Anda di halaman 1dari 202

STATUS HAK ATAS TANAH YANG TERGENANG BANJIR ROB

PADA PEMBANGUNAN JALAN TOL SEMARANG - DEMAK


TERINTEGRASI TANGGUL LAUT DI KABUPATEN DEMAK,
PROVINSI JAWA TENGAH

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh


Sebutan Sarjana Terapan di Bidang Pertanahan
Pada Program Studi Diploma IV Pertanahan

Disusun Oleh :
REINHAT JULIAN AFERO
SINAGA NIT.17263039
Manajemen Pertanahan

KEMENTERIAN AGRARIA DAN TATA


RUANG/ BADAN PERTANAHAN NASIONAL
SEKOLAH TINGGI PERTANAHAN NASIONAL
YOGYAKARTA
2021
STATUS HAK ATAS TANAH YANG TERGENANG BANJIR ROB
PADA PEMBANGUNAN JALAN TOL SEMARANG - DEMAK
TERINTEGRASI TANGGUL LAUT DI KABUPATEN DEMAK,
PROVINSI JAWA TENGAH

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh


Sebutan Sarjana Terapan di Bidang Pertanahan
Pada Program Studi Diploma IV Pertanahan

Disusun Oleh :
REINHAT JULIAN AFERO
SINAGA NIT.17263039
Manajemen Pertanahan

KEMENTERIAN AGRARIA DAN TATA


RUANG/ BADAN PERTANAHAN NASIONAL
SEKOLAH TINGGI PERTANAHAN
NASIONAL YOGYAKARTA
2021

i
HALAMAN PENGESAHAN

ii
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI

iii
MOTTO

“Janganlah takut, sebab Aku menyertai engkau, janganlah bimbang, sebab


Aku ini Allahmu; Aku akan meneguhkan, bahkan akan menolong engkau
dengan tangan kanan-Ku yang membawa kemenangan”
_Yesaya 41:10_

“Hati orang berpengertian memperoleh pengetahuan, dan telinga orang


bijak menuntut pengetahuan”
_Amsal 18: 15_

“The privilege of a lifetime is being who you are”


_Joseph Campbell_

“Berpikir positif dan bersikap positif menarik kedamaian dan kebahagiaan,


itu juga menuntun kita ke jalan pencapaian dan kesuksesan”
_Anurag Prakash Ray_

“Tragedi dalam kehidupan adalah saat kita terlalu cepat menjadi tua,
namun terlambat untuk jadi bijaksana”
_Benjamin Franklin_

“Jangan melakukan suatu perbuatan yang kita sendiri tidak menyukai


perbuatan itu ketika orang lain melakukannya, hidup perlu komitmen”
_Reinhat Julian Afero Sinaga_

i
HALAMAN PERSEMBAHAN

Puji syukur dan kemuliaan hanya bagi-Mu, Tuhan Yesus Kristus atas
kuasa, kekuatan, kasih karunia, penyertaan dan perkenan-Mu selama
menempuh pendidikan. Berbagai hal susah dan senang, tawa dan tangis
telah kurasakan, biarlah menjadi warna hidup yang ku kemas
menjadi pelajaran yang berharga.

Dengan penuh cinta dan kasih sayang, karya ini ku persembahkan kepada:

Orang Tuaku terkasih dan tersayang, Jaiben Sinaga dan Riana br


Mangunsong
atas segala doa yang tiada henti, kasih sayang, dukungan dan motivasi yang selalu
diberikan.

Istriku tercinta, Christiany Romauli Tambunan


atas semua doa, dukungan, semangat dan selalu sabar mendampingiku dalam
suka maupun duka.

Mertuaku tersayang, Silius Sarma Tambunan dan Megawati br Nababan


atas doa, dukungan, dorongan semangat yang diberikan selama menjalani
pendidikan.

Saudaraku terkasih, bang Ringga Christian Sinaga/kak Desi Natalia


Cakraningrat dan adikku Rio Alfando Sinaga
yang selalu memberi semangat, dukungan, dan motivasi.

Iparku tersayang, Dramendra Simbolon/Dwi Irianti Tambunan, Octoviani


Tambunan, Grace Tambunan
yang selalu memberi semangat, dukungan, dan motivasi.

Keponakanku tersayang, Rafeila br Sinaga dan Dean Jazeel N Simbolon


yang selalu menjadi penghibur hatiku.

v
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas
segala berkat dan karunia yang diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi yang berjudul “Status Hak Atas Tanah Yang Tergenang Banjir Rob
Pada Pembangunan Jalan Tol Semarang-Demak Terintegrasi Tanggul Laut
di Kabupaten Demak, Provinsi Jawa Tengah” dengan lancar. Penulis berharap
skripsi ini dapat membantu lembaga tempat penulis mengabdi, Kementerian
Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional sebagai sumber informasi
dalam mengambil langkah kebijakan terkait tanah musnah.
Skripsi ini disusun untuk memenuhi persyaratan dalam rangka
menyelesaikan pendidikan Program Diploma IV Pertanahan pada Sekolah Tinggi
Pertanahan Nasional Yogyakarta. Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi
ini dapat diselesaikan berkat bimbingan, motivasi, pemikiran, maupun doa dari
berbagai pihak. Oleh sebab itu, perkenankan penulis menyampaikan ucapan
terima kasih kepada yang terhormat:
1. Bapak Dr. Ir. Senthot Sudirman, M.S. selaku Ketua Sekolah Tinggi
Pertanahan Nasional Yogyakarta;
2. Bapak Sarjita, S.H., M.Hum selaku Dosen Pembimbing I sekaligus Anggota
Tim Penguji yang telah meluangkan waktu guna memberikan bimbingan,
saran, petunjuk, serta pemikiran dengan penuh perhatian dalam penyelesaian
skripsi ini;
3. Bapak Yohanes Supama, S.H., M.Hum selaku Dosen Pembimbing II atas
motivasi, masukan, arahan serta bimbingannya dalam penyelesaian skripsi
ini;
4. Bapak Drs. Sukayadi, M.H selaku Dosen Pembahas sekaligus Ketua Tim
Penguji yang telah memberikan arahan, serta bimbingan agar skripsi ini
menjadi lebih baik;
5. Bapak Dr. Rofiq Laksamana, S.H., M.Eng.Sc selaku Dosen Pembahas dan
Sekretaris Tim Penguji yang telah memberikan arahan, serta bimbingan agar
skripsi ini menjadi lebih baik;

v
6. Bapak Drs. Suharno, M.Si selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah
memberikan arahan dan motivasi selama menempuh pendidikan;
7. Bapak dan Ibu Dosen serta Karyawan/Karyawati Sekolah Tinggi Pertanahan
Nasional yang telah memberikan ilmu dan pengetahuan sehingga penulis
dapat menyelesaikan studi dengan baik;
8. Bapak Kepala Perpustakaan Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional beserta staf
yang telah membantu dalam penyediaan referensi;
9. Bapak dan Ibu Pengasuhan Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional yang telah
membimbing dan memperhatikan kami selama menjalani kehidupan di
Asrama Taruna Bhumi;
10. Bapak Drs. Achmad Mustafid, M.Si selaku Kepala Kantor Pertanahan
Kabupaten Demak yang telah memberikan arahan, bimbingan, saran,
sekaligus memberikan izin untuk melakukan penelitian di Kantor Pertanahan
Kabupaten Demak;
11. Bapak Sujadi ST, A.Ptnh selaku Kepala Seksi Pengadaan Tanah dan
Pengembangan Kantor Pertanahan Kabupaten Demak yang tiada henti
memberikan nasihat, bimbingan, saran, sekaligus data yang diperlukan
penulis dalam penyusunan skripsi ini;
12. Bapak Mohammad Aulia Ilman, S.Si., M.P.W.K selaku pejabat fungsional di
bawah Seksi Pengadaan Tanah dan Pengembangan Kantor Pertanahan
Kabupaten Demak yang telah memberikan arahan, dukungan, dan teman
diskusi dalam penyusunan skripsi ini;
13. Ibu Iin Parlina, S.SiT selaku pejabat fungsional di bawah Seksi Pengadaan
Tanah dan Pengembangan Kantor Pertanahan Kabupaten Demak yang telah
memberikan motivasi dan semangat selama penulis melaksanakan penelitian;
14. Bapak Robby Permana, S.SiT selaku pejabat fungsional di bawah Seksi
Survei dan Pemetaan Kantor Pertanahan Kabupaten Demak yang banyak
membantu memberikan data, masukan, saran, sekaligus teman diskusi yang
baik dalam penyusunan skripsi ini;
15. Keluarga yang berkarya di Seksi Pengadaan Tanah dan Pengembangan
Kantor Pertanahan Kabupaten Demak (mas restu, mas yoga, mas deny, mas
sigit dan

v
mba risa) yang telah banyak membantu mempersiapkan dan memberikan data
dalam penyusunan skripsi ini;
16. Saudara seperjuangan dan sedinas dari Kalimantan Timur sekaligus sebagai
adinda terbaik Fajar Buyung Permadi, yang selalu memberikan inspirasi dan
motivasi. Semoga kita selalu kompak dan saling menjaga tali persaudaraan
yang erat;
17. Keluarga Pemuda di Demak (Keluarga besar adinda Faisal Fahmi Sutanjiwo)
yang telah berbaik hati memberikan tempat tinggal selama penelitian, dan
memberikan warna kekeluargaan, serta motivasi dalam rangkaian penyusunan
skripsi ini;
18. Rekan-rekan Taruna Diploma IV angkatan XXVI yang telah memberikan
motivasi, semangat, masukan, dan inspirasi dalam penulisan skripsi ini;
19. Seluruh pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini yang tidak
dapat disebutkan satu per satu.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna dikarenakan
keterbatasan pengetahuan dan pengalaman. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini.
Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi yang sederhana ini mampu
memberikan wawasan dan pengetahuan kepada pembaca, terlebih lagi bagi
penulis.

Yogyakarta, Agustus 2021

Penulis

v
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN.................................................................................ii
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI................................................................iii
MOTTO..................................................................................................................iv
HALAMAN PERSEMBAHAN..............................................................................v
KATA PENGANTAR............................................................................................vi
DAFTAR ISI...........................................................................................................ix
DAFTAR TABEL..................................................................................................xii
DAFTAR GAMBAR............................................................................................xiii
DAFTAR LAMPIRAN.........................................................................................xiv
INTISARI...............................................................................................................xv
ABSTRACT............................................................................................................xvi
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
A. Latar Belakang..............................................................................................1
B. Rumusan Masalah.........................................................................................8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian.....................................................................9
D. Kebaruan Penelitian......................................................................................9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................13
A. Kerangka Teoritis........................................................................................13
1. Hak Penguasaan Atas Tanah.................................................................13

2. Hak Atas Tanah.....................................................................................18

3. Banjir Rob.............................................................................................28

4. Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum......29

5. Konsep Kepastian Hukum.....................................................................31

6. Konsep Perlindungan Hukum................................................................33

B. Kerangka Pemikiran....................................................................................36
BAB III METODE PENELITIAN........................................................................39

i
A. Format Penelitian........................................................................................39
B. Lokasi Penelitian.........................................................................................40
C. Populasi dan Sampel Penelitian..................................................................40
D. Definisi Operasional...................................................................................41
E. Jenis, Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data...................................42
F. Teknik Analisis Data...................................................................................49
BAB IV GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN................................50
A. Gambaran Umum Pembangunan Jalan Tol Semarang-Demak...................50
B. Gambaran Umum Lokasi Pembangunan Jalan Tol Terintegrasi Tanggul
Laut Pada Wilayah Kabupaten Demak......................................................53
1. Kondisi Geografis dan Administratif....................................................55

2. Kondisi Demografi................................................................................56

3. Mata Pencaharian..................................................................................58

BAB V STATUS HAK ATAS TANAH PADA PENYELENGGARAAN


PENGADAAN TANAH SEKSI I...........................................................60
A. Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Seksi I................................................60
1. Data Awal Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan, dan Pemanfaatan
Tanah Dalam Dokumen Perencanaan Pengadaan Tanah (DPPT).........61

2. Daftar Sementara Pihak Yang Berhak dan Objek Pengadaan Tanah....67

3. Inventarisasi dan Identifikasi Bidang Tanah Terdampak......................71

B. Kepastian Hukum Sertipikat Hak Atas Tanah............................................78


1. Sertipikat Hak Atas Tanah Terdampak Pengadaan Tanah....................79

2. Kepastian Sertipikat Hak Milik Terdampak..........................................84

C. Status Hukum Sertipikat Hak Milik Terdampak.........................................91


BAB VI PENYELESAIAN PROBLEMATIKA SERTIPIKAT HAK ATAS
TANAH TERDAMPAK PENGADAAN TANAH SEKSI I..................97
A. Perlindungan Hukum Sertipikat Hak Milik Terdampak.............................97
1. Perlindungan Hukum Dalam Kebencanaan...........................................98

2. Perlindungan Hukum Dalam Pendaftaran Tanah................................100

x
3. Perlindungan Hukum Dalam Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan
Umum..................................................................................................102

B. Perumusan Rekomendasi Kebijakan.........................................................106


1. Pihak Yang Terlibat.............................................................................107

2. Rekomendasi Kebijakan......................................................................110

BAB VII PENUTUP............................................................................................115


A. Kesimpulan...............................................................................................115
B. Saran..........................................................................................................117
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................118
DAFTAR LAMPIRAN........................................................................................122

x
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Keaslian Penelitian...................................................................................10


Tabel 2.Teknik Pengumpulan Data........................................................................45
Tabel 3. Jumlah Desa/Kelurahan Terlewati Tol Semarang-Demak......................51
Tabel 4.Wilayah Administrasi Terlewati Tol Semarang-Demak...........................51
Tabel 5. Keadaan Penduduk Desa Sriwulan, Desa Bedono dan Desa Purwosari
Tahun 2020..............................................................................................57
Tabel 6. Jumlah Penduduk Masuk dan Keluar Desa Sriwulan, Desa Bedono, Desa
Purwosari Periode 2009-2020..................................................................58
Tabel 7. Jenis Mata Pencaharian Penduduk Desa Sriwulan, Desa Bedono dan
Desa Purwosari Tahun 2020....................................................................59
Tabel 8. Daftar Pemilik Lahan Terkena Pengadaan Tanah Jalan Tol....................63
Tabel 9. Kondisi Eksisting Lokasi Terlewati Jalan Tol Terintegrasi Tanggul Laut
Desa Sriwulan, Desa Bedono, dan Desa Purwosari.................................64
Tabel 10. Daftar Hasil Analisis Sertipikat Hak Atas Tanah Terdampak Pengadaan
Tanah Seksi I di Desa Sriwulan.............................................................80
Tabel 11. Daftar Hasil Analisis Sertipikat Hak Atas Tanah Terdampak Pengadaan
Tanah Seksi I di Desa Bedono...............................................................82
Tabel 12. Daftar Hasil Analisis Sertipikat Hak Atas Tanah Terdampak Pengadaan
Tanah Seksi I di Desa Purwosari...........................................................83

x
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Bagan Alir Kerangka Teoritis..............................................................35


Gambar 2. Bagan Alir Kerangka Pemikiran..........................................................38
Gambar 3. Peta Trase Tol Ruas Semarang-Demak................................................50
Gambar 4. Lokasi Pengadaan Tanah Seksi I Jalan Tol Terintegrasi Tanggul Laut
............................................................................................................................... 54
Gambar 5. Peta Administrasi Kabupaten Demak..................................................55
Gambar 6. Kondisi Eksisting Lahan Terdampak Pengadaan Tanah Seksi I di Desa
Sriwulan..............................................................................................65
Gambar 7. Daftar Kepemilikan Tanah Sementara Desa Sriwulan.........................68
Gambar 8. Daftar Kepemilikan Tanah Sementara Desa Bedono...........................69
Gambar 9. Daftar Kepemilikan Tanah Sementara Desa Purwosari.......................69
Gambar 10. Peta Analisis Identifikasi Bidang Tanah Terdampak Pembangunan
Jalan Tol Terintegrasi Tanggul Laut.................................................76
Gambar 11. Peta Analisis Identifikasi Bidang Tanah Terdampak Pengadaan Tanah
Seksi I di Desa Sriwulan...................................................................79
Gambar 12. Peta Analisis Identifikasi Bidang Tanah Terdampak Pengadaan Tanah
Seksi I di Desa Bedono.....................................................................82
Gambar 13. Peta Analisis Identifikasi Bidang Tanah Terdampak Pengadaan
Tanah Seksi I di Desa Purwosari......................................................83
Gambar 14. Kondisi Eksisting Pemanfaatan Tanah Tergenang............................86
Gambar 15. Batas Pohon Bakau Untuk Pemanfaatan Tambak..............................88

x
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Surat Keputusan Penetapan Lokasi Nomor 590/52 Tahun 2016.....122


Lampiran 2. Surat Keputusan Penetapan Lokasi Nomor 590/38 Tahun 2018.....128
Lampiran 3. Surat Keputusan Penetapan Lokasi Nomor 590/59 Tahun 2019.....133
Lampiran 4. Daftar Pemilik Lahan Terkena Pengadaan Tanah Jalan Tol di Desa
Sriwulan, Desa Bedono dan Desa Purwosari.................................138
Lampiran 5. Peta Blok 1 lembar 1 dan 2 Desa Purwosari...................................142
Lampiran 6. Surat Pemberitahuan Nomor 590/0012570 tanggal 26 Juli 2016....144
Lampiran 7. Berita Acara Konsultasi Publik Nomor 590/0017925 tanggal 20
Oktober 2016..................................................................................146
Lampiran 8. Surat Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah Nomor: B-
3358/0.3/Gs/09/2019.......................................................................151
Lampiran 9. Surat Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi
Jawa Tengah Nomor AT.02.01/2075-33/X/2020...........................163
Lampiran 10. Surat Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No.410-
1293 Tanggal 9 Mei 1996.............................................................168

x
INTISARI
Banjir Rob yang terjadi di Desa Sriwulan, Desa Bedono, dan Desa
Purwosari, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak membuat sebagian besar tanah
milik masyarakat tidak dapat digunakan dan dimanfaatkan sebagaimana mestinya.
Upaya pemerintah dalam mengatasi banjir Rob ditunjukkan dengan kehadiran
pembangunan jalan tol terintegrasi tanggul laut melalui proses penyelenggaraan
pengadaan tanah. Faktanya penyelenggaraan pengadaan tanah yang telah
direncanakan sejak tahun 2016 mengalami stagnan karena menunggu kebijakan
tentang status hak atas tanah yang tergenang banjir Rob dan terdampak pengadaan
tanah yang telah ditetapkan lokasinya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
status hak atas tanah yang tergenang banjir Rob pada lokasi pengadaan tanah yang
telah ditetapkan dan mengetahui perlindungan hukum yang diberikan kepada
pemegang hak atas tanah, serta memberikan rekomendasi dalam pengambilan
kebijakan untuk proses penyelesaian permasalahan kegiatan pengadaan tanah.
Metode yang digunakan adalah penelitian hukum yuridis normatif dan
yuridis empiris. Teknik pengumpulan data pada penelitian yuridis normatif
dilakukan melalui studi dokumen dengan mengkaji beberapa peraturan
perundang- undangan, sedangkan teknik pengumpulan data pada penelitian
yuridis empiris dilakukan melalui observasi dan wawancara. Analisis data
dilakukan dengan cara interpretasi dan pemahaman, serta penafsiran hukum dan
memberikan argumentasi hukum dengan menggunakan logika deduktif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sertipikat hak milik dengan kondisi
tanah tergenang dan tidak dimanfaatkan terletak di 2 desa yakni: (1) Desa
Sriwulan sebanyak 33 bidang; (2) Desa Bedono sebanyak 2 bidang. Sertipikat hak
milik yang berada di Desa Purwosari adalah sebanyak 36 bidang dengan kondisi
tanah tergenang dan sebagian besar dimanfaatkan secara efektif oleh pemegang
hak untuk usaha tambak. Terdapat batas penguasaan tanah di lapangan berupa
pohon mangrove dan waring, sehingga berdasarkan PP Nomor 24 Tahun 1997
sertipikat hak milik tersebut memiliki kepastian hukum yang kuat. Pelaksana
pengadaan tanah dapat memberikan ganti kerugian atas tanah dan usaha tambak
kepada pemegang hak. Tanah-tanah tergenang yang fisiknya tidak dapat
diidentifikasi dan tidak dimanfaatkan, sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka (2)
Perpu Nomor 2 Tahun 2007 dan Pasal 66 ayat (1) PP Nomor 18 Tahun 2021
dinyatakan sebagai tanah musnah. Sertipikat hak milik yang ditetapkan sebagai
tanah musnah haknya menjadi hapus atas dasar Pasal 27 huruf (b) UUPA dan
Pasal 32 ayat (1) PP Nomor 24 Tahun 1997. Pelaksana pengadaan tanah
seyogyanya tidak memberikan ganti kerugian terhadap tanah musnah agar
terhindar dari gugatan perdata maupun pidana atas indikasi merugikan keuangan
negara. Selain itu, pelaksana pengadaan tanah perlu membentuk tim peneliti tanah
musnah guna mengkaji subjek, objek serta penggarap yang melakukan usaha
tambak di atas tanah pemegang hak sehingga terhindar dari segala bentuk
permainan spekulan.
Kata Kunci: Banjir Rob, Pengadaan Tanah, Tanah Musnah, Ganti Kerugian

x
ABSTRACT
The Rob flood that occurred in Sriwulan Village, Bedono Village, and
Purwosari Village, Sayung District, Demak Regency made most of the land owned
by the community unable to be used and utilized properly. The government's
efforts to overcome the Rob flood are shown by the presence of the construction of
an integrated sea wall toll road through the land acquisition process. The fact is
that the implementation of land acquisition that has been planned since 2016 has
been stagnant because it is waiting for a policy on the status of land rights that
are inundated by the Rob flood and affected by land acquisition whose location
has been determined. This study aims to determine the status of land rights
inundated by the Rob flood at the location of land acquisition that has been
determined and to know the legal protection provided to land rights holders, as
well as to provide recommendations in policy making for the process of solving
problems in land acquisition activities.
The method used is normative juridical and empirical juridical research.
Data collection techniques in normative juridical research are carried out
through document studies by reviewing several laws and regulations, while data
collection techniques in empirical juridical research are carried out through
observations and interviews. Data analysis was carried out by means of
interpretation and understanding, as well as legal interpretation and providing
legal arguments using deductive logic.
The results showed that the freehold title with flooded and unused land were
located in 2 villages, namely: (1) Sriwulan Village with 33 fields; (2) Bedono
Village with 2 fields. There are 36 freehold titles in Purwosari Village with
flooded land conditions and most of them are used effectively by the rights holders
for fishpond business. There are land tenure boundaries in the field in the form of
mangrove trees and warings, so that based on Government Regulation Number 24
of 1997 the freehold title has strong legal certainty. Implementers of land
acquisition can provide compensation for land and fishpond businesses to rights
holders. Flooded lands whose physical properties cannot be identified and are not
utilized, in accordance with the provisions of Article 1 point (2) Government
Regulation in Lieu of Law Number 2 of 2007 and Article 66 paragraph (1) of
Government Regulation Number 18 of 2021 are declared as destroyed land. The
freehold title that is designated as land destroyed has its rights nullified on the
basis of Article 27 letter (b) of the Basic Agrarian Law and Article 32 paragraph
(1) of Government Regulation No. 24 of 1997. Implementers of land acquisition
should not provide compensation for destroyed land in order to avoid from civil
and criminal lawsuits for indications of harming state finances. In addition, the
executor of land acquisition needs to form a research team for destroyed land to
study subjects, objects and cultivators who carry out fishpond business on the
land of the right holder so as to avoid all forms of speculators.
Keywords: Rob Flood, Land Acquisition, Land Destroyed, Compensation

x
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki banyak kawasan pesisir
dengan bentangan pantai yang panjang. Pantai dapat dijadikan sebagai
sumber penghidupan bagi sebagian besar masyarakat kawasan pesisir karena
banyak terdapat kekayaan alam di sekitarnya. Pemanfaatan sumber daya alam
berpotensi sebagai penunjang perekonomian, dan kesejahteraan hidup
masyarakat pesisir, sehingga menjadikan sebuah pilihan untuk tinggal
menetap di sekitar wilayah tersebut.
Seiring berkembangnya kehidupan masyarakat, kebutuhan akan tanah
semakin meningkat. Tanah merupakan sebuah anugerah dan karunia yang
diberikan Yang Maha Kuasa kepada semua umat manusia. Makna religius
tersirat mengandung pesan bahwa tanah diberikan untuk keberkahan umat
manusia sehingga tanah selalu dijadikan sumber penghidupan manusia. Hal
tersebut sejalan dengan pendapat Arisaputra (2015,55) yang mengemukakan
bahwa kebanyakan dari jumlah manusia menjadikan tanah untuk kehidupan,
sehingga proses pencarian nafkahnya dapat dilakukan dengan bertani dan
berkebun serta pada suatu saat tanah jugalah yang akan menjadi tujuan akhir
dari kehidupan manusia itu sendiri. Oleh sebab itu, tanah memiliki peran
penting bagi kehidupan masyarakat sepanjang dimanfaatkan dengan sebaik-
baiknya. Agar tidak terjadi penyalahgunaan peruntukan, penggunaan ataupun
pemanfaatan tanah dalam keberlangsungan hidup masyarakat, maka perlu ada
pengaturan dan pengawasan negara terhadap tanah. Pasal 33 ayat (3) Undang-
Undang Dasar 1945 (UUD 1945), berbunyi sebagai berikut : “Bumi, air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Kata “dikuasai”
tidak serta merta dimiliki oleh negara melainkan negara berandil besar dalam
mengatur penggunaan, persediaan dan pemeliharaan tanah, sehingga
kemudian dapat diatur hubungan hukum yang mengikat orang dengan
tanahnya, serta

1
mengatur perbuatan hukum yang dilakukan orang terhadap tanahnya. Hal ini
sesuai dengan amanat Pasal 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Tujuan utama yang
diharapkan tertuju kepada kemakmuran seluruh rakyat Indonesia sesuai
dengan cita-cita bangsa.
Berdasarkan hak menguasai negara yang tertuang dalam Undang-
Undang Pokok Agraria (UUPA), hak atas tanah dapat diberikan kepada
perorangan maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan hukum
sesuai dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA. Hak-hak atas tanah yang dimaksud
diklasifikasikan dalam Pasal 16 ayat (1) yaitu: hak milik, hak guna usaha, hak
guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, dan hak
memungut hasil hutan. Hak-hak tersebut sekaligus memberikan wewenang
bagi yang bersangkutan untuk mengambil manfaat dari tanah sesuai dengan
kepentingannya dan dengan sebaik-baiknya, selama tidak melanggar aturan
hukum yang telah ditetapkan.
Pemerintah sebagai unsur pelaksana negara merealisasikan amanat yang
dituangkan dalam Pasal 2 UUPA melalui Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (PP Nomor 24 Tahun 1997). Kegiatan
pendaftaran tanah dilaksanakan untuk mengikat hubungan hukum antara
subjek dan objek dalam wujud sertipikat hak atas tanah. Pasal 3 huruf (a) PP
Nomor 24 Tahun 1997, menyebutkan bahwa tujuan pendaftaran tanah adalah
untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada
pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain
yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai
pemegang hak yang bersangkutan. Artinya terdapat kepastian hukum antara
pemegang hak dengan tanahnya, dan di dalamnya juga ditemukan kepastian
hukum mengenai posisi/letak tanah, batas-batas tanah, luas tanah dan hak
yang melekat pada tanah itu sendiri. Perlindungan hukum dapat diberikan atas
dasar itikad baik pemegang hak dalam memberikan keterangan-keterangan
yang membuktikan kebenaran perolehan tanahnya. Perlindungan hukum yang
diberikan dan adanya jaminan kepastian hukum atas tanahnya merupakan

2
“hak” yang dapat diperoleh pemegang hak, sementara dalam
keberlangsungannya tanah tersebut harus digunakan dan dimanfaatkan
dengan sebaik-baiknya oleh pemegang hak. Hal ini menjadi “kewajiban”
pemegang hak atas objek hak yang dikuasainya.
Berangkat dari tujuan pendaftaran tanah, dimana sertipikat hak atas
tanah sebagai alat pembuktian yang kuat sehingga dapat menjamin kepastian
hukum dan memberikan perlindungan hukum akan sangat penting
diimplementasikan pada suatu fenomena alam di kawasan pesisir yang dapat
mengancam hak keperdataan dari pemegang sertipikat hak atas tanah.
Fenomena alam yang dimaksud dapat disebut dengan bencana banjir Rob.
Menurut Kurniawan (2003,54) banjir Rob adalah genangan air yang datang
karena terjadinya pasang air laut dalam jumlah yang besar, sehingga
menggenangi daratan pada kawasan pesisir yang kontur tanahnya lebih
rendah dari pada permukaan air laut. Selama berhari-hari bahkan sampai
sepanjang tahun air dapat menggenangi wilayah pesisir apabila jenis tanahnya
termasuk dalam kategori jenuh. Kondisi banjir Rob dapat dialami pada
wilayah pesisir Pulau Jawa, karena tingginya pemanfaatan tanah pada
pengembangan pembangunan infrastruktur di seluruh wilayah Pulau Jawa
seperti industri perdagangan, wisata serta permukiman.
Terjadinya banjir Rob yang menggenangi lahan-lahan pertanian di
kawasan pesisir Kabupaten Demak membuat masyarakat merasakan
kehilangan hak untuk menguasai tanahnya karena tanah tersebut telah
digenangi banjir Rob sedalam ± 3 meter, sehingga tanahnya tidak dapat
digunakan dan dimanfaatkan sebagaimana mestinya. Di sisi lain, banjir Rob
juga menggenangi wilayah permukiman warga dengan ketinggian bervariasi
yaitu 0,50 - 1 meter. Setiap warga melakukan langkah adaptasi terhadap
bencana dengan cara membangun tanggul-tanggul kecil di sekitar rumah
untuk mengantisipasi masuknya air dan meninggikan rumah sampai 1 meter
setiap tahun (Setyati dkk 2018,199). Oleh sebab itu, lahan-lahan permukiman
pada wilayah tersebut masih dapat dimanfaatkan oleh pemiliknya.

3
Kehadiran Proyek Strategis Nasional (PSN)1 di wilayah tergenang
banjir Rob semakin mempertegas permasalahan akan kejelasan status hak atas
tanah pemegang sertipikat, sehingga diharapkan tercapainya penyelesaian
permasalahan. PSN pada pembangunan jalan tol Semarang-Demak
terintegrasi tanggul laut merupakan salah satu agenda (Nawa Cita)2
pemerintahan Presiden Joko Widodo yang diatur dalam Peraturan Presiden
Nomor 58 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 3
Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional dan
Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2021 tentang Kemudahan Proyek
Strategis Nasional (Perpres Nomor 58 Tahun 2017). Proyek ini bersifat
strategis untuk pertumbuhan dan pemerataan pembangunan guna
meningkatkan kesejahteraan bangsa. Mengarah kepada pembangunan jalan
tol Semarang-Demak terintegrasi tanggul laut, dalam pelaksanaanya sudah
memiliki payung hukum yang kuat yaitu Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan
Umum (UU Nomor 2 Tahun 2012). Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor
2 Tahun 2012 menyatakan bahwa pelaksanaan pengadaan tanah harus
memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pembangunan dan
kepentingan masyarakat. Kepentingan yang dimaksud dalam pasal ini
merujuk pada tanah yang memiliki fungsi sosial.
Pada saat tanah dibutuhkan oleh negara dalam rangka pembangunan
maka masyarakat terdampak pembangunan harus bersedia mendukung
penyelenggaraannya dengan melepaskan tanah miliknya. Atas perbuatan
melepaskan tanah tersebut, pemilik tanah layak mendapatkan ganti kerugian
yang adil dari negara sesuai dengan Pasal 9 ayat (2) UU Nomor 2 Tahun
2012.

1
Proyek pembangunan yang bersifat strategis guna menunjang kemajuan seluruh wilayah
Indonesia secara merata sehingga berdampak pada masyarakat yang sejahtera. Pembangunan yang
dimaksud dilaksanakan oleh pemerintah dan/atau badan usaha sesuai dalam ketentuan Pasal 1 butir
1 Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2016. Sementara dalam ketentuan Pasal 1 butir (1) Peraturan
Pemerintah Nomor 42 Tahun 2021 tentang Kemudahan Proyek Strategis Nasional menyatakan
bahwa Proyek Strategis Nasional dilaksanakan untuk perluasan lapangan pekerjaan dalam rangka
memperhatikan kesejahteraan masyarakat.
2
Sembilan agenda pokok yang termasuk dalam visi Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden
Jusuf Kalla dalam rangka pembangunan nasional dan harus terealisasi selama periode
4
kepemimpinannya.

