BAB 1-5 (Lengkap) M.MALIK
BAB 1-5 (Lengkap) M.MALIK
RISALAH AKHIR
RISALAH AKHIR
i
PERNYATAAN KEASLIAN
Surabaya,...........................
Saya yang menyatakan,
Muhammad Malik
NIM. 150452
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Risalah Akhir yang ditulis oleh Muhammad Malik NIM. 150452 ini telah
diperiksa dan disetujui untuk dimuna>qasahkan.
Surabaya, ..............................
Pembimbing,
Mustaqim, M.Ag.,
iii
PENGESAHAN
Risalah Akhir yang telah ditulis oleh Muhammad Malik NIM. 150452 ini telah
dipertahankan di depan sidang Majelis Munaqasah Akhir Ma’had Aly Al Fithrah
Surabaya, Takhassus Tasawuf dan Tarekat pada:
Hari:
Tanggal:
Dan dapat diterima sebagai salah satu persyaratan untuk menyelesaikan program
sarjana strata satu (S-1) dalam Takhassus Tasawuf dan Tarekat.
Ketua sekretaris
......................... ...............................
.......................... ..............................
Surabaya,..........................
Mengesahkan,
Mudir Ma’had Aly Al Fithrah Surabaya
Takhassus Tasawuf dan Tarekat,
iv
Risalah Akhir ini merupakan Hasil penelitian dari Muhammad Malik, NIM:
150452, yang berjudul konsep wuju>diyyah perspektif KH. Achmad Asro>ri al-
Ish}a>qi> dalam kitab al-muntakhaba>t.
Pengaruh pemikiran barat-orientalis yang cenderung radikal telah meracuni dunia
akademisi dan banyak melahirkan justifikasi sesat, panteisme dan tidak rasional
terhadap kajian yang menusuk dimensi ketuhanan dalam perspektif keislaman,
terutama pada kajian tasawuf yang dianggap sebagai denyut nadi islam. Termasuk
pula di dalamnya tokoh-tokoh tasawuf seperti Ibnu ‘Arabi>, al-Ghaza>li>,
Hamzah Fansuri, dan tokoh tasawuf lainnya yang juga terkena dampak secara
frontal dari justifikasi orientalis.
Implikasinya, manusia bukan semakin mengenal Tuhan dengan keilmuan dan
praktik yang benar, justru semakin kacau, jauh dalam kegelapan dan kesesatan
pandangan, jauh dari kepercaya’an terhadap ulama ahl al-haqi>qat. Di sisi lain
juga, semakin mendayagunakan aspek rasionalitas dibandingkan sisi spiritualitas,
memahami dan menganalisa term-istilah para sufi tanpa mengetahui hakikat
istilah tersebut.
Sehingga, penelitian ini menyugugkan pembahasan seputar wuju>diyyah,
wah}dah al-wuju>d, wah}dah al-shuhu>d, h}ulu>l serta ittih}a>d yang dianggap
rawan terhadap justifikasi ajaran panteisme, serta menelisik seputar dimensi
tanzih (transenden) dan tashbih (imanen) dalam kitab al-Muntakhaba>t karya KH.
Achmad Asrori al-Ish}a>qi>, sebagai bentuk klarifikasi dan jawaban atas
justifikasi tersebut. Penelitian ini tergolong penelitian kualitatif dengan metode
analisa conten analysis. Menghasilkan kesimpulan bahwa konsep wuju>diyyah
perspektif al-Ish}a>qi> dalam muntakhaba>t memiliki pola monodualisme
wuju>d. Dengan dilandasi konsep al-Ish}a>qi> tentang pembahasan term al-
ah}ad dan al-wah}id, wuju>d al-haqi>qi> serta wuju>d al-maja>zi>. Sehingga
penulis pandangan penulis, al-Ish}a>qi> memiliki dogma yang terbebas dari
justifikasi ajaran panteisme.
Kajian multi-dimesnsi ibarat menggambar objek yang abstrak (non-materi), objek
yang tak terbatas oleh akal dan rasionalitas manusia, sehingga lahan penelitian
pada objek semacam itu akan senantiasa terbuka lebar.
KATA PENGANTAR
v
Maha Suci Engkau, penulis tidak mampu memuji-Mu sebagaimana Engkau
Akhir yang berjudul “Konsep Wuju>diyyah Perspektif KH. Achmad Asro>ri al-
Ish}a>qi> dalam Kitab al-Muntakhaba>t” dengan lancar dan baik, sebagai syarat
menyelesaikan program studi S-1 Ma’had Aly Al-Fithrah, Surabaya. S}alawat dan
salam penulis haturkan kepada sang idola dan kekasih Rasulullah Muhammad
eksistensi Tuhan dalam kitab al-Muntakhaba>t karya KH. Ahmad Asrori al-
Ish}a>qi>.
Tidak dipungkiri lagi bahwa kesuksesan penulisan disertasi ini tidak terlepas
dari bantuan dan dorongan semua pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini
vi
3. Mudir ‘Amm Ma’had Aly Al-Fithrah Surabaya, Dr. Fathur Rozi M.H.I.,
Bashori M.Th.I., berserta seluruh jajaran Mudir dan dosen Ma’had Aly Al-
motivasi ekstra untuk lebih tekun dan giat belajar kepada penulis, baik
Surabaya.
Munawwar), Kedua orang tua (Tsamratul Fikriyah dan Damsuri), dan tiga
(Kodok, Moe, Bang Dayat, Wafer, Iklil, Iqbal, Om Basir, Hasan, Cak
vii
Rozy, Mimin, Mak Nikmah, Mbak Fitri, Mbak Afifah), yang telah banyak
rasan, konco ambyar, konco oleng (Gopal, Tokai, Cak Inul, Kang Ubed,
mereka dengan iringan do’a “Jaza>kum Alla>h ah}san al-jaza>, wa>fir mawfu>r
Surabaya,
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM...................................................................................... i
PERNYATAAN KEASLIAN...................................................................... ii
viii
PENGESAHAN........................................................................................... iv
ABSTRAK................................................................................................... v
KATA PENGANTAR................................................................................. vi
DAFTAR ISI................................................................................................ ix
BAB I: PENDAHULUAN......................................................................... 1
A. Latar Belakang............................................................................... 2
B. Identifikasi dan Batasan Masalah.................................................. 15
C. Rumusan Masalah.......................................................................... 16
D. Kajian Pustaka............................................................................... 16
E. Tujuan Penulisan............................................................................ 21
F. Kegunaan Hasil Penelitian............................................................. 21
G. Metode Penelitian.......................................................................... 23
1. Jenis Penelitian....................................................................... 23
2. Sumber Data........................................................................... 24
3. Teknik Pengumpulan Data..................................................... 26
4. Teknik Analisis Data.............................................................. 26
H. Sitematika Penulisan...................................................................... 29
ix
BAB III: WUJU<DIYYAH DALAM PEMIKIRAN KH. ACHMAD
ASRO<RI AL-ISH{A<QI<......................................................... 58
x
C. Wah}dah al-wuju>d dalam Wacana Pemikiran KH. Achmad
Asrori Al-Ish}a>qi>....................................................................... 98
A. Kesimpulan...................................................................................... 101
B. Saran................................................................................................. 102
LAMPIRAN................................................................................................. 112
PEDOMAN TRANSLITASI
xi
Di dalam naskah Risalah Akhir ini, banyak dijumpai nama dan istilah teknis
(technical term) yang berasal dari bahasa Arab dan ditulis dengan huruf Latin.
Pedoman translitasi yang digunakan dalam penulisan naskah sebagai berikut:
A. Konsonan
2. ب B ظ z}
3. ت T ع ‘
4. ث Th غ Gh
5. ج j ف F
6. ح h} ق Q
7. خ Kh ك K
8. د D ل L
9. ذ Dh م M
15. ض d}
Sumber : Kate L.Turabian, A Manual of Term Papers, Disertations (Chicago and London: The
University of Chicago Press, 1987).
Vokal
1. Vokal Tunggal (monoftong)
xii
Tanda dan Huruf Arab Nama Indonesia
َ Fathah A
ِ Kasrah I
ُ Dhammah u
Tanda dan
Nama Indonesia Ket.
Huruf Arab
xiii
B. Ta>’ Marbu>t{ah
Translitasi untuk ta>’ marbu>t{ah ada dua :
1. Jika hidup (menjadi mud{a>f) translitasinya adalah t.
2. Jika mati atau sukun, translitasinya adalah h.
xiv
BAB 1
PENDAHULUAN
sejak awal diciptakannya manusia, ia sudah dikenai taklif yakni agar dapat
oksigen. Akan tetapi di sisi lain, oksigen yang di butuhkan oleh manusia untuk
melangsungkan hudup, akan membuat organ tubuh manusia semakin menua dan
“ma’rifat billa>h”, Salah satu contohnya adalah kewajiban atau taklif seorang
hamba untuk mengenali Tuhannya di satu sisi, dan di sisi lain para ulama telah
sepakat, menengenai sifat yang di sematkan kepada Allah SWT, yakni Ia sebagai
akan terbantahkan. Lantas taklif tersebut apakah gugur dengan sifat Allah SWT
Tidak dapat terbantahkan bahwa objek kajian ini sangat menarik untuk di
jabarkan, paling tidak untuk menemukan batasan hamba untuk mendapat titel
“ma’rifat”, tanpa mendobrak dan merobohkan apa yang telah di sepakati oleh para
1
2
ulama mengenai sifat Allah SWT. Dalam kajian islam, di antara mediasi untuk
dalil dari ilmu yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW dalam al-Qur’a>n dan
َ ُأع ِر ِ
.ت َخ ْل ًقا َف َعَر ْفُت ُه ْم
ُ ف فَ َخلَ ْق ْ ت َأ ْن
ُ َأحبَْب
ْ َف ف
ُ ُأعَر
ْ َت َكْنًزا خَمْفيًّا ال
ُ ُكْن
“Aku (Allah) laksana perbendaharaan yang tersembunyi, kemudian Aku
ingin (suka) jika Aku dikenal (diketahui), maka Ku jadikan makhluk, agar
mereka mengetahui-Ku.”2
Kemudian didukung dengan ayat al-Qur’a>n yang melandasi motiv
penciptaan manusia:
dengan redaksi “illa> liya’rifu>n”, artinya untuk mengetahui dan mengenal posisi
1
Abi> al-‘Abba>s Taqi> al-di>n Ah}mad bin ‘Abd al-H{ali>m (Ibnu Taymiyah), Dar’u
Taa>rud{ al-‘Aqlu wa al-Naqlu, Cet. 7, Juz 8 (Madi>nah: T.Pn, 1991), 5. Sebagaimana
diungkapkan oleh Shaykh Abu> H{ati>m al-S{u>fi> yang mendengar riwayat dari Shaykh Abu>
Nas{r al-T{u>si>, beliau menceritakan tentang Syaikh Ruwaym yang ditanya perihal kewajiban
dari Allah SWT atas hambanya, Shaykh Ruwaym menjawab dengan tegas bahwa kewajiban
tersebut adalah mengetahui dan mengenal Allah SWT. Lihat: Abu> al-Qasi>m ‘Abdul Kari>m bin
Hawa>zin, al-Risa>lah al-Qushayriyyah fi ‘Ilmi al-Tas{awwu>f, Cet. 1 (Jakarta: Da>r al-Kutu>b
al-Isla>miyyah, 2010), 16.
2
Dalam redaksi lain disebutkan فتع <<رفت إليهم ف <<يب عرف <<وين. Kemudian oleh para sufi hadis tersebut
dijadikan sebagai dasar keyakinan untuk terus meenggali keyakinan terhadap Tuhan, akan tetapi
kedudukan hadis tersebut banyak dipertanyakan dan diragukan oleh para ahli hadis, seperti Ibnu
Taymiyah, al-Zarkashi>, Ibnu H{aja>r, al-Suyut{i> dsb. Lihat: Ah}mad bin ‘Abdul Kari>m al-
Gha>zi>, al-Jaddu al-H{asi>s fi> Baya>ni Ma> Laysa Bi al-H{adi>th (T.Tm, Da>r Ibnu H{azm,
T.Th), 175.
3
penciptaan yang paling sempurna diantara makhluk ciptaan Allah SWT lainnya,
dan cuma-cuma, akan tepai Allah SWT menetapkan syarat-syarat tertentu untuk
mendapatkan kemulyaan dari Allah SWT adalah menetapkan keimanan dalam diri
3
Ismai>l Haqqi> Ibnu Musta{>fa>, Tafsi>r Ru>h{ al-Baya>n, Juz 1 (T.Pn: Da>r Ih{ya’ al-
Tura>th al-‘Arabi>, T.Th), 335.
4
Orang ‘arif juga dapat di maknai sebagai orang yang tenggelam dalam samudra pengetahuan
tentang Allah SWT, serta tenggelam dalam kecintaan (mahabbah) kepada Allah SWT. Lihat:
Abu> al-Qasi>m ‘Abdul Kari>m bin Hawa>zi>n, al-Risa>lah al-Qushayriyyah...,97.
5
Achmad Asrori al-Ish}a>qi, al-Muntakhaba>t fi> Ra>bit{ah al-Qolbiyyah wa S{ilah al-
Ru>hiyyah, Cet. 1, Juz 1, (Surabaya: T.Pn, 2007), 114. (Versi 2 Jilid)
4
اَلْ ُمْؤ ِم ُن َأ ْ<ك َ<ر ُم:-صلَّى اهللُ َعلَْي ِه َوَألِِه َو َّسلَّ َم ِ
َ – قَ َال: ي َع ْن اَىِب ُهَر ْيَرةَ َرض َي اهللُ َعْنهُ قَ َال َ ُر ِو
.ض الْ َماَل ِئ َك ِة
ِ اهلل ِم ْن َب ْع
ِ علَى
َ
“Diriwayatan dari Abu> Hurayrah Ra. beliau berkata: Rasulullah bersabda :
orang-orang mu’mi>n (yang beriman) itu lebih mulia dihadapan Allah SWT
dibanding para malaikat.” (HR. Ibnu Majah, al-Bayhaqi>)6
Selain itu manusia juga diberikan keistimewaan oleh Allah SWT dengan
berbagai macam potensi, seperti jasad, akal, hati, ruh dan lain sebagainya, sehigga
potensi tersebut dapat menjadi jalan untuk mengenal wuju>d Tuhan dan
nafsu dalam diri manusia, sebagai wadah sekaligus sumber bagi perilaku-perilaku
keistimewaan potensinya, dengan selalu berada pada posisi taat atau justru
sebaliknya.7
Telah maklum diketahui, setiap perilaku manusia idealnya tak pernah lepas
dari dorongan motivasi untuk menghamba kepada Allah SWT, S}ala>t, z}ikir,
wirid dan semacamnya tidak menjadi batas bentuk ibadah, bahkah perilaku remeh
potensi terbesar yakni akal dan ruh yang ada dalam diri manusia, justru mereka
6
Ibid., 115-116.
7
Abu> al-Qasi>m ‘Abdul Kari>m bin Hawa>zi>n, al-Risa>lah al-Qushayriyyah...,124.
8
Abu> al-Abba>s Ah}mad bin Muh}ammad bin Mahdi> bin ‘Aji>bah, al-Bah{r al-Madi>d fi>
Tafsi>r al-Qur’a>n al-Maji>d, Juz 5 (Beirut: Da>r al-Kutu>b al-‘Ilmiyyah, 2002), 481.
5
banyak terjerumus dan lalai terhadap ilusi duniawi, kemudian muncul sifat
materialistis, hedonis yang semuanya dapat menjadi hijab untuk mengenal Tuhan.
