LAPORAN KASUS CKD Dengan Anemia - Docx New - Docx Newer
LAPORAN KASUS CKD Dengan Anemia - Docx New - Docx Newer
PEMBIMBING :
DISUSUN OLEH :
2020
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum wr. wb
Dengan memanjatkan puja dan puji syukur ke hadirat Allah SWT tuhan yang Maha
esa karena atas segala limpahan rahmat dan karunia- Nya kami dapat menyelesaikan
penulisan laporan kasus ini.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan dan arahan demi
terselesaikannya laporan kasus ini khususnya kepada dr. H. Kusdiantomo, Sp.PD
selaku pembimbing tugas Laporan Kasus ini.
Kami sangat menyadari dalam proses penulisan laporan kasus ini masih jauh dari
kesempurnaan baik materi maupun metode penulisan. Namun demikian, kami telah
mengupayakan segala kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki. Kami dengan rendah hati
dan dengan tangan terbuka menerima segala bentuk masukan, saran dan usulan guna
menyempurnakan tugas Laporan Kasus ini.
Kami berharap semoga tugas refreshing ini dapat bermanfaat bagi siapapun yang
membacanya.
Wassalamualaikum wr. wb
Penulis
BAB I
LAPORAN KASUS
Nama : Tn. P
Umur : 51 tahun
Agama : Islam
1.2. ANAMNESIS
- Sebelumnya pasien pernah mengalami keluhan serupa beberapa bulan yang lalu tetapi
keluhan nya tidak seberat saat ini.
- Pasien memiliki riwayat hipertensi
- Riwayat Diabetes Mellitus disangkal
- Riwayat penyakit jantung disangkal
Riwayat Pengobatan:
Pasien saat ini rutin menjalani cuci darah sebanyak 2x/minggu, cuci darah sudah di
lalukan selama kurang lebih 6 bulan. Pasien saat ini mengkonsumsi obat-obatan darah tinggi
Riwayat Psikososial
Sebelum mengalami gagal ginjal pasien adalah seorang perokok aktif dan bisa
menghabiskan 1 bungkus rokok perhari, tetapi setelah itu pasien berhenti merokok setelah di
diagnosis gagal ginjal. Selain itu, sebelum mengalami sakit seperti ini pasien rajin
berolahraga di tempat gym dan melakukan program diet salah satu nya dengan
mengkonsumsi susu herbal. Minuman itu dikonsumsi pasien cukup lama hampir 2 tahun.
1.3. PEMERIKSAAN FISIK
o GCS : E4V5M6
Status Gizi :
o BB : 71 kg
o TB : 168 cm
o IMT : 24,65 kg/m2
Tanda Vital:
o Pernapasan : 23 kali/menit
o Suhu : 37,7 oC
Status Generalis :
o Kepala : Normocephal
o Mata :
o Telinga :
- Bentuk : normal; lubang telinga : normal, sekret (-/-); nyeri tekan (-/-)
o Hidung :
- Simetris, deviasi septum (-); napas cuping hidung (-); perdarahan (-),
sekret (-).
- Penciuman normal.
o Mulut :
- Bibir : sianosis (-), gusi : hiperemia (-), perdarahan (-), atropi papil lidah
(-); gigi : karang gigi (+), caries (-); mukosa : Kering
o Leher :
- Pembesaran KGB (-), Trakea : tidak ada deviasi; JVP : tidak meningkat,
Pembesaran tiroid (-)
o Thorax :
Pulmo :
1. Inspeksi :
Bentuk simetris
2. Palpasi
Pergerakan dinding dada simetris, Deviasi trakea (-), Nyeri tekan (-)
3. Perkusi :
Sonor ( +/+)
4. Auskultasi :
Cor :
o Abdomen :
o Ekstremitas :
- Hangat (+); edema (-); deformitas (-); tremor (-); clubbing finger (-);
sianosis (-); petechie (-);
1.4. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hematokrit 14 % 40-50
ELEKTROLIT
1.6. PENATALAKSANAAN
1.7. PROGNOSIS
2.1.1 Definisi
Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah massa eritrosit (red
cell mass) sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam
jumlah yang cukup ke jaringan perifer (penurunan Oxygen carrying capacity).
