Nabi Musa A.S. adalah seorang bayi yang dilahirkan dikalangan Bani Isra’il. Pada saat itu,
negeri Mesir diperintah oleh seorang raja bernama Fir’aun. Raja Fir’aun terkenal sangat kejam dan
zalim. Ia memerintah negaranya dengan kekerasan, penindasan, dan melakukan sesuatu dengan
sewenang-wenangnya. Rakyatnya hidup dalam ketakutan dan rasa tidak aman tentang jiwa dan harta
benda mereka, terutama Bani Isra’il. Raja Fir’aun yang sedang mabuk kuasa yang tidak terbatas itu,
bergelimpangan dalam kenikmatan dan kesenangan duniawi yang tiada taranya, bahkan
mengumumkan dirinya sebagai Tuhan yang harus disembah oleh rakyatnya. Siapa saja yang tak mau
bertuhan kepadanya akan dibunuh.
BABAK I
Raja Fir’aun : “Hai……penduduk Mesir. Akulah raja dan Tuhanmu. Para prajuritku, siapa saja yang
berani tidak mau menyembahku dan melawan perintahku. Bunuh mereka!”
Para prajurit : “Baik, Baginda Raja. Kami siap melaksanakan titah Baginda.”
Para prajurit berkeliling ke seluruh kota. Mereka membunuh orang-orang yang tidak mau
menyerahkan harta dan menyembah Fir’aun. Para prajurit tiba di sebuah gubuk. Mereka mengetuk
pintu dengan keras dan kasar.
Pada suatu hari Fir’aun bermimpi, ia melihat negerinya habis terbakar, rakyatnya banyak
yang mati dan yang tertinggal hanyalah orang-orang Bani Isra’il. Fir’aun pun penasaran. Ia ingin tahu
apa arti mimpinya itu. Ia pun mencari seorang peramal.
Raja Fir’aun : “Pengawal, cari aku peramal tersohor di negeri ini!”
Prajurit 1 : “Baiklah….Baginda Raja. Hamba akan segera laksanakan.”
Tak lama kemudian, datanglah para pengawal membawa seorang ahli nujum.
Prajurit 1 : “Ampun…Baginda Raja. Ini ahli nujum yang Baginda cari.”
Raja Fir’aun : “Hai…ahli nujum. Apakah kamu memang ahli nujum yang hebat.”
Ahli Nujum : “Baginda Raja, kehebatan hamba meramal sudah terbukti di seluruh negeri”
Raja Fir’aun : “Hai…si ahli nujum. Kemarin aku bermimpi melihat negeriku habis terbakar, banyak
rakyatku yang mati, dan yang tertinggal hanyala orang-orang Bani Isra’il.”
Ahli Nujum : “Menurut penerawangan hamba, akan lahir seorang bayi laki-laki dari bangsa Isra’il.
Kelak ia dewasa akan meruntuhkan kekuasaan Baginda Raja.”
Raja Fir’aun : “Apa? Hai si ahli nujum, jangan main-main dengan ucapanmu! Jika kamu salah,
kepalamu yang jadi taruhannya.”
Ahli Nujum : “Ampun, Baginda Raja. Hamba tidak berani. Hamba berkata jujur.”
Raja Fir’aun : “Wah…gawat! Wahai prajurit-prajuritku, aku perintahkan kalian bunuh bayi laki-laki
yang lahir dari kalangan bangsa Bani Isra’il!”
Para prajurit : “Baik…Baginda!
Raja Fir’aun segera mengeluarkan perintah agar semua bayi lelaki yang dilahirkan di dalam
lingkungan kerajaan Mesir dibunuh dan agar diadakan pengusutan yang teliti sehingga tiada seorang
pun dari bayi lelaki, tanpa terkecuali, terhindar dari tindakan itu. Maka dilaksanakanlah perintah raja
oleh para pengawal dan tenteranya. Setiap rumah dimasuki dan diselidiki dan setiap perempuan
hamil menjadi perhatian mereka pada saat melahirkan bayinya.
