Anda di halaman 1dari 37

KITAB TAUHID (jILID 1)

Resume ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat kelulusan kelas XII
di Madrasah Aliyah Al-Ma’tuq

Disusun oleh:

Ridwan Tamim Ismail


NIS:

MADRASAH ALIYAH AL-MA’TUQ


Kp. Cikaroya RT. 16/03 Ds. Gunungjaya Kec. Cisaat
Kabupaten Sukabumi Provinsi Jawa Barat
2020
i

LEMBAR PENGESAHAN

KITAB TAUHID
Resume ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti Ujian Akhir
di Madrasah Aliyah Al Ma’tuq
Tahun Pelajaran 1441-1442 H/2020-2021 M
Disusun Oleh:

Ridwan Tamim Ismail


NIS:

Guru Pembimbing:
Muhammad Rusli Agustian, S.Ip

Disahkan pada 8 juni 2020


Kepala Madrasah Aliyah Al-Ma’tuq

Irwansyah Ramdani, S.S


ii

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam, yang telah melimpahkan rahmat
karunia serta inayah-Nya kepada kita semua. Shalawat teriring salam semoga
tercurahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, kepada
keluarganya, para sahabatnya, serta orang-orang yang teguh menjalankan syari’at
Islam hingga hari kiamat.
Allah Subhaanahu wa ta’aala menciptakan manusia tidak lain hanya untuk
beribadah kepada-Nya, dan salah satu dari bentuk ibadah kepada Allah yaitu ber-
tauhid kepada-Nya, yaitu mengesakan Allah baik dengan hati, lisan, maupun
badan. Dan Allah Subhaanahu wa ta’aala juga memerintahkan kepada seluruh
Rasul & Nabi-Nya agar Tauhid menjadi ibadah yang pertama di dakwahkan
kepada ummat manusia sebelum ibadah-ibadah lainnya karena tauhid merupakan
pilar/pondasi dalam ibadah-ibadah yang lainnya
Alhamdulillah atas limpahan rahmat Allah Subhaanahu Wa Ta’aala saya
telah dapat menyelesaikan resume dari salah satu karya oleh Dr.Shalih bin
Fauzan Abdullah al-Fauzan yang berjudul KITAB TAUHID (jilid 1).
Kemudian saya mengucapkan terimakasih kepada seluruh dewan guru yang
telah ikut berperan dalam membantu menyelesaikan tugas resume ini. Tak lupa
saran dan kritikan pun saya harapkan dari para pembaca sekalian, agar hal itu bisa
menjadi motivasi bagi saya untuk membuat karya yang lebih menarik dan lebih
baik lagi.
Semoga apa yang saya tulis ini bisa menjadi sesuatu yang bemanfaat baik
bagi saya maupun bagi para pembaca sekalian. Dan semoga hal ini dapat menjadi
amalan ibadah yang akan mejadi bekal di Akhirat kelak nanti. Aamiin.

Sukabumi, 8 Juni 2020


Penyusun,

Ridwan Tamim Ismail


iii

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN..................................................................................i
KATA PENGANTAR..........................................................................................ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................iii
BAB 1: PENDAHULUAN...................................................................................1
A. Latar Belakang..................................................................................................1
B. Tujuan................................................................................................................1
C. Sistematika penulisan........................................................................................1
BAB 2: IKHTISAR..............................................................................................3
BAB 3: PEMBAHASAN......................................................................................4
PASAL I: PENGANTAR STUDI AQIDAH.........................................................4
A. Makna Aqidah dan urgensinya sebagai landasan agama..................................4
B. Sumber-sumber Aqidah yang benar dan manhaj salaf dalam mengambil aqidah
................................................................................................................................5
C. Penyimpangan Aqidah dan cara-cara penanggulangannya...............................5
PASAL II: TAUHID RUBUBIYAH.....................................................................7
A. Tauhid rububiyah dan pengakuan orang-orang musyrik terhadapnya..............7
B. Pengertian Rabb dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah, dan dalam pandangan
umat-umat yang sesat......................................................................................8
C. Alam semesta dan fitrahnya dalam tunduk dan patuh kepada Allah.................9
D. Manhaj Al-Qur`an dalam menetapkan wujud dan keesaan Al-Khaliq.............10
E. Tauhid rububiyah mengharuskan adanya tauhid uluhiyah................................11
PASAL III: TAUHID ULUHIYAH.......................................................................12
A. Makna tauhid uluhiyah, dan bahwa ia adalah inti dakwah para Rasul..............12
B. Makna Syahadatain; rukun, syarat, konsekuensi, dan yang membatalkannya..13
C. Tasyri’................................................................................................................17
D. Ibadah; pengertian, macam dan keluasan cakupannya......................................17
E. Paham-paham yang salah tentang pembatasan ibadah......................................18
F. Pilar-pilar ubudiyah yang benar.........................................................................19
G. Syarat diterimanya ibadah.................................................................................19
iv

H. Tingkatan din.....................................................................................................20
PASAL IV: TAUHID ASMA’ WA SIFAT...........................................................21
A. Makna Tauhid asma’ wa sifat dan manhaj salaf dalam hal asma’ dan sifat
Allah................................................................................................................21
B. Al-Asma`ul husna dan sifat kesempurnaan, serta pendapat golongan sesat
berikut bantahannya.........................................................................................22
C. Buah tarbiyah tauhid asma’ wa sifat pada diri individu dan masyarakat..........25
PASAL V: AL-WALA’ WAL BARA’..................................................................27
A. Definisi Al-Wala’ wal Bara’.............................................................................27
B. Kedudukan Al-Wala’ wal Bara’ dalam islam....................................................27
BAB 4: PENUTUP...............................................................................................29
COPY JILID BUKU............................................................................................30
CURICULUM VITAE PENULIS
1

BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tauhid merupakan pondasi/pilar dalam beragama, dan ia juga
merupakan salah satu syarat diterimanya suatu amal kebaikan, maka Allah
Subhaanahu wa ta’aala memerintahkan kepada rosul-rosulNya untuk
menyerukan tauhid terlebih dahulu sebelum menyerukan ibadah yang lainnya
kepada ummat manusia.
Namun, sangat miris sekali banyak ummat manusia khususnya ummat
islam yang melenceng daripada tauhid yang benar dan lurus, padahal tauhid
merupakan hal yang paling penting dalam agama islam, sehingga pada
zaman sekarang banyak terjadi kesyrikan, kemaksiatan, serta rusaknya moral
ummat manusia.
Oleh karena itu, saya memilih buku dengan judul “KITAB TAUHID”
karya syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah al-Fauzan sebagai buku yang
saya akan resume.
B. Tujuan
Tujuan saya dalam memilih buku ini untuk diresume yaitu agar para
pembaca sekalian dapat memahami apa itu tauhid? Maksud yang terkandung
didalamnya? Kenapa tauhid itu dianggap penting di dalam islam? Dan juga
agar para pembaca sekalian memahami maksud dari syirik, bahayanya
terhadap masyarakat, dan juga cara-cara agar kita dapat terhindar dari
kesyirikan.
C. Sistematika Penulisan
Bab I : Pendahuluan, yang memuat latar belakang (alasan penyusun
memilih buku), tujuan (tujuan penyusun dalam meresume buku tersebut) ,
serta sistematika penulisan (struktur yang dibuat penyusun dalam meresume
buku ini).
Bab II : Tinjauan isi buku, yang memuat gamabaran isi buku yang telah
diringkas agar tersampaikan pesan penulis dalam karyanya kepada para
2

pembaca serta kelebihan dan kekurangan buku ini berdasarkan analisis


penyusun.
Bab III : pembahasan masalah, yang memuat isi buku secara umum
mengenai tujuan sang penulis menulis karya tersebut dan hubungannya
dengan realita di dunia ini sehingga beliau menulis karya tersebut.
Bab IV : penutup, yang memuat kesimpulan serta saran yang saya
tujukan untuk buku ini dengan tujuan sebagai masukan saya terhadap buku
ini, dan disertai pula oleh kalimat penutup sebagai bentuk pengakhiran dari
penulisan resume saya terhadap buku ini. Dan sebagai pelengkap saya
memlampirkan copy jilid buku ini serta biodata singkat penulis buku ini.
3

