Anda di halaman 1dari 128

KONSEP WUJU<DIYYAH

PERPEKTIF KH. ACHMAD ASRORI AL ISH{A<QI<


DALAM KITAB AL-MUNTAKHABA<<T

RISALAH AKHIR

Oleh : MUHAMMAD MALIK


NIM. 150452

TAKHASSUS TASAWUF DAN TAREKAT


MA’HAD ALY AL FITHRAH
SURABAYA
2020
KONSEP WUJU<DIYYAH
PERSPEKTIF KH. ACHMAD ASRORI AL ISH{A<QI<
DALAM KITAB AL-MUNTAKHABA<T

RISALAH AKHIR

Diajukan Kepada Ma’had Aly Al Fithrah


Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Dalam
Menyelesaikan Program Sarjana Strata Satu
Takhassus Tasawuf Dan Tarekat

Oleh : MUHAMMAD MALIK


NIM. 150452

TAKHASSUS TASAWUF DAN TAREKAT


MA’HAD ALY AL FITHRAH
SURABAYA
2020

i
PERNYATAAN KEASLIAN

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Muhammad Malik


NIM : 150452
Takhassus : Tasawuf dan Tarekat

Judul Risalah Akhir:


KONSEP WUJU<DIYYAH PERSPEKTIF KH. ACHMAD ASRORI AL ISH{AQ
< I<
DALAM KITAB AL-MUNTAKHABA<T

Menyatakan bahwa Risalah Akhir ini secara keseluruhan adalah hasil


penelitian/karya saya sendiri, kecuali pada bagian-bagian yang dirujuk
sumbernya.

Surabaya,...........................
Saya yang menyatakan,

Muhammad Malik
NIM. 150452

ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING

Risalah Akhir yang ditulis oleh Muhammad Malik NIM. 150452 ini telah
diperiksa dan disetujui untuk dimuna>qasahkan.

Surabaya, ..............................
Pembimbing,

Mustaqim, M.Ag.,

iii
PENGESAHAN

Risalah Akhir yang telah ditulis oleh Muhammad Malik NIM. 150452 ini telah
dipertahankan di depan sidang Majelis Munaqasah Akhir Ma’had Aly Al Fithrah
Surabaya, Takhassus Tasawuf dan Tarekat pada:
Hari:
Tanggal:
Dan dapat diterima sebagai salah satu persyaratan untuk menyelesaikan program
sarjana strata satu (S-1) dalam Takhassus Tasawuf dan Tarekat.

Majelis Munaqasah Risalah Akhir:

Ketua sekretaris

......................... ...............................

Penguji I, Penguji II,

.......................... ..............................

Surabaya,..........................
Mengesahkan,
Mudir Ma’had Aly Al Fithrah Surabaya
Takhassus Tasawuf dan Tarekat,

Fathur Rozi, M.H.I

iv
ABSTRAK

Risalah Akhir ini merupakan Hasil penelitian dari Muhammad Malik, NIM:
150452, yang berjudul konsep wuju>diyyah perspektif KH. Achmad Asro>ri al-
Ish}aq> i> dalam kitab al-muntakhaba>t.
Pengaruh pemikiran barat-orientalis yang cenderung radikal telah meracuni dunia
akademisi dan banyak melahirkan justifikasi sesat, panteisme dan tidak rasional
terhadap kajian yang menusuk dimensi ketuhanan dalam perspektif keislaman,
terutama pada kajian tasawuf yang dianggap sebagai denyut nadi islam.
Termasuk pula di dalamnya tokoh-tokoh tasawuf seperti Ibnu ‘Arabi>, al-Ghaza>li>,
Hamzah Fansuri, dan tokoh tasawuf lainnya yang juga terkena dampak secara
frontal dari justifikasi orientalis.
Implikasinya, manusia bukan semakin mengenal Tuhan dengan keilmuan dan
praktik yang benar, justru semakin kacau, jauh dalam kegelapan dan kesesatan
pandangan, jauh dari kepercaya’an terhadap ulama ahl al-haqi>qat. Di sisi lain
juga, semakin mendayagunakan aspek rasionalitas dibandingkan sisi spiritualitas,
memahami dan menganalisa term-istilah para sufi tanpa mengetahui hakikat
istilah tersebut.
Sehingga, penelitian ini menyugugkan pembahasan seputar wuju>diyyah, wah}dah
al-wuju>d, wah}dah al-shuhu>d, h}ulu>l serta ittih}a>d yang dianggap rawan terhadap
justifikasi ajaran panteisme, serta menelisik seputar dimensi tanzih (transenden)
dan tashbih (imanen) dalam kitab al-Muntakhaba>t karya KH. Achmad Asrori al-
Ish}aq> i>, sebagai bentuk klarifikasi dan jawaban atas justifikasi tersebut. Penelitian
ini tergolong penelitian kualitatif dengan metode analisa conten analysis.
Menghasilkan kesimpulan bahwa konsep wuju>diyyah perspektif al-Ish}aq> i> dalam
muntakhaba>t memiliki pola monodualisme wuju>d. Dengan dilandasi konsep al-
Ish}aq> i> tentang pembahasan term al-ah}ad dan al-wah}id, wuju>d al-haqi>qi> serta
wuju>d al-maja>zi>. Sehingga penulis pandangan penulis, al-Ish}aq> i> memiliki dogma
yang terbebas dari justifikasi ajaran panteisme.
Kajian multi-dimesnsi ibarat menggambar objek yang abstrak (non-materi),
objek yang tak terbatas oleh akal dan rasionalitas manusia, sehingga lahan
penelitian pada objek semacam itu akan senantiasa terbuka lebar.

Kata kunci: al-Ish}a>qi>, Wuju>diyyah, al-muntakhaba>t.

v
KATA PENGANTAR

Maha Suci Engkau, penulis tidak mampu memuji-Mu sebagaimana Engkau

memuji Dzat-Mu, milik-Mu segala puji. Al-H}amd lilla>h wa al-shukr lilla>h,

dengan rahmat, anugerah dan pertolongan-Mu penulis dapat menyelasikan

Risalah Akhir yang berjudul “Konsep Wuju>diyyah Perspektif KH. Achmad

Asro>ri al-Ish}aq> i> dalam Kitab al-Muntakhaba>t” dengan lancar dan baik, sebagai

syarat menyelesaikan program studi S-1 Ma’had Aly Al-Fithrah, Surabaya.

S}alawat dan salam penulis haturkan kepada sang idola dan kekasih Rasulullah

Muhammad SAW.,sahabat, para pengikut dan pecinta sampai hari kiamat tiba.

Risalah Akhir ini adalah penelitian yang menyuguhkan pembahasan seputar

eksistensi Tuhan dalam kitab al-Muntakhaba>t karya KH. Ahmad Asrori al-Ish}aq> i>.

Tidak dipungkiri lagi bahwa kesuksesan penulisan disertasi ini tidak

terlepas dari bantuan dan dorongan semua pihak. Oleh karena itu, pada

kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada:

1. Had}rat al-Shaykh KH. Achmad Asro>ri al-Isha>qi> sebagai guru rohani

penulis, yang menunjukkan pintu cakrawala berfikir, dzikir, serta

mendorong penulis untuk selalu berkhidmah, belajar, mengambil

pelajaran, qudwah dan uswah dalam mengarungi bahtera kehidupan

menuju dan bersimpuh di hadirat Allah SWT.

vi
2. Keluarga besar Had}rat al-Shaykh KH. Achmad Asro>ri al-Isha>qi>, yang juga

senantiasa melimpahkan bimbingannya kepada penulis selama berada di

Pondok Pesantren Assalafi Al-Fithrah Surabaya.

3. Mudir ‘Amm Ma’had Aly Al-Fithrah Surabaya, Dr. Fathur Rozi M.H.I.,

Mudir ‘Amm MDTJ Ma’had Aly Al-Fithrah Surabaya, Ustad Imam

Bashori M.Th.I., berserta seluruh jajaran Mudir dan dosen Ma’had Aly

Al-Fithrah Surabaya, yang telah memberi kesempatan kepada penulis

untuk mengikuti kuliah (S-1).

4. Ustad Mustaqim M.Ag., selaku pembimbing yang telah sudi meluangkan

waktu, selalu memberikan motivasi, bertukar fikiran, memberikan nasehat

dan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan Risalah ini.

5. Ustad Fathul Haris M.Ag., yang telah mengarahkan, dan memberikan

motivasi ekstra untuk lebih tekun dan giat belajar kepada penulis, baik

sebelum dan sesudah masuk perkuliahan di Ma’had Aly Al-Fithrah

Surabaya.

6. Al-marh}u>m wa al-maghfu>r lahuma> (simbah Tarmudji, simbah

Munawwar), Kedua orang tua (Tsamratul Fikriyah dan Damsuri), dan tiga

saudara kandung penulis (‘Abdur Ra’uf, Zaharatul ‘Ayni dan Mulidiya

Azzahra), Pakde (Ircham), Bude (Toyimah), bule’ (ma’dah), yang telah

merelakan seluruh kebaikan, mencurahkan kasih sayang dan dukungan

vii
dalam kehidupan penulis, khususnya dalam proses menempuh kuliah di

Ma’had Aly Al-Fithrah Surabaya.

7. Teman-teman seperjuangan “Umayroh” lulusan pertama (S-1) Ma’had

Aly (Kodok, Moe, Bang Dayat, Wafer, Iklil, Iqbal, Om Basir, Hasan, Cak

Rozy, Mimin, Mak Nikmah, Mbak Fitri, Mbak Afifah), yang telah banyak

meberikan dukungan kepada penulis.

8. Konco-konco Maktab, arek jedding, “Black Zone” -konco ngopi, rasan-

rasan, konco ambyar, konco oleng (Gopal, Tokai, Cak Inul, Kang Ubed,

Cak Syamsul, Mas Adji dkk).

Akhirnya penulis berharap semoga Allah SWT membalas segala partisipasi

mereka dengan iringan do’a “Jaza>kum Alla>h ah}san al-jaza>, wa>fir mawfu>r fi alda>

rayn” a>mi>n – a>mi>n – a>mi>n ya> Rabb al-‘a>lami>n.

Surabaya,

Penulis

viii
DAFTAR ISI
Halaman

SAMPUL DALAM ..................................................................................... i

PERNYATAAN KEASLIAN .................................................................... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................................. iii

PENGESAHAN .......................................................................................... iv

ABSTRAK .................................................................................................. v

KATA PENGANTAR ................................................................................ vi

DAFTAR ISI ............................................................................................... ix

DAFTAR TRANSLITASI ......................................................................... xii

BAB I: PENDAHULUAN ........................................................................ 1

A. Latar Belakang .............................................................................. 1


B. Identifikasi dan Batasan Masalah ................................................ 15
C. Rumusan Masalah ......................................................................... 16
D. Kajian Pustaka .............................................................................. 16
E. Tujuan Penulisan .......................................................................... 21
F. Kegunaan Hasil Penelitian ........................................................... 21
G. Metode Penelitian ......................................................................... 23
1. Jenis Penelitian ...................................................................... 23
2. Sumber Data .......................................................................... 24
3. Teknik Pengumpulan Data .................................................... 26
4. Teknik Analisis Data ............................................................. 26
H. Sitematika Penulisan .................................................................... 29

BAB II: WUJU<DIYYAH DAN EKSISTENSIALISME ........................... 31

A. Wuju>diyyah (Eksistensialisme) dalam perspektif orientalis ........ 31


B. Wuju>diyyah (eksistensi Tuhan) dalam perspektif sufi ................. 36

ix
C. Wah}dah al-wuju>d dan Wah}dah al-Shuhu>d ................................... 41
1. Al-wah}dah al-haqi>qiyyah ...................................................... 41
2. Al-wah}dah al-‘adadiyyah atau al-wah}dah al-‘id}a>fiyyah ....... 42
D. Ittih}a>d dan H{ulu>l ........................................................................... 51
1. Ittih}a>d .................................................................................... 51
2. H{ulu>l ...................................................................................... 54

BAB III: WUJU<DIYYAH DALAM PEMIKIRAN KH. ACHMAD


ASRO<RI AL-ISH{A<QI< ................................................................ 58

A. Biografi KH. Achmad Asro>ri al-Ish}aq> i> ........................................ 58


1. Silsilah Nasab dan Riwayat Hidup ........................................ 58
2. Riwayat Pendidikan KH. Achmad Asro>ri al-Ish}aq> i> .............. 65
3. KH. Achmad Asro>ri al-Ish}aq> i> Sebagai Mushid ..................... 69
B. Karya Intelektual KH. Achmad Asro>ri al-Ish}a>qi> ......................... 73
C. Wuju>diyyah dalam Pemikiran KH. Achmad Asro>ri al-Ish}aq> i>
dalam al-Muntakhaba>t .................................................................. 75
1. Konsep Tajalli> Perspektif KH. Achmad Asro>ri al-Ish}aq> i> ..... 76
a. Wuju>d al-haqi>qi> .............................................................. 77
b. Wuju>d al-Majazi> ............................................................. 78
2. Tanzih (Transenden) dan Tashbi>h (Imanen) Perspektif
KH. Achmad Asro>ri al-Ish}aq> i> ................................................ 82

BAB IV: TANZIH (TRANSENDEN) DAN TASHBI<H (IMANEN)


SEBAGAI UNSUR WUJU<DIYYAH PERSPEKTIF KH. ACHMAD
ASRO<RI AL-ISH{A<QI< DALAM KITAB AL-MUNTAKHABA<T ............ 87

A. Pola Pemikiran Sufisme KH. Achmad Asro>ri al-Ish}aq> i> ............... 87


1. Corak dan Kecenderungan Tasawuf KH. Achmad Asro>ri
al-Ish}aq> i> ................................................................................. 89
2. Posisi Tasawuf KH. Achmad Asro>ri al-Ish}aq> i> dalam
Kacamata Tipologi Tasawuf ................................................. 94

x
B. Kesatuan Tanzih (Transenden) dan Tashbi>h (Imanen) dalam
Konsep Wuju>diyyah KH. Achmad Asro>ri al-Ish}aq> i> ..................... 97
C. Wah}dah al-wuju>d dalam Wacana Pemikiran KH. Achmad
Asrori Al-Ish}aq> i> ............................................................................ 99

BAB V: PENUTUP .................................................................................... 102

A. Kesimpulan ..................................................................................... 102


B. Saran ............................................................................................... 103

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 105

LAMPIRAN ................................................................................................ 113

xi
PEDOMAN TRANSLITASI

Di dalam naskah Risalah Akhir ini, banyak dijumpai nama dan istilah
teknis (technical term) yang berasal dari bahasa Arab dan ditulis dengan huruf
Latin. Pedoman translitasi yang digunakan dalam penulisan naskah sebagai
berikut:

A. Konsonan

No. Arab Indo. Arab Indo.


1. ‫ا‬ A ‫ط‬ t}

2. ‫ب‬ B ‫ظ‬ z}

3. ‫ت‬ T ‫ع‬ ‘

4. ‫ث‬ Th ‫غ‬ Gh

5. ‫ج‬ j ‫ف‬ F

6. ‫ح‬ h} ‫ق‬ Q

7. ‫خ‬ Kh ‫ك‬ K

8. ‫د‬ D ‫ل‬ L

9. ‫ذ‬ Dh ‫م‬ M

10. ‫ر‬ R ‫ن‬ N

11. ‫ز‬ Z ‫و‬ W

12. ‫س‬ S ‫ﻩ‬ H

13. ‫ش‬ Sh ‫ء‬ A

14. ‫ص‬ s} ‫ي‬ Y

15. ‫ض‬ d}

Sumber : Kate L.Turabian, A Manual of Term Papers, Disertations (Chicago and London: The
University of Chicago Press, 1987).

xii
Vokal
1. Vokal Tunggal (monoftong)
Tanda dan Huruf Arab Nama Indonesia

َ Fathah A

َ Kasrah I

َ Dhammah u

Catatan : khusus untuk hamzah , penggunaan aprostrof hanya berlaku jika


hamzah berh}arakat sukun atau didahului oleh huruf yang berh}arakat sukun.

Contoh : iqtid}a>’ )‫(اقتضاء‬

2. Vokal Rangkap (diftong)


Tanda dan Huruf Nama Indonesia Ket.
Arab

‫َي‬ Fath}ah dan ya’ Ay A dan Y

‫َو‬ Fath}ah dan wawu Aw A dan W

Contoh : bayna )‫(بني‬dan mawd}u’> (‫)موضوع‬

3. Vokal Panjang (mad)


Tanda dan Huruf Nama Indonesia Ket.
Arab

‫َا‬ Fath}ah dan alif a> a dan garis di atas

‫ِي‬ Kasrah dan ya’ i> i dan garis di atas

‫ِو‬ D}ammah dan wawu u> u dan garis di atas

xiii
B. Ta>’ Marbu>t{ah
Translitasi untuk ta>’ marbu>t{ah ada dua :
1. Jika hidup (menjadi mud{a>f) translitasinya adalah t.
2. Jika mati atau sukun, translitasinya adalah h.

Contoh : Shari>at al-Islam )‫(شريعة االسالم‬

Shari>ah isla>mi>yyah )‫إسالمية‬ ‫(شريعة‬


C. Penulisan Huruf Kapital
Penulisan huruf besar dan kecil pada kata, phrase (ungkapan) atau kalimat
yang ditulis dengan translitasi Arab-Indonesia mengikuti ketentuan penulisan
yang berlaku dalam tulisan. Huruf awal (initial latter) untuk nama diri, tempat,
judul buku, lembaga dan lain sebagainya yang juga ditulis dengan huruf besar.

xiv
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

sejak awal diciptakannya manusia, ia sudah dikenai taklif yakni agar dapat

mengetaui dan mengenal Allah SWT sebagai Tuhannya. Kaitannya dengan

pembahasan keTuhanan, dalam proses manusia mengenali Tuhannya banyak

bermunculan statement dan ungkapan yang bersifat paradoks. Seperti contoh

manusia untuk melangsungkan kehidupannya agar tidak meninggal, ia butuh

akan oksigen. Akan tetapi di sisi lain, oksigen yang di butuhkan oleh manusia

untuk melangsungkan hudup, akan membuat organ tubuh manusia semakin

menua dan akhirnya juga mati.

Begitupun dalam pembahasan mengenai perkenalan hamba terhadap Tuhan

“ma’rifat billa>h”, Salah satu contohnya adalah kewajiban atau taklif seorang

hamba untuk mengenali Tuhannya di satu sisi, dan di sisi lain para ulama telah

sepakat, menengenai sifat yang di sematkan kepada Allah SWT, yakni Ia sebagai

eksisitensi yang tak terjangkau bahkan terdefinisikan, sehingga pengetahuan

apapun yang mencoba menggambarkan (baca: menjelaskan) mengenai Tuhan

akan terbantahkan. Lantas taklif tersebut apakah gugur dengan sifat Allah SWT

sebagaimana yang telah disepakati oleh para ulama.

Tidak dapat terbantahkan bahwa objek kajian ini sangat menarik untuk di

jabarkan, paling tidak untuk menemukan batasan hamba untuk mendapat titel

“ma’rifat”, tanpa mendobrak dan merobohkan apa yang telah di sepakati oleh

1
2

para ulama mengenai sifat Allah SWT. Dalam kajian islam, di antara mediasi

untuk dapat mencapai kedudukan tersebut adalah dengan merenungkan dan

menggali dalil dari ilmu yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW dalam al-

Qur’a>n dan Sunah-sunah beliau, sehingga timbul kesadaran akan posisi dirinya

sebagai seorang hamba, yang kemudian mendorong hatinya untuk senantiasa

menghamba kepada-Nya dengan sebaik-baik penghambaan.1

Kondisi di atas, sesuai dengan implementasi hadis yang masyhur

diriwayatkan oleh para sufi:

.‫كنت كن ًزا مفيًّا ال أعرف فأحب بت أن أعرف فخلقت خل ًقا ف عرف ت هم‬
“Aku (Allah) laksana perbendaharaan yang tersembunyi, kemudian Aku
ingin (suka) jika Aku dikenal (diketahui), maka Ku jadikan makhluk, agar
mereka mengetahui-Ku.”2
Kemudian didukung dengan ayat al-Qur’a>n yang melandasi motiv

penciptaan manusia:

‫وما خلقت الن واالنس إال لي عبدون‬


“Dan tidaklah Aku (Allah) menciptakan jin dan manusia kecuali untuk
menghamba kepada-Ku”. (QS. al Dhariyat: 56)

Al-Ima>m Ibnu ‘Abba>s kemudian menafsirkan lafad “illa> liya’budu>n”

dengan redaksi “illa> liya’rifu>n”, artinya untuk mengetahui dan mengenal posisi

1
Abi> al-‘Abba>s Taqi> al-di>n Ah}mad bin ‘Abd al-H{ali>m (Ibnu Taymiyah), Dar’u Taa>rud{ al-‘Aqlu
wa al-Naqlu, Cet. 7, Juz 8 (Madi>nah: T.Pn, 1991), 5. Sebagaimana diungkapkan oleh Shaykh Abu>
H{ati>m al-S{u>fi> yang mendengar riwayat dari Shaykh Abu> Nas{r al-T{u>si>, beliau menceritakan
tentang Syaikh Ruwaym yang ditanya perihal kewajiban dari Allah SWT atas hambanya, Shaykh
Ruwaym menjawab dengan tegas bahwa kewajiban tersebut adalah mengetahui dan mengenal
Allah SWT. Lihat: Abu> al-Qasi>m ‘Abdul Kari>m bin Hawa>zin, al-Risa>lah al-Qushayriyyah fi ‘Ilmi
al-Tas{awwu>f, Cet. 1 (Jakarta: Da>r al-Kutu>b al-Isla>miyyah, 2010), 16.
2
Dalam redaksi lain disebutkan ‫ عرفوين فيب إليهم فتعرفت‬. Kemudian oleh para sufi hadis tersebut
dijadikan sebagai dasar keyakinan untuk terus meenggali keyakinan terhadap Tuhan, akan tetapi
kedudukan hadis tersebut banyak dipertanyakan dan diragukan oleh para ahli hadis, seperti Ibnu
Taymiyah, al-Zarkashi>, Ibnu H{aja>r, al-Suyut{i> dsb. Lihat: Ah}mad bin ‘Abdul Kari>m al-Gha>zi>, al-
Jaddu al-H{asi>s fi> Baya>ni Ma> Laysa Bi al-H{adi>th (T.Tm, Da>r Ibnu H{azm, T.Th), 175.
3

hamba dengan Tuhannya,3 dan orang-orang yang telah mendapatkan kesadaran

serta derajat tersebut, dikatakan sebagai orang yang ‘a>rif.4

Lantas bagaimana manusia dapat mengetahui Tuhannya?.

Sebagaimana kodrat-Nya, manusia diciptakan oleh Allah SWT dengan

penciptaan yang paling sempurna diantara makhluk ciptaan Allah SWT lainnya,

ditunjuk menjadi Khalifah dibumi yang menjaga keseimbangan alam,

memakmurkan serta melestarikannya.5 Kemulyaan yang disematkan dalam diri

manusia, salah satunya diungkap dalam al-Qur’a>n:

‫ولقد كرمنا بن ادم وحلن هم ف الب ر والبحر ورزق ن هم من الطيبت وفضلن هم على كث ري من‬
.‫خلقنا ت فضي ًال‬
“Dan sungguh telah Kami mulyakan anak-anak adam, Kami angkut mereka
di daratan dan di lautan, Kami berikan mereka rizki dari yang baik-baik dan
Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan
makhluk yang telah Kami ciptakan.” (QS al-Isra> : 70)
Tentunya kemulyaan tersebut tidak diperoleh oleh manusia secara universal

dan cuma-cuma, akan tepai Allah SWT menetapkan syarat-syarat tertentu untuk

mendapat kemulyaan tersebut. Diantara syarat yang harus terpenuhi untuk

mendapatkan kemulyaan dari Allah SWT adalah menetapkan keimanan dalam

diri manusia. Seperti hadith yang disampaikan Rasulullah SAW:

3
Ismai>l Haqqi> Ibnu Musta{>fa>, Tafsi>r Ru>h{ al-Baya>n, Juz 1 (T.Pn: Da>r Ih{ya’ al-Tura>th al-‘Arabi>,
T.Th), 335.
4
Orang ‘arif juga dapat di maknai sebagai orang yang tenggelam dalam samudra pengetahuan
tentang Allah SWT, serta tenggelam dalam kecintaan ( mahabbah) kepada Allah SWT. Lihat:
Abu> al-Qasi>m ‘Abdul Kari>m bin Hawa>zi>n, al-Risa>lah al-Qushayriyyah...,97.
5
Achmad Asrori al-Ish}a>qi, al-Muntakhaba>t fi> Ra>bit{ah al-Qolbiyyah wa S{ilah al-Ru>hiyyah, Cet. 1,
Juz 1, (Surabaya: T.Pn, 2007), 114. (Versi 2 Jilid)
4

‫ المؤمن أكرم‬:-‫ قال – صلى هللا عليه وأله وسلم‬: ‫روي عن اِب هري رة رضي هللا عنه قال‬
.‫على هللا من ب عض المالئكة‬
“Diriwayatan dari Abu> Hurayrah Ra. beliau berkata: Rasulullah bersabda :
orang-orang mu’mi>n (yang beriman) itu lebih mulia dihadapan Allah SWT
dibanding para malaikat.” (HR. Ibnu Majah, al-Bayhaqi>)6

Selain itu manusia juga diberikan keistimewaan oleh Allah SWT dengan

berbagai macam potensi, seperti jasad, akal, hati, ruh dan lain sebagainya,

sehigga potensi tersebut dapat menjadi jalan untuk mengenal wuju>d Tuhan dan

mengokohkan keimanan kepada-Nya. Akan tetapi Allah SWT juga menguji

kredibilitas keistimewaan yang telah diberikan tersebut, dengan dititipkannya

nafsu dalam diri manusia, sebagai wadah sekaligus sumber bagi perilaku-perilaku

tercela. Apakah dengan adanya nafsu tersebut ia akan tetap memanfaatkan

keistimewaan potensinya, dengan selalu berada pada posisi taat atau justru

sebaliknya.7

Telah maklum diketahui, setiap perilaku manusia idealnya tak pernah lepas

dari dorongan motivasi untuk menghamba kepada Allah SWT, S}ala>t, z}ikir, wirid

dan semacamnya tidak menjadi batas bentuk ibadah, bahkah perilaku remeh yang

orientasinya duniawi sekalipun dapat menjadi nilai ibadah, tinggal bagaimana

manusia secara sadar menempatkan dirinya pada posisi yang proporsional

sebagaimana kodrat menjadi manusia sesuai implementasi ayat diatas.8 Tetapi

kenyataannya, banyak manusia yang tak dapat mengaktualisasikan potensi

6
Ibid., 115-116.
7
Abu> al-Qasi>m ‘Abdul Kari>m bin Hawa>zi>n, al-Risa>lah al-Qushayriyyah...,124.
8
Abu> al-Abba>s Ah}mad bin Muh}ammad bin Mahdi> bin ‘Aji>bah, al-Bah{r al-Madi>d fi> Tafsi>r al-
Qur’a>n al-Maji>d, Juz 5 (Beirut: Da>r al-Kutu>b al-‘Ilmiyyah, 2002), 481.
5

terbesar yakni akal dan ruh yang ada dalam diri manusia, justru mereka banyak

terjerumus dan lalai terhadap ilusi duniawi, kemudian muncul sifat materialistis,

hedonis yang semuanya dapat menjadi hijab untuk mengenal Tuhan. Bentuk

ujian semacam ini telah di tegaskan oleh ungkapan Syekh Ibnu ‘At}a>illa>h al-

Sakanda>ri> tentang konsekuensi orang yang hatinya condong terhadap perhiasan

duniawi, dengan redaksi:

‫ ام كيف ي رحل اَل هللا وهو مكبل‬.‫كيف يشرق ق لب صور الكوان منطبعة ف مرآته؟‬
‫ ام كيف ي رجو‬.‫ ام كيف يطمع ان يدخل حضرة هللا وهو َل ي تطهر من جنابة غفالته؟‬.‫بشهواته؟‬
.‫ان ي فهم دقائق السرار وهو َل ي تب من هفواته؟‬
“Bagaimana hati dapat bersinar (terang), sedangkan terlukis gambar dunia
dalam cermin hatinya?, atau bagaimana akan berjalan menuju Allah,
sedangkan ia masih terbelenggu oleh syahwatnya?, atau bagaimana ia
mendambakan masuk kehadirat Allah, sedangkan ia belum bersih (suci)
dari janabah kelalaiannya?, atau bagaimana megharap akan memahami
lembutnya siri (rahasia Allah), sedang ia belum bertaubat dari kesalahan
(dosa) nya?”.9

Kemudian diperkuat dengan ayat al-Qur’a>n surat al-Kahfi:

‫إَّن جعلنا ما على الرض زينةً َلا لن ب لوهم أيُّهم أحسن عم ًال‬
“Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang di bumi sebagai perhiasan
baginya, agar Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang
terbaik perbuatannya.” (QS Al-Kahfi: 7)
Wujud aktualisasi atas potensi akal manusia sesungguhnya tampak dari

berkembang pesatnya keilmuan-keilmuan dibidang akademik, studi penafsiran

ayat, penggalian hukum agama dan korelasinya dengan fenomena problem yang

kompleks terjadi di masyarakat-pun mampu untuk dipecahkan. Bahkan

9
Nu>ruddi>n Sayyidi> ‘Ali> al-Bayyu>mi>, Sharkh al-H{ikam al-‘At}a>iyyah al-Musamma> al-Huda> lil
Insa>n ila> al-Kari>m (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2019), 49.
6

perkembangannya, tingkat rasional manusia kini telah menyinggung aspek intuisi

mistis, dengan menguraikan wuju>diyyah Tuhan, walaupun kenyataannya tak

pernah ada bahasa filosofis yang dapat menggambarkan secara utuh tentang

pengalaman intuisi personal.

Salah satu kajian ilmu dalam agama islam yang kompeten menyinggung

aspek keTuhanan atau secara luas mencakup kosmos10 adalah kajian filsafat dan

teologi islam. Sebagai bentuk cakrawala khazanah keilmuan yang membahas

mengenai tawh{i>d (keTuhanan) dalam agama, manusia dan alam, ilmu teologi

atau biasa disebut ilmu kalam merupakan salah cabang keilmuan yang cukup

kompleks dengan bahasan multi-dimensi.

Kendati demikian, pada awal kemunculannya, teologi lebih terkesan

dogmatis terhadap pemahaman-pemahaman keTuhanan yang terdapat dalam al-

Qur’a>n dan hadith Nabi SAW. Akan tetapi pada perkembangannya, teologi

mengalami revolusi penalaran menjadi lebih kritis dan rasionalis, sebagai ciri-ciri

utamanya yaitu pendayagunaan akal yang melekat dalam ilmu teologi modern

atau lebih di kenal dengan teologi rasional.11 Doktrin teologi rasionalis semacam

ini salah satunya dipelopori oleh Harun Nasution dengan mengangkat gagasan

islam rasional dengan pendekatan kontradiktif-komparatif sebagai buah dari

pemikiran filosofisnya, selain wujud rasa iba Harun Nasutio atas mayoritas

10
Kosmos dapat diartikan sebagai alam semesta, secara eksplisit kosmologi membahas mengenai
hakikat alaam semesta yang meliputi hubungan antara manusia, alam dan tuhan. Lihat: I.R
Poedjawijatna, Pembimbing Kearah Alam Filsafat (Jakarta: Pembangunan, 1980), 19-20.
11
Saiful Muzani, Islam Rasional Gagasan Dan Pemikiran Prof. Dr Harun Nasution (Bandung:
Mizan, 1995), 8.
7

pemikiran islam selama ini yang di pandang bersifat statis menuju pemikiran

yang lebih dinamis dan kritis.12

Tasawuf sebagai denyut nadi islam yang begitu dalam mengungkap tentang

sisi metafisik keTuhanan juga mendapatkan imbas atas masuknya doktrin

rasionalis dan filosofis, bahkan tanda-tanda tersebut terlihat jelas kepermukaan

pada zaman al-Fara>bi>, Ibnu Ru>sh, Ima>m Ghaza>li> dan yang paling fenomenal

adalah Ima>m Ibnu ‘Arabi>> dengan ungkapan tentang konsep-konsep wujud

keTuhanan “wah{dah al-wuju>d” yang begitu pelik dan kotrofersial dalam

menggambarkan manifestasi “tajalli>” Allah SWT, terutama dalam karya beliau

Fus{u>s{ al-h{ikam dan futu>h{at> al-makiyya>t. Kedua karya tersebut bahkan dikucilkan

dan dilarang untuk sebarluaskan. Salah satu ulama yang mengecam keras

terhadap pemikiran Ibnu ‘Arabi>> adalah shaykh al-isla>m Ibnu Taymiyyah, dalam

kitab fatawa> beliau, dalam kitab tersebut Ibnu Taymiyah mengkafirkan Ibnu

‘Arabi> secara lahir dan batin. Selain Ibnu Taimiyah, ulama lain yang berada

dalam barisan penentang pemikiran Ibnu ‘Arabi> adalah Burha>nuddi>n ibn ‘Uma>r

al-Biqa>i dengan karyanya Tanbi>h al-Ghabi> Ila> Takfi>r Ibnu ‘Arabi>, sekaligus

menjadi kitab pokok yang menjadi sumber rujukan bagi barisan penyerah Ibnu

‘Arabi>.13

Izutsu sebagai salah satu intelektual yang mendalami pemikiran Ibnu

‘Arabi> mengungkapkan konsepsi pemikiran Ibnu ‘Arabi> secara simpel dengan

12
Nurisman, “Filsafat Dalam Pemikiran Islam Rasional Harun Nasution: Sebuah Sumbangan
Bagi Pengembangan Pemikiran Islam Di Indonesia” (“Ringkasan Disertasi”--UIN Sunan
Kalijaga, Jogjakarta, 2009), 2-5.
13
Toshihiko Izutsu, SUFISME: Samudra Maktifat Ibnu ‘Arabi, Cet.1 (Jakarta: PT Mizan
Publika, 2015), Dalam Pengantar Penerbit, viii.
8

grafik 5 (lima) tingakatan medan wujud (al-h{aqq). Pertama adalah medan al-h{aqq

sebagai sang mutlak yang kokoh dalam kemutlakan-Nya, kemudian medan kedua

yakni al-h{aqq sebagai sang mutlak yang ber-tajalli> (baca: manifestasi) dari

kemutlakan-Nya, yang kemudian menjadi manifestasi Alla>h/god. Medan ketiga, -

meminjam istilah izutsu- Dia memanifestasikan diri-Nya menjadi

Tuhan/lord/rabb. Selanjutnya tajalli> diri-Nya sebagai wujud material dan

spriritual terjadi di medan keempat, dan terakhir tajalli>-Nya sebagai wujud

indrawi.14 Demikian penjelasan secara vertikal tetang Allah SWT yang ber-tajjali>

(baca: bermanifestasi) pada makhluk.