Anemia Aplastik
Anemia mieloptisik
Anemia akibat keganasan hematologic
Anemia diseritropoietik
Anemia pada sindrom mielodisplastik
Anemia akibat kekurangan eritropoietin: anemia pada gagal ginjal kronik
- Kehilangan darah keluar tubuh (perdarahan)
Anemia pasca perdarahan akut
Anemia akibat perdarahan kronik
- Proses penghancuran eritrosit dalam tubuh sebelum waktunya (hemolisis)
a. Anemia hemolitik intrakorpuskular
Gangguan membrane eritrosit (membranopati)
Gangguan enzim eritrosit (enzimopati): Anemia defisiensi G6PD
Thalassemia
Hemoglobinopati structural: HbS, HbE, dll
Gejala umum (sindrom anemia) adalah gejala yang timbul pada setiap kasus anemia
apapun penyebabnya, apabila kadar haemoglobin turun di bawah nilai tertentu.
Gejala umum anemia timbul karena anoksia organ, mekanisme kompensasi tubuh
terhadap berkurangnya daya angkut oksigen. Sindrom anemia terdiri dari:
- Lemah, lesu, cepat lelah
- Telinga mendengin (tinnitus)
- Mata berkunang-kunang
- Kaki terasa dingin
- Sesak napas
- Dyspepsia
- Pada pemeriksaan fisik : pasien tampak pucat, yang mudah terlihat pada
konjungtiva, mukosa, mulut, telapak tangan dan jaringan dibawah kuku.
Gejala khas masing-masig anemia
- Anemia defisiensi besi : disfagia, atrofi papil lidah, stomatitis angularis, kuku
sendok (koilonychia)
- Anemia megaloblastik : glostitis, gangguan neurologic pada defisiensi vitamin B12
- Anemia hemolitik : Ikterus, splenomegaly dan hepatomegaly
2.2.1 Definisi
Gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan
fungsi ginjal yang irreversible, pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti
ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal.
Uremia adalah suatu sindrom klinik dan laboratorik yang terjadi pada semua
organ, akibat penurunan fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronik.
2.2.2 Kriteria Penyakit Ginjal Kronik
1. Kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa
kelainan structural atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi
glomerulus (LFG) dengan manifestasi:
- Kelainan patologis
- Terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi
darah atau urin atau kelainan dalam test pencitraan (imaging test)
2. Laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/menit/1,73 m 2 selama 3
bulan, dengan atau tanpa kerusakan ginjal
Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas 2 hal taitu atas dasar
derajat (stage) penyakit dan atas dasar diagnosis etiologic. Klasifikasi atas
dasar derajat penyakit, dibuat atas dasar LFG, yang dihitung dengan
menggunakan rumus Kockcroft-Gault sebagai berikut:
2.2.4 Patofisiologi
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit yang
mendasari, tetapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama.
Pada gagal ginjal kronik terjadi pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi
struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa. Hal ini mengakibatkan terjadinya
hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus.
Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa
sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi
nefron yang progresif. Perubahan fungsi neuron yang tersisa setelah kerusakan ginjal
menyebabkan pembentukan jaringan ikat, sedangkan nefron yang masih utuh akan
mengalami peningkatan beban eksresi sehingga terjadi lingkaran setan hiperfiltrasi dan
peningkatan aliran darah glomerulus. Demikian seterusnya, keadaan ini berlanjut menyerupai
suatu siklus yang berakhir dengan Gagal Ginjal Terminal (GGT) atau End Stage Renal
Disease (ESRD). Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron intrarenal,
hipertensi sistemik, nefrotoksin dan hipoperfusi ginjal, proteinuria, hiperlipidemia ikut
memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis, dan progresifitas tersebut
Dengan adanya penurunan LFG maka akan terjadi :
- Anemia
Gangguan pembentukan eritropoietin di ginjal menyebabkan penurunan
produksi eritropoietin sehingga tidak terjadi proses pembentukan eritrosit
menimbulkan anemia ditandai dengan penurunan jumlah eritrosit, penurunan
kadar Hb dan diikuti dengan penurunan kadar hematokrit darah. Selain itu
GGK dapat menyebabkan gangguan mukosa lambung (gastripati uremikum)
yang sering menyebabkan perdarahan saluran cerna. Adanya toksik uremik
pada GGK akan mempengaruhi masa paruh dari sel darah merah menjadi
pendek, pada keadaan normal 120 hari menjadi 70 – 80 hari dan toksik uremik
ini dapat mempunya efek inhibisi eritropoiesis.
