami di TBM
Serambi yang memiliki program unggulan “CLBK” (Cerdas
Luar Biasa Kreatif), berupa stimulan edukatif mengajak
masyarakat gemar membaca melalui ilmu terapan tepat
guna, dengan buku sebagai solusi atas permasalahan yang

ketika sesuatu harus ditulis 19


kerap mereka temui. Melalui cara kreatif menggunakan
media games, dongeng, dan sulap, TBM kami mampu
menggugah semangat adik-adik untuk hadir ke TBM dan
saling belajar dan membaca bersama.
Inovasi yang tak kalah menarik lainnya adalah program
vespa pustaka TBM Tanah Ombak yang menjangkau
beberapa titik yang jauh dari pusat literasi di daerah pesisir
dengan mengusung tema “Kutemui kau sampai membaca”.
Sebuah misi mulia esensi gerakan literasi “Menjangkau
yang belum terjangkau, memfasilitasi yang belum ter­
fasilitasi”, semangat menghapus buta aksara hingga ke
pelosok. Program serupa juga kerap diinisiasi oleh berbagai
TBM di seluruh Nusantara dengan beragam pendekatan
dan cara yang berbeda.
Rekan dari TBM Kalimantan Utara misalnya, Pak Yosep,
salah satu penggerak di sana, rela mengangkut bukunya
secara manual dengan menggunakan tas anyaman
tradisional berbentuk keranjang yang setia lekat di
punggungnya. Meski menempuh jarak cukup jauh dan
menguras stamina yang tidak sedikit, tidak menggoyahkan
langkah beliau dan rekan-rekan relawan lainnya untuk
menyambangi masyarakat pelosok. Kisah menarik lainnya
yang tak kalah menggugah adalah rekan- rekan TBM yang
berada di sekitar pesisir dengan inovasi berupa koper
pustaka, mampu menjangkau wilayah dengan medan yang
banyak daerah perairannya. Dengan perahu dan sampan
kecil yang tersedia, para relawan begitu antusias mengang­
kut koper-koper lengkap dengan isi keberagaman buku
yang ada, baik untuk segmentasi anak-anak, remaja, hingga
dewasa.

20 ketika sesuatu harus ditulis


Dari berbagai kisah tersebut saya memetik sebuah
khazanah berpikir yang begitu indah bahwa dengan
“Semangat keberbagian, kita mampu menerjang segala
tantangan menjadi peluang kebermanfaatan”. Sebuah
semangat yang amat luar biasa besar dari gerakan dan
kontribusi simultan rekan-rekan penggerak literasi dari
berbagai daerah di seluruh pelosok negeri yang dengan
nyata memberi dampak secara langsung, mampu me­
wujudkan makna perubahan yang sesungguhnya.
Kami semua yakin dan percaya, mengubah kultur dan
paradigma masyarakat melalui gerakan gemar membaca
memang tidaklah mudah. Namun, selama ikhtiar masih ada,
pasti ada hasil sepadan yang siap menuggu pada akhirnya.
Ibarat filosofi menanam pohon jati, pastilah memerlukan
proses, tahap dan fasenya. Tidak mungkin akan langsung
terlihat hasilnya dalam kurun waktu 1 atau 2 bulan,
melainkan sebuah investasi jangka panjang. Beberapa tahun
ke depan barulah akan terlihat keniscayaan hasil dari pohon
jati tersebut memberikan manfaat yang besar. Analogi
tersebut sama halnya dengan proses intervensi sosial ke
masyarakat melalui literation approach, perlu waktu
berkelanjutan dengan beragam inovasi pemeliharaan dan
penunjang yang relevan agar visi besar bisa terwujud.
Satu hal yang perlu kita jaga dalam prosesnya adalah,
komitmen dan konsistensi. Ibarat menjadi menyalakan api
yang berpijar, harus ada orang yang siap menjaga ke­
beradaan api agar tidak redup dan tetap menyala. Selama
api tersebut tidak padam, pastilah masih ada asa bahwa
secercah cahaya akan terus memberikan silau manfaatnya
bagi sekitar.

ketika sesuatu harus ditulis 21


Salam Literasi, teruslah bergerak secara sinergi demi
mewujudkan dedikasi terbaik untuk bangsa dan Ibu
Pertiwi.

22 ketika sesuatu harus ditulis


Ombak Kebaikan di Tanak
Ombak

OLEH: FEBRINA ODELIA

Apakah yang kamu rasakan ketika pertama sekali melihat


sebuah Taman Bacaan Masyarakat yang berada di ujung
gang kecil di antara rumah-rumah masyarakat yang
sederhana? Mungkin yang muncul di benak kita ada
perasaan kurang nyaman. Sebuah Taman Bacaan Masyara­
kat yang dinamai TBM Tanah Ombak yang memiliki
bangunan bertingkat dua yang sederhana, yang di dalamnya
terdapat buku-buku yang tersusun dengan rapi di raknya,
poster dan gambar-gambar yang menarik dipajang di
dinding tanpa plester yang bercatkan hitam-putih dan
berkarpet hitam. Cukup sederhana dibandingkan dengan
TBM lainnya yang berada di perkotaan yang sudah memiliki
bangunan yang lebih baik. Mungkin itu adalah kesan
pertama yang muncul di benak ketika melihat TBM Tanah
Ombak.
Ada atmosfer berbeda yang dirasakan ketika masuk ke
sebuah gang kecil yang disebut Gang Setan di Jalan Purus

23
III ini. Lingkungan yang bersih dan hijau siap menyambut
kehadiran siapa saja yang memasuki gang itu. Agak sedikit
berbeda ketika masuk ke dalam gang-gang kecil lainnya
yang berada di sekitar gang itu. Melalui kegiatan menanam
pohon, TBM Tanah Ombak telah berhasil mengajak
masyarakat sekitar untuk lebih peduli terhadap ling­
kungannya.
Selain lingkungan yang cukup bersih dan asri, ada satu
hal yang bakal sulit untuk dilupakan, yaitu sambutan anak-
anak yang ramah dan bersahabat sungguh akan me­nen­te­
ramkan hati. Mereka adalah anak-anak yang kesehariannya
mereka habiskan di TBM Tanah Ombak. Mereka anak-anak
biasa yang telah bermetamorfosis menjadi luar biasa.
TBM Tanah Ombak sungguh berhasil menjangkitkan
virus-virus kebaikan ke dalam diri setiap anak Purus III
yang mau memberikan diri mereka untuk dibina di TBM
ini. Mereka memiliki kebebasan untuk mengeksplor bakat
apa saja yang ingin mereka eksplor di ruang baca dan
kreativitas ini. Di TBM ini mereka menemukan kecintaan
mereka pada membaca buku. Dengan membaca, mereka
dapat memperoleh pengetahuan dan kebaikan.
Kebaikan lainnya yang dirasakan dan didapatkan yaitu
mereka dapat belajar berdongeng, berdendang, memainkan
alat musik dan juga seni teater. Mereka juga dapat keluar
dari Purus III melihat daerah-daerah baru yang sebelumnya
mungkin tidak pernah terbayangkan. Dan yang paling
penting dari itu semua, TBM Tanah Ombak berhasil
mengubah cita-cita setiap anak sehingga mereka mempu­
nyai cita-cita yang besar dan semangat yang membara untuk
mewujudkan cita-cita yang luar biasa itu.

24 ketika sesuatu harus ditulis


Gulungan ombak positif di TBM Tanah Ombak tidak
hanya mengubah pola pikir anak-anak di Purus III, juga
terhadap keluarga mereka. Bagi siapa pun yang pernah
mampir dan mengunjungi TBM Tanah Ombak pasti akan
merasakan sentuhan-sentuhan kebaikan dari setiap relawan
maupun anak-anak Tanah Ombak. Selain kebaikan, kita pun
akan memiliki sahabat dan keluarga baru di tempat ini.
Semoga gulungan-gulungan ombak kebaikan TBM Tanah
Ombak tidak pernah berhenti. Semoga gulungan ombak
kebaikannya semakin besar dan memberi dampak pada
setiap yang terkena deburan ombak kebaikannya.
Salam literasi ....

ketika sesuatu harus ditulis 25


Ketika Tanah Ombak Bagaikan
Tombak

OLEH: HAMDAN

Dengan perasaan senang dan penuh ekspektasi aku datang


ke Kota Padang Sumatra Barat sebagai relawan yang bisa
dikatakan baru sebagai peserta untuk mengikuti magang
literasi selama empat hari di Taman Bacaan Masyarakat
Tanah Ombak yang berlokasikan di Purus, tepatnya Jl.
Purus 03 No. 30, yang sebelumya sama sekali belum pernah
kudengar apa dan di mana itu Tanah Ombak, terlebih Purus.
Karena penasaran, rasa “kepo” pun muncul, istilah anak-
anak jaman sekarang untuk mengistilahkan rasa keingin­
tahuan yang lebih. Aku coba mencari informasi di berbagai
media sosial, dan dari pencarian Google munculah gambar-
gambar mereka; tempat ruang dan kegiatan-kegiatan
mereka, yang aku lihat cukup unik dan sepertinya menarik
saat nanti berkunjung ke sana. Melihat lewat gambar saja
sudah membuatku tertarik, apalagi nanti saat tiba di sana.
Memulai perjalanan pendekku dari Solo menuju Padang
yang hanya sekitar tiga jam melalui jalur udara, kunikmati

27
perjalanan ini karena baru pertama kali berkunjung ke Kota
Padang, terlebih sebagai relawan. Waktu berlalu dan
akhirnya aku tiba di Purus dan disambut ramah oleh
sekelompok pemuda yang membawa kamera, merekam
kedatanganku, dan mengantar sampai ke Tanah Ombak.
Beberapa saat aku baru menyadari bahwa mereka adalah
para relawan Tanah Ombak. Setiba di sana, ternyata benar
dugaanku, bahwa semua kegiatan akan dilaksanakan di
lokasi magang termasuk juga penginapan. Tidak terlalu
kaget karena sebelumnya sudah mendengar beberapa
informasi, dan sebenarnya justu senang apabila kegiatan
dilaksanakan di tempat bisa yang berbaur langsung dengan
masyarakat kerena aku termasuk orang yang suka dengan
hal-hal yang baru.
Setelah mingikuti beberapa kegiatan pada hari awal, aku
pun antusias mengikuti program kegiatan unik dari Tanah
Ombak yang aku tunggu-tunggu yaitu mengikuti kegiatan
Vespa Pustaka. Saat senja menyapa, dari Tanah Ombak
menuju tujuan Vespa Pustaka yang akan pergi ke bawah
jembatan, dengan kuat dan semangat membawa amunisi
lengkapnya berisi buku-buku bacaan dengan semboyan
inspiratif “Kutemui kamu sampai membaca”. Aku tersentuh
sekaligus termotivasi mendengar semboyan itu, dan tidak
sabar memutuskan untuk segera memulai perjalanan ini
dengan rasa penuh harap bisa mendapatkan sepotong ilmu
dan pengalaman di tempat ini untuk aku rangkai sebagai
sebuah cerita unik di kemudian hari.
Sembari mengikuti perjalanan Vespa Pustaka, dengan
sengaja kulewati gang-gang jalan berukuran sempit yang
belum pernah kulewati sebelumnya untuk melihat langsung

28 ketika sesuatu harus ditulis


bagaimana aktivitas kehidupan dan keadaan masyarakat
sekitar yang hanya aku dengar lewat cerita dan gambar-
gambar dan belum tentu itu adalah fakta. Dengan teliti aku
mencoba mengamati. Kesan pertama saat melangkahkan
kaki, yang aku lihat adalah lingkungan padat dengan
rumah-rumah sederhana, cukup kumuh, sampah berserak­
an di mana-mana, dan sanitasi kurang baik. Dalam benakku
bertanya apakah mereka nyaman berada di lingkungan
seperti ini. Mungkin saja, karena mereka sudah terbiasa dan
aku mencoba untuk tidak berburuk sangka. Toh ini baru
langkah awalku berada di sini.
Dengan suka hati aku lanjut berjalan memasang wajah
penuh senyum dengan mimik sopan. Kusadari, sebagai
pendatang yang masih polos, berjumpa satu demi satu
masyarakat sekitar dengan bermacam-macam cara
memandangku, berharap semoga mereka menerima
kedatanganku di sini saat berkegiatan. Tidak jauh berjalan,
aku bertemu laki-laki berbadan kekar dengan lukisan-
lukisan yang tertanam indah di tubuhnya, tetapi tak seindah
yang dibayangkan karena berlukiskan naga yang sangar.
Mereka sedang berbincang, menatapku dengan tatapan
tajam, yang seketika membuatku mengecil dengan sedikit
rasa takut hingga menjadikan pandangan ini kuarahkan ke
bawah dan akhirnya ragu untuk menyapa.
Dengan rasa yang masih penasaran ingin melihat
bagaimana dengan yang lain, aku melihat ada beberapa
perempuan di titik yang berbeda sedang duduk berbincang
santai sambil bercanda dengan memegang batang rokok
yang sedang nikmat dihisapnya, membuaku diriku semakin
berfikir negatif. Hal yang biasnya dilakukan kaum laki-laki,

ketika sesuatu harus ditulis 29


dilakukan oleh kaum perempuan. Walaupun sebenarnya
bagiku ini adalah hal yang tidak tabu, karena terkadang aku
melihat perempuan merokok di berbagai tempat umum.
Namun, di tempat ini, hampir sebagian besar yang
melakukan hingga membuatku sedikit miris melihatnya dan
seketika dalam batinku berkata-kata ada apa dengan tempat
ini.
Apakah benar yang diceritakan oleh orang-orang. Tiba-
tiba aku menyadari bahwa saat ini aku sedang berada di
zona yang dapat dikatakan kurang nyaman. Namun aku
yakin, pasti ada sesuatu hal positif yang belum aku gali dari
tempat ini. Setelah berjalan berkeliling cukup jauh, aku coba
sedikit melupakan dan memikirkan hal yang lebih positif
dengan mencari jalan keluar dari pemukiman, menuju arah
vespa pustaka yang akan menggelar lapaknya di bawah
jembatan. Kulewati tangga menuju ke atas, keluar dari
kawasan ini, dan bertemu jalan raya yang cukup ramai
dilewati pengendara. Setibanya di atas, kulihat sangat
berbeda, dengan pemandangan jalan cukup bersih dan
menghadap ke arah sepanjang pantai nan indah.
Kulihat ke arah barat, ternyata senja yang terang masih
berdiri menemaniku. Betapa ramainya tempat ini. Dari
pinggir jalan mereka berkumpul menjajakan dagangan.
Pancaran wajah bahagia mereka menambah terangnya sore.
Setelah lama berjalan, sampailah aku di tujuan. Di bawah
jembatan itu, Vespa Pustaka terparkir dan relawan
menggelar lapak sederhananya dengan mengeluarkan dan
menata semua amunisi lengkap mereka berisi buku-buku
bacaan yang akan membuka ruang baca anak untuk sarana
belajar membaca, menyukai buku, mencintai buku dan

