Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN KASUS

Disusun oleh:
Aqmarina Ajrina (2015730013)

Pembimbing :
dr. H. Toton Suryotono, Sp.PD

KEPANITERAAN KLINIK STASE INTERNA


RSUD SAYANG CIANJUR
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2019
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah kepada kita, terutama kepada penulis sehingga laporan kasus ini dapat
terselesaikan. Laporan kasus ini merupakan tugas kepaniteraan dibagian Ilmu
Penyakit Dalam untuk proses belajar di RSUD Sayang Cianjur.
Dalam penyusunan laporan ini penulis menyadari bahwa masih banyak
kekurangan dan juga banyak menemui berbagai macam hambatan dan kesulitan
karena masih terbatasnya ilmu pengetahuan yang penulis miliki, namun berkat
adanya bimbingan, bantuan serta pengarahan dari berbagai pihak maka, penulis
dapat menyelesaikan laporan ini tepat pada waktunya. Oleh karena itu dengan
terselesaikannya penyusunan laporan kasus ini penulis mengucapkan terimakasih
dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada berbagai pihak yang telah
membantu dalam menyelesaikan laporan kasus ini terutama kepada yang
terhormat dr. Toton Suryotono. Sp.PD, selaku tutor pembimbing yang telah
memberikan bimbingan, bantuan, serta pengarahan.
Semakin penulis mempelajari kasus dan literatur mengenai masalah ini,
semakin penulis sadar bahwa banyak sekali yang belum penulis ketahui. oleh
karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik dari semua pihak guna
menyempurnakan laporan ini.

Cianjur, Maret 2020

Penulis

BAB I
LAPORAN KASUS

1
I.1 IDENTITAS
Nama : Tn. D
Umur : 42 Tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Kp. Cikondang, Cibeber, Cianjur
Agama : Islam
Pekerjaan : Pedagang
Masuk RS : 07 Maret 2020

I.2 ANAMNESA (Autoanamnesis dan Aloanamnesis dengan istri pasien


tgl 7 Maret 2020 )

KELUHAN UTAMA : Nyeri ulu hati sejak ± 3 hari yang lalu.


KELUHAN TAMBAHAN : Mual, muntah, BAB pucat, dan gatal
RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG :
Tn. D berusia 42 th bekerja sebagai pedagang es cincau di Jakarta.
Pasien tinggal di Jakarta selama 2 tahun. Pasien tinggal di Jakarta sendiri
tidak bersama istri dan anaknya. Pasien mengatakan hanya memiliki 1
orang istri dan 2 orang anak yang tinggal di Cianjur. Pasien tinggal
ngontrak di daerah Jakarta Pusat. Kegiatan sehari hari pasien hanya
berjualan es cincau saja dari pagi sampai sore pukul 18.00. Kebiasaan
pasien pada malam hari adalah berbincang bersama teman temannya.
Pasien mengaku suka meminum alcohol namun tidak sering. Pasien
mengaku meminum setiap 1 minggu sekali. Pada 2 tahun yang lalu, pasien
masih sehat dan tidak ada keluhan yang dirasakan.
Namun, 1 tahun yang lalu pasien mulai sering merasakan tidak
nyaman dibagian perutnya. Pasien mengatakan sering merasa nyeri di
bagian ulu hati, terkadang rasa nyeri tersebut disertai dengan mual.
Namun, hal ini tidak terlalu mengganggu pasien sehingga pasien masih
dapat berjualan. Pasien mengatakan pasien sempat berobat di Jakarta
dengan keluhan tersebut. kemudian pasien diberikan obat buat lambung.

2
setelah minum obat tersebut pasien merasa keluhannya berkurang dan
membaik.
5 bulan yang lalu pasien mengaku keluhan tersebut masih
dirasakan dan hilang timbul. Pasien masih sering rutin berobat jika
keluhannya mulai di rasakan kembali. Pada 5 bulan yang lalu pasien
mengatakan sudah berhenti meminum alcohol karena keluhannya yang
semakin sering. Pasien mengatakan keluhan dirasakan karena pasien telat
makan dan mengatakan keluhannya tersebut hanya keluhan lambung saja.
1 bulan yang lalu pasien mulai terganggu aktivitasnya. pasien
mulai jarang berdagang terkadang pasien libur berdagang. Keluhan nyeri
ulu hati tersebut mulai dirasakan seperti panas dan menjalar ke punggung
belakang. Keluhan tersebut di sertai mual. Namun, keluhan tersebut masih
dirasakan hilang timbul. Sehingga, selama sebulan pasien masih dapat
berjualan walaupun terkadang pasien libur berjualan saat perutnya tidak
nyaman.
2 minggu sebelum masuk rumah sakit pasien pulang ke Cianjur
untuk berobat ke Cianjur. Selama 2 minggu pasien tidak berjualan lagi.
Pasien merasakan nyeri ulu hati terasa panas dan menjalar hamper
diseluruh bagian perut. Keluhan disertai mual dan muntah sekali. Pasien
merasa nafsu makannya menurun dan pasien merasa berat badannya
menurun. Hal tersebut membuat pasien datang berobat ke klinik dan saat
diklinik diberikan obat. pasien mengatakan bahwa selama minum obat
tersebut keluhan yang dirasakan tidak berkurang.
1 minggu sebelum masuk rumah sakit istri pasien mengatakan
nyeri ulu hati pasien semakin sering dan tidak hilang diberikan obat.
Keluhan tersebut disertai mual dan muntah. Nafsu makan semakin
menurun. Pasien juga mengatakan badannya gatal, namun hilang timbul.
Pasien mengatakan BAB nya berwarna pucet dan BAK berwarna kuning
3 hari sebelum masuk rumah sakit keluhan semakin memberat.
Pasien mengatakan keluhan nyeri perut dibagian ulu hati yang menjalar
hampir keseluruh bagian perut. nyeri perut dirasakan pasien menjalar
sampai punggung. Keluhan tersebut terasa panas dan terdapat gatal gatal di

