Anda di halaman 1dari 10

UJIAN AKHIR SEMESTER

PENULISAN ILMIAH DAN KETERAMPILAN PRESENTASI


FACIAL EMOTION EKSPRESSION FOR CHARITY WITH ADS

Oleh :
HANA BILQIS
1181903023

FAKULTAS EKONOMI DAN ILMU SOSIAL


MARKETING KOMUNIKASI

JAKARTA
2020
1. PENDAHULUAN
Menurut Kemendikbud (2016), dalam acara Report Launch on International
Commission on Financing Global Education Opportunity, yang dilaksanakan pada tanggal 18
– 19 September 2016, di New York, Amerika Serikat, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
(Mendikbud) Muhadjir Effendy menekankan bahwa Pendidikan merupakan salah satu faktor
terpenting dalam pembangunan berkelanjutan, yang didefinisikan sebagai keseimbangan
dalam perkembangan ekonomi, sosial, dan lingkungan (Fauzi & Oxtavianus, 2014).
Pendidikan merupakan hal yang sangat berpengaruh bagi kemajuan negara, namun masih
banyak anak-anak di Indonesia yang hak akan pendidikannya belum terpenuhi karena faktor
ekonomi dan malah harus bekerja untuk membantu menghidupi keluarga.
UNICEF (2012) menyatakan bahwa di Indonesia, terdapat sekitar 2,3 juta anak usia 7-
15 tahun yang tidak bersekolah. 92% anak dinyatakan terdaftar dalam Sekolah Dasar, namun
Anak-anak dari keluarga miskin berkemungkinan empat kali lebih besar untuk putus sekolah
dibandingkan anak-anak dari keluarga kaya. Dikarenakan kemiskinan keluarga, 7% anak usia
5-17 tahun malah terlibat dalam pekerjaan anak dan tidak mengenyam pendidikan. Hal ini
menunjukkan bahwa masih banyak rakyat Indonesia yang memerlukan donasi agar hak anak-
anak untuk mengenyam pendidikan dapat terpenuhi.
Donasi adalah sesuatu (seperti uang, makanan, pakaian, dan lain-lain) yang kita
berikan dengan tujuan membantu seseorang atau suatu organisasi (Merriam-Webster, 1828).
Di Indonsia masih banyak orang yang membutuhkan donasi, dan berkembangnya teknologi
mempermudah hubungan sosial dari kegiatan memberi dan menerima antara pendonasi dan
penerima donasi, atau yang disebut charitable behavior oleh Ostrander dan Schervish (1990).
Salah satu cara teknologi mempermudah kegiatan berdonasi adalah dengan menyebarkannya
melalui iklan. Periklanan merupakan salah satu alat pemasaran yang kuat yang mampu
menjangkau banyak individu. Small dan Verrochi (2009) memperkirakan bahwa facial
emotion expression yang ditampilkan pada sebuah iklan akan mempengaruhi simpati
seseorang dalam berdonasi.
Wajah, dipercayai menjadi bahasa nonverbal yang paling penting dalam
berkomunikasi dilihat dari emosi yang ditampilkan pada wajah tersebut (Ekman, Friesen, and
Ellsworth, 1972; Small and Verrochi, 2009). Dikatakan pada jurnal yang mereka tulis bahwa
pemberian atribut tertentu pada sebuah iklan secara signifikan akan meningkatkan simpati
dan perilaku donasi individu yaitu dengan pemberian gambaran emosi dari korban kejahatan.
Penelitian mengidentifikasi bahwa adanya efek dari ditampilkannya korban kejahatan (e.g.,
Small and Lowenstein, 2003; Small and Verrochi, 2009) serta hubungan yang positif dari
informasi yang jelas mendukung dugaan tersebut (e.g., Nisbett and Ross, 1980; Small and
Verrochi, 2009).
Van Kleef dkk. (2015) meneliti hal yang serupa dengan penelitian yang akan kami
lakukan, yaitu mengenai bagaimana efek interpersonal emosi pada persuasi, dan menemukan
bahwa ekspresi emosional seseorang dapat membentuk tingkah laku orang lain yang
melihatnya. Terdapat sebuah fenomena yang dikenal dengan sebutan emotional contagion,
dimana ekspresi wajah yang ditampilkan seseorang karena emosi tertentu dapat membuat
orang lain yang melihatnya seolah mengalami sendiri emosi tersebut (Hatfield, Cacioppo, and
Rapson 1992, 1994; Neumann and Strack 2000; Small dan Verrochi 2009), sesuai dengan
definisi empati yaitu merasakan apa yang kita pikir orang lain rasakan (Jordan dkk, 2016).
Menurut Hoffman dalam Chapman dkk. (1987), simpati merupakan reaksi emosional
yang berpotensi mengarah pada tindakan yang bertujuan mengurangi kesulitan orang lain,
dan menurut Jordan dkk (2016) rasa prihatin atau simpati dan empati dapat memprediksi
perilaku prososial. Penelitian-penelitian inilah yang mendasari pemikiran kami bahwa
terdapat pengaruh emosi wajah yang ditampilkan dalam iklan terhadap tingkah laku
berdonasi individu di Indonesia, sehingga diharapkan media iklan dapat menjembatani
perilaku berdonasi masyarakat Indonesia.