Selanjutnya secara vertikal, dilihat dari sudut pandang hamba kepada Allah

SWT, yang telah menemukan maqa>m tauhid wuju>diyyah, telah digambarkan oleh

Imam al-Rabba>ni15, beliau berkata tentang perbedaan maqa>m wuju>di dan

shuhu>di: Wahdah al-shuhu>d merupakan tungakatan ‘ain al-yaqi>n, sedangkan

wah}dah al-wuju>d merupakan tingkatan ‘ilmu al-yaqi>n. Sehingga dapat dikatakan

Wahdah al-shuhu>d merupakan tingkatan yang lebih tinggi dari pada wah}dah al-

wuju>d.16 Jika seorang hamba dalam penyaksiannya -terhadap segala sesuatu yang

tampak- ia masih mempertimbangkan keberadaan sesuatu yang lain -yang tidak

wujud saat itu-, disertai pertimbangan terhadap manifestasi (perwujudan) dari

yang Esa, maka hamba tersebut masih dalam tingkatan wah}dah al-wuju>d. Seperti

14
Ibid.,22.
15
Selanjutnya disebut al-Sirhindi>.
16
Konsep tersebut jika mengikuti apa yang telah di paparkan oleh shaykh Ahmad al-Fa>ru>qi> al-
Sirhindi>, beliau memaparkan kaitannya dengan analogi matahari dan bintang. Andai kata
seseorang yang dapat menembus terangnya pancaran sinar matahari serta di saat itu pula, ia dapat
menyaksikan matahari dan bintang-buntang secara bersamaan, maka ia telah mencapai derajat
haqq al-yaqi>n. Lihat: Ah}mad al-Fa>ru>qi> al-Sirhindi>, al-Maktubat, Juz 1 (T.Tm: Maktabah al-Nayl,
T.Th), 81.
9

menyaksikan matahari yang disisipi dengan pengetahuan, bahwa bintang-bintang

saat itu bukannya tidak ada, tapi hanya saja tertutup oleh pancaran terangnya

sinar matahari.17 Jika seseorang berada dalam tingkatan haqq al-yaqi>n, maka ia

akan dapat menembus terangnya pancaran sinar matahari dan melihat matahari

dan bintang-bintang secara bersamaaan. Kemudian ajaran al-Sirhindi> di sebar

luaskan oleh Khwaja Ma’s}u>m, Khwaja Sayf al-Di>n (saifuddin), Muh}ammad al-

Bada>wani> al-Naqshabandi> dan masih banyak ulama yang lain yang juga menjadi

murshi>d penerus al-Sirhindi>.18

Contoh lain sebagai interpretasi filosofi dalam tasawuf adalah gagasan

tentang h{ulu>l, ittih{a>d, maqo>ma>t dan ah{wa>l dalam diri manusia. Serta berbagai

macam tingkatan yang ada dilamnya yang telah dibahas secara eksplisit oleh para

sufi, sekaligus menjadi gambaran pijakan tangga yang harus dilalui dan menjadi

bentuk pencapaiaan kepada Allah SWT. Pengalaman yang bersumber dari intusi

serta perjalanan ruhani para sufi tersebut juga banyak dituangkan kedalam

bentuk risa>lah kitab, syair dan ungkapan-ungkapan dengan bahasa yang dapat

dipahami rasio dan diamalkan manusia. Senada dengan uraian diatas, ragam

corak dalam Tasawuf seperti akhlaqi>, ‘amali>, falsafi> juga turut mewarnai

manifestasi dari pemikiran filsafat, yang menganalisis kecenderungan yang

tampak dalam diri setiap sufi “al-aghlab”. Walaupun munculnya dikotomi

semacam ini hanya terbatas pada kajian Akademik, akan tetapi dalam praktik

yang sesungguhnya, Tasawuf untuk mencapai ma’rifat kepada Allah SWT harus

17
Ibid.
18
UIN Syarif Hidayatullah, ENSIKLOPEDI TASAWUF, Cet. 1, Jilid 3 (Bandung: ANGKASA,
2008), 1405.
10

meliputi aspek universal, dan tidak dipisah antara satu aspek dengan aspek yang

lain, sebagaimana dikutip oleh Dr H. Muh}ammad musyafa’ dalam disertasinya.19

Dalam sejarah Tasawuf, pemikiran ataupun ajaran s{u>fiyyah, yang

cenderung mengunggulkan al-Kita>b dan al-Sunnah dipelopori oleh para sufi abad

ketiga, seperti Ma’ru>f al-Karkhi>, al-H{a>rith al-Muh{>asibi>, Sari> al-Saqat{i> dan al-

Junayd al-Baghda>di>. Pemikiran mereka terbangun di atas pemikiran yang

mendalam mengenai tauhid dan ibadah yang sempurna kepada Allah SWT

melalui jalur pembersihan qalb, pelurusan suluk, menjauhi motif-motif nafsu dan

bergantungan dengan berbagai ilmu yang bersumber dari al-Qur’a>n dan H{adi>th.20

Hemat penulis, Proses transisi dari intuisi dan perjalanan ruhani sufi menjadi

bentuk sastra tulisan tersebut tentunya melalui jalur olah akal, sebagai

konsekuensi olah akal tersebut, secara otomatis akan menggiring masuk wilayah

filosofis.21

Banyak pula sufi nusantara yang juga mengungkapkan tentang wuju>diyyah

Allah SWT, serta menjadi corak ajaran tersendiri bagi tokoh yang

mengungkapkannya, seperti Shaykh H{amzah Fansu>ri>, Nu>ruddi>n al-Ra>ni>ri>,

Shamsuddi>n al-Sumatra>ni>, ‘Abdur-Ra’u>f al-Sinki>li>.22 Penelitian tentang tokoh-

tokoh tersebut menimbulkan perspektif bahwa pemikiran mereka diwarnai oleh

19
Muhammad Musyafa’, “RELEVANSI NILAI-NILAI AL TARIQAH PADA KEHIDUPAN
KEKINIAN: Studi Penafsiran Ayat-Ayat Al-Qur’a>n Dalam al-Muntakhaba>t Karya KH. Achmad
Asro>ri Al-Isha>qi” (“Disertasi”--UIN Sunan Ampel, Surabaya, 2018), 61.
20
‘Ali> bin Nayf al-Shahu>d, Mawsu>’at al-Buhu>th wa al-Maqa>lat al-‘Ilmiyyah (T.Tm: T.Pn, T.Th),
2.
21
Abu Su’ud, Islamologi (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2003), 190.
22
Firdaus, “Meretas Jejak Sufisme Di Nusantara”, Al-Adyan, Volume 13, Nomor 1, (Juli-
Desember, 2018), 306-320. Lihat juga: Http://Ejournal.Radenintan.Ac.Id/Index.Php/Aladyan
11

corak pemikiran syekh Ibnu ‘Arabi> dan al-H{alla>j, argumen tersebut diperkuat

dengan karya-karya ulama tersebut, seperti puisi sastra yang di tulis oleh

Hamzah Fansu>ri>, beliau menuangkan pengalaman-pengalaman spritualnya dalam

sudut pandang yang mencoba untuk memahami wujud tuhan secara

komperhensif. Bahkan tak jarang pemikiran mereka tentang wuju>diyyah banyak

dicap sebagai kafir, zindiq, sesat, dan kecaman lainnya. Bentuk pengalaman

spiritual seorang praktisi tasawuf mempunyai keidentikan dengan praktisi

sebelumnya, yang memiliki metode yang sama, terlebih ketika ajaran pendahulu

benar-benar diamalkan oleh generasi selanjutnya, tentunya pengalaman yang

diperoleh oleh generasi selanjutnya tak jauh berbeda dengan pandahulunya.

Kemudian, kesalahan pemahaman dan anggapan penyimpangan tentang

konsep wuju>diyyah dalam ajaran tokoh-tokoh sufi, merupakan bukti kedangkalan

rasio manusia untuk menjelaskan dan memahami intuisi yang sesungguhnya

dirasakan sufi, konsekuensinya seolah para sufi tidak memahami aspek atau sisi

keTuhanan dan begitusaja menerjang entitas Tuhan dengan menyamakan dengan

makhluk-Nya,23 seperti penyerupaan atau penggambaran Tuhan dengan nu>r

(cahaya). Disebutkan dalam ayat al-Qur’a>n yang memberikan gambaran entitas

Tuhan yang tidak tertembus apapun:

‫ليس كمثله شيء‬


“Dia (Allah) tidak menyerupai sesuatu apapun dari makhluk-Nya.” (QS al-
Shu>ra> : 11)

23
Rosihon Anwar, Akhlaq Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia, 2010), 341.
12

Dalam perspektif al-Fana>ri>, pembahasan tentang hakikat wujud al-h}aqq

hanya menyangkut wilayah irt}iba>t} (hubungan) antara al-h}aqq dengan makhluk-

Nya, tidak masuk pada dimensi “huwa”,24 artinya ungkapan tentang hakikat al-

h}aqq hanya sebatas simbolik esoteris yang masih dapat ditangkap oleh rasio

manusia.25 Namun begitu, perspektif penulis tetap saja menganggap sidikit,

tingakat rasionalitas manusia yang dapat memahami ungkapan tersebut, tanpa

keluar dari koridor makna yang diinginkan.

Mengutip kalimat dalam buku Izutsu:

“Hakikat yang disebut “esensi pada tingkat ketunggalan” (al-dza>t al-


ah}adiyyah) pada jati diri-Nya yang tidak lain adalah wujud murni dan
sederhana sejauh Ia disebut wujud. Ia tidak terikat dengan syarat tak-
tertentu atau tertentu, karena Ia sendiri terlalu kudus untuk diberi sifat atau
nama apapun. Ia tidak memiliki kualitas, batasan; tidak ada sedikitpun
bayang-bayang kemajmukan di dalam-Nya.”26
Kutipan di atas menginterpretasikan bahwa onologi Tuhan tak pernah

dapat dicapai, dan selalu menjadi misteri yang tak mungkin dipecahkan, menjadi

tanda tanya besar yang tak pernah terjawab.27 Dalam hal ini, syekh al-Qushayri>

mengungkapkan bahwa, indra penglihatan dan asumsi-asumsi yang muncul

dalam diri manusia tidak akan pernah dapat menjangkau (baca: sebanding)

dengan Allah SWT, keluhuran Allah SWT tanpa bisa dicapai atau diraih oleh
24
Dimensi “huwa” adalah dimensi yang tidak dapat di jangkau dengan identifikasi apapun
(absolut), sehingga tidak dimungkinkan untuk menguak identitas allah SWT pada tingkat yang
paling tinggi. Lihat: Muhammad ibnu H{amzah Al-Fana>ri>, Mis}ba>h} al-Uns bayna al-Ma’qu>l wa al-
Mashhu>d (I<ra>n: Intisha>ra>t Mawla>, 1374 H), 44.
25
Oman Fathurrahman, Ith}a>f al-Dhaki>: Tafsir Wahdatul Wujud Bagi Muslim Nusantara (Jakarta:
Mizan, 2012), 182. Dalam buku tersebut, Omar mengulas salah satu kitab karya Ibrahi>m ibnu
H{asan al-Ku>ra>ni , dengan judul asli Ith}a>f al-Dakhi> bi Sharkh al-Tuh}fah al-Mursalat Ila> al-Nabi>
Salla> Alla>h ‘Alayh wa Salla>m.
26
Toshihiko Izutsu, SUFISME...,26-27.
27
Ibid.,24 dan 29.
Dalam pembahasan ini, berkisar pada aspek ontologi Tuhan yang Esa (al-Ah}ad) sebagai yang
mutlak dan tetap pada kemutlakan-Nya.
13

apapun, serta kehadiran-Nya tanpa butuh proses berpindah dari satu tempat ke

tempat yang lain.28 Sehingga pembacaan rasio orientalis terkhusus menegnai

konsep wuju>diyyah seringkali menyudutkan ajaran dan pengalaman intuisi para

tokoh sufi, sebagai imbasnya para tokoh sufi banyak yang dijustifikasi sesat dan

beraliran pantheisme. Untuk itu perlu adanya klarifikasi tentang pembenaran

hasil penelitian orientalis tentang kesesatan-kesesatan tokoh-tokoh sufi.

Selain tokoh sufi Nusantara diatas, yakni Shaykh Hamzah Fansu>ri>,

Nu>ruddi>n al-Ra>ni>ri>, Shamsuddi>n al-Sumatra>ni>, ‘Abdur-Ra’u>f al-Sinki>li yang

telah mengungkap konsep wuju>diyyah Tuhan dalam ajaran Tasawufnya, KH.

Achmad Asro>ri al-Ish}a>qi> yang selanjutnya disebut al-Ish}aq> i> seorang mursyid

tarekat al-Qa>diriyyah wa al-Naqshabandiyyah al-‘Uthma>niyyah, dalam kitab al-

Muntakhaba>t fi> Ra>bit{ah al-Qalbiyyah wa S{ilat al-Ru>hiyyah juga menyinggung

aspek wuju>diyyah tersebut, al-Ish}aq> i> berpendapat bahwa al-wuju>d itu dibedakan

menjadi 2 macam, al-wuju>d al-haqi>qi> dan al-wuju>d al-maja>zi>. al-Wuju>d al-haqi>qi>

adalah eksistensi Allah SWT pada dimensi kemutlakannya, sedang selain Allah

SWT adalah bentuk manifestasi dari tajalli> Allah SWT (al-wuju>d al-maja>zi>).

Kemudian al-Ish}a>qi> juga mebedakan antara makna al-wuju>d dan al-kawn, al-

wa>h}id dan al-ah}ad.29

Al-Ish}aq> i> adalah pendiri Pondok Pesantren As-Salafi Al-Fithrah Surabaya,

sekaligus pendiri jamaah al-Khidmah, dengan konsep ‘amaliyyah majelis dzikir

dan mawlid al-rasu>l SAW yang telah menyebar luas, dan diikuti oleh beribu-ribu
28
Abu> al-Qasi>m ‘Abdul Kari>m bin Hawa>zi>n, al-Risa>lah al-Qushayriyyah...,18.
29
Achmad Asrori al-Ish}a>qi, al-Muntakhaba>t fi> Ra>bit{ah al-Qolbiyyah wa S{ilah al-Ru>hiyyah, Cet.
3, Juz 1 (Surabaya: Al Wafa, 2016), 177.
14

jamaah yang tersebat di seluruh Indonesia, bahkan ajaran-ajarannya sudah

menyebar ke kancah Internasional. Al-Ish}aq> i> dikenal sebagai salah satu pengamal

ajaran Tasawuf (su>fi>) di Nusantara, yang kental akan dimensi spiritual. al-Ish}aq> i>

juga dikenal memiliki akhlak mulia sebagaimana akhlak yang dimiliki oleh

Rasulullah SAW dan sufi-sufi pada umumnya. Salah satu masterpiece beliau

adalah kitab al-Muntakhaba>t fi> Ra>bit{ah al-Qalbiyyah wa S{ilat al-Ru>hiyyah yang

berisikan pokok-pokok ajaran dalam Tasawuf dan Tarekat. Ajaran-ajaran al-

Ish}aq> i> dapat dilihat dari praktik-praktik tazkiyah al-nufu>s (penyucian hati)

berupa dzkir yang diamalkan dalam keseharian, wirid-wirid, majelis khus}u>s}i>,

majelis Haul, salat malam dan lain sebagainya.30

Tak hanya sebatas itu, al-Ish}a>qi> di dalam pandangan para akademisi telah

membuka ruang penelitian yang bergitu luas, terkait pemikiran-pemikiran beliau,

seperti penemuan dari Abdul Kadir Riyadi, salah seorang pengakaji Tasawuf,

yang menyimpulkan pemikiran al-Ish}a>qi sebagai tokoh sufi-filusuf.31 Untuk itu,

penulis tertarik untuk lebih meneliti dan mendalami konsep pemikiran beliau

tentang wuju>diyyah Tuhan tersebut yang penulis anggap unik, untuk

mengungkap bagaimana keistimewaan beliau dalam mengungkap hal yang

bersifat multidimensi, tanpa menerjang entitas wuju>d Tuhan, dan tentunya

menggali aspek pemikiran filusuf dari al-Ish}a>qi>. Selain juga untuk

membandingkan konsep wuju>diyyah tersebut yang juga banyak diungkap praktisi

30
Muhammad Musyafa’, RELEVANSI NILAI-NILAI AL TARIQAH...,12.
31
Ainul yaqin, “Koresponensi Manusia dan Kosmos: Studi Komparatif Pemikiran Ibnu ‘Arabi>
dan KH. Achmad Asro>ri al-Ish}a>qi>” (“Skripsi”--STAI Al FITHRAH, Surabaya, 2020), 11.
15

sufi lainnya, akan tetapi perbandingan semacam ini penulis kategorikan sebagai

bonus yang otomatis akan diperoleh setelah selesainya penelitian.

Berangkat dari latar belakang di atas, penulis menyusun judul penelitian

risalah “KONSEP WUJU>D


< IYYAH PERSPEKTIF KH. ACHMAD ASRO<RI AL-

ISH{A<QI< DALAM KITAB AL-MUNTAKHABA<T”.

B. Identifikasi dan Batasan Masalah

Berlandaskan dari latar belakang di atas, penulis mengidentifikasi

permasalahan yang muncul sebagai berikut:

1. Manusia dan berbagai macam problematika di era disrupsi, serta

relevansinya dengan posisi manusia sekaligus hamba yang wajib mengetahui

dan mengenal Tuhan.

2. Manusia dan dominasi sikap hedonis, materialis, serta imbasnya terhadap

kedekatan manusia dengan Tuhan.

3. Potensi internal manusia (akal dan intuisi) sebagai media pendakian untuk

mencapai makrifat kepada Allah SWT.

4. Polemik konsep ajaran wuju>diyyah Tuhan dikalangan ulama. Serta polemik

tersebut yang merambah pada pengikut-pengikutnya dan berujung pada

sikap fanatisme, dan justifikasi kafir kepada orang lain yang tidak

sependapat dengan mereka.

5. Pembahasan mengenai dunia teologi metafisik yang identik dan kental

dengan pemikiran filsafat.


16

6. Bentuk corak pemikiran tasawuf KH. Achmad Asro>ri al-Ish}a>qi> dalam kitab

al-Muntakhaba>t fi> Ra>bit{ah al-Qalbiyyah wa S{ilat al-Ru>hiyyah yang di kenal

sebagai tokoh praktisi dalam tasawuf.

7. Pemikiran KH. Achmad Asro>ri al-Ish}a>qi> dalam kitab al-Muntakhaba>t fi>

Ra>bit{ah al-Qalbiyyah wa S{ilat al-Ru>hiyyah yang mengungkap konsep

wuju>diyyah Tuhan.

Untuk mengikat pembahasan risalah ini, agar tidak meluas, dan tetap fokus

serta terarah, maka dari berbagai identifikasi masalah di atas, penulis

memberikan batasan permasalahan sebagai berikut:

1. Mengungkap dan memperdalam pemikiran tasawuf KH. Achmad Asrori al-

Ish}a>qi> dalam kitab al-Muntakhaba>t fi> Ra>bit{ah al-Qalbiyyah wa S{ilat al-

Ru>hiyyah.

2. Menelusuri dan menggali konsep pemikiran KH. Achmad Asrori al-Ish}a>qi>

dalam kitab al-Muntakhaba>t tentang konsep wuju>diyyah.

C. Rumusan Masalah

Rumusan masalah yang menjadi topik utama dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimanakah corak pemikiran tasawuf KH. Achmad Asro>ri al-Ish}a>qi>?

2. Bagaimanakah konsep wuju>diyyah dalam tasawuf KH. Achmad Asro>ri al-

Ish}a>qi> dalam kitab al-Muntakhaba>t?

D. Kajian Pustaka

Kajian pustaka merupakan salah satu kajian yang dilakukan untuk dapat

mempertajam sebuah teori dan metode penelitian, serta dilakukan untuk


17

menemukan penelitian-penelitian yang sebelumnya telah dilakukan.32 Kajian

pustaka juga dilakukan untuk meminimalisir dan mencegah unsur plagiasi dalam

sebuah penelitian.

Sejauh penelusuran penulis, belum ada penelitian yang sama persis dengan

probelmatika yang diangkat dalam penelitian ini, meskipun terdapat beberapa

literatur yang juga mengkaji pemikiran KH. Achmad Asro>ri al-Ish}a>qi>, serta

literatur lain yang mengkaji ajaran wuju>diyyah dari tokoh sufi yang lain. Berikut

Beberapa penelitian yang identik dan relevan dengan judul skripsi “KONSEP

WUJU><DIYYAH: PERSPEKTIF KH. ACHMAD ASRO<RI AL-ISH{A<QI< DALAM

KITAB AL-MUNTAKHABA<T” diantaranya adalah:

1. Skripsi yang ditulis oleh Ainul Yaqin (TAKHAS{S{U<S{ TAS}AWU<F DAN

T{ARI<QAH Ma’had Aly Al-Fithrah, Surabaya) dengan judul “Koresponensi

Manusia dan Kosmos (Studi Komparatif Pemikiran Ibnu ‘Arabi> dan KH.

Achmad Asro>ri al-Ish}a>qi>). Diantara pembahasan dan temuan dalam

penelitian Ainul Yaqin adalah:

a. Korenspondensi (keterkaitan33) manusia dan kosmos (alam semesta)

perpektif Ibnu ‘Arabi> dan KH. Achmad Asrori al-Ish}aq> i>.

b. Perbedan dan persamaan pemikiran Ibnu ‘Arabi> dan KH. Achmad Asrori

Al-Ish}aq> i> tentang korespondensi manusia dan kosmos.

32
Sudarwan Danim, Menjadi Peneliti Kualitatif, Cet. 1 (Bandung: Pustaka Pelajar, 2002), 105.
33
KBBI V1.1 (offline). Korespondensi secara istilah dimaknai sebagai istilah umum yang
merujuk pada aktivitas penyampaian maksud melalui surat-menyurat dari satu pihak ke pihak
yang lain, dalam hal ini adalah manusia, alam semesta dan tuhan. Http://.id.m.wikipedia.org,
diakses pada 12 Agustus 2010.
18

Secara garis besar, penelitian ini menggambarkan hubungan segi tiga,

atara manusia sebagai mikrokosmos dan alam semstea sebagai

makrokosmos, yang kemudian keduanya mengerucut pada manifestasi

Tuhan.34 Sedang metodologi penelitian yang digunakan dalam penulisan

Skripsi Ainul Yaqin menggunakan metode penelitian library research, yang

berfokus pada komparasi pemikiran antara dua tokoh. Adapun perbedaan

dengan penelitian ini adalah titik penekanan dari objek kajiannya, Skripsi ini

menekankan pada aspek manusia apakah menjadi makhluk mikro kosmos

atau mikro kosmos. Sedangkan panelitian wuju>diyyah ini, lebih menitik

beratkan pada konsep eksistensi Tuhan.

2. Jurnal, ditulis oleh Syamsun Na’im (Fakultas Tarbiyah Dan Ilmu Keguruan

IAIN Tulungagung) dengan judul yang dianngkat adalah “HAMZAH

FANSURI: PELOPOR TASAWUF WUJU><DIYYAH DAN

PENGARUHNYA HINGGA KINI DI NUSANTARA”.

Tulisan ini mengkaji tentang sisi history Tasawuf yang berkembang

dan menyebar di Nusantara. Terutama tokoh Hamzah Fansuri yang dianggap

sebagai pelopor ajaran wuju>diyyah (panteisme) di Nusantara, serta sebagian

polemik dan problem tentang jaran tersebut.35 Tulisan ini sekedar

menggambarkan ajaran wuju>diyyah yang dibawa oleh syekh Hamzah Fansuri

secara umum, atau bahkan tidak menyusun konsep dalam ajaran wuju>diyyah

34
Ainul yaqin, “Koresponensi Manusia dan Kosmos”...,120-121.
35
Syamsun Na’im, “HAMZAH FANSURI: Pelopor Tasawuf Wuju>diyyah Dan Pengaruhnya
Hingga Kini Di Nusantara”, Episteme, Vol.12, No.1 (Juni, 2017), 284.
19

Hamzah Fansuri. Sehingga banyak sekali perbedaan dengan penelitian ini.

Bahkan muncul justifikasi bahwa Hamzah Fansuri masuk ajaran panteisme.

Oleh karena itu, penulis dalam kajian ini cenderung menolak justifikasi

pemikiran tersebut, akan tetapi melalui objek tokoh yang berbeda.

3. Jurnal, yang ditulis oleh Firdaus dari Lampung (UIN Raden Intan Lampung)

dengan judul penelitian yang diangakat “MERETAS JEJAK SUFISME DI

NUSANTARA”.

Dalam tulisan ini dikaji tokoh-tokoh yang menyebarkan tasawuf di

Nusantara, mulai dari Hamzah Fansuri>, Nu>ruddi>n al-Ra>niri> dan seterusya,

termasuk di dalamnya terdapat penelitian tentang tokoh-tokoh tersebut yang

menyinggung konsep wuju>diyyah.36 Penulis dalam penelitiannya tampak

cenderung menggunakan metode analisa data yang meghasilkan simbol-

simbol pemikiran atas tokoh-tokoh yang diangkat dalam tulisan, akan tetapi

tidak sampai terkonseptualkan.37

4. Skripsi yang ditulis oleh Endah Triyandani (Program Studi Aqidah dan

Filsafat Islam Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan

Kalijaga, Jogjakarta 2017) dengan judul “AJARAN TASAWUF HAMZAH

FANSURI<: Studi Atas Puisi-Puisi Sufistik Hamzah Fansuri>”. Dalam tulisan

ini diungkap beberapa penemuan, diantaranya:

36
Firdaus, “Meretas Jejak Sufisme Di Nusantara”...,305-330.
37
Paradikma pembaca, setelah membaca tulisan dan mneganalisa uraian masalah yang dikaji oleh
peneliti.
20

a. Tentang makna satra yang dikarang oleh para sufi, serta mendalami

makna sastra sufistik.

b. Mengungkap doktrin ajaran wuju>diyyah dalam puisi Hamzah Fansuri.38

Dalam tulisan Endah Triyandani, kesimpulan penelitian tersebut hanya

mengungkapkan bahwa dalam puisi dan karya satra Hamzah Fansuri

terkandung ajaran wuju>diyyah.

5. Skripsi yang ditulis oleh Elyasin Yusuf (UIN Sunan Ampel Surabaya, 2016),

dengan judul penelitian “Epistemologi Tasawuf Dalam Kitab al-

Muntakhaba>t fi> Ra>bit{ah al-Qalbiyyah wa S{ilat al-Ru>hiyyah” dalam tulisan

ini, diantara hasil penelitiannya adalah:

a. Pemikiran dari al-Ish}aq> i> dalam Kitab al-Muntakhaba>t fi> Ra>bit{ah al-

Qalbiyyah wa S{ilah al-Ru>hiyyah dapat dikatan sebagai sufi yang

memiliki pemikiran filsafat.

b. Konsep dualisme yang terdapat dalam al-Muntakhaba>t merupakan

penggabungan visi rasio dan visi intuitif.39

Hasil penelusuran karya ilmiyah dan literatur diatas, tidak ada satupun

karya yang mengangkat penelitian seperti halnya objek dalam penelitian ini.

Bahkan kesimpulan yang dapat ditangkap dari penelitian diatas masih dapat

dikatakan ambigu dalam penetapan apakah konsep wuju>diyyah –secara ilmiyah

adalah eksistensialisme- tersebut bersifat dualisme murni, atau monisme,


38
Endah Triyandani, “Ajaran Tasawuf Hamzah Fansuri>: Studi Atas Puisi-Pusi Sufistik Hamzah
Fansuri>” (“Skripsi”--UIN Sunan Klijaga, Jogjakarta, 2017), 7-8.
39
Ainul yaqin, Korespondensi...,20-21.
21

sehingga penyajian peneitian di atas dapat dikatakan belum sempurna. Elyasin

Yusuf dalam penelitiannya juga lebih cenderung menyasar objek dualisme pada

ruang intuisi dan rasio, dan minim menyinggung aspek dualisme pada wilayah

eksistensi Tuhan, atau lebih jauh lagi menyinggung derajat-derajat eksistensi

tersebut –dalam istilah tasawuf biasa disebut dengan proses tajalli> Allah SWT-.

Dan meskipun ada beberapa penelitian yang menyajikan objek wuju>diyyah,

akan tetapi diangkat dalam prespektif yang berbeda, dan karya lainnya

mengangkat perspektif yang sama, akan tetapi objek penelitian tersebut yang

justru berbeda dengan penelitian ini.

E. Tujuan penulisan

Diantara tujuan penrlitian yang hendak dicapai penulis adalah :

1. Menemukan konsep wuju>diyyah atau konsep keTuhanan dalam ajaran

tasawuf KH. Achmad Asro>ri al-Ish}a>qi>.

2. Menemukan corak pemikiran tasawuf KH. Achmad Asro>ri al-Ish}a>qi> dalam

kitab al-Muntakhaba>t.

F. Kegunaan Hasil Penelitian

Dengan selesainya tulisan ini, penulis mempunyai harapan agar tulisan ini

dapat memberikan manfaat dan kegunaan. Diantar manfaat dan kegunaan secara

teoritis dan praktis penelitian ini adalah:

1. Bagi Penulis

Secara teoritis, penulisan Risalah Akhir ini dapat menjadi wacana

untuk memperluas khazanah keilmuan yang dapat mendorong untuk


22

senantiasa memperbaiki diri dalam mengarungi kehidupan penulis. Terlebih

dapat menambah dan mengokohkan kecintaan penulis terhadap tokoh kajian.

Sedangkan sisi praktisnya, tulisan ini setidaknya dapat menjadi

pemantik ghi>rah keilmuan untuk memahami pentingnya mengenal Allah

SWT dan senantiasa bertaqarrub melalui berbagai macam media (wa>s}ilah),

dan sebagai wujud rasa syukur penulis yang telah diberikan kenikmatan akal

pikiran.

2. Bagi Lembaga

Secara teoritis penulisan Risalah Akhir ini setidaknya dapat menjadi

dokumentasi bagi lembaga terkait dan dapat menjadi arsip penelitian.

Sedangkan sisi praktisnya, penulisan Risalah Akhir ini diharapkan dapat

menjadi acuan, panduan atau pedoman penulisan bagi generasi selanjutnya.

Lebih-lebih dapat membuka celah ruang bagi generasi berikutnya untuk

mengembangkan penelitian baru yang lebih komperhensif dan aktual.

3. Manfaat Umum

a. Memberikan gambaran corak pemikiran tasawuf KH. Achmad Asrori al-

Ish}a>qi dalam kitab al-Muntakhaba>t, terkhusus dalam bahasan ontologi

keTuhanan (wuju>diyyah).

b. Memberikan kontribusi dan membuka wacana pemikiran filosofis baru

bagi para pegiat dan pemerhati ilmu di bidang akademik, khusunya

tentang konsep wuju>diyyah (relasi manusia dan Tuhan) yang di teropong


23

menggunakan perspektif KH. Achmad Asrori al-Ish}a>qi> dalam kitab al-

Muntakhaba>t.

c. Membantu mewujudkan generasi keluarga, masyarakat yang s}a>lih} dan

s}a>lih}ah}, memalui jalur amaliyah dan keilmuan yang telah diwariskan

oleh para salaf al-s}a>lih}.

G. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Ditinjau dari segi metodologi, penelitian ini merupakan jenis penelitian

deskriptif dengan pendekatan kualitatif, yakni penelitian yang menekankan

pada aspek pengukuran data. Secara singkat penelitian kualitatif juga dapat

dimaknai sebagai penelitian dengan pengumpulan data pada latar belakang

kajian ilmiyah, dengan mengunakan metode atau cara alami, yang dilakukan

oleh seorang peneliti karena ketertarikannya dengan objek secara alami.40

Penelitian ini juga bercorak penelitian kepustakaan (library reseach)

karena suber data yang diperoleh dari buku, baik al-Qur’a>n, hadith, kamus

maupun karya dari al-Ish}aq> i> sendiri. Walaupun terdapat data mioritas yang

diperoleh dari hasil wawancara. Untuk menghasilkan penelitian yang

objektif, pendekatan yang digun\akan diantaranya adalah:

a. Pendekatan history, yakni menelusuri histori rekam jejak dari objek

penelitian yang dalam hal ini adalah KH. Achmad Asro>ri al-Ish}aq> i>,

terkait sosial, budaya, keilmuan.

40
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, cet. 27 (Bandung: PT. Remaja Rosda
Karya, 2010), 5.
24

b. Pendekatan teologi-filosofis, pendekata teologi berfungsi sebagai acuan

yang terus menggiring pembahasan terhadap ajaran-ajaran pokok dalam

islam, terutama dalam menentukan titik pemikiran KH. Achmad Asro>ri

al-Ish}aq> i> tentang keTuhanan, sedangkan pendekatan filosofis

dimaksudkan untuk menggali objek penelitian, yakni data yang menjadi

gambaran pemikiran KH. Achmad Asro>ri al-Ish}a>qi> tentang konsep

wuju>diyyah, sehingga dapat digali secara maksimal dan mendalam,

berkaitan dengan inti, dibalik sesuatu yang tampak secara dhohir.41

2. Sumber Data

Dalam sebuah penelitian, baik kualitatif ataupun kuantitatif tentunya

membutuhkan sumber data sebagai bahan untuk diolah. Sumber data yang

diperoleh dalam penelitian ini dapat di klasifikasikan menjadi dua kategori,

yakni sumber data primer atau data utama yang menjadi acuan dan

besinggungan langsung dengan penelitian. Jika sebuah penelitian

bersinggungan dengan seorang tokoh, maka sumber data yang relevan dan

sekaligus menjadi data primer adalah merujuk langsung pada karya tokoh

tersebut. Sedangkan data yang kedua adalah data sekunder, atau bisa

dikatakan pendukung data primer, meliputi kitab tokoh objek kajian yang

41
Toni Pransiska, “Meneropong Wajah Studi Islam Dalam Kacamata Filsafat: Sebuah
Pendekatan Alternatif”, Intizar, Volume 23, No.1 (2017), 167-168. Lihat juga:
Http://jurnal.radenfatah.ac.id/index.php/intizar
25

lain, ataupun kitab tokoh lain yang masih relevan dan berkaitan dengan

pembahasan.42

a. Sumber Data Primer

Berangkat dari objek penelitian yang bersinggungan langsung

dengan seorang tokoh, maka dalam mengumpulkan, merangkum data

yang urgen dalam penelitian ini bersumber langsung dari kitab al-

Muntakhaba>t sebagai magnum-opus KH. Achmad Asro>ri al-Ish}aq> i>.

b. Sumber Data Sekunder

Sumber data sekunder dalam penelitian ini adalah karya KH.

Achmad Asro>ri al-Ish}a>qi> yang lain, termasuk ceramah dan pengajian

beliau yang telah terdokumentasikan, bahkan penulis juga melakukan

wawancara dengan sejumlah tokoh yang sempat berinteraksi langsung

dengan KH. Achmad Asro>ri al-Ish}aq> i>.

Peneliti juga mengambil sumber dari tokoh-tokoh tasawuf dan

para peneliti yang juga membahas menganai konsep yang sama dengan

tokoh utama dalam penelitian ini. Seperti diantaranya al-maktuba>h

Syekh al-Sirhindi>, mis}ba>h} al-uns karya Syekh al-Fana>ri>, dan Sufisme:

Samudra Makrifat Ibnu ‘Arabi> karya Toshihiko Izutsu, fus{u>s{ al-h{ikam

dan futu>h{at> al-makiyya>h karya syekh Ibnu ‘Arabi>, Koresponensi

Manusia dan Kosmos: Studi Komparatif Pemikiran Ibnu ‘Arabi> dan KH.

Achmad Asro>ri al-Ish}aq> i> dalam SKRIPSI karya Ainul yaqin.

42
Kaelan, Metode Penelitian Agama Kualitatif Interdisipliner (Yogyakarta: PARADIGMA,
2010), 7.
26

3. Teknik Pengumpulan Data

Kaitannya dengan pengumpulan data penelitian yang dilakukan,

penulis dalam hal ini menggunakan teknik kepustakaan dan dokumentasi,

dengan melihat sumber-sumber data secara langsung melalui media berupa

arsip, catatan-catan, jurnal, buku dan semacamnya secara

simultan/gabungan. Dimulai dengan mengumpulkan data primer dalam kitab

al-Muntakhaba>t karya KH. Achmad Asro>ri al-Ish}aq> i> dan selanjutnya

mengambil dan mengumpulkan berbagai sumber data pendukung (sekunder)

sebagai pelengkap data primer.

4. Teknik Analisis Data

Metode kualitatif secara sederhana dapat dimaknai mengolah data

yang ada sehingga menjadi temuan baru.43 Mempertimbangkan rumusan dan

tujuan penelitian diatas, yang orientasinya adalah kualitatif, maka penulis

merumuskan teknik dalam menganalisis data yang ada sebagai berikut:

Metode analisa induktif, yakni metode yang dilakukan dengan

menyimpulkan data-data yang telah terkumpul sehingga dapat

menggambarkan kesimpulan penelitian, yang dalam hal ini adalah pemikiran

KH. Achmad Asrori al-Ish}aq> i> secara umum. Kemudian mencari dan

mengerucutkan (menentukan) ciri khas pemikiran KH. Achmad Asrori al-

Ish}aq> i> dalam konsep wuju>diyyah tersebut. Metode semacam ini lebih dapat

menggambarkan kanyataan yang lebih kompleks yang terdapat dalam data.

43
J. R. Raco, Metode Penelitian Kualitatif : Jenis, Karakteristik Dan Keunggulannya (Jakarta: PT
Gamedia Widiasarana Indonesia, 2010), 120-121.
27

Secara luas, metode semacam ini dapat mengantarkan pada kesimpulan

keidentikan pemikiran seseorang, walaupun masih bersifat general.

Menurut Raco, metode induktif merupakan ciri khas bentuk penelitian

kualitatif, metode induktif dimulai dengan mengobservasi objek penelitian

secara menyeluruh dan rinci, kemudian dilanjutkan dengan menyusun data

dan ide-ide pokok secara abstrak dan general sehingga gambaran atau simbol

objek penelitian akan terbentuk secara alami melalui data yang dianalisis.

Metode induktif juga bermula dari fakta-fakta yang sunggug terjadi, dan

bukan sekedar asumsi atau hipotesis.44

Kemudian Teknik content analysis, Teknik semacam ini dapat

diartikan sebagai proses penggabaran objek penelitian yang sebelumnya

masih samar sehingga ditemukan titik terang.45 Secara sederhana, bentuk

penerapan teknik content analysis adalah fokus dalam mengambil berbagai

macam data dalam kitab al-Muntakhaba>t karya KH. Achmad Asro>ri al-

Ish}aq> i> yang relevan dengan objek penelitian, kemudian merangkum unit data

yang memiliki tema yang sama , sehingga melalui tahapan-tahapan tersebut

akan menampakkan gambaran konsep yang dipakai oleh KH. Achmad Asrori

al-Ish}aq> i dalam menjelaskan wuju>diyyah.

Menurut Weber, content analysis merupakan metodologi yang

menggunakan perangkat (prosedur) untuk menganalisa data dari dokumen

44
Ibid.,59.
45
Wayan Suwendra, Metodologi Penelitian Kualitatif: Dalam Ilmu Sosial, Pendidikan,
Kebudayaan Dan Keagamaan (Bandung: Nilacakra, 2018), 80.
28

dan menarik kepada kesimpulan yang benar. Sedang Hostli mengungkapkan

bahwa content analysis adalah teknik-teknik atau cara yang diterapkan

melalui usaha menggali karakteristik data yang di lakukan secara objektif,

sistematis, untuk menarik data tersebut menjadi sebuah kesimpulan.46

Secara sistematis, teknik analisa tersebut meliputi:

Pertama: Reduksi data, yakni mengumpulkan, merangkum data

tersebut dan memilih data yang urgen. Kemudian mengesampingkan data

yang tidak diperlukan dalam penelitian. Dengan demikian, data yang telah

memalui proses reduksi akan dapat ditangkap secara jelas serta

mempermudah peneliti untuk melanjutkan penelitian pada tahap selanjtnya.

Kedua: Penyajian data, dalam penelitian kualitatif, yakni tahap

menampilkan data dengan mendeskripsikan data hasil reduksi secara singkat,

padat dan jelas.

Ketiga: Verifikasi, atau dapat dikatakan sebagai pengujian kavalidan

penelitian. Dalam penelitian kualitatif, tahap verifikasi akan menguji

kesimpulan data yang telah ditemukan yang sifatnya masih sementara,

sehingga dapat ditarik konklusi apakah kesimpulan tersebut berubah karena

tidak adanya bukti-bukti konkret yang mendukung atau justru sebaliknya,

yakni hasil atau konklusi penelitian memang relevan dan dapat

dipertanggungjawabkan. Seperti apa yang diungkapkan oleh Miles dan

Huberman.

46
Lexy J. Moleong, metodologi penelitian kualitatif...,163.
29

H. Sistematika Pembahasan

Agar penulisan Risalah ini berurutan dan tersusun dengan baik, sistematika

yang digunakan dalam penulisan Risalah ini terdiri dari 5 bab, yakni:

BAB I (pertama): Sebagai pengantar untuk masuk dalam sebuah

permasalalahan. Pada bab 1 ini memuat tentang: (1) Latar belakang penelitian.

(2) Identifikasi dan batasan masalah. (3) Rumusan masalah yang diangkat dalam

penelitian. (4) Kajian pustaka. (5) Tujuan penelitian. (6) Manfaat atau kegunaan

penelitian. (7) Metode yang digunakan dalam penelitian, meliputi tentang: Jenis

penelitian, Sumber data yang diperoleh, Teknik pengumpulan data, Teknik

analisis data. (8) Sistematika penulisan.

BAB II (dua): Berisi tentang landasan teori, sebagai pemandu berfikir

dalam pembahasan-pembahasan di bab selanjutnya. Serta membentuk pandangan

problematika yang menjadi objek penelitian sehingga dapat memprediksi

jawaban atas masalah penelitian. Dalam hal ini adalah menyangkut tentang

Artikulasi wuju>diyyah yang dikategorikan sebagai eksistensialisme, dilihat dari

sudut pandang orang-orang barat (orientalis) dan sudut pandang para tokoh sufi,

kemudian terdapat tokoh-tokoh yang identik dengan ajaran wuju>diyyah dan

macam-macam bentuk tajalli> atau manifestasi Tuhan. Selain itu, menyinggung

juga mengenai pembahasan wah}dah al-wuju>d dan wah}dah al-shuhu>d.

BAB III (tiga): Mengungkapkan mengenai otobiografi KH. Achmad Asro>ri

al-Ish}aq> i> serta perjalan hidupnya. Kemudian dilanjutkan dengan mendeskripsikan

data yang telah terkumpul secara general, terkait tentang ungkapan yang
30

menyinggung data, sekaligus menjadi absraksi pemikiran tasawuf KH. Achmad

Asrori al-Ish}aq> i> mengenai konsep transenden (tanzi>h) dan imanen (tashbi>h) serta

konsep tajalli> perspektif al-Ish}aq> i>.

BAB IV (empat): Yang memuat analisis data, yakni mengungkap corak

pemikiran tasawuf KH. Achmad Asro>ri al-Ish}aq> i> dan konsep wuju>diyyah. Serta

posisi tasawuf al-Ish}a>qi> dalam tipologi tasawuf. Kemudian dilantkan dengan

pembahasan transenden dan imanen yang menjadi unsur pembentuk Wuju>diyyah.

BAB V (lima): Yakni penutup yang memuat rumusan kesimpulan

penenelitian, sebagai jawaban atas problematika penelitian yang diangkat, yakni

corak pemikiran tasawuf KH. Achmad Asro>ri al-Ish}aq> i> dalam kitab al-

Muntakhaba>t mengenai konsep (wuju>diyyah), disertai kritik dan saran.


BAB II

WUJU<DIYYAH DAN EKSISTENSIALISME

A. Wuju>diyyah (Eksistensialisme) dalam perspektif orientalis

Di tengah-tengah modernitas47 yang berkembang dengan cepat, tasawuf

menjadi keilmuan yang urgen untuk dipelajari dan praktekkan oleh masyarakat.

Kesengsaraan dan tandusnya nilai spiritualitas manusia dianggap sebagai

“sesuatu yang tercecer” dan manjamur disetiap elemen kehidupan. Seiring

berjalannya waktu, timbul degradasi moral yang tak terkendali. Pada era modern

ini, sulit pula menemukan ketentraman dan ketenangan hati sebagai bentuk rid}a

(kepuasan) atas segala sesuatu yang didapat, dan kesulitan itu merupakan

konsekuensi besar yang harus di derita oleh masyarakat modern. Sehingga pada

titik tertentu, manusia akan kembali mencari daya dukung dan kesegaran

spiritual sebagai upaya mencari ketenangan hati.48 Lebih jauh lagi, tasawuf juga

banyak ditarik kedalam ruang akademik, dan dikaji dengan berbagai perspektif

dan metode pendekatan. Pun realitanya tetap banyak sisi tasawuf yang tidak

dapat dijabarkan secara gamblang oleh para akademisi, terutama pembahasan

yang tergolong multi-dimensi dan paradoks.

Sehingga, tidak banyak tokoh akademisi yang mampu memberikan

artikulasi mengenai pembahasan terhadap objek yang bersifat paradoks tersebut,

seperti halnya pembahasan yang menyinggung dimensi transenden Tuhan. Selain


47
Dalam sudut pandang Nurcholish Madjid, era modern dianggap sebagai era teknokalisme,
dengan ditandai adanya eksploitasi besar-besaran serta gagalnya melakukan konservasi alam.
Sehingga terjadi kerusakan dan krisis pada lingkungan hidup, serta semakin buruknya kualitas
hidup manusia. Lihat: Khusnul Khotimah, “Interkoneksitas Dalam Ajaran Sosial Tasawuf Sunni
Dan Falsafi”, Jurnal Komunika, No. 1, Vol. 9 (Januari - Juni 2015), 37.
48
Ibid.

31
32

karena faktor licinnya bahasa yang digunakan oleh tokoh sufi, juga dipengaruhi

objek kajian yang menusuk pada wilayah non material (baca: non-indawi) yang

harus diungkapkan dan tersampaikan, dengan bahasa rasional serta mewakili

makna yang terkandung, dan tentunya tidak merobohkan konstruksi keTauhidan

dalam diri.49 Jangankan dalam pembahasan ontologi sebuah objek, dalam lingkup

pengantar untuk masuk pada objek tersebut, benih-benih pertikaian pemikiran

pada realitanya sudah banyak tersulut, seperti dalam kajian tentang ajaran

Wuju>diyyah yang menikung tajam pada wilayah ketuhanan.

Al-Bust}a>ni dalam kitab muh}it} al-muh}it} mengartikan bahwa Wuju>diyyah

merupakan bentuk “mas}dar sina>’iyyun”, yang istilahnya di sandarkan kepada

madzhab aliran filsafat –yakni aliran eksistensialisme-50 pendapat ini juga

dipertegas bahwa titik tolak pembahasan wuju>d merupakan akar dari diskursus

kalam dan filsafat islam yang lebih dikenal dengan madzhab existensialism.51

Aliran eksistensialisme murni yang berkembang dalam filsafat, muncul pada

permulaan abad 19, meskipun pada abad tersebut, eliran eksistensialisme masih

berbentuk embrio-embrio. Pada mulanya, manusia menciptakan (baca:

menjadikan akidah) apa yang disebut sebagai Tuhan yang esa, sebagai sumber

49
Toshihiko Izutsu, SUFISME...,xxiii.
50
Abdullah, “Hikmah al-Isyraqiyah: Menelaah Sisi Eksistensialisme Teosofi Transenden Mulla
Sadra”, Sulesana, No.2, Vol.7, (2012), 104.
51
Jadi, meskipun kata Wuju>diyyah merupakan bentuk lafad yang mushtaq (baca: derivasi) dari
wajada yang berbahasa arab, akan tetapi dalam terminologinya tidak demikian. Istilah
Wuju>diyyah dipakai untuk memaknai kata “Existentialism”. Redaksi asliya adalah:
ً‫ وأن اإلنسان يوجد فيه حرا‬، ‫ مذهب ف لسف ٌّي قائم على اعتبار أن الوجود ي ت قدم الماهية‬: .) ‫( مصدر صناع ٌّي‬.] ‫ [ و ج د‬: ‫وجودية‬
.‫ ي بِن ن فسه حسب إرادته ومشيئته وَيتار َلا َنوذج وجودﻩ‬،
Lihat: But}rus al-Bust}a>ni, Muh}it} Al-Muh}it}: Qamu>s ‘Asriyyu>n Mutawwalu>n li al-Lughah al-
‘Arabiyyah (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2009), 430.
33

munculnya segala sesuatu di alam semesta, Dia yang disebut sebagai Tuhan juga

bersifat transenden seta luhur, sebagaimana dijelaskan Wilhelm Schmidt dalam

buku The Origin of The Idea of God, dan dikutip pula oleh Karen Amrstrong.

Akan tetapi seiring dengan berjalannya waktu, Dia yang disebut sebagai

Tuhan perlahan memudar dan menjauh dari kesadaran manusia dan kemudian

menghilang, sehingga terjadi revolusi terhadap formulasi ilmu pengetahuan

manusia, terutama tentang Tuhan. Lantas manusia menjadi berprinsip “cogito

ergo sum” (aku berfikir, karena itu aka ada), prinsip ini mulai berkembang dan

menjamur dikalangan barat, yang diwakili oleh Rene Descartes, Ludwig

Feuerbach, Karl Mark, Charles Darwin dan Friedrich Nietzsche. Puncaknya,

ajaran ini mempunyai paradikma bahwa manusia memiliki kebebasan dalam

membangun dirinya dan model keberadaannya sesuai dengan kehendak dirinya,

yang kemudian lebih dikenal dengan prinsip serbuan untuk membunuh Tuhan.52

Selanjutnya, kajian madzhab eksistensi berkembang dan menekankan

bahwa eksistensi itu sendiri yang urgen, Sehingga versi pendapat semacam ini,

menempatkan manusia sebagai makhluk yang mempunyai adikodrati atas dirinya

sendiri.53 Akan tetapi paradikma tersebut berlawanan dengan term Wuju>diyyah

yang banyak di ungkapkan oleh para tokoh dalam islam. Kemunculan aliran

eksistensialisme juga, cenderung menentang rezim dan doktrin esensialisme dan

metafisikan tradisional, lebih jauh lagi aliran ini menolak segala macam betuk

52
Chafid Wahyudi, “Tuhan dan Perdebatan Eksistensiakisme”, Teosofi: Jurnal Tasawuf dan
Pemikiran Islam, No.2, Vol. 2, (2 Desember 2012), 370-372.
53
Alim Roswantoro, “EKSISTENSIALISME TEISTIK MUHAMMAD IQBAL”, Jurnal
Hermeneira, (2004), 6.
34

kolektivisme yang mengabaikan individualitas manusia. Pada rezim ini pula,

muncul semangat otonomi dan independensi manusia untuk lepas dari

cengkraman kekuasaan Tuhan, serta mengubur eksistensi Tuhan dalam realitas

pemikiran manusia –manusia menjadi “homo homoni deus” artinya berposisi

Tuhan, yang memiliki kebebasan dan otoritas berkehendak, meminjam istilah

Prof Naquib al-‘Attas –Manusia dituhankan dan Tuhan dimanusiakan-.54 Dunia

dalam pandangan ini bersifat independen dan abadi, artinya dunia dan apa yang

terbentang memiliki sistem swa-berada yang materinya berovolusi sesuai dengan

hukumnya sendiri.55

Jadi, secara universal aliran eksistensi dalam filsafat yang membahas

Tuhan dapat di kelompokkan menjadi 2 kelompok besar; yakni antara aliran yang

berujung teisme dan ateisme.56 Dalam perspektif teisme, konteks relasi manusia

dengan Tuhan –dipandang dari segi kuatitas- telah berkembang dan

menumbuhkan berbagaimacam teori, diantaranya adalah faham monisme,

dualisme, dan pluralisme. Monisme merupakan teori yang mempunyai

karakteristik kepercayaan bahwa Tuhan adalah sang pencipta yang bersifat

transenden dan absolut, serta menjadi substansi (satu-satunya) dari segala bentuk

ciptaan. Paham monisme secara tegas menolak kemungkinan pluralitas dari

54
Chafid Wahyudi, “Tuhan dan Perdebatan Eksistensiakisme”...,371-372.
55
Muhammad Naquib (Al-‘Attas), Prolegomena To The Metaphysics Of Islam: An Exposition Of
The Fundamental Element Of The Worldview Of Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), 155.
56
Chafid Wahyudi, “Tuhan dan Perdebatan Eksistensiakisme”...,378.
35

substansi. Jadi, setiap eksistensi yang tampak (ada), terletak dalam satu

substansi.57

Selanjutnya, peradaban barat senantiasa berubah dan berproses (baca:

menjadi), akan tetapi perkembangan tersebut semakin jauh dari kata being,

karena being dalam pemikiran barat tidak lain juga being-sedang dan

berproeses.58 Sehingga semakin berkembang, akan semakin banyak titik yang

tidak terpecahkan. Sebagai salah satu imbas dari semangat pemikiran filsafat

(baca: rasionalistik) yang berkembang dan menjamur di wilayah barat, mereka

melalui kajian dan pendalaman istilah dan pegalaman-intuisi “dhawq” dalam

kitab karya tokoh spiritual islam, yang akhirnya berujung pada kesimpulan ajaran

panteisme yang disematkan kepada tokoh islam tersebut.59 Salah satunya adalah

Frank Griffel dengan karyanya “al-Ghazali’s Philosophical Theology”, seorang

guru besar Islamic Studies di Yale Univercity, New Haven. Selanjutnya karya

tersebut dikaji dan diteliti oleh Riduwan sebagai bahan analisa perspektif

orientalis dalam melihat tokoh sufi islam. Singkatnya al-Ghazali> di mata Frank

Griffel merupakan sosok yang inkonsisten dan perfaham panteis, justifikasi itu

disebabkan kedangkalan kajian mengenai pembahasan fana>’ yang dimaknai

57
Rizal Mustansyir, “Aliran-Aliran Metafisika: Studi Kritis Filsafat Ilmu”, Jurnal Filsafat, (Juli
1997), 7.
58
Ibid.,81.
59
Kelompok semacam ini populer disebut sebagai kelompok jajaran orientalis, yang berkedok
sebagai pengkaji islam, akan tetapi mereka mempunyai misi untuk meruntuhkan bangunan akidah
umat islam. Dengan menanamkan kebingungan intelektual serta mendoktrin pemikiran umat
islam untuk saling menyalahkan sesama. Khususnya kajian yang berpusat pada ajaran tasawuf.
Metode yang mereka gunakan utamanya menggunakan rasional filosofis, yang cenderung pada
pengalaman indrawi, visi empiris kum logis, serta menolak peranan wahyu dan intuisi. Sehingga
kesimpulan kajian mereka terkesan datar (baca: naturalistik) dan rasionla yang mencopot arti
spiritual, mereduksi makna asal dan fokus hanya pada kodrat alamiah. Lihat: Muh}ammad Naquib
(Al-‘At}t}a>s), Prolegomena To The Metaphysics Of Islam...,154-155.
36

berdasarkan tingkat rasionalitas.60 Dalam paham panteisme, Tuhan tidak

memiliki perbedaan dengan ciptaannya, tuhan dan ciptaannya adalah sama,

sehingga penyebaran ajaran panteisme di barat mengatakan bahwa segala sesuatu

adalah Tuhan, argumen mereka banyak disandarkan kepada kajian-kajian

terhadap islam terutama kajian tentang konsep ketuhanan.61

Menurut sebagian peneliti, mayoritas tudingan ajaran penteisme terhadap

islam, muncul setelah mereka (baca: orientalis) menemukan kajian dalam dunia

tasawuf, perihal konsep tajalli> atau manifestasi Tuhan, yang merupakan

pembahasan metafisika, dan tidak bersumber dari spekulasi filsuf atas dasar

penelitian, pengamatan indrawi yang terbatas hanya pada alam matari (baca:

fisik). Persingungan dunia filsafat dan tasawuf sendiri, dimulai sejak abad ke-2

Hijriah, dimana sebagian tokoh praktisi tasawuf mulai menuangkan pengalaman

spiritualnya secara filosofis. Pada fase ini-pula, pengaruh dari pemikiran-

pemikiran filsafat mulai bersenggama (baca: bersentuhan) dengan dimensi

pemikiran para sufi.62

B. Wuju>diyyah (eksistensi Tuhan) dalam perspektif sufi

Menusuk pada pembahasan Wuju>diyyah dalam diskursus sufi, term

Wuju>diyyah memiliki akar kata wuju>d, yang secara etimologi adalah bentuk

masdar dari fiil “‫وج ًدا‬ ‫”وجد – َيد – وج ًدا و وجد ًاَّن و وجد ًة و وجوًدا و‬ memiliki

60
Riduwan, “Al-Ghazali> di mata orientalis”, El-Banat: Jurnal Pemikiran dan Pendidikan Islam,
Vol. 7, No.1, (Januari-Juni 2017), 94-95.
61
Tri Arwani Maulidah, “Reinterpretasi Relasi Tuhan dan Manusia Syed Muhammad Naquib Al-
‘At}t}a>s”, ISLAMIKA INSIDE: Jurnal Keislaman dan Humaniora, Vol. 4, No. 1 (Juni-2018), 75.
62
Muhsin Labib, Mengurai Tasawuf ‘Irfan dan Kebatinan (Jakarta: Lentera, 2004), 41.
37

makna rupa, bentuk, ada (eksis), dan nyata (real),63 artinya setiap sesuatu yang

memiliki eksistensi merupakan bentuk implementasi wujud, meliputi alam

semesta serta apapun yang termuat di dalamnya, baik yang dapat ditangkap oleh

panca indra ataupun yang tidak (ghayb). Seperti firman Allah SWT dalam surat

al-An’a>m, sebagai bukti adanya dimensi indrawi dan non-indrawi:

‫وهو الذي خلق السماوات والرض ِبْلق وي وم ي قول كن ف يكون ق وله اْل ُّق وله الملك ي وم‬

)73( ‫الصور عاَل الغيب والشهادة وهو اْلكيم اْلبي‬


ُّ ‫ي ن فخ ف‬

“Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dengan benar. Dan
benarlah perkataan-Nya di waktu Dia mengatakan: Jadilah, lalu terjadilah,
dan di tangan-Nyalah segala kekuasaan di waktu sangkakala ditiup. Dia
mengetahui yang ghaib dan yang nampak. Dan Dialah Yang Maha
Bijaksana lagi Maha Mengetahui.” (QS Al-An’a>m: 73)

Sedangkan kata wujud, walaupun secara harfiah merupakan bahasa arab

yang bermakna keberadaan, akan tetapi kata wujud dalam bidang ilmu teologi

filsafat diterjemahkan sebagai ilmu tentang keTuhanan, yang memiliki makna

eksistensi Allah SWT.64 Bahkan jika di uraikan lagi, huruf ‫ي‬ dalam lafad

Wuju>diyyah merupakan bentuk nisbat, yang dinisbatkan terhadap ajaran Wah}dah

al-wuju>d yang banyak tersebar luas sebagai salah satu ajaran dalam tasawuf. Di

Indonesia sendiri banyak peneliti yang menghubungkan faham Wah}dah al-wuju>d

dengan faham ajaran yang dibawakan oleh Syekh Siti Jenar dengan ajarannya

63
KBBI Offline.
64
Selain makna di atas, lafad “ wajada” juga memiliki makna mendapatkan, menemukan hal yang
dimaksud. Seperti ungkapan “‫”َيدﻩ وجودا‬. Lihat: www.almaany.com, “diakses pada: Jum’at, 18
September 2020, 00:56 WIB”. Lihat juga: Sa’diyyah Ah}mad Must}ofa>, Al-Baqa>’ wa Al-Fana>’ fi
Shi’ri Abi Al-‘Uta>hiyah (Arda>n: Dar al-H{a>mid, 2010), 45.
38

“manunggaling kawulo gusti”. Salah satu faedah nisbat dalam ilmu nahwu adalah

muba>laghah (sangat, melebih-lebihkan).65 Sedangkan huruf ta>’ marbu>t}oh dalam

lafad tersebut mempunyai faedah sebagai penguat atau ta’ki>d.66

Salah satu sumber juga menyebutkan bahwa istilah Wuju>diyyah diambil

dari intisari ajaran Wah}dah al-wuju>d syekh Ibnu ‘Arabi> yang kemudian

diproklamirkan sebagai istilah dalam penyebutan ajaran tersebut oleh Sad}r al-Di>n

al-Qunawi>,67 termasuk pula Ibnu Taymiyyah,68 kemudian kajian ajaran Wah}dah

al-wuju>d masih terus berlanjut sampai para akademisi dan ulama setelah Ibnu

Taymiyyah, sehingga mencapai rumusan bahwa ajaran Wah}dah al-wuju>d

merupakan salah satu ajaran sentral syekh Ibnu ‘Arabi>, yang selanjutnya menjadi

pusara ajaran Wuju>diyyah yang berkembang di Indonesia.69 Secara sederhana,

dalam islam ajaran Wuju>diyyah dapat dimaknai sebagai ajaran yang

65
Mus}t}ofa> al-Ghala>yayni>, Ja>mi’ al-Duru>s al-‘Arabiyyah, Juz 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah,
2014), 49.
66
Seperti contoh kalimat ‫عالمة‬. Lihat: Abu> al-Baqa>’ al-Husaini, Kulliya>t Abi> al-Baqa>’ (T.Tm:
T.Pn, T.Th), 102.
67
Ramli Cibro, “Dari Wujudiyyah ke Ma’rifah: Geneologi Tasawuf Hamzah Fansuri”, Jurnal Al-
Tafkir, No.1, Vol.XII, (1 Juni 2019), 29.
68
Banyak karya syekh Ibnu Taymiyyah yang meyebutkan tentang istilah wuju>diyyah, sekaligus
beliau berdiri pada barisan penentang ajaran wuju>diyyah. Lihat: Toshihiko Izutsu,
SUFISME...,vii-viii.
69
Ahmad Faiq Nur, “Karakteristik Ekspresi Bahasa Metaforis Dalam Tasawuf Wuju>diyyah
Nusantara”, Jurnal al-Tsiqoh, No.1, Vol.5 (April 2020), 27. Interpretasi penulis, menyimpulkan
bahwa keserupaan ajaran Wuju>diyyah syekh Ibnu ‘Arabi> dengan tokoh-tokoh sufi Nusantara
tidak lantas bahwa terjadi copy-paste ajaran atau terjadi keterikatan hubungan, seperti guru dan
murid (secara lahiriyah). Akan tetapi lebih cenderung kepada kesamaan pengalaman sufi yang
mendapatkan h}a>l/maqa>m (baca: derajat) yang setingkat antara satu dengan yang lain. Kemudian,
dampak negatif dari penisbatan faham semacam ini juga memiliki imbas yang buruk, terutama
ketika disimpulkan bahwa ajaran Wuju>diyyah orietasinya berfaham panteisme. Seperti
disampaikan oleh salah satu peneliti faham ajaran Wuju>diyyah. Lihat: Ramli Cibro, “Dari
Wuju>diyyah ke Ma’rifah: Geneologi Tasawuf Hamzah Fansuri”...,29-30.
39

mengungkapkan keberadaan wujud atau eksistensi (baca: realitas) Tuhan sebagai

dzat yang maha Esa, serta menjadi sumber segala yang wujud.70

Dalam pembahasan wujud, baik yang sudah ataupun akan muncul sebagai

realitas, al-Ish}a>qi> memberikan keterangan dengan mengutip pendapat dari syekh

al-Ima>m al-Rabba>ni> bahwa setiap sesuatu yang sudah dan akan ada dalam alam

ini berkaitan dengan ‘alam al-amri dan ‘alam al-khalqi.71 Akan tetapi beliau tidak

membehas panjang lebar mengenai realitas wujud semacam ini. Salah satu pegiat

tasawuf, Ibnu ‘Arabi>-lah dapat dikatakan sufi yang cukup mendalam dan luas

membahas mengenai Wuju>diyyah. Walaupun Ibnu ‘Arabi> tidak menyebut istilah

tersebut secara eksplisit (baca: tersurat) akan tetapi dapat ditangkap secara

tersirat dari literatur kitab fus{u>s{ al-h{ikam dan futu>h{a>t al-makiyya>h serta karya

syekh Ibnu ‘Arabi> lainnya yang kompleks mengungkap konsep tajalli> Tuhan.72

Merujuk pada salah satu kitab beliau, Sebagai pengantar untuk membuka

dan menyelami, bagaimana konsep pemikiran Ibnu ‘Arabi> tentang keTuhanan,

beliau mengungkapkan:

‫واعلموا أن اإلنسان الذي هو أكمل النسخ و أَتُّ النشأت له ملوق على الوحدانية ال على‬

‫ فالواحد ال ي قوي و ال يص ُّح هذا المعن‬,‫ لن الحدية َلا الغن على اإلطالق‬,‫الحدية‬

‫ واحد فالوحدانية ال ت قوي ق وة الحدية فكذلك الواحد ال ي ناهض‬-‫على اإلنسان وهو‬

70
Endah Triyandani, “Ajaran Tasawuf Hamzah Fansuri>”...,80.
71
Alam amri merupakan manifestasi setiap sesuatu yang berkaitan dengan penciptaan yang
berkaitan dengan perintah Allah SWT (kun) yang wilayahnya meliputi setiap yang berada di atas
‘arsh, sedangkan alam khalqi dipakai sebagai sebuah istilah bagi setiap yang tercipta tanpa
perintah Allah SWT (kun) yang wilayahnya berada di bawah ‘arsh sampai pada lapisan bumi
paling bawah. Achmad Asrori, Al-Nuqt}oh fi> Tah}qiq al-Ra>bit}ah (Surabaya: al-Khidmah, 2010),
34-35.
72
Toshihiko Izutsu, SUFISME...,23, 43 dan 157.
40

‫(اَل ان‬....‫ لن الحدية ذاتية للذات اَلوية والوحدانية اسم َلا َست ها ِبا الت ثنية‬,‫الحدية‬
73
)‫قال‬
“Ketahuilah, bahwa manusia merupakan salinan (baca: copy) yang paling
sempurna, sebagai ciptaan dari wah}da>niyyah (baca: kesatuan-Nya), bukan
dari ah}a>diyyah (baca: ke-Esaan-Nya). Karena ke-Esaan-Nya bahkan tak
pantas dikatakan yang mutlak, oleh karena itu manusia tidak mempunyai
kemampuan untuk menyandang sesuatu yang Esa (ah}a>diyyah), serta
kesatuan tersebut tidak sekuat ke-Esaan-Nya. Bagaimanapun ke-Esaan-Nya
adalah esensi dari Dzat-Nya, sedangkan kesatuan tersebut sebatas nama
yang disematkan kepada Dzat tersebut......74

Dari ungkapan tersebut, dapat ditangkap benang merah sebagai gambaran

bahwa Ibnu ‘Arabi> juga mengungkapkan konsep dasar perbedaan antara term

wah}da>niyyah dan ah}a>diyyah. Dengan adanya gambaran tersebut, manusia dalam

pandangan Ibnu ‘Arabi> telah masuk dalam dimensi Wah}dah al-wuju>d atau

disebut juga Wuju>diyyah, dimana kesadaran manusia telah menusuk realitas

suci.75 Dan untuk mecapai atau mengaktifkan kesadaran manusia terhadap

realitas tersebut, manusia harus melalui setiap tahapan dan berbagaimacam ujian,

sehingga kesadaran yang dimaksud oleh Ibnu ‘Arabi> dapat terealisasi

sebagaimana mestinya.

