Anda di halaman 1dari 26

Ketidakpastian (uncertainties) dan Risko (risk) dalam Perencanaan Bangunan Tahan

Gempa, Perpektif Standard Nasional Indonesia (SNI)


Prof. Indra Djati Sidi, Ph.D *)
*) Dosen Prodi Teknik Sipil, Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan
Institut Teknologi Bandung

1. Latar Belakang

Indonesia adalah satu kawasan dengan kejadian gempa yang tinggi karena terletak pada benturan
berbagai lempengan tektonik besar yang dikenal juga dengan kawasan ring of fire. Kalau
dicermati peta gempa yang telah di mutakhirkan pada tahun 2017 oleh Tim Pemutakhiran Peta
Sumber dan Bahaya Indonesia Tahun 2017 [1] terlihat dengan jelas bahwa gempa terjadi dari
ujung Sumatera hingga Papua dengan berbagai besaran magnitude. Dalam 20 tahun terakhir ini
telah terjadi gempa yang bervariasi dari magnitudo 6.3 (Yogyakarta 2006) hingga magnitudo 9.2
(Aceh 2004). Dan gempa2 ini telah mengakibatkan kehilangan jiwa, kerusakan infrastruktur, dan
menghancurkan bangunan2 yang tidak memenuhi syarat syarat perencanaan.

Dengan demikian perencanaan infrastruktur dan bangunan harus menyertakan pengaruh gempa
yang akan menimbukan percepatan pergerakan tanah (ground motion) di lokasi infrastruktur atau
bangunan. Bangunan2 yang ada akan diguncang pada muka tanah akibat terjadinya gempa
tersebut. Indonesia telah mempunyai peraturan untuk merancang bangunan tahan gempa yang
selalu diperbarui secara berkala. Standard terbaru saat ini adalah Tata Cara Perencanaan
Ketahanan Gempa untuk Struktur Bangunan Gedung dan Non Gedung yang telah disyahkan
pada tahun 2012 [2], dan saat ini sedang bekerja tim yang akan memperbarui peraturan gempa
tersebut karena peta gempa sudah dimutakhirkan pada tahun 2017 yang harus diikuti dengan peta
gempa bagi perencanaan infrastruktur dan gedung. Dan ada kecenderungan peraturan gempa
semakin berat karena perubahan peta gempa akibat ditemukannya gempa baru, sesar patahan
baru dan karena pengembangan terbaru akan gempa dan bangunan tahan gempa yang muncul
dari riset dan pengalaman dari gempa yang baru saja terjadi [1]. Berbagai teknik perencanaan
telah digunakan di Indonesia, seperti analisis respons spektra dan pushover yang sudah
merupakan common practice. Sedangkan analisis yang berbasiskan kinerja (performance based
design- PBD) [3] yang memanfaatkan analisis non linear riwayat waktu mulai mendapatkan
perhatian karena menawarkan model yg lebih realistis dengan potensi penghematan yang akan
diperoleh.

Namum demikian gempa tetap merupakan misteri; tetap saja tidak dapat diketahui dengan pasti
kapan gempa terjadi, dimana gempa terjadi, berapa besar magnitudo gempa, dan berapa tepatnya
(exactly) percepatan tanah yang terjadi dilokasi bangunan, dan seperti apa respons bangunan
akibat gempa masih diselimuti dengan ketidakpastian (uncertainty). Karena banyaknya
ketidakpastian (uncertainries) yang ada dalam perencanaan bangunan tahan gempa maka
pendekatan probabilitas dan reliabilitas menjadi pilihan yang rasional. Rekayasa gempa akan
selalu dihadapkan pada kemungkinan bahwa tahanan gempa yang disiapkan lebih kecil dari gaya

1
gempa yang akan datang. Kemungkinan ini ada dan tidak dapat dihilangkan. Namun perencana
dapat menekan kemungkinan gagal tersebut atau risiko gagal sekecil mungkin hingga batas yang
dapat diterima atau disebut sebagai acceptable risk. Dengan basis risiko yang dapat diterima
inilah dibuat peta percepatan gempa dengan basis risiko yang dapat diterima dan base shear
akibat ground acceleration yang akan bekerja pada dasar bangunan, serta load resistance factor
design (LRFD) yang digunakan dalam perencanaan elemen2 satruktur, yang secara keseluruhan
disebut sebagai probability based factor of safety atau reliability based design.

Makalah ini akan menggambarkan berbagai ketidakpastian (uncertainties) yang ada dalam
perencanaan bangunan tahan gempa, khususnya pada bangunan ruko 3 lantai yang banyak
dibangun di Jakarta. Faktor2 tadi digunakan untuk menghitung risk atau reliability dari bangunan
ruko dengan memanfaatkan fungsi hazard dan kapasitas gempa gedung tinggi melalui proses
teorema probabilitas total.

ASCE 7 – 2010 dan ASCE 7 – 2016 [4] dan Standar Nasional Indonesia 1726 - 2012 dan yang
sedang disiapkan SNI 1726 -2019 memasukan nilai risiko dalam perencanaan secara eksplisit
yang merupakan antisipasi terhadap gaya gempa dan berbagai ketidakpastian yang
menyelimutinya.

2. Ketidakpastian (uncertainties) Dalam Perencanaan Bangunan Tahan Gempa

Ketidakpastian dalam perencanaan bangunan dapat dibagi 2 bagian besar yaitu ketidakpastian
yang ada pada tahanan atau resistance dan ketidakpastian yang berkaitan dengan beban atau load,
dalam hal ini beban mati, beban hidup, dan beban gempa. Dan ketika berbicara tentang seberapa
aman atau seberapa reliable kah gedung2 super tinggi terhadap gempa maka pertanyaan yang
harus dijawab adalah seberapa akurasi atau ketepatan perencana dapat menetapkan kekuatan
bangunan dan beban gempa yang bekerja. Beban gempa tidak bekerja sendirian, melainkan
diikuti beban mati, dan sebagian dari beban hidup yang tentunya ikut diperhitungkan, dan pada
akhirnya menghasilkan beban total pada gedung.

