Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN KASUS

ANEMIA et causa GAGAL GINJAL KRONIK

PEMBIMBING :

dr. H. Kusdiantomo, Sp.PD

DISUSUN OLEH :

Khaerunnisa Gusti Auliana (2015730070)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM

RUMAH SAKIT ISLAM JAKARTA PONDOK KOPI

PERIODE 17 FEBRUARI – 26 APRIL 2020

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN UMJ

2020
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr. wb

Dengan memanjatkan puja dan puji syukur ke hadirat Allah SWT tuhan yang Maha
esa karena atas segala limpahan rahmat dan karunia- Nya kami dapat menyelesaikan
penulisan laporan kasus ini.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan dan arahan demi
terselesaikannya laporan kasus ini khususnya kepada dr. H. Kusdiantomo, Sp.PD
selaku pembimbing tugas Laporan Kasus ini.

Kami sangat menyadari dalam proses penulisan laporan kasus ini masih jauh dari
kesempurnaan baik materi maupun metode penulisan. Namun demikian, kami telah
mengupayakan segala kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki. Kami dengan rendah hati
dan dengan tangan terbuka menerima segala bentuk masukan, saran dan usulan guna
menyempurnakan tugas Laporan Kasus ini.

Kami berharap semoga tugas refreshing ini dapat bermanfaat bagi siapapun yang
membacanya.

Wassalamualaikum wr. wb

Jakarta, Februari 2020

Penulis
BAB I

LAPORAN KASUS

1.1. IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. P

Umur : 51 tahun

Jenis kelamin : Laki-laki

Alamat : Cakung, Jakarta Timur

Agama : Islam

Waktu Pemeriksaan : 29 Februari 2020

1.2. ANAMNESIS

Keluhan Utama : Sesak napas sejak 2 hari yang lalu


Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke RS dengan keluhan sesak napas sejak 2 hari yang lalu. Sesak
dirasakan saat beraktivitas maupun saat istirahat. Keluhan juga diserta lemas sejak 2 hari
yang lalu. Lemas dirasakan sepanjang hari walaupun sedang tidak beraktivitas. Pasien juga
mengeluh demam yang dirasakan sejak 2 hari. Keluhan disertai pusing, mata berkunang-
kunang, jantung berdebar-debar dan mual tetapi tidak sampai muntah. Pasien juga mengeluh
tidak nafsu makan sudah 2 hari ini. BAK berdarah yang dirasakan sejak 1 hari SMRS, BAB
tidak ada keluhan. Pasien saat ini menderita penyakit gagal ginjal dan sudah menjalani cuci
darah selama kurang lebih 6 bulan. Cuci darah dilakukan sebanyak 2x/minggu. Pasien tidak
menjalani cuci darah satu minggu ini.
Riwayat Penyakit Dahulu :

- Sebelumnya pasien pernah mengalami keluhan serupa beberapa bulan yang lalu tetapi
keluhan nya tidak seberat saat ini.
- Pasien memiliki riwayat hipertensi
- Riwayat Diabetes Mellitus disangkal
- Riwayat penyakit jantung disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga :

- Pada keluarga tidak ada yang mengalami gagal ginjal


- Riwayat hipertensi pada keluarga disangkal
- Riwayat Diabetes Mellitus pada keluarga disangkal
- Riwayat penyakit jantung pada keluarga disangkal

Riwayat Pengobatan:

Pasien saat ini rutin menjalani cuci darah sebanyak 2x/minggu, cuci darah sudah di
lalukan selama kurang lebih 6 bulan. Pasien saat ini mengkonsumsi obat-obatan darah tinggi

Riwayat Psikososial
Sebelum mengalami gagal ginjal pasien adalah seorang perokok aktif dan bisa
menghabiskan 1 bungkus rokok perhari, tetapi setelah itu pasien berhenti merokok setelah di
diagnosis gagal ginjal. Selain itu, sebelum mengalami sakit seperti ini pasien rajin
berolahraga di tempat gym dan melakukan program diet salah satu nya dengan
mengkonsumsi susu herbal. Minuman itu dikonsumsi pasien cukup lama hampir 2 tahun.
1.3. PEMERIKSAAN FISIK

o Keadaan umum : Sedang

o Kesadaran : Compos mentis

o GCS : E4V5M6

Status Gizi :

o BB : 71 kg
o TB : 168 cm
o IMT : 24,65 kg/m2

Tanda Vital:

o Tensi : 150/90 mmHg


o Nadi : 84 kali/menit, irama teratur, kuat angkat

o Pernapasan : 23 kali/menit

o Suhu : 37,7 oC

 Status Generalis :

o Kepala : Normocephal

o Mata :

Konjungtiva : anemis (+/+), sclera : ikterus (-/-), refleks cahaya (+/+)

o Telinga :

- Bentuk : normal; lubang telinga : normal, sekret (-/-); nyeri tekan (-/-)

- Pendengaran : normal pada kedua telinga.

o Hidung :

- Simetris, deviasi septum (-); napas cuping hidung (-); perdarahan (-),
sekret (-).

