Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN KASUS

SUPRAVENTRIKULAR TAKIKARDI

Disusun oleh :

dr. Annisa Aulia

Pembimbing:

dr. Lidya Yudith Priscilla

PERSERTA PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA ( PIDI )


ANGKATAN PERIODE JUNI 2018- JUNI 2019

RSUD ADJIDARMO KABUPATEN LEBAK, BANTEN

KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan rahmat
dan petunjuk-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan Laporan Kasus dengan diagnosis
“Supraventrikular Takikardi” dengan baik.

Saya menyadari berbagai kelemahan dan keterbatasan yang ada, sehingga terbuka
kemungkinan terjadinya kesalahan dalam penulisan Laporan Kasus ini. Saya sangat terbuka
terhadap kritik dan saran yang membangun dari para pembaca laporan kasus ini.

Demikianlah yang dapat saya sampaikan, saya berharap semoga laporan kasus ini
bermanfaat bagi siapa pun yang membacanya.

Jakarta, 28 Desember 2018

Penulis
HALAMAN PENGESAHAN

Presentasi Kasus

SUPRAVENTRIKULAR TAKIKARDI

Disusun oleh:

dr. Annisa Aulia

Disusun untuk memenuhi syarat mengikuti program Dokter Internsip Indonesia

Rotasi IGD RSUD DR. Adjidarmo

Rangkasbitung – Kab. Lebak

Telah diperiksa, disetujui dan disahkan pada

Hari : Jumat

Tanggal : 29 Desember 2018

Pembimbing
RSUD DR. ADJIDHARMO LEBAK BANTEN

DESEMBER 2018

BAB I

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. H.J
Umur : 42 tahun
Jenis Kelamin : Laki - Laki
Alamat : Desa Muara Dua
Pekerjaan : Wiraswasta
Agama : Budha
Masuk RS : 17 November 2018

II. ANAMNESIS
Dilakukan autoanamnesis 17 November Pukul 07.00

1. Keluhan Utama
Dada Berdebar sejak 1 hari smrs

2. Riwayat Penyakit Sekarang (RPS)

Pasien datang ke IGD RSUD Adjidharmo diantar keluarga dengan keluhan dada
berdebar sangat kuat sejak 1 hari smrs, dada berdebar tiba-tiba terjadi saat pasien sedang
aktifitas (menyetir) dada berdebar tidak membaik dengan istirahat dan tidak bertambah
dengan aktifitas. Pasien juga mengeluh berkeringat dingin sejak 1 hari smrs. Nyeri ulu hati
disangkal, Nyeri dada disangkal, pasien merasa mual tetapi tidak muntah. pasien mengeluh
sesak nafas dirasa 1 hari smrs, sesak nafas tidak berkurang dengan istirahat dan perubahan
posisi. Pasien sempat berobat ke IGD terdekat namun diperbolehkan pulang. Selama
dirumah keluhan pasien tidak berkurang, pada saat malam hari pasien mengeluh kesulitan
untuk tidur dan beristirahat.

Riwayat Penyakit Dahulu dan Pengobatan


Pasien tidak ada mengkonsumsi obat sebelumnya. Pasien mengatakan dirinya tidak
memiliki riwayat alergi terhadap obat-obatan dan makanan tertentu. Riwayat hipertensi,
DM disangkal. pasien pernah mengalami keluhan serupa 4 bulan smrs tetapi sembuh sendiri.

Riwayat Keluarga
Ayah dan ibu pasien memiliki riwayat darah tinggi. Diabetes (-)

Riwayat Sosial
Pasien merupakan seorang pemilik sebuah bengkel sehari – hari pasien berada di bengkel
membantu karyawan. Pasien makan teratur pasien merokok sejak 7 tahun yang lalu dan
minum kopi.

2.4 Pemeriksaan Fisik

KU : Tampak Lemas
Kesadaran : Compos mentis (GCS : E4V5M6)
Tekanan darah : 143/95 mmHg
Nadi : 180 kali/menit, reguler,
Respirasi : 27 kali/menit
Temp. Axilla : 37,5oC

Mata : Anemis -/-, Ikterus -/-, Oedema palpebra -/-, Refleks pupil (+/+) Isokor,
Mata cowong (-)
THT
Telinga : Bentuk normal, tidak ada tanda-tanda radang, ataupun bekas luka.

