Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH

TEKNOLOGI SARANA DAN PRASARANA RUMAH SAKIT

KONSEP BANGUNAN RUMAH SAKIT TAHAN GEMPA DI INDONESIA

DOSEN PENGAMPU: Safari Hasan, S.IP., M.MRS

DISUSUN OLEH:

Nuriyana Devi 10821017

PRODI S1 ADMINISTRASI RUMAH SAKIT

FAKULTAS TEKNOLOGI MANAJEMEN DAN KESEHATAN

INSTITUT ILMU KESEHATAN BHAKTI WIYATA KEDIRI


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempeng tektonik utama
dunia, yaitu Lempeng Eurasia, Lempeng Indo Australia, dan Lempeng
Pasifik. Ketiga lempeng ini bergerak atau bergeser hingga menumbuk,
menujam, dan terjun dari satu lempeng dengan lempeng lain. Kondisi
bergeraknya lempeng tersebut akan memberikan pengaruh terhadap
permukaan bumi. Pergerakan tersebut yang dinamakan gempa bumi.
Gempa yang dirasakan oleh manusia dipermukaan bumi tergantung dari
jarak titik gempa terhadap manusia. Besar pergerakan akan
mempengaruhi kemampuan bangunan di permukaan bumi. Banyak
dampak berupa kerugian yang dialami oleh masyarakat akibat dari
kejadian gempa bumi seperti harta benda, infrastruktur, bangunan
gedung, dan juga banyak korban jiwa. Bencana gempa bumi tidak dapat
dihindari tapi harus siap untuk dihadapi dengan baik, seperti kesiapan
masyarakat dalam menghadapi bencana dan bangunan gedung tahan
gempa bumi. Getaran akibat dari gempa bumi menguji kinerja seluruh
elemen bangunan gedung, yaitu elemen struktural bangunan dan elemen
nonstruktural. Kerusakan pada bangunan gedung terjadi jika getaran
(gaya luar) gempa bumi melampaui beban maksimum yang dapat
direspon oleh kekakuan bangunan.

Ketika sebuah bencana menimpa sebuah komunitas atau


masyarakat, semua infrastruktur ekonomi, politik, dan budaya terancam di
dalam komunitas atau masyarakat itu. Semua peralatan dan fasilitas yang
tersedia di masyarakat harus diberdayakan secara maksimal untuk
merespons bencana (Heidaranlu, 2017). Salah satu bangunan yang
harus tahan terhadap gempa adalah bangunan gedung rumah sakit.
Kesiapsiagaan bangunan gedung rumah sakit penting bagi
keberlangsungan kehidupan masyarakat pada masa bencana. Untuk itu
rumah sakit harus memiliki aspek fisik tahan gempa baik elemen
struktural dan elemen non struktural. Elemen non struktural termasuk

1
komponen arsitektural. Salah satu aspek fisik bangunan gedung adalah
komponen arsitektural, yang lebih pada penentuan sistem struktur yang
sesuai dengan bentuk dan fungsi bangunan serta kaitannya dengan
sistem lain dalam bangunan (Idham, 2013). Selain itu, ketahanan
komponen arsitektural juga menentukan kemudahan akses seperti akses
keluar dari bangunan. Kekuatan bangunan memiliki arti bangunan dapat
menjadi pelindung dari bencana (Rahayu, 2020).

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka dapat di uraikan rumusan
masalah sebagai berikut:
1. Apa Peraturan perencanaan gedung tahan gempa di Indonesia?
2. Bagaimana Konsep Perencanaan Struktur Gedung Tahan Gempa?
3. Bagaimana Persyaratan Teknis Bangunan Rumah Sakit?
4. Bagaimana Komponen Arsitektur Bangunan Taham Gempa?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui Peraturan perencanaan gedung tahan gempa di
Indonesia.
2. Untuk mengetahui Konsep Perencanaan Struktur Gedung Tahan
Gempa.
3. Untuk mengetahui Persyaratan Teknis Bangunan Rumah Sakit.
4. Untuk mengetahui Komponen Arsitektur Bangunan Tahan Gempa.

2
BAB II

ISI

A. Peraturan perencanaan gedung tahan gempa di Indonesia


Pada SNI-1726-2012 disajikan peta potensi gempa terbaru yang
terdiri dari 15 zona, memperbaharui peta gempa sebelumnya yang hanya
memiliki 6 zona, hal ini dikarenakan terjadinya gempa-gempa besar yang
melanda wilayah Indonesia, seperti gempa Aceh 2004 (9,0-9,3SR),
gempa Nias 2005 (8,7SR) dan Yogyakarta 2006 (6,3SR). Penetapan
parameter risiko gempa yang dipakai pada SNI-1726-2012 didasarkan
pada suatu parameter yang disebut MCER (Maximum Credible
Earthquake, Risk Targeted). MCE adalah suatu gempa besar yang terjadi
di sebuah wilayah, yang mana seismisitas dari wilayah tersebut
disesuaikan dengan target risiko. MCER yang dipakai adalah yang
mengimplementasikan peta bahaya spektral dengan probabilitas 2%
untuk periode desain 50 tahun (periode ulang gempa bumi sekitar 2500
tahun).

Klasifikasi kekuatan gempa diukur dengan dua cara yaitu sekala


energi yang dikeluarkan (energy based measurements) dan intensitas
akibat gempa (phenomenological scales) kedua skala ini sama
pentingnya dalam menentukan besarnya energi dan dampak lingkungan
akibat gempa bumi.

Pada umumnya satuan yang dipakai untuk mengukur kekuatan


gempa adalah Ricter Magnitude Scale (SR), sedangkan Mercalli Modified
Intensity Scale (MMI) adalah sekala untuk mengukur dampak gempa
terhadap lingkungan. Dari kedua skala yang telah disebutkan kurang
dapat dijadikan dasar untuk perencanaan bangunan tahan gempa, oleh
karena itu dipakailah skala Peak Ground Acceleration (PGA) yaitu sekala
puncak percapatan tanah. Satuan PGA menjadi standar untuk
menggambarkan dampak lingkungan akibat gempa, yang mana skala ini

3
sudah berkaitan dengan dasar aplikasi perhitungan teknis di bidang
rekayasa.