3
badan. Pasien merasa mual sampai muntah kurang lebih 5 kali. Pasien
mengatakan badan terasa lemas. Istri pasien mengatakan mata pasien
kuning, Namun istri pasien dan pasien tidak mengatahui dan tidak
menyadari kapan mata pasien mulai berwarna kuning. BAB pasien hamper
setiap hari sekali dengan tinja berwarna pucat. pasien mengatakan BAK
pasien berwarna kuning sedikit bening. Pasien tidak terdapat demam
sebelumnya. Pasien juga mengatakan tidak ada sesak, tidak ada nyeri dada,
dan tidak ada batuk.

RIWAYAT PENYAKIT DAHULU


Pasien mengatakan hanya memiliki riwayat sakit lambung.
Riwayat kencing manis, dan jantung disangkal. Pasien mengatakan pernah
meminum obat darah tinggi namun sudah lama obat tersebut tidak
diminum karena habis.

RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA


Dikeluarga tidak ada yang mengalami gejala serupa dengan pasien.

RIWAYAT PSIKOSOSIAL
Dulu sempat suka minum-minum an alcohol dan mulai berhenti sejak mulai
timbul gejala.

RIWAYAT PENGOBATAN :
Pasien hanya mengkonsumsi obat-obatan yang diberikan oleh dokter.

I.3 PEMERIKSAAN FISIK


Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Composmentis

TD : 150/100 mmHg
Nadi : 72x/ menit
RR : 18x/menit

4
Suhu : 36,8º C

Status Generalis
Kepala : Normocephal
Mata : Pupil Isokor, Reflek cahaya (+/+), Konjungtiva anemis (-/-),
Sklera ikterik (+/+)
Hidung : Normonasi, napas cuping hidung (-), sekret (-), darah (-)
Telinga : Normotia, sekret (-)
Mulut : Sianosis (-), mukosa bibir tidak kering, tidak terdapat sariwan
pada lidah, langit-langit mulut dan bibir, faring hiperemis (-)
Leher : Pembesaran KGB (-), pembesaran tiroid (-/-), JVP tidak
meningkat.

Thorax : Normochest
Pulmo
Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris, retraksi sela iga (-)
Palpasi : Vocal fremitus sama pada kedua lapang paru
Perkusi : sonor +/+
Auskultasi :Vesikuler (+/+), wheezing (-/-), rhonki (-/-), rales (-/-)

Cor:
Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : ictus cordis tidak teraba
Perkusi : Redup
Auskultasi : BJ I dan II reguler. gallop (-), murmur (-)

Abdomen:
Inspeksi : Datar, Ascites (-), distensi (-), massa (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal 5-7x/menit
Palpasi : Soepel, nyeri tekan epigastrium (+), hepatomegali 1-2 cm
dibawah arcus costae.
Perkusi : Timpani pada seluruh lapang abdomen

5
Ekstremitas Atas Bawah
Sianosis : -/- -/-
Akral : hangat hangat
Edema : -/- -/-

I.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG


Tanggal Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan
07/03/2020 Hematologi Lengkap
Hb 15,4 13,5-17,5 g/dl
Hematokrit 41,0 42-52 %
Eritrosit 4,71 4.7-6.1 106/uL
Leukosit 10,9 4.8-10.8 /uL
Trombosit 253 150-450 /uL
MCV 87,1 80-94 fL
MCH 32,7 27-31 pg
MCHC 37,5 33-37 fL
RDW-SD 46,3 37-54 fL
PDW 16 9-14 fL
MPV 7,4 8-12 fL
Differential
LYM % 11,8 26-36 %
MON % 6.2 4-8 %
NEU % 80,7 40-70 %
EOS % 0,9 1-3 %
BAS % 0,4 <1 %
Absolut
LYM % 1,28 1.00-1.43 103/uL
MON % 0.67 0,16-1.0 103/uL
NEU % 8,78 1.8-7.6 103/uL
EOS % 0.10 0.02-0.50 103/uL
BAS % 0.04 0.00-0.10 103/uL
Kimia Klinik

6
Glukosa Rapid 96 74-106 mg/dL
Sewaktu

Fungsi Hati
Bilirubin Total 9.28 <1.1 g/dL
Bilirubin Direk 6.67 0-0.3 U/L
Bilirubin Indirek 2.61 0.2-0.8
AST (SGOT) 136 15-37
ALT (SGPT) 197 16-63