BAB 2
TINJAUAN ISI BUKU

Bila kita hendak menanam jagung, maka kita harus membersihkan terlebih
dahulu rumput-rumput, ilalang dan bebatuan di lahan yang akan kita tanami,
itulah penafian (peniadaan). Lalu kita tanam bibit jagung, itulah itsbat
(penetapan). maka in syaa allah dengan demikian akan menghasilkan panen yang
baik .
Itulah contoh kehidupan untuk memudahkan pemahaman kita tentang
perlunya memberantas segala kemusyrikan, khurafat, bid’ah, dan sejenisnya lalu
menetapkan tauhid yang murni. In syaa allah dengan demikian akan membentuk
mukmin yang teguh imannya.
Buku yang ada di hadapan pembaca ini adalah diantara buku terbaik dalam
pembahasan tauhid menurut paham ahlus sunnah wal jama’ah untuk kalangan
masyarakat umum. Buku ini sarat dengan pembahasan tauhid yang sangat perlu
diketahui oleh umat islam. Pembahasannya padat, sistematis dan menyeluruh .
Buku ini adalah jilid pertama dari tiga jilid buku yang disusun. In syaa allah
dengan memahami buku ini wawasan tauhid kita akan menjadi baik dan luas.
Namun, yang namanya buatan manusia itu pasti ada kelebihan dan
kekurangan, tidak mungkin sempurna. Nah, buku yang saya resume ini dalam
penjelasannya atau pembahasan masalah banyak memakai kata asing (yang
bukan dari bahasa indonesia) sehingga agak menyulitkan pembaca dalam
memahami penjelasan atau pembahsan secara keseluruhan.
4

BAB 3
PEMBAHASAN

PASAL I : PENGANTAR STUDI AQIDAH

A. Makna aqidah dan urgensinya sebagai landasan agama


Aqidah secara bahasa berasal dari kata ‘aqd yang berarti pengikatan.
Aqidah merupakan perbuatan hati, yaitu kepercayaan hati dan
pembenarannya kepada sesuatu. Sedangkan secara syara’ aqidah berarti iman
kepada Allah subhaanahu wa ta’aala, para malaikatNya, kitab-kitabNya,
para rasulNya dan kepada hari akhir serta kepada qadar yang baik maupun
yang buruk.
Syari’at terbagi menjadi 2 : i’tiqadiyah dan amaliyah. I’tiqadiyah adalah
hal-hal yang tidak berhubungan dengan tata cara amal seperti rukun iman dan
ini disebut Ashliyah (pokok agama), sedangkan amaliyah adalah segala
sesuatu yang berhubungan dengan tata cara amal seperti rukun islam dan ini
disebut far’iyyah (cabang agama).
Oleh karena itu, benar dan rusaknya amaliyah tergantung dari benar dan
rusaknya i’tiqadiyah, sebagaimana firman Allah ta’ala:
‫ص‬
ْ ِ‫الخال‬ ً ِ‫فَا ْعبُ ِد هللاَ ُم ْخل‬
َ ُ‫ أال هلل الدِّين‬1 َ‫صا لَهُ الدِّين‬
“Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepadaNya.
Ingatlah , hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari
syirik).”(Az-Zumar:2-3)
Salah satu kandungan dari ayat di atas adalah bahwa segala amal tidak
diterima jika tidak bersih dari syirik. Karena itulah perhatian nabi shallallahu
‘alaihi wasallam yang pertama kali adalah pelurusan aqidah. Dan hal
pertama yang didakwahkan para rasul kepada umatnya adalah menyembah
Allah semata dan meninggalkan segala yang dituhankan selain Allah.
Sebagai firman Allah ta’aala:
ُ ‫َو لَقَ ْد بَ َع ْثنَا فِي ُك ِّل ُأ َّم ٍة َّر‬
ْ ‫سواًل َأ ِن ا ْعبُدُوا هللاَ و‬
َ‫اجتَنِبُوا الطَّا ُغوت‬
5

“Dan sesungguhnya kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk
menyerukan), ‘sembahlah (saja), dan jauhi lah thagut itu’,….” (an-Nahl: 36)

B. Sumber-sumber aqidah yang benar dan manhaj salaf dalam mengambil


aqidah
Aqidah adalah tauqifiyah. Artinya, tidak bisa ditetapkan kecuali
dengan dalil syar’i, tidak ada ikhtilaf didalamnya. Sebab tidak ada seorang pun
yang lebih mengetahui tentang Allah melainkan Allah sendiri, dan tidak
seorang pun sesudah Allah yang lebih mengetahui tentang Allah selain
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Oleh karena itu manhaj as-Salafush
Shalih dan para pengikutnya dalam mengambil aqidah terbatas pada al-Qur’an
dan as-Sunnah.
Aqidah manhaj as-Salafush Shalih adalah satu dan jamaah mereka pun
satu, karena Allah telah menjamin orang yang berpegang teguh dengan al-
Qur’an dan Sunnah RasulNya dengan kesatuan kata, kebenaran aqidah dan
kesatuan manhaj. Allah ta’aala berfirman:
‫ص ُموا ِب َح ْب ِل هللاِ َج ِمي ًعا َو اَل تَفَ َّرقُوا‬
ِ َ‫َوا ْعت‬
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan
janganlah kamu bercerai berai,…” (Ali Imran: 103).

C. Penyimpangan aqidah dan cara-cara penanggulangannya


Penyimpangan dari aqidah yang benar adalah kehancuran dan
kesesatan, karena aqidah yang benar merupakan motivator utama bagi amal
yang bermanfaat. Tanpa aqidah yang benar seseorang akan menjadi mangsa
bagi persangkaan dan keragu-raguan yang lama-kelamaan mungkin
menumpuk dan menghalangi dari pandangan yang benar terhadap jalan hidup
kebahagiaan. Masyarakat yang tidak dipimpin oleh aqidah yang benar
merupakan masyarakat merupakan masyarakat yang bahimi (hewani), tidak
memiliki prinsip-prinsip hidup bahagia, sebagaimana yang kita lihat pada
masyarakat jahiliyah.
6

Sebab-sebab penyimpangan dari aqidah shahihah yang harus kita


ketahui, yaitu:
1) Kebodohan terhadap aqidah shahihah karena enggan mempelajarinya
dan menmpelajarinya dan mengajarkannya atau karena kurangnya
perhatian tehadapnya.
2) Ta’ashshub (fanatik) terhadap sesuatu yang diwarisi dari bapak dan
nenek moyangnya.
3) Taqlid buta, dengan mengambil pendapat manusia dalam masalah aqidah
tanpa mengetahui dalilnya dan tanpa menyelidiki seberapa jauh
kebenarannya.
4) Ghuluw (berlebihan) dalam mencintai para wali dan orang-orang shalih,
serta mengangkat mereka di atas derajat yang semestinya, sehingga
meyakini pada diri mereka sesuatu yang tidak mampu dilakukan kecuali
oleh Allah. Sehingga sampai pada tingkatan penyembahan para wali
tersebut dan bukan menyembah Allah.
5) Ghaflah (lalai) terhadap perenungan ayat-ayat Allah yang terhampar di
jagat raya ini (ayat-ayat kauniyah) dan ayat-ayat Allah yang tertuang
dalam kitabNya (ayat-ayat qur’aniyah).
6) Pada umumnya rumah tangga sekarang ini kosong dari pengarahan yang
benar (menurut islam). padahal orang tua mempunyai peranan besar
dalam meluruskan jalan hidup anak-anaknya.
7) Enggannya media pendidikan dan media informasi melaksanakan
tugasnya. Kurikulum pendidikan kebanyakan tidak memberikan
perhatian yang cukup terhadap pendidikan islam, sedangkan media
informasi, baik cetak maupun elektronik berubah menjadi sarana
penghancur dan perusak.

Dan cara-cara menanggulangi penyimpangan di atas teringkas dalam


poin-poin berikut ini:
1) Kembali kepada kitabullah dan sunnah rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam untuk mengambil aqidah shahihah.
7

2) Memberi perhatian pada pengajaran aqidah shahihah, aqidah salaf di


berbagai jenjang pendidikan.
3) Harus ditetapkan kitab-kitab salaf yang bersih sebagai materi pelajaran,
sedangkan kitab-kitab kelompok penyeleweng harus dijauhkan.
4) Menyebar para da’i yang meluruskan aqidah umat islam dengan
mengajarkan aqidah salaf serta menjawab dan menolak seluruh aqidah
batil.