Penelitian menunjukkan bahwa iklan yang menyentuh emosi lebih berhasil daripada
iklan yang hanya menyentuh logika. Tetapi, tentu saja orang-orang tidak ingin merasa seolah-
olah emosi mereka dimanipulasi. Mereka ingin percaya bahwa mereka membuat keputusan
berdasarkan akal sehat. Tantangan pembuat iklan adalah untuk menyajikan argumen yang
tampaknya meyakinkan secara logika, padahal sebenarnya bertujuan untuk menggugah emosi
pemirsanya.
Terlepas dari suku atau latar belakang, wajah manusia dapat menunjukkan apakah
seseorang itu sedang sedih, marah atau bahagia dalam sebuah gambar. Dengan
memanfaatkan wajah di iklan untuk menyampaikan pesan serta komunikasi, kita dapat
mengatur suasana dari awal, menggunakan ekspresi wajah model untuk memicu emosi yang
diinginkan pada audiens Anda. Di samping visual, hal lain yang disukai manusia adalah kisah
yang diceritakan dengan baik. Cerita utamanya akan berfungsi untuk iklan yang bertujuan
meningkatkan brand awareness. Dengan memfokuskan pada audiens Anda, membuat mereka
lebih mudah menerima pesan iklan.
2. PEMBAHASAN
a. Jenis Appeal
Dalam memproduksi suatu iklan, dibutuhkanlah suatu strategi iklan yang tepat,
dimana biasanya produser akan memilih untuk menggunakan pendekatan emotional appeal
dan rational appeal. Dalam memutuskan pendekatan mana yang akan duganakan, produser
melihat jenis produk yang akan dipormosikan, dimana rational appeal akan lebih efektif
ketika produk bersifat sangat fungsional sedangkan emotional appeal akan lebih efektif ketika
produk memiliki nilai tertentu bagi konsumen. Pendekatan rational appeal terfokus pada
argumen logis atau alasan-alasan mengapa konsumen harus tertarik dengan produk,
sedangkan pendekatan emotional appeal terfokus pada emosi, perasaan, dan keinginan-
keinginan yang terasosiasi dengan produk tersebut.
Selain itu, pendekatan rational appeal terbukti lebih cocok untuk konsumen-konsumen
dengan budaya individualistik, sedadngkan pendekatan emotional appeal lebih cocok untuk
konsumen-konsumen dengan budaya kolektivistik. Emotional appeal adalah salah satu jenis
pendekatan yang digunakan dalam memproduksi iklan, dimana iklan akan terfokus pada
emosi, perasaan, dan keinginan-keinginan konsumen yang terasosiasi dengan produk
tersebut. Pendekatan dengan emotional appeal berusaha menimbulkan emosi positif ataupun
negatif dalam rangka memotivasi suatu transaksi tertentu, dimana bisa dilakukan dengan
memasukkan unsur-unsur emosi dasar ke dalam iklan yang diharapkan akan membuat ikatan
emosional dengan konsumen.
b. Emotional Appeal
Menurut Goldberg and Gorn (1987), iklan yang menimbulkan respons emosional
menghasilkan reaksi yang lebih positif dan ingatan akan iklan yang lebih baik. Respons
emosional yang ditunjukkan tidak hanya mempengaruhi sikap terhadap iklan, melainkan
memiliki pengaruh yang cukup besar yaitu dengan secara langsung mempengaruhi sikap
terhadap merek atau lembaga dan intensi untuk bertransaksi (Williams, 1999). Selain itu,
pendekatan dengan emotional appeal terbukti efektif dalam menyampaikan pesan kepada
audiens yang beragam dan heterogen.
Dalam menggunakan pendekatan emotional appeal, dapat digunakan facial expression
sebagai media untuk menyampaikan emosi. Facial expression telah terbukti memiliki korelasi
positif dengan sikap terhadap iklan dan sikap terhadap merek (Lewinski et Al., 2014).
Menurut Small & Verrochi (2009), facial expression dalam suatu iklan, khususnya iklan
donasi, merupakan salah satu penentu dari apakah yang melihat akan menyumbangkan uang
dan penentu seberapa simpati yang dirasakan. Wajah dipercayai dapat menjadi jalur
komunikasi nonverbal utama dari emosi, dimana saat seseorang diperlihatkan orang lain
dengan raut muka bahagia maka akan menstimulasi atau meningkatkan rasa bahagia dan saat
diperlihatkan orang lain dengan raut muka sedih maka akan menstimulasi dan meningkatkan
rasa sedih (Small & Verrochi, 2009). Penelitian Kulczynski et Al (2016) menunjukkan bahwa
saat suatu iklan mengandung seseorang yang menunjukkan facial expression tersenyum,
konsumen dilaporkan merasa lebih bahagia dan puas, dimana respons emosi positif akan
menjadi mediator hubungan antara iklan atau display yang ditunjukkan dengan sikap
terhadap iklan, sikap terhadap merek, dan intensi untuk bertransaksi di kemudian hari.