30 ketika sesuatu harus ditulis


menumbuhkan rasa membutuhkan buku. Sebagai relawan,
mereka berjuang lewat gerakan literasi yang mereka gelar
secara rutin, yang tentunya tidak mudah, karena pasti
banyak tantangan dan rintangan.
Di bawah jembatan yang berdekatan dengan bibir pantai
ini, adalah tempat bermainnya anak-anak nelayan dengan
segala keterbatasan mereka. Kulihat mereka senang dan
antusias dengan adanya Vespa Pustaka. Mereka dengan
bebas memilih buku yag disukai untuk dibaca, ataupun
hanya sekedar melihat gambar-gambarnya. Tentu sangat
berguna bagi pendidikan mereka, karena belum tentu orang
tua mereka bisa memberikan buku kesukaan untuk anak-
anaknya. Aku melihat dedikasi besar para relawan yang
tulus ikhlas tanpa pamrih membantu anak-anak sekitar
mengajari membaca, mendongeng, bercerita, tentunya
untuk memajukan pendidikan terutama di daerah sekitar
yang sebagian besar berprofesi sebagai nelayan, juru parkir,
dan jauh dari cita-cita yang tinggi. Di situlah aku kagum
dengan perjuangan mereka, para relawan yang menjadikan
Tanah Ombak sebagai tombak untuk memajukan pendidik­
an di daerah mereka dengan adanya program dari Tanah
Ombak lewat Vespa Pustaka.
Setelah mengikuti kegiatan mereka, aku memutuskan
kembali ke tanah ombak. Vespa Pustaka pun menutup lapak
dengan mengemasi buku-bukunya untuk segera kembali
pulang. Aku melihat senja pun sudah tidak menemaniku
dalam perjalanan pulang. Dengan melewati jalan yang sama,
saat itu aku merenungkan dalam diri, menyadari, bahwa di
tengah masyarakat yang miskin dan tampak kumuh, ada hal
positif dan indah saat aku mengikuti kegiatan mulai dari

ketika sesuatu harus ditulis 31


perjalanan ditemani senja di sepanjang pantai di sore hari:
melihat bagaimana perjuangan para relawan Tanah Ombak
yang berdedikasi tinggi, melalui gerakan membaca dalam
dunia pendidikan yang didasari dengan rasa senang dan
ikhlas.
Bagiku, ini adalah sebuah inspirasi yang bisa aku
teladani, dan akan kuceritakan cerita unikku di Tanah
Ombak saat pulang nanti.

32 ketika sesuatu harus ditulis


Aku dan “Tanah Ombak” Kota
Padang

OLEH: HANNY HUSEIN

Bagaimanapun keadaan dan situasinya, pasti kita akan


merasa nyaman selama kita BAHAGIA”.
Itulah kesimpulan yang dapat kuambil dari pengalaman
setelah aku berada di Tanah Ombak, Purus, Kota Padang,
sebagai relawan TBM dari Kota Balikpapan. Iya ... Tanah
ombak, dari namanya pasti kita semua berpikir tanah
ombak adalah tanah yang berombak. Aku sempat berpikir
Tanah Ombak adalah daerah atau tempat yang sangat indah
yang berada di pesisir pantai karena kaitannya dengan
ombak. Tapi itu hanya ada dalam pikiranku saja. Tapi pula,
entah mengapa, aku pun tidak terpikir untuk menanyakan
lokasi itu kepada Mbah Google. Iya, Mbah Google, adalah
sebutan yang sering kugunakan, dan mungkin pula bagi kita
semua, untuk mencari sebuah situs internet dalam me­ne­
mu­kan berbagai informasi.
Tepat pada hari Jumat, 28 Juli 2017, pukul 09.00 Wita,
aku berangkat dari Bandara Internasional Sepinggan

33
Balikpapan untuk menuju Bandara Internasional Minang­
kabau, Padang, Sumatra Barat. Perjalanan yang bagiku
cukup panjang dan melelahkan, namun tidak terlintas
sedikit pun di pikiranku bagaimanakah lokasi yang akan
kunjungi, lokasi tempat aku magang, yaitu Tanah Ombak.
Yang aku rasakan dan pikirkan hanyalah aku bahagia
dengan perjalanan ini. Tepat pukul 14.00 WIB, aku tiba di
Bandara Internasional Mingakabau, Padang.
Seorang teman yang seprofesi denganku menjemputku
dan mengajakku bermalam di rumahnya, karena acara
kegiatanku baru akan dimulai besok, hari Sabtu. Semalam
kami bersama bercerita tentang Tanah Ombak. Temanku
bernama Kak Nina, seorang pemilik PAUD di Kota Padang,
menceritakan Tanah ombak adalah sebuah lokasi yang
sangat ekstrem, sebuah lokasi yang status sosialnya jauh dari
nilai-nilai berkarakter, lokasi yang dulunya dikenal dengan
sebutan Gang Setan. Kehidupan yang jauh berbeda dengan
lingkunganku dan sama sekali tidak pernah kupikirkan
bahwa aku akan masuk ke kawasan itu. Berbagai pertanyaan
dan pikiran terlintas di otakku. Apakah aku akan mampu
beradaptasi di Tanah Ombak, lokasi yang begitu ekstrem
setelah aku mendengar cerita Kak Nina.
Sabtu 29 Juli 2017, akhirnya aku pun tiba di lokasi Tanah
Ombak, tempat di mana aku akan belajar banyak hal sebagai
relawan TBM. Dengan penuh kecemasan dan kekhawatiran,
kuinjakkan kaki di lokasi tempat aku akan magang sebagai
relawan TBM. Lingkungan yang sangat jauh berbeda dengan
lingkungan asalku. Melangkah menyusuri gang menuju
lokasi, membuatku ragu untuk meneruskan langkahku. Apa
yang diceritakan oleh temanku, sepertinya benar. Ling­

34 ketika sesuatu harus ditulis


kungan yang menurut pandangan mataku adalah lingkung­
an yang kumuh, berantakan, dan tidak sehat.
Bahkan, saat aku berjalan menyusuri gang, beberapa
penduduk ada yang menatapku seolah-olah aku ini
makhluk aneh. Aku hanya berpikir mereka menatapku
karena bahasa tubuhku sudah bisa terbaca bahwa aku tidak
bisa menerima keadaan lingkungan Tanah Ombak. Tapi
entah mengapa kakiku terus melangkah, tanpa ada ragu
sama sekali, meskipun di pikiranku selalu terlintas
pertanyaan, “Akankah aku mampu bertahan tinggal di
lingkungan seperti ini?”
Aku pun sampai di sebuah rumah yang menjadi lokasi
utama untuk aku magang sebagai relawan TBM. Dan
kemudian masuklah aku di sebuah rumah yang akan
menjadi tempat di mana aku dan para relawan lainnya
beristirahat. Dengan penuh penolakan dan kekesalan, tentu,
karena aku berada dilingkungan yang tidak biasa. Di
Balikpapan, aku terbiasa dengan lingkungan yang rapi,
bersih, ruangan ber-AC dan dengan fasilitas-fasilitas
lengkap lainnya. Namun saat ini aku harus merebahkan
tubuhku di kamar yang harus diisi 3 orang dengan kasur
yang menurutku akan membuat tubuhku terasa sakit, tanpa
AC, tanpa lemari, hanya sebuah meja penuh debu dan
kamar mandi yang menurutku tidak aman dari mata-mata
jahat karena temboknya yang kunilai kurang pantas—ada
beberapa lubang yang membuat aku khawatir. Mata-mata
jahat adalah sebuah istilah yang sering kugunakan bersama
teman-temanku di Balikpapan yang kami tujukan bagi
orang-orang, terutama laki-laki, yang selalu mengintai
perempuan demi kepentingan pribadi mereka.

ketika sesuatu harus ditulis 35


Terlepas dari itu semua, akhirnya aku berkenalan dengan
relawan lainnya yaitu Aziz, Nita, dan nicky; begitulah nama
panggilan mereka. Mereka berasal dari Kota Jember,
Makassar, dan Bandung, yang akan tidur sekamar denganku.
Hari pertama bersama mereka, aku sudah mulai menemu­
kan rasa nyaman, karena obrolan kami searah, yaitu tentang
lingkungan Tanah Ombak. Dan ternyata, kami sama terkejut
dengan keadaan lingkungan Tanah Ombak. Tidak pernah
membayangkan kalau kami akan berada di lingkungan
masyarakat yang ekstrem.
Namun, ternyata, apa yang kubayangkan tidak sesuai
dengan kenyataan. Cerita-cerita tentang Tanah Ombak,
termasuk hal-hal yang diceritakan oleh temanku, hanyalah
sebatas kenangan masa lalu masyarakat yang ada di sekitar
lingkungan Tanah Ombak. Meskipun kondisi lingkungan
masih apa adanya setidaknya status sosial mereka tidak
seesktrem yang diceritakan oleh temanku. Dan semua itu di
karenakan kehadiran TBM (Taman Bacaan Masyarakat)
yang mulai mengubah kultur masyarakat lingkungan Tanah
Ombak. Berbagai hal-hal positif dibangun di Tanah Ombak.
Penanaman sikap nilai karakter dan rasa peduli terhadap
sesama mulai terbentuk di lingkungan masyarakat sekitar
Tanah Ombak. Kebersamaan di Tanah Ombak membuatku
lupa dengan keadaan lingkungan yang jauh dari kebiasaanku.
Minggu 30 Juli 2017, tepat tanggal kelahiranku. Aku
masih berada di Tanah Ombak dan kuanggap keberadaanku
di Tanah Ombak merupakan kado ultah teristimewa yang
pertama kali aku dapatkan selama ini. Tidak ada perayaan,
tidak ada ucapan spesial dari orang-orang sekitarku karena
aku berada di lingkungan baru yang sangat asing dan aku

36 ketika sesuatu harus ditulis


belum cukup pandai mengenal orang-orang di sekitarku di
Tanah Ombak. Mereka juga tidak tahu kalau hari ini adalah
hari lahirku. Namun, anehnya, sedikit pun aku tidak merasa
sepi dan aku merasa nyaman dan cukup bahagia berada di
antara teman-teman Tanah Ombak dan relawan-relawan
lainnya. Kami bercanda bersama dan bahkan aku terlalu
asyik mengamati lingkungan sekitar dan mengikuti semua
rangkaian acara yang diselenggarakan oleh pengelola TBM
Tanah Ombak dari pagi hingga malam hari. Bahkan aku
juga bisa melupakan bahwa hari ini adalah hari lahirku. Aku
nyaman dan aku bahagia berada di antara mereka semua
dengan segala keterbatasan tetapi ada banyak ketulusan,
keikhlasan, dan kerelaan di antara mereka.
Senin 31 Juli 2017, kami relawan secara bersama akan
mengunjungi tempat rekreasi yang sangat dikenal, yaitu
Jembatan Siti Nurbaya dan Gunung Padang. Dan aku selalu
mengabadikan setiap momen yang menurutku sangat
berharga dan tidak boleh dilewatkan sedikit pun. Tapi tiba-
tiba, tragedi pun terjadi. HP yang biasa aku gunakan untuk
mengabadikan segala aktivitasku selama di Tanah Ombak,
harus berpindah tangan ke orang lain secara paksa. Artinya
adalah, aku kena jambret di Jembatan tersebut. Shock atau
rasa terkejut yang aku rasain membuat aku tidak bisa
berkata-kata. Aku cuma berpikir bahwa Tuhan terlalu
sayang padaku dan ini merupakan kado kedua di hari
ultahku yang harus aku dapatkan.
Sedikit gila dan sedikit lucu, tetapi inilah kenyataan.
Kenyataan yang bisa kurasakan bahwa tidak sedikit pun aku
mengambil pusing tentang HP-ku yang hilang. Aku tetap
merasa bersyukur dan bahagia dengan posisi dan keadaanku

ketika sesuatu harus ditulis 37


saat HP-ku hilang karena Tuhan memberiku kesempatan
dan mengirimku ke Tanah Ombak yang sangat menginspi­
rasi. Bagiku Tanah Ombak adalah lingkungan yang banyak
cinta, banyak keikhlasan, dan banyak kerelaan dengan
situasi dan keadaan yang seadanya. Bagiku “Bagaimanapun
keadaan dan situasinya pasti kita akan merasa nyaman
selama kita BAHAGIA”, karena kebahagian itu diciptakan,
bukan dicari, dan itu kutemukan di “Tanah Ombak”.
Mereka sangat pandai menciptakan kebahagiaan di
sekitar mereka dengan keadaan lingkungan dan status sosial
yang masih di bawah rata-rata dalam keterbatasan fasilitas,
termasuk toilet. Terima kasih, Tanah Ombak. Aku banyak
belajar darimu. Ada banyak cinta yang kutemukan di Tanah
Ombak, ada banyak Kebahagiaan yang mampu kurasakan
di Tanah Ombak. Status sosial dan keterbatasan bukan
penghalang kita dalam menciptakan sebuah KEBAHA­
GIAAN, dan semua itu kudapatkan di Tanah Ombak. Tanah
Ombak, guruku yang luar biasa.