Hidung : Bentuk normal, tidak ada tanda-tanda radang, ekskoriasi, maupun


bekuan-bekuan darah.
Tenggorokan : Mulut kering (-), tonsil T1/T1 hiperemis (-), faring hiperemis (-)
Leher : JVP PR ± 0 cmH2O
Kelenjar getah bening : Tidak ada pembesaran

Thoraks : Bentuk dada normal, simetris, tidak terlihat pembuluh kolateral, tidak ada
bekas luka ataupun jaringan parut.
Cor
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis teraba Midclavicular line ics 4 – 5 tidak kuat angkat.
Perkusi : Batas kanan : PSL D ICS
Batas atas : ICS II
Batas kiri : MCL S ICS V

Auskultasi : S1 S2 tunggal regular, murmur (-) gallop (-)


Pulmo
Inspeksi : Gerakan napas simetris.
Palpasi : Vokal fremitus N/N
Perkusi : Sonor/Sonor
Auskultasi : Ves +/+, Rhonki -/-, Wh -/-

Abdomen : Turgor kulit normal, darm countour (-) darm steifung (-) Distensi (-), supel
(+) meteorismus (+) BU (+) 14x/ menit dalam batas normal.
Nyeri tekan daerah (+) di daerah epigastricum, dan hypogastric
Ekstremitas : Akral hangat +/+, edema -/-
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

EKG tanggal 17 Nov 2018

Irama : asinus, reguler


Laju : 187 kali permenit
Axis : normoaxis
P wave: sulit dinilai
Interval PR: sulit dinilai
Kompleks QRS: 0,04s
ST elevasi : tidak ditemukan
ST depresi: tidak ditemukan
T inverted: tidak ditemukan
Q patologis : tidak ditemukan
Kesimpulan: Supraventrikular takikardi,
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hasil pemeriksaan laboratorium pada tanggal 17 November 2018

PEMERIKSAAN HASIL SATUAN NORMAL

HEMATOLOGI
Hemoglobin 15.70 g/dL 12.0 – 15.0

Eritrosit 5.06 jt/μl 4.0 – 5.1


Hematokrit 46.1 % 36 –47
Trombosit 301.000 10^3 / μl 150 – 400
Leukosit 21.700 10^3 / μl 4.0 – 12.0

Netrofil 90.0 % 50 – 70
Limfosit 28 % 25 – 40%
Monosit 9 % 2–8
Eosinofil 1 % 2–4
Basofil 1 % 0–1
MCH 31.0 Pg 27.0 – 31.0

MCHC 34.1 g/dLa 33.0 – 37.0


MCV 91.1 fL 79.0 – 99.0

GDS 117 Mg/dl 7- 140

Natrium 143 mEg/L 135 – 147

Kalium 4.0 mEg/L 3.5 – 5.0

Chlorida 104 mEg/L 95 – 105

SGOT 15 U/L <50 U/L


SGPT 37 U/L <50 U/L

Ureum 37,02 Mg/dl 20.00-40.00 Mg/dl

Creatinin 0.97 Mg/dl 0.62-1.17 Mg/dl

GDS 117 Mg/dl 70 - 140 Mg/dl

RESUME

Pasien bernama Tuan H,J usia 42 tahun datang ke IGD RSUD Adjidharmo diantar
keluarga dengan keluhan dada berdebar sangat kuat sejak 1 hari smrs, secara tiba-tiba saat
sedang aktifitas,keluhan tidak membaik dengan istirahat dan tidak bertambah dengan
aktifitas. pasien mengeluh sesak nafas dirasa 1 hari smrs, sesak nafas tidak berkurang
dengan istirahat dan perubahan posisi. Pasien juga mengeluh berkeringat dingin sejak 1 hari
smrs. Nyeri ulu hati (-), Nyeri dada (-), mual (-) muntah (-) . riw DM (-) Hipertensi (-) pasien
pernah mengalami keluhan serupa 4 bulan smrs tetapi sembuh sendiri.