5
Sejalan dengan hal tersebut Syah Iskandar (2015,15-16) menyatakan bahwa
makna kepentingan umum harus meliputi kepentingan banyak orang.
Sebenarnya pengertian dari banyak orang juga merupakan kepentingan
masyarakat terdampak pengadaan tanah sehingga dua kepentingan dapat
terpenuhi yakni kepentingan pemerintah dan kepentingan pemilik tanah.
Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang
Cipta Kerja (UUCK), kepentingan umum dimaknai secara definitif. Dalam
ketentuan Pasal 122 dinyatakan bahwa kepentingan umum yang dimaksud
lebih berfokus pada kepentingan penciptaan kerja. Artinya pembangunan
yang dilaksanakan adalah sebagai upaya terciptanya lapangan pekerjaan
melalui usaha-usaha kecil, menengah bahkan peningkatan investasi dan
kemudahan berusaha. Sementara dalam ketentuan Pasal 1 butir (7) Peraturan
Pemerintah Nomor 19 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Pengadaan
Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum (PP Nomor 19 Tahun
2021), kepentingan umum mencakup pada kepentingan bangsa, negara, dan
juga kepentingan masyarakat untuk memperoleh kesejahteraan masyarakat
sehingga wajib untuk direalisasikan oleh pemerintah.
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
sebagai pelaksana pengadaan tanah dan juga sebagai lembaga negara yang
memberikan jaminan kepastian hukum mengalami kesulitan dan penuh
keragu- raguan dalam menetapkan status hak atas tanah yang tergenang banjir
Rob pada pembangunan jalan tol terintegrasi tanggul laut. Kantor Wilayah
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional
Provinsi Jawa Tengah telah mengambil langkah untuk meminta pendapat
hukum (legal opinion)3 kepada Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah melalui
Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Tengah. Setelah melakukan analisa kasus
dan mengkaji dari aspek hukumnya, Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah akhirnya
memberi kesimpulan bahwa pihak yang berhak menyatakan secara teknis
dan spesifik

3
Gagasan atau pendapat hukum yang menjadi kesimpulan berdasarkan analisis hukum melalui
proses pengidentifikasian masalah dan fakta hukum, kemudian dikaitkan dengan aturan hukum
yang berlaku untuk dapat diaplikasikan terhadap permasalahan sehingga isu hukum yang terjadi
dapat terjawab.

6
tentang status hak atas tanah yang tergenang banjir Rob adalah Badan
Pertanahan Nasional dan instansi-instansi terkait lainnya. Hal tersebut sesuai
dengan sebagaimana yang tertuang dalam Surat Kejaksaan Tinggi Jawa
Tengah Nomor: B-3358/0.3/Gs/09/2019 tanggal 20 September 2019 perihal
Pendapat Hukum terkait dengan Pembebasan tanah masyarakat dengan
kondisi tergenang/tertutup air laut yang akan digunakan untuk Pembangunan
Jalan Tol Semarang-Demak Terintegrasi Tanggul Laut.
Menindaklanjuti pendapat hukum yang telah dikeluarkan, Kantor
Pertanahan Kabupaten Demak melakukan inventarisasi dan identifikasi tanah
tergenang banjir Rob dan terdampak pembangunan jalan tol. Namun, hasil
yang diperoleh belum dapat diumumkan karena menunggu kepastian apakah
tanah-tanah tersebut dapat diberikan ganti kerugian. Hal ini berdasar pada
Surat Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Jawa
Tengah Nomor AT.02.01/2075-33/X/2020 tanggal 26 Oktober 2020 yang
ditujukan kepada Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan
Nasional perihal mohon petunjuk terkait percepatan penyelesaian ganti
kerugian atas tanah masyarakat dengan kondisi tergenang/tertutup air laut
yang akan digunakan untuk pembangunan jalan tol Semarang-Demak
terintegrasi tanggul laut. Oleh sebab itu pelaksanaan kegiatan pembangunan
jalan tol terintegrasi tanggul laut masih terhambat dengan menantikan
rumusan kebijakan hasil pembahasan tentang penetapan status hak atas tanah
yang dimaksud.
Dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Pasal 27, Pasal 34,
Pasal 40 dengan jelas menyatakan bahwa salah satu hapusnya hak
kepemilikan atas tanah antara lain karena tanahnya musnah. Musnahnya
tanah dapat terjadi karena adanya bencana. Atas dasar hal tersebut, instansi
yang bergerak di bidang pertanahan mengeluarkan Surat Menteri
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 410-1293 tanggal 9 Mei
1996 perihal Penertiban Status Tanah Timbul dan Tanah Reklamasi yang
berbunyi:
“Tanah-tanah yang hilang secara alami, baik karena abrasi pantai,
tenggelam atau hilang karena longsor, tertimbun atau gempa bumi,

7
atau pindah ke tempat lain karena pergeseran tempat (landslide)4
maka tanah-tanah tersebut dinyatakan hilang dan haknya hapus dengan
sendirinya. Selanjutnya pemegang haknya tidak dapat minta ganti rugi
kepada siapapun dan tidak berhak menuntut apabila dikemudian hari di
atas bekas tanah tersebut dilakukan reklamasi/penimbunan dan/atau
pengiringan (polder)5.”

Pelaksanaan penghapusan hubungan hukum yang melekat antara orang


dengan tanahnya sebaiknya dilakukan sebagaimana mestinya melalui kajian
ketentuan perlindungan hukum yang konkret, guna terwujudnya cita-cita
nyata atas pencapaian kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Ketentuan
perlindungan hukum yang diberikan kepada pemegang hak atas tanah
didasarkan pada UUD 1945 Pasal 33 ayat (3). Peraturan tersebut menyatakan
bahwa pemegang hak atas tanah memiliki hak untuk memperoleh jaminan
pengakuan, perlindungan dan perlakuan hukum yang adil sehingga terdapat
kesetaraan di mata hukum dan terwujudnya kepastian hukum (Salindeho
1994,42). Berdasarkan hal tersebut masyarakat pemegang sertipikat hak atas
tanah tentunya akan mengharapkan bentuk pertanggungjawaban dari
pemerintah baik itu tindakan bersifat preventif maupun ganti kerugian yang
wajar.
Problematika tanah yang tergenang banjir Rob pada pembangunan jalan
tol terintegrasi tanggul laut dapat menimbulkan berbagai asumsi ditengah-
tengah masyarakat yaitu: Pertama, apabila status hak atas tanah ditetapkan
sebagai tanah musnah maka seyogyanya pembangunan jalan tol tidak dapat
dilakukan diatas tanah tersebut. Karena makna kata “musnah” dalam hal ini
dapat diartikan sebagai tanah yang hilang akibat bencana. Kedua, bahwa
ketika pembangunan jalan tol selesai dilaksanakan, maka terdapat tanah-tanah
lain yang tidak terkena proyek pembangunan dapat berpotensi kering dan
dapat digunakan dan dimanfaatkan kembali sesuai fungsinya. Oleh karena itu,
masyarakat pemegang sertipikat hak atas tanah yang tanahnya terkena proyek

4
Suatu peristiwa jatuh/bergeraknya gumpalan tanah atau batu-batuan pada lereng yang curam.
Peristiwa ini sering disebut tanah longsor yang disebabkan oleh faktor alam maupun faktor
manusia.
5
Suatu tempat yang didesain menggunakan batas tanggul keliling membentuk satu kesatuan
bangunan pengendali sehingga air dari luar tidak dapat masuk.

8
pembangunan akan merasa haknya dirampas oleh negara dan diintimidasi
oleh peraturan-peraturan yang berlaku, sehingga tidak sejalan dengan amanat
yang dituangkan dalam Alinea ke IV Pembukaan UUD 1945.
Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan di atas, peneliti sangat
tertarik untuk melakukan penelitian sebagai bahan penyusunan skripsi yang
berjudul “Status Hak Atas Tanah Yang Tergenang Banjir Rob Pada
Pembangunan Jalan Tol Semarang - Demak Terintegrasi Tanggul Laut
Di Kabupaten Demak, Provinsi Jawa Tengah”.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, peneliti mengajukan satu
permasalahan pokok dalam penelitian ini yaitu “masyarakat yang dari awal
telah menguasai dan memiliki tanah dengan alat bukti sertipikat hak atas
tanah, kemudian tidak dapat lagi menggunakan dan memanfaatkan tanah
sebagaimana mestinya dikarenakan adanya bencana banjir Rob yang
menggenangi objek hak atas tanahnya. Keberadaan pembangunan jalan tol
Semarang-Demak terintegrasi tanggul laut pada objek hak atas tanah yang
terkena bencana banjir Rob tersebut, membuat Kantor Pertanahan Kabupaten
Demak sebagai lembaga negara yang memberikan jaminan kepastian hukum
terhadap hak atas tanah mengalami kesulitan dalam proses pelaksanaan
kegiatan pengadaan tanah.” Untuk mengawalinya diperlukan kesepahaman
tentang status hak-hak atas tanah yang tergenang banjir Rob pada lokasi
pembangunan jalan tol dan bagaimana jaminan perlindungan hukum yang
dapat diberikan kepada pemegang sertipikat, apabila status hak atas tanahnya
dinyatakan musnah. Untuk membantu menjelaskan permasalahan pokok di
atas peneliti mengajukan pertanyaan kunci sehingga dapat dilakukan analisis
secara mendalam. Pertanyaan kunci tersebut sebagai berikut:
1. Bagaimana status hak atas tanah yang tanahnya tergenang banjir Rob dan
terdampak pengadaan tanah jalan tol Semarang-Demak terintegrasi
tanggul laut?

9
2. Bagaimana jaminan perlindungan hukum bagi para pemegang hak atas
tanah yang tanahnya tergenang banjir Rob dan terdampak pengadaan
tanah jalan tol Semarang-Demak terintegrasi tanggul laut?
3. Apa rekomendasi kebijakan yang efektif guna menyelesaikan
problematika tanah tergenang banjir Rob dan terdampak pengadaan tanah
jalan tol Semarang-Demak terintegrasi tanggul laut yang dimiliki
pemegang hak atas tanah?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian


Tujuan penelitian yang akan dicapai oleh peneliti adalah:
1. Mengetahui dan memahami status hak atas tanah yang tergenang air
akibat banjir Rob apakah layak dinyatakan musnah atau tidak.
2. Mengetahui jaminan perlindungan hukum bagi pemegang hak atas tanah
sebagai upaya penyelesaian permasalahan.
3. Mengetahui rekomendasi dalam pengambilan kebijakan untuk proses
penyelesaian permasalahan hak atas tanah yang tergenang banjir Rob.
Manfaat penelitian:
1. Bagi peneliti adalah untuk mengetahui bagaimana status hak atas tanah
yang tergenang banjir Rob.
2. Bagi akademik (STPN) hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah
pemahaman secara komprehensif bagi taruna maupun dosen mengenai
status hak atas tanah akibat tergenang banjir Rob.
3. Bagi Kantor Pertanahan hasil ini dapat dimanfaatkan atau dijadikan
sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan dan tindakan
administratif/langkah-langkah berupa kebijakan terhadap status hak atas
tanah yang tergenang banjir Rob.

D. Kebaruan Penelitian
Penelitian tentang status hak atas yang terkena bencana memerlukan
kajian secara mendalam dari berbagai perspektif. Status hak atas tanah yang
terkena bencana khususnya bencana banjir Rob menjadi permasalahan

1
kompleks bagi Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan
Nasional yang harus segera mendapatkan solusi agar tercapainya
penyelesaian Proyek Strategis Nasional pada pembangunan jalan tol. Dengan
demikian, menjadi daya tarik tersendiri bagi peneliti untuk dianalisis. Peneliti
perlu merujuk beberapa literatur yang dilakukan oleh peneliti terdahulu yang
serupa sebelum melakukan pengkajian mendalam. Dari hasil penelusuran
yang dilakukan peneliti terhadap penelitian serupa, diketahui terdapat
perbedaan sehingga peneliti dapat melakukan perbandingan sebagai upaya
pembuktian keaslian penelitian. Perbandingan penelitian ini dengan
penelitian-penelitian serupa terletak pada objek penelitian,
permasalahan/problem yang diteliti, tindakan administrasi/kebijakan yang
diterapkan serta tindak lanjut pelaksanaannya. Perbandingan antara penelitian
ini dengan penelitian serupa dapat dilihat dalam Tabel.1 berikut:

Tabel 1. Keaslian Penelitian

No. Peneliti Judul Penelitian Hasil Penelitian


1. Nurhilma Status Hak Atas Berdasarkan Pergub Nomor 10
Lestari Tanah Pasca Tahun 2019 bahwa masyarakat
(2020) Bencana Likuifaksi yang berada dalam kawasan
dan Rencana Tata zona merah direlokasi dan tidak
Ruang Wilayah di dapat menuntut hak atas
Kota Palu (Studi tanahnya di kawasan
Kasus Likuifaksi di terdampak.
Kecamatan Palu
Selatan, Kelurahan
Petobo)
2. Dwi Susiati Status Hukum Hak Tanah yang terkena abrasi
(2019) Milik Atas Tanah fisiknya telah hilang, sehingga
Yang Terkena status hukumnya hapus. Namun
Abrasi berdasarkan UU No. 24 Tahun
2007 Pemerintah sebagai

1
penanggung jawab dalam
penyelenggaraan
penanggulangan bencana dapat
memberikan ganti kerugian
3. Christopher Pertanggungjawaban Berdasarkan Pasal 27 UUPA
Kendrick Pemerintah Republik tanah-tanah tersebut musnah
Adam, Joe Indonesia Terhadap dengan sendirinya dan
Arifiando Hilangnya Hak Atas Pemerintah tidak melakukan
Walpa, Tanah Milik Warga penggantian ataupun relokasi.
Vina Masyarakat Yang
Octavia Terkena Abrasi di
(2020) Wilayah Kabupaten
Brebes Jawa Tengah
4. Mirza Perlindungan Pasal 27 UUPA menyatakan
Sheila Hukum Terhadap bahwa Negara/Pemerintah tidak
Mamentu Pemegang Sertipikat melakukan perlindungan
(2017) Hak Atas Tanah hukum apabila tanahnya
Berkaitan Dengan musnah. Sedangkan Pasal 6
Adanya Peristiwa Perpu No. 2 Tahun 2007
Alam Gempa Bumi menyatakan bahwa Adanya
Menurut Undang- peristiwa bencana sepanjang
Undang Nomor 5 tanahnya tidak musnah dapat
Tahun 19601 diberikan perlindungan hukum
dari Pemerintah.

5. Dehan Perlindungan Perlindungan hukum kepada


Elvira Hukum Terhadap pemegang hak atas tanah pasca
Yulianti Musnahnya Hak bencana tidak diatur dalam
(2012) Kepemilikan Atas UUPA. Melalui peraturan
Tanah Akibat berupa Keputusan Ka.BPN

1
Bencana Alam Nomor 114-II Tahun 2005
Tsunami Di Aceh Pemerintah berupaya
Berdasarkan memberikan perlindungan
Undang-Undang hukum hak atas tanah terhadap
Nomor 5 Tahun korban tsunami Aceh melalui
1960 Tentang pendaftaran tanah ulang secara
Peraturan sistematis berbasis masyarakat
Dasar Pokok-Pokok melalui program RALAS
Agraria (Reconstruction of Aceh Land
Administration System).
Sumber: Olahan Data Sekunder Peneliti, 2021.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teoritis
1. Hak Penguasaan Atas Tanah
Penguasaan dapat dimaknai dalam dua arah yakni apabila dipandang
dalam hubungan hukum dengan tanahnya maka disebut penguasaan yuridis.
Dan apabila dipandang dalam hubungan hukum atas pemanfaatan dan
penggunaan tanahnya maka disebut penguasaan fisik (Setiawan 2020,15).
Secara jelas dapat dikatakan bahwa penguasaan yuridis memberikan
wewenang kepada subjek hak untuk menguasai tanahnya secara fisik.
Namun dalam penguasaan yuridis, ada juga fisik tanahnya berada pada
pihak yang lain. Penguasaan fisik adalah penguasaan yang memberi
kewenangan untuk menggunakan dan memanfaatkan secara fisik,
sedangkan kewenangan menguasai secara penuh ada pada orang yang
berhak.
Hak penguasaan atas tanah adalah rangkaian kewenangan, kewajiban
maupun pembatasan kepada subjek hak untuk melakukan sesuatu terhadap
tanah yang dikuasainya. Hak penguasaan atas tanah bisa diartikan sebagai
lembaga hukum apabila belum terdapat hubungan antara tanah dan subjek
hak tertentu. Sebaliknya, apabila sudah dihubungkan maka hak penguasaan
atas tanah disebut sebagai hubungan hukum yang konkrit (subjectief recht)6
(Arba 2017,82). Dalam Hukum Tanah Nasional (HTN), terdapat suatu
hierarki hak yang telah ditetapkan yaitu:

a. Hak Bangsa Indonesia


Hak Bangsa dapat ditemukan dalam ketentuan Pasal 1 UUPA
yang menyebutkan bahwa seluruh bumi, air dan ruang angkasa serta
kekayaan alam yang terdapat di dalamnya pada wilayah kesatuan
Indonesia yang

6
Subjectief recht (hukum subjektif), dapat dimaknai bahwa hak-hak (kewenangan) yang melekat
pada “subjectief recht” adalah hukum, maka dari itu dapat dijadikan dasar untuk menuntut atau
mempertahankan hak, selain itu hak-hak (kewenangannya) lahir atas dasar hukum objektif.
1
merupakan pemberian dari sang pencipta disebut kekayaan Bangsa
Indonesia yang bersatu. Oleh sebab itu dalam Hukum Tanah Nasional
hak bangsa merupakan hak penguasaan atas tanah yang tertinggi. Hak-
hak penguasaan atas tanah lainnya baik secara langsung maupun tidak
langsung bersumber pada Hak Bangsa.
Hak Bangsa Indonesia memiliki sifat abadi, artinya sepanjang
rakyat Indonesia masih tetap bersatu menjadi bangsa Indonesia dan
sepanjang bumi, air dan ruang angkasa dalam wilayah Indonesia masih
tetap ada maka dalam kondisi apapun tidak ada yang bisa memutus
maupun menghilangkan hubungan tersebut (Arba 2017,89). Hak Bangsa
Indonesia dapat juga dikatakan bersifat komunal dimana seluruh tanah
yang berada di wilayah Indonesia merupakan tanah kepunyaan bersama
seluruh rakyat Indonesia sehingga kepunyaan bersama dalam hal ini
bukan merupakan hak kepemilikan dalam arti yuridis.

b. Hak Menguasai dari Negara


Hak Menguasai Negara berasal dari Hak Bangsa Indonesia yaitu
pelimpahan pelaksanaan kewajiban dan wewenang negara yang
mengandung unsur publik. Substansi atas kewenangan hak menguasai
dari negara tertuang dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA, yaitu:
“Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,
persediaan, dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa
tersebut; menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum
antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa; dan
juga menentukan dan mengatur hubungan- hubungan hukum
antara orang-orang dan perbuatan- perbuatan hukum yang
mengenai bumi, air dan ruang angkasa.”

Subjek hak menguasai dari negara adalah Negara Kesatuan


Republik Indonesia sebagai organisasi yang memiliki kekuasaan
terhadap seluruh rakyat Indonesia. Tanah yang dapat dikuasai dan
dimiliki dalam hak menguasai dari negara adalah seluruh tanah yang
berada pada wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, baik tanah
yang tidak memiliki hak maupun tanah yang sudah memiliki hak
perorangan dalam UUPA. Tanah-

1
tanah tersebut dikuasai langsung oleh negara sehingga disebut tanah
negara (Arba 2017, 92).

c. Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat


Hak ulayat masyarakat hukum adat merupakan hak yang beraspek
perdata dan publik. Hak tersebut di dalam domain masyarakat hukum
adat adalah hak penguasaan atas tanah yang paling tinggi. Hak-hak
individu maupun hak komunal secara langsung maupun tidak langsung
bersumber pada hak ulayat masyarakat hukum adat. Subjek hak ulayat
adalah masyarakat hukum adat itu sendiri sedangkan objeknya adalah
seluruh tanah-tanah yang berada pada wilayah subjek hak ulayat. Oleh
sebab itu dalam wilayah masyarakat hukum adat tidak mengenal res
nullius7 (Setiawan 2020,16).
Hak ulayat terdiri dari rangkaian hak dan kewajiban masyarakat
hukum adat untuk mengambil dan memanfaatkan sumber daya alam
yang berada pada wilayah ulayatnya. Serangkaian hak dan kewajiban
masyarakat hukum adat tidak mempunyai nama yang seragam. Nama
yang digunakan masing-masing daerah berbeda-beda dan sebagian besar
merujuk kepada istilah penyebutan dalam lingkungan masyarakat
hukum adatnya, misalnya Ambon menyebutnya dengan “Hak
Pertuanan”, Kalimantan mengenal “Panyampeto”, Jawa “Wewengkon”,
Bali “Prabumian”, Lombok “Tanah Paer”, dan Minangkabau mengenal
“Ulayat” (Arba 2017, 96).
Hak ulayat masyarakat hukum adat bersumber dari hak bangsa
Indonesia yang hierarkinya paling tinggi. Oleh sebab itu orang yang
bukan tergolong dalam masyarakat hukum adat tetap diperbolehkan
mengambil manfaat atas tanah yang ada di wilayah hukum adat tersebut,
namun harus mendapatkan izin dari tetua adatnya. Izin tersebut berisikan

7
Secara umum “res nullius” merupakan pendapat yang menganalogikan bahwa laut dapat dimiliki
oleh masing-masing negara, demikian juga dalam masyarakat hukum adat dimana tidak ada istilah
tanah tidak bertuan karena tanah adalah unsur yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat adat itu
sendiri sehingga semuanya dapat memiliki, menggunakan dan memanfaatkan tanah secara
bersama.

1
sebuah syarat pembayaran yang disebut “pengisi adat” dan apabila orang
luar memanfaatkan tanah tanpa seizin masyarakat hukum adat maka
orang tersebut akan mendapatkan sanksi adat sesuai dengan peraturan
adat yang telah ditetapkan.

d. Hak-Hak Perseorangan (Individual)


Hak perseorangan (individual) merupakan hak yang memberikan
kewewenangan kepada subjek haknya (individu, bersama maupun badan
hukum) untuk mengambil manfaat dari tanah yang dikuasainya. Hak-hak
perseorangan terdiri dari:

1) Hak-Hak Atas Tanah


Dalam ketentuan Pasal 4 ayat (1) UUPA dijelaskan bahwa hak-
hak atas tanah adalah hak yang dimiliki atau diberikan kepada orang
perorangan (individu), bersama maupun badan hukum, untuk
menggunakan dan memanfaatkan tanah kepada subjek haknya. Hak-
hak atas tanah dapat dikelompokan menjadi dua yaitu: (a) Hak Primer,
yaitu hak atas tanah yang diatur dalam ketentuan Pasal 16 ayat (1)
UUPA terdiri dari: hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan,
hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, hak memungut hasil hutan
dan hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut akan
ditetapkan dengan undang-undang; (b) Hak Sekunder, yaitu hak yang
bersifat sementara yang berasal dari pihak lain, sebagaimana diatur
dalam ketentuan Pasal 53 UUPA terdiri dari hak gadai, hak usaha bagi
hasil, hak menumpang dan hak sewa tanah pertanian.

2) Hak-Hak Atas Air dan Ruang Angkasa


Sebagaimana yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 4 ayat (3)
dan Pasal 16 ayat (2) yaitu hak guna air, hak pemeliharaan dan
penangkapan ikan, hak guna ruang angkasa. Hak guna air adalah hak
untuk mendapatkan air guna suatu kebutuhan dan atau memberikan
aliran air tersebut di atas tanah milik orang. Ketentuan tersebut
memberikan kewenangan untuk pemanfaatan air yang terdapat di luar

1
tanahnya. Jika terdapat air di atas tanahnya sendiri maka hal tersebut
merupakan isi yang ada dalam hak milik atas tanah. Hak guna ruang
angkasa memberikan kewenangan untuk memanfaatkan energi dan
komponen-komponen dalam ruang angkasa untuk usaha-usaha dalam
pemeliharaan dan pengembangan kesuburan bumi, air maupun
kekayaan alam yang terdapat di dalamnya dan hal lain yang
berhubungan dengan itu.

3) Hak Atas Tanah Wakaf


Tanah wakaf merupakan tanah hak milik yang telah diwakafkan
dengan ketentuan bahwa tanah tersebut terbebas dari segala
pembebanan, ikatan, sitaan ataupun perkara. Pihak yang mewakafkan
tanah miliknya disebut wakif, sedangkan pihak yang bertugas sebagai
pemelihara dan pengurus benda wakaf disebut nadzir. Pengertian
wakaf dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang
Perwakafan Tanah Milik dapat ditemukan pada Pasal 1 butir (1) yaitu
perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan
sebagian dari harta kekayaannya yang berupa tanah milik dan
melembagakannya untuk selama-lamanya untuk kepentingan
peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran agama
Islam. Berbeda halnya dalam ketentuan Pasal 1 butir (1) Undang-
Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf yang menyebutkan
bahwa harta benda yang diwakafkan dapat dilakukan dalam jangka
waktu tertentu. Jangka waktu mengenai harta benda yang diwakafkan
dapat dituangkan dalam akta ikrar wakaf sesuai dalam Pasal 21
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004. Berdasarkan ketentuan Pasal
17 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf menyebutkan
bahwa hak atas tanah yang dapat diwakafkan adalah: (a) hak milik
atas tanah yang sudah maupun belum terdaftar; (b) hak atas tanah
bersama dari satuan rumah susun; (c) hak guna bangunan, hak guna
usaha atau hak pakai di atas tanah negara; (d) hak guna bangunan
atau hak pakai

1
di atas tanah hak pengelolaan atau hak milik pribadi yang harus
mendapat izin tertulis dari pemegang hak pengelolaan atau hak milik.

4) Hak Jaminan Atas Tanah


Hak jaminan atas tanah bukan serta-merta memberi kewenangan
terhadap subjek hak dalam hal penggunaan dan pemanfaatan tanah
yang dimilikinya melainkan merupakan hak penguasaan atas tanah
yang memberi kewenangan untuk melakukan lelang terhadap tanah
yang dikuasainya tersebut jika pemilik tanah (debitur) melakukan
wanprestasi. Jenis hak atas tanah yang dapat dibebani dengan hak
jaminan atas tanah (hak tanggungan) adalah hak milik, hak guna
usaha, hak guna bangunan dan hak pakai atas tanah negara (Setiawan
2020,17).

5) Hak Ruang Atas dan Bawah Tanah


Berdasarkan ketentuan Pasal 1 butir (5) Peraturan Pemerintah
Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah,
Satuan Rumah Susun, Dan Pendaftaran Tanah, ruang atas tanah
merupakan ruang yang ada di atas tanah dan digunakan untuk kegiatan
tertentu. Hal-hal yang berkaitan dengan penguasaan, pemilikan,
penggunaan dan pemanfaatannya berbeda dengan tanahnya.
Berhubungan dengan hal tersebut dalam butir 6 dikemukakan bahwa
ruang bawah tanah merupakan ruang yang ada di bawah tanah dan
digunakan untuk kegiatan tertentu. Hal-hal yang berkaitan dengan
penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatannya berbeda
dengan tanahnya. Apabila ruang atas dan ruang bawah tanah telah
dimanfaatkan maka dapat diberikan hak pengelolaan, hak guna
bangunan ataupun hak pakai.

2. Hak Atas Tanah


Hak atas tanah adalah hak penguasaan atas tanah yang memuat suatu
bentuk kewenangan, kewajiban maupun larangan bagi subjek hak untuk
mengelola sesuatu pada objek haknya. Maksud dari kata “sesuatu” adalah
hal

1
yang diperbolehkan, wajib atau dibatasi untuk dilakukan, yang merupakan
substansi dari hak penguasaan itu yang menjadi ciri dan pembanding dengan
hak-hak penguasaan atas tanah yang lain (Harsono 2003,24).
Melihat ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) UUPA yakni adanya hak
menguasai dari negara maka berdasarkan ketentuan tersebut negara
memiliki wewenang untuk menetapkan hak atas tanah yang dapat dimiliki
dan diberikan kepada perseorangan dan badan hukum yang memenuhi
persyaratan sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA.
Hak-hak atas tanah yang dimaksud adalah sebagai berikut:
a. Hak Atas Tanah Bersifat Tetap, yaitu hak atas tanah yang keberadaannya
tetap berlaku sebelum UUPA dicabut atau tidak berlaku lagi. Hak-hak
yang merupakan hak atas tanah yang bersifat tetap yaitu:

1) Hak Milik
Berdasarkan ketentuan Pasal 20 UUPA yang menyatakan bahwa
Hak Milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat
dipunyai orang atas tanah. Kata “terkuat” dan “terpenuh” bukan
berarti menyatakan bahwa hak tersebut adalah mutlak yang tidak dapat
digugat oleh pihak lain dan tidak dibatasi seperti hak eigendom.
Maksud terkuat dan terpenuhi adalah agar dapat dibedakan dengan
hak-hak yang lain (Setiawan 2020,99):
a) “terkuat” berarti haknya dapat dipertahankan apabila ada orang
yang mengakui tanah tersebut, oleh sebab itu wajib didaftarkan.
b) “terpenuh” berarti adanya wewenang penuh dari pemegang hak
terhadap tanahnya tetapi dapat dibatasi bahwa tanah memiliki
fungsi sosial.
c) “turun temurun” berarti dapat berpindah tangan akibat perbuatan
hukum dan peristiwa hukum dan tidak memiliki jangka waktu.
Berhubungan dengan definisi hak milik yang diuraikan di atas,
maka ciri-ciri hak milik adalah sebagai berikut (Noor 2006,83):

2
a) hak atas tanah yang terkuat
b) hak turun-temurun yang dapat dialihkan kepada para ahli waris
yang berhak menerima
c) dapat dijadikan hak induk, artinya dapat dibebani hak atas tanah
lain di atasnya.
d) dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani Hak Tanggungan
e) dapat beralih kepada pihak lain karena terjadinya jual beli, tukar
menukar, hibah, dan pemberian melalui wasiat
f) dapat dilepaskan oleh pemegang hak menjadi tanah negara
g) dapat diwakafkan;
h) pemegang hak memiliki hak untuk menuntut kembali terhadap
gangguan pihak lain atas tanah tersebut.
Subjek hak milik seperti yang dikemukakan dalam Pasal 21
UUPA adalah: (a) warga Negara Indonesia; (b) badan-badan hukum
yang ditetapkan oleh pemerintah. Pada tahun 1963 tepatnya 3 tahun
setelah lahirnya UUPA, pemerintah mengeluarkan aturan mengenai
badan-badan hukum yang diperbolehkan mempunyai hak milik yaitu
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 tentang Penunjukan
Badan-Badan Hukum Yang Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah.
Dalam ketentuan tersebut badan-badan hukum yang dimaksud adalah;
(a) bank-bank yang didirikan oleh negara; (b) perkumpulan-
perkumpulan koperasi pertanian; (c) badan-badan keagamaan; dan (d)
badan-badan sosial (Amal 2017,86). Pertimbangan mendasar atas
penetapan badan-badan hukum tersebut adalah adanya kepentingan
masyarakat yang berhubungan erat dengan keagamaan, sosial dan
perekonomian. Kepemilikan tanah oleh badan-badan hukum yang
telah ditetapkan tersebut diberikan sepanjang tanah yang dikuasai
digunakan untuk kegiatan usaha yang berkaitan dengan bidang sosial
dan keagamaan (Arba 2017,99)
Berdasarkan ketentuan Pasal 22 UUPA hak milik dapat terjadi
karena: (a) Menurut hukum adat; (b) Penetapan Pemerintah; dan (c)

2
ketentuan Undang-Undang (melalui ketentuan konversi). Hapusnya
Hak Milik dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 27 UUPA yaitu:
a) apabila tanahnya jatuh kepada negara oleh karena adanya
pencabutan hak (Pasal 18 UUPA), penyerahan secara sukarela
oleh pemegang hak, ditelantarkan, dialihkan kepada orang asing
atau kewarganegaraan ganda dan juga kepada badan hukum
kecuali badan hukum yang ditetapkan oleh pemerintah sesuai
dalam ketentuan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963,
b) Tanahnya musnah.

