Anda di halaman 1dari 30

Management Difficult Airway

PEMBIMBING :
dr. Retno Trisiswanti, Sp.An
Oleh :
Aqmarina Ajrina
2015730013
Elida Hasiatin
2015730036
KEPANITRAAN KLINIK
Fakultas Kedokteran dan Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Jakarta
2019
Penatalaksaan jalan napas adalah usaha
membebaskan jalan napas untuk menjamin
PENDAHULUAN pertukaran udara secara normal baik dengan
manual maupun menggunakan alat.

Usaha untuk menjaga jalan napas adalah


dengan melakukan tindakan manual yaitu
triple maneuver airway atau dengan
menggunakan alat seperti pemasangan OPA
atau NPA, sungkup muka, sungkup laring
atau tindakan pemasangan intubasi
endotrakheal.
• Saluran Napas Bagian Atas
Anatomi Jalan Napas • Saluran Napas Bagian Bawah
• Difficult airway atau kesulitan jalan nafas
didefinisikan sebagai situasi klinis di mana
Definisi Difficult Airway anestesi konvensional terlatih mengalami
kesulitan dengan ventilasi masker di saluran
napas bagian atas, kesulitan intubasi trakea,
atau keduanya.
Menurut ASA jenis kesulitan jalan napas dibagi
menjadi 5.
KLASIFIKASI 1.Kesulitan ventilasi dengan sungkup atau supraglottic
airway (SGA)
DIFFICULT 2.Kesulitan penempatan SGA
AIRWAYS 3.Kesulitan dilakukan laringoskopi
4.Kesulitan intubasi trakea
5.Kegagalan intubasi
• Anemnesis riwayat terutama yang berhubungan dengan
jalan napas atau gejala-gejala yang berhubungan dengan
saluran pernapasan atas.

• Tanda dan gejala yang berhubungan dengan jalan napas


harus dijelaskan misalnya snoring atau mengorok
DIAGNOSIS (misalnya pada sleep apnea yang obstruktif), gigi terkikis,
(Anamnesis) perubahan suara, disfagi, stridor, nyeri servikal atau
pergerakan leher yang terbatas, neuropathi ekstremitas
atas, nyeri atau disfungsi sendi temporo-mandibular dan
nyeri tenggorokan atau rahang yang berlangsung lama
setelah pembiusan.
Metode “LEMON”
- L = Look externally
Melihat adanya hal-hal yang menyebabkan pasien membutuhkan
tindakan ventilasi atau intubasi dan evaluasi kesulitan secara fisik,
misalkan leher pendek, trauma facial, gigi yang besar, kumis atau
jenggot, atau lidah yang besar
DIAGNOSIS - E = Evaluate 3 – 3 – 2 rule

(Pemeriksaan Fisik) 3 – 3 – 2 rule adalah penentuan jarak anatomis menggunakan jari


sebagai alat ukur untuk mengetahui seberapa besar bukaan mulut.
- M = Mallampati score
Mallampati score digunakan sebagai alat klasifikasi untuk menilai
visualisasi hipofaring, caranya pasien berbaring dalam posisi
supine, membuka mulut sambil menjulurkan
DIAGNOSIS
(Pemeriksaan Fisik)
Klasifikasi Klinis

 Kelas I Tampak uvula, pilar fausial dan palatum mole


 Kelas II Pilar fausial dan palatum mole terlihat
 Kelas III Palatum durum dan palatum mole masih terlihat
 Kelas IV Palatum durum sulit terlihat
- O = Obstruction/Obesity
Menilai adanya keadaan yang dapat menyebabkan obstruksi
misalkan abses peritonsil, trauma.
Obesitas dapat menyebabkan sulitnya intubasi karena
memperberat ketika melakukan laringoskop dan mengurangi
visualisasi laring.
DIAGNOSIS - N = Neck deformity
(Pemeriksaan Fisik) Menilai apakah ada deformitas leher yang dapat menyebabkan
berkurangnya range of movement dari leher sehingga intubasi
menjadi sulit. Leher yang baik dapat fleksi dan ekstensi dengan
bebas ketika laringoskopi atau intubasi, Ektensi leher "normal"
adalah 35° (The atlanto-oksipital/ A-O joint).
(METODE 4MS)
1. Mallampati
Klasifikasi Mallampati/Samsoon-Young berdasarkan
penampakan dari orofaring.
Klasifikasi Samsoon Young Klinis