2.1. Tahanan Dalam Bangunan Gedung

Dapat dikatakan bahwa hampir semua parameter atau variabel yang terlibat dalam perencanaan
bangunan tahan gempa adalah variabel yang sifatnya acak atau random.Tidak pernah ada dari uji
coba kuat tekan beton atau uji tarik baja diperoleh hasil yang seragam, selalu menunjukan variasi
yg mengikuti pola tertentu (Gambar 1 dan Gambar 2). Selain itu rumus2 yang dipakai untuk
menghitung kuat lentur atau kuat geser penampang, atau kekuatan tekan kolom merupakan
simplifikasi dari dari phenomena yang kompleks. Perbandingan antara nilai prediksi (predicted
value) dan nilai yang diukur (observed value) tidak selalu satu (model sempurna) melainkan
menunjukan variasi yang harus diperhitungkan dalam perencanaan (Gambar 3). Ketidakpastian
juga muncul dalam respons bangunan yang bervariasi akibat beban gempa yang bervariasi
walaupun mempunyai yang peak ground acceleration (PGA)yang sama. Tabel 1 Menunjukan

2
bahwa suatu gedung dapat runtuh pada PGA yang berbeda, karena pengaruh gempa yg berbeda
energi, frekwensi, serta durasinya.

Gambar 1. Uji Kuat tekan Beton Tower 1, Thamrin Nine

Gambar 2. Histogram Uji Tarik Baja, Tower 1, Thamrin Nine

3
Gambar 3. Perbandingan Antara Prediksi dan Kuat Geser
(Sesudah Nilson et. al., 2004, [5])

Tabel 1. Variasi Kapasitas Tower 1, Thamrin nine


Akibat Beban Gempa Riwayat Waktu Yang Berbeda
(Sesudah Patrisia, dkk, [6] 2017)

4
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tahanan bangunan akibat gaya gempa merupakan
variabel yang sifatnya acak yang mempunyai nilai rata2, fungsi distribusi, dan nilai deviasi
standar. Pada umumnya tahanan mengikuti distribusi lognormal dan dalam banyak hal disebut
sebagai fungsi fragilitas bangunan atau fragility function.
.
2.2. Ketidakpastian Dalam Menentukan Gaya Gempa

Ketidakpastian yang paling besar datang dari prediksi percepatan guncangan tanah yang akan
bekerja pada suatu gedung dalam masa guna bangun

an tersebut. Ketidakpastian ini bersumber dari ketidak tahuan kita untuk menentukan kapan dan
dimana gempa akan terjadi, berapa magnitudo gempa yang akan terjadi, dan berapa percepatan
gempa yang akan terjadi dilokasi gedung. Tegasnya kita tidak tahu dengan pasti (deterministik).
Para perencana dihadapkan pada ketidakpastian dan risiko, namun keputusan harus diambil.
Pembangunan harus tetap berlanjut. Dan ini bukan masalah baru, enjiniring selalu berhadapan
dengan ketidakpastian dan tidak pernah hal ini mencegah perencana untuk memutuskan.
Perencana adalah seorang risk taker. Untuk mengatasi hal ini perencana menggunakan konsep
angka keamanan yg harus dipenuhi, yaitu rasio antara kekuatan nominal / beban nominal. Atau
konsep Load Resistance Factor Design dalam merancang elemen2 struktur seperti: pelat, balok,
kolom, dinding geser, dan/ atau core wall yang kesemuanya didasarkan atas tingkat risiko yg
telah diterima. Sebagai contoh SNI 1726: 2012 [2] menetapkan probabilitas gagal sebesar 1%
dapat diterima untuk umur gedung 50 tahun.

2.3. Peta Hazard Gempa dan Probabilistic Seismic Hazard Analysis (PSHA).

Untuk menentukan gaya gempa yang akan dipakai dalam merancang sebuah gedung super tinggi
dilokasi tertentu, perencana memerlukan informasi percepatan tanah maksimum yang akan
dipergunakan untuk menentukan gaya geser dasar (base shear) gempa yang bekerja (diperkirakan
akan bekerja) pada dasar gedung. Maka diperlukan peta hazard (bahaya) gempa yang dipakai
untuk menentukan koefisien geser Cs. Peta yang telah dibuat dalam SNI 1726 2012 [2] dan
segera akan dimutakhirkan pada akhir 2019 didasarkan atas konsep 1% accepatable risk. Tentu
saja sudah diperkirakan bahwa banyak ketidakpastian dalam menentukan percepatan batuan
dasar pasa perioda pendek atau Ss dan percepatan batuan dasar pada perioda 1 detik atau yg biasa
disebut dengan S1. Tentu saja penetapan Ss dan S1 tidak terlepas dari ketidakpastian yang
inherent ada dalam konsep yang dikembangkan. PSHA yang digunakan selalu mengandung
unsur2 sebagai beriukut [7]:

1. Kejadian gempa yang dimodel sebagai proses Poisson


2. Magnitudo yang akan terjadi pada suatu patahan dimodel sebagai random variable
berdistribusi truncated exponential
3. Lokasi hypocentrum pada patahan dimodel sebagai berdistribusi uniform artinya gempa
dapat terjadi dengan probabilitas yang sama pada sesar tertentu.