Artikulasi mengenai Wuju>diyyah yang telah disebutkan oleh para ulama,

pada dasarnya memiliki keserupaan, terutama pada aspek esesnsi ajaran

Wuju>diyyah. Akan tetapi banyak pula terjadi perbedaan pendapat yang dianggap

masih dalam taraf kewajaran, karena tentunya setiap individu memiliki

73
Muhyiddi>n Muh}ammad ‘Ali> Muh}ammad (Ibnu ‘Arabi>), Rasa>il Ibnu ‘Arabi> (Beirut: Dar al-
Kutub al-Ilmiyah, 2010), 37-38.
74
Ahmad Faiq Nur, “Karakteristik Ekspresi”...,28.
75
Ibid.,29.
41

pemikiran dan tingkat keilmuan yang berbeda antara satu dengan yang lain.

Sedang esensi makna yang sesungguhnya hanya dapat dipahami oleh orang-orang

tertentu, yang bahkan telah sampai pada titik tersebut.76

C. Wah}dah al-wuju>d dan Wah}dah al-shuhu>d

Dua istilah tersebut banyak muncul dalam pembahasan tasawuf, sebagai

bentuk maqam yang diduduki oleh para sufi. Sebelum masuk dalam pembahasan

makna secara terminologi mengenai istilah Wah}dah al-wuju>d dan Wah}dah al-

shuhu>d, pertama penulis terlebih dahulu menguraikan makna secara etimologi

dari susunan kata yang ada.

Sebagaimana disampaikan oleh al-Fanari> dalam karya beliau Mifta>h}

Ghayb, dalam kitab tersebut disebutkan bahwa Al-wah}dah atau ke-Esaan

mempunyai beberapa konotasi makna dan sudut pandang, sehingga dapat

menjadi semacam klasifikasi bagi kata Al-wah}dah itu sendiri. Diantaranya adalah

al-wah}dah al-haqi>qiyyah dan al-wah}dah al-‘adadiyyah atau al-wah}dah al-

‘id}af> iyyah.77

1. Al-wah}dah al-haqi>qiyyah

Al-wah}dah al-haqi>qiyya merupakan setiap sesuatu yang Esa (baca:

Tunggal) dan murni tidak ada unsur pluralitas, dan adakalanya al-wah}dah

al-haqi>qiyyah bersifat dha>tiyyah dan nisbiyyah. Al-wah}dah al-haqi>qiyyah

al-dha>tiyyah adalah eksistensi tunggal yang tidak mempunyai padanan

76
Ahmad Faiq Nur, “Karakteristik Ekspresi”...,30.
77
Shamsuddi>n Muhammad bin H{amzah bin Muhammad (al-Fana>ri)>, Mifta>h} Ghayb al-Jam’ wa al-
Wuju>d li S{adruddi>n al-Qu>nu>niy wa Syarh}ihi Mis}bah} al-Uns Bayna al-Ma’qu>l wa al-Masyhu>d lil
Fana>ri> (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2010), 224.
42

(opposite),78 dan perputarannya meliputi dimensi huwa, dapat di istilahkan

sebagai ‘ayn al-dha>t atau nafs al-dha>t.

Sedangkan al-wah}dah al-haqi>qiyyah al-nisbiyyah merupakan

penisbatan eksistensi tunggal “al-wah}dah” terhadap sifat Tuhan yang Esa

dan perbuatan Tuhan.79 Syekh al-Qushayri> menegaskan bahwa setiap

sesuatu yang berbilang (baca: tersusun)80, maka kekuatan sesuatu tersebut

bertumpu pada konstruksi susunan tersebut, dan ketika salah satu

komponen tersebut tidak lengkap atau hilang, akan berdampak pula pada

penurunan kekuatan sesuatu tersebut. Jika dikatan Allah SWT demikian,

maka tentunya menyalahi sifat Allah SWT yang tidak bergantung pada

sesuatu apapun.81 Sehingga pada dimensi ini, al-nisbiyyah yang

disandangkan kepada Allah SWT, tidak dapat dikatakan sebagai tumpuan

kekuatan-Nya.

2. Al-wah}dah al-‘adadiyyah atau al-wah}dah al-‘id}a>fiyyah

Al-wah}dah al-‘adadiyyah atau al-wah}dah al-‘id}af> iyyah adalah

kebalikan dari al-wah}dah al-haqi>qiyyah, yakni ke-Esaan yang tidak netral,

yakni memiliki unsur pluralitas.82 Pandangan semacam ini dapat muncul

78
Padanan yang dimaksud yakni al-wa>h}id sebagai sifat Tuhan atau hukum yang disematkan bagi
Tuhan. Lihat: Ibid.
79
Sedangkan pada tataran al-wah}dah al-haqi>qiyyah al-nisbiyyah, menjadi dimensi yang lebih
rendah dari Al-wah}dah al-haqi>qiyyah al-dha>tiyyah akan tetapi ketunggalan tersebut tetap bersifat
netral. Lihat: Ibid.
80
Berbilang oleh penulis dipahami sebagai setiap sesuatu yang dikatakan satu kesatuan yang
sempurna jika memiliki kelengkapan dalam setiap bagiannya. Contoh: Satu manusia, dapat
dikatakan satu atau tunggal dan sempurna, akan tetapi manusia sendiri tersusun atau dikatan
berbilang, dari komponen yang menyusun seperti kepala, tangan, kaki, badan, leher dan lain
sebagainya.
81
Abu> al-Qasi>m ‘Abdul Kari>m bin Hawa>zi>n, al-Risa>lah al-Qushayriyyah...,17.
82
Ibid.,224-225.
43

dengan menduduki 2 (dua) sudut pandang. Pertama, ketika dilihat dari

sudut pandang ke-Esaaan Tuhan, maka Allah SWT merupakan al-haqq

sebagai wujud yang absolut atau disebut Al-wah}dah al-haqi>qiyyah. Kedua,

dilihat dari sudut pandang makhluk, Dia adalah Tuhan yang ke-Esaan-Nya

berbilang –sehingga Ia juga bersifat imanen, sebagaimana tampak dalam

berbagai macam bentuk tajalli> (baca: Manifestasi) seluruh tataran

kosmik.83 Akan tetapi bukan juga dipahami sebagaimana paradigma

panteisme. Sehingga sifat-sifat-Nya tampak nyata sebagai bentuk kualitas

dan kesempurnaan-Nya, yang terpilah-pilah dari bentuk realitas esensi-Nya

menjadi entitas yang terpisah sebagaimana pluralitas abadi. akan tetapi

sifat-sifat-Nya tidaklah dikatakan lain dari esensi-Nya. yang tidak

terjangkau bahkan oleh dimensi imajiner.

Kembali lagi, al-wuju>d (baca: eksistensi Tuhan) bagi para ‘a>rif

dipandang merupakan hal yang bersifat puncak “al-gha>yah al-mut}laq”

bahkan lebih mutlak dari kemutlakan, serta tidak batasi dalam kemutlakan

itu sendiri, artinya kemutlakan tersebut tidak dapat menjadi wadah bagi

eksistensi Tuhan.84 Seperti ungkapan:

Hakikat yang disebut “esesnsi pada tingkat ketungalan” (al-


dha>t al-ah}adiyyah) pada jati dirinya tidak lain adalah wujud murni
dan sederhana sejauh Ia disebut wujud. Ia tidak terikat dengan syarat
tak-tentu atau tertentu karena Ia sendiri terlalu kudus untuk diberi
sifat atau nama apapun. Ia tidak memiliki kualitas, batasan; tidak ada
sedikitpun bayang-bayang kemajemukan di dalam-Nya.

83
Muhammad Robith Fuadi, “Memahami Tasawuf Ibnu ‘Arabi> dan Ibnu al-Fad}l: Konsep al-H{ubb
Illa>hi, Wah}dah al-Wuju>d, Wah}dah al-Shuhu>d, Wah}dah al-Adya>n”, Ulul Albab, No.2, Vol.14
(2013), 155.
84
Toshihiko Izutsu, SUFISME...,xxvii.
44

Ia bukan substansi ataupun aksiden lantaran substansi mesti


memiliki kuiditas (ma>hiyah) di luar wujudnya; kuiditas yang
menjadikannya sebagai substansi yang berbeda dari mawju>d-mawju>d
lain. Lebih jauh, ia bukan aksiden lantaran aksiden membutuhkan
tempat (yaitu substrantum) yang mewujudkannya dan yang
kepadanya ia menempel.

Dan karena semua selain wujud swaada (wa>jib al-wuju>d) bukan


substansi dan bukan pula aksiden, wujud qua wujud itu pastilah
wujud yang niscaya-ada. Setiap wujud yang ditentukan (yakni yang
tidak niscaya-ada) mesti diwujudkan oleh yang niscaya-ada.85

Untuk itu, wujud yang bahkan tidak pantas menyandang serta tidak

mungkin dicapai oleh apaun (baca: keheningan) selama Ia tidak bergeser

dari dalam kemutlakan tersebut, terkesan dilepaskan dan biarkan begitusaja

dengan tetap menyandang predikat tanda tanya dan misteri besar, demikian

yang lebih bijaksana. Tentunya dengan kesadaran sepenuhnya bahwa objek

semacam itu tidak dapat diraba dan dijangkau oleh akal, terlebih untuk

dituangkan kedalam sistematika tulisan yang dapat dicerna pembaca (baca:

transenden). Akan tetapi, Tuhan juga bersifat imanen, demikian pandangan

islam terhadap Tuhan. Sehingga pandangan islam semacam ini juga

menjadi keunikan tersendiri sebagaimana disampaikan oleh Sayyid Naquib

al-‘At}t}a>s.86

Sehingga dapat ditarik benang merah, yang menjadi fokus

pembahasan dalam tulisan ini lebih menekankan pada aspek eksistensi

85
Ibid.,26-27. Senada dengan ungkapan tersebut, yakni tetang eksistensi yang tidak akan pantas
menyandang predikat apaun, dijelaskan pula dalam beberapa literatur kitab. Lihat: Nu>ruddi>n
‘Abdurrahman bin Ahmad Al-Ja>hi, Naqdu al-Nus}u>s} fi> Sharkh Naqshi al-Fus}u>s} (Beirut: Dar Al-
Kutub Al-Ilmiyyah, 2005), 177. Lihat juga: ‘Abd al-Razza>q al-Qa>sha>ni>, Dictonary of the
Technical Terms of the Sufies: Edited in the Arabic Original (London: Universitas Harvard,
1845), 154-155.
86
Tri Arwani Maulidah, “Reinterpretsi Relasi Tuhan dan Manusia Syed Muhammad Naquib al-
‘At}t}a>s”, ISLAMIKA INSIDE: Jurnal Keislaman dan Humaniora, Vol. 4, No. 1 (Juni 2018), 79.
45

Tuhan setelah bergeser (baca: memanisfestasikan) dari kemutlakan-Nya.

Berangkat dari penjelasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa wah}dah

al-wuju>d merupakan sebuah ajaran yang menekankan bahwa realitas segala

sesuatu adalah realitas Allah SWT, selain itu merupakan khaya>liya>t (ilusi)

atau segala macam kewujudan selain Tuhan merupakan penzahiran dari

aspek-aspek ketuhanan atau wajah-wajah dari wujud yang Esa.87 Dalam

term teologi dikenal dengan konsep imanensi.

wah}dah al-wuju>d Secara teoritis dipandang sebagai hasil ketetapan rasio

manusia, sehingga setiap orang dapat menapakinya, terlebih para praktisi sufi,88

akan tetapi realitanya wah}dah al-wuju>d hanya dapat diraih oleh orang-orang yang

memiliki keyakinan di atas manusia pada umumnya, serta dibekali dengan

atribut-atribut khusus yang diangrahkan Allah SWT. Diperkuat dengan pendapat

syekh al-Sirhindi> dalam al-Maktuba>t yang mengatakan bahwa Wah}dah al-wuju>d

merupakan implementasi dari maqa>m ‘ilmu al-yaqi>n, yang bersumber dari

pengetahuan rasio.89

Berbeda dengan wah}dah al-wuju>d, wah}dah al-shuhu>d menurut syekh al-

Sirhindi> berada pada posisi ‘ayn al-yaqi>n. Kemudian ulama s}u>fiyyah memaknai

wah}dah al-shuhu>d sebagai ketunggalan penyaksian, yakni senantiasa

menyaksikan Eksistensi zat Allah SWT pada setiap sesuatu yang tampak

olehnya. Pada tingkatan ini seorang sufi telah menerobos masuk kedalam suasana

87
Muhammad Robith Fuadi, “Memahami Tasawuf Ibnu ‘Arabi>”...,154. Penulis dalam hal ini
memasukkan sedikit interpretasi mengingat rentannya pembahasan ini untuk terjatuh dalam
ranah ungkapan tashbi>h dan tamthi>l, sebab tidak ada bahasa yang dapat mewakili ungkapan yang
berkaitan dengan realitas semacam ini.
88
Ibid.,155.
89
Ahmad al-Fa>ru>qi> al-Sirhindi>, al-Maktuba>t...,80-81.
46

“ke-tawhidan” Allah SWT, dan tidak mampu menyaksikan sesuatu apapun,

kecuali yang tampak dalam sesuatu tersebut adalah zat Allah SWT, sehingga

pandangan terhadap dirinya dan semua makhluk yang ada menjadi lenyap.90

Senada dengan ungkapan wah}dah al-shuhu>d, syekh al- al-Qa>sha>ni> mengistilahkan

dengan al-tajalli> al-shuhu>di>, dengan ungkapan:

‫التجلي الشُّهودي هو ظهور الوجود المسمي ِبسم النُّور وهو ظهور اْلق بصور اَسائه ف‬

.‫الكوان الِت هي صورها وذلك الظُّهور هو ن فس الرحن الذي ي وجد به الك ُّل‬
“al-tajalli> al-shuhu>di>: adalah tampaknya wujud (eksistensi) yang
diungkapkan sebagai al-nu>r (cahaya), yakni bentuk menifestasi al-haqq
dengan purwarupa atas nama-nama-Nya dalam setiap wujud material
(dengan berbagai macam bentuk materi tersebut), sebagai perwujudan al-
rah}ma>n yang menjadi sumber setiap sesuatu.91

Sedangkan makna al-shuhu>d sendiri dalam dimensi tasawuf dimaknai oleh

syekh al- al-Qasha>ni>, dengan makna sebagai berikut:

.‫الشهود هو رؤية اْلق ِبْلق‬


“al-Shuhu>d adalah menyaksikan al-haqq (Allah SWT) secara
haqq (secara nyata).”

Dengan menggunakan kacamata dari Ibnu ‘Arabi, maka jalas penyaksian

yang dialami oleh seseorang yang berdiri pada maqa>m al-Shuhu>d adalah bentuk

penyaksian setelah Dia ber-tajalli> (ber- bergeser) dari wilayah kemutlakan-Nya,

menuju pada aspek lain yang lebih rendah –tanpa terikat dengan ruang dan

waktu- dan dapat dijangkau dan dinyatakan oleh mata hati (bas}i>rah). Walalupun

dalam pandangan al-Qushayri> bentuk penyaksian tersebut masih nisbi>, artinya

90
Fari>duddi>n Ayda>n, Al-T{ari>qah Al-Naqsha>bandiyyah, Juz 1 (T.Tm: T.Pn, T.Th), 159.
91
‘Abd al-Razza>q al-Qa>sha>ni>, Dictonary of the Technical Terms of the Sufies..., 155.
47

masih disesuaikan dengan kadar kemampuan setiap individu, dan mustahil dapat

menyaksikan secara universal.92

Selain Ibnu ‘Arabi>, adapula syekh H{amzah Fansu>ri>, selain tokoh sufi yang

tekun, beliau juga dikenal sebagai tokoh cendekiawan. Dalam tarekat, beliau

kokoh menganut tarekat Qa>diriyah yang nisbatnya kepada Syekh ‘Abdul Qa>dir

al-Ji>la>ni>, dalam ranah fikih, beliau menganut madzhab Sha>fi’iyah. Dalam ajaran

tasawufnya, beliau cenderung mengikuti ajaran Ibnu Arabi>-an, dan terbukti

beliau menguraikan tentang faham Wuju>diyyah yang sangat rumit dan dipandang

rentan akan kecaman dan hujatan atas pemikiran radikal yang sesat,93 bahkan

dianggap sebagai tokoh yang berfaham pantheisme.94

Mengenai konsep ketuhanan, Hamzah Fansu>ri> menjelaskan:

Ketahuilah, hai segala kamu anak adam yang islam, bahwa Allah
subhanahu wa ta’ala menjadikan kita dari pada tiada diadakan. Dan dari
pada tiada bernama diberi nama, dan dari pada berupa diberi berupa,
lengkap dengan telinga, dengan hati, dengan nyawa, dengan budi. Yogya
kita cari Tuhan kita ini supaya kita kenal dengan makrifat kita, atau dengan
khidmat kita kepada guru yang sempurna mengenal dia supaya jangan
taqsir kita.95

Dua poin besar dalam ungkapan Hamzah Fansu>ri> di atas, bahwa Allah

SWT merupakan dzat yang memiliki adikodrati mutlak, sebagai Sang pencipta

dan memiliki posisi agung nan tinggi. Kedua, tingkatan makrifat dapat ditempuh

melalui jalur khidmah, bimbingan kepada seorang guru, yang dapat

92
Dalam pembahasan tajalli> Allah SWT, al-Qushayri> membahas panjang lebar dalam pembahasan
bab al-satr wa al-tajalli>. Lihat: Abu> al-Qasi>m ‘Abdul Kari>m bin Hawa>zi>n, al-Risa>lah al-
Qushayriyyah...,112.
93
Sebagaimana diungkapkan oleh Mastuki HS dan M. Ishom El-saha, dalam bukunya
Intelektualisme pesantren: potret tokoh dan cakrawala pemikiran di era pertumbuhan pesantren.
94
Faham panteisme secara sederhana adalah faham yang memiliki kepercayaan bahwa tuhan
adalah semuanya, dan semuanya adalah tuhan.
95
Syamsun Ni’am, “Hamzah Fansuri: Pelopor Tasawuf Wuju>diyyah”...,275.
48

mengantarkan salik menemukan Tuhannya (ma’rifatulla>h). Selanjutnya H{amzah

Fansu>ri> menjelaskan:

Cahayanya-Nya terlalu nyarak


Dengan rupa kita yang banyak
Ia juga takur dan arak
Jangan kau cari jauh, hai anak

Konsep dalam ungkapan H{amzah Fansu>ri> menggambarkan bahwa

sesungguhnya esensi dari semua ciptaan bukanlah selain Tuhan96, akan tetapi

tidak dapat juga dijustifikasi bahwa purwarupa ciptaan merupakan Tuhan. Lebih

spesifiknya H{amzah Fansu>ri> menyebutkan analogi tentang eksistensi Tuhan dan

ciptaan, ibarat biji dan pohon. Walaupun biji tidak terlihat dalam realita, akan

tetapi hukum pohon secara hakikat meruapakan biji itu sendiri.97 Sehingga

implementasi ayat yang mengungkapkan bahwa Tuhan lebih dekat dari urat leher

manusia begitu kental mewarnai ajaran dari H{amzah Fansu>ri>. Kemudian, Faham

wuju>diyyah ini disandarkan pada pengaruh ajaran Ibnu ‘Arabi>, Sadruddi>n al-

Quna>wi> dan Fakhruddi>n ‘Iraqi>. Serta memiliki beberapa kesamaan dengan faham

yang dibawakan oleh al-H{alla>j, dengan sifat keluhuran dan keagungan Tuhan,

yang telah dirasakan melalui dhawq dan kashaf sehingga terasa begitu dekat dan

erat, bahkan ibarat kedekatan seorang kekasih.98

96
Akan tetapi tidak dapat dikatakan secara universal demikian, terdapat bentuk-bentuk tertentu
(baca: determined forms) ciptaan tersebut memiliki kontradiksi (yang arahannya lebih kepada
perbeaan secara mendasar) dengan Tuhan. Bahkan jauh tak terhingga untuk dapat dikatakan
sama. Lihat: Toshihiko Izutsu, SUFISME...,103.
97
Syamsun Ni’am, “Hamzah Fansuri: Pelopor Tasawuf Wuju>diyyah”...,275-276.
98
Firdaus, “Meretas Jejak Sufisme Di Nusantara”...,305. Hubungan antara manusia dengan
Tuhan, dalam kacamata Hamzah Fansuri ibarat hubungan antara dua orang kekasih yang begitu
dekat dan dapat membutaakan terhadap realitas selain sang kekasih. Lihat: Edward Jamaris dan
Saksono Prijanto, Hamzah Fansu>ri> dan Nuruddi>n al-Ra>niri> (Jakarta: Booklet Budaya,
1995/1996), 6-8.
49

Dalam islam, Sebagai peletak dasar filsafat wujud (eksistensialisme)

muslim adalah al-Fara>bi> (870-950 M) dan Ibnu Sina> (980-1037 M),99 namun

epistemologi eksistensialisme yang lebih komprehensif tampaknya dikemukakan

oleh Ibnu Sina> melalui filsafat wujudnya yang dijelaskan ke dalam tiga kategori

yaitu wajib al-wuju>d bidha>tih (wajib ada dengan sendirinya), mumkin al-wuju>d

(mungkin ada) dan mustah}i>l al-wuju>d atau mumtani’ (mustahil ada).100

Yang mustahil ada, karena tidak mungkin ada, tidak dibahas oleh Ibnu Sina>

lebih lanjut. Kemudian yang wajib ada, tidak pernah tidak ada di masa lampau

dan tidak akan pernah tidak ada di masa yang akan datang, Ia selamanya ada.

Adanya tidak mempunyai permulaan dan zaman dan juga tidak mempunyai akhir,

Ia terus menerus ada. Ada-Nya tidak mempunyai sebab, itulah Allah SWT. Yang

mungkin ada, pernah tidak ada di masa lampau, kemudian ada dan tidak ada

kembali di masa depan. Adanya mempunyai permulaan dalam zaman dan juga

mempunyai akhir. Ia bemula dari tiada dan berakhir dengan tiada (jasadnya, tapi

ruhnya tetap ada). Adanya mempunyai sebab. Demikian adalah wujud

manusia.101

Selanjutnya, maqa>m kedekatan dengan Allah SWT yang telah dicapai oleh

praktisi tasawuf, populer disebut sebagai maqa>m ma’rifat, sebagaimana istilah

99
Harun Nasution, Falsafat Agama, Cet.6 (Jakarta : Bulan Bintang, 1987), 57.
100
Harun Nasution, Islam Rasioal: Gagasan dan Pemikiran, Cet.1, (Bandung: MIZAN, 1995), 94.
101
Jam’ah Abidin, “Pengembangan Pendidikan dalam Filsafat Eksistensialisme”, Jurnal Ilmiah
Keislaman, Vol.12, No.2 (Juli-Desember 2013), 89.
50

yang lazim dipakai oleh para sufi. Z{u> al-Nu>n al-Mis}ri> kemudian

mengklasifikasikan ma’rifat menjadi tiga tingkatan,102 yakni:

1. Ma’rifat al-Tawh}i>d (awam), yaitu ma’rifat yang diperoleh kaum awam

dalam mengenal Allah SWT. Melalui perantara sha>hadat, tanpa disertai

dengan argumentasi dan klarifikasi. Ma’rifat jenis ini pada umumya

dimiliki oleh orang. Orang awam mempunyai sifat lekas percaya dan

menurut, mudah mempercayai kabar berita yang dibawa oleh orang yang

dipercayainya dengan tanpa difikirkan secara mendalam.103

2. Ma’rifat al-Burha>n wa al-Istidla>l (kha>s}) yang merupakan ma’rifatnya

mutakalimin dan filusuf (metode akal budi), yaitu ma’rifat tentang Allah

SWT melalui pemikiran dan pembuktian akal. Pemahaman yang bersifat

rasional melalui berpikir spekulatif. Ma’rifat jenis kedua ini banyak

dimiliki oleh kaum ilmuan, filosof, sastrawan, dan termasuk dalam

golongan orang-orang khas.104 Golongan ini memiliki ketajaman

intelektual, sehingga akan meneliti, memerikasa membandingkan dengan

segenap kekuatan akalnya.

3. Ma’rifat hakiki (khawa>s al-khawa>s) merupakan ma’rifat auliya>’, yaitu

ma’rifat tentang Allah SWT melalui sifat dan ke-Esa-an-Nya, diperoleh

melalui hati nuraninya. Ma’rifat jenis ketiga inilah yang tertinggi, karena

ma’rifat ini diperoleh tidak hanya melalui belajar, usaha dan pembuktian.

102
Muhammad Rahmatullah, “Dualisme dan Makrifat: Studi Tentang Pemikiran Sufistik KH.
Achmad Asrori al-Ish}a>qi>” (“TESIS” --UINSA, Surabaya, 2015), 34-36.
103
A. Rivay Siregar, Tasawuf Dari Sufisme Klasik ke Neo Sufisme,( Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 1999), 129.
104
Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrulah), Tasauf Perkembangan dan Pemurniannya,
(Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1993), 103.
51

Melainkan anugerah dari Allah Swt kepada orang-orang sufi atau auliya’

yang ikhlas dalam beribadah dan mencintai Allah SWT.105

Pembagian ma’rifat oleh Z{u> al-Nun al-Mis}ri> di atas menunjukkan bahwa

menurutnya ma’rifat tertinggi tidak dapat ditempuh melalui pendekatan akal dan

pembuktian-pembuktian,106 tetapi dengan jalan ma’rifat melalui hati sanubari

(qalb) dan merupakan pemberian Allah SWT kepada orang-orang yang telah

mampu membersihkan jiwanya (tazkiyat al-Nafs).107 Melalui pendekatan ini,

sifat-sifat rendah manusia perlahan-lahan terangkat ke atas dan selanjutnya

menyandang sifat-sifat luhur seperti yang dimiliki Allah SWT, sampai akhirnya

ia sepenuhnya menihilkan dirinya sendiri dan hidup didalam-Nya dan lewat diri-

Nya.108

D. Ittih}a>d dan H{ulu>l

1. Ittih}a>d

Secara historis, kajian yang menyinggung aspek spiritual mistisme

telah dirintis sejak abad ke-3 Hijriah. Para tokoh peneliti dan pengkaji

105
A. Rivay Siregar, Tasawuf Dari Sufisme...,130.
106
Menurut pengalamannya, sebelum sampai pada maqam ma’rifat, Zu> al-nu>n al-Mis}ri> melihat
Tuhan melalui tanda-tanda kebesaran-Nya yang terdapat di alam semesta. Hal ini dapat
ditemukan dalam ungkapan puitisnya: “Ya Rabb, aku mengenal-Mu melalui bukti-bukti karya-
Mu dan tindakan-Mu. Tolong daku ya Rabbi dalam mencari ridha-Mu, dengan semangatku untuk
mencintai-Mu, dan dengan kesentosaan dan niat dan teguh”. Lihat: Ahmad Bangun Nasution dan
Royani Hanun Siregar, Akhlak Tasawuf, Pengenalan, Pemahaman, dan Pengaplikasiannya,
Disertai Biografi dan Tokoh-tokoh Tasawuf ( Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2013), 244.
107
Ia menegaskan bahwa terdapat perbedaan antara ma’rifat yang disebabkan oleh kemampuan
dan kesadaran seseorang sebagai makhluk. Ma’rifat menurut Zunnun al-Misri sepenuhnya
diberikan oleh Allah Swt atas karunia dan kasih sayang-Nya. Maka seorang hamba tidak akan
sampai pada tingkat ma’rifat tanpa usaha dan anugerah serta karunia Allah SWT. Lihat:
Ibid.,144.
108
Ibid, 237-238.
52

tasawuf mayoritas menaruh perhatian terhadap seorang sufi pada kurun

waktu saat itu, yakni Syekh Abu> Yazi>d al-Bust}a>mi>109>. Yang juga diapresiasi

sebagai peletak dasar kemunculan doktrin ajaran Ittih}a>d, yang bersumber

dari ungkapan-ungkapan mistik (sufi: Shat}a>hat) dari al-Bust}a>mi>.110 Diantara

ungkapan mistik tersebut adalah:

.‫أعرفه ِب حِت ف ن يت ُث عرف ته فحييت‬

“Aku mengetahui (mengenal) Tuhanku melalui diriku, hingga aku fana>’.


Kemudian dengan ungkapan pula: 111

.‫ت ُث جنِن به فعشت ف قلت الن ون ِب ف ناء والن ون بك ب قاء‬


ُّ ‫جنِن ِب فم‬

Al-Ittih}a>d yang diamalkan oleh al-Bust}a>mi> adalah suatu maqam yang

tertinggi untuk lebih dekat kepada Allah SWT, tapi sebelum sampai ke al-

Ittih}a>d seorang sufi harus terlebih dahulu mengalami fana>’ dan baqa>’.

Berbicara fana>’ dan baqa>’ sangat erat kaitannya dengan al-Ittih}a>d, yakni

penyatuan (union) batin atau rohani dengan Tuhan, karena tujuan dari fana>’

dan baqa>’ itu sendiri adalah al-Ittih}a>d itu. Must}afa> Zuhri> menyebutkan

bahwa fana>’ dan baqa>’ tidak dapat dipisahkan dengan al-Ittih}a>d.112 Kata

109
Selanjutnya disebut sebagai al-Bust}a>mi>. al-Bust}a>mi>, nama lengkapnya adalah Abu> Yazi>d
T{ayfu>r bin ‘Isa> bin Surusyan al-Bust}a>mi>>. Ia dilahirkan di Bust}a>m, salah satu kota di daerah
Qumis Persia (tepat sebelah tenggara dari laut hizar) pada tahun 188 H./804 M.5 Ayahnya (Isa)
adalah salah seorang tokoh di Bistam, sedangkan ibunya adalah seorang yang taat dan bersifat
zuhud. Ia dibesarkan dalam keluarga yang taat beragama. Pada masa mudanya ia mempelajari al-
Qur’a>n bahkan mendalaminya dan belajar hadith Nabi serta ilmu fikih mazhab Hanafi.
110
Muniron, Ittih}a>d & H{ulu>l Dalam Pandangan Al-Ghaza>li>, Cet.1, (Jember: STAIN Jember Press,
2013), 23-24.
111
Abdur Rahman Badawi>, Shat}ah}a>t al-S}ufiyyah, Juz 1 (Beirut: Dar al-Qalam, T.Th), 108.
112
Musatafa Zuhri, Kunci Memahami Ilmu tasawuf (Surabaya: Bina Ilmu, 1985), 236.
53

fana>’ berarti hancur, sirna, dan lenyap. Juga berarti keadaan dari sesuatu

yang tidak berakhir.113

Menurut kaum mutakallimin mengartikan fana>’ sebuah proses

menghilangnya sifat sesuatu.114 Menurut kalangan sufi adalah hilangnnya

kesadaran pribadi dengan dirinya sendiri atau dengan sesuatu yang lazim

digunakan pada diri. Dengan kata lain tergantinya sifat-sifat kemanusiaan

dengan sifat ketuhanan.115 Dalam hal itu, Must}afa> Zuhri> mengatakan bahwa

yang dimaksud fana>’ adalah lenyapnya indrawi atau kebasyariahan, yakni

sifat sebagai manusia biasa yang suka pada shahwat dan hawa nafsu.