Elektrolit
Natrium (Na) 149.3 135- 148 mEq/L
Kalsium (K) 3.99 3.50 – 5.30 mEq/L
Calcium ion 1.05 1.15 – 1.29 mmol/L

Imunoserologi
HBsAg Non Non Reactive Index
Reactive

Tanggal Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan


09/03/2020 KIMIA KLINIK
Fungsi Ginjal
 Ureum 21.9 10-50 mg%
 Kreatinin 0.7 0.5-1.1 mg%

IMUNOSEROLOGI
Non
Anti HCV (Elisa) Non reactive
reactive
URINE
Urine Rutin
Kimia Urin
 Warna Coklat Kuning
 Kejernihan Jernih Jernih
 Berat jenis 1.012 1.013-10.30
 pH 7.0 4.6-8.0
 Nitrit Negative Negative
 Protein Urin Negative Negative mg/dL
 Glukosa (Reduksi) Normal Normal mg/dL
 Keton 5/1+ Negative mg/dL

7
Normal
 Urobilinogen 1/1+ UE
Negative
 Bilirubin 3/2+ mg/dL
Negative
 Eritrosit 10/1+ /µL
Negative
 leukosit 25/1+ /µL

Mikroskopis
 lekosit 2-3 1-4
/LPB
 eritrosit 1 0-1
/LPB
 epitel 0-1
 Kristal Negative Negative
/LPK
 Silinder Negative Negative
 Lain-lain Negative Negative

USG Abdomen
10/03/2020

Hepar:
Ukuran tidak membesar, sudut tajam, permukaan rata, tekstur parenkim homogen
halus, kapsul tidak menebal, tidak tampak bayangan nodul/ massa vena porta dan
vena hepatica tidak melebar. tidak tampak koleksi cairan disekitarnya.
Kandung empedu:
Duktus biliaris intra dan ekstrahepatika melebar, tidak tampak bayangan
hiperekhoik dengan acoustic shadow.
Spleen:
Ukuran tidak membesar, tekstur parenkim homogen halus, tidak tampak
nodul/masa vena lienalis tidak melebar.
Pankreas:
Besar normal, kontur normal, tekstur parenkim homogen, tidak tampak
massa/kalsifikasi duktus pankreatikus melebar.

KESAN:

8
- Biliariektasis intrahepatal dan ekstrahepatal disertai pelebaran duktus
pankreatikus yang memberikan gambaran double duct sign curiga Ca
Caput Pankreas dd/ massa periampula
- Hidrops kandung empedu disertai sludgle di intraluminal kandung
empedu.
- USG Hepar, spleen, saat ini tidak tampak kelainan.
SARAN:
- CT-Scan abdomen dengan kontras.

I.5 RESUME
Tn. D 42 tahun datang ke RSUD Sayang Cianjur dengan keluhan nyeri
perut, lemas, nafsu makan menurun, mual, muntah, dan gatal sejak 3 hari
sebelum masuk rumah sakit.
Nyeri perut dirasakan sudah lama namun hilang timbul BAK kuning pekat
dan BAB berwarna pucat.
Pasien mempunyai riwayat lambung.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum lemas, kesadaran CM,
tekanan darah 150/100, NTE (+).

I.6 KEBUTUHAN PASIEN


1. Mata kuning (ikterus)
2. Nyeri perut, mual dan muntah
I.7 ASESSEMENT
1. Kolestasis ec Susp Ca Ampula Pankreas
2. Hipertensi grade 1

I.8 SARAN PEMERIKSAAN


- CT-Scan dengan kontras (rujuk Bedah)
I.9 TERAPI
 Nacl 0,9% 500cc//24 jam
 Omeprazole 1x40 mg IV

9
 Ondansentron 1x8 gr IV
 Curcuma 3x1
 Amlodipine 1x10 mg

10
BAB II
ANALISA MASALAH

Ikterus
A. Definisi
Ikterus adalah peubahan warna kulit, sklera mata atau jaringan
lainnya (membrane mukosa) yang menjadi kuning karena pewarnaan oleh
bilirubin yang meningkat konsentrasinya dalam sirkulas darah. Bilirubin
dibentuk sebagai akibat pemecahan cincin hem, biasanya sebagai akibat
metabolism sel darah merah. Kata icterus (Jaundice) berasal dari kata
Prancis jaunce yang berarti kuning. Ikterus sebaiknya diperiksa dibawah
cahaya terang siang hari, dengan melihat sklera mata. Ikterus yang ringan
dapat dilihat paling awal pada sklera mata. dan kalua ini terjadi
konsenterasi bilirubin berkisar antara 2-2,5 mg/Dl (34-43 umol/L) jika
icterus sudah jelas dapat dilihat dengan nyata maka biliribun mungkin
sebenarnya sudah mencapai 7 mg%.