- Penciuman normal.

o Mulut :

- Bibir : sianosis (-), gusi : hiperemia (-), perdarahan (-), atropi papil lidah
(-); gigi : karang gigi (+), caries (-); mukosa : Kering

o Leher :

- Pembesaran KGB (-), Trakea : tidak ada deviasi; JVP : tidak meningkat,
Pembesaran tiroid (-)

o Thorax :

Pulmo :
1. Inspeksi :

Bentuk simetris

2. Palpasi

Pergerakan dinding dada simetris, Deviasi trakea (-), Nyeri tekan (-)

3. Perkusi :

Sonor ( +/+)

4. Auskultasi :

vesikuler (+ /+), ronchi (-/-), wheezing (-/-)

Cor :

1. Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat

2. Palpasi : Iktus kordis teraba pada ICS V

3. Perkusi : batas kanan jantung : ICS II linea parasternalis dextra

batas kiri jantung : ICS V linea midclavicularis sinistra

4. Auskultasi : S1S2 tunggal regular, murmur (-), gallop (-)

o Abdomen :

- Inspeksi : Tampak cembung

- Auskultasi : BU (+) N, metallic sound (-), bising aorta (-)

- Palpasi : massa (-), nyeri tekan epigastrium (-), hepar/lien/renal : tidak


teraba

- Perkusi : timpani, shifting dullness (-), nyeri ketok CVA (+)

o Ekstremitas :

- Hangat (+); edema (-); deformitas (-); tremor (-); clubbing finger (-);
sianosis (-); petechie (-);
1.4. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Jenis Pemeriksaan Nilai Nilai Normal

Hb 4,6 mg/dL 13,5-17,5

Leukosit 11,8 x 103/uL 5-10

Hematokrit 14 % 40-50

Trombosit 425 x 103/uL 150-400

Ureum 344.10 mg/dL 16.65-48.54

Kreatinin 22,3 mg/dL 0.75-1.24

ELEKTROLIT

Natrium 136 mmol/L 136-145

Kalium 5.5 mmol/L 3.5-5.1

Chloride 108 mmol/L 98-107


1.5 DIAGNOSIS KERJA
 Anemia et causa Gagal Ginjal Kronik
 Bakterial infection

1.6. PENATALAKSANAAN

- Transfusi PRC 700 cc


- Vit K 3x1 ampul
- Kalnex 3x1 ampul
- Ranitidin 2x1 ampul
- Ondancetron 2x4 mg
- Cefoperazon 3x1 gr
- Paracetamol 3x500 mg

1.7. PROGNOSIS

Quo ad vitam: dubia

Quo ad functionam: dubia

Quo ad sanationam: dubia


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anemia

2.1.1 Definisi

Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah massa eritrosit (red
cell mass) sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam
jumlah yang cukup ke jaringan perifer (penurunan Oxygen carrying capacity).

Kriteria anemia menurut WHO


 Laki-laki dewasa : <13 g/dl
 Wanita dewasa tidak hamil : <12 g/dl
 Wanita hamil : <11 g/dl

2.1.2 Etiologi dan Klasifikasi

Pada dasarnya anemia disebabkan karena


- Gangguan Pembentukan eritrosit oleh sumsum tulang
a. Kekurangan bahan esensial pembentuk eritrosit
 Anemia defisiensi besi
 Anemia defisiensi asam folat
 Anemia defisiensi vitamin B12

b. Gangguan penggunaan (utilisasi) besi

 Anemia akibat penyakit kronik


 Anemia sideroblastik

c. Kerusakan sumsum tulang

 Anemia Aplastik
 Anemia mieloptisik
 Anemia akibat keganasan hematologic
 Anemia diseritropoietik
 Anemia pada sindrom mielodisplastik
 Anemia akibat kekurangan eritropoietin: anemia pada gagal ginjal kronik
- Kehilangan darah keluar tubuh (perdarahan)
 Anemia pasca perdarahan akut
 Anemia akibat perdarahan kronik
- Proses penghancuran eritrosit dalam tubuh sebelum waktunya (hemolisis)
a. Anemia hemolitik intrakorpuskular
 Gangguan membrane eritrosit (membranopati)
 Gangguan enzim eritrosit (enzimopati): Anemia defisiensi G6PD
 Thalassemia
 Hemoglobinopati structural: HbS, HbE, dll

b. Anemia hemolitik ekstrakorpuskuler

 Anemia hemolitik autoimun


 Anemia hemolitik mikroangiopatik
Klasifikasi anemia berdasarkan morfologi dan etiologic
 Anemia hipokromik mikrositer
 Anemia defisiensi besi
 Thalassemia major
 Anemia akibat penyakit kronik
 Anemia sideroblastik
 Anemia normokromik normositer
 Anemia pasca perdarahan akut
 Anemia aplastic
 Anemia hemolitik didapat
 Anemia pada gagal ginjal kronik
 Anemia pada sindrom mielodisplastik
 Anemia pada keganasan hematologik
 Anemia makrositer
- Bentuk megaloblastik
 Anemia defisiensi asam folat
 Anemia defisiensi B12, termasuk anemia pernisiosa
- Bentuk non megaloblastik
 Anemia pada penyakit hati kronik
 Anemia pada hipotiroidisme
 Anemia pada sindrom mielodisplastik

