Bab 1-5 (Lengkap) M.malik
Bab 1-5 (Lengkap) M.malik
RISALAH AKHIR
RISALAH AKHIR
i
PERNYATAAN KEASLIAN
Surabaya,...........................
Saya yang menyatakan,
Muhammad Malik
NIM. 150452
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Risalah Akhir yang ditulis oleh Muhammad Malik NIM. 150452 ini telah
diperiksa dan disetujui untuk dimuna>qasahkan.
Surabaya, ..............................
Pembimbing,
Mustaqim, M.Ag.,
iii
PENGESAHAN
Risalah Akhir yang telah ditulis oleh Muhammad Malik NIM. 150452 ini telah
dipertahankan di depan sidang Majelis Munaqasah Akhir Ma’had Aly Al Fithrah
Surabaya, Takhassus Tasawuf dan Tarekat pada:
Hari:
Tanggal:
Dan dapat diterima sebagai salah satu persyaratan untuk menyelesaikan program
sarjana strata satu (S-1) dalam Takhassus Tasawuf dan Tarekat.
Ketua sekretaris
......................... ...............................
.......................... ..............................
Surabaya,..........................
Mengesahkan,
Mudir Ma’had Aly Al Fithrah Surabaya
Takhassus Tasawuf dan Tarekat,
iv
ABSTRAK
Risalah Akhir ini merupakan Hasil penelitian dari Muhammad Malik, NIM:
150452, yang berjudul konsep wuju>diyyah perspektif KH. Achmad Asro>ri al-
Ish}aq> i> dalam kitab al-muntakhaba>t.
Pengaruh pemikiran barat-orientalis yang cenderung radikal telah meracuni dunia
akademisi dan banyak melahirkan justifikasi sesat, panteisme dan tidak rasional
terhadap kajian yang menusuk dimensi ketuhanan dalam perspektif keislaman,
terutama pada kajian tasawuf yang dianggap sebagai denyut nadi islam.
Termasuk pula di dalamnya tokoh-tokoh tasawuf seperti Ibnu ‘Arabi>, al-Ghaza>li>,
Hamzah Fansuri, dan tokoh tasawuf lainnya yang juga terkena dampak secara
frontal dari justifikasi orientalis.
Implikasinya, manusia bukan semakin mengenal Tuhan dengan keilmuan dan
praktik yang benar, justru semakin kacau, jauh dalam kegelapan dan kesesatan
pandangan, jauh dari kepercaya’an terhadap ulama ahl al-haqi>qat. Di sisi lain
juga, semakin mendayagunakan aspek rasionalitas dibandingkan sisi spiritualitas,
memahami dan menganalisa term-istilah para sufi tanpa mengetahui hakikat
istilah tersebut.
Sehingga, penelitian ini menyugugkan pembahasan seputar wuju>diyyah, wah}dah
al-wuju>d, wah}dah al-shuhu>d, h}ulu>l serta ittih}a>d yang dianggap rawan terhadap
justifikasi ajaran panteisme, serta menelisik seputar dimensi tanzih (transenden)
dan tashbih (imanen) dalam kitab al-Muntakhaba>t karya KH. Achmad Asrori al-
Ish}aq> i>, sebagai bentuk klarifikasi dan jawaban atas justifikasi tersebut. Penelitian
ini tergolong penelitian kualitatif dengan metode analisa conten analysis.
Menghasilkan kesimpulan bahwa konsep wuju>diyyah perspektif al-Ish}aq> i> dalam
muntakhaba>t memiliki pola monodualisme wuju>d. Dengan dilandasi konsep al-
Ish}aq> i> tentang pembahasan term al-ah}ad dan al-wah}id, wuju>d al-haqi>qi> serta
wuju>d al-maja>zi>. Sehingga penulis pandangan penulis, al-Ish}aq> i> memiliki dogma
yang terbebas dari justifikasi ajaran panteisme.
Kajian multi-dimesnsi ibarat menggambar objek yang abstrak (non-materi),
objek yang tak terbatas oleh akal dan rasionalitas manusia, sehingga lahan
penelitian pada objek semacam itu akan senantiasa terbuka lebar.
v
KATA PENGANTAR
Asro>ri al-Ish}aq> i> dalam Kitab al-Muntakhaba>t” dengan lancar dan baik, sebagai
S}alawat dan salam penulis haturkan kepada sang idola dan kekasih Rasulullah
Muhammad SAW.,sahabat, para pengikut dan pecinta sampai hari kiamat tiba.
eksistensi Tuhan dalam kitab al-Muntakhaba>t karya KH. Ahmad Asrori al-Ish}aq> i>.
terlepas dari bantuan dan dorongan semua pihak. Oleh karena itu, pada
kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada:
vi
2. Keluarga besar Had}rat al-Shaykh KH. Achmad Asro>ri al-Isha>qi>, yang juga
3. Mudir ‘Amm Ma’had Aly Al-Fithrah Surabaya, Dr. Fathur Rozi M.H.I.,
Bashori M.Th.I., berserta seluruh jajaran Mudir dan dosen Ma’had Aly
motivasi ekstra untuk lebih tekun dan giat belajar kepada penulis, baik
Surabaya.
Munawwar), Kedua orang tua (Tsamratul Fikriyah dan Damsuri), dan tiga
vii
dalam kehidupan penulis, khususnya dalam proses menempuh kuliah di
Aly (Kodok, Moe, Bang Dayat, Wafer, Iklil, Iqbal, Om Basir, Hasan, Cak
Rozy, Mimin, Mak Nikmah, Mbak Fitri, Mbak Afifah), yang telah banyak
rasan, konco ambyar, konco oleng (Gopal, Tokai, Cak Inul, Kang Ubed,
mereka dengan iringan do’a “Jaza>kum Alla>h ah}san al-jaza>, wa>fir mawfu>r fi alda>
Surabaya,
Penulis
viii
DAFTAR ISI
Halaman
PENGESAHAN .......................................................................................... iv
ABSTRAK .................................................................................................. v
ix
C. Wah}dah al-wuju>d dan Wah}dah al-Shuhu>d ................................... 41
1. Al-wah}dah al-haqi>qiyyah ...................................................... 41
2. Al-wah}dah al-‘adadiyyah atau al-wah}dah al-‘id}a>fiyyah ....... 42
D. Ittih}a>d dan H{ulu>l ........................................................................... 51
1. Ittih}a>d .................................................................................... 51
2. H{ulu>l ...................................................................................... 54
x
B. Kesatuan Tanzih (Transenden) dan Tashbi>h (Imanen) dalam
Konsep Wuju>diyyah KH. Achmad Asro>ri al-Ish}aq> i> ..................... 97
C. Wah}dah al-wuju>d dalam Wacana Pemikiran KH. Achmad
Asrori Al-Ish}aq> i> ............................................................................ 99
xi
PEDOMAN TRANSLITASI
Di dalam naskah Risalah Akhir ini, banyak dijumpai nama dan istilah
teknis (technical term) yang berasal dari bahasa Arab dan ditulis dengan huruf
Latin. Pedoman translitasi yang digunakan dalam penulisan naskah sebagai
berikut:
A. Konsonan
2. ب B ظ z}
3. ت T ع ‘
4. ث Th غ Gh
5. ج j ف F
6. ح h} ق Q
7. خ Kh ك K
8. د D ل L
9. ذ Dh م M
15. ض d}
Sumber : Kate L.Turabian, A Manual of Term Papers, Disertations (Chicago and London: The
University of Chicago Press, 1987).
xii
Vokal
1. Vokal Tunggal (monoftong)
Tanda dan Huruf Arab Nama Indonesia
َ Fathah A
َ Kasrah I
َ Dhammah u
xiii
B. Ta>’ Marbu>t{ah
Translitasi untuk ta>’ marbu>t{ah ada dua :
1. Jika hidup (menjadi mud{a>f) translitasinya adalah t.
2. Jika mati atau sukun, translitasinya adalah h.
xiv
BAB 1
PENDAHULUAN
sejak awal diciptakannya manusia, ia sudah dikenai taklif yakni agar dapat
akan oksigen. Akan tetapi di sisi lain, oksigen yang di butuhkan oleh manusia
“ma’rifat billa>h”, Salah satu contohnya adalah kewajiban atau taklif seorang
hamba untuk mengenali Tuhannya di satu sisi, dan di sisi lain para ulama telah
sepakat, menengenai sifat yang di sematkan kepada Allah SWT, yakni Ia sebagai
akan terbantahkan. Lantas taklif tersebut apakah gugur dengan sifat Allah SWT
Tidak dapat terbantahkan bahwa objek kajian ini sangat menarik untuk di
jabarkan, paling tidak untuk menemukan batasan hamba untuk mendapat titel
“ma’rifat”, tanpa mendobrak dan merobohkan apa yang telah di sepakati oleh
1
2
para ulama mengenai sifat Allah SWT. Dalam kajian islam, di antara mediasi
menggali dalil dari ilmu yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW dalam al-
Qur’a>n dan Sunah-sunah beliau, sehingga timbul kesadaran akan posisi dirinya
.كنت كن ًزا مفيًّا ال أعرف فأحب بت أن أعرف فخلقت خل ًقا ف عرف ت هم
“Aku (Allah) laksana perbendaharaan yang tersembunyi, kemudian Aku
ingin (suka) jika Aku dikenal (diketahui), maka Ku jadikan makhluk, agar
mereka mengetahui-Ku.”2
Kemudian didukung dengan ayat al-Qur’a>n yang melandasi motiv
penciptaan manusia:
dengan redaksi “illa> liya’rifu>n”, artinya untuk mengetahui dan mengenal posisi
1
Abi> al-‘Abba>s Taqi> al-di>n Ah}mad bin ‘Abd al-H{ali>m (Ibnu Taymiyah), Dar’u Taa>rud{ al-‘Aqlu
wa al-Naqlu, Cet. 7, Juz 8 (Madi>nah: T.Pn, 1991), 5. Sebagaimana diungkapkan oleh Shaykh Abu>
H{ati>m al-S{u>fi> yang mendengar riwayat dari Shaykh Abu> Nas{r al-T{u>si>, beliau menceritakan
tentang Syaikh Ruwaym yang ditanya perihal kewajiban dari Allah SWT atas hambanya, Shaykh
Ruwaym menjawab dengan tegas bahwa kewajiban tersebut adalah mengetahui dan mengenal
Allah SWT. Lihat: Abu> al-Qasi>m ‘Abdul Kari>m bin Hawa>zin, al-Risa>lah al-Qushayriyyah fi ‘Ilmi
al-Tas{awwu>f, Cet. 1 (Jakarta: Da>r al-Kutu>b al-Isla>miyyah, 2010), 16.
2
Dalam redaksi lain disebutkan عرفوين فيب إليهم فتعرفت. Kemudian oleh para sufi hadis tersebut
dijadikan sebagai dasar keyakinan untuk terus meenggali keyakinan terhadap Tuhan, akan tetapi
kedudukan hadis tersebut banyak dipertanyakan dan diragukan oleh para ahli hadis, seperti Ibnu
Taymiyah, al-Zarkashi>, Ibnu H{aja>r, al-Suyut{i> dsb. Lihat: Ah}mad bin ‘Abdul Kari>m al-Gha>zi>, al-
Jaddu al-H{asi>s fi> Baya>ni Ma> Laysa Bi al-H{adi>th (T.Tm, Da>r Ibnu H{azm, T.Th), 175.
3
penciptaan yang paling sempurna diantara makhluk ciptaan Allah SWT lainnya,
ولقد كرمنا بن ادم وحلن هم ف الب ر والبحر ورزق ن هم من الطيبت وفضلن هم على كث ري من
.خلقنا ت فضي ًال
“Dan sungguh telah Kami mulyakan anak-anak adam, Kami angkut mereka
di daratan dan di lautan, Kami berikan mereka rizki dari yang baik-baik dan
Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan
makhluk yang telah Kami ciptakan.” (QS al-Isra> : 70)
Tentunya kemulyaan tersebut tidak diperoleh oleh manusia secara universal
dan cuma-cuma, akan tepai Allah SWT menetapkan syarat-syarat tertentu untuk
3
Ismai>l Haqqi> Ibnu Musta{>fa>, Tafsi>r Ru>h{ al-Baya>n, Juz 1 (T.Pn: Da>r Ih{ya’ al-Tura>th al-‘Arabi>,
T.Th), 335.
4
Orang ‘arif juga dapat di maknai sebagai orang yang tenggelam dalam samudra pengetahuan
tentang Allah SWT, serta tenggelam dalam kecintaan ( mahabbah) kepada Allah SWT. Lihat:
Abu> al-Qasi>m ‘Abdul Kari>m bin Hawa>zi>n, al-Risa>lah al-Qushayriyyah...,97.
5
Achmad Asrori al-Ish}a>qi, al-Muntakhaba>t fi> Ra>bit{ah al-Qolbiyyah wa S{ilah al-Ru>hiyyah, Cet. 1,
Juz 1, (Surabaya: T.Pn, 2007), 114. (Versi 2 Jilid)
4
المؤمن أكرم:- قال – صلى هللا عليه وأله وسلم: روي عن اِب هري رة رضي هللا عنه قال
.على هللا من ب عض المالئكة
“Diriwayatan dari Abu> Hurayrah Ra. beliau berkata: Rasulullah bersabda :
orang-orang mu’mi>n (yang beriman) itu lebih mulia dihadapan Allah SWT
dibanding para malaikat.” (HR. Ibnu Majah, al-Bayhaqi>)6
Selain itu manusia juga diberikan keistimewaan oleh Allah SWT dengan
berbagai macam potensi, seperti jasad, akal, hati, ruh dan lain sebagainya,
sehigga potensi tersebut dapat menjadi jalan untuk mengenal wuju>d Tuhan dan
nafsu dalam diri manusia, sebagai wadah sekaligus sumber bagi perilaku-perilaku
keistimewaan potensinya, dengan selalu berada pada posisi taat atau justru
sebaliknya.7
Telah maklum diketahui, setiap perilaku manusia idealnya tak pernah lepas
dari dorongan motivasi untuk menghamba kepada Allah SWT, S}ala>t, z}ikir, wirid
dan semacamnya tidak menjadi batas bentuk ibadah, bahkah perilaku remeh yang
6
Ibid., 115-116.
7
Abu> al-Qasi>m ‘Abdul Kari>m bin Hawa>zi>n, al-Risa>lah al-Qushayriyyah...,124.
8
Abu> al-Abba>s Ah}mad bin Muh}ammad bin Mahdi> bin ‘Aji>bah, al-Bah{r al-Madi>d fi> Tafsi>r al-
Qur’a>n al-Maji>d, Juz 5 (Beirut: Da>r al-Kutu>b al-‘Ilmiyyah, 2002), 481.
5
terbesar yakni akal dan ruh yang ada dalam diri manusia, justru mereka banyak
terjerumus dan lalai terhadap ilusi duniawi, kemudian muncul sifat materialistis,
hedonis yang semuanya dapat menjadi hijab untuk mengenal Tuhan. Bentuk
ujian semacam ini telah di tegaskan oleh ungkapan Syekh Ibnu ‘At}a>illa>h al-
ام كيف ي رحل اَل هللا وهو مكبل.كيف يشرق ق لب صور الكوان منطبعة ف مرآته؟
ام كيف ي رجو. ام كيف يطمع ان يدخل حضرة هللا وهو َل ي تطهر من جنابة غفالته؟.بشهواته؟
.ان ي فهم دقائق السرار وهو َل ي تب من هفواته؟
“Bagaimana hati dapat bersinar (terang), sedangkan terlukis gambar dunia
dalam cermin hatinya?, atau bagaimana akan berjalan menuju Allah,
sedangkan ia masih terbelenggu oleh syahwatnya?, atau bagaimana ia
mendambakan masuk kehadirat Allah, sedangkan ia belum bersih (suci)
dari janabah kelalaiannya?, atau bagaimana megharap akan memahami
lembutnya siri (rahasia Allah), sedang ia belum bertaubat dari kesalahan
(dosa) nya?”.9
إَّن جعلنا ما على الرض زينةً َلا لن ب لوهم أيُّهم أحسن عم ًال
“Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang di bumi sebagai perhiasan
baginya, agar Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang
terbaik perbuatannya.” (QS Al-Kahfi: 7)
Wujud aktualisasi atas potensi akal manusia sesungguhnya tampak dari
ayat, penggalian hukum agama dan korelasinya dengan fenomena problem yang
9
Nu>ruddi>n Sayyidi> ‘Ali> al-Bayyu>mi>, Sharkh al-H{ikam al-‘At}a>iyyah al-Musamma> al-Huda> lil
Insa>n ila> al-Kari>m (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2019), 49.
6
pernah ada bahasa filosofis yang dapat menggambarkan secara utuh tentang
Salah satu kajian ilmu dalam agama islam yang kompeten menyinggung
aspek keTuhanan atau secara luas mencakup kosmos10 adalah kajian filsafat dan
mengenai tawh{i>d (keTuhanan) dalam agama, manusia dan alam, ilmu teologi
atau biasa disebut ilmu kalam merupakan salah cabang keilmuan yang cukup
Qur’a>n dan hadith Nabi SAW. Akan tetapi pada perkembangannya, teologi
mengalami revolusi penalaran menjadi lebih kritis dan rasionalis, sebagai ciri-ciri
utamanya yaitu pendayagunaan akal yang melekat dalam ilmu teologi modern
atau lebih di kenal dengan teologi rasional.11 Doktrin teologi rasionalis semacam
ini salah satunya dipelopori oleh Harun Nasution dengan mengangkat gagasan
pemikiran filosofisnya, selain wujud rasa iba Harun Nasutio atas mayoritas
10
Kosmos dapat diartikan sebagai alam semesta, secara eksplisit kosmologi membahas mengenai
hakikat alaam semesta yang meliputi hubungan antara manusia, alam dan tuhan. Lihat: I.R
Poedjawijatna, Pembimbing Kearah Alam Filsafat (Jakarta: Pembangunan, 1980), 19-20.