B. Konsep Perencanaan Struktur Gedung Tahan Gempa.


Perencanaan struktur tahan gempa merupakan suatu proses yang
tidak sederhana, dibutuhkan pemahaman dan konsistensi mengenai
konsep desain menyeluruh. Konsep perencanaan konstruksi didasarkan
pada analisa kekuatan batas (ultimate strength) yang mempunyai
daktilitas cukup untuk menyerap energi gempa sesuai peraturan yang
berlaku.
1. Daktilitas
Menurut SNI-1726-2002, daktilitas adalah kemampuan suatu
struktur gedung untuk mengalami simpangan pasca-elastik yang
besar secara berulang kali dan bolak-balik akibat beban gempa di
atas beban gempa yang menyebabkan terjadinya pelelehan pertama,
sambil mempertahankan kekuatan dan kekakuan yang cukup,
sehingga struktur tersebut tetap berdiri, walaupun sudah berada
dalam kondisi di ambang keruntuhan. Parameter yang digunakan
untuk menentukan daktilitas suatu bahan/struktur disebut Faktor
Daktilitas. Ditinjau dari faktor daktilitas, struktur dibagi menjadi 3
kategori sebagai berikut.
a. Sistem rangka pemikul momen biasa (SRPMB) atau bisa disebut
prinsip elastik penuh.
b. Sistem rangka pemikul momen menengah (SRPMM) atau bisa
disebut prinsip daktail parsial.
c. Sistem rangka pemikul momen khusus (SRPMB) atau bisa disebut
prinsip daktail penuh.

Menurut Paulay dan Priestly (1992), pada dasarnya daktilitas


dibagi atas beberapa jenis adalah:
a. Daktilitas Regangan (Strain Ductility)
Daktilitas yang berpengaruh pada struktur dapat
tercapai pada panjang tertentu pada salah satu bagian dari
struktur tersebut. Jika tegangan inelastik dibatasi dengan
panjang yang sangat pendek, maka akan terjadi
penambahan yang besar pada daktilitas tegangan.
Daktilitas tegangan merupakan daktilitas yang dimiliki oleh
material yang digunakan.

b. Daktilitas Kelengkungan
Daktilitas kelengkungan adalah perbandingan antara
sudut kelengkungan (putaran sudut per unit panjang)

4
maksimum dengan sudut kelengkungan leleh dari suatu
elemen struktur akibat momen lentur.

c. Daktilitas perpindahan
Daktilitas Perpindahan adalah perbandingan antara
perpindahan struktur maksimum terhadap perpindahan
struktur pada saat leleh.

d. Daktilitas rotasi
Daktilitas rotasi adalah perbandingan antara putaran
sudut maksimum terhadap putaran sudut saat leleh.

Daktilitas inilah yang menjadi dasar perencanaan bangunan tahan


gempa. Lebih tepatnya adalah sambungan balok ke kolom inilah yang
direncanakan sebagai elemen struktur yang mengalami leleh (kondisi
plastis) ketika struktur balok menyerap beban gempa. Semakin daktail
suatu struktur, maka kuat ultimate dari struktur tersebut semakin tinggi
dan kemampuan berdeformasinya semakin besar.

2. Sendi plastis
Menurut SNI-2847-2013, daerah sendi plastis adalah panjang
elemen rangka dimana pelelehan lentur diharapkan terjadi akibat
perpindahan desain gempa. Ketika terjadi gempa struktur akan
menerima gaya lateral bolak-balik, sehingga pada daerahdaerah yang
mempunyai momen terbesar yaitu pada ujung-ujung balok, akan
mengalami regangan tarik baja tulangan secara bergantian. Jika
regangan tarik baja tulangan sudah mencapai titik leleh, maka beton
akan mulai meretak.

3. Stabilitas
Stabilitas gedung ditentukan dengan tujuan untuk memberikan
batasan terhadap keamanan struktur agar tidak melebihi batasan
tersebut. Untuk menghitung stabilitas gedung terhadap momen torsi
yang bertujuan untuk mengurangi kemungkinan terjadinya puntir pada
gedung, faktor penting yang sangat berpengaruh pada saat terjadinya
puntir adalah adanya eksentrisitas antara pusat massa dan pusat
kekuatan pada bangunan. Sedangkan jika terjadi momen tak terduga
maka momen torsi yang telah ada sebelumnya akan ditambah
dengan 5% dimensi struktur. Berdasarkan SNI 1726-2019 adaoun
syarat-syarat sebagai berikut:
a. Drift ratio
Berdasarkan SNI 1726-2019 pasal 8.8.5 nilai simpangan antar
tingkat diperlukan untuk penggunaan dalam tata cara material,
menentukan pemisahan struktur antara bangunan, desain

5
penutup permukaan bangunan (cladding) atau persyaratan
desain lainnya, simpangan antar tingkat harus diambil sebesar
1% ketinggian bangunan. Semua bagian struktur harus di
desain untuk menahan gaya seismik kecuali jika dipisahkan
secara struktur oleh jarak yang cukup untuk menghindari
kontak yang merusak akibat defleksi total.

b. Simpangan Antar Lantai (drift inter-storey)


Dalam mengontrol simpangan antar lantai (drift inter-
storey) terdapat ketentuan yang diatur pada peraturan tersebut.
Pada parameter respons yang ditinjau harus di kombinasikan
dengan meetode akar jumlah kuadrat (SRSS) atau metode
kombinasi kuadrat lengkap (CQC) yang harus dihitung sesuai
persamaan.

c. Rotasi Akibat P-Delta


P-Delta merupakan salah satu efek kedua yang terjadi
pada struktur atau biasa dikenal dengan “geometric nonlinearity
effect”. Hal ini karena berhubungan dengan jumlah
lantai/ketinggian pada suatu struktur, semakin tinggi struktur
maka semakin terpengaruh dengan P-Delta. P-Delta sendiri
adalah efek nonlinier yang terjadi pada setiap struktur yang
dimana elemennya terjadi gaya aksial.
Pengaruh P-Delta pada geser, momen dan simpangan
antar lantai yang timbul pada bangunan tinggi harus
diperhitungkan apabila koefisien stabilitas (𝜃) lebih dari 0,1.