2) Hak Guna Usaha


Berdasarkan ketentuan Pasal 28 UUPA disebutkan bahwa Hak
Guna Usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai
langsung oleh Negara selama jangka waktu tertentu, guna perusahaan
pertanian, perikanan dan peternakan. Hak Guna Usaha diatur dalam
Pasal 28 - Pasal 34 UUPA dan Pasal 19 - Pasal 33 Peraturan
Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak
Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah (PP Nomor
18 Tahun 2021). Menurut Togatorop (2020,73-74) Hak Guna Usaha
memiliki ciri-ciri khusus yaitu:
a) dapat dipertahankan dari gangguan pihak lain sehingga sehingga
sulit untuk hapus
b) dapat beralih karena pewarisan
c) memiliki jangka waktu yang terbatas
d) dapat dibebankan hak tanggungan artinya dapat menjadi jaminan
utang
e) dapat dialihkan kepada pihak lain
f) dapat dilepaskan pemegang hak menjadi tanah negara.
g) haknya dapat diberikan untuk keperluan usaha pertanian,
perikanan, dan peternakan.
Subjek dari Hak Guna Usaha adalah warga Negara Indonesia
dan badan hukumyang didirikan menurut hukum
Indonesia dan

2
berkedudukan di Indonesia. Apabila pemegang hak tidak lagi menjadi
yang termasuk dalam subjek hak guna usaha tersebut maka dalam
waktu 1 (satu) tahun wajib dilepaskan atau dialihkan kepada pihak
lain yang memenuhi syarat. Objek dari Hak Guna Usaha adalah tanah
negara (Pasal 28 UUPA jo. Pasal 21 (a) PP Nomor 18 Tahun 2021)
dan tanah hak pengelolaan sesuai Pasal 21 (b) PP Nomor 18 Tahun
2021).
Berdasarkan ketentuan Pasal 22 ayat (1) PP Nomor 18 Tahun
2021 disebutkan bahwa jangka waktu berakhirnya Hak Guna Usaha
paling lama 35 tahun, dan dapat diperpanjang paling lama 25 tahun,
serta dapat diperbarui paling lama 35 tahun. Apabila jangka waktu
tersebut berakhir maka Hak Guna Usaha kembali menjadi tanah
negara atau tanah hak pengelolaan. Dalam hal tanahnya kembali
menjadi tanah negara, maka hak prioritas untuk menata kembali
penggunaan dan pemanfaatan tanah dapat diberikan kepada bekas
pemegang hak.
Terjadinya Hak Guna Usaha berdasarkan ketentuan Pasal 31
UUPA yakni karena penetapan pemerintah. Menurut ketentuan Pasal
23 PP Nomor 18 Tahun 2021 Hak Guna Usaha di atas tanah negara
terjadi karena keputusan pemberian hak oleh Menteri sedangkan Hak
Guna Usaha di atas tanah hak pengelolaan terjadi karena pemberian
hak oleh Menteri berdasarkan persetujuan dari pemegang hak
pengelolaan. Dalam ketentuan ini keputusan yang dimaksud dapat
dibuat secara elektronik.
Hak Guna Usaha dapat hapus karena; (a) jangka waktu berakhir;
(b) dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena suatu syarat
tidak dipenuhi; (c) dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka
waktunya berakhir; (d) dicabut untuk kepentingan umum; (e) tanahnya
ditelantarkan; (f) tanahnya musnah; (g) karena ketentuan Pasal 30 ayat
2 UUPA. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 34 UUPA. Namun
dalam ketentuan Pasal 31 PP Nomor 18 Tahun 2021 terdapat beberapa
tambahan mengenai hapusnya Hak Guna Usaha, yakni: (a) jangka

2
waktunya berakhir; (b) dibatalkan haknya oleh Menteri sebelum
jangka

2
waktunya berakhir karena tidak terpenuhinya ketentuan kewajiban dan
larangan yang telah ditentukan, cacat administrasi dan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; (c) diubah
haknya menjadi hak atas tanah lain; (d) dilepaskan secara sukarela
oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir; (e)
dilepaskan untuk kepentingan umum; (f) dicabut berdasarkan Undang-
Undang; (g) ditetapkan sebagai tanah terlantar; (h) ditetapkan sebagai
tanah musnah;
(i) berakhirnya perjanjian pemanfaatan tanah untuk hak guna usaha di
atas tanah Hak Pengelolaan; (j) pemegang hak sudah tidak memenuhi
syarat sebagai subjek hak.

3) Hak Guna Bangunan


Pengertian Hak Guna Bangunan terdapat dalam Pasal 35 ayat
(1) UUPA yakni hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan atas
tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu paling lama
30 tahun. Hak Guna Bangunan diatur dalam UUPA (Pasal 35 - Pasal
40) dan PP Nomor 18 Tahun 2021 (Pasal 34 - Pasal 48). Menurut
Arba (2017,113) Hak Guna Bangunan memiliki ciri-ciri yaitu:
a. dapat beralih dan dialihkan
b. memiliki jangka waktu terbatas
c. dapat dijadikan jaminan utang
d. dapat dilepaskan oleh pemegang hak
e. dapat terjadinya dari hak milik dan tanah negara
Subjek dari Hak Guna Bangunan adalah warga Negara
Indonesia dan badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia
dan berkedudukan di Indonesia. Apabila pemegang hak tidak lagi
memenuhi syarat sebagai subjek hak guna bangunan maka dalam
waktu 1 (satu) tahun wajib dilepaskan atau dialihkan kepada pihak
lain yang memenuhi syarat. Objek dari Hak Guna Bangunan adalah
tanah negara dan tanah hak milik (Pasal 37 UUPA) sedangkan
menurut ketentuan Pasal 36 PP Nomor 18 Tahun 2021 objek Hak
Guna Bangunan meliputi tanah negara, tanah hak pengelolaan dan

2
tanah hak milik.

2
Berdasarkan ketentuan Pasal 37 ayat (1) PP Nomor 18 Tahun
2021 disebutkan bahwa jangka waktu berakhirnya Hak Guna
Bangunan di atas tanah negara dan tanah hak pengelolaan paling lama
30 tahun, dan dapat diperpanjang paling lama 20 tahun, serta dapat
diperbarui paling lama 30 tahun. Sedangkan jangka waktu hak guna
bangunan di atas tanah hak milik paling lama 30 tahun dan dapat
diperbarui dengan akta pemberian hak guna bangunan di atas hak
milik. Sama halnya seperti hak guna usaha, apabila jangka waktunya
berakhir maka hak guna bangunan kembali menjadi tanah negara atau
tanah hak pengelolaan. Dalam hal tanahnya kembali menjadi tanah
negara, maka hak prioritas untuk menata kembali penggunaan dan
pemanfaatan tanah dapat diberikan kepada bekas pemegang hak.
Terjadinya Hak Guna Bangunan berdasarkan ketentuan Pasal 37
UUPA yakni karena penetapan pemerintah jika objeknya tanah negara
dan karena perjanjian yang berbentuk otentik antara pemilik tanah
dengan pihak yang akan memperoleh hak guna bangunan jika
objeknya tanah milik perseorangan. Menurut ketentuan Pasal 38 PP
Nomor 18 Tahun 2021 Hak Guna Bangunan di atas tanah negara
terjadi karena keputusan pemberian hak oleh Menteri. Hak Guna
Bangunan di atas tanah hak pengelolaan terjadi karena pemberian hak
oleh Menteri berdasarkan persetujuan dari pemegang hak pengelolaan
sedangkan Hak Guna Bangunan di atas tanah hak milik terjadi melalui
pemberian hak oleh pemegang hak milik dengan akta yang dibuat oleh
Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Dalam ketentuan Pasal 40 UUPA disebutkan bahwa Hak Guna
Bangunan dapat hapus karena; (a) jangka waktu berakhir; (b)
dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena suatu syarat
tidak dipenuhi; (c) dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka
waktunya berakhir; (d) dicabut untuk kepentingan umum; (e) tanahnya
ditelantarkan; (f) tanahnya musnah; (g) karena ketentuan Pasal 36 ayat
(2) UUPA. Namun dalam ketentuan Pasal 46 PP Nomor 18 Tahun 2021

2
terdapat beberapa tambahan mengenai hapusnya Hak Guna Bangunan,
yakni: (a) jangka waktunya berakhir; (b) dibatalkan haknya oleh
Menteri sebelum jangka waktunya berakhir karena tidak terpenuhinya
kewajiban dan melanggar larangan yang telah ditentukan, tidak
terpenuhi syarat atau kewajiban dalam perjanjian pemberian hak guna
bangunan, cacat administrasi dan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap; (c) diubah haknya menjadi hak
atas tanah lain; (d) dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya
sebelum jangka waktunya berakhir; (e) dilepaskan untuk kepentingan
umum; (f) dicabut berdasarkan Undang-Undang; (g) ditetapkan
sebagai tanah terlantar; (h) ditetapkan sebagai tanah musnah; (i)
berakhirnya perjanjian pemanfaatan tanah untuk hak guna bangunan
di atas hak milik atau hak pengelolaan; (j) pemegang hak sudah tidak
memenuhi syarat sebagai subjek hak.

4) Hak Pakai
Pengertian tentang Hak Pakai terdapat dalam Pasal 41 ayat (1) UUPA
hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang
langsung dikuasai Negara atau tanah milik orang lain. Hak Pakai
diatur dalam UUPA (Pasal 41 - Pasal 43) dan PP Nomor 18 Tahun
2021 (Pasal 49 - Pasal 63). Menurut Arba (2017,117) Hak Pakai
memiliki ciri-ciri yaitu:
a. penggunaan tanah bersifat sementara
b. dapat dibuat perjanjian agar tidak diwariskan
c. dapat dialihkan dengan izin tanah negara dan dimungkinkan
oleh perjanjian jika tanah hak milik
d. dapat dilepaskan sehingga kembali kepada negara atau pemilik
Hak Pakai dapat dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu; (a) hak pakai
dengan jangka waktu; dan (b) hak pakai selama dipergunakan. Subjek
dari Hak Pakai dengan jangka waktu berdasarkan ketentuan Pasal 49
ayat (2) PP Nomor 18 Tahun 2021 adalah warga Negara Indonesia,
orang asing, badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia,

2
badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia serta
badan keagamaan dan sosial sedangkan subjek Hak Pakai selama
dipergunakan adalah instansi pemerintah, pemerintah daerah,
pemerintah desa serta perwakilan negara asing dan perwakilan badan
internasional.
Objek Hak Pakai dengan jangka waktu sesuai ketentuan Pasal
51 ayat (1) PP Nomor 18 Tahun 2021 meliputi tanah negara, tanah hak
milik dan tanah hak pengelolaan. Selanjutnya Pasal 51 ayat (2)
menyebutkan bahwa objek Hak Pakai selama dipergunakan adalah
tanah negara dan tanah hak pengelolaan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 52 PP Nomor 18 Tahun 2021
menyebutkan bahwa Hak Pakai dengan jangka waktu yang dapat
diberikan di atas tanah negara dan tanah hak pengelolaan paling lama
30 tahun dan dapat diperpanjang paling lama 20 tahun serta dapat
diperbarui paling lama 30 tahun sementara Hak Pakai selama
dipergunakan tidak memiliki jangka waktu asalkan tanah tersebut
efektif digunakan dan dimanfaatkan.
Terjadinya Hak Pakai berdasarkan ketentuan Pasal 53 PP
Nomor 18 Tahun 2021 yakni Hak Pakai di atas tanah negara diberikan
dengan keputusan pemberian hak, Hak Pakai di atas tanah hak
pengelolaan diberikan dengan keputusan pemberian hak berdasarkan
persetujuan pemegang hak pengelolaan sedangkan Hak Pakai di atas
tanah hak milik terjadi melalui pemberian oleh pemegang hak milik
dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Meskipun di dalam ketentuan UUPA tentang Hak Pakai tidak
menjelaskan mengenai hapusnya hak, namun dapat diketahui
berdasarkan ketentuan Pasal 61 PP Nomor 18 Tahun 2021, yaitu: (a)
jangka waktunya berakhir; (b) dibatalkan haknya oleh Menteri
sebelum jangka waktunya berakhir karena tidak terpenuhinya
kewajiban dan melanggar larangan yang telah ditentukan, tidak
terpenuhi syarat atau kewajiban dalam perjanjian pemberian hak guna
bangunan, cacat

2
administrasi dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap; (c) diubah haknya menjadi hak atas tanah lain; (d)
dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya sebelum jangka
waktunya berakhir; (e) dilepaskan untuk kepentingan umum; (f)
dicabut berdasarkan Undang-Undang; (g) ditetapkan sebagai tanah
terlantar;
(h) ditetapkan sebagai tanah musnah; (i) berakhirnya perjanjian
pemberian hak atau perjanjian pemanfaatan tanah untuk hak pakai di
atas hak milik atau hak pengelolaan; (j) pemegang hak sudah tidak
memenuhi syarat sebagai subjek hak.

b. Hak Atas Tanah Bersifat Sementara, yaitu hak atas tanah yang sewaktu-
waktu dapat dihapus karena memiliki unsur pemerasan yang tidak sesuai
dengan UUPA. Jenis-jenis hak atas tanah yang bersifat sementara adalah
sebagai berikut:
a) Hak gadai tanah/jual gadai/jual sende, artinya memberikan tanah
kepada pihak lain dan pihak lain tersebut menyerahkan sejumlah
uang kepada orang yang memberikan tanah dengan perjanjian bahwa
orang yang memberikan tanah berhak mengambil kembali tanahnya
apabila telah dilakukan pembayaran dengan jumlah yang sama
kepada pihak lain tersebut.
b) Hak Usaha Bagi Hasil, yaitu hak istimewa seseorang atau badan
hukum untuk mengusahakan tanah pertanian milik orang lain dengan
ketentuan bahwa hasil yang diperoleh dari tanah tersebut harus
dibagi antara kedua belah pihak sesuai dengan perjanjian pembagian.
c) Hak Sewa Tanah Pertanian, yaitu bentuk pengalihan suatu tanah
pertanian oleh pemilik tanah kepada pihak lain melalui pembayaran
uang yang nilainya telah disepakati dan dengan jangka waktu yang
ditentukan. Apabila jangka waktu selesai maka tanahnya wajib
diserahkan kepada pemilik tanah.
d) Hak menumpang adalah hak yang diberikan kepada seseorang untuk
membangun rumah tinggal pada tanah pekarangan yang menjadi hak
orang lain. Pihak yang menumpang tidak melakukan perjanjian

3
pembayaran sesuatu kepada pemilik tanah. Pemakaian tanah hanya
bersifat sementara dan pada suatu saat dapat diambil kembali oleh
pemilik tanah apabila tanah tersebut diperlukannya.

3. Banjir Rob
Banjir rob adalah suatu kejadian/fenomena alam dimana ketika muka
air laut mengalami waktu pasang, disaat bersamaan wilayah daratan sekitar
digenangi air laut tersebut. Fenomena ini dapat terjadi dikarenakan beberapa
faktor yaitu tingginya pasang air laut, penurunan area hutan, adanya
degradasi lahan, terdapat gangguan kondisi hidrologi, buruknya sistem
drainase dan banyaknya limbah rumah tangga. (Marwah dan Alwi dalam
Dwi Chandra 2021,3). Menurut Pamungkas (2011,10), banjir Rob yang
terjadi pada wilayah pesisir pantai disebabkan oleh: (1) Permukaan tanah
lebih rendah dari permukaan pasang air laut; (2) Efek dari pemanasan global
dapat menyebabkan tingginya pasang air laut. Namun hal yang paling utama
adalah adanya amblesan tanah (land subsidence)8 yang disebabkan oleh
pengambilan air dari dalam tanah dilakukan secara berlebihan dan
sedikitnya resapan air disertai langkah konsolidasi yang tidak tepat.
Menurut pendapat Dahuri (2001,60) ketika permukaan air laut dalam
keadaan naik maka akan berdampak sebagai berikut:
a. Daratan akan tergenang banjir
Penyebab terjadinya dapat berupa adanya perubahan iklim gelombang
dan pola badai sehingga dapat mempengaruhi pasang surut air laut.
Selain itu perubahan curah hujan merupakan pengaruh utama datangnya
banjir ke wilayah daratan. Ketika banjir menggenangi daratan maka
dampak negatif akan timbul bagi masyarakat yang tinggal di wilayah
tersebut. Masuknya air laut ke pemukiman masyarakat membuat
kerugian dan terganggunya aktivitas masyarakat. Disamping itu
pertanian dan lahan tambak tidak produktif ataupun tidak dapat

8
suatu fenomena alam dimana terjadi penurunan/amblesan tanah pada wilayah pesisir akibat
tingginya pembangunan di perkotaan yang tidak terkontrol sehingga tanah tidak mampu menahan
beban bangunan, selain itu dapat juga diakibatkan oleh pengambilan air tanah secara berlebihan.

3
dimanfaatkan sama sekali. Sehingga mengganggu mata pencaharian
masyarakat sekitar.
b. Air tawar berkurang akibat bercampur dengan air laut
Dampak dari kejadian ini adalah terdapatnya suatu perubahan pada
tumbuhan dan tanaman yang berada di daratan pesisir, perubahan
pertanian dan tentu juga perubahan kesuburan tanah. Hal ini disebabkan
karena tingginya tingkat kandungan garam air laut dibandingkan air
tawar. Selain itu dengan berkurangnya persediaan air tawar akibat
adanya pencampuran dengan air laut maka masyarakat kesulitan
memperoleh air bersih untuk keperluannya setiap hari. Pentingnya air
tawar bagi kebutuhan hidup manusia membuat masyarakat pesisir
melakukan adaptasi dengan cara merubah perilaku dalam pemanfaatan
air bersih.
c. Perubahan tumbuh-tumbuhan
Oleh karena meningkatnya air laut yang masuk ke wilayah daratan
maka menyebabkan genangan pada daerah pertanian maupun ladang
sehingga tumbuhan akan menjadi rusak dan tidak dapat ditanami dan
ditumbuhi lagi.
Terjadinya bencana banjir Rob pada wilayah Kabupaten Demak dalam
empat tahun terakhir mencapai ketinggian yang bervariatif yaitu 10 cm-200
cm. Hal ini disebabkan oleh adanya penurunan tanah (land subsidence).
Adanya eksplorasi air tanah secara berlebihan dilakukan oleh industri
menyebabkan terjadinya penurunan muka tanah sekitar 12 cm per tahun di
wilayah pesisir Kabupaten Demak. Data tersebut tercatat pada Kantor Badan
Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Demak tahun 2017
(Styawan dalam Dwi Chandra 2021,4).

4. Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum


Perkembangan pembangunan infrastruktur begitu pesat dilakukan oleh
pemerintah dalam kurun waktu satu dekade ini dengan tujuan untuk
pembangunan perekonomian bangsa. Salah satu pembangunan yang paling
marak dilakukan adalah jalan tol, dimana sasaran utama pembangunan
tertuju pada kepentingan umum. Oleh karena itu segala upaya
3
penyediaan tanah

3
untuk pelaksanaannya harus melalui mekanisme pengadaan tanah
(Sudirman 2014,522-523). Pengadaan tanah merupakan pemberian ganti
kerugian kepada pemilik tanah melalui mekanisme dan besaran tertentu
sebagai upaya dan langkah hukum yang dilaksanakan pemerintah dalam hal
memperoleh tanah yang tujuannya untuk kepentingan tertentu
(Koeswahyono 2008,1).
Pemahaman tentang “kepentingan umum” dalam pengadaan tanah
merupakan hal yang sangat penting karena fakta yang ada di lapangan
sering menimbulkan berbagai pertanyaan mengenai kriterianya. Menurut
Maria
S.W. Sumardjono dalam Sarjita (2012,51) terdapat dua doktrin kepentingan
umum, yaitu:
1. Pedoman umum, yang secara umum menyebutkan bahwa pengadaan
tanah harus berdasarkan alasan kepentingan umum. Kata “umum”
memiliki arti public atau social, general, common, collective.
Sedangkan “kepentingan” sering diganti dengan need, necessity,
interest, function, utility atau use. Berdasarkan sifatnya yakni sebagai
pedoman, maka dapat memberikan kebebasan bagi pemerintah untuk
menyatakan apakah proyek yang dilaksanakan memenuhi syarat
kepentingan umum dengan menafsirkan pedoman tersebut.
2. Penyebutan kepentingan umum dalam suatu daftar kegiatan yang secara
jelas mengidentifikasi tujuannya: sekolah, jalan, bangunan-bangunan
pemerintah, dan sebagainya, yang oleh peraturan perundang-undangan
dipandang bermanfaat untuk umum. Segala kegiatan di luar yang
tercantum dalam daftar tersebut tidak dapat dijadikan alasan untuk
pengadaan tanah.
Dalam kenyataannya kedua doktrin tersebut digabungkan dalam satu
kesatuan tentang pengadaan tanah secara serta merta atau segera (quick-
tacking), yang memberi kemungkinan untuk menguasai tanah sebelum ganti
kerugian ditentukan atau dibayar (Sarjita 2012,52). Penyebutan jenis-jenis
kegiatan pembangunan kepentingan umum yang bersifat eksklusif,
dimaksudkan untuk membatasi kebebasan pemerintah untuk mengambil

3
tanah di luar kegiatan yang tercantum dalam daftar itu. Selain itu, sifat

3
inklusif dimaksudkan untuk membatasi kebebasan badan peradilan (Sarjita
2012,52).
Dalam Pasal 1 butir (6) UU Nomor 2 Tahun 2012, kepentingan umum
diartikan sebagai kepentingan bersama yang harus diwujudkan untuk
kemakmuran rakyat dan kesejahteraan perekonomian seluruhnya demi
keutuhan Bangsa dan Negara. Kepentingan umum dalam UU Nomor 2
Tahun 2012 menyangkut dalam daftar kegiatan yang telah ditetapkan. Hal
ini termasuk dalam doktrin kedua sebagaimana yang disebut oleh Maria
S.W. Sumardjono. Daftar kegiatan yang dimaksud meliputi 18 jenis
kegiatan yang tercantum dalam pasal 10 UU Nomor 2 Tahun 2012. Namun
dengan berlakunya UU Nomor 11 Tahun 2020 (UUCK), daftar kegiatan
tersebut telah diubah sehingga bertambah menjadi 24 jenis kegiatan.
Penambahan jenis kegiatan yang dimaksud yaitu kawasan industri hulu dan
hilir minyak dan gas, kawasan ekonomi khusus, kawasan industri, kawasan
pariwisata, kawasan ketahanan pangan dan kawasan pengembangan
teknologi. Hal ini sesuai dengan Pasal 123 ayat (2) UUCK dan Pasal 2 PP
Nomor 19 Tahun 2021. Kepentingan umum dalam kedua peraturan tersebut
mengarah kepada kepentingan penciptaan kerja. Sementara dalam ketentuan
Pasal 1 butir (7) PP Nomor 19 Tahun 2021, kepentingan umum merupakan
kepentingan bangsa, negara, dan masyarakat yang harus direalisasikan oleh
pemerintah baik pusat maupun daerah sehingga dapat digunakan untuk
kesejahteraan masyarakat.

5. Konsep Kepastian Hukum


Kepastian hukum merupakan suatu kepastian yang dibuat untuk suatu
hal yang meliputi kewaspadaan karena rasa ragu, takut dan ketidakpastian.
Secara luas, kepastian hukum berkaitan erat dengan suatu keabsahan dimana
kepastian itu bersifat sah sesuai dengan peraturan yang berlaku secara formil
dan materil (Ramdhani 2017,143). Ketika ditinjau secara normatif berarti
terdapat keadaan dimana suatu aturan dibuat dan disahkan dengan pasti
karena adanya aturan yang jelas dan logis. Artinya tidak perlu ada keraguan
dan aturannya berada pada sistem norma yang saling berkaitan sehingga
tidak
3
bertabrakan atau menjadikan konflik hukum. Ketidakpastian hukum dapat
menimbulkan konflik berupa perebutan peraturan, pengurangan aturan atau
fakta tentang segala aturan dapat diputarbalikkan.
Konsepsi kepastian hukum menurut Gustav Radbruch, dapat dilihat
dari dua aspek yaitu: (a) Kepastian hukum oleh karena hukum; yaitu hukum
merupakan jaminan keadilan dimana pada saat hukum dapat memberikan
jaminan kepastian hukum maka hukum dikatakan berfungsi sesuai tugasnya.
(b) Kepastian hukum dalam atau dari hukum; yaitu kepastian hukum dalam
hal ini dapat terwujud ketika hukum sebanyak-banyaknya diatur dalam
undang-undang yang segala ketentuannya tidak saling bertentangan.
Pembuatan undang-undang didasarkan pada keadaan hukum yang
sebenarnya dan tidak mudah melakukan penafsiran secara berbeda pada
setiap maknanya. Menurut Gustav Radbruch ada 4 (empat) hal yang
mendasari suatu makna kepastian hukum, yaitu: (1) Hukum itu positif,
maksudnya adalah perundang- undangan; (2) Hukum berdasarkan pada
kenyataan; (3) Perumusan fakta harus jelas agar tidak terjadi kekeliruan
terhadap maknanya; (4) Hukum positif sulit untuk diubah.
Dalam kenyataannya kepastian dan keadilan tidak bisa dikaitkan
karena tidak membentuk satu garis lurus. Hal ini disebabkan karena
seringnya kepastian hukum meniadakan prinsip keadilan hukum begitu juga
sebaliknya keadilan hukum sering meniadakan prinsip kepastian hukum.
Ketika dalam pelaksanaannya terdapat perlawanan yaitu kepastian
dipertentangkan dengan keadilan, maka yang dimenangkan adalah keadilan
hukum karena keadilan pada dasarnya berasal dari belas kasihan si pemberi
keadilan, sementara kepastian itu hanya wujudnya saja yang nyata
(Ramdhani 2017,144).
Kesimpulan yang dapat ditarik dari penjelasan di atas adalah bahwa
kepastian hukum itu harus jelas, penafsiran searah, tidak berlawanan
ataupun bertentangan dan dapat dilakukan. Dalam kehidupan masyarakat,
hukum harus hadir dengan tegas dan terbuka kepada siapa pun sehingga
seluruh insan masyarakat dapat merasakan dan memahami arti dari suatu
aturan hukum. Untuk tidak menimbulkan keragu-raguan di tengah-tengah

3
masyarakat,

3
hukum harus konsisten. Artinya diantara hukum yang telah diatur tidak
boleh bertentangan (Wignjosoebroto, 2006).

6. Konsep Perlindungan Hukum


Pengertian perlindungan hukum menurut Raharjo (2000,54) adalah
perlindungan yang diberikan kepada masyarakat yang telah dirugikan orang
lain apabila terjadi pelanggaran hak asasi manusia. Oleh sebab itu,
masyarakat dapat merasakan suatu kewenangan yang diberikan hukum.
Hukum sangat dibutuhkan bagi orang-orang yang lemah secara ekonomi,
sosial dan politik untuk mendapatkan keadilan sosial sehingga hukum dapat
berfungsi sebagai perwujudan perlindungan yang prediktif dan antisipatif.
Sedangkan dalam arti yang luas Hadjon (1987,29) berpendapat bahwa
dalam memberikan perlindungan hukum untuk rakyat, pemerintah harus
bersikap preventif yaitu melakukan upaya pencegahan terjadinya sengketa
yang mengarahkan pemerintah dalam pengambilan keputusan sepihak pada
situasi apapun (diskresi), dan memberikan perlindungan yang represif dalam
penanganan dan penyelesaian sengketa baik di dalam lembaga peradilan
maupun di luar peradilan.
Berdasarkan pendapat di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa upaya
pemerintah dalam memberikan perlindungan hukum kepada masyarakat
secara preventif dan represif maupun secara lisan dan tertulis sebaiknya atas
dasar keadilan dan kedamaian serta bermanfaat dan pasti agar fungsi hukum
yang sebenarnya dapat tercapai. Upaya untuk memberikan perlindungan
terhadap masyarakat dari perbuatan penyelewengan kekuasaan oleh
pemimpin yang tidak mengindahkan ketentuan hukum juga merupakan
bentuk perlindungan hukum untuk terwujudnya ketertiban dan ketentraman
serta perlindungan atas martabat seorang manusia.
Perlindungan hukum dalam administrasi Negara merupakan
representasi dari jalannya fungsi hukum guna terciptanya tujuan-tujuan
hukum, yaitu adil, bermanfaat dan memiliki kepastian hukum. Sama seperti
pengertian perlindungan hukum yang dijelaskan di atas bahwa subjek
hukum berhak memperoleh perlindungan hukum yang berdasarkan
ketentuan atau
3
peraturan hukum. Lebih jelasnya perlindungan hukum diberikan dalam
rangka penegakan aturan hukum baik dalam bentuk lisan maupun tertulis
atau mengandung unsur pencegahan maupun pemaksaan berdasarkan
sifatnya. Secara umum pelaksanaan pemberian perlindungan hukum kepada
rakyat Indonesia harus berdasarkan Pancasila sebagai bentuk perlindungan
dan pengakuan terhadap harkat dan martabat bangsa Indonesia (Togatorop
2020,25).
Perlindungan hukum merupakan hak yang harus diterima oleh seluruh
warga negara Indonesia ketika subjek hukum sedang dikhianati oleh hukum
itu sendiri. Hal ini sesuai dengan amanat dalam Undang-Undang Dasar 1945
yakni terdapat persamaan kedudukan hukum bagi setiap orang. Oleh karena
itu setiap produk hukum dalam pelaksanaan administrasi negara harus
mampu memberikan jaminan kepastian hukum dan mampu melihat
kebutuhan dan keadilan hukum yang ditinjau dari aspek sosial masyarakat
sehingga dengan sendirinya akan memberikan jaminan perlindungan hukum
yang mengutamakan perlindungan akan hak asasi manusia.
Untuk memperjelas kerangka teoritis yang telah diuraikan di atas,
akan disajikan dalam bentuk skema pada gambar.1 berikut:

4
Hak Penguasaan Atas Tanah (UUPA)

Hak Bangsa Indonesia

Hak Menguasai Dari Negara


Hak-Hak Atas Tanah
Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Hak-Hak Atas Air dan Ruang Angkasa

Hak Perseorangan Wakaf


Hak Tanggungan

Hak Ruang Atas dan Bawah Tanah

Sertipikat HAT

Tetap Sementara
Banjir Rob

Kepastian
Pembangunan Jalan Tol Terintegrasi Tanggul Laut
Hukum
Perlindung
an
Kepentingan Diteliti
Keterangan:
Umum
Tidak Diteliti

Gambar 1. Bagan Alir Kerangka Teoritis

4
B. Kerangka Pemikiran
Legalitas kepemilikan atas suatu bidang tanah yang dikuasai oleh setiap
orang dibuktikan dengan adanya sertipikat hak atas tanah. Masyarakat yang
menguasai tanah wajib mendaftarkan tanahnya berdasarkan bukti-bukti
kepemilikannya guna mendapatkan sebuah legalitas. Dengan terbitnya
sertipikat hak atas tanah maka semakin menguatkan hubungan hukum antara
subjek dan objek hak serta terjaminnya kepastian hukum atas tanah yang
dimiliki masyarakat. Terjadinya bencana sangat berhubungan dengan
permasalahan penguasaan tanah yang terdampak atas bencana tersebut. Dengan
adanya bencana, masyarakat pemegang sertipikat hak atas tanah tidak dapat
lagi menggunakan dan memanfaatkan tanah yang dimilikinya. Perolehan hak
atas tanah pun menjadi polemik bagi pemerintah pada tanah-tanah milik
masyarakat yang tergenang banjir Rob karena adanya jaminan kepastian
hukum yang melekat pada sertipikat hak atas tanah milik masyarakat.
Dengan adanya pembangunan jalan tol Semarang-Demak terintegrasi
tanggul laut menjadikan sebuah solusi yang tepat untuk mengatasi banjir Rob.
Namun dalam pelaksanaannya terdapat kendala pada proses pemberian ganti
kerugian tanah masyarakat yang bertumpu pada penetapan status hak atas tanah
pada objek tanah yang berada di wilayah tergenang banjir Rob dan terdampak
pembangunan jalan tol terintegrasi tanggul laut. Permasalahan yang sangat
kompleks yang dihadapi pemerintah saat ini perlu penanganan serius dan tepat
sasaran agar terwujud suatu bentuk pertanggungjawaban pemerintah terhadap
kondisi yang dialami masyarakat. Pemerintah perlu memikirkan kesejahteraan
rakyat dan kemakmuran bangsa. Artinya pemerintah tidak dapat melepaskan
hak masyarakat secara otoritas tanpa memandang aspek kehidupan sosialnya.
Disisi lain, masyarakat juga wajib mendukung langkah pemerintah secara
kooperatif guna terwujudnya pembangunan untuk kepentingan umum.
Untuk dapat menyelesaikan Program Strategis Nasional pada
pembangunan jalan tol Semarang-Demak terintegrasi tanggul laut perlu
dilakukan kajian hukum terkait kepastian hukum hak atas tanah dengan
menganalisis peraturan perundang-undangan yang berlaku melalui penafsiran

4
hukum sehingga dapat ditetapkan status hak atas tanahnya. Perlindungan
hukum terhadap masyarakat yang terdampak dapat dianalisis melalui analisis
empiris yaitu dengan menganalisis kehidupan sosial masyarakat terdampak dan
dihubungkan dengan teori kepentingan umum dalam pengadaan tanah.
Sehingga melalui analisis tersebut akan diperoleh juga rekomendasi kebijakan
guna menyelesaikan permasalahan pada kegiatan pembangunan jalan tol
terintegrasi tanggul laut.
Untuk memperjelas kerangka pemikiran yang telah diuraikan di atas,
akan disajikan dalam bentuk skema pada gambar.2 berikut:

4
Pasal 33 ayat (3) UUD
Negara Republik Indonesia
Tahun 1945

UUPA (UU Nomor 5/1960)

Hak Bangsa Indonesia Pasal 6 dan 18 UUPA

Hak Menguasai Dari Negara

Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat


UU Nomor 2/2012 Jo. UU Nomor 11/2021 Jis.
Nomor 19/2021
Hak Perseorangan

Hak Atas Tanah

Pembangunan Jalan Tol Terinteg


Sertipikat Hak Atas Tanah
Bencana Banjir Rob

Teori Kepastian Hukum Teori Perlindungan Hukum Teori Kepentingan Umum

Keterangan:
Penafsir Analisis Empiris
an Diteliti
Tidak Diteliti

Jaminan Perlindungan Hukum Rekomendasi Kebijakan


Status Hak
Atas
Gambar 2. Bagan Alir Kerangka Pemikiran

4
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Format Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum/penelitian yuridis.
Penelitian hukum adalah penelitian yang memerlukan suatu keahlian untuk
menentukan dan menetapkan identitas dalam permasalahan hukum, melakukan
pemahaman hukum, kemudian menganalisis permasalahan yang ada sehingga
dapat memberikan solusi atas permasalahan (Marzuki 2013,60). Penelitian
hukum yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif dan penelitian
yuridis empiris.
Penelitian hukum normatif merupakan suatu cara dalam penelitian ilmiah
untuk mendapatkan keadaan yang sebenarnya menggunakan pemahaman ilmu
hukum yang masuk akal sesuai norma atau ketentuan yang berlaku (Ibrahim
2012,57). Hal ini dimaksudkan untuk menjawab isu hukum yang dihadapi
berdasarkan aturan hukum, prinsip hukum dan doktrin-doktrin hukum. Metode
penelitian yuridis normatif ini dilakukan untuk mengkaji status hak atas tanah
yang tergenang banjir Rob pada pembangunan jalan tol Semarang-Demak
terintegrasi tanggul laut dari berbagai peraturan perundangan yang berlaku.
Metode penelitian yuridis empiris merupakan suatu penelitian yang
mengajak para penelitinya tidak hanya memikirkan masalah-masalah hukum
berdasarkan penerapan peraturan hukum yang berlaku melainkan juga dapat
ditinjau dari perspektif kehidupan sosial masyarakat yang penuh gejala
sehingga menarik untuk dilakukan penelitian (Sonata 2014,28). Penelitian
hukum empiris dilakukan untuk mengkaji tindak lanjut/implementasi hukum
yang dapat diberikan terhadap hak-hak atas tanah yang tergenang banjir Rob.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian hukum normatif adalah
pendekatan perundang-undangan (statue approach), dan pendekatan
konseptual (conceptual approach). Menurut pendapat Marzuki (2013,133)
pendekatan perundang-undangan dilakukan dengan mengkaji peraturan
perundang- undangan yang berhubungan dengan isu hukum yang diteliti
sedangkan

4
pendekatan konseptual bergerak dari pengetahuan dan ajaran yang semakin
meluas dalam ilmu hukum. Harapannya dengan mempelajari secara mendalam
peneliti dapat menemukan gagasan-gagasan yang menghasilkan definisi,
konsep dan asas hukum yang berkaitan dengan isu yang terjadi. Hal-hal yang
telah dipahami secara mendalam merupakan modal bagi peneliti dalam
menyampaikan argumentasi hukum guna pemecahan isu permasalahan yang
terjadi (Marzuki 2013,133). Sedangkan dalam penelitian hukum empiris
menggunakan pendekatan yuridis normatif. Hal ini dikarenakan bahwa
penelitian hukum empiris harus tetap bertumpu pada premis normatif.
Selanjutnya menggunakan pendekatan sosiologis, yang mempelajari hukum
dari gejala sosial yang ada di tengah masyarakat. Peneliti menyimpulkan
bahwa melalui metode dan pendekatan yang akan dilaksanakan, peneliti dapat
mengetahui status hukum hak atas tanah yang tergenang banjir Rob dari kajian
peraturan yang berlaku dan mengaitkannya dalam perspektif kehidupan sosial
masyarakat.

B. Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di Kecamatan Sayung Kabupaten Demak dengan
berfokus pada 3 (tiga) desa yaitu Desa Sriwulan, Desa Bedono, dan Desa
Purwosari. Desa tersebut merupakan wilayah yang kawasan pesisirnya paling
parah digenangi banjir Rob. Lokasi yang berfokus pada ketiga desa tersebut
merupakan lokasi yang akan diadakan Program Strategis Nasional (PSN) pada
pembangunan jalan tol Semarang-Demak terintegrasi tanggul laut yang sudah
ditetapkan lokasinya sesuai dengan Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah
Nomor 590/59 Tahun 2019 tentang Pembaruan Atas Penetapan Lokasi
Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan Jalan Tol Semarang-Demak Provinsi
Jawa Tengah.

C. Populasi dan Sampel Penelitian


Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pihak yang terlibat baik
pihak pemerintahan, pihak swasta, maupun dari masyarakat yang tanahnya
tergenang

4
banjir Rob. Sampel dalam penelitian ini adalah pejabat (Panitia Pengadaan
Tanah) yang berwenang ataupun perwakilannya, serta masyarakat pemegang
sertipikat hak atas tanah yang objek tanahnya tergenang banjir Rob dan
terdampak pengadaan tanah jalan tol Semarang-Demak terintegrasi tanggul laut.
Proses penarikan sampel dilakukan dengan cara memilih sebuah bagian
dari suatu populasi sehingga dapat ditentukan bagian-bagian dari objek yang
akan diteliti. Untuk itu dalam memilih sampel yang representatif diperlukan
sebuah teknik sampling. Dalam hal ini peneliti menggunakan teknik purposive
sampling dimana dalam teknik ini peneliti dapat menetapkan suatu kriteria
khusus yang sesuai dengan tujuan penelitian agar berguna dalam menjawab
suatu permasalahan.

D. Definisi Operasional
Definisi operasional dalam penelitian ini mengacu pada substansi
objek penelitian yang berupa:
a. Status hak atas tanah adalah kedudukan hak atas tanah yang ditentukan
melalui pengkajian hukum secara normatif sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
b. Banjir Rob adalah suatu fenomena dimana air laut masuk menggenangi
daratan akibat penurunan permukaan tanah sehingga mengakibatkan tanah
kehilangan fungsinya.
c. Jalan tol terintegrasi tanggul laut adalah jalan bebas hambatan yang
terhubung dengan tanggul penahan air laut yang berfungsi sebagai
pengendali banjir Rob dan dibangun melalui proses kegiatan pengadaan
tanah.
d. Pengadaan Tanah merupakan kegiatan pemberian ganti kerugian yang
layak dan adil yang dikaji dari berbagai aspek kepada pihak yang berhak
dalam hal penyediaan tanah yang dilakukan oleh pemerintah.
e. Kepentingan umum adalah kepentingan bangsa, negara, dan masyarakat
yang harus direalisasikan oleh pemerintah sehingga dapat digunakan untuk
kesejahteraan seluruh masyarakat.

4
f. Tanah musnah adalah tanah yang fisiknya tidak dapat diidentifikasi lagi
karena peristiwa alam sehingga tidak dapat difungsikan, digunakan, dan
dimanfaatkan sebagaimana mestinya.

E. Jenis, Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data


Penelitian ini menggunakan 3 (tiga) jenis data yaitu data primer, data
sekunder dan data non hukum serta beberapa sumber data sebagai berikut:

1. Data Primer
Data primer adalah bahan hukum yang mempunyai otoritas dan
mengikat (Ali 2016,47). Dalam penelitian ini data primer yang digunakan
adalah peraturan perundang-undangan yang terdiri dari:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria;
c. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan
Bencana;
d. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah
Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum;
e. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja
f. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2007 Tentang Penanganan Permasalahan Hukum Dalam Rangka
Pelaksanaan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan
Kehidupan Masyarakat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara (telah ditetapkan
menjadi Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2007);
g. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran
Tanah;
h. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 Tentang Hak
Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan
Pendaftaran Tanah;

4
i. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2021 Tentang
Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum;
j. Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2021 Tentang Kemudahan
Proyek Strategis Nasional;
k. Peraturan Presiden Nomor 58 Tahun 2017 Tentang Perubahan Atas
Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2016 Tentang Percepatan
Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional;

2. Data sekunder
Data sekunder adalah seluruh publikasi tentang hukum yang
merupakan dokumen non formal (Soekanto & Mamudji 2003,33). Data
sekunder dalam penelitian ini berupa dokumen peraturan perundang-
undangan, buku, tesis, skripsi, jurnal yang berkaitan dengan segala sesuatu
yang berhubungan dengan objek yang diteliti. Data pendukung lainnya
berupa: Dokumen perencanaan Pengadaan Tanah, Berita Acara Konsultasi
Publik, Surat Keputusan Penetapan Lokasi pembangunan, Dokumen
pelaksanaan inventarisasi dan identifikasi pengadaan tanah, peta genangan
Rob di Kecamatan Sayung, peta bidang-bidang tanah tergenang banjir Rob
pada pembangunan jalan tol terintegrasi tanggul laut,

3. Data non hukum


Dalam memudahkan peneliti mendapatkan jawaban atas isu hukum
yang diteliti perlu adanya data non hukum yang sekaligus digunakan
sebagai petunjuk dan penjabaran terhadap bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder (Marzuki 2013,196). Data non hukum ini dapat diperoleh
dari buku-buku teks di luar ilmu hukum, hasil wawancara, dialog, ceramah
dan kuliah dapat pula dijadikan sebagai data non hukum asalkan belum
pernah dipublikasikan secara tertulis. Data non hukum dalam penelitian ini
didapatkan melalui kegiatan wawancara kepada narasumber kemudian
diolah oleh peneliti.

4
Adapun informan yang dijadikan narasumber dalam penelitian ini
adalah Kepala Kantor Pertanahan; Kepala Seksi Penetapan Hak dan
Pendaftaran; Kepala Seksi Survei dan Pemetaan; Kepala Seksi Pengadaan
Tanah dan Pengembangan pada Kantor Pertanahan Kabupaten Demak;
Kepala Desa Sriwulan; Kepala Desa Bedono; Kepala Desa Purwosari;
Perwakilan dari masyarakat pemegang hak yang objek tanahnya tergenang
banjir Rob dan terdampak pembangunan jalan tol terintegrasi tanggul laut;
serta pihak yang terlibat dalam kegiatan Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan beberapa metode


menyesuaikan dengan jenis datanya. Terkait data yang bersifat kebijakan atau
dokumen, dilakukan dengan penelusuran dokumen dan studi dokumen.
Sedangkan untuk data yang terkait masyarakat sebagai subjek hak atas tanah
yang terdampak, mengenai pemilikan dan/atau penguasaan atas tanah,
mengenai proses pelaksanaan pengadaan tanah yang berlangsung dilakukan
melalui observasi dan wawancara langsung terhadap masyarakat dan pelaksana
pengadaan tanah, serta aparat desa/aparat pemerintah lainnya.
Untuk lebih jelas, teknik pengumpulan data yang akan dilakukan peneliti
dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel berikut:

5
Tabel 2.Teknik Pengumpulan Data

Teknik
No. Pengumpulan Perolehan Data Sumber Data Informasi Yang Diperoleh
Data
1. Studi Penelusuran dan a. Undang-Undang Dasar Negara Republik a. Mengetahui segala ketentuan tentang hak atas
Dokumen studi pustaka Indonesia Tahun 1945; tanah.
terhadap dokumen b. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 b. Mengetahui kedudukan sertipikat hak atas tanah
primer dan Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok yang memiliki jaminan kepastian hukum.
dokumen sekunder Agraria; c. Mengetahui akibat hukum hak atas tanah dalam
c. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 kebencanaan.
Tentang Penanggulangan Bencana; d. Mengetahui kedudukan sertipikat hak atas tanah
d. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 pada Pelaksanaan Pengadaan Tanah Bagi
Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum;
e. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020
Tentang Cipta Kerja
f. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2007 Tentang

5
Penanganan Permasalahan Hukum Dalam
Rangka Pelaksanaan Rehabilitasi dan
Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan
Masyarakat di Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi
Sumatera Utara (telah ditetapkan menjadi
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2007);
g. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun
1997 Tentang Pendaftaran Tanah;
h. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun
2021 Tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas
Tanah, Satuan Rumah Susun, dan
Pendaftaran Tanah;
i. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun
2021 Tentang Penyelenggaraan Pengadaan
Tanah Bagi Pembangunan Untuk
Kepentingan
Umum;

5
j. Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun
2021 Tentang Kemudahan Proyek Strategis
Nasional;
k. Peraturan Presiden Nomor 58 Tahun 2017
Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden
Nomor 3 Tahun 2016 Tentang Percepatan
Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional;
2. Wawancara Pengumpulan data a. Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten a. Mengetahui pelaksanaan identifikasi
dengan wawancara Demak permasalahan pada status hak atas tanah yang
yang didasarkan b. Kepala Seksi Penetapan Hak dan tergenang banjir Rob
pada pertanyaan- Pendaftaran Kantor Pertanahan Kabupaten b. Mengetahui proses pelaksanaan inventarisasi dan
pertanyaan dan Demak identifikasi bidang-bidang tanah yang tergenang
analisis informasi c. Kepala Seksi Survei dan Pemetaan Kantor banjir Rob dan terdampak pembangunan
serta mencatat hal- Pertanahan Kabupaten Demak c. Mengetahui strategi yang telah dilakukan
hal penting atau d. Kepala Seksi Pengadaan Tanah dan stakeholder dalam proses penyelesaian
merekam Pengembangan Kantor Pertanahan permasalahan hak atas tanah yang
pembicaraan Kabupaten Demak tergenang banjir Rob.
kemudian dibuat e. Satgas A dan Satgas B Panitia Pengadaan
Tanah

5
transkrip f. Kepala Desa Sriwulan d. Mengetahui pengetahuan masyarakat tentang hak
wawancaranya g. Kepala Desa Bedono atas tanah yang tidak dapat digunakan dan
h. Kepala Desa Purwosari dimanfaatkan lagi
i. Perwakilan dari masyarakat pemegang hak e. Mengetahui harapan masyarakat kepada
atas tanah yang objek tanahnya tergenang pemerintah atas tanah milik mereka yang
banjir Rob dan terdampak pembangunan tergenang banjir Rob.
jalan tol Semarang-Demak terintegrasi
tanggul laut.
3. Observasi Mengumpulkan Masyarakat Desa Sriwulan, Desa Bedono, dan a. Mengetahui kondisi eksisting di lapangan terkait
data lapangan Desa Purwosari pada Kecamatan Sayung penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah
dengan observasi Kabupaten Demak masyarakat tergenang dan terdampak
ke lokasi bencana b. Mengetahui keterlibatan masyarakat
banjir Rob dalam permasalahan yang kompleks
c. Mengetahui keberlangsungan kehidupan
masyarakat yang ditinjau dari aspek ekonomi,
sosial dan budaya.
Sumber: Olahan Data Sekunder Peneliti, 2021

5
F. Teknik Analisis Data
Teknik analisis dilakukan dengan cara mengadakan evaluasi terhadap
data primer, data sekunder dan data non hukum. Data yang telah dikumpulkan
yaitu peraturan-peraturan mengenai hak atas tanah, pelaksanaan pengadaan
tanah, informasi terkait kepemilikan hak atas tanah, informasi mengenai
strategi penyelesaian permasalahan yang dilakukan oleh seluruh stakeholder,
kemudian dianalisis atau ditelaah dan dievaluasi untuk dibuat suatu
kesimpulan. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitis yang berarti
melakukan analisis dimaksudkan untuk memberikan penjelasan atas hasil
penelitian yang telah dilakukan. Langkah awal untuk menganalisis data dalam
penelitian hukum yuridis normatif dan yuridis empiris dilakukan dengan
menyusun bahan-bahan hukum tertulis secara sistematis yaitu dengan cara
menyeleksi bahan hukum, lalu dilakukan pengelompokan menurut
penggolongan bahan hukum dan kemudian menyusunnya secara sistematis.
Hasil dari pengelompokan data yang telah tersusun secara sistematis
tersebut dihubungkan dengan hasil wawancara, hasil observasi dokumen serta
pengamatan keadaan di lapangan (peta hasil identifikasi bidang-bidang tanah
yang bersertipikat pada daerah tergenang banjir rob dihubungkan dengan
kondisi eksisting di lapangan) untuk selanjutnya disajikan dalam bentuk
deskripsi analitis. Teknik analisis dilakukan dengan cara interpretasi,
pemahaman, penafsiran hukum, dan memberikan argumentasi hukum dengan
menggunakan logika deduktif. Artinya dalam pengolahan bahan hukum harus
melalui penjelasan yang umum terlebih dahulu sebelum memasuki suatu hal
yang inti. Hasil dari analisis ini menjadi kelengkapan kajian status hak atas
tanah yang tergenang banjir Rob dari segi normatif dan empiris dengan
mengaitkan fakta hukum yang terjadi.

5
BAB IV
GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

A. Gambaran Umum Pembangunan Jalan Tol Semarang-Demak


Pengembangan jalan tol mempunyai efek yang positif bagi
pertumbuhan suatu wilayah, baik itu mempercepat mobilitas penduduk,
maupun efek pertumbuhan ekonomi yang sangat signifikan bagi wilayah
tersebut. Oleh karena itu pemerintah saat ini sedang berupaya
mengembangkan dan mempercepat proyek jaringan jalan tol di seluruh
Indonesia. Secara umum, pembangunan jalan tol di Pulau Jawa
dikelompokkan menjadi 2, yaitu: Trans Jawa dan Non-Trans Jawa. Jalan Tol
Semarang-Demak termasuk salah satu jaringan Tol Non-Trans Jawa.
Pada peta trase9 dan ROW-Plan10 yang telah dirancang, jalan tol
Semarang-Demak terbentang sepanjang 24 Km yang melewati 2 wilayah
administrasi kabupaten/kota, yakni Kota Semarang dan Kabupaten Demak.
Proses pembangunan jalan tol tersebut dibagi dalam 2 seksi, yaitu: Seksi I
(meliputi wilayah Kota Semarang), dan Seksi II (meliputi wilayah Kabupaten
Demak).

Gambar 3. Peta Trase Tol Ruas Semarang-Demak

9
garis tengah atau sumbu jalan tol yang saling berhubungan membentuk garis lurus.
10
rencana batas kiri kanan jalan yang menjadi satu kesatuan dengan jalan tol dan berfungsi sebagai
pengaman konstruksi jalan.

5
Trase jalan tol yang melewati wilayah Kota Semarang (Seksi I)
mencakup 3 kelurahan yang berada pada Kecamatan Genuk, sedangkan pada
wilayah Kabupaten Demak (Seksi II) mencakup 17 desa dan 1 kelurahan
yang terdiri dari 4 kecamatan yakni: Kecamatan Sayung, Kecamatan Karang
Tengah, Kecamatan Wonosalam dan Kecamatan Demak.

Tabel 3. Jumlah Desa/Kelurahan Terlewati Tol Semarang-Demak

Kelurahan Desa / Kelurahan


No. Kabupaten / Kota Jumlah %
Jumlah % Jumlah %
1 Kota Semarang 3 100 0 0 3 100
2 Kabupaten Demak 1 6 17 94 18 100
Jumlah 4 9 17 81 21 100
Sumber: Dokumen Perencanaan Pengadaan Tanah (DPPT) Jalan Tol
Semarang-Demak, 2016
Daerah pedesaan memiliki ciri khusus berupa keadaan wilayahnya yang
masih alami maupun keadaan penduduknya, dimana ketersediaan lahan
dengan manusianya memiliki perbandingan yang relatif besar. Artinya lahan-
lahan di daerah pedesaan masih sangat luas karena pengaruh nilai kepadatan
penduduknya yang relatif rendah. Ciri berikutnya yaitu lapangan pekerjaan
didominasi oleh sektor pertanian, dan memiliki hubungan kekeluargaan yang
masih kental antar masyarakat, serta masih menaati adat istiadat yang
berlaku. Wilayah perkotaan memiliki ciri yaitu: kepadatan penduduk yang
sangat tinggi, masyarakatnya yang heterogen yaitu bersifat individualistis
dan materialistis, mata pencaharian non agraris, hubungan kekeluargaan
mulai melemah, terdapat kesenjangan sosial antara kalangan masyarakat
atas dan masyarakat bawah, kaidah-kaidah agama tidak terlalu ketat,
pandangan hidup
yang logis, dan terdapat pengelompokan kehidupan sosial bermasyarakat.

Tabel 4.Wilayah Administrasi Terlewati Tol Semarang-Demak

No Kabupaten / Kota Kecamatan Desa / Kelurahan


Kel. Terboyo Wetan
1 Kota Semarang Genuk Kel. Terboyo Kulon
Kel.Trimulyo
Bersambung…

5
Tabel 4. (Sambungan)
No Kabupaten / Kota Kecamatan Desa / Kelurahan
Sriwulan
Bedono
Purwosari
Sayung Sidogemah
Sayung
Loireng
Tambakroto
Batu
Wonokerto
2 Kabupaten Demak Kedunguter
Karang Tengah Dukun
Karangsari
Pulosari
Grogol
Karangrejo
Wonosalam Wonosalam
Kendaldoyong
Demak Kel. Kadilangu
Sumber: Dokumen Perencanaan Pengadaan Tanah (DPPT) Jalan Tol
Semarang-Demak, 2016
Berdasarkan informasi yang diperoleh peneliti di lapangan, bahwa
panjang jalan tol Semarang-Demak yang tercantum pada Dokumen
Perencanaan Pengadaan Tanah (DPPT) yaitu sepanjang 24 Km, telah
mengalami perubahan menjadi 26,7 Km. Perubahan yang terjadi terletak pada
wilayah Kota Semarang, sementara pada wilayah Kabupaten Demak tidak
ada perubahan lokasi pembangunannya. Perubahan tersebut sedang disusun
dalam Dokumen Perencanaan Pengadaan Tanah (DPPT) yang akan
diperbaharui oleh pihak yang memerlukan tanah yaitu Kementerian Pekerjaan
Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Data terbaru menyebutkan bahwa
penyelenggaraan pembangunan jalan tol terbagi dalam 2 seksi yaitu seksi I
mencakup wilayah Kota Semarang - Kecamatan Sayung sepanjang 10,39 Km
dan seksi II mencakup wilayah Kecamatan Sayung - Kadilangu sepanjang
16,31 Km.

5
Saat ini, pelaksanaan pengadaan tanah sedang berlangsung pada seksi II
dimana sebagian besar pemilik lahan yang terdampak pembangunan jalan tol
seksi II sudah mendapatkan ganti kerugian, sehingga tahapan pelaksanaan
pembangunan fisik jalan tolnya sudah dapat dimulai. Namun, untuk
pelaksanaan pembangunan pada lokasi pengadaan tanah seksi I belum dapat
dimulai karena menyangkut permasalahan banjir Rob yang menggenangi
tanah-tanah masyarakat saat ini.

B. Gambaran Umum Lokasi Pembangunan Jalan Tol Terintegrasi


Tanggul Laut Pada Wilayah Kabupaten Demak

Trase dan ROW-Plan seksi I pada pembangunan jalan tol Semarang-


Demak telah dirancang sepanjang 10,39 Km, dan terhubung dari wilayah
Kota Semarang sampai Kecamatan Sayung. Seksi I merupakan proyek
pembangunan jalan tol terintegrasi tanggul laut dimana desain jalan tol
terintegrasi tanggul laut ini dibuat guna menanggulangi banjir Rob yang telah
menggenangi lahan-lahan pertanian dan permukiman masyarakat yang berada
di Kawasan Pesisir Pantai Utara selama berpuluh-puluh tahun. Kegiatan
pengadaan tanah seksi I tidak hanya dilakukan pada trase dan ROW-Plan
yang telah dirancang, namun ada juga kolam retensi 11 yang akan dibangun.
Kolam retensi ini berfungsi sebagai pengendalian banjir Rob, sehingga lahan-
lahan yang tergenang nantinya akan berpotensi kering setelah pembangunan
selesai dilaksanakan.
Dalam penyelenggaraan pembangunan jalan tol Semarang-Demak,
pelaksanaan pengadaan tanah seksi I mengalami permasalahan yang
kompleks terkait penetapan status tanah yang tergenang banjir Rob. Kondisi
eksisting di lapangan menunjukkan bahwa terdapat sebagian besar tanah-
tanah masyarakat terdampak pembangunan sulit untuk diidentifikasi karena
tertutup oleh genangan air Rob. Dalam permasalahan pengadaan tanah seksi I
yang meliputi

11
kolam yang memiliki fungsi sebagai penampung volume air pada saat pasang air laut
maksimum, kemudian secara perlahan mengalirkannya ke laut sehingga banjir Rob dapat
terkendali.

5
wilayah Kota Semarang dan Kabupaten Demak, peneliti hanya mengkaji
permasalahan pembangunan jalan tol terintegrasi tanggul laut yang terdapat
pada wilayah administrasi Kabupaten Demak yaitu Kecamatan Sayung yang
terdiri dari 3 desa yakni Desa Sriwulan, Desa Bedono dan Desa Purwosari.

Gambar 4. Lokasi Pengadaan Tanah Seksi I Jalan Tol Terintegrasi Tanggul


Laut
Sumber: Hasil Olahan Peneliti, 2021
Wilayah Kabupaten Demak terletak di bagian utara Pulau Jawa dengan
luas wilayah 897,43 Km² atau 89.743 Ha, dengan jarak bentangan utara ke
selatan sepanjang 41 Km dan timur ke barat sepanjang 49 Km. Secara
geografis terletak antara: 6º43’26” sampai dengan 7º09’43” Lintang Selatan
dan 110º27’58” sampai dengan 110º48’47” Bujur Timur. Dan mempunyai
batas- batas wilayah sebagai berikut:

a. Sebelah Utara : Kabupaten Jepara, Laut Jawa


b. Sebelah Timur : Kabupaten Kudus, Kabupaten Grobogan
c. Sebelah Selatan : Kabupaten Grobogan, Kabupaten Semarang
d. Sebelah Barat : Kota Semarang

Kabupaten Demak terdiri dari 14 kecamatan yaitu Kecamatan Demak,


Wonosalam, Karang Tengah, Bonang, Wedung, Mijen, Karang Anyar, Gajah,
Dempet, Guntur, Sayung, Mranggen, Karang Awen dan Kebon Agung.
Kecamatan tersebut terbagi lagi menjadi 243 desa dan 6 kelurahan. Pusat

6
pemerintahan berada di Kecamatan Demak. Peta administratif Kabupaten
Demak dapat dilihat pada gambar berikut:

Gambar 5. Peta Administrasi Kabupaten Demak

Berdasarkan letak administratif Kabupaten Demak yang berbatasan


langsung dengan Laut Jawa, membuat beberapa wilayah pesisir Kabupaten
Demak mengalami banjir Rob. Wilayah tersebut terdiri dari 4 kecamatan
yaitu: Kecamatan Sayung, Karang Tengah, Wedung dan Bonang. Kecamatan
yang paling parah tergenang banjir Rob adalah Kecamatan Sayung khususnya
pada Desa Sriwulan, Desa Bedono dan Desa Purwosari. Ketiga desa tersebut
digenangi air Rob dengan ketinggian variatif yaitu 0,5 - 3 meter selama
berpuluh-puluh tahun lamanya. Pembangunan jalan tol terintegrasi tanggul
laut merupakan penyelesaian permasalahan atas banjir Rob yang selama ini
telah merugikan kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat setempat. Adapun
gambaran umum tentang Desa Sriwulan, Bedono dan Purwosari yang
merupakan lokasi pembangunan jalan tol terintegrasi tanggul laut adalah
sebagai berikut:

1. Kondisi Geografis dan Administratif


Desa Sriwulan, Bedono dan Purwosari merupakan bagian dari
beberapa desa yang terletak di Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak.

6
Berdasarkan letak geografisnya, ketiga desa tersebut memiliki batas-batas
wilayah sebagai berikut:
a. Desa Sriwulan
Sebelah Utara : Laut Jawa
Sebelah Timur : Desa Bedono dan Desa Purwosari
Sebelah Barat : Kecamatan Genuk Kota Semarang
Sebelah Selatan : Desa Sayung
b. Desa Bedono
Sebelah Utara : Laut Jawa
Sebelah Timur : Desa Timbulsloko
Sebelah Barat : Desa Sriwulan
Sebelah Selatan : Desa Purwosari dan Desa Sidogemah
c. Desa Purwosari
Sebelah Utara : Desa Bedono
Sebelah Timur : Desa Sidogemah
Sebelah Barat : Desa Sriwulan
Sebelah Selatan : Desa Sayung

Berdasarkan wilayah administrasinya, Desa Bedono memiliki luas


wilayah yang paling luas diantara 2 desa lainnya dengan luas wilayah yaitu
7,39 Km², Desa Sriwulan memiliki luas wilayah sebesar 4,02 Km², dan
Desa Purwosari memiliki luas wilayah sebesar 3,93 Km².

2. Kondisi Demografi
Perkembangan suatu wilayah akan dipengaruhi oleh pertumbuhan
penduduknya. Desa Sriwulan, Bedono dan Purwosari merupakan daerah
yang memiliki banyak industri-industri besar maupun industri kecil. Hal
ini dikarenakan bahwa wilayah tersebut merupakan daerah penyangga ibu
kota Provinsi Jawa Tengah. Oleh karena itu, terjadi perkembangan wilayah
pada ketiga desa tersebut dalam hal kebutuhan tempat tinggal karena
jumlah penduduk semakin meningkat sejak didirikannya pabrik industri
khususnya di Desa Sriwulan.

6
Berdasarkan informasi dari Bapak Zamroni selaku Kepala Desa
Sriwulan (wawancara pribadi, 09 Mei 2021) bahwa sejak tahun 90-an
(sekitar 30 tahun yang lalu), Rob mulai masuk menggenangi lahan-lahan
pertanian maupun permukiman milik warga. Setiap tahun genangannya
semakin meluas karena faktor alam yaitu tingginya pasang air laut sebagai
efek dari pemanasan global dan faktor buatan manusia yaitu adanya
eksploitasi air dalam tanah yang dilakukan secara berlebihan oleh industri-
industri di area sekitar. Genangan banjir Rob yang paling parah dirasakan
pada 10 tahun terakhir ini, sehingga banyak warga Desa Sriwulan
bermigrasi ke daerah lain.
Data Katalog BPS Kecamatan Sayung Dalam Angka 2020
menunjukkan bahwa, penduduk di Desa Sriwulan berjumlah 12.444 jiwa,
penduduk di Desa Bedono berjumlah 3.500 jiwa dan terdapat sejumlah
6.738 jiwa penduduk di Desa Purwosari. Untuk lebih rinci dapat dilihat
pada Tabel 5 berikut:

Tabel 5. Keadaan Penduduk Desa Sriwulan, Desa Bedono dan Desa


Purwosari Tahun 2020

Penduduk Jumlah Kepadatan


No. Desa Laki-laki Perempuan (Jiwa) Penduduk
(Jiwa) (Jiwa) (Jiwa/Km²)
1 Sriwulan 6.185 6.259 12.444 3.096
2 Bedono 1.742 1.758 3.500 474
3 Purwosari 3.297 3.441 6.738 1.715
Sumber: Kecamatan Sayung Dalam Angka 2020

Data pada Tabel 5 di atas, apabila dibandingkan dengan data


kependudukan tahun 2009 dimana jumlah penduduk di Desa Sriwulan
sebesar 13.310 jiwa dan Bedono sebesar 4.777 jiwa maka terdapat
penurunan jumlah penduduk pada desa tersebut. Apabila dilihat dari Data
Katalog BPS Kecamatan Sayung 10 tahun terakhir, terdapat jumlah
penduduk keluar lebih besar dari jumlah penduduk masuk. Untuk lebih
jelas dapat dilihat pada Tabel.6 sebagai berikut:

6
Tabel 6. Jumlah Penduduk Masuk dan Keluar Desa Sriwulan, Desa
Bedono, Desa Purwosari Periode 2009-2020
Jumlah Penduduk Yang Datang (Jiwa)
No. Desa Total
2009-2015 2016-2020
1 Sriwulan 365 416 781
2 Bedono 42 105 147
3 Purwosari 567 210 777
Jumlah Penduduk Yang Pergi (Jiwa)
1 Sriwulan 1782 897 2.679
2 Bedono 1117 119 1.236
3 Purwosari 240 226 466
Sumber: Kecamatan Sayung Dalam Angka 2009 - 2020

Dari data pada Tabel 6. di atas, terdapat penurunan jumlah penduduk


dalam rentang waktu 10 tahun di Desa Sriwulan sebanyak 1.898 jiwa dan
Desa Bedono sebanyak 1.089 jiwa. Alasan yang mendasari banyaknya
penduduk yang keluar dari 2 desa tersebut adalah bahwa rumah tempat
tinggal mereka digenangi banjir Rob dengan tinggi yang bervariatif.
Apabila mereka memilih untuk tetap bertahan, maka akan sangat besar
biaya yang dikeluarkan untuk beradaptasi dengan banjir Rob yaitu dengan
meninggikan bangunan rumah setiap tahunnya.
Berbeda halnya dengan Desa Purwosari, secara geografis letak
wilayahnya berada di sebelah selatan Desa Bedono. Artinya Desa
Purwosari tidak langsung berbatasan dengan Laut Jawa seperti Desa
Sriwulan dan Desa Bedono sehingga genangan banjir Rob hanya terjadi
pada sebagian kecil wilayahnya. Oleh karena itu faktor banjir Rob tidak
mempengaruhi adanya penurunan jumlah penduduk di Desa tersebut.