Bentuk ujian semacam ini telah di tegaskan oleh ungkapan Syekh Ibnu
ُو ُم َكبَّ ٌل ِ ِ اَم َكي< <<ف يرح.آتِه؟ ِ َكي< <<ف ي ْش< <ر ُق َق ْلب ص< <ور اَأْل ْ<ك<<و ِان مْنطَبِعَةٌ يِف ِمر
َ َل اىَل اهلل َوهُ َْ َ ْ ْ ْ ُ َ َُ ُ ٌ ُ َ َ ْ
<ف ِ ِ ِ ِ ْ اَم َكي<<ف يطْمَع اَ ْن يَ ْدخل ح.بِ َش <هواتِِه؟
َ < اَْم َكْي.ُو مَلْ َيتَطَ َّه ْر م ْن َجنَابَة َغ ْفاَل تِه؟
َ ض <َرةَ اهلل َوه َ َُ ُ َ َ ْ ْ َْ
.ب ِم ْن َه ْف َواتِِه؟
ْ ُاَأْلسَرا ِر َو ُه َو مَلْ َيت
ِئ
ْ َي ْر ُج ْو اَ ْن َي ْف َه َم َدقَا َق
“Bagaimana hati dapat bersinar (terang), sedangkan terlukis gambar dunia
dalam cermin hatinya?, atau bagaimana akan berjalan menuju Allah,
sedangkan ia masih terbelenggu oleh syahwatnya?, atau bagaimana ia
mendambakan masuk kehadirat Allah, sedangkan ia belum bersih (suci) dari
janabah kelalaiannya?, atau bagaimana megharap akan memahami
lembutnya siri (rahasia Allah), sedang ia belum bertaubat dari kesalahan
(dosa) nya?”.9
ِ
ْ ض ِزينَةً هَلَا لنَْبلَُو ُه ْم َأيُّ ُه ْم
َأح َس ُن َع َماًل ْ ِإنَّا َج َع ْلنَا َما َعلَى
ِ اَأْلر
ayat, penggalian hukum agama dan korelasinya dengan fenomena problem yang
9
Nu>ruddi>n Sayyidi> ‘Ali> al-Bayyu>mi>, Sharkh al-H{ikam al-‘At}a>iyyah al-Musamma> al-
Huda> lil Insa>n ila> al-Kari>m (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2019), 49.
6
pernah ada bahasa filosofis yang dapat menggambarkan secara utuh tentang
Salah satu kajian ilmu dalam agama islam yang kompeten menyinggung
aspek keTuhanan atau secara luas mencakup kosmos 10 adalah kajian filsafat dan
mengenai tawh{i>d (keTuhanan) dalam agama, manusia dan alam, ilmu teologi
atau biasa disebut ilmu kalam merupakan salah cabang keilmuan yang cukup
Qur’a>n dan hadith Nabi SAW. Akan tetapi pada perkembangannya, teologi
mengalami revolusi penalaran menjadi lebih kritis dan rasionalis, sebagai ciri-ciri
utamanya yaitu pendayagunaan akal yang melekat dalam ilmu teologi modern
atau lebih di kenal dengan teologi rasional. 11 Doktrin teologi rasionalis semacam
ini salah satunya dipelopori oleh Harun Nasution dengan mengangkat gagasan
pemikiran filosofisnya, selain wujud rasa iba Harun Nasutio atas mayoritas
10
Kosmos dapat diartikan sebagai alam semesta, secara eksplisit kosmologi membahas mengenai
hakikat alaam semesta yang meliputi hubungan antara manusia, alam dan tuhan. Lihat: I.R
Poedjawijatna, Pembimbing Kearah Alam Filsafat (Jakarta: Pembangunan, 1980), 19-20.
11
Saiful Muzani, Islam Rasional Gagasan Dan Pemikiran Prof. Dr Harun Nasution (Bandung:
Mizan, 1995), 8.
7
pemikiran islam selama ini yang di pandang bersifat statis menuju pemikiran yang
Tasawuf sebagai denyut nadi islam yang begitu dalam mengungkap tentang
pada zaman al-Fara>bi>, Ibnu Ru>sh, Ima>m Ghaza>li> dan yang paling
wujud keTuhanan “wah{dah al-wuju>d” yang begitu pelik dan kotrofersial dalam
dikucilkan dan dilarang untuk sebarluaskan. Salah satu ulama yang mengecam
Taymiyyah, dalam kitab fatawa> beliau, dalam kitab tersebut Ibnu Taymiyah
mengkafirkan Ibnu ‘Arabi> secara lahir dan batin. Selain Ibnu Taimiyah, ulama
lain yang berada dalam barisan penentang pemikiran Ibnu ‘Arabi> adalah
Takfi>r Ibnu ‘Arabi>, sekaligus menjadi kitab pokok yang menjadi sumber
12
Nurisman, “Filsafat Dalam Pemikiran Islam Rasional Harun Nasution: Sebuah Sumbangan Bagi
Pengembangan Pemikiran Islam Di Indonesia” (“Ringkasan Disertasi”--UIN Sunan Kalijaga,
Jogjakarta, 2009), 2-5.
13
Toshihiko Izutsu, SUFISME: Samudra Maktifat Ibnu ‘Arabi, Cet.1 (Jakarta: PT Mizan Publika,
2015), Dalam Pengantar Penerbit, viii.
8
grafik 5 (lima) tingakatan medan wujud (al-h{aqq). Pertama adalah medan al-
h{aqq sebagai sang mutlak yang kokoh dalam kemutlakan-Nya, kemudian medan
kedua yakni al-h{aqq sebagai sang mutlak yang ber-tajalli> (baca: manifestasi)
indrawi.14 Demikian penjelasan secara vertikal tetang Allah SWT yang ber-
Selanjutnya secara vertikal, dilihat dari sudut pandang hamba kepada Allah
oleh Imam al-Rabba>ni15, beliau berkata tentang perbedaan maqa>m wuju>di dan
dikatakan Wahdah al-shuhu>d merupakan tingkatan yang lebih tinggi dari pada
(perwujudan) dari yang Esa, maka hamba tersebut masih dalam tingkatan
14
Ibid.,22.
15
Selanjutnya disebut al-Sirhindi>.
16
Konsep tersebut jika mengikuti apa yang telah di paparkan oleh shaykh Ahmad al-Fa>ru>qi> al-
Sirhindi>, beliau memaparkan kaitannya dengan analogi matahari dan bintang. Andai kata
seseorang yang dapat menembus terangnya pancaran sinar matahari serta di saat itu pula, ia dapat
menyaksikan matahari dan bintang-buntang secara bersamaan, maka ia telah mencapai derajat
haqq al-yaqi>n. Lihat: Ah}mad al-Fa>ru>qi> al-Sirhindi>, al-Maktubat, Juz 1 (T.Tm: Maktabah
al-Nayl, T.Th), 81.
9
pengetahuan, bahwa bintang-bintang saat itu bukannya tidak ada, tapi hanya saja
tertutup oleh pancaran terangnya sinar matahari.17 Jika seseorang berada dalam
masih banyak ulama yang lain yang juga menjadi murshi>d penerus al-
Sirhindi>.18
tentang h{ulu>l, ittih{a>d, maqo>ma>t dan ah{wa>l dalam diri manusia. Serta
berbagai macam tingkatan yang ada dilamnya yang telah dibahas secara eksplisit
oleh para sufi, sekaligus menjadi gambaran pijakan tangga yang harus dilalui dan
dari intusi serta perjalanan ruhani para sufi tersebut juga banyak dituangkan
yang dapat dipahami rasio dan diamalkan manusia. Senada dengan uraian diatas,
ragam corak dalam Tasawuf seperti akhlaqi>, ‘amali>, falsafi> juga turut
yang tampak dalam diri setiap sufi “al-aghlab”. Walaupun munculnya dikotomi
semacam ini hanya terbatas pada kajian Akademik, akan tetapi dalam praktik
17
Ibid.
18
UIN Syarif Hidayatullah, ENSIKLOPEDI TASAWUF, Cet. 1, Jilid 3 (Bandung: ANGKASA,
2008), 1405.
10
yang sesungguhnya, Tasawuf untuk mencapai ma’rifat kepada Allah SWT harus
meliputi aspek universal, dan tidak dipisah antara satu aspek dengan aspek yang
pemikiran yang mendalam mengenai tauhid dan ibadah yang sempurna kepada
Allah SWT melalui jalur pembersihan qalb, pelurusan suluk, menjauhi motif-
motif nafsu dan bergantungan dengan berbagai ilmu yang bersumber dari al-
Qur’a>n dan H{adi>th.20 Hemat penulis, Proses transisi dari intuisi dan perjalanan
ruhani sufi menjadi bentuk sastra tulisan tersebut tentunya melalui jalur olah akal,
sebagai konsekuensi olah akal tersebut, secara otomatis akan menggiring masuk
wilayah filosofis.21
Allah SWT, serta menjadi corak ajaran tersendiri bagi tokoh yang
19
Muhammad Musyafa’, “RELEVANSI NILAI-NILAI AL TARIQAH PADA KEHIDUPAN
KEKINIAN: Studi Penafsiran Ayat-Ayat Al-Qur’a>n Dalam al-Muntakhaba>t Karya KH.
Achmad Asro>ri Al-Isha>qi” (“Disertasi”--UIN Sunan Ampel, Surabaya, 2018), 61.
20
‘Ali> bin Nayf al-Shahu>d, Mawsu>’at al-Buhu>th wa al-Maqa>lat al-‘Ilmiyyah (T.Tm: T.Pn,
T.Th), 2.
21
Abu Su’ud, Islamologi (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2003), 190.
22
Firdaus, “Meretas Jejak Sufisme Di Nusantara”, Al-Adyan, Volume 13, Nomor 1, (Juli-
Desember, 2018), 306-320. Lihat juga: Http://Ejournal.Radenintan.Ac.Id/Index.Php/Aladyan
11
mereka diwarnai oleh corak pemikiran syekh Ibnu ‘Arabi> dan al-H{alla>j,
wujud tuhan secara komperhensif. Bahkan tak jarang pemikiran mereka tentang
wuju>diyyah banyak dicap sebagai kafir, zindiq, sesat, dan kecaman lainnya.
dengan praktisi sebelumnya, yang memiliki metode yang sama, terlebih ketika
pengalaman yang diperoleh oleh generasi selanjutnya tak jauh berbeda dengan
pandahulunya.
aspek atau sisi keTuhanan dan begitusaja menerjang entitas Tuhan dengan
س َك ِمثْلِ ِه َش ْيء
َ لَْي
“Dia (Allah) tidak menyerupai sesuatu apapun dari makhluk-Nya.” (QS al-
Shu>ra> : 11)
23
Rosihon Anwar, Akhlaq Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia, 2010), 341.
12
hakikat al-h}aqq hanya sebatas simbolik esoteris yang masih dapat ditangkap oleh
rasio manusia.25 Namun begitu, perspektif penulis tetap saja menganggap sidikit,
dicapai, dan selalu menjadi misteri yang tak mungkin dipecahkan, menjadi tanda
tanya besar yang tak pernah terjawab.27 Dalam hal ini, syekh al-Qushayri>
diri manusia tidak akan pernah dapat menjangkau (baca: sebanding) dengan Allah
SWT, keluhuran Allah SWT tanpa bisa dicapai atau diraih oleh apapun, serta
24
Dimensi “huwa” adalah dimensi yang tidak dapat di jangkau dengan identifikasi apapun
(absolut), sehingga tidak dimungkinkan untuk menguak identitas allah SWT pada tingkat yang
paling tinggi. Lihat: Muhammad ibnu H{amzah Al-Fana>ri>, Mis}ba>h} al-Uns bayna al-
Ma’qu>l wa al-Mashhu>d (I<ra>n: Intisha>ra>t Mawla>, 1374 H), 44.
25
Oman Fathurrahman, Ith}a>f al-Dhaki>: Tafsir Wahdatul Wujud Bagi Muslim Nusantara
(Jakarta: Mizan, 2012), 182. Dalam buku tersebut, Omar mengulas salah satu kitab karya Ibrahi>m
ibnu H{asan al-Ku>ra>ni , dengan judul asli Ith}a>f al-Dakhi> bi Sharkh al-Tuh}fah al-Mursalat
Ila> al-Nabi> Salla> Alla>h ‘Alayh wa Salla>m.
26
Toshihiko Izutsu, SUFISME...,26-27.
27
Ibid.,24 dan 29.
Dalam pembahasan ini, berkisar pada aspek ontologi Tuhan yang Esa (al-Ah}ad) sebagai yang
mutlak dan tetap pada kemutlakan-Nya.
13
kehadiran-Nya tanpa butuh proses berpindah dari satu tempat ke tempat yang
sufi, sebagai imbasnya para tokoh sufi banyak yang dijustifikasi sesat dan
beraliran pantheisme. Untuk itu perlu adanya klarifikasi tentang pembenaran hasil
Allah SWT pada dimensi kemutlakannya, sedang selain Allah SWT adalah bentuk
Ish}a>qi> juga mebedakan antara makna al-wuju>d dan al-kawn, al-wa>h}id dan
al-ah}ad.29
majelis dzikir dan mawlid al-rasu>l SAW yang telah menyebar luas, dan diikuti
salah satu pengamal ajaran Tasawuf (su>fi>) di Nusantara, yang kental akan
akhlak yang dimiliki oleh Rasulullah SAW dan sufi-sufi pada umumnya. Salah
keseharian, wirid-wirid, majelis khus}u>s}i>, majelis Haul, salat malam dan lain
sebagainya.30
beliau, seperti penemuan dari Abdul Kadir Riyadi, salah seorang pengakaji
Untuk itu, penulis tertarik untuk lebih meneliti dan mendalami konsep pemikiran
beliau tentang wuju>diyyah Tuhan tersebut yang penulis anggap unik, untuk
30
Muhammad Musyafa’, RELEVANSI NILAI-NILAI AL TARIQAH...,12.
31
Ainul yaqin, “Koresponensi Manusia dan Kosmos: Studi Komparatif Pemikiran Ibnu ‘Arabi>
dan KH. Achmad Asro>ri al-Ish}a>qi>” (“Skripsi”--STAI Al FITHRAH, Surabaya, 2020), 11.
15
praktisi sufi lainnya, akan tetapi perbandingan semacam ini penulis kategorikan
mengenal Tuhan.
3. Potensi internal manusia (akal dan intuisi) sebagai media pendakian untuk
fanatisme, dan justifikasi kafir kepada orang lain yang tidak sependapat
dengan mereka.
Untuk mengikat pembahasan risalah ini, agar tidak meluas, dan tetap fokus
serta terarah, maka dari berbagai identifikasi masalah di atas, penulis memberikan
S{ilat al-Ru>hiyyah.
C. Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang menjadi topik utama dalam penelitian ini adalah:
D. Kajian Pustaka
Kajian pustaka merupakan salah satu kajian yang dilakukan untuk dapat
pustaka juga dilakukan untuk meminimalisir dan mencegah unsur plagiasi dalam
sebuah penelitian.
Sejauh penelusuran penulis, belum ada penelitian yang sama persis dengan
literatur yang juga mengkaji pemikiran KH. Achmad Asro>ri al-Ish}a>qi>, serta
literatur lain yang mengkaji ajaran wuju>diyyah dari tokoh sufi yang lain. Berikut
Beberapa penelitian yang identik dan relevan dengan judul skripsi “KONSEP
32
Sudarwan Danim, Menjadi Peneliti Kualitatif, Cet. 1 (Bandung: Pustaka Pelajar, 2002), 105.
33
KBBI V1.1 (offline). Korespondensi secara istilah dimaknai sebagai istilah umum yang merujuk
pada aktivitas penyampaian maksud melalui surat-menyurat dari satu pihak ke pihak yang lain,
dalam hal ini adalah manusia, alam semesta dan tuhan. Http://.id.m.wikipedia.org, diakses pada 12
Agustus 2010.
18
ini adalah titik penekanan dari objek kajiannya, Skripsi ini menekankan pada
aspek manusia apakah menjadi makhluk mikro kosmos atau mikro kosmos.
eksistensi Tuhan.
2. Jurnal, ditulis oleh Syamsun Na’im (Fakultas Tarbiyah Dan Ilmu Keguruan
Tulisan ini mengkaji tentang sisi history Tasawuf yang berkembang dan
Fansuri secara umum, atau bahkan tidak menyusun konsep dalam ajaran
ajaran panteisme. Oleh karena itu, penulis dalam kajian ini cenderung
menolak justifikasi pemikiran tersebut, akan tetapi melalui objek tokoh yang
berbeda.
3. Jurnal, yang ditulis oleh Firdaus dari Lampung (UIN Raden Intan Lampung)
NUSANTARA”.