38 ketika sesuatu harus ditulis


Menanam Jati di Gang Setan

OLEH: HARNITA RAHMAN

Investasi pohon jati sudah dilirik masyarakat Indonesia


sejak zaman penjajahan Belanda. Tanaman jati, bisa
dibilang, adalah salah satu tanaman yang paling tinggi nilai
ekonominya. Namun, memulai investasi jati sebenarnya
bukan hanya tentang hitungan-hitungan ekonomis,
melainkan sesungguhnya adalah tentang menunggu dan
bertahan.

Nama Tanah Ombak, tidak pernah begitu saya perhatikan.


Saya baru mencari tahu melalui Google tentang Tanah
Ombak setelah setuju menjadi relawan mewakili Kampung
Literasi Wesabbe pada program Magang Literasi oleh
Kementerian Pendidikan. Tidak ada yang terlalu menarik,
Tanah Ombak adalah salah satu rumah baca yang berdiri
beriring dengan menggeliatnya gerakan literasi di

39
Indonesia. Dan perjalanan panjang dari Makassar akhirnya
mendaratkan saya di sana, di Tanah Minang, di mana kisah
Siti Nurbaya bermakam, di kota yang bentuk bangunanan­
nya kebanyakan menyerupai rumah adat mereka, di tanah
di mana vokal o mendominasi ruang kata.
Selain kisah fenomenal Datuk Maringgih dan kemudian
Tenggelamnya Kapal Van Der Wick, Kota Padang adalah
kota yang asing dan tidak pernah ada dalam destinasi
perjalanan saya. Karenanya, saya berikrar 3 hari ini adalah
3 hari di mana saya tidak boleh lelah dan akan “belajar”
sebanyak mungkin. Perjalanan menuju lokasi Tanah Ombak
seketika mempertemukan saya dengan realitas yang
langsung terbaca jelas. Kami memasuki pemukiman kumuh,
rumah yang berdesak-desakan, bau got yang menyengat,
jalan yang becek, udara yang pengap, dan mata yang
menatap penuh curiga. Saya khawatir, tetapi tiba tiba
berubah tenang, ketika sambutan gerombolan anak-anak
kecil menyambut saya dengan riang. Ini aneh, semangat
anak-anak itu, berbanding terbalik dengan apa yang saya
dapati di menit-menit pertama di gang ini. Saya tersenyum.
Saya segera tahu, saya akan belajar banyak hal di sini.
Tanah Ombak berada di ujung sebuah gang kecil yang
dulunya bernama Gang Setan. Penuturan terbuka Pak KW
dan Pak Hen, relawan sekaligus pendiri Tanah Ombak,
memperkaya cerita tentang perjuangan Tanah Ombak di
Gang Setan, yang berada di Kelurahan Purus, di pusat Kota
Padang. Kenyataannya, segala yang saya temui kali pertama,
sudah jauh lebih baik dari 3 tahun lalu. Bukan hanya secara
infrastruktur​tapi juga secara sosial, gang ini memenuhi
kriteria sempurna sebagai gang yang termarjinalkan.

40 ketika sesuatu harus ditulis


Miskin, kotor, kasar, dan bodoh. Sisi gelap gemerlapnya kota
besar yang tak pernah terjangkau tangan pemerintah.
Tanah Ombak berdiri dengan harapan besar bahwa
kisah Gang Setan harus berhenti, harus menjadi sejarah.
Generasi mereka harus diputus. Dan sasarannya, adalah
anak-anak mereka. Sejak berdiri, Tanah Ombak menyadari
betul bahwa gerakan yang mereka bangun adalah gerakan
sosial. Dan melalui seni, Tanah Ombak menciptakan ruang
belajar bagi anak-anak di kawasan Gang Setan. Khususnya
seni pertunjukan. Pendekatan seni yang dipakai Tanah
Ombak bukanlah tanpa alasan. Hampir semua anak-anak
di gang ini bercita-cita menjadi selebriti, mimpi-mimpi
instan yang mereka dapatkan dari layar televisi.
Tanah Ombak yang merupakan kelompok subordinasi
dari Teater Noktah, melihat hal ini sebagai jalan. Mereka
memberikan anak-anak Gang Setan panggung yang luas dan
besar. Semua anak datang tanpa terkecuali dengan yang
mereka inginkan dan mereka miliki. Perlahan namun pasti
dan bukan tanpa kendala, anak-anak mulai menjadikan
Tanah Ombak sebagai rumah mereka. Goyang dangdut
erotis mulai berganti gerakan-gerakan riang bersemangat di
panggung teater. Teriakan-teriakan kasar dan jauh dari
terdidik mulai hilang, berganti kutipan-kutipan pujangga
dari buku-buku sastra. Mereka mulai berani mengenal dunia
di luar dari yang mereka lihat sehari-hari. Mereka mulai
meyakini cita-cita dan mimpi boleh mereka miliki, seperti
anak-anak lainnya.
Kerja keras Tanah Ombak mulai menggaung dan
bergema di tahun kedua. Gerakan mereka sebagai gerakan
litetasi yang membawa perubahan baik di gang ini

ketika sesuatu harus ditulis 41


mengguling seperti bola salju. Semakin besar dan meng­
inspirasi. Relawan dari bulan ke bulan mulai bertambah,
anak-anak pun semakin lama semakin antusias menunjuk­
kan diri dan bakat mereka. Lewat program-program rutin
Tanah Ombak, Gang Setan tidak lagi terlalu mencekam.
Namun, yang paling utama, anak-anak mulai menghargai
diri mereka sebagai layaknya manusia dan tidak menyerah
atas hidup. Dan, tidak sampai di situ. Nilai-nilai hidup yang
anak-anak amini, secara tidak sadar membawa perubahan
di rumah mereka lalu akhirnya di lingkungan Gang Setan.
Jati yang ditanam oleh Tanah Ombak di Gang Setan,
tentu tidak akan dipanen di tahun ketiga atau keempat.
Walau begitu, banyak prestasi yang telah Tanah Ombak
peroleh, dan itu bukanlah capaian yang mudah dan
membuat relawan Tanah Ombak berpuas diri. Hingga hari
ini, Tanah Ombak tidak berhenti bergerak. Kritik, amarah,
dan teror mengiringi kerja-kerja relawan. Bukan hanya dari
lingkungan Gang Setan, tetapi juga dari luar yang sama
sekali tidak memberi sumbangsih apa-apa terhadap gerakan
mereka. Tapi, mereka tidak berhenti. Mereka terus bergerak
dan bertahan.
Seperti layaknya menanam jati secara tradisional, jika
kamu menanamnya hari ini, anak cucumu yang akan
memanennya kelak. Panjang umur semangat baik.

42 ketika sesuatu harus ditulis


Mendaki di Gunung Padang

OLEH: HETI WULAN SABRILA

Pada tanggal 31 Juli 2017, kurang lebih pukul 4 sore, saya


beserta rombongan magang literasi di TBM Tanah Ombak
dari berbagai provinsi melakukan perjalanan ke Gunung
Padang. Bagi saya, pendakian itu sangatlah berkesan sampai
ke lubuk hati paling dalam.
Sebagai seorang ibu setengah baya dan keseharian saya
cuman duduk di depan meja komputer dan mengurus
rumah tangga, pendakian tersebut sangatlah berkesan setelah
kurang lebih 18 tahun tanpa melakukan aktivitas. Maka saya
pun menjalaninya dengan semangat 45, bah­kan saya menjadi
Ibu-Ibu Number One yang lebih da­hu­lu sam­pai di puncak
Gunung Padang. Rasa capek, pegal, linu, seolah terbayarkan
dengan keindahan di atas Gunung Padang. Ditambah dengan
malam yang tak terlupakan untuk mencoba membuat teh
telur dan mencoba untuk me­nikmatinya.
Gunung Padang merupakan salah satu tempat tujuan
wisata di Kota Padang. Tidak hanya terkenal dengan makam
Siti Nurbaya-nya, tetapi banyak hal yang dapat ditemukan.

43
Letaknya sendiri tidak jauh dari Pantai Padang. Hanya butuh
waktu kurang lebih 30 menit sampai ke puncak untuk
menikmati pemandangan Kota Padang dan sekitarnya.
Mulai dari kaki bukit sudah saya temukan monyet-monyet
yang bergelantungan dan mengummandangakan suara-
suaranya yang aneh karena saya tidak terbiasa men­de­ngar­
kannya. Dalam perjalanan saya temukan tempat-tempat
bersejarah peninggalan Jepang dengan meriamnya. Tetapi
saya merasa sangat miris dikarenakan kurang terjaganya
peninggalan bersejarah tersebut. Gunung Padang juga
menyimpan bukti sejarah lain. Di puncak Gunung Padang
ada sebuah lubang yang mirip dengan Lubang Japang
terkenal di Bukittinggi. Untuk mencapai puncak Gunung
Padang, saya harus berjalan kaki di lereng bukit. Tapi
jangan khawatir, lereng bukit tersebut sudah dibuatkan anak
tangga untuk memudahkan pengunjung melewatinya.
Perjalan untuk sampai ke puncak memang cukup
menguras tenaga, tetapi itu semua akan dibayar dengan
keindahannya. Letak Gunung Padang yanng di tepi laut,
memberikan keindahan yang memanjakan mata. Akan ada
beberapa tempat persinggahan untuk melepaskan lelah
sambil menikmati indahnya hamparan Kota Padang. Tempat
ini cocok untuk yang suka selfie. Sesampai di puncak,
pengunjung akan semakin terpesona dengan keindahnnya.
Pengunjung bisa melihat Kota Padang keseluruhannya.
Pemandangan kota ditambah dengan laut dan beberapa pulau
tanpa penghuni. Selain itu, di sini pengunjung bisa
bertemu dengan penghuni gunung padang yaitu monyet!
Hati-hati jika membawa ma­kanan, monyet-monyet yang ada
di sini suka meminta ma­kanan yang dibawa pengunjung.

44 ketika sesuatu harus ditulis


Setelah beberapa saat menikmati indahnya kota padang
dari puncak gunung padang, akhirnya kami pun me­lan­
jutkan perjalanan kembali untuk field trip Vespa Pustaka
di Kawasan Pinggiran Sungai Batang Arau dan Kawasan
Wisata Gunung Padang. Dan l a l u diakhiri dengan
pembuatan teh telur yang dipandu oleh Bapak Yusrizal.
Walau asing terdengar bagi saya dan berpikir tehnya akan
berbau amis dan rasanya mungkin kurang berkenan di lidah,
tetapi setelah mencoba dan menikmatinya ternyata …
waaoowww … mak n y u s s s … rasanya bikin ketagihan.

Resep Teh Telur

Bahan-bahan:
▷▷ sediakan gelas/cangkir,
▷▷ telur ayam kampung/telur bebek,
▷▷ gula pasir,
▷▷ kopi Capucino/susu cair atau semacamnya,
▷▷ siapkan teh panas,
▷▷ 1 ikat potongan sapu lidi bersih untuk mengocok/
alat kocok telur.

Cara membuat :
Masukkan kuning telur ke dalam gelas, masukkan
gula pasir 1 ½ sendok teh (sesuai selera), masukkan
sedikit Capucino, lalu kocok menggunakan ikatan sapu
lidi bersih sampai warna adonan menjadi putih. Tuang air
teh panas dan ... sajikan. Selamat mencoba!

ketika sesuatu harus ditulis 45


Gelombang Literasi di Tanah
Ombak

OLEH: INDRA KOMARA

Terjangan ombak adalah bahasa cinta gelombang


kepada karang

Mengingat peradaban yang semakin canggih, siapa pun


akan tergeser bahkan tersungkur jika hidup sekadar menjadi
robot. Ia tidak mampu berbuat banyak, bergerak hanya
menunggu program yang dirancang penggagasnya.
Kepekaan dalam menggali harta karun di dalam diri,
dapat menemukan barang tambang yang dapat mengangkat
potensi ke permukaan hidup. Selain berguna untuk diri
sendiri, juga dapat berguna untuk sekitar. Tentu saja dapat
digali dalam rentang waktu yang lambat dan cepat. Namun,
sebagian besar cenderung lebih melihat keistimewaan orang
lain lalu memaksakan untuk menjadi seperti mereka yang
padahal sangat berbeda. Bukankah setiap manusia diberi
keistimewaan masing-masing?
Tidak sedikit yang merasa diri lebih unggul dari yang
lain. Padahal, kebanggaan dapat dicapai bukan untuk
mengerdilkan orang lain. Sebuah capaian dapat diperoleh
melalui tahapan proses yang tidak sebentar. Jalan literasi