PASAL II: TAUHID RUBUBIYAH

a. Tauhid rububiyah dan pengakuan orang-orang musyrik terhadapnya


Tauhid terbagi menjadi 3 macam: tauhid rububiyah, tauhid uluhiyah,
serta tauhid asma’ wa sifat. Tauhid rububiyah mengesakan Allah dalam
segala perbuatanNya, dengan meyakini bahwa dia sendiri yang menciptakan
segenap makhluk. Allah ta’aala berfirman:
ُ ِ‫هللاُ َخال‬
‫ق ُك ِّل ش َْي ٍء‬
“Allah menciptakan segala sesuatu…” (Az-Zumar: 62)
Dan bahwasanya dia juga adalah pemberi rizki bagi setiap makhluk, dan
dia juga adalah penguasa alam dan pengatur semesta dan Dia maha kuasa
atas segala sesuatu. Allah telah menafikan sekutu atau pembantu dalam
kekuasaanNya. Allah menyatakan pula tentang keesaanNya dalam
rububiyahNya atas segala alam semesta.
Allah menciptakan semua makhlukNya di atas fitrah pengakuan terhadap
rububiyahNya. Bahkan orang-orang musyrik yang menyekutukan Allah
dalam ibadah juga mengakui keesaan rububiyahNya.
َ‫سيَقُلُونَ هللِ قُ ْل َأفَاَل تَتَّقُون‬ ِ ‫ش ا ْل َع ِظ‬
َ 81 ‫يم‬ ِ ‫س ْب ِع َو َر ُّب ا ْل َع ْر‬ َّ ‫قُ ْل َمنْ َّر ُّب ال‬
َّ ‫س َما َوات ال‬
“Katakanlah, ‘siapakah yang mempunyai langit yang tujuh dan yang
mempunyai arsy yang besar?’ mereka akan menjawab, 'kepunyaan Allah’
katakanlah, ‘maka apakah kamu tidak bertakwa’…”
8

Jadi, jenis tauhid ini diakui semua orang. Tidak ada umat manapun yang
menyangkalnya, karena hati manusia sudah difitrahkan untuk mengakuinya
melebihi fitrah pengakuan terhadap yang lainNya. Bahkan orang yang paling
dikenal pengingkarannya adalah firaun, namun demikian di hatinya masih
tetap meyakiniNya.
ُ ُ‫ستَ ْيقَنَ ْت َها َأ ْنف‬
‫س ُه ْم ظُ ْل ًما َّو ُعلُ ّوًا‬ ْ ‫َو َج َحدُوا بِ َها َو ا‬
“Dan mereka mengingkarinya karena kezhaliman dan kesombongan
(mereka) padahal hati mereka meyakini (kebenaran) nya.” (An-Naml: 14)
Begitu pula orang-orang yang mengingkarinya pada zaman sekarang,
seperti komunis. Mereka hanya menampakkan pengingkaran karena
kesombongannya. Akan tetap pada hakikatnya, secara diam-diam batin
mereka meyakini bahwa tidak ada satu makhluk pun yang ada tanpa pencipta.

B. Pengertian rabb dalam al-qur’an dan as-sunnah, dan dalam pandangan


umat yang sesat.
1) Pengertian rabb dalam al-qur’an dan as-sunnah
Rabb adalah kata mashdar yang dipinjam untuk fa’il (pelaku). kata-
kata ar-rabb tidak disebut sendirian, kecuali untuk Allah yang menjamin
kemaslahatan selutuh makhluk. Adapun jika diidhafahkan (ditambahkan
kepada yang lain) maka hal itu bisa untuk Allah dan bisa untuk lainnya.
Contoh kata ar-rabb yang ditujukan kepada Allah:
َ‫َر ُّب ا ْل َعالَ ِمين‬
“Rabb semesta alam” (Al-Fatihah: 2)
Contoh kata ar-rabb yang ditujukan kepada selain Allah:
‫ار ِج ْع ِإلَى َربِّ َك‬
ْ
“kembalilah kepada tuanmu” (Yusuf: 50)
Imam Ibnul Qayyim berkata bahwa konsekuensi rububiyah adalah
adanya perintah dan larangan kepada hamba, membalas yang berbuat
baik dengan kebaikan serta menghukum yang jahat atas kejahatannya.
2) Pengertian rabb menurut pandangan umat-umat yang sesat
9

Allah menciptakan manusia dengan fitrah mengakui tauhid serta


mengetahui rabb sang pencipta. Jadi mengakui rububiyah Allah dan
menerimanya adalah sesuatu yang fitri, sedangkan syirik adalah unsur
yang datang kemudian. Baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda:
َ ‫ص َرانِ ِه َأ ْو يُ َم ِّج‬
‫سانِه‬ ِّ َ‫ُك ُّل َم ْولُو ٍد يُولَ ُد َعلَى ا ْلفِ ْط َر ِة فََأبَ َواهُ يُ َه ِّودَانِ ِه َأ ْو يُن‬
“Setiap bayi dilahirkan atas dasar firah, maka kedua orang tuanyalah
yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR. Al-Bukhari
dan Muslim).
Dan syirik dalam tauhid rububiyah, yakni dengan menetapkan
adanya 2 pencipta yang serupa dalam sifat dan perbuatannya adalah
mustahil. Akan tetap sebagian kaum musyrikin meyakini bahwa tuhan-
tuhan mereka memiliki sebagian kekuasaan dalam alam semesta ini,
diantaranya:
- ada sekelompok orang yang membuat berhala-berhala dalam bentuk
planet. Mereka menganggap planet itu mempunyai pengaruh terhadap
alam semesta dan isinya.
- ada pula yang menganggap berhala-berhala itu mewakili hal-hal yang
ghaib.
- begitu pula para penyembah kuburan, mereka mengira orang-orang
mati itu dapat membantu mereka, juga dapat menjadi perantara antara
mereka dengan Allah dalam pemenuhan hajat-hajat mereka.
- sebagaimana halnya sebagian kaum musyrikin Arab dan Nasrani
mengira tuhan-tuhan mereka adalah anak-anak Allah.
Semua ini penyebabnya karena mereka membayangkan dan
menggambarkan benda-benda tersebut mempunyai sebagian dari sifat-
sifat rububiyah.

C. Alam semesta dan fitrahnya dalam tunduk dan patuh kepada Allah
Ta’ala.
10

Sesungguhnya alam semesta ini: langit, bumi, planet, bintang, hewan


pepohonan, daratan, lautan, malaikat, serta manusia seluruhnya tunduk
kepada Allah dan patuh kepada perintah kauniyahNya. Allah berfirman:
ِ ‫ت َو اَأل ْر‬
116 َ‫ض ُك ٌّل لَّهُ قَانِتُون‬ ِ ‫اوا‬ َّ ‫بَ ْل لَّهُ َما فِي ال‬
َ ‫س َم‬
“... bahkan apa yang ada di langit dan di bumi adalah kepunyaan Allah;
semua tunduk kepadaNya.” (Al-Baqarah: 116)
Jadi seluruh makhluk, baik yang berbicara maupun yang tidak, yang
hidup maupun yang mati, semuanya tunduk kepada perintah kauniyah Allah.
Semuanya menyucikan Allah dari segala kekurangan dan kelemahan, baik
secara keadaan maupun ucapan.
Imam Ibnu Taimiyah berkata, “Mereka tunduk menyerah, pasrah dan
terpaksa dari berbagai segi, diantaranya:
- keyakinan bahwa mereka sangat membutuhkanNya.
- kepatuhan mereka kepada qadha’, qadar dan kehendak Allah yang ditulis
untuk mereka.
- permohonan mereka kepadaNya ketika dalam keadaan darurat atau terjepit.
Seorang mukmin tunduk kepada perintah Allah secara ridha dan ikhlas.
Sedangkan kafir, maka ia tunduk kepada perintah Allah yang bersifat kauni
(sunnatullah). Adapun maksud dari sujudnya alam dan benda-benda adalah
ketundukan mereka kepada Allah. Dan masing-masing benda bersujud
menurut kesesuaiannya, yaitu suatu sujud yang sesuai dengan kondisinya
serta mengandung makna tunduk kepada ar-rabb.