5
4. Panjang sesar dapat dimodel untuk mengikuti distribusi beta yang mempunyai banyak
kemungkinan bantuk namun mempunyai batas atas dan bawah
5. Jika Gempa terjadi pada suatu kawasan maka kawasan tersebut dapat juga dimodel untuk
mengikuti distribusi beta, dan gempa dapat terjadi secara uniform pada kawasan tersebut.
6. PSHA dikembangkan untuk fungsi atenuasi tertentu, atau yang biasa disebut sebagai GMPE,
Ground Motion Prediction Equation. GMPE ini pada umumnya diturunkan untuk kawasan
tertentu dengan menggunakan regresi linear maupun nonlinear. Sejak Esteva dan
Rosenbleuth (1964) [8] memperkenalkan fungsi GMPE pertama (Gambar 4), hingga kini
telah tercatat ada 440 GMPE yang dipublikasikan, dan yang terakhir diusulkan oleh Mahani
dan Kao (2018 [9]). Sebagai catatan belum pernah ada GMPE yang 100% fit dengan data,
selalu ada deviasi jika dibandingkan dengan pengukuran lapangan. GMPE adalah salah satu
persamaan yang digunakan dalam menentukan hazard suatu daerah dan ikut menyumbang
pada variabilitas peta gempa dan fungsi hazard suatu kawasan. Gambar 5, 6, dan 7
menunjukan penyebaran data pengukuran terhadap fungsi atenuasi tertentu/ GMPE.

Gambar 4. Variasi nilai PGA dengan Focal Distance


(Sesudah Esteva dan Rosenbleuth, 1964 [8])

Ditinjau dari pendekatan pobabilistik dapat dikatakan bahwa peta yang eksak atau fungsi hazard
suatu kawasan tertentu yg eksak tidak mungkin diperoleh, karena ia merupakan
“penjumlahan”dari banyak random variable. Penjumlahan dari banyak random variable akan
mendekati distribusi normal dengan mengacu pada teorema limit sentral atau cental limit
theorem. Dapat dikatakan bahwa fungsi hazard bagi suatu daerah merupakan random variable yg
bervariasi yang tentunya akan mempengaruhi nilai annual hazard atau risiko yang akan dihitung.
Variabilitas ini dapat diperhitungkan untuk mendapatkan hasil risiko bangunan atau probability
of collaps bangunan.

6
2.4. Perbedaan antara Proses Desain dan Kinerja Gedung akibat Gempa.

Dalam proses desain gedung tinggi pada umumnya perencana menggunakan gaya lateral yang
bekerja pada tiap lantai gedung. Gaya tingkat tersebut di hitung dari gaya geser dasar yang
bekerja pada permukaaan tanah. Perbedaaan yang mendasar antara proses desain dan realita gaya
gempa yang bekerja adalah dalam persamaan gaya yang diselesaikan.

Gambar 5. Perbandingan Model NGA Parkfield 2004 dengan


Prediksi dari GME BA07 , [10] (Sesudah Boore dan Atkinson, 2007)

Gambar 6. Perbandingan Data Gempa, Akbar dan Boomer 2010, strike-slip M=4.5 dgn Data
Gempa Market [11] Rasen (sesudah Arrangoi et al 2012)

7
Gambar 7. Percepatan Tanah untuk 3 Macam Sumber Gempa,
Dengan T = 0.1 detik (Sesudah Boore, 2008, [12]

Dalam proses desain persamaan yang diselesaikan adalah:

{P} = [K] {x} (1)

Matrix P adalah gaya lateral ekivalen yang bekerja yang diharapkan dampaknya mendekati gaya
yang terjadi akibat gempa, K adalah kekakuan struktur, dan x adalah deformasi.
Sedangkan persamaan gerak gedung akibat gempa mengandung matix masa M dan redaman C
yang tidak ada dalam persamaan yang digunakan dalam tahap perencanaan, sebagai berikut:

[M] {𝑥̈ } + [C] {𝑥̇ } + [K] {x} = - [M] {𝑥̈ 𝑔 } (2)

Dimana 𝑥̈ 𝑔 adalah percepatan tanah akibat gempa. Jelas sekali akan ada perbedaan antara hasil
persamaan 1 dan 2, karena simplifikasi yang diambil. Secara umum persamaan 1 akan
memberikan hasil yang konsevatif karena berbagai persyaratan yang harus dipenuhi dalam
menentukan gaya geser dasar rencana yang diatur oleh standar SNI 1726:2012 [2]. Analisis
pushover pun tidak merefleksikan perilaku gedung dalam menahan gaya gempa, namun besaran2
yang diperoleh dari analisis pushover seperti Cd , R, dan Ωo dapat dipakai dalam perencanaan
awal untuk mendapatkan dimensi dan tulangan. Setelah itu sebaiknya perencana back to basic
menggunakan performance based design (PBD) dengan memanfaatkan persamaan gerak gedung
akibat gaya gempa. Analisis nonlinear riwayat waktu dapat diterapkan pada gedung melalui step
by step direct integration e.g, Newmark β Method (Newmark and Rosenbleuth, 1971 [13]).

8
Dalam PBD yang diperlukan adalah input ground motion dilokasi bangunan dan karakteristik
penampang yang ditandai oleh dimensi penampang, tulangan, mutu beton, dan mutu baja. Jika
input ground motion ini dimiliki melalui research dan pengukuran lapangan maka berbagai
ketidakpastian yang muncul dalam PSHA dapat di bypass. Khususnya dalam perencanaan
gedung super tinggi lebih realistis jika gedung tersebut diuji dengan beberapa ground motion
yang diperkirakan bekerja dilokasi gedung. Semakin banyak ground motion yang digunakan
akan semakin baik perencana mendapat gambaran akan perilaku gedung, kekuatan dan kekakuan
gedung. Lebih jauh lagi dari data kekuatan diatas dibentuk probability density function dari
kapasitas atau yg lebih dikenal dengan nama fungsi fragilitas gedung tersebut.

