Modul 11
DAFTAR ISI
Bab 1
Bab 2
Bab 3
Pengantar..................................................................................................1
1.1.
Umum..............................................................................................1
1.2.
1.3.
Pendahuluan....................................................................................2
2.2.
2.3.
SEISMISITAS INDONESIA........................................................................7
3.1.
Bab 4
Umum..............................................................................................7
Umum..............................................................................................9
4.2.
10
4.3.
Bab 5
LIQUEFACTION.......................................................................................18
5.1.
Umum............................................................................................18
5.2.
Beban Gempa..........................................................................19
5.2.2.
Pelawan Liquefaction...............................................................20
Modul 11
Bab 1
Pengantar
1.1. Umum
Indonesia termasuk salah satu negara yang memiliki intensitas kejadian gempa yang cukup
tinggi (high seismicity area). Bahkan kejadian gempa yang memakan korban jiwa hingga
ratusan ribu orang baru saja terjadi di Banda Aceh pada tanggal 26 Desember yang lalu.
Oleh karena itu perencanaan beban gempa pada struktur bawah gedung adalah sangat
penting dalam rangka mengurangi (mitigation) bahaya gempa yang mungkin terjadi.
Dalam desain pondasi adalah sangat penting untuk memperhitungkan beban-beban
kegempaan, dimana beban tersebut ditentukan berdasarkan potensi kejadian gempa yang
mungkin terjadi pada suatu lokasi tertentu. Intensitas kegempaan bergantung pada seberapa
jauh lokasi dari sumber-sumber kegempaan. Di Indonesia telah disusun tingkat intensitas
kegempaan berdasarkan zona-zona tertentu, yang dijadikan menjadi sebuah peta yang
disebut dengan peta kegempaan. Dengan mengacu pada peta ini maka dapat dihitung
besaran beban gempa yang akan dimasukkan dalam proses perhitungan stabilitas pondasi.
1.2.
1.3.
Setelah menyelesaikan modul ini mahasiswa diharapkan dapat memenuhi hal-hal berikut.
1.
2.
3.
Mahasiswa mampu menghitung dan membuat response spektra pada suatu lokasi
yang ditinjau.
Pintor Simatupang
REKAYASA PONDASI II
Modul 11
Bab 2
2.1. Pendahuluan
Pada umumnya gempa terjadi secara tiba-tiba dalam bentuk pelepasan energi akibat adanya
deformasi pada kulit bumi sebagai interaksi antar lempeng tektonik. Lempeng-lempeng
besar di dunia ditunjukkan pada Gambar 1, di bawah ini. Bersamaan dengan terjadinya
gempa, energi dirambatkan dari sumbernya dalam bentuk gelombang seismik elastis. Lama
terjadinya gempa (durasi), besarnya (amplitude) dan frekuensi dari gelombang ini
merupakan fungsi dari jenis dan megnitude gempa, jaraknya dari epicenter dan jenis-jenis
material geologis yang dilewatinya. Struktur yang berada di daerah lintasan gelombang
tersebut akan mengalami guncangan yang dapat berakhir dengan kehancuran atau
kerusakan pada bangunan tersebut.
Pintor Simatupang
REKAYASA PONDASI II
Modul 11
Gambar 5 Rubuhnya jembatan Nishinomia akibat liquifaksi tanah pada gempa Kobe 1995
Gambar 6 Longsoran badan jalan kereta api pada gempa Niigata 2004
Pintor Simatupang
REKAYASA PONDASI II
Modul 11
Bab 3
SEISMISITAS INDONESIA
3.1. Umum
Indonesia merupakan daerah dengan keaktifan seismik yang besar karena dikelilingi oleh
empat lempeng tektonik terbesar di dunia, yaitu lempeng Eurasian, Australian, Pacific dan
Philipine. Dari kejadian-kejadian gempa yang telah dikumpulkan selama ini menunjukkan
bahwa dari tahun 1897 hingga tahun 2000 terdapat kejadian gempa dengan magnitude
gempa Ms > 5.0 sebanyak kira-kira 8237 kejadian dan 5 % diantaranya terjadi di Pulau Jawa
(Irsyam et al., 1999). Lokasi epicenter untuk kejadian gempa ini ditunjukkan pada Gambar 9.
Sumber zona kegempaan di Indonesia dapat diklasifikasikan dalam tiga macam, yaitu zona
subduction, zona strike slip dan zona diffuse seismik, seperti ditunjukkan pada Gambar 10.
Pada kenyataannya semua segmen merupakan zona aktif, namun hanya sedikit yang
pernah mengalami gempa besar (Mw > 8.5) selama dua abad terakhir ini.
Pintor Simatupang
REKAYASA PONDASI II
Modul 11
Bab 4
4.1. Umum
Analisis resiko gempa (seismic hazard analysis) merupakan istilah yang berkaitan dengan
proses perencanaan parameter ground motion dalam analisis seismik. Parameter ground
motion ini biasanya menyangkut penentuan percepatan dan respon spektra di batuan dasar
dalam periode ulang tertentu. Secara umum untuk mendapatkan parameter ini meliputi
beberapa langkah berikut:
1. Identifikasi sumber-sumber gempa yang berkemampuan menimbulkan gerakan
batuan kuat (strong ground motion) pada lokasi proyek.
2. Mengevaluasi potensi seismik masing-masing sumber gempa tersebut.
3. Mengevaluasi intensitas rencana ground motion di lokasi proyek.
Identifikasi sumber-sumber gempa meliputi jenis fault dan lokasinya. Untuk itu dibutuhkan
data-data geologi, seismologi dan geofisika. Sumber-sumber gempa yang diakomodasi
adalah sumber-sumber gempa yang dianggap berpotensi menghasilkan gerakan tanah yang
cukup signifikan pada struktur yang ditinjau. Sumber-sumber gempa Indonesia yang meliputi
daerah 90o E sampai 125o E longitude dan 10o S sampai 10o N latitude ditunjukkan pada
Gambar 11. Magnitude terendah adalah M=5 dan kedalaman maksimum adalah 200 km.
Data-data kegempaan ini berasal dari kejadian gempa sejak 14 Desember 1901 hingga 30
Desember 2000.
Intensitas gerakan tanah pada suatu lokasi umumnya dapat ditinjau berdasarkan evaluasi
berikut:
1. Metode deterministik (Deterministic Seismic Hazard Analysis)
2. Metode probabilistik (Probabilistic Seismic Hazard Analysis)
3. Menggunakan peraturan dan standar bangunan yang ada.
Pintor Simatupang
REKAYASA PONDASI II
Modul 11
Gambar 11 Distribusi epicenter kejadian gempa antara tahun 1901 sampai 2001 untuk
magnitude minimum 5 dan kedalaman maksimum 200 km
Tabel 1 Klasifikasi zona seismik yang digunakan untuk mengembangkan peta gempa
Indonesia (Firmansjah, J. & Irsyam, M., 1999)
Classification
Subduction Zones
1.
Source Area
Sumatera
Maximum Magnitude
8.5
2.
Java
8.2
3.
Banda
8.5
4.
Seram
8.4
5.
8.4
6.
Halmahera
8.5
7.
Sangihe Talaud
8.5
8.
North Sulawesi
8.0
9.
Molluca Passage
8.5
Pintor Simatupang
REKAYASA PONDASI II
Modul 11
Transform Zones
Diffuse Seismicity
1.
Sumatra Fault
7.6
2.
Sukabumi
7.6
3.
Baribis
6.0
4.
Lasem
6.0
5.
Majene Bulukumba
6.5
6.
Palu Koro
7.6
7.
Matano
7.6
8.
Sorong
7.6
9.
Ransiki Lengguru
6.5
10.
Yapen Mamberano
7.6
11.
1.
Tarera - Aiduna
Flores back-arc
6.5
7.0
2.
East Kalimantan
6.0
3.
6.0
4.
6.0
5.
6.0
6.
Central Sulawesi
6.5
7.
South Halmahera
7.0
8.
Central Banda
8.0
9.
Aru
6.0
10.
6.0
11.
8.5
Pintor Simatupang
REKAYASA PONDASI II
Modul 11
menjadi lebih besar daripada percepatan di batuan terutama pada tingkat percepatan yang
kecil.
Gambar 14 Hubungan antara percepatan batuan dan percepatan permukaan (Idriss, 1990)
Pada Gambar 15 terlihat perbandingan antara nilai-nilai percepatan yang dicatat pada
batuan dan percepatan di puncak dam. Gambar ini menunjukkan besarnya pengaruh
amplifikasi pada struktur tanah.
Gambar 15 Perbandingan percepatan pada batuan dan puncak struktur bendungan tanah
(Harder, 1991)
Kondisi tanah lokal juga akan mempengaruhi kandungan frekuensi pada gerakan tanah
permukaan dan dengan demikian juga respon spektra yang dihasilkannya. Gambar 16
menunjukkan bagaimana pengaruh kondisi tanah setempat pada bentuk spektra. Ternyata
bahwa pada periode di atas 0,5 detik, amplifikasi spektral adalah jauh lebih besar pada
tanah daripada batuan. Pada periode yang lebih panjang amplifikasi spektral meningkat
dengan berkurangnya kekakuan tanah. Gambar ini dengan jelas menunjukkan bahwa
kedalaman dan lunaknya lapisan tanah akan menghasilkan gerakan tanah dengan periode
yang panjang (rendah frekuensi). Efek ini dapat menjadi sangat penting apabila struktur yang
diletakkan pada lapisan tanah itu memiliki periode alami yang panjang.
Gambar 16 Respon spektra normalisasi rata-rata (5 % damping) untuk beberapa lokasi (Seed
et al., 1976)
Disamping itu Borcherdt (1994) juga telah mempelajari pengaruh kondisi tanah lokal
berdasarkan data-data dari gempa Loma Prieta. Hasil penelitiannya memberikan hubungan
faktor amplifikasi terhadap kondisi tanah lokal ditunjukkan pada Tabel 2. Klasifikasi tanah
yang digunakan dalam tabel ini konsisten dengan Uniform Building Code (UBC) 1997. Tipe
tanah SC-1a, SC-1b, SC-II, SC-III dan SC-IV adalah sesuai dengan tipe tanah S A, SB, SC, SD
dan SE (Tabel 3).
Tabel 2 Faktor amplifikasi periode pendek pada kondisi tanah dengan kelas tertentu
(Borcherdt, 1994)
PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR-UMB
Pintor Simatupang
REKAYASA PONDASI II
Modul 11
Ground
SC-1a
1620
Motion (g)
0.1
0.2
0.3
0.4
Average
0.9
0.9
1.0
1.0
1.0
1.0
1.0
1.0
1.0
1.0
1.3
1.2
1.1
1.0
1.2
1.6
1.4
1.1
0.9
1.3
2.0
1.6
1.2
0.9
1.4
Site
Description
v s (m/s)
N SPT
Su (kPa )
Hard Rock
>1500
SB
Rock
760 v s 1500
SC
360 v s 760
>50
>200
SD
Medium Soil
180 v s 360
SE
Soft Soil
180
Class
SA
15 N
50
100 S u 200
<15
<100
Klas Site
Z=0.075
Z=0.15
Z=0.20
Z=0.30
A
B
C
D
E
0.8
1.0
1.1
1.5
2.4
0.8
1.0
1.2
1.5
2
0.8
1.0
1.2
1.4
1.7
0.8
1.0
1.0
1.2
1.2
Pintor Simatupang
REKAYASA PONDASI II
Modul 11
Klas Site
Z=0.075
Z=0.15
Z=0.20
Z=0.30
A
B
C
D
E
0.8
1.0
1.6
2.3
3.3
0.8
1.0
1.7
2.1
3.3
0.8
1.0
1.6
2.0
3.2
0.8
1.0
1.5
1.8
2.8
Sebagai contoh ambillah besarnya percepatan di batuan dasar sebesar 0.20 yang diperoleh
dari Peta Gempa Indonesia dengan kondisi tanah lokal merupakan klas D. Maka dari Tabel 4
dan Tabel 5 diperoleh:
Untuk Site Class D:
Cv
0.40
0.571
2.5C a
2.5 * 0.28
Pintor Simatupang
REKAYASA PONDASI II
10
Bab 5
LIQUEFACTION
5.1. Umum
Masalah liquefaction mulai dibicarakan secara serius setelah terjadinya gempa Niigata
tahun 1964. Pada kejadian gempa ini mulai dikenali akibat-akibat yang ditimbulkan oleh
liquefaction,
seperti
banyaknya
gedung-gedung
yang
mengalami
keruntuhan.
Liquefaction pada tanah atau secara signifikan adalah hilangnya kekuatan dan kekakuan
tanah akibat meningkatnya tegangan air pori selama berlangsungnya guncangan gempa.
Akhir-akhir ini telah dipercaya bahwa banyaknya keruntuhan pondasi pada gedunggedung dipicu oleh terjadinya liquefaction. Meskipun pondasi dari gedung-gedung
tersebut adalah pondasi tiang yang cukup dalam dan terletak pada tanah keras. Apabila di
atas lapisan dukung pondasi terdapat cukup tebal lapisan pasir yang mengalami
liquefaction selama terjadinya gempa, maka pondasi tiang tersebut akan mengalami
gangguan atau mengalami patah di tengah atau tergulingnya gedung karena kepala tiang
umumnya dihubungkan secara daktail, seperti ditunjukkan pada Gambar 18.
Kegagalan pondasi tiang pada kejadian liquefaction merupakan akibat timbulnya gaya
lateral tambahan yang harus dipikul oleh tiang. Kebanyakan kejadian menunjukkan
bahwa lokasi kerusakan terjadi pada kepala tiang dan batas antara tanah yang
mengalami liquefaction dan lapisan yang tidak mengalami liquefaction.
Perpindahan permanen horizontal permukaan tanah di dekat ujung bebas tiang
merupakan parameter penting dalam menentukan besarnya momen lentur yang merusak
tiang. Disamping itu parameter lain yang penting adalah sebagai berikut: kekuatan dan
Perencanaan Beban Gempa pada Substructure
1
kekakuan tiang, kekuatan dan kekuatan hubungan kepala tiang, kekuatan dan kekakuan
lapisan yang tidak mengalami liquefaction, ketebalan lapisan yang mengalami liquefaction
Terdapat beberapa pendekatan untuk mengevaluasi liquefaction, sebagai berikut (Kramer,
1996):
a. Cyclic stress approach
b. Cyclic strain approach
c. Energy dissipation approach
d. Effective stress-based response analysis approach, and
e. Probabilistic approach
dari tegangan geser siklis tertinggi ( cyc 0,65 max ). Angka ekivalen tegangan siklis
uniform untuk magnitude gempa 5,3 7,7 diunjukkan pada Gambar 19. Dalam gambar ini
digunakan komponen ground motion terkuat yang ada catatannya.
CSR=
hv,c
o
where,
Gambar 20 Hubungan antara nisbah tegangan siklis yang menimbulkan liquefaction (CSR)
causing liquefaction dan nilai (N1)60 untuk M = 7,5 (Seed et al., 1975)
Jika nilai N-SPT diperoleh dengan menggunakan alat dan prosedur selain dari yang
diberikan dalam Tabel 6, maka nilai tersebut harus dikoreksi terhadap nilai-N60 sebagai
nilai standar (nilai ER lihat Tabel 7) ,
N 60 N
ER
60%
Tabel 7 Ringkasan nisbah energi (ER) for some common SPT procedures (Seed et al., 1984)
( N1 ) 60 N 60 CN
(3)
The final penetration resistances are plotted in Fig. 4-2 to develop relationship with cyclic
stress ratio causing liquefaction (CSRl) for fines contents of 5%, 15%, and 35%.
However, it is should be noted that this relationship is only for earthquake magnitude of
M=7.5. For earthquake magnitude other than M=7.5, the value CSRl determined from Fig.
4-2 can be corrected to develop an estimate of the CSR l necessary to cause liquefaction
as
(4)
CM =
the number of such cycles required to cause liquefaction (Nl), will lie between the
boundaries shown in Fig. 4-5.
Fig. 4-5 Rate of pore water pressure build up in cyclic simple shear test
(DeAlba et al., 1976)
The value of Ne can be determined from Fig. 4-1, and the value of N l can be obtained from
Fig. 4-4 by following procedures: (Seed et al., 1983)
1. Determined the average cyclic stress ratio induced by the earthquake and the
factor of safety against liquefaction.
2. Determine the number of effective stress cycles (at 0.65 max) induced by the
earthquake, Ne.
3. Plot the induced effects (induced stress ratio expressed as the ordinate of the
curve shown in Fig. 4-4 divided by the factor of safety) vs. the number of cycles as
a point on Fig. 4-4.
4. For the ordinate of the point determined in step 3, read from the curve the number
of cycles required to cause liquefaction, Nl.
(5)
Eq. (5) has been solved by Seed & Booker (1977). It has been shown that the pore water
pressure ratio, ru is a function of the following parameters,
Rd
radius of rock or gravel drains
It is also a function of ratio N e / Nl, as discussed previously. And the following relation to
be,
Tad
k h td
w mv 3 Rd2
(6)
rg
Fig. 4-6 Gravel drain: (a) lay out (b) cross section S-S (Das, 1993)
Pore water pressure ratio u g reflects an effort of gravel drains to make the pore water
pressure ratio maximum induced during earthquake. It is noted that the ratio u g should be
less than one after installation of gravel drain.
Based on the Fig. 4-7 then the relationship between rg and ratio of Rd/Re can be used to
design gravel drain properly.
Fig. 4-7(a) Relation between greatest pore water pressure ratio and drain
system parameters for Ne/Nl = 1 (Seed & Booker, 1977)
1
1 Ra RaRs
(7)
where,
Ra = ratio of drain column and piles to the total cross section area
Rs = the stiffness ratio between gravel and sand
Fig. 4-7(b) Relation between greatest pore water pressure ratio and drain
system parameters for Ne/Nl = 2 (Seed & Booker, 1977)
Fig. 4-7(c) Relation between greatest pore water pressure ratio and drain
system parameters for Ne/Nl = 3 (Seed & Booker, 1977)
Fig. 4-7(d) Relation between greatest pore water pressure ratio and drain
system parameters for Ne/Nl = 4 (Seed & Booker, 1977)
The cyclic stress ratio developed in the earthquake shaking after installation of gravel
drains and piles to be,
(CSR)eq after (CSR)eq
(8)
However, Terzaghis
consolidation analysis is actually used for vertical drainage. Therefore, the application of
gravel drain in the radial drainage needs to be changed .
Analogously to vertical flow equation, the consolidation time for radial flow is defined as
Th d e
ch
where,
Perencanaan Beban Gempa pada Substructure
7
(9)
ch
k
w mv
(10)
Fig. 4-8 Theoretical results for radial drainage (Koerner, R.M., 1984)
(N1)60
(CSR)eq
(CSR)l
Fl
Nl
3.5
10
16.5
0.371
0.297
0.80
5.5
12
15.8
0.367
0.276
0.75
7.5
10.2
0.351
0.201
0.57
9.5
12
12.0
0.347
0.233
0.67
12.0
7.1
0.336
0.148
0.44
From the above table, it can be seen that the sandy layer liquefies fully. F l is factor of
safety against liquefaction. Fig. 4-9 shows also the liquefiable layer.
Since the sandy layer liquefies completely, to avoid this hazard then an installation of
gravel drain is necessary.
gravel will be used, it is realistic to apply a value for R s to be 8 as a minimum value. The
calculation of cyclic stress ratio after installation of gravel column and piles is given in
Table 4-5.
Table 4-5 Evaluation the effect of installation gravel drains and piles
Depth (m)
(CSR)eq
(CSR)eq-after
(CSR)l
(1)
(2)
(3)
(4)
3.5
0.371
0.215
5.5
0.367
7.5
(3)/(4)
Nl
Ne/Nl
0.297
0.77
100
0.12
0.213
0.276
0.82
50
0.24
0.351
0.205
0.201
1.08
14
0.86
9.5
0.347
0.202
0.233
0.92
25
0.48
12.0
0.336
0.196
0.148
1.39
1.5
Number of cycles required to cause liquefaction (N l) in the above table can be obtained
from Fig. 4-10. Cyclic stress ratio, (CSR) eq is cyclic stress ratio induced by earthquake with
magnitude M=7.5, where number of equivalent cycles is 15.
Fig. 4-10 Relationship between shear stress level and the number of cycles
required to cause liquefaction (Tokimatsu and Seed, 1987)
From the above table, it is noted that the ratio of number of cycles equivalent induced by
earthquake (12) and number of cycles equivalent against liquefaction, Ne/Nl varies from
0.12 to 1.5. However, the lower sand layer about 2.5 m does not have any significant
effect to liquefaction. Therefore, it is reliable if the ratio of Ne/Nl is taken as 1.
The permeability is predicted from grain size analysis where D 20 = 0.14 mm. Based on
typical permeability value given by Handbook on Liquefaction remediation of Reclaimed
Land (Port and Harbour Research Institute, Japan), permeability kh = 3.8 x 10-5 m/s.
Coefficient of volume compressibility, mv3 = 2.0 x 10-5 m2/kN. This value is taken from
Handbook on Liquefaction remediation of Reclaimed Land (Port and Harbour Research
Institute, Japan).
Duration of earthquake about, td = 40 s. The radius of gravel column is given, R d = 0.3 m
and the spacing of gravel drain, Re = 2.5 m for column length varies about 5 to 10 m.
Then, it is obtained Tad = 84
From previous calculation the ratio Ne/Nl = 1 and the ratio Rd/Re = 0.12. From curve in Fig.
7(a) for Ne/Nl = 1 and Rd/Re = 0.12, the expected of pore water pressure maximum is
approximately less than ru = 0.45. It means that the generated pore water pressure during
earthquake is limited until 45 % of effective stress only.
Time consumption to dissipate pore water pressure from sand layer during earthquake
shaking can be obtained from Eq. (9) for 90 percent consolidation. By using permeability
value and coefficient of volume compressibility for sand layer, the horizontal coefficient
consolidation to be
ch 0.19
With de = 1.053 x 2.5 m = 2.6 m and dw = 0.3 m, it is obtained n = 9. From Fig. 4-8 for U z =
90% obtained Th = 0.4.
And finally,
t90 14.6 s
It can be concluded that the pore water pressure should be dissipated to drain column
completely during earthquake shaking. Thus, by application the gravel drain the
liquefaction can be prevented.
Daftar Pustaka
1.
2.
3.
DeAlba, P., Seed, H.B., Chan, C.K., (1976), Sand liquefaction in large-scale simple
shear tests, JGED, ASCE, 102, GT9.
4.
Firmansjah, J. dan Irsyam, M., Development of seismic hazard map for Indonesia,
Konferensi Nasional Rekayasa Kegempaan di Indonesia, ITB, 1999.
5.
6.
7.
8.
9.
Seed, H.B., Idriss, I.M., Makdisi, F., and Banerje, N., (1975), Representation of
irregular stress time histories by equivalent uniform stress series in liquefaction
analyses, EERC 75-29, University of California, Berkeley.
10.
Seed, H.B., Martin, P.P., and Lysmer, J., (1976), Pore-water pressure changes
during soil liquefaction, JGED, ASCE, 102, GT4.
11.
Seed, H.B., Tokimatsu, K., Harder, L.F., and Chung, R., (1985), Influence of SPT
procedures in soil liquefaction resistance evaluation, JGED, ASCE, 111, No.12.
12.
Seed, H.B. and Booker, J., (1977), Stabilization of potentially liquefiable sand
deposits using gravel drains, JGED, ASCE, 103, GT7.
13.
Seed, H.B. and Idriss, I.M., (1982), Ground motions and soil liquefaction during
earthquakes, EERI, Berkeley, California.
14.
Seed, R.B. and Harder, L.F., (1990), SPT-based analysis of cyclic pore pressure
generation and undrained residual strength, in J.M. Duncan ed., Proceedings, H.
Bolton Seed Memorial Symposium, University of California, Berkeley, Vol.2.
15.
16.
17.
Referensi
[1]. Bowles, J.E.: Foundation Analysis and Design, 4th ed., Mc-Graw-Hill, New York, 1988.
[2]. Das, B.M.: Principles of Foundation Engineering, PWS Publishers, Boston, 1984.
[3]. Meyerhof, G.G.: Bearing capacity and settlement of pile foundations, Journal of the
Geotechnical Engineering Divisions, ASCE, Vol. 102, No. GT3, pp. 197-228,
[4]. Teng, W.C.: Foundation Design, Prentice-Hall, New Jersey, 1962.
[5]. Tomlinson, M.J.: Pile Design and Construction Practice, A Viewpoint Publication,
Cement and Concrete Association, 1977.
[6]. Tschebotarioff, G.P.: Foundation, Retaining and Earth Structures, 2nd ed., Mc-GrawHill, New York, 1973.
[7]. Vesic, A.S.: Experiment with instrumented pile groups in sand, American Society for
Testing and Materials; Special Technical Publication, No. 444, pp. 177-222, 1969.
[8]. Vesic, A.S.: Test on instrumented piles-Ogeechee River site, Journal of the Soil
Mechanics and Foundations Divisions, ASCE, Vol. 96, No. SM2, pp. 561-584, 1970.
[9]. Vesic, A.S.: Design of Pile Foundations, National Cooperative Highway Research
Program Synthesis of Practice No. 42, Transportation Research Board, Washington,
D.C., 1977.