D. Manhaj Al-Qur’an dalam menetapkan wujud dan keesaan Al-Khaliq


Manhaj Al-Qur’an dalam menetapkan wujud Al-Khaliq serta
keesaanNya adalah satu-satunya manhaj yang sejalan dengan fitrah yang
lurus dan akal yang sehat, yaitu dengan mengemukakan bukti-bukti yang
benar, yang membuat akal mau menerima dan musuh pun menyerah. Di
antara dalil-dalil itu adalah:
1) Sudah menjadi kepastian, setiap yang baru tentu ada yang mengadakan.
Ini adalah sesuatu yang dimaklumi setiap orang melalui fitrah, bahkan
11

hingga oleh anak-anak. Jika seorang anak dipukul oleh seseorang ketika
ia tengah lalai dan tidak melihatnya, ia pasti akan berkata, “siapa yang
telah memukulku?” kalau dikatakan kepadanya, “tidak ada yang
memukulmu” maka akalnya tidak dapat menerimanya. Karena itu Allah
ta’aala berfirman:
25 َ‫َأ ْم ُخلِقُوا ِمنْ َغ ْي ِر ش َْي ٍء َأ ْم ُه ُم الَ َخالِقُون‬
“ Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatupun ataukah mereka yang
menciptakan (diri mereka sendiri)” (Ath-Thur: 35).
2) Teraturnya semua alam, juga kerapiannya adalah bukti paling kuat yang
menunjukkan bahwa pengatur alam ini hanyalah tuhan yang satu, yang
tidak bersekutu ataupun berseturu. Allah ta’aala berfirman:
ٍ ‫ض ُه ْم َعلَى بَ ْع‬
‫ض‬ ُ ‫ق َولَ َعاَل بَ ْع‬ َ ‫َما ات َّّخ َذ هللاُ ِمنْ َولَ ٍد َو َما َكانَ َم َعهُ ِمنْ ِإلَ ِه ِإ ًذا لَّ َذه‬
َ َ‫َب ُك ُّل ِإلَ ٍه بِ َما َخل‬
“Allah sekali-kali tidak mempunyai anak, dan sekali-kali tidak ada tuhan
(yang lain) besertaNya, kalau ada tuhan besertaNya, masing-masing
tuhan itu akan membawa makhluk yang diciptakannya, dan sebagian
dari tuhan-tuhan itu akan mengalahkan sebagian yang lain.” (Al-
Mu’minun: 91).
3) Tunduknya makhluk-makhluk untuk melaksanakan tugasnya sendiri-
sendiri serta mematuhi peran yang diberikanNya. Tidak ada satupun
makhluk yang membangkang dari melaksanakan tugas dan fungsinya di
alam semesta ini. Allah ta’aala berfirman:
َ ‫الَّ ِذي َأ ْح‬
ُ‫سنَ ُك َّل ش َْي ٍء َخلَقَه‬
“Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya….”
(As-Sajdah: 7)

E. Tauhid rububiyah mengharuskan adanya tauhid uluhiyah


Hal ini berarti siapa yang mengakui tauhid rububiyah untuk Allah,
dengan mengimani tidak ada pencipta, pemberi rizki, dan pengatur alam
kecuali Allah, maka ia harus mengakui bahwa tidak ada yang berhak
menerima ibadah dengan segala macamnya kecuali Allah ta’aala. Dan itulah
tauhid uluhiyah.
12

Tauhid uluhiyah, yaitu tauhid ibadah, karena ilah maknanya adalah


ma’bud (yang disembah). maka tidak ada yang diseru dalam do’a kecuali
Allah, tidak ada yang dimintai pertolongan kecuali dia, tidak ada yang boleh
dijadikan tempat bergantung kecuali dia, tidak boleh menyembelih kurban
atau bernazar kecuali untukNya dan tidak boleh mengarahkan seluruh ibadah
kecuali untukNya dan karenaNya semata.
Jadi, Tauhid rububiyah adalah bukti wajibnya tauhid uluhiyah. Karena itu
seringkali Allah membantah orang yang mengingkari tauhid uluhiyah dengan
tauhid rububiyah yang mereka akui dan yakini. Seperti firman Allah ta’aala:
ۡ ُ‫ٰۤياَيُّهَا النَّاس‬
َ ‫اعبُد ُۡوا َربَّ ُك ُم الَّ ِذ ۡى َخلَقَ ُكمۡ َوالَّ ِذ ۡينَ ِم ۡن قَ ۡبلِ ُكمۡ لَ َعلَّ ُكمۡ تَتَّقُ ۡونَ ۙ الَّ ِذ ۡى َج َع َل لَـ ُك ُم ااۡل َ ۡر‬
‫ض فِ َرا ًشا‬
َ‫ت ِر ۡزقًا لَّـ ُك ۚمۡ‌ فَاَل ت َۡج َعلُ ۡوا هّٰلِل ِ اَ ۡندَادًا َّواَ ۡنـتُمۡ ت َۡعلَ ُم ۡون‬
ِ ‫وَّال َّس َمٓا َء بِنَٓا ًء َّواَ ۡن َز َل ِمنَ ال َّس َمٓا ِء َمٓا ًء فَا َ ۡخ َر َج بِ ٖه ِمنَ الثَّ َم ٰر‬

“Wahai manusia! Sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dan


orang-orang yang sebelum kamu, agar kamu bertakwa. (Dialah) yang
menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan
Dialah yang menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia hasilkan dengan
(hujan) itu buah-buahan sebagai rezeki untukmu. Karena itu janganlah kamu
mengadakan tandingan-tandingan bagi Allah, padahal kamu mengetahui.”
(Al-Baqarah: 21-22).

PASAL III : TAUHID ULUHIYAH

A. Makna tauhid uluhiyyah, dan bahwa ia adalah inti dakwah para rasul
Tauhid uluhiyyah adalah mengesakan Allah dengan perbuatan para
hamba berdasarkan niat Taqarrub yang disyariatkan seperti do’a, nadzar,
kurban, raja’(pengharapan), takut, tawakkal, raghbah (senang), rahbah
(takut), dan innabah (kembali/taubat). Dan jenis tauhid ini adalah inti
dakwah para rasul, mulai rasul yang pertama hingga yang terakhir. Allah
ta’aala berfirman:
ۡ ‫اعبُدُوا هّٰللا َ َو‬
َ‫اجتَنِبُوا الطَّا ُغ ۡوت‬ ۡ ‫َولَـقَ ۡد بَ َع ۡثنَا فِ ۡى ُكلِّ اُ َّم ٍة َّرس ُۡواًل اَ ِن‬
13

“Dan sesungguhnya kmi telah mengutus para rasul pada tiap-tiap umat
(untuk menyerukan), `sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thagut itu`.” (An-
Nahl: 36).
Syaikhul Islam Ibnu Taiyimah mengatakan “ketahuilah, kebutuhan
seorang hamba untuk menyembah Allah tanpa menyekutukanNya dengan
sesuatu pun, tidak memiliki bandingan yang dapat dikiaskan, tetapi dari
sebagian segi mirip dengan kebutuhan jasad kepada makanan da minuman.
Akan tetapi di antara keduanya terdapat perbedaan mendasar. Karena hakikat
seorang hamba adalah hati dan ruhnya, ia tidak bisa baik kecuali dengan
Allah yang tiada tuhan selainNya. Ia tidak bisa tenang kcuali dengn
mengingatNya. Seandainya hamba memperoleh kenikmatan dan kesenagan
tanpa Allah, maka hal itu tidak akan berlangsung lama, tetapi akan
berpindah-berpindah dari satu macam ke macam yang lain, dari satu orang ke
orang yang lain. Adapun tuhannya maka dia butuhkan setiap saat dan setiap
waktu, di manapun ia berada maka Dia selalu bersamanya.”

B. Makna syahadatain, rukun, syarat, konsekuensi dan yang


membatalkannya
1) Makna syahadatain
- Makna syahadat ‫ال إله إاّل هللا‬: yaitu beri’tikad dan berikrar bahwasanya
tidak ada yang berhak disembah dan menerima ibadah kecuali Allah,
menaati hal tersebut dan mengamalkannya. La ilaaha menafikan hak
penyembahan dari selain Allah, siapapun orangnya. Illallah adalah
penetapan hak Allah semata untuk disembah.
- Makna syahadat ‫مح ّمد ّرسول هللا‬: yaitu mengakui secara lahir batin bahwa
Muhammad shallallahu `alaihi wasallam adalah hamba Allah dan
rasulNya yang diutus kepada semua manusia, serta mengamalkan
konsekuensinya: menaati perintahnya, membenarkan ucapannya,
menjauhi larangannya, dan tidak menyembah Allah kecuali dengan apa
yang disyariatkan.
2) Rukun Syahadatain
14

- Rukun ‫ال إله إاّل هللا‬:


1. An-Nafyu atau peniadaan: ‫ ال إله‬membatalkan syirik dengan segala
bentuknya dan mewajibkan kekafiran terhadap segala apa yang disembah
selain Allah.
2. Al-itsbat atau penetapan: ‫ إاّل هللا‬menetapkan bahwa tidak ada yang
berhak disembah kecuali Allah dan mewajibkan pengamalan sesuai
dengan konsekuensinya.
- Rukun syahadat ‫مح ّمد رسول هللا‬:
Syahadat ini juga mempunyai 2 rukun, yaitu kalimat ‫عبده و رسوله‬
(hamba dan utusanNya). 2 rukun ini menafikan ifrath (berlebih-lebihan)
dan tafrith (meremehkan) pada hak Rasulullah shallallahu `alaihi
wasallam.
‫ العبد‬di sini artinya hamba yang menyembah. Maksudnya, beliau
adalah manusia yang diciptakan dari bahan yang sama dengan bahan
ciptaan manusia yang lainnya. Juga berlaku atasnya apa yang berlaku
atas orang lain.
Sedangkan ‫ الرسول‬artinya orang yang diutus kepada seluruh manusia
dengan misi dakwah kepada Allah sebagai basyir (pemberi kabar
gembira) dan nadzir (pemberi peringatan).
3) Syarat-syarat Syahadatain
- Syarat-syarat ‫ال إله إال هللا‬:
1. Ilmu (mengetahui): artinya memahami makna dan maksudnya.
Mengetahui apa yang ditiadakan dan apa yang ditetapkan.
2. Yaqin (yakin): orang yang mengikrarkannya harus meyakini
kandungan syahadat itu. Manakal ia meragukannya maka sia-sia belaka
persaksian itu.
3. Qabul (menerima): menerima kandungan dan konsekuensi dari
syahadat; menyembah Allah semata dan meninggalkan ibadah kepada
selainNya.
4. Inqiyad (tunduk dan patuh dengan kandungan makna syahadat)
15

5. Shidq (jujur): yaitu mengucapkan kalimat ini dan hatinya juga


membenarkan. Manakala lisannya mengucapkan, tetapi hatinya
mendustakan, maka ia adalah munafik dan pendusta.
6. Ikhlas: yaitu membersihkan amal dari segala debu-debu syirik, dengan
jalan tidak mengucapkannya karena mengingkari isi dunia, riya’ atau
sum`ah.
7. Mahabbah (kecintaan): maksudnya mencintai kalimat ini serta isinya,
juga mencintai orang-orang yang mengamalkan konsekuensinya.
- Syarat syahadat ‫محمد رسول هللا‬:
1. Mengakui kerasulannya dan meyakininya di dalam hati.
2. Mengucapkan dan mengikrarkan dengan lisan.
3. Mengikutinya dengan mengamalkan ajaran kebenaran yang telah
dibawanya serta meninggalkan kebatilan yang telah dicegahnya.
4. Membenarkan segala apa yang dikabarkan dari hal-hal ghaib, baik
yang sudah lewat maupun yang akan datang.
5. Mencintainya melebihi cintanya kepada diri sendiri, harta, anak,
orangtua serta seluruh umat manusia.
6. Mendahulukan sabdanya atas segala pendapat dan ucapan orang lain
serta mengamalkan sunnahnya.
4) Konsekuensi Syahadatain
- Konsekuensi ‫ال إله إال هللا‬:
Yaitu meninggalkan ibadah kepada selain Allah dari segala macam
yang dipertuhankan sebagai keharusan dari peniadaan la ilaha illallah.
Dan beribadah kepada Allah semata tanpa syirik seidikitpun, sebagai
keharusan dari penetapan illallah.
- Konsekuensi ‫مح ّمد رسول هللا‬:
Yaitu menaatinya, membenarkannya, meninggalkan apa yang
dilarangnya, mencukupkan diri dengan mengamalkan sunnahnya, dan
meninggalkan yang lain-lain dari hal-hal bid`ah dan muhdatsat (baru),
serta mendahulukan sabdanya diatas pendapat orang.
16

5) Yang membatalkan Syahadatain


- Syirik dalam beribadah kepada Allah. Allah ta`aala berfirman:
‫اِنَّ هّٰللا َ اَل يَ ۡغ ِف ُر اَ ۡن ي ُّۡشرَكَ ِب ٖه َويَ ۡغ ِف ُر َما د ُۡونَ ٰذ ِلكَ ِل َم ۡن يَّشَٓا ُء‬
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni (dosa) karena
mempersekutukan-Nya (syirik), dan mengampuni segala dosa yang
selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendakiNya” (An-Nisa’: 48).
- Orang yang menjadikan antara dia dan Allah perantara-perantara. Ia
berdoa kepada mereka dan bertawakkal kepada mereka. Orang seperti ini
kafir secara ijma’
- Orang yang tidak mau mengkafirkan orang-orang musyrik dan orang yng
masih ragu terhadap kekufuran mereka atau membenarka madzhab
mereka, dia itu kafir.
- Orang yang meyakini bahwa selain petunjuk Nabi shallallahu `alaihi
wasallam lebih sempurna dari petunjuk beliau, atau hukum yang lain
lebih baik dari hukum beliau.
- Siapa yang membenci sesuatu dari ajaran yang dibawa oleh Rasulullah
shallallahu `alaihi wasallam sekalipun ia mengamalkannya, maka ia
kafir.
- Siapa yang menghina sesuatu dari agama Rasulullah shallallahu `alaihi
wasallam atau pahala maupun siksanya, maka ia kafir
- Sihir, di antaranya sharf dan `athf (barangkali yang dimaksud adalah
amalan yang bisa membuat suami benci kepada istrinya atau membuat
wanita cinta kepadanya/pelet). Barangsiapa yang melakukan atau
meridhoinya, maka ia kafir.
- Mendukung kaum musyrikin dan menolong mereka dalam memusuhi
umat islam.
- Siapa yang meyakini bahwa sebagian manusia ada yang boleh keluar dari
Nabi Khidir `alaihissalam boleh keluar dari syariat Nabi Musa
`alaihissalam, maka ia kafir.
17

C. Tasyri’
Tasyri’ adalah hak Allah ta`aala. Yang dimaksud dengan tasyri’ adalah
apa yang diturunkan Allah untuk hambaNya berupa manhaj (jalan) yang haru
s mereka lalui dalam bidang akidah, muamalat dan sebagainya. Termasuk di
dalamnya masalah penghalalan dan pengharaman. Tidak seorang pun berwen
ang menghalalkan kecuali apa yang sudah dihalalkan Allah, juga tidak boleh
megharamkan kecuali apa ynag telah diharamkan Allah. Allah berfirman:
َ ‫ب ٰه َذا َح ٰل ٌل َّو ٰه َذا َح َرا ٌم لِّتَ ْفتَرُوْ ا َعلَى هّٰللا ِ ْال َك ِذ‬
َؕ‫ب‬ َ ‫َصفُ اَ ْل ِسنَتُ ُك ُم ْال َك ِذ‬
ِ ‫َو اَل تَقُوْ لُوْ ا ِل َما ت‬
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lid
ahmu secara dusta, `ini halal dan ini haram` untuk mengada-adakan keboho
ngan terhadap Allah.” (An-Nahl: 116).
Allah telah melarang penghalalan dan pengharaman tanpa dalil dri Al-Ki
tab dan As-Sunnah, dan dia menyatakan bahwa hal itu adalah dusta atas nam
a Allah. Sebagaimana dia telah memberitahukan bahwa siapa yang mewajibk
an atau mengharamkan sesuatu tanpa dalil maka ia telah menjadikan dirinya s
ebagai sekutu Allah dalam hal tasyri’.

D. Ibadah: pengertian, macam dan keluasan cakupannya


1) Definisi ibadah
Ibadah secara etimologi berarti merendahkan diri serta tunduk. Di dalam
syara’, ibadah mempunyai definisi, tetapi makna dan maksudnya satu. Salah
satu dari definisi ibadah secara syara’ adalah taat kepada Allah dengan melak
sanakan perintahNya melalui lisan para RasulNya.
Ibadah inilah yang menjadi tujuan penciptaan manusia. Allah ta`aala ber
firman:
َ ‫ت ْال ِجنَّ َواِإْل ْن‬
ِ ‫س ِإاَّل لِيَ ْعبُد‬
‫ُون‬ ُ ‫َو َما خَ لَ ْق‬

“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka men
yembahku.” (Adz-Dzariyat: 56)
Allah memberitahukan hikmah penciptaan jin dan manusia adalah agar
mereka melaksanakan ibadah Allah semata. Dan Allah Mahakaya, tidak mem
butuhkan ibadah mereka, akan tetapi merekalah yang membutuhkannya.
18

2) Macam-macam ibadah dan keluasan cakupannya


Ibadah itu banyak macamnya, ia mencakup semua macam ketaatan yang
nampak pada lisan, anggota badan dan yang lahir dari hati. Seperti dzikir, tas
bih, tahlil, dan membaca Al-qur`an.
Jadi, ibadah mencakup seluruh tingkah laku seorang mukmin jika diniatk
an qurbah (mendekatkan diri kepada Allah) atau apa-apa yang membantu qur
bah. Bahkan adat kebiasaan (yang mubah) pun bernilai ibadah jika diniatkan
sebagai bekal untuk taat kepadaNya.