BABAK II
Di sebuah desa, ada sepasang suami istri keturunan Bani Isra’il bernama Imran dan
Yukabad. Istri Imran, Yukabad baru saja melahirkan bayi laki-laki. Mereka pun jadi panik karena takut
dibunuh para prajurit Raja Fir’aun.
Kakak Musa : “Ayah…..Ibu melahirkan bayi laki-laki. Saya khawatir para prajurit Raja Fir’aun tahu
dan datang ke rumah kita.”
Imran : “Jangan khawatir, Nak. Allah akan selalu melindungi kita.”
(Yukabad membawa seorang bayi yang sehat dan lucu)
Yukabad : “Bagaimana cara kita menyembuyikan bayi kita dari kekejaman para prajurit Raja
Fir’aun? Saya tidak mau bayi yang lucu ini akan dibunuh.”
Imran : “Tenanglah. Bagaimana kalau kita berdoa memohon petunjuk Allah?”
Kakak Musa : “Ayah benar. Allah pasti akan memberi pertolongan bagi kita.”
Allah berfirman dalam surat Al-Qashash ayat 7 yang berbunyi
Artinya:
Imran dan Yukabad segera membuat sebuah peti yang tahan air dan dicat hitam. Kemudian
memasukkan bayinya ke dalam peti. Setelah itu, mereka bergegas menuju Sungai Nil.
Yukabad : “Maafkan Ibumu, Nak. Kami sangat sayang padamu”
Imran : “Kita diperintahkan Allah menghanyutkan bayi ini di dalam peti di Sungai Nil”
Yukabad : “Baiklah kalau itu memang perintah Allah. Kita harus melaksanakannya.”
Imran : “Cepatlah…hanyutkan peti itu!”
Yukabad : “Tapi..Pak, siapa yang mengawasi peti ini?”
Imran : “Putri kitalah yang akan mengawasinya.”
Kakak Musa : “Ya…Ibu. Saya akan mengawasinya.”
Yukabad : “Anakku…tolong awasi peti ini nanti! Ibu ingin tahu siapa yang akan menemukan peti
ini.”
Kakak Musa : “Jangan khawatir Ibu, saya akan perhatikan peti ini dari tebing dan akan melihat apa
yang akan terjadi pada peti ini.”
Dengan bertawakkal kepada Allah dan kepercayaan penuh terhadap jaminan Illahi, maka
dilepaskannya peti bayi oleh Yukabad, setelah ditutup rapat dan dicat dengan warna hitam, terapung
dipermukaan air sungai Nil. Kakak Musa diperintahkan oleh ibunya untuk mengawasi dan mengikuti
peti rahasia itu agar diketahui di mana ia berlabuh dan di tangan siapa akan jatuh. Tak lama
kemudian, peti itu tiba di depan istana Fir’aun. Pada saat itu puteri Raja Fir’aun sedang bersantai
dengan para dayang di taman istana yang berada di depan Sungai Nil. Tiba-tiba ia melihat sebuah
peti hanyut di Sungai Nil.
Putri Fir’aun dan para dayang segera membawa peti itu ke dalam istana, kemudian menunjukkan
kepada istri Fir’aun, Aisyah.
Putri Fir’aun : “Ibunda…saya menemukan sebuah peti di Sungai Nil.”
Aisyah : “Peti….”
Putri Fir’aun : “Ya…Ibunda. Ini peti yang saya temukan tadi.”
(Aisyah pun segera membukanya. Betapa kagetnya, ternyata peti berisi bayi laki-laki
yang sangat lucu.)
Aisyah : “Astaga…..lucu sekali bayi ini!”
Putri Fir’aun : “Maaf Ibu. Apakah Ibu lupa yang diperintahkan Raja Fir’aun.”
Dayang 1 : “Tuanku …Permaisuri, bukankah Raja Fir’aun memerintahkan para prajuritnya untuk
membunuh semua bayi laki-laki.”