B. Patofisiologi
Pembagian terdahulu mengenal tahapan metabolism bilirubin yang
berlangsung dalam 3 fase yaitu prehepatik, intrahepatic, dan post hepatic
masih relevan, walaupun diperlukan penjelasan akan adanya fase
tambahan dalam tahapan metabolism bilirubin. Pembagian yang baru
menambahkan 2 fase lagi sehingga tahapan metabolism bilirubin menjadi
5 yaitu pembentukan bilirubin, transport plasma, liver uptake, konjugasi,
dan ekskresi bilier.
 Fase Prahepatik
1. Pembentukan bilirubin. sekitar 250 sampai 350 mg bilirubin
atau sekitar 4 mg per kg berat badan terbentuk setiap harinya;
70-80% berasal dari pemecahan sel darah merah yang matang.
Sedangkan sisnya 20-30% (early labelled bilirubin) datang dari
protein hem lainnya yang berada terutama di dalam sumsum

11
tulang dan hati. sebagian dari protein hem dipecah menjadi besi
dan produk antara viliverdin dengan perantara enzim
hemeoksigenase. enzim lain, biliverdin reductase, mengubah
viliverdin menjadi bilirubin. Tahapan ini terjadi terutama dalam
sistem retikuloendotalia (mononuklir fagositosis). Peningkatan
hemolysis sel darah merah merupakan penyebab pertama
penyebab peningkatan pembentukan bilirubin. Pembentukan
early labelled bilirubin meningkat pada beberapa kelainan
dengan eritropoiesis yang tidak efektif namun secara klinis
kurang penting.
2. Transport plasa. Bilirubin tidak larut dalam air, karenanya
bilirubin tak terkonjugasi ini transportnya dalam plasma terikat
dengan albumin dan tidak dapat melalui membrane glomerulus,
karenanya tidak muncul dalam air seni. Ikatan melemah dalam
beberapa keadaan seperti asidosis, dan beberapa bahan seperti
antibiotika tertentu, salisilat berlomba pada tempat ikatan
dengan albumin.
 Fase Intrahepatik
1. Liver uptake. Proses pengambilan bilirubin tak terkonjugasi
oleh hati secara rinci dan pentingnya protein pengikat seperti
ligandin atau protein Y, belum jelas. Pengambilan bilirubin
melalui transport yang aktif dan berjalan cepat, namun tidak
termaksud pengambilan albumin
2. Konjugasi. Bilirubin bebas yang terkonsentrasi dalam sel hati
mengalami konjugasi dengan asam glukoronik membentuk
bilirubin diglukorunida atau bilirubin konjugasi atau bilirubin
direk. Reaksi ini dikatalisasi oleh enzim microsomal
glukoroniltransferase menghasilkan bilirubin yang larut dalam
air. Dalam beberapa keadaan reaksi ini hanya menghasilkan
bilirubin monoglukuronida, dengan bagian asam glukoronik
kedua ditambahkan dalam saluran empedu melalui sistem
enzim yang berbeda, namun reaksi ini tidak dianggap

12
fisiologik. bilirubin konjugasi lainnya selain glukuronid juga
terbentuk namun kegunaannya tidak jelas.
 Fase Pasca Hepatik
Ekskresi bilirubin. Bilirubin konjugasi dikeluarkan ke kanalikuli
bersama bahan lainnya. Anion organic lainnya atau obat dapat
mempengaruhi proses yang kompleks ini. Didalam usus flora
bakteri mendekonjugasi dan mereduksi bilirubim menjadi
strekobilinogen dan mengeluarkan sebagian besar kedalam tinja
yang memberikan warna tinja menjadi coklat. Sebagian diserap
dan dikeluarkan kembali kedalam empedu, dan sebagian kecil
mencapai air seni sebagai urobilinogen. Ginja; dapat mengeluarkan
diglukuronida tetapi tidak bilirubin unkonjugasi. Hal ini
menerangkan warna air seni yang gelap yang khas pada gangguan
hepatoseluler atau kolestasis intrahepatic. Bilirubin tak
terkonjugasi tidak larut dalam air namun larut dalam lemak.
karenanya bilirubin tak terkonjugasi dapat memalui barrier darah-
otak atau masuk kedalam plasenta. Dalam hati bilirubin tak
terkonjugasi mengalami konjugasi dengan gula melalui enzim
glukuroniltranferase dan larut dalam empedu cair.

C. Penyakit Gangguan Metabolisme


1. Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi
2. Hiperbilirubinemia konjugasi
a. Nonkolestasis
- Sindrome Dubin-Johnson
Penyakit aoutosom resesif ditandai dengan ikterik yang
ringan dan tanpa keluhan. kerusakan dasar karena terjadi gangguan
ekskresi berbagai anion organic seperti juga bilirubin. namun,
ekskresi garam empedu tidak terganggu. berbeda dengan sindrom
Gillbert hiper-bilirubinemia yang terjadi adalah bilirubin konjugasi
dan empedu terdapat dalam urin.