4. Skripsi yang ditulis oleh Endah Triyandani (Program Studi Aqidah dan
Filsafat Islam Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga,
a. Tentang makna satra yang dikarang oleh para sufi, serta mendalami
5. Skripsi yang ditulis oleh Elyasin Yusuf (UIN Sunan Ampel Surabaya, 2016),
Hasil penelusuran karya ilmiyah dan literatur diatas, tidak ada satupun karya
yang mengangkat penelitian seperti halnya objek dalam penelitian ini. Bahkan
kesimpulan yang dapat ditangkap dari penelitian diatas masih dapat dikatakan
penyajian peneitian di atas dapat dikatakan belum sempurna. Elyasin Yusuf dalam
penelitiannya juga lebih cenderung menyasar objek dualisme pada ruang intuisi
38
Endah Triyandani, “Ajaran Tasawuf Hamzah Fansuri>: Studi Atas Puisi-Pusi Sufistik Hamzah
Fansuri>” (“Skripsi”--UIN Sunan Klijaga, Jogjakarta, 2017), 7-8.
39
Ainul yaqin, Korespondensi...,20-21.
21
dan rasio, dan minim menyinggung aspek dualisme pada wilayah eksistensi
dalam istilah tasawuf biasa disebut dengan proses tajalli> Allah SWT-.
wuju>diyyah, akan tetapi diangkat dalam prespektif yang berbeda, dan karya
lainnya mengangkat perspektif yang sama, akan tetapi objek penelitian tersebut
E. Tujuan penulisan
Dengan selesainya tulisan ini, penulis mempunyai harapan agar tulisan ini
dapat memberikan manfaat dan kegunaan. Diantar manfaat dan kegunaan secara
1. Bagi Penulis
Secara teoritis, penulisan Risalah Akhir ini dapat menjadi wacana untuk
(wa>s}ilah), dan sebagai wujud rasa syukur penulis yang telah diberikan
2. Bagi Lembaga
3. Manfaat Umum
G. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Ditinjau dari segi metodologi, penelitian ini merupakan jenis penelitian
pada aspek pengukuran data. Secara singkat penelitian kualitatif juga dapat
kajian ilmiyah, dengan mengunakan metode atau cara alami, yang dilakukan
karena suber data yang diperoleh dari buku, baik al-Qur’a>n, hadith, kamus
penelitian yang dalam hal ini adalah KH. Achmad Asro>ri al-Ish}a>qi>,
40
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, cet. 27 (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya,
2010), 5.
24
2. Sumber Data
membutuhkan sumber data sebagai bahan untuk diolah. Sumber data yang
yakni sumber data primer atau data utama yang menjadi acuan dan
bersinggungan dengan seorang tokoh, maka sumber data yang relevan dan
sekaligus menjadi data primer adalah merujuk langsung pada karya tokoh
tersebut. Sedangkan data yang kedua adalah data sekunder, atau bisa
dikatakan pendukung data primer, meliputi kitab tokoh objek kajian yang
lain, ataupun kitab tokoh lain yang masih relevan dan berkaitan dengan
pembahasan.42
41
Toni Pransiska, “Meneropong Wajah Studi Islam Dalam Kacamata Filsafat: Sebuah Pendekatan
Alternatif”, Intizar, Volume 23, No.1 (2017), 167-168. Lihat juga:
Http://jurnal.radenfatah.ac.id/index.php/intizar
42
Kaelan, Metode Penelitian Agama Kualitatif Interdisipliner (Yogyakarta: PARADIGMA, 2010),
7.
25
yang urgen dalam penelitian ini bersumber langsung dari kitab al-
Ish}a>qi>.
peneliti yang juga membahas menganai konsep yang sama dengan tokoh
Ainul yaqin.
data. Secara luas, metode semacam ini dapat mengantarkan pada kesimpulan
dan ide-ide pokok secara abstrak dan general sehingga gambaran atau simbol
objek penelitian akan terbentuk secara alami melalui data yang dianalisis.
Metode induktif juga bermula dari fakta-fakta yang sunggug terjadi, dan
content analysis adalah fokus dalam mengambil berbagai macam data dalam
menampakkan gambaran konsep yang dipakai oleh KH. Achmad Asrori al-
44
Ibid.,59.
45
Wayan Suwendra, Metodologi Penelitian Kualitatif: Dalam Ilmu Sosial, Pendidikan,
Kebudayaan Dan Keagamaan (Bandung: Nilacakra, 2018), 80.
46
Lexy J. Moleong, metodologi penelitian kualitatif...,163.
28
dan memilih data yang urgen. Kemudian mengesampingkan data yang tidak
proses reduksi akan dapat ditangkap secara jelas serta mempermudah peneliti
Huberman.
H. Sistematika Pembahasan
Agar penulisan Risalah ini berurutan dan tersusun dengan baik, sistematika
yang digunakan dalam penulisan Risalah ini terdiri dari 5 bab, yakni:
permasalalahan. Pada bab 1 ini memuat tentang: (1) Latar belakang penelitian. (2)
Identifikasi dan batasan masalah. (3) Rumusan masalah yang diangkat dalam
29
penelitian. (4) Kajian pustaka. (5) Tujuan penelitian. (6) Manfaat atau kegunaan
penelitian. (7) Metode yang digunakan dalam penelitian, meliputi tentang: Jenis
atas masalah penelitian. Dalam hal ini adalah menyangkut tentang Artikulasi
pandang orang-orang barat (orientalis) dan sudut pandang para tokoh sufi,
Wuju>diyyah.
corak pemikiran tasawuf KH. Achmad Asro>ri al-Ish}a>qi> dalam kitab al-
menjadi keilmuan yang urgen untuk dipelajari dan praktekkan oleh masyarakat.
waktu, timbul degradasi moral yang tak terkendali. Pada era modern ini, sulit pula
atas segala sesuatu yang didapat, dan kesulitan itu merupakan konsekuensi besar
yang harus di derita oleh masyarakat modern. Sehingga pada titik tertentu,
manusia akan kembali mencari daya dukung dan kesegaran spiritual sebagai
upaya mencari ketenangan hati.48 Lebih jauh lagi, tasawuf juga banyak ditarik
kedalam ruang akademik, dan dikaji dengan berbagai perspektif dan metode
pendekatan. Pun realitanya tetap banyak sisi tasawuf yang tidak dapat dijabarkan
47
Dalam sudut pandang Nurcholish Madjid, era modern dianggap sebagai era teknokalisme,
dengan ditandai adanya eksploitasi besar-besaran serta gagalnya melakukan konservasi alam.
Sehingga terjadi kerusakan dan krisis pada lingkungan hidup, serta semakin buruknya kualitas
hidup manusia. Lihat: Khusnul Khotimah, “Interkoneksitas Dalam Ajaran Sosial Tasawuf Sunni
Dan Falsafi”, Jurnal Komunika, No. 1, Vol. 9 (Januari - Juni 2015), 37.
48
Ibid.
31
32
karena faktor licinnya bahasa yang digunakan oleh tokoh sufi, juga dipengaruhi
objek kajian yang menusuk pada wilayah non material (baca: non-indawi) yang
dalam diri.49 Jangankan dalam pembahasan ontologi sebuah objek, dalam lingkup
pada realitanya sudah banyak tersulut, seperti dalam kajian tentang ajaran
pendapat ini juga dipertegas bahwa titik tolak pembahasan wuju>d merupakan
akar dari diskursus kalam dan filsafat islam yang lebih dikenal dengan madzhab
muncul pada permulaan abad 19, meskipun pada abad tersebut, eliran
menciptakan (baca: menjadikan akidah) apa yang disebut sebagai Tuhan yang esa,
sebagai sumber munculnya segala sesuatu di alam semesta, Dia yang disebut
49
Toshihiko Izutsu, SUFISME...,xxiii.
50
Abdullah, “Hikmah al-Isyraqiyah: Menelaah Sisi Eksistensialisme Teosofi Transenden Mulla
Sadra”, Sulesana, No.2, Vol.7, (2012), 104.
51
Jadi, meskipun kata Wuju>diyyah merupakan bentuk lafad yang mushtaq (baca: derivasi) dari
wajada yang berbahasa arab, akan tetapi dalam terminologinya tidak demikian. Istilah
Wuju>diyyah dipakai untuk memaknai kata “Existentialism”. Redaksi asliya adalah:
َد فِي ِ<ه
ُ َأن اِإل نْ َس<ا َن يُوج ِ َأن الوجُود يتقَدَّم الْم
َّ َو، َاهيَة ِ ِ ِئ
َ ُ ََ َ ُ َّ ب َفْل َسف ٌّي قَا ٌم َعلَى ْاعتبَا ِر
ِ ِ ِ
ٌ َم ْذ َه: .) ( مصدر صنَاع ٌّي.] [ و ج د: ٌُو ُجوديَّة
.ود ِه
ِ يبيِن َن ْفسه حسب ِإرادتِِه وم ِشي تِ ِه وخَيْتار هَل ا مَنُو َذج وج، ًحرا
َُُ َ ُ َ َ َ ُ َ َ َ َ َ َ َ َئ َْ ّ ُ
Lihat: But}rus al-Bust}a>ni, Muh}it} Al-Muh}it}: Qamu>s ‘Asriyyu>n Mutawwalu>n li al-
Lughah al-‘Arabiyyah (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2009), 430.
33
Wilhelm Schmidt dalam buku The Origin of The Idea of God, dan dikutip pula
Akan tetapi seiring dengan berjalannya waktu, Dia yang disebut sebagai
Tuhan perlahan memudar dan menjauh dari kesadaran manusia dan kemudian
ergo sum” (aku berfikir, karena itu aka ada), prinsip ini mulai berkembang dan
yang kemudian lebih dikenal dengan prinsip serbuan untuk membunuh Tuhan.52
bahwa eksistensi itu sendiri yang urgen, Sehingga versi pendapat semacam ini,
yang banyak di ungkapkan oleh para tokoh dalam islam. Kemunculan aliran
metafisikan tradisional, lebih jauh lagi aliran ini menolak segala macam betuk
Tuhan, yang memiliki kebebasan dan otoritas berkehendak, meminjam istilah Prof
pandangan ini bersifat independen dan abadi, artinya dunia dan apa yang
hukumnya sendiri.55
Jadi, secara universal aliran eksistensi dalam filsafat yang membahas Tuhan
berujung teisme dan ateisme.56 Dalam perspektif teisme, konteks relasi manusia
transenden dan absolut, serta menjadi substansi (satu-satunya) dari segala bentuk
substansi. Jadi, setiap eksistensi yang tampak (ada), terletak dalam satu
substansi.57
54
Chafid Wahyudi, “Tuhan dan Perdebatan Eksistensiakisme”...,371-372.
55
Muhammad Naquib (Al-‘Attas), Prolegomena To The Metaphysics Of Islam: An Exposition Of
The Fundamental Element Of The Worldview Of Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), 155.
56
Chafid Wahyudi, “Tuhan dan Perdebatan Eksistensiakisme”...,378.
57
Rizal Mustansyir, “Aliran-Aliran Metafisika: Studi Kritis Filsafat Ilmu”, Jurnal Filsafat, (Juli
1997), 7.
35
menjadi), akan tetapi perkembangan tersebut semakin jauh dari kata being, karena
being dalam pemikiran barat tidak lain juga being-sedang dan berproeses.58
terpecahkan. Sebagai salah satu imbas dari semangat pemikiran filsafat (baca:
kajian dan pendalaman istilah dan pegalaman-intuisi “dhawq” dalam kitab karya
tokoh spiritual islam, yang akhirnya berujung pada kesimpulan ajaran panteisme
yang disematkan kepada tokoh islam tersebut. 59 Salah satunya adalah Frank
besar Islamic Studies di Yale Univercity, New Haven. Selanjutnya karya tersebut
dikaji dan diteliti oleh Riduwan sebagai bahan analisa perspektif orientalis dalam
58
Ibid.,81.
59
Kelompok semacam ini populer disebut sebagai kelompok jajaran orientalis, yang berkedok
sebagai pengkaji islam, akan tetapi mereka mempunyai misi untuk meruntuhkan bangunan akidah
umat islam. Dengan menanamkan kebingungan intelektual serta mendoktrin pemikiran umat islam
untuk saling menyalahkan sesama. Khususnya kajian yang berpusat pada ajaran tasawuf. Metode
yang mereka gunakan utamanya menggunakan rasional filosofis, yang cenderung pada
pengalaman indrawi, visi empiris kum logis, serta menolak peranan wahyu dan intuisi. Sehingga
kesimpulan kajian mereka terkesan datar (baca: naturalistik) dan rasionla yang mencopot arti
spiritual, mereduksi makna asal dan fokus hanya pada kodrat alamiah. Lihat: Muh}ammad Naquib
(Al-‘At}t}a>s), Prolegomena To The Metaphysics Of Islam...,154-155.
60
Riduwan, “Al-Ghazali> di mata orientalis”, El-Banat: Jurnal Pemikiran dan Pendidikan Islam,
Vol. 7, No.1, (Januari-Juni 2017), 94-95.
36
islam, muncul setelah mereka (baca: orientalis) menemukan kajian dalam dunia
pembahasan metafisika, dan tidak bersumber dari spekulasi filsuf atas dasar
penelitian, pengamatan indrawi yang terbatas hanya pada alam matari (baca:
fisik). Persingungan dunia filsafat dan tasawuf sendiri, dimulai sejak abad ke-2
Wuju>diyyah memiliki akar kata wuju>d, yang secara etimologi adalah bentuk
semesta serta apapun yang termuat di dalamnya, baik yang dapat ditangkap oleh
61
Tri Arwani Maulidah, “Reinterpretasi Relasi Tuhan dan Manusia Syed Muhammad Naquib
Al-‘At}t}a>s”, ISLAMIKA INSIDE: Jurnal Keislaman dan Humaniora, Vol. 4, No. 1 (Juni-2018),
75.
62
Muhsin Labib, Mengurai Tasawuf ‘Irfan dan Kebatinan (Jakarta: Lentera, 2004), 41.
63
KBBI Offline.
37
panca indra ataupun yang tidak (ghayb). Seperti firman Allah SWT dalam surat
ِ ِ وه
<ك
ُ <َق َولَهُ الْ ُم ْل
ُّ ُول ُك ْن َفيَكُو ُن َق ْولُهُ احْل
ُ ض بِاحْلَ ِّق َوي َْو َم َيق
َ اَأْلر َ ُو الَّذي َخل
ْ َق ال َّس< َم َاوات َو َ َ
)73( ُيم اخْلَبِري ِ ِ ب والش مِل
َ َ ِ الصو ِر َعا ُ الْغَْي
ُ َّه َادة َو ُه َو احْلَك ُّ َي ْو َم يُْن َف ُخ يِف
“Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dengan benar. Dan
benarlah perkataan-Nya di waktu Dia mengatakan: Jadilah, lalu terjadilah,
dan di tangan-Nyalah segala kekuasaan di waktu sangkakala ditiup. Dia
mengetahui yang ghaib dan yang nampak. Dan Dialah Yang Maha
Bijaksana lagi Maha Mengetahui.” (QS Al-An’a>m: 73)
yang bermakna keberadaan, akan tetapi kata wujud dalam bidang ilmu teologi
eksistensi Allah SWT.64 Bahkan jika di uraikan lagi, hurufي dalam lafad
Wah}dah al-wuju>d yang banyak tersebar luas sebagai salah satu ajaran dalam
Wah}dah al-wuju>d dengan faham ajaran yang dibawakan oleh Syekh Siti Jenar
dengan ajarannya “manunggaling kawulo gusti”. Salah satu faedah nisbat dalam
64
Selain makna di atas, lafad “wajada” juga memiliki makna mendapatkan, menemukan hal yang
dimaksud. Seperti ungkapan “”جيده وج <<ودا. Lihat: www.almaany.com, “diakses pada: Jum’at, 18
September 2020, 00:56 WIB”. Lihat juga: Sa’diyyah Ah}mad Must}ofa>, Al-Baqa>’ wa Al-
Fana>’ fi Shi’ri Abi Al-‘Uta>hiyah (Arda>n: Dar al-H{a>mid, 2010), 45.
65
Mus}t}ofa> al-Ghala>yayni>, Ja>mi’ al-Duru>s al-‘Arabiyyah, Juz 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-
Ilmiyah, 2014), 49.