Kelas I Visualisasi seluruh bukaan laring

DIAGNOSIS Kelas II Visualisasi hanya komisura posterior


dari bukaan laring
(Pemeriksaan Fisik)
Kelas III Visualisasi hanya epiglotis
Kelas IV Visualisasi hanya soft palate
(METODE 4MS)
2. Measurements 3-3-2-1 or 1-2-3-3 Fingers
3 – Jari. Bukaan mulut.
3 – Jari. Jarak hypomental = dari manthus sampai leher
DIAGNOSIS 2 – Jari antara thypiod sampai dasar dari mandibula

(Pemeriksaan Fisik) 1 - Jari. Subluksasi mandibula


3. Movement of the neck
Ektensi leher "normal" adalah 35° (The atlanto-oksipital/ A-O joint).
Keterbatasan ektensi sendi terdapat pada spondylosis, rheumatoid
arthritis, halo-jaket fiksasi, pasien dengan gejala yang menunjukkan
kompresi saraf dengan ekstensi servikal.
(METODE 4MS)
4. Malformation of the Skull (S), Teeth (T), Obstruction (O),
Pathology (P) STOP
S = Skull (Hidrocephalus dan mikrocephalus)
T = Teeth (Buck, protruded, & gigi ompong, makro dan mikro

DIAGNOSIS mandibula)

(Pemeriksaan Fisik) O = Obstruction (obesitas, leher pendek dan bengkak disekitar


kepala and leher)
P =Pathologi (kraniofacial abnormal & Syndromes: Treacher
Collins, Goldenhar’s, Pierre Robin, Waardenburg syndromes)
Radiografi , CT-scan , fluoroskopi dapat
mengidentifikasi berbagai keadaan yang didapat atau
Pemeriksaan bawaan pada pasien dengan kesulitan jalan napas.
Penunjang
• Memperoleh riwayat kesulitan jalan napas
PENANGANAN JALAN
• Pemeriksaan fisik
NAPAS SULIT
EVALUASI JALAN NAPAS • Evaluasi tambahan
PENANGANAN JALAN NAPAS SULIT
PERSIAPAN STANDAR PADA MANAGEMEN KESULITAN JALAN NAPAS

1) Tersedianya peralatan untuk pengelolaan kesulitan jalan napas


• Laryngoscope dengan beberapa alternatif desain dan ukuran yang sesuai
• Endotrakea tube berbagai macam ukuran.
• Pemandu endotrakeal tube. Contohnya stylets semirigid dengan atau tanpa lubang tengah
untuk jet ventilasi, senter panjang, dan mangil tang dirancang khusus untuk dapat
memanipulasi bagian distal endotrakeal tube.
• Peralatan Intubasi fiberoptik.
• Peralatan Intubasi retrograd.
• Perangkat ventilasi jalan nafas darurat nonsurgical. Contohnya sebuah jet transtracheal
ventilator, sebuah jet ventilasi dengan stylet ventilasi, LMA, dan combitube.
• Peralatan yang sesuai untuk akses pembedahan napas darurat (misalnya, cricothyrotomy).
• Sebuah detektor CO2 nafas (kapnograf).
PENANGANAN JALAN NAPAS SULIT
PERSIAPAN STANDAR PADA MANAGEMEN KESULITAN JALAN NAPAS

2) Menginformasikan kepada pasien atau keluarga tentang adanya atau dugaan kesulitan
jalan nafas, prosedur yang berkaitan dengan pengelolaan kesulitan jalan nafas, dan risiko
khusus yang kemungkinan dapat terjadi