4. Integritas
Menurut SNI 2847:2019, dalam pendetailan tulangan dan
sambungan, komponen struktur harus diikat secara efektif Bersama
untuk meningkatkan integritas struktur secara menyeluruh.

Persyaratan minimum untuk konstruksi cor di tempat ditentukan


sebagai berikut:
a. Balok sepanjang perimeter struktur harus memiliki tulangan
menerus melebihi panjang bentang yang melalui daerah
yang dibatasi oleh tulangan longitudinal pada kolom yang
terdiri dari:
 Paling sedikit seperenam tulangan tarik yang
diperlukan untuk momen negatif di tumpuan, tetapi
tidak kurang dari dua batang tulangan
 Paling sedikit seperempat tulangan tarik yang
diperlukan untuk momen positif yang diperlukan di

6
tengah bentang, tetapi tidak kurang dari dua batang
tulangan
b. Tulangan transversal harus diangkur seperti yang
ditetapkan pada tulangan torsi. Tulangan transversal tidak
perlu diteruskan melalui kolom.
c. Pada ujung tulangan yang harus disambung atau dekat
dengan tengah bentang dan dibawah tulangan harus
disambung dekat tumpuannya. Sambungan harus
merupakan sambungan lewatan tarik kelas B.
d. Tulangan tranversal paling sedikit seperempat dari tulangan
momen positif diperlukan di tengah bentang, tetapi tidak
kurang dari dua batang tulangan, harus melalui daerah
yang dibatasi oleh tulangan longitudinal kolom dan harus
menerus.
e. Untuk slab dua arah non-prategang, semua batang
tulangan atau kawat bawah dalam lajur kolom, dalam setiap
arah harus menerus. Paling sedikit dua batang tulangan
atau kawat bawah lajur kolom dalam masing-masing arah
harus melewati dalam daerah yang dibatasi oleh tulangan
memanjang kolom dan harus diangkur pada tumpuan
eksterior.

5. Kolom Kuat Balok Lemah (Strong Column Weak Beam)


Menurut Wardhono (2010), Kolom Kuat Balok Lemah atau
Strong Column Weak Beam biasanya disebut sebagai Desain
Kapasitas yang artinya ketika struktur gedung memikul pengaruh
gempa rencana, sendi-sendi plastis di dalam struktur gedung tersebut
hanya boleh terjadi pada ujung-ujung balok dan pada kaki kolom saja.
Perencanaan struktur terhadap gempa sering memakai konsep
desain kapasitas di mana pengendalian pola keruntuhan struktur
dilakukan melalui pemanfaatan sifat daktail struktur secara maksimal.
Konsep desain kapasitas juga dapat diartikan dengan Strength Based
Design yaitu di mana setiap struktur harus mampu menahan beban
geser dasar akibat gempa dalam suatu perencanaan. Dua macam
batasan struktur dalam konsep ini adalah sebagai berikut:
a. Serviceability Limit State
Titik berat dari kinerja ini adalah pengontrolan dan
pembatasan displacement yang terjadi selama gempa
berlangsung. Kekuatan tambahan harus bisa dipastikan
tersedia pada semua komponen struktur dan tetap
berperilaku elastis untuk menahan gempa.
b. Survival Limit State
Ketika suatu struktur mengalami perpindahan lateral yang
besar, kehilangan kekuatan untuk menahan gaya lateral

7
harus sekecil mungkin dan kemampuan struktur untuk
menahan beban gravitasi masih harus bisa tetap
dipertahankan.
Mekanisme strong colum weak beam pada saat struktur
mendapat gaya lateral gempa, distribusi kerusakan sepanjang
ketinggian bangunan bergantung pada distribusi lateral story drift
(simpangan antar lantai). Jika struktur memiliki kolom yang lemah,
simpangan antar lantai akan cenderung terpusat pada satu lantai (soft
story effect) seperti ditunjukkan pada Gambar A. Sebaliknya jika
kolom lebih kuat daripada balok (strong column weak beam), maka
drift akan tersebar merata dan keruntuhan lokal di satu lantai dapat
diminimalkan).

C. Persyaratan Teknis Bangunan Rumah Sakit


Adapun persyaratan Teknis bangunan Rumah Sakit menurut
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2016,
tentang persyaratan teknis bangunan dan prasarana rumah sakit antara
lain.
1. Lokasi Rumah Sakit
a. Geografis
1) Kontur lantai mempengaruhi perencanaan struktural,
arsitektural dan elektromekanis rumah sakit. Selain itu, kontur
tapak juga mempengaruhi perencanaan drainase, kondisi jalan
di lokasi konstruksi, dll.
2) Lokasi rumah sakit adalah sebagai berikut:
a) Berada di lingkungan yang tenang dan sejuk.
b) Tidak ada kebisingan dan polusi udara yang berlebihan
dari berbagai sumber.
c) Tidak di tepi lereng.
d) Tidak di dekat kaki gunung yang rawan longsor.
e) Jangan tinggal di dekat aliran, sungai atau badan air yang
dapat mengikis pondasi.
f) Tidak pada atau dekat garis patahan aktif.
g) Tidak di daerah rawan tsunami.
h) Tidak di daerah banjir.
i) Tidak di zona badai.
j) Tidak di daerah rawan badai

8
k) Tidak di dekat stasiun Penyiaran.
l) Jangan berada di area yang mengalirkan udara tegangan
tinggi
b. Penunjukan lokasi pembangunan rumah sakit harus dilakukan di
lokasi yang sesuai dengan peruntukan yang ditentukan dalam
peraturan penggunaan lahan dan konstruksi setempat.
c. Aksesibilitas terhadap rute dan informasi transportasi Lokasi harus
mudah diakses oleh masyarakat atau dekat dengan jalan raya dan
memiliki infrastruktur dan peralatan yang mudah diakses, terutama
transportasi umum, transportasi umum, pejalan kaki dan trotoar
yang dapat diakses oleh penyandang distabilitas.
d. Parkir Perancangan dan perencanaan infrastruktur parkir rumah
sakit sangat penting karena fasilitas parkir dan pintu masuk
kendaraan akan menempati banyak lahan. Misalkan ruang parkir
yang ideal untuk rumah sakit dihitung antara 37,5m2 dan 5 m2 per
tempat tidur (termasuk lalu lintas kendaraan) atau disesuaikan
dengan kondisi sosial ekonomi setempat. Tempat parkir harus
memiliki rambu larangan parkir. Penataan ruang parkir di halaman
tidak boleh mengurangi ruang terbuka hijau yang teridentifikasi.
e. Utilitas Rumah sakit harus memastikan tersedianya air minum, air
limbah/air limbah, listrik dan saluran telepon selama 24 jam.
f. Fasilitas Pengelolaan Kesehatan Lingkungan Setiap rumah sakit
harus dilengkapi dengan fasilitas pengelolaan kesehatan
lingkungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