38
ta>’ marbu>t}oh dalam lafad tersebut mempunyai faedah sebagai penguat atau
ta’ki>d.66
dari intisari ajaran Wah}dah al-wuju>d syekh Ibnu ‘Arabi> yang kemudian
diproklamirkan sebagai istilah dalam penyebutan ajaran tersebut oleh Sad}r al-
Wah}dah al-wuju>d masih terus berlanjut sampai para akademisi dan ulama
setelah Ibnu Taymiyyah, sehingga mencapai rumusan bahwa ajaran Wah}dah al-
wuju>d merupakan salah satu ajaran sentral syekh Ibnu ‘Arabi>, yang selanjutnya
sederhana, dalam islam ajaran Wuju>diyyah dapat dimaknai sebagai ajaran yang
dzat yang maha Esa, serta menjadi sumber segala yang wujud.70
Dalam pembahasan wujud, baik yang sudah ataupun akan muncul sebagai
66
Seperti contoh kalimat عالمة. Lihat: Abu> al-Baqa>’ al-Husaini, Kulliya>t Abi> al-Baqa>’
(T.Tm: T.Pn, T.Th), 102.
67
Ramli Cibro, “Dari Wujudiyyah ke Ma’rifah: Geneologi Tasawuf Hamzah Fansuri”, Jurnal Al-
Tafkir, No.1, Vol.XII, (1 Juni 2019), 29.
68
Banyak karya syekh Ibnu Taymiyyah yang meyebutkan tentang istilah wuju>diyyah, sekaligus
beliau berdiri pada barisan penentang ajaran wuju>diyyah. Lihat: Toshihiko Izutsu,
SUFISME...,vii-viii.
69
Ahmad Faiq Nur, “Karakteristik Ekspresi Bahasa Metaforis Dalam Tasawuf Wuju>diyyah
Nusantara”, Jurnal al-Tsiqoh, No.1, Vol.5 (April 2020), 27. Interpretasi penulis, menyimpulkan
bahwa keserupaan ajaran Wuju>diyyah syekh Ibnu ‘Arabi> dengan tokoh-tokoh sufi Nusantara
tidak lantas bahwa terjadi copy-paste ajaran atau terjadi keterikatan hubungan, seperti guru dan
murid (secara lahiriyah). Akan tetapi lebih cenderung kepada kesamaan pengalaman sufi yang
mendapatkan h}a>l/maqa>m (baca: derajat) yang setingkat antara satu dengan yang lain.
Kemudian, dampak negatif dari penisbatan faham semacam ini juga memiliki imbas yang buruk,
terutama ketika disimpulkan bahwa ajaran Wuju>diyyah orietasinya berfaham panteisme. Seperti
disampaikan oleh salah satu peneliti faham ajaran Wuju>diyyah. Lihat: Ramli Cibro, “Dari
Wuju>diyyah ke Ma’rifah: Geneologi Tasawuf Hamzah Fansuri”...,29-30.
70
Endah Triyandani, “Ajaran Tasawuf Hamzah Fansuri>”...,80.
39
syekh al-Ima>m al-Rabba>ni> bahwa setiap sesuatu yang sudah dan akan ada
dalam alam ini berkaitan dengan ‘alam al-amri dan ‘alam al-khalqi.71 Akan tetapi
beliau tidak membehas panjang lebar mengenai realitas wujud semacam ini. Salah
satu pegiat tasawuf, Ibnu ‘Arabi>-lah dapat dikatakan sufi yang cukup mendalam
menyebut istilah tersebut secara eksplisit (baca: tersurat) akan tetapi dapat
ditangkap secara tersirat dari literatur kitab fus{u>s{ al-h{ikam dan futu>h{a>t al-
makiyya>h serta karya syekh Ibnu ‘Arabi> lainnya yang kompleks mengungkap
Merujuk pada salah satu kitab beliau, Sebagai pengantar untuk membuka
beliau mengungkapkan:
ِ <َأن اِإْل نْسا َن الَّ ِذي هو َأ ْكمل النَّس ِخ و َأمَتُّ النَّ ْش
َأت لَهُ خَمْل ُْو ٌق َعلَى الْ َو ْح َدانِيَّ ِة اَل َعلَى َ ْ ُ َ َُ َ َّ َو ْاعلَ ُم ْوا
ِ ِ ِ َّ ,اَأْلح ِديَِّة
فَالْ َواحِ ُد اَل َي ْ<ق < َ<وي َو اَل يَص < < ُّح هَ َذا الْ َم ْعىَن,اَأْلحديَّةَ هَلَا الغَىِن َعلَى اِإْل طْاَل ق
َ َأِلن َ
ِ ِ ِ
ض َ اَأْلحديَِّة فَكَ َذل
ُ ك الْ َوا ِح ُد اَل يُنَاه َ َُوةَّ َوا ِح ٌد فَالْ َو ْح َدانِيَّةُ اَل َت ْق< َ<وي ق-ُو ِ ِإْل
َ َعلَى ا نْ َس <ان َوه
(اىل ان....ُات اهْلَِويَِّة َوالْ َو ْح َدانِيَّ ِة اِ ْس< < ٌم هَلَا مَسَْت َها هِبَا التَثْنِيَّة
ِ َأِلن اَأْلح ِديَّةَ ذَاتِيَّةٌ لِل< < َّ<ذ ِ
َ َّ ,َاَأْلحديَّة
َ
73
)قال
71
Alam amri merupakan manifestasi setiap sesuatu yang berkaitan dengan penciptaan yang
berkaitan dengan perintah Allah SWT (kun) yang wilayahnya meliputi setiap yang berada di atas
‘arsh, sedangkan alam khalqi dipakai sebagai sebuah istilah bagi setiap yang tercipta tanpa
perintah Allah SWT (kun) yang wilayahnya berada di bawah ‘arsh sampai pada lapisan bumi
paling bawah. Achmad Asrori, Al-Nuqt}oh fi> Tah}qiq al-Ra>bit}ah (Surabaya: al-Khidmah,
2010), 34-35.
72
Toshihiko Izutsu, SUFISME...,23, 43 dan 157.
73
Muhyiddi>n Muh}ammad ‘Ali> Muh}ammad (Ibnu ‘Arabi>), Rasa>il Ibnu ‘Arabi> (Beirut:
Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2010), 37-38.
40
bahwa Ibnu ‘Arabi> juga mengungkapkan konsep dasar perbedaan antara term
dalam pandangan Ibnu ‘Arabi> telah masuk dalam dimensi Wah}dah al-wuju>d
atau disebut juga Wuju>diyyah, dimana kesadaran manusia telah menusuk realitas
suci.75 Dan untuk mecapai atau mengaktifkan kesadaran manusia terhadap realitas
sebagaimana mestinya.
dianggap masih dalam taraf kewajaran, karena tentunya setiap individu memiliki
pemikiran dan tingkat keilmuan yang berbeda antara satu dengan yang lain.
Sedang esensi makna yang sesungguhnya hanya dapat dipahami oleh orang-orang
bentuk maqam yang diduduki oleh para sufi. Sebelum masuk dalam pembahasan
makna secara terminologi mengenai istilah Wah}dah al-wuju>d dan Wah}dah al-
mempunyai beberapa konotasi makna dan sudut pandang, sehingga dapat menjadi
semacam klasifikasi bagi kata Al-wah}dah itu sendiri. Diantaranya adalah al-
al-‘id}a>fiyyah.77
1. Al-wah}dah al-haqi>qiyyah
Tunggal) dan murni tidak ada unsur pluralitas, dan adakalanya al-wah}dah
77
Shamsuddi>n Muhammad bin H{amzah bin Muhammad (al-Fana>ri)>, Mifta>h} Ghayb al-
Jam’ wa al-Wuju>d li S{adruddi>n al-Qu>nu>niy wa Syarh}ihi Mis}bah} al-Uns Bayna al-
Ma’qu>l wa al-Masyhu>d lil Fana>ri> (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2010), 224.
78
Padanan yang dimaksud yakni al-wa>h}id sebagai sifat Tuhan atau hukum yang disematkan
bagi Tuhan. Lihat: Ibid.
42
bertumpu pada konstruksi susunan tersebut, dan ketika salah satu komponen
tersebut tidak lengkap atau hilang, akan berdampak pula pada penurunan
kekuatan sesuatu tersebut. Jika dikatan Allah SWT demikian, maka tentunya
menyalahi sifat Allah SWT yang tidak bergantung pada sesuatu apapun. 81
dari sudut pandang ke-Esaaan Tuhan, maka Allah SWT merupakan al-haqq
Kedua, dilihat dari sudut pandang makhluk, Dia adalah Tuhan yang ke-
79
Sedangkan pada tataran al-wah}dah al-haqi>qiyyah al-nisbiyyah, menjadi dimensi yang lebih
rendah dari Al-wah}dah al-haqi>qiyyah al-dha>tiyyah akan tetapi ketunggalan tersebut tetap
bersifat netral. Lihat: Ibid.
80
Berbilang oleh penulis dipahami sebagai setiap sesuatu yang dikatakan satu kesatuan yang
sempurna jika memiliki kelengkapan dalam setiap bagiannya. Contoh: Satu manusia, dapat
dikatakan satu atau tunggal dan sempurna, akan tetapi manusia sendiri tersusun atau dikatan
berbilang, dari komponen yang menyusun seperti kepala, tangan, kaki, badan, leher dan lain
sebagainya.
81
Abu> al-Qasi>m ‘Abdul Kari>m bin Hawa>zi>n, al-Risa>lah al-Qushayriyyah...,17.
82
Ibid.,224-225.
43
menjadi entitas yang terpisah sebagaimana pluralitas abadi. akan tetapi sifat-
bahkan lebih mutlak dari kemutlakan, serta tidak batasi dalam kemutlakan
itu sendiri, artinya kemutlakan tersebut tidak dapat menjadi wadah bagi
Untuk itu, wujud yang bahkan tidak pantas menyandang serta tidak
dengan tetap menyandang predikat tanda tanya dan misteri besar, demikian
semacam itu tidak dapat diraba dan dijangkau oleh akal, terlebih untuk
islam terhadap Tuhan. Sehingga pandangan islam semacam ini juga menjadi
al-‘At}t}a>s.86
‘Abdurrahman bin Ahmad Al-Ja>hi, Naqdu al-Nus}u>s} fi> Sharkh Naqshi al-Fus}u>s} (Beirut:
Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, 2005), 177. Lihat juga: ‘Abd al-Razza>q al-Qa>sha>ni>, Dictonary of
the Technical Terms of the Sufies: Edited in the Arabic Original (London: Universitas Harvard,
1845), 154-155.
86
Tri Arwani Maulidah, “Reinterpretsi Relasi Tuhan dan Manusia Syed Muhammad Naquib
al-‘At}t}a>s”, ISLAMIKA INSIDE: Jurnal Keislaman dan Humaniora, Vol. 4, No. 1 (Juni 2018),
79.
45
manusia, sehingga setiap orang dapat menapakinya, terlebih para praktisi sufi, 88
akan tetapi realitanya wah}dah al-wuju>d hanya dapat diraih oleh orang-orang
yang memiliki keyakinan di atas manusia pada umumnya, serta dibekali dengan
senantiasa menyaksikan Eksistensi zat Allah SWT pada setiap sesuatu yang
tampak olehnya. Pada tingkatan ini seorang sufi telah menerobos masuk kedalam
apapun, kecuali yang tampak dalam sesuatu tersebut adalah zat Allah SWT,
sehingga pandangan terhadap dirinya dan semua makhluk yang ada menjadi
87
Muhammad Robith Fuadi, “Memahami Tasawuf Ibnu ‘Arabi>”...,154. Penulis dalam hal ini
memasukkan sedikit interpretasi mengingat rentannya pembahasan ini untuk terjatuh dalam ranah
ungkapan tashbi>h dan tamthi>l, sebab tidak ada bahasa yang dapat mewakili ungkapan yang
berkaitan dengan realitas semacam ini.
88
Ibid.,155.
89
Ahmad al-Fa>ru>qi> al-Sirhindi>, al-Maktuba>t...,80-81.
90
Fari>duddi>n Ayda>n, Al-T{ari>qah Al-Naqsha>bandiyyah, Juz 1 (T.Tm: T.Pn, T.Th), 159.
46
ص<و ِر امْسَاِئِه ىِف ِ ِّ اس ِم النُّو ِر و ُهو ظُهُور احْلِ ِ ِ اَلتَّجلِّي الش
َ ُ َق ب ُ ْ َ َ ْ ْ ُّه ْودي ُه َو ظُ ُه ْو ُر الْ ُو ُج ْود الْ ُم َس َّمي ب
ُ َ
.س الرَّمْح َ ِن الَّ ِذي يُ ْو ِج ُد بِِه الْ ُك ُّل ُّ َ ِصو ُر َها َوذَل
ُ ك الظ ُه ْو ُر ُه َو َن ْف
ِ َّ ِ
َ ُ اَأْل ْك َوان اليِت ه َي
yang dialami oleh seseorang yang berdiri pada maqa>m al-Shuhu>d adalah
kemutlakan-Nya, menuju pada aspek lain yang lebih rendah –tanpa terikat dengan
ruang dan waktu- dan dapat dijangkau dan dinyatakan oleh mata hati (bas}i>rah).
nisbi>, artinya masih disesuaikan dengan kadar kemampuan setiap individu, dan
Selain Ibnu ‘Arabi>, adapula syekh H{amzah Fansu>ri>, selain tokoh sufi
yang tekun, beliau juga dikenal sebagai tokoh cendekiawan. Dalam tarekat, beliau
91
‘Abd al-Razza>q al-Qa>sha>ni>, Dictonary of the Technical Terms of the Sufies...,155.
92
Dalam pembahasan tajalli> Allah SWT, al-Qushayri> membahas panjang lebar dalam
pembahasan bab al-satr wa al-tajalli>. Lihat: Abu> al-Qasi>m ‘Abdul Kari>m bin Hawa>zi>n,
al-Risa>lah al-Qushayriyyah...,112.
47
kokoh menganut tarekat Qa>diriyah yang nisbatnya kepada Syekh ‘Abdul Qa>dir
terbukti beliau menguraikan tentang faham Wuju>diyyah yang sangat rumit dan
dipandang rentan akan kecaman dan hujatan atas pemikiran radikal yang sesat, 93
Ketahuilah, hai segala kamu anak adam yang islam, bahwa Allah
subhanahu wa ta’ala menjadikan kita dari pada tiada diadakan. Dan dari
pada tiada bernama diberi nama, dan dari pada berupa diberi berupa,
lengkap dengan telinga, dengan hati, dengan nyawa, dengan budi. Yogya
kita cari Tuhan kita ini supaya kita kenal dengan makrifat kita, atau dengan
khidmat kita kepada guru yang sempurna mengenal dia supaya jangan taqsir
kita.95
Dua poin besar dalam ungkapan Hamzah Fansu>ri> di atas, bahwa Allah
SWT merupakan dzat yang memiliki adikodrati mutlak, sebagai Sang pencipta
dan memiliki posisi agung nan tinggi. Kedua, tingkatan makrifat dapat ditempuh
melalui jalur khidmah, bimbingan kepada seorang guru, yang dapat mengantarkan
menjelaskan:
93
Sebagaimana diungkapkan oleh Mastuki HS dan M. Ishom El-saha, dalam bukunya
Intelektualisme pesantren: potret tokoh dan cakrawala pemikiran di era pertumbuhan pesantren.
94
Faham panteisme secara sederhana adalah faham yang memiliki kepercayaan bahwa tuhan
adalah semuanya, dan semuanya adalah tuhan.
95
Syamsun Ni’am, “Hamzah Fansuri: Pelopor Tasawuf Wuju>diyyah”...,275.
48
sesungguhnya esensi dari semua ciptaan bukanlah selain Tuhan 96, akan tetapi
tidak dapat juga dijustifikasi bahwa purwarupa ciptaan merupakan Tuhan. Lebih
dan ciptaan, ibarat biji dan pohon. Walaupun biji tidak terlihat dalam realita, akan
tetapi hukum pohon secara hakikat meruapakan biji itu sendiri.97 Sehingga
implementasi ayat yang mengungkapkan bahwa Tuhan lebih dekat dari urat leher
kesamaan dengan faham yang dibawakan oleh al-H{alla>j, dengan sifat keluhuran
dan keagungan Tuhan, yang telah dirasakan melalui dhawq dan kashaf sehingga
terasa begitu dekat dan erat, bahkan ibarat kedekatan seorang kekasih.98
oleh Ibnu Sina> melalui filsafat wujudnya yang dijelaskan ke dalam tiga kategori
yaitu wajib al-wuju>d bidha>tih (wajib ada dengan sendirinya), mumkin al-
96
Akan tetapi tidak dapat dikatakan secara universal demikian, terdapat bentuk-bentuk tertentu
(baca: determined forms) ciptaan tersebut memiliki kontradiksi (yang arahannya lebih kepada
perbeaan secara mendasar) dengan Tuhan. Bahkan jauh tak terhingga untuk dapat dikatakan sama.