11
Saiful Muzani, Islam Rasional Gagasan Dan Pemikiran Prof. Dr Harun Nasution (Bandung:
Mizan, 1995), 8.
7
pemikiran islam selama ini yang di pandang bersifat statis menuju pemikiran
Tasawuf sebagai denyut nadi islam yang begitu dalam mengungkap tentang
pada zaman al-Fara>bi>, Ibnu Ru>sh, Ima>m Ghaza>li> dan yang paling fenomenal
Fus{u>s{ al-h{ikam dan futu>h{at> al-makiyya>t. Kedua karya tersebut bahkan dikucilkan
dan dilarang untuk sebarluaskan. Salah satu ulama yang mengecam keras
terhadap pemikiran Ibnu ‘Arabi>> adalah shaykh al-isla>m Ibnu Taymiyyah, dalam
kitab fatawa> beliau, dalam kitab tersebut Ibnu Taymiyah mengkafirkan Ibnu
‘Arabi> secara lahir dan batin. Selain Ibnu Taimiyah, ulama lain yang berada
dalam barisan penentang pemikiran Ibnu ‘Arabi> adalah Burha>nuddi>n ibn ‘Uma>r
al-Biqa>i dengan karyanya Tanbi>h al-Ghabi> Ila> Takfi>r Ibnu ‘Arabi>, sekaligus
menjadi kitab pokok yang menjadi sumber rujukan bagi barisan penyerah Ibnu
‘Arabi>.13
12
Nurisman, “Filsafat Dalam Pemikiran Islam Rasional Harun Nasution: Sebuah Sumbangan
Bagi Pengembangan Pemikiran Islam Di Indonesia” (“Ringkasan Disertasi”--UIN Sunan
Kalijaga, Jogjakarta, 2009), 2-5.
13
Toshihiko Izutsu, SUFISME: Samudra Maktifat Ibnu ‘Arabi, Cet.1 (Jakarta: PT Mizan
Publika, 2015), Dalam Pengantar Penerbit, viii.
8
grafik 5 (lima) tingakatan medan wujud (al-h{aqq). Pertama adalah medan al-h{aqq
sebagai sang mutlak yang kokoh dalam kemutlakan-Nya, kemudian medan kedua
yakni al-h{aqq sebagai sang mutlak yang ber-tajalli> (baca: manifestasi) dari
indrawi.14 Demikian penjelasan secara vertikal tetang Allah SWT yang ber-tajjali>
Selanjutnya secara vertikal, dilihat dari sudut pandang hamba kepada Allah
SWT, yang telah menemukan maqa>m tauhid wuju>diyyah, telah digambarkan oleh
Wahdah al-shuhu>d merupakan tingkatan yang lebih tinggi dari pada wah}dah al-
wuju>d.16 Jika seorang hamba dalam penyaksiannya -terhadap segala sesuatu yang
yang Esa, maka hamba tersebut masih dalam tingkatan wah}dah al-wuju>d. Seperti
14
Ibid.,22.
15
Selanjutnya disebut al-Sirhindi>.
16
Konsep tersebut jika mengikuti apa yang telah di paparkan oleh shaykh Ahmad al-Fa>ru>qi> al-
Sirhindi>, beliau memaparkan kaitannya dengan analogi matahari dan bintang. Andai kata
seseorang yang dapat menembus terangnya pancaran sinar matahari serta di saat itu pula, ia dapat
menyaksikan matahari dan bintang-buntang secara bersamaan, maka ia telah mencapai derajat
haqq al-yaqi>n. Lihat: Ah}mad al-Fa>ru>qi> al-Sirhindi>, al-Maktubat, Juz 1 (T.Tm: Maktabah al-Nayl,
T.Th), 81.
9
saat itu bukannya tidak ada, tapi hanya saja tertutup oleh pancaran terangnya
sinar matahari.17 Jika seseorang berada dalam tingkatan haqq al-yaqi>n, maka ia
akan dapat menembus terangnya pancaran sinar matahari dan melihat matahari
luaskan oleh Khwaja Ma’s}u>m, Khwaja Sayf al-Di>n (saifuddin), Muh}ammad al-
Bada>wani> al-Naqshabandi> dan masih banyak ulama yang lain yang juga menjadi
tentang h{ulu>l, ittih{a>d, maqo>ma>t dan ah{wa>l dalam diri manusia. Serta berbagai
macam tingkatan yang ada dilamnya yang telah dibahas secara eksplisit oleh para
sufi, sekaligus menjadi gambaran pijakan tangga yang harus dilalui dan menjadi
bentuk pencapaiaan kepada Allah SWT. Pengalaman yang bersumber dari intusi
serta perjalanan ruhani para sufi tersebut juga banyak dituangkan kedalam
bentuk risa>lah kitab, syair dan ungkapan-ungkapan dengan bahasa yang dapat
dipahami rasio dan diamalkan manusia. Senada dengan uraian diatas, ragam
corak dalam Tasawuf seperti akhlaqi>, ‘amali>, falsafi> juga turut mewarnai
semacam ini hanya terbatas pada kajian Akademik, akan tetapi dalam praktik
yang sesungguhnya, Tasawuf untuk mencapai ma’rifat kepada Allah SWT harus
17
Ibid.
18
UIN Syarif Hidayatullah, ENSIKLOPEDI TASAWUF, Cet. 1, Jilid 3 (Bandung: ANGKASA,
2008), 1405.
10
meliputi aspek universal, dan tidak dipisah antara satu aspek dengan aspek yang
cenderung mengunggulkan al-Kita>b dan al-Sunnah dipelopori oleh para sufi abad
ketiga, seperti Ma’ru>f al-Karkhi>, al-H{a>rith al-Muh{>asibi>, Sari> al-Saqat{i> dan al-
mendalam mengenai tauhid dan ibadah yang sempurna kepada Allah SWT
melalui jalur pembersihan qalb, pelurusan suluk, menjauhi motif-motif nafsu dan
bergantungan dengan berbagai ilmu yang bersumber dari al-Qur’a>n dan H{adi>th.20
Hemat penulis, Proses transisi dari intuisi dan perjalanan ruhani sufi menjadi
bentuk sastra tulisan tersebut tentunya melalui jalur olah akal, sebagai
konsekuensi olah akal tersebut, secara otomatis akan menggiring masuk wilayah
filosofis.21
Allah SWT, serta menjadi corak ajaran tersendiri bagi tokoh yang
19
Muhammad Musyafa’, “RELEVANSI NILAI-NILAI AL TARIQAH PADA KEHIDUPAN
KEKINIAN: Studi Penafsiran Ayat-Ayat Al-Qur’a>n Dalam al-Muntakhaba>t Karya KH. Achmad
Asro>ri Al-Isha>qi” (“Disertasi”--UIN Sunan Ampel, Surabaya, 2018), 61.
20
‘Ali> bin Nayf al-Shahu>d, Mawsu>’at al-Buhu>th wa al-Maqa>lat al-‘Ilmiyyah (T.Tm: T.Pn, T.Th),
2.
21
Abu Su’ud, Islamologi (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2003), 190.
22
Firdaus, “Meretas Jejak Sufisme Di Nusantara”, Al-Adyan, Volume 13, Nomor 1, (Juli-
Desember, 2018), 306-320. Lihat juga: Http://Ejournal.Radenintan.Ac.Id/Index.Php/Aladyan
11
corak pemikiran syekh Ibnu ‘Arabi> dan al-H{alla>j, argumen tersebut diperkuat
dengan karya-karya ulama tersebut, seperti puisi sastra yang di tulis oleh
dicap sebagai kafir, zindiq, sesat, dan kecaman lainnya. Bentuk pengalaman
sebelumnya, yang memiliki metode yang sama, terlebih ketika ajaran pendahulu
dirasakan sufi, konsekuensinya seolah para sufi tidak memahami aspek atau sisi
23
Rosihon Anwar, Akhlaq Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia, 2010), 341.
12
Nya, tidak masuk pada dimensi “huwa”,24 artinya ungkapan tentang hakikat al-
h}aqq hanya sebatas simbolik esoteris yang masih dapat ditangkap oleh rasio
dapat dicapai, dan selalu menjadi misteri yang tak mungkin dipecahkan, menjadi
tanda tanya besar yang tak pernah terjawab.27 Dalam hal ini, syekh al-Qushayri>
dalam diri manusia tidak akan pernah dapat menjangkau (baca: sebanding)
dengan Allah SWT, keluhuran Allah SWT tanpa bisa dicapai atau diraih oleh
24
Dimensi “huwa” adalah dimensi yang tidak dapat di jangkau dengan identifikasi apapun
(absolut), sehingga tidak dimungkinkan untuk menguak identitas allah SWT pada tingkat yang
paling tinggi. Lihat: Muhammad ibnu H{amzah Al-Fana>ri>, Mis}ba>h} al-Uns bayna al-Ma’qu>l wa al-
Mashhu>d (I<ra>n: Intisha>ra>t Mawla>, 1374 H), 44.
25
Oman Fathurrahman, Ith}a>f al-Dhaki>: Tafsir Wahdatul Wujud Bagi Muslim Nusantara (Jakarta:
Mizan, 2012), 182. Dalam buku tersebut, Omar mengulas salah satu kitab karya Ibrahi>m ibnu
H{asan al-Ku>ra>ni , dengan judul asli Ith}a>f al-Dakhi> bi Sharkh al-Tuh}fah al-Mursalat Ila> al-Nabi>
Salla> Alla>h ‘Alayh wa Salla>m.
26
Toshihiko Izutsu, SUFISME...,26-27.
27
Ibid.,24 dan 29.
Dalam pembahasan ini, berkisar pada aspek ontologi Tuhan yang Esa (al-Ah}ad) sebagai yang
mutlak dan tetap pada kemutlakan-Nya.
13
apapun, serta kehadiran-Nya tanpa butuh proses berpindah dari satu tempat ke
tokoh sufi, sebagai imbasnya para tokoh sufi banyak yang dijustifikasi sesat dan
Achmad Asro>ri al-Ish}a>qi> yang selanjutnya disebut al-Ish}aq> i> seorang mursyid
aspek wuju>diyyah tersebut, al-Ish}aq> i> berpendapat bahwa al-wuju>d itu dibedakan
adalah eksistensi Allah SWT pada dimensi kemutlakannya, sedang selain Allah
SWT adalah bentuk manifestasi dari tajalli> Allah SWT (al-wuju>d al-maja>zi>).
Kemudian al-Ish}a>qi> juga mebedakan antara makna al-wuju>d dan al-kawn, al-
dan mawlid al-rasu>l SAW yang telah menyebar luas, dan diikuti oleh beribu-ribu
28
Abu> al-Qasi>m ‘Abdul Kari>m bin Hawa>zi>n, al-Risa>lah al-Qushayriyyah...,18.
29
Achmad Asrori al-Ish}a>qi, al-Muntakhaba>t fi> Ra>bit{ah al-Qolbiyyah wa S{ilah al-Ru>hiyyah, Cet.
3, Juz 1 (Surabaya: Al Wafa, 2016), 177.
14
menyebar ke kancah Internasional. Al-Ish}aq> i> dikenal sebagai salah satu pengamal
ajaran Tasawuf (su>fi>) di Nusantara, yang kental akan dimensi spiritual. al-Ish}aq> i>
juga dikenal memiliki akhlak mulia sebagaimana akhlak yang dimiliki oleh
Rasulullah SAW dan sufi-sufi pada umumnya. Salah satu masterpiece beliau
Ish}aq> i> dapat dilihat dari praktik-praktik tazkiyah al-nufu>s (penyucian hati)
Tak hanya sebatas itu, al-Ish}a>qi> di dalam pandangan para akademisi telah
seperti penemuan dari Abdul Kadir Riyadi, salah seorang pengakaji Tasawuf,
penulis tertarik untuk lebih meneliti dan mendalami konsep pemikiran beliau
30
Muhammad Musyafa’, RELEVANSI NILAI-NILAI AL TARIQAH...,12.
31
Ainul yaqin, “Koresponensi Manusia dan Kosmos: Studi Komparatif Pemikiran Ibnu ‘Arabi>
dan KH. Achmad Asro>ri al-Ish}a>qi>” (“Skripsi”--STAI Al FITHRAH, Surabaya, 2020), 11.
15
sufi lainnya, akan tetapi perbandingan semacam ini penulis kategorikan sebagai
3. Potensi internal manusia (akal dan intuisi) sebagai media pendakian untuk
sikap fanatisme, dan justifikasi kafir kepada orang lain yang tidak
6. Bentuk corak pemikiran tasawuf KH. Achmad Asro>ri al-Ish}a>qi> dalam kitab
wuju>diyyah Tuhan.
Untuk mengikat pembahasan risalah ini, agar tidak meluas, dan tetap fokus
Ru>hiyyah.
C. Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang menjadi topik utama dalam penelitian ini adalah:
D. Kajian Pustaka
Kajian pustaka merupakan salah satu kajian yang dilakukan untuk dapat
pustaka juga dilakukan untuk meminimalisir dan mencegah unsur plagiasi dalam
sebuah penelitian.
Sejauh penelusuran penulis, belum ada penelitian yang sama persis dengan
literatur yang juga mengkaji pemikiran KH. Achmad Asro>ri al-Ish}a>qi>, serta
literatur lain yang mengkaji ajaran wuju>diyyah dari tokoh sufi yang lain. Berikut
Beberapa penelitian yang identik dan relevan dengan judul skripsi “KONSEP
Manusia dan Kosmos (Studi Komparatif Pemikiran Ibnu ‘Arabi> dan KH.
b. Perbedan dan persamaan pemikiran Ibnu ‘Arabi> dan KH. Achmad Asrori
32
Sudarwan Danim, Menjadi Peneliti Kualitatif, Cet. 1 (Bandung: Pustaka Pelajar, 2002), 105.
33
KBBI V1.1 (offline). Korespondensi secara istilah dimaknai sebagai istilah umum yang
merujuk pada aktivitas penyampaian maksud melalui surat-menyurat dari satu pihak ke pihak
yang lain, dalam hal ini adalah manusia, alam semesta dan tuhan. Http://.id.m.wikipedia.org,
diakses pada 12 Agustus 2010.
18
dengan penelitian ini adalah titik penekanan dari objek kajiannya, Skripsi ini
2. Jurnal, ditulis oleh Syamsun Na’im (Fakultas Tarbiyah Dan Ilmu Keguruan
secara umum, atau bahkan tidak menyusun konsep dalam ajaran wuju>diyyah
34
Ainul yaqin, “Koresponensi Manusia dan Kosmos”...,120-121.
35
Syamsun Na’im, “HAMZAH FANSURI: Pelopor Tasawuf Wuju>diyyah Dan Pengaruhnya
Hingga Kini Di Nusantara”, Episteme, Vol.12, No.1 (Juni, 2017), 284.
19
Oleh karena itu, penulis dalam kajian ini cenderung menolak justifikasi
3. Jurnal, yang ditulis oleh Firdaus dari Lampung (UIN Raden Intan Lampung)
NUSANTARA”.
simbol pemikiran atas tokoh-tokoh yang diangkat dalam tulisan, akan tetapi
4. Skripsi yang ditulis oleh Endah Triyandani (Program Studi Aqidah dan
36
Firdaus, “Meretas Jejak Sufisme Di Nusantara”...,305-330.
37
Paradikma pembaca, setelah membaca tulisan dan mneganalisa uraian masalah yang dikaji oleh
peneliti.
20
a. Tentang makna satra yang dikarang oleh para sufi, serta mendalami
5. Skripsi yang ditulis oleh Elyasin Yusuf (UIN Sunan Ampel Surabaya, 2016),
a. Pemikiran dari al-Ish}aq> i> dalam Kitab al-Muntakhaba>t fi> Ra>bit{ah al-
Hasil penelusuran karya ilmiyah dan literatur diatas, tidak ada satupun
karya yang mengangkat penelitian seperti halnya objek dalam penelitian ini.
Bahkan kesimpulan yang dapat ditangkap dari penelitian diatas masih dapat
Yusuf dalam penelitiannya juga lebih cenderung menyasar objek dualisme pada
ruang intuisi dan rasio, dan minim menyinggung aspek dualisme pada wilayah
tersebut –dalam istilah tasawuf biasa disebut dengan proses tajalli> Allah SWT-.
akan tetapi diangkat dalam prespektif yang berbeda, dan karya lainnya
mengangkat perspektif yang sama, akan tetapi objek penelitian tersebut yang
E. Tujuan penulisan
kitab al-Muntakhaba>t.
Dengan selesainya tulisan ini, penulis mempunyai harapan agar tulisan ini
dapat memberikan manfaat dan kegunaan. Diantar manfaat dan kegunaan secara
1. Bagi Penulis
dan sebagai wujud rasa syukur penulis yang telah diberikan kenikmatan akal
pikiran.
2. Bagi Lembaga
3. Manfaat Umum
keTuhanan (wuju>diyyah).
Muntakhaba>t.
G. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Ditinjau dari segi metodologi, penelitian ini merupakan jenis penelitian
pada aspek pengukuran data. Secara singkat penelitian kualitatif juga dapat
kajian ilmiyah, dengan mengunakan metode atau cara alami, yang dilakukan
karena suber data yang diperoleh dari buku, baik al-Qur’a>n, hadith, kamus
maupun karya dari al-Ish}aq> i> sendiri. Walaupun terdapat data mioritas yang
penelitian yang dalam hal ini adalah KH. Achmad Asro>ri al-Ish}aq> i>,
40
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, cet. 27 (Bandung: PT. Remaja Rosda
Karya, 2010), 5.