2. Bentuk Bangunan
a. Bentuk denah bangunan rumah sakit dibuat simetris mungkin
untuk memprediksi kerusakan akibat gempa.
b. Volume bangunan rumah sakit harus memperhatikan sirkulasi
udara dan cahaya, kenyamanan dan keserasian serta
keseimbangan dengan lingkungan.
c. Perencanaan pembangunan rumah sakit tunduk pada Rencana
Pengelolaan Lingkungan dan Bangunan (RTBL), yang meliputi

9
persyaratan Faktor Konstruksi Dasar (KDB), Faktor Lantai
Bangunan (KLB), faktor kawasan, zona hijau (KDH) garis
ekuivalen gedung (GSB). dan penutupan garis setara (GSP).
d. Menentukan model bangunan rumah sakit baik vertikal maupun
horizontal, menyesuaikan dengan kebutuhan pelayanan medis
rumah sakit (health need), budaya lokal (budaya), kondisi alam,
sifat lokal (iklim), ketersediaan lahan (lokasi) dan keuangan
kondisi manajemen rumah sakit (anggaran).

3. Struktur Bangunan
a. Struktur bangunan gedung rumah sakit harus direncanakan dan di
laksanakan sebaik mungkin sehingga kuat, kaku, stabil terhadap
kombinasi beban/beban dan memenuhi persyaratan keselamatan,
serta persyaratan kemudahan pelayanan untuk umur bangunan
dengan mempertimbangkan fungsi bangunan rumah sakit.
b. Kapasitas untuk menahan beban permanen dan sementara yang
dapat digunakan selama umur struktur harus diperhitungkan.
c. Penentuan bentuk, kekuatan dan Cara kerja beban harus sesuai
dengan spesifikasi yang berlaku.
d. Struktur bangunan rumah sakit harus dirancang untuk tahan
terhadap pengaruh gempa bumi sesuai dengan standar teknik
yang berlaku.
e. Pada bangunan rumah sakit, pada saat terjadi keruntuhan, kondisi
struktur harus mampu memungkinkan penghuni bangunan untuk
melarikan diri.
f. Untuk menentukan tingkat keandalan struktur bangunan, harus
dilakukan pemeriksaan keandalan bangunan secara berkala
sesuai dengan Pedoman Teknis atau standar yang berlaku. dan
harus dilakukan atau didampingi oleh ahli yang memiliki sertifikasi
sesuai.

4. Zonasi
Zonasi ruang adalah pembagian atau pengelompokan ruangan
berdasarkan kesamaan karakteristik fungsi yang bekerja untuk tujuan

10
tertentu. Zonasi rumah sakit atau sebaran wilayah meliputi zonasi
berdasarkan risiko penularan penyakit, zonasi berdasarkan
kerahasiaan, dan zonasi berdasarkan pelayanan.
a. Zonasi berdasarkan tingkat risiko terjadinya penularan penyakit
terdiri dari:
1) Area berisiko rendah, meliputi ruang administrasi dan
kesekretariatan, ruang rapat, rekam medis/berkas.
2) Area risiko menengah, termasuk pencegahan penyakit tidak
menular dan ruang perawatan rawat jalan.
3) Area berisiko tinggi, termasuk ruang gawat darurat, kamar
rumah sakit penyakit menular (isolasi menular), unit perawatan
intensif, ruang bersalin, laboratorium, rumah duka, ruang
rontgen.
4) Area berisiko sangat tinggi, termasuk ruang operasi.

b. Zonasi berdasarkan privasi kegiatan terdiri dari:


1) Ruang Publik, khususnya ruang di rumah sakit yang dapat
diakses langsung oleh masyarakat, khususnya ruang rawat
jalan, ruang gawat darurat, apotek, ruang radiologi,
laboratorium.
2) Area Semi Publik, khususnya area di dalam lingkungan rumah
sakit yang dibatasi untuk umum, antara lain ruang rumah sakit,
ruang diagnostik, ruang hemodialisa.
3) Ruang Privat, yaitu ruang yang diperuntukkan bagi
pengunjung rumah sakit seperti ruang perawatan intensif,
ruang operasi, bangsal bersalin, bangsal sterilisasi, bangsal
staf.

c. Zonasi berdasarkan pelayanan terdiri dari:


1) Ruang pelayanan medis dan keperawatan meliputi ruang
rawat jalan, ruang gawat darurat, ruang rawat intensif, ruang
operasi, ruang kebidanan, ruang rawat inap, dan ruang
hemodialisa. Lokasi area pelayanan medis dan keperawatan
harus memastikan tidak ada kebisingan.

11
2) Area pendukung dan operasi, termasuk ruang farmasi, ruang
x-ray, laboratorium, ruang sterilisasi.
3) Zona penunjang umum dan administrasi, diantaranya yaitu
ruang kesekretariatan dan administrasi, ruang pertemuan,
ruang rekam medis.

5. Kebutuhan Total Luas Lantai Bangunan


a. Perhitungan perkiraan kebutuhan total luas lantai bangunan untuk
rumah sakit umum kelas A minimal 100 m2 / tempat tidur.
b. Perhitungan perkiraan kebutuhan total luas lantai bangunan untuk
rumah sakit umum kelas B minimal 80 m2 / tempat tidur.
c. Perhitungan perkiraan kebutuhan total luas lantai bangunan untuk
rumah sakit umum kelas C minimal 60 m2 / tempat tidur.
d. Perhitungan perkiraan kebutuhan total luas lantai bangunan untuk
rumah sakit umum kelas D minimal 50 m2 / tempat tidur.
e. Kebutuhan luas lantai bangunan untuk rumah sakit khusus dan
rumah sakit pendidikan disesuaikan dengan kebutuhan.