Lihat: Toshihiko Izutsu, SUFISME...,103.
97
Syamsun Ni’am, “Hamzah Fansuri: Pelopor Tasawuf Wuju>diyyah”...,275-276.
98
Firdaus, “Meretas Jejak Sufisme Di Nusantara”...,305. Hubungan antara manusia dengan Tuhan,
dalam kacamata Hamzah Fansuri ibarat hubungan antara dua orang kekasih yang begitu dekat dan
dapat membutaakan terhadap realitas selain sang kekasih. Lihat: Edward Jamaris dan Saksono
Prijanto, Hamzah Fansu>ri> dan Nuruddi>n al-Ra>niri> (Jakarta: Booklet Budaya, 1995/1996),
6-8.
99
Harun Nasution, Falsafat Agama, Cet.6 (Jakarta : Bulan Bintang, 1987), 57.
49
ada).100
Yang mustahil ada, karena tidak mungkin ada, tidak dibahas oleh Ibnu
Sina> lebih lanjut. Kemudian yang wajib ada, tidak pernah tidak ada di masa
lampau dan tidak akan pernah tidak ada di masa yang akan datang, Ia selamanya
ada. Adanya tidak mempunyai permulaan dan zaman dan juga tidak mempunyai
akhir, Ia terus menerus ada. Ada-Nya tidak mempunyai sebab, itulah Allah SWT.
Yang mungkin ada, pernah tidak ada di masa lampau, kemudian ada dan tidak ada
kembali di masa depan. Adanya mempunyai permulaan dalam zaman dan juga
mempunyai akhir. Ia bemula dari tiada dan berakhir dengan tiada (jasadnya, tapi
ruhnya tetap ada). Adanya mempunyai sebab. Demikian adalah wujud manusia.101
Selanjutnya, maqa>m kedekatan dengan Allah SWT yang telah dicapai oleh
yang lazim dipakai oleh para sufi. Z{u> al-Nu>n al-Mis}ri> kemudian
dengan argumentasi dan klarifikasi. Ma’rifat jenis ini pada umumya dimiliki
oleh orang. Orang awam mempunyai sifat lekas percaya dan menurut,
100
Harun Nasution, Islam Rasioal: Gagasan dan Pemikiran, Cet.1, (Bandung: MIZAN, 1995), 94.
101
Jam’ah Abidin, “Pengembangan Pendidikan dalam Filsafat Eksistensialisme”, Jurnal Ilmiah
Keislaman, Vol.12, No.2 (Juli-Desember 2013), 89.
102
Muhammad Rahmatullah, “Dualisme dan Makrifat: Studi Tentang Pemikiran Sufistik KH.
Achmad Asrori al-Ish}a>qi>” (“TESIS” --UINSA, Surabaya, 2015), 34-36.
50
mutakalimin dan filusuf (metode akal budi), yaitu ma’rifat tentang Allah
rasional melalui berpikir spekulatif. Ma’rifat jenis kedua ini banyak dimiliki
oleh kaum ilmuan, filosof, sastrawan, dan termasuk dalam golongan orang-
melalui hati nuraninya. Ma’rifat jenis ketiga inilah yang tertinggi, karena
ma’rifat ini diperoleh tidak hanya melalui belajar, usaha dan pembuktian.
Melainkan anugerah dari Allah Swt kepada orang-orang sufi atau auliya’
sanubari (qalb) dan merupakan pemberian Allah SWT kepada orang-orang yang
menyandang sifat-sifat luhur seperti yang dimiliki Allah SWT, sampai akhirnya ia
sepenuhnya menihilkan dirinya sendiri dan hidup didalam-Nya dan lewat diri-
Nya.108
1. Ittih}a>d
dirintis sejak abad ke-3 Hijriah. Para tokoh peneliti dan pengkaji tasawuf
mayoritas menaruh perhatian terhadap seorang sufi pada kurun waktu saat itu,
107
Ia menegaskan bahwa terdapat perbedaan antara ma’rifat yang disebabkan oleh kemampuan
dan kesadaran seseorang sebagai makhluk. Ma’rifat menurut Zunnun al-Misri sepenuhnya
diberikan oleh Allah Swt atas karunia dan kasih sayang-Nya. Maka seorang hamba tidak akan
sampai pada tingkat ma’rifat tanpa usaha dan anugerah serta karunia Allah SWT. Lihat: Ibid.,144.
108
Ibid, 237-238.
109
Selanjutnya disebut sebagai al-Bust}a>mi>. al-Bust}a>mi>, nama lengkapnya adalah Abu>
Yazi>d T{ayfu>r bin ‘Isa> bin Surusyan al-Bust}a>mi>>. Ia dilahirkan di Bust}a>m, salah satu
kota di daerah Qumis Persia (tepat sebelah tenggara dari laut hizar) pada tahun 188 H./804 M.5
Ayahnya (Isa) adalah salah seorang tokoh di Bistam, sedangkan ibunya adalah seorang yang taat
dan bersifat zuhud. Ia dibesarkan dalam keluarga yang taat beragama. Pada masa mudanya ia
mempelajari al-Qur’a>n bahkan mendalaminya dan belajar hadith Nabi serta ilmu fikih mazhab
Hanafi.
110
Muniron, Ittih}a>d & H{ulu>l Dalam Pandangan Al-Ghaza>li>, Cet.1, (Jember: STAIN
Jember Press, 2013), 23-24.
52
yang tertinggi untuk lebih dekat kepada Allah SWT, tapi sebelum sampai ke
baqa>’. Berbicara fana>’ dan baqa>’ sangat erat kaitannya dengan al-
Ittih}a>d, yakni penyatuan (union) batin atau rohani dengan Tuhan, karena
tujuan dari fana>’ dan baqa>’ itu sendiri adalah al-Ittih}a>d itu. Must}afa>
dengan al-Ittih}a>d.112 Kata fana>’ berarti hancur, sirna, dan lenyap. Juga
kesadaran pribadi dengan dirinya sendiri atau dengan sesuatu yang lazim
111
Abdur Rahman Badawi>, Shat}ah}a>t al-S}ufiyyah, Juz 1 (Beirut: Dar al-Qalam, T.Th), 108.
112
Musatafa Zuhri, Kunci Memahami Ilmu tasawuf (Surabaya: Bina Ilmu, 1985), 236.
113
Ibra>hi>m Anis, Al-Mu’ja>m al-Wast}, Cet. 2 (Kairo: Dar al-Fikr, 1972), 704.
114
Khan Sahb Khaja Khan, Tasawuf: Apa dan Bagaimana, terjemahan Achmad Nashr Budiman
(Jakarta: PT Grafindo Persada, 1995.), 83.
115
Jamil Saliba, Mu’jam al-Falsafah, Jilid 2 (Beirut: Dar al-Kutub, 1979), 167.
53
yakni sifat sebagai manusia biasa yang suka pada shahwat dan hawa nafsu.
daripada alam baru, alam rupa atau dari alam wujud ini, maka dikatakan ia
telah fana>’ dari alam cipta atau dari alam makhluk. 116 Sebagai akibat atau
hasil dari fana>’ adalah baqa>’ yang berarti terus menerus sebagai lawan
dari fana>’ ia berarti tetap ada dan merupakan sifat wajib Tuhan.117
kesadaran telah berganti dan berpusat pada pengalaman kejiwaan, bila tidak
faham ketuhanan yang panteis. Dengan demikian ditangan para sufi inilah
Klaim Ittih}a>d yang banyak diutarakan oleh para sufi muncul dari
subjek yang mengalami guncangan (luapan) rasa, atau dikenal dengan term
dari subjek yang mengalami wajd. Yakni, subjek yang memberikan respon
116
Musatafa Zuhri, Kunci Memahami Ilmu tasawuf…,234.
117
Abu Husain Ahmad Bin Faris Zakariyyah, Mu’ja>m Maqa>yis al-Lughah (Kairo: Mushtafa al-
Bahyi al-Halaby, 1969), 276.
118
Taufikin, Filsafat Etika Tasawuf Fana’, Baqa>’ dan Ittih}a>d Abu> Yazi>d al-Bust}a>mi>
(Esoterik: Jurnal Akhlak dan Tasawuf), 158.
119
Said Aqil Siraj, Allah dan Alam Semesta: Perspektif Tasawuf Falsafi (Jakarta: Yayasan Said
Aqil Siraj, 2021), 219.
54
dapat dijustifikasi satu dari kedua respon tersebut lebih utama dari yang
lain.120
2. H{ulu>l
panjang tasawuf (sufisme), juga sangat berkaitan erat dengan dimensi fana>’
melekat dalam diri seorang sufi. Salah satu tokoh yang digadang menjadi
ُّ ِحَي
Secara etimologi, kata H{ulu>l bentuk masdar dari fi’il: ل - َح َّلyang
berati “bertempat di” atau “tinggal di”. Dikaitkan dengan konsep H{ulu>l
berati Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu, yaitu manusia
karena pada diri manusia memiliki dua sifat dasar, yakni sifat lahut
(ketuhanan) dan sifat nasut (kemanusiaan. Atas dasar inilah maka sangat
mungkin persatuan antara Tuhan dengan manusia bisa terjadi, dan persatuan
Ada dua poin yang dapat diambil dari konsep H{ulu>l milik al-
H{alla>j ini. Pertama, dengan adanya kata-kata cinta yang dikemukakan al-
tak lain juga ittih}a>d atau kesatuan rohaniah dengan Tuhan. Akan tetapi
124
Abudin Nata, Akhlak Tasawuf (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2011), 239. Hemat penulis,
bukan berarti pegambilan tempat yang dimaksud dalam redaksi di atas, berkonotasi bahwa Allah
SWT memiliki tempat. Akan tetapi makna yang sesungguhnya akan lebih tepat ketika
dikembalikan pada pengalaman dari para praktisi tasawuf. Dan pemahaman bahasa yang telah
dituangkan merupakan prolog atau penggambaran saja, yang masih dikatakan jauh untuk
menetapkan makna yang sebenarnya.
125
Said Aqil Siraj, “Silat Alla>h bi al-Kawn fi> al-Tasawu>f al-Falsafi>>”...,54.
126
M. Alfatih Suryadilaga, Miftahus Sufi...,170.
56
menurut Harun Nasution, persatuan rohaniah dengan Tuhan yang dialami al-
Bust}a>mi> dalam ittih}a>dnya itu berbeda dengan apa yang dialami oleh al-
Tuhan-Nya, dia merasa dirinya hancur dan yang ada hanyalah diri Tuhan atau
hanya ada satu wujud, yaitu Tuhan. Sedangkan al-H{alla>j meskipun saat
mengalami h}ulu>l, ia tidak hancur. Hal ini dapat dilihat dari syairnya yang
berbunyi:
“Aku adalah rahasia Yang Maha Benar. Yang Maha Benar bukanlah
aku. Aku hanya satu dari Yang Maha Benar. Maka bedakanlah antara
kami”.
tasawwufnya (h}ulu>l) lebih halus dan dalam dari pada ungkapannya Abu>
masing-masing.128
127
Said Aqil Siraj, “Silat Alla>h bi al-Kawn fi> al-Tasawwu>f al-Falsafi>>”...,54.
128
Said Aqil Siraj, Allah dan Alam Semesta...,217.
57
BAB III
WUJU<DIYYAH DALAM
Sosok yang menjadi salah satu penerus ulama salaf al-s}a>lih} dalam
menyerukan dan mengibarkan dakwah islam, yakni KH. Achmad Asrori al-
129
Berikut silsilah nasab al-Ish}a>qi>, dari mulai bawah: KH. Achmad Asro>ri> al-Ish}a>qi> –
KH. Muhammad Uthma>n al-Ish}a>qi> – Nyai Surati – Kiai Abdulla>h – Embah Dasha – Embah
Salbeng – Embah Jarangan – Kiai Ageng Mas – Kiai Panembahan Bagus – Kiai Ageng Pangeran
Sadang Rono – Panembahan Agung Sido Mergi – Pangeran Kawis Guwa – Syekh Fadhlulla>h
(Sunan Prapen) – Syekh ‘Ali Sumadiro – Syekh Muhammad ‘Ainul Yaqi>n (Sunan Giri) – Syekh
Maulana Isha>q – Syekh Ibro>him Akbar (Ibro>him Asmorokondi) – Syekh Jama>luddin Akbar (
Shaikh Juma>di al-Kubro) – Syekh Ahmad Shah Jala>l A<mir – Syekh ‘Abdulla>h Kha>n –
Syekh ‘Abdul Malik – Syekh ‘Alwi> – Syekh Muh}ammad S}a>h}ib Mirbat} – Syekh ‘Ali>
Khala’ Qasam – Syekh ‘Alwi> – Syekh Muhammad – Syekh ‘Alwi> – Syekh ‘Ubaidilla>h –
Syekh Ahmad Muha>jir – Syekh Isa> al-Ru>mi – Syekh Muhammad Naqi>b – Syekh ‘Ali al-
Iri>dhi> – Syekh Ja’far S}a>diq – Syekh Muhammad al-Ba>qir - Sayyid ‘Ali> Zainal ‘Abidi>n –
Sayyid Imam al-H{usayn – Sayyidah Fat}imah al-Zahra> – Nabi Muhammad SAW.
Lihat: Ahmad Syatori, “RELASI MURSYID-MURID DALAM TRADISI TARIKAT
QADIRIYAH WA-NAQSYABANDIYAH: Studi Tasawuf Tentang Perilaku Sosial-Spiritual
Penganut Tarikat di Pondok Pesantren al-Salafi al-Fithrah Surabaya” (“Tesis”—UIN Sunan
Ampel, Surabaya, 2015), 22-23. Versi PDF yang penulis miliki, hanya menyebutkan 32 silsilah
nasab dari al-Ish}a>qi> sampai kepada Rasulullah SAW. Berbeda dengan sumber dari;
Muhammad Musyafa’, RELEVANSI NILAI-NILAI AL TARIQAH...,89-90. Yang penulis miliki.
Versi kedua ini, menyebutkan 38 silsilah nasab mulai dari al-Ish}a>qi> sampai kepada Rasulullah
SAW.
58
59
Sedangkan saudara seayah dari Nyai Khafi>fah Bint Imam Rusydi ada
empat, yaitu:
yang juga menjadi mursyid al-T{ari>qah penerus dari KH. M. Romli al-
sosok ulama besar kelak, tampak sejak al-Ish}a>qi> masih dalam kandungan,
santri Jatipurwo yang berasal dari bawean untuk berziarah ke maqbarah sunan
itu Sunan Ampel sedang pergi.133 Selain itu, al-Ish}a>qi> kecil juga dikenal
Tidak sedikit yang menuturkan bahwa budi pekerti dan akhlak al-
131
Sebagaimana perkataan dari Gus ‘Ud Sidoarjo yang mendoakan al-Ish}a>qi> ketika masih
berada dalam kandungan usia 7 bulan. Gus ‘Ud, nama lengkap beliau adalah KH. Ali Mas’ud,
tergolong waliyulla>h yang majd}u>b sejak masih kecil, beliau dilahirkan pada 1908 M, di kota
Mojokerto. Dan wafat pada 27 Rajab 1979 M. KH. Ali Mas’ud atau akrab dipangil Gus ‘ud juga
menceritakan perkataan –berdasrkan kasyaf- dari KH. Abd. Hamid Magelang kepada KH. M.
Uthman al-Ish}a>qi>: “anak itu kelak di masa depan akan meneruskan kemursyidan”. Lihat:
Ibid.,78.
132
Dapat melihat hal ghaib. Cari ket. Bab kasyaf.
133
Disampaikan oleh Ustad H. Soleh (salah satu santri al-Ish}a>qi>) ketika wawancara dengan
kepala Pondok al-Fithrah Ustad H. M. Musyafa’. Lihat: Muhammad Musyafa’, RELEVANSI
NILAI-NILAI AL TARIQAH...,79.