2.1.3 Gejala umum anemia dan Gejala khas masing-masing anemia

 Gejala umum (sindrom anemia) adalah gejala yang timbul pada setiap kasus anemia
apapun penyebabnya, apabila kadar haemoglobin turun di bawah nilai tertentu.
Gejala umum anemia timbul karena anoksia organ, mekanisme kompensasi tubuh
terhadap berkurangnya daya angkut oksigen. Sindrom anemia terdiri dari:
- Lemah, lesu, cepat lelah
- Telinga mendengin (tinnitus)
- Mata berkunang-kunang
- Kaki terasa dingin
- Sesak napas
- Dyspepsia
- Pada pemeriksaan fisik : pasien tampak pucat, yang mudah terlihat pada
konjungtiva, mukosa, mulut, telapak tangan dan jaringan dibawah kuku.
 Gejala khas masing-masig anemia
- Anemia defisiensi besi : disfagia, atrofi papil lidah, stomatitis angularis, kuku
sendok (koilonychia)
- Anemia megaloblastik : glostitis, gangguan neurologic pada defisiensi vitamin B12
- Anemia hemolitik : Ikterus, splenomegaly dan hepatomegaly

2.2 Penyakit Ginjal Kronik

2.2.1 Definisi

Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologic


yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada
umumnya berakhir dengan gagal ginjal.

Gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan
fungsi ginjal yang irreversible, pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti
ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal.

Uremia adalah suatu sindrom klinik dan laboratorik yang terjadi pada semua
organ, akibat penurunan fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronik.
2.2.2 Kriteria Penyakit Ginjal Kronik

1. Kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa
kelainan structural atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi
glomerulus (LFG) dengan manifestasi:
- Kelainan patologis
- Terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi
darah atau urin atau kelainan dalam test pencitraan (imaging test)
2. Laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/menit/1,73 m 2 selama 3
bulan, dengan atau tanpa kerusakan ginjal

2.2.3 Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik

Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas 2 hal taitu atas dasar
derajat (stage) penyakit dan atas dasar diagnosis etiologic. Klasifikasi atas
dasar derajat penyakit, dibuat atas dasar LFG, yang dihitung dengan
menggunakan rumus Kockcroft-Gault sebagai berikut:

( 140−umur ) x Berat Badan


LFG (ml/mnt/1,73 m ) =
2
mg
72 x Kreatinin plasma( )
dl

* Pada perempuan dikalikan 0.85

Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas Dasar Derajat Penyakit

Derajat Penjelasan LFG (ml/mnt/1,73 m2)

1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal ≥90


atau meningkat

2 Kerusakan ginjal dengan LFG meningkat 60-89


ringan

3 Kerusakan ginjal dengan LFG meningkat 30-59


sedang

4 Kerusakan ginjal dengan LFG meningkat 15-29


berat

5 Gagal Ginjal <15 atau dialisis

2.2.4 Patofisiologi

Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit yang
mendasari, tetapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama.
Pada gagal ginjal kronik terjadi pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi
struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa. Hal ini mengakibatkan terjadinya
hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus.
Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa
sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi
nefron yang progresif. Perubahan fungsi neuron yang tersisa setelah kerusakan ginjal
menyebabkan pembentukan jaringan ikat, sedangkan nefron yang masih utuh akan
mengalami peningkatan beban eksresi sehingga terjadi lingkaran setan hiperfiltrasi dan
peningkatan aliran darah glomerulus. Demikian seterusnya, keadaan ini berlanjut menyerupai
suatu siklus yang berakhir dengan Gagal Ginjal Terminal (GGT) atau End Stage Renal
Disease (ESRD). Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron intrarenal,
hipertensi sistemik, nefrotoksin dan hipoperfusi ginjal, proteinuria, hiperlipidemia ikut
memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis, dan progresifitas tersebut
Dengan adanya penurunan LFG maka akan terjadi :
- Anemia
Gangguan pembentukan eritropoietin di ginjal menyebabkan penurunan
produksi eritropoietin sehingga tidak terjadi proses pembentukan eritrosit
menimbulkan anemia ditandai dengan penurunan jumlah eritrosit, penurunan
kadar Hb dan diikuti dengan penurunan kadar hematokrit darah. Selain itu
GGK dapat menyebabkan gangguan mukosa lambung (gastripati uremikum)
yang sering menyebabkan perdarahan saluran cerna. Adanya toksik uremik
pada GGK akan mempengaruhi masa paruh dari sel darah merah menjadi
pendek, pada keadaan normal 120 hari menjadi 70 – 80 hari dan toksik uremik
ini dapat mempunya efek inhibisi eritropoiesis.
- Sesak nafas
Akibat ekskresi natrium yang berlebihan, maka ginjal mensekresikan
hormon renin sehingga terjadi perubahan angiotensinogen menjadi angiotensin
I. Lalu oleh converting enzyme, angiotensin I diubah menjadi angiotensin II.
Angiotensin II merangsang pelepasan aldosteron dan ADH ssehingga
menyebabkan retensi NaCl dan air, volume ekstrasel meningkat (hipervolemia),
volume cairan berlebihan, ventrikel kiri gagal memompa darah ke perifer,
LVH, peningkatan tekanan atrium kiri, peningkatan tekanan vena pulmonalis,
peningkatan tekanan di kapiler paru, edema paru, sesak nafas.