c. Emosi
Berdasarkan KBBI emosi memiliki definisi adalah luapan perasaan yang berkembang
dan surut dalam waktu singkat. Emosi merupakan sistem motivasi utama bagi manusia (Izard,
2013). Emosi didefinisikan sebagai kompleks, terorganisir, reaksi psikofisiologis yang terdiri
dari tindakan impuls, perasaan dan reaksi somatik (Folkman & Lazarus. 1991). Menurut Quin
(1997) Emosi umumnya didefinisikan sebagai organisasi yang kompleks dari sistem
psikologis dan fisiologis yang berorientasi pada kebutuhan adaptif pada situasi untuk
individu. Mowrer (dalam Izard, 1991) menyatakan emosi merupakan pusat peran, yang
sangat dibutuhkan dalam perubahan tingkah laku atau performance yang dikatakan untuk
mewakili belajar. Sedangkan Menurut Izard (2013), emosi harus memperhitungkan ketiga
aspek atau komponen berikut, pengalaman atau perasaan sadar emosi, proses yang terjadi di
otak dan sistem saraf, pola ekspresi emosi yang diamati , terutama yang di wajah.
Tipe-tipe Emosi Memiliki berbagai tokoh serta dengan asumsi yang berbeda-beda
mengenai tipe atau jenis emosi. Menurut Ekman, Friesen, & Ellsworth (dalam Ortony, 1990)
emosi dasar terdiri dari Marah, jijik, takut, bahagia, sedih, dan mengagetkan. Plutchik (dalam
Winter. 2000) mengusulkan bahwa ada delapan emosi dasar yaitu takut, terkejut, sedih, jijik,
marah, antisipasi, suka cita, dan penerimaan. Watson (dalam Ortony, 1990) mengemukakan
tiga macam emosi, yaitu, ketakutan, kemarahan, dan cinta. Ada juga emosi dasar dengan
contoh sebagai berikut, rasa bersalah, malu, marah, ketakutan-kecemasan, kesedihan, iri-iri
hati, jijik, kebahagiaan, cinta, lega, dan kebanggaan. Lazarus (1991) membagi emosi kedalam
2 kelompok yaitu emosi positif dan emosi negatif. Emosi positif terdiri dari kebahagiaan,
kebanggaan, lega, cinta, harapan, dan kasih sayang. Emosi negatif terdiri dari kemarahan,
kecemasan, ketakutan, rasa bersalah, malu, sedih, iri hati, cemburu, dan menjijikkan.
Faktor yang memunculkan Emosi memiki komponen yang mempengaruhi terkait
proses emosi yaitu perubahan fisiologis, perasaan subjektif, dan kecenderungan bertindak
(Lazarus, 1991). Tomkins (dalam Izard 2013), menyatakan emosi diaktifkan oleh perubahan
kepadatan stimulasi saraf. Tomkins menekankan pentingnya peran kognisi dan persepsi
dalam memulai emosi, tetapi dia juga menekankan interaksi dua arah antara kognisi dan
emosi, dan efek penting bahwa emosi dapat memiliki persepsi dan kognisi. Cara menanggapi
ekspresi emosi tertentu individu, dapat bervariasi berdasarkan sifat dari emosi yang sedang
diungkapkan dan pada sinyal tertentu yang disampaikan oleh ekspresi itu (Sorber, 2001).
Cara Pengukuran Emosi seperti halnya keadaan emosi seseorang dapat diukur dengan
berbagai cara, salah satunya adalah dengan menggunakan PANAS. PANAS atau Positive and
Negative Affect Schedule ditemukan oleh Watson, Clark, dan Tellegen pada tahun 1988. Alat
ini terdiri dari dua puluh pertanyaan yang berisi emosi negatif dan emosi positif. Emosi
tersebut kemudian akan diisi oleh partisipan dengan memilih dari skala 1 sampai 5, dimana
satu merupakan sangat sedikit/tidak sama sekali dan lima adalah sangat banyak. Positive
affect s mencerminkan tingkat seseorang merasakan antusiasme , aktif , dan kewaspadaan.
Nilai PA yang tinggi menandakan energi yang tinggi, penuh konsentrasi , dan keterlibatan
yang menyenangkan, sedangkan nilai PA yang rendah menandakan kesedihan dan kelesuan.
Di sisi lain Negative affects mencerminkan rasa kesengsaraan dan keterlibatan tidak
menyenangkan yang digolongkan menjadi beberapa aversive moods (Watson, Clark &
Tellegen, 1988).