24
2. Sumber Data
membutuhkan sumber data sebagai bahan untuk diolah. Sumber data yang
yakni sumber data primer atau data utama yang menjadi acuan dan
bersinggungan dengan seorang tokoh, maka sumber data yang relevan dan
sekaligus menjadi data primer adalah merujuk langsung pada karya tokoh
tersebut. Sedangkan data yang kedua adalah data sekunder, atau bisa
dikatakan pendukung data primer, meliputi kitab tokoh objek kajian yang
41
Toni Pransiska, “Meneropong Wajah Studi Islam Dalam Kacamata Filsafat: Sebuah
Pendekatan Alternatif”, Intizar, Volume 23, No.1 (2017), 167-168. Lihat juga:
Http://jurnal.radenfatah.ac.id/index.php/intizar
25
lain, ataupun kitab tokoh lain yang masih relevan dan berkaitan dengan
pembahasan.42
yang urgen dalam penelitian ini bersumber langsung dari kitab al-
para peneliti yang juga membahas menganai konsep yang sama dengan
Manusia dan Kosmos: Studi Komparatif Pemikiran Ibnu ‘Arabi> dan KH.
42
Kaelan, Metode Penelitian Agama Kualitatif Interdisipliner (Yogyakarta: PARADIGMA,
2010), 7.
26
KH. Achmad Asrori al-Ish}aq> i> secara umum. Kemudian mencari dan
Ish}aq> i> dalam konsep wuju>diyyah tersebut. Metode semacam ini lebih dapat
43
J. R. Raco, Metode Penelitian Kualitatif : Jenis, Karakteristik Dan Keunggulannya (Jakarta: PT
Gamedia Widiasarana Indonesia, 2010), 120-121.
27
dan ide-ide pokok secara abstrak dan general sehingga gambaran atau simbol
objek penelitian akan terbentuk secara alami melalui data yang dianalisis.
Metode induktif juga bermula dari fakta-fakta yang sunggug terjadi, dan
macam data dalam kitab al-Muntakhaba>t karya KH. Achmad Asro>ri al-
Ish}aq> i> yang relevan dengan objek penelitian, kemudian merangkum unit data
akan menampakkan gambaran konsep yang dipakai oleh KH. Achmad Asrori
44
Ibid.,59.
45
Wayan Suwendra, Metodologi Penelitian Kualitatif: Dalam Ilmu Sosial, Pendidikan,
Kebudayaan Dan Keagamaan (Bandung: Nilacakra, 2018), 80.
28
yang tidak diperlukan dalam penelitian. Dengan demikian, data yang telah
Huberman.
46
Lexy J. Moleong, metodologi penelitian kualitatif...,163.
29
H. Sistematika Pembahasan
Agar penulisan Risalah ini berurutan dan tersusun dengan baik, sistematika
yang digunakan dalam penulisan Risalah ini terdiri dari 5 bab, yakni:
permasalalahan. Pada bab 1 ini memuat tentang: (1) Latar belakang penelitian.
(2) Identifikasi dan batasan masalah. (3) Rumusan masalah yang diangkat dalam
penelitian. (4) Kajian pustaka. (5) Tujuan penelitian. (6) Manfaat atau kegunaan
penelitian. (7) Metode yang digunakan dalam penelitian, meliputi tentang: Jenis
jawaban atas masalah penelitian. Dalam hal ini adalah menyangkut tentang
sudut pandang orang-orang barat (orientalis) dan sudut pandang para tokoh sufi,
data yang telah terkumpul secara general, terkait tentang ungkapan yang
30
Asrori al-Ish}aq> i> mengenai konsep transenden (tanzi>h) dan imanen (tashbi>h) serta
pemikiran tasawuf KH. Achmad Asro>ri al-Ish}aq> i> dan konsep wuju>diyyah. Serta
corak pemikiran tasawuf KH. Achmad Asro>ri al-Ish}aq> i> dalam kitab al-
menjadi keilmuan yang urgen untuk dipelajari dan praktekkan oleh masyarakat.
berjalannya waktu, timbul degradasi moral yang tak terkendali. Pada era modern
ini, sulit pula menemukan ketentraman dan ketenangan hati sebagai bentuk rid}a
(kepuasan) atas segala sesuatu yang didapat, dan kesulitan itu merupakan
konsekuensi besar yang harus di derita oleh masyarakat modern. Sehingga pada
titik tertentu, manusia akan kembali mencari daya dukung dan kesegaran
spiritual sebagai upaya mencari ketenangan hati.48 Lebih jauh lagi, tasawuf juga
banyak ditarik kedalam ruang akademik, dan dikaji dengan berbagai perspektif
dan metode pendekatan. Pun realitanya tetap banyak sisi tasawuf yang tidak
31
32
karena faktor licinnya bahasa yang digunakan oleh tokoh sufi, juga dipengaruhi
objek kajian yang menusuk pada wilayah non material (baca: non-indawi) yang
dalam diri.49 Jangankan dalam pembahasan ontologi sebuah objek, dalam lingkup
pada realitanya sudah banyak tersulut, seperti dalam kajian tentang ajaran
dipertegas bahwa titik tolak pembahasan wuju>d merupakan akar dari diskursus
kalam dan filsafat islam yang lebih dikenal dengan madzhab existensialism.51
permulaan abad 19, meskipun pada abad tersebut, eliran eksistensialisme masih
menjadikan akidah) apa yang disebut sebagai Tuhan yang esa, sebagai sumber
49
Toshihiko Izutsu, SUFISME...,xxiii.
50
Abdullah, “Hikmah al-Isyraqiyah: Menelaah Sisi Eksistensialisme Teosofi Transenden Mulla
Sadra”, Sulesana, No.2, Vol.7, (2012), 104.
51
Jadi, meskipun kata Wuju>diyyah merupakan bentuk lafad yang mushtaq (baca: derivasi) dari
wajada yang berbahasa arab, akan tetapi dalam terminologinya tidak demikian. Istilah
Wuju>diyyah dipakai untuk memaknai kata “Existentialism”. Redaksi asliya adalah:
ً وأن اإلنسان يوجد فيه حرا، مذهب ف لسف ٌّي قائم على اعتبار أن الوجود ي ت قدم الماهية: .) ( مصدر صناع ٌّي.] [ و ج د: وجودية
. ي بِن ن فسه حسب إرادته ومشيئته وَيتار َلا َنوذج وجودﻩ،
Lihat: But}rus al-Bust}a>ni, Muh}it} Al-Muh}it}: Qamu>s ‘Asriyyu>n Mutawwalu>n li al-Lughah al-
‘Arabiyyah (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2009), 430.
33
munculnya segala sesuatu di alam semesta, Dia yang disebut sebagai Tuhan juga
buku The Origin of The Idea of God, dan dikutip pula oleh Karen Amrstrong.
Akan tetapi seiring dengan berjalannya waktu, Dia yang disebut sebagai
Tuhan perlahan memudar dan menjauh dari kesadaran manusia dan kemudian
ergo sum” (aku berfikir, karena itu aka ada), prinsip ini mulai berkembang dan
yang kemudian lebih dikenal dengan prinsip serbuan untuk membunuh Tuhan.52
bahwa eksistensi itu sendiri yang urgen, Sehingga versi pendapat semacam ini,
yang banyak di ungkapkan oleh para tokoh dalam islam. Kemunculan aliran
metafisikan tradisional, lebih jauh lagi aliran ini menolak segala macam betuk
52
Chafid Wahyudi, “Tuhan dan Perdebatan Eksistensiakisme”, Teosofi: Jurnal Tasawuf dan
Pemikiran Islam, No.2, Vol. 2, (2 Desember 2012), 370-372.
53
Alim Roswantoro, “EKSISTENSIALISME TEISTIK MUHAMMAD IQBAL”, Jurnal
Hermeneira, (2004), 6.
34
dalam pandangan ini bersifat independen dan abadi, artinya dunia dan apa yang
hukumnya sendiri.55
Tuhan dapat di kelompokkan menjadi 2 kelompok besar; yakni antara aliran yang
berujung teisme dan ateisme.56 Dalam perspektif teisme, konteks relasi manusia
transenden dan absolut, serta menjadi substansi (satu-satunya) dari segala bentuk
54
Chafid Wahyudi, “Tuhan dan Perdebatan Eksistensiakisme”...,371-372.
55
Muhammad Naquib (Al-‘Attas), Prolegomena To The Metaphysics Of Islam: An Exposition Of
The Fundamental Element Of The Worldview Of Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), 155.
56
Chafid Wahyudi, “Tuhan dan Perdebatan Eksistensiakisme”...,378.
35
substansi. Jadi, setiap eksistensi yang tampak (ada), terletak dalam satu
substansi.57
menjadi), akan tetapi perkembangan tersebut semakin jauh dari kata being,
karena being dalam pemikiran barat tidak lain juga being-sedang dan
tidak terpecahkan. Sebagai salah satu imbas dari semangat pemikiran filsafat
kitab karya tokoh spiritual islam, yang akhirnya berujung pada kesimpulan ajaran
panteisme yang disematkan kepada tokoh islam tersebut.59 Salah satunya adalah
guru besar Islamic Studies di Yale Univercity, New Haven. Selanjutnya karya
tersebut dikaji dan diteliti oleh Riduwan sebagai bahan analisa perspektif
orientalis dalam melihat tokoh sufi islam. Singkatnya al-Ghazali> di mata Frank
Griffel merupakan sosok yang inkonsisten dan perfaham panteis, justifikasi itu
57
Rizal Mustansyir, “Aliran-Aliran Metafisika: Studi Kritis Filsafat Ilmu”, Jurnal Filsafat, (Juli
1997), 7.
58
Ibid.,81.
59
Kelompok semacam ini populer disebut sebagai kelompok jajaran orientalis, yang berkedok
sebagai pengkaji islam, akan tetapi mereka mempunyai misi untuk meruntuhkan bangunan akidah
umat islam. Dengan menanamkan kebingungan intelektual serta mendoktrin pemikiran umat
islam untuk saling menyalahkan sesama. Khususnya kajian yang berpusat pada ajaran tasawuf.
Metode yang mereka gunakan utamanya menggunakan rasional filosofis, yang cenderung pada
pengalaman indrawi, visi empiris kum logis, serta menolak peranan wahyu dan intuisi. Sehingga
kesimpulan kajian mereka terkesan datar (baca: naturalistik) dan rasionla yang mencopot arti
spiritual, mereduksi makna asal dan fokus hanya pada kodrat alamiah. Lihat: Muh}ammad Naquib
(Al-‘At}t}a>s), Prolegomena To The Metaphysics Of Islam...,154-155.
36
islam, muncul setelah mereka (baca: orientalis) menemukan kajian dalam dunia
pembahasan metafisika, dan tidak bersumber dari spekulasi filsuf atas dasar
penelitian, pengamatan indrawi yang terbatas hanya pada alam matari (baca:
fisik). Persingungan dunia filsafat dan tasawuf sendiri, dimulai sejak abad ke-2
Wuju>diyyah memiliki akar kata wuju>d, yang secara etimologi adalah bentuk
masdar dari fiil “وج ًدا ”وجد – َيد – وج ًدا و وجد ًاَّن و وجد ًة و وجوًدا و memiliki
60
Riduwan, “Al-Ghazali> di mata orientalis”, El-Banat: Jurnal Pemikiran dan Pendidikan Islam,
Vol. 7, No.1, (Januari-Juni 2017), 94-95.
61
Tri Arwani Maulidah, “Reinterpretasi Relasi Tuhan dan Manusia Syed Muhammad Naquib Al-
‘At}t}a>s”, ISLAMIKA INSIDE: Jurnal Keislaman dan Humaniora, Vol. 4, No. 1 (Juni-2018), 75.
62
Muhsin Labib, Mengurai Tasawuf ‘Irfan dan Kebatinan (Jakarta: Lentera, 2004), 41.
37
makna rupa, bentuk, ada (eksis), dan nyata (real),63 artinya setiap sesuatu yang
semesta serta apapun yang termuat di dalamnya, baik yang dapat ditangkap oleh
panca indra ataupun yang tidak (ghayb). Seperti firman Allah SWT dalam surat
وهو الذي خلق السماوات والرض ِبْلق وي وم ي قول كن ف يكون ق وله اْل ُّق وله الملك ي وم
“Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dengan benar. Dan
benarlah perkataan-Nya di waktu Dia mengatakan: Jadilah, lalu terjadilah,
dan di tangan-Nyalah segala kekuasaan di waktu sangkakala ditiup. Dia
mengetahui yang ghaib dan yang nampak. Dan Dialah Yang Maha
Bijaksana lagi Maha Mengetahui.” (QS Al-An’a>m: 73)
yang bermakna keberadaan, akan tetapi kata wujud dalam bidang ilmu teologi
eksistensi Allah SWT.64 Bahkan jika di uraikan lagi, huruf ي dalam lafad
al-wuju>d yang banyak tersebar luas sebagai salah satu ajaran dalam tasawuf. Di
dengan faham ajaran yang dibawakan oleh Syekh Siti Jenar dengan ajarannya
63
KBBI Offline.
64
Selain makna di atas, lafad “ wajada” juga memiliki makna mendapatkan, menemukan hal yang
dimaksud. Seperti ungkapan “”َيدﻩ وجودا. Lihat: www.almaany.com, “diakses pada: Jum’at, 18
September 2020, 00:56 WIB”. Lihat juga: Sa’diyyah Ah}mad Must}ofa>, Al-Baqa>’ wa Al-Fana>’ fi
Shi’ri Abi Al-‘Uta>hiyah (Arda>n: Dar al-H{a>mid, 2010), 45.
38
“manunggaling kawulo gusti”. Salah satu faedah nisbat dalam ilmu nahwu adalah
dari intisari ajaran Wah}dah al-wuju>d syekh Ibnu ‘Arabi> yang kemudian
diproklamirkan sebagai istilah dalam penyebutan ajaran tersebut oleh Sad}r al-Di>n
al-wuju>d masih terus berlanjut sampai para akademisi dan ulama setelah Ibnu
merupakan salah satu ajaran sentral syekh Ibnu ‘Arabi>, yang selanjutnya menjadi
65
Mus}t}ofa> al-Ghala>yayni>, Ja>mi’ al-Duru>s al-‘Arabiyyah, Juz 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah,
2014), 49.
66
Seperti contoh kalimat عالمة. Lihat: Abu> al-Baqa>’ al-Husaini, Kulliya>t Abi> al-Baqa>’ (T.Tm:
T.Pn, T.Th), 102.
67
Ramli Cibro, “Dari Wujudiyyah ke Ma’rifah: Geneologi Tasawuf Hamzah Fansuri”, Jurnal Al-
Tafkir, No.1, Vol.XII, (1 Juni 2019), 29.
68
Banyak karya syekh Ibnu Taymiyyah yang meyebutkan tentang istilah wuju>diyyah, sekaligus
beliau berdiri pada barisan penentang ajaran wuju>diyyah. Lihat: Toshihiko Izutsu,
SUFISME...,vii-viii.
69
Ahmad Faiq Nur, “Karakteristik Ekspresi Bahasa Metaforis Dalam Tasawuf Wuju>diyyah
Nusantara”, Jurnal al-Tsiqoh, No.1, Vol.5 (April 2020), 27. Interpretasi penulis, menyimpulkan
bahwa keserupaan ajaran Wuju>diyyah syekh Ibnu ‘Arabi> dengan tokoh-tokoh sufi Nusantara
tidak lantas bahwa terjadi copy-paste ajaran atau terjadi keterikatan hubungan, seperti guru dan
murid (secara lahiriyah). Akan tetapi lebih cenderung kepada kesamaan pengalaman sufi yang
mendapatkan h}a>l/maqa>m (baca: derajat) yang setingkat antara satu dengan yang lain. Kemudian,
dampak negatif dari penisbatan faham semacam ini juga memiliki imbas yang buruk, terutama
ketika disimpulkan bahwa ajaran Wuju>diyyah orietasinya berfaham panteisme. Seperti
disampaikan oleh salah satu peneliti faham ajaran Wuju>diyyah. Lihat: Ramli Cibro, “Dari
Wuju>diyyah ke Ma’rifah: Geneologi Tasawuf Hamzah Fansuri”...,29-30.
39
dzat yang maha Esa, serta menjadi sumber segala yang wujud.70
Dalam pembahasan wujud, baik yang sudah ataupun akan muncul sebagai
al-Ima>m al-Rabba>ni> bahwa setiap sesuatu yang sudah dan akan ada dalam alam
ini berkaitan dengan ‘alam al-amri dan ‘alam al-khalqi.71 Akan tetapi beliau tidak
membehas panjang lebar mengenai realitas wujud semacam ini. Salah satu pegiat
tasawuf, Ibnu ‘Arabi>-lah dapat dikatakan sufi yang cukup mendalam dan luas
tersebut secara eksplisit (baca: tersurat) akan tetapi dapat ditangkap secara
tersirat dari literatur kitab fus{u>s{ al-h{ikam dan futu>h{a>t al-makiyya>h serta karya
syekh Ibnu ‘Arabi> lainnya yang kompleks mengungkap konsep tajalli> Tuhan.72
Merujuk pada salah satu kitab beliau, Sebagai pengantar untuk membuka
beliau mengungkapkan:
واعلموا أن اإلنسان الذي هو أكمل النسخ و أَتُّ النشأت له ملوق على الوحدانية ال على
فالواحد ال ي قوي و ال يص ُّح هذا المعن, لن الحدية َلا الغن على اإلطالق,الحدية
70
Endah Triyandani, “Ajaran Tasawuf Hamzah Fansuri>”...,80.
71
Alam amri merupakan manifestasi setiap sesuatu yang berkaitan dengan penciptaan yang
berkaitan dengan perintah Allah SWT (kun) yang wilayahnya meliputi setiap yang berada di atas
‘arsh, sedangkan alam khalqi dipakai sebagai sebuah istilah bagi setiap yang tercipta tanpa
perintah Allah SWT (kun) yang wilayahnya berada di bawah ‘arsh sampai pada lapisan bumi
paling bawah. Achmad Asrori, Al-Nuqt}oh fi> Tah}qiq al-Ra>bit}ah (Surabaya: al-Khidmah, 2010),
34-35.
72
Toshihiko Izutsu, SUFISME...,23, 43 dan 157.