3) Memastikan bahwa setidaknya ada satu orang tambahan sebagai asisten dalam
manajemen kesulitan jalan nafas,

4) Melakukan preoksigenasi preanestesi dengan sungkup wajah sebelum memulai


manajemen kesulitan jalan nafas, kurang lebih selama 3 menit untuk mencapai hasil
saturasi oksigen yang baik

5) Secara aktif memberikan oksigen tambahan di seluruh proses manajemen kesulitan jalan
nafas. Dapat menggunakan nasal cannule, facemask, LMA.
PENANGANAN JALAN NAPAS SULIT
STRATEGI INTUBASI PADA KESULITAN JALAN NAPAS

1) Intubasi sadar.
Intubasi endotraea dalam keadaan pasien sadar dengan anestesi topikal, pilhan teknik untuk
mencegah bahaya aspirasi pada kasus trauma berat pada muka, leher, perdaraha, usus, serta
kesulitan jalan napas.
2) Laringoskopi dengan bantuan video.
Meningkatkan visualisasi laring, frekuensi kesuksesan lebih tinggi dibanding intubasi dengan
laringoskop, dan frekuensi yang lebih tinggi dari intubasi upaya pertama; tidak ada perbedaan dalam
waktu untuk intubasi, trauma jalan nafas, bibir / trauma karet, trauma gigi, atau sakit tenggorokan.
3) Intubasi stylets atau tube-changer.
4) SGA untuk ventilasi (LMA, laringeal tube)
Penggunaan LMA meningkat untuk menggantikan pemakaian face mask dan TT selama pemberian
anestesi, untuk memfasilitasi ventilasi dan pemasangan TT pada pasien dengan jalan nafas yang
sulit, dan untuk membantu ventilasi selama bronchoscopy fiberoptic, juga pemasangan
bronkhoskop.
PENANGANAN JALAN NAPAS SULIT
STRATEGI INTUBASI PADA KESULITAN JALAN NAPAS

5) SGA untuk intubasi (ILMA),


6) Laryngoscopic berbagai desain dan ukuran,
Laringoskop adalah instrumen untuk pemeriksaan laring dan untuk fasilitas intubasi trakea. Handle
biasanya berisi baterai untuk cahaya bola lampu pada ujung blade, atau untuk energi fiberoptic
bundle yang berakhir pada ujung blade. Cahaya dari bundle fiberoptik tertuju langsung dan tidak
tersebar.
7) Intubasi dengan bantuan fiberoptik
Pada beberapa situasi, misalnya pasien dengan tulang servikal yang tidak stabil pergerakan yang
terbatas pada sendi temporo mandibular, atau dengan kelainan kongenital atau kelainan didapat
pada jalan nafas atas
8) Stylets menyala atau Ligth Wand.
Akibat yang dapat terjadi dari kesulitan jalan napas, adalah:
kematian,

PENANGANAN kerusakan otak,

JALAN NAPAS SULIT cardiac arrest,


AKIBAT DARI KESULITAN trauma jalan napas,
JALAN NAPAS
kerusakan gigi.
PENANGANAN JALAN NAPAS SULIT
ALGORITMA KESULITAN JALAN NAPAS

1. Menilai kemungkinan dan dampak klinis dari masalah pada penanganan dasar:
• Kesulitan dengan kerjasama atau persetujuan pasien
• Kesulitan ventilasi sungkup
• Kesulitan penempatan Supraglottic Airway
• Kesulitan laringoskopi
• Kesulitan intubasi
• Kesulitan akses bedah jalan napas

2. Aktif memberikan oksigen tambahan selama proses manajemen kesulitan jalan napas
PENANGANAN JALAN NAPAS SULIT
ALGORITMA KESULITAN JALAN NAPAS