Pemeriksaan Fisik :

KU : Tampak Lemas

Kesadaran : Compos mentis (GCS : E4V5M6)

Tekanan darah : 143/95 mmHg

Nadi : 180 kali/menit, reguler,

Respirasi : 27 kali/menit

Temp. Axilla : 37,5oC

Cor

Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat

Palpasi : Iktus kordis teraba Midclavicular line ics 4 – 5 tidak kuat angkat.
Perkusi : Batas kanan : PSL D ICS

Batas atas : ICS II

Batas kiri : MCL S ICS V

Auskultasi : S1 S2 tunggal regular, murmur (-) gallop (-)

Diagnosis Utama :
1. Supraventrikular takikardi dengan hemodinamik stabil
Diagnosis banding :
a. Atrial Flutter
b. Atrial fibrilation

PENATALAKSANAAN

Inf RL 20 tetes/menit

O2 nasal Kanul 3 lpm

Inj. Omeprazole 1 x 40mg

Inject Amiodaron 1 amp (150mg)

Drip Amiodaron 1mg/menit dalam 6 jam pertama.

Drip Amiodarone 0.5 mg/menit dalam 18 jam berikutnya.

Setelah 24 jam pemberian evaluasi EKG

Bila irama sinus amiodarone ganti amiodarone oral.

PROGNOSIS

Ad vitam : Dubia ad bonam

Ad sanationam : Dubia ad bonam

Ad fungsionam : Dubia ad malam


LEMBAR FOLLOW UP

Tanggal 18-11-2018
S : Dada berdebar, nyeri dada (-)
O : TD : 150 / 98 mmHg
Nadi : 88 x / menit
Pernapasan : 20 x / menit
Suhu : 36.5 o
A : SVT
P:
Inf RL 20 tetes/menit

O2 nasal Kanul 3 lpm

Inj. Omeprazole 1 x 40mg

Drip Amiodarone 0.5 mg/menit dalam 18 jam


Tanggal 19-11-2018
S : Dada berdebar, nyeri dada sebelah kiri (+)
O : TD : 170 / 90 mmHg
Nadi : 88 x / menit
Pernapasan : 20 x / menit
Suhu : 36.5 o
A : SVT,UAP
P:
- Inf RL 20 tetes/menit
- O2 nasal Kanul 3 lpm
- Inj. Omeprazole 1 x 40mg
- Amiodarone tablet 3 x 200mg
- Aspilet tab 1x1
- Clopidogrel 1 x1
- Arixtra 1 x 2.5 subcutan
- Simvastatin 1 x 20mg
- Amlodipine 1 x 5mg
- Laxadine 2 x 1 cth
- Alprazolam 1 x 0,5mg
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Supraventricular tachycardia (SVT) adalah takidisritmia yang ditandai dengan
perubahan denyut jantung yang mendadak bertambah cepat. Perubahan denyut jantung pada
bayi dengan SVT umumnya menjadi berkisar antara 150 kali/menit sampai 250 kali/menit. 2
Kelainan SVT mencakup komponen sistem konduksi di bagian atas bundel HIS. Pada
kebanyakan SVT mempunyai kompleks QRS normal. Kelainan ini sering terjadi pada demam,
emosi, aktivitas fisik dan gagal jantung.

2.2 Epidemiologi
Takikardi supraventrikular merupakan kegawatdaruratan kardiovaskular yang sering
ditemukan. Angka kejadian SVT diperkirakan 1 per 250.000 sampai 1 per 250. Angka
kekerapan masing-masing bentuk SVT berbeda sesuai usia. 3
Insiden SVT diperkirakan hampir 50-60%. SVT terjadi dengan struktur jantung yang
normal dan hanya 15% SVT yang disertai dengan penyakit jantung, karena obat-obatan atau
demam, . SVT akan menghilang secara spontan pada beberapa pasien 4. Namun, sampai
dengan 33% pasien akan mengalami kekambuhan 5. Bahkan, untuk SVT jenis atrioventricular
nodal reentrant tachycardia (AVNRT) biasanya tidak dapat sembuh secara spontan dan
membutuhkan ablasi radiofrekuensi 4