- Asidosis
Pada gagal ginjal kronik, asidosis metabolik dapat terjadi akibat
penurunan kemampuan ginjal untuk mengeksresikan ion H+ disertai dengan
penurunan kadar bikarbonat (HCO3) dan pH plasma. Patogenesis asidosis
metabolik pada gagal ginjal kronik meliputi penurunan eksresi amonia karena
kehilangan sejumlah nefron, penurunan eksresi fosfat, kehilangan sejumlah
bikarbonat melalui urin. Derajat asidosis ditentukan oleh penurunan pH darah.
Apabila penurunan pH darah kurang dari 7,35 dapat dikatakan asidosis
metabolik. Asidosis metabolik dpaat menyebabkan gejala saluran cerna seperti
mual, muntah, anoreksia dan lelah. Salah satu gejala khas akibat asidosis
metabolik adalah pernapasan kussmaul yang timbul karena kebutuhan untuk
meningkatkan eksresi karbon dioksida untuk mengurangi keparahan asidosis.
- Hipertensi
Disebabkan karena ada kerusakan pada unit filtrasi ginjal sehingga
menyebabkan penurunan perfusi ginjal akhirnya menjadi iskemik ginjal. Hal
tersebut menyebabkan terjadinya pelepasan renin yang terdapat di aparatus
juxtaglomerulus sehingga mengubah angiotensinogen menjadi angiotensin I.
Lalu oleh converting enzyme, angiotensin I diubah menjadi angiotensin II.
Angiotensin II memiliki efek vasokonstriksi kuat sehingga meningkatkan
tekanan darah.
- Hiperlipidemia
Penurunan GFR menyebabkan penurunan pemecahan asam lemak bebas
oleh ginjal sehingga menyebabkan hiperlipidemia.

- Hiperurikemia
Terjadi gangguan eksresi ginjal sehingga asam urat terakumulasi di
dalam darah (hiperurikemia). Kadar asam urat yang tinggi akan menyebabkan
pengendapan kristal urat dalam sendi, sehingga sendi akan terlihat
membengkak, meradang dan nyeri.