Aisyah : “Ya…aku tahu. Tapi aku ingin sekali mempunyai bayi laki-laki. Bayi ini akan aku
jadikan anak angkat”
Dayang 2 : “Tuanku Permaisuri sebaiknya memikirkan baik-baik karena menurut ahli nujum, akan
ada bayi laki-laki yang akan membinasakan kekuasaan Raja Fir’aun.”
Aisyah : “Tapi…aku sudah terlanjur menyayanginya.”
Putri Fir’aun :”Bagaimana dengan Raja? Ia akan menentang keinginan Ibunda.”
Aisyah : “Tenanglah. Aku akan membujuknya.”
Keesokan harinya, Aisyah menghadap Raja Fir’aun dan menyampaikan keinginannya untuk
mengangkat bayi laki-laki yang baru ditemukannya.
Aisyah : “Salam sejahtera. Semoga kesejahteraan dan kesehatan selalu tercurah kepada
Baginda.”
Raja Fir’aun : “Apa yang kau inginkan, permaisuri?”
Aisyah : “Baginda, kemarin Hamba menemukan seorang bayi laki-laki yang sangat manis dan
lucu. Hamba ingin mengangkatnya sebagai anak.”
Raja Fir’aun : “Apa? Bayi laiki-laki. Semua bayi laki-laki yang baru lahir telah aku perintahkan untuk
dibunuh.”
Aisyah : “Tapi….bayi laki-laki ini berbeda Baginda. Ia ditemukan hanyut di Sungai Nil. Bayi ini
belum tentu bayi dari Bani Israil.”
Raja Fir’aun : “Apakah Permaisuri tahu dari mana asal bayi itu? Mungkin saja bayi itu adalah bayi
Bani Isra’il yang selama ini aku cari. Bayi laki-laki yang akan menghancurkan
kerajaanku.”
Aisyah : “Hamba mohon kabulkanlah permintaanku! Sudah lama Baginda, Hamba
mendambakan anak laki-laki. Mungkin bayi itu dikirim untuk menjadi anakku.”
Raja Fir’aun : “Aku tetap tidak setuju.”
Aisyah : “Baginda….. Hamba sudah terlanjur menyayanginya dan Hamba tidak ingin
kehilangannya. Tolong…….Baginda pikirkan sekali lagi, mungkin anak itu akan
berguna bagi Baginda kelak.”
Raja Fir’aun : (Berpikir sejenak) “Baiklah…..tapi ingat jika dia membuat ulah dan menentang
perintahku kelak, dia akan ku usir dari istana ini.”
Aisyah : “Terima kasih…..Baginda.”
Sekian lama menikah, Fir’aun dan Aisyah memang belum juga dikarunia seorang anak laki-laki.
Fir’aun sangat menyayangi istrinya. Oleh karena itu, ia pun akhirnya menyetujui permintaan istrinya.
Bayi itu kemudian diberi nama Musa. Musa resmi diangkat sebagai anak mereka. Kemudian, Aisyah
segera mencarikan ibu susu sekaligus pengasuh bagi anak angkatnya itu.
Aisyah : “Dayang, segera kamu carikan ibu susu untuk anakku Musa.”
Dayang 1 : “Baik….Permaisuri.”
Tidak lama kemudian, seorang dayang datang menghadap Aisyah dengan tergesa-gesa.
Aisyah : “Ada apa dayang? Apakah kamu sudah mencari ibu susu untuk anakku Musa.”
Dayang 1 : “Sudah……Permaisuri. Banyak wanita yang melamar untuk menjadi ibu susu Musa.
Namun, tak seorang pun di antara mereka yang berhasil menyusuinya. Musa
menolak…Permaisuri.”
Aisyah : “Aduh……bagaimana ini? Kalau seperti ini terus, saya khawatir anakku Musa akan
kelaparan.”
Dayang 2 : “Tuanku….Permaisuri, janganlah risau. Kami akan terus berusaha mencari ibu susu
lagi walau sampai ke pelosok desa.”
Aisyah : “Tolong….usahakan kalian berhasil menemukan wanita itu. Aku sudah tahan lagi
mendengarkan tangisan anakku Musa.”