E. Paham-paham yang salah tentang pembatasan ibadah


Ibadah adalah perkara tauqifiyah. Artinya tidak ada suatu bentuk ibadah
pun yang disyari’atkan kecuali berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Apa
yang tidak disyari`atkan berarti bid`ah mardudah (bid`ah yang ditolak),
sebagaimana sabda Nabi shallallahu `alaihi wasallam:
‫س َعلَ ْي ِه َأ ْم ُرنَا فَ ُه َو َر ٌّد‬
َ ‫َمنْ َع ِم َل َع َماًل لَ ْي‬
“Barangsiapa yang melaksanakan suatu amalan tidak atas perintah kami,
maka ia ditolak.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Maksudnya, amalnya ditolak dan tidak diterima, bahkan ia berdosa
karenanya, sebab amal tersebut adalah maksiat, bukan taat. Kemudian
manhaj yang benar dalam pelaksanaan ibadah yang disyari`atkan adalah
sikap pertengahan. Antara meremehkan dan malas dengan sikap ekstrim serta
melampaui batas.
Ada 2 golongan yang saling bertentangan dalam soal ibadah:
Golongan pertama: yang mengurangi makna ibadah serta meremhkan
pelaksanaannya. Mereka meniadakan berbagai macam ibadah dan hanya
melaksanakan ibadah-ibadah yang terbatas pada syiar-syiar tertentu dan
sedikit.
Golongan kedua: yang bersikap berlebih-lebihan dalam praktek ibadah
sampai pada batas ekstrim; yang sunnah mereka angkat sampai menjadi
wajib, sebagaimana yang mubah mereka angkat menjadi haram.
19

F. Pilar-pilar ubudiyah yang benar


Sesungguhnya ibadah itu berlandaskan pada 3 pilar sentral, yaitu: hubb
(cinta), khauf (takut), dan raja’ (harapan). Rasa cinta harus dibarengi dengan
sikap rasa rendah diri, sedangkan khauf harus dibarengi dengan raja’. Dalam
setiap ibadah harus terkumpul unsur-unsur ini. Allah berfirman tentang sifat
hamba-hambaNya yang mukmin:
ۤٗ‫ٰۤيـاَيُّهَا الَّ ِذ ۡينَ ٰامنُ ۡوا م ۡن ي َّۡرتَ َّد ِم ۡن ُكمۡ ع َۡن ِد ۡيـ ِنه فَ َس ۡوفَ يَ ۡا ِتى هّٰللا ُ بقَ ۡو ٍم ي ُِّحبُّهُمۡ وي ُِحب ُّۡونَه‬
َ ِ ٖ َ َ
“ Wahai orang-orang yang beriman! Barangsiapa di antara kamu yang
murtad (keluar) dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu
kaum, Dia mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya.” (Al-Ma`idah:
54).
Sebagian salaf berkata: “siapa yang mnyembah Allah dengan rasa hubb
(cinta) saja maka ia zindiq (istilah untuk setiap munafik, dan orang yang
sesat). siapa yang menyembahNya hanya dengan raja’(harapan) saja, maka ia
adalah murji’ (orang murji`ah). Dan siapa yang menyembahNya hanya
dengan khauf (takut) saja, maka ia adalah harury (orang dari golongan
khawarij). Siapa yang menyembahNya dengan hubb, khauf, dan raja’ maka
ia adalah mukmin muwahhid.” hal ini disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah dalam Risalah Ubudiyah.

G. Syarat diterimanya ibadah


Agar bisa diterima, ibadah disyaratkan harus benar. Dan ibadah itu tidak
benar kecuali dengan ada syarat:
1. Ikhlas karena Allah semata, bebas dari syirik besar da kecil
2. Sesuai dengan tuntunan Rasul shallallahu `alaihi wasallam
Syarat pertama adalah konseuensi dari syahadat la ilaha illallah, karena ia
mengharuskan ikhlas beribadah hanya untuk Allah dan jauh dari syirik
kepadaNya. Sedangkan syarat kedua adalah konsekuensi dari syahadat
Muhammad Rasulullah, karena ia menuntut wajibnya taat kepada Rasul,
mengikuti syari`atnya dan meninggalkan bid`ah.
20

Syaikhul Islam mengatakan: “Inti agama ada dua pokok yaitu kita tidak
menyembah kecuali kepada Allah, dan kita tidak menyembah kecuali dengan apa
yang dia syari`atkan, tidak dengan bid`ah.”

H. TINGKATAN DIN
1) Definisi tingkatan din
Din adalah ketaatan. Dalam bahasa arab ‫ دان له يدين دينا‬maksudnya ‫أطاعه‬
menaatinya. Din juga disebut millah, dilihat dari segi ketaatan dan kepatuhan
kepada syariat. Allah ta`aala berfirman:
‫اِنَّ الد ِّۡينَ ِع ۡن َد هّٰللا ِ ااۡل ِ ۡساَل ُم‬
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.” (Ali
Imran: 19).
Sedangakan Tingkatan din itu adalah:
1. Islam: menurut bahasa, Islam berarti masuk dalam kedamaian.
Sedangkan menurut syara’, Islam berarti pasrah kepada Allah, taat dan
membebaskan diri dari syirik dan para pengikutnya.
2. Iman: menurut bahasa, iman berarti membenarkan disertai percaya dan
amanah. Sedangkan menurut syara’, berarti pernyataan dengan lisan,,
keyakinan dalam hati dan perbuaandengan anggota badan.
3. Ihsan: menurut bahasa, ihsan berarti berbuat kebaikan, yakni segala
sesuatu yang menyenangkan dan terpuji. Sedangkan menurut syara’
adalah sebagaimana yang dijelaskan oleh baginda Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam:
‫َأنْ تَ ْعبُ َد هللاَ َكَأنَّكَ تَ َراهُ فَِإنْ لَّ ْم تَ ُكنْ تَ َراهُ فَِإنَّهُ يَ َرا َك‬
“Engkau menyembah Allah seolah-olah engkau meilhatNya. Jika engkau
tidak bisa meihatNya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR. Al-
Bukhari dan Muslim dari hadits Umar).

2) Keumuman dan kekhususan dari ketiga tingkatan tersebut


Adapun keumuman dan kekhususan antara ketiganya ini telah dijelaskan
oleh Syaikh Ibnu Taimiyah sebagai berikut: “Ihsan itu lebih umum dari sisi
21

dirinya sendiri dan lebih khusus dari segi orang-orangnya daripada iman.
Iman itu lebih umum dari sisi dirinya sendiri dan lebih khusus dari segi
orang-orangnya daripada islam. Ihsan mencakup iman, dan iman mencakup
islam. Para muhsinin lebih khusus daripada mukminin, dan para mukminin
lebih khusus dari para muslimin.”