61
langka ditemukan di kurun waktu sekarang ini. 134 Di masa mudanya, al-
Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur, diantaranya adalah Pondok
Gresik hingga Sidoarjo. Disinilah sosok tidak biasa, serta keistimewaan al-
mahnet yang dapat menarik hati mayoritas dari anak-anak jalanan tersebut.135
konsep dakwah Wali Songo pada zaman dahulu, yang menekankan sentuhan
hikmah dan nasehat baik serta jauh dari sikap anarkisme dan kekerasan. Selain
itu juga, menjalin kedekatan emosional sehingga tercipta akulturasi sosial dan
membawa lampu tentu untuk menerangi ruang atau tempat yang gelap, maka
134
Disebutkan juga, bahwa al-Ish}a>qi> pernah bermimpi bertemu Rasulullah SAW, dan beri
sepotong roti. Kemudian al-Ish}a>qi> memakan sebagian roti tersebut, dan selebihnya diletakkan
di dapur. Benar saja ketika al-Ish}a>qi> bangun, sebagian roti yang berada di dapur masih tetap
ada. Disampaikan dan diceritakan oleh Ahmad Fauzi dari khodam al-Ish}a>qi> (Achmad)
Probolinggo. Lihat: Ibid.,80-81.
135
al-Ish}a>qi> juga dapat menyesuaikan kebiasaan dan hobi dengan anak jalanan, tak jarang al-
Ish}a>qi> juga ikut nongkrong bersama, bermain musik, jalan-jalan dan masih banyak kebiasaan
nyeleneh lainnya. Semata-mata untuk melancarkan misi menarik dan mengajak kepada jalan
kebenaran, denga model atau cara dakwah yang halus dan baik. Hingga tanpa disadari, sebenarnya
mereka telah menjadi bagian dari pendekatan al-Ish}a>qi> dalam menenamkan perubahan jiwa
dan mental tentang ilmu-ilmu h}ikmah. Lihat: Ahmad Syatori, “RELASI MURSYID-MURID
DALAM TRADISI TARIKAT QADIRIYAH WA-NAQSYABANDIYAH”...,23.
136
Ibid.,26.
62
di ruang atau tempat yang sudah terang benderang maka sia-sialah, karena
(jawa: kaum abangan) bukanlah sesuatu yang aneh, justru bersama mereka
adalah merupakan kesempatan yang sangat berharga, agar mereka dapat lebih
dekat dan mengerti kepada kebaikan. Dan jika menjauhinya, maka tentu jauh
pula sinar cahaya kebaikan pada mereka. Oleh karena itu, dalam beberapa
kondisi masing-masing.139 Dengan akhlak yang mulia dan terpuji, sikap kasih
pecintanya seiring dengan waktu, semakin banyak. Begitu pula pengikut yang
137
Mana>qib dapat dimakanai sebagai kegiatan keagamaan yang berisi pembacaan biografi para
ulama atau wali-wali Allah SWT, termasuk biografo orang-orang s}a>lih}, serta di dalamnya
(acara Mana>qib) juga terdpat syair-syair pujian dan do’a sebagai munajat kepada Allah SWT.
Lihat: Achmad Asro>ri al-Ish}a>qi>, al-Muntakhaba>t fi> Ma> Huwa al-Mana>qib, (Surabaya:
Al-Khidmah, t.t), 6.
138
Ahmad Syatori, “RELASI MURSYID-MURID DALAM TRADISI TARIKAT QADIRIYAH
WA-NAQSYABANDIYAH”...,27.
139
Ibid.,26.
63
hadir bersama-sama dalam Majelis zikir, Maulidur Rasul dan Manaqib. Jumlah
mereka ratusan ribu dan semakin tersebar luas diberbagai daerah, bahkan luar
negri.
Tentu, bukan perkara yang mudah untuk mengajak mereka terlebih lagi,
merubah sifat, tabi’at (karakter) seseorang, serta akidah yang sudah tertanam
dalam dan mengakar kuat dalam hati mereka.141 Pada mulanya, perkumpulan
Hal itu bukan tanpa alasan, akan tetapi karena jama’ah ini pengikutnya lebih
didominasi oleh kalangan anak-anak muda jalanan yang hobi dan kesukaannya
keluyuran diwaktu malam. Tentu nama atau istilah tersebut sesuai dengan
perilaku orong-orong yang menurut sebagian ahli bahasa adalah nama bagi
binatang melata yang kebiasaannya keluar diwaktu malam. Maka secara majaz,
kemudian nama itu diistilahkan bagi mereka yang memiliki persamaan sifat
ditetapkan dan diamalkan oleh para guru t}ariqah atau para ulama salaf al-
telah dibentuk visi dan misi secara formal (baca: terbukukan). Perlu dicatat
organisasi yang berbau partai politik, atau sebagai pendukung dan pembela
tatanan kegiatan dan unteraksi antar jamaah yang ada dalam lingkup al
“orang-orang yang telah di tunjuk, atau terpilih dan ditetapkan oleh rapat
al-Khidmah untuk memfasilitasi terselenggaranya kegiatan dan amaliyah
143
Pinisepuh adalah istilah yang dipakai bagi orang-orang yang dihormati bukan karena sudah tua
(jawa: sepuh) akan tetapi karena kemulyaan dan kehormatan yang ia miliki.
144
KH. Abdulla>h Siddiq sebagai narasumber dalam Seminar tentang Ke-Al Khidmahan Dan
Thoriqoh yang diadakan di Pendopo Ponpes al-Fithrah Surabaya (26/09/2016).
65
yang telah ditetapkan dan diamanahkan oleh guru Thoriqoh atau para
ulama salafus sholih, serta para sesepuh terdahulu.”145
Semasa hidup KH. Ahmad Asro>ri al-Isha>qi>, banyak sekali pelajaran
(‘ibrah), jasa dan kebaikan bagi setiap orang dan para pecintanya, khususnya
dalam hidup. Pada tahun 2009 M. tepatnya hari selasa tanggal 18 Agustus
istri dan enam anak. Lima anak dari istri pertama, dan satu anak dari istri yang
kedua.146
pendidikan ditingkat sekolah dasar (SD), bahkan itupun tidak sampai tamat
(lulus), hanya sampai tingkatan kelas tiga. Seperti pada umumnya, putra-putri
orang tuanya ke beberapa Pondok Pesantren untuk menuntut ilmu. Hal itu agar
menjadi bekal dan harapan kelak di masa yang akan datang. Kemudian juga
145
Kh. Achmad Asro>ri Al Ish}a>qi>, Pedoman Kepemimpinan Dan Kepengurusan Dalam
Kegiatan Dan Amalliyah Ath Thoriqoh Dan Al Khidmah (Surabaya: Jamaah Al Khidmah,2011),
54.
146
Ibid.,28.
147
Ibid.,29.
66
Musta’i>n Romli> Tami>mi> di tahun 1966 M.148 Setelah berjalan selama satu
diasuh oleh KH. Juwayni>. Selama tiga tahun ia menimba ilmu di Pondok
Ghaza>li. Meski dibilang cukup singkat, namun banyak sekali kitab-kitab yang
tidak pernah lama ketika belajar di Pondok Pesantren tertentu. Hal semacam itu
berkah.149 Masa menuntut ilmu yang paling lama bagi al-Ish}a>qi> adalah
diantaranya:
a. KH. Juwayni>, salah satu tokoh ulama pendiri dan pengasuh Pondok
ilmu pada KH. Muh}ammad Ma’s}um bin Ah}mad (Lasem) dan KH.
H./ 6 Juni 1975 M.151 al-Ish}a>qi> belajar kepada KH. Juwayni> dengan
atau sanad kitab Ih}ya>’ 'Ulu>m al-Di>n yang telah beliau pelajari, al-
Ish}a>qi> belajar dari KH>. Juwayni> bin Nu>h} dari gurunya KH.
Sayyid Muh}ammad bin Abu> Bakar al-Shi>li>, dan Sayyid ‘Umar bin
Ah}mad al-Ami>n, dari Muh}ammad bin Ah}mad bin ‘Isa> bin al-
151
Muhammad Musyafa’, RELEVANSI NILAI-NILAI AL TARIQAH...,91.
152
Ibid.,92.
68
al-Ish}a>qi> pelajari.153
Achmad Asrori al-Ish}a>qi> dari (KH. ‘Akyas) bin KH. Abdul Jamil
Abu> al-Fara>j ‘Abd al-Kha>liq bin Ah}mad bin ‘Abd al-Qa>dir bin
Bermula dari sifat, sikap dan kemampuan yang dibawanya sejak lahir,
bahwa sejak tahun 1975 al-Ish}a>qi> sebenarnya sudah diminta dan di bujuk
menghindar dengan cara mencari-cari suatu alasan. Salah satu alasan yang al-
Ish}a>qi> ungkapkan ialah karena masih ada beberapa saudaranya yang lebih
tua. Itulah sikap yang arif dan bijaksana bagi seorang yang memiliki sifat
tawa>du’ (rendah hati), sekaligus merupakan tanda kebesaran jiwa yang ada
WA-NAQSYABANDIYAH”...,30.
70
pada dirinya. Akan tetapi bukahlah sesuatu yang tidak pantas jika al-Ish}a>qi>
menerimanya, karena hal ini adalah ama>nah (kepercayaan) dari seorang guru
yang juga sekaligus sebagi orang tua. Sekalipun demikian, al-Ish}a>qi> tetap
senantiasa menjaga dan menghormati perasaan orang lain sebagai bagian dari
akhla>q al-kari>mah.158
Ish}a>qi> telah berguru dan menerima bai'ah, talqi>n dan tahki>m Tarekat al-
158
Cerita lengakap dan validnya, telah disampaikan langsung oleh al-Ish}a>qi> dalam sebuah
kesempatan pengajian bersama murid-murid tarekat dengan panjang lebar. Penulis sendiri
mempunyai rekaman tersebut. Akan tetapi sekelumit cerita dari pengangkatan al-Ish}a>qi>
sebagai mursyid juga dikutip oleh sebagian peneliti. Lihat: Ibid.,39.
71
Karkhi>, dari Ima>m Abu al-H{asan ‘Ali Rid}a>, dari Ima>m Mu>sa> al-
H{usayn bin 'Ali> bin Abi> T}a>lib, dari Ima>m 'Ali> bin Abi> T}alib dari
Rasulillah Muhammad SAW, dari Sayyidina> Jibril As. dari Allah SWT.159
عن.ضَرةُ الشَّْي ِخ اَمْح َ َد اَ ْسَرا ِرى اَِإْل ْس َحاقِ ِّي ْ َخ ِ ِف ب
اهلل َت َعاىَل ُ اَلْ َعا ِر
عن.ضَر ِة الشَّْي ِخ حُمَ َّم ْد عُثْ َما ْن بِ ْن نَ ِادى اَِإْل ْس َحاقِ ِّي
ْ َخ اهلل َت َعاىَل ِ اَلْعا ِر
ِ ِف ب
َ
ِ ضر ِة الشَّي ِخ اَيِب ِعص ِام الدِّي ِن حُم َّم ْد رملِى اَلت
عن.َّامْي ِمى ِ اَلْعا ِر
ِ ِف ب
َْ َ ْ َ ْ َ ْ َخ اهلل َت َعاىَل َ
عن.)اصا ِ ِ ْ َخ ِ اَلْعا ِر
ِ ِف ب
َ (ر َج َ ضَرة الشَّْي ِخ َخلْي ْل اهلل َت َعاىَل َ
عن.)(م ُد ْو َرا ِ ِ ضر ِة الشَّي ِخ حس ِ اَلْعا ِر
ِ ِف ب
َ ب اهلل ْ َ ْ َ ْ َخ اهلل َت َعاىَل َ
ِ لسمب ِ ِ اَلْعا ِر
ِ ِف ب
عن.اسي َ ْ َّ َيب اْ ضَر ِة الشَّْي ِخ اَمْح َ ْد َخط ْ َخ اهلل َت َعاىَل َ
عن.س الدِّيْن ِ ْضَر ِة الشَّْي ِخ مَش ْ َخ اهلل َت َعاىَل ِ اَلْعا ِر
ِ ِف ب
َ
ِ اَلْعا ِر
ِ ِف ب
عن.يخ ُمَر ْاد ْ ضَر ِة الشَّْي ِخ َش ْ َخ اهلل َت َعاىَل َ
عن.َّاح ِ ضَر ِة الشَّْي ِخ َعْب ِد الْ َفت ْ َخ اهلل َت َعاىَل ِ اَلْعا ِر
ِ ِف ب
َ
عن.ضَر ِة الشَّْي ِخ َك َم ِال الدِّيْن ْ َخ اهلل َت َعاىَل ِ اَلْعا ِر
ِ ِف ب
َ
عن.ضَر ِة الشَّْي ِخ عُثْ َما َن ْ َخ اهلل َت َعاىَل ِ اَلْعا ِر
ِ ِف ب
َ
159
Muhammad Musyafa’, RELEVANSI NILAI-NILAI AL TARIQAH...,90-91. Selain itu, al-
Ish}a>qi> juga menuangkan silsilah tersebut kedalam karyanya. Lihat: Achmad Asro>ri al-
Ish}a>qi, al-Muntakhaba>t fi> Ra>bit{ah al-Qolbiyyah wa S{ilah al-Ru>hiyyah, Cet. 3, Juz 4
(Surabaya: Al Wafa, 2016), 71-74.
72
عن.الص ِاد ِق َّ ضَر ِة الشَّْي ِخ َج ْع َف ِرْ اهلل َت َعاىَل َخ ِ ِف ب ِ اَلْعا ِر
َ
عن.ضَر ِة الشَّْي ِخ اَِم ْام حُمَ َّم ْد بَاقِْر ْ اهلل َت َعاىَل َخ ِ ِف ب ِ اَلْعا ِر
َ
عن. ضَر ِة الشَّْي ِخ َسيِّ ِدنَا ُح َسنْي ْ اهلل َت َعاىَل َخ ِ ِف ب ِ اَلْعا ِر
َ
عن.ُضَر ِة الشَّْي ِخ َسيِّ ِدنَا َعلِى َكَّر َم اهللُ َو ْج َهه ْ اهلل َت َعاىَل َخ ِ ِف ب ِ اَلْعا ِر
َ
ب الْعَالَ ِمنْي َ َو َر ُس < ْولِِه اِىَل ِ ض <ر ِة ال َّش <ْي ِخ َس <يِّ ِد الْمر َس <لِنْي َ و َحبِْي
ِّ ب َر َ ُْ
ِ ِ ِِ
َ ْ اَلْعَارف باهلل َتعَاىَل َخ
َأخَ َذ َع ْن َس< <يِّ ِدنَا ِجرْبِ يْ < َ<ل َعلَْي < ِ<ه.ص< <لَّى اهللُ َعلَْي < ِ<ه َو َس< <لَّ َم ٍ ِ ِ ِ
َ َكافَّة اخْلَْل < ِ<ق َأمْج َعنْي َ َس< <يِّدنَا حُمَ َّمد
. اب ُه َو اهللُ ُسْب َحانَهُ َوَت َعاىَل ِ َالرق ِّ اب َو ُم ْعتِ ِق
ِ ب اَأْلرب
َ ْ ِّ َأخ َذ َع ْن َر َ .الساَل ُم َّ
B. Karya Intelektual KH. Achmad Asro>ri al-Ish{a>qi>
Al-Ish}a>qi> termasuk salah satu tokoh ulama besar Indonesia, yang berasal
(kedudukan) yang ada pada dirinya sebagai guru murshid tarikat al-Qa>diriyah wa
tak terbantahkan dan tidak diragukan lagi, bahkan melebihi kapasitas pada
umumnya.160
Selain itu, al-Ish}a>qi> juga tergolong ulama yang sangat aktif dan
panjang dan berjilid-jilid). Sebagai ulama besar yang sangat berpengaruh pada
zamannya dan dikenang sepanjang masa, tentu dapat diketahui tidak hanya dari
kepiawaian dalam menyampaikan materi dakwah, tapi juga dari hasil karya
Ahmad Syatori, “RELASI MURSYID-MURID DALAM TRADISI TARIKAT QADIRIYAH
160
WA-NAQSYABANDIYAH”...,30.
74
tulisnya, sehingga karyanya bisa dibaca, ditelaah dan difahami oleh setiap orang
Tasbi>h{ wa al-H{a>jah.