3. Mata Pencaharian
Faktor lain yang mempengaruhi penurunan jumlah penduduk pada
Desa Sriwulan dan Desa Bedono adalah hilangnya mata pencaharian yang
menjadi aktivitas keseharian mereka. Faktor ini bukanlah menjadi hal yang
utama karena terdapat beraneka ragam jenis mata pencaharian yang
menjadi

6
sumber pemenuhan kebutuhan hidup penduduk di Desa Sriwulan, Bedono
dan Purwosari. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 7, sebagai
berikut:

Tabel 7. Jenis Mata Pencaharian Penduduk Desa Sriwulan, Desa Bedono


dan Desa Purwosari Tahun 2020

Mata Sriwulan Bedono Purwosari


No.
Pencaharian Jumlah % Jumlah % Jumlah %
1 Petani 833 11.02 200 5.38 630 16.06
2 Buruh Tani 1559 20.64 780 20.99 699 17.82
3 Nelayan 22 0.29 716 19.27 43 1.1
4 Pengusaha 24 0.32 5 0.13 21 0.54
5 Buruh Industri 1082 14.32 593 15.96 631 16.09
6 Buruh Bangunan 1040 13.77 642 17.28 523 13.33
7 Pedagang 1065 14.1 466 12.54 829 21.14
8 Angkutan 440 5.82 74 1.99 177 4.51
9 PNS/TNI/POLRI 639 8.46 57 1.53 138 3.52
10 Pensiunan 239 3.16 13 0.35 63 1.61
11 Lainnya 612 8.1 170 4.58 168 4.28
Jumlah 1930 100 314 100 546 100
Sumber: Kecamatan Sayung Dalam Angka 2020

Data pada Tabel 7 menunjukkan bahwa rata-rata profesi yang


ditekuni penduduk pada ketiga desa tersebut adalah sebagai petani dan
buruh tani. Petani yang dimaksud dalam hal ini bukanlah petani sawah
ataupun petani perkebunan melainkan petani tambak. Hasil wawancara
dengan Bapak Agus Salim selaku Kepala Desa Bedono (wawancara
pribadi,
30 April 2021) menyatakan bahwa sebelum adanya banjir Rob, Desa
Bedono merupakan daerah yang subur dan makmur akan pertanian
sawahnya. Sebagian besar masyarakat memilih jalan hidup sebagai petani
dengan hasil panen yang produktif. Namun, dengan adanya banjir Rob
yang menggenangi tanah sawah, membuat petani sangat terpukul sehingga
sebagian dari mereka beralih profesi menjadi petani tambak bahkan
menjadi buruh tani tambak. Hal yang serupa juga dialami oleh petani di
Desa Sriwulan dan Desa Purwosari. Untuk jenis profesi yang dominan
juga terdapat pada sektor industri dan perdagangan. Hal ini terjadi karena

6
di Desa Sriwulan banyak terdapat pabrik-pabrik industri.

6
BAB V
STATUS HAK ATAS TANAH PADA PENYELENGGARAAN
PENGADAAN TANAH SEKSI I

A. Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Seksi I


Pembangunan jalan tol Semarang-Demak termasuk dalam Proyek
Strategis Nasional yang sangat urgen dilaksanakan karena merupakan bagian
dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional12 (RPJMN) 2015-
2019. Pelaksanaan proyek strategis bertujuan untuk peningkatan
kesejahteraan masyarakat dan upaya peningkatan lapangan pekerjaan kepada
masyarakat, maka harus dilakukan secara cepat dan mudah sesuai dengan
peraturan yang telah ditetapkan yaitu Perpres Nomor 58 Tahun 2017 dan PP
Nomor 42 Tahun 2021. Pelaksanaan PSN ini dilakukan dengan proses
kegiatan pengadaan tanah yang telah diatur dalam UU Nomor 2 Tahun 2012,
UU Nomor 11 Tahun 2020 (UUCK), serta PP Nomor 19 Tahun 2021.
Dalam ketentuan Pasal 13 UU Nomor 2 Tahun 2012 disebutkan bahwa
kegiatan pengadaan tanah untuk kepentingan umum diselenggarakan melalui
tahapan sebagai berikut:
1. Perencanaan
2. Persiapan
3. Pelaksanaan
4. Penyerahan Hasil
Dokumen Perencanaan Pengadaan Tanah13 (DPPT) telah dibuat dan
ditetapkan pada tahun 2016 oleh pihak yang memerlukan tanah yaitu
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Atas
terbitnya DPPT, tahapan persiapan dapat dilaksanakan dengan mengeluarkan
Surat

12
dokumen rencana pembangunan yang penyusunannya berdasarkan Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Nasional (RPJPN) yang telah ditetapkan untuk jangka waktu 20 tahun. Rencana
pembangunan yang dimaksud juga merupakan agenda kerja Presiden terpilih selama lima tahun.
13
dokumen rencana kegiatan pengadaan tanah yang disusun berdasarkan ketentuan perundang-
undangan oleh pihak yang memerlukan tanah dan di dalamnya terdapat juga dokumen pendukung
teknis lainnya dalam rangka Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

6
Keputusan Penetapan Lokasi (SK Penlok) Nomor 590/52 Tahun 2016 tanggal
24 November 2016 Lihat Lampiran 1).
Pada tahapan pelaksanaan yang dilakukan oleh Kantor Pertanahan
Kabupaten Demak, terdapat permasalahan serius terkait penentuan subjek dan
objek yang terdampak pada lokasi pembangunan jalan tol terintegrasi tanggul
laut yang terdiri dari 3 desa yaitu Desa Sriwulan, Desa Bedono dan Desa
Purwosari. Sejak diterbitkannya SK Penlok tahun 2016, permasalahan
pelaksanaan pengadaan tanah seksi I belum menemukan titik terang sampai
pada saat ini. Oleh karena itu, dalam rentang waktu 5 tahun SK Penlok sudah
mengalami perpanjangan yakni Surat Keputusan Penetapan Lokasi Nomor
590/38 Tahun 2018 tanggal 28 Mei 2018 (Lihat Lampiran 2) dan
pembaharuan yakni Surat Keputusan Penetapan Lokasi Nomor 590/59 Tahun
2019 tanggal 22 November 2019 (Lihat Lampiran 3). Hal ini sesuai dengan
Pasal 43 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang
Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan
Umum, dimana terdapat jangka waktu penetapan lokasi selama 2 tahun dan
dapat diperpanjang selama 1 tahun.
Penentuan subjek dan objek terdampak adalah salah satu permasalahan
dalam penyelenggaraan pengadaan tanah seksi I. Hal ini merupakan poin
penting untuk dijelaskan peneliti dalam subbab ini. Penjelasan yang dimaksud
mengarah kepada proses penentuan subjek dan objek yang dilakukan pada
setiap tahapan pengadaan tanahnya sehingga dapat dianalisis status hak atas
tanah pada bidang-bidang tanah yang tergenang banjir Rob dan terdampak
pembangunan jalan tol melalui kepastian subjek dan objek berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

1. Data Awal Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan, dan


Pemanfaatan Tanah Dalam Dokumen Perencanaan Pengadaan
Tanah (DPPT)
Bagian terpenting dalam pembangunan jalan tol Semarang-Demak
adalah penyelenggaraan kegiatan pengadaan tanah, sehingga diperlukan
perencanaan pengadaan tanah yang menunjang prinsip keadilan bagi
masyarakat yang melepaskan tanahnya sesuai dengan peraturan
6
perundang-

6
undangan yang berlaku. Perencanaan pengadaan tanah disusun dalam
bentuk Dokumen Perencanaan Pengadaan Tanah (DPPT). Pasal 6 ayat (1)
PP Nomor 19 Tahun 2021, menyatakan bahwa idealnya DPPT memuat
tentang:
a. Maksud dan tujuan rencana pembangunan
b. Kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang
c. Prioritas pembangunan nasional/daerah
d. Letak tanah
e. Luas tanah yang dibutuhkan
f. Gambaran umum status tanah
g. Perkiraan jangka waktu pelaksanaan pengadaan tanah
h. Perkiraan jangka waktu pelaksanaan pembangunan
i. Perkiraan nilai tanah
j. Rencana penganggaran
k. Preferensi bentuk ganti kerugian

Pasal 6 ayat (6) PP Nomor 19 Tahun 2021 menyebutkan bahwa


gambaran umum mengenai status tanah harus menjabarkan data tentang
penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah. Pada DPPT
yang telah diterbitkan tahun 2016 oleh pihak yang memerlukan tanah,
peneliti tidak melihat rincian gambaran umum status tanah secara jelas.
Mengenai penguasaan, DPPT tidak menyebutkan luasan tiap-tiap bidang
tanah yang terdampak pengadaan tanah. Padahal luasan tersebut sangat
penting dijabarkan agar dapat dibandingkan dengan luas tanah yang
dibutuhkan secara keseluruhan karena menyangkut pada perkiraan besaran
nilai ganti kerugian yang dikeluarkan, sedangkan terkait kepemilikan,
DPPT hanya menyebutkan pemilik lahan terdampak. Namun tidak terdapat
rincian mengenai status kepemilikan lahan yang dikuasai.

7
Tabel 8. Daftar Pemilik Lahan Terkena Pengadaan Tanah Jalan Tol

Kecamatan Desa Pemilik Lahan


1. Dasuki
2. H.Solikin
3. Mu'in
4. Suryanto
5. Rohadi
6. Matkamin
7. Husin
8. Tasrip
Sriwulan 9. Kalil
10. Bengkok
11. Kalam
Sayung 12. Fatkur
13. Imatun
14. Sukron Suroso
15. Bondo Desa
16. Prawirodiarjo
17. Kasiran
Bedono 1. Suparman
Blok 2 (31 Orang)
Blok 3 (2 Orang)
Purwosari Blok 4 (28 Orang)
Blok 16 (11 Orang)
Blok 17 (14 Orang)
Sumber: Dokumen Perencanaan Pengadaan Tanah (DPPT) Jalan Tol
Semarang-Demak, 2016

Pada Tabel 8 di atas, dapat dilihat bahwa daftar pemilik lahan


terdampak di Desa Sriwulan sebanyak 17 nama dan Desa Bedono hanya 1
(satu) nama. Hal ini menimbulkan pertanyaan, apakah survei terkait
penguasaan dan pemilikan lahan dilakukan dengan tepat di lapangan oleh
pihak yang memerlukan tanah, mengingat pada Desa Sriwulan lahan yang
akan dibebaskan tidak hanya berupa trase dan ROW Jalan Tol saja
melainkan terdapat juga kolam retensi sebagai pengendali banjir Rob. Hal
yang paling mencurigakan adalah data pemilik lahan di Desa Bedono
hanya 1 nama saja, padahal ROW Jalan Tol yang terbentang dari barat ke
timur di

7
Desa Bedono sangat panjang dan tidak mungkin hanya 1 pemilik saja yang
terdampak. Hasil wawancara dengan Kepala Desa Sriwulan (wawancara
pribadi, 09 Mei 2021) menyatakan bahwa pihak desa tidak pernah ikut
terlibat dalam survei peninjauan lokasi pengadaan tanah jalan tol tanggul
laut.
Hal yang sama juga terjadi di Desa Purwosari, berdasarkan Tabel 8
di atas dapat dilihat bahwa daftar pemilik lahan diuraikan berdasarkan peta
blok PBB. Dalam Tabel 8 tersebut, peneliti tidak menguraikan nama-nama
pemilik lahan sesuai yang tertera dalam Daftar Pemilik Lahan pada DPPT
(Lihat Lampiran 4). Hal ini dikarenakan, berdasarkan informasi dari
Perangkat Desa Purwosari (wawancara pribadi, 29 April 2021), bahwa
untuk tanah-tanah terdampak pengadaan tanah seksi I yaitu jalan tol
khusus tanggul laut (tanah yang tergenang banjir Rob) di Desa Purwosari
terdapat pada Peta Blok 1 lembar 1 dan 2 (Lihat Lampiran 5). Sedangkan
untuk blok-blok lain pada peta blok PBB merupakan tanah-tanah yang
terdampak pengadaan tanah seksi II yang kondisinya adalah daratan.
Peneliti juga menemukan data terkait kondisi eksisting lokasi yang
terlewati jalan tol Semarang-Demak yang dimuat dalam DPPT. Data
tersebut sebagai bagian dari gambaran umum dalam DPPT tentang
penggunaan lahan sesuai dengan kondisi di lapangan.

Tabel 9. Kondisi Eksisting Lokasi Terlewati Jalan Tol


Terintegrasi Tanggul Laut Desa Sriwulan, Desa Bedono, dan
Desa Purwosari
Luas Tanah Kondisi Eksisting
Yang
No. Desa Pek/Kbn/
Dibutuhkan
(m²) Jalan Bangunan Sawah Sungai/dll
1 Sriwulan 138.322 10 10 80 10
2 Bedono 23.713 0 0 1 0
3 Purwosari 171.875 0 0 93 7
Sumber: Dokumen Perencanaan Pengadaan Tanah (DPPT) Jalan Tol
Semarang-Demak, 2016

Berdasarkan Tabel 9 di atas, peneliti melihat suatu keraguan


terhadap survei yang telah dilakukan oleh pihak yang memerlukan
tanah. Seperti
7
halnya di Desa Sriwulan, pada Tabel 9 disebutkan bahwa kondisi eksisting
di lapangan terdapat 10 bangunan dan 80 sawah. Padahal berdasarkan hasil
observasi yang dilakukan peneliti di lapangan, bahwa seluruh lahan-lahan
yang terdampak pengadaan tanah seksi I di Desa Sriwulan merupakan
tanah tergenang dan tidak ditemukan pemanfaatan rumah tempat tinggal
maupun sawah. Hal ini juga diakui oleh Kepala Desa Sriwulan bahwa
tanah-tanah di Desa Sriwulan yang berada pada jalur trase dan ROW-Plan
sudah lebih dari 10 tahun digenangi banjir Rob setinggi 3 sampai 5 meter
sehingga sulit untuk dimanfaatkan oleh pemilik lahan. Adapun
pemanfaatan yang dilakukan pada kondisi saat ini yaitu pemanfaatan
tambak oleh beberapa pihak setelah tanahnya tergenang air. Pemanfaatan
tambak tersebut tidak serta merta berada pada batas-batas bidang tanah
yang sebenarnya. Begitu juga halnya dengan kondisi eksisting di Desa
Bedono, dimana lahan-lahan yang terdampak pengadaan tanah seksi I
kebanyakan tidak dimanfaatkan karena air yang menggenangi lahan-lahan
masyarakat memiliki ketinggian
± 3 meter. Data pada Tabel 9 juga menunjukkan bahwa terdapat 93 bidang
sawah di Desa Purwosari. Peneliti beranggapan bahwa sawah yang
dimaksud merupakan lahan-lahan yang tidak tergenang banjir Rob dan
termasuk dalam pengadaan tanah seksi II. Hal ini dikarenakan data dalam
DPPT tidak secara spesifik membedakan antara data pada pengadaan tanah
seksi I (jalan tol terintegrasi tanggul laut) dan pengadaan tanah seksi II.

Gambar 6. Kondisi Eksisting Lahan Terdampak Pengadaan Tanah Seksi


I di Desa Sriwulan
Sumber: Dokumentasi Penelitian, 2021

7
Atas penjelasan yang telah diuraikan di atas, peneliti menyimpulkan
bahwa data awal terkait penguasaan dan pemilikan tanah-tanah yang
terdampak pengadaan tanah seksi I tertuang dalam DPPT bukan
merupakan data yang akurat sesuai dengan kondisi yang ada saat ini.
Penentuan subjek dan objek yang terdampak pengadaan tanah merupakan
hal yang sulit dilakukan karena kondisi eksisting di lapangan menunjukkan
bahwa tanah- tanah terdampak sudah digenangi banjir Rob. Oleh karena
itu, perencanaan pengadaan tanah sebagaimana tertuang pada DPPT dibuat
hanya bersifat formalitas agar dapat dilanjutkan ke tahapan selanjutnya.
Mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku yakni
PP Nomor 19 Tahun 2021, dalam Pasal 6 ayat (6) disebutkan bahwa
gambaran umum status tanah yang merupakan data yang dapat
ditampilkan dalam DPPT merupakan uraian tentang penguasaan,
pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah. Artinya mengenai subjek
dan objek tanah yang terdampak pengadaan tanah harus di data dalam
tahap perencanaan. Untuk itu, menurut peneliti dalam tahapan perencanaan
pengadaan tanah, sangat penting dilakukan pendataan secara terperinci
mengenai pemilikan dan penguasaan tanah yang terdampak dan bukan
hanya sekedar data perkiraan bersifat formalitas yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan. Tujuannya adalah untuk menghindari segala
permasalahan yang kemungkinan terjadi pada tahapan persiapan maupun
pelaksanaannya.
Dalam menyusun suatu perencanaan pengadaan tanah peneliti
sepakat dengan ketentuan Pasal 4 ayat (2) PP Nomor 19 Tahun 2021,
dimana pihak yang memerlukan tanah dapat melibatkan Kementerian
ATR/BPN Cq. Kantor Wilayah Kementerian ATR/BPN sehingga dapat
meminimalisir kesalahan pendataan dan sekaligus mempercepat proses
pelaksanaan pengadaan tanahnya. Namun, penyusunan perencanaan
pengadaan tanah jalan tol Semarang-Demak yang sudah dimulai pada
tahun 2016 masih menggunakan peraturan lama yaitu Perpres Nomor 71
Tahun 2012 dimana dalam Pasal 3 ayat (2) tidak menyebutkan adanya
keterlibatan Kementerian ATR/BPN Cq. Kantor Wilayah Kementerian

7
ATR/BPN.

7
2. Daftar Sementara Pihak Yang Berhak dan Objek Pengadaan Tanah
Tahapan persiapan pengadaan tanah jalan tol Semarang-Demak
dapat dimulai pada saat DPPT diserahkan kepada Pemerintah Provinsi
Jawa Tengah oleh pihak yang memerlukan tanah. Gubernur diberi mandat
oleh Undang-Undang untuk membentuk Tim Persiapan Pengadaan Tanah.
Berdasarkan Pasal 11 ayat (1) PP Nomor 19 Tahun 2021, tugas tim
persiapan tersebut adalah:
1. Melaksanakan pemberitahuan rencana pembangunan
2. Melaksanakan pendataan awal lokasi rencana pembangunan
3. Melaksanakan konsultasi publik rencana pembangunan
4. Menyiapkan penetapan lokasi pembangunan
5. Mengumumkan penetapan lokasi pembangunan untuk kepentingan
umum, dan
6. Melaksanakan tugas lain yang terkait persiapan pengadaan tanah bagi
pembangunan untuk kepentingan umum yang ditugaskan oleh
gubernur.

Dalam hal pengadaan tanah jalan tol Semarang-Demak, tim


persiapan telah melaksanakan pemberitahuan rencana pembangunan
kepada masyarakat yang tanahnya terdampak pembangunan dan kemudian
dituangkan dalam bentuk Surat Pemberitahuan Nomor 590/0012570
tanggal 26 Juli 2016 (Lihat Lampiran 6). Tujuan dilakukannya
pemberitahuan tersebut agar masyarakat mengetahui keberadaan proyek
pembangunan yang telah direncanakan sekaligus mengetahui manfaat
yang dapat dirasakan masyarakat. Sebelum mengarah kepada pihak yang
berhak dalam pengadaan tanahnya, peneliti menilai bahwa secara umum
seluruh masyarakat di Desa Sriwulan, Bedono dan Purwosari setuju akan
keberadaan pembangunan jalan tol yang dimaksud. Selain untuk
meningkatkan aksesibilitas dan kapasitas jaringan jalan sebagai upaya
pengurangan tingkat kepadatan lalu lintas jalan Pantura (Pantai Utara)
Pulau Jawa, pembangunan jalan tol juga dapat mengendalikan banjir Rob
yang selama berpuluh-puluh tahun meresahkan kehidupan masyarakat.

7
Poin yang paling penting dicermati peneliti dalam tahapan ini adalah
pelaksanaan pendataan awal lokasi rencana pembangunan. Pendataan yang
dimaksud merupakan kegiatan mengumpulkan data mengenai subjek dan
objek terdampak pengadaan tanah. Objek pengadaan tanah merupakan
bidang-bidang tanah yang berada pada penetapan ROW-Plan jalan tol dan
kolam retensi sedangkan subjek atau pihak yang berhak merupakan pihak
yang memiliki ataupun menguasai bidang tanah tersebut dan dibuktikan
dengan alat bukti kepemilikan atau alat bukti penguasaan. Adapun hasil
dari pendataan awal yang telah dilakukan oleh tim persiapan pengadaan
tanah dapat dilihat pada Gambar berikut ini:

Gambar 7. Daftar Kepemilikan Tanah Sementara Desa Sriwulan


Sumber: Dokumen Persiapan Pengadaan Tanah Jalan Tol Semarang-
Demak, 2016

7
Gambar 8. Daftar Kepemilikan Tanah Sementara Desa Bedono
Sumber: Dokumen Persiapan Pengadaan Tanah Jalan Tol Semarang-
Demak, 2016

Gambar 9. Daftar Kepemilikan Tanah Sementara Desa Purwosari


Sumber: Dokumen Persiapan Pengadaan Tanah Jalan Tol Semarang-
Demak, 2016

7
Berdasarkan Gambar 7 dan 8, dapat dilihat bahwa terdapat
perbedaan jumlah nama pemilik yang terdapat pada DPPT. Pada DPPT
pemilik lahan yang terdampak di Desa Sriwulan sebanyak 17 pemilik,
sedangkan dalam gambar 7 tim persiapan telah mendata pihak yang berhak
sebanyak 30 pemilik. Pada gambar 8 disebutkan bahwa pihak yang berhak
di Desa Bedono sebanyak 2 pemilik, sedangkan data pada DPPT hanya
terdapat 1 orang pemilik saja. Berbeda halnya dengan Desa Purwosari,
pada gambar 8 secara jelas disebutkan pihak yang berhak sebanyak 33
pemilik yang berada pada blok 1 peta PBB. Sedangkan pada DPPT tidak
menyebutkan sama sekali nama-nama pemilik lahan yang berada pada
blok 1. Selain itu, data yang ditampilkan oleh tim persiapan lebih
terperinci dibandingkan data yang ada pada DPPT. Hal ini dapat dilihat
pada Gambar 7,8 dan 9 bahwa terdapat luas tanah dan status tanah pada
masing-masing pemilikan tanah.
Pendataan subjek dan objek yang dilakukan oleh tim persiapan dapat
lebih terperinci jika dibandingkan dengan DPPT karena dalam pelaksanaan
survei melibatkan pihak perangkat desa sebagai pihak yang mengetahui
wilayahnya sendiri. Setiap kantor desa memiliki data pendukung seperti
peta blok PBB, Letter C desa, data kependudukan, dll. Selain itu, pihak
perangkat desa memiliki pengetahuan mengenai riwayat kepemilikan
bidang-bidang tanah di wilayahnya sendiri. Berbekal dari pengetahuan
tersebut dan ditambah lagi dengan adanya data pendukung dari kantor
desa, maka tim persiapan dapat membuat perkiraan subjek dan objek
terdampak pengadaan tanah pada tanah-tanah yang tergenang banjir Rob
khususnya pada Desa Sriwulan dan Desa Bedono yang memiliki kondisi
banjir Rob paling parah. Berbeda kondisi dengan pendataan di Desa
Purwosari, berdasarkan informasi dari perangkat Desa Purwosari
(wawancara pribadi,
29 April 2021) bahwa tanah-tanah yang tergenang banjir Rob pada
pengadaan tanah seksi I masih dapat dilakukan pendataan karena sebagian
besar tanah tersebut dimanfaatkan untuk tambak dengan batas pohon
mangrove maupun waring sehingga tim persiapan memiliki patokan/acuan

7
dalam menentukan bidang-bidang tanah yang tergenang.

8
Pendataan terhadap bidang-bidang tanah dengan kondisi tergenang
banjir Rob merupakan kegiatan yang sulit untuk dilaksanakan. Data yang
bersifat perkiraan sementara digunakan hanya sebagai bahan untuk
melaksanakan konsultasi publik. Dalam Berita Acara Konsultasi Publik
Nomor 590/0017925 tanggal 20 Oktober 2016 (Lihat Lampiran 7),
peneliti melihat bahwa masyarakat Desa Sriwulan, Bedono dan Purwosari
yang termasuk dalam daftar kepemilikan bersama menyetujui tanahnya
digunakan untuk pembangunan jalan tol Semarang-Demak. Dalam kondisi
saat ini, secara umum masyarakat pasti setuju atas keberadaan proyek
pembangunan jalan tol tersebut karena dapat mengendalikan banjir Rob
pada wilayah keberadaannya. Lebih khususnya lagi, masyarakat yang
namanya termasuk dalam daftar kepemilikan sementara merasa beruntung
karena adanya upaya ganti rugi terhadap tanah-tanah yang terdampak
pengadaan tanah. Atas hal tersebut masyarakat selalu bermimpi akan
keuntungan yang diterima dari harta miliknya sekalipun sudah lama tidak
dimanfaatkan. Berdasarkan penjelasan tersebut, peneliti memandang
bahwa dalam penentuan subjek dan objek yang dilakukan oleh tim
persiapan belum secara pasti menentukan letak objek tanah yang
terdampak sehingga data perkiraan sementara tersebut sama sekali tidak
dapat dijadikan sebagai bahan untuk pelaksanaan pengadaan tanahnya.

3. Inventarisasi dan Identifikasi Bidang Tanah Terdampak


Sejak diterbitkannya SK Penlok Pengadaan Tanah Jalan Tol
Semarang-Demak tahun 2016, Kepala Kantor Wilayah Kementerian
Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional Provinsi Jawa
Tengah membentuk keanggotaan pelaksana pengadaan tanah. Dalam hal
ini, Kakanwil mendelegasikan kewenangan pelaksanaan pengadaan tanah
kepada Kepala Kantor Pertanahan Kota Semarang dan Kabupaten Demak.
Adapun susunan keanggotaan pelaksanaan pengadaan tanah pada Kantor
Pertanahan Kabupaten Demak adalah sebagai berikut:
Ketua : Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Demak
Sekretaris : Kepala Seksi Pengadaan Tanah dan Pengembangan pada

8
Kantor Pertanahan Kabupaten Demak (Sekretaris
merangkap anggota)
Anggota : - Sekretaris Daerah Kabupaten Demak
- Asisten 1 Pemerintahan dan Kesra Kabupaten Demak
- Penata Pertanahan Pertama pada Kantor Pertanahan
Kabupaten Demak
- Kepala Seksi Pengendalian dan Penanganan Sengketa pada
Kantor Pertanahan Kabupaten Demak
- Kepala Seksi Intelijen pada Kantor Kejaksaan Negeri
Daerah Kabupaten Demak
- Kepala Satuan Intelijen dan Keamanan Polres Demak
- Kepala Seksi Bimbingan Masyarakat pada Kantor
Kementerian Agama Kabupaten Demak
- Kepala Bidang Pemerintahan dan Administrasi Desa pada
Kantor Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa,
Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana
Kabupaten Demak
- Camat
- Lurah dan Kepala Desa

Untuk susunan keanggotaan Satgas A terdiri dari:


Ketua : Penata Kadastral Pertama pada Kantor Pertanahan
Kabupaten Demak
Anggota : Pegawai Kantor Pertanahan Kabupaten Demak yang
bertugas di bidang pengukuran dan pemetaan kadastral

Untuk susunan keanggotaan Satgas B terdiri dari:


Ketua : Penata Pertanahan Pertama yang bertugas di bidang
Penetapan Hak dan Pendaftaran pada Kantor Pertanahan
Kabupaten Demak
Anggota : - Pegawai Kantor Pertanahan Kabupaten Demak yang
bertugas di bidang Penetapan Hak dan Pendaftaran
- 2 Pegawai pada Dinas Pertanian Kabupaten Demak
- 2 Pegawai pada Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten
Demak
- 2 Pegawai pada Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang
Kabupaten Demak
- Para Perangkat Desa tiap-tiap wilayah

Pekerjaan terpenting dalam tahapan pelaksanaan pengadaan tanah


adalah inventarisasi dan identifikasi, dimana kegiatan tersebut bertujuan
untuk mengetahui subjek dan objek yang terdampak. Kenyataannya tim
pelaksana pengadaan tanah menemukan kesulitan dalam mengidentifikasi
tanah-tanah yang tergenang banjir Rob. Apabila merujuk pada pendataan

8
awal subjek dan objek yang terdampak pada DPPT maupun dokumen
persiapan pengadaan tanah, Kantor Pertanahan Kabupaten Demak tidak
dapat menjadikan data tersebut sebagai pedoman pelaksanaan.
Berdasarkan informasi dari Kepala Seksi Pengadaan Tanah dan
Pengembangan Kantor Pertanahan Kabupaten Demak (wawancara pribadi
16 April 2021), daftar nama pemilik lahan yang terdampak sebagaimana
dituangkan dalam DPPT tidak pernah dijadikan acuan oleh tim pelaksana.
Sebagai contoh pada pengadaan tanah seksi II yang merupakan daratan,
apabila dibandingkan dengan daftar nominatif hasil inventarisasi dan
identifikasi secara aktual di lapangan maka dapat ditemukan bahwa hanya
sebagian kecil daftar nama pada lampiran DPPT yang sesuai. Dalam hal
pengadaan tanah seksi I yang merupakan tanah-tanah tergenang, pihak
mana pun akan mengalami kesulitan menentukan subjek dan objek
terdampak pengadaan tanahnya.
Pada saat Satgas A dan Satgas B melakukan inventarisasi dan
identifikasi bidang di lapangan, terdapat kendala-kendala dimana
masyarakat kesulitan menentukan dan memasang patok tanda batas
kepemilikan tanahnya karena kondisi tanah tersebut tergenang dengan
ketinggian bervariasi antara 50 cm sampai dengan 3 meter. Berdasarkan
informasi dari Ketua Satgas A (wawancara pribadi, 20 April 2021), bahwa
upaya keras dari masyarakat untuk membuktikan kepemilikan atas objek
tanahnya pernah dilakukan dengan memasang patok-patok batas bidang
tanah pada wilayah tergenang. Kemudian Satgas A melakukan pengukuran
terhadap bidang-bidang tanah yang telah dipasang patok tersebut. Namun
ketika data pengukuran di overlay dengan peta foto yang sudah
direktifikasi ternyata hasilnya tidak beraturan. Oleh karena itu, Satgas A
menyimpulkan bahwa pemasangan patok di lapangan hanya berdasarkan
perkiraan yang jauh dari kepastian.
Atas kendala yang ada, Kantor Pertanahan Kabupaten Demak selalu
tetap berupaya melakukan identifikasi bidang tanah pada wilayah yang
tergenang tersebut. Berbekal dari data yang dimiliki Kantor Pertanahan
Kabupaten Demak, data pada kantor desa, ditambah lagi keterangan dari

8
perangkat desa sebagai pihak yang mempunyai pengetahuan luas tentang
tanah-tanah di wilayahnya, maka Satgas A dan Satgas B melakukan
langkah-langkah sebagai berikut:
1. Pengukuran hanya bisa dilakukan pada ROW jalan tol dan kolam
retensi karena patok di lapangan sudah dipasang oleh pihak yang
memerlukan tanah. Pengukuran dilakukan menggunakan alat GPS
Geodetic dengan metode Real Time Kinematik (RTK).
2. Inventarisasi dilakukan oleh satgas B dengan cara mengumpulkan
data kepemilikan bidang-bidang tanah yang tergenang berupa
sertipikat hak atas tanah maupun Letter C desa yang dibantu oleh
pihak perangkat desa.
3. Terhadap identifikasi bidang-bidang tanah yang tergenang, Satgas A
mengumpulkan data yang diperlukan yaitu: Peta Foto tahun 1994,
Peta PBB tahun 1998 (data dari kantor desa), Citra Google Satellite
tahun 2019, Garis Pantai tahun 2017 (data dari Bappeda), data Geo-
KKP.
4. Peta Foto tahun 1994 merupakan gambaran wilayah ketiga desa
dengan kondisi belum terdapat genangan air laut. Satgas A melakukan
deliniasi batas-batas bidang tanah secara keseluruhan. Kemudian pada
peta hasil deliniasi dilakukan proses rektifikasi peta.
5. Peta PBB tahun 1998 digunakan sebagai acuan untuk mengetahui
kebenaran bentuk dan letak setiap bidang-bidang tanah yang telah di
ploting pada peta foto.
6. Citra Google Satellite tahun 2019 digunakan untuk mengidentifikasi
batas batas pemanfaatan bidang tanah pada kondisi tanah tergenang
banjir Rob melalui metode deliniasi.
7. Peta Garis Pantai tahun 2017 digunakan untuk menentukan batas
wilayah daratan di kawasan pesisir.
8. Hasil dari pengukuran ROW, deliniasi peta foto, peta PBB, Citra
Google Satellite maupun garis pantai kemudian di overlay menjadi
satu.