- Sesak nafas
Akibat ekskresi natrium yang berlebihan, maka ginjal mensekresikan
hormon renin sehingga terjadi perubahan angiotensinogen menjadi angiotensin
I. Lalu oleh converting enzyme, angiotensin I diubah menjadi angiotensin II.
Angiotensin II merangsang pelepasan aldosteron dan ADH ssehingga
menyebabkan retensi NaCl dan air, volume ekstrasel meningkat (hipervolemia),
volume cairan berlebihan, ventrikel kiri gagal memompa darah ke perifer,
LVH, peningkatan tekanan atrium kiri, peningkatan tekanan vena pulmonalis,
peningkatan tekanan di kapiler paru, edema paru, sesak nafas.
- Asidosis
Pada gagal ginjal kronik, asidosis metabolik dapat terjadi akibat
penurunan kemampuan ginjal untuk mengeksresikan ion H+ disertai dengan
penurunan kadar bikarbonat (HCO3) dan pH plasma. Patogenesis asidosis
metabolik pada gagal ginjal kronik meliputi penurunan eksresi amonia karena
kehilangan sejumlah nefron, penurunan eksresi fosfat, kehilangan sejumlah
bikarbonat melalui urin. Derajat asidosis ditentukan oleh penurunan pH darah.
Apabila penurunan pH darah kurang dari 7,35 dapat dikatakan asidosis
metabolik. Asidosis metabolik dpaat menyebabkan gejala saluran cerna seperti
mual, muntah, anoreksia dan lelah. Salah satu gejala khas akibat asidosis
metabolik adalah pernapasan kussmaul yang timbul karena kebutuhan untuk
meningkatkan eksresi karbon dioksida untuk mengurangi keparahan asidosis.
- Hipertensi
Disebabkan karena ada kerusakan pada unit filtrasi ginjal sehingga
menyebabkan penurunan perfusi ginjal akhirnya menjadi iskemik ginjal. Hal
tersebut menyebabkan terjadinya pelepasan renin yang terdapat di aparatus
juxtaglomerulus sehingga mengubah angiotensinogen menjadi angiotensin I.
Lalu oleh converting enzyme, angiotensin I diubah menjadi angiotensin II.
Angiotensin II memiliki efek vasokonstriksi kuat sehingga meningkatkan
tekanan darah.
- Hiperlipidemia
Penurunan GFR menyebabkan penurunan pemecahan asam lemak bebas
oleh ginjal sehingga menyebabkan hiperlipidemia.
- Hiperurikemia
Terjadi gangguan eksresi ginjal sehingga asam urat terakumulasi di
dalam darah (hiperurikemia). Kadar asam urat yang tinggi akan menyebabkan
pengendapan kristal urat dalam sendi, sehingga sendi akan terlihat
membengkak, meradang dan nyeri.
- Hiponatremia
Peningkatan eksresi natrium dapat disebabkan oleh pengeluaran hormon
peptida natriuretik yang dapat menghambat reabsorpsi natrium pada tubulus
ginjal. Bila fungsi ginjal terus memburuk disertai dengan penurunan jumlah
nefron, natriuresis akan meningkat. Hiponatremia yang disertai dengan retensi
air yang berlebihan akan menyebabkan dilusi natrium di cairan ekstraseluler.
Keadaan hiponetremia ditandai dengan gangguan saluran pencernaan berupa
kram, diare dan muntah.