40
(اَل ان.... لن الحدية ذاتية للذات اَلوية والوحدانية اسم َلا َست ها ِبا الت ثنية,الحدية
73
)قال
“Ketahuilah, bahwa manusia merupakan salinan (baca: copy) yang paling
sempurna, sebagai ciptaan dari wah}da>niyyah (baca: kesatuan-Nya), bukan
dari ah}a>diyyah (baca: ke-Esaan-Nya). Karena ke-Esaan-Nya bahkan tak
pantas dikatakan yang mutlak, oleh karena itu manusia tidak mempunyai
kemampuan untuk menyandang sesuatu yang Esa (ah}a>diyyah), serta
kesatuan tersebut tidak sekuat ke-Esaan-Nya. Bagaimanapun ke-Esaan-Nya
adalah esensi dari Dzat-Nya, sedangkan kesatuan tersebut sebatas nama
yang disematkan kepada Dzat tersebut......74
bahwa Ibnu ‘Arabi> juga mengungkapkan konsep dasar perbedaan antara term
pandangan Ibnu ‘Arabi> telah masuk dalam dimensi Wah}dah al-wuju>d atau
realitas tersebut, manusia harus melalui setiap tahapan dan berbagaimacam ujian,
sebagaimana mestinya.
Wuju>diyyah. Akan tetapi banyak pula terjadi perbedaan pendapat yang dianggap
73
Muhyiddi>n Muh}ammad ‘Ali> Muh}ammad (Ibnu ‘Arabi>), Rasa>il Ibnu ‘Arabi> (Beirut: Dar al-
Kutub al-Ilmiyah, 2010), 37-38.
74
Ahmad Faiq Nur, “Karakteristik Ekspresi”...,28.
75
Ibid.,29.
41
pemikiran dan tingkat keilmuan yang berbeda antara satu dengan yang lain.
Sedang esensi makna yang sesungguhnya hanya dapat dipahami oleh orang-orang
bentuk maqam yang diduduki oleh para sufi. Sebelum masuk dalam pembahasan
makna secara terminologi mengenai istilah Wah}dah al-wuju>d dan Wah}dah al-
menjadi semacam klasifikasi bagi kata Al-wah}dah itu sendiri. Diantaranya adalah
‘id}af> iyyah.77
1. Al-wah}dah al-haqi>qiyyah
Tunggal) dan murni tidak ada unsur pluralitas, dan adakalanya al-wah}dah
76
Ahmad Faiq Nur, “Karakteristik Ekspresi”...,30.
77
Shamsuddi>n Muhammad bin H{amzah bin Muhammad (al-Fana>ri)>, Mifta>h} Ghayb al-Jam’ wa al-
Wuju>d li S{adruddi>n al-Qu>nu>niy wa Syarh}ihi Mis}bah} al-Uns Bayna al-Ma’qu>l wa al-Masyhu>d lil
Fana>ri> (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2010), 224.
42
komponen tersebut tidak lengkap atau hilang, akan berdampak pula pada
maka tentunya menyalahi sifat Allah SWT yang tidak bergantung pada
kekuatan-Nya.
78
Padanan yang dimaksud yakni al-wa>h}id sebagai sifat Tuhan atau hukum yang disematkan bagi
Tuhan. Lihat: Ibid.
79
Sedangkan pada tataran al-wah}dah al-haqi>qiyyah al-nisbiyyah, menjadi dimensi yang lebih
rendah dari Al-wah}dah al-haqi>qiyyah al-dha>tiyyah akan tetapi ketunggalan tersebut tetap bersifat
netral. Lihat: Ibid.
80
Berbilang oleh penulis dipahami sebagai setiap sesuatu yang dikatakan satu kesatuan yang
sempurna jika memiliki kelengkapan dalam setiap bagiannya. Contoh: Satu manusia, dapat
dikatakan satu atau tunggal dan sempurna, akan tetapi manusia sendiri tersusun atau dikatan
berbilang, dari komponen yang menyusun seperti kepala, tangan, kaki, badan, leher dan lain
sebagainya.
81
Abu> al-Qasi>m ‘Abdul Kari>m bin Hawa>zi>n, al-Risa>lah al-Qushayriyyah...,17.
82
Ibid.,224-225.
43
dilihat dari sudut pandang makhluk, Dia adalah Tuhan yang ke-Esaan-Nya
bahkan lebih mutlak dari kemutlakan, serta tidak batasi dalam kemutlakan
itu sendiri, artinya kemutlakan tersebut tidak dapat menjadi wadah bagi
83
Muhammad Robith Fuadi, “Memahami Tasawuf Ibnu ‘Arabi> dan Ibnu al-Fad}l: Konsep al-H{ubb
Illa>hi, Wah}dah al-Wuju>d, Wah}dah al-Shuhu>d, Wah}dah al-Adya>n”, Ulul Albab, No.2, Vol.14
(2013), 155.
84
Toshihiko Izutsu, SUFISME...,xxvii.
44
Untuk itu, wujud yang bahkan tidak pantas menyandang serta tidak
dengan tetap menyandang predikat tanda tanya dan misteri besar, demikian
semacam itu tidak dapat diraba dan dijangkau oleh akal, terlebih untuk
al-‘At}t}a>s.86
85
Ibid.,26-27. Senada dengan ungkapan tersebut, yakni tetang eksistensi yang tidak akan pantas
menyandang predikat apaun, dijelaskan pula dalam beberapa literatur kitab. Lihat: Nu>ruddi>n
‘Abdurrahman bin Ahmad Al-Ja>hi, Naqdu al-Nus}u>s} fi> Sharkh Naqshi al-Fus}u>s} (Beirut: Dar Al-
Kutub Al-Ilmiyyah, 2005), 177. Lihat juga: ‘Abd al-Razza>q al-Qa>sha>ni>, Dictonary of the
Technical Terms of the Sufies: Edited in the Arabic Original (London: Universitas Harvard,
1845), 154-155.
86
Tri Arwani Maulidah, “Reinterpretsi Relasi Tuhan dan Manusia Syed Muhammad Naquib al-
‘At}t}a>s”, ISLAMIKA INSIDE: Jurnal Keislaman dan Humaniora, Vol. 4, No. 1 (Juni 2018), 79.
45
sesuatu adalah realitas Allah SWT, selain itu merupakan khaya>liya>t (ilusi)
manusia, sehingga setiap orang dapat menapakinya, terlebih para praktisi sufi,88
akan tetapi realitanya wah}dah al-wuju>d hanya dapat diraih oleh orang-orang yang
pengetahuan rasio.89
Sirhindi> berada pada posisi ‘ayn al-yaqi>n. Kemudian ulama s}u>fiyyah memaknai
menyaksikan Eksistensi zat Allah SWT pada setiap sesuatu yang tampak
olehnya. Pada tingkatan ini seorang sufi telah menerobos masuk kedalam suasana
87
Muhammad Robith Fuadi, “Memahami Tasawuf Ibnu ‘Arabi>”...,154. Penulis dalam hal ini
memasukkan sedikit interpretasi mengingat rentannya pembahasan ini untuk terjatuh dalam
ranah ungkapan tashbi>h dan tamthi>l, sebab tidak ada bahasa yang dapat mewakili ungkapan yang
berkaitan dengan realitas semacam ini.
88
Ibid.,155.
89
Ahmad al-Fa>ru>qi> al-Sirhindi>, al-Maktuba>t...,80-81.
46
kecuali yang tampak dalam sesuatu tersebut adalah zat Allah SWT, sehingga
pandangan terhadap dirinya dan semua makhluk yang ada menjadi lenyap.90
التجلي الشُّهودي هو ظهور الوجود المسمي ِبسم النُّور وهو ظهور اْلق بصور اَسائه ف
.الكوان الِت هي صورها وذلك الظُّهور هو ن فس الرحن الذي ي وجد به الك ُّل
“al-tajalli> al-shuhu>di>: adalah tampaknya wujud (eksistensi) yang
diungkapkan sebagai al-nu>r (cahaya), yakni bentuk menifestasi al-haqq
dengan purwarupa atas nama-nama-Nya dalam setiap wujud material
(dengan berbagai macam bentuk materi tersebut), sebagai perwujudan al-
rah}ma>n yang menjadi sumber setiap sesuatu.91
yang dialami oleh seseorang yang berdiri pada maqa>m al-Shuhu>d adalah bentuk
menuju pada aspek lain yang lebih rendah –tanpa terikat dengan ruang dan
waktu- dan dapat dijangkau dan dinyatakan oleh mata hati (bas}i>rah). Walalupun
90
Fari>duddi>n Ayda>n, Al-T{ari>qah Al-Naqsha>bandiyyah, Juz 1 (T.Tm: T.Pn, T.Th), 159.
91
‘Abd al-Razza>q al-Qa>sha>ni>, Dictonary of the Technical Terms of the Sufies..., 155.
47
masih disesuaikan dengan kadar kemampuan setiap individu, dan mustahil dapat
Selain Ibnu ‘Arabi>, adapula syekh H{amzah Fansu>ri>, selain tokoh sufi yang
tekun, beliau juga dikenal sebagai tokoh cendekiawan. Dalam tarekat, beliau
kokoh menganut tarekat Qa>diriyah yang nisbatnya kepada Syekh ‘Abdul Qa>dir
al-Ji>la>ni>, dalam ranah fikih, beliau menganut madzhab Sha>fi’iyah. Dalam ajaran
beliau menguraikan tentang faham Wuju>diyyah yang sangat rumit dan dipandang
rentan akan kecaman dan hujatan atas pemikiran radikal yang sesat,93 bahkan
Ketahuilah, hai segala kamu anak adam yang islam, bahwa Allah
subhanahu wa ta’ala menjadikan kita dari pada tiada diadakan. Dan dari
pada tiada bernama diberi nama, dan dari pada berupa diberi berupa,
lengkap dengan telinga, dengan hati, dengan nyawa, dengan budi. Yogya
kita cari Tuhan kita ini supaya kita kenal dengan makrifat kita, atau dengan
khidmat kita kepada guru yang sempurna mengenal dia supaya jangan
taqsir kita.95
Dua poin besar dalam ungkapan Hamzah Fansu>ri> di atas, bahwa Allah
SWT merupakan dzat yang memiliki adikodrati mutlak, sebagai Sang pencipta
dan memiliki posisi agung nan tinggi. Kedua, tingkatan makrifat dapat ditempuh
92
Dalam pembahasan tajalli> Allah SWT, al-Qushayri> membahas panjang lebar dalam pembahasan
bab al-satr wa al-tajalli>. Lihat: Abu> al-Qasi>m ‘Abdul Kari>m bin Hawa>zi>n, al-Risa>lah al-
Qushayriyyah...,112.
93
Sebagaimana diungkapkan oleh Mastuki HS dan M. Ishom El-saha, dalam bukunya
Intelektualisme pesantren: potret tokoh dan cakrawala pemikiran di era pertumbuhan pesantren.
94
Faham panteisme secara sederhana adalah faham yang memiliki kepercayaan bahwa tuhan
adalah semuanya, dan semuanya adalah tuhan.
95
Syamsun Ni’am, “Hamzah Fansuri: Pelopor Tasawuf Wuju>diyyah”...,275.
48
Fansu>ri> menjelaskan:
sesungguhnya esensi dari semua ciptaan bukanlah selain Tuhan96, akan tetapi
tidak dapat juga dijustifikasi bahwa purwarupa ciptaan merupakan Tuhan. Lebih
ciptaan, ibarat biji dan pohon. Walaupun biji tidak terlihat dalam realita, akan
tetapi hukum pohon secara hakikat meruapakan biji itu sendiri.97 Sehingga
implementasi ayat yang mengungkapkan bahwa Tuhan lebih dekat dari urat leher
manusia begitu kental mewarnai ajaran dari H{amzah Fansu>ri>. Kemudian, Faham
wuju>diyyah ini disandarkan pada pengaruh ajaran Ibnu ‘Arabi>, Sadruddi>n al-
Quna>wi> dan Fakhruddi>n ‘Iraqi>. Serta memiliki beberapa kesamaan dengan faham
yang dibawakan oleh al-H{alla>j, dengan sifat keluhuran dan keagungan Tuhan,
yang telah dirasakan melalui dhawq dan kashaf sehingga terasa begitu dekat dan
96
Akan tetapi tidak dapat dikatakan secara universal demikian, terdapat bentuk-bentuk tertentu
(baca: determined forms) ciptaan tersebut memiliki kontradiksi (yang arahannya lebih kepada
perbeaan secara mendasar) dengan Tuhan. Bahkan jauh tak terhingga untuk dapat dikatakan
sama. Lihat: Toshihiko Izutsu, SUFISME...,103.
97
Syamsun Ni’am, “Hamzah Fansuri: Pelopor Tasawuf Wuju>diyyah”...,275-276.
98
Firdaus, “Meretas Jejak Sufisme Di Nusantara”...,305. Hubungan antara manusia dengan
Tuhan, dalam kacamata Hamzah Fansuri ibarat hubungan antara dua orang kekasih yang begitu
dekat dan dapat membutaakan terhadap realitas selain sang kekasih. Lihat: Edward Jamaris dan
Saksono Prijanto, Hamzah Fansu>ri> dan Nuruddi>n al-Ra>niri> (Jakarta: Booklet Budaya,
1995/1996), 6-8.
49
muslim adalah al-Fara>bi> (870-950 M) dan Ibnu Sina> (980-1037 M),99 namun
oleh Ibnu Sina> melalui filsafat wujudnya yang dijelaskan ke dalam tiga kategori
yaitu wajib al-wuju>d bidha>tih (wajib ada dengan sendirinya), mumkin al-wuju>d
Yang mustahil ada, karena tidak mungkin ada, tidak dibahas oleh Ibnu Sina>
lebih lanjut. Kemudian yang wajib ada, tidak pernah tidak ada di masa lampau
dan tidak akan pernah tidak ada di masa yang akan datang, Ia selamanya ada.
Adanya tidak mempunyai permulaan dan zaman dan juga tidak mempunyai akhir,
Ia terus menerus ada. Ada-Nya tidak mempunyai sebab, itulah Allah SWT. Yang
mungkin ada, pernah tidak ada di masa lampau, kemudian ada dan tidak ada
kembali di masa depan. Adanya mempunyai permulaan dalam zaman dan juga
mempunyai akhir. Ia bemula dari tiada dan berakhir dengan tiada (jasadnya, tapi
manusia.101
Selanjutnya, maqa>m kedekatan dengan Allah SWT yang telah dicapai oleh
99
Harun Nasution, Falsafat Agama, Cet.6 (Jakarta : Bulan Bintang, 1987), 57.
100
Harun Nasution, Islam Rasioal: Gagasan dan Pemikiran, Cet.1, (Bandung: MIZAN, 1995), 94.
101
Jam’ah Abidin, “Pengembangan Pendidikan dalam Filsafat Eksistensialisme”, Jurnal Ilmiah
Keislaman, Vol.12, No.2 (Juli-Desember 2013), 89.
50
yang lazim dipakai oleh para sufi. Z{u> al-Nu>n al-Mis}ri> kemudian
dimiliki oleh orang. Orang awam mempunyai sifat lekas percaya dan
menurut, mudah mempercayai kabar berita yang dibawa oleh orang yang
mutakalimin dan filusuf (metode akal budi), yaitu ma’rifat tentang Allah
melalui hati nuraninya. Ma’rifat jenis ketiga inilah yang tertinggi, karena
ma’rifat ini diperoleh tidak hanya melalui belajar, usaha dan pembuktian.
102
Muhammad Rahmatullah, “Dualisme dan Makrifat: Studi Tentang Pemikiran Sufistik KH.
Achmad Asrori al-Ish}a>qi>” (“TESIS” --UINSA, Surabaya, 2015), 34-36.
103
A. Rivay Siregar, Tasawuf Dari Sufisme Klasik ke Neo Sufisme,( Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 1999), 129.
104
Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrulah), Tasauf Perkembangan dan Pemurniannya,
(Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1993), 103.
51
Melainkan anugerah dari Allah Swt kepada orang-orang sufi atau auliya’
menurutnya ma’rifat tertinggi tidak dapat ditempuh melalui pendekatan akal dan
(qalb) dan merupakan pemberian Allah SWT kepada orang-orang yang telah
menyandang sifat-sifat luhur seperti yang dimiliki Allah SWT, sampai akhirnya
ia sepenuhnya menihilkan dirinya sendiri dan hidup didalam-Nya dan lewat diri-
Nya.108
1. Ittih}a>d
telah dirintis sejak abad ke-3 Hijriah. Para tokoh peneliti dan pengkaji
105
A. Rivay Siregar, Tasawuf Dari Sufisme...,130.
106
Menurut pengalamannya, sebelum sampai pada maqam ma’rifat, Zu> al-nu>n al-Mis}ri> melihat
Tuhan melalui tanda-tanda kebesaran-Nya yang terdapat di alam semesta. Hal ini dapat
ditemukan dalam ungkapan puitisnya: “Ya Rabb, aku mengenal-Mu melalui bukti-bukti karya-
Mu dan tindakan-Mu. Tolong daku ya Rabbi dalam mencari ridha-Mu, dengan semangatku untuk
mencintai-Mu, dan dengan kesentosaan dan niat dan teguh”. Lihat: Ahmad Bangun Nasution dan
Royani Hanun Siregar, Akhlak Tasawuf, Pengenalan, Pemahaman, dan Pengaplikasiannya,
Disertai Biografi dan Tokoh-tokoh Tasawuf ( Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2013), 244.
107
Ia menegaskan bahwa terdapat perbedaan antara ma’rifat yang disebabkan oleh kemampuan
dan kesadaran seseorang sebagai makhluk. Ma’rifat menurut Zunnun al-Misri sepenuhnya
diberikan oleh Allah Swt atas karunia dan kasih sayang-Nya. Maka seorang hamba tidak akan
sampai pada tingkat ma’rifat tanpa usaha dan anugerah serta karunia Allah SWT. Lihat:
Ibid.,144.
108
Ibid, 237-238.
52
waktu saat itu, yakni Syekh Abu> Yazi>d al-Bust}a>mi>109>. Yang juga diapresiasi
tertinggi untuk lebih dekat kepada Allah SWT, tapi sebelum sampai ke al-
Ittih}a>d seorang sufi harus terlebih dahulu mengalami fana>’ dan baqa>’.