8
9. Untuk dapat memposisikan bidang-bidang tanah yang tergenang,
Satgas A juga melakukan identifikasi secara keseluruhan yang
mencakup wilayah pemukiman penduduk. Seluruh data bidang tanah
yang bersertipikat pada Geo-KKP sangat membantu untuk membuat
pemetaan secara keseluruhan. Kemudian dilakukan overlay secara
keseluruhan.
10. Dalam memposisikan bidang-bidang tanah yang tergenang pada peta,
Satgas A dibantu data berupa keterangan pemilik tanah yang telah di
inventarisasi oleh Satgas B dan juga keterangan dari pihak perangkat
desa.

Berdasarkan informasi dari Ketua Satgas A (wawancara pribadi, 20


April 2021), bahwa proses identifikasi yang dilakukan menggunakan
metode kombinasi yaitu pengukuran ROW jalan tol dengan metode RTK
dan hasil deliniasi peta-peta yang tersedia. Pada wilayah yang tergenang,
Satgas A sangat sulit untuk mengidentifikasi bidang-bidang tersebut
karena pemiliknya sendiri tidak mengetahui secara pasti batas bidang
tanahnya. Oleh karena itu, Satgas A berusaha melakukan upaya
identifikasi bidang tanah melalui pekerjaan studio. Begitu juga halnya
yang dilakukan oleh Satgas B (wawancara pribadi, 26 April 2021), seluruh
data hasil inventarisasi hanya diperoleh dari pihak perangkat desa.
Kenyataannya, tidak ada satupun bidang tanah yang dapat diinventarisasi
di lapangan.
Hasil dari pengumpulan dan pengolahan data yang dilakukan oleh
Satgas A dan Satgas B dapat dilihat pada Gambar 10 berikut:

8
Gambar 10. Peta Analisis Identifikasi Bidang Tanah Terdampak Pembangunan Jalan Tol Terintegrasi Tanggul Laut
Sumber: Hasil Olahan Peneliti, 2021

7
Dari Gambar 10 diketahui bahwa terdapat 292 bidang (± 99,94 Ha)
yang terdampak pengadaan tanah seksi I. Bidang-bidang tanah yang
tersebut dibedakan menjadi 3 jenis yaitu: (1) Tanah tergenang yang tidak
memiliki batas dan tidak ada budidaya sebanyak 283 bidang (± 205,35
Ha), (2) Tanah tergenang memiliki batas pohon bakau dan terdapat
budidaya sebanyak 102 bidang (± 32,09 Ha), (3) Tanah tergenang
memiliki batas waring dan terdapat budidaya sebanyak 598 bidang (±
390,59 Ha).
Berdasarkan informasi dari Kepala Seksi Pengadaan Tanah dan
Pengembangan (wawancara pribadi, 16 April 2021), bahwa hasil dari
inventarisasi dan identifikasi yang dilakukan oleh Satgas A dan Satgas B
merupakan hasil analisis yang belum dapat dilanjutkan ke tahap
selanjutnya karena menyangkut kepada penetapan status terhadap tanah-
tanah yang tergenang banjir Rob tersebut yang berkaitan juga dengan
bentuk ganti kerugiannya. Tim pelaksana pengadaan tanah Kabupaten
Demak bersama- sama dengan tim pelaksana pengadaan tanah Kota
Semarang bertindak ekstra hati-hati dalam mengambil kebijakan.
Permasalahan yang dihadapi pelaksana pengadaan tanah jalan tol
Semarang-Demak terintegrasi tanggul laut (Seksi I) yaitu belum adanya
payung hukum yang kuat atas penetapan status tanah-tanah yang tergenang
banjir Rob dan juga langkah administrasi yang harus ditempuh.
Keputusan tim pelaksana pengadaan tanah dalam meminta pendapat
hukum (legal opinion) merupakan upaya untuk mendapatkan solusi
pelaksanaan pengadaan tanah dari pandangan-pandangan hukum yang
diberikan. Namun hasil keputusannya menyebutkan bahwa pihak Badan
Pertanahan Nasional yang dapat menentukan status tanah-tanah yang
tergenang banjir Rob. Hal tersebut tertuang dalam Surat Kejaksaan Tinggi
Jawa Tengah Nomor: B-3358/0.3/Gs/09/2019 tanggal 20 September 2019
(Lihat Lampiran 8). Atas keputusan tersebut pelaksana pengadaan tanah
memohon petunjuk kepada Menteri ATR/BPN melalui Surat Kepala
Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Jawa Tengah Nomor
AT.02.01/2075-33/X/2020 tanggal 26 Oktober 2020 (Lihat Lampiran 9).

77
Dalam menjawab permohonan surat tersebut, Kementerian ATR/BPN RI
terus melakukan upaya koordinasi dengan berbagai kementerian, pemda
maupun pihak swasta agar dapat memberikan kebijakan untuk
pelaksanaannya. Oleh karena hal tersebut pelaksanaan pengadaan tanah
seksi I (jalan tol Semarang-Demak terintegrasi tanggul laut) menjadi
stagnan sampai saat ini.
Menurut peneliti langkah yang ditempuh pelaksana pengadaan tanah
merupakan langkah yang sangat tepat. Pelaksana lebih banyak meminta
pertimbangan, petunjuk serta langkah koordinasi daripada membuat
keputusan sendiri. Keragu-raguan dalam melangkah merupakan hal wajar
karena menyangkut kepada permasalahan yang dapat ditimbulkan berupa
gugatan perdata maupun pidana. Gugatan bisa saja terjadi apabila adanya
perbedaan penafsiran antara pelaksana pengadaan tanah dengan aparat
penegak hukum. Untuk itu sangat tepat diberikan payung hukum yang kuat
agar pelaksana pengadaan tanah merasa terayomi dan terhindar dari
permasalahan hukum.

B. Kepastian Hukum Sertipikat Hak Atas Tanah


Pemerintah memiliki kewenangan berdasarkan mandat UUPA untuk
melaksanakan kegiatan pendaftaran tanah. Tujuannya adalah untuk
memberikan kepastian hukum kepada subjek hak atas objek hak yang
dikuasainya. Dalam memberikan kepastian hukum yang dimaksud, kepada
subjek hak diberikan alat bukti kepemilikan tanah berupa sertipikat hak atas
tanah. Ketentuan dalam Pasal 32 ayat (1) PP Nomor 24 Tahun 1997
menyebutkan bahwa sertipikat merupakan alat pembuktian yang kuat
mengenai data fisik dan data yuridis. Dikatakan alat pembuktian yang kuat
apabila data tersebut tercantum dalam surat ukur dan buku tanah, sedangkan
hak atas tanah yang tercantum dalam sertipikat merupakan kewenangan yang
diberikan untuk menggunakan dan memanfaatkan tanah kepada subjek hak.
Kebebasan menggunakan dan memanfaatkan tanah bertujuan untuk

78
pemenuhan kebutuhan hidup pemiliknya, namun dibatasi dengan hal-hal yang
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kepastian hukum yang terdapat dalam sertipikat hak atas tanah terletak
pada kepastian subjek, objek, maupun hak yang melekat di dalamnya. Dalam
permasalahan tanah-tanah yang tergenang pada pengadaan tanah seksi I,
kajian kepastian hukum terhadap sertipikat hak atas tanah yang berada pada
wilayah tersebut dapat menentukan status tanahnya.

1. Sertipikat Hak Atas Tanah Terdampak Pengadaan Tanah


Hasil analisis inventarisasi dan identifikasi yang dilakukan pelaksana
pengadaan tanah Kabupaten Demak menunjukkan bahwa terdapat alat
bukti berupa Letter C desa dan sertipikat hak atas tanah yang telah
terinventarisasi di wilayah terdampak pengadaan tanah. Dalam penelitian
ini, peneliti fokus terhadap kajian kepastian hukum pada sertipikat hak atas
tanah yang terdampak pengadaan tanah seksi I sehingga peneliti tidak
melakukan kajian terhadap Letter C desa.
Adapun sertipikat hak atas tanah berdasarkan hasil analisis pelaksana
pengadaan tanah Kabupaten Demak adalah sebagai berikut:

a. Desa Sriwulan

Gambar 11. Peta Analisis Identifikasi Bidang Tanah Terdampak


Pengadaan Tanah Seksi I di Desa Sriwulan
Sumber: Data Analisis Inventarisasi dan Identifikasi, 2019

79
Dari Gambar 11 dapat diuraikan bahwa terdapat 52 bidang yang
dapat dianalisis di Desa Sriwulan, terdiri dari: sertipikat hak milik
sebanyak 33 bidang, Letter C desa sebanyak 14 bidang dan sebanyak 5
bidang merupakan jalan dan sungai.

Tabel 10. Daftar Hasil Analisis Sertipikat Hak Atas Tanah Terdampak
Pengadaan Tanah Seksi I di Desa Sriwulan

Luas Tanggal Terbit


No NUB Pemilik Alas Hak
(m2) Sertipikat
1 3 Sutirah HM.447 (seb) 3.789 18/12/1995
2 4 Hussain HM.88 (seb) 12.290 11/07/1979
3 5 Hussain HM 25.870
4 6 Hussain HM 3.673
5 7 Hussain HM 2.904
6 9 Hussain HM.101 (seb) 5.225 25/09/1979
7 10 Hussain HM 8.878
8 12 Hussain HM.91 (seb) 5.146 16/07/1979
9 13 Hussain HM.92 (seb) 3.409 16/07/1979
10 14 Hussain HM 1.020
11 15 Hussain HM 2.533
12 16 Hussain HM 6.967
13 17 Hussain HM 6.072
PT Ngaliyan
14 18 Bantolo Asri HM.62 (seb) 5.238 05/05/1979
PT Ngaliyan
15 19 Bantolo Asri HM.61 (seb) 5.069 05/05/1979
PT Ngaliyan
16 20 Bantolo Asri HM.60 (seb) 8.222 05/05/1979
17 22 Hussain HM 16.690
18 24 Hussain HM 14.490
19 27 Hussain HM 11.070
20 28 Hussain HM 266
21 31 Hussain HM 6.760
22 32 Hussain HM 15.650
23 33 Hussain HM 20.370
24 34 Hussain HM 14.540
25 35 Hussain HM 16.530
Bersambung…

80
Tabel 10. (Sambungan)

Luas Tanggal Terbit


No NUB Pemilik Alas Hak
(m2) Sertipikat
26 36 Hussain HM 645
27 37 Hussain HM 8.030
28 38 Hussain HM 10.030
29 39 Hussain HM 8.577
30 40 Hussain HM 7.428
31 41 Hussain HM 3.826
32 42 Hussain HM 2.563
33 46 Hussain HM 16.610
Sumber: Data Analisis Inventarisasi dan Identifikasi, 2019

Pada Tabel 10 dapat dilihat bahwa terdapat sebanyak 33 bidang


sertipikat hak atas tanah dimana keseluruhannya merupakan Sertipikat
Hak Milik. Pada wilayah ini pemilik sertipikat didominasi oleh satu
orang pemilik yang bernama Hussain. Namun kebanyakan sertipikat
yang dimilikinya tidak tertera nomor hak miliknya. Peneliti
menganggap bahwa hasil analisis subjek dan objek terdampak
pengadaan tanah di Desa Sriwulan tidak menunjukkan kebenaran dan
ketepatan identifikasi karena terbatasnya data yang diperoleh.

b. Desa Bedono
Hasil analisis yang dilakukan pelaksana pengadaan tanah
menunjukkan bahwa terdapat 127 bidang terdampak pengadaan tanah di
Desa Bedono, yang terdiri dari: sertipikat hak milik sebanyak 2 bidang,
Letter C desa sebanyak 111 bidang dan sebanyak 14 bidang merupakan
jalan, sungai, saluran, dll. Untuk lebih jelas, hasil analisis tersebut dapat
dilihat pada Gambar 12 dan Tabel 11 di bawah ini:

81
Gambar 12. Peta Analisis Identifikasi Bidang Tanah Terdampak
Pengadaan Tanah Seksi I di Desa Bedono
Sumber: Data Analisis Inventarisasi dan Identifikasi, 2019

Tabel 11. Daftar Hasil Analisis Sertipikat Hak Atas Tanah Terdampak
Pengadaan Tanah Seksi I di Desa Bedono

Tanggal
Luas
No NUB Pemilik Alas Hak Terbit
(m2)
Sertipikat
Achmad
HM No.75 (seb) 4.814 4/9/1979
1 102 Fauzan, H.
2 104 Somah HM No.202 (seb) 3.992 31/08/1979
Sumber: Data Analisis Inventarisasi dan Identifikasi, 2019

Berdasarkan Tabel 11 dapat diketahui bahwa terdapat 2 bidang


Sertipikat Hak Milik. Pada wilayah Desa Bedono seluruh bidang tanah
terdampak pengadaan tanah kebanyakan merupakan Letter C desa
sebagai alat bukti kepemilikannya yaitu 111 bidang.

c. Desa Purwosari
Berdasarkan analisa yang dilakukan pelaksana pengadaan tanah
menunjukkan hasil bahwa terdapat 113 bidang terdampak pengadaan
tanah di Desa Purwosari, yang terdiri dari: sertipikat hak milik
sebanyak 36 bidang dan Letter C desa sebanyak 77 bidang. Untuk lebih
jelas, hasil analisis tersebut dapat dilihat pada Gambar 13 dan Tabel 12
di bawah ini:

82
Gambar 13. Peta Analisis Identifikasi Bidang Tanah Terdampak
Pengadaan Tanah Seksi I di Desa Purwosari
Sumber: Data Analisis Inventarisasi dan Identifikasi, 2019

Tabel 12. Daftar Hasil Analisis Sertipikat Hak Atas Tanah


Terdampak Pengadaan Tanah Seksi I di Desa Purwosari

Tanggal
Luas
No NUB Pemilik Alas Hak Terbit
(m2)
Sertipikat
1 10 H. Muchlis HM.281 (seb) 997 12/08/1985
2 11 H. Muchlis HM.282 (seb) 1.357 12/08/1985
3 19 H. Sholeh HM.919 (seb) 1.284 02/05/2008
4 20 H. Achmad Nur HM.1013 (seb) 717 18/06/2008
Hj. Mujiatun/
5 22 HM.922 (seb) 1.129 02/05/2008
Bondo Desa
6 25 Nuryanto HM.849 (seb) 1.564 11/03/2008
7 26 Kaswadi HM.1036 (seb) 1.743 18/08/2008
8 30 H. Achmad Nur HM.1016 (seb) 2.154 18/06/2008
9 37 H. Achmad Nur HM.730 (seb) 2.373 21/06/2005
10 38 H. Achmad Nur HM.732 (seb) 1.906 21/06/2005
11 42 H. Achmad Nur HM.731 (seb) 1.331 21/06/2005
12 51 Hj. Mujiatun HM.968 (seb) 1.513 02/05/2008
13 54 Hj. Mujiatun HM.926 (seb) 2.206 02/05/2008
14 60 H. Achmad Nur HM.737 (seb) 978 11/10/2005
15 61 H. Achmad Nur HM.738 (seb) 1.069 11/10/2005
Bersambung…

83
Tabel 12. (Sambungan)
Tanggal
Luas
No NUB Pemilik Alas Hak Terbit
(m2)
Sertipikat
16 64 H. Achmad Nur HM.1020 (seb) 1.819 18/06/2008
17 73 H. Achmad Nur HM.923 (seb) 3.104 02/03/2008
18 74 H. Achmad Nur HM.736 (seb) 492 11/10/2005
19 76 H. Achmad Nur HM.735 (seb) 1.517 11/10/2005
20 77 M. Muchlis HM.282 (seb) 3.622 19/08/1985
21 83 H. Achmad Nur HM.1015 (seb) 1.926 18/06/2008
22 88 H. Soleh HM.579 (seb) 1.949 04/03/1997
23 89 H. Soleh HM.580 (seb) 1.982 04/03/1997
24 90 H. Soleh HM.1136 (seb) 1.958 12/11/2014
25 91 H. Soleh HM.866 (seb) 1.939 11/03/2008
26 92 H. Soleh HM.969 (seb) 1.924 02/05/2008
27 93 H. Sholeh HM.644 (seb) 2.422 14/07/1998
28 94 H. Sholeh HM.744 (seb) 2.299 11/11/2005
29 95 H. Achmad Nur HM.1022 (seb) 2.217 18/06/2008
30 96 H. Achmad Nur HM.379 (seb) 2.272 08/12/1990
31 97 H. Achmad Nur HM.1019 (seb) 2.281 18/06/2008
32 102 Hj. Mujiatun HM.936 (seb) 2.014 02/05/2008
33 103 Siti Faridah HM.907 (seb) 1.583 11/03/2008
34 104 Hasan As'ari HM.906 (seb) 1.755 11/03/2008
35 105 Yatinah HM.878 (seb) 1.842 11/03/2008
36 106 H. Achmad Nur HM.734 (seb) 1.522 11/10/2005
Sumber: Data Analisis Inventarisasi dan Identifikasi, 2019

Data pada Tabel 12 menunjukkan bahwa terdapat sebanyak 36


bidang sertipikat hak atas tanah dimana keseluruhannya merupakan
Sertipikat Hak Milik. Pada wilayah ini juga pemilik sertipikat
didominasi oleh satu orang pemilik yang bernama H. Achmad Nur.
Berdasarkan observasi peneliti di lapangan bahwa tanah-tanah yang
terdampak pengadaan tanah seksi I di Desa Purwosari pada umumnya
terdapat pemanfaatan tambak berupa batas pohon mangrove dan
waring.

2. Kepastian Sertipikat Hak Milik Terdampak


Sertipikat merupakan dokumen yang dijadikan sebagai alat bukti hak
kepemilikan atas tanah dan diperoleh melalui proses pendaftaran tanah
yang
84
memuat data fisik dan data yuridis. Informasi data fisik di dalam sertipikat
merupakan keterangan mengenai letak, batas dan luas bidang tanah serta
bangunan yang berdiri di atasnya sesuai dengan keadaan di lapangan serta,
sedangkan data yuridis menyangkut tentang subjek hak, riwayat perolehan
tanah, status hukum bidang tanahnya, serta hak-hak yang membebaninya.
Menurut Wahid, M (2008,127), PP Nomor 24 Tahun 1997 ingin
membangun sebuah konstruksi hukum dalam penerbitan sertipikat hak atas
tanah, yaitu adanya jaminan kepastian hukum yang meliputi; kepastian
objek, kepastian hak, dan kepastian subyek. Substansi dari kepastian
tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:

a. Kepastian objek hak


Objek dalam sertipikat hak atas tanah merupakan tanah yang
dikuasai oleh pemilik/pemegang sertipikat. Kepastian objek hak yang
dimaksud meliputi kepastian letak dan kepastian batas-batas bidang
tanahnya. Kepastian letak diperoleh dari penempatan posisi bidang
tanah pada permukaan bumi sehingga dapat dipetakan pada peta dasar
pendaftaran. Sedangkan kepastian batas diperoleh dari penetapan batas-
batas bidang tanah yang telah diukur sesuai patok-patok batas yang
dipasang di setiap sudut bidang tanah. Hal ini bertujuan agar objek hak
tersebut dapat dilakukan rekonstruksi batas atau pengembalian batas
untuk menghindari sengketa batas yang kemungkinan akan muncul di
kemudian hari. Oleh karena itu, untuk menguatkan kepastian atas objek
hak maka pada saat dilakukan pengukuran dan penetapan batas di
lapangan harus disertai dengan persetujuan batas tetangga atau sepadan
batas bidang tanah tersebut (contradictoire delimitatie).
Pemasangan patok tanda batas serta persetujuan batas tanah
sebelah menyebelah sangat penting dalam kegiatan pengukuran bidang
tanah sehingga menghasilkan kepastian hukum secara jelas yang
dituangkan dalam peta bidang tanah dan peta dasar pendaftaran tanah.
Kelengkapan peta dasar pendaftaran sejatinya harus memuat dengan
jelas titik dasar teknik dan unsur-unsur geografis seperti letak,
bentuk dan

85
batas-batas pemilikan setiap bidang tanah dalam suatu wilayah
sehingga terhindar dari kasus-kasus tumpang tindih bidang tanah
(Wahid 2008,115).
Dalam permasalahan pelaksanaan pengadaan tanah seksi I, yaitu
terdapat tanah-tanah dengan kondisi tergenang telah berstatus sertipikat
hak milik. Sertipikat hak milik yang berada di Desa Sriwulan dan
Bedono terbit pada saat jauh sebelum adanya genangan air Rob. Hal ini
dapat dilihat pada Tabel 10 dan 11 yang menunjukkan bahwa sertipikat
terbit pada tahun 1979. Pada saat penerbitan sertipikat, tanah tersebut
merupakan tanah pertanian yang secara fisik dikuasai penuh oleh
pemiliknya. Bahkan tanah-tanah tersebut memiliki batas-batas yang
jelas berupa patok batas dan galangan/pematang sawah. Artinya,
sertipikat hak milik tersebut secara mutlak memiliki kepastian
mengenai batas- batas kepemilikan bidang tanah. Namun memasuki era
tahun 2000-an dimana banjir Rob mulai menggenangi objek hak
tersebut secara berangsur-angsur hingga kedalaman mencapai ± 3
meter, menjadikan bentuk dan batas-batasnya hilang. Diperkuat juga
berdasarkan observasi peneliti di lapangan bahwa secara fisik tanah
tersebut sulit untuk dikuasai lagi oleh subjek hak.

Gambar 14. Kondisi Eksisting Pemanfaatan Tanah Tergenang


Sumber: Dokumentasi Penelitian, 2021

86
Pada Gambar 14 dapat dilihat bahwa terdapat sebagian kecil
tanah tergenang yang dimanfaatkan untuk mendirikan jermal di Desa
Sriwulan dan Desa Bedono. Peneliti melihat bahwa jermal tersebut
berdiri secara bebas di hamparan genangan air. Tidak ditemukan
jaminan kepastian letak pada jermal yang dibangun sesuai dengan letak
dan batas bidang sebelum adanya genangan air Rob. Oleh sebab itu,
kepastian hukum yang melekat pada sertipikat hak milik di wilayah
tersebut semakin melemah oleh karena faktor hilangnya fisik batas-
batas tanah.
Berbeda halnya dengan sertipikat hak milik yang berada di Desa
Purwosari, bahwa berdasarkan hasil analisis inventarisasi dan
identifikasi yang dilakukan oleh pelaksana pengadaan tanah, terdapat
penguasaan terhadap tanah-tanah yang tergenang. Tanah-tanah tersebut
dimanfaatkan untuk tambak udang, ikan bandeng dan lain sebagainya.
Hasil observasi peneliti juga menyatakan bahwa terdapat batas waring-
waring yang dijadikan tambak dan juga batas pohon bakau di wilayah
tergenang Desa Purwosari. Berdasarkan wawancara dengan Bapak H.
Sholeh selaku pemilik 7 sertipikat di Desa Bedono (wawancara pribadi,
03 Mei 2021) yaitu: sertipikat HM.579 (seb), HM.580 (seb), HM.1136
(seb), HM.866 (seb), HM.969 (seb), HM.644 (seb), dan HM.744 (seb)
sesuai dengan data pada Tabel 11 bahwa ketujuh sertipikat tersebut
memiliki letak yang saling bersebelahan. Dahulu tanah-tanah tersebut
merupakan tanah pertanian sawah dengan batas-batas pematang sawah
yang jelas. Namun, dengan adanya banjir Rob terjadi perubahan
pemanfaatan yaitu dari pertanian sawah menjadi tambak. Sekaligus
secara otomatis terjadi perubahan mata pencaharian masyarakat
menjadi petani tambak. Atas pemanfaatan tanah tersebut pemilik lahan
menanam pohon bakau pada setiap batas tanahnya. Penanaman pohon
bakau sekaligus bertujuan untuk memperkecil gelombang air Rob yang
datang sehingga sedikit banyaknya dapat melindungi usaha petani
tambak hingga wilayah permukiman penduduk.

87
Gambar 15. Batas Pohon Bakau Untuk Pemanfaatan Tambak
Sumber: Dokumentasi Penelitian, 2021

Penanaman pohon bakau di batas-batas bidang tanah merupakan


upaya pemeliharaan yang dilakukan oleh pemilik tanah untuk
mempertahankan tanahnya dalam pemanfaatan secara efektif.
Ketentuan Pasal 17 ayat (3) PP Nomor 24 Tahun 1997 menyatakan
bahwa penempatan tanda-tanda batas termasuk pemeliharaannya, wajib
dilakukan oleh pemegang hak atas tanah yang bersangkutan.
Pemeliharaan yang dimaksud adalah untuk menghindari ketidakpastian
hukum atas dasar itikad baik si pemilik tanah.

b. Kepastian status hak


Terselenggaranya pendaftaran tanah dapat mengetahui secara
pasti status hak yang didaftarkan yaitu: Hak Milik, Hak Guna Bangnan,
Hak Guna Usaha, Hak Pakai, Hak Pengelolaan, Hak Tanggungan, Hak
Milik Atas Satuan Rumah Susun atau Tanah Wakaf. Berbagai macam
status hukum atas tanah tersebut mengandung hak dan kewajiban
kepada si pemilik tanah.
Hak milik merupakan hak terkuat dan terpenuh yang dapat
dimiliki orang atas tanahnya. Kata terkuat berarti haknya tidak mudah
untuk dihapus namun mudah untuk dipertahankan dari gangguan
pihak lain,

88
sedangkan terpenuh berarti adanya wewenang penuh dari pemegang
hak terhadap tanahnya tetapi dapat dibatasi bahwa tanah memiliki
fungsi sosial. Wewenang yang dimaksud merupakan hak untuk
menggunakan dan memanfaatkan tanahnya. Kewajiban si pemilik
tertuju pada penggunaan dan pemanfaatan tanah dengan sebaik-baiknya
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sertipikat Hak Milik pada tanah-tanah tergenang banjir Rob
apabila dilihat dari proses pendaftaran tanah yang berlangsung sejatinya
memenuhi kriteria lahirnya hak yang melekat pada sertipikat tersebut
yaitu kriteria mengenai status tanah milik adat dengan alat bukti Letter
C desa melalui proses konversi hak, kemudian status penggunaan dan
pemanfaatan tanahnya tidak bertentangan dengan Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW). Artinya sertipikat hak milik tersebut memiliki
jaminan kepastian hukum atas status haknya.
Melihat peristiwa yang terjadi pada sertipikat hak milik dengan
kondisi tergenang banjir Rob bahwa jaminan kepastian hukum atas
status haknya berpotensi menjadi lemah apabila terjadi perubahan
terhadap garis pantai sesuai kondisi saat ini. Selain itu perubahan
RTRW sangat memungkinkan segera terjadi apabila tidak adanya
penanganan terhadap banjir Rob yang dialami pemilik sertipikat. Hal
ini dikarenakan tidak terdapatnya penggunaan dan pemanfaatan di atas
tanahnya. Berbeda halnya apabila proses penerbitan sertipikat
dilakukan pada saat genangan banjir Rob telah menghilangkan
kesempatan pemilik tanah untuk menggunakan dan memanfaatkan
tanahnya, maka sertipikat tersebut dapat dinyatakan cacat hukum
sehingga tidak ada jaminan kepastian status haknya.

c. Kepastian subjek hak


Jaminan kepastian hukum sertipikat hak atas tanah sangat erat
kaitannya dengan kepastian tentang siapa yang berperan sebagai
pemilik tanah. Melalui kajian kepastian subjek hak ini dapat
mengetahui penguasaan terhadap objek haknya melalui alat bukti
kepemilikan yang

89
ditampilkan. Menurut Wahid (2008,135) kepastian subjek adalah
kepastian mengenai siapa orang yang memiliki tanah dengan melihat
riwayat perolehan tanahnya agar diketahui dari siapa orang tersebut
melakukan perbuatan hukum yang sah atas tanahnya, mengetahui
apakah ada hak dan kepentingan pihak lain di dalamnya, serta
mengetahui apakah perlu dilakukan suatu tindakan agar dapat menjamin
penguasaan dan penggunaan tanah tersebut dengan efektif dan aman.
Pentingnya penelitian terhadap riwayat penguasaan tanah dalam
menerbitkan sebuah sertipikat hak atas tanah merupakan proses untuk
menentukan kebenaran akan data yuridis. Pada dasarnya riwayat
penguasaan tanah memuat informasi tentang penguasaan, serta segala
bentuk peralihan yang terjadi terhadap objek tanah yang dimohonkan.
Artinya dalam memberikan kepastian subjek hak harus melalui proses
penelaahan riwayat perolehan tanah dari awal sampai tanah tersebut
dikuasai langsung oleh subjek hak. Penelaahan yang dilakukan
menyangkut hal-hal yang berhubungan dengan identitas, domisili,
pekerjaan dan status kewarganegaraan pemohon. Dengan demikian
pemohon mendaftarkan tanahnya berdasarkan itikad baik sehingga
sertipikat hak atas tanahnya secara otomatis memiliki kepastian hukum
yang kuat.
Penguasaan tanah oleh subjek hak memiliki batasan kewenangan
berdasarkan jenis hak yang tercantum dalam sertipikat. Dalam
mempertahankan hak tersebut subjek hak juga memiliki kewajiban
menggunakan dan memanfaatkan tanah yang dikuasai dengan baik
(Ramadhani 2017,153). Apabila dikaitkan dengan sertipikat hak milik
yang tanahnya tergenang banjir Rob dan terdampak pengadaan tanah
seksi I bahwa sertipikat hak milik yang berada di Desa Sriwulan dan
Desa Bedono sama sekali tidak ada penguasaan terhadap tanah tersebut.
Tanah tidak dapat difungsikan lagi oleh subjek hak karena genangan
banjir Rob yang mencapai ketinggian ± 3 meter sehingga subjek hak
tidak dapat mempertahankan hak yang diberikan. Berbeda halnya
dengan sertipikat

90
hak milik terdampak yang ada di Desa Purwosari, terdapat beberapa
tanah yang efektif dikuasai oleh subjek hak, namun ada juga tanah yang
ditinggalkan oleh subjek hak. Seperti contoh Bapak H. Sholeh selaku
pemilik 7 sertipikat di Desa Bedono yaitu: sertipikat HM.579 (seb),
HM.580 (seb), HM.1136 (seb), HM.866 (seb), HM.969 (seb), HM.644
(seb), dan HM.744 (seb). Awalnya tanah tersebut dimanfaatkan
langsung untuk usaha tambak oleh pemilik, namun karena setiap tahun
genangan Rob semakin tinggi, maka tanah tersebut tidak dapat lagi
dimanfaatkan secara efektif. Hasil yang diperoleh dari usaha tambak
tidak produktif sehingga mengalami kerugian. Dan kemudian sekitar
tahun 2018 tanah tersebut dikuasai oleh penggarap hingga sampai saat
ini (wawancara pribadi, 03 Mei 2021).
Atas permasalahan terhadap sertipikat hak milik yang telah
dijelaskan di atas, peneliti mengambil kesimpulan bahwa terhadap
sertipikat hak milik yang tanahnya tidak dikuasai oleh subjek hak, maka
sertipikat hak milik tersebut kehilangan kepastian hukum karena subjek
hak tidak dapat mempertahankan hak yang diberikan kepadanya.
Sebaliknya, apabila sertipikat tersebut tidak dikuasai secara langsung
oleh subjek hak namun dikuasai oleh penggarap dengan perjanjian sewa
menyewa maka sertipikat tersebut masih memiliki kepastian akan
subjek haknya sepanjang kepastian objek tanahnya masih ada dan
dimanfaatkan secara efektif oleh penggarap.