2.5. Pengaruh Hukum Atenuasi atau GMPE yang Berbeda

Hingga saat ini telah diperkenalkan lebih dari 400 GMPE dan tidak ada satupun yang
memberikan hasil dapat menggambarkan kegempaan suatu daerah dengan akurat atau eksak.
Artinya kurva hazard yang dibuat dengan GMPE yang berbeda akan memberikan hazard yang
berbeda juga, dan akan memberikan nilai annual exceedance yang berbeda. Dengan kata lain
nilai risiko yang diperoleh juga merupakan nilai yang acak yang tidak pernah dapat ditentukan
dengan pasti. Engineer hanya dapat melakukan best estimate dengan menggunakan misalnya
total probability theorem. Dengan sedikit simplifikasi, tentunya. Gambar 8 menunjukan kurva
hazard yang diperoleh untuk 4 GMPE atau fungsi atenuasi yang sering digunakan.

Hazard Curve dari Berbagai Atenuasi


1,0000
Annual Frequency Acceedence

0,1000

0,0100

0,0010

0,0001
0,0001 0,001 0,01 0,1 1
Spectral Acceleration (g)

Boore-Atkinson (2008) NGA USGS 2008 Abrahamson-Silva (2008) NGA


Zhao et al (2006) USGS 2008 Campbell (2003) USGS 2008 Mw

Gambar 8. Kurva Hazard Untuk Berbagai Atenuasi di Jakarta

9
Gambar 9. Sumber gempa untuk wilayah Jakarta radius 500 km

Kurva hazard ini dibuat dengan melakukan PSHA yang memasukan berbagai sumber gempa
disekitar kota Jakarta pada radius 500m km seperti yang terlihat pada Gambar 9 dan Tabel 2, 3,
dan 4.
Tabel 2. Parameter gempa fault/shallowcrustal untuk Jakarta
Slip-Rate Dip Top Bottom Width
Fault Name Sense Mmax Design
mm/yr deg km km km
Cimandiri 4 Strike-slip 90 3 18 15 7.2
Lembang 1.5 Strike-slip 90 3 18 15 6.6
Sunda 5 Strike-slip 90 3 18 15 7.6
Semangko 5 Strike-slip 90 3 18 15 7.2

Tabel 3. Parameter gempa subduksi/megathrust untuk Jakarta

Mmax (Desain)
Subduction Name Mmax History b-value a-value
GR Char
Southern Sumatra Megathrust 7.9 (04-06-2000) 1.05 5.76 8.2 8.2
Java Megathrust 8.1 (27-02-1903) 1.1 6.14 8.1 8.1

Terlihat pada Gambar 8 bahwa nilai probability of annual exceedance untuk Jakarta bervariasi,
tergantung fungsi atenuasi yang digunakan. Dan kita tidak mengetahui dengan pasti mana fungsi
yang tepat untuk Jakarta. Sehingga peta gempa yang diperoleh bukanlah sesuatu yang pasti.

10
Tabel 4. Parameter gempa shallow, intermediate dan deep background untuk Jakarta

Depth of Magnitude
Background Condition b-value a-value
Background (km) Minimum Maximum
0 - 10 5 6.5 1 4.772
10 - 20 5 6.5 1 4.795
Shallow Background 20 - 30 5 6.5 1 5.011
30 - 40 5 6.5 1 5.702
40 - 50 5 6.5 1 5.094
50 - 75 5 7.6 1 5.149
75 - 100 5 7.6 1 5.226
Intermediate- Deep
100 - 150 5 7.6 1 5.357
Background
150 - 200 5 7.8 1 5.154
200 - 300 5 7.8 1 5.134

3. Model Probabilitas Gedung Akibat Gaya Gempa

Annual Hazard adalah probabilitas suatu besaran PGA diliwati dalam satu tahun untuk suatu
lokasi tertentu. Annual hazard ini diperoleh melalui PSHA. Sebagai contoh, jika suatu gedung
dirancang untuk dapat menahan PGA = 0.2 g, maka gedung tersebut akan gagal bila PGA yang
terjadi lebih besar dari 0.2g, atau gagal bila PGA > 0.2g atau Probabilitas gagal = P (X > 0.2g),
dimana X adalah PGA yang akan terjadi. Inilah yang mendasari konsep uniform hazard dimana
nilai hazard dianggap sama dengan risiko gagal struktur gedung. Hasil ini akan benar jika
kekuatan gedung merupakan deterministik variabel, bukan acak. Konsep ini digunakan dalam
SNI 1726:2002. Perkembangan lebih lanjut menunjukan bahwa kapasitas struktur merupakan
random variable, jauh dari deterministik. Karakteristik acak ini sebagai akibat variabilitas dalam
bahan baja dan beton dan pengaruh rekor gempa yang berbeda. Setiap gempa mempunyai energi,
frekwensi, PGA, dan durasi yang berbeda satu sama lainnya yang memberikan dampak berbeda
juga dalam respons bangunan. Dengan demikian jika kapasitas penampang sama dengan Y,
maka gagal dapat didefinisikan sebagai percepatan tanah yang terjadi lebih besar kapasitas
gedung atau X > Y atau dalam bentuk condional probability dapat dituliskan sebagai:

P(Gagal) = P(X > Y | kapasitas = y) (3)

Karena Y merupakan variabel acak maka melalui teorema probabilitas total, probabilitas gagal
dapat dinyatakan sebagai:

𝑎
P(Gagal) = ∫0 P(X > Y | y) 𝑓𝑌 (y) (4)

11
P (X > Y |y) adalah fungsi hazard yang diperoleh melalui PSHA sedangkan 𝑓𝑌 (y) adalah
kapasitas struktur atau yang disebut juga fragilitas struktur. Pada umumnya 𝑓𝑌 (y) mengikuti
distribusi lognormal dengan demikian risiko dapat dinyatakan sebagai [14], [15], dan [16]:

2
1 1 ln y− ln µ+0.5 ln( 1 + Ω2𝑦 )
Pf = T x ∫ P(X > y | y) exp {− 2 [ ] }
√2πβy β

(5)

Dimana μ nilai rata2 dari kapasitas Y, Ωy adalah koefisien variasi dari Y dan β adalah deviasi
standar dari lnY, dan T adalah umur bangunan. Statistik dari Y ini diperoleh dengan cara
menguji ketahanan gedung terhadap gempa riwayat waktu yang diperbesar hingga terjadi
collapse atau keruntuhan pada kolom atau shearwall. Teknik ini dikenal sebagai incremental
dynamic analysis (IDA). Jika dilakukan terhadap n riwayat waktu, maka akan diperoleh n data
kekuatan gedung dalam bentuk Y atau PGA maksimum yang dapat ditahan gedung. Dengan
demikian dari n data tersebut dapat diperoleh nilai rata2 maupun koefisien variasi yang menjadi
input dalam Persamaan 5.