- Hiponatremia
Peningkatan eksresi natrium dapat disebabkan oleh pengeluaran hormon
peptida natriuretik yang dapat menghambat reabsorpsi natrium pada tubulus
ginjal. Bila fungsi ginjal terus memburuk disertai dengan penurunan jumlah
nefron, natriuresis akan meningkat. Hiponatremia yang disertai dengan retensi
air yang berlebihan akan menyebabkan dilusi natrium di cairan ekstraseluler.
Keadaan hiponetremia ditandai dengan gangguan saluran pencernaan berupa
kram, diare dan muntah.
- Hiperfosfatemia
- Penurunan fungsi ginjal mengakibatkan penurunan eksresi fosfat sehingga
fosfat banyak yang berada dalam sirkulasi darah. Jika kelarutannya
terlampaui, fosfat akan bergabung dengan Ca2+ untuk membentuk kalsium
fosfat yang sukar larut. Kalsium fosfat yang terpresipitasi akan mengendap di
sendi dan kulit ( berturut-turut menyebabkan nyeri sendi dan pruritus)
Hipokalsemia
Disebabkan karena Ca2+ membentuk kompleks dengan fosfat. Keadaan
hipokalsemia merangsang pelepasan PTH dari kelenjar paratiroid sehingga
memobilisasi kalsium fosfat dari tulang. Akibatnya terjadi demineralisasi
tulang (osteomalasia). Biasanya PTH mampu membuat konsentrasi fosfat di
dalam plasma tetap rendah dengan menghambat reabsorbsinya diginjal. Jadi
meskipun terjadi mobilisasi kalsium fosfat dari tulang, produksinya di plasma
tidak berlebihan dan konsentrasi Ca2+ dapat meningkat. Namun pada
insufisiensi ginjal, eksresinya melalui ginjal tidak dapat ditingkatkan sehingga
konsentrasi fosfat di plasma meningkat. Selanjutnya konsentrasi CaHPO 4
terpresipitasi dan konsentrasi Ca2+ di plasma tetap rendah. Oleh karena itu,
rangsangan untuk pelepasan PTH tetap berlangsung. Dalam keadaan
perangsangan yang terus-menerus ini, kelenjar paratiroid mengalami hipertrofi
bahkan semakin melepaskan lebih banyak PTH. Kelainan yang berkaitan
dengan hipokalsemia adalah hiperfosfatemia, osteodistrofi renal dan
hiperparatiroidisme sekunder. Karena reseptor PTH selain terdapat di ginjal
dan tulang, juga terdapat di banyak organ lain ( sistem saraf, lambung, sel
darah dan gonad), diduga PTH berperan dalam terjadinya berbagai kelainan di
organ tersebut.
Pembentukan kalsitriol berkurang pada gahal ginjal juga berperan
dalam menyebabkan gangguan metabolisme mineral. Biasanya hormon ini
merangsang absorpsi kalsium dan fosfat di usus. Namun karena terjadi
penurunan kalsitriol, maka menyebabkan menurunnya absorpsi fosfat di usus,
hal ini memperberat keadaan hipokalsemia.
- Hiperkalemia
Pada keadaan asidosis metabolik dimana konsentrasi ion H + plasma
meningkat, maka ion hidrogen tersebut akan berdifusi ke dalam sel –sel ginjal
sehingga mengakibatkan kebocoran ion K+ ke dalam plasma. Peningkatan
konsentrasi ion H+ dalam sel ginjal akan menyebabkan peningkatan sekresi
hidrogen, sedangkan sekresi kalium di ginjal akan berkurang sehingga
menyebabkan hiperkalemia. Gambaran klinis dari kelainan kalium ini
berkaitan dengan sistem saraf dan otot jantung, rangka dan polos sehingga
dapat menyebabkan kelemahan otot dan hilangnya refleks tendon dalam,
gangguan motilitas saluran cerna dan kelainan mental.
- Proteinuria
Proteinuria merupakan penanda untuk mengetahui penyebab dari
kerusakan ginjal pada GGK seperti DM, glomerulonefritis dan hipertensi.
Proteinuria glomerular berkaitan dengan sejumlah penyakit ginjal yang
melibatkan glomerulus. Beberapa mekanisme menyebabkan kenaikan
permeabilitas glomerulus dan memicu terjadinya glomerulosklerosis.
Sehingga molekul protein berukuran besar seperti albumin dan
immunoglobulin akan bebas melewati membran filtrasi. Pada keadaan
proteinuria berat akan terjadi pengeluaran 3,5 g protein atau lebih yang disebu
dengan sindrom nefrotik.
- Uremia
Kadar urea yang tinggi dalam darah disebut uremia. Penyebab dari
uremia pada GGK adalah akibat gangguan fungsi filtrasi pada ginjal sehingga
dapat terjadi akumulasi ureum dalam darah. Urea dalam urin dapat berdifusi
ke aliran darah dan menyebabkan toksisitas yang mempengaruhi glomerulus
dan mikrovaskularisasi ginjal atau tubulus ginjal. Bila filtrasi glomerulus
kurang dari 10% dari normal, maka gejala klinis uremia mulai terlihat. Pasien
akan menunjukkan gejala iritasi traktus gastrointestinal, gangguan neurologis,
nafas seperti amonia (fetor uremikum), perikarditis uremia dan pneumonitis
uremik. Gangguan pada serebral adapat terjadi pada keadaan ureum yang
sangat tinggi dan menyebabkan koma uremikum

2.2.5 Etiologi

Etiologi penyakit ginjal kronik sangat bervariasi. Perhimpunan


Nefrologi Indonesia (Pernefri) mencatat penyebab gagal ginjal yang menjalani
hemodialisis di Indonesia

Penyebab utama Penyakit Ginjal Kronik:

- Diabetes Mellitus tipe 1 dan 2


- Hipertensi dan penyakit pembuluh darah besar
- Glomerulonefritis
- Nefritis interstisialis
- Kista
- Penyakit sistemik (lupus, vaskulitis)
- Neoplasma
- Tidak diketahui

Penyebab gagal ginjal yang menjalani hemodialisa:

- Glomerulonefritis
- Diabetes Mellitus
- Obstruksi dan infeksi
- Hipertensi

2.2.6 Pendekatan Diagnostik

 Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik meliputi:


1. Sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes melitus, infeksi
traktus urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi, hiperurikemi, Lupus
Eritomatosus Sistemik (LES), dan sebagainya.
2. Sindrom uremia, yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual muntah,
nokturia, kelebihan volume cairan (volume overload), neuropati perifer,
pruritus, perikarditis, kejang-kejang sampai koma. Gejala komplikasinya
antara lain, hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah jantung, asidosis
metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit (sodium, kalium, khlorida).
 Gambaran Laboratoris

Gambaran laboratoris penyakit ginjal kronik meliputi:

- Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya


- Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin
serum, dan penurunan LFG yang dihitung menggunakan rumus Kockcroft-
Gault.
- Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin,
peningkatan kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hiper
atau hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis metabolik
- Kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuri, leukosuria, isostenuria.8
 Gambaran Radiologis

Pemeriksaan radiologis Penyakit Ginjal Kronik meliputi:

- Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio-opak.


- Pielografi intravena jarang dikerjakan, karena kontras sering tidak bisa
melewati filter glomerulus, di samping kekhawatiran terjadinya pengaruh
toksik oleh kontas terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan.
- Pielografi antegrad atau retrograd dilakukan sesuai indikasi
- Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil,
korteks yang menipis, adanya hidronefrolitis atau batu ginjal, kista, massa
dan kalsifikasi.

Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi dikerjakan bila ada indikasi.8

 Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologi Ginjal


Biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dilakukan pada pasien dengan
ukuran ginjal yang msih mendekati normal, dimana diagnosis secara noninvasif tidak
bisa ditegakkan. Pemeriksaan histopatologi ini bertujuan untuk mengetahui etiologi,
menerapkan terapi, prognosis, dan mengevaluasi hasil terapi yang telah diberikan.
Biopsi ginjal indikasi-kontra dilakukan pada keadaan dimana ukuran ginjal sudah
mengecil (contracted kidney), ginjal polikistik, hipertensi yang tidak terkendali, infeksi
perinefritik, gangguan pembentukan darah, gagal napas dan obesitas.

2.2.7 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi :


1. Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya
Waktu yang tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah sebelum terjadinya
penurunan LFG. Bila LFG sudah menurun sampai 20-30% dari normal, terapi terhadap
penyakit dasar sudah tidak banyak bermanfaat.
2. Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid
Penting sekali untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan LFG untuk
mengetahui kondisi komorbid yang dapat memperburuk keadaan pasien.
3. Memperlambat perburukan fungsi ginjal
Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya hiperfiltrasi
glomerulus. Cara untuk mengurangi hiperfiltrasi glomerulus adalah :
- Pembatasan asupan protein
Karena kelebihan protein tidak dapat disimpan didalam tubuh tetapi di pecah
menjadi urea dan substansi nitrogen lain, yang terutama dieksresikan melalui ginjal
selain itu makanan tinggi protein yang mengandung ion hydrogen, posfat, sulfat, dan
ion anorganik lainnya juga dieksresikan melalui ginjal. Oleh karena itu, pemberian
diet tinggi protein pada penderita gagal ginjal kronik akan mengakibatkan
penimbunan substansi nitrogen dan ion anorganik lainnya dan mengakibatkan
sindrom uremia. Pembatasan asupan protein juga berkaitan dengan pembatasan
asupan fosfat, karena protein dan fosfat selalu berasal dari sumber yang sama dan
untuk mencegah terjadinya hiperfosfatemia.
Pembatasan Asupan Protein dan Fosfat pada Penyakit Ginjal Kronik
LGF ml/menit Asupan protein g/kg/hari Fosfat g/kg/hari
>60 Tidak dianjurkan Tidak dibatasi
25 – 60 0,6 – 0,8/kg/hari, termasuk > < 10 g
0,35 gr/kg/hr nilai biologi tinggi
5 -25 0,6 – 0,8/kg/hari, termasuk > < 10 g
0,35 gr/kg/hr protein nilai
biologi tinggi atau tambahan 0,3
g asam amino esensial atau
asam keton
<60(sind.nefrotik 0,8/kg/hari (+1 gr protein/ < 9 g
) g proteinuria atau 0,3 g/kg
tambahan asam amino
esensial atau asam keton

o U
Untuk mengurangi hipertensi intraglomerulus. Pemakaian obat
antihipertensi (ACE inhibitor) disamping bermanfaat untuk
memperkecil resiko kardiovaskular juga sangat penting untuk
memperlambat perburukan kerusakan nefron dengan mengurangi
hipertensi intraglomerular dan hipertrofi glomerulus.
- Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular
Dengan cara pengendalian DM, pengendalian hipertensi, pengedalian
dislipidemia, pengedalian anemia, pengedalian hiperfosfatemia dan terapi terhadap
kelebihan cairan dan gangguan keseimbangan elektrolit.
- Pencegahan dan terapi terhadap penyakit komplikasi
 Anemia
Evaluasi terhadap anemia dimulai saaat kadar hemoglobin < 10 g% atau
hematokrit < 30% meliputi evaluasi terhadap status besi ( kadar besi serum/serum iron,
kapasitas ikat besi total/ total iron binding capacity, feritin serum), mencari sumber
perdarahan morfologi eritrosit, kemungkinan adanya hemolisis,dll. Pemberian
eritropoitin (EPO) merupakan hal yang dianjurkan. Sasaran hemoglobin adalah 11 – 12
g/dl.
 Osteodistrofi renal
Penatalaksaan osteodistrofi renal dapat dilakukan melalui :
1. Mengatasi hiperfosfatemia
o Pembatasan asupan fosfat 600 – 800 mg/hari
o Pemberian pengikat fosfat, seperti garam, kalsium, alluminium hidroksida,
garam magnesium. Diberikan secara oral untuk menghambat absorpsi fosfat
yang berasal dari makanan. Garam kalsium yang banyak dipakai adalah
kalsium karbonat (CaCO3) dan calcium asetat.
o Pemberian bahan kalsium memetik, yang dapat menghambta reseptor Ca
pada kelenjar paratiroid, dengan nama sevelamer hidrokhlorida.
2. Pemberian kalsitriol
Pemakaian dibatasi pada pasien dengan kadar fosfat darah normal dan
kadar hormon paratiroid (PTH) > 2,5 kali normal karena dapat meningkatkan
absorpsi fosfat dan kaliun di saluran cerna sehingga mengakibatkan penumpukan
garam calcium carbonate di jaringan yang disebut kalsifikasi metastatik,
disamping itu juga dapat mengakibatkan penekanan yang berlebihan terhadap
kelenjar paratiroid.
3. Pembatasan cairan dan elektrolit
Pembatasan asupan cairan untuk mencegah terjadinya edema dan kompikasi
kardiovaskular sangat perlu dilakukan. Maka air yang masuk dianjurkan 500 –
800 ml ditambah jumlah urin. Elektrolit yang harus diawasi asuapannya adalah
kalium dan natrium. Pembatasan kalium dilakukan karena hiperkalemia dapat
mengakibatkan aritmia jantung yang fatal. Oleh karena itu, pemberian obat –
obat yang mengandung kalium dan makanan yang tinggi kalium (seperti buah
dan sayuran) harus dibatasi. Kadar kalium darah dianjurkan 3,5 – 5,5 mEq/lt.
Pembatasan natrium dimaksudkan untuk mengendalikan hipertensi dan edema.
Jumlah garam natrium yang diberikan, disesuaikan dengan tingginya tekanan
darah dan derajat edema yang terjadi.
4. Terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal
Dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu pada LFG < 15
ml/mnt. Berupa hemodialisis, peritoneal dialisis atau transplantasi ginjal.