6. Desain Komponen Bangunan Rumah Sakit


a. Atap harus kuat, tidak bocor, tahan lama dan tidak menjadi tempat
perindukan serangga, tikus, dan binatang pengganggu lainnya.
b. Langit-langit
1) Langit-langit harus kokoh, berwarna terang, mudah
dibersihkan, tidak mengandung bahan berbahaya bagi pasien
dan tidak berjamur.
2) Bingkai langit-langit harus kokoh.
3) Tinggi plafon minimal dalam ruangan 2.80 m dan tinggi lorong
(koridor) minimal 2.40 m.
4) Tinggi plafon minimal di ruang operasi adalah 3.00 m.
5) Di ruang operasi dan ruang perawatan intensif, bahan plafon
harus memiliki tingkat ketahanan Api minimal 2 jam.
6) Di tempat-tempat di mana kebersihan ruangan tertentu
diperlukan, lampu di dalam ruangan dipasang di langit-langit
(di bawah dinding).

12
c. Dinding dan partisi
1) Dinding harus keras, rata, tidak berpori, tahan air, tahan api,
tahan karat, mudah dibersihkan, tahan cuaca dan bebas
jamur.
2) Warna dindingnya cerah tapi tidak menyilaukan.
3) Khususnya pada ruangan-ruangan yang berhubungan dengan
kegiatan pelayanan anak, mural dapat berupa gambar-gambar
untuk merangsang kegiatan anak.
4) Saat melewati pasien, dinding harus dilengkapi dengan
pegangan tangan kontinu dengan ketinggian 80 hingga 100
cm di atas lantai. Pegangan harus mampu menopang berat
badan seseorang dengan berat minimal 75 kg sambil
memegang satu tangan pada pegangan tangan yang ada.
5) Pegangan tangan harus terbuat dari bahan tahan api yang
mudah dibersihkan dan memiliki permukaan yang tidak
berpori.
6) Khusus untuk ruangan yang menggunakan peralatan sinar-X,
dindingnya harus memenuhi persyaratan teknis anti radiasi
pengion.
7) Khusus untuk daerah yang sering terkena bahan kimia, daerah
yang mudah terbakar, dinding sebaiknya terbuat dari bahan
dengan tingkat ketahanan api (TKA) minimal 2 jam, tahan
bahan kimia dan benturan.
8) Di kamar yang dilengkapi dengan peralatan yang
menggunakan gelombang elektromagnetik (EM), seperti mesin
busa gelombang pendek atau mesin busa gelombang mikro,
penutup dinding yang mengandung elemen logam atau baja.
9) Ruangan dengan tingkat kebisingan yang tinggi (misalnya,
ruang genset, ruang pompa, ruang boiler, ruang kompresor,
ruang refrigerasi, ruang AHU, dll) menggunakan bahan kedap
suara atau insulasi.
10) Pada area dengan resiko tinggi yang membutuhkan tingkat
kebersihan ruangan tertentu, maka pertemuan antara dinding

13
dengan dinding harus dibuat melengkung/conus untuk
memudahkan pembersihan.
11) Khusus pada ruang operasi dan ruang perawatan intensif,
bahan dinding/partisi harus memiliki Tingkat Ketahanan Api
(TKA) minimal 2jam.

d. Lantai
1) Lantai harus terbuat dari bahan yang kokoh, kedap air, rata,
tidak licin, berwarna terang, mudah dibersihkan.
2) Tidak boleh terbuat dari bahan dengan lapisan permukaan
yang sangat berpori yang dapat menjebak debu.
3) Mudah dibersihkan dan tahan abrasi.
4) Penutup lantai harus berwarna terang dan tidak silau.
5) Ram harus memiliki kemiringan kurang dari 70 , lantai harus
memiliki permukaan yang tidak licin (bahkan dalam kondisi
basah).
6) Terutama untuk ruangan yang sering terkena bahan kimia,
mudah terbakar dan meledak, bahan lantai sebaiknya bahan
dengan tingkat ketahanan api (TKA) minimal 2 jam, tahan
terhadap bahan kimia.
7) Pisahkan lantai dari area perawatan pasien (quiet area)
menggunakan bahan yang tenang dan tidak menimbulkan
bunyi.
8) Pada area berisiko tinggi di mana tingkat kebersihan ruangan
tertentu diperlukan, sambungan antara lantai dan dinding
harus ditekuk untuk memudahkan pembersihan lantai (rem
rumah sakit).
9) Pada ruangan yang dilengkapi dengan peralatan medis, lantai
harus dapat menghilangkan listrik statis dari peralatan agar
tidak menimbulkan bahaya bagi personel jika terjadi sengatan
listrik.

14
e. Pintu dan Jendela
1) Pintu utama dan pintu yang dilalui ranjang/ranjang rumah sakit
memiliki lebar bukaan minimal 120 cm dan pintu yang tidak
menuju ranjang rumah sakit memiliki lebar bukaan minimal 90
cm.
2) Pada area sekitar pintu tidak boleh ada perbedaan ketinggian
lantai dan jack tidak boleh digunakan.
3) Pintu Darurat
a) Setiap bangunan rumah sakit yang bertingkat lebih dari 3
lantai harus dilengkapi dengan pintu darurat.
b) Lebar pintu darurat minimal 100 cm membuka ke arah
ruang tangga penyelamatan (darurat) kecuali pada lantai
dasar membuka ke arah luar (halaman).
c) Jarak maksimum antara pintu keluar dari sebuah Blok
adalah 25 m ke segala arah.
4) Pintu kamar mandi di ruang perawatan dan pintu toilet untuk
kemudahan akses harus terbuka ke luar dan lebar daun pintu
minimal 85 cm.
5) Pintu tempat tidur rumah sakit harus ditutup dengan bahan
tahan benturan.
6) Ruang perawatan pasien harus memiliki jendela yang dapat
dimaksimalkan untuk pertukaran gas yang bermanfaat.
7) Pada gedung rumah sakit bertingkat, lebar bukaan jendela
harus memungkinkan pasien untuk melarikan diri dengan
aman.
8) Jendela juga berfungsi sebagai sarana penerangan alami di
siang hari.

f. Toilet/Kamar Mandi
1) Toilet umum
a) Toilet umum dan pemandian umum harus memiliki akses
dan area akses yang memadai bagi pengguna.
b) Tinggi dudukan toilet harus sesuai dengan tinggi pengguna
(36-38 cm).