2.3 Etiologi
1. Idiopatik, ditemukan hampir setengah jumlah insiden. Tipe idiopatik lebih sering pada bayi
daripada anak.
2. Sindrom Wolf Parkinson White (WPW) 10-20% terjadi setelah konversi menjadi sinus
aritmia. Sindrom WPW adalah suatu sindrom dengan interval PR yang pendek dan interval
QRS yang lebar; yang disebabkan oleh hubungan langsung antara atrium dan ventrikel
melalui jaras tambahan.
3. Beberapa penyakit jantung bawaan 5

2.4 Klasifikasi
Berikut ini adalah jenis takikardia supraventrikular:
1) SVT yang melibatkan jaringan sinoatrial :
a. Sinus tachycardia
b. Inappropriate sinus tachycardia
c. Sinoatrial node reentrant tachycardia (SANRT)
2) SVT yang melibatkan jaringan atrial :
a. Atrial tachycardia (Unifocal) (AT)
b. Multifocal atrial tachycardia (MAT)
c. Atrial fibrillation
d. Atrial flutter
3) SVT yang melibatkan jaringan nodus atrioventrikular :
a. AV nodal reentrant tachycardia (AVNRT)
b. AV reentrant tachycardia (AVRT)
c. Junctional ectopic tachycardia 5

2.5 Elektrofisiologi
Gangguan irama jantung secara elektrofisiologi disebabkan oleh gangguan
pembentukan rangsang, gangguan konduksi rangsang dan gangguan pembentukan serta
penghantaran rangsang.
1) Gangguan pembentukan rangsang
Gangguan terjadi secara pasif atau aktif. Bila gangguan rangsang terbentuk secara
aktif menimbulkan gangguan irama ektopik dan bila terbentuk secara pasif sering
menimbulkan escape rhytm (irama pengganti).
- Irama ektopik timbul karena pembentukan rangsang ektopik secara aktif dan fenomena
reentry
- Escape beat (denyut pengganti) ditimbulkan bila rangsang normal tidak atau belum
sampai pada waktu tertentu dari irama normal, sehingga bagian jantung yang belum
atau tidak mendapat rangsang itu bekerja secara otomatis untuk mengeluarkan
rangsangan instrinsik yang memacu jantung berkontraksi.
- Active ectopic firing terjadi pada keadaan dimana terdapat kenaikan kecepatan
automasi pembentukan rangsang pada sebagian otot jantung yang melebihi keadaan
normal.
- Reentry terjadi bila pada sebagian otot jantung terjadi blokade unidirectional (blokade
terhadap rangsang dalam arah antegrad) dimana rangsang dari arah lain masuk kembali
secara retrograd melalui bagian yang mengalami blokade tadi setelah masa
refrakternya dilampaui. Keadaan ini menimbulkan rangsang baru secara ektopik. Bila
reentry terjadi secara cepat dan berulang-ulang, atau tidak teratur (pada beberapa
tempat), maka dapat menimbulkan keadaan takikardi ektopik atau fibrilasi.
2) Gangguan konduksi
Kelainan irama jantung disebabkan oleh hambatan hantaran (konduksi) aliran
rangsang yang disebut blokade. Hambatan tersebut mengakibatkan tidak adanya aliran
rangsang yang sampai ke bagian miokard yang seharusnya menerima rangsang untuk
dimulainya kontraksi. Blokade ini dapat terjadi pada tiap bagian sistem hantaran rangsang
mulai dari nodus SA atrium, nodus AV, jaras HIS, dan cabang-cabang jaras kanan kiri
sampai pada percabangan purkinye dalam miokard.
3) Gangguan pembentukan dan konduksi rangsangan
Gangguan irama jantung terjadi sebagai karena gangguan pembentukan rangsang
dan gangguan hantaran rangsang.