Berbicara fana>’ dan baqa>’ sangat erat kaitannya dengan al-Ittih}a>d, yakni
penyatuan (union) batin atau rohani dengan Tuhan, karena tujuan dari fana>’
dan baqa>’ itu sendiri adalah al-Ittih}a>d itu. Must}afa> Zuhri> menyebutkan
bahwa fana>’ dan baqa>’ tidak dapat dipisahkan dengan al-Ittih}a>d.112 Kata
109
Selanjutnya disebut sebagai al-Bust}a>mi>. al-Bust}a>mi>, nama lengkapnya adalah Abu> Yazi>d
T{ayfu>r bin ‘Isa> bin Surusyan al-Bust}a>mi>>. Ia dilahirkan di Bust}a>m, salah satu kota di daerah
Qumis Persia (tepat sebelah tenggara dari laut hizar) pada tahun 188 H./804 M.5 Ayahnya (Isa)
adalah salah seorang tokoh di Bistam, sedangkan ibunya adalah seorang yang taat dan bersifat
zuhud. Ia dibesarkan dalam keluarga yang taat beragama. Pada masa mudanya ia mempelajari al-
Qur’a>n bahkan mendalaminya dan belajar hadith Nabi serta ilmu fikih mazhab Hanafi.
110
Muniron, Ittih}a>d & H{ulu>l Dalam Pandangan Al-Ghaza>li>, Cet.1, (Jember: STAIN Jember Press,
2013), 23-24.
111
Abdur Rahman Badawi>, Shat}ah}a>t al-S}ufiyyah, Juz 1 (Beirut: Dar al-Qalam, T.Th), 108.
112
Musatafa Zuhri, Kunci Memahami Ilmu tasawuf (Surabaya: Bina Ilmu, 1985), 236.
53
fana>’ berarti hancur, sirna, dan lenyap. Juga berarti keadaan dari sesuatu
kesadaran pribadi dengan dirinya sendiri atau dengan sesuatu yang lazim
dengan sifat ketuhanan.115 Dalam hal itu, Must}afa> Zuhri> mengatakan bahwa
sifat sebagai manusia biasa yang suka pada shahwat dan hawa nafsu.
daripada alam baru, alam rupa atau dari alam wujud ini, maka dikatakan ia
telah fana>’ dari alam cipta atau dari alam makhluk.116 Sebagai akibat atau
hasil dari fana>’ adalah baqa>’ yang berarti terus menerus sebagai lawan dari
kesadaran telah berganti dan berpusat pada pengalaman kejiwaan, bila tidak
faham ketuhanan yang panteis. Dengan demikian ditangan para sufi inilah
Klaim Ittih}a>d yang banyak diutarakan oleh para sufi muncul dari
subjek yang mengalami guncangan (luapan) rasa, atau dikenal dengan term
dari subjek yang mengalami wajd. Yakni, subjek yang memberikan respon
dapat dijustifikasi satu dari kedua respon tersebut lebih utama dari yang
lain.120
2. H{ulu>l
panjang tasawuf (sufisme), juga sangat berkaitan erat dengan dimensi fana>’
yang diperkenalkan pertema kali oleh syekh Abu> Yazi>d al-Bust}a>mi>. Dengan
118
Taufikin, Filsafat Etika Tasawuf Fana’, Baqa>’ dan Ittih}a>d Abu> Yazi>d al-Bust}a>mi> (Esoterik:
Jurnal Akhlak dan Tasawuf), 158.
119
Said Aqil Siraj, Allah dan Alam Semesta: Perspektif Tasawuf Falsafi (Jakarta: Yayasan Said
Aqil Siraj, 2021), 219.
120
Ibid.
121
Ibid.,223.
55
dalam diri seorang sufi. Salah satu tokoh yang digadang menjadi pelopor
ajaran H{ulu>l adalah Syekh al-H{alla>j, nama lengkapnya adalah Abu> al-
Mughi>th al-H{usayn bin Mans}u>r bin Muh}ammad. Cucu dari Muh}ammad yang
mana sebelum kakeknya ini masuk islam, kakeknya adalah pemeluk agama
Secara etimologi, kata H{ulu>l bentuk masdar dari fi’il: َي ُّل- حلyang
berati “bertempat di” atau “tinggal di”. Dikaitkan dengan konsep H{ulu>l
tubuhnya dilenyapkan terlebih dahulu. Atau dengan bahasa lain H{ulu>l berati
Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu, yaitu manusia yang
122
Said Aqil Siraj, “Silat Alla>h bi al-Kawn fi> al-Tasawwu>f al-Falsafi>” (“Disertasi”--Universitas
ummu al-qura>, Mekkah, 1414 H/1994 M), 52-53.
123
M. Alfatih Suryadilaga, Miftahus Sufi (Yogyakarta: Teras, 2008),170.
124
Abudin Nata, Akhlak Tasawuf (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2011), 239. Hemat penulis,
bukan berarti pegambilan tempat yang dimaksud dalam redaksi di atas, berkonotasi bahwa Allah
SWT memiliki tempat. Akan tetapi makna yang sesungguhnya akan lebih tepat ketika
dikembalikan pada pengalaman dari para praktisi tasawuf. Dan pemahaman bahasa yang telah
dituangkan merupakan prolog atau penggambaran saja, yang masih dikatakan jauh untuk
menetapkan makna yang sebenarnya.
56
bahwa Allah SWT berdiam atau bertinggal didalam dirinya secara terang-
karena pada diri manusia memiliki dua sifat dasar, yakni sifat lahut
(ketuhanan) dan sifat nasut (kemanusiaan. Atas dasar inilah maka sangat
mungkin persatuan antara Tuhan dengan manusia bisa terjadi, dan persatuan
Ada dua poin yang dapat diambil dari konsep H{ulu>l milik al-H{alla>j ini.
dipelopori oleh Ra>bi’ah al-‘Adawiyah. Kedua, H{ulu>l tak lain juga ittih}ad>
atau kesatuan rohaniah dengan Tuhan. Akan tetapi menurut Harun Nasution,
itu berbeda dengan apa yang dialami oleh al-H{alla>j (dengan paham al-
hancur dan yang ada hanyalah diri Tuhan atau hanya ada satu wujud, yaitu
“Aku adalah rahasia Yang Maha Benar. Yang Maha Benar bukanlah
aku. Aku hanya satu dari Yang Maha Benar. Maka bedakanlah antara
kami”.
tasawwufnya (h}ulu>l) lebih halus dan dalam dari pada ungkapannya Abu>
125
Said Aqil Siraj, “Silat Alla>h bi al-Kawn fi> al-Tasawu>f al-Falsafi>>”...,54.
126
M. Alfatih Suryadilaga, Miftahus Sufi...,170.
57
masing-masing.128
127
Said Aqil Siraj, “Silat Alla>h bi al-Kawn fi> al-Tasawwu>f al-Falsafi>>”...,54.
128
Said Aqil Siraj, Allah dan Alam Semesta...,217.
BAB III
WUJU<DIYYAH DALAM
Sosok yang menjadi salah satu penerus ulama salaf al-s}a>lih} dalam
menyerukan dan mengibarkan dakwah islam, yakni KH. Achmad Asrori al-
Ish}aq> i> yang dilahirkan bertepatan pada tanggal 17 Agustus tahun 1950 M, di
keturunan Rasulullah SAW yang ke-38, sehingga keluarga al-Ish}aq> i> juga
129
Berikut silsilah nasab al-Ish}a>qi>, dari mulai bawah: KH. Achmad Asro>ri> al-Ish}a>qi> – KH.
Muhammad Uthma>n al-Ish}a>qi> – Nyai Surati – Kiai Abdulla>h – Embah Dasha – Embah Salbeng –
Embah Jarangan – Kiai Ageng Mas – Kiai Panembahan Bagus – Kiai Ageng Pangeran Sadang
Rono – Panembahan Agung Sido Mergi – Pangeran Kawis Guwa – Syekh Fadhlulla>h (Sunan
Prapen) – Syekh ‘Ali Sumadiro – Syekh Muhammad ‘Ainul Yaqi>n (Sunan Giri) – Syekh Maulana
Isha>q – Syekh Ibro>him Akbar (Ibro>him Asmorokondi) – Syekh Jama>luddin Akbar ( Shaikh
Juma>di al-Kubro) – Syekh Ahmad Shah Jala>l A<mir – Syekh ‘Abdulla>h Kha>n – Syekh ‘Abdul
Malik – Syekh ‘Alwi> – Syekh Muh}ammad S}a>h}ib Mirbat} – Syekh ‘Ali> Khala’ Qasam – Syekh
‘Alwi> – Syekh Muhammad – Syekh ‘Alwi> – Syekh ‘Ubaidilla>h – Syekh Ahmad Muha>jir – Syekh
Isa> al-Ru>mi – Syekh Muhammad Naqi>b – Syekh ‘Ali al-Iri>dhi> – Syekh Ja’far S}a>diq – Syekh
Muhammad al-Ba>qir - Sayyid ‘Ali> Zainal ‘Abidi>n – Sayyid Imam al-H{usayn – Sayyidah Fat}imah
al-Zahra> – Nabi Muhammad SAW.
Lihat: Ahmad Syatori, “RELASI MURSYID-MURID DALAM TRADISI TARIKAT
QADIRIYAH WA-NAQSYABANDIYAH: Studi Tasawuf Tentang Perilaku Sosial-Spiritual
Penganut Tarikat di Pondok Pesantren al-Salafi al-Fithrah Surabaya” (“Tesis”—UIN Sunan
Ampel, Surabaya, 2015), 22-23. Versi PDF yang penulis miliki, hanya menyebutkan 32 silsilah
nasab dari al-Ish}a>qi> sampai kepada Rasulullah SAW. Berbeda dengan sumber dari; Muhammad
Musyafa’, RELEVANSI NILAI-NILAI AL TARIQAH...,89-90. Yang penulis miliki. Versi kedua
ini, menyebutkan 38 silsilah nasab mulai dari al-Ish}a>qi> sampai kepada Rasulullah SAW.
58
59
Al-Ish}aq> i> tumbuh dan dibesarkan di lingkungan yang kental akan nuansa
pesantren. Kemudian, Al-Ish}aq> i> adalah putra ketujuh, dari sebelas bersaudara
Sedangkan saudara seayah dari Nyai Khafi>fah Bint Imam Rusydi ada
empat, yaitu:
Ayah al-Ish}aq> i> bernama KH. Muhammad Uthma>n al-Isha>qi>, yang juga
130
Muhammad Musyafa’, RELEVANSI NILAI-NILAI AL TARIQAH...,77.
60
Peterongan (Jombang). Sedang ibunya Nyai Hj. Siti Qomariyah binti KH.
Muna>di>. Indikator-indikator bahwa al-Ish}aq> i> akan menjadi sosok ulama besar
kelak, tampak sejak al-Ish}aq> i> masih dalam kandungan, seperti ibunda al-Ish}a>qi>
tidak sedang mengandung. Bahkan sejak dalam kandungan, al-Ish}aq> i> sudah
(ayah) yakni KH. Muhammad Uthma>n al-Ish}aq> i>.131 Selanjutnya, kashaf132 al-
Ish}aq> i> suatu ketika tampak, saat menginjak umur 4 tahun. Tepatnya saat al-
Ish}aq> i> mengajak salah satu santri Jatipurwo yang berasal dari bawean untuk
Karena alasan al-Ish}a>qi> saat itu Sunan Ampel sedang pergi.133 Selain itu, al-
Ish}aq> i> kecil juga dikenal sebagai sosok yang memiliki akhla>q al-kari>mah serta
Tidak sedikit yang menuturkan bahwa budi pekerti dan akhlak al-Ish}aq> i>
131
Sebagaimana perkataan dari Gus ‘Ud Sidoarjo yang mendoakan al-Ish}a>qi> ketika masih berada
dalam kandungan usia 7 bulan. Gus ‘Ud, nama lengkap beliau adalah KH. Ali Mas’ud, tergolong
waliyulla>h yang majd}u>b sejak masih kecil, beliau dilahirkan pada 1908 M, di kota Mojokerto.
Dan wafat pada 27 Rajab 1979 M. KH. Ali Mas’ud atau akrab dipangil Gus ‘ud juga
menceritakan perkataan –berdasrkan kasyaf- dari KH. Abd. Hamid Magelang kepada KH. M.
Uthman al-Ish}a>qi>: “anak itu kelak di masa depan akan meneruskan kemursyidan”. Lihat: Ibid.,78.
132
Dapat melihat hal ghaib. Cari ket. Bab kasyaf.
133
Disampaikan oleh Ustad H. Soleh (salah satu santri al-Ish}a>qi>) ketika wawancara dengan kepala
Pondok al-Fithrah Ustad H. M. Musyafa’. Lihat: Muhammad Musyafa’, RELEVANSI NILAI-
NILAI AL TARIQAH...,79.
61
ditemukan di kurun waktu sekarang ini.134 Di masa mudanya, al-Ish}aq> i> sempat
menimba ilmu di beberapa Pondok pesantren yang berada di Jawa Barat, Jawa
Tengah dan Jawa Timur, diantaranya adalah Pondok pesantren asuhan KH.
Disinilah sosok tidak biasa, serta keistimewaan al-Ish}aq> i> terlihat, bagaimana
al-Ish}aq> i> seolah dapat menjadi medan mahnet yang dapat menarik hati
konsep dakwah Wali Songo pada zaman dahulu, yang menekankan sentuhan
hikmah dan nasehat baik serta jauh dari sikap anarkisme dan kekerasan. Selain
itu juga, menjalin kedekatan emosional sehingga tercipta akulturasi sosial dan
membawa lampu tentu untuk menerangi ruang atau tempat yang gelap, maka
134
Disebutkan juga, bahwa al-Ish}a>qi> pernah bermimpi bertemu Rasulullah SAW, dan beri
sepotong roti. Kemudian al-Ish}a>qi> memakan sebagian roti tersebut, dan selebihnya diletakkan di
dapur. Benar saja ketika al-Ish}a>qi> bangun, sebagian roti yang berada di dapur masih tetap ada.
Disampaikan dan diceritakan oleh Ahmad Fauzi dari khodam al-Ish}a>qi> (Achmad) Probolinggo.
Lihat: Ibid.,80-81.
135
al-Ish}a>qi> juga dapat menyesuaikan kebiasaan dan hobi dengan anak jalanan, tak jarang al-
Ish}a>qi> juga ikut nongkrong bersama, bermain musik, jalan-jalan dan masih banyak kebiasaan
nyeleneh lainnya. Semata-mata untuk melancarkan misi menarik dan mengajak kepada jalan
kebenaran, denga model atau cara dakwah yang halus dan baik. Hingga tanpa disadari,
sebenarnya mereka telah menjadi bagian dari pendekatan al-Ish}a>qi> dalam menenamkan perubahan
jiwa dan mental tentang ilmu-ilmu h}ikmah. Lihat: Ahmad Syatori, “RELASI MURSYID-
MURID DALAM TRADISI TARIKAT QADIRIYAH WA-NAQSYABANDIYAH”...,23.
136
Ibid.,26.
62
membawanya di ruang atau tempat yang sudah terang benderang maka sia-
penerangan.
Bagi al-Ish}aq> i,> berkumpul dan bergaul dengan anak-anak jalanan (jawa:
kaum abangan) bukanlah sesuatu yang aneh, justru bersama mereka adalah
merupakan kesempatan yang sangat berharga, agar mereka dapat lebih dekat
dan mengerti kepada kebaikan. Dan jika menjauhinya, maka tentu jauh pula
sinar cahaya kebaikan pada mereka. Oleh karena itu, dalam beberapa
kondisi masing-masing.139 Dengan akhlak yang mulia dan terpuji, sikap kasih
t}uma’ni>nah, kesabaran dan ketulusan yang mengakar dalam jiwa al-Ish}aq> i>,
137
Mana>qib dapat dimakanai sebagai kegiatan keagamaan yang berisi pembacaan biografi para
ulama atau wali-wali Allah SWT, termasuk biografo orang-orang s}a>lih}, serta di dalamnya (acara
Mana>qib) juga terdpat syair-syair pujian dan do’a sebagai munajat kepada Allah SWT. Lihat:
Achmad Asro>ri al-Ish}a>qi>, al-Muntakhaba>t fi> Ma> Huwa al-Mana>qib, (Surabaya: Al-Khidmah, t.t),
6.
138
Ahmad Syatori, “RELASI MURSYID-MURID DALAM TRADISI TARIKAT QADIRIYAH
WA-NAQSYABANDIYAH”...,27.
139
Ibid.,26.
63
yang ditujukan para murid, serta masyarakat, sehingga para pecintanya seiring
dengan waktu, semakin banyak. Begitu pula pengikut yang hadir bersama-
sama dalam Majelis zikir, Maulidur Rasul dan Manaqib. Jumlah mereka
ratusan ribu dan semakin tersebar luas diberbagai daerah, bahkan luar negri.
Hingga pada tahun 2005 al-Ish}aq> i> membangun dan menata sistem, yang
Tentu, bukan perkara yang mudah untuk mengajak mereka terlebih lagi,
merubah sifat, tabi’at (karakter) seseorang, serta akidah yang sudah tertanam
dalam dan mengakar kuat dalam hati mereka.141 Pada mulanya, perkumpulan
(komunitas) yang didirikan oleh al-Ish}aq> i>, diberi nama jama’ah KACA yang
tersebut lebih populer dengan sebutan komunitas orong-orong. Hal itu bukan
tanpa alasan, akan tetapi karena jama’ah ini pengikutnya lebih didominasi
oleh kalangan anak-anak muda jalanan yang hobi dan kesukaannya keluyuran
diwaktu malam. Tentu nama atau istilah tersebut sesuai dengan perilaku
orong-orong yang menurut sebagian ahli bahasa adalah nama bagi binatang
140
Achmad Asro>ri al-Ish}a>qi>, Tuntunan dan Bimbingan: Pedoman Kepemimpinan dan
Kepengurusan dalam Kegiatan dan ‘Amaliyah Ath Thoriqoh dan Al Khidmah (Surabaya: Jama’ah
Al Khidmah, 2011), 44.