Untuk mengantisipasi pengaruh kekuatan bahan yang random, terbatasnya data riwayat waktu
yang digunakan, atau model struktur yang tidak sempurna, maka koefisien variasi dari kapasitas
diperbesar dengan pendekatan first order second moment (e.g., Ang dan Tang, 1970 [17])
sebagai berikut:

Ω2Y = Ω2𝑅 + Ω2D + Ω2S + Ω2M (6)

Dimana ΩR = koefisien variasi yang diperoleh dari IDA, ΩD = koreksi koefisien variasi karena
terbatasnya data riwayat waktu gempa, ΩS = koreksi karena model struktur yang tidak sempurna,
dan ΩM = koreksi karena variabilitas dari bahan baja dan beton.

Dan β menjadi:

β = √ln(1 + Ω2Y ) (7)

Dengan menggunakan persamaan 1 hingga 7 probabilitas gagal suatu gedung dapat dievaluasi
dengan cepat dan sederhana. Metoda ini bukan satu satunya cara untuk menghitung risiko
terhadap gempa. Risiko kegagalan dapat juga ditentukan melalui proses random vibration
dimana beban gempa dimodel sebagai sebuah proses stokastik atau melalui proses simulasi
Monte Carlo (e.g., Ang dan Tang 1970)

4. Contoh Perhitungan Risiko Pada Bangunan Ruko 3 Lantai

12
Untuk menunjukan perhitungan risiko dengan mempertibangkan pengaruh berbagai pengaruh
ketidakpastian diatas, maka dilakukan evaluasi risiko bangunan Ruko 3 lantai dengan denah
seperti pada Gambar 10 dan potongan seperti pada Gambar 11. Bangunan Ruko ini telah
direncanakan dengan mengikuti SNI 1726 – 2012.

6m

6m

6m

6m

8m 8m

Gambar 10. Denah Bangunan Ruko 3 Lantai

13
3.5
m

3.5
m

3.5
m

8 8
m m
Gambar 11. Potongan Bangunan Ruko 3 Lantai

Berikut adalah properti material yang digunakan dalam desain bangunan ruko:
 Beton = 30 MPa
 Tulangan = 400 MPa
 Sengkang = 400 MPa
Beban yang digunakan dalam studi ruko ini disesuaikan berdasarkan fungsi dari ruko yaitu
difungsikan sebagai kantor dengan besar beban sesuai SNI 1727:2013 sebagai berikut:
a) Dead Load (DL) = Self Weight Beton 24 kN/m3; Tulangan 78.5 kN/m3
b) Super Imposed (SIDL) = 1.5 kN/m2
c) Live Load (LL) = 2.4 kN/m2
d) Live Load Roof (Lr) = 2 kN/m2

Beban gempa yang diaplikasikan pada bangunan ruko adalah beban gempa yang disyaratkan
dalam SNI 1726:2012. Beban gempa dikenakan pada struktur melalui metode respons spektra
yang ditentukan berdasarkan lokasi bangunan, yaitu kota Jakarta. Parameter beban gempa yang
didapat adalah berdasarkan web PUSKIM. Berikut adalah parameter gempa serta respon spectra
(Gambar 12) untuk jenis tanah SE.

Table 5. Parameter2 dalam Perencanaan Bangunan Ruko


Parameter Nilai
SS (g) 0.68
S1 (g) 0.299
FA 1.34
FV 2.806
SMS (g) 0.911
SM1 (g) 0.838
SDS (g) 0.607
SD1 (g) 0.559

14
T0 (detik) 0.184
TS (detik) 0.919

Respon Spektra (Tanah SE)


0,7

0,6

0,5

0,4
Sa (g)

0,3

0,2

0,1

0
0 1 2 3 4 5
T (detik)

Gambar 12. Respons Spektra Desain

Kombinasi pembebanan yang digunakan adalah sesuai dengan SNI 1726:2012 sebagai berikut:
Kombinasi Pembebanan Gravitasi:
1. 1,4 DL
2. 1,2 DL + 1,6 LL + 0,5 Lr
3. 1,2 DL + 1,6 Lr + LL
Kombinasi Pembebanan Gempa:
4. 1,32 DL ± Qx ± 0,3 Qy + L
5. 1,32 DL ± Qy ± 0,3 Qx + L
6. 0,78 DL ± Qx ± 0,3 Qy
7. 0,78 DL ± Qy ± 0,3 Qx
Pemodelan dilakukan dengan menggunakan bantuan software ETABS 2017 secara 3 dimensi (3-
D) seperti berikut (Gambar 13 dan 14)

15
Gambar 13. Denah Pemodelan Ruko 3 Lantai

Gambar 14. Pemodelan 3 Dimensi (3D) Ruko 3 Lantai


16
Partisipasi massa pada analisis modal didapatkan hasil sebagai berikut dalam Tabel 6:
Tabel 6. Partisipasi Masa Bangunan Ruko 3 Lantai
Period
Mode UX UY RZ Sum UX Sum UY Sum RZ
sec
1 0.57 0.8592 0 0 0.8592 0 0
2 0.501 0 0.8755 0 0.8592 0.8755 0
3 0.456 0 0 0.8668 0.8592 0.8755 0.8668
4 0.178 0.115 0 0 0.9742 0.8755 0.8668
5 0.164 0 0.1025 0 0.9742 0.9781 0.8668
6 0.146 0 0 0.1089 0.9742 0.9781 0.9757

Ketentuan analisis respon spectra sesuai SNI 1726:2012 mensyaratkan bahwa gaya geser dasar
struktur akibat beban dinamik respon spectra harus ≥ 0.85 gaya geser dasar analisis static lateral
ekivalen atau Vdinamik ≥ 0.85 Vstatik. Gaya Lateral Ekivalen diberikan pada Tabel 7.

Tabel 7. Gaya Lateral Ekivalen Dalam Perencanaan Banunan Ruko Lantai di Jakarta
Gaya Lateral Ekivalen Elastik Arah X Gaya Lateral Ekivalen Elastik Arah Y
Nilai Cs Nilai Cs
SD1 0.559 detik SD1 0.559 detik
SDS 0.607 detik SDS 0.607 detik
S1 0.299 detik S1 0.299 detik
R 8 R 8
I 1 I 1
T 0.52 detik T 0.50 detik
Cs 0.0759 Cs 0.0759
Cs max 0.1348 Cs max 0.1395
Cs min 1 0.0267 Cs min 1 0.0267
Cs min 2 Tidak Perlu Cs min 2 Tidak Perlu
Cs Pakai 0.0759 Cs Pakai 0.0759
W 8239.456 kN W 8239.456 kN
Vs 625.17 kN Vs 625.17 kN
Faktor pengali 1.019 Faktor pengali 1.002

Elemen struktur ruko dalam studi ini memiliki dimensi sebagai berikut:
 Balok Induk = 600 mm x 400 mm
 Balok Anak = 400 mm x 200 mm
 Kolom = 500 mm x 500 mm

17
Kebutuhan tulangan longitudinal dan geser elemen struktural ditentukan berdasarkan kombinasi
pembebanan SNI 1726:2012 dan juga persyaratan detailing dari SNI 2847:2013 dengan hasil
seperti pada Tabel 10, sebagai berikut:

Tabel 8. Tulangan Pada Bangunan Ruko 3 Lantai

Balok Induk
Tumpuan I Lapangan Tumpuan J
Tipe Lokasi
Tulangan Area Tulangan Area Tulangan Area
Atas 2D25 981.75 2D25 981.75 2D25 981.75
Tengah 2D13 265.46 2D13 265.46 2D13 265.46
Tipe 1
Bawah 2D25 981.75 2D25 981.75 2D25 981.75
Geser 2D10 - 150 1047.20 2D10 - 250 628.32 2D10 – 150 1047.20
Atas 2D25 981.75 2D25 981.75 2D25 981.75
Tengah 2D13 265.46 2D13 265.46 2D13 265.46
Tipe 2
Bawah 2D25 981.75 2D25 981.75 2D25 981.75
Geser 2D13 - 150 1769.76 2D13 - 200 1327.32 2D13 – 150 1769.76
Atas 2D22 760.27 2D22 760.27 2D22 760.27
Tengah 2D13 265.46 2D13 265.46 2D13 265.46
Tipe 3
Bawah 2D22 760.27 2D22 760.27 2D22 760.27
Geser 2D13 - 151 2693.86 2D13 - 201 1853.23 2D13 – 151 2693.86
Atas 3D25 1472.62 2D25 981.75 3D25 1472.62
Tengah 2D13 265.46 2D13 265.46 2D13 265.46
Tipe 4
Bawah 2D25 981.75 2D25 981.75 2D25 981.75
Geser 2D10 - 150 1047.20 2D10 - 250 628.32 2D10 – 150 1047.20

Balok Anak
Tumpuan I Lapangan Tumpuan J
Tipe Lokasi
Tulangan Area Tulangan Area Tulangan Area
Atas 4D22 1520.53 2D22 760.27 4D22 1520.53
Tengah 2D13 265.46 2D13 265.46 2D13 265.46
Tipe 1
Bawah 2D22 760.27 3D22 1140.40 2D22 760.27
Geser 2D10 - 150 1047.20 2D10 - 200 785.40 2D10 – 150 1047.20

Tabel 9. Tulangan Kolom Pada Bangunan Ruko 3 Lantai

Longitudinal Kolom Interior Longitudinal Kolom Eksterior


Jumlah 12 buah Jumlah 12 Buah
Diameter 25 mm Diameter 22 Mm
As 5890.49 mm2 As 4561.59 mm2
Percentage 2.36 % Percentage 1.82 %

18
Tabel 10. Input Ground Motion Dalam Menentukan Fungsi Fragilitas
(Wayan Sengara, 2019)
Dur Scal
PGA
N Kode asi PGA Arah e PGA
Arah Performance
o Gempa deti Ma MAX Beban Fact Collapse
Min
k x or

19
-
N 0.2
0 0.27 X 1 Kolom Dasar CP
S 72
1
1 Padang 100 0.2721 0.245
-
9 E 0.0
0.06 Y 0.9 Kolom Dasar CP
0 W 58
1
-
N 0.1
0 0.20 X 1 Yield to IO
S 74
5
2 ABY 50 0.2504 0.689
-
9 E 0.2
0.25 Y 2.75 Kolom Dasar CP
0 W 36
0
-
N 0.2
0 0.24 X 1 IO to LS
S 27
1
3 TAP035 88 0.2408 0.602
-
9 E 0.1 0.18 Y Kolom Dasar CP
0 W 82 9 2.5
-
N
0 0.1 0.15 X 1 Elastik
S
57 7
4 TCU120 90 0.1829 0.457
-
9 E 0.1 0.18 Y Kolom Dasar CP
0 W 63 3 2.5
-
N
0 0.1 0.18 X 1 Elastik
S
73 1
5 TCU089 79 0.2327 0.582
-
Kolom Dasar 2
9 E 0.2 0.23 Y
Sendi Plastis
0 W 18 3 2.5
-
N
0 0.1 0.15 X 1 Elastik
S
87 6
6 TCU015 90 0.2017 0.605
-
9 E 0.2 0.17 Y Kolom Dasar CP
0 W 02 1 3
-
N
0 0.2 0.20 X 1 Elastik
S
262. 61 4
7 MYG013 0.2614 0.654
5 -
9 E 0.1 0.13 Y Kolom Dasar CP
0 W 24 5 2.5