10. Kitab Bahjah al-Wishah { fi> al-Nubdhah min Maulid Khoiri al-Bariyah Saw.
Khatmi.
muntakhaba>t
muntakhab yang mempunyai arti al-mukhta>r, yang terpilih (sesuatu yang telah
dipilah dan dipilih). Sehingga mayoritas isi dalam kitab al-muntakhaba>t adalah
SAW, maqa>lah para ulama (ahli tafsir, hadis bahkan para sufi). Untuk metode
hadis-hadis Rasulullah SAW, maqa>lah para ulama (ahli tafsir, hadis bahkan para
sufi) seperti pencerminan nama kitab. Tak jarang pula al-Ish}a>qi> memberikan
162
Muhammad Musyafa’, RELEVANSI NILAI-NILAI AL TARIQAH...,116.
76
dunia tasawuf, hal semacam itu dikatakan sebagai konsep tajalli> (manifestasi)
Allah SWT, sekaligus menjadi landasan ontologis eksistensi dari Tuhan (sebagai
hakikat kesejatian). Diantara data yang telah penulis kumpulkan dan dapat
Tuhan dalam jumlah yang tak terbatas dan tak terbilang, serta berbagai
mecam bentuk rupa dan wujud ciptaan. Sehingga ketika dikatakan, Allah
163
Said Aqil Siraj, Allah dan Alam Semesta: Perspektif Tasawuf Falsafi (Jakarta: Yayasan Said
Aqil Siraj, 2021), 317. Perlu digaris bawahi juga “dalam purwarupa makhluk” bukan berarti Allah
bersemayam seperti halnya sesuatu yang menempati ruang, sebagaimana jangkauan akal manusia.
77
ِ لَيس فِي< ِ<ه َغي<ر:ه َذا الْوجود وما فِي ِه ِمن الْغَ ِ – َأي
ِ َفوجُود الْموجُود.- اهلل َتعَاىَل
ات َ ْ َْ ُ ْ ُ ُْ ْ َ ْ ْ َ ُ ُ ْ ُ َ َ ْ َ رْي
<.......ت الظََّو ِاهَر ِ ِِ ِ
ُ ُ َولَك ْن ََأمَرنَا َش ْر ًعا َأ ْن َنثْب. َداخ ٌل يِف ُو ُج ْوده َت َعاىَل
“setiap yang wujud (eksis) tidak lain adalah Allah SWT (pada
hakikatnya setiap sesuatu selain Allah SWT adalah tidak wujud), maka
wujud dari segala ciptaan masuk ke dalam wujudnya Allah SWT. akan
tetapi Allah SWT memerintahkan kepada kita (makhluk) untuk
menetapi (menjalankan) ketetapan syari’at secara z}ahir.164
a. Wuju>d al-haqi>qi>
b. Wuju>d al-Majazi>
rupa dan seluruh kenampakan selain Allah SWT.167 akan tetapi, wuju>d
164
Achmad Asrori al-Ish}a>qi>, al-Muntakhaba>t fi> Ra>bit{ah al-Qolbiyyah wa S{ilah al-
Ru>hiyyah, Juz 1, Cet. 3, (Surabaya: Al Wafa, 2016), 179-180.
165
Ibid.,177.
166
Said Aqil Siraj, Allah dan Alam Semesta: Perspektif Tasawuf Falsafi...,307.
167
Ibid.,179.
78
(musha>hadah) yang dialami oleh manusia terhadap Allah SWT pada setiap
padanya adalah Allah SWT. Posisi semacam itu terjadi ketika manusia telah
makhluk.169
menjadi tiga:170
a. Al-Tajalli> al-Fi’li>
168
Said Aqil Siraj, Allah dan Alam Semesta: Perspektif Tasawuf Falsafi (Jakarta: Yayasan Said
Aqil Siraj, 2021), 275-276.
169
Achmad Asrori al-Ish}a>qi>, al-Muntakhaba>t fi> Ra>bit{ah al-Qolbiyyah wa S{ilah al-
Ru>hiyyah, Juz 5...,205.
170
Ibid.207.
79
hamba harus melalui pintu fana>’ (sirna atau hilang untuk menyaksikan
perbuatannya sendiri).
seorang hamba melalui fana>’ terhadap nama, sifat dan status dirinya
sebagai pintu tajalli> Allah SWT, juga disinggung oleh al-Qushayri> dalam
tersebut kedalam dua bab yang berbeda. Akan tetapi sesacara substansi kedua
tokoh tersebut memiliki maksud (inti) argumentasi yang mirip atau identik. 171
Kesan penulis sendiri akan cenderung lebih mudah untuk memahami apa
171
Pembahasan al-Ish}a>qi> mengenai tajalli> dan fana>’ terdapat dalam bab hakikat-hakikat
tajalli>. Sedangkan apa yang disampaikan oleh al-Ish}a>qi> dapat dijumpai dalam kitab al-
Qushayri> pada bab al-satr wa al-tajalli> dan al-fana>’ wa al-baqa>’. Lihat: Abu> al-Qasi>m
‘Abdul Kari>m bin Hawa>zi>n, al-Risa>lah al-Qushayriyyah fi ‘Ilmi al-Tas{awwu>f, Cet. 1
(Jakarta: Da>r al-Kutu>b al-Isla>miyyah, 2010), 105 dan 113.
80
posisi dirinya atas umat (masyarakat) yang menjadi objek bimbingan dan
penuh dengan esensi makna (baca: mendalam). Sehingga benar saja ketika
ma’rifatulla>h.173
Asro>ri al-Ish{a>qi>
akan tetapi memiliki konotasi makna yang sama yaitu lebih tinggi, unggul,
175
Fitnah dalam perspektif al-Ish}a>qi> diartikan setiap sesuatu yang dapat menimbulkan
problematika. Jangankan perbuatan buruk, perbuatan baik yang dapat menimbulkan kontra
(problem) seperti penerapan amar ma’ru>f nahi> munkar yang dapat memicu pertikaian, maka
hal itu termasuk kategori fitnah dalam pandangan al-Ish}a>qi>.
176
Ainul yaqin, “Koresponensi Manusia dan Kosmos: Studi Komparatif Pemikiran Ibnu ‘Arabi>
dan KH. Achmad Asro>ri al-Ish}a>qi>”...,11. Selain itu, gambaran tasawuf-falsafi al-Ish}a>qi>,
tergambar pada kitab al-Muntakhaba>t jilid 5 yang menguraikan proses tajalli> Allah SWT secara
vertikal. Dilihat dari sudut pandang manusia yang mendapatkan tajalli> tersebut.
177
Tesra Murnita, “Diskursus Transenden dan Imanen Tuhan Menurut Ibnu ‘Arabi> (1165-1240
M)” (“Skripsi”--UIN SUSKA, Riau, 2020), 13.
82
lawan kata dari sebuah istilah, yaitu imanen. Imanen merupakan sebuah
istilah yang berasal dari bahasa Latin immanere yang berarti (tinggal “di
teologi, imanen berarti sebuah paham tentang Tuhan yang berada di dalam
struktur alam semesta dan turut serta mengambil bagian dalam proses
makhluknya “dekat”.178
Kedua tema sentral ini, menjadi aspek yang harus dipandang secara
yang pertama yakni tanzih (transenden), atau tashbi>h (imanen) saja. Imbas
nantinya akan terkesan bahwa Allah SWT adalah eksistensi yang beridiri di
sana (abstrak) yang tak tergapai dan nihil dari sifat-sifat, deskripsi dan relasi
dengan apapun. Perspektif ini justru menjadi pisau yang menusuk dirinya
untuk mengatur alam semesta.179 Sedangkan pada bab dua, penulis telah
menggaris bawahi bahwa al-wuju>d (baca: eksistensi Tuhan) bagi para ‘a>rif
Allah SWT yang Esa, dan ke-Esaan mempunyai beberapa konotasi makna
dan sudut pandang, sehingga dapat menjadi semacam klasifikasi bagi kata
Esa itu sendiri. Sisi pertama Esa yang mewakili pemikiran transenden, dan
179
Said Aqil Siraj, Allah dan Alam Semesta: Perspektif Tasawuf Falsafi (Jakarta: Yayasan Said
Aqil Siraj, 2021), 313.
180
Toshihiko Izutsu, SUFISME...,xxvii.
181
Said Aqil Siraj, Allah dan Alam Semesta: Perspektif Tasawuf Falsafi...,313.
84
1. Pertama, Allah SWT disebut sebagai yang Esa yang tidak terbanding
dan tidak mampu dijangkau oleh manusia, Allah SWT adalah Esa
182
Achmad Asrori al-Ish}a>qi>, al-Muntakhaba>t fi> Ra>bit{ah al-Qolbiyyah wa S{ilah al-
Ru>hiyyah, Juz 1...,177.
183
Padanan yang dimaksud yakni al-wa>h}id sebagai sifat Tuhan atau hukum yang disematkan
bagi Tuhan. Lihat: Shamsuddi>n Muhammad bin H{amzah bin Muhammad (al-Fana>ri)>,
Mifta>h} Ghayb al-Jam’ wa al-Wuju>d li S{adruddi>n al-Qu>nu>niy wa Syarh}ihi Mis}bah} al-
Uns Bayna al-Ma’qu>l wa al-Masyhu>d lil Fana>ri>...,224.
184
Achmad Asrori al-Ish}a>qi>, al-Muntakhaba>t fi> Ra>bit{ah al-Qolbiyyah wa S{ilah al-
Ru>hiyyah, Juz 1...,177.
185
Ibid.
85
yang telah dibawakan oleh syekh Ibnu ‘Arabi> yang dikenal sebagai tokoh
telah penulis sampaikan pada bab dua dalam tulisan ini. Akan tetapi bahasa
yang digunakan oleh Ibnu ‘Arabi> kerap kali memaksa pembaca untuk
murid yang tingkat intelektualnya masih awam. Dalam hal ini, al-Ish}a>qi>
Banyak artikulasi dan konsep wuju>diyah yang telah diungkapkan oleh para
peneliti bahkan dijelaskan secara panjang lebar oleh tokoh-tokoh sufi, walaupun
demikian, terdapat pula banyak alasan untuk merujuk artikulasi dan kosep
wuju>diyah pada figur KH. Achmad Asrori al-Ish}a>qi>. Salah satu alasan
tersebut, karena al-Ish}a>qi> merupakan salah satu tokoh besar dalam tasawuf
(pada masanya), selain itu al-Ish}a>qi> memiliki posisi sentral sebagai seorang
guru (besar) atau murshi>d yang memegang tongkat estafet ke-t}ariqah-an al-
186
Jalan moderat menjadi salah satu solusi bagi al-Ish}a>qi> dalam mengarungi kehidupan, al-
Ish}a>qi> dalam sebuah kesempatan (pengajian) juga menganjurkan bagi kalangan muridnya
untuk menerapkan sikap moderat. Kurang lebih apa yang disampaikan al-Ish}a>qi> mengenai
sikap moderat sebagai berikut-dalam bahasa jawa: “Yo kepigino, yo gak kepingino”, akan tetapi
penulis lebih cenderung mengkategorikan dawuh tersebut kepada sikap moderat dalam ah}wa>l
(perilaku) hati, karena al-Ish}a>qi> sedang membahas mengenai sifat-sifat manusia. Kemudian,
sikap moderat al-Ish}a>qi> juga tertuang dalam kitab al-muntakhaba>t Jilid 3 dengan judul “al-
Malh}az}ah al-S}a>fiyah al–Wa>fiyah”, dengan mengutip ungkapan dari Syekh al-Isla>m
Zakariya> al-Ansa>ri>. Terutama ketika sikap dalam menghadapi ungkapan para ulama, sehingga
moderasi semacam ini lebih cenderung kepada lingkup akademisi (keilmuan), dan dapat memicu
keluarnya argumen, komentar dan justifikasi yang didasari oleh pengetahuan yang komperhensif.
Lihat: Achmad Asrori al-Ish}a>qi>, al-Muntakhaba>t fi> Ra>bit{ah al-Qolbiyyah wa S{ilah al-
Ru>hiyyah, Juz 3, Cet. 3, (Surabaya: Al Wafa, 2016), 41.
86
87
pendekatan dan metode analisa yang akan digunakan untuk menganalisa dan
mengangkat Metode analisa induktif dan conten analysis, yakni metode yang
dilakukan dengan menyimpulkan data-data yang telah terkumpul seperti data yang
banyak diambil dari bab tiga, kemudian Secara sederhana, bentuk penerapan
teknik content analysis adalah fokus dalam mengambil berbagai macam data
relevan dengan objek penelitian, kemudian merangkum unit data yang memiliki
gambaran konsep yang dipakai oleh KH. Achmad Asro>ri al-Ish}a>qi> dalam
menjelaskan wuju>diyyah.
Perlu diketahui juga, dalam bab dua penulis telah memberikan tanda kurung
itu sendiri –kajian utamanya mengenai konsep adikodrati manusia- 187, sedangkan
mereka tidak mengakui eksistensi tuhan (ateis). Tidak pula disandarkan pada
digali dari pengalaman mistik serta diperoleh setelah Allah SWT bergeser-
dua juga penulis cantumkan bahwa, wujud yang bahkan tidak pantas menyandang
serta tidak mungkin dicapai oleh apaun (baca: keheningan) selama Ia tidak
begitusaja dengan tetap menyandang predikat tanda tanya dan misteri besar,
objek semacam itu tidak dapat diraba dan dijangkau oleh akal, terlebih untuk
(transenden).188
kutip:
188
Serupa dengan ungkapan dari syekh ‘Ali> Jum’ah yang menjelaskan dalam kitab Aqi>dah Ahli
al-Sunnah wa al-Jama>’ah pada bab akidah ketauhidan dan wujud sang pencipta (wuju>d al-
kha>liq). Lihat: ‘Ali> Jum’ah, Aqi>dah Ahli al-Sunnah wa al-Jama>’ah, Cet.5 (Qahirah: Da>r al-
Muqat}t}im li al-Nashr wa al-Tawzi>’, 2011), 12 dan 13-14.
89
ِ لَيس فِي< ِ<ه َغي<ر:ه َذا الْوجود وما فِي ِه ِمن الْغَ ِ – َأي
ِ َفوجُود الْموجُود.- اهلل َتعَاىَل
ات َ ْ َْ ُ ْ ُ ُْ ْ َ ْ ْ َ ُ ُ ْ ُ َ َ ْ َ رْي
<.......ت الظََّو ِاهَر ِ ِِ ِ
ُ ُ َولَك ْن ََأمَرنَا َش ْر ًعا َأ ْن َنثْب. َداخ ٌل يِف ُو ُج ْوده َت َعاىَل
“setiap yang wujud (eksis) tidak lain adalah Allah SWT (pada
hakikatnya setiap sesuatu selain Allah SWT adalah tidak wujud), maka
wujud dari segala ciptaan masuk ke dalam wujudnya Allah SWT. akan
tetapi Allah SWT memerintahkan kepada kita (makhluk) untuk
menetapi (menjalankan) ketetapan syari’at secara z}ahir.189
yakni:
a. Pertama, Allah SWT oleh al-Ish}a>qi> disebut sebagai yang Esa yang
tidak terbanding dan tidak mampu dijangkau oleh manusia, Allah SWT
sisi dzat-Nya. Pada dimensi ini seolah manusia tidak akan pernah
189
Achmad Asrori al-Ish}a>qi>, al-Muntakhaba>t fi> Ra>bit{ah al-Qolbiyyah wa S{ilah al-
Ru>hiyyah, Juz 1..., 179-180.
190
Achmad Asrori al-Ish}a>qi>, al-Muntakhaba>t fi> Ra>bit{ah al-Qolbiyyah wa S{ilah al-
Ru>hiyyah, Juz 1...,177.
191
Padanan yang dimaksud yakni al-wa>h}id sebagai sifat Tuhan atau hukum yang disematkan
bagi Tuhan. Lihat: Shamsuddi>n Muhammad bin H{amzah bin Muhammad (al-Fana>ri)>,
Mifta>h} Ghayb al-Jam’ wa al-Wuju>d li S{adruddi>n al-Qu>nu>niy wa Syarh}ihi Mis}bah} al-
Uns Bayna al-Ma’qu>l wa al-Masyhu>d lil Fana>ri>...,224.
192
Muhammad Rahmatullah, “Dualisme dan Makrifat: Studi Tentang Pemikiran Sufistik KH.
Achmad Asrori al-Ish}a>qi>”...,73.