2.3 Anemia Pada Gagal Ginjal Kronik


2.3.1 Definisi anemia dan anemia renal

 Disebut anemia jika kadar haemoglobin (Hb) <14 g/gl (laki-laki) atau <12 g/dl
(perempuan)
 Anemia renal adalah anemia pada Penyakit Ginjal Kronik yang terutama disebabkan
penurunan kapasitas produksi eritropoietin. Beberapa faktor lain yang berkontribusi
untuk terjadinya anemia renal termasuk defisiensi besi, umur eritrosit yang
memendek, hiperparatiroid sekunder dan infeksi inflamasi.

2.3.2 Definisi anemia defisiensi besi pada penyakit ginjal kronik


 Anemia defisiensi besi absolut: bila saturasi transferrin (ST) <20% dan ferritin
serum (FS) <100 ng/ml (PGK non hemodialisa, PGK peritoneal dialisa) dan <200
ng/ml (PGK hemodialisa)
 Anemia defisiensi besi fungsional: bila ST <20% dan FS ≥100 ng/ml (PGK non
hemodialisa, PGK peritoneal dialisa) dan ≥200 ng/ml (PGK hemodialisa)
2.3.3 Penyebab anemia renal
 Defisiensi besi (asupan kurang, flebotomi berulang untuk pemeriksaan laboratorium,
retensi darah pada dialiser atau tubling, perdarahan saluran cerna)
 Umur eritrosit yang memendek
 Hiperparatiroid berat
 Inflamasi atau infeksi
 Toksisitas aluminium
 Defisiensi asam folat
 Hipotiroid
 Hemoglobinopati
2.3.4 Evaluasi anemia renal
 Skrining Hb pada pasien PGK dilakukan minimal 1x setahun
 Jika didapatkan anemia dilanjutkan dengan
a. Pemeriksaan darah lengkap (Hb, Ht, indeks eritrosit, leukosit dan hitung jenis,
hitung trombosit)
b. Apusan darah tepi
c. Hitung retikulosit
d. Uji darah samar feses
e. Evaluasi status besi (besi serum/serum iron (SI), kapasitas ikat besi total/Total
Iron Binding Capacity (TIBC), saturasi transferrin (ST), Feritin serum (FS)
f. Evaluasi penyebab anemia lainnya dilakukan bila ada kecurigaan klinis.
2.3.5 Pengkajian status besi dan terapi besi

Sebelum terapi ESA harus dilakukan pemeriksaan status besi terlebih dahulu
agar respon eritropoeisis optimal, maka status besi harus cukup. Status besi yang
diperiksan meliputi SI, TIBC, ST dan FS.

ST = SI x 100%

TIBC

2.3.6 Terapi anemia defisiensi besi

Indikasi terapi:

 Anemia defisiensi besi absolut


 Anemia defisiensi besi fungsional
 Tahap pemeliharaan status besi

Kontraindikasi terapi besi:

 Hipersensitifitas terhadap besi


 Gangguan fungsi hati berat
 Kandungan besi tubuh berlebih (iron overload)

Terapi besi oral

Di indikasikan pada pasien PGK-non D dan PGK-PD dengan anemia


defisiensi besi. Jika setelah 3 bulan ST tidak dapat dipertahankan ≥20% dan
atau FS ≥100 ng/ml, maka dianjurkan untuk pemberian terapi besi parenteral.
Terapi besi parenteral