141
Ahmad Syatori, “RELASI MURSYID-MURID DALAM TRADISI TARIKAT QADIRIYAH
WA-NAQSYABANDIYAH”...,25.
64
kemudian nama itu diistilahkan bagi mereka yang memiliki persamaan sifat
ditetapkan dan diamalkan oleh para guru t}ariqah atau para ulama salaf al-s}a>lih}
sebagaimana dalam tuntunan dan bimbingan dari al-Ish}aq> i>, serta telah
dibentuk visi dan misi secara formal (baca: terbukukan). Perlu dicatat bahwa
organisasi yang berbau partai politik, atau sebagai pendukung dan pembela
tatanan kegiatan dan unteraksi antar jamaah yang ada dalam lingkup al
142
Ibid.,27.
143
Pinisepuh adalah istilah yang dipakai bagi orang-orang yang dihormati bukan karena sudah tua
(jawa: sepuh) akan tetapi karena kemulyaan dan kehormatan yang ia miliki.
144
KH. Abdulla>h Siddiq sebagai narasumber dalam Seminar tentang Ke-Al Khidmahan Dan
Thoriqoh yang diadakan di Pendopo Ponpes al-Fithrah Surabaya (26/09/2016).
65
(‘ibrah), jasa dan kebaikan bagi setiap orang dan para pecintanya, khususnya
dalam hidup. Pada tahun 2009 M. tepatnya hari selasa tanggal 18 Agustus
dua istri dan enam anak. Lima anak dari istri pertama, dan satu anak dari istri
yang kedua.146
pendidikan ditingkat sekolah dasar (SD), bahkan itupun tidak sampai tamat
(lulus), hanya sampai tingkatan kelas tiga. Seperti pada umumnya, putra-putri
Kyai di Jawa termasuk al-Ish}aq> i>, semasa mudanya juga dipondokkan oleh
orang tuanya ke beberapa Pondok Pesantren untuk menuntut ilmu. Hal itu
145
Kh. Achmad Asro>ri Al Ish}a>qi>, Pedoman Kepemimpinan Dan Kepengurusan Dalam Kegiatan
Dan Amalliyah Ath Thoriqoh Dan Al Khidmah (Surabaya: Jamaah Al Khidmah,2011), 54.
146
Ibid.,28.
66
agar menjadi bekal dan harapan kelak di masa yang akan datang. Kemudian
Al-Ish}aq> i> pertama kali belajar dan menuntut ilmu di Pondok Pesantren
Da>r al-‘Ulu>m, Peterongan Jombang, yang diasuh oleh KH. Musta’i>n Romli>
Tami>mi> di tahun 1966 M.148 Setelah berjalan selama satu tahun dan menimba
Pesantren al-Hida>yah di Tertek, Pare, Kediri. Yang diasuh oleh KH. Juwayni>.
Selama tiga tahun ia menimba ilmu di Pondok Pesantren ini. Pelajaran dan
seperti Ih}ya>’ 'Ulu>m al-Di>n karya al-Ghaza>li. Meski dibilang cukup singkat,
namun banyak sekali kitab-kitab yang dapat dikhatamkan oleh al-Ish}aq> i> di
Pondok Pesantren ini. Al-Ish}aq> i> tidak pernah lama ketika belajar di Pondok
paling lama bagi al-Ish}a>qi> adalah tatkala bermukim di Pondok Pesantren al-
a. KH. Juwayni>, salah satu tokoh ulama pendiri dan pengasuh Pondok
pada KH. Muh}ammad Ma’s}um bin Ah}mad (Lasem) dan KH. Hashi>m
menjalani riya>d}ah (tirakat) berupa makan hanya satu lepek sampai akhir
hayatnya. Ia wafat pada 26 Jumadi> al-U>l< a> 1395 H./ 6 Juni 1975 M.151 al-
kira-kira di bulan Ra>jab.152 Berikut silsilah atau sanad kitab Ih}ya>’ 'Ulu>m
al-Di>n yang telah beliau pelajari, al-Ish}aq> i> belajar dari KH>. Juwayni> bin
Nu>h} dari gurunya KH. Muh}ammad Ma’s}u>m bin Ah}mad Lasem, dari
Sayyid Muh}ammad bin Abu> Bakar al-Shi>li>, dan Sayyid ‘Umar bin ‘Abd
‘Ala> al-Ba>bili>, dari Najm al-Di>n Muh}ammad bin Ah}mad al-Ami>n, dari
Muh}ammad bin Ah}mad bin ‘Isa> bin al-Najja>r, dari Shaykh Jala>l al-Di>n
151
Muhammad Musyafa’, RELEVANSI NILAI-NILAI AL TARIQAH...,91.
152
Ibid.,92.
68
bin al-Mulaqqan dari al-Shaykh Abu> Ish}aq> Ibra>him bin Ah}mad al-
Tanu>h}i> dari al-Taqi> Sulayma>n bin H}amzah dari al-Shaykh ‘Umar bin
bin Ah}mad Yu>suf al-Baghda>di> dari al-Ima>m H}ujjat al-Isla>m Abu> H}a>mid
silsilah kitab Ih}ya>’ 'Ulu>m al-Di>n yang telah al-Ish}aq> i> pelajari.153
b. Sanad silsilah kitab Ih}ya>’ 'Ulu>m al-Di>n al-Ish}a>qi> yang ke-dua yakni
Asrori al-Ish}aq> i> dari (KH. ‘Akyas) bin KH. Abdul Jamil Cirebon, dari
Shat}a> al-Dimya>t}i> al-Makki>,155 dari Sayyid Ah}mad Zayni Dahla>n, dari al-
Muh}ammad bin Shari>f dari al-Shaykh Abu> Ish}aq> Ibra>him bin Ah}mad al-
Tanu>h}i> dari al-Taqi> Sulayma>n bin H}amzah dari al-Shaykh ‘Umar bin
bin Ah}mad bin ‘Abd al-Qa>dir bin Yu>suf al-Baghda>di> dari al-Ima>m al-
Ghaza>li>. Kedua sanad atau silsilah kitab Ih}ya>’ 'Ulu>m al-Di>n yang telah
153
Ibid.
154
KH. Hashim ‘Ash’a>ri> merupakan tokoh pendiri organisasi NU (Nahd}atul ‘Ulama>’).
155
Penulis kitab I’a>nat al-T{a>libi>n.
69
Ah}mad al-Tanu>h}i>.156
Ma’s}u>m. Di pesantren ini al-Ish}aq> i> menimba ilmu beberapa bulan saja.
Kemudian, al-Ish}aq> i> berpindah ke daerah Jawa Barat, yaitu di salah satu
yang diasuh oleh KH. ‘Abdulla>h ‘Abba>s. Di pesantren ini-pun al-Ish}a>qi> hanya
Bermula dari sifat, sikap dan kemampuan yang dibawanya sejak lahir,
istimewa. Tidak salah, jika kemudian al-Ish}a>qi> dipercaya, dipilih dan diangkat
sejak tahun 1975 al-Ish}aq> i> sebenarnya sudah diminta dan di bujuk oleh
cara mencari-cari suatu alasan. Salah satu alasan yang al-Ish}aq> i> ungkapkan
ialah karena masih ada beberapa saudaranya yang lebih tua. Itulah sikap yang
arif dan bijaksana bagi seorang yang memiliki sifat tawa>du’ (rendah hati),
156
Muhammad Musyafa’, RELEVANSI NILAI-NILAI AL TARIQAH...,93.
157
Ahmad Syatori, “RELASI MURSYID-MURID DALAM TRADISI TARIKAT QADIRIYAH
WA-NAQSYABANDIYAH”...,30.
70
sekaligus merupakan tanda kebesaran jiwa yang ada pada dirinya. Akan tetapi
bukahlah sesuatu yang tidak pantas jika al-Ish}aq> i> menerimanya, karena hal ini
adalah ama>nah (kepercayaan) dari seorang guru yang juga sekaligus sebagi
orang tua. Sekalipun demikian, al-Ish}aq> i> tetap senantiasa menjaga dan
Genealogi tarekat (silsilah ru>h}an> i>yah). KH. Achmad Asro>ri al-Ish}aq> i>
telah berguru dan menerima bai'ah, talqi>n dan tahki>m Tarekat al-Qa>diri>yah wa
Uthma>n bin Na>di> al-Ish}aq> i> dari gurunya al-Shaykh Muhammad Ramli al-
dari al-Shaykh Kamaluddi>n, dari al-Shaykh Uthma>n, dari al-Shaykh ‘Abd al-
Rah}i>m, dari al-Shaykh Abu> Bakar, dari al-Shaykh Yah}ya>, dari al-Shaykh
Shaykh Zainuddi>n, dari al-Shaykh Shara>f al-Di>n, dari al-Shaykh Shams al-
dari Sult}a>n al-Aulia>’ Sayyidina> al-Shaykh ‘Abd al-Qa>dir al-Ji>la>ni>, dari al-
‘Ali> al Hakka>ri>, dari al-Shaykh Abu al-Fara> al-T}urt}u>si>, dari al-Shaykh Abd al-
Wa>h}id al-Tami>mi>, dari al-Shaykh Abu Bakar al-Shibli>, dari Sayyidina> Sayyid
158
Cerita lengakap dan validnya, telah disampaikan langsung oleh al-Ish}a>qi> dalam sebuah
kesempatan pengajian bersama murid-murid tarekat dengan panjang lebar. Penulis sendiri
mempunyai rekaman tersebut. Akan tetapi sekelumit cerita dari pengangkatan al-Ish}a>qi> sebagai
mursyid juga dikutip oleh sebagian peneliti. Lihat: Ibid.,39.
71
al-T}ai> fah al-Shaykh Abu al-Qa>sim Junayd al-Baghda>di>, dari al-Shaykh Sari> al-
Saqat}i>, dari al-Shaykh Ma’ru>f al-Karkhi>, dari Ima>m Abu al-H{asan ‘Ali Rid}a>,
dari Ima>m Mu>sa> al- Kadlim, dari Ima>m Ja’far al-S}a>diq, dari Ima>m Shaykh
Ima>m Muhammad al-Ba>qir, dari Ima>m 'Ali> Zayn al-'A>bidi>n, dari Ima>m
H{usayn bin 'Ali> bin Abi> T}al> ib, dari Ima>m 'Ali> bin Abi> T}alib dari Rasulillah
159
Muhammad Musyafa’, RELEVANSI NILAI-NILAI AL TARIQAH...,90-91. Selain itu, al-
Ish}a>qi> juga menuangkan silsilah tersebut kedalam karyanya. Lihat: Achmad Asro>ri al-Ish}a>qi, al-
Muntakhaba>t fi> Ra>bit{ah al-Qolbiyyah wa S{ilah al-Ru>hiyyah, Cet. 3, Juz 4 (Surabaya: Al Wafa,
2016), 71-74.
72
Al-Ish}aq> i> termasuk salah satu tokoh ulama besar Indonesia, yang berasal
dari tanah Jawa. Al-Ish}a>qi> yang memiliki segudang kemampuan dan keutamaan,
diberi gelar Shaykh al-Ka>mil, karena luhurnya maqa>m (kedudukan) yang ada
Kapasitas keilmuan yang dimiliki dan dikuasainya sungguh tak terbantahkan dan
Selain itu, al-Ish}aq> i> juga tergolong ulama yang sangat aktif dan produktif
dalam menghasilkan karya tulis, mulai dari kitab mukhtas{ar (ringakasan kitab-
kitab kecil) hingga kitab mut{awwala>t (kitab besar yang panjang dan berjilid-
jilid). Sebagai ulama besar yang sangat berpengaruh pada zamannya dan
dikenang sepanjang masa, tentu dapat diketahui tidak hanya dari kepiawaian
dalam menyampaikan materi dakwah, tapi juga dari hasil karya tulisnya,
sehingga karyanya bisa dibaca, ditelaah dan difahami oleh setiap orang dari
160
Ahmad Syatori, “RELASI MURSYID-MURID DALAM TRADISI TARIKAT QADIRIYAH
WA-NAQSYABANDIYAH”...,30.
74
Shabakat al-H{irma>n.
Lughah al-Madu>riyah.
al-H{a>jah.
10. Kitab Bahjah al-Wishah { fi> al-Nubdhah min Maulid Khoiri al-Bariyah Saw.
161
Ibid.
75
Kha>timah al-H{asanah.
muntakhaba>t
muntakhab yang mempunyai arti al-mukhta>r, yang terpilih (sesuatu yang telah
dipilah dan dipilih). Sehingga mayoritas isi dalam kitab al-muntakhaba>t adalah
SAW, maqa>lah para ulama (ahli tafsir, hadis bahkan para sufi). Untuk metode
penulisan yang digunakan oleh al-Ish}aq> i> dalam kitab tersebut adalah
hadis-hadis Rasulullah SAW, maqa>lah para ulama (ahli tafsir, hadis bahkan para
sufi) seperti pencerminan nama kitab. Tak jarang pula al-Ish}aq> i> memberikan
menggunakan redaksi “qultu atau aqu>lu”. al-Ish}aq> i> juga menegaskan komentar
162
Muhammad Musyafa’, RELEVANSI NILAI-NILAI AL TARIQAH...,116.
76
sebagai kitab tasawuf. Dari prolog kitab al-muntakhaba>t terlihat al-Ish}aq> i>
tasawuf, hal semacam itu dikatakan sebagai konsep tajalli> (manifestasi) Allah
hakikat kesejatian). Diantara data yang telah penulis kumpulkan dan dapat
menifestasi Tuhan dalam jumlah yang tak terbatas dan tak terbilang, serta
berbagai mecam bentuk rupa dan wujud ciptaan. Sehingga ketika dikatakan,
163
Said Aqil Siraj, Allah dan Alam Semesta: Perspektif Tasawuf Falsafi (Jakarta: Yayasan Said
Aqil Siraj, 2021), 317. Perlu digaris bawahi juga “dalam purwarupa makhluk” bukan berarti Allah
bersemayam seperti halnya sesuatu yang menempati ruang, sebagaimana jangkauan akal manusia.
77
redaksi al-Ish}aq> i> dari al-Ima>m al-Qutb al-H{abi>b ‘Abdilla>h bin ‘Alawi> al-
H{adda>d:
ف وجود الموجودات.- ليس فيه غي ر هللا ت عاَل:هذا الوجود وما فيه من الغي – أي
pendangan al-Ish}aq> i> berdasarkan kutipan dari al-H{abi>b ‘Abdilla>h bin ‘Alawi>
Allah SWT.
a. Wuju>d al-haqi>qi>
bentuk relasi.166
164
Achmad Asrori al-Ish}a>qi>, al-Muntakhaba>t fi> Ra>bit{ah al-Qolbiyyah wa S{ilah al-Ru>hiyyah, Juz
1, Cet. 3, (Surabaya: Al Wafa, 2016), 179-180.
165
Ibid.,177.
166
Said Aqil Siraj, Allah dan Alam Semesta: Perspektif Tasawuf Falsafi..., 307.
78
b. Wuju>d al-Majazi>
rupa dan seluruh kenampakan selain Allah SWT.167 akan tetapi, wuju>d
(Wuju>d al-Majazi>), dan tanpa wujud yang Haqq tersebut, maka semua
adalah ketiadaan.168
melalui proses tajalli> dapat dikatakan mengambil jalan yang aman (tidak
dialami oleh manusia terhadap Allah SWT pada setiap sesuatu. Sehingga ia
tidak dapat menyaksikan apapun kecuali yang tampak padanya adalah Allah
SWT. Posisi semacam itu terjadi ketika manusia telah fana>’ (hilang, sirna
setiap sesuatu (h}ulu>l), seperti apa yang banyak disampaikan oleh pengkaji
167
Ibid.,179.
168
Said Aqil Siraj, Allah dan Alam Semesta: Perspektif Tasawuf Falsafi (Jakarta: Yayasan Said
Aqil Siraj, 2021), 275-276.
169
Achmad Asrori al-Ish}a>qi>, al-Muntakhaba>t fi> Ra>bit{ah al-Qolbiyyah wa S{ilah al-Ru>hiyyah, Juz
5...,205.
79
tiga:170
a. Al-Tajalli> al-Fi’li>
hamba harus melalui pintu fana>’ (sirna atau hilang untuk menyaksikan
perbuatannya sendiri).
seorang hamba melalui fana>’ terhadap nama, sifat dan status dirinya
pintu tajalli> Allah SWT, juga disinggung oleh al-Qushayri> dalam risalahnya.
Jika al-Ish}aq> i> menaruh dua term tersebut berdampingan sebagai hubungan
sebab akibat, al-Qushayri> memisahkan kedua term tersebut kedalam dua bab
yang berbeda. Akan tetapi sesacara substansi kedua tokoh tersebut memiliki
maksud (inti) argumentasi yang mirip atau identik.171 Kesan penulis sendiri
170
Ibid.207.
171
Pembahasan al-Ish}a>qi> mengenai tajalli> dan fana>’ terdapat dalam bab hakikat-hakikat tajalli>.
Sedangkan apa yang disampaikan oleh al-Ish}a>qi> dapat dijumpai dalam kitab al-Qushayri> pada
bab al-satr wa al-tajalli> dan al-fana>’ wa al-baqa>’. Lihat: Abu> al-Qasi>m ‘Abdul Kari>m bin
80
akan cenderung lebih mudah untuk memahami apa yang disampaikan oleh
al-Ish}aq> i> dalam kitabnya, dengan sistematika yang langsung dikaitkan antara
dapat disampaikan oleh al-Ish}aq> i> dengan lokus bahasa yang sederhana,
dirinya atas umat (masyarakat) yang menjadi objek bimbingan dan tuntunan.
Bahasa yang digunakan al-Ish}aq> i> yang sederhana, akan tetapi penuh dengan
esensi makna (baca: mendalam). Sehingga benar saja ketika dikatakan bahwa
Hawa>zi>n, al-Risa>lah al-Qushayriyyah fi ‘Ilmi al-Tas{awwu>f, Cet. 1 (Jakarta: Da>r al-Kutu>b al-
Isla>miyyah, 2010), 105 dan 113.