90
keluhuran Allah SWT tanpa bisa dicapai atau diraih oleh apapun, serta
yang lain.193
telah mendapatkan titik terang dengan munculnya bagian ke dua dari keesaan
Allah SWT. Merujuk pada salah satu kitab Ibnu ‘Arabi> yang menjalsakan
ِ َأن اِإْل نْسا َن الَّ ِذي هو َأ ْكمل النَّس ِخ و َأمَتُّ النَّ ْش
َأت لَهُ خَمْل ُْو ٌق َعلَى الْ َو ْح َدانِيَّ ِة اَل َ ْ ُ َ َُ َ َّ َو ْاعلَ ُم ْوا
ِ فَالْو,َأِلن اَأْلح ِديَّةَ هَل ا الغَىِن علَى اِإْل طْاَل ِق
ِ اح ُد اَل ي ْق<وي و اَل ي ِِ
ص< ُّح َه َذا َ َ ََ َ َ َ َ َّ ,اَأْلحديَّة َ َعلَى
ِ ِ
َ اَأْلحديَِّة فَكَ َذل
ك الْ َوا ِح ُد َّ َوا ِح ٌد فَالْ َو ْح َدانِيَّةُ اَل َت ْ<ق َ<وي ق-ُو
َ ُو َة
ِ ِإْل
َ الْ َم ْعىَن َعلَى ا نْ َس<ان َوه
ات اهْلَِويَِّة َوالْ َو ْح َدانِيَّ ِة اِ ْس< < < ٌم هَلَا مَسَْت َها هِبَا
ِ َأِلن اَأْلح ِديَّةَ ذَاتِيَّةٌ لِل < < َّ<ذ ِ
َ َّ ,َاَأْلحديَّة
َ ض
ِ
ُ اَل يُنَاه
195
)(اىل ان قال....ُالتَثْنِيَّة
Dari ungkapan tersebut, benang merah yang dapat diambil bahwa Ibnu
dalam pandangan Ibnu ‘Arabi> dapat masuk dalam dimensi Wah}dah al-
manusia terhadap realitas tersebut, manusia harus melalui setiap tahapan dan
menyebut bahwa realitas sejati hanyalah Allah SWT, terdapat ungkapan bagi
195
Muhyiddi>n Muhammad ‘Ali> Muhammad (Ibnu ‘Arabi>), Rasa’il Ibnu ‘Arabi> (Beirut: Dar
al-Kutub al-Ilmiyah, 2010), 37-38.
196
Ahmad Faiq Nur, “Karakteristik Ekspresi”...,28.
197
Ibid.,29.
92
dan imanen yang terimplikasi (tertuang) dalam ungkapan al-wa>h}id dan al-
konsepnya lebih mudah untuk dicerna oleh akal manusia (awam). Seperti
dan ahli hakikat bersepakat bahwa Ibnu ‘Arabi> adalah ulama Allah SWT,
dan barisan penentang Ibnu ‘Arabi> hanya gagal dalam memahami ungkapan,
dilandaskan oleh sesuatu yang langsung disaksikan oleh mereka 200 tak cukup
198
Ainul yaqin, “Koresponensi Manusia dan Kosmos: Studi Komparatif Pemikiran Ibnu ‘Arabi>
dan KH. Achmad Asrori al-Ish}a>qi>”...,107.
199
Achmad Asrori al-Ish}a>qi>, al-Muntakhaba>t fi> Ra>bit{ah al-Qolbiyyah wa S{ilah al-
Ru>hiyyah, Juz 3...,42-43.
200
Dalam tasawuf penyaksian yang dialami oleh tokoh sufi dikenal sebagai Musha>hadah.
Penyaksian terhadap dzat Allah SWT melalui basirah yang terang. Lihat: Abu> al-Qasi>m ‘Abdul
Kari>m bin Hawa>zi>n, al-Risa>lah al-Qushayriyyah...,113.
93
dari apa yang dipercayai (di imani) olehnya.201 Sehingga sah saja, jika akidah
mereka banyak dianggap sesat dengan ungkapan yang keluar dari lisan
sebaginya.202
tipologi tasawuf
tersendiri dan sudut pandang yang berbeda, akan akan tetapi dengan tujuan
yang sama, yakni untuk mendekatkan diri, mengenal dan mengetahui hakikat
tasawuf tidak hanya dipahami dan dikaji dalam satu sisi, melainkan banyak
201
Achmad Asrori al-Ish}a>qi>, al-Muntakhaba>t fi> Ra>bit{ah al-Qolbiyyah wa S{ilah al-
Ru>hiyyah, Juz 1, Cet. 3...,40.
202
Beberapa tokoh sufi tersebut yang memang dikatakan identik dengan pemikiran al-Ish}a>qi>,
bahkan tak jarang ia mengutip pendapat dari tokoh-tokoh tersebut.
94
menitik beratkan pada aspek ruhaniah, akhlak, akal, rasa (dzauq), amaliah,
hamba yang benar, yang dekat dengan Tuhan dan menjadi hamba yang baik,
inilah yang membuat tasawuf kaya, yakni kaya akan model (desain) yang
akhirnya membuat tasawuf ini ilmu yang unik. Sehingga, layak untuk terus
SWT, dengan dilandasi rasa inkisa>r al-qalb (lemah, pecahnya hati) sebagai
pada kondisi semacam ini, ia sangat kental dengan dimensi tasawuf amali.
Amaliyahnya begitu melekat dan mewarnai setiap sudut dalam sosok al-
Ish}a>qi>.
akan tetapi dalam kitab tersebut juga menelisik pembahasan seputar teologi
95
yang berbau pamikiran filsafat. Oleh karena itu, beberapa tokoh peneliti
tersebut.
Selain itu, al-Ish}a>qi> juga dikenal sebagai sosok yang santun serta
(duplikat) dari akhlak Rasulullah SAW. Dari sudut pandang ini, al-Ish}a>qi>
Sehingga dengan data yang telah penulis kumpulkan dan analisa, dapat
(terhimpun) ke tiga tipologi tasawuf yang ada dalam sosok dirinya, tanpa ada
dikotomisasi antara satu bagian-sisi dengan bagian yang lain –baik akhlak,
dalam wajah tasawuf, dipandang hanya sebatas kajian akademik, dan tidak
secara praktis.205
203
Sufi yang mempunyai pemikiran terhadap kajian-kajian teologi. Diantara peneliti yang
menjastis al-Ish}a>qi> sebagai tokoh sufi-filsuf adalah Abdul Qadir Riyadi dalam bukunya serta
Muhammad Rahmatullah dalam tesisnya.
204
H. M. Amin Syukur, Intelektualisme Tasawuf (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014), 44.
Disarikan juga dari pemikiran al-Ish}a>qi> dalam kitabnya. Lihat: Achmad Asrori al-Ish}a>qi>,
al-Muntakhaba>t fi> Ra>bit{ah al-Qalbiyyah wa S{ilah al-Ru>hiyyah, Juz 3...,29.
205
Muhammad Musyafa’, RELEVANSI NILAI-NILAI AL TARIQAH...,187. (Print Out)
96
wujud atau eksistensi (baca: realitas) Tuhan sebagai dzat yang maha Esa, serta
mengutip pendapat dari syekh al-Ima>m al-Rabba>ni> bahwa setiap sesuatu yang
sudah dan akan ada dalam alam ini berkaitan dengan alam amri dan alam khalqi.
penciptaan yang berkaitan pula dengan perintah Allah SWT (kun) yang
wilayahnya meliputi setiap yang berada di atas ‘arsh, sedangkan alam khalqi
dipakai sebagai sebuah istilah bagi setiap yang tercipta tanpa perintah Allah SWT
(kun) yang wilayahnya berada di bawah ‘arsh sampai pada lapisan bumi paling
bawah.206
Dalam pandangan al-Ish}a>qi> keduanya seolah memiliki posisi seperti dua mata
uang yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain. Fondasi inilah
SWT, yakni hakikat merupakan tunggal dan jamak sekaligus, yang dhahir-formal
206
Achmad Asrori, Al-Nuqt}ah fi> Tah}qi>q al-Ra>bit}ah (Surabaya: al-Khidmah, 2010), 34-35.
207
Imenen (tashbih) yang dimaksud dalam pembahasan ini bukan bermakna Allah Serupa dengan
makhluk, akan tetapi lebih mengarah kepada Allah SWT merupakan sumber wujud, dari segala
macam wujud kenampakan.
208
Akan tetapi pandangan al-Ish}a>qi> ini, tidak dapat diartikan secara tekstualis yang tergambar
dalam analisa angan atau digambarkan secara dhahir. Karena konsekuensinya adalah kafir dan
zindiq.
97
Allah SWT (dzat-Nya), karena dalam pandangan al-Ish}a>qi> hal itu tidak
kehendak Allah SWT mempunyai korelasi “ta’alluq” dengan penciptaan nu>r al-
Uraian di atas, secara tidak langsung menegaskan bahwa pada satu sisi
dimensi, tidak ada sesuatu yang wujud selain wujud dari Allah SWT semata,
sementara pada dimensi yang lain, terdapat wujud semu selain Allah SWT, yaitu
abadi. Inilah yang oleh KH. Achmad Asrori al-Ish}a>qi disebut dengan Wuju>d
al-Maja>zi>.211
Ish}a>qi>
ilmu yang paling meyakinkan, karena para sufi autentik ini telah memiliki
(the multiplicity of phenomena) dalam konteks realita yang tunggal dalam konteks
kewujudan yang pertikuler maupun yang plural. Oleh karena itu, mereka
mengetahui level-level kewujudan itu serta dengan ilmu yang sejati selalu
bersikap adil, dan dapat memposisikan diri dan memperlakukan apa yang diamati
faham bahwa Allah SWT adalah tunggal “mono”. Dua sekte kelompok yang
bahwa Allah SWT menyatu dengan makhluk, tidak ada yang wujud kecuali
Allah SWT, segala sesuatu adalah Dia, dan Dia adalah segala sesuatu
tersebut. Akan tetapi perkataan semacam itu muncul dari lisan orang yang
2. Kelompok kedua
wujud mutlak yakni wujud yang qadi>m dan azali. Dan selain wujud Allah
SWT adalam maja>z (semu), yang diwujudkan dan ditetapkan oleh Allah
Semua yang tampak kepada para sufi yang autentik ini adalah ta‘ayyun dan
tajalli> dari Sang Wa>jib al-Wuju>d Allah melalui jalan spiritual, demikian
al-haqq” adalah sirnanya segala sesuatu (selain Allah SWT), dengan memandang
214
Ibid.,226.
215
Ibid.
100
ke-Esaan-Nya.216 Allah SWT adalah yang hakiki (The Reality), sementara tataran
ira>dah-Nya, yang tidak memiliki wujud tetap, bukan pula sebuah substansi yang
distingtif. Inilah yang sebenarnya disebut dengan wah}dah al-wuju>d oleh al-
Ish}a>qi>, yang terus mensinergikan antara ruhani dan jasmani.217 Sehingga dapat
dikatan al-Ish}a>qi> memiliki lokus bahasa yang simple, jauh dari kontradiksi
dan tidak berpelik-pelik, serta mempunyai ajaran yang netral dan tidak mengarah
216
Achmad Asro>ri al-Ish}a>qi>, al-Muntakhaba>t fi> Ra>bit{ah al-Qalbiyyah wa S{ilah al-
Ru>hiyyah, Juz 5...,223.
217
manusia tercipta atas dua alam, yaitu alam rohani (alam yang kasat mata) dan jasmani (alam
yang kasyaf mata). Menurutnya, hakikat manusia adalah rohani yang bersemi dan bersemayam di
dalam jasad yang kasyaf mata. Dalam alam rohani tersebut terdapat tiga cahaya (nur) yaitu, nur
rabbaniyah, nur lahutiyah dan nur jabarutiyah, kemudian alam tersebut terdinding, tertutup dan
terhalang oleh sifat basyariyah (sifat kemanusiaan). Lihat: Achmad Asrori al-Ish}a>qi>, al-
Muntakhaba>t fi> Ra>bit{ah al-Qalbiyyah wa S{ilah al-Ru>hiyyah, Juz 1...,213.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
dikaji melalui objek kajian Wuju>diyyah dan tasawufnya secara umum, dapat
universal meliputi:
101
102
uang yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain. Fondasi inilah
Allah SWT, yakni hakikat merupakan tunggal dan jamak sekaligus, yang
Allah SWT, yang diiberatkan al-nu>r bukan berarti Allah SWT menyandang
B. Saran
1. Al-Ish}a>qi> adalah tokoh sufi yang agung dan terkenal. Sehingga, wawasan
milenia ini yang belum begitu banyak penelitian yang mengupas tentang
pemikirannya.
dari penelitian yang akan dijumpai oleh para pembaca. Sehingga sebelumnya,
guru mereka sendiri di mata publik. Terutama, bagi penulis penelitian ini
4. Lentaran penelitian ini hanya mengupas objek kajian seputar teologi, dan
fokus pada kajian tersebut. Maka mayoritas pembacaan penulis hanya pada
jilid 1, 3, dan 5. Bahkan pada bab-bab tertentu, sehingga objek dan kajian
pada jilid dan bab lain masih terbuka secara lebar untuk dikaji dan diteliti.
104
DAFTAR PUSTAKA
‘Abba>s (al), Abi> Taqiyuddi>n Ah}mad bin ‘Abdul H{ali>m (Ibnu Taymiyah).
Dar’u Taa>rud{ al-‘Aqlu wa al-Naqlu, Cet. 7, Juz 8. Madi>nah: t.p, 1991.
Abu> ‘Abba>s (al), Ah}mad bin Muh}ammad bin Mahdi> bin ‘Aji>bah. al-Bah{r
al-Madi>d fi> Tafsi>r al-Qur’a>n al-Maji>d, Juz 5. Beirut: Da>r al-
Kutu>b al-‘Ilmiyyah, 2002.
Badawi> (al), ‘Abdur Rahman, Shat}ah}a>t al-S}ufiyyah. Juz 1, Beirut: Dar al-
Qalam, t.t.
Fuadi, Muhammad Robith. “Memahami Tasawuf Ibnu ‘Arabi> dan Ibnu al-Fad}l:
Konsep al-H{ubb Illa>hi, Wah}dah al-Wuju>d, Wah}dah al-Shuhu>d,
Wah}dah al-Adya>n”. Ulul Albab, No.2, Vol.14, 2013.
Gha>zi> (al), Ahmad bin ‘Abdul Kari>m. al-Jaddu al-H{asi>s fi> Baya>ni Ma
Laysa Bil-H{adi>th. t.tp: Da>r Ibnu H{azm, t.t.
H{usayni (al), Abu> al-Baqa>’. Kulliya>t Abi> al-Baqa>’. t.tp: t.p, t.t.
106
Ibnu Musta{>fa>, Ismai>l Haqqi>. Tafsi>r Ru>h{ al-Baya>n. Juz 1. t.tp: Da>r
Ih{ya’ al-Tura>th al-‘Arabi>, t.t.
Jamaris, Edward dan Prijanto, Saksono. Hamzah Fansu>ri> dan Nuruddi>n al-
Ra>niri>. Jakarta: Booklet Budaya, 1995/1996.
Khaja Khan, Khan Sahb. Tasawuf: Apa dan Bagaimana, terjemahan Achmad
Nashr Budiman. Jakarta: PT Grafindo Persada, 1995.
Labib, Muhsin. Mengurai Tasawuf ‘Irfan dan Kebatinan. Jakarta: Lentera, 2004.
Moleong, Lexy J.. Metodologi Penelitian Kualitatif, cet. 27. Bandung: PT.
Remaja Rosda Karya, 2010.
Muniron. Ittihad & Hulul Dalam Pandangan Al-Ghazali. Cet.1. Jember: STAIN
Jember Press, 2013.
Murnita, Tesra. “Diskursus Transenden dan Imanen Tuhan Menurut Ibnu ‘Arabi>
(1165-1240 M)”. “Skripsi”--UIN SUSKA, Riau, 2020.
Siregar, A. Rivay. Tasawuf Dari Sufisme Klasik ke Neo Sufisme. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 1999.
Taufikin, Filsafat Etika Tasawuf Fana’, Baqa’ dan Ittihad Abu Yazid al-Bustami.
Esoterik: Jurnal Akhlak dan Tasawuf.
Zuhri, Musatafa, Kunci Memahami Ilmu tasawuf. Surabaya: Bina Ilmu, 1985.
www.almaany.com
Http://.id.m.wikipedia.org
Http://Ejournal.Radenintan.Ac.Id/Index.Php/Aladyan
Http://jurnal.radenfatah.ac.id/index.php/intizar
LAMPIRAN