PASAL IV: TAUHID ASMA’ WA SIFAT

A. Makna tauhid asma’ wa sifat dan manhaj salaf di dalamnya


1) Makna tauhid asma’ wa sifat
Yaitu beriman kepada nama-nama Allah dan sifat-sifatNya, sebagaimana
yang diterangkan Al-Qur`an dan Sunnah RasulNya shallallahu `alaihi
wasallam menurut apa yang pantas bagi Allah ta`aala, tanpa takwil dan
ta’thil (menghilangkan makna atau sifat Allah), tanpa takyif (mempersoalkan
hakikat asma’ dan sifat Allah dengan bertanya “bagaimana”), dan tamtsil
(menyerupakan Allah dengan makhlukNya), berdasarkan firman Allah
ta`aala:
ِ َ‫س َك ِم ۡثلِ ٖه َش ۡىء َوه َُو ال َّس ِم ۡي ُع ۡالب‬
‌ ‫ص ۡير‬ َ ‫لَ ۡي‬
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha
Mendengar lagi Maha Melihat.” (Asy-Syura:11).
Allah menafikan jika ada sesuatu yang menyerupaiNya, dan Dia
menetapkan bahwa Dia adalah Maha Mendengar dan Maha Melihat. Al-
Qur`an dan As-Sunnah dalam hal ini tidak boleh dilanggar, karena tidak
seorang pun yang lebih mengetahui Allah daripada Allah sendiri, dan tidak
ada -sesudah Allah- orang yang lebih mengetahui Allah daripada RasulNya.
Maka barangsiapa yang mengingkari nama-nama Allah dan sifat-
sifatNya atau menamakan Allah dan menyifatiNya dengan nama-nama dan
sifat-sifat makhlukNya, atau mentakwilkan dari maknanya yang benar, maka
dia telah berbicara tentang Allah tanpa ilmu dan berdusta terhadap Allah dan
RasulNya.
22

2) Manhaj Salaf (para sahabat, tabi`in, dan ulama pada kurun waktu yang
ditentukan) dalam hal asma’ dan sifat Allah
Yaitu mengimani dan menetapkannya sebagaimana ia datang tanpa tahrif
(mengubah), ta’thil (menafikan), takyif (menanyakan bagaimana), dan tamtsil
(menyerupakan), dan hal itu termasuk pengertian beriman kepada Allah.
Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Allah tidak boleh disifati kecuali
dengan apa yang disifati olehNya untuk diriNya atau apa yang disifatkan oleh
RasulNya, serta tidak boleh melampaui Al-Qur`an dan Al-Hadits. Madzhab
salaf menyifati Allah dengan apa yang Dia sifatkan untuk diriNya dan
dengan apa yang disifatkan oleh RasulNya, tanpa tahrif dan ta’thil, takyif dan
tamtsil.”
Madzhab salaf adalah antara ta’thil dan tamtsil. Mereka tidak
menyamakan atau menyerupakan sifat-sifat Allah dengan sifat-sifat
makhlukNya. Sebagaimana mereka tidak menyerupakan DzatNya dengan
dzat pada makhlukNya. Mereka tidak menafikan apa yang Allah sifatkan
untuk diriNya, atau apa yang disifatkan oleh RasulNya. Seandainya mereka
menafikan berarti mereka telah menghilangkan al-asma`ul husna dan sifat-
sifatNya yang `ulya (luhur), dan berarti mengubah kalam dari tempat yang
sebenarnya, dan berarti pula mengingkari asma’ Allah dan ayat-ayatNya.

B. Al-Asma`ul husna dan sifat kesempurnaan, serta pendapat golongan


sesat berikut bantahannya
1) Asma’ Husna
Allah ta`aala berfirman:
َ‫َوهَّلِل ِ اَأْل ْس َما ُء ْال ُح ْسن َٰى فَا ْدعُوهُ ِبهَا ۖ َو َذرُوا الَّ ِذينَ ي ُْل ِح ُدونَ ِفي َأ ْس َماِئ ِه ۚ َسيُجْ زَ وْ نَ َما كَانُوا يَ ْع َملُون‬
“Hanya milik Allah asmaa-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan
menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimp
ang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan
mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (Al-A’raf:
180).
Ayat yang agung ini menunjukkan hal-hal berikut:
23

1) Menetapkan nama-nama (asma’) untuk Allah, maka siapa yang


menafikannya berarti ia telah menafikan apa yang telah ditetapkan Allah
dan juga berarti dia telah menentang Allah.
2) Bahwasanya asma’ Allah semuanya adalah husna. Maksunya sangat
baik, karena ia mengandung makna dan sifat-sifat yang sempurna, tanpa
kekurangan dan cacat sedikitpun. Ia bukanlah sekedar nama-nama
kosong yang tak mengandung makna.
3) Sesunggunya Allah memerintahkan berdoa dan bertawassul kepadaNya
dengan nama-namaNya. Maka hal ini menunjukan keagunganNya serta
kecintaan Allah kepada doa yang disertai nama-namaNya.
4) Bahwasanya Allah mengancam orang-orang yang ilhad dalam asma’Nya
dan Dia akan membalas perbuaan mereka yang buruk itu.
2) Kandungan asma’ husna Allah
Nama-nama yang mulia ini bukanlah sekedar nama kosong yng tidak
mengandung makna dan sifat, justrua ia adalah nama-nama yang menunjukan
kepada makna yang mulia dan sifat yang agung. Setiap nama menunjukan
kepada sifat, maka nama ar-Rahman dan ar-Rahim menunjukan sifat
rahmah; as-Sami’ dan al-Bashir menunjukan sifat mendengar dan melihat;
al-`Alim menunjukan sifat ilmu yang luas. Begitulah seterusnya, setiap nama
dari nama-namaNya menunjukan sifat dari sifat-sifatNya
Syaikh Ibnu Taimiyah berkata, “Setiap nama dari nama-namaNya
menunjukan kepada Dzat yang disebutnya dan sifat yang dikandungnya,
seperti al-`Alim menunjukan Dzat dan ilmu, al-Qadir menunjukan Dzat dan
qudrah, ar-Rahim menunjukan Dzat dan sifat rahmat.

3) Pendapat-pendapat golongan sesat tentang sifat-sifat ini beserta


bantahannya
Golongan-golongan sesat seperti Jahmiyah, Mu’tazilah dan Asy`ariyah
menyalahi Ahlus Sunnah wal Jama`ah dalam hal sifat-sifat Allah atau
menafikan banyak sekali dari sifa-sifat itu atau mentakwilkan nash-nash yang
menetapkannya dengan takwil yang batil. Syubhat (keraguan, kerancuan)
24

mereka dalam hal ini adalah mereka mengira bahwa penetapan dalam sifat-
sifat ini menimbulkan adanya tasybih (penyerupaan Allah dengan yang
lainnya). Oleh karena sifat ini juga terdapat pada makhluk maka penetapan
untuk Allah pun menimbulkan penyerupaanNya dengan makhluk karena itu
harus dinafikan -menurut mereka- atau harus ditakwilkan dari zhohirnya, atau
tafwidh (menyerahkan) makna-maknanya kepada Allah. Demikianlah
madzhab mereka dalam sifat-sifat Allah, dan inilah syubhat dan sikap mereka
terhadap nash-nash yang ada.
Bantahan terhadap mereka:
1) Sifat-sifat ini datang dan ditetapkan oleh nash-nash Al-Qur`an dan As-
Sunnah yang mutawatir. Sedangkan kita diperintahkan untuk mengikuti
Al-Qur`an dan As-Sunnah. Allah berfirman:
‫نز َل ِإلَ ْي ُكم ِّمن َّربِّ ُك ْم‬‫ُأ‬
ِ ‫اتَّ ِبعُوا َما‬
“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari tuhanmu…” (Al-A’raf: 3)
Maka barangsiapa yang menafikannya berarti dia telah menafikan apa
yang ditetapkan oleh Allah dan RasulNya, dan berarti pula dia telah
menentang Allah dan RasulNya.
2) Sesungguhnya kaum salaf dari sahabat, tabi`in, dan ulama pada masa-
masa yang dimuliakan, semuanya menetapkan sifat-sifat ini dan mereka
tidak berselisih sedikitpun di dalamnya.
3) Seandainya zhahir nash-nash tentang sifat-sifat itu bukan yang dimaksud,
dan dia wajib ditakwilkan (penyerahan makna kepada Allah), tentu Allah
dan RasulNya telah berbicara kepada kita dengan khithab dan ucapan
yang kita tidak paham maknanya. Dan tentu nash ini bersifat teka-teki
atau kode-kode (sandi) yang tidak bisa kita pahami. Ini adalah mustahil
bagi Allah, Allah Mahasuci dari yang demikian. Karena kalam Allah dan
kalam RasulNya adalah ucapan yang sangat jelas, gamblang dan berisi
petunjuk.
4) Menafikan sifat berarti menafikan wujud Allah, karena tidak ada dzat
tanpa sifat, dan setiap yang wujud (ada) pasti mempunyai sifat.
25

5) Kesamaan nama-nama Allah dan sifat-sifatNya dengan nama-nama dan


sifat-sifat makhlukNya dalam bahasa tidak mengharuskan kesamaan atau
penyerupaan hakikat atau kaifiyat.
6) Sebagaimana Allah mempunyai Dzat yang tidak diserupai oleh dzat
makhluk, maka Dia juga mempunyai sifat-sifat yang tidak diserupai oleh
sifat-sifat makhluk.
7) Sesungguhnya menetapkan sifat-sifat yang ada adalah kesempurnaan dan
menafikannya adalah kekurangan. Sedangkan, Allah Mahasuci dari sifat
kekurangan. Maka wajiblah penatapan sifat-sifat itu.
8) Sesungguhnya dengan nama-nama dan sifat-sifat ini, para hamba dapat
mengetahui Tuhannya dan mereka memohon kepadaNya dengan nama-
nama itu. Mereka takut kepadaNya dengan nama-nama itu. Jika
dinafikan dari Allah maka hilanglah makna-makna yang agung itu. Lalu
dengan apa Dia dimintai dan dengan apa pula bertawassul kepadanya?
9) Sesungguhnya hukum asal dalam nash-nash sifat adalah zhahir dan
makna aslinya.