Senantiasa diliputi sifat hakikat ketuhanan, sehingga tiada lagi melihat

daripada alam baru, alam rupa atau dari alam wujud ini, maka dikatakan ia

telah fana>’ dari alam cipta atau dari alam makhluk.116 Sebagai akibat atau

hasil dari fana>’ adalah baqa>’ yang berarti terus menerus sebagai lawan dari

fana>’ ia berarti tetap ada dan merupakan sifat wajib Tuhan.117

Pengalaman kasyaf yang terjadi ketika seorang sufi mengalami fana>’

yaitu hilangnya kesadaran terhadap alam sekelilingnya, karena semua

kesadaran telah berganti dan berpusat pada pengalaman kejiwaan, bila tidak

dijami’kan dan dikompromikan dengan syari’at tentu akan mengarah paa

faham ketuhanan yang panteis. Dengan demikian ditangan para sufi inilah

puncak pengalaman kashaf menimbulkan akidah yang berwajah baru, yakni


113
Ibra>hi>m Anis, Al-Mu’ja>m al-Wast}, Cet. 2 (Kairo: Dar al-Fikr, 1972), 704.
114
Khan Sahb Khaja Khan, Tasawuf: Apa dan Bagaimana, terjemahan Achmad Nashr Budiman
(Jakarta: PT Grafindo Persada, 1995.), 83.
115
Jamil Saliba, Mu’jam al-Falsafah, Jilid 2 (Beirut: Dar al-Kutub, 1979), 167.
116
Musatafa Zuhri, Kunci Memahami Ilmu tasawuf…,234.
117
Abu Husain Ahmad Bin Faris Zakariyyah, Mu’ja>m Maqa>yis al-Lughah (Kairo: Mushtafa al-
Bahyi al-Halaby, 1969), 276.
54

faham Ittih}a>d dalam tasawufnya Abu> Yazi>d al-Bust}a>mi>.118 Selanjutnya,

Ittih}a>d mengharuskan sirnanya kemenduaan -istilah yang lazim dipakai

adalah dualisme- menjadi satu unsur (monisme).

Klaim Ittih}a>d yang banyak diutarakan oleh para sufi muncul dari

subjek yang mengalami guncangan (luapan) rasa, atau dikenal dengan term

istilah wajd. Sehingga kesadaran (s}ah}wu) seseorang tersebut sirna tidak

dapat merasakan kondisi jasmaninya.119 Kemudian terdapat dua jenis respon

dari subjek yang mengalami wajd. Yakni, subjek yang memberikan respon

pasif dan aktif. Diantara kedua respon tersebut mengaruskan penyesuaian

terhadap tuntutan kondisi masing-masing subjek (relatif). Sehingga tidak

dapat dijustifikasi satu dari kedua respon tersebut lebih utama dari yang

lain.120

Generasi sufi selanjutnya, kemudian berangkat (ber- Ittih}a>d) melalui

basis tasawuf falsafi, dari ungkapan-ungkapan puitis disertai dengan

pemikiran yang mendalam, ketajaman rasa intuitif (dhawq). Diantara mereka

adalah Fari>duddi>n al-‘At}t}a>r dan Ibnu al-Fari>d.121

2. H{ulu>l

Kemuncula doktrin H{ulu>l sebagaimana diuraikan dalam sejarah

panjang tasawuf (sufisme), juga sangat berkaitan erat dengan dimensi fana>’

yang diperkenalkan pertema kali oleh syekh Abu> Yazi>d al-Bust}a>mi>. Dengan

118
Taufikin, Filsafat Etika Tasawuf Fana’, Baqa>’ dan Ittih}a>d Abu> Yazi>d al-Bust}a>mi> (Esoterik:
Jurnal Akhlak dan Tasawuf), 158.
119
Said Aqil Siraj, Allah dan Alam Semesta: Perspektif Tasawuf Falsafi (Jakarta: Yayasan Said
Aqil Siraj, 2021), 219.
120
Ibid.
121
Ibid.,223.
55

indikasi hilangnya kesadaran (baca: s}ifat al-bashariyyah) yang melekat

dalam diri seorang sufi. Salah satu tokoh yang digadang menjadi pelopor

ajaran H{ulu>l adalah Syekh al-H{alla>j, nama lengkapnya adalah Abu> al-

Mughi>th al-H{usayn bin Mans}u>r bin Muh}ammad. Cucu dari Muh}ammad yang

mana sebelum kakeknya ini masuk islam, kakeknya adalah pemeluk agama

Zoroastrianisme (Majusi) yang menyembah api.122

Secara etimologi, kata H{ulu>l bentuk masdar dari fi’il: ‫ َي ُّل‬- ‫حل‬yang

berati “bertempat di” atau “tinggal di”. Dikaitkan dengan konsep H{ulu>l

tersebut, maka tubuh manusia dapat disebut mahal.123 Sedangkan menurut

terminologi, H{ulu>l merupakan ajaran yang menyatakan bahwa Tuhan telah

memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk bersemayam di dalamnya

dengan sifat-sifat ketuhanannya, setelah sifat-sifat kemanusiaan dalam

tubuhnya dilenyapkan terlebih dahulu. Atau dengan bahasa lain H{ulu>l berati

Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu, yaitu manusia yang

telah mampu melenyapkan sifat-sifat kemanusiaanya melalui fana>’.124

Al-H{alla>j adalah orang yang pertama kali mengucapkan H{ulu>l secara

tat}bi>q (praktek) bukan secara naz}ori (teori) sehingga beliau menganggap

122
Said Aqil Siraj, “Silat Alla>h bi al-Kawn fi> al-Tasawwu>f al-Falsafi>” (“Disertasi”--Universitas
ummu al-qura>, Mekkah, 1414 H/1994 M), 52-53.
123
M. Alfatih Suryadilaga, Miftahus Sufi (Yogyakarta: Teras, 2008),170.
124
Abudin Nata, Akhlak Tasawuf (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2011), 239. Hemat penulis,
bukan berarti pegambilan tempat yang dimaksud dalam redaksi di atas, berkonotasi bahwa Allah
SWT memiliki tempat. Akan tetapi makna yang sesungguhnya akan lebih tepat ketika
dikembalikan pada pengalaman dari para praktisi tasawuf. Dan pemahaman bahasa yang telah
dituangkan merupakan prolog atau penggambaran saja, yang masih dikatakan jauh untuk
menetapkan makna yang sebenarnya.
56

bahwa Allah SWT berdiam atau bertinggal didalam dirinya secara terang-

terangan dengan ungkapannya yaitu : Ana> al-H{aqq.125

Menurut al-H{alla>j, mengapa Tuhan dapat mengambil tubuh manusia

karena pada diri manusia memiliki dua sifat dasar, yakni sifat lahut

(ketuhanan) dan sifat nasut (kemanusiaan. Atas dasar inilah maka sangat

mungkin persatuan antara Tuhan dengan manusia bisa terjadi, dan persatuan

ini yang disebut H{ulu>l (mengambil tempat) oleh al-H{alla>j.126

Ada dua poin yang dapat diambil dari konsep H{ulu>l milik al-H{alla>j ini.

Pertama, dengan adanya kata-kata cinta yang dikemukakan al-H{alla>j, maka

H{ulu>l merupakan pengembangan atau bentuk lain dari “mah}abbah” yang

dipelopori oleh Ra>bi’ah al-‘Adawiyah. Kedua, H{ulu>l tak lain juga ittih}ad>

atau kesatuan rohaniah dengan Tuhan. Akan tetapi menurut Harun Nasution,

persatuan rohaniah dengan Tuhan yang dialami al-Bust}a>mi> dalam ittih}a>dnya

itu berbeda dengan apa yang dialami oleh al-H{alla>j (dengan paham al-

h}ulu>lnya). Jika al-Bust}a>mi> bersatu dengan Tuhan-Nya, dia merasa dirinya

hancur dan yang ada hanyalah diri Tuhan atau hanya ada satu wujud, yaitu

Tuhan. Sedangkan al-H{alla>j meskipun saat mengalami h}ulu>l, ia tidak hancur.

Hal ini dapat dilihat dari syairnya yang berbunyi:

“Aku adalah rahasia Yang Maha Benar. Yang Maha Benar bukanlah
aku. Aku hanya satu dari Yang Maha Benar. Maka bedakanlah antara
kami”.

Dan ungkapannya al-H{alla>j dari pemikirannya mengenai pengalaman

tasawwufnya (h}ulu>l) lebih halus dan dalam dari pada ungkapannya Abu>

125
Said Aqil Siraj, “Silat Alla>h bi al-Kawn fi> al-Tasawu>f al-Falsafi>>”...,54.
126
M. Alfatih Suryadilaga, Miftahus Sufi...,170.
57

Yazi>d al-Bust}a>mi> mengenai pengalaman tasawwufnya (ittih}ad> ).127 Akan

tetapi, kembali lagi ungkapan al-H{alla>j tersebut menimbulkan adanya

kemenduaan (dualisme). Dimana salah satu dari dua unsur tersebut

bersemayam di dalam unsur yang lain, tanpa menghilangkan hakikat dirinya

masing-masing.128

127
Said Aqil Siraj, “Silat Alla>h bi al-Kawn fi> al-Tasawwu>f al-Falsafi>>”...,54.
128
Said Aqil Siraj, Allah dan Alam Semesta...,217.
BAB III

WUJU<DIYYAH DALAM

PEMIKIRAN KH. ACHMAD ASRO<RI AL-ISH{A<QI<

A. Biografi KH. Achmad Asro>ri al-Ish{a>qi>

1. Silsilah Nasab dan Riwayat Hidup

Sosok yang menjadi salah satu penerus ulama salaf al-s}a>lih} dalam

menyerukan dan mengibarkan dakwah islam, yakni KH. Achmad Asrori al-

Ish}aq> i> yang dilahirkan bertepatan pada tanggal 17 Agustus tahun 1950 M, di

pondok pesantren Da>r al-‘Ubu>diyyah Raud}at al-Muta’allimi>n Jatipurwo,

kecamatan semampir, kota Surabaya, sekaligus juga merupakan darah

keturunan Rasulullah SAW yang ke-38, sehingga keluarga al-Ish}aq> i> juga

termasuk keluarga yang terhormat (jawa: priagung).129

129
Berikut silsilah nasab al-Ish}a>qi>, dari mulai bawah: KH. Achmad Asro>ri> al-Ish}a>qi> – KH.
Muhammad Uthma>n al-Ish}a>qi> – Nyai Surati – Kiai Abdulla>h – Embah Dasha – Embah Salbeng –
Embah Jarangan – Kiai Ageng Mas – Kiai Panembahan Bagus – Kiai Ageng Pangeran Sadang
Rono – Panembahan Agung Sido Mergi – Pangeran Kawis Guwa – Syekh Fadhlulla>h (Sunan
Prapen) – Syekh ‘Ali Sumadiro – Syekh Muhammad ‘Ainul Yaqi>n (Sunan Giri) – Syekh Maulana
Isha>q – Syekh Ibro>him Akbar (Ibro>him Asmorokondi) – Syekh Jama>luddin Akbar ( Shaikh
Juma>di al-Kubro) – Syekh Ahmad Shah Jala>l A<mir – Syekh ‘Abdulla>h Kha>n – Syekh ‘Abdul
Malik – Syekh ‘Alwi> – Syekh Muh}ammad S}a>h}ib Mirbat} – Syekh ‘Ali> Khala’ Qasam – Syekh
‘Alwi> – Syekh Muhammad – Syekh ‘Alwi> – Syekh ‘Ubaidilla>h – Syekh Ahmad Muha>jir – Syekh
Isa> al-Ru>mi – Syekh Muhammad Naqi>b – Syekh ‘Ali al-Iri>dhi> – Syekh Ja’far S}a>diq – Syekh
Muhammad al-Ba>qir - Sayyid ‘Ali> Zainal ‘Abidi>n – Sayyid Imam al-H{usayn – Sayyidah Fat}imah
al-Zahra> – Nabi Muhammad SAW.
Lihat: Ahmad Syatori, “RELASI MURSYID-MURID DALAM TRADISI TARIKAT
QADIRIYAH WA-NAQSYABANDIYAH: Studi Tasawuf Tentang Perilaku Sosial-Spiritual
Penganut Tarikat di Pondok Pesantren al-Salafi al-Fithrah Surabaya” (“Tesis”—UIN Sunan
Ampel, Surabaya, 2015), 22-23. Versi PDF yang penulis miliki, hanya menyebutkan 32 silsilah
nasab dari al-Ish}a>qi> sampai kepada Rasulullah SAW. Berbeda dengan sumber dari; Muhammad
Musyafa’, RELEVANSI NILAI-NILAI AL TARIQAH...,89-90. Yang penulis miliki. Versi kedua
ini, menyebutkan 38 silsilah nasab mulai dari al-Ish}a>qi> sampai kepada Rasulullah SAW.

58
59

Al-Ish}aq> i> tumbuh dan dibesarkan di lingkungan yang kental akan nuansa

pesantren. Kemudian, Al-Ish}aq> i> adalah putra ketujuh, dari sebelas bersaudara

(saudara kandung), yaitu:

1. Nyai Hj. ‘A<fifah (almarh}u>mah)

2. Shamsu>l (meninggal ketika kecil)

3. KH. Fath} al-‘A<rifi>n (al-marh}u>m)

4. Mukhlis (meninggal ketika kecil)

5. KH. Minan al-Rah}ma>n

6. KH. Achmad Qamar al-Ana>m (al-marh}u>m)

7. KH. Achmad Asrori al-Ish}aq> i

8. Nyai Hj. Lut}fiyyah

9. KH. Achmad Ans}a>rulla>h (almarh}u>m)

10. Nyai Hj. Zakiyyat al-Miskiyyah

11. Nyai Hj. Juwayriyyah

Sedangkan saudara seayah dari Nyai Khafi>fah Bint Imam Rusydi ada

empat, yaitu:

1. KH. Achmad Tajjul Mufakhir

2. KH. Achmad Fakhrul ‘Alam

3. Nyai. Hj. Faih}at al-Miskiyyah (Nyai Mimik)

4. Nyai Hj. Cahyowati (Nyai Titik).130

Ayah al-Ish}aq> i> bernama KH. Muhammad Uthma>n al-Isha>qi>, yang juga

menjadi mursyid al-T{ari>qah penerus dari KH. M. Romli al-Tami>mi>,

130
Muhammad Musyafa’, RELEVANSI NILAI-NILAI AL TARIQAH...,77.
60

Peterongan (Jombang). Sedang ibunya Nyai Hj. Siti Qomariyah binti KH.

Muna>di>. Indikator-indikator bahwa al-Ish}aq> i> akan menjadi sosok ulama besar

kelak, tampak sejak al-Ish}aq> i> masih dalam kandungan, seperti ibunda al-Ish}a>qi>

yang tidak merasakan berat (selama mengandung), sehingga seolah seperti

tidak sedang mengandung. Bahkan sejak dalam kandungan, al-Ish}aq> i> sudah

digadang-gadang sebagai calon penerus panji kemursyidan dari buya-nya

(ayah) yakni KH. Muhammad Uthma>n al-Ish}aq> i>.131 Selanjutnya, kashaf132 al-

Ish}aq> i> suatu ketika tampak, saat menginjak umur 4 tahun. Tepatnya saat al-

Ish}aq> i> mengajak salah satu santri Jatipurwo yang berasal dari bawean untuk

berziarah ke maqbarah sunan Ampel. Setibanya di pesarean Sunan Ampel,

bukannya langsung salam dan berdo’a, al-Ish}a>qi> justru mengajak pulang.

Karena alasan al-Ish}a>qi> saat itu Sunan Ampel sedang pergi.133 Selain itu, al-

Ish}aq> i> kecil juga dikenal sebagai sosok yang memiliki akhla>q al-kari>mah serta

senantiasa mementingkan dan mendahulukan orang lain, senantiasa menjaga

kesucian, kebersihan, kerapian, keindahan serta memakai wewangian,

terutama ketika ber-muja>lasah dengan orang-orang s}a>lih}.

Tidak sedikit yang menuturkan bahwa budi pekerti dan akhlak al-Ish}aq> i>

merupakan duplikat dari akhlak Rasulullah SAW, yang sudah langka

131
Sebagaimana perkataan dari Gus ‘Ud Sidoarjo yang mendoakan al-Ish}a>qi> ketika masih berada
dalam kandungan usia 7 bulan. Gus ‘Ud, nama lengkap beliau adalah KH. Ali Mas’ud, tergolong
waliyulla>h yang majd}u>b sejak masih kecil, beliau dilahirkan pada 1908 M, di kota Mojokerto.
Dan wafat pada 27 Rajab 1979 M. KH. Ali Mas’ud atau akrab dipangil Gus ‘ud juga
menceritakan perkataan –berdasrkan kasyaf- dari KH. Abd. Hamid Magelang kepada KH. M.
Uthman al-Ish}a>qi>: “anak itu kelak di masa depan akan meneruskan kemursyidan”. Lihat: Ibid.,78.
132
Dapat melihat hal ghaib. Cari ket. Bab kasyaf.
133
Disampaikan oleh Ustad H. Soleh (salah satu santri al-Ish}a>qi>) ketika wawancara dengan kepala
Pondok al-Fithrah Ustad H. M. Musyafa’. Lihat: Muhammad Musyafa’, RELEVANSI NILAI-
NILAI AL TARIQAH...,79.
61

ditemukan di kurun waktu sekarang ini.134 Di masa mudanya, al-Ish}aq> i> sempat

menimba ilmu di beberapa Pondok pesantren yang berada di Jawa Barat, Jawa

Tengah dan Jawa Timur, diantaranya adalah Pondok pesantren asuhan KH.

Muh}ammad Romli> al-Tami>mi>, Peterongan, Jombang, Jawa Timur.

Selanjutnya, al-Ish}aq> i> terjun berdakwah dan mengajak anak-anak muda

jalanan yang banyak tersebar diwilayah Surabaya, Gresik hingga Sidoarjo.

Disinilah sosok tidak biasa, serta keistimewaan al-Ish}aq> i> terlihat, bagaimana

al-Ish}aq> i> seolah dapat menjadi medan mahnet yang dapat menarik hati

mayoritas dari anak-anak jalanan tersebut.135

Melihat perjalanan dakwah al-Ish}aq> i>, seolah kita bernostalgia dengan

konsep dakwah Wali Songo pada zaman dahulu, yang menekankan sentuhan

hikmah dan nasehat baik serta jauh dari sikap anarkisme dan kekerasan. Selain

itu juga, menjalin kedekatan emosional sehingga tercipta akulturasi sosial dan

budaya. Sekalipun terkadang pintu masuk kepada objek dakwah tersebut

bertentangan dengan aturan syariat.136 Sebagai gambaran misalnya, jika kita

membawa lampu tentu untuk menerangi ruang atau tempat yang gelap, maka

menjadi teranglah keadaan tempat ruangan tersebut. Namun, jika

134
Disebutkan juga, bahwa al-Ish}a>qi> pernah bermimpi bertemu Rasulullah SAW, dan beri
sepotong roti. Kemudian al-Ish}a>qi> memakan sebagian roti tersebut, dan selebihnya diletakkan di
dapur. Benar saja ketika al-Ish}a>qi> bangun, sebagian roti yang berada di dapur masih tetap ada.
Disampaikan dan diceritakan oleh Ahmad Fauzi dari khodam al-Ish}a>qi> (Achmad) Probolinggo.
Lihat: Ibid.,80-81.
135
al-Ish}a>qi> juga dapat menyesuaikan kebiasaan dan hobi dengan anak jalanan, tak jarang al-
Ish}a>qi> juga ikut nongkrong bersama, bermain musik, jalan-jalan dan masih banyak kebiasaan
nyeleneh lainnya. Semata-mata untuk melancarkan misi menarik dan mengajak kepada jalan
kebenaran, denga model atau cara dakwah yang halus dan baik. Hingga tanpa disadari,
sebenarnya mereka telah menjadi bagian dari pendekatan al-Ish}a>qi> dalam menenamkan perubahan
jiwa dan mental tentang ilmu-ilmu h}ikmah. Lihat: Ahmad Syatori, “RELASI MURSYID-
MURID DALAM TRADISI TARIKAT QADIRIYAH WA-NAQSYABANDIYAH”...,23.
136
Ibid.,26.
62

membawanya di ruang atau tempat yang sudah terang benderang maka sia-

sialah, karena tempat ruangan tersebut sudah tidak lagi memerlukan

penerangan.

Bagi al-Ish}aq> i,> berkumpul dan bergaul dengan anak-anak jalanan (jawa:

kaum abangan) bukanlah sesuatu yang aneh, justru bersama mereka adalah

merupakan kesempatan yang sangat berharga, agar mereka dapat lebih dekat

dan mengerti kepada kebaikan. Dan jika menjauhinya, maka tentu jauh pula

sinar cahaya kebaikan pada mereka. Oleh karena itu, dalam beberapa

kesempatan merekapun diajak pula untuk berkumpul dan berdhikir bersama

orang-orang saleh dalam majlis-majlis tertentu, seperti mana>qiban137,

mawlidan dan pengajian. Majlis pertama kali dilaksanakannya acara tersebut

adalah Gersik, tepatnya di kampung Bedilan, yang dikemudian hari tempat

tersebut dijadikan sebagai acara rutin majlis manaqiban yang dilaksanakan

pada setiap bulannya.138

Begitu halnya dalam berdakwah, maka berdakwalah di suatu tempat di

mana masih diperlukan adanya pencerahan dan perbaikan sesuai dengan

kondisi masing-masing.139 Dengan akhlak yang mulia dan terpuji, sikap kasih

sayang, bijaksana, suritauladan, panutan, ketekunan, kesungguhan, istiqa>mah,

t}uma’ni>nah, kesabaran dan ketulusan yang mengakar dalam jiwa al-Ish}aq> i>,

137
Mana>qib dapat dimakanai sebagai kegiatan keagamaan yang berisi pembacaan biografi para
ulama atau wali-wali Allah SWT, termasuk biografo orang-orang s}a>lih}, serta di dalamnya (acara
Mana>qib) juga terdpat syair-syair pujian dan do’a sebagai munajat kepada Allah SWT. Lihat:
Achmad Asro>ri al-Ish}a>qi>, al-Muntakhaba>t fi> Ma> Huwa al-Mana>qib, (Surabaya: Al-Khidmah, t.t),
6.
138
Ahmad Syatori, “RELASI MURSYID-MURID DALAM TRADISI TARIKAT QADIRIYAH
WA-NAQSYABANDIYAH”...,27.
139
Ibid.,26.
63

yang ditujukan para murid, serta masyarakat, sehingga para pecintanya seiring

dengan waktu, semakin banyak. Begitu pula pengikut yang hadir bersama-

sama dalam Majelis zikir, Maulidur Rasul dan Manaqib. Jumlah mereka

ratusan ribu dan semakin tersebar luas diberbagai daerah, bahkan luar negri.

Hingga pada tahun 2005 al-Ish}aq> i> membangun dan menata sistem, yang

ditandai dengan penyusunan pedoman dalam berorganisasi dan saresehan

nasional di Semarang untuk mendirikan perkumpulan Jama’ah Al-Khidmah.140

Tentu, bukan perkara yang mudah untuk mengajak mereka terlebih lagi,

merubah sifat, tabi’at (karakter) seseorang, serta akidah yang sudah tertanam

dalam dan mengakar kuat dalam hati mereka.141 Pada mulanya, perkumpulan

(komunitas) yang didirikan oleh al-Ish}aq> i>, diberi nama jama’ah KACA yang

merupakan kepanjangan dari Karunia Cahaya Agung. Namun, perkumpulan

tersebut lebih populer dengan sebutan komunitas orong-orong. Hal itu bukan

tanpa alasan, akan tetapi karena jama’ah ini pengikutnya lebih didominasi

oleh kalangan anak-anak muda jalanan yang hobi dan kesukaannya keluyuran

diwaktu malam. Tentu nama atau istilah tersebut sesuai dengan perilaku

orong-orong yang menurut sebagian ahli bahasa adalah nama bagi binatang

melata yang kebiasaannya keluar diwaktu malam. Maka secara majaz,

140
Achmad Asro>ri al-Ish}a>qi>, Tuntunan dan Bimbingan: Pedoman Kepemimpinan dan
Kepengurusan dalam Kegiatan dan ‘Amaliyah Ath Thoriqoh dan Al Khidmah (Surabaya: Jama’ah
Al Khidmah, 2011), 44.
141
Ahmad Syatori, “RELASI MURSYID-MURID DALAM TRADISI TARIKAT QADIRIYAH
WA-NAQSYABANDIYAH”...,25.
64

kemudian nama itu diistilahkan bagi mereka yang memiliki persamaan sifat

dan perilaku yang serupa.142

Berangkat dari perkumpulan oron-orong ini (embrio), kemudian

berkembang dan melahirkan jamaah (perkumpulan) al-Khidmah. Al-Khidmah

adalah kumpulan orang-orang yang mengikuti kegiatan umum, yang telah

ditetapkan dan diamalkan oleh para guru t}ariqah atau para ulama salaf al-s}a>lih}

dan pinisepuh143 yang terdahulu, sebagaimana dikutip dari penjelasan KH.

‘Abdulla>h Siddi>q Lamongan yang menjadi narasumber dalam seminar ke-Al

Khidmahan yang diadakan di Pendopo Pondok pesantren Assalafi al-Fithrah

tahun 2016. Diantara penjelasan yang menjadi benang merah narasumber

adalah al-Khidmah berdiri sebagai sebuah organisasi, yang tersistem

sebagaimana dalam tuntunan dan bimbingan dari al-Ish}aq> i>, serta telah

dibentuk visi dan misi secara formal (baca: terbukukan). Perlu dicatat bahwa

berdirinya organisasi al-Khidmah bukan sebagai cikal bakal berdirinya

organisasi yang berbau partai politik, atau sebagai pendukung dan pembela

salah satu partai politik.144

Terbukti dalam perkembangannya di indonesia, al-Khidmah mempunyai

struktural yang kompleks, serta management yang solid dalam mengatur

tatanan kegiatan dan unteraksi antar jamaah yang ada dalam lingkup al

Khidmah. Sacara garis besar, struktural al-Khidmah dapat di bagi menjadi 2

142
Ibid.,27.
143
Pinisepuh adalah istilah yang dipakai bagi orang-orang yang dihormati bukan karena sudah tua
(jawa: sepuh) akan tetapi karena kemulyaan dan kehormatan yang ia miliki.
144
KH. Abdulla>h Siddiq sebagai narasumber dalam Seminar tentang Ke-Al Khidmahan Dan
Thoriqoh yang diadakan di Pendopo Ponpes al-Fithrah Surabaya (26/09/2016).
65

bagian besar, yakni pengurus al-Khidmah pusat dan pengurus al khimah

cabang atau daerah. Pengurus al-Khidmah mempunyai makna –mengutip

dalam tuntunan dan bimbingan:

“orang-orang yang telah di tunjuk, atau terpilih dan ditetapkan oleh


rapat al-Khidmah untuk memfasilitasi terselenggaranya kegiatan dan
amaliyah yang telah ditetapkan dan diamanahkan oleh guru Thoriqoh
atau para ulama salafus sholih, serta para sesepuh terdahulu.”145
Semasa hidup KH. Ahmad Asro>ri al-Isha>qi>, banyak sekali pelajaran

(‘ibrah), jasa dan kebaikan bagi setiap orang dan para pecintanya, khususnya

bagi seluruh jama’ah tarikat yang senantiasa menjadikannya sebagai panutan

dalam hidup. Pada tahun 2009 M. tepatnya hari selasa tanggal 18 Agustus

bertepatan dengan tanggal 26 sha’ban 1430 H. al-Ish}aq> i> telah berpulang

menghadap keharibaan Allah SWT di usia 58 tahun, dengan meninggalkan

dua istri dan enam anak. Lima anak dari istri pertama, dan satu anak dari istri

yang kedua.146

2. Riwayat Pendidikan KH. Achmad Asro>ri al-Ish{a>qi>

Dalam pencariannya menuntut ilmu, al-Ish}a>qi> hanya mengenyam

pendidikan ditingkat sekolah dasar (SD), bahkan itupun tidak sampai tamat

(lulus), hanya sampai tingkatan kelas tiga. Seperti pada umumnya, putra-putri

Kyai di Jawa termasuk al-Ish}aq> i>, semasa mudanya juga dipondokkan oleh

orang tuanya ke beberapa Pondok Pesantren untuk menuntut ilmu. Hal itu

145
Kh. Achmad Asro>ri Al Ish}a>qi>, Pedoman Kepemimpinan Dan Kepengurusan Dalam Kegiatan
Dan Amalliyah Ath Thoriqoh Dan Al Khidmah (Surabaya: Jamaah Al Khidmah,2011), 54.
146
Ibid.,28.
66

agar menjadi bekal dan harapan kelak di masa yang akan datang. Kemudian

juga sebagai media ber-tabarruk pada para salaf al-s}a>lih}.147

Al-Ish}aq> i> pertama kali belajar dan menuntut ilmu di Pondok Pesantren

Da>r al-‘Ulu>m, Peterongan Jombang, yang diasuh oleh KH. Musta’i>n Romli>

Tami>mi> di tahun 1966 M.148 Setelah berjalan selama satu tahun dan menimba

ilmu di Jombang, al-Ish}aq> i> kemudian melanjutkan studinya ke Pondok

Pesantren al-Hida>yah di Tertek, Pare, Kediri. Yang diasuh oleh KH. Juwayni>.