d. Emotional Contagion
Emotional contagion adalah fenomena di mana ekspresi wajah yang ditampilkan
seseorang karena emosi tertentu dapat membuat orang lain yang melihatnya seolah
mengalami sendiri emosi tersebut (Hatfield, Cacioppo, and Rapson 1992, 1994; Neumann
and Strack 2000; Small dan Verrochi 2009). Wajah mampu mengkomunikasikan banyak hal
dan merupakan saluran komunikasi non-verbal utama dalam mengekspresikan emosi. Selain
itu, Bhullar (2012), mendefinisikan emotional contagion sebagai kecenderungan untuk
meniru ekspresi dan pengalaman emosional orang lain dalam interaksi sosial.

e. Charitable Behaviour
Definisi Menurut Ostrander dan Schervish (1990), charitable behavior adalah sebuah
hubungan sosial dari kegiatan memberi dan menerima antara pendonasi dan penerima donasi,
dimana pendonasi harus memiliki beberapa sumber kebutuhan yang terpenuhi atau
berkecukupan dan untuk menerima donasi, sang penerima donasi harus memiliki beberapa
sumber kebutuhan yang harus dipenuhi (Barnes, 2004). Charitable behavior atau yang juga
biasa disebut dengan donating behavior merupakan salah satu bentuk karakterisasi dari
helping behavior (Bendapudi, Surendra, & Bendapudi, 1996) yang dimana perilaku tersebut
dapat meningkatkan kesejahteraan orang lain dengan memberikan beberapa bentuk bantuan,
seringkali perilaku donasi tersebut sedikit atau bahkan tidak sama sekali mendapatkan hadiah
atau reward di kemudian harinya. Investigasi dari perilaku menolong harus berfokus pada
konsekuensi yang didapatkan dari perilaku untuk sang pemberi donasi maupun sang
penerima donasi, motivasi apa saja yang ada dibalik sang pemberi donasi untuk memberi
sejumlah donasi, dan bagaimana lingkungan sosial nya membentuk sang pemberi donasi dan
sang penerima bertindak atau bertingkah laku (Bendapudi et al., 1996; Stevenson, 2010).
Konsekuensi dari mendonasikan sejumlah uang atau waktu melalui volunteer pada
suatu kegiatan organisasi amal dapat dihubungkan dengan beberapa hal yaitu konsekuensi
yang ada bagi sang pendonasi, sang penerima donasi, kegiatan amalnya, dan komunitas dari
sang pendonasi dan penerima donasi. Contohnya sang pendonasi mungkin saja berdonasi
agar dapat menurunkan perasaan dari rasa bersalahnya atau tekanan yang ada pada dirinya
atau tekanan untuk menolong yang terdapat pada norma sosialnya (Giles, McClenehan,
Cairns, & Mallet, 2004; Grace & Griffin, 2006; Green & Webb, 1997; Lee, Allyn, & Call,
1999; Pentecost & Andrews, 2007; Williams, Entwistle, & Haddow, 2008; Stevenson, 2010).
Konsekuensi yang didapatkan oleh sang penerima donasi adalah terpenuhinya kebutuhan
mereka. Untuk kegiatan amalnya, memperoleh donasi dan memberikan support pada kegiatan
amal diharapkan dapat membantu kegiatan amal pada masa mendatang dalam pengembangan
dan pelaksanaan program dari kegiatan tersebut (Treiblmaier & Pollach, 2006; Webb, Green,
& Brashear, 2000; Stevenson, 2010).
Bagi komunitas dari sang pendonasi dan penerima donasi, karena terdapat partisipasi
masyarakat yang lebih besar, individu mampu untuk mengeksplorasi pengalaman lingkungan
sosial dan kesehatan yang lebih baik yang berhubungan dengan kapasitas dan modal bagi
komunitas serta lingkungannya (Stevenson, 2010). Motivasi dari pendonasi untuk
memberikan sejumlah uang atau waktunya menjadi fokus yang menarik dan telah
menimbulkan perdebatan melalui konsep altruism, empathy, dan egoism (Cialdini, Brown,
Lewis, Luce, & Neuberg, 1997; Furnham, 1995; Green & Webb, 1997; Sherry Jr, 1983;
Stevenson, 2010). Green and Webb (1997) mengatakan bahwa altruism dan egoism
merupakan faktor yang berpengaruh dan dapat diteliti lebih jauh melalui intrapersonal, sosial,