13
Hati mengandung pigmen sebagai akibat bahan seperti
melanin, namun, gambaran hitologi normal. Penyebab deposisi
pigmen belum diketahui. Nilai aminotransferase dan fosfatase
alkali normal. Oleh karena sebab yang belum diketahui gangguan
yang khas ekskresi korpoporfirin urin dengan rasio reversal isomer
I;III menyertai keadaan ini
- Sindroma rotor
Penyakit yang jarang ini menyerupai sindroma Dubin-
Johnson, tetapi hati tidak mengalami pigmentasi dan perbedaan
metabolic lain yang nyata ditemukan
b. Kolestasis
- Kolestasis Intahepatik
Istilah kolestasis lebih disukai untuk pengertian icterus
obstruktif sebab obstruktif secara mekanis tidak selalu ada. Aliran
empedu dapat terganggu pada tingkat mana saja dari mulai sel hati
(kanalikuli), sampai ampula vater. Untuk kepentingan klinis,
membedakan penyebab sumbatan intrahepatic dan ekstrahepatik
sangat penting. Penyebab paling sering intrahepatic adalah hepatitis,
keracunan obat, penyakit hati karena alcohol dan penyakit hepatitis
autoimun. Penyebab yang kurang sering adalah sirosis hati bilier
primer, kolestasis pada kehamilan,karsinoma metastatic, dan
penyakit lain yang jarang.
Virus hepatitis, alcohol, keracunan obat, dan kelianan
autoimun adalah hal sering yang sebabkan kolestatis intahepatik
karena mengganggu transport bilirubin dan menyebabkan icterus.
Hepatitis A merupakan penyakit self limited dengan manisfestasi
icterus yang bersifat akut. Hepatitis B dan C yang aku sering tidak
menimbulkan icterus. Namun dapat bersifat kronis dan menahun
yang dapat sebabkan sirosis hati. Tidak jarang penyakit hati
menahun dapat menyebabkan gejala kuning dan sering sekali salah
di diagnosis menjadi penyakit hepatitis akut.

14
Alkohol bisa mempengaruhi gangguan pengambilan empedu
dan sekresinya, dn mengakibatkan kolestasis. Pemakaian alcohol
yang terus menerus dapat menyebabkan perlemakan (steatosis),
hepatitis, dan sirosis dengan berbagai tingkat icterus. Perlemakan
hati merupan temuan tersering, terkadang dengan manisfestasi
ringan icterus dan bahkan sampai sirosis. Hepatitis karena alcohol
biasanya sering timbul akut dengan keluhan dan gejala yang berat.
Jika ada nekrosis hati ditandai dengan transaminase yang tinggi.
Penyebab yang lebih jarang adalah hepatitis autoimun yang
biasanya sering mengenai kelompok muda terutama perempuan.
Data terakhir menyebutkan kelompok yang lebih tua bisa dikenai.
Dua penyakit autoimun yang berpengaruh pada sistem bilier tanpa
terlalu menyebabkan reaksi hepatitis adalah sirosis bilier primer dan
kongaitis skeloring. Sirosis bilier primer merupakan penyakit hati
progresif dan terutama mengenai perempuan paruh baya. Gejala
mencolok adalah lelah dan gatal yang sering merupakan penemuan
awal, sedangkan kuning adalah gejala yang timbul kemudian.
Kolangitis sclerosis primer merupakan penyakit kolestatik
lain, lebih sering dijumpai pada laki-laki dan sekitar 70% memiliki
penyakit perawangan usus. Kolangitis sclerosis primer bisa menjurus
ke kolangiokarsinoma. Banyak obat mempunyai efek dalam kejadian
icterus kolastatis, seperti asetaminofen, penisilin, obat kontasepsi
oral, klorpromazin(torazin) dan steroid estrogenic atau anbolik

- Kolestasis ekstrahepatik (sumbatan pada duktus bilier, dimana


terjadi hambatan masuknya bilirubin kedalam usus)
Penyebab paling sering adalah batu duktus koledukus dan
kanker pancreas. Penyebab lainnya yang relative lebih jarang adalah
striktur jinak (operasi terdahulu) pada duktus koledokus, karsinoma
duktus koledokus, pankreatitis, atau pseudocyst pancreas dan
kolangitis sklerosing. Kolestasis mencerminkan kegagalan sekresi

15
empedu. Mekanismenya sangat kompleks, bahkan juga pada
obstruksi mekanis empedu.
Efek patofisiologi mencermikan efek backup konstituen
empedu (yang terpenting bilirubin, garam empedu, dan lipid)
kedalam sirkulasi sistemik dan kegagalannya untuk masuk usus
halus untuk ekskresi. Retensi bilirubin menghasilkan campuran
hyperbilirubinemia dengan kelebihan bilirubin konjugasi masuk
kedalam urin. Tinja berwarna pucat karena lebih sedikit yang bisa
masuk saluran cerna usus halus. Peningkatan garam empedu dalam
sirkulasi selalu diperkirakan sebagai penyebab keluhan gatal.
walaupun sebenarnya hubungannya belum jelas sehingga
pathogenesis gatal masih belum bisa diketahui dengan pasti.
Garam empedu dibutuhkan untuk penyerapan lemak, dan
vitamin K, gangguan ekskresi garam empedu dapat mengakibatkan
steatorrhea dan hipoprotrombinemia. Pada keadaan kolestasis yang
berlangsung lama, gangguan penyerapan Ca dan vitamin D dan
vitamin lainyang larut lemak dapat terjadi dan dapat menyebabkan
osteoporosis atau osteomalasia. Retensi kolesterol dan fosfolipid
mengakibatkan hyperlipidemia, walaupun sisntesis kolesterol di hati
esterifikasi yang berkurang dalam darah turut berperan; konsentrasi
trigliserida tidak berpengaruh. Lemak beredar dalam darah sebagai
lipoprotein densitas rendah yang unik dan abnormal yang disebut
sebagai lipoprotein X.