47
adalah salah satu jalur untuk mampu mengakses, mema­
hami, dan menggunakan informasi secara cerdas. Membaca
sebagai pintu masuk dalam langkah-langkah memetakan
masa depan, sedangkan menulis merupakan arah mata
angin yang dapat mengantarkan seseorang ke tujuannya.
Sesuatu yang terarah dan bertahap akan lebih bertahan
lama, ketimbang arah dan tahapan yang tak tidak sesuai
dengan kemampuan diri.
Dalam sebuah film Literasi Indonesia yang berjudul
Nyanyian Tanah Ombak produksi Kapatabang dan Teater
Noktah yang bercerita tentang literasi, tampak peranan yang
sangat penting untuk kehidupan anak-anak di Tanah
Ombak. Ibu Lili sebagai seorang yang sempat merantau dan
meninggalkan Tanah Ombak, memutuskan untuk kembali
dan memiliki niat baik untuk mendirikan Taman Bacaan
Masyarakat. Dia membawa buku-buku yang dia punya
selama masa perantauan.
Ia sangat bersemangat dalam mewujudkan keinginan­
nya. Beberapa anak mulai mengunjungi dan mulai senang
pada keberadaan TBM Tanah Ombak. Ibu Lili membuka
TBM-nya setiap Hari Minggu, anak-anak bisa membaca dan
meminjam buku. Ibu Lili berharap dengan adanya TBM
Tanah Ombak bisa membuat anak-anak menjadi lebih
pintar dalam menghadapi masalah dan tahu apa yang harus
dilakukan.
Namun beberapa orang tua tidak menyambut ramah
dengan adanya TBM Tanah Ombak, bahkan ada yang
melarang anak-anaknya untuk membaca. Padahal membaca
itu sama seperti memberi makanan pada rohani. Meski
begitu, ada sebagian orang tua yang menganggap penting

48 ketika sesuatu harus ditulis


keberadaan TBM Tanah Ombak. Pekerjaan masyarakat di
Tanah Ombak rata-rata sebagai nelayan. Salah seorang dari
mereka berpikir bahwa membaca sangat penting, sebab
banyak yang dapat dipelajari untuk menjadi seorang pelaut.
Baterai semangat selalu disediakan untuk anak-anak agar
tetap memiliki energi dalam menggapai cita-cita.
Masalah yang dihadapi saat ini adalah informasi yang
didapat terkadang bukan pada porsinya. Anak-anak sudah
tahu beberapa informasi yang sebetulnya belum pantas bagi
mereka. Orang-orang dan anak-anak lebih tahu berita artis-
artis yang bercerai ketimbang informasi-informasi penting
dalam buku. Acuan bahan bacaan berkualitas dapat
mengasah pedang kehidupan.
Film ini menggambarkan bagaimana ketika seseorang
tak acuh membaca. Dampaknya sangat buruk terhadap
kehidupan. Membaca bukan hanya tahu informasi, selain
itu dapat memahami berbagai keadaan yang lebih baik.
Tentu saja akan lebih siap menghadapi rintangan dalam
kenyataan.
Dalam film ini diceritakan ada beberapa orang tua yang
kurang memiliki kemampuan dalam membaca situasi dan
potensi anaknya. Beberapa orang tua dalam film ini memilih
mengikutsertakan anak-anaknya untuk mengikuti seleksi
menjadi artis, tanpa memahami atau bertanya kepada
anaknya apakah berminat atau tidak.
Orang terkadang lebih tergiur dengan hasil yang telah
didapat orang lain dengan tidak memikirkan bagaimana
proses seseorang memperoleh atau mencapainya. Mereka
lebih tergiur sebuah capaian tanpa memikirkan caranya.
Beberapa malah menggunakan cara yang tidak baik

ketika sesuatu harus ditulis 49


seperti menyogok agar anaknya lolos seleksi. Namun, apa
yang di dapat? Bukan hasil yang diinginkan atau dicita-
citakan, melainkan malah tertipu hingga harta yang
dimiliki habis.
Dari contoh itu banyak yang harus dipelajari. Untuk
menjadi hebat butuh proses panjang. Cara yang ditempuh
harus dengan perjuangan. Salah satunya dengan belajar,
yang dimulai dari membaca buku, membaca situasi,
membaca potensi-potensi diri, mengasah dan mengem­
bangkannya. Hasil yang didapat tidak akan mengecewakan,
sesuai dengan proses yang dilalui. Jika pun masih gagal,
seseorang yang rajin membaca dapat menghadapi masalah
lebih siap dan mampu mencari celah.
Tuhan tidak pernah salah dalam memerintahkan ham­
ba­nya untuk membaca. Tuhan Mahatahu apa yang tidak
di­ke­tahui hambanya, “Bacalah, bacalah, bacalah! Dengan
me­nye­but nama Tuhanmu yang menciptakan.” Lakukan saja
pe­rin­tahNya hingga suatu hari menemui kejutan-kejutan
tak ter­duga.
“Bapak merasa miskin, jika tidak bisa menyekolahkan
anak,” ucap seorang ayah, di depan rumah, kepada anak
bungsunya.
“Kita harus selalu membaca, sekuat Bung Karno dan
Bung Hatta,” semangat seorang anak, kepada temannya.
“Kita boleh putus sekolah dengan nasib, tapi tidak boleh
putus membaca,” sang nelayan yang terhimpit keadaan,
menyemangati istrinya.
Beberapa percakapan di atas merupakan ruh yang
memperkuat garapan film Tanah Ombak. Hujan inspirasi
dapat ditemukan dalam layar yang berada di sekitar pantai.

50 ketika sesuatu harus ditulis


Hendri mendirikan Tanah Ombak sejak akhir 2013,
membuka taman baca berawal dari sebuah rumah yang
dijadikan ruang bermain anak-anak. Pertengahan 2014,
Yusrizal KW datang dengan semangat untuk mengem­
bangkan gerakan. Anak-anak menyebut ruang ini “Tanah
Ombak”. Ketika melihat mereka bermain di jalan, sering ke
warnet, dan berbahasa jorok setiap hari, timbul keprihatin­
an. Karena peristiwa tersebut, kepekaan tumbuh untuk
mem­bangun ruang agar mendekatkan bahan bacaan dengan
mereka.
Membaca sebagai pintu masuk, untuk mengikat anak-
anak dengan kreativitas seperti teater, menari, menggambar,
dan membuat lagu. Paling terakhir, anak-anak dilibatkan
dalam penggarapan film. Kegiatan utama yaitu membaca;
gerakan membangun budaya baca adalah paling sulit.
Kegiatan lain yang menyenangkan mereka jadi semacam
jembatan untuk mencintai buku-buku. Pengaruh bahan
bacaan dapat menajamkan nalar anak-anak.
Lingkungan tempat anak-anak tinggal menjadi alasan
penamaan sebuah taman bacaan “Tanah Ombak”. Area
pesisir pantai menjadi latar yang menghantam keprihatinan
untuk berbuat. Tantangan terbesar yaitu lingkungan yang
tidak semua masyarakat mendukung gerakan. Beberapa
orang tua tidak terlalu senang dengan Tanah Ombak,
sehingga melarang anak-anak mereka terlibat. Suatu hari,
anak-anak mulai jarang berbicara kotor, para orangtua yang
antipati kemudian terkejut sekaligus bangga. Berdasarkan
peristiwa tersebut, para orang tua mulai merelakan dan
mendorong anak-anak untuk bergiat dengan Tanah
Ombak.

ketika sesuatu harus ditulis 51


Membangun budaya baca adalah motivasi utama Tanah
Ombak. Tradisi membaca yang dilaksanakan anak-anak
akan membawa masa depan mereka lebih cerah. Pola pikir
yang baik akan terbangun dengan tertata dan indah. Siapa
saja bisa menjadi aktor film, pemusik, dan profesi lain, tetapi
jika tidak didasari dengan suka membaca akan menjadi
seseorang yang kosong rohaninya.
Even festival teater anak skala nasional menjadi capaian
tinggi karena lima penampil di antaranya sebagai aktor
terbaik. Harapan Tanah Ombak hadir di tengah-tengah
masyarakat dapat menampung masyarakat yang lebih luas,
sebagai pusat peradaban dalam membangun gerakan
literasi.
Pada akhirnya, ketika saya diberi kesempatan magang di
Tanah Ombak Padang, dapat menemukan sisi kerelawanan
yang sangat solid. Kerja sama satu sama lain sangat kompak,
tidak silih mengandalkan. Antusias masyarakat sekitar
sekarang sangat merespons baik terhadap gerakan yang
digeliatkan Tanah Ombak. Namun, secara keuangan belum
sekreatif di tanah kelahiran saya, Kota Tasikmalaya.
Keunggulan yang dimiliki Tanah Ombak yaitu dalam bidang
seni, mereka membuktikannya dengan pementasan teater
di ibu kota dan hampir seluruh wilayah Kota Padang.

52 ketika sesuatu harus ditulis


Kehidupan dari Setapak Jalan

OLEH: JUHAINA AMIN

Pasar Raya Padang Sumatra Barat, salah satu tempat yang


aku kunjungi bersama ke tiga temanku yang juga merupa­
kan peserta Magang Literasi di Kota Padang. Mereka adalah
Kak Momo asal Medan, sama denganku namun beda
daerah, Kak Luthfi dari Yogya, dan juga Kak Lia dari Banten.
Kami pergi ke pasar untuk melihat bagaimana aktivitas
mencari inspirasi, tugas menulis yang diberikan narasumber
kepada kami sekaligus untuk membeli baju kaos panjang
yang akan kami gunakan untuk field trip ke Gunung Padang
dan membeli oleh-oleh yang bisa dibawa ke daerah asal
masing-masing.
Kami menuju Pasar Raya dengan menaiki angkutan
umum. Di perjalanan menuju Pasar Raya mataku menyorot
ke banyak hal dan sisi kehidupan masyarakat Kota Padang,
baik itu aktivitas, bangunan, dan juga bahasa mereka. Untuk
sisi aktivitas, sama seperti di Medan, orang bekerja dimulai
dengan hanya menggunakan tenaga, otak, maupun otak dan

53
tenaga. Anak-anak bersekolah, orang-orang berlalu lalang
di jalan raya, dan banyak hal lainnya sama seperti di
daerahku. Yang berbeda hanya bahasa/logat serta bangunan
yang memiliki ciri khas yang menjadi ikon Kota Padang,
dengan bentuk di dua sisi atap pada bangunan melengkung
dan mengerucut runcing ke atas.
Aku tersentak dengan suara yang memberitahuku bahwa
kami telah sampai di tujuan. Ketika kaki turun menapak ke
jalan, terdengan suara lantang para pedagang dengan gigih
menawarkan apa yang mereka jual ke orang-orang yang
ingin dipuaskan hasratnya dalam berbelanja. Sedikit
kusipitkan mata dan berusaha mempertajam pendengaran­
ku mendengarkan nyanyian pedagang untuk memastikan
apa yang mereka lantunkan. Karena aku tak cukup paham
dengan bahasa yang mereka gunakan, walaupun di tubuhku
juga mengalir darah Minang melalui ibuku. Aku dilahirkan
dan dibesarkan di Medan dan dibiasakan dengan bahsa
Indonesia.
Kami menyusuri pasar, memasuki lorong dan sudut-
sudut bangunan pasar. Ada yang berjualan, bahan pokok,
sayur, perabotan, alat rumah tangga, buah, pakaian, dan
bumbu-bumbu dapur. Tak ada yang mengesankan buatku.
Ah ... putus sudah harapan mencari inspirasi tulisan.
Ketika teman yang lain sibuk membeli teh yang katannya
asal Jambi, kusorotkan pandangan ke satu sisi jalan yang di
sana kulihat banyak kaum ibu-ibu yang bekerja mem­
bersihkan cabai-cabai dan juga bawang. Memilah-milah
memisahkan yang masih bagus dan yang sudah busuk.
Tertegak pandanganku pada seorang lelaki tua yang duduk
di sebelah ibu-ibu yang membersihkan cabai dan bawang.

54 ketika sesuatu harus ditulis


Kakek itu duduk di kereta dorong barang. Sepertinya kakek
itu begitu lelah, terlihat wajah dan tubuhnya bersimbah
keringat dengan napas yang terengah-engah.
Kulangkahkan kakiku menuju lelaki tua yang duduk di
kereta dorong dan bersandar di dinding bangunan. Kuserbu
kakek itu dengan banyak pertanyaan. Nama kakek tua itu
Made, usianya 63 tahun, dia bekerja sebagai buruh
pengangkat barang. Pengakuannya dia sudah 50 tahun
bekerja sebagai buruh, membantu pedagang pasar meng­
ang­kat barang. Dulu dia di pasar Mambo, pasar pertama kali
yang ada di Kota Padang. Gaji pak Made tidak tentu, bisa
Rp30.000—Rp50.000 per hari tergantung seberapa banyak
dan sanggup mengangkat barang. Pak Made telah menikah
memiliki 2 orang anak laki-laki dan 1 perempuan. Istrinya
telah meninggal 10 tahun silam.
Sekarang Pak Made tinggal sendiri. Ketiga anaknya
sudah berkeluarga. Dua orang anaknya merantau dan 1 anak
perempuannya ikut suami di Bukittinggi. Kutanya mengapa
dia tidak ikut bersama anaknya. Dia hanya menjawab tidak
ingin menyusahkan anak-anaknya. Ketika aku ingin ber­ta­
nya lagi, datang seorang laki-laki yang memanggilnya dan
Pak made memberitahuku alamatnya namun aku tak men­
dengar jelas ucapannya. Dia pun berlalu mengikuti pe­da­
gang yang ingin diangkat barang-barang dagangannya oleh
Pak Made.
Rasanya ingin aku mengikuti ke mana perginya Pak
Made, tetapi teman-temanku telah menunggu di sudut pasar
untuk mengajakku kembali ke penginapan.