C. Buah tarbiyah tauhid asma’ wa sifat pada diri individu dan masyarakat
Sesungguhnya iman dengan asma’ dan sifat Allah sangatlah berpengaruh
baik bagi perilaku individu maupun jamaah dalam muamalahnya dengan
Allah dan dengan makhluk.
1) Pengaruhnya dalam bermuamalah dengan Allah
1) Jika seseorang mengetahui asma’ dan sifatNya, juga mengetahui madlul
(arti dan maksdunya) secara benar, maka yang demikian itu akan
meperkenalkannya dengan Rabbnya beserta keagunganNya. Sehingga ia
tunduk dan khusyu’ kepadaNya, takut dan mengharapkanNya, serta
bertawassul kepadaNya dengan nama-nama dan sifat-sifatNya.
Sebagaimana Allah ta`aala berfirman:
‫َوهَّلِل ِ اَأْل ْس َما ُء ْال ُح ْسن َٰى فَا ْدعُوهُ ِبهَا‬
“Hanya milik Allah asma’ul husna, maka bermohonlah kepadaNya
dengan menyebut asma’ul husna itu…” (Al-A’raf: 180).
26

2) Jika seorang hamba mengetahui bahwa Rabbnya sangat dahsyat adzab-


adzabNya, Rabbnya bisa murka, Maha Kuat, Maha Perkasa, dan Maham
Kuasa melakukan apa saja yang Dia kehendaki, Dia Maha Mendengar,
Maha Melihat, dan Maha Mengetahui segala sesuatu, maka hal itu akan
membuat seorang hamba bermuraqabah (merasa diawasi Allah), takut
dan menjauhi maksiat terhadapNya.
3) Jika seorang hamba mengetahui Allah adalah Maha Pengampun, Maha
Penyayang, Maha Kaya, Maha Mulia, senang pada taubat hambaNya,
mengampuni semua dosa dan menerima taubat orang yang bertaubat,
maka hal itu akan membawanya kepada taubat dan istighfar, juga
membuatnya bersangka baik kepada Rabbnya dan tidak akan berputus
asa dari rahmatNya.
4) Jika seorang hamba mengetahui Allah adalah yang memberi nikmat,
yang menganugerahi yang hanya di tanganNya segala kebaikan, dan Dia
Maha Kuasa atas segalanya, Dia yang memberi rizki, membalas dengan
kebaikan, dan memuliakan hambaNya yang mukmin, maka hal itu akan
membawanya pada mahabbah kepada Allah dan bertaqarrub kepadaNya
serta mencari apa yang ada di sisiNya dan akan berbuat baik kepada
sesamanya.
2) Pengaruhnya dalam bermuamalah dengan makhluk
Jika seseorang mengetahui bahwa Allah adalah Hakim yang Maha Adil,
tidak menyukai kezhaliman, kecurangan, dosa, dan permusuhan; dan Dia
Maha Bisa untuk membalas dendam terhadap orang-orang zhalim atau orang-
orang yang melampaui batas atau orang-orang yang berbuat kerusakan, maka
seseorang tersebut pasti akan menahan diri dari kezhaliman, dosa, kerusakan
dan khianat. Dan dia akan berbuat adil dan obyektif sekalipun terhadap
dirinya sendiri, juga akan bergaul dengan teman-temannya dengan akhlak
yang baik. Dan masih banyak lagi pengaruh terpuji lainnya karena
mengetahui nama-nama Allah dan beriman kepadaNya.

PASAL V: AL-WALA’ WAL BARA’


27

A. Definisi Al-Wala’ wal Bara’


Wala’ adalah kata mashdar dari fi`il “waliya” yang artinya dekat. Yang
dimaksud dengan wala’ di sini adalah dekat kepada kaum muslimin dengan
mencintai mereka, membantu dan menolong mereka atas musuh-musuh
mereka dan bertempat tinggal bersama mereka.
Sedangkan bara’ adalah mashdar dari bara`ah yang berarti memutus
atau memotong. Maksudnya di sini ialah memutus hubungan atau ikatan hati
dengan orang-orang kafir, sehingga tidak mencintai mereka, membantu dan
menolong mereka serta tidak tinggal bersama mereka.

B. Kedudukan Al-Wala’ wal Bara’ dalam Islam


Di antara hak tauhid adalah mencintai ahlinya yaitu para muwahhidin,
serta memutuskan hubungan dengan para musuhnya yaitu kaum musyrikin.
Allah ta`aala berfirman:
َّ ‫ِإنَّ َما َولِيُّ ُك ُم هَّللا ُ َو َرسُولُهُ َوالَّ ِذينَ آ َمنُوا الَّ ِذينَ يُقِي ُمونَ ال‬
َ‫صاَل ةَ َويُْؤ تُونَ ال َّز َكاةَ َوهُ ْم َرا ِكعُون‬
َ‫ب هَّللا ِ هُ ُم ْالغَالِبُون‬
َ ‫َو َمن يَتَ َو َّل هَّللا َ َو َرسُولَهُ َوالَّ ِذينَ آ َمنُوا فَِإ َّن ِح ْز‬
“Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-
orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya
mereka tunduk (kepada Allah). Dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-
Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka
sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang." (Al-
Maidah: 55-56).
Dari ayat di atas jelaslah tentang wajibnya loyalitas kepada orang-orang
mukmin, dan memusuhi orang-orang kafir; serta kewajiban menjelaskan
bahwa loyal kepada sesama umat Islam adalah kebajikan yang amat besar,
dan loyal kepada orang kafir adalah bahaya besar.
28

BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Tauhid dari segi bahasa ‘mentauhidkan sesuatu’ berarti ‘menjadikan
sesuatu itu esa’. Dari segi syari’ tauhid ialah ‘mengesakan Allah didalam
29

perkara-perkara yang Allah sendiri tetapkan melalui Nabi-Nabi Nya yaitu


dari segi Rububiyyah, Uluhiyyah dan Asma’ Was Sifat’.
Tauhid di bagi menjadi tiga yaitu: (1) Tauhid Ar-Rububiyyah Yaitu
mengesakan Allah dalam hal perbuatan-perbuatan Allah, dengan meyakini
bahwasanya Dia adalah satu-satuNya Pencipta seluruh makhluk-Nya, (2)
Tauhid Al-Uluhiyyah disebut juga Tauhid Ibadah, dengan kaitannya yang
disandarkan kepada Allah disebut tauhid uluhiyyah dan dengan kaitannya
yang disandarkan kepada hamba disebut tauhid ibadah, yaitu mengesakan
Allah Azza wa Jalla dalam peribadahan, (3) Tauhid Al-Asma’ wa Shifat yaitu
mengesakan Allah dalam Nama-nama dan Sifat-sifat bagi-Nya, dengan
menetapkan semua Nama-nama dan sifat-sifat yang Allah sendiri menamai
dan mensifati Diri-Nya di dalam Kitab-Nya (Al-Qur’an), Sunnah Nabi-
Nya Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tanpa Tahrif (menyelewengkan
makna), Ta’thil (mengingkari), Takyif (mempertanyakan/menggambarkan
bagaimana-nya)dan Tamtsil (menyerupakan dengan makhluk).
Aplikasi Tauhid bahwasanya  berilmu dan mengetahui serta mengenal
tauhid itu adalah kewajiban yang paling pokok & utama sebelum mengenal
yang lainya serta beramal  ( karena suatu amalan itu akan di terima jika
tauhidnya  benar ).
 B.  Saran
Dengan penulisan resume ini diharapkan pembaca
1) Memperoleh pengetahuan yang lebih luas tentang tauhid
2) Lebih mendekatkan diri kepada Allah.
COPY JILID BUKU
30

CURICULUM VITAE
31
32

Anda mungkin juga menyukai