Tiba-tiba ada seorang dayang menghadap permaisuri…………
Dayang 3 : “Ampun……Permaisuri, ada seorang wanita yang ingin melamar sebagai ibu susu
Musa.”
Aisyah : “Tapi…..apakah wanita itu akan berhasil menyusui Musa?”
Dayang 1 : “Tapi…alangkah baiknya Permaisuri mencobanya. Mungkin wanita itu bisa menyusui
Musa.”
Dayang 3 : “Ya…Permaisuri. Wanita itu berbeda. Ia kelihatan keibuan.”
Aisyah : “Baiklah….kalau begitu. Cepat kau bawa ke sini wanita itu.”
Dayang 3 : “Baik…Permaisuri.”
(Dayang 3 segera membawa wanita itu ke hadapan permaisuri)
Demikianlah kehendak Allah. Dia maha mengatur segala sesuatunya. Siapa pun tidak pernah ada
yang tahu sebelumnya. Allah jualah yang mempertemukan bayi Musa ibu kandungnya sendiri. Ibu
kandung Musa tentu saja sangat bersyukur atas anugerah ini. Selain mendapat upah yang begitu
besar, ia juga tetap dapat merawat anak kandungnya sendiri.
BABAK III
Musa kini beranjak dewasa. Ia mulai mengetahui dan sadar bahwa ia hanya seorang anak
pungut di istana dan tidak setitik darah Fir’aun pun mengalir di dalam tubuhnya. Ia menyadari bahwa
perilaku Raja Fir’aun sangat kejam kepada rakyat kecil. Bani Isra’il tg ditindas dan diperlakukan
sewenang-wenangnya oleh kaum Fir’aun. Karena itu, ia berjanji kepada dirinya akan menjadi
pembela kepada kaumnya yang tertindas dan menjadi pelindung bagi golongan yang lemah yang
menjadi sasaran kezaliman dan keganasan para penguasa. Demikianlah maka terdorong oleh rasa
setia kawannya kepada orang-orang yang madhlum dan teraniaya. Pada suatu hari, ada suatu
peristiwa yang menyebabkan ia terpaksa meninggalkan istana dan keluar dari Mesir. Saat itu, ia
sedang berjalan-jalan di lorong kota. Tak sengaja ia melihat dua orang yang sedang berkelahi. Dua
orang itu berasal dari bangsa yang berbeda. satu orang berasal dari bangsa Isra’il (bangsa Nabi
Musa) yang bernama Samiri dan seorang lagi dari bangsa Qubthi (bangsa Raja Fir’aun) bernama
Fa’tun.
Samiri : “Tolong!”
Fa’tun : “Kamu tidak mungkin bisa mengalahkan aku.”
Samiri : “Ampun…..”
Fa’tun : “Badanku yang sangat besar dan kuat. Rasakan ini!”
Samiri : “Tolong!”
Samiri berteriak minta tolong karena kalah oleh Fa’tun yang bertubuh lebih besar dan kuat. Melihat
Samiri minta tolong, Musa pun menolong dan memukul Fa’tun. Fa’tun langsung terkapar dan mati. Ini
membuat Musa sangat terkejut, tak menyangka bakal berakhir seperti itu. Ia begitu menyesali
perbuatannya dan segera berdoa kepada Allah untuk memohon ampunan.
Samiri : “Jangan khawatir Musa, aku tak akan memberitahu kepada Raja Fir’aun.”
Setelah mengetahui Fa’tun meninggal, Samiri langsung melarikan diri. Tidak lama kemudian,
penduduk desa berdatangan melihat apa yang terjadi.
Penduduk 1 : “Hai…..teman-teman. Ayo..kita lihat ke sana!”
Penduduk 2 : “Ada apa?”
Penduduk 3 : “Sepertinya ada yang orang mati.”
Penduduk 4 : “Ah….masa!”
Penduduk 1 : “Ayo…..kita lihat”
Mereka segera mendekati tubuh Fa’tun yang terkapar tidak berdaya.
Penduduk 2 : “Orang ini sudah meninggal. Apakah kalian ada yang tahu siapa dia?”