2.6 Mekanisme Terjadinya SVT


Mekanisme supraventrikular takikardi adalah atrioventricular nodal reentrant
tachycardia (AVNRT), atrioventricular reciprocating (reentrant) tachycardia (AVRT), dan
atrial tachycardia 6
1) Atrioventricular Nodal Reentrant Tachycardia (AVNRT)
AVNRT timbul karena adanya reentrant yang menghubungkan antara nodus AV
dan jaringan atrium. Nodus AV pada AVNRT memiliki dua jalur konduksi yaitu jalur
konduksi cepat dan jalur konduksi lambat. Jalur konduksi lambat yang terletak sejajar
dengan katup trikuspid, memungkinkan reentrant sebagai jalur impuls listrik baru melalui
jalur tersebut, keluar dari nodus AV secara retrograde (yaitu, mundur dari nodus AV ke
atrium) dan secara anterograde (yaitu, maju dari nodus AV ke ventrikel) dalam waktu
bersamaan. Depolarisasi atrium dan ventrikel yang bersamaan, mengakibatkan gelombang
P jarang terlihat pada gambaran EKG, meskipun depolarisasi atrium akan memunculkan
gelombang P pada akhir kompleks QRS pada lead V1 6
Gambar 1. Proses terjadinya atrioventricular nodal reentrant tachycardia dan gambaran
EKG yang timbul

2) Atrioventricular Reciprocating (Reentrant) Tachycardia (AVRT)


AVRT merupakan takikardi yang disebabkan oleh adanya satu atau lebih jalur
konduksi aksesori yang secara anatomis terpisah dari sistem konduksi jantung normal.
Jalur aksesori merupakan sebuah koneksi miokardium yang mampu menghantarkan impuls
listrik antara atrium dan ventrikel pada suatu titik selain nodus AV. AVRT terjadi dalam
dua bentuk yaitu orthodromik dan antidromik.
AVRT orthodromik, impuls listrik akan dikonduksikan turun melewati nodus AV
secara antegrade seperti jalur konduksi normal dan menggunakan sebuah jalur aksesori
secara retrograde untuk masuk kembali ke atrium. Karakteristik jenis ini adalah adanya
gelombang P yang mengikuti setiap kompleks QRS yang sempit karena adanya konduksi
retrograde.
Impuls listrik AVRT antidromik akan dikonduksikan berjalan turun melalui jalur
aksesori dan masuk kembali ke atrium secara retrograde melalui nodus AV. Karena jalur
aksesori tiba di ventrikel di luar bundle His, kompleks QRS akan menjadi lebih lebar
dibandingkan biasanya. 2
Gambar 2. Proses terjadinya atrioventricular reciprocating (reentrant) tachycardia dan
gambaran EKG yang timbul.