C. Status Hukum Sertipikat Hak Milik Terdampak


Penguasaan tanah yang dilaksanakan oleh negara dibuktikan dalam
Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, dimana dalam pasal tersebut menyatakan bahwa
bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara dan digunakan untuk memberikan kemakmuran kepada rakyat. Dalam
rangka mewujudkan kemakmuran rakyat, negara berperan dalam mengatur
peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan tanah hingga
mengatur hubungan hukum antara orang dengan tanah serta perbuatan
hukumnya sesuai

91
dengan Pasal 2 UUPA. Dalam sudut pandang lain atas dasar penguasaan
tanah tersebut, negara bertanggungjawab dalam memberikan hak atas tanah
kepada rakyatnya.
Menurut SW. Sumardjono (2008,128) hak atas tanah adalah hak untuk
menguasai tanah dan memberikan kewenangan kepada pemilik/pemegang
hak untuk menggunakan dan memanfaatkan tanah yang menyangkut bagian
bumi, air serta ruang yang ada di atasnya. Oleh sebab itu, ketika berbicara
tentang status hukum hak atas tanah, pada dasarnya tertuju kepada
kewenangan pemegang hak untuk menggunakan maupun mengambil manfaat
dari tanah yang dimilikinya. Penggunaan tanah yang dimaksud harus sesuai
dengan keadaan dan sifat dari hak atas tanahnya, sehingga dapat bermanfaat
bagi kesejahteraan hidup pemegang hak dan dalam arti luas hak atas tanah
yang diatur oleh negara dapat memberi kemakmuran kepada rakyat.
Banjir Rob yang melanda objek sertipikat hak milik terdampak
pengadaan tanah seksi I khususnya di Desa Sriwulan dan Desa Bedono
mengakibatkan pemegang hak kehilangan wewenang menggunakan dan
memanfaatkan tanahnya. Disamping itu, pemegang hak masih memiliki
sertipikat hak milik tersebut. Apabila dikaji berdasarkan Pasal 27 UUPA
maka hak milik dapat hapus jika:
1. Tanahnya jatuh kepada Negara
a. karena pencabutan hak berdasarkan pasal 18
b. Karena penyerahan sukarela oleh pemiliknya
c. Karena ditelantarkan
d. Karena ketentuan pasal 21 ayat (3) dan pasal 26 ayat (2)
2. Tanahnya musnah

Merujuk pada pengertian hak atas tanah di atas, maka hak-hak atas
tanah begitu juga hak milik selalu mengikuti keadaan maupun sifat dari suatu
bidang tanahnya. Dengan musnahnya bidang tanah, maka demi hukum hak
atas tanah yang melekat pada tanah tersebut menjadi hapus. Mengenai tanah
musnah yang diatur dalam Pasal 27 UUPA tersebut tidak secara spesifik
mengatur tentang kriteria tanah musnah. Tanah musnah akibat dari adanya
banjir Rob tidak diatur

92
lebih lanjut dalam UUPA, pengaturannya hanya sebatas tanahnya hapus dan
hak milik yang melekat pada tanah itu menjadi hilang.
Sertipikat hak atas tanah sebagai produk akhir penyelenggaraan
pendaftaran tanah dapat memberikan suatu kepastian hukum bagi
pemilik/pemegang hak atas tanahnya. Hal ini merupakan tujuan pokok dari
kegiatan pendaftaran tanah sesuai dengan ketentuan Pasal 3 PP Nomor 24
Tahun 1997. Dalam Pasal 32 disebutkan bahwa sertipikat yang diterbitkan
merupakan dokumen alat pembuktian yang kuat dan didalamnya memuat
mengenai data fisik dan data yuridis. Data fisik sebagaimana yang tertuang
dalam ketentuan Pasal 1 PP Nomor 24 Tahun 1997 adalah keterangan
mengenai letak, batas dan luas bidang-bidang tanah dan satuan rumah susun
yang didaftar, termasuk keterangan mengenai adanya bangunan atau bagian
bangunan di atasnya, sedangkan data yuridis adalah keterangan mengenai
status hukum bidang tanah atau satuan rusun yang didaftar, pemegang haknya
dan hak pihak lain serta beban-beban lain yang membebaninya. Artinya suatu
sertipikat yang diterbitkan dapat dikatakan menjamin kepastian hukum
apabila memenuhi 3 faktor yaitu: kepastian objek hak, kepastian subjek hak
serta kepastian status hak yang didaftarkan.
Berkaitan dengan sertipikat hak milik atas tanah terdampak pengadaan
tanah seksi I apabila ditinjau dari ketiga faktor tersebut dimana (1) terdapat
objek hak yang letak dan batas fisik bidang tanahnya tidak bisa ditemukan,
(2) tidak terdapat penggunaan tanah yang seharusnya sesuai dengan sifat hak
yang melekat di dalamnya, serta (3) tidak adanya pemanfaatan tanah yang
dilakukan oleh subjek hak, maka sertipikat hak milik tersebut tidak memiliki
fungsi jaminan kepastian hukum. Oleh sebab itu, berdasarkan PP Nomor 24
Tahun 1997 maka status hukum sertipikat hak milik tersebut hapus karena
data fisik dan data yuridis yang ditampilkan tidak sesuai lagi dengan kondisi
saat ini.
Berkaca pada bencana alam Tsunami yang terjadi di Aceh dimana
selain menimbulkan banyak korban jiwa, bencana tersebut membuat batas-
batas tanah rusak/hilang sehingga sulit untuk mendapatkan jaminan kepastian
hukum terhadap hak kepemilikan atas tanahnya. Melihat isi dari pasal-

93
pasal yang

94
dituangkan dalam UUPA, belum secara optimal memberikan kepastian
hukum terhadap hak atas tanah. Terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2007 tentang Penanganan Permasalahan
Hukum Dalam Rangka Pelaksanaan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah
dan Kehidupan Masyarakat Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan
Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara (Perpu Nomor 2 Tahun 2007),
secara jelas menyebutkan kriteria tanah musnah yang tidak disebutkan dalam
UUPA. Dalam Pasal 1 angka (2) dinyatakan bahwa tanah musnah adalah
tanah yang sudah berubah dari bentuk asalnya karena peristiwa alam dan
tidak dapat diidentifikasi lagi sehingga tidak dapat difungsikan, digunakan,
dan dimanfaatkan sebagaimana mestinya. Melihat peristiwa yang terjadi pada
tanah-tanah yang terdampak pengadaan tanah seksi I, bahwa terdapat
sebagian besar tanah-tanah tergenang banjir Rob yang tidak dapat
diidentifikasi lagi dan tidak ada pemanfaatan atas tanah tersebut, maka tanah
tersebut ditetapkan sebagai tanah musnah. Musnahnya tanah tersebut
membuat hak atas tanahnya dan hak yang membebaninya menjadi hapus
sesuai Pasal 4 ayat (1) Perpu Nomor 2 Tahun 2007. Dan Pasal 3 ayat (2)
menyebutkan bahwa Kepala Kantor Pertanahan dapat menetapkan tanah
musnah berdasarkan asas transparansi, akuntabilitas, dan keadilan.
Berlakunya peraturan terbaru yang mengatur tentang hak pengelolaan,
hak atas tanah, satuan rumah susun dan pendaftaran tanah yaitu PP Nomor 18
Tahun 2021 semakin menambah regulasi kuat tentang tanah musnah. Dalam
pasal 66 menyebutkan kriteria tanah musnah yang sama seperti disebutkan
dalam Perpu Nomor 2 Tahun 2007. Hal ini menempatkan PP Nomor 18
Tahun 2021 secara substansi tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih
tinggi di atasnya. Dari kedua peraturan perundang-undangan yang berlaku
tersebut, secara jelas menyatakan bahwa tanah yang tidak dapat diidentifikasi
lagi dan tidak dapat dimanfaatkan oleh pemegang sertipikat hak milik
terdampak pengadaan tanah seksi I merupakan tanah musnah sehingga hak
milik yang melekat pada tanah tersebut dinyatakan hapus.

95
Berdasarkan kajian secara normatif terhadap peraturan perundang-
undangan yang masih berlaku serta dengan mempertimbangkan Surat Menteri
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 410-1293 tanggal 9 Mei
1996 (Lihat Lampiran 10) yang menyatakan bahwa “tanah-tanah yang
hilang secara alami, baik karena abrasi pantai, tenggelam atau hilang
karena longsor, tertimbun atau gempa bumi, atau pindah ke tempat lain
karena pergeseran tempat (landslide) merupakan tanah hilang dan dengan
sendirinya haknya hapus.” maka peneliti menyimpulkan bahwa status hukum
sertipikat hak milik yang tanahnya terdampak pengadaan tanah seksi I, yaitu:
1. Tanah-tanah yang secara fisik tidak dapat diidentifikasi di lapangan oleh
pelaksana pengadaan tanah serta tidak mendapatkan penguasaan oleh
pemegang hak untuk menggunakan dan memanfaatkan tanahnya maka
tanah tersebut dinyatakan musnah dan sertipikat hak miliknya menjadi
hapus.
2. Tanah-tanah yang pemegang haknya sudah lama meninggalkan tanahnya
namun saat ini digunakan dan dimanfaatkan oleh penggarap atau pihak
lain maka tanah tersebut juga dinyatakan musnah dan sertipikat hak
miliknya menjadi hapus. Hal ini didasari oleh adanya lembaga
rechtsverwerking dalam hukum adat yang menjadi dasar dari hukum tanah
nasional. Tanah- tanah yang selama sekian waktu tidak dikerjakan oleh
seseorang, lalu kemudian dikerjakan oleh orang lain atas itikad baiknya,
maka hak orang tersebut untuk menuntut tanahnya kembali menjadi
hilang.
3. Tanah-tanah yang secara fisik dapat diidentifikasi dengan batas-batas
tanah secara jelas di lapangan dan terdapat penggunaan dan pemanfaatan
tanah di dalamnya maka tanah tersebut tidak termasuk tanah musnah
sehingga sertipikat hak miliknya tetap berlaku dengan kepastian hukum
yang kuat.

Tanah musnah secara normatif menghapus hak yang melekat pada


tanah tersebut. Hapusnya hak milik atas tanah tidak dapat merubah status
tanah tersebut menjadi tanah negara karena pada dasarnya tanah yang musnah
merupakan tanah yang hilang fisiknya. Hapusnya hak milik menjadi tanah

96
negara secara jelas telah disebutkan dalam Pasal 27 UUPA yakni: (1) Karena

97
pencabutan hak atas kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum, (2)
Karena diserahkan secara sukarela oleh pemilik tanah, (3) Karena tanahnya
ditelantarkan, (4) Karena hak milik turun ke tangan orang asing dan orang
Indonesia yang berpindah kewarganegaraan. Namun apabila dikemudian hari
terhadap tanah-tanah yang hilang tersebut akan dilakukan kegiatan reklamasi
dalam rangka revitalisasi untuk pembangunan jalan tol Semarang-Demak
terintegrasi tanggul laut, maka bekas tanah musnah tersebut menjadi tanah
yang langsung dikuasai oleh negara. Hal ini sesuai dengan Pasal 12 Peraturan
Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah dimana
disebutkan bahwa tanah-tanah yang berasal dari hasil reklamasi di wilayah
perairan pantai, pasang surut dikuasai langsung oleh negara.
Reklamasi yang dilakukan oleh pemerintah pada pembangunan jalan tol
Semarang-Demak terintegrasi tanggul laut merupakan bagian dari tanggung
jawab pemerintah dalam menyelesaikan pembangunan nasional yang sudah
ditetapkan. Pembangunan juga dapat memberikan manfaat untuk kepentingan
umum dimana melalui pembangunan masyarakat dapat merasakan adanya
lapangan pekerjaan baru melalui usaha-usaha kecil, menengah bahkan
peningkatan investasi dan kemudahan berusaha. Disamping itu, masyarakat
dapat terlepas dari beban sosial dan materiil akibat banjir Rob yang selama
berpuluh-puluh tahun dirasakan.

98
BAB VI
PENYELESAIAN PROBLEMATIKA SERTIPIKAT HAK ATAS TANAH
TERDAMPAK PENGADAAN TANAH SEKSI I

A. Perlindungan Hukum Sertipikat Hak Milik Terdampak


Perlindungan hukum merupakan representasi dari berjalannya fungsi
hukum dalam mewujudkan tujuan hukum yang adil, bermanfaat serta
memiliki kepastian hukum. Menurut Hadjon (1987,29) bentuk perlindungan
hukum yang diberikan pemerintah kepada rakyat mencakup dua hal yaitu: (1)
Perlindungan hukum preventif, yakni melakukan upaya pencegahan dimana
diberikan kesempatan kepada rakyat untuk mengajukan keberatan sebelum
munculnya diskresi, (2) Perlindungan hukum represif, yakni memberikan
perlindungan hukum dalam penanganan dan penyelesaian sengketa.
Alinea ke IV Pembukaan UUD 1945 mengamanatkan bahwa
Pemerintah Negara Republik Indonesia melindungi segenap bangsa dan
seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia
yang berdasarkan kemerdekaan, kedamaian abadi dan keadilan sosial.
Selanjutnya dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menyebutkan bahwa: “Bumi,
air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara
dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Berdasarkan
amanat tersebut pemerintah memiliki peran penting mengatur dan
mengendalikan kebutuhan tanah dalam melaksanakan pembangunan nasional
guna mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat.
Sejalan dengan itu setiap warga negara mempunyai hak untuk
mendapatkan pengakuan, jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang
adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, sesuai dengan Pasal 28 D
ayat (1) UUD 1945. Lantas bagaimana perlindungan hukum yang dapat
diberikan kepada pemegang sertipikat hak milik terdampak pengadaan tanah
yang tanahnya tergenang banjir Rob.

99
1. Perlindungan Hukum Dalam Kebencanaan
Banjir Rob terjadi karena faktor permukaan tanah lebih rendah dari
permukaan pasang air laut. Permukaan tanah menjadi rendah dapat
disebabkan oleh pengambilan air dari dalam tanah dilakukan secara
berlebihan dan resapan air menjadi sedikit sehingga mengalami amblesan
tanah (land subsidence). Adanya eksplorasi air tanah secara berlebihan
dilakukan oleh industri menyebabkan terjadinya penurunan muka tanah
sekitar 12 cm per tahun di wilayah pesisir Kabupaten Demak. Sedangkan
tingginya pasang air laut terjadi karena efek dari pemanasan global. Oleh
karena itu terjadinya banjir Rob tidak serta merta berasal dari faktor alam,
melainkan ada faktor non alam juga yang menjadi penyebabnya.
Definisi suatu bencana dalam Pasal 1 angka (1) UU Nomor 24
Tahun 2007 adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam
dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang
disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau non alam maupun faktor
manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia,
kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis.
Berdasarkan definisi tersebut apabila dikaitkan dengan penyebab
terjadinya banjir Rob, maka secara umum banjir Rob dianggap sebagai
suatu bencana. Namun, kenyataannya banjir Rob bukan merupakan
bencana. Berdasarkan informasi dari Bapak Imam Fikri selaku
Plt.Sekretaris BPBD Kabupaten Demak (wawancara pribadi, 28 April
2021) bahwa banjir Rob yang terjadi di beberapa wilayah pesisir pantai
Kabupaten Demak sulit ditetapkan statusnya menjadi bencana karena
beberapa indikator yang tidak terpenuhi. Dampak psikologis yang
dirasakan masyarakat memang sangat menyakitkan karena menyangkut
pada kehidupan sosial ekonomi mereka. Namun alasan utama banjir Rob
tidak ditetapkan sebagai bencana adalah karena tidak semua wilayah
pesisir pantai Kabupaten Demak digenangi banjir Rob yang sangat parah
seperti di Desa Sriwulan, Desa Bedono, dan Desa Purwosari. Banjir Rob
pada wilayah lain terjadi hanya pada waktu tertentu dan kembali surut
dengan cepat.

10
Dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana, pemerintah
bertanggung jawab melakukan perlindungan preventif atas bencana yang
terjadi dan juga memberikan perlindungan hukum atas hak kepemilikan
korban bencana. Berdasarkan pasal 32 UU Nomor 24 Tahun 2007,
pemerintah dapat mencabut hak kepemilikan masyarakat yang telah
ditetapkan sebagai daerah rawan bencana. Atas pencabutan yang dilakukan
pemerintah tersebut, masyarakat berhak mendapatkan ganti kerugian.
Perlindungan hukum dalam UU penanggulangan bencana sejalan
dengan Perpu Nomor 2 Tahun 2007, dimana dalam ketentuan Pasal 5 ayat
(1) menyatakan bahwa korban bencana Tsunami yang terjadi di Aceh
diberikan tanah pengganti oleh pemerintah. Status bencana nasional yang
telah ditetapkan membuat pemerintah wajib memberikan perlindungan
terhadap warganya. Berkaitan dengan permasalahan sertipikat hak milik
terdampak pengadaan tanah seksi I, pemerintah tidak dapat memberikan
perlindungan hukum berupa ganti kerugian terhadap pemegang sertipikat
hak milik tersebut karena banjir Rob yang menggenangi hak kepemilikan
masyarakat bukan dikategorikan sebagai bencana. Ditinjau dari UUPA,
pemerintah tidak dapat melakukan perlindungan secara represif karena
hilangnya hak atas tanah yang dialami oleh masyarakat bukan merupakan
kelalaian dari manusia atau pihak pemerintah, melainkan hilangnya hak
atas tanah dikarenakan sebuah fenomena alam yang tidak bisa
dikendalikan oleh manusia. Dalam permasalahan ini pemerintah hanya
dapat melakukan perlindungan hukum yang bersifat preventif yaitu
melakukan upaya penanggulangan agar banjir Rob dapat teratasi yaitu
pembangunan jalan tol terintegrasi tanggul laut melalui mekanisme
pengadaan tanah. Adanya pembangunan tersebut dapat menghilangkan
beban psikologis yang dirasakan masyarakat selama berpuluh-puluh tahun.
Ketika pemerintah berupaya melakukan pembangunan sebagai
bentuk pertanggungjawaban atas peristiwa banjir Rob, maka pemerintah
telah memberikan perlindungan secara menyeluruh kepada masyarakat.
Mengenai musnahnya tanah yang telah menghapus hak milik atas tanah

10
masyarakat terdampak pengadaan tanah, pemerintah tidak dapat
dipersalahkan karena wewenang pemerintah dalam memberikan
perlindungan hukum kepada pemegang hak tidak terdapat dalam Pasal 27
UUPA, sehingga dalam hal ini pemerintah melakukan tindakan sesuai
dengan koridornya yang berpedoman pada peraturan perundang-undangan
yang berlaku.

2. Perlindungan Hukum Dalam Pendaftaran Tanah


Soerodjo (2003,55) berpendapat bahwa pada dasarnya kepastian
hukum membutuhkan suatu perangkat normatif berupa peraturan
perundang-undangan yang dapat mendukung praktiknya secara aktual.
Amanat dalam Pasal 19 UUPA mengandung suatu perintah agar
penyelenggaraan kegiatan pendaftaran tanah segera direalisasikan oleh
pemerintah. Sasaran utama kegiatan tersebut adalah terselenggaranya
kegiatan pendaftaran tanah yang memiliki sifat rechts-kadaster14 di seluruh
wilayah Indonesia. Atas instruksi itu, kegiatan pendaftaran tanah kemudian
diatur dalam PP Nomor 24 tahun 1997. Berlakunya PP Nomor 24 Tahun
1997 dilatarbelakangi oleh peranan tanah yang memiliki jaminan kepastian
hukum bagi keberlangsungan hidup si pemilik tanah.
Dalam rangka mewujudkan kepastian hukum dan perlindungan
hukum maka pemilik tanah perlu melakukan pendaftaran atas tanahnya ke
Kantor Pertanahan dengan didasari oleh bukti-bukti kepemilikannya.
Ketentuan Pasal 32 PP Nomor 24 Tahun 1997 berbunyi:
1) Sertipikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai
alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis
yang termuat di dalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis
tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku
tanah hak yang bersangkutan; dan
2) Dalam hal atas suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertipikat
secara sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh
tanah tersebut dengan itikat baik dan secara nyata
menguasainya, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak
atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak
tersebut apabila dalam
14
adanya jaminan kepastian hukum mengenai subjek dan objek yang didaftarkan serta hak yang
diberikan. Proses pelaksanaan pendaftarannya dilakukan secara teliti.

10
waktu 5 (lima) tahun sejak di terbitkannya sertipikat itu tidak
mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang
sertipikat dan kepada kantor pertanahan yang bersangkutan
ataupun tidak atau penerbitan sertipikat tersebut.

Berdasarkan ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa setiap


sertipikat hak atas tanah dijadikan sebagai alat pembuktian yang kuat oleh
si pemegang hak. Pada dasarnya kekuatan pembuktian yang dimaksud
dijamin oleh undang-undang karena di dalam sertipikat terdapat hal-hal
mengenai data fisik tanah, jenis hak, maupun hak yang membebani tanah
tersebut. Oleh karena itu, data-data yang ditampilkan dianggap benar.
Ditinjau dari keadaan fisik bidang tanah yang telah didaftarkan,
sebagaimana disebutkan dalam ketentuan Pasal 17 ayat (3) PP Nomor 24
Tahun 1997 yang menyatakan bahwa pemeliharaan tanda-tanda batas
bidang tanah wajib dilakukan oleh si pemegang hak. Kata wajib berarti
mengharuskan si pemegang hak untuk melaksanakannya demi
mendapatkan suatu nilai kepastian terhadap penguasaan yang
dilakukannya. Pada hakekatnya, penyelenggaraan pendaftaran tanah
sebagai upaya untuk memberikan kepastian hukum atas tanah yang
dikuasai pemegang hak sekaligus memberikan perlindungan hukum di
bidang pertanahan. Untuk dapat memperoleh perlindungan hukum
diperlukan suatu kepastian hukum, sebab kepastian hukum berimplikasi
bagi kesejahteraan hidup masyarakat khususnya pemegang hak atas tanah.
Tanah-tanah yang telah bersertipikat ataupun terdaftar di Kantor
Pertanahan Kabupaten Demak selayaknya mendapatkan perlindungan
hukum sepanjang sertipikat yang diterbitkan memiliki kepastian letak atau
posisi tanahnya di permukaan bumi yang dituangkan dalam Peta Dasar
Pendaftaran. Hal ini bertujuan untuk mencegah adanya pendaftaran di atas
objek tanah yang sama. Selain itu, data yang ada di peta dasar pendaftaran
dapat merekonstruksi batas-batas bidang tanah yang hilang. Namun
demikian masih banyak terdapat tanah-tanah bersertipikat yang tidak
diketahui lokasinya karena tidak tersedianya peta dasar pendaftaran saat
proses penerbitan sertipikat pada masa lalu. Hal ini disebabkan oleh

10
kurangnya sarana dan prasarana pada waktu itu. Begitu juga yang terjadi
pada permasalahan inventarisasi dan identifikasi bidang tanah terdampak
pengadaan tanah seksi I yang dilakukan oleh Satgas A dan Satgas B.
Satgas A mengalami kesulitan dalam mengidentifikasi bidang tanah yang
tergenang karena ketidaktersediaan data untuk sertipikat-sertipikat yang
terbit pada tahun 90-an. Oleh karena itu sertipikat hak milik yang
tergenang dan tidak ada penguasaan di dalamnya semakin menguatkan
prinsip ketidakpastian sehingga sertipikatnya dinyatakan hapus.
Kemusnahan tanah yang disebabkan oleh banjir Rob secara jelas
telah diatur dalam PP Nomor 24 Tahun 1997 bahwa pemerintah tidak
memiliki kewajiban untuk bertanggung jawab atas hilangnya tanah-tanah
masyarakat. Kriteria dalam pasal-pasalnya sudah jelas terpenuhi yakni
bahwa tanah tersebut secara fisik tidak dapat dipergunakan lagi, kemudian
bentuk tanahnya sudah hilang sehingga tidak dapat lagi dilakukan
identifikasi batas bidang tanahnya.

3. Perlindungan Hukum Dalam Pengadaan Tanah Untuk


Kepentingan Umum
Suatu negara hukum secara umum memiliki konsep perlindungan
hukum. Konsep tersebut bekerja ketika adanya suatu pelanggaran akibat
perbuatan yang menyimpang dari hukum bilamana pemerintah melakukan
perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang serta melanggar hak
masyarakat yang semestinya diperhatikan. Makna perlindungan hukum
tertuju pada adanya upaya untuk melindungi hak-hak berdasarkan
tanggung jawab dan amanah.
Perlindungan hukum yang diberikan dalam penyelenggaraan
pengadaan tanah untuk kepentingan umum dapat dimaknai sebagai bentuk
penghormatan terhadap hak kepemilikan atas tanah yang dimiliki pihak
terdampak. Bentuk pengakuan negara terhadap tanah milik si pemegang
hak atau tanah adat ditunjukkan dengan adanya kewajiban negara dalam
menjamin kepastian hukum hak atas tanah tersebut sehingga si pemegang

10
hak dapat mempertahankan haknya dari ancaman pihak lain yang
mengganggunya (SW Sumardjono 2006,159).
Kepentingan umum di dalam ketentuan Pasal 18 UUPA bermakna
pada peruntukannya, yaitu kepentingan bangsa dan negara, kepentingan
bersama dari rakyat, sehingga kepentingan tersebut dapat dirasakan
manfaatnya oleh masyarakat secara menyeluruh. Dalam Pasal 1 butir (6)
UU Nomor 2 Tahun 2012, kepentingan umum diartikan sebagai
kepentingan bersama yang harus diwujudkan untuk kemakmuran rakyat
dan kesejahteraan perekonomian seluruhnya demi keutuhan Bangsa dan
Negara. Sedangkan dalam peraturan pengadaan tanah yang baru yaitu
UUCK beserta turunannya PP Nomor 19 Tahun 2021 menyebutkan bahwa
kepentingan umum mengarah kepada kepentingan penciptaan kerja.
Realisasi pembangunan ditujukan untuk terciptanya lapangan pekerjaan
melalui usaha-usaha kecil, menengah bahkan peningkatan investasi dan
kemudahan berusaha. Lebih rinci lagi, agar tidak terjadi ambigu di tengah-
tengah masyarakat, harus disebutkan jenis kegiatan kepentingan umum
yang dimaksud seperti yang tertuang dalam Pasal 10 UU Nomor 2 Tahun
2012, Pasal 123 ayat (2) UUCK dan Pasal 2 PP Nomor 19 Tahun 2021.
Merujuk pada UUD 1945 yang secara umum telah memberi
perlindungan terhadap hak-hak atas tanah sebagaimana yang diatur dalam
Pasal 28 huruf h ayat 4, menyatakan bahwa: “Setiap orang berhak
mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil
secara sewenang-wenang dan harus diimbangi dengan ganti kerugian”.
Atas dasar ketentuan itu perlindungan hukum dalam pengadaan tanah
untuk kepentingan umum dituangkan dalam Pasal 9 UU Nomor 2 Tahun
2012 yakni pemberian ganti kerugian tanah yang layak dan adil sehingga
pemilik tanah dapat memanfaatkannya guna membangun penghidupannya.
Tujuan yang diharapkan dalam penyelenggaraan pengadaan tanah
untuk pembangunan kepentingan umum bertumpu pada jalannya
pembangunan dengan tidak merugikan dan menurunkan derajat sosial
ekonomi pemilik tanah ataupun si pemegang hak atas tanah beserta benda

10
yang berada di atasnya (Suartina 2008,150). Oleh sebab itu, adanya
pemberian ganti kerugian kepada pemilik tanah bukan hanya sebatas
bidang tanah yang akan dilepaskan tetapi benda-benda yang memiliki nilai
ekonomis yang terdapat dalam ruang atas dan bawah tanah harus
mendapatkan perlindungan juga.
Maria S.W. Sumardjono (2006,161) menyatakan bahwa masyarakat
terdampak pembangunan untuk kepentingan umum harus melepaskan
tanahnya dengan diberikan ganti rugi sebagaimana dituangkan dalam
peraturan perundang-undangan. Bentuk perlindungan hukum itu harus
terus direalisasikan dengan konsisten dan konsekuen. Mengambil tanah-
tanah masyarakat untuk kepentingan umum memang merupakan
kewenangan negara, namun harus memperhatikan hak-hak mereka sebagai
bentuk penghormatan dan diberikan secara layak. Selanjutnya, Maria S.W.
Sumardjono (2006,162) berpendapat bahwa perlu adanya kerangka
berpikir yang kuat dalam mewujudkan penghormatan atas hak-hak
seseorang agar sesuatu hal yang sifatnya formal dan substansial dapat
terpenuhi dan apabila terwujud maka tujuan kepastian, kemanfaatan, serta
keadilan dapat tercapai. Atas pendapat tersebut, peneliti menganggap
bahwa hak-hak seseorang dapat diberikan perlindungan hukum ketika hak
tersebut terpenuhi secara normatif sehingga keadilan dapat dikatakan
sejalan dengan fakta hukum.
Berlakunya PP Nomor 18 Tahun 2021 secara jelas mengatur tentang
kriteria-kriteria tanah musnah dan perlindungan dari pemerintah yang
bersifat preventif. Perlindungan yang dimaksud tertuang dalam Pasal 66
ayat (3), dimana pemerintah memberi kesempatan kepada pemegang hak
untuk merekonstruksi atau mereklamasi tanahnya sebelum ditetapkan
sebagai tanah musnah. Apabila upaya rekonstruksi atau reklamasi
dilaksanakan oleh pemerintah maka pemegang haknya dapat diberikan
bantuan dana kerohiman. Dalam kegiatan pengadaan tanah, apabila
pemegang hak dapat melakukan upaya untuk menghidupkan kembali
tanahnya yang hilang, maka si pemegang hak dapat diberikan ganti
kerugian atas tanahnya. Namun, hak milik terdampak pengadaan tanah

10
seksi I yang

10
status tanahnya musnah tidak dapat merujuk pada ketentuan-ketentuan
yang tercantum dalam PP Nomor 18 Tahun 2021. Hal ini dikarenakan
peraturan tersebut mengatur tentang hak pengelolaan, hak guna usaha, hak
guna bangunan, dan hak pakai atas tanah.
Hapusnya Hak milik oleh karena kemusnahan tanahnya tidak serta
merta harus mendapatkan perlindungan hukum. Pada dasarnya belum ada
undang-undang yang mengatur tentang hak milik atas tanah. Ketentuan
yang merujuk tentang hak milik atas tanah dapat dilihat dalam Pasal 20
dan Pasal 56 UUPA, dimana dalam Pasal 20 menyebutkan bahwa hak
milik memiliki sifat terkuat dan terpenuh namun tidak mutlak. Artinya
kedudukan hak milik bukanlah segalanya yang tidak dapat diganggu gugat
dan dihapus oleh karena keadaannya, melainkan hak milik harus dapat
menerima peran fungsi sosial atas tanah. Ketentuan Pasal 56 UUPA
menyatakan bahwa apabila undang-undang tentang hak milik belum diatur,
maka ketentuan hukum adat dapat diberlakukan.
Konsideran dalam peraturan-peraturan yang mengatur tentang
pengadaan tanah untuk kepentingan umum menunjukkan bahwa UUPA
merupakan dasar dari segala pengaturan di bidang pertanahan. Artinya
UUPA selalu berada pada level tertinggi yang pembentukannya berdasar
pada UUD 1945 sehingga peraturan mengenai pengadaan tanah tidak
boleh bertentangan dengan UUPA. Dalam hal pengadaan tanah seksi I,
ganti kerugian tanah sebagai bentuk perlindungan hukum harus
memperhatikan kondisi hak atas tanahnya. Ketika tidak ditemukannya
kepastian hukum dalam sertipikat hak atas tanah sehingga atas dasar
UUPA dan PP Nomor 24 Tahun 1997 tanahnya musnah dan haknya hapus
maka perlindungan hukum dalam bentuk ganti kerugian tidak dapat
diberikan kepada pemegang haknya. Sejatinya pemerintah juga telah
memberikan perlindungan secara umum kepada seluruh masyarakat yang
terkena banjir Rob melalui pembangunan untuk kepentingan umum.
Sehingga pemerintah tidak patut dipersalahkan dalam situasi tersebut.