dan tingkat ekonominya (Stevenson, 2010). Pada tingkat intrapersonal, individu tanpa pamrih
berdonasi untuk memberikan keuntungan bagi orang lain (altruism), atau individu menjadi
egois dalam berdonasi agar dapat meringankan beberapa jenis distressyang dialaminya
(egoistic).
Pada tingkat sosial, individu tersebut bertindak berdasarkan motivasi altruistic untuk
berdonasi dikarenakan mereka berpegang teguh kepada norma sosial, atau mereka merasa
bahwa mereka akan mendapatkan keuntungan dengan berdonasi. Terakhir, pada tingkat
ekonomi, individu bertindak berdasarkan motivasi altruistic untuk berdonasi dikarenakan
mereka memiliki kemampuan financial yang baik dan tidak ada alasan lain bagi individu
untuk bertindak berdasarkan motivasi egoistic dalam berdonasi dikarenakan insentifitas dari
pajak. Selain itu, lingkungan sosial dimana sang pendonasi berada mempengaruhi perilaku
berdonasi mereka (Stevenson, 2010).
Menurut Kottasz (2004; Noor et al., 2015) faktor yang dapat mempengaruhi tingkah
laku berdonasi adalah variabel demografis yang mempengaruhi bagaimana charity appeals
dipersepsikan dan pembuatan keputusan berdonasi. Faktor tersebut termasuk variabel
demografis dan socio-demografis seperti usia, gender, pemasukkan, dan tingkat pendidikan.
Menurutnya kebanyakan dari faktor tersebut mempengaruhi tingkah laku secara positif.
Schnepf (2008; Noor et al., 2015) mengatakan bahwa perempuan lebih sering memberikan
donasi tetapi laki-laki dalam jumlah lebih besar memberikan donasi daripada perempuan.
Menurut Rosenblatt, Cusson dan McGown (1986, dalam Barnes 2004) menyebutkan bahwa
terdapat lima faktor penting yang mempengaruhi individu dalam berdonasi.
Faktor pertama yang dilihat adalah tingkat keparahan ( severity ) yang ada pada sang
penerima donasi atau organisasi kegiatan amal yang ditawarkan. Tingkat keparahan
dioperasionalkan sebagai pentingnya penyebab terbentuknya organisasi kegiatan amal.
Donasi lebih mungkin terjadi apabila sang pendonasi melihat tingkat keparahannya semakin
tinggi. Rosenblatt et al. juga menunjukkan bahwa faktor kedua yang penting yaitu seberapa
besar tingkat keterlibatan mereka mempengaruhi perilaku berdonasi. Keterlibatan
(involvement) ini mengacu kepada pemeliharaan diri (self-preservation) dan peningkatan
keterlibatan ini dikatakan dapat mengangkat pentingnya penyebab dan rewards yang ada dari
perilaku berdonasi. Faktor ketiga pada model yang digambarkan oleh Rosenblatt et al. adalah
tingkat perubahan yang dapat terjadi. Perubahan (alleviation) akan lebih memungkinkan
untuk mendapatkan donasi, dimana pemberi donasi merasa dapat membuat perubahan
kondisi yang lebih baik bagi sang penerimadonasi.
Faktor keempat lainnya yang juga dianggap penting adalah keunggulan
(predominance). Keunggulan ini mengacu kepada tingkat visibilitas organisasi kegiatan amal.
Semakin pendonasi melihat bahwa organisasi kegiatan amal tersebut bagus dan unggul,
semakin besar pula kemungkinan perilaku berdonasi terjadi. Tingkat kepentinganmerupakan
faktor terakhir. Kepentingan (importance) mengacu kepada sejauh mana individu
menginginkan berdonasi atau sejauh mana individu merasa penting untuk berdonasi. Namun,
sebelum memahami pentingnya penyebab yang ada dibalik seseorang berdonasi, organisasi
kegiatan amal harus berfokus kepada keempat faktor sebelumnya. Sebagai contoh, jika
seseorang dengan riwayat penyakit jantung (severity) berada pada organisasi kegiatan amal
yang memiliki profil organisasi yang baik seperti Heart and Stroke Foundation
(predominance) dan jika diberikan donasi secara potensial memungkinkan untuk sembuh dari
penyakit jantung tersebut (alleviation), maka individu tersebut mendapatkan kemungkinan
yang lebih besar untuk menerima donasi.