3) Atrial tachycardia
Sekitar 10% dari semua kasus SVT, namun SVT ini sukar diobati. Takikardi ini
jarang menimbulkan gejala akut. Penemuannya biasanya karena pemeriksaan rutin atau
karena ada gagal jantung akibat aritmia yang lama. Takikardi atrium primer tampak adanya
gelombang P yang agak berbeda dengan gelombang P pada waktu irama sinus, tanpa
disertai pemanjangan interval PR. Pada pemeriksaan elektrofisiologi intrakardiak tidak
didapatkan jaras abnormal (jaras tambahan). 5
Takikardi atrial adalah takikardi fokal yang dihasilkan dari adanya sebuah sirkuit
reentrant mikro atau sebuah fokus otomatis. Atrial flutter disebabkan oleh sebuah ritme
reentry di dalam atrium, yang menimbulkan laju detak jantung sekitar 300 kali/menit dan
bersifat regular atau regular-ireguler. Gambaran EKG akan tampak gelombang P dengan
penampakan “sawtooth”. Perbandingan antara gelombang P dan QRS yang terbentuk
biasanya berkisar 2:1 sampai dengan 4:1. Karena rasio gelombang P terhadap QRS
cenderung konsisten, atrial flutter biasanya lebih regular bila dibandingkan dengan atrial
fibrillation. Atrial fibrillation dapat menjadi SVT jika respon ventrikel yang terjadi lebih
besar dari 100 kali per menit. Takikardi jenis ini memiliki karakteristik ritme ireguler-
ireguler baik pada depolarisasi atrium maupun ventrikel. 2.6
Gambar 3. Proses terjadinya atrial tachycardia dan gambaran EKG yang timbul.
2.7 Gejala Klinis
Gejala klinis takikardia supraventrikular (SVT) biasanya dibawa karena mendadak
gelisah, bernafas cepat, tampak pucat, muntah-muntah, laju nadi sangat cepat sekitar 200-300
per menit, tidak jarang disertai gagal jantung atau kegagalan sirkulasi yang nyata. 7.8
Takikardia supraventrikular pada pasien serangan awal disebabkan oleh sindrom WPW,
baik yang manifes maupun yang tersembunyi (concealed) sering menyebabkan pasien dibawa
ke dokter karena rasa berdebar dan perasaan tidak enak 7
SVT kronik dapat berlangsung selama berminggu-minggu bahkan sampai bertahun-
tahun. Frekuensi denyut nadi yang lebih lambat, berlangsung lebih lama, gejalanya lebih ringan
dan juga lebih dipengaruhi oleh sistem susunana saraf autonom. Sebagian besar pasien terdapat
disfungsi miokard akibat SVT pada saat serangan atau pada SVT sebelumnya. 7
Gejala klinis lain SVT dapat berupa palpitasi, lightheadness, mudah lelah, pusing, nyeri
dada, nafas pendek dan bahkan penurunan kesadaran. Pasien juga mengeluh lemah, nyeri
kepala dan rasa tidak enak di tenggorokan 7
Risiko terjadinya gagal jantung sangat rendah pada anak dan remaja dengan SVT tapi
risikonya meningkat pada neonatus dengan SVT, neonatus dengan WPW dan pada anak dengan
penyakit jantung. Bila takikardi terjadi saat fetus, dapat menyebabkan timbulnya gagal jantung
berat dan hidrops fetalis. (Kothari & Skinner, 2013)

2.8 Diagnosis
Diagnosis SVT berdasarkan pada gejala dan tanda sebagai berikut:
a. Sulit minum, muntah, mudah mengantuk, mudah pingsan, keringat berlebihan. Bila gagal
jantung, maka dapat menjadi pucat, batuk, distress respirasi dan sianosis.
b. Palpitasi, nyeri dada, pusing, kesulitan bernapas, pingsan. Palpitasi, nyeri dada, pusing,
kesulitan bernapas, pucat, keringat berlebihan, mudah lelah, toleransi latihan fisik
menurun, kecemasan meningkat dan pingsan. 7
c. Denyut jantung :150 – 250 kali/menit. 5
d. Perubahan TD (hipertensi atau hipotensi); nadi mungkin tidak teratur; defisit nadi; bunyi
jantung irama tak teratur, bunyi ekstra, denyut menurun; kulit pucat, sianosis, berkeringat;
edema; haluaran urin menurun bila curah jantung menurun berat.
e. Sinkop, pusing, berdenyut, sakit kepala, disorientasi, bingung, letargi, perubahan pupil.
f. Nyeri dada ringan sampai berat, dapat hilang atau tidak dengan obat antiangina, gelisah
g. Napas pendek, batuk, perubahan kecepatan/kedalaman pernafasan; bunyi nafas tambahan
(krekels, ronki, mengi) mungkin ada menunjukkan komplikasi pernafasan seperti pada
gagal jantung kiri (edema paru) atau fenomena tromboembolitik pulmonal; hemoptisis.
h. Demam; kemerahan kulit (reaksi obat); inflamasi, eritema, edema (trombosis siperfisial);
kehilangan tonus otot/kekuatan 5
i. EKG:
(1) AVNRT : gelombang P yang menghilang atau timbul segera setelah kompleks QRS
sebagai pseudo r’ dalam V1 atau pseudo s dalam lead inferior.
(2) AVRT orthodromik : gelombang P yang mengikuti setiap kompleks QRS yang sempit
karena adanya konduksi retrograde. AVRT antidromik : kompleks QRS melebar
(3)
Atrial tachycardia : Rasio gelombang P : QRS berkisar 2:1 sampai dengan 4:1 9
2.9 Penatalaksanaan