10
B. Perumusan Rekomendasi Kebijakan
Tanah-tanah dengan kondisi tergenang banjir Rob menjadi teka-teki
yang harus dijawab guna penyelesaian permasalahan pelaksanaan pengadaan
tanah seksi I, yang mana perencanaan telah dirancang sejak tahun 2016
hingga saat ini pelaksanaan pengadaan tanahnya belum terealisasi sehingga
pembangunan jalan tol belum dapat terlaksana. Berdasarkan hasil analisa
sementara inventarisasi dan identifikasi oleh Satgas A dan Satgas B serta
observasi yang dilakukan peneliti di lapangan, terdapat 2 (dua) kriteria tanah
tergenang pada lokasi pengadaan tanah seksi I yakni: (1) Tanah tergenang
yang tidak terlihat batas tanahnya dan tidak dimanfaatkan oleh pemilik tanah.
Berdasarkan analisis terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku
tanah tersebut merupakan tanah musnah sehingga bagi tanah yang statusnya
merupakan sertipikat hak milik maka haknya hapus; (2) Tanah tergenang
yang masih terdapat batas tanahnya dan dimanfaatkan untuk usaha tambak.
Sertipikat hak milik pada tanah tersebut masih tetap berlaku.
Keputusan pelaksana pengadaan tanah dalam hal ini Kakanwil
Kementerian ATR/BPN Provinsi Jawa Tengah membuat surat kepada
Menteri ATR/BPN perihal memohon petunjuk penyelesaian pengadaan tanah
seksi I jalan tol Semarang-Demak merupakan langkah yang tepat. Keragu-
raguan pelaksana pengadaan tanah dalam menerapkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku merupakan tindakan untuk mengantisipasi adanya
perbedaan penafsiran dengan aparat penegak hukum sehingga tidak terjadi
permasalahan berupa gugatan perdata maupun pidana yang ditujukan kepada
pelaksana pengadaan tanah. Oleh karena itu, dibutuhkan payung hukum yang
tepat agar pelaksana pengadaan tanah merasa terayomi dalam melaksanakan
kegiatan tersebut.
Peraturan perundang-undangan mengenai pengadaan tanah belum dapat
mengakomodir permasalahan tanah musnah dalam penyelenggaraan
pengadaan tanah. Keragu-raguan muncul karena berkaitan dengan adanya
ganti kerugian dalam suatu kegiatan pengadaan tanah. Lebih lanjut lagi,
adanya ketentuan dalam Pasal 66 ayat (5) PP Nomor 18 Tahun 2021 yang
menyatakan

10
bahwa penetapan tanah musnah diatur dengan Peraturan Menteri. Wewenang
dalam menetapkan tanah musnah sekaligus langkah administrasi yang harus
dilakukan belum diatur dalam peraturan mengenai pengadaan tanah. Oleh
karena itu, pelaksanaan pengadaan tanah mengalami stagnan.
Terhentinya pelaksanaan pengadaan tanah oleh karena keragu-raguan
dalam menerapkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, pemerintah
dapat melakukan tindakan perlindungan hukum secara preventif sebagai
upaya untuk mencegah terjadinya sengketa melalui diskresi. Hal ini sesuai
dengan Pasal 134 PP Nomor 19 Tahun 2021 yang berbunyi: “Dalam hal
Peraturan Pemerintah ini memberikan pilihan tidak mengatur, tidak lengkap,
atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan, Menteri dapat
melakukan diskresi untuk mengatasi persoalan konkret dalam
penyelenggaraan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan
umum”. Berdasarkan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014
tentang Administrasi Pemerintahan, dapat diketahui bahwa alasan
diberikannya diskresi adalah karena: (1) Ketentuan peraturan perundang-
undangan yang memberikan suatu pilihan keputusan dan/atau tindakan; (2)
Peraturan perundang-undangan tidak mengatur; (3) Peraturan perundang-
undangan tidak lengkap atau tidak jelas;
(4) Adanya stagnasi pemerintahan guna kepentingan yang lebih luas.
Atas dasar permasalahan yang terjadi peneliti melakukan analisis secara
normatif dan empiris guna memperoleh rekomendasi kebijakan yang dapat
dimanfaatkan sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan.
Dalam menentukan rekomendasi kebijakan perlu adanya dukungan dari
stakeholders atau pihak yang terlibat guna memperoleh alternatif yang
terbaik.

1. Pihak Yang Terlibat


Perumusan kebijakan dalam prakteknya melibatkan berbagai pihak,
baik yang berasal dari pihak negara maupun pihak non negara. Menurut
Muadi, dkk (2016,207) pembuat kebijakan dari pihak negara yaitu anggota
dewan (legislatif), Presiden dan pemerintahannya (eksekutif), dan lembaga
yang bertugas sebagai pelaksana kebijakan (administratif). Sedangkan
11
yang

11
termasuk dalam pihak non pemerintahan adalah partai politik, organisasi
riset, media, dan masyarakat.
Menurut Islamy (2000,48) hal pertama yang harus dipahami dalam
pembentukan suatu kebijakan adalah mengenai siapa pelaku atau
stakeholder yang memiliki peran. Peranan tersebut tidak harus tertuju pada
pihak resmi, melainkan pihak tidak resmi juga dapat mengambil bagian
dalam sebuah kebijakan. Berangkat dari teori tersebut, kebijakan dalam
rangka mewujudkan penyelesaian permasalahan tanah musnah pada
pelaksanaan pengadaan tanah seksi I jalan tol Semarang-Demak yang
dikaji dalam penelitian ini, juga melibatkan pihak-pihak resmi dan tidak
resmi. Adapun para pihak yang terlibat dalam kebijakan pelaksanaan
pengadaan tanah ini adalah sebagai berikut:

a. Kementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional


(ATR/BPN)
Konsep kebijakan dalam penyelesaian permasalahan pengadaan
tanah seksi I, tentu menjadi tanggung jawab penuh lembaga
pemerintahan di bidang pertanahan dan tata ruang yakni Kementerian
ATR/BPN. Sertipikat hak milik atas tanah merupakan produk hukum
yang diterbitkan oleh kantor-kantor pertanahan berdasarkan ketentuan
dalam UUPA dan PP Nomor 24 Tahun 1997. Ketika sertipikat yang
diterbitkan terjadi perubahan atas haknya, baik itu karena peralihan,
pembebanan, pembatalan maupun penghapusan hak maka perlu
didaftarkan kembali sehingga atas apapun yang terjadi terhadap
sertipikat yang diterbitkan, merupakan kewenangan yang wajib
dilaksanakan oleh Kementerian ATR/BPN. Selain itu, UU Nomor 2
Tahun 2012 memberikan kewenangan penuh terhadap Kementerian
ATR/BPN dalam terselenggaranya kegiatan pengadaan tanah.
Peran vital yang diemban oleh Kementerian ATR/BPN dalam
membuat suatu kebijakan yang menjadi tuntutan dari banyak pihak
harus segera terealisasi. Tuntutan kebijakan pelaksanaan pengadaan
tanah tersebut diharapkan mampu melindungi hak-hak masyarakat
guna

11
mewujudkan masyarakat yang sejahtera. Disisi lain, kebijakan tersebut
harus mampu mengayomi pihak pelaksana pengadaan tanah dari
tuntutan hukum baik pidana maupun perdata.

b. Pemerintah Daerah
Pemerintah daerah memiliki tanggung jawab yang besar untuk
mengelola wilayahnya dalam rangka perencanaan pembangunan
maupun investasi guna memperoleh pemasukan bagi pendapatan
daerah. Pemerintah daerah menjadi salah satu pihak yang paling
menentukan dalam sebuah kebijakan guna terwujudnya
penyelenggaraan pengadaan tanah.
Sebagai pihak yang memiliki kewenangan dalam mengatur
wilayahnya, peran pemerintah daerah dalam hal ini pemerintah desa
sangat diharapkan untuk memberikan keterangan-keterangan maupun
data-data terkait subjek dan objek tanah-tanah masyarakat yang
tergenang. Selain itu, pemerintah desa juga dapat mengawasi
pemanfaatan tanah setelah terbitnya SK Penlok pengadaan tanah yang
dilakukan oleh pihak yang mencari keuntungan. Peran pemerintah desa
ini diperlukan dalam pengkajian terhadap tanah-tanah tergenang banjir
Rob yang menjadi objek pengadaan tanah seksi sehingga pengkajian
kebijakan yang dilaksanakan berdasarkan bukti yang kuat.

c. Masyarakat
Peran masyarakat dalam sebuah pelaksanaan kebijakan menjadi
salah satu bagian yang tidak dapat dipisahkan, khususnya kebijakan
publik yang sasaran utamanya adalah masyarakat itu sendiri. Kebijakan
publik dapat efektif dilaksanakan jika mendapat dukungan dan peran
aktif masyarakat. Tidak terkecuali dengan kebijakan yang menjadi
objek analisis dalam penelitian ini.
Peran masyarakat dalam memberikan keterangan maupun
pengakuan terhadap tanah miliknya maupun usaha yang dilakukan
terhadap tanah tersebut sangat diharapkan sesuai asas itikad baik. Selain

11
itu, respon positif masyarakat terhadap kebijakan pelaksanaan yang
dikeluarkan juga sangat diharapkan. Dengan terlaksananya
pembangunan maka secara umum masyarakat terlindungi dari peristiwa
banjir Rob. Masyarakat harus bertindak kooperatif dalam melakukan
pendaftaran penghapusan hak atas tanahnya yang hilang. Hal ini juga
akan menguntungkan pemilik tanah, sebab dengan hapusnya hak atas
tanahnya, maka masyarakat dapat terlepas dari beban pembayaran Pajak
Bumi dan Bangunan (PBB) pada tanahnya melalui proses penghapusan
pajak.

2. Rekomendasi Kebijakan
Kebijakan yang tepat merupakan urgensi dari penyelesaian
permasalahan pelaksanaan pengadaan tanah yang stagnan. Tujuannya agar
pembangunan dapat segera terealisasi sehingga banjir Rob dapat
terkendali. Untuk itu peneliti memberikan rekomendasi kebijakan terhadap
kegiatan pelaksanaan pengadaan tanah seksi I, yaitu:

a. Penetapan Tanah Musnah


Kewenangan penuh menggunakan dan memanfaatkan tanah
secara efisien diberikan kepada pemegang hak sesuai dengan sifat
haknya. Namun, kenyataan yang dihadapi oleh pemegang hak milik
atas tanah yang tergenang banjir Rob sebagian besar lalai dalam
melaksanakan kewajibannya yaitu pemeliharaan terhadap tanah
miliknya tanpa harus ditelantarkan. Kewajiban pemegang hak untuk
memelihara dan mencegah kerusakan tanahnya telah diamanatkan
dalam ketentuan Pasal 15 UUPA. Peniadaan pemanfaatan tanah oleh
sebagian orang secara normatif menyebutkan bahwa tanahnya musnah.
Tanah-tanah musnah perlu ditetapkan terlebih dahulu agar
pemilik tanah mengetahui secara jelas bahwa sertipikat hak milik atas
tanahnya hapus. Merujuk pada Pasal 3 ayat (2) Perpu Nomor 2 Tahun
2007, yang menyebutkan bahwa penetapan tanah musnah dilakukan
oleh Kepala Kantor Pertanahan berdasarkan asas transparansi,
akuntabilitas, dan

11
keadilan. Oleh karena itu, penetapan tanah musnah merupakan
kewenangan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Demak. Sertipikat
hak milik yang dinyatakan hapus merupakan produk hukum yang
diterbitkan oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Demak.

b. Ganti Kerugian
Sertipikat hak milik yang tanahnya terdampak pengadaan tanah
seksi I memiliki kriteria yang berbeda-beda sehingga perlakuan hukum
akan status tanahnya menjadi berbeda. Tanah-tanah yang secara aktif
digunakan dan dimanfaatkan oleh pemegang hak milik atas tanah masih
ditemukan pada lokasi pengadaan tanah seksi I, walaupun kondisi tanah
tersebut digenangi air Rob. Upaya pemeliharaan tanah oleh pemegang
hak ditunjukkan dengan penanaman pohon bakau pada batas-batas
bidang tanahnya. Pohon bakau berfungsi untuk memperkecil
gelombang air Rob sehingga tidak merusak waring-waring yang
didirikan untuk usaha tambaknya. Atas perlakuan itikad baik tersebut,
maka pemegang hak milik atas tanah patut mendapatkan perlindungan
hukum berupa ganti kerugian yang layak dan adil terhadap tanah dan
usaha tambaknya. Besaran nilai ganti kerugian dapat ditentukan oleh
tim appraisal sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Tanah musnah yang ditetapkan pada lokasi pengadaan tanah seksi
I memiliki perlakuan berbeda dengan tanah-tanah yang aktif digunakan
dan dimanfaatkan. Bentuk ganti kerugian tidak dapat diberikan oleh
karena kelalaian pemegang haknya dalam pemeliharaan batas tanahnya.
Pelaksana pengadaan tanah dalam hal ini harus tetap berpedoman pada
ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Makna kata musnah
berarti hilang, maka selayaknya tanah yang hilang tidak dapat dinilai
ganti kerugian atas tanahnya. Apabila pelaksana pengadaan tanah
memberikan ganti kerugian terhadap tanah yang musnah maka akan
berdampak pada gugatan perdata maupun pidana. Hal yang sama juga
dapat terjadi apabila pelaksana pengadaan tanah memberikan dana
kerohiman/santunan kepada pemegang hak. Dasar hukum mengenai

11
dana kerohiman belum diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Memaksakan pemberian ganti kerugian ataupun dana kerohiman pada
tanah-tanah yang fisiknya tidak kelihatan, berindikasi memberikan
keterangan palsu dalam dokumen ganti kerugian pengadaan tanah
sehingga aparat penegak hukum dapat mempersepsikan bahwa Ketua
Pelaksana Pengadaan Tanah telah merugikan keuangan negara.
Perlakuan yang sama juga dapat diterapkan pelaksana pengadaan
tanah terhadap tanah-tanah yang pemegang haknya telah lama
meninggalkan tanahnya karena adanya genangan air Rob, namun
dikuasai oleh penggarap untuk pemanfaatan usaha tambak guna
pemenuhan kebutuhan hidupnya. Dalam hal ini, pelaksana pengadaan
tanah terlebih dahulu penting untuk menetapkan status tanahnya
menjadi tanah musnah karena pada dasarnya pemegang hak telah
melakukan pembiaran terhadap tanahnya. Oleh karena itu, pemegang
hak tidak berhak mendapatkan ganti kerugian dalam bentuk apapun.
Mengenai adanya penggarap yang memanfaatkan tanah tersebut perlu
dilakukan pengkajian atas pemanfaatan yang dilakukan. Apabila tanah
tersebut digunakan dan dimanfaatkan oleh penggarap sebelum terbitnya
SK Penlok maka pelaksana pengadaan tanah dapat memberikan ganti
kerugian atas usaha tambak yang dilakukan. Perlakuan yang adil patut
diberikan kepada penggarap yang memanfaatkan tanah berdasarkan
itikad baik. Namun bagi penggarap yang memanfaatkan tanahnya
setelah terbitnya SK Penlok, pelaksana pengadaan tanah tidak dapat
memberikan ganti kerugian dalam bentuk apapun.
Penyelesaian permasalahan pelaksanaan pengadaan tanah seksi I
yang belum diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai
pengadaan tanah dapat diselesaikan dengan berpedoman pada
peraturan- peraturan yang berlaku di bidang pertanahan. Kebijakan
yang dikaji secara normatif dapat menghindari pelaksana pengadaan
tanah dari jeratan hukum. Setiap kebijakan yang dibuat sering
dipandang tidak adil bagi sebagian pihak, namun dalam hal ini
pemerintah telah bertindak adil

11
bagi seluruh masyarakat Desa Sriwulan, Bedono, dan Purwosari.
Dengan adanya pembangunan jalan tol terintegrasi tanggul laut, banjir
Rob pada wilayah tersebut dapat teratasi. Disamping itu, tanah-tanah
tergenang akan berpotensi kering sehingga mengakibatkan adanya
tanah timbul. Secara khusus, bekas pemegang hak yang tanahnya
ditetapkan sebagai tanah musnah layak memperoleh keadilan melalui
tanah timbul tersebut. Pemerintah seyogyanya memberikan hak
prioritas terhadap sisa tanah terdampak pengadaan tanah seksi I yang
timbul akibat pembangunan. Pemilik tanah dapat diberikan kesempatan
kembali untuk mengajukan permohonan hak atas tanahnya.

c. Penghindaran Terhadap Spekulan


Setiap kegiatan pengadaan tanah sering dijumpai aktor-aktor yang
mencari keuntungan dengan cara berspekulasi. Hal ini menjadi faktor
penghambat pelaksanaan kegiatan. Berdasarkan pengamatan peneliti di
lapangan, terdapat banyak pihak yang memiliki suatu kepentingan
untuk mencari keuntungan. Cara yang dilakukan aktor-aktor ini sedikit
berbeda dengan yang biasa terjadi. Terdapat pihak-pihak yang
memanfaatkan peluang setelah SK penlok diterbitkan. Pihak tersebut
menggarap tanah milik orang untuk usaha tambak dimana pemilik
tanahnya sudah lama meninggalkan tanahnya karena genangan banjir
Rob. Berbagai cara dilakukan pihak tersebut untuk mendapatkan ganti
kerugian atas usaha tambaknya. Aksi yang dilakukan pihak ini sangat
menyakiti pemilik tanah yang selama ini merasa dirugikan akibat
adanya banjir Rob.
Pelaksana pengadaan tanah penting untuk melakukan pengkajian
atas pemanfaatan tanah-tanah terdampak. Pengkajian dapat dilakukan
oleh tim peneliti khusus agar pelaksana pengadaan tanah terhindar dari
praktik-praktik kejahatan yang dilakukan oleh pihak yang tidak
bertanggung jawab. Tim peneliti terlebih dahulu melakukan
inventarisasi sertipikat hak milik terdampak. Apabila terdapat peralihan
hak pada sertipikat setelah terbitnya SK Penlok, maka bagi tanah yang
tidak ditetapkan sebagai tanah musnah diberikan ganti rugi hanya

11
sebesar nilai

11
perolehan tanahnya. Berkaitan dengan pemanfaatan usaha tambak yang
dilakukan oleh penggarap, tim peneliti harus melakukan identifikasi
menggunakan Citra Satelit Resolusi Tinggi (CSRT) tahun 2015
(sebelum SK Penlok terbit); tahun 2016 sampai tahun 2021 (setelah SK
Penlok terbit). Identifikasi yang dilakukan dapat mengetahui secara
pasti siapa penggarap yang melakukan praktik-praktik kejahatan untuk
menguntungkan diri sendiri. Apabila pelaksana pengadaan tanah
memberikan ganti kerugian atas usaha tambaknya, maka akan masuk ke
dalam tuntutan tindak pidana korupsi karena dianggap melakukan
persekongkolan yang menguntungkan pihak lain.

d. Langkah Administrasi Yang Ditempuh


Dalam menyelesaikan permasalahan tanah musnah pada
pelaksanaan pengadaan tanah seksi I yang belum diatur dalam peraturan
perundang-undangan mengenai pengadaan tanah, maka perlu dilakukan
langkah administrasi yang merujuk pada Pasal 52 PP Nomor 24 Tahun
1997. Penghapusan hak oleh karena kemusnahan tanahnya wajib
didaftarkan oleh pemegang hak. Ketika suatu hak dinyatakan hapus,
maka sertipikat yang dimiliki si pemegang hak harus dimusnahkan.
Untuk mencegah terjadinya peralihan setelah tanahnya ditetapkan
sebagai tanah musnah, maka Kepala Kantor Kabupaten Demak wajib
mencatat hapusnya hak pada buku tanah dan surat ukur. Oleh karena
itu, pemerintah mengharapkan sikap yang kooperatif dari pemegang hak
agar tercapai pengadministrasian yang baik.

11
BAB VII
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Tanah tergenang yang secara fisik dapat diidentifikasi batas-batasnya dan
efektif dimanfaatkan oleh pemegang hak, maka hak milik atas tanah
tersebut memiliki kepastian hukum yang kuat sehingga sertipikatnya tetap
berlaku. Namun terhadap tanah tergenang yang fisiknya tidak dapat
diidentifikasi dan tidak ada pemanfaatan atas tanahnya, maka tanah
tersebut memenuhi kriteria tanah musnah sesuai Pasal 1 angka (2) Perpu
Nomor 2 Tahun 2007 dan Pasal 66 ayat (1) PP Nomor 18 Tahun 2021.
Berkaitan dengan status hukum sertipikat hak milik yang tanahnya
dinyatakan sebagai tanah musnah, maka haknya hapus atas dasar:
a. Pasal 27 huruf (b) UUPA menyatakan bahwa hak milik hapus apabila
tanahnya musnah. Mengenai tanah musnah yang diatur dalam UUPA
tidak secara spesifik mengatur tentang kriteria tanah musnah.
b. Pasal 32 ayat (1) PP Nomor 24 Tahun 1997 menyatakan bahwa
sertipikat disebut sebagai alat pembuktian yang kuat apabila data fisik
dan data yuridis di dalamnya masih sesuai dengan data yang ada dalam
surat ukur dan buku tanah. Kenyataannya, tanah yang musnah akibat
banjir Rob tidak kelihatan lagi fisiknya serta tidak terdapat pemanfaatan
atas tanahnya sehingga sertipikat hak miliknya tidak sesuai lagi dengan
data fisik dan data yuridis yang ditampilkan, maka status hukum
sertipikatnya hapus.
2. Peristiwa banjir Rob yang terjadi di Kabupaten Demak bukanlah suatu
bencana sehingga tidak dapat merujuk pada UU Nomor 24 Tahun 2007.
Mengenai sertipikat hak milik yang hapus karena tanahnya musnah oleh
banjir Rob, dengan memperhatikan kondisi hak atas tanahnya maka
berdasarkan UUPA dan PP Nomor 24 Tahun 1997 pemegang hak tidak
dapat diberikan perlindungan hukum. Namun, terhadap sertipikat hak
milik

12
yang tanahnya tidak dinyatakan sebagai tanah musnah, perlindungan
hukum berupa ganti kerugian patut dan layak diberikan kepada pemegang
haknya.
3. Rumusan rekomendasi kebijakan dalam upaya penyelesaian permasalahan
pelaksanaan pengadaan tanah seksi I yang mengalami stagnasi adalah
sebagai berikut:
1) Penyelesaian substansi permasalahan
a) Tanah yang masih dipergunakan untuk usaha tambak oleh pemilik
tanah dan dibuktikan dengan sertipikat hak milik, maka pemegang
hak dapat diberikan ganti kerugian atas tanah dan usaha
tambaknya. Besaran ganti kerugian ditentukan oleh tim appraisal
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b) Tanah yang sudah lama ditinggalkan pemiliknya, namun digunakan
dan dimanfaatkan oleh penggarap atau pihak lain untuk usaha
tambak, maka tanah tersebut harus ditetapkan sebagai tanah
musnah. Pemegang hak tidak dapat diberikan ganti kerugian.
Terkait ganti kerugian bagi pihak penggarap harus dilakukan
pengkajian terhadap pemanfaatan tanah yang dilakukannya.
Apabila usaha tambak dilakukan sebelum terbitnya SK Penlok,
maka penggarap berhak mendapatkan ganti kerugian hanya atas
usahanya. Sebaliknya, apabila usaha tambak dilakukan setelah SK
Penlok diterbitkan, maka penggarap tidak berhak mendapatkan
ganti kerugian atas usaha tambaknya.
2) Langkah administrasi
a) Penetapan tanah musnah dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan
Kabupaten Demak dengan membentuk tim peneliti tanah musnah
yang terdiri dari unsur instansi yang terlibat. Kepala Kantor
Pertanahan Kabupaten Demak harus menetapkan penegasan
terhadap tanah yang musnah, kemudian keputusan penegasan tanah
musnah tersebut wajib diumumkan.
b) Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Demak mencatat hapusnya
hak milik atas tanah yang telah ditetapkan sebagai tanah musnah

12
pada buku tanah dan surat ukur, kemudian dinyatakan tidak berlaku
sebagai tanda bukti hak yang sah. Apabila di dalam hak milik
tersebut dibebani hak tanggungan maka perlu adanya persetujuan
dari kreditor.
c) Melakukan penarikan sertipikat hak milik dan/atau sertipikat hak
tanggungan, kemudian dilakukan pencatatan yang menyatakan
bahwa sertipikat tersebut sudah hapus dan tidak berlaku lagi.
d) Apabila sertipikat hak milik dan/atau sertipikat hak tanggungan
yang hapus tidak diserahkan oleh pemegang hak maka Kepala
Kantor Pertanahan Kabupaten Demak wajib mengumumkan di
media selanjutnya menyatakan tidak berlaku.

B. Saran
1. Penyusunan DPPT oleh instansi yang memerlukan tanah sebaiknya
melibatkan Kantor Pertanahan Kabupaten Demak agar dokumen yang
dihasilkan dapat menentukan subjek dan objek yang lebih detail dan akurat
sehingga terhindar dari kegiatan yang mengalami stagnasi.
2. Terhadap tanah-tanah timbul akibat dari terselenggaranya pembangunan
jalan tol Semarang-Demak terintegrasi tanggul laut, untuk tidak
menghilangkan hak keperdataan seseorang atas kemusnahan tanahnya
maka dapat diberikan hak prioritas kepada pemiliknya.
3. Penetapan tanah musnah dalam pelaksanaan pengadaan tanah berlaku juga
bagi dokumen pemilikan hak milik adat berupa Letter C desa. Namun
pendaftaran hapusnya hak tersebut tidak dapat dilakukan oleh Kepala
Kantor Pertanahan Kabupaten Demak melainkan wewenang dari
Pemerintah Desa Sriwulan, Desa Bedono maupun Desa Purwosari.

12
DAFTAR PUSTAKA

Buku:
Ali, Z 2016, Metode penelitian hukum, Sinar Grafika, Jakarta
Amal, B 2017, Hukum Tanah Nasional Sejarah Politik dan Perkembangannya,
Thafa Media, Yogyakarta
Arba, H.M 2017, Hukum Agraria Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta
Arisaputra, M 2015, Reformasi Agraria Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta
Dahuri, Rokhmin 2001, Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan
Secara Terpadu Edisi kedua, Pradnya Paramita, Jakarta
Hadjon, P.M 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, PT. Bina Ilmu,
Surabaya
Harsono, B 1996, Hukum Agraria Indonesia, Djambatan, Jakarta
------------, 2003, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-
Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Cetakan Ke-9 (Edisi
Revisi), Djambatan, Jakarta
Ibrahim, J 2012, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia
Publishing, Malang
Islamy, I 2000, Prinsip-prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara, Bumi Aksara,
Jakarta
Marzuki, PM 2013, Penelitian Hukum, Edisi Revisi, Kencana Prenada Media
Group, Jakarta
Noor, Aslan 2006, Konsep Hak Milik Atas Tanah Bagi Bangsa Indonesia
Ditinjau Dari Ajaran Hak Asasi Manusia, Mandar Maju, Bandung
Raharjo, S 2000, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung
Santoso, Urip 2008, Hukum Agraria & hak-hak Atas Tanah, Kencana Prenada
Media Group, Jakarta
Sarjita, Sudjito, Arianto, T & Zarqoni, M.M 2012, Restorasi Kebijakan
Pengadaan, Perolehan, Pelepasan dan Pendayagunaan Tanah, Serta
Kepastian Hukum di Bidang Investasi, TUGUJOGJA Pustaka, Yogyakarta
Salindeho, J 1994, Manusia, Tanah, Hak dan Hukum, Sinar Grafika, Jakarta
Setiawan, I Ketut Oka 2020, Hukum Agraria, Pustaka Reka Cipta, Bandung
Soekanto, S & Mamudji, S 2003, Penelitian hukum normatif: suatu tinjauan
singkat, Rajawali Press, Jakarta

12
Soerodjo, I 2003, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah Di Indonesia, Arkota,
Surabaya
SW Soemardjono, M 2006, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan
Implementasi, Edisi Revisi, Kompas, Jakarta
----------, 2008, Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi Sosial dan Budaya,
Kompas, Jakarta
Syah, M.I 2015, Pembebasan Tanah Untuk Pembangunan Kepentingan Umum:
Upaya Hukum Masyarakat yang Terkena Pembebasan dan Pencabutan
Hak, Edisi Revisi, Jala Permata Aksara, Jakarta
Togatorop, M 2020, Perlindungan Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat
Dalam Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, STPN Press,
Yogyakarta
Wahid, M 2008, Memaknai Kepastian Hukum Hak Milik Atas Tanah; Suatu
Analisis dengan Pendekatan Terpadu Secara Normatif dan Sosiologis,
Republika, Jakarta

Artikel, Jurnal, Tesis, Skripsi:


Dwi Chandra Thanjaya, R 2021, ‘Analisis Risiko Sosial Bencana Banjir Rob Di
Pesisir Kabupaten Demak’, Skripsi pada Fakultas Geografi, Universitas
Muhammadiyah Surakarta
Koeswahyono, Imam, 2008, Artikel ‘Melacak Dasar Konstitusional Pengadaan
Tanah Untuk Kepentingan Pembangunan Bagi Umum’
Kurniawan, L 2003, ‘Kajian Banjir Rob di Kota Semarang (Kasus
Dadapsari)’ , Jurnal ALAMI: Jurnal Air, Lahan, Lingkungan, dan Mitigasi
Bencana, vol.8, no.2, hlm.54-59
Muadi, S, Ismail, M.H, Sofwani, A 2016, ‘Konsep dan Kajian Teori Perumusan
Kebijakan Publik’, Jurnal Review Politik, vol.6, no.2, hlm.195-224
Pamungkas, C 2011, ‘Tanggapan Dan Antisipasi Masyarakat Menghadapi Rob Di
Kecamatan Sayung Kabupaten Demak (Studi Kasus Masyarakat Desa
bedono)’, Skripsi pada Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Semarang
Ramadhani, R 2017, ‘Jaminan Kepastian Hukum Yang Terkandung Dalam
Sertipikat Hak Atas Tanah’, De Lega Lata: Jurnal Ilmu Hukum, vol.2, no.1,
hlm.139-157
Setyati, W.A, Rezagama, A, Agustini, T.W, Hidayat, Y, Wishnu, N.P &
Wulandary, D.A 2018, ‘Inovasi Penanganan Mitigasi Bencana Desa
Bedono Kecamatan Sayung Demak Akibat Efek Abrasi’, Prosiding
SNKPPM, vol.1, no.1, hlm.198-200

12
Sonata, DL 2014, ‘Metode penelitian hukum normatif dan empiris:
karakteristik khas dari metode meneliti hukum’, Fiat Justisia Jurnal Ilmu
Hukum, vol.8, no.1, hlm.15-35
Suartina, T 2008, ‘Analisis Hukum pada Kebijakan Pembebasan Tanah untuk
Kepentingan Umum di Indonesia’ , Jurnal Masyarakat & Budaya, vol.10,
no.1, hlm. 149-176
Sudirman, S 2014, ‘Pembangunan Jalan TOL di Indonesia: Kendala Pembebasan
Tanah’ , Jurnal Bhumi, no.14, hlm. 522-544
Wignjosoebroto, S 2006, Pokok-Pokok Pikiran Tentang Empat Syarat
Pengakuan Eksistensi Masyarakat Adat, Inventarisasi Dan Perlindungan
Hak Masyarakat Hukum Adat, Publikasi kerjasama Komisi Hak Asasi
Manusia, Mahkamah Konstitusi RI, Departemen Dalam Negeri

Peraturan Perundang-Undangan:
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945;
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria;
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf;
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana;
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2007 Tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2007 Tentang
Penanganan Permasalahan Hukum Dalam Rangka Pelaksanaan Rehabilitasi
dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat di Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara;
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum;
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi
Pemerintahan; Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja;
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2007 Tentang
Penanganan Permasalahan Hukum Dalam Rangka Pelaksanaan Rehabilitasi
dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat di Provinsi
Nangroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara
(telah ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2007);
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 Tentang Penunjukan Badan-Badan
Hukum Yang Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah;
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik;
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 Tentang
Pendaftaran Tanah;

12
Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Penatagunaan Tanah;
Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf;
Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 Tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas
Tanah, Satuan Rumah Susun dan Pendaftaran Tanah;
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum;
Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2021 Tentang Kemudahan Proyek
Strategis Nasional;
Peraturan Presiden Nomor 58 Tahun 2017 Tentang Perubahan Atas Peraturan
Presiden Nomor 3 Tahun 2016 Tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek
Strategis Nasional;

12
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Surat Keputusan Penetapan Lokasi Nomor 590/52 Tahun 2016

12
12
12
13
13
1
Lampiran 2. Surat Keputusan Penetapan Lokasi Nomor 590/38 Tahun 2018

12
12
13
13
13
Lampiran 3. Surat Keputusan Penetapan Lokasi Nomor 590/59 Tahun 2019

13
13
13
13
1
Lampiran 4. Daftar Pemilik Lahan Terkena Pengadaan Tanah Jalan Tol di
Desa Sriwulan, Desa Bedono dan Desa Purwosari
13
14
14
Lampiran 5. Peta Blok 1 lembar 1 dan 2 Desa Purwosari

14
14
Lampiran 6. Surat Pemberitahuan Nomor 590/0012570 tanggal 26 Juli 2016

14
14
Lampiran 7. Berita Acara Konsultasi Publik Nomor 590/0017925 tanggal 20
Oktober 2016

14
14
14
14
15
Lampiran 8. Surat Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah Nomor: B-
3358/0.3/Gs/09/2019

15
15
15
15
15
15
15
15
15
16
16
16
Lampiran 9. Surat Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional
Provinsi Jawa Tengah Nomor AT.02.01/2075-33/X/2020

16
16
16
16
16
Lampiran 10. Surat Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional No.410-1293 Tanggal 9 Mei 1996

16
16
RIWAYAT HIDUP PENULIS

Nama : Reinhat Julian Afero Sinaga


NIT / Konsentrasi : 17263039 / Manajemen Pertanahan
NIP 19890707 201503 1 007
Tempat, tanggal lahir : P.Siantar, 07 Juli 1989
Alamat : Jalan IDI Raya III No.15, Kelurahan
Kuala Bekala, Kecamatan Medan Johor, Kota Medan
Utusan : Kantor Wilayah Kementerian Agraria dan
Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
Provinsi Kalimantan Timur
Unit Kerja : Kantor Pertanahan Kota Bontang
Jabatan : Petugas Ukur
Pangkat/Golongan : Pengatur Muda /
IIa
Riwayat Pendidikan : 1. SD RK Budi Mulia 3 P.Siantar Lulus Tahun 2001
2. SMP Katolik Tri Sakti 1 Medan Lulus Tahun 2004
3. SMA Katolik Tri Sakti Medan Lulus Tahun 2007
4. Diploma 1 PPK STPN Lulus Tahun
2008 Riwayat Pekerjaan : 1. CPNS ATR/BPN Tahun 2015
2. PNS Golongan IIa Tahun 2016

Anda mungkin juga menyukai