ketika sesuatu harus ditulis 55


Jalan-jalan ke Pasar Raya Kota
Padang

OLEH: LIA NURLITA

Hari ini aku dan kawan-kawan mencoba untuk lebih


mengenal dan mengetahui wilayah Kota Padang. Kami pergi
tidak menggunakan alat transportasi karena memang jarak
antara tempat kami tidak terlalu jauh dan hanya mem­bu­
tuhkan beberapa menit untuk bisa sampai ke Pasar Raya
tersebut. Sebelum kami sampai ke pasar, sungguh aku me­
ra­sa terkejut dengan suasana pengendara di sini yang sangat
jauh berbeda dengan pengendara di tempat tinggalku.
Di tempat tinggalku, pengendara lebih menghargai
pejalan kaki. Ketika aku dan kawan-kawan mau me­nye­
berang, aku sungguh kaget ketika ada sebuah mobil yang
ham­pir menabrak kami. Aku sudah memberi isyarat untuk
agar mereka memelankan kendaran dan menurutku jarak­
nya cukup untuk menyeberang. Tetapi, alangkah terkejutnya
kami. Ketika kami mencoba melangkahkan kaki, mobil itu
pun melaju semakin kencang dan malah hampir menabrak
kami. Sejak itu, aku mulai lebih berhati-hati lagi saat akan

57
menyeberang agar kejadian seperti tadi tidak terulang
kembali.
Menurut kabar berita, Pasar Raya Padang adalah pasar
tradisional terbesar yang menjadi pusat perdagangan utama
di Kota Padang. Pasar ini didirikan pada zaman kolonial
Belanda oleh seorang kapiten China bernama Lie Saay.
Dalam perkembangannya pada era 1980-an, Pasar Raya
Padang pernah menjadi sentra perdagangan bagi masyara­
kat di Sumatra Barat, Riau, Jambi, dan Bengkulu. Pasar Raya
Padang mulai mengalami kemunduran sejak hilangnya
Terminal Lintas Andalas dan Terminal Goan Hoat yang
memiliki peran vital dalam mobilitas warga dan komoditas.
Kedua terminal tersebut berubah mejadi pusat perbelanjaan
modern Plaza Andalas dan SPR Plaza. Para pedagang kaki
lima yang sebelumnya berjualan di lingkungan terminal
beralih memakai sebagian besar badan jalan sehingga
membuat semrawut kondisi pasar. Puncak kemunduran
Pasar Raya adalah bencana gempa bumi tahun 2009 yang
menghancurkan infrastruktur pasar.
Aku mencoba berbincang dengan seorang pedagang
kelontongan yang, jika dilihat dari tubuhnya, aku bisa
menebak berapa usianya, kira-kira lebih dari lima puluh
tahun. Pas banget, kupikir dia pasti tahu tentang info Pasar
Raya ini. Menurutnya, selama ini pasar yang ada di kawasan
perencanaan dikelola oleh Dinas Pasar. Sebagai timbal balik
dari pengelolaan tersebut, dilakukan pungutan atas semua
jasa pelayanan yang disediakan. Aksesibilitas yang dimiliki
kawasan tersebut sangat baik karena jarak yang dimiliki
cukup berdekatan dengan tempat tinggal penduduk. Untuk
penduduk yang bertempat tinggal cukup jauh pun

58 ketika sesuatu harus ditulis


menjadikan kawasan Pasar Raya sebagai tempat tujuan
berbelanja karena tersedianya kendaraan umum yang
melintasi kawasan tersebut memberikan kemudahan bagi
pengunjung. Diperkirakan pembangunan Pasar Raya ini
masih enam puluh persen dari seratus persen yang
direncanakan, terlihat dari para pedagang yang meng­gu­
nakan badan jalan untuk berjualan. Keadaan ini membuat
ke­macetan.
Setelah akhirnya aku membeli beberapa oleh-oleh, aku
mengajak kawan-kawan untuk pulang. Apalagi hari sudah
semakin sore. Kini dengan langkah yang sedikit kami
percepat saat kembali menyeberang jalan. Entah ini adalah
hari yang sial, atau karena memang betul-betul seperti ini
cara pengendara di Kota Padang atau malah kami me­nye­
be­rang kurang berhati-hati, kami kembali dikagetkan oleh
suara klakson angkot yang sengaja ditekan lama sehingga
membuat orang-orang di sekitar menoleh ke arah kami.
Terkejut, heran, marah, malu, kesal, semuanya menjadi satu
dalam diriku sehingga membuat seluruh persendianku
terasa lemas.

ketika sesuatu harus ditulis 59


Taman Baca di Perkampungan
Nelayan

OLEH: LUTFI RETNO WAHYUDYANTI

Belajar itu penting supaya orang memiliki pengetahuan.


Dengan ilmu, hidup seseorang bisa berubah. Membaca
merupakan salah satu cara untuk mengisi kepala dengan
ilmu,” tutur Yusrizal KW. Karena meyakini hal tersebut, ia
menjalankan gerakan literasi di Tanah Ombak. Taman Baca
tersebut beralamat di Jalan Purus 3 nomor 30, Kota Padang.
Ia menjadi lokasi bagi anak-anak sekitar untuk mengikuti
kegiatan sesuai minat dan bakat mereka. Ada yang
menggambar, bermain musik, hingga bermain teater.
Anak-anak usia SD Tanah Ombak kerap pentas dan
tampil di depan umum. Mereka tidak canggung membaca
puisi, berpantun, atau bernyanyi. Mereka merupakan anak-
anak kampung nelayan di sekitar Tanah Ombak. Mereka
tinggal bersama orangtua mereka di rumah-rumah sewaan
sempit. Banyak di antara mereka yang mandi atau mencuci
di pinggir jalan karena tidak memiliki WC. Orangtua
mereka mencari nafkah sebagai nelayan tanpa kapal, tukang
parkir, hingga pekerja serabutan.

61
Kawasan Purus terkenal sebagai daerah dengan tingkat
kejahatan tinggi. Kampung tersebut juga kumuh karena
penduduk terbiasa membuang sampah sembarangan.
Syuhendri yang lama merantau miris melihat keadaan
tersebut. Ia mengajak anak-anak yang tergabung di Teater
Noktah untuk bekerja bakti membersihkan got. Ia kemudian
menggunakan rumah mertuanya sebagai pusat kegiatan.
Awalnya, anak-anak di sekitar rumahnya berdatangan
karena mereka membutuhkan tempat untuk bermain.
Mulailah Syuhendri mengajak anak-anak tersebut berlatih
teater. Tumbuh di lingkungan yang keras membuat mereka
terbiasa berkata kasar, hobi berkelahi, dan sukar diatur.
Syuhendri dan asistennya di Noktah sempat kewalahan.
Setelah memenangkan perlombaan Teater di Taman
Ismail Marzuki, Jakarta. sahabat lama Syuhendri yang
bernama Yusrizal KW mengatakan pentingnya mengubah
kegiatan tersebut menjadi gerakan literasi. Anak-anak di
Purus akan memiliki lebih banyak pilihan untuk hidup lebih
baik jika banyak membaca. Mulailah mereka menamai
tempat tersebut dengan Tanah Ombak. Nama yang
didedikasikan untuk pengarang Minangkabau, Abrar Yusra,
yang memiliki novel berjudul serupa. Selain itu kata tanah
mengandung asosiasi tempat tumbuh bagi semua. Se­dang­
kan kata ombak selain mengacu pada lokasi geografis, juga
mengandung harapan agar kegiatan tersebut terus-menerus
bergerak.
Kedua pendiri tanah ombak tersebut kemudian memiliki
komitmen untuk mengurangi angka putus sekolah di
lingkungan Purus. Mereka bermimpi kelak ada anak Purus
yang mengenyam bangku kuliah. Mulailah mereka

62 ketika sesuatu harus ditulis


mengajak anak-anak untuk membaca buku. Lagi-lagi, hal
tersebut bukan hal yang mudah. Anak-anak di Purus belum
tahu jika buku bermanfaat untuk mereka. Tanah Ombak
sampai membujuk dengan kue-kue agar anak-anak tadi mau
membaca.
Selain Pak Hen dan Yusrizal KW, Tanah Ombak dibantu
oleh belasan relawan. Ada yang tinggal di rumah tersebut
seperti Rizqi, Obed, dan Fahmi. Tapi ada juga yang datang
setiap waktu luang atau Tanah Ombak punya kegiatan besar.
Relawan-relawan tersebut juga membantu publikasi Tanah
Ombak. Mereka kerap berfoto di tengah kegiatan sembari
menyebarkannya di media sosial. Publikasi tersebut tidak
hanya mengundang relawan lain. Donatur mulai berdatang­
an dan menyumbang buku-buku serta peralatan musik.
Bahkan perbaikan WC dan atap Tanah Ombak juga
didapatkan dari donasi. Meskipun demikian, mereka hanya
menerima sumbangan dari perseorangan atau perusahaan
yang memiliki visi sama.
Selain membuka taman baca di Jalan Purus Tiga, Tanah
Ombak juga menggelar lapak buku di tempat umum.
Kegiatan bernama Vespa Pustaka tersebut berjalan tiap hari
Jumat, Sabtu, dan Minggu, Ada empat orang relawan yang
bersama-sama menunggui vespa sembari mengajak orang
membaca. Vespa tersebut berhenti di beberapa titik umum.
Tagline-nya unik: “Kutemui Kamu sampai Membaca”. Untuk
mengajak orang membaca, seseorang tidak bisa begitu saja
datang dan memberi buku. Mereka perlu memberikan motif
kenapa seseorang membaca.
Berbuat baik, belum tentu mendapat tanggapan baik dari
lingkungan sekitar. Perjalanan Tanah Ombak juga didera

ketika sesuatu harus ditulis 63


banyak berita miring. Lokasi mereka yang kerap didatangi
pihak luar mengundang rasa iri. Ada yang menyebarkan
berita jika Tanah Ombak menerima banyak proyek. Bahkan
ada yang menuduh Pak Hen menyimpan anak gadis di
rumah tersebut. Kedua pengelola tanah ombak tersebut
memilih untuk mengabaikan berita buruk dan tetap
menjalankan kegiatannya.

64 ketika sesuatu harus ditulis


Koma di Tanah Ombak

OLEH: MASYKURA SAFITRI HADI

Cerita ini dimulai ketika aku mendapatkan sebuah pesan


dari ketua Ruang Baca Togok, yaitu sebuah TBM yang
berdiri di kota dingin yang kecil, Padang Panjang. Pesan itu
berisi tawaran untuk mengikuti sebuah pelatihan Taman
Baca Masyarakat (TBM) di Tanah Ombak. Pertama kali aku
membaca kata “pelatihan” yang terbayang adalah sebuah
pelatihan yang dilaksanakan di sebuah gedung pertemuan
yang diisi oleh puluhan kursi-kursi malas yang mengundang
kantuk. Aku membalas, “Apakah tidak ada relawan yang
lain?” dan jawabannya membuatku harus menghela napas.
Aku kembali membaca tawaran itu. Di sana ada dua kata
yang ternyata sudah tidak asing lagi, “Tanah Ombak”. Aku
ingat, aku mengenal tempat ini. Dulu, ketika aku masih
muda (semester 4, sekarang semester akhir) ada mata kuliah
audio visual yang menugaskan kami untuk membuat sebuah
film pendek. Beberapa teman membutuhkan talent anak-
anak dalam penggarapan film pendek mereka dan Tanah

65
Ombak mampu memenuhi kebutuhan mereka. Hal ini lah
yang akhirnya membuatku bersedia untuk melangkahkan
kaki ke luar kamar dan menaiki angkot menuju Purus III,
walau sebelum sampai di Tanah Ombak aku harus talonsong
(baca: terlewat) sejauh 400 meter ke Toko Buku Gramedia.
Akhirnya aku memesan ojek online dan sampailah di Tanah
Ombak.
Detik itu, kehidupan komaku di Tanah Ombak dimulai.
Ketika aku memasuki ruangan, semua peserta telah hadir
dan berbincang layaknya mereka telah saling kenal
sebelumnya padahal mereka berasal dari daerah yang
berbeda. “Daerah yang berbeda” yang kumaksudkan di sini
adalah mereka berasal dari berbagai kota di Tanah Air.
Mulai dari Pasaman dan Padang Panjang (Sumatra Barat),
hingga ke Pulau Kalimantan. Begitu tahu mereka datang ke
Padang khusus untuk mengikuti pelatihan TBM ini (tentu
diselingi dengan liburan), aku merasa kagum. Jujur! Dan
komaku sebagai seorang relawan yang memang berasal dari
Padang namun masih setengah hati untuk datang, men­da­
pat­kan terguran pertama.
Acara selanjutnya di pelatihan TBM ini adalah field trip
Vespa Pustaka di salah satu objek wisata, yaitu Pantai
Padang. Vespa Pustaka merupakan sebuah program dari
Tanah Ombak, di mana sebuah vespa yang memiliki rak di
masing-masing sisinya diisi dengan puluhan buku yang
nantinya dibawa ke tempat yang ramai pengunjung,
terutama anak-anak karena sebagian besar buku yang
dibawa adalah untuk anak-anak. Untuk menuju Pantai
Padang dapat ditempuh hanya dengan berjalan kaki dari
pusat Tanah Ombak. Sepanjang perjalan menuju lokasi