Penduduk 1 : “Bukankah dia adalah Fa’tun.”
Penduduk 3 : “ya……ia memang Fa’tun.”
Penduduk 4 : “Fa’tun kan dari bangsa Qubthi.”
Penduduk 1 : “Siapakah gerangan yang berani membunuh orang dari Qubthi?”
Penduduk 2 : “Raja Fir’aun pasti murka mendengar berita meninggalnya orang dari bangsa Qutbhi
ini.”
Penduduk 3 : “Ya….kamu benar. Raja Fir’aun akan memberi hukuman yang berat kepada orang
itu.”
Penduduk 4 : “Ayo….kita bawa orang ini ke rumahnya!”
Setelah peristiwa itu, Musa hidup penuh penyesalan. Ia terus berdoa dan memohon ampunan kepada
Allah.
(Pembacaan puisi)
Taubat
Ya Rabbi, kini aku berada di sisi-Mu
Aku datang dengan mata menangis
Kudatang dengan rintihan, kegelisahan, dan kesedihan
Telah kuperbuat banyak kejahatan dan dosa
Sehingga jadilah aku sang pendosa
Di sisi-Mu-lah sekarang, hai Sang Maharaja
Aku datang dengan penuh penyesalan
Hati ini sudah dipenuhi kesalahan
Aku sangat malu saat menerima soalan
Bagaikan burung yang terikat sayapnya
Aku datang sambil jatuh bangun Wajahku merunduk ke tanah
Aku datang dengan pandangan sembab
Wahai penguasa alam, lihatlah
Aku datang dengan hati terbakar
Beberapa hari kemudian, Samiri berjalan-jalan di tengah kota. Ia bertemu dengan orang
Qubthi. Samiri pun berkelahi lagi dengan orang Qutbhi.
Orang Qutbhi : “Hai……orang Bani Israil. Mengapa kamu berani datang ke negeri Mesir? Bangsa
Bani Israil tidak pantas tinggal di kota ini.”
Samiri : “Apa maksudmu berkata seperti itu?”
Orang Qutbhi : “Kalian bangsa Bani Israil hanyalah bangsa yang lemah!”
Samiri : “Justru kalian bangsa yang kejam.”
Orang Qutbhi : “Apa?”
Terjadilah perkelahian antara Samiri dan orang Qutbhi tersebut. Lagi-lagi Samiri minta tolong kepada
Musa.
Samiri : “Tolong…….tolong aku Musa!”
Orang Qutbhi : “Musa…tidak mungkin menolongmu, Samiri”
Samiri : “tolong…tolong”
Kali ini Musa menolaknya seraya berkata, “Sungguh engkau orang sesat yang nyata.” Samiri kesal
atas tanggapan Musa. Kemudian ia menyiarkan kabar bahwa Fa’tun mati karena dibunuh oleh Musa.
Samiri : “Kamu tidak mau menolongku, Musa. Dasar pembunuh!”
BABAK IV
Setelah bertahun-tahun hidup di negeri Madyan dengan istrinya, pada suatu hari Nabi Musa
ingin kembali ke Mesir. Allah memerintahkan Nabi Musa berangkat ke Mesir untuk berdakwah kepada
Fir’aun. Setelah berhari-hari menempuh perjalanan, akhirnya Nabi Musa telah sampai di negeri Mesir.
Berita tentang kedatangannya telah terdengar oleh Fir’aun. Bukan main marahnya ia atas kedatangan
Nabi Musa. Ia menganggap Nabi Musa adalah musuh bebuyutannya yang harus dilenyapkan dari
muka bumi.
Fir’aun : “Hai……Musa, berani sekali kamu datang ke Mesir!”
Nabi Musa menjawab, “Aku adalah pesuruh Allah. Aku diutus Allah kepadamu agar kau
membebaskan bangsa Israil dari perbudakan dan penindasanmu.”
Fir’aun : “Kamu memang tidak tahu diri, Musa. Dulu kau kuasuh dan dibesarkan di istani ini, tapi
kau malah berbalik menentangku. Kau memang orang yang tak tahu balas budi.”