172
Mustaqim, Wawancara, Kantor Al-Wafa Publishing Pondok Al-Fithrah Surabaya, (Sabtu, 28
November 2020).
173
Tuntunan dan bimbingan al-Ish}a>qi> terlihat dari beberapa bab yang diangkatnya, diantaranya
pada jilid 1: Al-Ish}a>qi> menekankan kesungguhan, berpegang teguh terhadap aturan-aturan agama
dan mensuritauladani Rasulullah SAW serta para sahabat. Kemudian jilid 2: al-Ish}a>qi membahas
tuntunan untuk meneguhkan dan menyampurnakan keyakinan pada Allah SWT, mengenalkan
siapakah ahli hadis, ahli fikih dan ahli tasawuf, kemudian menjalaskan jalan mendapatkan ilmu
tasawuf. Pada jilid ke 3: al-Ish}a>qi> membahas hujjah ilmu tasawuf yang sesuai dengan jalur dan
koridor agama, lebih dalam lagi al-Ish}a>qi> juga menyinggung adab-adab murid kepada para guru,
kriteria guru yang dapat membimbing kepada Allah SWT.
81
pada masa itu telah timbul berbagai macam fitnah, terutama dalam
lingkup t}ariqah.175
warna yang dominan dari al-Ish}aq> i> adalah seorang praktisi amaliyah-
174
Sebagaimana diungkapkan oleh syekh al-Qushayri> dalam muqaddimah risalahnya, perihal
keprihatinan al-Qushairi> terhadap orang yang tidak lagi mengikuti jalan para sufi, hilangnya sifat
wara’ (sikap kehati-hatian) dan kepedulian dalam menjaga syariat Allah SWT. lebih parah lagi,
mereka banyak membicarakan tentang hakikat dan ah}wa>l, mengaku teleh terbebas dari belenggu
dunia. sehingga al-Qushairi> mengangkat risalah untuk menyingkap kebenaran yang sesungguhnya
dari tasawuf dan ahwal para sufi. Begitupun latar belakang al-Ish}aqi> menyusun kitab al-
Muntakhaba>t. Lihat: Abu> al-Qasi>m ‘Abdul Kari>m bin Hawa>zi>n, al-Risa>lah al-Qushayriyyah fi
‘Ilmi al-Tas{awwu>f, Cet. 1 (Jakarta: Da>r al-Kutu>b al-Isla>miyyah, 2010), 13.
175
Fitnah dalam perspektif al-Ish}a>qi> diartikan setiap sesuatu yang dapat menimbulkan
problematika. Jangankan perbuatan buruk, perbuatan baik yang dapat menimbulkan kontra
(problem) seperti penerapan amar ma’ru>f nahi> munkar yang dapat memicu pertikaian, maka hal
itu termasuk kategori fitnah dalam pandangan al-Ish}a>qi>.
176
Ainul yaqin, “Koresponensi Manusia dan Kosmos: Studi Komparatif Pemikiran Ibnu ‘Arabi>
dan KH. Achmad Asro>ri al-Ish}a>qi>”...,11. Selain itu, gambaran tasawuf-falsafi al-Ish}a>qi>, tergambar
pada kitab al-Muntakhaba>t jilid 5 yang menguraikan proses tajalli> Allah SWT secara vertikal.
Dilihat dari sudut pandang manusia yang mendapatkan tajalli> tersebut.
82
al-Ish{aq> i>
akan tetapi memiliki konotasi makna yang sama yaitu lebih tinggi, unggul,
lawan kata dari sebuah istilah, yaitu imanen. Imanen merupakan sebuah
istilah yang berasal dari bahasa Latin immanere yang berarti (tinggal “di
teologi, imanen berarti sebuah paham tentang Tuhan yang berada di dalam
struktur alam semesta dan turut serta mengambil bagian dalam proses
makhluknya “dekat”.178
Kedua tema sentral ini, menjadi aspek yang harus dipandang secara
177
Tesra Murnita, “Diskursus Transenden dan Imanen Tuhan Menurut Ibnu ‘Arabi> (1165-1240
M)” (“Skripsi”--UIN SUSKA, Riau, 2020), 13.
178
Ibid.
83
yang pertama yakni tanzih (transenden), atau tashbi>h (imanen) saja. Imbas
nantinya akan terkesan bahwa Allah SWT adalah eksistensi yang beridiri di
sana (abstrak) yang tak tergapai dan nihil dari sifat-sifat, deskripsi dan relasi
dengan apapun. Perspektif ini justru menjadi pisau yang menusuk dirinya
untuk mengatur alam semesta.179 Sedangkan pada bab dua, penulis telah
menggaris bawahi bahwa al-wuju>d (baca: eksistensi Tuhan) bagi para ‘a>rif
179
Said Aqil Siraj, Allah dan Alam Semesta: Perspektif Tasawuf Falsafi (Jakarta: Yayasan Said
Aqil Siraj, 2021), 313.
180
Toshihiko Izutsu, SUFISME...,xxvii.
84
tashbi>h) tersebut. Al-Ish}a>qi> juga memandang wuju>d Allah SWT yang Esa,
sehingga dapat menjadi semacam klasifikasi bagi kata Esa itu sendiri. Sisi
1. Pertama, Allah SWT disebut sebagai yang Esa yang tidak terbanding
dan tidak mampu dijangkau oleh manusia, Allah SWT adalah Esa
181
Said Aqil Siraj, Allah dan Alam Semesta: Perspektif Tasawuf Falsafi..., 313.
182
Achmad Asrori al-Ish}a>qi>, al-Muntakhaba>t fi> Ra>bit{ah al-Qolbiyyah wa S{ilah al-Ru>hiyyah, Juz
1...,177.
183
Padanan yang dimaksud yakni al-wa>h}id sebagai sifat Tuhan atau hukum yang disematkan bagi
Tuhan. Lihat: Shamsuddi>n Muhammad bin H{amzah bin Muhammad (al-Fana>ri)>, Mifta>h} Ghayb
al-Jam’ wa al-Wuju>d li S{adruddi>n al-Qu>nu>niy wa Syarh}ihi Mis}bah} al-Uns Bayna al-Ma’qu>l wa al-
Masyhu>d lil Fana>ri>...,224.
85
telah dibawakan oleh syekh Ibnu ‘Arabi> yang dikenal sebagai tokoh tasawuf-
penulis sampaikan pada bab dua dalam tulisan ini. Akan tetapi bahasa yang
digunakan oleh Ibnu ‘Arabi> kerap kali memaksa pembaca untuk memeras
184
Achmad Asrori al-Ish}a>qi>, al-Muntakhaba>t fi> Ra>bit{ah al-Qolbiyyah wa S{ilah al-Ru>hiyyah, Juz
1...,177.
185
Ibid.
86
murid yang tingkat intelektualnya masih awam. Dalam hal ini, al-Ish}aq> i>
Banyak artikulasi dan konsep wuju>diyah yang telah diungkapkan oleh para
peneliti bahkan dijelaskan secara panjang lebar oleh tokoh-tokoh sufi, walaupun
demikian, terdapat pula banyak alasan untuk merujuk artikulasi dan kosep
wuju>diyah pada figur KH. Achmad Asrori al-Ish}aq> i>. Salah satu alasan tersebut,
karena al-Ish}aq> i> merupakan salah satu tokoh besar dalam tasawuf (pada
masanya), selain itu al-Ish}aq> i> memiliki posisi sentral sebagai seorang guru
Al-Ish}aq> i> juga memiliki karya monumental (master piece) kitab al-
186
Jalan moderat menjadi salah satu solusi bagi al-Ish}a>qi> dalam mengarungi kehidupan, al-Ish}a>qi>
dalam sebuah kesempatan (pengajian) juga menganjurkan bagi kalangan muridnya untuk
menerapkan sikap moderat. Kurang lebih apa yang disampaikan al-Ish}a>qi> mengenai sikap
moderat sebagai berikut-dalam bahasa jawa: “Yo kepigino, yo gak kepingino”, akan tetapi
penulis lebih cenderung mengkategorikan dawuh tersebut kepada sikap moderat dalam ah}wa>l
(perilaku) hati, karena al-Ish}a>qi> sedang membahas mengenai sifat-sifat manusia. Kemudian, sikap
moderat al-Ish}a>qi> juga tertuang dalam kitab al-muntakhaba>t Jilid 3 dengan judul “al-Malh}az}ah al-
S}a>fiyah al–Wa>fiyah”, dengan mengutip ungkapan dari Syekh al-Isla>m Zakariya> al-Ansa>ri>.
Terutama ketika sikap dalam menghadapi ungkapan para ulama, sehingga moderasi semacam ini
lebih cenderung kepada lingkup akademisi (keilmuan), dan dapat memicu keluarnya argumen,
komentar dan justifikasi yang didasari oleh pengetahuan yang komperhensif. Lihat: Achmad
Asrori al-Ish}a>qi>, al-Muntakhaba>t fi> Ra>bit{ah al-Qolbiyyah wa S{ilah al-Ru>hiyyah, Juz 3, Cet. 3,
(Surabaya: Al Wafa, 2016), 41.
87
88
pendekatan dan metode analisa yang akan digunakan untuk menganalisa dan
mengangkat Metode analisa induktif dan conten analysis, yakni metode yang
yang banyak diambil dari bab tiga, kemudian Secara sederhana, bentuk
macam data dalam kitab al-Muntakhaba>t karya KH. Achmad Asro>ri al-Ish}aq> i>
yang relevan dengan objek penelitian, kemudian merangkum unit data yang
menampakkan gambaran konsep yang dipakai oleh KH. Achmad Asro>ri al-Ish}aq> i>
Perlu diketahui juga, dalam bab dua penulis telah memberikan tanda
187
Muhammad Naquib (Al-‘Attas), Prolegomena To The Metaphysics Of Islam: An Exposition
Of The Fundamental Element Of The Worldview Of Islam..., 155.
89
Ish}aq> i>. Yang digali dari pengalaman mistik serta diperoleh setelah Allah SWT
dalam bab dua juga penulis cantumkan bahwa, wujud yang bahkan tidak pantas
menyandang serta tidak mungkin dicapai oleh apaun (baca: keheningan) selama
biarkan begitusaja dengan tetap menyandang predikat tanda tanya dan misteri
bahwa objek semacam itu tidak dapat diraba dan dijangkau oleh akal, terlebih
(transenden).188
Seperti yang penulis jelaskan dalam bab tiga, al-Ish}aq> i> dalam
Nya. Sebagaimana kutipan redaksi al-Ish}aq> i> dari al-Ima>m al-Qutb al-H{abi>b
188
Serupa dengan ungkapan dari syekh ‘Ali> Jum’ah yang menjelaskan dalam kitab Aqi>dah Ahli
al-Sunnah wa al-Jama>’ah pada bab akidah ketauhidan dan wujud sang pencipta (wuju>d al-kha>liq).
Lihat: ‘Ali> Jum’ah, Aqi>dah Ahli al-Sunnah wa al-Jama>’ah, Cet.5 (Qahirah: Da>r al-Muqat}t}im li al-
Nashr wa al-Tawzi>’, 2011), 12 dan 13-14.
90
ف وجود الموجودات.- ليس فيه غي ر هللا ت عاَل:هذا الوجود وما فيه من الغي – أي
yakni:
a. Pertama, Allah SWT oleh al-Ish}aq> i> disebut sebagai yang Esa yang
tidak terbanding dan tidak mampu dijangkau oleh manusia, Allah SWT
dzat-Nya. Pada dimensi ini seolah manusia tidak akan pernah mungkin
189
Achmad Asrori al-Ish}a>qi>, al-Muntakhaba>t fi> Ra>bit{ah al-Qolbiyyah wa S{ilah al-Ru>hiyyah, Juz
1..., 179-180.
190
Achmad Asrori al-Ish}a>qi>, al-Muntakhaba>t fi> Ra>bit{ah al-Qolbiyyah wa S{ilah al-Ru>hiyyah, Juz
1...,177.
191
Padanan yang dimaksud yakni al-wa>h}id sebagai sifat Tuhan atau hukum yang disematkan bagi
Tuhan. Lihat: Shamsuddi>n Muhammad bin H{amzah bin Muhammad (al-Fana>ri)>, Mifta>h} Ghayb
al-Jam’ wa al-Wuju>d li S{adruddi>n al-Qu>nu>niy wa Syarh}ihi Mis}bah} al-Uns Bayna al-Ma’qu>l wa al-
Masyhu>d lil Fana>ri>...,224.
192
Muhammad Rahmatullah, “Dualisme dan Makrifat: Studi Tentang Pemikiran Sufistik KH.
Achmad Asrori al-Ish}a>qi>”...,73.
91
keluhuran Allah SWT tanpa bisa dicapai atau diraih oleh apapun, serta
keesaan Allah SWT. Merujuk pada salah satu kitab Ibnu ‘Arabi> yang
واعلموا أن اإلنسان الذي هو أكمل النسخ و أَتُّ النشأت له ملوق على الوحدانية ال
فالواحد ال ي قوي و ال يص ُّح هذا, لن الحدية َلا الغن على اإلطالق,على الحدية
واحد فالوحدانية ال ت قوي ق وة الحدية فكذلك الواحد ال-المعن على اإلنسان وهو
193
Abu> al-Qasi>m ‘Abdul Kari>m bin Hawa>zi>n, al-Risa>lah al-Qushayriyyah...,18.
194
Achmad Asrori al-Ish}a>qi>, al-Muntakhaba>t fi> Ra>bit{ah al-Qolbiyyah wa S{ilah al-Ru>hiyyah, Juz
1...,177.
92
لن الحدية ذاتية للذات اَلوية والوحدانية اسم َلا َست ها ِبا,ي ناهض الحدية
195
)(اَل ان قال....الت ثنية
“Ketahuilah, bahwa manusia merupakan salinan (baca: copy) yang
paling sempurna, sebagai ciptaan dari wah}da>niyyah (baca: kesatuan-
Nya), bukan dari ah}adiyyah (baca: ke-Esaan-Nya). Karena ke-Esaan-
Nya bahkan tak pantas dikatakan yang mutlak, oleh karena itu manusia
tidak mempunyai kemampuan untuk menyandang sesuatu yang Esa
(ahadiyyah), serta kesatuan tersebut tidak sekuat ke-Esaan-Nya.
Bagaimanapun ke-Esaan-Nya adalah esensi dari Dzat-Nya, sedangkan
kesatuan tersebut sebatas nama yang disematkan kepada Dzat
tersebut......196
Dari ungkapan tersebut, benang merah yang dapat diambil bahwa Ibnu
dalam pandangan Ibnu ‘Arabi> dapat masuk dalam dimensi Wah}dah al-wuju>d
bahwa realitas sejati hanyalah Allah SWT, terdapat ungkapan bagi tetapnya
195
Muhyiddi>n Muhammad ‘Ali> Muhammad (Ibnu ‘Arabi>), Rasa’il Ibnu ‘Arabi> (Beirut: Dar al-
Kutub al-Ilmiyah, 2010), 37-38.
196
Ahmad Faiq Nur, “Karakteristik Ekspresi”...,28.
197
Ibid.,29.
93
dengan pemikiran dari Imam al-Ghaza>li>. Akan tetapi secara lokus bahasa al-
Ish}aq> i>, ia cenderung kepada al-Ghaza>li> yang konsepnya lebih mudah untuk
dicerna oleh akal manusia (awam). Seperti diungkapkan oleh Ainul Yaqin
bab tersebut al-Ish}aq> i> mengungkapkan bahwa ulama ahli makrifat dan ahli
hakikat bersepakat bahwa Ibnu ‘Arabi> adalah ulama Allah SWT, dan barisan
198
Ainul yaqin, “Koresponensi Manusia dan Kosmos: Studi Komparatif Pemikiran Ibnu ‘Arabi>
dan KH. Achmad Asrori al-Ish}a>qi>”...,107.
199
Achmad Asrori al-Ish}a>qi>, al-Muntakhaba>t fi> Ra>bit{ah al-Qolbiyyah wa S{ilah al-Ru>hiyyah, Juz
3...,42-43.
94
sesuatu yang langsung disaksikan oleh mereka200 tak cukup dari apa yang
dipercayai (di imani) olehnya.201 Sehingga sah saja, jika akidah mereka
banyak dianggap sesat dengan ungkapan yang keluar dari lisan mereka. Akan
b. Tokoh-tokoh sufi: Syekh al-H{alla>j, Syekh Abu> Yazi>d, Ibnu ‘Arabi>, al-
2. Posisi tasawuf KH. Achmad Asro>ri Al-Ish}aq> i> dalam kacamata tipologi
tasawuf
tersendiri dan sudut pandang yang berbeda, akan akan tetapi dengan tujuan
yang sama, yakni untuk mendekatkan diri, mengenal dan mengetahui hakikat
200
Dalam tasawuf penyaksian yang dialami oleh tokoh sufi dikenal sebagai Musha>hadah.
Penyaksian terhadap dzat Allah SWT melalui basirah yang terang. Lihat: Abu> al-Qasi>m ‘Abdul
Kari>m bin Hawa>zi>n, al-Risa>lah al-Qushayriyyah...,113.
201
Achmad Asrori al-Ish}a>qi>, al-Muntakhaba>t fi> Ra>bit{ah al-Qolbiyyah wa S{ilah al-Ru>hiyyah, Juz
1, Cet. 3...,40.
202
Beberapa tokoh sufi tersebut yang memang dikatakan identik dengan pemikiran al-Ish}a>qi>,
bahkan tak jarang ia mengutip pendapat dari tokoh-tokoh tersebut.