15
c) Permukaan tanah tidak boleh licin dan tidak menimbulkan
genangan air.
d) Pintu harus mudah dibuka dan ditutup.
e) Toilet dapat dibuka atau dikunci dari luar dalam keadaan
darurat
2) Toilet untuk aksesibilitas
a) Toilet umum atau kamar mandi untuk penyandang cacat
harus memiliki tanda / simbol "cacat" di luar.
b) Toilet umum atau toilet harus dapat diakses oleh pengguna
kursi roda.
c) Ketinggian toilet duduk harus sesuai dengan tinggi
pengguna kursi roda kira-kira (45-50 cm)
d) Toilet atau toilet umum harus dilengkapi dengan pegangan
tangan dengan posisi dan ketinggian yang sesuai untuk
pengguna kursi roda dan penyandang disabilitas berbeda.
Pegangan miring ke atas harus digunakan untuk
memfasilitasi mobilitas bagi pengguna kursi roda.
e) Lokasi sapu tangan, air, keran atau kepala pancuran dan
perangkat seperti dispenser sabun dan pengering tangan
harus dipasang sedemikian rupa sehingga mudah
dijangkau oleh orang-orang dengan keterbatasan fisik dan
dapat diakses kursi roda.
f) Permukaan lantai harus tidak licin dan bebas dari
penyumbatan.
g) Pintu harus mudah diakses oleh orang yang menggunakan
kursi roda.
h) Toilet dapat dibuka atau dikunci dari luar dalam keadaan
darurat.
i) Di tempat-tempat yang mudah dijangkau, seperti area
pintu, tombol suara darurat harus dipasang jika sewaktu-
waktu terjadi sesuatu yang tidak terduga.

16
g. Koridor
Ukuran koridor sebagai jalur horizontal antar ruang
dipertimbangkan tergantung pada fungsi koridor, fungsi ruang dan
jumlah penggunanya. Ukuran koridor dengan ruang untuk tempat
tidur rumah sakit minimal 2,40 m.

h. Tangga
1) Harus memiliki langkah dan dimensi tanjakan yang identik
Ketinggian setiap langkah / tanjakan adalah 15 hingga 17 cm.
2) Harus memiliki kemiringan jalan kurang dari 600
3) Lebar minimum tangga adalah 120 cm untuk mengangkut
tandu dalam keadaan darurat, mengevakuasi pasien jika
terjadi kebakaran atau situasi darurat lainnya.
4) Tidak ada rel pendakian berlubang yang bisa berbahaya bagi
pengguna tangga.
5) Harus dilengkapi dengan pegangan.
6) Pegangan tangan harus mudah dipegang pada ketinggian 65-
80 cm dari tanah, tidak terhalang oleh elemen konstruksi, dan
ujungnya harus dibulatkan atau di seimbangkan ke tanah,
dinding atau tiang.
7) Tanaman merambat harus ditingkatkan panjangnya di bagian
atas (atas dan bawah) sebesar 30 cm.
8) Untuk tangga di luar gedung, sebaiknya didesain agar air
hujan tidak menggenang di lantai.

i. RAM
1) Ram adalah jalan lalu lintas dengan kemiringan tertentu,
menggantikan mereka yang tidak dapat menggunakan tangga.
2) Kemiringan silinder pada bangunan tidak boleh melebihi 70 ,
perhitungan kemiringan tidak termasuk awalan dan akhiran
silinder (curb slope/landing).
3) Panjang horizontal dongkrak (dengan kemiringan 70 ) tidak
boleh melebihi 900 cm. Panjang silinder dengan kemiringan
yang lebih rendah mungkin lebih panjang.

17
4) Lebar minimum silinder adalah 2.40 m dengan palang
pengaman.
5) Bidang (kontur) di bagian atas atau bawah palang harus rata
dan rata untuk memungkinkan setidaknya rotasi kursi roda dan
kursi roda/tempat tidur rumah sakit, dengan dimensi minimal
160 cm.
6) Permukaan rata dari awalan atau akhiran ram bar harus
bertekstur agar tidak licin saat hujan.
7) Lebar tepi pengaman ram (low curb) maksimal 10 cm sehingga
dapat mengamankan roda dari kursi roda atau brankar/ tempat
tidur pasien agar tidak terperosok atau keluar ram.
8) Apabila letak ram berbatasan langsung dengan lalu lintas jalan
umum atau persimpangan, ram harus dibuat tidak
mengganggu jalan umum.
9) pencahayaan harus cukup sehingga membantu penggunaan
ram saat malam hari. Pencahayaan disediakan pada bagian
ram yang memiliki ketinggian terhadap muka tanah sekitarnya
dan bagian-bagian yang membahayakan.
10) dilengkapi dengan pegangan rambatan (handrail) yang dijamin
kekuatannya dengan ketinggian yang sesuai.

7. Persyaratan Teknis Ruang Dalam Bangunan Rumah Sakit


a. Ruang Rawat Jalan
1) Lokasi ruang rawat jalan harus mudah dijangkau dari pintu
masuk utama rumah sakit dan mudah dijangkau dari ruang
rekam medis, ruang farmasi, ruang rontgen dan laboratorium.
2) Bagian rawat jalan harus memiliki ruang tunggu dengan
kapasitas yang memadai dan berdasarkan penilaian
kebutuhan pelayanan.
3) Desain klinik di area rawat jalan harus menjamin privasi
pasien. Tahun Jika ada klinik penyakit menular di ruang rawat
jalan, lokasi dan desain ruang pemeriksaan penyakit menular
harus memastikan bahwa penyebaran penyakit menular
terkendali.