3. Mempertimbangkan manfaat relatif dan kelayakan dari penanganan dasar :


• Awake intubation vs intubasi setelah induksi anestesi umum
• Teknik non-invasif vs teknik invasif untuk pendekatan awal untuk intubasi
• Video laringoskopi sebagai pendekatan awal untuk intubasi
• Menjaga Ventilasi spontan vs pelepasan ventilasi spontan

4. Mengembangkan strategi primer dan strategi alternative


Kotak A dipilih bila kesulitan jalan nafas diantisipasi, sedangkan kotak B untuk situasi
dimana kesulitan jalan nafas tidak diantisipasi. A tidak pada retardasi mental, intoksikasi,
kecemasan, penurunan derajat kesadaran, atau usia. Pasien ini mungkin masih memasuki
kotak A, tetapi intubasi “awake” mungkin membutuhkan modifikasi teknik yang
mempertahankan ventilasi spontan (cth, induksi inhalasi)
ALGORITMA KESULITAN JALAN NAPAS
Unanticipated difficult tracheal intubation-
during routine induction of anaesthesia in an adult patient

Direct Any Call


laryngoscopy problems for help

Plan A: Initial tracheal intubation plan

Direct laryngoscopy - check:


Neck flexion and head extension
Laryngoscope technique and vector Not more
External laryngeal manipulation - than 4 attempts,
succeed
maintaining: Tracheal intubation
by laryngoscopist (1) oxygenation
Vocal cords open and immobile with face mask and
If poor view: Introducer (bougie) - (2) anaesthesia
seek clicks or hold-up Verify tracheal intubation
and/or Alternative laryngoscope (1) Visual, if possible
(2) Capnograph
failed intubation (3) Oesophageal detector
"If in doubt, take it out"
Plan B: Secondary tracheal intubation plan

Confirm: ventilation, oxygenation,


ILMATM or LMATM anaesthesia, CVS stability and muscle
Not more than 2 insertions succeed relaxation - then fibreoptic tracheal intubation
Oxygenate and ventilate through IMLA TM or LMATM - 1 attempt
If LMATM, consider long flexometallic,nasal
failed oxygenation RAE or microlaryngeal tube
(e.g. SpO 2 < 90% with FiO 2 1.0) Verify intubation and proceed with surgery
via ILMATM or LMATM
failed intubation via ILMA TM or LMATM
Plan C: Maintenance of oxygenation, ventilation,
postponement of surgery and awakening

Revert to face mask


Oxygenate and ventilate
Reverse non-depolarising relaxant succeed Postpone surgery
1 or 2 person mask technique Awaken patient
(with oral ± nasal airway)

failed ventilation and oxygenation

Plan D: Rescue techniques for


"can't intubate, can't ventilate" situation

Difficult Airway Society Guidelines Flow-chart 2004 (use wit h DAS guidelines paper)
Unanticipated difficult tracheal intubation - during rapid s equence
induction of anaestheia in non-obstetric adult patient
Direct Any Call
laryngoscopy problems for help

Plan A: Initial tracheal intubation plan

Pre-oxygenate succeed
Cricoid force: 10N awake 30N anaesthetised Tracheal intubation
Direct laryngoscopy - check:
Neck flexion and head extension Not more than 3
Laryngoscopy technique and vector attempts, maintaining: Verify tracheal intubation
(1) oxygenation with (1) Visual, if possible
External laryngeal manipulation -
face mask
by laryngoscopist (2) cricoid pressure and
(2) Capnograph
Vocal cords open and immobile (3) anaesthesia (3) Oesophageal detector
If poor view: "If in doubt, take it out"
Reduce cricoid force
Introducer (bougie) - seek clicks or hold-up
and/or Alternative laryngoscope

failed intubation

Plan C: Maintenance of Maintain


oxygenation, ventilation, 30N cricoid
postponement of force Plan B not appropriate for this scenario
surgery and awakening

Use face mask, oxygenate and ventilate


1 or 2 person mask technique
(with oral ± nasal airway)
Consider reducing cricoid force if
ventilation difficult succeed
failed oxygenation
(e.g. SpO2 < 90% with FiO 2 1.0) via face mask