Gambar 4 : Alogarithma pada takikardia 9

Secara garis besar penatalaksanaan SVT dapat dibagi dalam dua kelompok yaitu
penatalaksanaan segera dan penatalaksanaan jangka panjang.
1) Penatalaksanaan segera
a. Direct Current Synchronized Cardioversion
Setiap kegagalan sirkulasi yang jelas dan termonitor dengan baik, dianjurkan
penggunaan direct current synchronized cardioversion dengan kekuatan listrik sebesar
0,25 watt-detik/pon yang pada umumnya cukup efektif. DC shock yang diberikan perlu
sinkron dengan puncak gelombang QRS, karena rangsangan pada puncak gelombang
T dapat memicu terjadinya fibrilasi ventrikel. Tidak dianjurkan memberikan digitalis
sebelum dilakukan DC Shock oleh karena akan menambah kemungkinan terjadinya
fibrilasi ventrikel. Apabila terjadinya fibrilasi ventrikel maka dilakukan DC shock
kedua yang tidak sinkron. Apabila DC shock kedua ini tetap tidak berhasil, maka
diperlukan tindakan invasive. 1
b. Manuver Vagal
Tindakan ini dilakukan pada anak yang lebih besar namun tidak dianjurkan pada
bayi karena jarang berhasil. Maneuver vagal yang terbukti efektif adalah perendaman
wajah. Teknik ini dilakukan dengan cara bayi terbungkus handuk dan terhubung ke
EKG, wajah direndam selama sekitar lima detik ke dalam mangkuk air dingin. Akan
tetapi, maneuver vagal yang lain seperti pemijatan sinus karotis dan penekanan pada
bola mata tidak direkomendasikan dan terbukti tidak efektif. Hal tersebut dikarenakan
pemijatan sinus karotis justru dapat menekan pernapasan dan penekanan pada bola
mata memiliki resiko terjadinya luka pada mata dan retina. Jika perendaman wajah
gagal, adenosin dengan dosis awal 200 µg / kg dapat diberikan secara intravena dengan
cepat ke dalam pembuluh darah besar (seperti pada fossa antecubital). Terkadang
dibutuhkan dosis adenosine sampai dengan 500 µg / kg. 10
c. Pemberian adenosin
Adenosin merupakan nukleotida endogen yang bersifat kronotropik negatif,
dromotropik, dan inotropik. Efeknya sangat cepat dan berlangsung sangat singkat
dengan konsekuensi pada hemodinamik sangat minimal. Adenosin dengan cepat
dibersihkan dari aliran darah (sekitar 10 detik) dengan cellular uptake oleh sel endotel
dan eritrosit. Obat ini akan menyebabkan blok segera pada nodus AV sehingga akan
memutuskan sirkuit pada mekanisme reentry. Adenosin mempunyai efek yang minimal
terhadap kontraktilitas jantung. 5
Adenosin merupakan obat pilihan dan sebagai lini pertama dalam terapi SVT
karena dapat menghilangkan hampir semua SVT. Efektivitasnya dilaporkan pada
sekitar 90% kasus7. Adenosin diberikan secara bolus intravena diikuti dengan flush
saline, mulai dengan dosis 50 µg/kg dan dinaikkan 50 µ/kg setiap 1 sampai 2 menit
(maksimal 200 µ/kg). Dosis yang efektif yaitu 100 – 150 µg/kg. Pada sebagian pasien
diberikan digitalisasi untuk mencegah takikardi berulang. 11
Efek samping adenosin dapat berupa nyeri dada, dispnea, facial flushing, dan
terjadinya A-V bloks. Bradikardi dapat terjadi pada pasien dengan disfungsi sinus node,
gangguan konduksi A-V, atau setelah pemberian obat lain yang mempengaruhi A-V
node (seperti beta blokers, calsium channel blocker, amiodaron). Adenosin bisa
menyebabkan bronkokonstriksi pada pasien asma. 5
Kegagalan adenosine dalam menghilangkan takikardi masih mungkin
mengarah pada :
(1) Dosis yang tidak adekuat atau pemberian obat yang terlalu lambat