D. Manisfestasi Klinis Kolestasis Intrahepatik dan Ekstrahepatik


Tidak jarang kolestatis ekstrahepatik sukar dibedakan dengan
kolestasis intrahepatic, padahal membedakan keduanya sangan penting
dan urgen. Gejala awal terjadi perubahan warna urin yang menjadi lebih
kuning, gelap, tinja pucat, dan gatal (pruritus) yang menyeluruh adalah
tanda klinis adanya kolestasis. Kolestasis kronis dapat menimbulkan
pigmentasi kulit berwarna kehitaman, eksklorisasi karena pruritus,
perdarahan diatesis, sakit tulang, dan endapan lemak kulit (xantelesma

16
atau xantoma). Gambaran diatas tidak tergantung penyebabnya. Keluhan
sakit perut, Gejala sistemik seperti anoreksia, muntah, demam atau
tambahan tanda gejala mencerminkan penyebab penyakit dasarnya
daripada kolestasisnya dan karenanya dapat memberikan petunjuk
etiologinya.
Pada pasien, pasien mengeluh adanya nyeri perut, mual muntah,
mata kuning dan teraa gatal diseluruh tubuh. selain itu pasien juga
mengatakan tinja pasien berwarna pucat dan air seni pasien berwarna
kuning. Pasien juga merasakan nafsu makan pasien menurun. Hal ini
sangat mendukung untuk diagnosis kolestasis

E. Diagnosis
Riwayat penyakit yang rinci dan pemeriksaan jasmani sangat
penting, karena kesalahan diagnosis yang kurang atau penilaian gangguan
laboratorium yang berlebihan. Kolestasis ekstrahepatik dapat diduga
dengan adanya keluhan sakit bilier atau kandung empedu yang teraba. Jika
sumbatan karena keganasan pankreas (bagian kepala/kaput) sering timbul
kuning yang tidak disertai dengan gejala keluhan sakit perut (painless
jaundice). Kadang-kadang bila bilirubin sudah mencapai konsentrasi yang
lebih tinggi sering warna kuning sklera mata memberi kesan berbeda
dimana icterus lebih memberi kesan kehijauan (greenish jaundice) pada
kolestasis ektrahepatik dan kekuningan (yellowish jaundice) pada
kolestasis intrahepatik
Pada pasien dicurigai adanya kolestasis ekstrahepatik
karenaadanya gejala yang timbul baik nyeri perut walaupun tidak terlalu
berat dan kualitas yang jarang. Namun, pada pasien terdapat sklera
berwarna kuning.

F. Tes Laboratorium
Mempunyai keterbatasan diagnosis. Kelainan laboratorium yang
khas adalah peninggian nilai fosfatase alkali, yang terutama diakibatkan
peningkatan sintesis daripada gangguan ekskresi, namun tetap belum

17
menjelaskan penyebabnya. Nilai bilirubin juga mencerminkan beratnya
tetapi bukan penyebab kolestasisnya, juga fraksionasi tidak dapat
membedakan intrahepatic atau ekstrahepatik.
Nilai aminotransferase bergantung terutama pada penyakit
dasarnya. Namun sering kali meningkat tidak tinggi. Jika peningkatannya
sangat tinggi sangat mungkin karena proses hepatoseluler, Namun kadang
kadang terjadi juga pada kolastasis ekstrahepatik, terutama pada sumbatan
akut yang diakibatkan oleh adanya batu di duktus koledokus.
Peningkatan amilase serum menunjukan sumbatan ekstgrahepatik.
perbaikan waktu protombin setelah pemberian vitamin K mengarah
kepada adanya bendungan ekstrahepatik. namun hepatoseluler juga dapat
berespon. Ditemukannya antibody terhadap antimitokondria mendukung
keras kemungkinan sirosis bilier primer.

G. Pencitraan
Pemeriksaan saluran billier sangat penting. Pemeriksaan sonografi,
CT, dan MRI memperlihatkan adanya pelebaran saluran billier, yang
menunjukkan adanya sumbatan mekanik, walaupun jika tidak ada tidak
selalu berarti sumbatan intrahepatic, terutama dalam keadaan masih akut.
Penyebab terjadinya sumbatan mungkin bisa diperlihatkan. Umumnya
batu kandung empedu dapat dipastikan dengan ultrasonografi, lesi
pankreas dengan CT. Kebanyakan pusat menggunakan terutama USG
untuk mendiagnosis kolestasis karena biayanya yang rendah.
Endoscopic Retrograde Cholangio-Pancreatography (ERCP)
memberikan kemungkinan untuk melihat secara langsung saluran bilier
dan sangat bermanfaat untuk menetapkan sumbatan ekstrahepatik.
Percutaneous Transhepatic Cholangiography (PTC) dapat juga
digunakan untuk maksud ini. Kedua cara diatas dapat mempunyai potensi
terapeutik. Pemriksaan MRCP dapat pula untuk melihat langsung saluran
empedu dan dapat mendeteksi batu dan kelaian duktus lainnya dan
merupakan cara non-invasif alternative terhadap ERCP.