Terapi besi parenteral terutama diindikasikan pada pasien PGK-HD

1. Terapi besi fase koreksi


Tujuannya untuk koreksi anemia defisiensi besi absolut sampai
status besi cukup yaitu ST ≥20% dan FS mencapai ≥100 ng/ml (PGK-
nonD dan PGK-PD), ≥00 ng/ml (PGK-HD).
Dosis uji coba (test dose) dilakukan sebelum mulai terapi besi
intravena pertama kali untuk mengetahui adanya hipersensitivitas
terhadap besi. Caranya: Iron sucrose atau iron dextran 25 mg
dilarutkan dalam 25 ml NaCl 0,9% drip IV selama 15 menit, amati
tanda-tanda hipersensitivitas.
Dosis terapi fase koreksi: 100 mg 2x per minggu, saat HD
dengan perkiraan keperluan dosis total 1000 mg (10x pemberian).
Pemberian terapi besi intravena iron sucrose atau iron dextran
100 mg diencerkan dengan 100 ml NaCl 0,9%. Drip IV 15-30 menit.
Cara lain dapat disuntikan IV atau melalui venous blood line tanpa
diencerkan secara pelan-pelan, paling cepat dalam waktu 15 menit.
Evaluasi status besi dilakukan 1 minggu pasca terapi.
2. Terapi besi fase pemeliharaan
Terapi besi fase pemeliharaan, tujuannya untuk menjaga
kebutuhan besi untuk eritropoeisis selama pemberian terapi ESA.
Target terapi:
 ST : 20-50%
 FS : 100-500 ng/ml (PGK-nonD dan PGK-PD)
200-500 ng/ml (PGK HD)
 Status besi diperiksa 1-3 bulan
 Dosis terapi besi disesuaikan dengan kadar ST dan FS
 ST >50% tunda terapi besi, terapi ESA tetap dilanjutkan
2.3.7 Target haemoglobin pada terapi ESA

 Terapi ESA dimulai pada kabar Hb <10 g/dl


 Target Hb pada pasien PGK-HD, PGK PD dan PGK –nonD yang
mendapatkan ESA adalah 10-12 g/dl
 Kadar Hb tidak boleh >13 g/dl

2.3.8 Terapi ESA

1. Terapi ESA koreksi

Untuk mengoreksi anemia renal sampai target Hb tercapai.


Terapi ESA dianjurkan diberikan secara subkutan. Dosis ESA dimulai
dengan:
 Epoetin α dan β: dimulai dengan 2000-5000 IU 2x seminggu
atau 80-120 unit/KgBB/minggu SC
 Continuos Erythropoiesis Receptro Activator (C.E.R.A) dapat
diberikan 0,6 µg setiap 2 minggu.

Target respon yang diharapkan Hb naik sekitar 0,5-1,5 g/dl dalam 4


minggu, bila target respon tercapai pertahankan ESA sampai target Hb 10-
12 g/dl. Jika belum tercapai naikkan dosis 25%. Bila Hb naik >1,5 g/dl
dalam 4 minggu atau Hb mencapai 12-13 g/dl turunkan dosis 25%

2. Terapi ESA fase pemeliharaan

Dilakukan bila target Hb sudah tercapai (10-12 g/dl). Diberikan


epoetin α dan β dimulai dengan 2000-5000 IU/minggu. Dosis C.E.R.A
sama dengan dosis fase koreksi dengan interval pemberian setiap 4
minggu. Bila dengan terapi pemeliharaan Hb mencapai >12 g/dl maka
dosis ESA diturunkan 25%.

2.3.9 Transfusi darah

 Indikasi Transfusi darah


Transfusi darah pada pasien PGK sedapat mungkin dihindari, hanya
diberikan pada keadaan khusus. Indikasi transfuse darah:
- Hb <7 g/dl dengan atau tanpa gejala anemia
- Hb <8 g/dl dengan gangguan kardiovaskular yang nyata
- Perdarahan akut dengan gejala gangguan hemodinamik
- Pasien yang akan menjalani operasi

Target pencapaian Hb dengan transfuse 7-9 g/dl (tidak sama dengan


target Hb pada terapi ESA). Cara pemberian transfuse darah dianjurkan dalam
jumlah kecil dan bertahap. Pada pasien HD sebaiknya diberikan saat HD.
Transfusi darah sebaiknya diberikan dengan kecepatan tetesan 1 ml/menit
pada 15 menit pertama dan bila tidak ada reaksi transfuse, dilanjutkan 4
ml/menit
DAFTAR PUSTAKA

1. Sudoyo, Aru W, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II. Jakarta :
FKUI, 2009
2. Adamson WJ, dkk. Harrison’s Principles of Internal Medicine, edisi 16.
NewYork : McGraw Hill, 2005

3. Ketut Suwitra. Penyakit Ginjal Kronik. Aru WS, Bambang S, Idrus A,


Marcellus SK, Siti S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Ed. 4 Jilid I.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007. hlm 570-3.

4. KDOQI Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney Disease:


Evaluation, Classification, and Stratification. Diunduh dari:
http://www.kidney.org/professionals/kdoqi/guidelines_ckd/toc.htm GGK, 04
Oktober 2019.

5. Konsensus Manajemen Anemia pada Gagal Ginjal kronik. Perhimpunan


Nefrologi lndonesia, Jakarta 2011.

Anda mungkin juga menyukai