66 ketika sesuatu harus ditulis


Vespa Pustaka, beberapa peserta sempat bertanya tentang
nama dari jembatan yang kami lewati, namun aku tidak
memiliki jawaban atas pertanyaan mereka. Namun, untung
ada relawan dari Tanah Ombak yang memiliki jawaban. Dan
komaku sebagai peserta yang berasal dari Padang namun
tidak begitu tahu tentang kotanya sendiri, mendapatkan
teguran kedua.
Kami kembali ke Tanah Ombak setelah menggelar
Vespa Pustaka di bawah jembatan. Sunset menemani
perjalan kami. Setelah menunaikan salat Magrib, kami
menyantap makan malam yang telah disediakan. Mulai saat
itu, satu per satu orang mulai berdatangan. Bukan peserta
pelatihan, melainkan mereka yang ingin menyaksikan
launching buku Lelaki dan Tangkai Sapu karya Iyut Fitra.
Ruangan Tanah Ombak yang tidak begitu besar dipenuhi
para penikmat karya Iyut Fitra. Pukul 20.00 WIB acara
launching pun dimulai dengan penampilan pentas seni dari
anak-anak Tanah Ombak, dilanjutkan pembacaan puisi-
puisi Iyut Fitra, kemudian, bedah buku Lelaki dan Tangkai
Sapu. Terakhir, pembacaan puisi oleh Iyut Fitra sendiri. Di
sini aku benar-benar terbecak kagum. Iyut Fitra mampu
menghidupkan puisinya hanya dengan hentakan-hentakan
kakinya yang perlahan melunak. Dan aku mulai sadar, tidak
ada ruginya sama sekali dalam mengikuti pelatihan ini.
Pembacaan selesai, semua orang bertepuk tangan, tidak
terkecuali aku. Pukul 22.00 WIB acara dibubarkan. Mereka
yang hadir kembali ke tempat masing-masing. Begitu juga
aku, setelah pamit kepada instruktur pelatihan, aku kembali
menuju kos diantar oleh salah seorang relawan dari Tanah
Ombak.

ketika sesuatu harus ditulis 67


Keesokan harinya, aku harus kembali ke Tanah Ombak.
Namun ada hal mendesak yang harus kuselesaikan terlebih
dahulu di kampus. Dan akhirnya aku terlambat sampai di Tanah
Ombak. Malu sebenarnya untuk datang karena terlambat, tapi
tanggung jawabku untuk mengikuti pelatih­an masih tertinggal
di Tanah Ombak. Maka aku mem­be­ranikan diri untuk datang
dan aku pun mendapatkan te­gur­an. Dan komaku sebagai
peserta yang tidak disiplin, mendapat teguran ketiga.
Hal lain yang membuatku merasa beruntung ikut pe­la­
tih­an ini adalah akhirnya aku menginjakkan kaki di Gunung
Padang. Sebelumnya Gunung Padang hanya berupa ajakan,
tidak pernah terjamah hingga akhirnya pelatihan ini
membawaku sampai di sini, di puncak Gunung Padang.
Setelah kami memasuki gerbang Gunung Padang, anak-
anak tangga mulai berjejer satu per satu menyambut kami
yang datang dengan antusias. Tidak terhitung berapa jumlah
anak tangga yang harus kami pijaki. Kami terlalu sibuk
untuk menghela napas dan menyemangati diri sendiri,
“Puncaknya sedikit lagi!” Dan ya! Akhirnya sampailah kami
di puncak Gunung Padang. Dari atas sini, kami bisa
menyaksikan laut yang menyatu dengan langit. Pulau-pulau
yang mengambang di atas air. Angin yang berembus lembut
menyapu-nyapu peluh yang membasahi wajah. Ratusan
anak tangga yang harus kami pijaki dan lelah yang tidak
terbilang, terbayar sudah. Komaku sebagai seorang relawan
mulai perlahan membuka mata.
Pukul 17.00 WIB kami mulai melangkahkan kaki
menuruni Gunung Padang. Untuk turun, kami melewati
jalan yang berbeda. Tidak ada lagi anak tangga beton, yang
ada hanya anak tangga darurat yang dibuat dari kayu, tanah

68 ketika sesuatu harus ditulis


yang dibentuk layaknya anak tangga, dan batu yang disusun
ataupun pecahan dinding bata. Dan lagi, aku beruntung
mengikuti pelatihan ini. Sebelum menuju Tanah Ombak,
bus yang kami naiki berhenti di pusat oleh-oleh yang
jaraknya tidak begitu jauh dari Tanah Ombak karena besok
adalah hari terakhir pelatihan dan para peserta akan
kembali ke kota mereka masing-masing. Aku malah ikut
tergoda untuk membeli beberapa. Magrib tiba, dan kami
berjalan menuju Tanah Ombak.
Hujan mulai turun saat malam. Tanah Ombak yang
kebanjiran saat itu, tidak menyurutkan semangat peserta
untuk melanjutkan acara selanjutnya, yaitu sebuah motivasi
tentang kerelawanan yang disampaikan oleh Alvin Teguh. Di
sini, komaku tidak hanya mendapatkan teguran, namun
tamparan berkali-kali. Sekarang aku sadar selama ini aku
menjadi relawan ataupun peserta bukan karena keinginan dari
hati, bukan atas kesadaran bahwa menyenangkan orang lain
maupun diri sendiri adalah hal yang sangat mem­bahagiakan,
melainkan karena tanggung jawab yang diberikan oleh ketua.
Itu tidak salah, menurutku. Hanya saja akan membuat kita
tidak sepenuh hati dalam melakukan­nya. Terpaksa. Dan itu
tidaklah baik. Lihatlah peserta lain yang melakukannya karena
keinginan hati mereka. Mereka bahagia! Mereka bersenang-
senang. Mereka hidup. Sedang­kan aku, koma!
Dan mulai saat itu, aku bertekad untuk tersadar dari
koma. Tidakkah lelah hanya berbaring di atas kasur, se­dang­
kan orang-orang di sekitar kita berbincang dan mengajak
kita untuk tertawa?

ketika sesuatu harus ditulis 69


Vespa Pustaka Demi Anak-anak
Membaca

OLEH: MUHAMAD RISKI

Ruang Baca dan Kreatifitas tanah ombak

Aku kira abang tidak akan ke sini lagi,” kata seorang anak
usia sekolah dasar pada saya, ketika baru datang dengan
Vespa Pustaka tanah Ombak, untuk kemudian membuka
lapak baca di kampong dia, Sebarang Pabayan Padang.
Vespa Pustaka Tanah Ombak, sebuah vespa yang di
modifikasi dengan menggunakan rak buku berbentuk kotak,
berisi buku anak-anak dan novel remaja yang berjumlah 200
sampai 300 judul buku sekali bergerak. Vespa adalah sebuah
kendaraan dengan mesin tanpa rantai dengan posisi mesin
yang di keluarkan pabrikan Piagio Italia, dan pada tahun
50-an mulai diproduksi massal. Tanah ombak memodifikasi
vespa ini menjadi pustaka bergeraknya.
Saat matahari sore mulai menuju arah barat, dengan
langit mulai menguning hambar, para relawan (saya, Obe,
Fahmi dan Is) mulai bersiap-siap menuju target baca,
menghidupkan mesin. Di antara kami, ada yang mulai

71
membawa buku keluar dari Ruang Baca Tanah Ombak,
untuk menyusun buku di rak buku Vespa Pustaka.
Setelah semua kelengkapan untuk buka lapak baca
dianggap oke, Vespa Pustaka pun melaju perlahan, mulai
dari gang Tanah Ombak, menuju kawasan dekat lapangan
bola Sebrang Pembayan, kawasan dekat sungai Batang Arau
Padang. Sepanjang perjalanan, penampilan vespa menarik
perhatian banyak orang. Sebelum sampai ke target lapak
baca, kadang-kadang anak-anak di kampung sebelahnya,
berusaha menyetop, untuk buka di tempatnya saja. Padahal,
tempat mereka ada giliran, belum hari ini.
Vespa Pustaka diresmikan 28 Februari 2017 oleh Duta
Baca Indonesia, Najwa Sihab dengan tagline: Kutemui Kamu
Sampai Membaca. Tiga kali dalam seminggu, Jumat, Sabtu
dan Minggu, Vespa Pustaka menemui anak-anak pem­ba­
canya di tiga tempat yang telah ditentukan, seperti Sebrang
Pem­bayan, Pancalangan serta Muaro Lasak. Ketiganya sepan­
jang pesisir pantai Padang. Dan sesekali daerah yang dipilih
secara acak. Dan anak-anak di tempat-tempat tersebut selalu
riang dan antusias, bahkan para remaja dan orangtua mereka.
Lapak baca Vespa Pustaka dibuka di atas trotoar dekat
lapangan sepak bola menghadap Sungai Batang Arau yang
terlihat kumuh. Di sana juga terlihat kapal kecil dan perahu
tertambat secara acak-acakan.
Di atas plastik bekas baliho, buku-buku dijejer sebanyak
antara 200 sampai 300 judul. Kebanyakan buku cerita anak-
anak, komik dongeng dan lainnya. Buku-buku dipilih
sengaja yang banyak gambarnya.
Mula-mula hanya sedikit anak-anak yang datang. Karena
mereka menduga, itu buku disewa atau bayar. Akhirnya

72 ketika sesuatu harus ditulis


relawan Vespa Pustaka menjelaskan, tidak bayar. Lalu para
relawan mengajak anak-anak membawa banyak temannya
untuk ikutan membaca di lapak baca Vespa Pustaka. Dengan
bersemangat si anak berlari mengajak kawan-kawan. Tak
lama, datang sekelompok anak yang belum mandi sore,
datang dengan riang. Mereka mula-mula melihat-lihat buku,
lalu satu dua mengambil untuk membaca. Pada saat itu,
terlihat pula satu dua orang ibu-ibu ikutan membaca,
sembari memperhatikan anak-anak yang memilih-milih
buku. Di antara mereka ada yang putus sekolah dan masih
taman kanak-kanak.
Antusias mereka menjadi semangat para relawan untuk
kembali ke sana. Walau ada beberapa anak yang hanya
melihat gambar dan hanya membaca gambar, itu sudah
kebahagiaan bagi kami, juga sebuah penyemangat bagi
relawan sebelum lapak baca di tutup. Tapi terkadang ada
yang buat hati relawan sedih di saat hari hujan dan tak bisa
membawa buku bagi anak-anak yang mulai suka baca. Juga
kadang tak bisa buka lapak karena mesin vespa rusak dalam
perjalanan. Memperbaiki Vespa kalau rusaknya relatif
parah, cukup lama. Pas Vespa selesai diperbaiki, hari pun
kelam, tak mungkin lagi membawa bacaan ke tempat anak-
anak yang mungkin masih menunggu.
“Bang, baa kok indak ado abang datang lai (Bang, kenapa
kok gak datang-datang)” Tanya seorang seorang anak kecil
yang menghampiri para relawan hari Minggu depannya saat
mesin Vespa baru dimatikan. Mereka kadang kecewa kalau
berharap Vespa Pustaka datang sesuai jadwal ke tempat
mereka, tak juga muncul-muncul karena rusak.
Menjadi relawan Vespa Pustaka, banyak hal mem­ba­

ketika sesuatu harus ditulis 73


hagia­kan. Kami tak hanya menyediakan buku untuk dibaca
anak-anak. Tapi juga mendongeng kadang-kadang,
membacakan cerita untuk anak-anak yang belum pandai
baca, serta sesekali membawa buku tulis sebagai hadiah bagi
yang ikutan membaca. Kadang anak-anak tidak semua suka
membaca, tidak apa. Yang penting, bergelut dan bermain
ketika itu, masih dekat dengan buku-buku.
Vespa Pustaka, sangat besar artinya bagi anak-anak
pinggiran yang kurang akses pendidikan, terutama dari
keluarga miskin tapi pintar. Buku-buku Vespa Pustaka tentu
sangat membantu anak-anak dan keluarga di sekitar lapak
baca dibuka Vespa Pustaka.
Vespa Pustaka Tanah Ombak, adalah bagian dari
program penyebaran semangat meningkatkan minat dan
budaya baca. Ia sengaja menjangkau tempat di luar ruang
baca, karena anak-anak Tanah Ombak, untuk saat ini
kebutuhan dasar bacaannya sudah terpenuhi. Kini melalui
Vespa Pustaka, menguatkan semangat berbagi.

74 ketika sesuatu harus ditulis


Pedagang Tua

OLEH: MUTIARA SYANDI

Pasar Raya Barat, Kota Padang, Sumatra Barat, berada di


Jalan Fase 7 di bawah Gedung Matahari Lama. Perjalanan
menuju pasar tersebut bisa ditempuh dengan angkutan
umum dari berbagai arah. Pasar dengan konsep gedung
lama yang sebagian gedungnya masih belum selesai
dibangun, sehingga kita akan menemui beberapa sisi pasar
yang masih kumuh.
Ketika sampai di sana, kita akan menjumpai beberapa
pengemis renta yang duduk di pinggir jalan, di sela-sela
pedagang, sambil mengharap belas kasih manusia yang
berlalu lalang. Deretan toko berbaris, saling tersusun rapi,
di pinggir dan didalam gedung.
Pedagang yang saling menjajakan dagangan, bersaing
satu sama lain, berteriak dengan ciri khas bahasa daerah
yang masih sangat kental memanggil dan menawarkan
dagangan, berharap ada pembeli yang berminat untuk
berbelanja di lapak mereka. Dagangan yang disediakan juga

75
berkualitas bagus, dengan harga standar. Kita juga akan
menemui beberapa toko yang menyediakan barang yang
menjadi ciri khas dari Kota Padang.
Di satu toko, kutemui benda yang berhasil mencuri
perhatianku. Kudekati toko itu. Kulihat wajah pedagang
yang menatap aneh ke arahku, seolah ragu menawarkan
barang dagangannya. Kudekati pedagang renta itu,
kutanyakan harga benda tersebut. Dengan perlahan, dia
tersenyum dan berbicara dengan dialek yang sangat kental.
Tanpa ragu, benda itu kubeli. Senyum yang awalnya ragu,
kembali merekah, menjadi sangat ramah dan bersahaja. Ya,
dia adalah pedagang renta yang berjuang mencari nafkah di
hari senjanya.