18
H. Biopsi Hati
Biopsi hati akan menjelaskan diagnosis pada kolestasis
intrahepatic; walaupun demikian, bisa timbul juga kesalahan, terutama jika
penilaian dilakukan oleh orang yang kurang pengalaman. Umumnya,
biopsy aman pada kasus dengan kolestasis. Namun, berbahaya pada kasus
obstruktif ekstrahepatik yang berkepanjangan, karenanya harus
disingkirkan dulu dengan pemeriksaan pencintraan sebelumnya.
Kecuali keadaan pasien dengan kolangitis kolestasis supurativa,
bukan keadaan emergensi. Diagnosis sebaikanya didiagnosis dengan
keadaan klinis. dengan bantuan alat penunjang khusus jika ada. Jika
diagnosis tidak pasti, ultrasonografi dan CT akan sangat membantu.
Obstrutif mekanis dapat ditentukan jika terjadi pelebaran saluran bilier,
terutama pada pasien dengan kolestasis yang progresif. Pemeriksaan lebih
lanjut dengan kolangiografis langsung (ERCP,PTC,MRCP) dapat
dipertimbangkan. Jika di ultrasonografi tidak ditemukan pelebaran saluran
empedu, sangat mungkin cenderung masalah inrahepatik, dan biopsy
sangat dianjurkan.
Jika penunjang diatas tidak terdapa, maka laparaskopi diagnosis
harus dipertimbangkan, jika pertimbangan klinis menjurus ke sumbatan
ekstrahepatik dan kolestasis memburuk progresif

I. Pengobatan
Pengobatan icterus sangat bergantung pada penyakit dasar
penyebabnya. Beberapa gejala yang cukup menggangu misalnya gatal
(pruritus) pada keadaan kolestasis intrahepatic, pengobatan penyakit
dasarnya sudah mencukupi. Pruritus pada keadaan irreversible (sirosis
bilier primer) biasanya responsive pada kolestiramin 4-16 g/hari PO dalam
dosis terbagi dua yang akan mengikat garam empedu di usus. Kecuali jika
terdapat kerusakan hati yang berat, hipoprotrombinemia biasanya
membaik setelah pemberian fitonadion (vitamin K1) 5-10 mg/hari SK
untuk 2-3 hari

19
Pemberian sumplemen kalsium dan vitamin D dalam keadaan kolestasis
yang irreversible, Namun pencegahan penyakit tulang metabolic
mengecewakan. Suplemen vitamin A dapat mencegah kekurangan vitamin
yang larut dalam lemak ini dan steartorrhea yang berat dapat dikurangi
dengan pemberian sebagian lemak dalam diet dengan medium chain
trigliserida.
Sumbatan bilier ektrahepatik biasanya membutuhkan tindakan
pembedahan, ekskresi batu empedu di duktus, atau insersi stent, dan
drainase via kateter untuk striktur (keganasan) atau daerah penyempitan
sebagian. Untuk penyempitan maligna yang non-operabel, drainase bilier
paliatif dapat dilakukan melalui stent yang ditempaykan melalui hati
(transhepatik) atau secara endoskopi. Papilotomi endoskopi dengan
mengeluarkan batu telah menggantikan laparatomi pada pasien dengan
batu di duktus kolekokus. Pemecahan batu di saluran empedu mungkin
diperlukan untuk membentuk pengeluaran batu di saluran empedu.

Hipertensi
A. Definisi
Menurut The Seventh Report of the Joint National Committee on
detection, education, and treatment of high blood pressure (JNC VII),
hipertensi adalah suatu keadaan di mana tekanan darah sistolik lebih dari
atau sama dengan 140 mmHg dan tekanan diastolik lebih dari atau sama
dengan 90 mmHg.

B. Etiologi
Berdasarkan etiologinya, hipertensi dibagi atas hipertensi esensial dan
hipertensi sekunder.
1. Hipertensi esensial, juga disebut hipertensi primer atau idiopatik,
adalah hipertensi yang tidak jelas etiologinya. Lebih dari 90% kasus
hipertensi termasuk dalam kelompok ini. Biasanya hipertensi esensial
terjadi pada usia antara 25-55 tahun dan jarang pada usia dibawah 20 tahun.
Faktor predisposisi genetik ini dapat berupa sensitivitas pada natrium,

20
kepekaan terhadap stress, peningkatan reaktivitas vascular (terhadap
vasokonstriktor), dan resistensi insulin. Paling sedikit ada 3 faktor
lingkungan yang dapat menyebabkan hipertensi yakni, makan garam
(natrium) berlebihan,stress psikis, dan obesitas. 
2. Hipertensi Sekunder. Prevalensinya hanya sekitar 5-8 % dari seluruh
penderita hipertensi. Hipertensi ini dapat disebabkan
oleh penyakit ginjal (hipertensi renal),penyakit endokrin(hipertensiendokri)
, obat, dan lain-lain.