f. Dinamika hubungan emosi dan charitable behavior


Small dan Verroch (2009) menyatakan bahwa ekspresi emosi pada charitable appeal
menjadi variabel penting yang dapat mempengaruhi tingkah laku berdonasi seseorang,
dengan penjelasan:
“Expression is likely to cause contagion in observers, thus influencing observers'
emotional states automatically and outside of awareness. When a person catches sadness, his
or her emotional state converges with the victim's negative emotional state, resulting in
greater sympathy and prosocial behavior. However, the emotional bond may be disrupted
when examining detailed information about the victim's plight. This is not to say that
information cannot induce sympathy but rather that it dilutes.”

3. PENUTUPAN
Facial emotion expression menjadi pendekatan yang spesial pada sebuah iklan dengan
menampilkan ekspresi wajah, yang dimana merupakan salah satu stimulus terkuat untuk
mengikat emosi seseorang. Proses dari facial emotion expressions adalah dengan
mempersuasi individu dengan menampilkan emosi tertentu pada iklan sehingga individu
tersebut bereaksi dengan menampilkan emosi yang sama seperti yang ia lihat pada iklan
tersebut. Ketidaksadaran dari sikap tersebut merupakan hasil yang positif dari otot-otot wajah
kita yang ekspresif (Waynbaum, 1907; Zajonc, 1986; Reich, 1995).
Emosi didefinisikan sebagai perasaan yang kuat atau dapat dikatakan sebgai suatu
perasaan yang berada pada titik kesadaran seseorang (Webster’s New World Dictionary,
1982, p. 458; Reich, 1995). Enos (2001) menyatakan bahwa tidak ada keputusan yang jelas
mengenai jumlah emosi yang dimiliki seseorang dan emosi yang bersifat universal, namun
kebanyakan dari peneliti menyatakan bahwa setidaknya terdapat enam emosi primer yang
bersifat universal, yaitu happiness, sadness , fear , anger , surprise , dan disgust . Terdapat
pula emosi sekunder atau yang biasa disebut emosi sosial seperti embrassment , jealousy ,
guilt , atau pride. Damasio (1999) menambahkan beberapa emosi sebagai pendukung seperti
well being atau malaise, dan calm atau tension.
Agar dapat menarik simpati para audience pembuat iklan melakukan atau
memberikan konsep iklan dengan menggunakan beberapa ekspresi wajah yang dapat menarik
perhatian audienc agar tergerak hati mereka untuk dapat menyumbangkan unga mereka
fenomena ini dapat di lihat dengan seberapa banyak donasi yang di sumbangkan ketika
mereka melihat iklan tersebut.

Anda mungkin juga menyukai