Nabi Musa berkata, “Engkau telah memeliharakan aku sejak masa bayiku. Itu
bukanlah suatu jasa yang dapat engkau banggakan. Karena jatuhnya aku ke dalam
tanganmu adalah akibat kekejaman dan kezalimanmu karena engkau memerintah
agar orang-orangmu membunuh setiap bayi-bayi laki yang lahir. Ibu terpaksa
membiarkan aku terapung di permukaan sungai Nil di dalam sebuah peti yang
kemudian dipungut oleh isterimu dan selamatlah aku dari pembunuhan yang engkau
perintahkan. Sedangkan mengenai pembunuhan yang telah aku lakukan itu adalah
akibat godaan syaitan yang menyesatkan, namun peristiwa itu akhirnya merupakan
suatu rahmat dan hikmah yang terselubung bagiku. Sebab dalam perantauanku
setelah aku melarikan diri dari negerimu, Allah mengkarunia aku dengan hikmah dan
ilmu serta mengutuskan aku sebagai Rasul dan pesuruh-Nya. Maka dalam rangka
tugasku sebagai Rasul datanglah aku kepadamu atas perintah Allah untuk mengajak
engkau dan kaummu menyembah Allah dan meninggalkan kezaliman dan
penindasanmu terhadap Bani Isra’il
Penasihat : “Baginda……Musa tidak hanya menentangmu. Tapi ia juga tidak mau menganggapmu
sebagai Tuhan.”
Fir’aun : “Siapakah Tuhan yang engkau sebut-sebut itu, hai Musa? Adakah
Tuhan di atas bumi ini selain aku yang patut disembah dan dipuja?”
Musa menjawab, “Ya, yaitu Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu serta Tuhan
seru sekalian
alam
Fir’aun : “Siapakah Tuhan seru sekali alam itu?”
Musa menjawab, “Ialah Allah, Tuhan langit dan bumi dan segala apa yang ada
antara langit dan bumi.”
Penasihat : “Baginda ….jangan hiraukan kata-kata Musa!”
Fir’aun : “Tidak mungkin, aku terpengaruh dengan kata-kata orang gila.” (tertawa)
Fir’aun, penasihat, dan para prajuritnya tertawa.
Hamman : “Baginda, apakah para prajuritku harus mengusir Musa dari istana ini?”
Fir’aun : “Tidak. Aku ingin melihat dulu kebenaran Musa dengan ucapannya.”
Hamman : “Baiklah….Baginda”
Fir’aun : “Hai….Musa, apa buktinya jika engkau benar-benar utusan Tuhan?”
Nabi Musa dengan tenangnya segera melemparkan tongkatnya. Seketika itu pula tongkat Nabi Musa
menjelma menjadi seekor ular besar. Kemudian Nabi Musa mengeluarkan kedua tangan dari saku
bajunya. Kedua telapak tangan Nabi Musa tampak memancarkan cahaya yang menyilaukan mata
Fir’aun dan orang-orang yang hadir.
Fir’aun : “Hai…..penasihat. Umumkan ke seluruh negeri besok akan ada pertarungan anatara
Nabi dan para ahli sihirku. Undang semua datang ke istana.”
Penasihat : “Baik…..Baginda.”
Penasihat dan para prajuritnya pun segera pergi ke tengah kota. Ia mengumumkan pertarungan
antara Nabi Musa dan para ahli sihirnya.
Penasihat : “Hai…..penduduk Mesir. Datanglah besok ke istana. Saksikan pertarungan seru antara
Musa dan para ahli sihir istana.”
Penduduk 1 : “Apa…..Musa dilawan oleh para ahli sihir istana.”
Penduduk 2 : “Pertarungan yang tidak seimbang.”
Penduduk 3 : “Besok Musa pasti akan mati.”
Penduduk 2 : “Kita lihat dulu saja besok.”