95
tasawuf tidak hanya dipahami dan dikaji dalam satu sisi, melainkan banyak
menitik beratkan pada aspek ruhaniah, akhlak, akal, rasa (dzauq), amaliah,
hamba yang benar, yang dekat dengan Tuhan dan menjadi hamba yang baik,
inilah yang membuat tasawuf kaya, yakni kaya akan model (desain) yang
akhirnya membuat tasawuf ini ilmu yang unik. Sehingga, layak untuk terus
bagi kalangan murid, al-Ish}aq> i> sangat menekankan aspek kesalehan spiritual.
dengan dilandasi rasa inkisa>r al-qalb (lemah, pecahnya hati) sebagai seorang
Amaliyahnya begitu melekat dan mewarnai setiap sudut dalam sosok al-
Ish}aq> i>.
tetapi dalam kitab tersebut juga menelisik pembahasan seputar teologi yang
Ish}aq> i>, sehingga hasil kesimpulannya juga sesuai dengan sudut kajian
tersebut.
Selain itu, al-Ish}aq> i> juga dikenal sebagai sosok yang santun serta
tiga mengenai biografi dan perjalanan hidup al-Ish}aq> i>. Banyak saksi hidup
serta dekat dengannya, sampai al-Ish}aq> i> disebut sebagai fotocopy (duplikat)
dari akhlak Rasulullah SAW. Dari sudut pandang ini, al-Ish}a>qi> tergolong
sebagai sufi-akhla>qi.
Sehingga dengan data yang telah penulis kumpulkan dan analisa, dapat
ke tiga tipologi tasawuf yang ada dalam sosok dirinya, tanpa ada
dikotomisasi antara satu bagian-sisi dengan bagian yang lain –baik akhlak,
203
Sufi yang mempunyai pemikiran terhadap kajian-kajian teologi. Diantara peneliti yang
menjastis al-Ish}a>qi> sebagai tokoh sufi-filsuf adalah Abdul Qadir Riyadi dalam bukunya serta
Muhammad Rahmatullah dalam tesisnya.
204
H. M. Amin Syukur, Intelektualisme Tasawuf (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014), 44.
Disarikan juga dari pemikiran al-Ish}a>qi> dalam kitabnya. Lihat: Achmad Asrori al-Ish}a>qi>, al-
Muntakhaba>t fi> Ra>bit{ah al-Qalbiyyah wa S{ilah al-Ru>hiyyah, Juz 3...,29.
97
dalam wajah tasawuf, dipandang hanya sebatas kajian akademik, dan tidak
secara praktis.205
wujud atau eksistensi (baca: realitas) Tuhan sebagai dzat yang maha Esa, serta
mengutip pendapat dari syekh al-Ima>m al-Rabba>ni> bahwa setiap sesuatu yang
sudah dan akan ada dalam alam ini berkaitan dengan alam amri dan alam khalqi.
penciptaan yang berkaitan pula dengan perintah Allah SWT (kun) yang
wilayahnya meliputi setiap yang berada di atas ‘arsh, sedangkan alam khalqi
dipakai sebagai sebuah istilah bagi setiap yang tercipta tanpa perintah Allah
SWT (kun) yang wilayahnya berada di bawah ‘arsh sampai pada lapisan bumi
paling bawah.206
Keunikan (baca: kekhasan) al-Ish}aq> i> juga terlihat pada konsep kesatuan
Dalam pandangan al-Ish}aq> i> keduanya seolah memiliki posisi seperti dua mata
uang yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain. Fondasi inilah
yang membangun pemikiran al-Ish}aq> i> mengani konsep Wuju>diyyah Allah SWT,
205
Muhammad Musyafa’, RELEVANSI NILAI-NILAI AL TARIQAH...,187. (Print Out)
206
Achmad Asrori, Al-Nuqt}ah fi> Tah}qi>q al-Ra>bit}ah (Surabaya: al-Khidmah, 2010), 34-35.
207
Imenen (tashbih) yang dimaksud dalam pembahasan ini bukan bermakna Allah Serupa dengan
makhluk, akan tetapi lebih mengarah kepada Allah SWT merupakan sumber wujud, dari segala
macam wujud kenampakan.
98
yakni hakikat merupakan tunggal dan jamak sekaligus, yang dhahir-formal dan
Sedangkan, pada konsep tashbi>h (imanen) Allah SWT yang tertuang dalam
secara tekstualis “dhahir”. al-Ish}aq> i> menuliskan dengan mengutip pendapat Imam
‘Ali> al-Shibra>milisi>,209 bahwa tajalli> Allah SWT, yang diiberatkan al-nu>r bukan
berarti Allah SWT menyandang substansi-dzat berupa al-nu>r tersebut, dan nu>r al-
pandangan al-Ish}a>qi> hal itu tidak mungkin “mustahil”. Sehingga al-Ish}aq> i>
apapun.210
Uraian di atas, secara tidak langsung menegaskan bahwa pada satu sisi
dimensi, tidak ada sesuatu yang wujud selain wujud dari Allah SWT semata,
sementara pada dimensi yang lain, terdapat wujud semu selain Allah SWT, yaitu
208
Akan tetapi pandangan al-Ish}a>qi> ini, tidak dapat diartikan secara tekstualis yang tergambar
dalam analisa angan atau digambarkan secara dhahir. Karena konsekuensinya adalah kafir dan
zindiq.
209
Achmad Asrori al-Ish}a>qi>, al-Muntakhaba>t fi> Ra>bit{ah al-Qalbiyyah wa S{ilah al-Ru>hiyyah, Juz
1, Cet. 3...,9. Dengan redaksi:
. لن النُّور ال ي قوم اال ِبلجسام. الستحالة عليه ت عاَل, من أن هللا ت عاَل له ن ور قائم بذاته: "من ن ورﻩ" ظاهرﻩ:ليس المراد بقوله
210
Achmad Asrori al-Ish}a>qi>, al-Muntakhaba>t fi> Ra>bit{ah al-Qalbiyyah wa S{ilah al-Ru>hiyyah, Juz
1...,9.
99
abadi. Inilah yang oleh KH. Achmad Asrori al-Ish}a>qi disebut dengan Wuju>d al-
Maja>zi>.211
kepada ilmu yang paling meyakinkan, karena para sufi autentik ini telah memiliki
mengingkari semua kewujudan yang pertikuler maupun yang plural. Oleh karena
itu, mereka mengetahui level-level kewujudan itu serta dengan ilmu yang sejati
selalu bersikap adil, dan dapat memposisikan diri dan memperlakukan apa yang
bahwa Allah SWT adalah tunggal “mono”. Dua sekte kelompok yang dimaksud
211
Muhammad Rahmatullah, “Dualisme dan Makrifat: Studi Tentang Pemikiran Sufistik KH.
Achmad Asrori al-Ish}a>qi>”...,78.
212
Sufi intelektual adalah kalangan spiritualis yang tidak hanya memperhatikan pentingnya ilmu
dan hanya menekankan kepada aktivitas rohani tanpa akal, akan tetapi para sufi intelektual
mempraktikkan tasawuf dengan ilmu yang agung. Karena kebanyakan sufi yang hanya
menekankan kepada aktvitas ruhanyah saja terjebak kepada tarekat dan cenderung mencetak
pseudo-sufi atau sufi yang bukan pencari hakikat sebenarnya, sehingga mengabaikan sharī‘ah dan
terjebak dalam aktivitas ritual wirid yang berkepanjangan. Lihat: Tri Arwani Maulidah,
“Reinterpretasi Relasi Tuhan dan Manusia Syed Muhammad Naquib Al-‘At}t}a>s”...,88.
100
bahwa Allah SWT menyatu dengan makhluk, tidak ada yang wujud kecuali
Allah SWT, segala sesuatu adalah Dia, dan Dia adalah segala sesuatu
tersebut. Akan tetapi perkataan semacam itu muncul dari lisan orang yang
2. Kelompok kedua
wujud mutlak yakni wujud yang qadi>m dan azali. Dan selain wujud Allah
SWT adalam maja>z (semu), yang diwujudkan dan ditetapkan oleh Allah
213
Achmad Asro>ri al-Ish}a>qi>, al-Muntakhaba>t fi> Ra>bit{ah al-Qalbiyyah wa S{ilah al-Ru>hiyyah, Juz
5...,225.
214
Ibid.,226.
101
Semua yang tampak kepada para sufi yang autentik ini adalah ta‘ayyun dan
tajalli> dari Sang Wa>jib al-Wuju>d Allah melalui jalan spiritual, demikian
ungkapan dari al-Ish}aq> i>. Dengan melandaskan pada ungkapan Syekh Ibnu
haqq” adalah sirnanya segala sesuatu (selain Allah SWT), dengan memandang
tataran kosmik –secara universal- adalah himpunan (ira>dah) dan manifestasi dari
ira>dah-Nya, yang tidak memiliki wujud tetap, bukan pula sebuah substansi yang
distingtif. Inilah yang sebenarnya disebut dengan wah}dah al-wuju>d oleh al-
Ish}aq> i>, yang terus mensinergikan antara ruhani dan jasmani.217 Sehingga dapat
dikatan al-Ish}aq> i> memiliki lokus bahasa yang simple, jauh dari kontradiksi dan
tidak berpelik-pelik, serta mempunyai ajaran yang netral dan tidak mengarah
215
Ibid.
216
Achmad Asro>ri al-Ish}a>qi>, al-Muntakhaba>t fi> Ra>bit{ah al-Qalbiyyah wa S{ilah al-Ru>hiyyah, Juz
5...,223.
217
manusia tercipta atas dua alam, yaitu alam rohani (alam yang kasat mata) dan jasmani (alam
yang kasyaf mata). Menurutnya, hakikat manusia adalah rohani yang bersemi dan bersemayam di
dalam jasad yang kasyaf mata. Dalam alam rohani tersebut terdapat tiga cahaya (nur) yaitu, nur
rabbaniyah, nur lahutiyah dan nur jabarutiyah, kemudian alam tersebut terdinding, tertutup dan
terhalang oleh sifat basyariyah (sifat kemanusiaan). Lihat: Achmad Asrori al-Ish}a>qi>, al-
Muntakhaba>t fi> Ra>bit{ah al-Qalbiyyah wa S{ilah al-Ru>hiyyah, Juz 1...,213.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pada konteks pembahasan mengenai corak tasawuf yang dimiliki al-Ish}aq> i>,
menjadi dua, corak tasawuf secara intensif (kecenderungan) dan corak non-
intensif (keterpengaruhan).
dengan Ibnu ‘Arabi> dan al-Ghazali>. dapat dibuktikan dalam kitab al-
yang memiliki tekstur bahasa lebih mudah untuk dicerna oleh akal
manusia (awam).
meliputi:
sebaginya.
102
103
pandangan al-Ish}aq> i> keduanya seolah memiliki posisi seperti dua mata uang
yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain. Fondasi inilah
SWT, yakni hakikat merupakan tunggal dan jamak sekaligus, yang dhahir-
Allah SWT (dzat-Nya), karena dalam pandangan al-Ish}aq> i> hal itu tidak
mungkin (mustahil).
B. Saran
1. Al-Ish}aq> i> adalah tokoh sufi yang agung dan terkenal. Sehingga, wawasan
milenia ini yang belum begitu banyak penelitian yang mengupas tentang
pemikirannya.
3. Lantaran al-Ish}aq> i> adalah sebagai sufi yang terkenal dengan memiliki banyak
ruang penelitian.
4. Lentaran penelitian ini hanya mengupas objek kajian seputar teologi, dan
fokus pada kajian tersebut. Maka mayoritas pembacaan penulis hanya pada
jilid 1, 3, dan 5. Bahkan pada bab-bab tertentu, sehingga objek dan kajian
pada jilid dan bab lain masih terbuka secara lebar untuk dikaji dan diteliti.
105
DAFTAR PUSTAKA
‘Abba>s (al), Abi> Taqiyuddi>n Ah}mad bin ‘Abdul H{ali>m (Ibnu Taymiyah). Dar’u
Taa>rud{ al-‘Aqlu wa al-Naqlu, Cet. 7, Juz 8. Madi>nah: t.p, 1991.
‘
Abdulla>h. “Hikmah al-Ishraqiyah: Menelaah Sisi Eksistensialisme Teosofi
Transenden Mulla Sadra”. Sulesana, No.2, Vol.7, 2012.
Abu> ‘Abba>s (al), Ah}mad bin Muh}ammad bin Mahdi> bin ‘Aji>bah. al-Bah{r al-
Madi>d fi> Tafsi>r al-Qur’a>n al-Maji>d, Juz 5. Beirut: Da>r al-Kutu>b al-
‘Ilmiyyah, 2002.
Abu> Qasi>m (al), ‘Abdul Kari>m bin Hawa>zi>n. al-Risa>lah al-Qushayriyyah fi> ‘Ilmi
al-Tas{awwu>f. Cet. 1. Jakarta: Da>r al-Kutu>b al-Isla>miyyah, 2010.
Badawi> (al), ‘Abdur Rahman, Shat}ah}a>t al-S}ufiyyah. Juz 1, Beirut: Dar al-Qalam,
t.t.
Fana>ri (al), Shamsuddi>n Muh}ammad bin H{amza>h bin Muh}ammad. Mifta>h} Ghayb
al-Jam’ wa al-Wuju>d li S{adruddi>n al-Qu>nu>niy wa Syarh}ihi Mis}bah} al-Uns
Bayna al-Ma’qu>l wa al-Masyhu>d lil Fana>ri>. Beirut: Dar al-Kutub al-
Ilmiyah, 2010.
Fana>ri> (al), Muhammad ibnu H{amzah. Mis}ba>h} al-Uns bayna al-Ma’qu>l wa al-
Mashhu>d. I<ra>n: Intisha>ra>t Mawla>, 1374 H.
Fuadi, Muhammad Robith. “Memahami Tasawuf Ibnu ‘Arabi> dan Ibnu al-Fad}l:
Konsep al-H{ubb Illa>hi, Wah}dah al-Wuju>d, Wah}dah al-Shuhu>d, Wah}dah
al-Adya>n”. Ulul Albab, No.2, Vol.14, 2013.
Gha>zi> (al), Ahmad bin ‘Abdul Kari>m. al-Jaddu al-H{asi>s fi> Baya>ni Ma Laysa Bil-
H{adi>th. t.tp: Da>r Ibnu H{azm, t.t.
Ghala>yayni> (al), Mus}t}afa>. Ja>mi’ al-Duru>s al-‘Arabiyyah. Juz 2. Beirut: Dar al-
Kutub al-Ilmiyah, 2014.
H{usayni (al), Abu> al-Baqa>’. Kulliya>t Abi> al-Baqa>’. t.tp: t.p, t.t.
107
Ibnu Musta{>fa>, Ismai>l Haqqi>. Tafsi>r Ru>h{ al-Baya>n. Juz 1. t.tp: Da>r Ih{ya’ al-Tura>th
al-‘Arabi>, t.t.
Ish}aq> i> (al), Achmad Asro>ri. al-Muntakhaba>t fi> Ra>bit{ah al-Qolbiyyah wa S{ilah al-
Ru>hiyyah. Cet. 3, Juz 4. Surabaya: Al Wafa, 2016.
Ja>hi (al), Nu>ruddi>n ‘Abdurrahman bin Ahmad. Naqdu al-Nus}u>s} fi> Sharkh Naqshi
al-Fus}u>s}. Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 2005.
Jamaris, Edward dan Prijanto, Saksono. Hamzah Fansu>ri> dan Nuruddi>n al-Ra>niri>.
Jakarta: Booklet Budaya, 1995/1996.
Jum’ah, ‘Ali>, Aqi>dah Ahli al-Sunnah wa al-Jama>’ah. Cet.5, Qahirah: Da>r al-
Muqat}t}im li al-Nashr wa al-Tawzi>’, 2011.
Khaja Khan, Khan Sahb. Tasawuf: Apa dan Bagaimana, terjemahan Achmad
Nashr Budiman. Jakarta: PT Grafindo Persada, 1995.
Labib, Muhsin. Mengurai Tasawuf ‘Irfan dan Kebatinan. Jakarta: Lentera, 2004.
Moleong, Lexy J.. Metodologi Penelitian Kualitatif, cet. 27. Bandung: PT.
Remaja Rosda Karya, 2010.
Muniron. Ittihad & Hulul Dalam Pandangan Al-Ghazali. Cet.1. Jember: STAIN
Jember Press, 2013.
Murnita, Tesra. “Diskursus Transenden dan Imanen Tuhan Menurut Ibnu ‘Arabi>
(1165-1240 M)”. “Skripsi”--UIN SUSKA, Riau, 2020.
109
Muzani, Saiful. Islam Rasional Gagasan Dan Pemikiran Prof. Dr Harun Nasution.
Bandung: Mizan, 1995.
Qa>sha>ni> (al), ‘Abd al-Razza>q. Dictonary of the Technical Terms of the Sufies:
Edited in the Arabic Original. London: Universitas Harvard, 1845.
Shahu>d (al), ‘Ali> bin Nayf. Mawsu>’at al-Buhu>th wa al-Maqa>lat al-‘Ilmiyyah. t.tp:
t.p, t.t.
Siraj, Said Aqil. “Silat Alla>h bi al-Kawn fi> al-Tasawwu>f al-Falsafi>”. “Disertasi”--
Universitas ummu al-qura>, Mekkah, 1414 H/1994 M.
Siregar, A. Rivay. Tasawuf Dari Sufisme Klasik ke Neo Sufisme. Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 1999.
Sirhindi> (al), Ahmad al-Fa>ru>qi>. al-Maktubah. Juz 1. t.tp: Maktabah al-Nayl, t.t.
Taufikin, Filsafat Etika Tasawuf Fana’, Baqa’ dan Ittihad Abu Yazid al-Bustami.
Esoterik: Jurnal Akhlak dan Tasawuf.
Zakariyya, Abu> H{usayn Ah}mad Bin Fa>ris. Mu’ja>m Maqa>yis al-Lughah. Kairo:
Mus}t}afa> al-Bahyi al-H{alabi>, 1969.
Zuhri, Musatafa, Kunci Memahami Ilmu tasawuf. Surabaya: Bina Ilmu, 1985.
www.almaany.com
Http://.id.m.wikipedia.org
Http://Ejournal.Radenintan.Ac.Id/Index.Php/Aladyan
Http://jurnal.radenfatah.ac.id/index.php/intizar
LAMPIRAN