Postpone surgery
LMATM succeed and awaken patient if possible
Reduce cricoid force during insertion or continue anaesthesia with
Oxygenate and ventilate LMATM or ProSeal LMATM -
if condition immediately
failed ventilation and oxygenation life-threatening

Plan D: Rescue techniques for


"can't intubate, can't ventilate" situation

Difficult Airway Society Guidelines Flow-chart 2004 (use wit h DAS guidelines paper)
Failed intubation, increasing hypoxaemia and difficult venti lation in the paralysed
anaesthetised patient: Rescue techniques for the "can't intu bate, can't ventilate" situation
failed intubation and difficult ventilation (other than laryngospasm)

Face mask
Oxygenate and Ventilate patient
Maximum head extension
Maximum jaw thrust
Assistance with mask seal
Oral ± 6mm nasal airway
Reduce cricoid force - if necessary

failed oxygenation with face mask (e.g. SpO 2 < 90% with FiO 2 1.0)
call for help

Oxygenation satisfactory
LMATM Oxygenate and ventilate patient
succeed and stable: Maintain
Maximum 2 attempts at insertion
oxygenation and
Reduce any cricoid force during insertion
awaken patient

"can't intubate, can't ventilate" situation with increasing hypoxaemia


Plan D: Rescue techniques for
"can't intubate, can't ventilate" situation

or

Cannula cricothyroidotomy Surgical cricothyroidotomy


Equipment: Kink-resistant cannula, e.g. Equipment: Scalpel - short and rounded
Patil (Cook) or Ravussin (VBM) (no. 20 or Minitrach scalpel)
High-pressure ventilation system, e.g. Manujet III (VBM) Small (e.g. 6 or 7 mm) cuffed tracheal
Technique: or tracheostomy tube
1. Insert cannula through cricothyroid membrane fail
4-step Technique:
2. Maintain position of cannula - assistant's hand 1. Identify cricothyroid membrane
3. Confirm tracheal position by air aspiration - 2. Stab incision through skin and membrane
20ml syringe Enlarge incision with blunt dissection
4. Attach ventilation system to cannula
(e.g. scalpel handle, forceps or dilator)
5. Commence cautious ventilation
3. Caudal traction on cricoid cartilage with
6. Confirm ventilation of lungs, and exhalation
through upper airway
tracheal hook
7. If ventilation fails, or surgical emphysema or any 4. Insert tube and inflate cuff
other complication develops - convert immediately Ventilate with low-pressure source
to surgical cricothyroidotomy Verify tube position and pulmonary ventilation

Notes:
1. These techniques can have serious complications - use onl y in life-threatening situations
2. Convert to definitive airway as soon as possible
3. Postoperative management - see other difficult airway guidelines and flow-charts
4. 4mm cannula with low-pressure ventilation may be successf ul in patient breathing spontaneously

Difficult Airway Society guidelines Flow-chart 2004 (use wit h DAS guidelines paper)
EKSTUBASI

• Ekstubasi terbaik dilakukan ketika pasien sedang teranestesi dalam atau bangun. Pasien juga
harus pulih sepenuhnya dari pengaruh obat pelemas otot pada saat sebelum ekstubasi. Jika
pelemas otot digunakan, pernapasan pasien akan menggunakan ventilasi mekanik terkontrol,
maka dari itu pasien harus dilepaskan dari ventilator sebelum ekstubasi.

• Ekstubasi selama anestesi ringan (masa antara anestesi dalam dan bangun) harus dihindari
karena meningkatnya risiko laringospasme. Perbedaan antara anestesi dalam dan ringan
biasanya terlihat saat suction/ penyedotan sekret faring : adanya reaksi pada penyedotan
(tahan napas, batuk) menandakan anestesia ringan, dimana jika tidak ada reaksi menandakan
anestesia dalam. Pasien membuka mata atau bergerak yang bertujuan menandakan pasien
sudah bangun.

Anda mungkin juga menyukai