18
b. Ruang Rawat Inap
1) Lokasi kamar rumah sakit harus di tempat yang tenang, aman
dan nyaman.
2) Ruang rumah sakit harus mudah diakses oleh ruang
penunjang layanan lainnya.
3) Ruang rawat inap harus dipisahkan berdasarkan jenis kelamin,
usia dan penyakit.

c. Ruang Gawat Darurat


1) Lokasi UGD harus dapat diakses langsung dari jalan raya dan
bebas hambatan.
2) Lokasi ruang gawat darurat harus memungkinkan akses cepat
dan mudah ke ruang operasi, bangsal bersalin, ruang x-ray,
laboratorium, apotek dan bank darah rumah sakit.
3) Pintu masuk ke ruang gawat darurat harus dilengkapi dengan
signage, signage yang jelas dan elemen pemandu lalu lintas.
4) Perancangan tata letak ruang gawat darurat harus dapat
mendukung kecepatan pemberian pelayanan.

d. Ruang Operasi
1) Jenis kamar operasi di rumah sakit meliputi kamar operasi
tambahan, kamar operasi umum, dan kamar operasi utama.
2) Desain tata letak ruang operasi harus memenuhi persyaratan
zonasi berdasarkan sterilitas ruangan, meliputi:
a) Daerah Steril Rendah
b) Daerah Steril Sedang
c) Daerah Steril Tinggi
d) Daerah Steril Sangat Tinggi.
3) Jika ruang operasi dibagi dengan kamar lain di gedung yang
sama, ruang operasi harus berupa kompartemen.
4) Sistem ventilasi ruang operasi harus disaring dan dipantau dan
dipisahkan dari sistem ventilasi rumah sakit lain untuk tujuan
pengendalian dan pencegahan infeksi.

19
5) Selain memenuhi persyaratan, sistem ventilasi harus terpisah
dari satu ruang operasi ke ruang operasi lainnya.

e. Ruang Perawatan Intensif


1) Lokasi unit perawatan intensif harus mudah diakses dari ruang
operasi, ruang gawat darurat dan ruang pendukung medis
lainnya.
2) Luas lantai setiap tempat tidur rumah sakit di unit perawatan
intensif harus cukup untuk mengakomodasi peralatan dan
ruang bagi staf untuk bersentuhan dengan pasien.
3) Jika ruang perawatan khusus digunakan bersama dengan
ruangan lain di gedung yang sama, ruang perawatan khusus
harus berupa kompartemen.
4) Dalam hal ruang perawatan intensif memiliki ruang perawatan
isolasi untuk pasien dengan penyakit menular, desain tata
ruang dan alur sirkulasi petugas dan pasien harus dapat
meminimalkan risiko penyebaran infeksi

D. Komponen Arsitektur Bangunan Tahan Gempa


Kerusakan komponen arsitektur sering terjadi pada plafon baik
pada penutup maupun pada rangka. Komponen arsitektural dari sebuah
bangunan ini diklasifikasikan menjadi: komponen arsitektur (yaitu langit-
langit, jendela dan pintu), peralatan medis dan laboratorium, lifeline (yaitu
instalasi mekanis, listrik dan perpipaan) dan masalah keselamatan dan
keamanan (Samsuddin, 2019).

1. Dinding
Sistem dinding yang digunakan pada bangunan tahan gempa
memiliki ketentuan khusus baik dari segi bahan yang digunakan
maupun dari segi pemasangannya di dalam bangunan. Kerusakan
dinding pada bangunan sering terjadi pada bagian pertemuan dinding,
pola kegagalan struktur bangunan terjadi pada sambungan balok
kolom, sambungan angkur dinding dengan struktur dan konfgurasi
bangunan tidak simetri (Pinondang Simanjuntak, 2020).

20
Besaran bukaan pintu dan jendela pada dinding dibatasi baik
secara jumlah maupun ukurannya. Jumlah lebar bukaan dalam satu
bidang dinding tidak boleh melebihi ½ dari panjang dinding itu. Letak
bukaan pintu/jendela juga tidak terlalu dekat dengan sudut-sudut
dinding, misalnya letak minimum 2 kali tebal dinding tersebut.
Kemudian, jarak antara 2 bukaan sebaiknya juga tidak kurang dari 2
kali tebal dindingnya. Ukuran pada bidang dinding juga dibatasi,
misalnya tinggi maksimum 12 kali tebal dinding, dan panjangnya
diantara dinding-dinding penyekat tidak melebihi 15 kali tebalnya.

Apabila luas dinding-dinding penyekatnya lebih besar dari


ketentuan di atas, maka perlu dipasang kolom/tiang-tiang (pilaster)
dinding. Kemudian blok lintel dibuat menerus keliling bangunan yang
mana sekaligus berfungsi sebagai pengaku horizontal. Blok lintel
tersebut perlu diikat kuat pada kolom/tiang-tiang (pilaster).

2. Langit-langit
Langit-langit merupakan salah satu komponen arsitektur yang
paling rawan rusak atau runtuh saat gempa bumi terjadi, hal ini
disebabkan karena kurangnya struktur langit langit yang berfungsi
sebagai perkuatan, pemanfaatan penggantung langit langit yang
dipasang pada rangka hollow langit langit sudah cukup sebagai
penguatnya, yang menjadi masalah adalah jika papan gypsum pada
langit langit tidak dipasang dengan baik sehingga saat gempa terjadi
memungkinkan terjadinya keruntuhan, salah satu cara untuk mengikat
papan gypsum pada langit langit tersebut agar tidak runtuh adalah
dengan memasang dinding partisi yang tingginya mencapai langit
langit, dinding partisi bertujuan sebagai elemen penyangga bagi
papan gypsum tersebut.

3. Jendela dan Pintu


Perletakkan jendela dan pintu pada bangunan tahan gempa
perlu memerhatikan ukuran dinding dan perletakannya pada dinding.

21
Penempatan dinding-dinding penyekat dan bukaan pintu/jendela
diusahakan sebisa mungkin simetris terhadap sumbu denah
bangunan, hal ini bertujuan agar dinding serta pintu dan jendela
mampu menahan gaya horizontal yang dihasilkan dari bencana
gempa bumi.