(setelah membacakan pengumuman, penasihat dan para prajurit pun segera pergi)
Tibalah hari yang ditentukan. Orang-orang pun berdatangan ke istana. Para dayang dan
permaisuri hadir menyaksikan pertarungan itu. Fir’aun mengundang mereka untuk mempermalukan
Nabi Musa. Ia yakin para ahli sihirnya dapat mengalahkan Nabi Musa.
Hamman : “Ampun …Baginda. Inilah para ahli sihir hebat di negeri Mesir.”
Fir’aun : “Apa benar itu, ahli sihir?”
Ahli sihir 1 : “Benar….Baginda. Kehebatan kami tidak pernah dikalahkan oleh siapa pun.”
Ahli sihir 2 : “Kehebatan kami tidak perlu Baginda ragukan lagi.”
Fir’aun : “Apakah kata-katamu bisa aku percayai?”
Ahli sihir 3 : “Bahkan kami bisa memunculkan ribuan ular.”
Fir’aun : “Hebat! (Tertawa) Hai…..Musa! lemparkanlah tongkatmu terlebih dahulu atau kami
yang lebih dahulu memulai!”
Para ahli sihir Fir’aun kemudian melemparkan tongkat-tongkat dan talinya. Tiba-tiba saja tongkat dan
tali tersebut berubah menjadi ular yang banyak.
Ahli sihir 1 : “Hai….cepatlah tunjukkan kehebatanmu kepada kami!”
Ahli sihir 2 : “Kalau kau berani lawanlah ular-ular kami!”
Ahli sihir 3 : “Kami tidak mungkin bisa melawan kehebatan ular-ular kami.”
Ahli sihir 1 : “Jika kamu memang utasan Tuhan…..tunjukanlah kehebatanmu.”
Ahli sihir 2 : “Kami akan baru percaya jika kamu mampu mengalahkan kehebatan kami.”
Tak lama kemudian, tongkat Nabi Musa berubah menjadi ular yang sangat besar. Ular besar itu pun
menelan semua ular-ular para ahli sihir itu. Semua yang hadir di istana itu seketika terperanjat.
Penduduk 1 : “Hebat….Musa”
Penduduk 2 : “Musa memang luar biasa.”
Melihat kehebatan Musa, semua ahli sihir Fir’aun pun segera tunduk dan bersujud.
Para ahli sihir : “Kami telah percaya kepada-Mu dan kami memohon ampun karena selama ini kami
tidak mengakui-Mu.”
Para penduduk: “Kini kami percaya bahwa engkau adalah utasan Tuhan.”
Para ahli sihir dan penduduk : “Ya….Allah. ampunilah kami ya…Allah.”
Aisyah : “Sekarang aku juga percaya bahwa Allah adalah Tuhanku.”
Menyaksikan sendiri kaumnya telah berkhianat, Fir’aun semakin marah dan geram kepada Nabi
Musa.
Fir’aun : “Kalian memang pengkhianat!”
Ahli sihir 1 : “Tapi Musa benar-benar hebat.”
Ahli sihir 2 : “Musa adalah utasan Allah.”
Putri & Aisyah : “Ya….Baginda. percayalah bahwa Allah adalah Tuhan kita.”
Fir’aun : “Aku tidak percaya. Akulah Tuhan. Prajurit, bunuh mereka semua.”
Demi menyelamatkan umatnya. Nabi Musa mengajak mereka pergi meninggalkan negeri Mesir.
Fir’aun tidak tinggal diam. Ia memerintahkan bala tentaranya untuk mengejar Nabi Musa beserta para
pengikutnya. Pasukan Fir’aun akhirnya berhasil menyusul rombongan Nabi Musa. Nabi Musa dan
pengikutnya tidak bisa menghindari kejaran tentara Fir’aun karena di depan mereka menghadang
Laut Merah yang sangat luas.
Dalam kebingungannya, turunlah wahyu Allah memerintahkan Nabi Musa memukulkan tongkatnya ke
air laut. Subhanallah, Laut Merah tiba-tiba terbelah menjadi dua bagian. Nabi Musa memerintahkan
para pengikutnya untuk segera menyeberangi lautan itu.