Selama tiga tahun ia menimba ilmu di Pondok Pesantren ini. Pelajaran dan

kitab-kitab yang dipelajari dan didalami kebanyakan kitab-kitab tasawuf

seperti Ih}ya>’ 'Ulu>m al-Di>n karya al-Ghaza>li. Meski dibilang cukup singkat,

namun banyak sekali kitab-kitab yang dapat dikhatamkan oleh al-Ish}aq> i> di

Pondok Pesantren ini. Al-Ish}aq> i> tidak pernah lama ketika belajar di Pondok

Pesantren tertentu. Hal semacam itu dikenal dengan istilah tabarrukan –

lumrahnya disebut ngalap (mengambil) berkah.149 Masa menuntut ilmu yang

paling lama bagi al-Ish}a>qi> adalah tatkala bermukim di Pondok Pesantren al-

Hida>yah Tertek, Pare Kediri yang diasuh oleh KH. Juwayni>.150

Al-Ish}aq> i> semasa hidupnya, pernah beberapa kali mengahatamkan kitab

Ih}ya>’ 'Ulu>m al-Di>n dengan mengaji kepada tokoh-tokoh ulama, diantaranya:

a. KH. Juwayni>, salah satu tokoh ulama pendiri dan pengasuh Pondok

Pesantren al-Hida>yah, Tertek (Pare Kediri). KH. Juwayni> menimba ilmu


147
Ibid.,29.
148
Ahmad Syatori, “RELASI MURSYID-MURID DALAM TRADISI TARIKAT QADIRIYAH
WA-NAQSYABANDIYAH”...,29.
149
Ibid. Keterangan demikian juga pernah disampaikan oleh Dr. KH. ‘Abdur Roshid M.Fil.I.,
dalam sebah kesempatan, tepatnya ketika jam perkuliahan. (untuk lebih detailnya, penulis tidak
begitu ingat terkait tanggal dan semster perkuliahan).
150
Ibid.
67

pada KH. Muh}ammad Ma’s}um bin Ah}mad (Lasem) dan KH. Hashi>m

Ash’a>ri>, Jombang. KH. Juwayni> senang sekali membaca kitab-kitab

hadith, terutama S}ah}i>h} al-Bukha>ri> dan S}ah}i>h} Muslim. Jika sudah

memulahi membaca kitab, maka ia betah sampai berjam-jam lamanya,

sehingga pesantrennya terkenal dengan pesantren kilatan. Ia juga

menjalani riya>d}ah (tirakat) berupa makan hanya satu lepek sampai akhir

hayatnya. Ia wafat pada 26 Jumadi> al-U>l< a> 1395 H./ 6 Juni 1975 M.151 al-

Ish}aq> i> belajar kepada KH. Juwayni> dengan menggunakan metode

pemaknaan yang langsung dibaca oleh pengajar (jawa: ngaji bandongan),

mulai pada bulann dhu> al-Qa’dah 1387 H/1968 M , sampai (khatam)

kira-kira di bulan Ra>jab.152 Berikut silsilah atau sanad kitab Ih}ya>’ 'Ulu>m

al-Di>n yang telah beliau pelajari, al-Ish}aq> i> belajar dari KH>. Juwayni> bin

Nu>h} dari gurunya KH. Muh}ammad Ma’s}u>m bin Ah}mad Lasem, dari

Gurunya Abu> ‘Imra>n Muh}ammad Khali>l bin ‘Abd al-Lat}i>f Bangkalan

Madura, dari al-Shaykh Nawawi> bin ‘Umar al-Bantani> thumma al-

Makki> dari ‘Abd al-S}amad bin ‘Abd al-Rah}ma>n Palembang yang

bermukim di Makah, dari Sayyid ‘Abd al-Rah}ma>n bin Mus}ta>fa> al-Idrus,

dari ‘Abdilla>h bin Salim al-Bas}ri>, Ah}mad bin Muh}ammad al-Nakhali>,

Sayyid Muh}ammad bin Abu> Bakar al-Shi>li>, dan Sayyid ‘Umar bin ‘Abd

al-Rah}ma>n al-‘Aidi>d, keempatnya dari Syams al-Di>n Muh}ammad bin

‘Ala> al-Ba>bili>, dari Najm al-Di>n Muh}ammad bin Ah}mad al-Ami>n, dari

Muh}ammad bin Ah}mad bin ‘Isa> bin al-Najja>r, dari Shaykh Jala>l al-Di>n

151
Muhammad Musyafa’, RELEVANSI NILAI-NILAI AL TARIQAH...,91.
152
Ibid.,92.
68

bin al-Mulaqqan dari al-Shaykh Abu> Ish}aq> Ibra>him bin Ah}mad al-

Tanu>h}i> dari al-Taqi> Sulayma>n bin H}amzah dari al-Shaykh ‘Umar bin

Kira>m al-Daynu>ri> dari al-Shaykh al-H}a>fiz} Abu> al-Fara>j ‘Abd al-Kha>liq

bin Ah}mad Yu>suf al-Baghda>di> dari al-Ima>m H}ujjat al-Isla>m Abu> H}a>mid

Muh}ammad bin Muh}ammad bin Muha}ammad al-Ghaza>li>. Demikian

silsilah kitab Ih}ya>’ 'Ulu>m al-Di>n yang telah al-Ish}aq> i> pelajari.153

b. Sanad silsilah kitab Ih}ya>’ 'Ulu>m al-Di>n al-Ish}a>qi> yang ke-dua yakni

secara ijazah dan mengambil barakah (jawa: tabarrukan). KH. Achmad

Asrori al-Ish}aq> i> dari (KH. ‘Akyas) bin KH. Abdul Jamil Cirebon, dari

KH. Hashim ‘Ash’a>ri> Jombang,154 dari al-Shaykh Muh}ammad Mah}fu>z

al-Turmusi> al-Ja>wi> thumma al-Makki>, dari Sayyid Abu> Bakar al-

Mashhu>r bi al-Sayyid al-Bakri> bin al-‘A>rif billa>h al-Sayyid Muh}ammad

Shat}a> al-Dimya>t}i> al-Makki>,155 dari Sayyid Ah}mad Zayni Dahla>n, dari al-

Shaykh ‘Uthma>n bin H{asan al-Dimya>t}i> dari al-Shaykh ‘Abdulla>h al-

Sharqa>wi> dari al-Shaykh Muh}ammad bin Sa>lim al-H}anafi> dari al-Shaykh

al-Badi>ri> dari al-Shaykh al-Mala> Ibra>hi>m al-Kura>ni> dari al-Shaykh

Muh}ammad bin Shari>f dari al-Shaykh Abu> Ish}aq> Ibra>him bin Ah}mad al-

Tanu>h}i> dari al-Taqi> Sulayma>n bin H}amzah dari al-Shaykh ‘Umar bin

Karam al-Daynu>ri> dari al-Shaykh al-H}a>fiz} Abu> al-Fara>j ‘Abd al-Kha>liq

bin Ah}mad bin ‘Abd al-Qa>dir bin Yu>suf al-Baghda>di> dari al-Ima>m al-

Ghaza>li>. Kedua sanad atau silsilah kitab Ih}ya>’ 'Ulu>m al-Di>n yang telah

153
Ibid.
154
KH. Hashim ‘Ash’a>ri> merupakan tokoh pendiri organisasi NU (Nahd}atul ‘Ulama>’).
155
Penulis kitab I’a>nat al-T{a>libi>n.
69

dipelajari al-Ish}aq> i> tersebu,t bertemu pada al-Shaykh Ibra>him bin

Ah}mad al-Tanu>h}i>.156

Selepas dari Kediri, al-Ish}aq> i> melanjutkan belajarnya ke Pondok

Pesantren al-Munawwi>r, Krapyak, Jogjakarta di bawah asuhan KH. ‘Ali>

Ma’s}u>m. Di pesantren ini al-Ish}aq> i> menimba ilmu beberapa bulan saja.

Kemudian, al-Ish}aq> i> berpindah ke daerah Jawa Barat, yaitu di salah satu

pesantren yang ada di daerah Cirebon, tepatnya di Pondok Pesantren Buntet

yang diasuh oleh KH. ‘Abdulla>h ‘Abba>s. Di pesantren ini-pun al-Ish}a>qi> hanya

belajar selama setengah tahun.157

3. KH. Achmad Asrori al-Ish{a>qi> Sebagai Mursyid

Bermula dari sifat, sikap dan kemampuan yang dibawanya sejak lahir,

menunjukan adanya tanda-tanda kemungkinan menjadi sosok besar dan

istimewa. Tidak salah, jika kemudian al-Ish}a>qi> dipercaya, dipilih dan diangkat

oleh ayahnya untuk menjadi penerus sebagai murshid. Diceritakan bahwa

sejak tahun 1975 al-Ish}aq> i> sebenarnya sudah diminta dan di bujuk oleh

ayahnya agar mau bersedia dibai’at untuk meneruskan dirinya meneruskan

tampuk kepemimpinan sebagai murshid. Namun, al-Ish}aq> i> tidak langsung

menerimanya, bahkan ia selalu berusaha menghindar dan menghindar dengan

cara mencari-cari suatu alasan. Salah satu alasan yang al-Ish}aq> i> ungkapkan

ialah karena masih ada beberapa saudaranya yang lebih tua. Itulah sikap yang

arif dan bijaksana bagi seorang yang memiliki sifat tawa>du’ (rendah hati),

156
Muhammad Musyafa’, RELEVANSI NILAI-NILAI AL TARIQAH...,93.
157
Ahmad Syatori, “RELASI MURSYID-MURID DALAM TRADISI TARIKAT QADIRIYAH
WA-NAQSYABANDIYAH”...,30.
70

sekaligus merupakan tanda kebesaran jiwa yang ada pada dirinya. Akan tetapi

bukahlah sesuatu yang tidak pantas jika al-Ish}aq> i> menerimanya, karena hal ini

adalah ama>nah (kepercayaan) dari seorang guru yang juga sekaligus sebagi

orang tua. Sekalipun demikian, al-Ish}aq> i> tetap senantiasa menjaga dan

menghormati perasaan orang lain sebagai bagian dari akhla>q al-kari>mah.158

Genealogi tarekat (silsilah ru>h}an> i>yah). KH. Achmad Asro>ri al-Ish}aq> i>

telah berguru dan menerima bai'ah, talqi>n dan tahki>m Tarekat al-Qa>diri>yah wa

al-Naqshabandi>yah dari al-‘A>rif billa>h Shaykh al-Qudwah Muhammad

Uthma>n bin Na>di> al-Ish}aq> i> dari gurunya al-Shaykh Muhammad Ramli al-

Tami>mi>, dari al-Shaykh Muh}ammad Khali>l Rejoso, dari al-Shaykh Ah}mad

H{asbilla>h al-Maduri>, dari al-Shaykh Ah}mad Khati>b al-Sambasi>, dari al-

Shaykh Shamsuddi>n, dari al-Shaykh Mura>d, dari al-Shaykh Abd. al-Fatta>h},

dari al-Shaykh Kamaluddi>n, dari al-Shaykh Uthma>n, dari al-Shaykh ‘Abd al-

Rah}i>m, dari al-Shaykh Abu> Bakar, dari al-Shaykh Yah}ya>, dari al-Shaykh

Hisa>muddi>n, dari al-Shaykh Waliyuddi>n, dari al-Shaykh Nu>ruddi>n, dari al-

Shaykh Zainuddi>n, dari al-Shaykh Shara>f al-Di>n, dari al-Shaykh Shams al-

Di>n, dari al-Shaykh Muh}ammad Al-Hatta>ki>, dari al-Shaykh ‘Abd al-‘Azi>z,

dari Sult}a>n al-Aulia>’ Sayyidina> al-Shaykh ‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, dari al-

Shaykh Abu Sa’i>d al-Muba>rak al-Makhzu>mi>, dari al-Shaykh Abu al-H{asan

‘Ali> al Hakka>ri>, dari al-Shaykh Abu al-Fara> al-T}urt}u>si>, dari al-Shaykh Abd al-

Wa>h}id al-Tami>mi>, dari al-Shaykh Abu Bakar al-Shibli>, dari Sayyidina> Sayyid

158
Cerita lengakap dan validnya, telah disampaikan langsung oleh al-Ish}a>qi> dalam sebuah
kesempatan pengajian bersama murid-murid tarekat dengan panjang lebar. Penulis sendiri
mempunyai rekaman tersebut. Akan tetapi sekelumit cerita dari pengangkatan al-Ish}a>qi> sebagai
mursyid juga dikutip oleh sebagian peneliti. Lihat: Ibid.,39.
71

al-T}ai> fah al-Shaykh Abu al-Qa>sim Junayd al-Baghda>di>, dari al-Shaykh Sari> al-

Saqat}i>, dari al-Shaykh Ma’ru>f al-Karkhi>, dari Ima>m Abu al-H{asan ‘Ali Rid}a>,

dari Ima>m Mu>sa> al- Kadlim, dari Ima>m Ja’far al-S}a>diq, dari Ima>m Shaykh

Ima>m Muhammad al-Ba>qir, dari Ima>m 'Ali> Zayn al-'A>bidi>n, dari Ima>m

H{usayn bin 'Ali> bin Abi> T}al> ib, dari Ima>m 'Ali> bin Abi> T}alib dari Rasulillah

Muhammad SAW, dari Sayyidina> Jibril As. dari Allah SWT.159

)‫(سلسلة الطري قة القادرية و الن قشب ندية العثمانية‬


‫ عن‬.‫ العارف ِبهلل ت عاَل خضرة الشيخ احد اسرارى اإلسحاقي‬
‫ عن‬.‫ العارف ِبهلل ت عاَل خضرة الشيخ ُممد عثمان بن َّندى اإلسحاقي‬
‫ عن‬.‫ العارف ِبهلل ت عاَل خضرة الشيخ اِب عصام الدين ُممد رملى التاميمى‬
‫ عن‬.)‫ العارف ِبهلل ت عاَل خضرة الشيخ خليل (رجاصا‬
‫ عن‬.)‫ العارف ِبهلل ت عاَل خضرة الشيخ حسب هللا (مدورا‬
‫ عن‬.‫ العارف ِبهلل ت عاَل خضرة الشيخ احد خطيب السمباسي‬
‫ عن‬.‫ العارف ِبهلل ت عاَل خضرة الشيخ َشس الدين‬
‫ عن‬.‫ العارف ِبهلل ت عاَل خضرة الشيخ شيخ مراد‬
‫ عن‬.‫ العارف ِبهلل ت عاَل خضرة الشيخ عبد الفتاح‬
‫ عن‬.‫ العارف ِبهلل ت عاَل خضرة الشيخ كمال الدين‬
‫ عن‬.‫ العارف ِبهلل ت عاَل خضرة الشيخ عثمان‬
‫ عن‬.‫ العارف ِبهلل ت عاَل خضرة الشيخ عبد الرحيم‬

159
Muhammad Musyafa’, RELEVANSI NILAI-NILAI AL TARIQAH...,90-91. Selain itu, al-
Ish}a>qi> juga menuangkan silsilah tersebut kedalam karyanya. Lihat: Achmad Asro>ri al-Ish}a>qi, al-
Muntakhaba>t fi> Ra>bit{ah al-Qolbiyyah wa S{ilah al-Ru>hiyyah, Cet. 3, Juz 4 (Surabaya: Al Wafa,
2016), 71-74.
‫‪72‬‬

‫‪ ‬العارف ِبهلل ت عاَل خضرة الشيخ أِب بكر‪ .‬عن‬


‫‪ ‬العارف ِبهلل ت عاَل خضرة الشيخ َيَي‪.‬عن‬
‫‪ ‬العارف ِبهلل ت عاَل خضرة الشيخ حسام الدين‪ .‬عن‬
‫‪ ‬العارف ِبهلل ت عاَل خضرة الشيخ ول الدين‪ .‬عن‬
‫‪ ‬العارف ِبهلل ت عاَل خضرة الشيخ ن ور الدين‪ .‬عن‬
‫‪ ‬العارف ِبهلل ت عاَل خضرة الشيخ زين الدين‪ .‬عن‬
‫‪ ‬العارف ِبهلل ت عاَل خضرة الشيخ شرف الدين‪ .‬عن‬
‫‪ ‬العارف ِبهلل ت عاَل خضرة الشيخ َشس الدين‪ .‬عن‬
‫‪ ‬العارف ِبهلل ت عاَل خضرة الشيخ ُممد اَلتاكى‪ .‬عن‬
‫‪ ‬العارف ِبهلل ت عاَل خضرة الشيخ عبد العزيز‪ .‬عن‬
‫‪ ‬العارف ِبهلل ت عاَل خضرة الشيخ عبد القادر اليالِن‪ .‬عن‬
‫‪ ‬العارف ِبهلل ت عاَل خضرة الشيخ أِب سعيد المبارك‪ .‬عن‬
‫‪ ‬العارف ِبهلل ت عاَل خضرة الشيخ أِب اْلسن على اَلكارى‪ .‬عن‬
‫‪ ‬العارف ِبهلل ت عاَل خضرة الشيخ أِب الفرج الطُّرطوسى‪ .‬عن‬
‫‪ ‬العارف ِبهلل ت عاَل خضرة الشيخ عبد الواحد التميمى‪ .‬عن‬
‫‪ ‬العارف ِبهلل ت عاَل خضرة الشيخ أِب بك ر الشبلى‪ .‬عن‬
‫‪ ‬العارف ِبهلل ت عاَل خضرة الشيخ أِب القاسم الن يد الب غدادي‪ .‬عن‬
‫‪ ‬العارف ِبهلل ت عاَل خضرة الشيخ سرى السقطى‪ .‬عن‬
‫‪ ‬العارف ِبهلل ت عاَل خضرة الشيخ المعروف الكرخى‪ .‬عن‬
‫‪ ‬العارف ِبهلل ت عاَل خضرة الشيخ أِب اْلسن على الرضا‪ .‬عن‬
‫‪ ‬العارف ِبهلل ت عاَل خضرة الشيخ موسى كاظم‪ .‬عن‬
‫‪ ‬العارف ِبهلل ت عاَل خضرة الشيخ جعفر الصادق‪ .‬عن‬
73

‫ عن‬.‫ العارف ِبهلل ت عاَل خضرة الشيخ امام ُممد ِبقر‬


‫ عن‬.‫ العارف ِبهلل ت عاَل خضرة الشيخ سيدَّن حسني‬
‫ عن‬.‫ العارف ِبهلل ت عاَل خضرة الشيخ سيدَّن على كرم هللا وجهه‬
‫ العارف ِبهلل ت عاَل خضرة الشيخ سيد المرسلني و حبيب رب العالمني و رسوله اَل كافة‬
.‫ أخذ عن سيدَّن جْبيل عليه السالم‬.‫اْللق أْجعني سيدَّن ُمم رد صلى هللا عليه وسلم‬
.‫أخذ عن رب الرِبب و معتق الرقاب هو هللا سبحانه وت عاَل‬
B. Karya Intelektual KH. Achmad Asro>ri al-Ish{a>qi>

Al-Ish}aq> i> termasuk salah satu tokoh ulama besar Indonesia, yang berasal

dari tanah Jawa. Al-Ish}a>qi> yang memiliki segudang kemampuan dan keutamaan,

baik dibidang keilmuan (akademisi) maupun hikmah (spiritual). Pantas, jika ia

diberi gelar Shaykh al-Ka>mil, karena luhurnya maqa>m (kedudukan) yang ada

pada dirinya sebagai guru murshid tarikat al-Qa>diriyah wa al-Naqsha>bandiyah.

Kapasitas keilmuan yang dimiliki dan dikuasainya sungguh tak terbantahkan dan

tidak diragukan lagi, bahkan melebihi kapasitas pada umumnya.160

Selain itu, al-Ish}aq> i> juga tergolong ulama yang sangat aktif dan produktif

dalam menghasilkan karya tulis, mulai dari kitab mukhtas{ar (ringakasan kitab-

kitab kecil) hingga kitab mut{awwala>t (kitab besar yang panjang dan berjilid-

jilid). Sebagai ulama besar yang sangat berpengaruh pada zamannya dan

dikenang sepanjang masa, tentu dapat diketahui tidak hanya dari kepiawaian

dalam menyampaikan materi dakwah, tapi juga dari hasil karya tulisnya,

sehingga karyanya bisa dibaca, ditelaah dan difahami oleh setiap orang dari

160
Ahmad Syatori, “RELASI MURSYID-MURID DALAM TRADISI TARIKAT QADIRIYAH
WA-NAQSYABANDIYAH”...,30.
74

zaman ke zaman hingga sepanjang masa sebagaimana ta’lifa>t (karangan-karangan

kitab) ulama-ulama Islam terdahulu.161 Bahkan dapat dihadikan hujjah dan

pijakan bagi mereka yang berjalan kepada Allah SWT.

Diantara karya intelektual al-Ish}aq> i> adalah:

1. Basha>ir al-Ikhwa>n fi> Tadbi>r al-Muri>di>n al-Hara>ra>t al-Fitan wa Inqa>z{ihim ‘an

Shabakat al-H{irma>n.

2. Al-Risa>lah al-Sha>fiyah fi> Tarjamah al-Thamrah al-Rawz{ah al-Sha>hiyah bi> al-

Lughah al-Madu>riyah.

3. Kitab Al-Ikli>l Al-Istigha>thah wa Al-Azka>r wa Al-Da’awa>t fi> al-Tahli>l.

4. Kitab Al-Anwa>r Al-Khus{u>s{iyah Al-Khatmiyah.

5. Kitab Al-Fayd{ Al-Rahma>ny Liman Yazdillu Tah{ta Al-Saqf Al-Uthma>ni fi>

Mana>qib Al-Shaikh ‘Abdul Qa>dir Al-Ji>la>ny.

6. Kitab Al-Wa>qi’ah Al-Fad{ilah wa-Ya>si>n Al-Fa>d{ilah.

7. Kitab Al-S{alawa>t Al-H{usainiyah.

8. Kitab Al-Fath{ah Al-Nu>riyah.

9. Kitab Al-Nafah{at> fi> ma> Yata’allaq bi> al-Tara>wi>h{ wa al-Witr wa al-Tasbi>h{ wa

al-H{a>jah.

10. Kitab Bahjah al-Wishah { fi> al-Nubdhah min Maulid Khoiri al-Bariyah Saw.

11. Kitab Lailah al-Qadar.

12. Mir’ah al-Jina>n fi> al-Istigha>thah wa al-Adhka>r wa al-Da’wa>t ‘Inda Khatmi.

13. Kitab al-Muntakha>bat fi> Ra>bit{ah al-Qalbiyah wa-S{ilat al-Ru>hiyah,

161
Ibid.
75

14. Kitab al-Nuqt{ah wa al-Ba>qiyah al-Sa>lih{ah wa al-‘A>qibah al-Khairah wa al-

Kha>timah al-H{asanah.

15. Kitab Muntakha>bat fi> ma> Huwa al-Mana>qib.

16. Buku Pedoman Kepemimpinan Kepengurusan dalam Kegiatan dan Amaliyah

al-T{ariqah dan al-Khidmah.

C. Wuju>diyyah dalam Pemikiran KH. Achmad Asrori al-Ish{a>qi> dalam al-

muntakhaba>t

Menukik pada pembahasan kitab al-muntakhaba>t, bentuk kata al-

muntakhaba>t sendiri merupakan jama’ al-muannath al-sali>m dari lafad al-

muntakhab yang mempunyai arti al-mukhta>r, yang terpilih (sesuatu yang telah

dipilah dan dipilih). Sehingga mayoritas isi dalam kitab al-muntakhaba>t adalah

petikan ungkapan yang diambil dari ayat-ayat al-Qur’a>n, hadis-hadis Rasulullah

SAW, maqa>lah para ulama (ahli tafsir, hadis bahkan para sufi). Untuk metode

penulisan yang digunakan oleh al-Ish}aq> i> dalam kitab tersebut adalah

mengkolaborasikan antara dalil (kutipan) yang diambil dari ayat-ayat al-Qur’a>n,

hadis-hadis Rasulullah SAW, maqa>lah para ulama (ahli tafsir, hadis bahkan para

sufi) seperti pencerminan nama kitab. Tak jarang pula al-Ish}aq> i> memberikan

interpretasi, komentar terhadap pembahasan dalam kitabnya dengan

menggunakan redaksi “qultu atau aqu>lu”. al-Ish}aq> i> juga menegaskan komentar

tersebut tidak dimasukkan kedalam teks pembahasan karena kehati-hatian akan

menerobos pendapat orang lain, sehingga al-Ish}aq> i> memasukkan komentarnya

dalam catatan kaki saja.162

162
Muhammad Musyafa’, RELEVANSI NILAI-NILAI AL TARIQAH...,116.
76

Untuk membentuk sebuah gambar pemikiran al-Ish}aq> i>, bagaimana cara

pengungkapan dan pandangan al-Ish}aq> i> mengenai konsep ketuhanan

(Wuju>diyyah) –sebagai fokus bahasan penelitian ini- dalam kitab al-muntakhaba>t

sebagai kitab tasawuf. Dari prolog kitab al-muntakhaba>t terlihat al-Ish}aq> i>

memulai dengan pembahasan awal penciptaan dari segalanya. Dalam dunia

tasawuf, hal semacam itu dikatakan sebagai konsep tajalli> (manifestasi) Allah

SWT, sekaligus menjadi landasan ontologis eksistensi dari Tuhan (sebagai

hakikat kesejatian). Diantara data yang telah penulis kumpulkan dan dapat

menjadi pengantar untuk menyelami pemikiran al-Ish}aq> i> adalah:

1. Konsep Tajalli> Perspektif KH. Achmad Asro>ri al-Ish{a>qi>

Tajalli> merupakan bentuk ungkapan yang ditujukan bagi proses

penciptaan. Dapat dikatakan (baca: diwakili) pula sebagai bentuk

menifestasi Tuhan dalam jumlah yang tak terbatas dan tak terbilang, serta

berbagai mecam bentuk rupa dan wujud ciptaan. Sehingga ketika dikatakan,

Allah SWT menciptakan makhluk, maka maksud dari perkataan tersebut

adalah Allah SWT ber-tajalli> (ber-manifestasi) dalam purwarupa makhluk.163

Al-Ish}aq> i> juga mengukuhkan (baca: mendukung) persepsi di atas

dengan argumentasinya, bahwa segala macam bentuk penciptaan merupakan

manifestasi dari Allah SWT melalui proses tajalli>-Nya. Sebagaimana kutipan

163
Said Aqil Siraj, Allah dan Alam Semesta: Perspektif Tasawuf Falsafi (Jakarta: Yayasan Said
Aqil Siraj, 2021), 317. Perlu digaris bawahi juga “dalam purwarupa makhluk” bukan berarti Allah
bersemayam seperti halnya sesuatu yang menempati ruang, sebagaimana jangkauan akal manusia.
77

redaksi al-Ish}aq> i> dari al-Ima>m al-Qutb al-H{abi>b ‘Abdilla>h bin ‘Alawi> al-

H{adda>d:

‫ف وجود الموجودات‬.-‫ ليس فيه غي ر هللا ت عاَل‬:‫هذا الوجود وما فيه من الغي – أي‬

.......‫ ولكن أمرَّن شر ًعا أن ن ث بت الظواهر‬.‫داخل ف وجودﻩ ت عاَل‬


“setiap yang wujud (eksis) tidak lain adalah Allah SWT (pada
hakikatnya setiap sesuatu selain Allah SWT adalah tidak wujud), maka
wujud dari segala ciptaan masuk ke dalam wujudnya Allah SWT. akan
tetapi Allah SWT memerintahkan kepada kita (makhluk) untuk
menetapi (menjalankan) ketetapan syari’at secara z}ahir.164

Artinya terdapat unsur monisme sekaligus dualisme wujud dalam

pendangan al-Ish}aq> i> berdasarkan kutipan dari al-H{abi>b ‘Abdilla>h bin ‘Alawi>

al-H{adda>d di atas. Selain menyebut bahwa realitas sejati hanyalah Allah

SWT, terdapat ungkapan bagi tetapnya realitas makhluk sebagai purwarupa

Allah SWT.

Pandangan al-Ish}aq> i> juga setuju membagi wuju>d (eksistensi) Tuhan

menjadi 2 bagian, yakni:

a. Wuju>d al-haqi>qi>

Wuju>d al-haqi>qi> dalam pandangan al-Ish}aq> i> mewakili eksistensi

Allah SWT sebagai realitas yang sesungguhnya.165 Eksistensi yang

dimaksud dalam penjelasan ini menafikan kemajmukan dan berbagai

bentuk relasi.166

164
Achmad Asrori al-Ish}a>qi>, al-Muntakhaba>t fi> Ra>bit{ah al-Qolbiyyah wa S{ilah al-Ru>hiyyah, Juz
1, Cet. 3, (Surabaya: Al Wafa, 2016), 179-180.
165
Ibid.,177.
166
Said Aqil Siraj, Allah dan Alam Semesta: Perspektif Tasawuf Falsafi..., 307.
78

b. Wuju>d al-Majazi>

Sedangkan Wuju>d al-Majazi> adalah bentuk-bentuk, gambaran,

rupa dan seluruh kenampakan selain Allah SWT.167 akan tetapi, wuju>d

al-haqi>qi> Allah SWT tetap mengalir dalam segenap wujud kenampakan

(Wuju>d al-Majazi>), dan tanpa wujud yang Haqq tersebut, maka semua

adalah ketiadaan.168

Penggambaran al-Ish}a>qi> tentang konsep ketuhanan atau Wuju>diyyah

melalui proses tajalli> dapat dikatakan mengambil jalan yang aman (tidak

kontroversial) dan rawan menimbulkan kesalahan persepsi dan pemahaman.

Secara universal proses tersebut meliputi kenampakan (musha>hadah) yang

dialami oleh manusia terhadap Allah SWT pada setiap sesuatu. Sehingga ia

tidak dapat menyaksikan apapun kecuali yang tampak padanya adalah Allah

SWT. Posisi semacam itu terjadi ketika manusia telah fana>’ (hilang, sirna

sifat-sifat kemanusiaannya) dan lebur dalam keagungan kebesaran Allah

SWT. Al-Ish}aq> i juga membantah bahwa Allah SWT bersemayam pada

setiap sesuatu (h}ulu>l), seperti apa yang banyak disampaikan oleh pengkaji

tasawuf dalam mengartikulasikan konsep h}ulu>l. Karena bersemayam (h}ulu>l)

merupakan sifat yang hanya dimiliki oleh makhluk.169

167
Ibid.,179.
168
Said Aqil Siraj, Allah dan Alam Semesta: Perspektif Tasawuf Falsafi (Jakarta: Yayasan Said
Aqil Siraj, 2021), 275-276.
169
Achmad Asrori al-Ish}a>qi>, al-Muntakhaba>t fi> Ra>bit{ah al-Qolbiyyah wa S{ilah al-Ru>hiyyah, Juz
5...,205.
79

Al-Ish}aq> i> juga menjelaskan hakikat tajalli> itu diklasifikasikan menjadi

tiga:170

a. Al-Tajalli> al-Fi’li>

Tampaknya perbuatan Allah SWT dalam setiap gerak-gerik

seorang hamba. Untuk dapat sampai pada kedudukan ini, seorang

hamba harus melalui pintu fana>’ (sirna atau hilang untuk menyaksikan

perbuatannya sendiri).

b. Al-Tajalli> al-Asma>’i> wa al-S{ifa>ti>

Penampakan nama-nama dan sifat Allah SWT yang diperoleh

seorang hamba melalui fana>’ terhadap nama, sifat dan status dirinya

sebagai hamba, hingga yang tersisa hanya sifat Allah SWT.

c. Al-Tajalli> al-Dhati> al-Jam’i>

Kondisi dimana dzat Allah SWT telah tampak oleh seorang

hamba, melalui fana>’ terhadap dirinya (hamba) sendiri.

Macam-macam tipologi fana>’ yang telah disebutkan al-Ish}aq> i> sebagai

pintu tajalli> Allah SWT, juga disinggung oleh al-Qushayri> dalam risalahnya.

Jika al-Ish}aq> i> menaruh dua term tersebut berdampingan sebagai hubungan

sebab akibat, al-Qushayri> memisahkan kedua term tersebut kedalam dua bab

yang berbeda. Akan tetapi sesacara substansi kedua tokoh tersebut memiliki

maksud (inti) argumentasi yang mirip atau identik.171 Kesan penulis sendiri

170
Ibid.207.
171
Pembahasan al-Ish}a>qi> mengenai tajalli> dan fana>’ terdapat dalam bab hakikat-hakikat tajalli>.
Sedangkan apa yang disampaikan oleh al-Ish}a>qi> dapat dijumpai dalam kitab al-Qushayri> pada
bab al-satr wa al-tajalli> dan al-fana>’ wa al-baqa>’. Lihat: Abu> al-Qasi>m ‘Abdul Kari>m bin
80

akan cenderung lebih mudah untuk memahami apa yang disampaikan oleh

al-Ish}aq> i> dalam kitabnya, dengan sistematika yang langsung dikaitkan antara

satu term dengan term lainnya.

Ungakapan-ungkapan di atas (yang menusuk dimensi non-material)

dapat disampaikan oleh al-Ish}aq> i> dengan lokus bahasa yang sederhana,

menunjukkan bagaimana kesempurnaan al-Ish}a>qi> dalam memahami posisi

dirinya atas umat (masyarakat) yang menjadi objek bimbingan dan tuntunan.

Bahasa yang digunakan al-Ish}aq> i> yang sederhana, akan tetapi penuh dengan

esensi makna (baca: mendalam). Sehingga benar saja ketika dikatakan bahwa

karya monumental (master piece) al-Ish}a>qi> yakni al-muntakhaba>t dapat

didudukkan dalam beberapa posisi penting.172 Yakni:

a. Al-muntakhaba>t sebagai tuntunan dan bimbingan bagi para salik pada

umumnya, terkhusus murid t}ariqah al-qa>diriyah wa al-naqshabandiyah

dalam menempuh perjalanan menuju ma’rifatulla>h.173

b. Al-muntakhaba>t sebagai teguran bagi para penentang pelaku tasawuf

serta teguran bagi para mutas}awwifi>n (sufi palsu) yang banyak

Hawa>zi>n, al-Risa>lah al-Qushayriyyah fi ‘Ilmi al-Tas{awwu>f, Cet. 1 (Jakarta: Da>r al-Kutu>b al-
Isla>miyyah, 2010), 105 dan 113.
172
Mustaqim, Wawancara, Kantor Al-Wafa Publishing Pondok Al-Fithrah Surabaya, (Sabtu, 28
November 2020).
173
Tuntunan dan bimbingan al-Ish}a>qi> terlihat dari beberapa bab yang diangkatnya, diantaranya
pada jilid 1: Al-Ish}a>qi> menekankan kesungguhan, berpegang teguh terhadap aturan-aturan agama
dan mensuritauladani Rasulullah SAW serta para sahabat. Kemudian jilid 2: al-Ish}a>qi membahas
tuntunan untuk meneguhkan dan menyampurnakan keyakinan pada Allah SWT, mengenalkan
siapakah ahli hadis, ahli fikih dan ahli tasawuf, kemudian menjalaskan jalan mendapatkan ilmu
tasawuf. Pada jilid ke 3: al-Ish}a>qi> membahas hujjah ilmu tasawuf yang sesuai dengan jalur dan
koridor agama, lebih dalam lagi al-Ish}a>qi> juga menyinggung adab-adab murid kepada para guru,
kriteria guru yang dapat membimbing kepada Allah SWT.
81

menebar kebatilan dengan mengatas namakan tasawuf.174 Sebagaimana

disampaikan oleh al-Ish}aq> i>, bahwa syekh Muhammad Uthma>n al-

Isha>qi>, ayah dari al-Ish}a>qi> menyuruhnya untuk menulis sebuah kitab

yang berbau t}ariqah, dengan dalih, (yang disampaikan langsung oleh

al-Ish}aq> i> dalam sebuah kesempatan (dipengajiannya)) sesungguhnya

pada masa itu telah timbul berbagai macam fitnah, terutama dalam

lingkup t}ariqah.175

c. Al-muntakhaba>t sebagai frame pemikiran itu dari al-Ish}aq> i> dalam

menuangkan pengalaman spiritual dan keilmuan. Meskipun corak

warna yang dominan dari al-Ish}aq> i> adalah seorang praktisi amaliyah-

amaliyah, akan tetapi kalangan akademisi Semisal Abdul Qadir Riyadi

mengakui al-Ish}aq> i> memiliki unsur sufi-falsafi, khususnya ketika

menelaah kitab al-muntakhaba>t.176

Dengan demikian, penulis memiliki persepsi bahwa al-Ish}aq> i>

memformulasikan penyusunan al-muntakhaba>t dengan konsep tawa>zun

174
Sebagaimana diungkapkan oleh syekh al-Qushayri> dalam muqaddimah risalahnya, perihal
keprihatinan al-Qushairi> terhadap orang yang tidak lagi mengikuti jalan para sufi, hilangnya sifat
wara’ (sikap kehati-hatian) dan kepedulian dalam menjaga syariat Allah SWT. lebih parah lagi,
mereka banyak membicarakan tentang hakikat dan ah}wa>l, mengaku teleh terbebas dari belenggu
dunia. sehingga al-Qushairi> mengangkat risalah untuk menyingkap kebenaran yang sesungguhnya
dari tasawuf dan ahwal para sufi. Begitupun latar belakang al-Ish}aqi> menyusun kitab al-
Muntakhaba>t. Lihat: Abu> al-Qasi>m ‘Abdul Kari>m bin Hawa>zi>n, al-Risa>lah al-Qushayriyyah fi
‘Ilmi al-Tas{awwu>f, Cet. 1 (Jakarta: Da>r al-Kutu>b al-Isla>miyyah, 2010), 13.
175
Fitnah dalam perspektif al-Ish}a>qi> diartikan setiap sesuatu yang dapat menimbulkan
problematika. Jangankan perbuatan buruk, perbuatan baik yang dapat menimbulkan kontra
(problem) seperti penerapan amar ma’ru>f nahi> munkar yang dapat memicu pertikaian, maka hal
itu termasuk kategori fitnah dalam pandangan al-Ish}a>qi>.
176
Ainul yaqin, “Koresponensi Manusia dan Kosmos: Studi Komparatif Pemikiran Ibnu ‘Arabi>
dan KH. Achmad Asro>ri al-Ish}a>qi>”...,11. Selain itu, gambaran tasawuf-falsafi al-Ish}a>qi>, tergambar
pada kitab al-Muntakhaba>t jilid 5 yang menguraikan proses tajalli> Allah SWT secara vertikal.
Dilihat dari sudut pandang manusia yang mendapatkan tajalli> tersebut.
82

(keseimbangan), selain sebagai guru yang menuntun, membimbing, menegur,

juga sebagai tokoh intelektual tasawuf.