- Hiperfosfatemia
- Penurunan fungsi ginjal mengakibatkan penurunan eksresi fosfat sehingga
fosfat banyak yang berada dalam sirkulasi darah. Jika kelarutannya
terlampaui, fosfat akan bergabung dengan Ca2+ untuk membentuk kalsium
fosfat yang sukar larut. Kalsium fosfat yang terpresipitasi akan mengendap di
sendi dan kulit ( berturut-turut menyebabkan nyeri sendi dan pruritus)
Hipokalsemia
Disebabkan karena Ca2+ membentuk kompleks dengan fosfat. Keadaan
hipokalsemia merangsang pelepasan PTH dari kelenjar paratiroid sehingga
memobilisasi kalsium fosfat dari tulang. Akibatnya terjadi demineralisasi
tulang (osteomalasia). Biasanya PTH mampu membuat konsentrasi fosfat di
dalam plasma tetap rendah dengan menghambat reabsorbsinya diginjal. Jadi
meskipun terjadi mobilisasi kalsium fosfat dari tulang, produksinya di plasma
tidak berlebihan dan konsentrasi Ca2+ dapat meningkat. Namun pada
insufisiensi ginjal, eksresinya melalui ginjal tidak dapat ditingkatkan sehingga
konsentrasi fosfat di plasma meningkat. Selanjutnya konsentrasi CaHPO 4
terpresipitasi dan konsentrasi Ca2+ di plasma tetap rendah. Oleh karena itu,
rangsangan untuk pelepasan PTH tetap berlangsung. Dalam keadaan
perangsangan yang terus-menerus ini, kelenjar paratiroid mengalami hipertrofi
bahkan semakin melepaskan lebih banyak PTH. Kelainan yang berkaitan
dengan hipokalsemia adalah hiperfosfatemia, osteodistrofi renal dan
hiperparatiroidisme sekunder. Karena reseptor PTH selain terdapat di ginjal
dan tulang, juga terdapat di banyak organ lain ( sistem saraf, lambung, sel
darah dan gonad), diduga PTH berperan dalam terjadinya berbagai kelainan di
organ tersebut.
Pembentukan kalsitriol berkurang pada gahal ginjal juga berperan
dalam menyebabkan gangguan metabolisme mineral. Biasanya hormon ini
merangsang absorpsi kalsium dan fosfat di usus. Namun karena terjadi
penurunan kalsitriol, maka menyebabkan menurunnya absorpsi fosfat di usus,
hal ini memperberat keadaan hipokalsemia.
- Hiperkalemia
Pada keadaan asidosis metabolik dimana konsentrasi ion H + plasma
meningkat, maka ion hidrogen tersebut akan berdifusi ke dalam sel –sel ginjal
sehingga mengakibatkan kebocoran ion K+ ke dalam plasma. Peningkatan
konsentrasi ion H+ dalam sel ginjal akan menyebabkan peningkatan sekresi
hidrogen, sedangkan sekresi kalium di ginjal akan berkurang sehingga
menyebabkan hiperkalemia. Gambaran klinis dari kelainan kalium ini
berkaitan dengan sistem saraf dan otot jantung, rangka dan polos sehingga
dapat menyebabkan kelemahan otot dan hilangnya refleks tendon dalam,
gangguan motilitas saluran cerna dan kelainan mental.
- Proteinuria
Proteinuria merupakan penanda untuk mengetahui penyebab dari
kerusakan ginjal pada GGK seperti DM, glomerulonefritis dan hipertensi.
Proteinuria glomerular berkaitan dengan sejumlah penyakit ginjal yang
melibatkan glomerulus. Beberapa mekanisme menyebabkan kenaikan
permeabilitas glomerulus dan memicu terjadinya glomerulosklerosis.
Sehingga molekul protein berukuran besar seperti albumin dan
immunoglobulin akan bebas melewati membran filtrasi. Pada keadaan
proteinuria berat akan terjadi pengeluaran 3,5 g protein atau lebih yang disebu
dengan sindrom nefrotik.
- Uremia
Kadar urea yang tinggi dalam darah disebut uremia. Penyebab dari
uremia pada GGK adalah akibat gangguan fungsi filtrasi pada ginjal sehingga
dapat terjadi akumulasi ureum dalam darah. Urea dalam urin dapat berdifusi
ke aliran darah dan menyebabkan toksisitas yang mempengaruhi glomerulus
dan mikrovaskularisasi ginjal atau tubulus ginjal. Bila filtrasi glomerulus
kurang dari 10% dari normal, maka gejala klinis uremia mulai terlihat. Pasien
akan menunjukkan gejala iritasi traktus gastrointestinal, gangguan neurologis,
nafas seperti amonia (fetor uremikum), perikarditis uremia dan pneumonitis
uremik. Gangguan pada serebral adapat terjadi pada keadaan ureum yang
sangat tinggi dan menyebabkan koma uremikum
2.2.5 Etiologi
- Glomerulonefritis
- Diabetes Mellitus
- Obstruksi dan infeksi
- Hipertensi
2.2.7 Penatalaksanaan
o U
Untuk mengurangi hipertensi intraglomerulus. Pemakaian obat
antihipertensi (ACE inhibitor) disamping bermanfaat untuk
memperkecil resiko kardiovaskular juga sangat penting untuk
memperlambat perburukan kerusakan nefron dengan mengurangi
hipertensi intraglomerular dan hipertrofi glomerulus.
- Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular
Dengan cara pengendalian DM, pengendalian hipertensi, pengedalian
dislipidemia, pengedalian anemia, pengedalian hiperfosfatemia dan terapi terhadap
kelebihan cairan dan gangguan keseimbangan elektrolit.
- Pencegahan dan terapi terhadap penyakit komplikasi
Anemia
Evaluasi terhadap anemia dimulai saaat kadar hemoglobin < 10 g% atau
hematokrit < 30% meliputi evaluasi terhadap status besi ( kadar besi serum/serum iron,
kapasitas ikat besi total/ total iron binding capacity, feritin serum), mencari sumber
perdarahan morfologi eritrosit, kemungkinan adanya hemolisis,dll. Pemberian
eritropoitin (EPO) merupakan hal yang dianjurkan. Sasaran hemoglobin adalah 11 – 12
g/dl.
Osteodistrofi renal
Penatalaksaan osteodistrofi renal dapat dilakukan melalui :
1. Mengatasi hiperfosfatemia
o Pembatasan asupan fosfat 600 – 800 mg/hari
o Pemberian pengikat fosfat, seperti garam, kalsium, alluminium hidroksida,
garam magnesium. Diberikan secara oral untuk menghambat absorpsi fosfat
yang berasal dari makanan. Garam kalsium yang banyak dipakai adalah
kalsium karbonat (CaCO3) dan calcium asetat.
o Pemberian bahan kalsium memetik, yang dapat menghambta reseptor Ca
pada kelenjar paratiroid, dengan nama sevelamer hidrokhlorida.
2. Pemberian kalsitriol
Pemakaian dibatasi pada pasien dengan kadar fosfat darah normal dan
kadar hormon paratiroid (PTH) > 2,5 kali normal karena dapat meningkatkan
absorpsi fosfat dan kaliun di saluran cerna sehingga mengakibatkan penumpukan
garam calcium carbonate di jaringan yang disebut kalsifikasi metastatik,
disamping itu juga dapat mengakibatkan penekanan yang berlebihan terhadap
kelenjar paratiroid.
3. Pembatasan cairan dan elektrolit
Pembatasan asupan cairan untuk mencegah terjadinya edema dan kompikasi
kardiovaskular sangat perlu dilakukan. Maka air yang masuk dianjurkan 500 –
800 ml ditambah jumlah urin. Elektrolit yang harus diawasi asuapannya adalah
kalium dan natrium. Pembatasan kalium dilakukan karena hiperkalemia dapat
mengakibatkan aritmia jantung yang fatal. Oleh karena itu, pemberian obat –
obat yang mengandung kalium dan makanan yang tinggi kalium (seperti buah
dan sayuran) harus dibatasi. Kadar kalium darah dianjurkan 3,5 – 5,5 mEq/lt.
Pembatasan natrium dimaksudkan untuk mengendalikan hipertensi dan edema.
Jumlah garam natrium yang diberikan, disesuaikan dengan tingginya tekanan
darah dan derajat edema yang terjadi.
4. Terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal
Dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu pada LFG < 15
ml/mnt. Berupa hemodialisis, peritoneal dialisis atau transplantasi ginjal.
Disebut anemia jika kadar haemoglobin (Hb) <14 g/gl (laki-laki) atau <12 g/dl
(perempuan)
Anemia renal adalah anemia pada Penyakit Ginjal Kronik yang terutama disebabkan
penurunan kapasitas produksi eritropoietin. Beberapa faktor lain yang berkontribusi
untuk terjadinya anemia renal termasuk defisiensi besi, umur eritrosit yang
memendek, hiperparatiroid sekunder dan infeksi inflamasi.
Sebelum terapi ESA harus dilakukan pemeriksaan status besi terlebih dahulu
agar respon eritropoeisis optimal, maka status besi harus cukup. Status besi yang
diperiksan meliputi SI, TIBC, ST dan FS.
ST = SI x 100%
TIBC
Indikasi terapi:
1. Sudoyo, Aru W, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II. Jakarta :
FKUI, 2009
2. Adamson WJ, dkk. Harrison’s Principles of Internal Medicine, edisi 16.
NewYork : McGraw Hill, 2005