76 ketika sesuatu harus ditulis


Move On Melalui TBM

OLEH: NICKY PUSPITASARI

B icara soal Taman Bacaan Masyarakat (TBM), pasti


berkaitan dengan literasi. Literasi tidak hanya sekedar
membaca dan menulis, tetapi keberaksaraan yang yang
beragam. Ada bermacam-macam keberaksaraan atau
literasi, misalnya literasi komputer, literasi media, literasi
teknologi, literasi ekonomi, literasi informasi, bahkan ada
literasi moral. Seseorang dikatakan literat jika ia sudah
memahami sesuatu karena membaca informasi yang tepat
dan melakukan sesuatu berdasarkan pemahamannya
terhadap isi bacaan tersebut (haidarism.wordpress.com).
Banyak data yang mencatat bahwa Indonesia selalu
berada di peringkat bawah mengenai literasi, salah satunya
data dari UNESCO bahwa indeks minat baca Indonesia baru
mencapai 0,001. Namun, saat ini Indonesia sedang berusaha
meningkatkan literasi, salah satunya melalui TBM. Saat
momen Hardiknas, 2 Mei 2017 lalu, Presiden RI Joko
Widodo mengadakan pertemuan dengan pegiat Literasi

77
Indonesia dan sangat mengapresiasi kegiatan-kegiatan yang
sudah dilakukan oleh para pegiat literasi. Hasilnya, ada
program donasi buku melalui Kemdikbud bekerja sama
dengan BUMN PT. Pos Indonesia untuk mendistribusikan
buku secara gratis setiap bulan di tanggal 17.
Keberadaan TBM saat ini tentunya tidak hanya sekedar
mengajak masyarakat untuk membaca dan/atau menulis,
tetapi yang lebih penting adalah adanya unsur pemberdaya­
an masyarakat. Sehingga keberadaan TBM memiliki impact
bagi masyarakat dan bisa menjadi solusi terhadap kebutuh­
an dan masalah yang terjadi di masyarakat melalui literasi.
Hal tersebut menjadi sebuah tantangan bagi pengelola dan
relawan TBM ketika kondisi masyarakat cukup beragam.
Literasi adalah hal sangat mendasar untuk kemajuan
suatu bangsa. Literasi dapat mengubah seseorang yang
tadinya tidak tahu menjadi tahu, tidak bisa menjadi bisa,
bahkan dapat mengubah kondisi sosial budaya masyarakat.
Salah satunya bisa dilihat di TBM Tanah Ombak, dengan
lingkungan yang berlokasi di pesisir Pantai Padang.
“Gang Setan”, menjadi sebutan yang ber-imej kurang baik
bagi masyarakat sekitar TBM Tanah Ombak. Kampung
nelayan dengan lingkungan kumuh ini dihuni warga yang
memiliki kebiasaan buruk. Masyarakat gemar berjudi dan
mengonsumsi minuman keras, anak-anak tumbuh di tengah
caci-maki sehari-hari, bahkan ada remaja yang sudah
terkontaminasi narkoba. “Memang tidak mudah mendiri­
kan TBM di tengah-tengah masyarakat seperti ini. Namun,
ini merupakan bagian dari usaha untuk menyelamatkan
generasi baru yang lebih baik,” ucap Bapak Suhendri, salah
satu pendiri TBM Tanah Ombak.

78 ketika sesuatu harus ditulis


Strategi TBM Tanah Ombak yang sudah dilakukan, salah
satunya melalui kesenian bermusik dan teater. Membuat
kegiatan semenarik mungkin, khususnya untuk anak-anak,
hingga nantinya berliterasi di TBM Tanah Ombak. Ada pula
kegiatan mendongeng, hidroponik, menggambar, bermusik,
sampai membuat film.
Saat ini, beberapa kebiasaan buruk yang terjadi di
masyarakat sekitar TBM Tanah Ombak sedikit demi sedikit
mulai berubah ke arah yang lebih baik, di antaranya lingkungan
mulai ditanami sampai membuat hidroponik, anak-anak yang
tadinya berbicara kasar sedikitnya mulai dikurangi bahkan
tidak berbicara kasar lagi, anak-anak yang tadinya suka di
warnet dan menonton TV sekarang mulai suka membaca buku
dan memiliki cita-cita yang lebih baik dan beragam.
Kebermanfaatan TBM di masyarakat tentunya kembali
kepada pengelola dan relawan sebagai change agent me­nye­
suai­kan dengan konsisi lingkungan masyarakat itu sendiri.
Contoh lain lagi dengan TBM Sukamulya Cerdas yang berada
di pinggiran Kota Bandung. Jika dibandingkan dengan TBM
Tanah Ombak yang berada di pesisir pantai, masyarakat di
TBM Sukamulya Cerdas mendekati indi­vidualis­tis, namun
masih ada beberapa yang partisipatif. Jika di TBM Tanah
Ombak masyarakatnya banyak merantau, di TBM Sukamulya
Cerdas justru banyak juga masyarakat pendatang.
Masyarakat TBM Sukamulya Cerdas kebanyakan pe­da­
gang kecil, mungkin karena jarak dengan pasar tradisional
yang cukup dekat. Masih banyak para orangtua yang lebih
mementingkan berdagang dibandingkan dengan pendidik­
an anak-anaknya, sehingga masih banyak anak yang putus
sekolah.

ketika sesuatu harus ditulis 79


TBM Sukamulya Cerdas berusaha merangkul masyara­kat
mulai dari anak usia dini, remaja hingga orang dewasa.
Kegiatan yang dilakukan juga cukup beragam, menyesuai­kan
dengan kebutuhan masyarakat. Di antaranya mengajak anak
berkesenian tradisional; angklung, mendongeng, untuk para
remajanya melalui literasi Teknologi Informasi dan Ko­mu­ni­
kasi (TIK), seperti komputer dasar, desain grafis, ada juga
membuat film, dan jurnalistik. Untuk orang dewasa ada
keterampilan handycraft bagi perempuan, se­hing­ga menjadi
sebuah wirausaha. “Dengan membuat kegiatan-kegiatan yang
kreatif dan bermanfaat bagi ma­sya­rakat, sebenarnya bisa
melatih keakraban, kerja sama, ke­kom­pakan, dan ber­so­sia­li­
sasi, sehingga mereka mene­mu­kan hal-hal baru,” ucap Ibu Rd.
Nonih Suarsih, Pendiri TBM Sukamulya Cerdas.
Saat ini, beberapa masyarakat yang sudah berkegiatan di
TBM Sukamulya Cerdas dapat merasakan manfaatnya,
seperti anak yang putus sekolah melanjutkan kembali seko­
lah­nya dengan tambahan keterampilan di bidang TIK. Lalu,
para perempuan atau ibu-ibu rumah tangga kini dapat
mem­bantu suaminya secara ekonomi melalui wirausaha
handycraft.
TBM yang tumbuh dan berkembang dari dan untuk
masyarakat tentunya harus dapat menyesuaikan diri dengan
kondisi masyarakat. Tidak mudah mengajak masyarakat
untuk sadar akan pentingnya literasi. Namun, melalui TBM
dengan berbagai kegiatan yang menarik, kreatif, dan
inovatif, akan terasa perubahan masyarakat; tentunya ma­
sya­rakat yang literat.

80 ketika sesuatu harus ditulis


Dendang Tanah Purus

OLEH: NURRY WAHYUNINGSIH

Sabtu, 29 Juli 2017 – Senin, 31 Juli 2017

Hari pertama
Panas, itulah suasana yang kurasakan saat tiba di Tanah
Minang, Padang. Ditambah saat aku memasuki sebuah
rumah warga yang berada di gang kecil yang dulu dijuluki
sebagai Gang Setan oleh warga sekitar. Mulai kurebahkan
diriku sebentar di atas lantai untuk sejenak melepas penat
dan lelah. Tiba-tiba datanglah anak-anak yang akhirnya
kutahu mereka adalah anak-anak Tanah Ombak, sebuah
tempat baca dan pustaka yang didirikan oleh Bang
Syuhendri dan Pak Yusrizal KW. Mereka menyapa dan
bertanya kepada diriku dengan penuh canda dan tawa.
Nama, asal aku datang, di mana aku mengajar, apa yang
kuajarkan, semua kujawab dan kujelaskan kepada mereka.
Begitu banyak pertanyaan yang mereka ajukan. Bahkan
kami pun sempat saling bertukar bahasa, bahasa Padang,
Jawa, dan sunda.

81
Dendang Malam.
Tiba waktunya aku dan kawan-kawanku menyaksikan
adegan demi adegan yang mereka suguhkan. Mulai dari
sajak, menyayi, menari, sampai memainkan alat musik.
Surpriseeeeeee, di luar dugaanku. Anak yang tinggal di
daerah yang dulu katanya kumuh dan kurang sehat (baik
dalam hal kebersihan dan pergaulan), mampu bergaya
layaknya artis-artis yang sudah berpengalaman. Wajah nan
aduhai, gaya yang lucu, ekpresi yang segar itulah bakat alami
yang memang sudah Tuhan anugerahkan kepada mereka di
tengah-tengah kekurangan yang keluarga mereka miliki.
Mulai timbul pertanyaan yang mencuat dalam hati,
mengenai kenapa mereka bisa seekpresif itu, siapa orang tua
mereka, bagaimana mereka hidup dengan keceriaan, dan
bagaimana mereka bersekolah. Satu per satu kucari tahu
walaupun belum sempurna. Banyak sekali latar belakang
yang mewarnai kehidupan mereka, itulah informasi yang
kuperoleh dari Bu Des dan Bang Hendri sebagai relawan di
sini. Beberapa warga di sini ternyata hanya mengontrak
rumah dari generasi ke generasi. Banyak pula wanita yang
menikah di usia 17 tahun, ibu-ibu mereka yang suka berjudi,
orang tua mereka yang berkata dan berbuat kasar, bahkan
melakukan hubungan suami istri di depan anak-anak
mereka. Ya, memang karena di rumah tersebut tidak ada
sekat yang memisahkan siapa anak dan siapa orang tua,
bagaimana seharusnya anak dan bagaimana seharusnnya
orang tua. Budaya kebersihan yang kurang, tidak adanya
MCK di beberapa rumah, adalah beberapa hal yang semakin
membuatku terkaget-kaget karena tidak pernah ku­ba­yang­
kan aku pernah tinggal di daerah seperti ini.

82 ketika sesuatu harus ditulis


Cita-cita
Anda pasti sering mendengar mengenai cita-cita anak,
bukan? Ya, kalau tidak dokter, polisi, atau ABRI. Spektaku­
ler, menjadi Pegawai Bank dan artis yang dapat pergi ke
Jakarta, itulah cita-cita kebanyakan anak Tanah Ombak.
Pegawai Bank adalah profesi yang terinspirasi dari salah satu
anak Jalan Purus 3, yang sudah berhasil menjadi pegawai
Bank. Artis adalah cita-cita dari Yudi, salah satu anak Tanah
Ombak yang sudah putus sekolah dari kelas 4 SD di­ka­re­na­
kan dia berkelahi dengan kawannya yang mengakibatkan
dia harus meninggalkan bangku sekolah. Memang, bakat-
bakat keterampilan, rasa percaya diri, dan berani 100%
itulah yang kupercaya dan tidak kuragukan lagi bahwa
mereka memang akan bisa menjadi artis, insya Allah. Aku
percaya suatu saat Tuhan akan mendengar doa kalian jika
kalian mau berusaha, berikhtiar, dan tentu saja berdoa
kepada Allah SWT.

Harapan
Seandainya saja aku bisa tinggal lebih lama bersama
mereka, ingin rasanya aku berbagi kasih dan sayang. Simpel,
dengan bercanda bersama mereka dan menasihati mereka
mengenai tata krama, agama, dan bagaimana mereka harus
bersikap terhadap lawan jenis. Kutaruh harapanku khusnya
kepada anak-anak wanita Tanah Ombak, agar mereka bisa
lebih santun, lebih anggun, lebih halus dan lebih berakhlak
sebagai wanita muslim sesungguhnya. Kugantungkan
kepada generasi anak laki-laki, agar suatu saat mereka bisa
menjadi imam yang soleh, lebih menghargai dan melin­
dungi kawan wanitanya. Dan tentu saja mereka tetap

ketika sesuatu harus ditulis 83


mempertahankan persahabatan dan bisa menjadi the next
relawan Tanah Ombak.

84 ketika sesuatu harus ditulis


Saya dan Komunitas Ngejah

OLEH: RULI

Ketika Komunitas Ngejah berdiri, saya masih menempuh


pendidikan di Tasikmalaya, tepatnya di STMIK DCI
Tasikmalaya. Waktu itu, saat saya pulang ke kampung ha­
laman yaitu Kampung Sukawangi, Desa Sukawangi, Ke­ca­
matan Singajaya, Kabupaten Garut, sesekali saya ter­libat
membantu kegiatan Komunitas Ngejah. Pada awal Ko­mu­
nitas Ngejah berdiri tak banyak kegiatan yang digelar, hanya
diskusi kecil yang sering digelar di kamar pribadinya Kang
Opik. Diskusi-diskusi menyoal isu-isu kampung, termasuk
isu kepemudaan dalam membangun kampung halaman.
Pada gelaran diskusi-diskusi kecil tersebut, saya selalu
berusaha menyimak dan mengamini. Selang dua tahun,
tepatnya pada bulan Juli 2012, saya berhasil menyelesaikan
kuliah dan memutuskan untuk menetap di kampung. Sejak
saat itu, saya tak pernah beranjak jauh dari sekretariat
Komunitas Ngejah yang tak lain adalah rumah orang tua,
yang kemudian saat ini seratus persen sudah menjadi ruang
segala aktivitas Komunitas Ngejah.