2. Tanzih (Transenden) dan Tashbi>h (Imanen) Perspektif KH. Achmad Asro>ri

al-Ish{aq> i>

Transenden merupakan sebuah istilah yang berasal dari bahasa Latin

transcrendere, dari kata trans (seberang atas, melampaui), dan scandere

(memanjat).177 Istilah transenden juga diartikan dalam beberapa pengertian,

akan tetapi memiliki konotasi makna yang sama yaitu lebih tinggi, unggul,

agung, melampaui dan superlatif.

Transenden sebagai suatu pemahaman dengan makna jauh merupakan

lawan kata dari sebuah istilah, yaitu imanen. Imanen merupakan sebuah

istilah yang berasal dari bahasa Latin immanere yang berarti (tinggal “di

dalam”, berlansung seluruhnya dalam pikiran, subyektif). Dalam istilah

teologi, imanen berarti sebuah paham tentang Tuhan yang berada di dalam

struktur alam semesta dan turut serta mengambil bagian dalam proses

kehidupan manusia, atau dalam artian sempit bermakna “dekat”. Paham

imanen berusaha memaparkan bahwa Tuhan dan makhluknya memiliki

“keserupaan”, dan keserupaan di sini memberikan arti bahwa Tuhan dan

makhluknya “dekat”.178

Kedua tema sentral ini, menjadi aspek yang harus dipandang secara

bersamaan, dalam menggambarkan eksistensi Allah SWT dan relasi-Nya

177
Tesra Murnita, “Diskursus Transenden dan Imanen Tuhan Menurut Ibnu ‘Arabi> (1165-1240
M)” (“Skripsi”--UIN SUSKA, Riau, 2020), 13.
178
Ibid.
83

dengan sifat-sifat-Nya. Sehingga keliru, golongan yang mengambil aspek

yang pertama yakni tanzih (transenden), atau tashbi>h (imanen) saja. Imbas

dari pandangan pertama akan mengukuhkan dha>t (esensi) al-H{aqq yang

terlepas dari berbagai macam-macam sifat yang dimiliki-Nya. Bahkan

nantinya akan terkesan bahwa Allah SWT adalah eksistensi yang beridiri di

sana (abstrak) yang tak tergapai dan nihil dari sifat-sifat, deskripsi dan relasi

dengan apapun. Perspektif ini justru menjadi pisau yang menusuk dirinya

sendiri (bumerang), artinya ingin memberikan diferensiasi bagi esensi al-

H{aqq agar tidak bercampur-baur dengan makhluk, akan tetapi realitanya

mereka terjebak di dalam keinginan tersebut. Karena tanzih saja akan

membatasi (limit) terhadap gerak-gerik Allah SWT terkait adikodrati-Nya

untuk mengatur alam semesta.179 Sedangkan pada bab dua, penulis telah

menggaris bawahi bahwa al-wuju>d (baca: eksistensi Tuhan) bagi para ‘a>rif

dipandang merupakan hal yang bersifat puncak “al-gha>yah al-mut}laq”

bahkan lebih mutlak dari kemutlakan, walaupun demikian, kemutlakan

tersebut tidak membatasi eksistensi (garak-gerik) Tuhan, artinya kemutlakan

tersebut tidak dapat menjadi wadah bagi eksistensi Tuhan.180

Sedang pandangan kedua, yang hanya melihat aspek tashbi>h

(imanensi), maka konsekuensi yang muncul adalah tajsi>m. Mengapa

demikian?, karena posisi mereka yang hanya melihat aspek tashbi>h

(imanensi) saja, telah menyerupakan Allah SWT dengan sifat-sifat yang

179
Said Aqil Siraj, Allah dan Alam Semesta: Perspektif Tasawuf Falsafi (Jakarta: Yayasan Said
Aqil Siraj, 2021), 313.
180
Toshihiko Izutsu, SUFISME...,xxvii.
84

dimiliki makhluk. Sehingga berujung pada dualisme wujud, yakni adanya

mushabbah (penyerupaan: Allah SWT) serta mushabbah bih (objek atau

target penyerupaan: makhluk).181

Sedangkan al-Ish}a>qi> dalam hal ini, terkesan mengambil jalan tengah.

Yakni mengkomparasikan antara kedua komponen atau aspek (tanzi>h dan

tashbi>h) tersebut. Al-Ish}a>qi> juga memandang wuju>d Allah SWT yang Esa,

dan ke-Esaan mempunyai beberapa konotasi makna dan sudut pandang,

sehingga dapat menjadi semacam klasifikasi bagi kata Esa itu sendiri. Sisi

pertama Esa yang mewakili pemikiran transenden, dan sisi liannya

mencerminkan imanen. Berikut penjabaran al-Ish}aq> i>:

1. Pertama, Allah SWT disebut sebagai yang Esa yang tidak terbanding

dan tidak mampu dijangkau oleh manusia, Allah SWT adalah Esa

dalam Dzat-Nya sebelum penampakan asma>’-asma>’ dan sifat-sifat-

Nya.182 (Ia) merupakan eksistensi tunggal yang tidak mempunyai

padanan (opposite).183 Al-Ish}aq> i> menyebut dengan “al-Ah}ad” sebagai

cermin dari transenden Tuhan dengan melihat sisi dzat-Nya.

2. Kedua, Sedangkan ke-Esaan Allah SWT dalam atribut asma>’-asma>’

dan sifat-sifat-Nya setelah ditampakkan kepada para makhluk-Nya

181
Said Aqil Siraj, Allah dan Alam Semesta: Perspektif Tasawuf Falsafi..., 313.
182
Achmad Asrori al-Ish}a>qi>, al-Muntakhaba>t fi> Ra>bit{ah al-Qolbiyyah wa S{ilah al-Ru>hiyyah, Juz
1...,177.
183
Padanan yang dimaksud yakni al-wa>h}id sebagai sifat Tuhan atau hukum yang disematkan bagi
Tuhan. Lihat: Shamsuddi>n Muhammad bin H{amzah bin Muhammad (al-Fana>ri)>, Mifta>h} Ghayb
al-Jam’ wa al-Wuju>d li S{adruddi>n al-Qu>nu>niy wa Syarh}ihi Mis}bah} al-Uns Bayna al-Ma’qu>l wa al-
Masyhu>d lil Fana>ri>...,224.
85

disebut oleh al-Ish}aq> i> sebagai al-wa>h}id.184 Penjelasan al-Ish}a>qi>

tersebut, dapat menjadi indikator konsep Tuhan yang memiliki sifat

imanen, melihat sisi perwujudan intifikasi semisal “Dia maha

mendengar, maha melihat”, akan tetapi perwujudan “Dia maha

mendengar, maha melihat”, tidak dapat digambarkan sebagaimana

penglihatan dan pendengaran makhluk.185 Sehingga bentuk komparasi

tersebut dalam pandangan al-Ish}aq> i> adalah Allah SWT tanzi>h

(transenden) jika dilihat dari sisi Dzat-Nya, terbebas dari berbagai

macam atribut. Dalam makna ini, Allah SWT berdiri secara

independen, tidak terdefinisikan dan dalam kemutlakan itulah terletak

transenden-Nya. Kemudian, Allah SWT imanen (tashbi>h), ketika

dipandang dari sisi perwujudan-Nya. Sebagaimana konsep al-Nu>r al-

Muh}ammadi> dalam pembukaan kitab al-Ish}aq> i>. Serta merujuk pada

pendapat al-Ish}aq> i> mengenai Allah SWT sebagai al-wa>h}id.

Penjelasan al-Ish}aq> i> di atas, memiliki keidentikan dengan konsep yang

telah dibawakan oleh syekh Ibnu ‘Arabi> yang dikenal sebagai tokoh tasawuf-

falsafi, dengan berbagai sumbangsih pemikirannya. seperti yang telah

penulis sampaikan pada bab dua dalam tulisan ini. Akan tetapi bahasa yang

digunakan oleh Ibnu ‘Arabi> kerap kali memaksa pembaca untuk memeras

intelektual dan mencurahkan daya pemahaman ekstra. Berbanding terbalik

dengan al-Ish}aq> i>, yang hadir dengan bahasa-ungkapan yang tidak

184
Achmad Asrori al-Ish}a>qi>, al-Muntakhaba>t fi> Ra>bit{ah al-Qolbiyyah wa S{ilah al-Ru>hiyyah, Juz
1...,177.
185
Ibid.
86

mengaburkan pandangan-pemahaman bagi pembaca. Terlebih bagi kalangan

murid yang tingkat intelektualnya masih awam. Dalam hal ini, al-Ish}aq> i>

memiliki kemiripan tekstur bahasa dengan imam al-Ghazali>.


BAB IV

TANZIH (TRANSENDEN) DAN TASHBI<H (IMANEN)

SEBAGAI UNSUR WUJU<DIYYAH PERSPEKTIF KH. ACHMAD ASRORI

< I< DALAM KITAB AL-MUNTAKHABA<T


AL-ISH{AQ

D. Pola pemikiran sufisme KH. Achmad Asrori Al-Ish}aq> i>

Banyak artikulasi dan konsep wuju>diyah yang telah diungkapkan oleh para

peneliti bahkan dijelaskan secara panjang lebar oleh tokoh-tokoh sufi, walaupun

demikian, terdapat pula banyak alasan untuk merujuk artikulasi dan kosep

wuju>diyah pada figur KH. Achmad Asrori al-Ish}aq> i>. Salah satu alasan tersebut,

karena al-Ish}aq> i> merupakan salah satu tokoh besar dalam tasawuf (pada

masanya), selain itu al-Ish}aq> i> memiliki posisi sentral sebagai seorang guru

(besar) atau murshi>d yang memegang tongkat estafet ke-t}ariqah-an al-Qa>diriyyah

wa al-Naqshabandiyyah al-‘Uthma>niyyah. Sehingga terlihat kepiawaian al-Ish}aq> i>

dalam menempatkan posisi-posisi sentral tersebut dan tetap mengambil jalan

tengah (moderat) dalam mengatasi segala sesuatu.186

Al-Ish}aq> i> juga memiliki karya monumental (master piece) kitab al-

muntakhaba>t yang dikenal sebagai kitab tarekat, cukup kental menyinggung

186
Jalan moderat menjadi salah satu solusi bagi al-Ish}a>qi> dalam mengarungi kehidupan, al-Ish}a>qi>
dalam sebuah kesempatan (pengajian) juga menganjurkan bagi kalangan muridnya untuk
menerapkan sikap moderat. Kurang lebih apa yang disampaikan al-Ish}a>qi> mengenai sikap
moderat sebagai berikut-dalam bahasa jawa: “Yo kepigino, yo gak kepingino”, akan tetapi
penulis lebih cenderung mengkategorikan dawuh tersebut kepada sikap moderat dalam ah}wa>l
(perilaku) hati, karena al-Ish}a>qi> sedang membahas mengenai sifat-sifat manusia. Kemudian, sikap
moderat al-Ish}a>qi> juga tertuang dalam kitab al-muntakhaba>t Jilid 3 dengan judul “al-Malh}az}ah al-
S}a>fiyah al–Wa>fiyah”, dengan mengutip ungkapan dari Syekh al-Isla>m Zakariya> al-Ansa>ri>.
Terutama ketika sikap dalam menghadapi ungkapan para ulama, sehingga moderasi semacam ini
lebih cenderung kepada lingkup akademisi (keilmuan), dan dapat memicu keluarnya argumen,
komentar dan justifikasi yang didasari oleh pengetahuan yang komperhensif. Lihat: Achmad
Asrori al-Ish}a>qi>, al-Muntakhaba>t fi> Ra>bit{ah al-Qolbiyyah wa S{ilah al-Ru>hiyyah, Juz 3, Cet. 3,
(Surabaya: Al Wafa, 2016), 41.

87
88

pembahasan dunia supranatural (metafisika). Sehingga penulis tertarik untuk

lebih mendalami bentuk pemikiran atau cakrawala al-Ish}aq> i>.

Sebelumnya pada bab pertama, penulis memunculkan pendekatan-

pendekatan dan metode analisa yang akan digunakan untuk menganalisa dan

menggiring pembahasan kepada titik kecenderungan tasawuf al-Ish}a>qi> dan

pemikirannya perihal konsep ketuhanan. Penulis dalam pembahasan ini,

mengangkat Metode analisa induktif dan conten analysis, yakni metode yang

dilakukan dengan menyimpulkan data-data yang telah terkumpul seperti data

yang banyak diambil dari bab tiga, kemudian Secara sederhana, bentuk

penerapan teknik content analysis adalah fokus dalam mengambil berbagai

macam data dalam kitab al-Muntakhaba>t karya KH. Achmad Asro>ri al-Ish}aq> i>

yang relevan dengan objek penelitian, kemudian merangkum unit data yang

memiliki tema yang sama, sehingga melalui tahapan-tahapan tersebut akan

menampakkan gambaran konsep yang dipakai oleh KH. Achmad Asro>ri al-Ish}aq> i>

dalam menjelaskan wuju>diyyah.

Perlu diketahui juga, dalam bab dua penulis telah memberikan tanda

kurung dan orientasi pembahasan wuju>diyyah dalam penelitian ini, wuju>diyyah

yang menjadi fokus pembahasan bukan seperti wuju>diyyah yang disandarkan

kepada aliran eksistensialisme di Barat, yang bersiskukuh menekankan eksistensi

manusia itu sendiri –kajian utamanya mengenai konsep adikodrati manusia-187,

sedangkan mereka tidak mengakui eksistensi tuhan (ateis). Tidak pula

disandarkan pada mereka-Barat yang mengakui Tuhan (teism) akan tetapi

187
Muhammad Naquib (Al-‘Attas), Prolegomena To The Metaphysics Of Islam: An Exposition
Of The Fundamental Element Of The Worldview Of Islam..., 155.
89

memiliki kesimpulan panteisme. Pembahasan ini, lebih mengarah pada ajaran

wuju>diyyah yang membahas mengenai eksistensi Tuhan, dalam pandangan al-

Ish}aq> i>. Yang digali dari pengalaman mistik serta diperoleh setelah Allah SWT

bergeser-bertajalli> (baca: memanisfestasikan) dari kemutlakan-Nya. Untuk itu,

dalam bab dua juga penulis cantumkan bahwa, wujud yang bahkan tidak pantas

menyandang serta tidak mungkin dicapai oleh apaun (baca: keheningan) selama

Ia tidak bergeser dari dalam kemutlakan tersebut, terkesan dilepaskan dan

biarkan begitusaja dengan tetap menyandang predikat tanda tanya dan misteri

besar, demikian yang lebih bijaksana. Tentunya dengan kesadaran sepenuhnya

bahwa objek semacam itu tidak dapat diraba dan dijangkau oleh akal, terlebih

untuk dituangkan kedalam sistematika tulisan yang dapat dicerna pembaca

(transenden).188

Diantara rumusan yang telah penulis rangkum dan kumpulkan mengenai

cakrawala al-Ish}aq> i> yakni:

1. Corak dan kecenderungan tasawuf KH. Achmad Asrori Al-Ish}aq> i>

Seperti yang penulis jelaskan dalam bab tiga, al-Ish}aq> i> dalam

menguraikan konsep Tuhan. Ia menjelaskan bahwa segala macam bentuk

penciptaan merupakan manifestasi dari Allah SWT melalui proses tajalli>-

Nya. Sebagaimana kutipan redaksi al-Ish}aq> i> dari al-Ima>m al-Qutb al-H{abi>b

‘Abdilla>h bin ‘Alawi> al-H{adda>d yang sebelumnya telah penulis kutip:

188
Serupa dengan ungkapan dari syekh ‘Ali> Jum’ah yang menjelaskan dalam kitab Aqi>dah Ahli
al-Sunnah wa al-Jama>’ah pada bab akidah ketauhidan dan wujud sang pencipta (wuju>d al-kha>liq).
Lihat: ‘Ali> Jum’ah, Aqi>dah Ahli al-Sunnah wa al-Jama>’ah, Cet.5 (Qahirah: Da>r al-Muqat}t}im li al-
Nashr wa al-Tawzi>’, 2011), 12 dan 13-14.
90

‫ف وجود الموجودات‬.-‫ ليس فيه غي ر هللا ت عاَل‬:‫هذا الوجود وما فيه من الغي – أي‬

.......‫ ولكن أمرَّن شر ًعا أن ن ث بت الظواهر‬.‫داخل ف وجودﻩ ت عاَل‬


“setiap yang wujud (eksis) tidak lain adalah Allah SWT (pada
hakikatnya setiap sesuatu selain Allah SWT adalah tidak wujud), maka
wujud dari segala ciptaan masuk ke dalam wujudnya Allah SWT. akan
tetapi Allah SWT memerintahkan kepada kita (makhluk) untuk
menetapi (menjalankan) ketetapan syari’at secara z}ahir.189

Redaksi diatas mengklasifikasikan ke-esaan Allah SWT menjadi dua,

yakni:

a. Pertama, Allah SWT oleh al-Ish}aq> i> disebut sebagai yang Esa yang

tidak terbanding dan tidak mampu dijangkau oleh manusia, Allah SWT

adalah Esa dalam Dzat-Nya sebelum penampakan asma>’-asma>’ dan

sifat-sifat-Nya.190 (Ia) merupakan eksistensi tunggal yang tidak

mempunyai opposite (padanan).191 Al-Ish}aq> i> menyebut dengan “al-

Ah}ad” sebagai cermin dari ke-transenden-an Tuhan dengan melihat sisi

dzat-Nya. Pada dimensi ini seolah manusia tidak akan pernah mungkin

mengenal dan mengetahui Tuhan dalam diri-Nya.192

Inilah yang mendasari kegelisahan penulis yang tertuang dalam

bab pertama, syekh al-Qushayri> mengungkapkan bahwa, indra

189
Achmad Asrori al-Ish}a>qi>, al-Muntakhaba>t fi> Ra>bit{ah al-Qolbiyyah wa S{ilah al-Ru>hiyyah, Juz
1..., 179-180.
190
Achmad Asrori al-Ish}a>qi>, al-Muntakhaba>t fi> Ra>bit{ah al-Qolbiyyah wa S{ilah al-Ru>hiyyah, Juz
1...,177.
191
Padanan yang dimaksud yakni al-wa>h}id sebagai sifat Tuhan atau hukum yang disematkan bagi
Tuhan. Lihat: Shamsuddi>n Muhammad bin H{amzah bin Muhammad (al-Fana>ri)>, Mifta>h} Ghayb
al-Jam’ wa al-Wuju>d li S{adruddi>n al-Qu>nu>niy wa Syarh}ihi Mis}bah} al-Uns Bayna al-Ma’qu>l wa al-
Masyhu>d lil Fana>ri>...,224.
192
Muhammad Rahmatullah, “Dualisme dan Makrifat: Studi Tentang Pemikiran Sufistik KH.
Achmad Asrori al-Ish}a>qi>”...,73.
91

penglihatan dan asumsi-asumsi yang muncul dalam diri manusia tidak

akan pernah dapat menjangkau (baca: sebanding) dengan Allah SWT,

keluhuran Allah SWT tanpa bisa dicapai atau diraih oleh apapun, serta

kehadiran-Nya tanpa butuh proses berpindah dari satu tempat ke

tempat yang lain.193

b. Kedua, Sedangkan ke-Esaan Allah SWT dalam atribut asma>’-asma>’

dan sifat-sifat-Nya setelah ditampakkan kepada para makhluk-Nya

disebut oleh al-Ish}a>qi> sebagai al-wa>h}id.194 Pada dimensi ini, Tuhan

dapat diketahui, diidentifikasi, dan didefinisikan oleh manusia. Oleh

Ibnu ‘Arabi dimensi ini juga disebut al-Wa>h}idiyyah>. Sehingga pada

dimensi ini, dimungkinkan bagi manusia untuk mengenal dan

mendekati Tuhan, tidak pada diri-Nya sendiri, tetapi melalui lokus

dimana Ia memanifestasikan diri-Nya.

Sejauh ini, penulis dapat menangkap bahwa kegilasahan yang mencul

telah mendapatkan titik terang dengan munculnya bagian ke dua dari

keesaan Allah SWT. Merujuk pada salah satu kitab Ibnu ‘Arabi> yang

menjalsakan konsep keTuhanan. Ibnu ‘Arabi> mengungkapkan:

‫واعلموا أن اإلنسان الذي هو أكمل النسخ و أَتُّ النشأت له ملوق على الوحدانية ال‬

‫ فالواحد ال ي قوي و ال يص ُّح هذا‬,‫ لن الحدية َلا الغن على اإلطالق‬,‫على الحدية‬

‫ واحد فالوحدانية ال ت قوي ق وة الحدية فكذلك الواحد ال‬-‫المعن على اإلنسان وهو‬

193
Abu> al-Qasi>m ‘Abdul Kari>m bin Hawa>zi>n, al-Risa>lah al-Qushayriyyah...,18.
194
Achmad Asrori al-Ish}a>qi>, al-Muntakhaba>t fi> Ra>bit{ah al-Qolbiyyah wa S{ilah al-Ru>hiyyah, Juz
1...,177.
92

‫ لن الحدية ذاتية للذات اَلوية والوحدانية اسم َلا َست ها ِبا‬,‫ي ناهض الحدية‬
195
)‫(اَل ان قال‬....‫الت ثنية‬
“Ketahuilah, bahwa manusia merupakan salinan (baca: copy) yang
paling sempurna, sebagai ciptaan dari wah}da>niyyah (baca: kesatuan-
Nya), bukan dari ah}adiyyah (baca: ke-Esaan-Nya). Karena ke-Esaan-
Nya bahkan tak pantas dikatakan yang mutlak, oleh karena itu manusia
tidak mempunyai kemampuan untuk menyandang sesuatu yang Esa
(ahadiyyah), serta kesatuan tersebut tidak sekuat ke-Esaan-Nya.
Bagaimanapun ke-Esaan-Nya adalah esensi dari Dzat-Nya, sedangkan
kesatuan tersebut sebatas nama yang disematkan kepada Dzat
tersebut......196

Dari ungkapan tersebut, benang merah yang dapat diambil bahwa Ibnu

‘Arabi> juga mengungkapkan konsep dasar perbedaan antara term

wah}da>niyyah dan ahadiyyah. Dengan adanya gambaran tersebut, manusia

dalam pandangan Ibnu ‘Arabi> dapat masuk dalam dimensi Wah}dah al-wuju>d

atau disebut juga Wuju>diyyah, dimana kesadaran manusia telah menusuk

realitas suci.197 Dan untuk mecapai atau mengaktifkan kesadaran manusia

terhadap realitas tersebut, manusia harus melalui setiap tahapan dan

berbagaimacam ujian, sehingga kesadaran yang dimaksud oleh Ibnu ‘Arabi>

dapat terealisasi sebagaimana mestinya. Artinya terdapat unsur monisme

sekaligus dualisme wujud dalam pendangan al-Ish}aq> i> berdasarkan kutipan

dari al-H{abi>b ‘Abdilla>h bin ‘Alawi> al-H{adda>d di atas. Selain menyebut

bahwa realitas sejati hanyalah Allah SWT, terdapat ungkapan bagi tetapnya

realitas makhluk sebagai purwarupa Allah SWT, kemudian dikukukan lagi

195
Muhyiddi>n Muhammad ‘Ali> Muhammad (Ibnu ‘Arabi>), Rasa’il Ibnu ‘Arabi> (Beirut: Dar al-
Kutub al-Ilmiyah, 2010), 37-38.
196
Ahmad Faiq Nur, “Karakteristik Ekspresi”...,28.
197
Ibid.,29.
93

dengan ungkapan al-Ish}a>qi> menganai konsep transenden dan imanen yang

terimplikasi (tertuang) dalam ungkapan al-wa>h}id dan al-ah}ad, wuju>d al-

haqi>qi> dan wuju>d al-Majazi>.

Sampai disini, banyak pengkaji yang telah mengungkapkan bahwa al-

Ish}aq> i> dan Ibnu ‘Arabi> memiliki keidentikan (ke-terpengaruhan) pemikiran,

mengenai konsep Wuju>diyyah (eksistensi) Tuhan, begitu juga al-Ish}aq> i>

dengan pemikiran dari Imam al-Ghaza>li>. Akan tetapi secara lokus bahasa al-

Ish}aq> i>, ia cenderung kepada al-Ghaza>li> yang konsepnya lebih mudah untuk

dicerna oleh akal manusia (awam). Seperti diungkapkan oleh Ainul Yaqin

dalam penelitiannya di bab empat perihal kosmologi,198 serta Muhammad

Rahmatullah dalam disertasinya.

Dalam hal ini, hipotesa kedua peneliti tersebut –mengenai

keterpengaruhan al-Ish}a>qi> atas pemikiran Ibnu ‘Arabi>- dapat dibuktikan

dalam kitab al-muntakhaba>t bab al-Malh}az}ah al-S}a>fiyah al–Wa>fiyah. Pada

bab tersebut al-Ish}aq> i> mengungkapkan bahwa ulama ahli makrifat dan ahli

hakikat bersepakat bahwa Ibnu ‘Arabi> adalah ulama Allah SWT, dan barisan

penentang Ibnu ‘Arabi> hanya gagal dalam memahami ungkapan, gambaran

serta isyarah-isyarah darinya.199 Demikian, akidah yang dimiliki ahli kashaf

dalam perspektif al-Ish}a>qi> dipandang sebagai akidah yang dilandaskan oleh

198
Ainul yaqin, “Koresponensi Manusia dan Kosmos: Studi Komparatif Pemikiran Ibnu ‘Arabi>
dan KH. Achmad Asrori al-Ish}a>qi>”...,107.
199
Achmad Asrori al-Ish}a>qi>, al-Muntakhaba>t fi> Ra>bit{ah al-Qolbiyyah wa S{ilah al-Ru>hiyyah, Juz
3...,42-43.
94

sesuatu yang langsung disaksikan oleh mereka200 tak cukup dari apa yang

dipercayai (di imani) olehnya.201 Sehingga sah saja, jika akidah mereka

banyak dianggap sesat dengan ungkapan yang keluar dari lisan mereka. Akan

tetapi benar menurut pengalaman pribadi mereka masing-masing yang

diperoleh dari Musha>hadah. Dari rumusan penulis, kecenderungan tasawuf

al-Ish}aq> i> secara universal meliputi:

a. Al-Qur’an dan Hadits.

b. Tokoh-tokoh sufi: Syekh al-H{alla>j, Syekh Abu> Yazi>d, Ibnu ‘Arabi>, al-

Ghazali>, al-Qushayri>, Imam Suhra>wardi> dan lain sebaginya.202

c. Teologi skolastik (Ash’ariyah).

d. Tokoh filusuf islam: Ibn Sina.

2. Posisi tasawuf KH. Achmad Asro>ri Al-Ish}aq> i> dalam kacamata tipologi

tasawuf

Berbagai macam aliran sufistik dalam dunia tasawuf, memiliki corak

tersendiri dan sudut pandang yang berbeda, akan akan tetapi dengan tujuan

yang sama, yakni untuk mendekatkan diri, mengenal dan mengetahui hakikat

Allah SWT, dan memahami posisi seorang hamba terhadap Tuhannya.

Maksudnya adalah hamba yang memahami eksistensi dan esensi dirinya

sebagai seorang ciptaan Tuhan.

200
Dalam tasawuf penyaksian yang dialami oleh tokoh sufi dikenal sebagai Musha>hadah.
Penyaksian terhadap dzat Allah SWT melalui basirah yang terang. Lihat: Abu> al-Qasi>m ‘Abdul
Kari>m bin Hawa>zi>n, al-Risa>lah al-Qushayriyyah...,113.
201
Achmad Asrori al-Ish}a>qi>, al-Muntakhaba>t fi> Ra>bit{ah al-Qolbiyyah wa S{ilah al-Ru>hiyyah, Juz
1, Cet. 3...,40.
202
Beberapa tokoh sufi tersebut yang memang dikatakan identik dengan pemikiran al-Ish}a>qi>,
bahkan tak jarang ia mengutip pendapat dari tokoh-tokoh tersebut.
95

Adanya aliran-aliran dalam dunia tasawuf ini menjadi bukti bahwa

tasawuf tidak hanya dipahami dan dikaji dalam satu sisi, melainkan banyak

sisi. Sehingga melahirkan berbagai ragam perbedaan tipologi. Adakalanya

menitik beratkan pada aspek ruhaniah, akhlak, akal, rasa (dzauq), amaliah,

cinta, sosial, modern (tawa>zun; keseimbangan), kebangsaan dan lain

sebagainya. Yang pada intinya adalah sama-sama ingin menjadi seorang

hamba yang benar, yang dekat dengan Tuhan dan menjadi hamba yang baik,

yang bisa memberikan manfaat kepada orang lain. Tipologi-tipologi seperti

inilah yang membuat tasawuf kaya, yakni kaya akan model (desain) yang

akhirnya membuat tasawuf ini ilmu yang unik. Sehingga, layak untuk terus

dikaji, dialami dan diamalkan.

Sebagai sosok guru yang menjadi tauladan, serta menjadi pembimbing

bagi kalangan murid, al-Ish}aq> i> sangat menekankan aspek kesalehan spiritual.

Dengan senantiasa menjaga amaliyah t}ariqah berupa wirid, amalan shalawat,

dzikir dan senantiasa meningkatkan kualitas ibadah terhadap Allah SWT,

dengan dilandasi rasa inkisa>r al-qalb (lemah, pecahnya hati) sebagai seorang

hamba, dan menyandarkan segala macam ibadah-amaliyah tersebut hanya

kepada Allah SWT (tafwi>dh). Ketika meneropong figur al-Ish}a>qi> pada

kondisi semacam ini, ia sangat kental dengan dimensi tasawuf amali.

Amaliyahnya begitu melekat dan mewarnai setiap sudut dalam sosok al-

Ish}aq> i>.

Selanjutnya, al-Ish}aq> i> memiliki frame pemikiran yang tertuang dalam

magnum opusnya al-Muntakhaba>t. Walaupun dalam perspektif Dr. M.


96

Musyafa’ al-Muntakhaba>t dipandang sebagai kitab tasawuf dan tarekat, akan

tetapi dalam kitab tersebut juga menelisik pembahasan seputar teologi yang

berbau pamikiran filsafat. Oleh karena itu, beberapa tokoh peneliti

menyimpulkan al-Ish}aq> i> juga tergolong sufi-filsuf.203 Tetapi sudut kajian

para peneliti tersebut cenderung fokus pada aspek pemikiran-filsafat al-

Ish}aq> i>, sehingga hasil kesimpulannya juga sesuai dengan sudut kajian

tersebut.

Selain itu, al-Ish}aq> i> juga dikenal sebagai sosok yang santun serta

berakhlak baik “akhla>q al-kari>mah”, sebagaimana pembahasan dalam bab

tiga mengenai biografi dan perjalanan hidup al-Ish}aq> i>. Banyak saksi hidup

serta dekat dengannya, sampai al-Ish}aq> i> disebut sebagai fotocopy (duplikat)

dari akhlak Rasulullah SAW. Dari sudut pandang ini, al-Ish}a>qi> tergolong

sebagai sufi-akhla>qi.