4. Komponen Tahan Gempa Terhadap Ruang ICU Isolasi


Ruang ICU isolasi adalah ruang yang mempunyai kekhususan
secara teknis sebagai ruang perawatan intensif pasien dan memiliki
batasan fisik modular per-pasien, dinding dan juga bukaan pintu
jendela dengan ruangan ICU lainnya. Ruang Isolasi ini diperuntukkan
bagi para pasien yang menderita penyakit menular, pasien yang
menderita penyakit yang mengeluarkan bau (tumor, diabetes,
ganggrein) dan juga untuk pasien yang menderita penyakit yang
mengeluarkan suara di dalam ruangan. Pintu dan jendela di ruangan
ini menggunakan partisi kaca dengan tinggi minimal 100 cm agar para
perawat dapat memantau pasien dari luar.

Dalam hal bangunan tahan gempa, struktur bangunan yang


direncanakan untuk ruangan ini adalah dengan memperhatikan layout
ruangan yang sudah sesuai dengan pedoman bangunan tahan
gempa, penggunaan partisi kaca cukup baik bagi dinding tersebut
lantaran beban yang terikat pada dinding menjadi tidak terlalu berat,
namun tidak memungkinkan saat terjadi gempa dapat terjadinya
pecahan kaca akibat dari gaya horizontal yang dihasilkan oleh gempa
bumi. Frame pada partisi kaca diperlukan sebagai pengikat pada
dinding agar kaca tidak mudah pecah dan rubuh saat terjadi gempa
bumi.

22
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Peraturan perencanaan gedung tahan gempa di Indonesia Pada
SNI-1726-2012 disajikan peta potensi gempa terbaru yang terdiri dari 15
zona, memperbaharui peta gempa sebelumnya yang hanya memiliki 6
zona, hal ini dikarenakan terjadinya gempa-gempa besar yang melanda
wilayah Indonesia, seperti gempa Aceh 2004 (9,0-9,3SR), gempa Nias
2005 (8,7SR) dan Yogyakarta 2006 (6,3SR).

Daktilitas Menurut SNI-1726-2002, daktilitas adalah kemampuan


suatu struktur gedung untuk mengalami simpangan pasca-elastik yang
besar secara berulang kali dan bolak-balik akibat beban gempa di atas
beban gempa yang menyebabkan terjadinya pelelehan pertama, sambil
mempertahankan kekuatan dan kekakuan yang cukup, sehingga struktur
tersebut tetap berdiri, walaupun sudah berada dalam kondisi di ambang
keruntuhan.

Untuk menghitung stabilitas gedung terhadap momen torsi yang


bertujuan untuk mengurangi kemungkinan terjadinya puntir pada gedung,
faktor penting yang sangat berpengaruh pada saat terjadinya puntir
adalah adanya eksentrisitas antara pusat massa dan pusat kekuatan
pada bangunan.

Struktur bangunan gedung rumah sakit harus direncanakan dan


di laksanakan sebaik mungkin sehingga kuat, kaku, stabil terhadap
kombinasi beban/beban dan memenuhi persyaratan keselamatan, serta
persyaratan kemudahan pelayanan untuk umur bangunan dengan
mempertimbangkan fungsi bangunan rumah sakit.

Komponen arsitektural dari sebuah bangunan ini diklasifikasikan


menjadi: komponen arsitektur (yaitu langit-langit, jendela dan pintu),
peralatan medis dan laboratorium, lifeline (yaitu instalasi mekanis, listrik

23
dan perpipaan) dan masalah keselamatan dan keamanan (Samsuddin,
2019).

Dalam hal bangunan tahan gempa, struktur bangunan yang


direncanakan untuk ruangan ini adalah dengan memperhatikan layout
ruangan yang sudah sesuai dengan pedoman bangunan tahan gempa,
penggunaan partisi kaca cukup baik bagi dinding tersebut lantaran beban
yang terikat pada dinding menjadi tidak terlalu berat, namun tidak
memungkinkan saat terjadi gempa dapat terjadinya pecahan kaca akibat
dari gaya horizontal yang dihasilkan oleh gempa bumi.

24
DAFTAR PUSTAKA

Herdiansah, Y., Savitri, N.F. and ... (2018) ‘Review Desain Struktur Gedung Rsup
Persahabatan Jakarta’, Santika: Jurnal Ilmiah … [Preprint]. Available at:
https://www.jurnal.ummi.ac.id/index.php/santika/article/download/398/206.

Gutama, D.G. and Rahayu, R.L. (2021) ‘Ketahanan Bangunan Rumah Sakit Terhadap
Bencana Gempa Bumi Di Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta’, Lakar: Jurnal
Arsitektur, 4(2), p. 150. Available at: https://doi.org/10.30998/lja.v4i2.10958.

Setioadi, K. et al. (2016) ‘Perencanaan Struktur Semarang Medical Center Hospital Jalan
Kh . Ahmad Dahlan Semarang’, 5, pp. 54–62.

Bachtiar, V. et al. (2017) ‘Perencanaan Struktur Tahan Gempa Gedung Rumah Sakit
Umum Kharitas Bhakti Pontianak’, pp. 1–11.

Ii, B.A.B. (2008) ‘Gambar 2.1 Hubungan Beban-Lendutan ( Sumber: Yohannes Arief N.
Siregar, 2008 )’, (1992), pp. 4–60.

Teddy, L. et al. (2015) ‘rumah sakit swasta 10 lantai di Palembang ) Prosiding Seminar
Nasional : Menuju Arsitektur dan Ruang Arsitektur Perkotaan yang Identifikasi
Ketahanan Konfigurasi Bangunan Terhadap Gempa ( Studi Kasus : Rumah Sakit
Swasta 10 Lantai Di Palembang )’, (February 2021).

MUHAMMAD, H. (2016) ‘Perencanaan Struktur Gedung Tahan Gempa Rumah Sakit


Dokter Rosnedy 6 Lantai+ 1 Basement Dengan Sistem Rangka Pemikul Momen
Menengah (Srpmm) Di …’. Available at:
http://eprints.ums.ac.id/id/eprint/40406%0Ahttp://eprints.ums.ac.id/40406/2/0
Halaman Depan sampai Abstraksi (UPLOAD).pdf.

Singkil, D.I.K. (2022) ‘PERANCANGAN GEDUNG RUMAH SAKIT UMUM KELAS


C’.

25

Anda mungkin juga menyukai