C. Faktor Risiko
Faktor risiko hipertensi dapat dibagi menjadi dua, yaitu faktor
risiko yang reversible dan irreversibel. Faktor risiko yang reversibel adalah
usia, ras Afrika-Amerika, dan riwayat keluarga yang memiliki hipertensi.
Sedangkan faktor risiko yang bersifat reversible adalah prehipertensi, berat
badan berlebih, kurang aktivitas, konsumsi makanan yang mengandung
natrium tinggi, merokok, dan sindroma metabolik

D. Diagnosis
Ada 3 tujuan evaluasi pasien dengan hipertensi:
- Menilai gaya hidup dan identifikasi faktor-faktor resiko kardiovaskular atau
penyakit penyerta yang mungkin dapat mempengaruhi prognosis sehingga
dapat memberi petunjuk dalam pengobatan
- Mencari penyebab tekanan darah tinggi
- Menetukan ada tidaknya kerusakan organ target dan penyakit
kardiovaskular
Data diperoleh melalui anamnesis mengenai keluhan pasien, riwayat penyakit
dahulu dan penyakit keluarga, pemeriksaan fisik, tes laboratorium rutin, dan
prosedur diagnostik lainnya.
1. Anamnesis
Anamnesis yang perlu ditanyakan kepada seorang penderita hipertensi
meliputi:
a. Lama menderita hipertensi dan derajat tekanan darah

21
b. Indikasi adanya hipertensi sekunder
 Keluarga dengan riwayat penyakit ginjal (ginjal polikistik)
 Adanya penyakit ginjal, infeksi saluran kemih hematuri, pemakaian
oba-obatan analgesic dan obat/ bahan lain.
 Episode berkeringat, sakit kepala, kecemasan palpitasi
(feokromositoma).
c. Faktor-faktor resiko (riwayat hipertensi/ kardiovaskular pada pasien atau
keluarga pasien, riwayat hiperlipidemia, riwayat diabetes mellitus,
kebiasaan merokok, pola makan, kegemukan, insentitas olahraga)
d. Gejala kerusakan organ
 Otak dan mata: sakit kepala, vertigo, gangguan penglihatan, transient
ischemic attacks, defisit neurologis
 Jantung: Palpitasi,nyeri dada, sesak, bengkak di kaki
 Ginjal: Poliuria, nokturia, hematuria
e. Riwayat pengobatan antihipertensi sebelumnya

2. Pemeriksaan Fisik
a. Memeriksa tekanan darah
 Pengukuran rutin di kamar periksa
- Pasien diminta duduk dikursi setelah beristirahat selam 5 menit,
kaki di lantai dan lengan setinggi jantung
- Pemilihan manset sesuai ukuran lengan pasien (dewasa: panjang
12-13, lebar 35 cm)
- Stetoskop diletakkan di tempat yang tepat (fossa cubiti tepat diatas
arteri brachialis)
- Lakukan penngukuran sistolik dan diastolic dengan menggunakan
suara Korotkoff fase I dan V
- Pengukuran dilakukan 2x dengan jarak 1-5 menit, boleh diulang
kalau pemeriksaan pertama dan kedua bedanya terlalu jauh.
 Pengukuran 24 jam (Ambulatory Blood Pressure Monitoring-ABPM)
- Hipertensi borderline atau yang bersifat episodic
- Hipertensi office atau white coat
- Hipertensi sekunder

22
- Sebagai pedoman dalam pemilihan jenis obat antihipertensi
- Gejala hipotensi yang berhubungan dengan pengobatan
antihipertensi
 Pengukuran sendiri oleh pasien
b. Evaluasi penyakit penyerta kerusakan organ target serta
kemungkinan hipertensi sekunder
Umumnya untuk penegakkan diagnosis hipertensi diperlukan
pengukuran tekanan darah minimal 2 kali dengan jarak 1 minggu bila
tekanan darah < 160/100 mmHg.

3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pasien hipertensi terdiri dari:
 Tes darah rutin (hemoglobin, hematokrit, leukosit, trombosit)
 Urinalisis terutama untuk deteksi adanya darah, protein, gula
 Profil lipid (total kolesterol (kolesterol total serum, HDL serum, LDL
serum, trigliserida serum)
 Elektrolit (kalium)
 Fungsi ginjal (Ureum dan kreatinin)
 Asam urat (serum)
 Gula darah (sewaktu/ puasa dengan 2 jam PP)
 Elektrokardiografi (EKG)
Beberapa anjurantest lainnya seperti:
 Ekokardiografi jika diduga adanya kerusakan organ sasaran seperti
adanya LVH
 Plasma rennin activity (PRA), aldosteron, katekolamin urin
 Ultrasonografi pembuluh darah besar (karotis dan femoral)
 Ultrasonografi ginjal jika diduga adanya kelainan ginjal
 Pemeriksaaan neurologis untuk mengetahui kerusakan pada otak
 Funduskopi untuk mengetahui kerusakan pada mata
 Mikroalbuminuria atau perbandingan albumin/kreatinin urin
 Foto thorax

23
Pemeriksaan penunjang untuk skreening etiologi hipertensi

E. Klasifikasi
Klasifikasi hipertensi menurut JNC
(Joint National Committee On Prevention, Detection, Evaluation,
And The Treatment Of High Blood Pressure) VII

24
Pada pasien, pasien pernah meminum obat darah tinggi namun setelah itu
pasien tidak meminum obat darah tinggi lagi.
F. Tatalaksana

25
26

Anda mungkin juga menyukai