85
Kedua orang tua pernah menyuruh saya untuk mencoba
mencari penghidupan ke kota. Maklum, tinggal di kampung
dengan pekerjaan menjadi guru honorer, secara finansial tak
ada yang bisa diharapkan. Namun, sejauh ini ada perasaan
betah yang tak bisa saya tolak untuk tetap berada di
kampung. Ya, sejauh ini saya menikmati kehidupan kam­
pung halaman, sebuah kampung paling selatan di Kabu­
paten Garut, tempat saya lahir dan tumbuh dewasa, dengan
segala pernak-perniknya.
Seperti yang saya tulis di atas, di kampung saya bekerja
sebagai guru honorer, namun sebenarnya pekerjaan utama
saya bukan itu, melainkan menghidupkan Komunitas
Ngejah. Hampir di setiap kegiatan Komunitas Ngejah saya
selalu terlibat. Namun keterlibatan saya bukan memimpin
jalannya kegiatan atau berbicara di depan orang, akan tetapi
berusaha mendokumentasikan seluruh kegiatan Komunitas
Ngejah, baik dalam bentuk foto ataupun video sederhana.
Foto dan video sederhana tersebut kemudian akan saya
unggah ke media sosial dan blog Komunitas Ngejah.
Selain mendokumentasikan kegiatan, saya juga berbagi
tugas dengan relawan yang lain untuk melayani para
pengunjung yang hendak membaca atau meminjam buku.
O ya, para pengunjung yang datang ke Komunitas Ngejah
tidak selalu datang untuk membaca dan meminjam buku.
Ada juga yang hendak membuat blog, atau sekedar mem­
buat e-mail, dan biasanya mereka akan menemui saya.
Saya juga kerap mengajak anak-anak belajar bernyanyi.
Tujuannya bukan melatih anak-anak untuk menjadi
penyanyi, melainkan supaya anak-anak selalu senang datang
ke saung Komunitas Ngejah. Saya yakin, keriangan harus

86 ketika sesuatu harus ditulis


selalui diproduksi di saung kami. Hal itu untuk menarik
para pengunjung terutama anak-anak agar betah. Karena
kalau hanya menjajakan buku, gerakan budaya baca akan
sangat lambat sekali untuk berhasil. Perlu usaha-usaha lain
memancing orang datang. Jika sedang senggang, saya juga
coba membuat lagu-lagu sederhana tentang gerakan
Komunitas Ngejah. Salah satu lagunya saya tulis di bawah
ini:

Gerakan Kampung Membaca


Dari kampung ke kampung
untuk besama-sama mengenal dunia
Dari kampung ke kampung
untuk besama-sama mengenal dunia
aiueo...
aiueo... ...

Gendong lagi buku-buku


Digendong lagi
aiueo...
aiueo...

Ayo buka buku


Ayo buka buka buka buka buka buku
Ayo baca buku
Ayo baca baca baca baca baca buku
aiueo...
aiueo...

ketika sesuatu harus ditulis 87


Selain sering dinyanyikan oleh anak-anak di saung
Komunitas Ngejah, lagu ini kemudian menjadi semacam
lagu wajib yang sering kami dendangkan sewaktu kami
menempuh perjalan menuju lokasi dan saat kami menggelar
Gerakan Kampung Membaca. O ya, beberapa kali lagu ini
juga sempat dinyanyikan oleh anak-anak Komunitas Ngejah
pada gelaran pameran buku, salah satunya pada gelaran
pameran buku Garut
Tentang Gerakan Kampung Membaca atau sering kami
singkat GKM, kegiatan ini merupakan kegiatan kampanye
membaca dengan cara datang langsung ke kampung-
kampung terluar di Kabuapten Garut dan Kabupaten
Tasikmalaya. Waktu itu kami sepakat menggulirkan GKM
setelah Komunitas Ngejah berdiri dua tahun. Tujuannya
untuk memaparkan virus membaca ke daerah-daerah lain,
selain kampung halaman saya dan kampung-kampung
tetangga. Setiap mengunjungi kampung sasaran, kami para
relawan selalu menggendong beberapa tas yang berisi buku.
Sesampainya di kampung sasaran, kami akan menyampai­
kan tujuan kedatangan kepada para tetua kampung lalu
setelah mendapat restu akan mengumpulkan masyarakat
yang biasanya didominasi oleh anak-anak dan remaja serta
sebagian kecil ibu-ibu. Pada gelaran itu para relawan akan
berbagi tugas, untuk menyampaikan pentingnya membaca
di hadapan para peserta GKM, bermain game, mendongeng,
bernyanyi, dan mendampingi mereka untuk membaca
bersama minimal 30 menit.
Ada pun relawan Gerakan Kampung Membaca, mereka
berasal dari berbagai latar belakang dan daerah. Sebagian
kecil relawan adalah teman-teman mahasiswa dari luar kota

88 ketika sesuatu harus ditulis


yang sengaja datang untuk membantu GKM. Ada juga klub
mobil Trooper Nusantara yang beberapa kali mebantu
masalah transportasi. Sedangkan sebagian besar relawan
GKM adalah para pelajar alumni Pelatihan Jurnalistik
Pelajar Komunitas Ngejah yang kami gelar setiap tahun.
Pelatihan Jurnalistik Pelajar adalah ruang belajar bagi
teman-teman pelajar di sekitar Garut bagian selatan dan
Tasikmalaya bagian selatan tentang ilmu jurnalistik dasar.
Para peserta PJP kami kenalkan dengan ilmu menulis berita,
membuat blog, membuat video, dan fotografi, serta kami
berikan pemahaman tentang bagaimana menggunakan
media sosial dengan baik.
Di luar kegiatan yang saya ceritakan, ada banyak kegiatan
lainnya yang digelar Komunitas Ngejah yang muaranya pada
ikhtiar bagaimana menciptakan manusia literat di kampung
kami dan kampung-kampung sekitar. Sebagaimana salah
satu jargon Komunitas Ngejah “Ikhtiar menghidupkan
denyut jantung kampung halaman melalui gerakan literasi”,
sejauh ini kami terus berupaya bergerak di kampung dengan
segala keterbatasan kami; belajar berkarya, belajar berbagi,
dan belajar bersama melalui jalan literasi.
Setelah tujuh tahun lahir dan bergulir, kini masyarakat
di kampung kami dan kampung-kampung yang terpaparkan
gerakan Komunitas Ngejah sudah mulai akrab dengan buku,
terutama mereka anak-anak dan remaja. Ada juga beberapa
orang remaja anggota Komunitas Ngejah yang sudah berani
belajar membuat video sederhana, entah itu untuk
mendokumentasikan kegaiatan pribadinya, kampungnya,
dan sekolahnya. Beberapa orang lainnya sudah mulai
memiliki blog dan mengisinya dengan tulisan. Ada pula

ketika sesuatu harus ditulis 89


yang mulai sibuk jualan dengan menggunakan media sosial.
Dan saya Masih betah di kampung menjadi guru honorer
serta kuncen Komunitas Ngejah, sambil tak henti-hentinya
bergerak dan membangun harapan semoga gerakan kami
dapat bermanfaat.

90 ketika sesuatu harus ditulis


Magang Literasi untuk Mengenal
Tanah Ombak

OLEH: RIAN

Tanah Ombak adalah ruang seni yang sekaligus menjadi


ruang baca, ruang bermain, dan ruang berekspresi bagi
anak-anak yang tinggal di kawasan kumuh kampung
nelayan yang dicap buruk oleh pemerintah setempat karena
perilaku dan perbuatan menyimpang yang sering terjadi di
sekitar kawasan ini.
Selalu mengeluarkan kata-kata kotor sudah menjadi
kebiasaan masyarakat di kawasan ini. Mabuk-mabukan,
memilih untuk tidak mengenal pendidikan baik formal
maupun nonformal, bahkan anak-anak usia dini melihat
orang dewasa yang berkunjung ke kawasan tersebut sebagai
mangsa untuk lawan jenis. Di sisi lain, masyarakat di sini
juga lebih suka disebut sebagai keluarga miskin. Hal ini
karena agar mereka mendapat bantuan dari pemerintah.
Tidak hanya itu, mayoritas penduduk di kawasan ini
memiliki pekerjaan sampingan yang melanggar hukum,
seperti pembunuh bayaran, pembisnis narkoba, PSK, copet,

91
jambret, rampok , dan masih banyak lagi yang tentunya
melanggar hukum.
Seorang narasumber yang tidak saya sebut namanya
mengungkapkan bahwa ketika pemerintah memberikan
bantuan untuk para janda, maka semua istri di kawasan ini
akan berubah status menjadi janda, tentunya hanya agar
mendapatkan bantuan tersebut. Ia juga menambahkan
bahwa, ketika Jokowi, Presiden Republik Indonesia,
berkunjung melihat keadaan di kawasan kampung nelayan
ini, pihak pemerintah, dalam hal ini Wali Kota Padang,
Sumatra Barat, mengalihkan kunjungan Presiden tersebut
ke tempat lain.
Ruang baca Tanah Ombak didirikan pada tahun 2014
oleh dua orang sahabat yaitu Syuhendri yang kerap disapa
Om Hen dan Yusrizal KW yang lebih kerap disapa Bang
KW. Kehadiran Tanah Ombak di tengah-tengah kawasan
ini sering mendapat penolakan oleh warga setempat,
namun kegigihan Om Hen, Bang KW, bersama para
relawan Tanah Ombak, akhirnya masyarakat mulai bisa
menerima kehadiran Tanah Ombak dan mengizinkan
anak-anakk mereka untuk bermain dan berekspresi di
Tanah Ombak.
Meskipun baru beberapa tahun berdiri, Tanah Ombak
sudah meraih beragam prestasi. Mulai dari penampil terbaik
festival teater anak-anak nasional 2014 di Taman Ismail
Marzuki Jakarta, Juara 1 regional Sumatra pada Gramedia
Reading Community Competition 2016, Peraih Anugerah
Literasi Minangkabau 2016 sebagai Komunitas Terbaik 1
Sumatra Barat dari Gubernur Sumatra Barat, sampai
undangan makan bersama Presiden Republik Indonesia di

92 ketika sesuatu harus ditulis


Istana Negara sebagai tokoh literasi inspiratif, dan masih
banyak lagi.
Kini masyarakat di kawasan ini memberikan kepercaya­
an penuh untuk pendidikan anak mereka kepada Tanah
Ombak, baik itu pendidikan formal maupun nonformal,
termasuk segala kebutuhan pendidikan seperti seragam
sekolah, alat tulis, hingga uang pembayaran sekolah.
Kali ini, saya bersama sembilan belas peserta magang
literasi lainnya dari berbagai provinsi berkesempatan untuk
mempelajari semua kegiatan di Tanah Ombak agar bisa
diterapkan di TBM (Taman Bacaan Masyarakat) masing-
masing. Kegiatan magang literasi ini diadakan dan
difasilitasi oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia.
Di hari ketiga magang literasi, kami disuguhi acara
pertunjukan seni musik dan tari persembahan dari anak-
anak Tanah Ombak yang tinggal di kawasan kampung
nelayan. Acara tersebut juga dihadiri penyair-penyair
ternama di Kota Padang, seperti Iyut Fitra, Rusli Marzuki
Saria, Heru Joni Putra, Fariq Alfaruqi, Pinto Anugrah,
Emilia Dwi Cahya, Deddy Arsya. Turut hadir pula anggota
DPD RI Nofi Candra dan tokoh-tokoh seni seperti S Metron,
Hermawan An, Gusfen Khairul, Asril Koto, Syarifuddin
Arifin, dan Ivan Adilla.
Ini membuktikan bahwa, setelah kehadiran Tanah
Ombak, imej kawasan ini telah berubah, yang tadinya buruk
menjadi sangat baik. Tidak hanya itu, pihak pemerintah juga
telah menetapkan kawasan ini sebagai ikon Kota Padang,
Sumatra Barat. Sangat merugi jika Anda tidak berkunjung
ke kawasan ini saat Anda berada di Kota Padang.

ketika sesuatu harus ditulis 93


Kami banyak sekali mendapatkan dari Tanah Ombak,
terutama saya. Dan kini saya baru menyadari bahwa jangan
sampai kita merasa direndahkan oleh apa atau siapa, karena
semua itu adalah awal dari kehancuran. Saat kita merasa
direndahkan, maka merendahlah serendah-rendahnya, agar
tidak ada lagi yang bisa merendahkan kita, demikian ucapan
Ibu Lili, istri salah seorang pendiri Tanah Ombak.
Suatu saat nanti jika masih ada kesempatan, saya akan
kembali berkunjung ke Tanah Ombak untuk menemui
senyum mereka: anak-anak Tanah Ombak.

94 ketika sesuatu harus ditulis


Daftar Penulis dan Peserta
Residensi Litersi di Tanah Ombak

NAMA PESERTA LEMBAGA/ TBM

Azizah Umami TBM USK


Edi Dimyati Kampung Buku
Edy Fajar Prasetyo Serambi
Febrina Odelia PKBM Hanuba
Hamdani Nur S TBM Smart
Hanny Husein TBM An-Nisa
Harnita Rahman Kata Kerja
Heti Wulan Sabrila PKBM Sumber Ilmu
Indra Komara TBM Percisa
Juhaina Amin Rumah Baca Bakau
Lia Nurlita TBM Medal Sari
Lutfi Retno Wahyudyanti Taman Baca Melati
Masykura Safitri Hadi Komunitas Ruang Togok
Muhammad Riski RBK Tanah Ombak
Mutiara Syandi Yayasan Roasro
Nicky Puspitasari PKBM Suka Mulya
Nurry Wahyuningsih TBM Warabah
Rismiati TBM Az-zahra
Ruli Lesmana Yayasan Komunitas
Wahyu Rian Eka Saputra Ngejah
Muhammad Riski TBM Kedai Proses
Ruang Baca Tanah Ombak

95

Anda mungkin juga menyukai