Sehingga dengan data yang telah penulis kumpulkan dan analisa, dapat

ditarik kesimpulan bahwa al-Ish}aq> i> secara universal merangkap (terhimpun)

ke tiga tipologi tasawuf yang ada dalam sosok dirinya, tanpa ada

dikotomisasi antara satu bagian-sisi dengan bagian yang lain –baik akhlak,

pengetahuan-pemikiran dan amaliyah-.204 Benar saja tipologi yang muncul

203
Sufi yang mempunyai pemikiran terhadap kajian-kajian teologi. Diantara peneliti yang
menjastis al-Ish}a>qi> sebagai tokoh sufi-filsuf adalah Abdul Qadir Riyadi dalam bukunya serta
Muhammad Rahmatullah dalam tesisnya.
204
H. M. Amin Syukur, Intelektualisme Tasawuf (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014), 44.
Disarikan juga dari pemikiran al-Ish}a>qi> dalam kitabnya. Lihat: Achmad Asrori al-Ish}a>qi>, al-
Muntakhaba>t fi> Ra>bit{ah al-Qalbiyyah wa S{ilah al-Ru>hiyyah, Juz 3...,29.
97

dalam wajah tasawuf, dipandang hanya sebatas kajian akademik, dan tidak

secara praktis.205

E. Kesatuan Tanzih (Transenden) dan Tashbi>h (Imanen) dalam konsep wuju>diyyah

KH. Achmad Asro>ri Al-Ish}aq> i>

Konsep Wuju>diyyah dalam penelitian ini, mengungkapkan keberadaan

wujud atau eksistensi (baca: realitas) Tuhan sebagai dzat yang maha Esa, serta

menjadi sumber segala yang wujud. al-Ish}aqi> memberikan keterangan dengan

mengutip pendapat dari syekh al-Ima>m al-Rabba>ni> bahwa setiap sesuatu yang

sudah dan akan ada dalam alam ini berkaitan dengan alam amri dan alam khalqi.

Alam amri merupakan manifestasi setiap sesuatu yang berkaitan dengan

penciptaan yang berkaitan pula dengan perintah Allah SWT (kun) yang

wilayahnya meliputi setiap yang berada di atas ‘arsh, sedangkan alam khalqi

dipakai sebagai sebuah istilah bagi setiap yang tercipta tanpa perintah Allah

SWT (kun) yang wilayahnya berada di bawah ‘arsh sampai pada lapisan bumi

paling bawah.206

Keunikan (baca: kekhasan) al-Ish}aq> i> juga terlihat pada konsep kesatuan

dualisme “monodualistik”, antara transenden (tanzi>h) dan imanen (tashbi>h)207.

Dalam pandangan al-Ish}aq> i> keduanya seolah memiliki posisi seperti dua mata

uang yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain. Fondasi inilah

yang membangun pemikiran al-Ish}aq> i> mengani konsep Wuju>diyyah Allah SWT,

205
Muhammad Musyafa’, RELEVANSI NILAI-NILAI AL TARIQAH...,187. (Print Out)
206
Achmad Asrori, Al-Nuqt}ah fi> Tah}qi>q al-Ra>bit}ah (Surabaya: al-Khidmah, 2010), 34-35.
207
Imenen (tashbih) yang dimaksud dalam pembahasan ini bukan bermakna Allah Serupa dengan
makhluk, akan tetapi lebih mengarah kepada Allah SWT merupakan sumber wujud, dari segala
macam wujud kenampakan.
98

yakni hakikat merupakan tunggal dan jamak sekaligus, yang dhahir-formal dan

batin-hakikat.208 Dalam pengertian ini, tanzi>h (transenden) dan tashbi>h (imanen)

saling melengkapi dan menyempurnakan.

Sedangkan, pada konsep tashbi>h (imanen) Allah SWT yang tertuang dalam

pembahasan nu>r al-muhammadi>, al-Ish}aq> i> membantah artikulasi yang dimaknai

secara tekstualis “dhahir”. al-Ish}aq> i> menuliskan dengan mengutip pendapat Imam

‘Ali> al-Shibra>milisi>,209 bahwa tajalli> Allah SWT, yang diiberatkan al-nu>r bukan

berarti Allah SWT menyandang substansi-dzat berupa al-nu>r tersebut, dan nu>r al-

muhammadi> diciptakan dari-bahan nu>r Allah SWT (dzat-Nya), karena dalam

pandangan al-Ish}a>qi> hal itu tidak mungkin “mustahil”. Sehingga al-Ish}aq> i>

memberikan pandangan bahwa kehendak Allah SWT mempunyai korelasi

“ta’alluq” dengan penciptaan nu>r al-muhammadi> tanpa ada perantara “tawassut}”

apapun.210

Uraian di atas, secara tidak langsung menegaskan bahwa pada satu sisi

dimensi, tidak ada sesuatu yang wujud selain wujud dari Allah SWT semata,

sementara pada dimensi yang lain, terdapat wujud semu selain Allah SWT, yaitu

makhluk. Artinya keberadaan wujud selain Tuhan bukanlah keberadaan yang

208
Akan tetapi pandangan al-Ish}a>qi> ini, tidak dapat diartikan secara tekstualis yang tergambar
dalam analisa angan atau digambarkan secara dhahir. Karena konsekuensinya adalah kafir dan
zindiq.
209
Achmad Asrori al-Ish}a>qi>, al-Muntakhaba>t fi> Ra>bit{ah al-Qalbiyyah wa S{ilah al-Ru>hiyyah, Juz
1, Cet. 3...,9. Dengan redaksi:
.‫ لن النُّور ال ي قوم اال ِبلجسام‬.‫ الستحالة عليه ت عاَل‬,‫ من أن هللا ت عاَل له ن ور قائم بذاته‬:‫ "من ن ورﻩ" ظاهرﻩ‬:‫ليس المراد بقوله‬
210
Achmad Asrori al-Ish}a>qi>, al-Muntakhaba>t fi> Ra>bit{ah al-Qalbiyyah wa S{ilah al-Ru>hiyyah, Juz
1...,9.
99

abadi. Inilah yang oleh KH. Achmad Asrori al-Ish}a>qi disebut dengan Wuju>d al-

Maja>zi>.211

F. Wah}dah al-wuju>d dalam wacana pemikiran KH. Achmad Asrori Al-Ish}a>qi>

Ketika para sufi autentik menyampaikan kebenaran, mereka merujuk

kepada ilmu yang paling meyakinkan, karena para sufi autentik ini telah memiliki

kesadaran spiritual trans-empirik sehingga dapat mengamati secara langsung

hakikat dari fenomena-fenomena berbagai yang disebut dengan istilah kathrah

(the multiplicity of phenomena) dalam konteks realita yang tunggal dalam

konteks yang bermacam-macam. Para sufi intelektual,212 tidak pernah

mengingkari semua kewujudan yang pertikuler maupun yang plural. Oleh karena

itu, mereka mengetahui level-level kewujudan itu serta dengan ilmu yang sejati

selalu bersikap adil, dan dapat memposisikan diri dan memperlakukan apa yang

diamati sesuai dengan kewajaran.

Menurut perspektif al-Ish}aq> i>, sebagai tanggapan dan pemikirannya

terhadap konsep wah}dah al-wuju>d, ia mengklsifikasikan menjadi dua kelompok

bedasarkan konsekuensi yang timbul mengenai artikulasi dan ungkapan faham

bahwa Allah SWT adalah tunggal “mono”. Dua sekte kelompok yang dimaksud

oleh al-Ish}aq> i yakni:

211
Muhammad Rahmatullah, “Dualisme dan Makrifat: Studi Tentang Pemikiran Sufistik KH.
Achmad Asrori al-Ish}a>qi>”...,78.
212
Sufi intelektual adalah kalangan spiritualis yang tidak hanya memperhatikan pentingnya ilmu
dan hanya menekankan kepada aktivitas rohani tanpa akal, akan tetapi para sufi intelektual
mempraktikkan tasawuf dengan ilmu yang agung. Karena kebanyakan sufi yang hanya
menekankan kepada aktvitas ruhanyah saja terjebak kepada tarekat dan cenderung mencetak
pseudo-sufi atau sufi yang bukan pencari hakikat sebenarnya, sehingga mengabaikan sharī‘ah dan
terjebak dalam aktivitas ritual wirid yang berkepanjangan. Lihat: Tri Arwani Maulidah,
“Reinterpretasi Relasi Tuhan dan Manusia Syed Muhammad Naquib Al-‘At}t}a>s”...,88.
100

1. Kelompok pertama (sesat-kafir)

Mereka adalah kelompok yang mempunyai paradikma pemikiran

bahwa Allah SWT menyatu dengan makhluk, tidak ada yang wujud kecuali

Allah SWT, segala sesuatu adalah Dia, dan Dia adalah segala sesuatu

tersebut. Akan tetapi perkataan semacam itu muncul dari lisan orang yang

belum bermakrifat kepada Allah SWT.213

2. Kelompok kedua

Mereka yang beranggapan bahwa Allah SWT sebagai merupakan

wujud mutlak yakni wujud yang qadi>m dan azali. Dan selain wujud Allah

SWT adalam maja>z (semu), yang diwujudkan dan ditetapkan oleh Allah

SWT, dan semuanya sirna ketika memandang ke-Esaan dzat-Nya.

kelompok yang kedua ini, diklasifikasikan lagi menjadi dua:

a. Pandangan yang diperoleh dari landasan keyakinan dan bukti yang

autentik, serta telah dirasakan dengan sebab tersingkapnya mata hati.

Disamping itu, tetap menjalankan sisi syari’at “‘Ubu>diyyah”. Maka

pandangan ini dikategorikan benar.214

b. Pandangan yang hanya didapat dari sisi tekstual saja, karena

pendalaman terhadap literatur ahli hakikat. Sedangkan mereka tidak

sekalipun tersingkap mata hatinya. Sehaingga kategori yang kedua

ini tergolong kedustaan dan kebatilan. Karena dalam pandangan al-

213
Achmad Asro>ri al-Ish}a>qi>, al-Muntakhaba>t fi> Ra>bit{ah al-Qalbiyyah wa S{ilah al-Ru>hiyyah, Juz
5...,225.
214
Ibid.,226.
101

Ish}aq> i>, ahli ma’rifat senantiasa terkumpul dan bersinergi dalam

dirinya sisi syari’at dan dimensi hakikat.215

Semua yang tampak kepada para sufi yang autentik ini adalah ta‘ayyun dan

tajalli> dari Sang Wa>jib al-Wuju>d Allah melalui jalan spiritual, demikian

ungkapan dari al-Ish}aq> i>. Dengan melandaskan pada ungkapan Syekh Ibnu

‘A<jibah al-Ha{sani> yang menegaskan ma’tifat yang sesungguhnya “ma’rifah al-

haqq” adalah sirnanya segala sesuatu (selain Allah SWT), dengan memandang

ke-Esaan-Nya.216 Allah SWT adalah yang hakiki (The Reality), sementara

tataran kosmik –secara universal- adalah himpunan (ira>dah) dan manifestasi dari

ira>dah-Nya, yang tidak memiliki wujud tetap, bukan pula sebuah substansi yang

distingtif. Inilah yang sebenarnya disebut dengan wah}dah al-wuju>d oleh al-

Ish}aq> i>, yang terus mensinergikan antara ruhani dan jasmani.217 Sehingga dapat

dikatan al-Ish}aq> i> memiliki lokus bahasa yang simple, jauh dari kontradiksi dan

tidak berpelik-pelik, serta mempunyai ajaran yang netral dan tidak mengarah

pada justifikasi ajaran pantheisme.

215
Ibid.
216
Achmad Asro>ri al-Ish}a>qi>, al-Muntakhaba>t fi> Ra>bit{ah al-Qalbiyyah wa S{ilah al-Ru>hiyyah, Juz
5...,223.
217
manusia tercipta atas dua alam, yaitu alam rohani (alam yang kasat mata) dan jasmani (alam
yang kasyaf mata). Menurutnya, hakikat manusia adalah rohani yang bersemi dan bersemayam di
dalam jasad yang kasyaf mata. Dalam alam rohani tersebut terdapat tiga cahaya (nur) yaitu, nur
rabbaniyah, nur lahutiyah dan nur jabarutiyah, kemudian alam tersebut terdinding, tertutup dan
terhalang oleh sifat basyariyah (sifat kemanusiaan). Lihat: Achmad Asrori al-Ish}a>qi>, al-
Muntakhaba>t fi> Ra>bit{ah al-Qalbiyyah wa S{ilah al-Ru>hiyyah, Juz 1...,213.
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Pada konteks pembahasan mengenai corak tasawuf yang dimiliki al-Ish}aq> i>,

Cakrawala pemikirannya dalam kitab al-muntakhaba>t yang dikaji melalui

objek kajian Wuju>diyyah dan tasawufnya secara umum, dapat dikategorikan

menjadi dua, corak tasawuf secara intensif (kecenderungan) dan corak non-

intensif (keterpengaruhan).

a. Pada bagian pertama, dengan penekanan objek kajian Wuju>diyah

(konsep ketuhanan), al-Ish}a>qi> memiliki corak tasawuf yang identik

dengan Ibnu ‘Arabi> dan al-Ghazali>. dapat dibuktikan dalam kitab al-

muntakhaba>t bab al-Malh}az}ah al-S}a>fiyah al–Wa>fiyah. Akan tetapi

secara lokus bahasa al-Ish}a>qi>, ia lebih cenderung kepada al-Ghaza>li>

yang memiliki tekstur bahasa lebih mudah untuk dicerna oleh akal

manusia (awam).

b. Pada bagian kedua, kecenderungan tasawuf al-Ish}aq> i> secara universal

meliputi:

1) Al-Qur’a>n dan Hadith.

2) Tokoh-tokoh sufi: Syekh al-H{alla>j, Syekh Abu> Yazi>d, Ibnu

‘Arabi>, al-Ghazali>, al-Qushayri>, Imam Suhra>wardi> dan lain

sebaginya.

3) Teologi skolastik (Ash’ariyah).

4) Tokoh filusuf islam: Ibn Sina.

102
103

2. Konsep Wuju>diyyah perspektif al-Ish}aq> i> terdiri dari kesatuan dualisme

“monodualistik”, antara transenden (tanzi>h) dan imanen (tashbi>h). Dalam

pandangan al-Ish}aq> i> keduanya seolah memiliki posisi seperti dua mata uang

yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain. Fondasi inilah

yang membangun pemikiran al-Ish}aq> i> mengani konsep Wuju>diyyah Allah

SWT, yakni hakikat merupakan tunggal dan jamak sekaligus, yang dhahir-

formal dan batin-hakikat. Dalam pengertian ini, transenden (tanzi>h) dan

imanen (tashbi>h) saling melengkapi dan menyempurnakan.

Sedangkan, pada konsep imanen (tashbi>h) Allah SWT yang tertuang

dalam pembahasan nu>r al-muhammadi>, al-Ish}aq> i> membantah artikulasi yang

dimaknai secara tekstualis (dhahir). al-Ish}aq> i> menuliskan dengan mengutip

pendapat Imam ‘Ali> al-Shibra>milisi>, bahwa tajalli> Allah SWT, yang

diiberatkan al-nu>r bukan berarti Allah SWT menyandang substansi-dzat

berupa al-nu>r tersebut, dan nu>r al-muhammadi> diciptakan dari-bahan nu>r

Allah SWT (dzat-Nya), karena dalam pandangan al-Ish}aq> i> hal itu tidak

mungkin (mustahil).

Sehingga al-Ish}aq> i> memberikan pandangan bahwa kehendak “ira>dah”

Allah SWT mempunyai korelasi “ta’alluq” dengan penciptaan nu>r al-

muhammadi> tanpa ada perantara “tawassut}” apapun.

B. Saran

Berdasarkan penelitian ini, penulis memberikan saran kepada pembaca,

bercermin pada kekurangan yang pastinya nampak dalam penelitian ini:


104

1. Al-Ish}aq> i> adalah tokoh sufi yang agung dan terkenal. Sehingga, wawasan

dari pandangan kedua tokoh mungkin masih banyak memerlukan penelitian

lanjutan. Terutama, al-Ish}a>qi> merupakan tokoh sufi yang muncul di era

milenia ini yang belum begitu banyak penelitian yang mengupas tentang

pemikirannya.

2. Bercermin pada maqalah “ketika sesuatu telah sempurna (selesai), maka

nampaklah kekurangannya”, penulis menyadari mungkin banyak kekurangan

dari penelitian yang akan dijumpai oleh para pembaca. Sehingga

sebelumnya, penulis memohon maaf atas kekurangan dalam penelitian ini.

3. Lantaran al-Ish}aq> i> adalah sebagai sufi yang terkenal dengan memiliki banyak

santri, penulis memprioritaskan para insider dari kalangan santri pesantren

Al Fithrah untuk meneliti dan memperluas wawasan pandangan guru mereka

sendiri di mata publik. Terutama, bagi penulis penelitian ini hanya

mengambil setetes dari luasnya pengetahuan al-Ish}a>qi> untuk dibedah dalam

ruang penelitian.

4. Lentaran penelitian ini hanya mengupas objek kajian seputar teologi, dan

fokus pada kajian tersebut. Maka mayoritas pembacaan penulis hanya pada

jilid 1, 3, dan 5. Bahkan pada bab-bab tertentu, sehingga objek dan kajian

pada jilid dan bab lain masih terbuka secara lebar untuk dikaji dan diteliti.
105

DAFTAR PUSTAKA

‘Abba>s (al), Abi> Taqiyuddi>n Ah}mad bin ‘Abdul H{ali>m (Ibnu Taymiyah). Dar’u
Taa>rud{ al-‘Aqlu wa al-Naqlu, Cet. 7, Juz 8. Madi>nah: t.p, 1991.


Abdulla>h. “Hikmah al-Ishraqiyah: Menelaah Sisi Eksistensialisme Teosofi
Transenden Mulla Sadra”. Sulesana, No.2, Vol.7, 2012.

‘At}t}a>s (al), Muh}ammad Naquib. Prolegomena To The Metaphysics Of Islam: An


Exposition Of The Fundamental Element Of The Worldview Of Islam.
Kuala Lumpur: ISTAC, 1995.

Abidi>n, Jam’ah. “Pengembangan Pendidikan dalam Filsafat Eksistensialisme”.


Jurnal Ilmiah Keislaman. Vol.12, No.2, 2013.

Abu> ‘Abba>s (al), Ah}mad bin Muh}ammad bin Mahdi> bin ‘Aji>bah. al-Bah{r al-
Madi>d fi> Tafsi>r al-Qur’a>n al-Maji>d, Juz 5. Beirut: Da>r al-Kutu>b al-
‘Ilmiyyah, 2002.

Abu> Qasi>m (al), ‘Abdul Kari>m bin Hawa>zi>n. al-Risa>lah al-Qushayriyyah fi> ‘Ilmi
al-Tas{awwu>f. Cet. 1. Jakarta: Da>r al-Kutu>b al-Isla>miyyah, 2010.

Anis, Ibrahim. Al-Mu’ja>m al-Wast}. Cet. 2. Kairo: Dar al-Fikr, 1972.

Anwar, Rosihon. Akhlaq Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia, 2010.

Ayda>n, Fari>duddi>n, Al-T{ari>qah Al-Naqsha>bandiyyah. Juz 1. t.tp: t.p, t.t.

Badawi> (al), ‘Abdur Rahman, Shat}ah}a>t al-S}ufiyyah. Juz 1, Beirut: Dar al-Qalam,
t.t.

Bayyu>mi> (al), Nu>ruddi>n Sayyidi> ‘Ali>. Sharkh al-H{ikam al-‘At}o>iyyah al-


Musamma> al-Huda> lil Insa>n ila> al-Kari>m. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah,
2019.
106

Bust}a>ni> (al), But}rus. Muh}it} Al-Muh}it}: Qa>mus ‘Asriyyu>n Mutawwalu>n li al-


Lughah al-‘Ara>biyyah. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2009.

Cibro, Ramli. “Dari Wujudiyyah ke Ma’rifah: Geneologi Tasawuf Hamzah


Fansuri”. Jurnal Al-Tafkir, No.1, Vol.XII, 2019.

Danim, Sudarwan. Menjadi Peneliti Kualitatif, Cet. 1. Bandung: Pustaka Pelajar,


2002.

Fana>ri (al), Shamsuddi>n Muh}ammad bin H{amza>h bin Muh}ammad. Mifta>h} Ghayb
al-Jam’ wa al-Wuju>d li S{adruddi>n al-Qu>nu>niy wa Syarh}ihi Mis}bah} al-Uns
Bayna al-Ma’qu>l wa al-Masyhu>d lil Fana>ri>. Beirut: Dar al-Kutub al-
Ilmiyah, 2010.

Fana>ri> (al), Muhammad ibnu H{amzah. Mis}ba>h} al-Uns bayna al-Ma’qu>l wa al-
Mashhu>d. I<ra>n: Intisha>ra>t Mawla>, 1374 H.

Fathurrahman, Oman. Ith}a>f al-Dhaki>: Tafsir Wahdatul Wujud Bagi Muslim


Nusantara. Jakarta: Mizan, 2012.

Firdaus. “Meretas Jejak Sufisme Di Nusantara”. Al-Adyan, Vol. 13, Nomor 1,


2018.

Fuadi, Muhammad Robith. “Memahami Tasawuf Ibnu ‘Arabi> dan Ibnu al-Fad}l:
Konsep al-H{ubb Illa>hi, Wah}dah al-Wuju>d, Wah}dah al-Shuhu>d, Wah}dah
al-Adya>n”. Ulul Albab, No.2, Vol.14, 2013.

Gha>zi> (al), Ahmad bin ‘Abdul Kari>m. al-Jaddu al-H{asi>s fi> Baya>ni Ma Laysa Bil-
H{adi>th. t.tp: Da>r Ibnu H{azm, t.t.

Ghala>yayni> (al), Mus}t}afa>. Ja>mi’ al-Duru>s al-‘Arabiyyah. Juz 2. Beirut: Dar al-
Kutub al-Ilmiyah, 2014.

H{usayni (al), Abu> al-Baqa>’. Kulliya>t Abi> al-Baqa>’. t.tp: t.p, t.t.
107

Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrulah). Tasawuf Perkembangan dan


Pemurniannya. Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1993.

Hidayatullah, UIN Syarif. ENSIKLOPEDI TASAWUF. Cet. 1, Jilid 3. Bandung:


ANGKASA, 2008.

Ibnu Musta{>fa>, Ismai>l Haqqi>. Tafsi>r Ru>h{ al-Baya>n. Juz 1. t.tp: Da>r Ih{ya’ al-Tura>th
al-‘Arabi>, t.t.

Ish}aq> i> (al), Achmad Asro>ri. al-Muntakhaba>t fi> Ra>bit{ah al-Qolbiyyah wa S{ilah al-
Ru>hiyyah. Cet. 3, Juz 4. Surabaya: Al Wafa, 2016.

----------------------------. Al-Muntakhaba>t fi> Ma> Huwa al-Mana>qib. Surabaya: Al-


khidmah, t.t.

----------------------------. Tuntunan dan Bimbingan: Pedoman Kepemimpinan dan


Kepengurusan dalam Kegiatan dan ‘Amaliyah Ath Thoriqoh dan Al
Khidmah. Surabaya: Jama’ah Al Khidmah, 2011.

----------------------------. al-Muntakhaba>t fi> Ra>bit{ah al-Qalbiyyah wa S{ilah al-


Ru>hiyyah. Cet. 1, Juz 1. Surabaya: T.Pn, 2007. (Versi 2 Jilid)

-----------------------------. al-Muntakhaba>t fi> Ra>bit{ah al-Qolbiyyah wa S{ilah al-


Ru>hiyyah. Cet. 3, Juz 1. Surabaya: Al Wafa, 2016.

-----------------------------. al-Muntakhaba>t fi> Ra>bit{ah al-Qolbiyyah wa S{ilah al-


Ru>hiyyah. Cet. 3, Juz 3. Surabaya: Al Wafa, 2016.

-----------------------------. al-Nuqt}ah fi> Tah}qi>q al-Ra>bit}ah. Surabaya: al-Khidmah,


2010.

Izutsu, Toshihiko. SUFISME: Samudra Maktifat Ibnu ‘Arabi. Cet 1. Jakarta: PT


Mizan Publika, 2015.
108

Ja>hi (al), Nu>ruddi>n ‘Abdurrahman bin Ahmad. Naqdu al-Nus}u>s} fi> Sharkh Naqshi
al-Fus}u>s}. Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 2005.

Jamaris, Edward dan Prijanto, Saksono. Hamzah Fansu>ri> dan Nuruddi>n al-Ra>niri>.
Jakarta: Booklet Budaya, 1995/1996.

Jum’ah, ‘Ali>, Aqi>dah Ahli al-Sunnah wa al-Jama>’ah. Cet.5, Qahirah: Da>r al-
Muqat}t}im li al-Nashr wa al-Tawzi>’, 2011.

Kaelan. Metode Penelitian Agama Kualitatif Interdisipliner. Yogyakarta:


PARADIGMA, 2010.

Khaja Khan, Khan Sahb. Tasawuf: Apa dan Bagaimana, terjemahan Achmad
Nashr Budiman. Jakarta: PT Grafindo Persada, 1995.

Khotimah, Khusnul. “Interkoneksitas Dalam Ajaran Sosial Tasawuf Sunni Dan


Falsafi”. Jurnal Komunika, No. 1, Vol. 9, 2015.

Labib, Muhsin. Mengurai Tasawuf ‘Irfan dan Kebatinan. Jakarta: Lentera, 2004.

Maulidah, Tri Arwani. “Reinterpretasi Relasi Tuhan dan Manusia Syed


Muhammad Naquib Al-‘At}t}a>s”. ISLAMIKA INSIDE: Jurnal Keislaman
dan Humaniora. Vol. 4, No. 1, 2018.

Moleong, Lexy J.. Metodologi Penelitian Kualitatif, cet. 27. Bandung: PT.
Remaja Rosda Karya, 2010.

Muhammad, Muhyiddi>n Muhammad ‘Ali> (Ibnu ‘Arabi>). Rasa’il Ibnu ‘Arabi>.


Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2010.

Muniron. Ittihad & Hulul Dalam Pandangan Al-Ghazali. Cet.1. Jember: STAIN
Jember Press, 2013.

Murnita, Tesra. “Diskursus Transenden dan Imanen Tuhan Menurut Ibnu ‘Arabi>
(1165-1240 M)”. “Skripsi”--UIN SUSKA, Riau, 2020.
109

Must}ofa>, Sa’diyyah Ah}mad. Al-Baqa>’ wa Al-Fana>’ fi Shi’ri Abi Al-‘Uta>hiyah.


Arda>n: Dar al-H{a>mid, 2010.

Mustansyir, Rizal. “Aliran-Aliran Metafisika: Studi Kritis Filsafat Ilmu”. Jurnal


Filsafat, 1997.

Mustaqim, Kantor Al-Wafa Publishing Pondok Al-Fithrah Surabaya. 2020.

Musyafa’, Muh}ammad. “RELEVANSI NILAI-NILAI AL TARIQAH PADA


KEHIDUPAN KEKINIAN: Studi Penafsiran Ayat-Ayat Al-Qur’a>n
Dalam al-Muntakhaba>t Karya KH. Achmad Asro>ri Al-Isha>qi”.
“Disertasi”--UIN Sunan Ampel, Surabaya, 2018.

Muzani, Saiful. Islam Rasional Gagasan Dan Pemikiran Prof. Dr Harun Nasution.
Bandung: Mizan, 1995.

Na’im, Syamsun. “HAMZAH FANSURI: Pelopor Tasawuf Wuju><Diyyah Dan


Pengaruhnya Hingga Kini Di Nusantara”, Episteme, Vol.12, No.1, 2017.

Nasution, Ahmad Bangun dan Siregar, Royani Hanun. Akhlak Tasawuf:


Pengenalan, Pemahaman, dan Pengaplikasiannya, Disertai Biografi dan
Tokoh-tokoh Tasawuf. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2013.

Nasution, Harun. Falsafat Agama. Cet.6. Jakarta : Bulan Bintang, 1987.

-------------------. Islam Rasioal: Gagasan dan Pemikiran. Cet.1. Bandung:


MIZAN, 1995.

Nata, Abudin. Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2011.

Nur, Ahmad Faiq. “Karakteristik Ekspresi Bahasa Metaforis Dalam Tasawuf


Wuju>diyyah Nusantara”. Jurnal al-Tsiqoh, No.1, Vol.5, 2020.
110

Nurisman. “Filsafat Dalam Pemikiran Islam Rasional Harun Nasution: Sebuah


Sumbangan Bagi Pengembangan Pemikiran Islam Di Indonesia”.
“Ringkasan Disertasi”--UIN Sunan Kalijaga, Jogjakarta, 2009.

Poedjawijatna, I.R. Pembimbing Kearah Alam Filsafat. Jakarta: Pembangunan,


1980.

Pransiska, Toni. “Meneropong Wajah Studi Islam Dalam Kacamata Filsafat:


Sebuah Pendekatan Alternatif”. Intizar, Volume 23, No.1, 2017.

Qa>sha>ni> (al), ‘Abd al-Razza>q. Dictonary of the Technical Terms of the Sufies:
Edited in the Arabic Original. London: Universitas Harvard, 1845.

Raco, J. R.. Metode Penelitian Kualitatif: Jenis, Karakteristik Dan


Keunggulannya. Jakarta: PT Gamedia Widiasarana Indonesia, 2010.

Rah}matulla>h, Muhammad. “Dualisme dan Makrifat: Studi Tentang Pemikiran


Sufistik KH. Achmad Asrori al-Ish}aq> i>”. “TESIS”--UINSA, Surabaya,
2015.

Riduwan. “Al-Ghazali> di mata orientalis”. El-Banat: Jurnal Pemikiran dan


Pendidikan Islam. Vol. 7, No.1, 2017.

Roshid, ‘Abdur. Materi: Pekuliahan Ma’had Aly.

Roswantoro, Alim. “EKSISTENSIALISME TEISTIK MUHAMMAD IQBAL”.


Jurnal Hermeneira, 2004.

Saliba>, Jamil. Mu’ja>m al-Falsafah. Jilid 2 . Beirut: Dar al-Kutub, 1979.

Shahu>d (al), ‘Ali> bin Nayf. Mawsu>’at al-Buhu>th wa al-Maqa>lat al-‘Ilmiyyah. t.tp:
t.p, t.t.

Siddiq, Abdulla>h. Seminar tentang Ke-Al Khidmahan Dan Thoriqoh. Pendopo


Ponpes al-Fithrah Surabaya, 2016.
111

Siraj, Said Aqil. “Silat Alla>h bi al-Kawn fi> al-Tasawwu>f al-Falsafi>”. “Disertasi”--
Universitas ummu al-qura>, Mekkah, 1414 H/1994 M.

------------------.Allah dan Alam Semesta: Perspektif Tasawuf Falsafi. Jakarta:


Yayasan Said Aqil Siraj, 2021.

Siregar, A. Rivay. Tasawuf Dari Sufisme Klasik ke Neo Sufisme. Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 1999.

Sirhindi> (al), Ahmad al-Fa>ru>qi>. al-Maktubah. Juz 1. t.tp: Maktabah al-Nayl, t.t.

Su’ud, Abu. Islamologi. Jakarta: PT Rineka Cipta, 2003.

Suryadilaga, M. Alfatih. Miftahus Sufi. Yogyakarta: Teras, 2008.

Suwendra, Wayan. Metodologi Penelitian Kualitatif: Dalam Ilmu Sosial,


Pendidikan, Kebudayaan Dan Keagamaan. Bandung: Nilacakra, 2018.

Syatori, Ahmad. “RELASI MURSYID-MURID DALAM TRADISI TARIKAT


QADIRIYAH WA-NAQSYABANDIYAH: Studi Tasawuf Tentang
Perilaku Sosial-Spiritual Penganut Tarikat di Pondok Pesantren al-Salafi
al-Fithrah Surabaya”. “Tesis”—UIN Sunan Ampel, Surabaya, 2015.

Syukur, M. Amin. Intelektualisme Tasawuf. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014.

Taufikin, Filsafat Etika Tasawuf Fana’, Baqa’ dan Ittihad Abu Yazid al-Bustami.
Esoterik: Jurnal Akhlak dan Tasawuf.

Triyandani, Endah. “Ajaran Tasawuf Hamzah Fansuri>: Studi Atas Puisi-Pusi


Sufistik Hamzah Fansuri>”. “Skripsi”--UIN Sunan Klijaga, Jogjakarta,
2017.

Wahyudi, Chafid. “Tuhan dan Perdebatan Eksistensiakisme”, Teosofi: Jurnal


Tasawuf dan Pemikiran Islam. No.2, Vol. 2, 2012.
112

Yaqin, Ainul. “Koresponensi Manusia dan Kosmos: Studi Komparatif Pemikiran


Ibnu ‘Arabi> dan KH. Achmad Asrori al-Ish}a>qi>”. “Skripsi”--STAI Al
FITHRAH, Surabaya, 2020.

Zakariyya, Abu> H{usayn Ah}mad Bin Fa>ris. Mu’ja>m Maqa>yis al-Lughah. Kairo:
Mus}t}afa> al-Bahyi al-H{alabi>, 1969.

Zuhri, Musatafa, Kunci Memahami Ilmu tasawuf. Surabaya: Bina Ilmu, 1985.

www.almaany.com

Http://.id.m.wikipedia.org

Http://Ejournal.Radenintan.Ac.Id/Index.Php/Aladyan

Http://jurnal.radenfatah.ac.id/index.php/intizar

KBBI V1.1 (offline).


113

LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai