Penerbit K-Media
Yogyakarta, 2018
REKAYASA GEMPA
vi+ 153 hlm.; 21 x 29,7 cm
ISBN: 978-xxx
Penulis : M. Afif Salim, S.T., M.T. & Ir. Agus B Siswanto, M.T.
Tata Letak : Uki
Desain Sampul : Juni Setiawan
Penerbit K-Media
Anggota IKAPI
Perum Pondok Indah Banguntapan, Blok B-15
Potorono, Banguntapan, Bantul. 55196. Yogyakarta
e-mail: kmedia.cv@gmail.com
ii - Rekayasa Gempa
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunianya sehingga Buku Ajar
mata kuliah Rekayasa Gempa telah dapat diselesaikan. Buku ajar ini merupakan pedoman bagi
mahasiswa semester VI Program Studi Teknik Sipil UNTAG Semarang dalam mata kuliah
Rekayasa Gempa agar mudah memahami materi perkuliahan.
Buku ini berisi tentang Fenomena Gempa, Aspek rekayasa gempa pada desain struktur, perilaku
struktur terhadap beban gempa, evaluasi kemananan dan perkuatan struktur gempa, kriteria
dasar perencanaan struktur tahan gempa, perhitungan beban gempa pada bangunan gedung,
analisa gempa pada jembatan, analisa gempa pada reservoir dan perhitungan analisa gempa pada
struktur gedung.
Kami menyadari masih terdapat kekurangan dalam buku ini untuk itu kritik dan saran terhadap
penyempurnaan buku ini sangat diharapkan. Semoga buku ini dapat memberi maanfaat bagi
mahasiswa dan bagi semua pihak yang membutuhkan.
iv - Rekayasa Gempa
2.9 Daktilitas Struktur .................................................................................................... 51
2.9.1 Kemampuan Struktur Menahan Gempa Kuat .............................................. 53
2.10 Perencanaan Kapasitas (Capacity Design) ............................................................... 54
Rekayasa Gempa - v
5.6.2 Jenis Struktur .............................................................................................. 100
vi - Rekayasa Gempa
BAB I
FENOMENA GEMPA
1.1 Pendahuluan
Geofisika adalah bidang ilmu yang mempelajari fenomena-fenomena fisik yang yang
berhubungan dengan kebumian. Seismologi adalah cabang dari ilmu geofisika yang mempelajari
mekanisme terjadinya gempa serta gelombang seismik yang ditimbulkannya, sedangkan orang
yang mempelajari seimologi disebut seimolog. Dari sudut pandang rekayasa bangunan,
seimologi diharapkan dapat memberikan data atau informasi yang akurat untuk memperkirakan
pengaruh gempa yang perlu dipertimbangkan pada perancangan struktur bangunan. Seimologi
juga memberikan konstribusi yang penting bagi kita untuk dapat memahami struktur bagian
dalam dari bumi.
Kerusakan yang dapat ditimbulkan gempa tergantung dari besar (magnitude) dan lamanya
gempa, atau banyaknya getaran yang terjadi. Desain struktur dan material yang digunakan untuk
konstruksi bangunan, juga akan berpengaruh terhadap intensitas kerusakan yang terjadi. Tingkat
kekuatan gempa bervariasi mulai dari getaran yang ringan, sedang, sampai getaran kuat yang
dapat dirasakan sampai ribuan kilometer. Gempa dapat menyebabkan perubahan bentuk dari
permukaan bumi, menyebabkan runtuhnya struktur bangunan, atau menyebabkan terjadinya
gelombang pasang yang besar (tsunami). Akibat kerusakan yang ditimbulkan oleh gempa akan
menyebabkan jatuhnya korban jiwa dan kerugian harta benda dalam jumlah yang banyak.
Di seluruh dunia, gempa dapat terjadi ratusan kali setiap harinya. Suatu jaringan alat
seismograph (alat untuk mencatat pergerakan tanah akibat gempa) yang terpasang di seluruh
dunia, mendeteksi sekitar 1 juta gempa ringan terjadi setiap tahunnya. Gempa sangat kuat (great
earthquake) seperti yang terjadi pada 1964 di Alaska yang mengakibatkan kerugian jutaan
dollar, terjadi sekali dalam beberapa tahun. Gempa-gempa kuat (major earthquake) seperti yang
terjadi di Loma Prieta, California pada 1989 dan di Kobe, Jepang pada 1995, dapat terjadi 20
kali setiap tahunnya. Gempa kuat juga dapat menyebabkan banyak kerugian materi dan korban
jiwa.
Dalam 500 tahun terakhir, gempa telah menyebabkan jutaan korban jiwa di seluruh dunia,
termasuk 240000 korban saat terjadi gempa Tang-Shan di Cina pada 1976. Gempa juga
mengakibatkan kerugian properti dan kerusakan struktur. Persiapan-persiapan yang memadai
seperti pendidikan atau sosialisasai mengenai bahaya gempa, perancangan keselamatan saat
terjadi gempa, perkuatan struktur bangunan yang sudah berdiri dan desain struktur bangunan
Rekayasa Gempa - 1
tahan gempa, dapat mengurangi jumlah korban jiwa dan kerusakan infrastruktur yang
disebabkan oleh gempa.
2 - Rekayasa Gempa
Gambar 1-1. Perubahan formasi benua-benua yang ada di bumi.
Teori continental drift diawali dengan pendapat bahwa pada masa lalu benua-benua yang
ada di bumi ini pernah bergabung menjadi satu membentuk benua yang sangat besar
(supercontinent) yang disebut Pangaea.
Gambar 1-1 menunjukkan formasi benua pada 200 juta tahun yang lalu ketika semua
benua masih berkumpul menjadi satu. Sekitar 160 juta tahun yang lalu Pangaea terpecah
menjadi dua benua yang besar yaitu Laurasia dan Gondwaland. Setelah sekian lama, kedua
benua besar tersebut pecah menjadi beberapa benua dengan dengan bentuk yang seperti yang
terlihat sekarang. Diperkirakan perubahan formasi dari benua-benua akan terus berlangsung.
Pada gambar juga diperlihatkan prediksi dari formasi benua pada 60 juta tahun mendatang.
Para ahli geologi pada 1960 menemukan bukti yang mendukung ide dari pelat tektonik
dan pergerakannya. Mereka menggunakan teori dari Wegener pada berbagai aspek dari
perubahan bumi, dan menggunakan bukti-bukti ini untuk memperkuat teori mengenai benua
yang lepas. Pada 1968 para ilmuwan menggabungkan banyak kejadian geologi pada suatu teori
Rekayasa Gempa - 3
yang disebut Global Tektonik Baru (New Global Tectonics) atau lebih dikenalal dengan nama
Pelat Tektonik.
Saat ini terdapat tujuh buah pelat tektonik yang besar dan beberapa pelat yang berukuran
lebih kecil. Beberapa pelat yang besar meliputi pelat Pasific, pelat North American, pelat
Eurasian, pelat Antartica, dan pelat Africa. Pelat yang lebih kecil tediri dari pelat Cocos, pelat
Nazca, pelat Caribean, pelat Philippine.
Ukuran dari pelat tektonik sangat bervariasi, sebagai contoh, pelat Cocos mempunyai
lebar 2000 km, sedangkan pelat Pacific yang merupakan pelat yang terbesar mempunyai ukuran
lebar 14000 km.
Benua dan lautan yang terletak di atasnya, diangkut oleh pergerakan pelat-pelat tektonik
ini akibat proses geologi. Pelat-pelat tektonik selalu bergerak antara satu dengan yang lainnya.
Pergerakan pelat-pelat tektonik ini bervariasi, dan ada yang mencapai 10 cm pertahun.
Pada perbatasan atau pertemuan antara pelat-pelat tektonik, dapat terjadi beberapa proses
geologi yaitu :
Subduction, yaitu pelat tektonik yang satu bergerak membelok ke bawah, sedangkan pelat
yang lain sedikit terangkat.
Extrusion, yaitu kedua pelat tektonik saling bergerak ke atas kemudian saling menjauh.
Intrusion, yaitu kedua pelat tektonik saling mendekat kemudian bergerak ke bawah
Trancursion, yaitu pelat tektonik yang satu bergerak vertikal atau horisontal terhadap pelat
yang lainnya.
4 - Rekayasa Gempa
1.3 Gempa Bumi
Gempa bumi (earth quake) adalah suatu gejala fisik yang ditandai dengan bergetarnya
bumi dengan berbagai intensitas. Getaran gempa dapat disebabkan oleh banyak hal antara lain
peristiwa vulkanik, yaitu getaran tanah yang disebabkan oleh aktivitas desakan magma ke
permukaan bumi atau meletusnya gunung berapi. Gempa yang terjadi akibat aktivitas vulkanik
ini disebut gempa vulkanik. Gempa vulkanik terjadi di daerah sekitar aktivitas gunung berapi,
dan akan menyebabkan mekanisme patahan yang sama dengan gempa tektonik.
Getaran gempa dapat juga diakibatkan oleh peristiwa tektonik, yaitu getaran tanah yang
disebabkan oleh gerakan atau benturan antara lempeng-lempeng tektonik yang terdapat di dalam
lapisan permukaan bumi. Gempa yang terjadi akibat aktivitas tektonik ini disebut gempa
tektonik.
Selain gempa vulkanik dan gempa tektonik, terdapat juga gempa runtuhan, gempa
imbasan, dan gempa buatan. Gempa runtuhan disebabkan oleh runtuhnya tanah di daerah
pegunungan, sehingga akan terjadi getaran disekitar runtuhan tersebut. Gempa imbasan
biasanya terjadi di sekitar dam karena fluktuasi air dam, sedangkan gempa buatan adalah gempa
yang sengaja dibuat oleh manusia seperti ledakan nuklir atau ledakan untuk mencari bahan
mineral. Skala gempa tektonik jauh lebih besar dibadingkan dengan jenis gempa lainnya,
sehingga efeknya lebih banyak terhadap bangunan.
Gerakan atau getaran tanah yang terjadi akibat gempa disebabkan oleh terlepasnya
timbunan energi yang tersimpan di dalam bumi secara tiba-tiba. Energi yang terlepas ini dapat
berbentuk energi potensial, energi kinetik, energi kimia, atau energi regangan elastis. Pada
umumnya gempa-gempa yang merusak lebih banyak diakibat oleh terlepasnya energi regangan
elastis di dalam batuan (rock) di bawah permukaan bumi. Energi gempa ini merambat ke segala
arah. dan juga kepermukaan tanah sebagai gelombang gempa (seismic wave),
sehingga akan menyebabkan permukaan bumi bergetar.
Sifat merusak dari suatu gempa tergantung dari besarnya atau magnitude dan lamanya
gempa, serta banyaknya getaran yang terjadi. Perencanaan konfigurasi struktur bangunan dan
jenis material yang digunakan pada konstruksi bangunan, juga akan berpengaruh terhadap
banyaknya kerusakan struktur bangunan. Gempa dan gelombang gempa terjadi beberapa ratus
kali setiap hari diseluruh dunia. Suatu jaringan dunia dari alat seismograph (mesin yang
mencatat gerakan tanah) medeteksi sekitar 1 juta kali gempa kecil pertahun. Gempa sangat kuat
seperti yang terjadi di Alaska pada tahun 1964 yang menyebabkan kerugian jutaan dollar, dapat
terjadi sekali setiap satu tahun. Sedangkan gempa kuat seperti yang terjadi di Loma Prieta,
Rekayasa Gempa - 5
California pada 1989 dan gempa Kobe di Jepang pada 1995, terjadi rata-rata 20 kali setiap
tahunnya.
Pada 500 tahun terakhir ini, jutaan orang telah meninggal dunia akibat gempa yang terjadi
diseluruh dunia, termasuk 240.000 korban jiwa yang meninggal akibat gempa Tang-Shan di
China pada 1976. Gempa-gempa yang terjadi di seluruh dunia juga telah menyebabkan
kerusakan properti dan kerusakan berbagai macam struktur bangunan. Antisipasi awal terhadap
bencana gempa seperti, pendidikan dan sosialisasi terhadap pemahaman gempa, mitigasi,
perkuatan struktur bangunan, perencanaan struktur bangunan tahan gempa yang lebih fleksibel
dan aman, dapat membatasi korban jiwa dan mengurangi kerusakan yang ditimbulkan oleh
gempa.
Lapisan paling atas bumi yaitu crust atau lapisan litosfir merupakan batuan yang relatif
dingin dan bagian paling atas berada pada kondisi padat dan kaku. Di bawah lapisan ini terdapat
batuan yang jauh lebih panas yang disebut mantle. Lapisan ini sedemikian panasnya sehingga
senantiasa dalam keadaan tidak kaku dan dapat bergerak sesuai dengan proses pendistribusian
panas, yang kita kenal sebagai aliran konveksi.
Pelat-pelat tektonik yang merupakan bagian dari lapisan litosfir padat dan terapung di atas
mantel ikut bergerak satu sama lainnya. Ada tiga kemungkinan pergerakan yang dapat terjadi
antara satu pelat tektonik relatif terhadap pelat lainnya, yaitu :
Spreading, jika kedua pelat tektonik bergerak saling menjauhi
Collision, jika kedua pelat tektonik bergerak saling mendekati
Transform, jika kedua pelat tektonik bergerak saling menggeser
Jika dua buah pelat tektonik bertemu pada suatu daerah sesar atau patahan (fault),
keduanya dapat bergerak saling menjauhi, saling mendekati atau saling bergeser. Umumnya
gerakan dari pelat tektonik ini berlangsung sangat lambat dan tidak dapat dirasakan oleh
manusia, namun terukur sebesar 0 sampai 15 cm pertahun. Kadang-kadang gerakan pelat
tektonik macet dan saling mengunci, sehingga terjadi pengumpulan energi yang berlangsung
terus sampai pada suatu saat batuan pada pelat tektonik tersebut tidak mampu lagi menahan
gerakan tersebut, sehingga terjadi pelepasan energi regangan secara mendadak. Mekanisme
pelepasan energi regangan ini yang kita kenal sebagai pemicu terjadinya gempa tektonik.
Gempa dapat terjadi kapan saja, tanpa mengenal musim. Meskipun demikian, konsentrasi
gempa cenderung terjadi di tempat-tempat tertentu saja, seperti di daerah pertemuan antara dua
pelat tektonik. Gempa dapat terjadi dimanapun di bumi ini, tetapi pada umumnya banyak
terjadi di sekitar perbatasan antara pelat-pelat tektonik
6 - Rekayasa Gempa
1.4 Bencana yang Ditimbulkan Gempa
Gempa tektonik adalah gempa yang disebabkan oleh terlepasnya energi regangan elastis
pada formasi batuan yang ada dipermukaan bumi . Salah satu teori yang dipakai untuk
menjelaskan mekanisme terjadinya gempa tektonik adalah teori Elastic Rebound yang
dikemukakan oleh Prof. H. F. Reid. Teori ini dapat dipaparkan secara sederhana sebagai berikut
: di dalam permukaan bumi senantiasa terdapat aktivitas geologis yang mengakibatkan
pergerakan relatif suatu massa batuan di dalam permukaan bumi terhadap massa batuan lainnya.
Gaya-gaya yang menimbulkan pergerakan batuan-batuan ini disebut gaya-gaya tektonik
(tectonic forces). Batuan-batuan ini bersifat elastis dan dapat menimbun regangan bilamana
ditekan atau ditarik oleh gaya-gaya tektonik. Ketika tegangan yang terjadi pada batuan tersebut
melampaui kekuatannya, maka batuan tersebut akan hancur di daerah terlemah yang disebut
patahan (fault). Batuan yang hancur tersebut akan melepaskan sebagian atau seluruh tegangan
untuk kembali ke dalam keadaan semula yang bebas tegangan.
Gempa secara langsung tidak begitu membahayakan manusia. Ini berarti bahwa korban
jiwa tidak disebabkan karena adanya goncangan tanah yang disebabkan oleh gempa.
Kebanyakan dari bencana gempa yang menimbulkan korban jiwa dan kerugian materi
diakibatkan oleh struktur bangunan yang dibuat oleh manusia. Bahaya yang sesungguhnnya
disebabkan oleh keruntuhan dari struktur bangunan, korban banjir yang disebabkan oleh
jebolnya suatu bendungan atau tanggul, longsoran batuan dan tanah pada tebing yang curam,
dan kebakaran.
Rekayasa Gempa - 7
Gambar 1-3. Salah satu bagian jalan mengalami kerusakan yang parah akibat Gempa Good Friday
di Alaska, 1964.
Gambar 1-4. Keruntuhan bangunan akibat likuifaksi saat terjadi gempa Kobe di Jepang, 1995.
Struktur banguan juga dapat mengalami kerusakan akibat gelombang permukaan yang
kuat yang berasal dari dorongan dan rekahan tanah. Struktur bangunan apapun yang berada di
alur gelombang permukaan ini dapat bergeser atau roboh akibat dari pergerakan tanah.
Goncangan tanah dapat juga menyebabkan tanah longsor yang dapat merusak bangunan atau
mencederai manusia.
8 - Rekayasa Gempa
patahan, maka pergeseran tanah akibat gempa akan sangat merusak dan bahkan akan
meruntuhkan bangunan tersebut.
1.4.3 Banjir
Bencana yang ketiga yang dapat ditimbulkan gempa adalah banjir. Sebuah gempa dapat
merusak tanggul atau bendungan sepanjang sungai. Air yang berasal dari sungai atau reservoir
akan membanjiri daerah tersebut dan merusak bangunan atau mungkin menghanyutkan dan
menenggelamkan orang.
Tsunami dan seiche dapat juga menyebabkan banyak kerusakan. Kebanyakan orang
menyebut tsunami sebagai ombak pasang yang sangat besar, tetapi ini tidak ada kaitannya
dengan gelombang pasang air laut biasa. Tsunami merupakan suatu gelombang yang sangat
besar disebabkan oleh gempa yang terjadi di bawah samudera. Tsunami dapat mencapai tinggi
tiga meter dan mempunyai kecepatan yang tinggi pada saat mencapai daerah pantai, sehingga
dapat menyebabkan kerusakan yang besar di daerah pantai. Seiche adalah gelombang air sama
seperti tsunami, tetapi dengan skala yang lebih kecil. Seiche terjadi pada danau yang diakibatkan
oleh gempa, dan pada umumnya hanya memiliki tinggi setengah meter. Meskipun demikian,
seiche juga dapat menyebabkan banjir.
Rekayasa Gempa - 9
Dengan mempelajari seismogram, para ahli seismologi dapat memperkirakan seberapa
jauh dan seberapa kuat gempa yang terjadi. Catatan ini tidak dapat menceritakan letak pusat
gempa secara tepat, hanya dapat memberitahukan bahwa gempa terjadi sejauh beberapa mil atau
kilometer dari seismograf. Untuk memperoleh letak pusat gempa yang tepat, dibutuhkan
setidaknya 2 seismograf lain yang berada di tempat lain
Pusat gempa atau focus adalah titik di bawah permukaan bumi di mana gelombang gempa
untuk pertama kali dipancarkan. Fokus biasanya ditentukan berdasarkan perhitungan data gempa
yang diperoleh melalui peralatan pencatat gempa (seismograf). Lokasi sumber gempa pada
umumnya terdapat diperbatasan antara pelat-pelat tektonik, di mana pada tempat ini sering
10 - Rekayasa Gempa
terjadi patahan bidang permukaan bumi. Pada prinsipnya gempa adalah suatu peristiwa
pelepasan energi pada suatu tempat di perbatasan antara pelat-pelat tektonik.
Episentrum (Epicenter) adalah titik pada permukaan bumi yang didapat dengan menarik
garis melalui focus, tegak lurus pada permukaan bumi. Episentrum dapat ditentukan melalui
peralatan pencatat gempa atau secara makroseismik. Episentrum yang ditentukan melalui
peralatan pencatat getaran gempa disebut instrumental epicenter. Bilamana tidak ada hasil
pencatatan getaran gempa, episentrum ditentukan berdasarkan pengamatan terhadap kerusakan
pada suatu daerah. Episentrum pada cara ini adalah titik di mana kerusakan terbesar terjadi, dan
disebut macroseismic epicenter.
Kedalaman fokus adalah kedalaman jarak antara fokus dengan epicentrum. Berdasarkan
kedalaman fokus ini, suatu gempa dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
Gempa dengan kedalaman fokus lebih kecil dari 70 km, disebut Gempa Dangkal.
Gempa dengan kedalaman fokus antara 70 km sampai dengan 300 km, disebut Gempa
Menengah.
Gempa dengan kedalaman fokus lebih besar dari 300 km, disebut Gempa Dalam.
Kedalaman fokus adalah kedalaman jarak antara fokus dengan epicentrum. Berdasarkan
kedalaman fokus ini, suatu gempa dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
Gempa dengan kedalaman fokus lebih kecil dari 70 km, disebut Gempa Dangkal.
Gempa dengan kedalaman fokus antara 70 km sampai dengan 300 km, disebut Gempa
Menengah.
Gempa dengan kedalaman fokus lebih besar dari 300 km, disebut Gempa Dalam.
Rekayasa Gempa - 11
1.5.2 Menentukan Letak Episentrum dan Magnitude Gempa
Untuk menentukan di mana gempa terjadi, perlu dipelajari data rekaman gempa (seismogram)
yang tercatat pada seismograf. Sekurang-kurangnya diperlukan 2 seismograf yang berbeda
untuk gempa yang sama. Gambar 2-10 menunjukkan contoh rekaman gempa yang tercatat pada
seismograf. Jarak antara awal permulaan gelombang P dan awal mula gelombang S
menunjukkan berapa detik gelombang tersebut terpisah.
Hasil ini dapat digunakan untuk memperkirakan jarak dari seismograf ke pusat gempa. Untuk
menentukan jarak episentrum dan magnitude gempa dapat dilakukan dengan menggunakan
grafik seperti pada Gambar 2-11.
Gambar 1-8. Grafik untuk menentukan jarak episentrum dan magnitud gempa
12 - Rekayasa Gempa
Prosedur untuk menentukan jarak episentrum dan magnitude gempa, sbb. :
Mengukur jarak antara awal gelombang P dan gelombang S. Dalam hal ini, awal
gelombang P dan S adalah terpisah 24 detik. Plot 24 detik ini pada grafik skala S-P, akan
didapatkan jarak pusat gempa adalah 215 kilometer (Gambar 2-11).
Ukur amplitudo maksimum dari gelombang gempa yang terekam pada seismograf. Pada
rekaman seismograf di dapat amplitudo maksimum adalah 23 mm (lihat Gambar 2-10)
Plot 23 mm ini pada grafik skala Amplitude yang sudah tersedia (Gambar 2-11).
Tarik garis lurus melalui dua yaitu titik 24 detik dan 23 mm, sehingga memotong grafik
skala Magnitude. Dengan membaca titik potong pada grafik skala Magnitude, didapatkan
besarnya magnitude gempa adalah M = 5 pada Skala Richter.
1.6 Patahan
Patahan (fault) adalah retakan di permukaan bumi dimana dua buah pelat tektonik
bergerak dengan arah yang berbeda. Patahan dapat terjadi karena tumbukan dan gesekan antar
pelat tektonik. Tergantung dari arah terjadinya patahan, pada dasarnya ada dua jenis patahan
yang dapat terjadi, yaitu patahan dip slip dan patahan strike slip.
Patahan dip slip atau patahan normal (normal fault) adalah retakan dimana satu bagian
dari batuan bergeser kearah vertikal menjauhi bagian yang lain. Patahan jenis ini biasanya
terjadi pada wilayah dimana suatu pelat tektonik terbelah dengan sangat lambat, atau pada dua
buah pelat tektonik yang saling mendorong satu sama lain. Patahan strike-slip adalah retakan
antara dua pelat tektonik yang bergesekan satu sama lain dalam arah horisontal. Patahan strike
slip yang terkenal adalah adalah patahan San Andreas sepanjang 300 km dengan lebar patahan
Rekayasa Gempa - 13
6,4 m. Patahan San Andreas di California ini disebabkan oleh gempa San Francisco yang
berkekuatan M = 8,3 pada Skala Richter pada 1906.
Patahan berlawanan arah (reverse fault) adalah retakan yang terbentuk dimana salah satu
pelat tektonik terdorong menuju pelat lainnya. Patahan ini juga terjadi jika sebuah pelat tektonik
terlipat akibat tekanan dari pelat yang lain. Pada patahan jenis ini, salah satu bagian dari pelat
bergeser kebawah, sedangkan bagian lainnya terdorong ke atas.
14 - Rekayasa Gempa
ledakan 6 juta ton TNT. Untungnya, kebanyakan dari gempa yang terjadi setiap tahunnya
mempunyai tingkat magnitude kurang dari 2.5, sehingga terlalu kecil untuk dapat dirasakan oleh
manusia.
Meskipun Richter yang pertama kali mengusulkan cara ini untuk mengukur kekuatan
gempa, ia hanya menggunakan suatu jenis alat seismograf tertentu dan mengukur gempa
dangkal di California Selatan. Untuk penggunaan berbagai jenis alat seismograf untuk
mengukur magnitude dan kedalaman gempa dari semua tingkatan gempa, para Ilmuwan
sekarang telah membuat skala magnitude yang lain, yang semuanya sudah dikalibrasikan
terhadap metoda asli dari Richter. Berikut ini adalah sebuah tabel yang menggambarkan
tingkatan magnitude dan kekuatan gempa, pengaruh-pengaruhnya, serta perkiraan jumlah gempa
yang terjadi setiap tahunnya.
Gempa dengan magnitude M=5 dianggap sebagai gempa sedang (moderate earthquake),
sedangkan gempa dengan magnitude M=6 merupakan gempa kuat (strong earthquake). Gempa
dengan magnitude M=8 atau lebih, merupakan gempa sangat kuat (great earthquake). Sebagai
contoh gempa Los Angeles 1994 mempunyai magnitude M=6,7 dan gempa San Fransisco 1906
mempunyai magnitude M=7,9.
Meskipun Skala Richter tidak mempunyai batas atas, tetapi gempa dengan magnitude
lebih dari M=8 sangat jarang terjadi. Gempa ini hanya terjadi sekali setiap 5 sampai 10 tahunnya
di dunia. Demikian juga tidak terdapat batas bawah pada Skala Richter. Suatu gempa berukuran
1/10 dari gempa dengan magnitude M=1, adalah gempa dengan skala 0 pada Skala Richter. Dan
gempa berukuran 1/10 dari gempa dengan magnitude 0, adalah gempa dengan skala -1 pada
Rekayasa Gempa - 15
Skala Richter. Gempa dengan magnitude negatif pada skala Richter terjadi setiap hari, tetapi
sangat kecil getarannya sehingga sulit untuk dideteksi.
Magnitude gempa dapat mencermikan kondisi sesungguhnya dari besarnya gempa.
Magnitude tidak memberikan gambaran mengenai derajat kerusakan yang disebabkan oleh
gempa. Perlu dicatat, bahwa suatu gempa dengan magnitude besar yang terjadi di tengah
samudera, mungkin tidak akan mengakibatkan kerusakan pada bangunan, bahkan getarannya
pun mungkin tidak akan dirasakan oleh manusia yang berada di darat. Sebaliknya suatu gempa
dengan magnitude rendah tetapi mempunyai pusat gempa yang dekat pada suatu kota yang padat
penduduk serta penuh dengan bangunan-bangunan, mungkin akan menyebabkan banyak
kerusakan. Hubungan sesungguhnya antara intensitas dan magnitude sangat sulit untuk
ditentukan. Banyak faktor disamping magnitude gempa dan jarak yang mempengaruhi besarnya
intensitas. Salah satu faktor yang berpengaruh adalah kondisi tanah. Meskipun demikian,
hubungan perkiraan antara besaran magnitude (Richter) dengan intensitas (MMI dapat
ditentukan sebagai berikut :
16 - Rekayasa Gempa
Gelombang P merambat pada arah longitudinal, dengan cara memampat dan mengembang
searah dengan arah rambatan. Kecepatan perambatan gelombang P antara 1,4 sampai dengan 6,4
km/detik. Gelombang S merambat pada arah transversal. Perambatan dari Gelombang S ini
disertai juga dengan gerakan berputar sehingga dapat lebih membahayakan di bandingkan
Gelombang P. Kecepatan perambatan Gelombang S sekitar 2/3 kali kecepatan Gelombang P.
Karena perbedaan kecepatan rambat dari kedua gelombang ini, maka dari hasil rekaman gempa,
dapat diperkirakan jarak sumber gempanya berdasarkan selisih waktu tiba antara kedua
gelombang tersebut pada alat seismograf. Gelombang R dan Gelombang L hanya merambat di
permukaan tanah saja. Gelombang R arah gerakannya pada bidang vertikal, sedangkan
Gelombang L bergerak transversal pada bidang horisontal.
1.8.1 Gelombang P
Gelombang P adalah gelombang gempa yang tercepat. Gelombang P ini dapat merambat
melalui media padat dan cair, seperti lapisan batuan, air atau lapisan cair bumi. Pada saat
merambat, gelombang ini akan menekan media batuan yang dilewatinya. Mekanisme
perambatan Gelombang P yang menekan lapisan batuan, identik dengan mekanisme terjadinya
getaran pada jendela kaca saat terjadi suar*a petir yang keras. Jendela bergetar karena adanya
tekanan dari gelombang suara pada kaca jendela. Pada saat terjadi gempa, pengaruh dari
Gelombang P dapat dirasakan berupa getaran.
1.8.2 Gelombang S
Jenis kedua dari Gelombang Badan adalah Gelombang S, yang merupakan gelombang
kedua yang dapat dirasakan pada saat gempa. Gelombang S lebih lambat dari pada Gelombang
P, dan hanya dapat merambat melalui batuan padat. Arah gerakan dari gelombang ini naik-turun
atau bergerak menyamping.
Rekayasa Gempa - 17
Gambar 1-11. Perambatan Gelombang S
1.8.3 Gelombang L
Jenis pertama dari Gelombang Permukaan disebut Gelombang L. Gelombang ini diberi
nama sesuai dengan nama penemunya yaitu A.E.H. Love seorang ahli matematika dari Inggris
yang mengerjakan model matematika untuk jenis gelombang ini di pada 1911. Gelombang ini
adalah yang tercepat dan menggerakkan tanah dari samping ke samping.
1.8.4 Gelombang R
Jenis Gelombang Permukaan lainnya adalah Gelombang R. Keberadaan dari gelombang
ini diperkirakan secara matematika oleh W.S. Rayleigh pada 1885. Pada saat merambat,
Gelombang R akan menggulung media yang dilewatinya, dimana gerakan dari gelombang ini
mirip dengan gerakan gelombang air di laut. Karena gerakan yang menggulung ini, maka
lapisan tanah atau batuan akan naik dan turun, dan akan ikut bergerak searah dengan gerakan
gelombang. Kebanyakan goncangan dari gempa berhubungan erat dengan Gelombang R ini.
Pengaruh kerusakan yang diakibatkan oleh Gelombang R dapat lebih besar dibandingkan
gelombang-gelombang gempa lainnya.
18 - Rekayasa Gempa
1.9 Wilayah Gempa
Gempa dapat terjadi kapan saja dan dimanapun di bumi ini, tetapi pada umumnya gempa
terjadi di sekitar batas pelat tektonik dan banyak disekitar sesar aktif disekitar batas pelat
tektonik. Dengan demikian lokasi gempa cenderung terkonsentrasi pada tempat-tempat tertentu
saja, seperti pada batas pelat tektonik Pasific. Tempat ini dikenal dengan nama Lingkaran Api
(Ring of Fire) karena banyaknya gunung berapi dan aktivitas geologi.
Dengan melihat tempat-tempat dimana gempa sering terjadi, maka telah dipetakan tiga
jalur gempa yang ada di bumi, yaitu :
1. Circum Pasific Earthquake Belt ( Jalur Gempa Pasifik ), yang meliputi : Chili, Equador,
California, Jepang, Taiwan, Philipina, Sulawesi Utara, Kepulauan Maluku, Irian,
Melanesia, Polynesia, dan Selandia Baru.
2. Trans Asiatic Earthquake Belt ( Jalur Gempa Asia ), yang meliputi : Pegunungan Alpine
di Eropa, Asia Kecil, Irak, Iran, Afganistan, Himalaya, Birma, Sumatera, Jawa, Nusa
Tenggara, dan Irian.
3. Mid Atlantic Earthquake Belt ( Jalur Gempa Atlantik Tengah ), yang meliputi : Atlantik
Selatan melintas ke utara melalui Iceland dan Spitzbergen.
Dari jalur gempa di atas terlihat bahwa kepulauan Indonesia menjadi tempat pertemuan
dua jalur gempa, yaitu Circum Pasific Earthquake Belt dan Trans Asiatic Earthquake Belt.
Dengan demikian kepulauan Indonesia merupakan daerah yang rawan gempa.
Rekayasa Gempa - 19
1.10 Tsunami
Istilah tsunami berasal dari kosa kata Jepang tsu yang berarti gelombang dan nami yang
berarti pelabuhan, sehingga secara bebas, tsunami diartikan sebagai gelombang laut yang
melanda pelabuhan. Bencana tsunami terbukti menelan banyak korban manusia maupun harta
benda, sebagai contoh untuk tsunami di Flores (1992) mengakibatkan meninggalnya lebih dari
2000 manusia, kemudian untuk tsunami di Banyuwangi (1994) telah menelan korban 800 orang
lebih, belum termasuk hitungan harta benda yang telah hancur, dan yang terakhir di Aceh yang
menyebabkan lebih dari 100.000 ribu korban jiwa.
Tsunami ditimbulkan oleh adanya perubahan bentuk (deformasi) pada dasar lautan,
terutama perubaan permukaan dasar lautan dalam arah vertikal. Perubahan pada dasar lautan
tersebut akan diikuti dengan perubahan permukaan lautan, yang mengakibatkan timbulnya
penjalaran gelombang air laut secara serentak tersebar keseluruh penjuru mata-angin. Kecepatan
rambat penjalaran tsunami di sumbernya bisa mencapai ratusan hingga ribuan km/jam, dan
berkurang pada saat menuju pantai, dimana kedalaman laut semakin dangkal.
Meskipun tinggi gelombang tsunami disumbernya kurang dari satu meter, tetapi pada saat
menghempas di pantai, tinggi gelombang tsunami bisa mencapai lebih dari 5 meter. Hal ini
disebabkan karena berkurangnya kecepatan merambat gelombang tsunami disebabkan semakin
dangkalnya kedalaman laut menuju pantai. Tetapi ini akan mengakibatkan tinggi gelombangnya
menjadi lebih besar karena harus sesuai dengan hukum kekekalan energi.
20 - Rekayasa Gempa
BAB II
ASPEK REKAYASA GEMPA PADA DESAIN STRUKTUR
2.1 Pendahuluan
Gempa bumi (earthquake) adalah salah satu peristiwa alam yang dapat menimbulkan
bencana, yang pada umumnya terjadi akibat rusak atau runtuhnya gedung, rumah, atau
bangunan buatan manusia. Lapisan kulit bumi dengan ketebalan 100 km mempunyai temperatur
relatif jauh lebih rendah dibanding dengan lapisan dalamnya ( mantel dan inti bumi ), sehingga
terjadi aliran konveksi dimana massa dengan temperatur tinggi mengalir ke daerah temperatur
rendah atau sebaliknya. Teori aliran konveksi ini sudah lama berkembang untuk menerangkan
terjadinya pergeseran pelat tektonik yang menjadi penyebab utama terjadinya gempa bumi
tektonik. Disamping itu kita juga mengenal gempa vulkanik, gempa runtuhan, gempa imbasan,
dan gempa buatan. Gempa vulkanik disebabkan oleh desakan magma ke permukaan, gempa
runtuhan banyak terjadi di pegunungan yang runtuh, gempa imbasan biasanya terjadi di sekitar
dam karena fluktuasi air dam, sedangkan gempa buatan adalah gempa yang dibuat oleh manusia
seperti ledakan nuklir atau ledakan untuk mencari bahan mineral. Skala gempa tektonik jauh
lebih besar dibandingkan dengan jenis gempa lainnya, sehingga efeknya lebih banyak terhadap
bangunan.
Hampir setiap tahun bencana gempa bumi terjadi di berbagai wilayah di Indonesia.
Walaupun bencana ini berpengaruh sangat besar terhadap perekonomian regional dan
pembangunan, kelihatannya masih sangat sedikit usaha-usaha yang dilakukan untuk
mengantisipasi, mempersiapkan, atau mengurangi pengaruh bencana dari gempa-gempa yang
akan datang. Sepanjang sejarah manusia, gempa bumi telah menimbulkan banyak korban jiwa
serta harta benda di seluruh dunia. Bencana ini pada umumnya disebabkan oleh gagalnya
bangunan-bangunan buatan manusia. Sampai saat ini manusia belum dapat berbuat banyak
untuk mencegah terjadinya gempa bumi, meskipun demikian manusia dapat berihtiar dan
berusaha untuk mengurangi dampak buruk yang dapat ditimbulkan oleh bencana gempa. Oleh
karena itu, salah satu upaya nyata untuk mengurangi atau mencegah pengaruh gempa bumi yang
akan datang adalah dengan memberikan ketahanan gempa yang cukup terhadap bangunan-
bangunan tersebut.
Secara geografis, kepulauan Indonesia berada di antara 60 LU dan 110 LS, serta diantara
950 BT dan 1410 BT, serta terletak pada perbenturan tiga lempeng kerak bumi yang disebut
triple juntion, yaitu : Lempeng Eurasia, Lempeng Pasific, dan Lempeng Indo Australia
Rekayasa Gempa - 21
(Gambar 4.1). Lempeng Indo-Australia bertabrakan dengan lempeng Eurasia di lepas pantai
Sumatera, Jawa dan Nusa Tenggara, sedangkan dengan lempeng Pasific di utara Irian dan
Maluku Utara. Di sekitar lokasi pertemuan antara lempeng ini, akumulasi energi tabrakan
terkumpul sampai suatu titik dimana lapisan bumi tidak lagi sanggup menahan tumpukan energi,
sehingga energi yang terkumpul akan dilepaskan berupa gempa bumi. Pelepasan energi sesaat
ini akan menimbulkan berbagai dampak terhadap bangunan karena percepatan gelombang
seismik, tsunami, longsoran, dan liquefaction. Besarnya dampak gempa terhadap bangunan
bergantung pada beberapa hal; diantaranya adalah skala gempa, jarak epicenter, mekanisme
sumber gempa, jenis tanah di lokasi bangunan, dan kualitas dari bangunan.
Benturan tiga lempeng tektonik bumi yang terjadi di Indonesia membuat kawasan ini
berpola tektonik yang sangat komplek. Oleh karena itu di Indonesia terdapat berbagai jalur
rawan tektonik yang dapat menimbulkan gempa tektonik, dan sebagian besar bersifat merusak.
Gempa bumi tektonik dapat digolongkan sebagai bencana alam geologi, karena bencana ini
ditimbulkan oleh bencana alam dengan karakteristik yang spesifik yaitu terjadi secara cepat dan
mendadak, tanpa dapat diramalkan terlebih dahulu intensitas besar dan arahnya, serta waktu
kejadiannya.
Pada akhir abad ke 20 ini sangat banyak gempa yang terjadi di Indonesia. Gempa-gempa
yang terjadi ini umumnya menyebabkan bencana yang mengakibatkan korban jiwa dan kerugian
harta benda. Tidak kurang dari belasan gempa bumi besar telah melanda Indonesia, dan
beberapa diantaranya mencapai magnitude > M=6 pada Skala Richter, bahkan ada yang disertai
dengan gelombang pasang (Tsunami) seperti gempa yang terjadi di Sumbawa, Flores, dan
Banyuwangi. Kita tidak bisa melupakan gempa-gempa hebat yang terjadi di Bali (1976), Flores
(1992), Halmahera (1994), Liwa (1994), Banyuwangi (1994), Kerinci (1995), Biak (1996),
Pandeglang (1997,1999), Sukabumi (2000), Bengkulu (2000), Papua (2004), Bali (2004), dan
Kepulauan Alor (2004). Beberapa gempa bahkan dirasakan dampaknya di Jakarta, sehingga
mendorong kita semua untuk memperhatikan fenomena gempa lebih serius. Terjadinya gempa
bumi di beberapa wilayah di Indonesia mengingatkan kita bahwa, kepulauan Indonesia termasuk
daerah yang rawan terhadap bencana gempa.
Distribusi gempa bumi besar yang bersifat merusak dengan magnitude M > 6 pada Skala
Richter yang terjadi di Indonesia sejak tahun 1900 sampai dengan 1996, diperlihatkan pada
Gambar 2.2. Dari distribusi gempa besar yang pernah terjadi, terlihat bahwa kawasan Indonesia
khususnya sebagian Sumatera dan Jawa, serta hampir seluruh wilayah Indonesia bagian timur
yang meliputi kepulauan Bali, NTT, dan NTB adalah daerah yang rawan bencana gempa.
22 - Rekayasa Gempa
110 mm / yr
Lempeng
Eurasia Lempeng
Pasifik
71 mm / yr
Lempeng
Indo-Australia
Gambar 2-1. Lingkungan tektonik Indonesia terdiri dari tiga lempeng tektonik; Indo-Australia, Pasifik
dan Eurasia yang bergerak relatif terhadap lainnya (lihat arah panah). Batas lempeng
tektonik merupakan daerah konsentrasi aktifitas gempa bumi yang diplot sebagai garis
hitam dan segi tiga. Garis tebal merupakan sesar aktif, sedangkan lingkaran adalah stasiun
seismograf (Sumber : Badan Metereologi dan Geofisika).
Lempeng
Eurasia
Lempeng
Pasifik
Lempeng
Indo-Australia
Gambar 2-2. Distribusi lokasi gempa bumi besar yang pernah terjadi tahun 1900 s/d 1996 dengan
magnitude M > 6 pada Skala Richter (Sumber : Badan Metereologi dan Geofisika).
Rekayasa Gempa - 23
Kerusakan maupun kerugian yang diakibatkan bencana gempa cukup besar, baik dari
kerusakan sarana dan prasarana, serta hancurnya banyak rumah penduduk di suatu wilayah
permukiman. Lebih parah lagi adalah, sebagian besar dampak diakibat gempa adalah kerusakan
dari bangunan rumah sederhana yang dihuni oleh sebagian besar masyarakat di Indonesia.
Sementara itu banyaknya korban jiwa maupun luka-luka akibat terjadinya gempa
mengindikasikan kurangnya antisipasi dan kesiapsiagaan masyarakat akan terjadinya bencana
gempa. Untuk itulah diperlukan upaya terpadu pengurangan dampak bencana gempa yang
melibatkan seluruh potensi masyarakat. Untuk dapat mengurangi bencana yang diakibatkan oleh
gempa, beberapa usaha yang dapat dilakukan manusia diantaranya adalah :
Memahami tingkah laku alam, sehingga manusia dapat mengikuti keinginan alam, dengan
demikian manusia dapat hidup berdampingan secara harmonis dan selaras dengan alam.
Mencoba untuk memperkirakan kapan suatu gempa tektonik atau gempa vulkanik akan
terjadi. Usaha-usaha ini telah mendorong berkembangnya suatu disiplin ilmu yang dikenal
dengan Peramalan Gempa (Earthquake Prediction).
Mencoba untuk mempelajari perilaku dari suatu struktur atau konstruksi bangunan jika
diguncang gempa, dengan harapan akan dapat direncanakan dan dibangun struktur atau
konstruksi bangunan yang tahan terhadap pengaruh gempa. Usaha ini telah mendorong
lahirnya suatu disiplin ilmu yang disebut Rekayasa Gempa (Earthquake Engineering).
Ilmu ini merupakan bagian dari ilmu Teknik Sipil.
Indonesia merupakan kawasan rawan gempa tektonik, dengan intensitas kegempaan yang
cukup besar. Dalam 50 tahun terakhir ini, tidak kurang dari belasan gempabumi besar telah
melanda kawasan ini, dan beberapa diantaranya mencapai magnitude gempa M=7 pada Skala
Richter. Sebagai negara berkembang dengan pertumbuhan ekonomi yang banyak
dimanifestasikan pada sektor properti seperti pembangunan gedung-gedung bertingkat dalam
jumlah yang besar, pengaruh gempa dapat menambah kerawanan akan jatuhnya korban jiwa
dan harta benda, bila perencanaan struktur bangunan terhadap gempa tidak ditangani dengan
memadai.
24 - Rekayasa Gempa
Gambar 2-3. Kedalaman dan magnitude gempa di Indonesia, tahun 1991 s/d 2000 (Sumber : Badan Metereologi dan Geofisika ).
Rekayasa Gempa - 25
2.2 Konstruksi Engineered Dan Non-Engineerred
Rekayasa struktur bangunan tahan gempa merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan
manusia untuk mengantisipasi pengaruh-pengaruh yang dapat ditimbulkan oleh bencana gempa,
agar kerugian material / harta benda dan jatuhnya korban jiwa dapat ditekan seminimal
mungkin. Rekayasa struktur bangunan di daerah rawan gempa, memerlukan filosofi dan
antisipasi yang tepat dengan menggunakan spesifikasi atau peraturan yang berlaku. Di
Indonesia, syarat-syarat minimum untuk prosedur perencanaan struktur bangunan tahan gempa
telah tercantum di dalam beberapa peraturan yang berlaku.
Pada dasarnya, bangunan-bangunan yang ada dapat dibagi menjadi dua kategori
berdasarkan proses perencanaan dan pelaksanaannya, yaitu Engineered Construction dan Non-
Engineered Construction. Engineered Construction adalah bangunan yang direncanakan
berdasarkan perhitungan struktur, dan dilaksanakan atau dibangun di bawah pengawasan para
Ahli Bangunan. Sebagai contoh dari Engineered Construction adalah struktur bangunan gedung
bertingkat, struktur jembatan dan jalan layang, fasilitas pembangkit tenaga listrik atau tenaga
nuklir, dan bendungan. Bangunan-bangunan ini pada umumnya menggunakan bahan-bahan dan
sistem struktur yang modern, seperti beton bertulang dan baja.
Non-Engineered Construction adalah bangunan yang dibangun secara spontan
berdasarkan kebiasaan tradisional setempat, dan pelaksanaannya tidak dibantu Arsitek atau Ahli
Bangunan, melainkan mengikuti cara-cara yang diperoleh dari hasil pengamatan tingkat laku
bangunan sejenis yang mengalami gempa bumi di masa lalu. Non-Engineered Construction
mencakup bangunan tradisional, bangunan tembokan (bata, batu, batako) yang memakai
perkuatan (kolom dan balok praktis) maupun yang tidak memakai perkuatan, bangunan kayu
dan bambu, bangunan beton bertulang sederhana, bangunan rangka baja sederhana.
Bangunan Non-Engineered Construction dapat dibagi menjadi dua katergori. Yang
termasuk kategori pertama adalah, bangunan yang dibangun menurut tradisi dan disesuaikan
dengan budaya dan bahan bangunan yang tersedia di daerah tersebut. Bangunan yang termasuk
kategori ini pada umumnya disebut bangunan tradisional. Bangunan tradisional pada umumnya
mempunyai ketahanan yang cukup baik terhadap gempa. Pola permukiman manusia, cara-cara
tradisional, serta bahan bangunan yang dipakai untuk bangunan tradisional pada suatu wilayah
merupakan bukti dari keselerasan hidup berdampingan secara harmonis antara manusia dengan
dengan alam. Kearifan tradisional, pengalaman dan keahlian yang berkembang selama berabad-
abad, mampu menghasilkan karya bangunan tradisional yang tahan terhadap pengaruh gempa.
26 - Rekayasa Gempa
Gambar 2-4. Bangunan tradisional dengan Arsitektur Bali. Sistem struktur bangunan tradisional ini
terdiri dari saka (kolom) dan balok sunduk dengan penguat pasak. Struktur tradisional ini
cukup kuat menahan gempa Karangasem 2 Januari 2004
Bangunan tradisional ini lambat laun hilang dan digantikan dengan bangunan Non-
Engineered Construction yang termasuk kategori kedua yaitu bangunan rumah tinggal
sederhana atau bangunan komersial yang dibangun oleh pemilik bangunan atau tukang-tukang
setempat, tanpa mendapatkan bantuan dari Arsitek atau Ahli Bangunan. Bangunan-bangunan
tersebut terutama mencakup bangunan tembokan (bata, batu, batako) atau bangunan beton
bertulang sederhana. Bangunan-bangunan tersebut pada umumnya dibangun dengan tidak
memperhatikan prinsip-prinsip yang diperlukan agar memiliki ketahahan yang baik terhadap
gempa.
Bangunan Non-Engineered Construction kategori yang kedua ini merupakan bangunan
yang paling banyak dibangun di negara-negara berkembang termasuk di Indonesia. Di Indonesia
bangunan-bangunan ini banyak dijumpai di daerah permukiman penduduk, baik yang berada di
perkotaan maupun pedesaan. Dari pengalaman gempa yang terjadi di Indonesia, kegagalan atau
kehancuran struktur dari bangunan kategori kedua inilah yang sering menimbulkan korban jiwa
dan kerugian harta benda.
Jumlah perbandingan masing-masing kategori bangunan agak berbeda untuk negara-
negara maju, negara-negara sedang berkembang, dan negara-negara belum. Di Indonesia,
Engineered Construction pada umumnya hanya terdapat di kota-kota besar, sedangkan Non-
Engineered Construction tersebar baik di kota-kota besar atau kecil, maupun di pedesaan.
Meskipun berbeda dalam proses perencanaan dan pelaksanaannya, tapi kedua kategori
bangunan ini sesungguhnya harus dapat berfungsi dengan baik pada saat terjadi gempa, aman
bagi keselamatan jiwa dan harta benda, serta ekonomis dalam biaya pembangunannya. Batasan
Rekayasa Gempa - 27
untuk mendapatkan fungsi tersebut dalam kaitannya dengan ketahanan bangunan terhadap
pengaruh gempa bumi, biasanya dikaitkan dengan pertimbangan biaya dan risiko yang dapat
diterima.
Sejak beberapa tahun yang lalu, batasan atau kriteria desain untuk Engineered
Construction didasarkan pada kriteria performance based design, karena orientasinya adalah
penyelamatan korban jiwa dan juga harta benda, pada saat struktur bangunan digoncang gempa.
Sedangkan pada Non-Engineered Construction orientasinya lebih dititik beratkan pada kriteria
“ penyelamatan korban jiwa “ pada saat terjadi gempa.
28 - Rekayasa Gempa
berada pada koordinat 4,70 LS dan 1020 BT, dengan kedalaman gempa 33 kilometer. Dari hasil
catatan USGS (US Geological Survey National Earthquake Information Center), terjadi banyak
gempa susulan berkekuatan di atas 5,6 SR. Hal seperti ini jarang terjadi di Indonesia.
Rekayasa Gempa - 29
Hancur atau rubuhnya dinding akibat beban gempa yang bekerja tegak lurus bidang
dinding.
Keretakan pada dinding, di tempat-tempat yang terdapat bukaan besar pada bangunan.
Terpisahnya bagian dinding pada sudut-sudut bangunan atau pertemuan.
Kehancuran pada pojok-pojok dinding bangunan.
Retak-retak diagonal pada dinding bangunan yang terjadi pada siar-siar dan/atau unsur-
unsur penyusun dinding.
Rangka atap terlepas dari dudukannya
Retak dan kegagalan pada sambungan atau pertemuan antara kolom dan balok
Kerusakan bangunan akibat penggunaan mutu bahan dan pengerjaan konstruksi yang
buruk.
Gambar 2-5. Kerusakan-kerusakan pada bangunan akibat penggunaan mutu bahan dan pengerjaan
konstruksi yang buruk (Gempa Nabire, Februari 2004)
Gambar 2-6. Rangka atap terlepas dari dudukannya, karena tidak diangkur dengan baik
(Gempa Bengkulu, Juni 2000)
30 - Rekayasa Gempa
Gambar 2-7. Retak dan kegagalan pada sambungan pertemuan antara kolom dan balok
(Gempa Bengkulu, Juni 2000)
Gambar 2-8. Kegagalan kolom menahan gaya geser yang besar di bagian atas, karena adanya perbedaan
kekakuan yang besar antara lantai tingkat. Kerusakan ini disebut kerusakan akibat soft first
story. (Gempa Bengkulu, Juni 2000).
Rekayasa Gempa - 31
Penutup atap (genteng) melorot dari dudukannya.
Rangka plafond rusak atau plafond terlepas dari rangkanya.
Dinding pengisi dan dinding façade rusak atau roboh karena dinding-dinding ini tidak
diangkur pada elemen-elemen struktur penahan beban, atau dinding tidak diberi balok-
balok dan kolom-kolom praktis.
Kerusakan struktural adalah kerusakan yang terjadi pada elemen-elemen bangunan yang
difungsikan untuk menahan beban, seperti balok-balok dan kolom-kolom utama dari struktur
bangunan. Kerusakan dari elemen-elemen struktural dapat menyebabkan berkurangnya kekuatan
dari bangunan, atau bahkan dapat menyebabkan keruntuhan dari bangunan. Rusaknya kolom-
kolom utama dari struktur bangunan, pada umumnya disebabkan oleh :
Kegagalan kolom menahan gaya geser yang besar di bagian atas dan di bagian bawah
kolom karena gaya geser terpusat akibat perbedaan kekakuan yang besar antara lantai
tingkat. Kerusakan ini disebut kerusakan akibat soft first storey.
Kegagalan kolom menahan gaya geser yang besar pada bagian kolom yang berada
diantara 2 bukaan jendela. Kerusakan ini disebut short column effect.
Kegagalan kolom menahan gaya geser yang besar.
32 - Rekayasa Gempa
Tingkat risiko gempa pada suatu wilayah atau zona, tidak dapat ditentukan hanya
berdasarkan frekuensi terjadinya gempa saja. Hal ini disebabkan karena tingkat risiko gempa
diukur berdasarkan kerusakan struktur yang ada pada suatu lokasi, yang tidak hanya tergantung
dari besarnya gempa, tetapi juga tergantung pada jarak pusat gempa (epicenter) dari lokasi yang
ditinjau, serta kondisi tanah pada lokasi tersebut. Sebagai contoh, gempa kuat dengan
magnitude M=7 pada Skala Richter dengan pusat gempa berjarak 300 km dari lokasi yang
ditinjau, belum tentu menimbulkan kerusakan yang lebih besar dibandingkan gempa dengan
magnitude M=5 atau M=6 pada Skala Richter, tetapi dengan pusat gempa yang berjarak 50 km.
dari lokasi yang ditinjau. Demikian pula halnya pengaruh beban gempa pada struktur bangunan
yang terletak di atas tanah lunak dan di atas tanah keras, dapat juga berlainan.
Konsep keamanan dari suatu struktur terhadap pengaruh gempa, harus dikaitkan dengan
risiko atau peluang terjadinya (incidence risk) gempa tersebut selama umur rencana (design life
time) dari struktur bangunan yang ditinjau. Karena gempa merupakan peristiwa probabilistik,
maka gempa dengan kekuatan atau intensitas tertentu, mempunyai periode ulang (return period)
yang tertentu pula. Dengan demikian, jika risiko terjadinya suatu gempa selama umur rencana
bangunan sudah tertentu, maka periode ulang dari gempa tersebut sudah tertentu pula.
Hubungan antara umur rencana bangunan, periode ulang gempa, dan risiko terjadinya gempa,
berdasarkan teori probabilitas dapat dinyatakan dalam suatu persamaan matematika sebagai
berikut :
RN = 1– 1– 1
x 100%
TR
Pada perencanaan struktur bangunan tahan gempa, perlu ditinjau 3 taraf beban gempa,
yaitu Gempa Ringan, Gempa Sedang dan Gempa Kuat, untuk merencanakan elemen-elemen
dari sistem struktur, agar tetap mempunyai kinerja yang baik pada saat terjadi gempa. Gempa
Ringan, Gempa Sedang, Gempa Kuat, dan Gempa Rencana untuk keperluan prosedur
perencanaan struktur didefinisikan sebagai berikut :
Rekayasa Gempa - 33
2.4.1 Gempa Ringan
Gempa Ringan adalah gempa yang peluang atau risiko terjadinya dalam periode umur
rencana bangunan 50 tahun adalah 92% (R N = 92%), atau gempa yang periode ulangnya adalah
20 tahun (T R = 20 tahun). Akibat Gempa Ringan ini struktur bangunan harus tetap berperilaku
elastis, ini berarti bahwa pada saat terjadi gempa elemen-elemen struktur bangunan tidak
diperbolehkan mengalami kerusakan struktural maupun kerusakan non-struktural. Pada saat
terjadi Gempa Ringan, penampang dari elemen-elemen pada sistem struktur dianggap tepat
mencapai kapasitas nominalnya, dan akan berdeformasi lebih lanjut secara tidak elastis
(inelastis) jika terjadi gempa yang lebih kuat.
Karena risiko terjadinya Gempa Ringan adalah 92%, maka dapat dianggap bahwa selama
umur rencananya, struktur bangunan pasti akan akan mengalami Gempa Ringan, atau risiko
terjadinya Gempa Ringan adalah 100% (R N = 100%).
34 - Rekayasa Gempa
yang tidak ekonomis. Di dalam standar gempa yang baru dicantumkan bahwa, untuk
perencanaan struktur bangunan terhadap pengaruh gempa digunakan Gempa Rencanan. Gempa
Rencana adalah gempa yang peluang atau risiko terjadinya dalam periode umur rencana
bangunan 50 tahun adalah 10% (R N = 10%), atau gempa yang periode ulangnya adalah 500
tahun (T R = 500 tahun).
Dengan menggunakan Gempa Rencana ini, struktur dapat dianalisis secara elastis untuk
mendapatkan gaya-gaya dalam yang berupa momen lentur, gaya geser, gaya normal, dan puntir
atau torsi yang bekerja pada tiap-tiap elemen struktur. Gaya-gaya dalam ini setelah
dikombinasikan dengan dengan gaya-gaya dalam yang diakibatkan oleh beban mati dan beban
hidup, kemudian digunakan untuk mendimensi penampang dari elemen struktur berdasarkan
metode LRFD (Load Resistance Factor Design) sesuai dengan standar desain yang berlaku.
Peluang atau risiko terjadinya gempa pada struktur bangunan selama umur rencananya
dapat dihitung dengan menggunakan rumus probabilitas di atas. Jika periode ulang terjadinya
Gempa Ringan : T R = 20 tahun, Gempa Sedang : T R = 75 tahun, dan Gempa Kuat : T R = 2500
tahun, serta umur rencana rata-rata bangunan di Indonesia adalah N=50 tahun, maka akan
didapatkan besarnya risiko terjadinya gempa pada struktur bangunan adalah : R N Gempa Ringan
= 92% ≅100%, R N Gempa sedang = 50%, dan R N Gempa Kuat = 2%.
Dalam filosofi perencanaan struktur bangunan tahan gempa, dikenal suatu konsep
pembebanan gempa yang disebut Pembebanan Dua Tingkat. Konsep Pembebanan Dua
Tingkat mempunyai pengertian bahwa, struktur bangunan selama umur rencananya diperkirakan
akan dibebani berulang kali oleh Gempa Ringan dan Gempa Sedang, yang mempunyai periode
ulang lebih kecil dari 75 tahun. Serta struktur selama umur rencananya diharapkan mampu
menahan sekali terjadinya Gempa Kuat dengan periode ulang 2500 tahun.
Pemilihan periode ulang 500 tahun yang dipilih sebagai dasar perhitungan beban Gempa
Rencana untuk keperluan perencanaan struktur, didasarkan pada tingkat probabilitas terjadinya
gempa yang dapat diterima yaitu 10%, mengingat umur efektif rata-rata struktur bangunan di
Indonesia adalah sekitar 50 tahun. Berdasarkan kemungkinan terjadinya Gempa Ringan, Gempa
Sedang dan Gempa Kuat dengan periode ulang 20, 75, dan 500 tahun, ternyata tingkat risiko
gempa yang dapat terjadi pada struktur-struktur bangunan di Indonesia selama umur rencananya
adalah cukup besar, hal ini perlu kiranya menjadi perhatian bagi para perencana struktur.
Rekayasa Gempa - 35
dan oleh nilai faktor tahanan lebih yang terkandung di dalam struktur. Berdasarkan pedoman
gempa yang berlaku di Indonesia yaitu Perencanaan Ketahanan Gempa Untuk Struktur Rumah
dan Gedung (SNI 03-1726-2002)., besarnya beban gempa horisontal V yang bekerja pada
struktur bangunan, ditentukan menurut persamaan :
C .I
V = Wt
R
Dimana, I adalah Faktor Keutamaan Struktur menurut Tabel I, C adalah nilai Faktor Respon
Gempa yang didapat dari Respon Spektrum Gempa Rencana menurut Gambar 2 untuk waktu
getar alami fundamental T, dan W t ditetapkan sebagai jumlah dari beban-beban berikut :
Beban mati total dari struktur bangunan gedung
Jika digunakan dinding partisi pada perencanaan lantai, maka harus diperhitungkan
tambahan beban sebesar 0,5 kPa
Pada gudang-gudang dan tempat penyimpanan barang, maka sekuran-kurangnya 25% dari
beban hidup rencana harus diperhitungkan
Beban tetap total dari seluruh peralatan dalam struktur bangunan gedung harus
diperhitungkan
I = I 1 .I 2
Dimana I 1 adalah Faktor Keutamaan untuk menyesuaikan periode ulang gempa berkaitan
dengan penyesuaian probabilitas terjadinya gempa itu selama umur rencana gedung, sedangkan
I 2 adalah Faktor Keutamaan untuk menyesuaikan umur rencana gedung tersebut.
36 - Rekayasa Gempa
Karena gedung-gedung bertingkat, monumen dan bangunan monumental sama-sama
memiliki fungsi biasa, tanpa sesuatu keistimewaan, kekhususan atau keutamaan dalam
fungsinya, maka probabilitas terjadinya gempa tersebut selama kurun waktu umur rencana
gedung ditetapkan sama sebesar 10%, sehingga berlaku I 1 = 1,0. Tetapi umur rencana dari
gedung-gedung tersebut berbeda-beda. Gedung-gedung dengan jumlah tingkat sampai 10,
karena berbagai alasan dan tujuan pada umumnya mempunyai umur kurang dari 50 tahun,
sehingga I 2 < 1 karena periode ulang gempa tersebut adalah kurang dari 500 tahun. Gedung-
gedung dengan jumlah tingkat lebih dari 30, monumen dan bangunan monumental, mempunyai
masa layan yang panjang, bahkan harus dilestarikan untuk generasi yang akan datang, sehingga
I 2 > 1 karena perode ulang gempa tersebut adalah lebih dari 500 tahun.
Gedung-gedung penting pasca gempa (rumah sakit, instalasi air bersih, pembangkit tenaga
listrik, pusat penyelamatan dalam keadaan darurat, fasilitas radio dan televisi), gedung-gedung
yang membahayakan lingkungan bila rusak berat akibat gempa (tempat penyimpanan bahan
berbahaya) atau membahayakan bangunan di dekatnya bila runtuh aibat gempa (cerobong,
tangki di atas menara), mempunyai umur manfaat tidak berbeda dengan gedung-gedung dengan
fungsi biasa, yaitu sekitar 50 tahun, sehingga berlaku I 2 = 1,0. Tetapi probabilitas terjadinya
gempa tersebut selama kurun waktu umur gedung harus dibedakan dan semuanya harus kurang
dari 10%, sehingga I 1 > 1 karena periode ulang gempa tersebut adalah lebih dari 500 tahun.
Kombinasi I1 dan I2 untuk beberapa kategori gedung ditetapkan dalam Tabel 4.1, berikut
perkaliannya I.
Tabel 2-1. Faktor Keutamaan untuk berbagai kategori gedung dan bangunan
Faktor Keutamaan
Kategori gedung/bangunan
I1 I2 I
Gedung umum seperti untuk penghunian, 1,0 1,0 1,0
perniagaan dan perkantoran.
Monumen dan bangunan monumental 1,0 1,6 1,6
Gedung penting pasca gempa seperti rumah 1,4 1,0 1,4
sakit, instalasi air bersih, pembangkit tenaga
listrik, pusat penyelamatan dalam keadaan
darurat, fasilitas radio dan televisi
Gedung untuk menyimpan bahan berbahaya 1,6 1,0 1,6
seperti gas, produk minyak bumi, asam, bahan
beracun.
Cerobong, tangki di atas menara 1.5 1,0 1,5
Rekayasa Gempa - 37
2.5.2 Daktilitas Struktur
Salah satu faktor penting yang dapat mempengaruhi besar kecilnya beban gempa yang
bekerja pada struktur bangunan adalah daktilitas struktur. Beberapa standar perencanaan
ketahanan gempa untuk struktur gedung, menggunakan asumsi constant maximum displacement
rule, untuk mendefinisikan tingkat daktilitas struktur. Asumsi yang dianut divisualisasikan
dalam diagram beban-simpangan (diagram V-δ) yang ditunjukkan dalam Gambar 4.14. Asumsi
ini menyatakan bahwa struktur bangunan gedung yang bersifat daktail dan struktur bangunan
gedung yang bersifat elastik penuh, akibat pengaruh Gempa Rencana akan menunjukkan
simpangan maksimal δ m yang sama dalam kondisi diambang keruntuhan. Asumsi ini adalah
konservatif, karena dalam keadaan sesungguhnya struktur bangunan gedung yang daktail
memiliki δ m yang relatif lebih besar dibandingkan struktur bangunan gedung yang elastis,
sehingga memiliki faktor daktilitas struktur (µ) yang relatif lebih besar dari pada yang
diasumsikan
Gambar 2-9. Diagram beban (V) - simpangan (δ) dari struktur bangunan gedung
Faktor daktilitas struktur (µ) adalah rasio antara simpangan maksimum (δ m ) struktur
gedung akibat pengaruh Gempa Rencana pada saat mencapai kondisi di ambang keruntuhan,
dengan simpangan struktur gedung pada saat terjadinya pelelehan pertama (δ y ), yaitu :
38 - Rekayasa Gempa
δm
1,0 ≤ µ = ≤ μm
δy
Pada persamaan ini, µ = 1,0 adalah nilai faktor daktilitas untuk struktur bangunan gedung
yang berperilaku elastik penuh, sedangkan µ m adalah nilai faktor daktilitas maksimum yang
dapat dikerahkan oleh sistem struktur bangunan gedung yang bersangkutan.
Jika V e adalah pembebanan maksimum akibat pengaruh Gempa Rencana yang dapat
diserap oleh struktur gedung yang bersifat elastik penuh dalam kondisi di ambang keruntuhan,
dan V y adalah pembebanan yang menyebabkan pelelehan pertama di dalam struktur gedung,
maka dengan asumsi bahwa struktur gedung daktail dan struktur gedung elastik penuh akibat
pengaruh Gempa Rencana menunjukkan simpangan maksimum δ m yang sama dalam kondisi di
ambang keruntuhan, maka berlaku hubungan sebagai berikut :
Ve
Vy =
μ
Jika V n adalah pembebanan Gempa Nominal akibat pengaruh Gempa Rencana yang harus
ditinjau dalam perencanaan struktur gedung, maka berlaku hubungan sebagai berikut :
Vy Ve
Vn = =
f1 R
dimana f 1 adalah faktor kuat lebih beban dan bahan yang terkandung di dalam struktur
bangunan gedung dan nilainya ditetapkan sebesar f 1 = 1,6 dan R disebut faktor reduksi gempa
yang nilainya dapat ditentukan menurut persamaan :
1,6 ≤ R = µ.f 1 ≤ R m
R = 1,6 adalah faktor reduksi gempa untuk struktur gedung yang berperilaku elastik penuh,
sedangkan R m adalah faktor reduksi gempa maksimum yang dapat dikerahkan oleh sistem
struktur yang bersangkutan. Dalam Tabel 4.2 dicantumkan nilai R untuk berbagai nilai µ yang
bersangkutan, dengan ketentuan bahwa nilai µ dan R tidak dapat melampaui nilai
maksimumnya.
Rekayasa Gempa - 39
Tabel 2-2. Parameter Daktilitas Struktur Gedung
Nilai faktor daktilitas struktur gedung µ di dalam perencanaan struktur gedung dapat
dipilih menurut kebutuhan, tetapi tidak boleh diambil lebih besar dari nilai faktor daktilitas
maksimum µ m yang dapat dikerahkan oleh masing-masing sistem atau subsistem struktur
gedung. Dalam Tabel 4.3 ditetapkan nilai µ m yang dapat dikerahkan oleh beberapa jenis sistem
dan subsistem struktur gedung, berikut faktor reduksi maksimum R m yang bersangkutan.
Tabel 2-3. Faktor daktilitas maksimum (µ m ), faktor reduksi gempa maksimum (R m ), faktor kuat lebih
struktur (f 1 ) dari beberapa jenis sistem dan subsistem struktur bangunan gedung
40 - Rekayasa Gempa
Sistem dan subsistem struktur µm Rm f1
Uraian sistem pemikul beban gempa
gedung
(Sistem struktur yang pada dasarnya a. Baja 5,2 8,5 2,8
memiliki rangka ruang pemikul b. Beton bertulang 5,2 8,5 2,8
beban gravitasi secara lengkap. 2. Rangka pemikul momen menengah beton 3,3 5,5 2,8
Beban lateral dipikul rangka (SRPMM)
pemikul momen terutama melalui 3. Rangka pemikul momen biasa (SRPMB)
mekanisme lentur) a. Baja 2,7 4,5 2,8
b. Beton bertulang 2,1 3,5 2,8
4. Rangka batang baja pemikul momen khusus 4,0 6,5 2,8
(SRBPMK)
4. Sistem ganda (Terdiri dari : 1) 1. Dinding geser
rangka ruang yang memikul seluruh a. Beton bertulang dengan SRPMK beton 5,2 8,5 2,8
beban gravitasi; 2) pemikul beban bertulang
lateral berupa dinding geser atau b. Beton bertulang dengan SRPMB saja 2,6 4,2 2,8
rangka bresing dengan rangka c. Beton bertulang dengan SRPMM beton 4,0 6,5 2,8
pemikul momen. Rangka pemikul bertulang
momen harus direncanakan secara 2. RBE baja
terpisah mampu memikul sekurang- a. Dengan SRPMK baja 5,2 8,5 2,8
kurangnya 25% dari seluruh beban b. Dengan SRPMB baja 2,6 4,2 2,8
lateral; 3) kedua sistem harus 3. Rangka bresing biasa
direncanakan untuk memikul secara a. Baja dengan SRPMK baja 4,0 6,5 2,8
bersama-sama seluruh beban lateral b. Baja dengan SRPMB baja 2,6 4,2 2,8
dengan memperhatikan
c. Beton bertulang dengan SRPMK beton 4,0 6,5 2,8
interaksi/sistem ganda)
bertulang (tidak untuk Wilayah 5 & 6)
d. Beton bertulang dengan SRPMM beton 2,6 4,2 2,8
bertulang (tidak untuk Wilayah 5 & 6)
4. Rangka bresing konsentrik khusus
a. Baja dengan SRPMK baja 4,6 7,5 2,8
b. Baja dengan SRPMB baja 2,6 4,2 2,8
5. Sistem struktur gedung kolom Sistem struktur kolom kantilever 1,4 2,2 2
kantilever (Sistem struktur yang
memanfaatkan kolom kantilever
untuk memikul beban lateral)
6. Sistem interaksi dinding geser Beton bertulang biasa (tidak untuk Wilayah 3, 4, 5 3,4 5,5 2,8
dengan rangka & 6)
7. Subsistem tunggal (Subsistem 1. Rangka terbuka baja 5,2 8,5 2,8
struktur bidang yang membentuk 2. Rangka terbuka beton bertulang 5,2 8,5 2,8
struktur gedung secara keseluruhan) 3. Rangka terbuka beton bertulang dengan balok 3,3 5,5 2,8
beton pratekan (bergantung pada indeks baja
total)
4. Dinding geser beton bertulang berangkai 4,0 6,5 2,8
daktail penuh
5. Dinding geser beton bertulang kantilever 3,3 5,5 2,8
daktail parsial
Rekayasa Gempa - 41
Pembebanan gempa tidak penuh tetapi biaksial atau sembarang dapat menimbulkan
pengaruh yang lebih rumit terhadap struktur gedung ketimbang pembebanan gempa penuh tetapi
uniaksial. Untuk mengantisipasi kondisi ini Applied Technology Council (ATC, 1984)
menetapkan bahwa, arah gempa yang biaksial dapat disimulasikan dengan meninjau beban
Gempa Rencana yang disyaratkan oleh peraturan, bekerja pada ke dua arah sumbu utama
struktur bangunan yang saling tegak lurus secara simultan. Besarnya beban gempa pada struktur
dapat diperhitungkan dengan menjumlahkan 100% beban gempa pada satu arah dengan 30%
beban gempa pada arah tegak lurusnya.
Bila bentuk denah dari bangunan tidak simetris atau tidak beraturan, maka sulit untuk
menentukan arah beban gempa yang paling menentukan. Untuk ini perlu dilakukan analisis
struktur dengan meninjau pengaruh dari beban gempa pada masing-masing arah dari struktur.
Untuk berbagai arah gempa yang bekerja, bagian yang kritis dari elemen-elemen struktur akan
berbeda pula. Berapa kemungkinan arah gempa yang akan ditinjau pada analisis, sepenuhnya
tergantung pada perencana struktur.
42 - Rekayasa Gempa
kegempaan di Indonesia, baik sumber gempa pada zona subduksi, sumber gempa dangkal pada
lempeng bumi, maupun sumber gempa pada sesar-sesar aktif yang sudah teridentifikasi.
Hasil analisis probabilistik bahaya gempa ini diplot pada peta Indonesia berupa garis-garis
kontur percepatan puncak batuan dasar dengan periode ulang 500 tahun (periode ulang Gempa
Rencana), yang kemudian menjadi dasar bagi penentuan batas-batas wilayah gempa. Percepatan
batuan dasar rata-rata untuk Wilayah Gempa 1 s/d 6, telah ditetapkan berturut-turut adalah
sebesar 0,03 g, 0,10 g, 0,15 g, 0,20 g, 0,25 g dan 0,30 g. Dengan percepatan batuan dasar ini,
maka ditetapkan percepatan puncak muka tanah (A o ) untuk Tanah Keras, Tanah Sedang dan
Tanah Lunak seperti yang tercantum pada Tabel 4.4.
Percepatan puncak batuan dasar dan percepatan puncak muka tanah A o untuk Wilayah
Gempa 1 yang ditetapkan dalam Gambar 4.15 dan Tabel 4.4, ditetapkan juga sebagai percepatan
minimum yang harus diperhitungkan dalam perencanaan struktur gedung untuk menjamin
kekekaran (robustness) minimum dari struktur gedung tersebut. Jadi beban gempa yang
disyaratkan tersebut merupakan pengaruh dari gempa yang bukan Gempa Rencana. Di dalam
peraturan bangunan negara tetangga kita Singapura yang berbatasan dengan Wilayah Gempa 1,
terdapat suatu ketentuan yang berkaitan dengan kekekaran struktur gedung, yaitu bahwa setiap
struktur gedung harus diperhitungkan terhadap beban-beban horisontal nominal pada taraf
masing-masing lantai tingkat sebesar 1,5% dari beban mati nominal lantai tingkat tersebut.
Dengan menggunakan kriteria ini, maka suatu struktur bangunan gedung bertingkat rendah
(gedung dengan periode getar T yang pendek) yang terletak di Wilayah Gempa 1 dan di atas
Tanah Sedang dengan faktor reduksi gempa misalnya sekitar R = 7 (struktur dengan daktilitas
sebagaian / parsial), harus diperhitungkan terhadap faktor respons gempa sebesar 0,13 I/R =
0,13 x 0,8/7 = 0,015. Hasil ini selaras dengan peraturan yang ditetapkan di Singapura. Dengan
demikian, standar gempa SNI 2002 ini boleh dikatakan memelihara kontinuitas kegempaan
regional lintas batas negara, jadi tidak lagi seperti menurut standar SNI 1989 yang lama, dimana
Wilayah Gempa 1 merupakan daerah yang bebas gempa sama sekali.
Tabel 2-4. Percepatan puncak batuan dasar dan percepatan puncak muka tanah untuk masing-masing
Wilayah Gempa Indonesia
Percepatan Percepatan puncak muka tanah A o (‘g’)
Wilayah
puncak batuan
Gempa Tanah Keras Tanah Sedang Tanah Lunak Tanah Khusus
dasar (‘g’)
1 0,03 0,04 0,05 0,08 Diperlukan
2 0,10 0,12 0,15 0,20 evaluasi
3 0,15 0,18 0,23 0,30 khusus di
4 0,20 0,24 0,28 0,34 setiap lokasi
5 0,25 0,28 0,32 0,36
6 0,30 0,33 0,36 0,38
Rekayasa Gempa - 43
Untuk menentukan pengaruh Gempa Rencana pada struktur gedung, yaitu berupa beban
geser dasar nominal statik ekuivalen pada struktur bangunan gedung beraturan, dan gaya geser
dasar nominal sebagai respons dinamik ragam pertama pada struktur bangunan gedung tidak
beraturan, untuk masing-masing Wilayah Gempa ditetapkan Spektrum Respons Gempa Rencana
C-T seperti ditunjukkan dalam Gambar 2. Dalam gambar tersebut C adalah Faktor Respons
Gempa yang dinyatakan dalam percepatan gravitasi, dan T adalah waktu getar alami struktur
gedung yang dinyatakan dalam detik.
Secara umum Spektrum Respons adalah suatu diagram yang memberi hubungan antara
percepatan respons maksimum suatu sistem Satu Derajat Kebebasan (SDK) akibat suatu gempa
masukan tertentu, sebagai fungsi dari faktor redaman dan waktu getar alami sistem SDK
tersebut. Spektrum Respons C-T yang ditetapkan untuk masing-masing Wilayah Gempa, adalah
suatu diagram yang memberikan hubungan antara percepatan respons maksimum (= Faktor
Respons Gempa) C dan waktu getar alami T sistem SDK akibat Gempa Rencana, dimana sistem
SDK tersebut dianggap memiliki rasio redaman kritis sebesar 5%.
Kondisi T = 0 mengandung arti, bahwa sistem SDK tersebut adalah sangat kaku, sehingga
getaran dari sistem tersebut sepenuhnya akan mengikuti gerakan tanah. Dengan demikian, untuk
T = 0 percepatan respons maksimum menjadi identik dengan percepatan puncak muka tanah (C
= A o ). Bentuk dari Spektrum Respons yang sesungguhnya menunjukkan suatu fungsi yang acak,
dimana untuk harga T yang meningkat akan menunjukkan nilai yang mula-mula meningkat dulu
sampai mencapai suatu nilai maksimum, kemudian akan turun lagi secara asimtotik mendekati
sumbu-T. Untuk mempermudah penggunaan, Spektrum Respons C-T yang digunakan di dalam
SNI Gempa 2002 telah diidealisasikan sebagai berikut : untuk 0 ≤ T ≤ 0,2 detik, C meningkat
secara linier dari A o sampai A m ; untuk 0,2 detik ≤ T ≤ T c , C bernilai tetap C = A m ; untuk T >
T c , C mengikuti fungsi hiperbola C = A r /T. Dalam hal ini T c disebut waktu getar alami sudut.
Idealisasi fungsi hiperbola ini mengandung arti, bahwa untuk T > T c kecepatan respons
44 - Rekayasa Gempa
percepatan respons maksimum yang bernilai tetap. Sedangkan untuk T > T c, berkaitan dengan
kecepatan respons maksimum yang bernilai tetap.
Berbagai hasil penelitian menunjukkan, bahwa A m berkisar antara 2 A o dan 3 A o ,
sehingga A m = 2,5 A o merupakan nilai rata-rata yang dianggap layak untuk perencanaan.
Selanjutnya, dari berbagai hasil penelitian juga ternyata, bahwa sebagai pendekatan yang baik
waktu getar alami sudut T c untuk jenis-jenis Tanah Keras, Tanah Sedang dan Tanak Lunak
dapat diambil sebesar berturut-turut 0,5 detik, 0,6 detik dan 1,0 detik. Dalam Tabel 5, nilai-nilai
A m dan A r dicantumkan untuk masing-masing Wilayah Gempa dan masing-masing jenis tanah.
Rekayasa Gempa - 45
Gambar 2-10. Peta kegempaan Indonesia, terdiri dari 6 Wilayah Gempa
46 - Rekayasa Gempa
Gambar 2-11. Spektrum Respon Gempa Rencana
Rekayasa Gempa - 47
2.7 Jenis Tanah Dasar dan Perambatan Gelombang Gempa
Gelombang gempa merambat melalui batuan dasar di bawah permukaan tanah. Dari
kedalaman batuan dasar ini gelombang gempa tersebut kemudian merambat ke permukaan tanah
sambil mengalami pembesaran (amplifikasi), bergantung pada jenis lapisan tanah yang berada di
atas batuan dasar tersebut. Dengan adanya pembesaran gerakan ini, maka pengaruh Gempa
Rencana di permukaan tanah harus ditentukan dari hasil analisis perambatan gelombang gempa
dari kedalaman batuan dasar ke permukaan tanah.
Ada dua kriteria yang dapat digunakan untuk mendefinisikan batuan dasar, yaitu
berdasarkan nilai hasil Test Penetrasi Standar N, atau berdasarkan besarnya kecepatan rambat
gelombang geser v s . Batuan dasar adalah lapisan batuan di bawah permukaan tanah yang
memiliki nilai hasil Test Penetrasi Standar (SPT) paling rendah N = 60, dan tidak ada lapisan
batuan lain di bawahnya yang memiliki nilai SPT<N = 60, atau lapisan batuan yang memiliki
kecepatan rambat gelombang geser v s yang mencapai 750 m/detik, dan tidak ada lapisan batuan
lain di bawahnya yang memiliki nilai kecepatan rambat gelombang < 750 m/detik. Dalam
praktek definisi yang pertama yang umumnya dipakai, mengingat data nilai N merupakan data
standar yang selalu diketemukan dalam laporan hasil penyelidikan geoteknik suatu lokasi,
sedangkan untuk mendapatkan nilai v s diperlukan percobaan-percobaan khusus di lapangan.
Apabila tersedia ke-2 kriteria tersebut, maka kriteria yang menentukan adalah yang
menghasilkan jenis batuan yang lebih lunak.
Menurut SNI Gempa 2002, ada empat jenis tanah dasar harus dibedakan dalam memilih
harga C, yaitu Tanah Keras, Tanah Sedang, Tanah Lunak, dan Tanah Khusus. Definisi dari jenis
Tanah Keras, Tanah Sedang dan Tanah Lunak dapat ditentukan berdasarkan tiga kriteria, yaitu
kecepatan rambat gelombang geser v s , nilai hasil Test Penetrasi Standar N, dan kekuatan geser
tanah S u (shear strength of soil). Untuk menetapkan jenis tanah yang dihadapi, paling tidak
harus tersedia 2 dari 3 kriteria tersebut, dimana kriteria yang menghasilkan jenis tanah yang
lebih lunak adalah yang menentukan. Apabila tersedia ke-3 kriteria tersebut, maka jenis suatu
tanah yang dihadapi harus didukung paling tidak ada 2 kriteria tadi.
Dari berbagai penelitian ternyata, bahwa hanya lapisan setebal 30 m paling atas yang
menentukan pembesaran gerakan tanah di permukaan tanah. Karena itu, nilai rata-rata berbobot
dari ke-3 kriteria tersebut harus dihitung sampai kedalaman tidak lebih dari 30 m. Jenis tanah
ditetapkan sebagai Tanah Keras, Tanah Sedang, atau Tanah Lunak, apabila untuk lapisan setebal
maksimum 30 m paling atas, dipenuhi syarat-syarat seperti yang tercantum dalam Tabel 4-6.
48 - Rekayasa Gempa
Tabel 2-6. Jenis-Jenis Tanah
Dalam Tabel 4-6 di atas, v s , N dan S u adalah nilai rata-rata berbobot besaran tanah
dengan tebal lapisan tanah sebagai besaran pembobotnya, yang harus dihitung menurut
persamaan-persamaan sebagai berikut :
m
∑ ti
vs = i =1
m
∑ t i / v si
i =1
m
∑ ti
N = i =1
m
∑ t i / Ni
i =1
m
∑ ti
Su = i =1
m
∑ t i / S ui
i =1
dimana t i adalah tebal lapisan tanah ke-i, v si adalah kecepatan rambat gelombang geser melalui
lapisan tanah ke-i, N i nilai hasil Test Penetrasi Standar lapisan tanah ke-i, S ui adalah kuat geser
tanah lapisan ke-i, dan m adalah jumlah lapisan tanah yang ada di atas batuan dasar.
Rekayasa Gempa - 49
Selanjutnya, PI adalah Indeks Plastisitas tanah lempung, w n adalah kadar air alami tanah, dan
50 - Rekayasa Gempa
serta balok beton pratekan berbentang panjang, harus diperhitungkan terhadap komponen
vertikal gerakan tanah akibat pengaruh Gempa Rencana, yang berupa beban gempa vertikal
nominal statik ekuivalen. Beban gempa ini harus ditinjau bekerja ke atas atau ke bawah yang
besarnya harus dihitung sebagai perkalian antara Faktor Respons Gempa Vertikal (C v ) dengan
beban gravitasi, termasuk beban hidup yang sesuai. Faktor Respons Gempa Vertikal dihitung
menurut persamaan :
Cv = ψ Ao I
Dimana koefisien ψ tergantung pada Wilayah Gempa tempat struktur bangunan gedung berada
dan ditetapkan menurut Tabel 4-7, A o adalah percepatan puncak muka tanah menurut Tabel 4.4,
sedangkan I adalah Faktor Keutamaan gedung menurut Tabel 4-1.
Persamaan di atas menunjukkan bahwa, dalam arah vertikal respon struktur dianggap
sepenuhnya mengikuti gerakan vertikal dari tanah, dan tidak tergantung pada waktu getar alami
serta tingkat daktilitasnya. Dalam persamaan ini faktor reduksi gempa dianggap sudah
diperhitungkan.
Wilayah Gempa ψ
1 0,5
2 0,5
3 0,5
4 0,6
5 0,7
6 0,8
Rekayasa Gempa - 51
mengalami deformasi elastis. Deformasi elastis adalah deformasi yang apabila bebannya
dihilangkan, maka deformasi tersebut akan hilang, dan struktur akan kembali kepada bentuknya
yang semula.
Pada struktur yang bersifat getas (brittle), maka jika beban yang bekerja pada struktur
sedikit melampaui batas maksimum kekuatan elastisnya, maka struktur tersebut akan patah atau
runtuh. Pada struktur yang daktail (ductile) atau liat, jika beban yang ada melampaui batas
maksimum kekuatan elastisnya, maka struktur tidak akan runtuh, tetapi struktur akan mengalami
deformasi plastis (inelastis). Deformasi plastis adalah deformasi yang apabila bebannya
dihilangkan, maka deformasi tersebut tidak akan hilang. Pada kondisi plastis ini struktur akan
mengalami deformasi yang bersifat permanen, atau struktur tidak dapat kembali kepada
bentuknya yang semula. Pada struktur yang daktail, meskipun terjadi deformasi yang permanen,
tetapi struktur tidak mengalami keruntuhan.
Pada kenyataannya, jika suatu beban bekerja pada struktur, maka pada tahap awal, struktur
akan berdeformasi secara elastis. Jika beban yang bekeja terus bertambah besar, maka setelah
batas elastis dari bahan struktur dilampaui, struktur kemudian akan berdeformasi secara plastis
(inelastis). Dengan demikian pada struktur akan terjadi deformasi elastis dan deformasi plastis,
sehingga jika beban yang bekerja dihilangkan, maka hanya sebagian saja dari deformasi yang
hilang (deformasi elastis = δe), sedangkan sebagian deformasi akan bersifat permanen
(deformasi plastis = δp). Perilaku deformasi elastis dan plastis dari struktur diperlihatkan pada
Gambar 4-17.
Dari uraian di atas tampak bahwa, pada struktur yang daktail, beban yang besar akibat
gempa tidak akan menyebabkan keruntuhan dari struktur, lebih-lebih karena beban gempa
merupakan beban dinamis yang arahnya bolak-balik. Beban gempa yang besar akan
menyebabkan deformasi yang permanen dari struktur akibat rusaknya elemen-elemen dari
struktur seperti balok dan kolom. Pada kondisi seperti ini, walaupun elemen-elemen struktur
bangunan mengalami kerusakan, namun secara keseluruhan struktur tidak mengalami
keruntuhan.
Energi gempa yang bekerja pada struktur bangunan, akan dirubah menjadi energi kinetik
akibat getaran dari massa struktur, energi yang dihamburkan akibat adanya pengaruh redaman
dari struktur, dan energi yang dipancarkan oleh bagian-bagian struktur yang mengalami
deformasi plastis. Dengan demikian sistem struktur yang bersifat daktail dapat membatasi
besarnya energi gempa yang masuk pada struktur, sehingga pengaruh gempa dapat berkurang.
52 - Rekayasa Gempa
δe δe=0
V≠0 V=0
δe+δp δp
V≠0 V=0
Rekayasa Gempa - 53
kerusakan, bahkan secara keseluruhan struktur dapat mengalami keruntuhan. Agar struktur
bangunan mempunyai kemampuan yang cukup dan tidak terjadi keruntuhan pada saat terjadi
Gempa Kuat, maka dapat dilakukan dua cara sbb:
Membuat struktur bangunan sedemikian kuat, sehingga struktur bangunan tetap
berperilaku elastis pada saat terjadi Gempa Kuat. Struktur bangunan yang dirancang tetap
berperilaku elastis pada saat terjadi Gempa Kuat adalah tidak ekonomis. Meskipun pada
saat terjadi Gempa Kuat struktur ini tidak mengalami kerusakan yang berarti, sehingga
tidak memerlukan biaya perbaikan yang besar, namun pada saat pembuatannya, struktur
bangunan ini memerlukan biaya yang sangat mahal. Struktur bangunan yang didesain
tetap berperilaku elastis pada saat terjadi Gempa Kuat, disebut Struktur Tidak Daktail.
Penggunaan sistem struktur portal tidak daktail masih dianggap ekonomis untuk bangunan
gedung bertingkat menengah dengan ketinggian tingkat antara 4 s/d 7 lantai, dan terletak
pada wilayah dengan pengaruh kegempaan ringan sampai sedang.
Membuat struktur bangunan sedemikian rupa sehingga mempunyai batas kekuatan elastis
yang hanya mampu menahan Gempa Sedang saja. Dengan demikian, struktur ini masih
bersifat elastis pada saat terjadi Gempa Ringan atau Gempa Sedang. Pada saat terjadi
Gempa Kuat, struktur bangunan harus dirancang agar mampu untuk berdeformasi secara
plastis. Jika struktur mempunyai kemampuan untuk dapat berdeformasi plastis cukup
besar, maka hal ini dapat mengurangi sebagian dari energi gempa yang masuk ke dalam
struktur. Struktur bangunan yang didesain berperilaku plastis pada saat terjadi Gempa
Kuat, disebut Struktur Daktail. Penggunaan sistem struktur portal daktail cukup ekonomis
untuk bangunan gedung bertingkat menengah sampai tinggi, yang dibangun pada wilayah
dengan pengaruh kegempaan kuat.
54 - Rekayasa Gempa
penulangan mengalami pelelehan, disebut daerah sendi plastis. Karena sendi-sendi plastis yang
terbentuk pada struktur portal akibat dilampauinya Beban Gempa Rencana dapat diatur
tempatnya, maka mekanisme kerusakan yang terjadi tidak akan mengakibatkan keruntuhan dari
struktur bangunan secara keseluruhan.
Karena pada prosedur Perencanaan Kapasitas ini terlebih dahulu harus ditentukan tempat-
tempat di mana sendi-sendi plastis akan terbentuk, maka dalam hal ini perlu diketahui
mekanisme kelelehan yang dapat terjadi pada sistem struktur portal. Dua jenis mekanisme
kelelehan yan dapat terjadi pada sistem struktur portal akibat pembebanan gempa, ditunjukkan
pada Gambar 4-18 di bawah.
Gambar 2-13. Mekanisme leleh pada struktur portal akibat beban gempa:
(a) Mekanisme leleh pada balok, (b) Mekanisme leleh pada kolom
Kedua jenis mekanisme kelelehen atau terbentuknya sendi-sendi plastis pada struktur
portal adalah :
a) Mekanisme Kelelehan Pada Balok (Beam Sidesway Mechanism), yaitu keadaan dimana
sendi-sendi plastis terbentuk pada balok-balok dari struktur bangunan, akibat
penggunaan kolom-kolom yang kuat (Strong Column–Weak Beam).
b) Mekanisme Kelelehan Pada Kolom (Column Sidesway Mechanism), yaitu keadaan di
mana sendi-sendi plastis terbentuk pada kolom-kolom dari struktur bangunan pada suatu
tingkat, akibat penggunaan balok-balok yang kaku dan kuat (Strong Beam–Weak
Column)
Rekayasa Gempa - 55
Pada Column Sidesway Mechanism, kegagalan dari kolom pada suatu tingkat akan
mengakibatkan keruntuhan dari struktur bangunan secara keseluruhan.
Pada struktur dengan kolom-kolom yang lemah dan balok-balok yang kuat (strong beam–
weak column), deformasi akan terpusat pada tingkat-tingkat tertentu, sehingga daktilitas
yang diperlukan oleh kolom agar dapat dicapai daktilitas dari struktur yang disyaratkan,
sulit dipenuhi.
Kerusakan-kerusakan yang terjadi pada kolom-kolom bangunan, akan lebih sulit
diperbaiki dibandingkan jika kerusakan terjadi pada balok. Jadi mekanisme kelelehen pada
portal yang berupa Beam Sidesway Mechanism, merupakan keadaan keruntuhan struktur
bangunan yang lebih terkontrol. Pemilihan perencanaan struktur bangunan dengan
menggunakan mekanisme ini membawa konsekuensi bahwa kolom-kolom pada struktur
bangunan harus direncanakan lebih kuat dari pada balok-balok struktur, sehingga dengan
demikian sendi-sendi plastis akan terbentuk lebih dahulu pada balok. Karena hal tersebut
di atas, maka dalam perencanaan portal daktail pada struktur bangunan tahan gempa,
sering juga disebut perencanaan struktur dengan kondisi desain Kolom Kuat – Balok
Lemah (Strong Column–Weak Beam).
56 - Rekayasa Gempa
BAB III
PERILAKU STRUKTUR TERHADAP GEMPA
3.1 Pendahuluan
Perencanaan struktur bangunan tahan gempa yang baik memerlukan pengetahuan tentang
bagaimana perilaku dari struktur tersebut saat terjadi gempa. Banyak faktor yang mempengaruhi
respon dari struktur pada saat terjadi gempa. Gambar 5.1 menunjukkan hubungan antara beban
horisontal akibat gempa yang arahnya bolak-balik dengan perpindahan yang terjadi dari dua
struktur portal (frame structure) yang dengan perilaku yang berbeda. Struktur pada Gambar
5.1.a menunjukkan perilaku ketahanan gempa yang buruk. Pada struktur ini, setelah tercapainya
kekuatan batas (ultimate) dari struktur (Hu), akan terjadi penurunan kekuatan yang sangat
signifikan akibat beban gempa yang berulang. Dari kurva siklus histeresis yang terbentuk
terlihat bahwa struktur pada Gambar 3.1.a mempunyai kapasitas disipasi energi yang kecil atau
terbatas, dengan demikian struktur ini tidak mempunyai kemampuan daya dukung yang baik di
dalam menahan beban gempa. Struktur-struktur seperti ini pada umumnya bersifat getas
(brittle).
Gambar 3-1. Perilaku struktur akibat pembebanan horisontal berulang, (a). Perilaku struktur yang
buruk, (b). Perilaku struktur yang baik
Struktur pada Gambar 5.1.b mempunyai perilaku yang baik didalam memikul beban
gempa. Kurva siklus histeresis yang terbentuk pada struktur ini lebih besar dibandingkan dengan
struktur yang pertama. Hal ini menunjukkan bahwa struktur mempunyai kapasitas disipasi
energi yang besar, sehingga struktur mempunyai kemampuan daya dukung yang baik di dalam
Rekayasa Gempa - 57
menahan beban gempa. Struktur-struktur seperti ini pada umumnya bersifat daktil (ductile).
Perilaku daktail dari struktur merupakan hal yang sangat penting di dalam merencanakan
struktur bangunan tahan gempa.
Modulus Young atau modulus elastisitas beton (Ec) bisa diambil sebesar 4730 f ' c MPa,
dimana f’c merupakan kuat tekan beton dalam Mpa.. Nilai regangan beton pada tegangan
maksimum kira-kira 0,002 untuk semua mutu beton. Bentuk penurunan percabangan kurva
tegangan-regangan bervariasi sesuai tulangan melintang yang terpasang.
Gambar 3-2. Diagram tegangan (fc) – regangan (ε) beton tertekan : (a) Diagram fc-ε beton sebenarnya.
(b) Diagram fc-ε beton yang di idealisasikan
Untuk keperluan desain, pada umumnya dilakukan penyederhanaan atau idealisasi dari
bentuk Diagram fc-ε yang sebenarnya. Gambar 3.2.b menunjukkan model Diagram fc-ε yang
diusulkan oleh Hognestad (1952) yang terdiri parabola dan garis lurus. Gambar 3a
menunjukkan hubungan antara tegangan dan regangan beton yang didapat dari hasil eksperimen
untuk pembebanan berulang. Sedangkan Gambar 3.3.b menunjukkan idealisasi Diagram fc-ε
dari Gambar 3.3.a (Blakeley dan Park,1973). Modulus retak dari beton dapat diperoleh dari
58 - Rekayasa Gempa
pengujian lentur. Besarnya modulus retak dapat diperkirakan dengan rumus 0,62 f ' c MPa..
Besarnya tegangan tarik dari beton berkisar antara 50 sampai dengan 75 % dari modulus
retaknya
Gambar 3-3. Diagram fc-ε beton akibat beban berulang : (a) Diagram fc-ε beton sebenarnya.
(b) Diagram fc-ε beton yang di idealisasikan
3.2.2 Baja
Hubungan antara tegangan regangan sebenarnya untuk material baja yang didapat dari
pengujian tarik diperlihatkan pada Gambar 3.4. Untuk keperluan desain biasanya dipergunakan
Diagram fc-ε yang sudah diidealisasikan dengan bentuk garis bilinear seperti pada Gambar b.
Nilai modulus Young atau modulus elastisitas baja (Es) besarnya dapat diambil sekitar 0,2 x 106
MPa untuk semua mutu baja.
Berbeda dengan material beton yang bersifat getas, baja merupakan material yang bersifat
daktail. Selain itu baja mempunyai sifat elastis dan plastis. Dari diagram fc-ε terlihat jelas batas
antara sifat elastis dan plastis dari baja, yaitu pada titik leleh bahan.
Rekayasa Gempa - 59
Titik leleh bahan adalah titik dimana bahan mencapai tegangan lelehnya (fy) akibat
pembebanan yang bekerja.
Sifat daktail dari suatu material ditunjukkan oleh besarnya perbandingan atau rasio antara
tegangan leleh (fy) dengan tegangan batasnya (fu). Semakin besar nilai rasio antara (fy) dan (fu),
akan semakin tinggi sifat daktilitas dari bahan. Dari diagram fc-ε untuk beton terlihat bahwa
bahan beton mempunyai rasio (fy) dan (fu) yang kecil, sehingga beton merupakan material yang
tidak daktail atau getas.
Gambar 3-4. Diagram tegangan (fc) – regangan (ε) baja tertarik : (a) Diagram fc-ε baja sebenarnya.
(b) Diagram fc-ε baja yang diidealisasikan
Hubungan sebenarnya antara tegangan dan regangan dari material baja akibat pembebanan
berulang diperlihatkan pada Gambar 3.5.a. Sedangkan Gambar 3.5.b, 3.5.c, dan 3.5.d
memperlihatkan idealisasi dari diagram fc-ε sebenarnya.
60 - Rekayasa Gempa
Gambar 3-5. Diagram fc-ε baja akibat beban berulang : (a) Diagram fc-ε sebenarnya, (b) Diagram fc-ε
baja untuk model elastis-plastis, (c) Diagram fc-ε baja untuk model bilinier, (d) Diagram
fc-ε baja untuk model Bauschinger.
Rekayasa Gempa - 61
6. Terpusatnya kerusakan pada lantai tertentu akibat distribusi kekakuan yang tidak merata
sepanjang tingkat bangunan
7. Terlepasnya komponen sekunder seperti dinding akibat hubungan yang tidak baik
Gambar 3-6. Keruntuhan struktur bangunan beton bertulang akibat getaran gempa yang berulang
Faktor 1,5, dan 6 berhubungan dengan konsep perencanaan struktur. Hal ini dapat
dihindarkan dengan merencanakan tata letak struktur yang baik. Sedangkan faktor 2,3,4, dan 7
dapat dihindari dengan melakukan detail penulangan, minimal sesuai yang disayaratkan di
dalam peraturan. Selain faktor-faktor tersebut di atas, kerusakan pada struktur bangunan beton
bertulang dapat juga diakibatkan oleh mutu bahan dan mutu pelaksanaan yang jelek.
62 - Rekayasa Gempa
tulangan pengikat (hoop ties), daktilitas beton akan meningkat seperti ditunjukkan pada Gambar
3.7. Jika digunakan tulangan geser berbentuk persegi (beugel), maka beton seputar diagonalnya
akan terkekang dan hasil tegangan-regangan yang terjadi diperlihatkan pada Gambar 3.8,
dimana kemiringan (slope) akan berkurang dengan penambahan jumlah beugel (Kent and
Park,1971 ;Sheik and Uzumeri,1980 ;sheik ,1982).
Gambar 3-7. Efek pengekangan tulangan spiral pada hubungan tegangan-regangan beton
Rekayasa Gempa - 63
Gambar 3-9. Efek tulangan melintang pada kolom untuk pencegahan tekuk pada tulangan utama.
(a) Tekuk pada tulangan longitudinal. (b) Tanpa tulangan geser tambahan.
(c) Dengan tulangan geser tambahan.
64 - Rekayasa Gempa
Gambar 3-10. Hubungan antara momen dan kurva histeresis untuk balok beton prategang
Selain pengaruh ketidakstabilan, pada struktur baja perlu juga diperhatikan masalah retak
(crack) dan masalah kelelahan bahan (fatigue). Retak pada struktur baja dapat terjadi akibat
kegagalan tarik pada sambungan baut atau paku keling, retak yang diakibatkan adanya
Rekayasa Gempa - 65
konsentrasi tegangan, retak atau robekan pada plat akibat momen. Kelelehan atau fatigue pada
bahan dapat terjadi akibat beban siklik.
a. Tekuk Lokal
Elemen dinding atau pelat baja dengan rasio antara lebar dan tebal yang besar, tidak akan
mampu mencapai tegangan lelehnya karena adanya tekuk setempat lokal. Walaupun tegangan
lelehnya dapat dicapai, tetapi daktilitasnya sangat rendah.. Untuk itu diperlukan adanya
pembatasan rasio antara lebar dan tebal plat. Beberapa batasan mungkin lebih diperlukan untuk
struktur tahan gempa dengan daktilitas tinggi, dari pada untuk struktur yang hanya menahan
beban vertikal saja. Gambar 5.11 menunjukkan tekuk lokal pada pipa baja persegi. Untuk panjang
yang sama, kekuatan pipa menahan tekuk tergantung dari perbandingan antara lebar (B) dan tebal
pipa (t).
Gambar 3-12 menunjukkan kurva hubungan antara momen (M) – rotasi (θ) yang didapat
dari hasil pengujian elemen balok-kolom profil H yang dilakukan oleh Mitani, Makino, dan
Matsui, pada 1977. Terlihat dari kurva M-θ bahwa kekuatan dan daktilitasnya dari profil baja H
tergantung pada nilai rasio antara lebar (b) dan tebal sayap (t). (Mitani, Makino, and
Matsui,1977).
66 - Rekayasa Gempa
Gambar 3-12. Hubungan antara momen (M) dan rotasi (θ) dari balok kolom kantilever dengan berbagai
variasi rasio antara lebar-tebal sayap
Gambar 3-13 menunjukkan kurva histeresis yang menunjukkan hubungan antara beban
dan defleksi dari elemen balok-kolom yang menerima beban horisontal siklik. Pada percobaan
ini dilakukan pengujian pada tiga benda uji, masing-masing dengan nilai rasio yang berbeda
antara lebar (b) dan tebal sayap (t), yaitu b/t=8, b/t=11, dan b/t=15. Dari kurva histeresis terlihat
bahwa kekuatan dan daktilitas dari elemen akan berkurang jika rasio antara lebar dan tebal
sayap, besar
Gambar 3-13. Kurva histeresis yang menunjukkan hubungan antara beban (P) dan defleksi (∆) dari
elemen balok-kolom yang menerima beban horisontal siklik
Rekayasa Gempa - 67
3.2.7 Perilaku Struktur Pasangan Batu Bata
Pasangan batu bata merupakan bahan konstruksi yang sering digunakan sebagai struktur
bangunan gedung sampai pada awal abad 20. Saat ini pasangan batu bata hanya digunakan
sebagai dinding penyekat, sedangkan struktur utamanya digantikan oleh material lain, seperti
baton bertulang dan baja. Karena mudah pemeliharaannya, harganya yang ekonomis, serta
mudah pelaksanaannya, konstruksi pasangan batu bata masih banyak digunakan untuk
konstruksi bangunan perumahan di daerah rawan gempa. Pada Gempa San Fransisco (1906),
Gempa Kanto(1923) dan Gempa Hawke’s Bay (1931), banyak bangunan dari struktur pasangan
batu bata yang mengalami karusakan. Sejak itu dinding batu bata tidak lagi digunakan di negara
seperti Jepang,
Beberapa faktor yang membuat konstruksi pasangan dinding bata kurang baik digunakan
untuk bangunan di daerah rawan gempa adalah :
1. Materialnya getas dan mudah retak, sehingga mempunyai kekuatan yang rendah untuk
memikul beban gempa yang sifatnya bolak-balik / siklik.
2. Karena cukup berat, maka beban gempa yang merupakan gaya inersia juga akan besar
3. Karena kaku, struktur pasangan batu bata mempunyai waktu getar yang pendek, sehingga
gaya gempa yang bekerja akan menjadi besar.
4. Kekuatannya bervariasi tergantung dari kualitas konstruksi.
Material batu bata bervariasi mulai dari material batu bata biada sampai material yang
tahan terhadap gempa dan beton block. Agar dapat tahan terhadap pengaruh gempa, konstruksi
dari pasangan batu bata perlu diberi perkuatan dengan grouting beton dan tulangan.
68 - Rekayasa Gempa
Gambar 3-14. Pola retak pada dinding non struktural sebuah apartemen di jepang, yang disebabkan
oleh Gempa Miyagiken-Oki pada 1978
Pada Gambar 3.15 diperlihatkan metode perkuatan dari konstruksi pasangan dinding batu
bata, yaitu (a) Reinforced grouted mansory dan (b) Reinforced hollow mansory. Pada
Reinforced grouted mansory, tulangan baja ditempatkan diantara dua lapisan pasangan bata,
kemudian ruang antara diisi dengan beton. Sedangkan pada Reinforced hollow mansory, pada
lubang-lubang dari beton block diberi tulangan vertikal dan horisontal, kemudian diisi mortar.
Gambar 3-15. Metode perkuatan konstruksi pasangan dinding batu bata : (a) Reinforced grouted
mansory, (b) Reinforced hollow mansory.
Rekayasa Gempa - 69
3.2.8 Perilaku Struktur Kayu
Struktur kayu merupakan struktur yang ringan serta mempunyai kekuatan dan daktilitas
yang tinggi, sehingga sangat baik digunakan untuk konstruksi bangunan di daerah rawan gempa.
Karena termasuk konstruksi ringan, maka struktur kayu dapat digunakan sebagai konstruksi
rumah tinggal tanpa perlu perhitungan struktural. Jika akan digunakan sebagai konstruksi yang
harus tahan terhadap gempa, maka struktur kayu perlu diperiksa kekuatannya dan diberi
perkuatan-perkuatan struktural, serta perlu detil konstruksi yang baik. Struktur kayu tahan
gempa biasanya terdiri elemen-elemen balok, kolom, diafragma dan dinding. Material yang
sering digunakan untuk dinding adalah, panel yang diselubungi playwood, dinding kayu ditutup
plaster, gypsum tertutup papan, dan papan-fiber. Gambar 3.16 menunjukkan hasil pengujian
yang dilakukan oleh Watanabe dan Kawashima (1971) untuk berbagai macam dinding kayu
yang mendapat pengaruh gaya geser. Dari diagram beban (P) dan defleksi (δ) yang didapat dari
percobaan terlihat bahwa dinding kayu mempunyai daktilitas yang besar. Perilaku dinding kayu
terhadap pembebanan berulang terlihat pada Gambar 17 (Medearis, 1966).
Gambar 3-16. Hubungan antara beban (P) dan defleksi (δ) dari berbagai macam dinding kayu yang
mendapat pengaruh gaya geser
Meskipun material kayu mempunyai kemampuan yang baik dalam hal menahan pengaruh
gempa, tapi berdasarkan pengamatan di lapangan banyak struktur kayu yang mengalami
kerusakan berat pada saat terjadi gempa. Hal ini disebabkan karena struktur kayu tidak
dirancang dengan baik, serta tidak adanya perkuatan dan detail konstrusi yang baik.
70 - Rekayasa Gempa
Gambar 3-17. Kurva histeresis yang menunjukkan antara beban (P) dan defleksi (δ) dari dinding kayu
yang mendapat pengaruh gaya geser siklik
Beberapa faktor yang menyebabkan kerusakan dari bangunan kayu pada saat terjadi
gempa adalah :
1. Kurangnya dinding kayu yang dipasang pada bangunan
2. Pengaruh torsi akibat penempatan dinding yang tidak teratur (eksentris).
3. Atap yang terlalu berat.
4. Penjepitan yang kurang baik antara kolom dan pondasi.
5. Detail sambungan yang tidak baik antara elemen-elemen struktur
6. Tanah longsor atau problem tanah lainnya.
Gambar 3-18. Keruntuhan struktur bangunan kayu akibat getaran gempa yang berulang
Rekayasa Gempa - 71
Gambar 3-19. Keruntuhan Bangunan Konstruksi Kayu akibat Tanah Longsor yang Disebabkan Gempa
72 - Rekayasa Gempa
BAB IV
EVALUASI KEAMANAN DAN PERKUATAN STRUKTUR
TERHADAP GEMPA
4.1 Pendahuluan
Evaluasi keamanan terhadap struktur bangunan gedung yang sudah berdiri diperlukan
untuk memastikan kinerja bangunan pada saat terjadi gempa. Dengan adanya evaluasi keamanan
ini diharapkan kerusakan atau keruntuhan dari bangunan akibat gempa yang terjadi di masa
mendatang dapat dihindarkan atau diminimalkan. Dengan demikian, secara umum tujuan dari
evaluasi keamanan struktur bangunan terhadap gempa adalah :
- Menghindari terjadinya korban jiwa manusia oleh runtuhnya bangunan akibat gempa yang
kuat
- Membatasi kerusakan bangunan akibat gempa ringan sampai sedang, sehingga masih
dapat diperbaiki dengan biaya yang terbatas
- Membatasi ketidaknyamanan penghunian bagi penghuni bangunan ketika terjadi gempa
ringan sampai sedang
- Mempertahankan setiap saat fungsi layanan bangunan.
Rekayasa Gempa - 73
kualitatif melibatkan pemeriksaan dokumen desain (gambar dan perhitungan) dan inspeksi
lapangan. Evaluasi kualitatif terhadap bangunan gedung akan menghasilkan salah satu dari
ketiga keputusan berikut :
1. Bangunan gedung sesuai dengan persyaratan desain
2. Bangunan gedung tidak sesuai dengan persyaratan desain
3. Bangunan gedung tidak dapat dievaluasi keamanannya secara kualitatif
Jika keamanan terhadap gempa tidak dapat dievaluasi secara kualitatif, maka perlu
dilakukan evaluasi analitis.
Pada 1979, Okada dan Bresler mengembangkan prosedure evaluasi keamanan struktur
beton bertulang terhadap gempa untuk bangunan gedung tingkat rendah (sampai 5 lantai) dan
gedung-gedung sekolah. Untuk menilai secara sistematis tingkat keamanan terhadap gempa dari
beberapa gedung yang sudah ada dalam waktu singkat, mereka menggunakan metode seleksi
melalui beberapa tahapan. Pertama, keamanan dari bangunan dihitung dengan metode analisis
yang sederhana. Jika dari hasil analisis ini keamanan bangunan tidak memenuhi persyaratan,
maka dilakukan analisis ulang dengan menggunakan teknik analisis yang lebih teliti. Prosedure
ini disebut screening, dan dilakukan berulang-ulang sampai didapatkan gambaran keamanan
yang jelas dari bangunan yang dievaluasi. Prosedure untuk melakukan evaluasi keamanan
bangunan terhadap gempa, terdiri atas lima tahapan yaitu :
74 - Rekayasa Gempa
meninjau ragam getar yang pertama atau ragam getar fundamental dari struktur. Tiga jenis
kegagalan struktur yang ditinjau adalah momen, geser, serta kombinasi momen-geser.
Analisis dinamik respon spektrum digunakan untuk mengevaluasi kinerja bangunan dan
tingkat daktilitasnya.
3. Evaluasi kekuatan struktur
Untuk memeriksa kekuatan dari struktur, dilakukan dengan prosedur yang umum
digunakan dalam praktek perencanaan struktur, yaitu melakukan analisis struktur untuk
menentukan gaya-gaya dalam yang bekerja pada elemen-elemen struktur, kemudian
dilakukan pemeriksaan tegangan yang terjadi pada penampang.
4. Evaluasi kekakuan struktur
Untuk memeriksa kekakuan dari struktur, dilakukan dengan memeriksa simpangan yang
terjadi pada tiap-tiap lantai struktur, serta memeriksa tingkat daktilitas dari struktur.
5. Evaluasi keamanan struktur
Dengan menggabungkan hasil evaluasi kekuatan struktur dan kekakuan struktur, kemudian
dilakukan penilaian akhir untuk menentukan kesimpulan apakah bangunan tersebut aman
atau tidak. Jika didapat penilaian yang positif, maka ini berati bangunan dinyatakan aman.
Tetapi jika didapatkan hasil yang negatif, maka bangunan dinyatakan tidak aman. Jika
didapatkan hasil penilaian yang meragukan maka perlu dilakukan sreening lebih lanjut.
Rekayasa Gempa - 75
Efektivitas dari metode-metode perbaikan dan/atau perkuatan tersebut diatas bisa sangat
berhasil jika disertai dengan penggunaan dokumen prencanaan dan laporan pelaksanaan
konstruksi.
76 - Rekayasa Gempa
Perkuatan pada struktur beton dapat dilakukan dengan penambahan batang tulangan pada
balok dan kolom struktur, atau dengan penebalan dinding geser, atau dengan menambah lapisan
beton bertulang. Pada Gambar 6.1 diperlihatkan langkah-langkah perbaikan kolom struktur
beton bertulang yang mengalami kerusakan.
Rekayasa Gempa - 77
Gambar 4-1.c. Perbaikan kolom beton bertulang (langkah 4 dan 5)
78 - Rekayasa Gempa
pasangan bata yang mengalami retakan. Perkuatan pada dinding bata dilakukan secara
sederhana dengan menggunakan jaringan kawat ayam. kerusakan.
Gambar 4-2. Perkuatan pada dinding bata dengan menggunakan jaringan kawat ayam.
Perkuatan pada struktur bangunan bertujuan untuk meningkatkan kapasitas daya dukung
struktur atau daktilitas struktur, atau meningkatkan keduanya.
1. Meningkatkan kekuatan struktur
Jika persyaratan daktilitas dari struktur tidak menjadi persyaratan yang utama, maka untuk
meningkatkan kekuatan struktur bangunan gedung dapat dilakukan dengan memasang
atau menambah Wing wall (dinding sayap) atau Infilled wall (dinding pengisi), Bracing
(pengaku silang baja), atau Buttress wall (dinding penyokong) pada struktur utama
bangunan. Pemasangan perkuatan dinding sayap atau dinding pengisi, pengaku baja, dan
dinding penyokong diperlihatkan pada Gambar 6.3.
a. Wing wall (dinding sayap) atau Infilled wall (dinding pengisi) yang ditambahkan pada
kolom dan dinding geser yang ada pada struktur bangunan (Gambar 3a). Wing wall
dan Infilled wall pada umumnya dari beton bertulang yang dibuat di tempat, tetapi
dapat juga menggunakan panel-panel dinding pracetak.
Rekayasa Gempa - 79
b. Bracing atau pengaku silang dari baja adalah sistem perkuatan yang menguntungkan
jika ditambahkan dalam berat yang minimal pada stuktur bangunan. Seperti halnya
pada perkuatan dengan wing wall, pemasangan bracing pada rangka utama struktur
(portal) tetap harus berhati-hati, karena tempat sambungan antara pengaku dan portal
ini merupakan bagian yang terlemah dari sistem struktur pada saat memikul beban
gempa.
c. Buttress wall atau dinding penyokong, merupakan cara perkuatan yang cocok untuk
struktur bangunan gedung jika tersedia ruang yang cukup.
80 - Rekayasa Gempa
2. Meningkatkan daktilitas struktur.
Jika perkuatan dengan pengaku silang baja atau dinding sayap tidak mencukupi, maka
perbaikan daktilitas struktur merupakan alternatif yang harus dipilih. Sebagai contoh,
kegagalan pada kolom yang diakibatkan oleh gaya geser merupakan kegagalan yang
diikategorikan sebagai kegagalan daktilitas (Gambar 6.4). Kegagalan geser pada kolom
dapat dihindarkan dengan memasang tulangan geser dengan jarak rapat. Pemasangan
perkuatan pada kolom beton bertulang dapat dilakukan dengan beberapa metode seperti
diperlihatkan pada Gambar 5. Beberapa metode perkuatan kolom beton adalah sebagai
berikut :
a. Disekeliling kolom yang rapuh atau rusak dipasang plat baja pembungkus. Rongga
diantara kolom dan pelat baja pembungkus kemudian diisi dengan adukan beton.
b. Pada sudut-sudut dari kolom diberi perkuatan dengan menggunakan profil-profil baja
siku yang disatukan dengan plat-plat penyambung atau besi strip.
c. Memperbesar dimensi kolom dengan cara memasang jaringan tulangan yang terdiri
dari tulangan memenjang dan tulangan geser (geser) disekeliling kolom, kemudian
dilakukan pengecoran beton.
Rekayasa Gempa - 81
Gambar 6-5. Beberapa cara perkuatan pada kolom beton bertulang
82 - Rekayasa Gempa
BAB V
KRITERIA DASAR PERENCANAAN STRUKTUR BANGUNAN
TAHAN GEMPA
5.1 Pendahuluan
Beban gempa merupakan beban yang sangat tidak dapat diperkirakan baik besarnya,
arahnya, maupun saat terjadinya. Besarnya beban gempa yang bekerja pada struktur bangunan,
tergantung dari banyak variabel. Gaya horisontal, gaya vertikal dan momen torsi yang terjadi
akibat gempa pada struktur, sangat tergantung pada berat dan kekakuan material struktur,
konfigurasi dan sistem struktur, periode atau waktu getar struktur, kondisi tanah dasar, wilayah
kegempaan, serta perilaku gempa itu sendiri.
Agar beban gempa pada struktur bangunan yang diperhitungkan tidak terlalu besar dan
arahnya cukup dapat diperkirakan, serta distribusi beban gempa dapat dilakukan dengan cara
yang sederhana, maka ketentuan yang perlu diperhatikan dalam perencanaan struktur bangunan
di daerah rawan gempa adalah : tata letak dari struktur, perencanaan kapasitas (capacity design)
dengan konsep strong column – weak beam, serta pendetailan yang baik dari elemen-elemen
struktur. Dengan memenuhi persyaratan-persyaratan di atas, maka dapat diharapkan
perencanaan struktur di daerah rawan gempa dapat dilakukan dengan cara yang sederhana,
aman, dan ekonomis.
Banyak kejadian menunjukkan bahwa kesalahan di dalam memilih konfigurasi struktur,
jenis material yang digunakan, serta sistem struktural dari bangunan, dapat mengakibatkan
kerusakan bahkan kehancuran secara menyeluruh dari struktur bangunan tersebut, akibat
pembebanan berulang yang disebabkan oleh pengaruh gempa. Hal ini disebabkan karena
struktur bangunan tidak mempunyai kinerja dan respon yang baik pada saat terjadi gempa, serta
tidak mempunyai ketahanan yang tinggi terhadap pengaruh beban gempa yang bersifat dinamik,
meskipun telah dilakukan prosedur perencanaan struktur tahan gempa.
Agar perencanaan struktur dapat dilakukan dengan cara analisis statik yang sederhana,
tanpa melakukan prosedur analisis dinamik yang rumit, serta perilaku struktur diharapkan
mempunyai kinerja yang baik pada saat terjadi gempa, maka sangat penting untuk mengatur tata
letak dari struktur bangunan. Beberapa kriteria dasar yang dapat dipakai sebagai acuan untuk
merencanakan tata letak struktur bangunan di daerah rawan gempa adalah :
↑ Struktur bangunan harus mempunyai bentuk yang sederhana, kompak dan simetris
↑ Struktur bangunan tidak boleh terlalu langsing, baik pada denahnya maupun potonganya,
serta mempunyai kekakuan yang cukup.
Rekayasa Gempa - 83
↑ Distribusi dari massa, kekakuan dan kekuatan disepanjang tinggi bangunan diusahakan
seragam dan menerus.
↑ Elemen-elemen vertikal dari struktur (kolom) harus dibuat lebih kuat dari elemen-elemen
horisontal dari struktur (balok), agar sendi plastis terbentuk terlebih dahulu pada balok-
balok (strong column – weak beam).
84 - Rekayasa Gempa
padanya. Kombinasi pembebanan yang perlu ditinjau untuk merencanakan kekuatan dari
kolom-kolom struktur adalah :
Beban gravitasi + 100% beban gempa arah X + 30% beban gempa arah Y
Beban gravitasi + 30% beban gempa arah X + 100% beban gempa arah Y
Beban gravitasi yang ditinjau pada perhitungan di atas adalah beban mati ditambah dengan
beban hidup yang direduksi. Kombinasi pembebanan yang menghasilkan keadaan yang paling
berbahaya bagi kolom-kolom struktur dan elemen-elemen vertikal struktur penahan gempa
seperti dinding geser (shear wall), dinding inti (core wall), adalah yang digunakan untuk
perencanaan. Pengaruh dari bekerjanya beban gempa secara bersamaan pada elemen-elemen
horisontal struktur seperti balok, pelat, atau elemen-elemen horisontal lainnya adalah kecil,
sehingga dapat diabaikan. Untuk perencanaan kekuatan dari elemen-elemen ini cukup
direncanakan terhadap pengaruh beban gempa horisontal dalam satu arah saja. Gambar 1 di atas
menunjukkan kemungkinan dari arah beban gempa yang dapat bekerja secara bersamaan pada
struktur bangunan.
Rekayasa Gempa - 85
mengakibatkan pengaruh beban gempa berarah vertikal yang bekerja pada struktur bangunan.
Meskipun dari beberapa pengalaman gempa menunjukkan mekanisme ini, tapi sampai saat ini
respon dari struktur bangunan terhadap gerakan tersebut belum banyak diketahui. Pada
umumnya, tinjauan perencanaan struktur terhadap pengaruh beban gempa arah vertikal ini dapat
diabaikan, dengan anggapan bahwa elemen-elemen dari struktur telah direncanakan berdasarkan
beban gravitasi (beban mati dan beban hidup) yang arahnya vertikal ke bawah.
Pengalaman dari Gempa Northridge (1994) di Amerika dan Gempa Kobe (1995) di Jepang
telah menunjukkan, bahwa banyak unsur-unsur bangunan gedung yang memiliki kepekaan yang
tinggi terhadap beban gravitasi, seperti balkon, kanopi, balok kantilever berbentang panjang,
balok transfer pada struktur bangunan tinggi, balok prategang berbentang panjang, mengalami
kerusakan berat akibat percepatan vertikal gerakan tanah. Unsur-unsur struktur ini harus
diperhitungkan terhadap komponen vertikal gerakan tanah akibat pengaruh gempa. Analisis
respon dinamik yang sesungguhnya dari unsur-unsur struktur tersebut terhadap gerakan vertikal
tanah akibat gempa sangat rumit, karena terjadi interaksi antara respon elemen dengan respon
struktur secara keseluruhan. Analisis terhadap unsur-unsur dari struktur bangunan ini dapat
dilakukan secara sederhana dengan meninjau pengaruh dari percepatan vertikal tanah akibat
gempa, sebagai beban gempa vertikal statik ekuivalen. Beban vertikal statik ekuivalen yang
harus ditinjau bekerja ke atas atau ke bawah, besarnya dihitung sebagai perkalian antara Faktor
Respon Gempa vertikal Cv dengan beban gravitasi, termasuk beban hidup yang sesuai.
Faktor Respon Gempa vertikal C v dapat dihitung menurut persamaan C v = ψ .A m .I,
dimana koefisien ψ bergantung pada Wilayah Gempa tempat struktur bangunan berada.
Besarnya harga untuk koefisien ψ adalah 0,5 sampai 0,8. A m adalah percepatan tanah
maksimum, dan I adalah Faktor Keutamaan struktur bangunan.
Dapat dimengerti, bahwa komponen vertikal gerakan tanah akibat gempa relatif akan
semakin besar, jika semakin dekat dengan pusat gempa dari lokasi yang ditinjau. Percepatan
gerakan tanah ditetapkan sebagai perkalian koefisien ψ dengan percepatan tanah maksimum A m .
Karena itu, semakin tinggi kegempaan suatu wilayah gempa, semakin dekat wilayah tersebut
dengan sumber gempa, maka koefisien ψ nilainya akan meningkat. Perhitungan beban gempa
kearah vertikal akibat pergerakan tanah, tidak tergantung pada waktu getar alami dan tingkat
daktilitas struktur.
86 - Rekayasa Gempa
5.2.3 Pengaruh Beban Gravitasi Vertikal.
Beban gravitasi vertikal pada struktur bangunan dapat terdiri dari kombinasi antara beban
mati dan beban hidup. Beban-beban hidup yang bekerja pada struktur bangunan pada umumnya
dapat direduksi pada saat dilakukan analisis beban gempa pada struktur tersebut, sehubungan
dengan kecilnya kemungkinan bekerjanya beban hidup penuh dan pengaruh beban gempa penuh
secara bersamaan pada struktur secara keseluruhan. Tujuan mereduksi beban hidup ini adalah
untuk mendapatkan desain struktur yang cukup ekonomis. Besarnya beban mati dan beban
hidup dapat dihitung dengan mengacu pada standar pembebanan yang berlaku.
Rekayasa Gempa - 87
bangunan akibat pengaruh dinamik pergerakan tanah yang diakibatkan gempa, dengan beban-
beban statik yang ekuivalen.
Tujuan dari analisis statik adalah untuk menyederhanaan prosedur perhitungan. Prosedur
analisis statik yang sering digunakan pada praktek perencanaan struktur bangunan gedung,
adalah Analisis Beban Gempa Nominal Statik Ekuivalen. Pada metode ini diasumsikan bahwa
gaya horisontal akibat gempa yang bekerja pada suatu elemen struktur, besarnya ditentukan
berdasarkan perkalian antara suatu koefisien atau konstanta, dengan berat atau massa dari
elemen-elemen struktur tersebut.
Pada standar gempa yang berlaku di Indonesia, metode analisis statik untuk
memperhitungkan pengaruh beban gempa pada struktur bangunan hanya boleh digunakan untuk
menganalisis struktur bangunan yang beraturan. Struktur bangunan gedung dapat dianggap
beraturan jika memenuhi beberapa ketentuan antara lain, tinggi struktur bangunan tidak lebih
dari 10 tingkat atau 40 meter, denah struktur bangunan berbentuk persegi panjang tanpa adanya
tonjolan-tonjolan, sistem struktur bangunan gedung mempunyai bentuk yang sederhana dan
beraturan, serta mempunyai massa dan kekakuan yang hampir seragam pada seluruh tingginya.
Analisis Beban Gempa Nominal Statik Ekivalen merupakan metode pendekatan dari
sifat-sifat dinamik yang sebenarnya dari beban gempa yang bekerja pada struktur. Struktur-
struktur yang tidak begitu mudah untuk diperkirakan perilakunya terhadap beban gempa,
struktur-struktur dengan tinggi tingkat lebih dari 40 meter, atau struktur-struktur gedung yang
tidak beraturan dengan ketinggian tingkat kurang dari 40 meter, harus dianalisis dengan
prosedur analisis dinamik.
Besarnya beban Gempa Nominal statik ekuivalen yang digunakan untuk perencanaan
struktur ditentukan oleh tiga hal, yaitu oleh besarnya Gempa Rencana, oleh tingkat daktilitas
yang dimiliki struktur, dan oleh nilai faktor tahanan lebih yang terkandung di dalam struktur.
Berdasarkan pedoman gempa yang berlaku di Indonesia yaitu Perencanaan Ketahanan Gempa
Untuk Struktur Rumah dan Gedung (SNI 03-1726-2002)., besarnya Beban Gempa Nominal (V)
yang bekerja pada struktur bangunan, ditentukan menurut persamaan :
C .I
V = Wt
R
Dimana, I adalah Faktor Keutamaan Struktur, C adalah nilai Faktor Respon Gempa yang didapat
dari Respon Spektrum Gempa Rencana untuk waktu getar alami fundamental struktur T, dan
W t ditetapkan sebagai jumlah dari beban mati ditambah beban hidup yang direduksi. R adalah
88 - Rekayasa Gempa
Faktor Reduksi Gempa yang besarnya tergantung dari besarnya tingkat daktilitas struktur. Untuk
struktur bangunan gedung yang berperilaku elastik penuh harga R=1,6, sedangkan untuk
bangunan gedung yang berperilaku daktail penuh harga R=8,5.
Pada struktur bangunan gedung bertingkat, beban gempa horisontal V, untuk selanjutnya
didistribusikan pada setiap tingkat dari struktur bangunan gedung. Besarnya gaya gempa yang
bekerja pada masing-masing tingkat dari bangunan gedung tergantung dari berat dan ketinggian
tingkat.
Beban gempa yang bekerja pada struktur bangunan merupakan gaya inersia. Besarnya
gaya inersia ini tergantung dari banyak faktor. Berat atau massa bangunan dan percepatan
gempa merupakan faktor yang paling utama. Faktor-faktor lainnya yang juga mempengaruhi
besarnya beban gempa pada struktur adalah bagaimanan cara massa dari bangunan tersebut
terdistribusi, kekakuan dari sistem struktur bangunan, kondisi tanah di dasar bangunan,
mekanisme redaman pada struktur bangunan, dan perilaku dari getaran gempa. Faktor yang
terakhir ini paling sulit ditentukan secara tepat karena sifatnya yang acak (random). Gerakan
tanah yang ditimbulkan oleh getaran gempa dapat berperilaku tiga dimensi. Pada umumnya,
hanya gerakan tanah kearah horisontal saja yang ditinjau di dalam perencanaan struktur.
Periode atau waktu getar struktur yang besarnya dipengaruhi oleh massa dan kekakuan
struktur, merupakan faktor penting yang mempengaruhi respon struktur terhadap getaran gempa.
Struktur yang kaku dengan periode getar yang pendek, misalnya struktur portal dengan dinding
geser, akan menerima beban gempa yang lebih besar dibandingkan struktur yang fleksibel
dengan periode getar yang panjang, misalnya struktur portal biasa. Penggunaan dinding geser
pada sistem struktur sering tidak dapat dihindari, khususnya pada bangunan-bangunan tinggi
atau pada bangunan-bangunan yang didirikan di wilayah atau zona gempa yang berat. Fungsi
dari dinding geser disini adalah untuk membatasi besarnya simpangan horisontal yang terjadi
pada struktur.
Rekayasa Gempa - 89
Gambar 5-2. (a) Struktur fleksibel : Struktur portal, periode getar panjang, (b) Struktur kaku :
Struktur portal dengan dinding geser, periode getar pendek
dimana H adalah ketinggian dari struktur bangunan gedung (dalam meter) di ukur dari taraf
penjepitan lateral, dan B adalah panjang dari denah struktur bangunan dalam arah gempa yang
ditinjau (dalam meter).
Setelah didapatkan gaya-gaya gempa pada struktur dengan menggunakan T empiris, waktu
getar sebenarnya dari struktur gedung beraturan dalam arah masing-masing sumbu utama dapat
dihitung ulang dengan menggunakan Rumus Rayleigh sebagai berikut :
n
∑Wi d i 2
T = 6,3 i = 1
n
g ∑ Fi d i
i =1
90 - Rekayasa Gempa
dimana :
W i = Bagian dari seluruh beban vertikal yang disumbangkan oleh beban-beban
vertikal yang bekerja pada lantai tingkat ke i (dalam kg) pada peninjauan gempa
F i = Beban gempa horisontal pada arah yang ditinjau yang bekerja pada lantai tingkat
ke i (dalam kg)
di = Simpangan horisontal pusat berat pada lantai tingkat ke i (dalam mm)
akibat beban gempa
n = Jumlah lantai tingkat pada struktur bangunan gedung
g = Percepatan gravitasi yang ditetapkan sebesar 9810 mm/det2.
Waktu getar alami fundamental dari struktur bangunan gedung ditentukan dengan rumus-
rumus empirik atau didapat dari hasil analisis vibrasi bebas 3 dimensi, nilainya tidak boleh
menyimpang lebih dari 20% dari nilai waktu getar struktur yang dihitung dengan Rumus
Rayleigh.
Wi hi
Fi = V
n
∑Wi hi
i =1
dimana W i adalah berat lantai tingkat ke-i, termasuk beban hidup yang sesuai, h i adalah
ketinggian lantai tingkat ke-i diukur dari taraf penjepitan lateral, dan sedangkan n adalah nomor
lantai tingkat paling atas.
Taraf penjepitan lateral adalah taraf dimana gerakan tanah akibat gempa dipindahkan dari
tanah kepada struktur atas bangunan melalui struktur bawahnya. Dalam analisis, struktur atas
dapat dianggap terjepit pada taraf penjepitan lateral. Jika terdapat basement, taraf penjepitan
lateral dapat dianggap terjadi pada taraf lantai dasar. Jika tidak ada basement, taraf penjepitan
lateral dapat dianggap terjadi pada bidang telapak pondasi langsung atau pondasi rakit, dan pada
bidang atas pile cap pondasi tiang.
Pembagian beban gempa statik ekuivalen (V) horisontal, harus memenuhi ketentuan
sebagai berikut :
Rekayasa Gempa - 91
Jika perbandingan antara tinggi struktur dan lebar denah bangunan adalah sama atau
melebihi 3, maka 0,10 V harus dianggap sebagai beban horisontal terpusat yang bekerja
pada pusat massa lantai puncak bangunan, sedangkan 0,90 V sisanya harus dibagikan
menjadi beban-beban horisontal terpusat menurut rumus di atas.
Untuk cerobong yang berdiri di atas tanah, 0,20 V harus dianggap sebagai beban
horisontal terpusat yang bekerja pada puncaknya, sedangkan 0,80 V sisanya harus
dibagikan menjadi beban-beban horisontal terpusat menurut rumus di atas.
Untuk tangki di atas menara, beban horisontal terpusat sebesar V harus dianggap bekerja
pada titik berat seluruh struktur menara dan tangki berikut isinya.
Gambar 7-3. Distribusi beban gempa pada pada masing-masing tingkat bangunan
92 - Rekayasa Gempa
Gedung-gedung dengan kekakuan tingkat yang tidak merata
Gedung-gedung yang tingginya lebih dari 40 meter
Posedur analisis dinamik yang dapat digunakan untuk menentukan besarnya beban gempa
pada struktur seperti yang tercantum di dalam standar Perencanaan Ketahanan Gempa Untuk
Struktur Rumah dan Gedung (SNI 03-1726-2002), adalah metode Analisis Ragam Spektrum
Respon (Spectral Modal Analysis) dan Analisis Respon Dinamik Riwayat Waktu (Time History
Analysis).
Nilai akhir dari respons dinamik struktur bangunan gedung terhadap pembebanan gempa
dalam suatu arah tertentu, tidak boleh diambil kurang dari 80% nilai respons ragam yang
pertama. Bila respons dinamik struktur gedung dinyatakan dalam gaya gempa (V), maka
persyaratan tersebut dapat dinyatakan menurut persamaan berikut :
V ≥ 0,8 V 1
Rekayasa Gempa - 93
alami harus dianggap berdekatan, apabila selisih nilainya kurang dari 15%. Untuk struktur
gedung tidak beraturan yang memiliki waktu getar alami yang berjauhan, penjumlahan respons
ragam tersebut dapat dilakukan dengan metoda yang dikenal dengan Akar Jumlah Kuadrat
(Square Root of the Sum of Squares atau SRSS).
Gaya gempa nominal akibat pengaruh Gempa Rencana sepanjang tinggi struktur gedung
hasil dari Analisis Ragam Spektrum Respons dalam suatu arah tertentu, harus dikalikan nilainya
dengan suatu Faktor Skala :
0 ,8 V1
Faktor Skala = ≥1
Vt
dimana V 1 adalah gaya gempa sebagai respons dinamik yang pertama saja dan V t adalah gaya
gempa yang didapat dari hasil analisis ragam spektrum respons yang telah dilakukan.
Ao I
A =
R
dimana A o adalah Percepatan Puncak Muka Tanah, R adalah Faktor Reduksi Gempa dari
struktur yang bersangkutan, sedangkan I adalah Faktor Keutamaan dari struktur bangunan.
Nilai-nilai A o , I, dan R tercantum didalam standar gempa. Dalam analisis ini redaman struktur
yang harus diperhitungkan dapat dianggap 5% dari redaman kritis.
Untuk mengkaji perilaku pasca-elastik struktur gedung terhadap pengaruh Gempa
Rencana, harus dilakukan Analisis Respons Dinamik Non-linier Riwayat Waktu, dimana
percepatan muka tanah asli dari gempa masukan harus diskalakan, sehingga nilai percepatan
puncaknya menjadi sama dengan A o I.
94 - Rekayasa Gempa
Akselerogram gempa masukan yang ditinjau harus diambil dari rekaman gerakan tanah
akibat gempa yang didapat di suatu lokasi yang mirip kondisi geologi, topografi dan
seismotektoniknya dengan lokasi tempat struktur gedung yang ditinjau berada. Untuk
mengurangi ketidakpastian mengenai kondisi lokasi ini, paling sedikit harus ditinjau 4 buah
akselerogram dari 4 gempa yang berbeda, salah satunya harus diambil akselerogram Gempa El
Centro N-S yang telah direkam pada tanggal 15 Mei 1940 di California.
Berhubung gerakan tanah akibat gempa pada suatu lokasi tidak mungkin dapat
diperkirakan dengan tepat, maka sebagai gempa masukan dapat juga dipakai gerakan tanah yang
disimulasikan. Parameter-parameter yang menentukan gerakan tanah yang disimulasikan ini
antara lain terdiri dari waktu getar predominan tanah, konfigurasi spektrum respons, jangka
waktu gerakan dan intensitas gempanya.
(b)
(a)
Gambar 7-4 Model struktur bangunan gedung untuk analisis dinamik : (a). Model struktur portal.
(b). Model massa terpusat
Rekayasa Gempa - 95
Dari hasil analisis dinamik untuk 3 ragam getar (mode shape), didapatkan waktu getar
(T) dari struktur bangunan gedung adalah : T1 = 1,16 detik, T2 = 0,46 detik, dan T3 = 0,31
detik. Ragam getar dari struktur diperlihatkan pada Gambar 7.5.
96 - Rekayasa Gempa
Untuk keperluan analisis perencanaan gempa dari struktur bangunan yang berukuran
sedang atau menengah, dapat dilakukan prosedur analisis statik dengan metode Analisis Beban
Gempa Nominal Statik Ekuivalen. Dalam hal ini disarankan untuk memeriksa gaya-gaya gempa
yang bekerja pada struktur dengan menggunakan Spektrum Respon Gempa Rencana yang sesuai
dengan wilayah gempa serta kondisi tanah dasar dimana struktur bangunan tersebut akan
didirikan. Untuk struktur bangunan yang besar dan cukup penting, analisis perencanaan terhadap
pengaruh gempa tidak cukup hanya dilakukan dengan analisis statik saja, tetapi harus
menggunakan prosedur analisis dinamik untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat.
Metode analisis dinamik yang sering digunakan dalam praktek perencanaan struktur
adalah metode Analisis Ragam Spektrum Respon. Analisis dinamik perlu dilakukan pada
struktur-struktur dengan karakteristik : bangunan gedung dengan konfigurasi struktur sangat
tidak beraturan, bangunan gedung dengan loncatan-loncatan bidang muka yang besar, bangunan
gedung dengan kekakuan tingkat yang tidak merata, bangunan gedung dengan tingginya lebih
dari 40 meter.
Metoda analisis dinamik ini dapat digunakan untuk menganalisis struktur dengan
distribusi kekakuan dan massa yang tidak merata ke arah vertikal, dengan hasil yang cukup
akurat. Selain Analisis Ragam Spektrum Respon, analisis dinamik dapat juga dilakukan dengan
metode Analisis Respon Dinamik Linier Riwayat Waktu. Untuk struktur bangunan yang sangat
besar atau struktur yang sangat penting, selain analisis dinamik yang bersifat elastis, kadang-
kadang diperlukan juga analisis dinamis yang bersifat inelastis dengan metode Analisis Respon
Dinamik Non-linier Riwayat Waktu untuk memastikan bahwa struktur tersebut cukup aman
terhadap pengaruh gempa kuat.
Untuk keperluan analisis dinamis, baik yang bersifat elastis maupun tidak elastis, pada
umumnya struktur bangunan dimodelkan sebagai bangunan geser dengan sistem massa-massa
yang terpusat (lumped-mass model), dengan tujuan untuk mengurangi jumlah derajat kebebasan
yang ada pada struktur. Model massa terpusat dapat menyederhanakan prosedur perhitungan.
Rekayasa Gempa - 97
rupa sehingga didapatkan sistem struktur yang ekonomis dan cukup aman terhadap pengaruh
beban-beban yang bekerja selama umur rencananya.
Yang perlu diperhatikan oleh seorang perencana struktur di dalam merancang struktur
tahan gempa adalah bahwa, bentuk atau konfigurasi struktur akan berpengaruh terhadap respons
statik maupun respons dinamik dari struktur, di dalam menerima beban gempa. Jika suatu
struktur mempunyai bentuk atau konfigurasi yang tidak menguntungkan terhadap pengaruh
gempa, maka struktur tersebut tidak akan mempunyai ketahanan yang baik di dalam menerima
beban gempa, meskipun elemen-elemen strukturalnya sudah direncanakan tahan terhadap
pengaruh gempa.
1. Perbandingan antara kekuatan dan berat dari material struktur, harus cukup besar
Karena beban gempa yang bekerja pada suatu struktur bangunan merupakan gaya inersia
yang besarnya dipengaruhi oleh berat atau massa struktur dan percepatan gempa, maka akan
lebih menguntungkan jika digunakan material konstruksi yang ringan tetapi kuat, sehingga
intensitas gaya gempa yang bekerja pada struktur dapat berkurang. Sebagai contoh, material
baja adalah material yang baik digunakan untuk struktur bangunan tahan gempa, karena material
ini mempunyai rasio perbandingan yang besar antara kekuatan dan beratnya. Karena
mempunyai kekuatan tekan dan kekuatan tarik yang tinggi, maka elemen-elemen dari struktur
baja, pada umumnya mempunyai dimensi penampang yang lebih kecil dibandingkan dengan
elemen-elemen dari struktur beton. Dengan dimensi penampang yang kecil, akan menyebabkan
berkurangnya berat sendiri dari struktur bangunan. Struktur beton bertulang pada umumnya
mempunyai berat sendiri yang besar, sehingga beban gempa yang bekerja pada struktur
bangunan relatif besar.
98 - Rekayasa Gempa
mengalami deformasi yang besar tanpa mengalami putus atau mengalami kehancuran. Sifat
daktilitas dapat membatasi besarnya gaya gempa yang bekerja pada struktur. Semakin besar sifat
daktilitas dari material yang digunakan pada struktur, maka akan semakin besar pula tingkat
pemencaran energi yang dipunyai oleh sistem struktur tersebut, sehingga gaya gempa yang
bekerja atau masuk ke dalam struktur akan semakin kecil. Baja adalah material yang bersifat
daktail, sedangkan beton tanpa tulangan adalah material yang bersifat getas (tidak daktail). Sifat
daktail dari beton didapat dengan memasang tulangan-tulangan baja yang cukup pada elemen-
elemen struktur beton.
3. Sifat degradasi kekuatan dan degradasi kekakuan dari material struktur, harus
cukup rendah
Material-material struktur, khususnya material untuk elemen-elemen struktur yang
difungsikan menahan beban gempa, sedapat mungkin harus digunakan material yang
mempunyai sifat degradasi kekakuan serta degradasi kekuatan yang rendah di bawah pengaruh
beban gempa yang berulang. Degradasi adalah pengurangan kekuatan dan kekakuan dari suatu
material akaibat beban berulang. Material-material yang bersifat getas atau material dengan
tingkat daktilitas yang rendah, seperti dinding pasangan bata, pasangan batu, atau material beton
tanpa detail penulangan yang baik, tidak mempunyai ketahanan yang baik terhadap pengaruh
beban gempa yang arahnya bolak-balik. Material-material ini mudah mengalami degradasi
kekuatan dan degradasi kekakuan pada saat terjadi gempa.
Rekayasa Gempa - 99
yang cukup ekonomis, tetapi dari segi struktural atau dari segi kekuatan dapat
dipertanggungjawabkan.
6.1 Pendahuluan
Dengan adanya standar gempa Indonesia yang baru yaitu Perencanaan Ketahanan Gempa
Untuk Struktur Rumah dan Gedung (SNI 03-1726-2002), hal ini menekankan tidak berlakunya
lagi standar gempa yang lama yaitu SNI 03-1726-1989. Hal ini penting karena menurut standar
yang baru ini, Gempa Rencana untuk perhitungan beban gempa pada struktur bangunan gedung,
mempunyai periode ulang 500 tahun, sedangkan menurut standar yang lama periode ulang
tersebut hanya 200 tahun. Seperti diketahui, semakin panjang periode ulang suatu gempa, akan
semakin besar juga pengaruh gempa tersebut pada struktur bangunan. Di samping itu, di dalam
standar yang baru ini diberikan juga definisi baru mengenai jenis tanah yang berbeda dengan
yang tercantum dalam standar yang lama.
Dengan demikian, jelas standar yang lama tidak dapat dipakai lagi untuk perencanaan.
Meskipun demikian, struktur bangunan gedung yang sudah ada yang ketahanan gempanya telah
direncanakan berdasarkan standar lama, ketahanan tersebut pada umumnya masih cukup
memadai. Untuk hal ini dapat dikemukakan beberapa alasan. Pertama, faktor reduksi gempa R
menurut standar lama adalah relatif lebih kecil dari pada menurut standar yang baru. Misalnya
untuk struktur yang direncanakan bersifat daktail penuh, menurut standar lama besarnya faktor
reduksi gempa R = 6, sedangkan menurut standar yang baru R = 8,5, sehingga untuk periode
ulang gempa yang berbeda beban gempa yang harus diperhitungkan menurut standar lama dan
standar baru saling mendekati. Kedua, dengan definisi jenis tanah yang baru. Banyak jenis tanah
yang menurut standar lama termasuk jenis tanah lunak, menurut standar baru termasuk jenis
tanah sedang, sehingga beban gempa yang perlu diperhitungkan lebih saling mendekati lagi.
Ketiga, bangunan gedung yang sudah ada telah menjalani sebagian dari umur rencananya,
sehingga dengan risiko yang sama terjadinya keruntuhan struktur bangunan gedung dalam sisa
umur rencananya, beban gempa yang harus diperhitungkan menjadi relatif lebih rendah dari
pada menurut standar yang baru untuk bangunan gedung baru.
Meskipun menggunakan periode ulang gempa yang berbeda, tetapi baik standar gempa
yang lama maupun standar gempa yang baru menggunakan falsafah perencanaan ketahanan
gempa yang sama, yaitu bahwa akibat gempa yang kuat, struktur bangunan dapat mengalami
kerusakan yang berat tetapi tidak diperkenankan untuk runtuh, hal ini dapat mencegah jatuhnya
5m
5m
5m
5m 5m 5m 5m
3,6m
45/45
3,6m
45/45 45/45
30/45
3,6m
45/45
30/45
3,6m
5m 5m 5m 5m 5m 5m 5m
Portal arah-X : Portal arah-Y :
Ketebalan pelat atap (lantai 5) dari bangunan 10 cm, dan tebal pelat lantai 1 sampai
dengan adalah 12 cm. Ukuran seluruh balok yang digunakan adalah 30/45 cm, dan ukuran
seluruh kolom struktur adalah 45/45 cm (tipikal). Tinggi antar tingkat dari bangunan 3,6 m, di
sekeliling dinding luar dari bangunan, terdapat pasangan tembok batu bata. Beban hidup yang
2
bekerja pada pelat atap diperhitungkan sebesar 100 kg/m , dan pada pelat lantai sebesar 250
2 3 2
kg/m . Berat jenis beton 2400 kg/m dan modulus elastisitas beton E = 200000 kg/cm .
Karena bangunan gedung termasuk bangunan bertingkat rendah (low rise building), dan
kota Jogjakarta terletak pada wilayah kegempaan sedang (terletak di Wilayah Gempa 4 pada
peta kegempaan Indonesia ), maka sistem struktur akan direncanakan menggunakan portal beton
bertulang yang bersifat elastis (tidak daktail).
Pengaruh beban gempa pada bangunan gedung dapat dianalisis dengan menggunakan
metode analisis statik atau analisis dinamik. Untuk bangunan gedung dengan bentuk yang
beraturan, pembebanan gempa nominal akibat pengaruh Gempa Rencana dapat dianggap
sebagai beban-beban gempa nominal statik ekuivalen yang bekerja pada pusat massa lantai-
lantai tingkat. Pengaruh beban-beban gempa nominal statik ekuivalen pada bangunan gedung
dapat dianalisis dengan Metoda Analisis Statik Ekuivalen.
γ 3 = 1,80 t/m3
h3 =4m
Ø3= 25o c3=0,15kg/cm2
γ4 = 1,60 t/m3
Ø4= 18o c4=0,10 kg/cm2 h4 =3m
Berat Lantai 5.
Beban Mati (W m ) :
- Pelat atap = 20.15.0,12.2400 = 86400
- Balok = (4.20 + 5.15). 0,3. 0,33.2400 = 36828
- Kolom = 20.1,8.0,45.0,45.2400 = 17496
- Dinding = 85.1,8.250 = 31500
- Plafond = 20.15.50 = 15000
Wm = 187224 kg
Berat lantai 4
Beban Mati (W m ) :
- Pelat lantai = 20.15.0,12.2400 = 86400
- Balok = (4.20 + 5.15). 0,3. 0,33.2400 = 36828
- Kolom = 20.3,6.0,45.0,45.2400 = 34992
- Dinding = 70.3,6.250 = 63000
- Plafond = 20.15.50 = 15000
- Spesi = 20.15.21 = 6300
- Tegel = 20.15.24 = 7200
Wm = 249720 kg
Beban Hidup (W h ) :
2
- q h lantai = 250 kg/m
- Koefisien reduksi = 0,3
- W h = 0,3.(20.15.250) = 22500 kg
Berat total lantai 4 : W 4 =W m + W h = 249720 + 22500 = 272220 kg
Berat lantai 3, 2, dan 1 sama dengan berat lantai 4
Berat total bangunan : W t = W 1 + W 2 + W 3 + W 4 + W 5
= 4(272220) + 196224 = 1285104 kg = 1285,104 ton
0,75
T Ex = T Ey = 0,06 . H (dalam detik)
Pada rumus di atas, H adalah tinggi bangunan (dalam meter). Untuk H = 5.3,6 = 18m,
0,75
periode getar dari bangunan adalah T Ex = T Ey = 0,06.(18) = 0,524 detik. Waktu getar struktur
yang didapat dari rumus empiris ini perlu diperiksa terhadap waktu getar sebenarnya dari
struktur yang dihitung dengan rumus Rayleigh
I = I 1. I2
Dimana I 1 adalah Faktor Keutamaan untuk menyesuaikan periode ulang gempa berkaitan
dengan penyesuaian probabilitas terjadinya gempa selama umur rencana dari gedung.
Sedangkan I 2 adalah Faktor Keutamaan untuk menyesuaikan umur rencana dari gedung
Tabel 6-2. Faktor Keutamaan untuk berbagai kategori gedung dan bangunan
Faktor Keutamaan
Kategori gedung
I1 I2 I
Gedung umum seperti untuk penghunian, 1,0 1,0 1,0
perniagaan dan perkantoran.
Monumen dan bangunan monumental 1,0 1,6 1,6
Gedung penting pasca gempa seperti rumah sakit,
instalasi air bersih, pembangkit tenaga listrik, pusat 1,4 1,0 1,4
penyelamatan dalam keadaan darurat, fasilitas radio
dan televise
Gedung untuk menyimpan bahan berbahaya seperti 1,6 1,0 1,6
gas, produk minyak bumi, asam, bahan beracun.
Cerobong, tangki di atas menara 1.5 1,0 1,5
R disebut Faktor Reduksi Gempa yang besarnya dapat ditentukan menurut persamaan :
1,6 ≤ R = µ f 1 ≤ R m
Pada persamaan di atas, f 1 adalah Faktor Kuat Lebih Beban dan Bahan yang terkandung di
dalam sistem struktur, dan µ (mu) adalah Faktor Daktilitas Struktur bangunan gedung. Faktor
Daktilitas Struktur adalah perbandingan/rasio antara simpangan maksimum dari struktur gedung
akibat pengaruh Gempa Rencana pada saat mencapai kondisinya di ambang keruntuhan, dengan
simpangan struktur gedung pada saat terjadinya pelelehan yang pertama pada elemen struktur.
R m adalah Faktor Reduksi Gempa yang maksimum yang dapat dikerahkan oleh sistem struktur
yang bersangkutan. Pada Tabel 8.2 dicantumkan nilai R untuk berbagai nilai µ yang
bersangkutan, dengan ketentuan bahwa nilai µ dan R tidak dapat melampaui nilai
maksimumnya.
Nilai Faktor Daktilitas Struktur (µ) di dalam perencanaan struktur bangunan gedung dapat
dipilih menurut kebutuhan, tetapi harganya tidak boleh diambil lebih besar dari nilai Faktor
struktur gedung. Pada Tabel 8-3 ditetapkan nilai µ m dari beberapa jenis sistem dan subsistem
R m = 3,5. Untuk struktur bangunan gedung yang direncanakan beperilaku elastis penuh pada
saat terjadi Gempa Rencana, dari Tabel 8-2 didapat harga µ = 1 dan R = 1,6.
Tabel 6-4 Faktor Daktilitas Maksimum (µ m ), Faktor Reduksi Gempa Maksimum (R m ), Faktor Tahanan
Lebih Struktur (f 1 ) beberapa jenis sistem/subsistem struktur gedung
lapisan tanah sebagai besaran pembobotnya. PI adalah Indeks Plastisitas tanah lempung. w n
adalah kadar air alami tanah, dan S u adalah kuat geser niralir lapisan tanah yang ditinjau. Untuk
data tanah seperti pada Gambar 8-3, besarnya kekuatan geser tanah (S u ) untuk setiap lapisan,
dapat dihitung dengan rumus shear strenght of soil :
s = c + γ h tan Ø
Nilai kekuatan geser untuk setiap lapisan tanah dihitung sebagai berikut :
Lapis 1 : S u1 = 0,20 + ( 0,00176 . 400 ). tan 22 = 0,484 kg/cm2
S u = ( S u1 .h 1 + S u2 .h 2 + S u3 .h 3 + S u4 .h 4 ) / (h 1 + h 2 + h 3 + h 4 )
= ( 0,484.400 + 0,296.300 + 0,486.400 + 0,256.300 )/( 400+300+400+300 )
= 553,6/1400 = 0,395 kg/cm2 = 39,5 kPa
Dari Tabel 8-4, untuk nilai kekuatan geser niralir rata-rata ( S u ) = 39,5 kPa < 50 kPa, maka jenis
tanah di atas merupakan tanah lunak.
0,24
Wilayah Gempa 4
Untuk Wilayah Gempa 4 dan jenis tanah di bawah bangunan merupakan tanah lunak,
maka untuk waktu getar T Ex = T Ey = 0,524 detik, dari Diagram Spektrum Respon Gempa
Rencana didapatkan harga C = 0,85.
CI
V = Wt
R
Dengan menggunakan rumus di atas, didapatkan beban geser dasar dalam arah-X (V x ) dan arah-
Y (V y ) adalah :
0,85 . 1
Vx = Vy = 1285,104 = 682,7 ton
1,6
Beban Geser Dasar Nominal (V) harus didistribusikan di sepanjang tinggi struktur bangunan
gedung menjadi beban-beban gempa statik ekuivalen yang bekerja pada pusat massa lantai-
lantai tingkat.. Besarnya beban statik ekuivalen F i pada lantai tingkat ke-i dari bangunan
dihitung dengan rumus :
45 ton
50 ton
38 ton
25 ton
12 ton
40 ton
30 ton
20 ton
10 ton
45 ton
d5=22cm
50 ton
d4=19,6cm
38 ton
d3=15,8cm
25 ton
d2=10,3cm
12 ton
d1=4,1cm
40 ton
d4=20,7cm
30 ton
d3=16,5cm
20 ton
d2=10,7cm
10 ton
d1=4,3cm
n
∑ Wi d i 2
T R = 6,3 i =1
n
g ∑ Fi d i
i =1
Dimana W i adalah berat lantai tingkat ke-i, termasuk beban hidup yang sesuai (direduksi), z i
adalah ketinggian lantai tingkat ke-i diukur dari taraf penjepitan lateral, F i adalah beban gempa
nilai T E dan T R berbeda lebih dari 20%, maka perlu dilakukan analisis ulang.
Untuk bangunan gedung lima lantai, waktu getar alami fundamental dari struktur (T R )
dihitung dengan rumus Rayleigh sebagai berikut :
2 2 2 2 2 0,5
W 1 .d 1 + W 2 .d 2 + W 3 .d 3 + W 4 .d 4 + W 5 .d 5
T R = 6.3
g. (F 1 .d 1 + F 2 .d 2 + F 3 .d 3 + F 4 .d 4 + F 5 . d 5 )
dimana :
W 1 s/d W 5 = Berat lantai 1 s/d lantai 5 dari bangunan gedung
d 1 s/d d 5 = Simpangan pada lantai 1 s/d 5 akibat beban gempa horisontal F
F 1 s/d F 5 = Beban gempa horizontal yang bekerja pada lantai 1 s/d lantai 5
2
g = Percepatan gravitasi = 980 cm/dt
Perhitungan waktu getar alami fundamental dari struktur (T R ) untuk portal arah-X dan portal
arah-Y ditabelkan pada Tabel 8-6 dan Tabel 8-7.
Wi
Lantai d i (cm) di2 F ix W i .d i 2 F ix .d i
(ton)
5 196,22 22 484 181 94970 3981
4 272,22 19.8 392 201 106721 3976
3 272,22 15.8 250 151 67957 2380
2 272,22 10.3 106 100 28880 1034
1 272,22 4.1 17 50 4576 206
303104 11577
0,5
303104
T Rx = 6,3 = 1,03 detik
980.(11577)
Wi
Lantai d i (cm) di2 F iy W i .d i 2 F iy .d i
(ton)
5 196,22 23.1 534 181 104705 4180
4 272,22 20.7 428 201 116644 4157
3 272,22 16.5 272 151 74112 2485
2 272,22 10.7 114 100 31166 1074
1 272,22 4.3 18 50 5033 216
331660 12112
0,5
331660
T Ry = 6,3 = 1,05 detik
980.(12112)
Karena waktu getar alami fundamental dari portal arah-X (T Rx = 1,03 detik) dan portal
arah-Y (T Ry = 1,05 detik) yang dihitung dengan Rumus Rayleigh lebih besar dari waktu getar
struktur bangunan yang didapat dengan rumus empiris (T E = 0,524detik) dengan selisih yang
lebih dari 20%, maka perlu dilakukan perhitungan ulang untuk penentuan distribusi beban
gempa pada struktur.
Untuk perhitungan yang kedua ini, waktu getar dari struktur bangunan dapat diperkirakan
dengan mengambil nilai 1,03 detik (waktu getar alami fundamental portal arah-X). Dari
Diagram Spektrum, untuk kondisi tanah lunak didapatkan Faktor Respon Gempa C = 0,85/T =
0,85/1,03 = 0,82.
Dengan Faktor Respon Gempa C = 0,82, besarnya beban geser dasar nominal horisontal
akibat gempa yang bekerja pada struktur bangunan gedung adalah :
CI 0,82 . 1
V = Wt = 1285,104 = 658,6 ton
R 1,6
Beban geser dasar nominal V = 658,6 ton ini kemudian didistribusikan di sepanjang tinggi
struktur bangunan gedung menjadi beban-beban gempa statik ekuivalen, kemudian dilakukan
prosedur perhitungan yang sama seperti pada perhitungan yang pertama.
Perhitungan kedua untuk untuk mendapatkan waktu getar alami fundamental dari struktur
diperlihatkan pada Tabel 8-8, Tabel 8-9, dan Tabel 8-10.
Tabel 6-9. Perhitungan waktu getar alami struktur arah-X (Perhitungan II)
Wi
Lantai d i (cm) di2 F ix W i .d i 2 F ix .d i
(ton)
5 196.22 21.3 454 174 89023 3716
4 272.22 19.1 365 194 99309 3699
3 272.22 15.2 231 145 62894 2208
2 272.22 9.9 98 97 26680 959
1 272.22 4 16 48 4356 194
282261 10775
0,5
282261
T Rx = 6,3 = 1,03 detik
980.(10775)
Tabel 6-10. Perhitungan waktu getar alami struktur arah-Y (Perhitungan II)
Wi
Lantai d i (cm) di2 F iy W i .d i 2 F iy .d i
(ton)
5 196.22 22.4 502 174 98455 3908
4 272.22 20.1 404 194 109980 3892
3 272.22 16 256 145 69688 2324
2 272.22 10.4 108 97 29443 1007
1 272.22 4.1 17 48 4576 198
312143 11330
0,5
312143
T Ry = 6,3 = 1,06 detik
980.(11330)
Menurut SNI Gempa 2002, pembatasan waktu getar alami fundamental dari struktur
bangunan gedung tergantung dari banyaknya jumlah tingkat (n) serta koefisien ζ untuk Wilayah
Gempa dimana struktur bangunan gedung tersebut didirikan. Pembatasan waktu getar alami
fundamental (T) dari struktur bangunan gedung ditentukan sbb. :
T < ζn
Wilayah Gempa ζ
1 0,20
2 0,19
3 0,18
4 0,17
5 0,16
6 0,15
Untuk gedung perkantoran lima lantai (n=5) yang terletak di Wilayah Gempa 4 (ζ=0,17),
waktu getar alami fundamental maksimum dari struktur yang diijinkan adalah : T = ζ n = 0,17.5
= 0,85 detik.
Waktu getar alami fundamental dari struktur bangunan gedung perkantoran yang didapat
dari perhitungan dengan rumus Rayleigh adalah T Rx = 1,03 detik > T = 0,85 detik, dan T Ry =
1,06 detik > T = 0,85 detik. Karena waktu getar alami fundamental dari struktur bangunan
gedung perkantoran lebih besar dari 0,85 detik, maka struktur bangunan gedung ini sangat
fleksibel baik pada arah-X maupun arah-Y, sehingga perlu dilakukan perubahan pada dimensi
dari elemen-elemen struktur, khususnya dimensi kolom-kolom struktur.
7.1 Pendahuluan
Struktur jembatan harus memenuhi dua tingkat kriteria kinerja di dalam memikul beban
gempa. Tingkat kinerja yang pertama, adalah yang berhubungan dengan Gempa Rencana, yang
mungkin terjadi berulang-ulang selama umur rencana dari jembatan tersebut. Sedangkan tingkat
kinerja yang kedua adalah berhubungan dengan Gempa Kuat, yang jarang terjadi atau mungkin
terjadi sekali selama umur rencana dari jembatan.
Pada saat terjadi Gempa Rencana, gaya-gaya, perpindahan-perpindahan, dan pengaruh-
pengaruh lain, dapat menyebabkan terjadinya kerusakan pada struktur jembatan, akan tetapi
kerusakan ini tidak parah, dan terbatas hanya pada beberapa tempat saja. Kerusakan yang terjadi
dapat dengan mudah diperbaiki dengan biaya yang relatif murah. Struktur jembatan termasuk
jalan-jalan pendekatnya (oprit), harus segera dapat dilewati kendaraan lagi segera setelah
terjadinya gempa rencana ini.
Pada tingkat kinerja yang kedua, akibat terjadinya Gempa Kuat, tingkat kerusakan yang
terjadi pada struktur jembatan dapat sangat parah, akan tetapi struktur jembatan tidak
diperbolehkan untuk mengalami runtuh. Jembatan harus dapat digunakan untuk lalu lintas
darurat segera setelah diadakan perbaikan sementara. Setelah diperbaiki secara permanen,
jembatan harus dapat digunakan lagi untuk dilewati oleh beban lalu lintas dengan beban yang
lebih rendah dari beban semula yang diijinkan
Gambar 7-1. Keruntuhan dari jalan layang yang menghubungkan Kobe dan Osaka akibat gempa dengan
kekuatan M=7,2 pada Skala Richter, terjadi di Jepang, Januari 1995.
k
Pilar
Pile cap
Model Bandul Getar
Pondasi Sistem SDOF
δ
V
V
b
Vb
Tidak terbentuk
sendi plastis c
δ
o d
Model Struktur
SDOF
a
Respon Elastis
δ
V V
b
Ve
e f
Terbentuk
sendi plastis
δ
o h g
Model Struktur
SDOF
Respon Inelastis
Gambar 7-3. Respon elastis dan respon Inelastis dari model struktur SDOF
Pada Jembatan Tipe A disarankan mengunakan pilar berbentuk bulat, serta konfigurasi
struktur jembatan harus memenuhi persyaratan :
(L/d) maksimum : (L/d) minimum ≤ 2:1
dimana L adalah adalah jarak antara sendi-sendi plastis yang terbentuk di pilar, dan d adalah
dimensi potongan melintang dari pilar jembatan
Sambungan dilatasi untuk
Pergeseran untuk penahan memanjang jembatan panjang (khusus
Penahan untuk gerakan melintang didetail untuk gaya dan
deformasi termasuk gempa)
d
L
Atau
Dimensi potongan melintang dari pilar Jembatan Tipe B juga harus memenuhi persyaratan
konfigurasi seperti Jembatan Tipe A.
Atau
Tipe jembatan yang diterangkan di atas adalah jenis-jenis struktur jembatan yang sering
digunakan. Selain jembatan Tipe A, B dan C terdapat juga beberapa jenis jembatan lainnya yang
mencakup :
1. Jembatan dengan konstruksi khusus :
Jembatan yang ditumpu oleh struktur kabel
Jembatan lengkung
Jembatan yang menggunakan penyerap energi khusus
2. Jembatan dengan geometri khusus
Jembatan dengan pilar yang tinggi, sehingga berat pilar lebih dari 20% berat
bangunan atas jembatan
Jembatan dimana kekakuan pilar berbeda lebih dari yang disyaratkan.
Jembatan dengan panjang bentang lebih dari 200 m.
Jembatan dengan kemiringan yang besar.
Selain konstruksi penahan lateral, pada pangkal jembatan dimana tidak terdapat penahan
memanjang, atau pada pilar dimana balok-balok jembatan tidak direncanakan menerus, maka
perlu adanya persyaratan jarak lebih minimum antara ujung-ujung balok jembatan dan tepi
perletakan, seperti dijelaskan pada Gambar 9-8. Persyaratan jarak minimum tersebut adalah :
WT
T = 2π
g.K
Pada rumus kekakuan pilar, I adalah moment inersia penampang pilar yang diambil sebesar 60%
dari momen inersia penampang dalam kondisi tanpa retakan, sedangkan E adalah modulus
elastis bahan pilar. Karena waktu getar dari struktur jembatan pada umumnya berbeda dalam
arah melintang dan memanjang, maka beban statik ekuivalen yang dihasilkan akan juga
berbeda.
Balok V
m=WT/g
Pilar L=8m K
50/50 cm
Gambar 7-9. Jembatan dengan 3 pilar penyangga dan model bandul getar
Contoh 2, suatu pilar jembatan dengan 1 buah pilar berukuran 80/50 cm (Gambar 7-10),
terjepit pada pondasi dan terletak bebas pada ujung atas (kantilever).
Kolom
80/50 cm L=8m K
Gambar 7-10. Jembatan dengan pilar tunggal dan model bandul getar
Untuk bentang jembatan di atas 200 m, kemungkinan simpangan relatif yang terjadi pada
pilar akibat gerakan tanah diluar ragam getar yang ada harus dipertimbangkan. Perlu
dipertimbangkan juga untuk memperhitungkan pengaruh amplifikasi pada pondasi yang berada
di atas lapisan tanah lunak.
C.I.S
V = WT
R
dimana :
W T = Berat nominal total dari bangunan atas termasuk beban mati tambahan dan setengah
berat pilar
C = Koefisien geser dasar untuk wilayah gempa, waktu getar struktur, dan kondisi tanah yang
sesuai
R = Faktor reduksi gempa, untuk jembatan Tipe A dan Tipe B yang bersifat daktail penuh,
harga R = 8,5, sedangkan untuk jembatan Tipe C yang bersifat elastis harga R = 1,6.
S = Faktor tipe struktur jembatan sehubungan dengan kapasitas penyerapan energi atau
tingkat daktilitas struktur jembatan (Tabel 1)
I = Faktor kepentingan jembatan (Tabel 2)
Balok V
50/70 cm m
Pilar L=8m k
50/50 cm
Sendi Plastis
0,24
Wilayah Gempa 4
Tentukan : Besarnya beban gempa (V) dan simpangan horizontal (s) pada struktur
jembatan.
Perhitungan :
Faktor Kepentingan : I = 1,2 ( Jembatan dilewati lebih dari 2000 kendaraan perhari, dan tidak
tersedia jalur alternatif lainnya)
Faktor daktilitas struktur jembatan : S = 1,30 – 0,025.n = 1,30 – 0,025.(6) = 1,15
(Jembatan Tipe B : struktur bagian atas jembatan dari balok beton prategang penuh, dan terpisah
dengan pilar jembatan, terbentuk 6 sendi plastis di bagian bawah dan atas pilar ).
Berat struktur jembatan ( W T ) terdiri berat bangunan bagian atas, berat balok pilar, dan berat
setengah pilar = 5 x 40000 + ( 0.5 x 0.7 x 8 x 2500 ) + 3 ( 0.5 x 0.5 x 4 x 2500 )
= 214500 kg
Karena simpangan yang terjadi δ = 9 mm > dari ∆h = 2 mm, maka dimensi dari kolom-kolom
jembatan dalam arah memanjang perlu diperbesar, misal dirubah menjadi 60 cm, kemudian
dilakukan perhitungan ulang.
Suatu reservoir air dengan kapasitas 20 m3 akan dibangun di kota Semarang. Reservoir air
merupakan bagian dari intalasi air minum yang tetap harus berfungsi setelah terjadinya gempa.
Berat kosong dari reservoir dan peralatan yang ada adalah 2 ton.
Reservoir air didukung oleh 4 buah kolom beton berukuran 40x40cm dengan tinggi 8m
(diukur dari pile cap).
Keterangan :
γ1 = 1,76 t/m3 γ : Berat jenis tanah
h1 =4m
Ø1= 22o c1=0,20 kg/cm2 Ø : Sudut geser tanah
c : Kohesi tanah
γ2 = 1,80 t/m3 h : Tebal lapisan tanah
Ø2= 20o c2=0,10 kg/cm2 h2 =3m
γ 3 = 1,80 t/m3
h3 =4m
Ø3= 25o c3=0,15kg/cm2
γ4 = 1,60 t/m3
Ø4= 18o c4=0,10 kg/cm2 h4 =3m
Untuk data tanah seperti pada gambar diatas, besarnya kekuatan geser tanah (S) untuk setiap
lapisan, dapat dihitung dengan rumus shear strenght of soil :
S = c + (γ.h) tan Ø
Dari Tabel Jenis-jenis Tanah diketahui, untuk nilai kekuatan geser rata-rata (Su) = 39,5
kPa < 50 kPa, maka jenis tanah di atas merupakan tanah lunak.
Dari Peta Kegempaan Indonesia, diketahui kota Semarang terletak di Wilayah Gempa 2.
Untuk struktur reservoir diperhitungkan Faktor Keutamaan Struktur (I) = 1,5 (lihat Tabel Faktor
Keutamaan Untuk Berbagai Kategori Gedung dan Bangunan).
Struktur reservoir dirancang bersifat elastis pada saat terjadi gempa, diperhitungkan Faktor
Reduksi Gempa (R) = 3,2 (lihat Tabel Parameter Daktilitas Struktur).
Menurut SNI Gempa 2002, besarnya beban gempa horisontal V yang bekerja pada
struktur bangunan, ditentukan menurut persamaan :
C .I
V = Wt
R
Pada persamaan diatas, C (Faktor Respon Gempa) didapat dari Respon Spektrum Gempa
Rencana untuk periode/waktu getar struktur T.
Frekuensi getar (ω) dan waktu getar (T) dari struktur reservoir, dihitung sebagai berikut :
Frekuensi getar struktur : ω = √(K/m) = √(1050/22,45) = 6,84 rad./detik
Waktu getar struktur : T = 2.П/ω = (2. 3,14)/6,84 = 0,92 detik.
Untuk harga waktu getar T = 0,92 detik, dari gambar Spektrum Respon Gempa Rencana
untuk Wilayah Gempa 2 dengan kondisi tanah lunak, didapatkan nilai faktor respon gempa (C)
= 0,50.
Besarnya simpangan yang terjadi pada struktur reservoir akibat beban gempa V :
Untuk memenuhi persyaratan kekakuan dari struktur reservoir, simpangan yang terjadi
pada reservoir tidak boleh melampaui simpangan maksimum (δmax) = (0,03.H)/R, dimana H
adalah tinggi reservoir.
Karena simpangan yang terjadi pada reservoir 4,91 cm < simpangan maksimum 7,5 cm,
maka kekakuan dari struktur reservoir memenuhi persyaratan.
Lapisan 1 d1
Lapisan 2 d2
Lapisan 3 d3
Lapisan 4 d4
Lapisan 5 d5
Lapisan 6 d6
Lapisan 7 d7
_______________________________________ ____
Gedung pertemuan termasuk jenis pemanfaatan sebagai gedung fasilitas penunjang pendidikan
dengan Kategori Resiko III (Tabel 1. Kategori Risiko Bangunan Gedung dan Non Gedung)
dengan Faktor Keutamaan (Ie) = 1,25 ( Tabel 2 Faktor Keutamaan (Ie))
Tabel 1. Kategori Risiko Bangunan Gedung dan Non Gedung ( SNI 1726 : 2012)
Untuk kota Tanjung Pinang, dari Peta Respon Spektra Percepatan Periode 0,2 Detik (Gambar
1.1) dan Periode 1 Detik (Gambar 1.2), didapatkan Spektra Percepatan Gempa :
• S s (percepatan gempa di batuan dasar pada perioda pendek 0,2 detik) = 0.1.g
• S 1 (percepatan gempa di batuan dasar pada perioda 1 detik) = 0,1.g
Profil tanah yang mengandung beberapa lapisan tanah, dibagi menjadi lapisan-lapisan yang
diberi nomor ke-1 sampai ke- n dari atas ke bawah, sehingga ada total n-lapisan tanah yang
berbeda pada lapisan 30 m paling atas tersebut. Nilai untuk lapisan tanah 30 m paling atas
ditentukan sesuai dengan perumusan berikut :
N=
Dimana :
= 5m + 3m + 2m + 6m + 3m + 5m + 6m = 30 meter
N=
Karena nilai N-SPT rata-rata tanah : 31.802<175, maka berdasarkan Klasifikasi Tanah
klasifikasi situs pada Kota Tanjung Pinang termasuk Kelas Situs SE (tanah lunak)(Tabel 3
KlasifikasiSitus)
Untuk Kelas Situs SDdengan percepatan gempa Ss = 0.1.g dan S 1 = 0.1.g, didapat(Tabel 4
FaktorAmplifikasiPercepatanGempaPeriode 0,2 detikdanTabel 5. Faktor Amplifikasi
Percepatan Gempa Periode 1detik ) faktor amplifikasi seismik untuk perioda 0,2 detik dan
perioda 1 detik :
Percepatan spektral desain untuk perioda pendek,S DS dan perioda 1 detik,S D1 adalah :
Diagram Spektrum Respons Desain dibuat dengan mengacu pada Gambar 1.6, sbb :
Ts = =1.28 detik
Untuk T < To spektrum respon desain : S a = S DS ( 0,4 + 0,6 ) = 1,5 ( 0,4 + 0,6T/0,256).
Untuk T ≧ To dan nilai T ≦ Ts , spekrum respon desain : S a = S DS = 1,5.
Untuk T ≧ Ts, spektrum respons desain : S a = S D1 /T = 0,16/T.
Gambar. 9.5 Spektrum Respon Desain SNI 2012 Kota Tanjung Pinang
Agus Bambang Siswanto, Bambang Wuritno, Maria Elizabeth. Structure Design of Parking
Building Sunter Park View Apartment with the Equivalent Static Analysis Method.
International Journal of Civil Engineering and Technology, 8(12), 2017, pp. 703-717.
Pawirodikromo, W., 2012, Seismologi Teknik dan Rekayasa Kegempaan, Pustaka Pelajar.,
Yogyakarta
SNI 03-1726-2002, (2002), ”Standar Perencanaan Ketahanan Gempa Untuk Struktur Bangunan
Gedung”.