Hasil analisis dapat disampaikan sebagai berikut, bahwa struktur ruko gagal dalam berbagai nilai
PGA yang tergantung pada input motionnya, bervariasi dari 024g hingga 065g ( Tabel 11),
dengan nilai rata2 0548g serta deviasi standar 0.152 (Tabel 12)

Tabel 11. Nilai PGA yang Menggagalkan Struktur Ruko Akibat Berbagai Gempa

PGA Failure
No Earthquake Ground Motion PGA Scale PGA Scaled

20
g g
8 MYG013 0.26 2.5 0.65
9 TCU015 0.20 3.0 0.61
10 TCU089 0.23 2.5 0.58
11 TCU120 0.18 2.5 0.46
12 ABY 0.25 2.8 0.69
13 TAP035 0.24 2.5 0.60
14 Padang 0.27 0.9 0.24

Tabel 12. Parameter Statistik Tahanan Ruko dari Hasil Riwayat Waktu

Parameter Nilai
Μ 0.548
Σ 0.152
Λ -0.639
Ζ 0.346

Jika di plot maka akan memberikan fungsi fragilitas ruko dalam bentuk probability density
function dan cumulative distribution function seperti pada Gambar

Fragility Curve (PDF)


2,5

2
Fragility Function (PDF)

1,5

0,5

0
0,1 1 10
PGA (g) - Logaritmic Scale

21
Fragility Curve (CDF)
1,2

1
Fragility Function (PDF)

0,8

0,6

0,4

0,2

0
0,1 1 10
PGA (g) - Logaritmic Scale

Gambar 15. Probability Density Function dan Cumulative Distribution Function


Dari Gedung Ruko 3 Lantai

Dengan menggunakan Persamaan 4 dan 5, risiko gagal akibat beban gempa di evaluasi dengan
memanfaatkan kurva hazard pada Gambar 16 (Sesudah Sengara, 2016). Terlihat bahwa risiko
gagal bervariasi dari 0.39 % hingga 8.44% tergantung pada nilai T gempa itu sendir, short
periode atau long periode. Bangunan ruko adalah bangunan yang relative kaku dengan perioda
kurang 0.6 detik. Dengan demikian risiko kurang dari 8% (Tabel 8).

10
HAZARD CURVE JAKARTA
Annual Frequency Acceedence

T = PGA
1

T = 0.2 sec
0,1
50 % PE in 30 years
0,01

0,001
2% PE in 50 years

0,0001
0,0001 0,001 0,01 0,1 1
Spectral Acceleration (g)

Gambar 16. Fungsi Hazard Kota Jakarta untuk Beberapa Nilai T Gempa [21]

22
Tabel 8. Kemungkinan Gagal Gedung Ruko 3 Lantai

Probability of Collapse
Periode Ulang
T = PGA T = 0.2 detik T = 1 detik
Tahunan 0.02% 0.18% 0.01%
50 Tahun 0.92% 8.44% 0.39%

5. Risiko Menurut ASCE 7 2016 dan SNI 1726 2012 dan SNI 1726 2019
Secara konseptual dalam menentukan gempa desain perencana harus menentukan berapa gempa
maksimum yang mungkin terjadi dalam umur bangunan, melalui data statistik yang dimiliki
daerah. Namun pendekatan tersebut memerlukan pengetahuan statistik ekstrim yang tidak
praktikal digunakan dan khususnya di Indonesia data gempa belumlah lengkap dimiliki.
Akhirnya dibuat kesepakatan bahwa peta gempa yang akan digunakan untuk menentukan gempa
nominal atau gempa desain didasarkan atas 1% risk of failure. Artinya bangunan yang dirancang
menggunakan peta gempa tersebut secara implisit mempunyai risiko kegagalan 1% terhadap
gempa yang mungkin terjadi didaerah tertentu. Gempa terasebut dinamakan Risk Targetted
Maximum Considered Earthquake atau MCER.Tentu saja untuk suatu daerah tertentu bisa saja
tidak terjadi gempa pada tenggang umur bangunan. Perlu diingat bahwa kejadian gempa
merupakan phenomena yang random.
Lebih jauh lagi ASCE 7 2016 mengatur bahwa risiko kegagalan akibat gempa MCER harus
mencapai nilai tertentu. Dalam hal ini diasumsikan bahwa gempa maksimum akan terjadi
(conditional probability) dalam kurun waktu umur bangunan. Misalnya pada bangunan dengan
importance factor = 1.25 (kategori risiko III), struktur bangunan harus mencapai risk = 5%. Ini
adalah probability of failure akibat MCER saja. Berbeda dengan nilai 1% risk yang diakibatkan
oleh semua gempa, bukan saja MCER.

6. Penutup

Ketidakpastian dalam perencanaan bangunan tahan gempa tidak dapat dihindarkan, baik dalam
menentukan kapasitas bangunan terhadap gaya gempa maupun dalam menentukan gaya gempa
MCER, misalnya. Lebih jauh lagi, dalam umur bangunan yang direncanakan gempa kuat bisa
saja terjadi dan bisa juga tidak. Kejadian gempa merupakan variabel random yang kerap
dimodelkan sebagai proses Poisson.

Oleh karena ASCE 7 – 2010 dan ASCE 7 – 2016 dan kemudian SNI 1726 – 2012 maupun SNI
1726 – 2018 (mudah2an) memasukan secara eksplisit faktor risiko sebagai persyaratan kinerja
yang harus dicapai oleh bangunan Gedung. Peta gempa didasarkan atas asumsi 1% risk, artinya
bangunan yang dirancang mempunyai nilai risiko kegagalan 1%.

23
Sebenarnya risiko kegagalan sangat sukar diperkirakan, namun kita membuat the best estimate
yang diterjemahkan dalam peta gempa yang dibuat. Pada bangunan ruko sederhana saja risiko
bervariasi tergantung pada fungsi atenuasi yang digunakan dan record to record variation dari
gaya gempa yang digunakan untuk menentukan kapasitas bagunan.

Perlu dilakukan studi yang lebih mendalam akan fungsi atenuasi yang akan digunakan serta
dampaknya pada ketidakpastian serta gempa desain yang lebih sesuai dengan karakteristik
bangunan.

7. Pustaka Acuan

1. “Peta Sumber Gempa dan Bahaya Gempa Indonesia 2017”, Tim Pusat Studi Gempa
Nasional, Pusat Litbang Perumahan dan Pemukiman, Badan Penelitian dan Pengembangan
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan rakyat, September 2017.

2. “Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa Untuk Struktur Bangunan Gedung dan
Non Gedung”, SNI 1726:2012, Badan Standardisasi Nasional 2012.

3. Budiono, B., “Struktur Bangunan Tahan Gempa”, Orasi Ilmiah dalan Rangka Dies ITB,
2017.

4. ASCE/ SEI 7-16, “Minimum design Loads and Associated Criteria for Buildings and
other Structures”, ASCE 2017.

5. Nilson, A. H., Darwin, D., and Dolan, C. W., “Design of Concrete Structures”, McGraw
Hill, 13th Edition, 2004.

6. Junisa Arini Patrisia, Bambang Budiono, Indra Djati Sidi, “ Reliabilitas Struktur Gedung
T9-Tower 1 Terhadap Beban Gempa MCER Dengan Incremental Dynamic Analysis”,
Sdeminar HAKI 2017.

7. Robin K. Mc Guire, “Seismic Hazard and Risk Analysis”, Earthquake Engineering


Research Institute, 2004.

8. Esteva and Rosenbleuth, “Espectros de Temblores a Distancias Moderadas y Grandes”,


Boletin Sociedad Merxicana de Ingeniria Sesmica, 2:1 18, 1964. (in Spanish).

9. Mahani, A.B. and Kao, H., “Ground Motion from m 1.5 to 3.8 Induced Earthquakes at
Hypocentral distance < 45 km in the Montrey Play of North East British Columbia”,
Canada, Seismological Research Letters, 89 (18): 22-34, January 2018.

10. Boore, D. M. and Atkinson, G.M.,”Boore-Atkinson NGA Ground Motion Relations for
the Geometric Mean Horizontal Component of Peak and Spectral Ground Motion
Parameters”, PEERC Report 2007/1, University of Berkeley, May 2007.
24
11. Arango et. al., “Comparing Predicted and Observed Ground Motions from UK
Earthquakes”, 15 WCEE, Lisboa, 2012.

12. Boore, D.M., “Ground Motion Prediction Equations (GMPEs) from a Global Dataset:
The PEER NGA Equation”, USGS

13. Newmark, N.M. and Rosenblueth, E., “Fundamentals of Earthquake Engineering”,


Prentice Hall 1971.

14. Sidi, I.D., Putri, I.R.P., Rivani, D.A.F., Patrisia, J.A., and Hapsari, W. (2016), "Probabilistic
Modeling of Seismic Risk Based Design for Super Tall Building with Outrigger and Belt
Truss in Jakarta", 5th International Symposium on Reliability Engineering and Risk
Management", August 17 – 20, 2016, Seoul, Korea.

15. Indra Djati Sidi, Widiadnyana Merati, I Wayan Sengara, M. Rilly A. Yogi (212),
"Development of Seismic Risk Based Design for Buildings in Indonesia", 1st
International Coference on Sustainable Civil Engineering Structures and Construction
Materials (SCESCM) Enhancing the Role of Civil Engineering in Indonesia 11-13 Sept
2012.

16. Indra Djati Sidi, "Development of Seismic Risk Based Design for Super Tall Buildings in
Indonesia", The Latest Development in Civil Engineering, A book/ monograph to honnor
the 80th Birthday of Prof.Dr. Ir. Wiratman Wangsadinata, Februari 2015, ISBN: 978-602-
72044-0-9.

17. Alfredo H-S. Ang and Wilson Tang, “Probability Concepts in Engineering Panning and
Design”, Volume II Decision, Risk, and Reliability, John Wiley, 1990.

18. Bambang Budiono, Wiratman Wangsadinata, Indra Djati Sidi, “Desain Berbasis
Kinerja(Performance Based Design) Untuk Struktur Gedung Super Tinggi Thamrin 9
Tower 1 Dengan Sistem Outrigger & Belt-truss”, Seminar HAKI 2017.

19. “2015 NEHRP recommended Seismic Provision: Design Examples”, FEMA P-1051 /
July 2016.

20. Putri, I.R.P., “Reliability of 60 Storey Building with Single Outrigger and Belt Truss
Subjected to Earhtquake Load”, (in Indonesian). Final Project at Department of Civil
Engineering, Institut Teknologi Bandung, 2015

21. Sengara, W., “ SSRA + Time History and Steel Belt Truss Subjected to
EarhtquaGround Motion Generation”, Thamrin Nine Development Project – Jakarta,
2019.

25
22. Patrisia, J.A, “ Reliability of 60 Storey Building with Multi Outrigger and Belt Truss
Subjected to Earhtquake Load” (in Indonesian). Final Project at Department of Civil
Engineering, Institut Teknologi Bandung, 2015.

26

Anda mungkin juga menyukai