(2) Proses mekanisme menuju atrial takikardi
(3) Proses mekanisme menuju VT. 12
d. Verapamil
Obat ini juga tersedia untuk penanganan segera SVT, akan tetapi saat ini mulai
jarang digunakan karena efek sampingnya. Obat ini mulai bekerja 2 sampai 3 menit,
dan bersifat menurunkan cardiac output. Banyak laporan terjadinya hipotensi berat dan
henti jantung. Jika diberikan verapamil, persiapan untuk mengantisipasi hipotensi
harus disiapkan seperti kalsium klorida (10 mg/kg), cairan infus, dan obat vasopressor
seperti dopamin. Tidak ada bukti bahwa verapamil efektif mengatasi ventrikular
takikardi pada kasus-kasus yang tidak memberikan respon dengan adenosine. 1
Dosis dari Verapamil yang direkomendasikan oleh PERKI adalah IV 2.5 – 5 mg
perlahan, pemberian 3 kali bila tidak ada gagal jantung
e. Prokainamid.
Pada pasien AVRT atau AVNRT, prokainamid mungkin juga efektif. Obat ini
bekerja memblok konduksi pada jaras tambahan atau pada konduksi retrograd pada
jalur cepat pada sirkuit reentry di nodus AV. Hipotensi juga sering dilaporkan pada
saat loading dose diberikan. Dosis oral yang biasa diberikan berkisar antara 40-100
mg/kg/hari terbagi dalam 4-6 dosis. Dosis awal untuk intravena yang dapat ditoleransi
adalah 5-15 mg/kg, sedangkan untuk dosis pemeliharaan dapat menggunakan 40-100
mcg/kg/menit 13
f. Digoksin
Dilaporkan juga efektif untuk mengobati kebanyakan SVT pada anak. Digoksin
tidak digunakan lagi untuk penghentian segera SVT dan sebaiknya dihindari pada anak
yang lebih besar dengan WPW sindrom karena ada risiko percepatan konduksi pada
jaras tambahan. Digitalisasi dipakai pada pasien tanpa gagal jantung kongestif. 5
g. Flecainide dan sotalol
Merupakan kombinasi baru, yang aman dan efektif untuk mengontrol SVT
yang refrakter. Dosis yang terbukti aman digunakan berkisar 80-180 mg/m2/hari yang
diberikan dalam 2-3 dosis terbagi 12
h. Beta bloker.
Obat ini telah terbukti efektif pada 55% pasien. Selain itu juga penggunaan obat
amiodarone juga berhasil pada 71% pasien dimana di antaranya sebagai kombinasi
dengan propanolol. Keberhasilan terapi memerlukan kepatuhan sehingga amiodarone
dipakai sebagai pilihan terapi pada beberapa pasien karena hanya diminum 1x sehari.
Semua pasien yang diterapi dengan amiodarone, harus diperiksa tes fungsi hati dan
fungsi tiroid setiap 3 bulan. Propanolol dapat digunakan secara hati-hati, sering efektif
dalam memperlambat fokus atrium pada takikardi atrial ektopik. 12

i. Amiodarone ;
Menurut rekomendasi advanced cardiovascular life support, pada pasien – pasien
supraventricular arrythimia dengan tanda-tanda gagal jantung atau kurangnya fungsi
ventrikel kiri, amiodarone lebih dipilih ketimbang procainamide dan sotalol. Ventricular
takikardia stabil atau supraventricular takikardia menggunakan dosis sebanyak 1050 mg
pada 24 jam pertama dengan rejimen berikut:
Langkah 1:
150 mg (100 mL) selama 10 menit pertama (3 mL dalam 100 mL D5W)
Langkah 2:
360 mg (200 mL) selama 6 jam berikutnya (18 mL dalam 500 mL D5W): 1 mg / menit
Langkah 3:
540 mg (300 mL) selama 18 jam berikutnya: 0,5 mg / menit dengan catatan setelah 24 jam
pertama: 0,5 mg / menit menggunakan konsentrasi 1-6 mg / mL. ventricular takikardi stabil
atau supraventricular takikardia dapat menggunakan dosis 150 mg sebagai dosis tambahan
dengan percampuran dalam 100 mL D5W atau NS selama 10 menit. Pemakaian dosis
harian melebihi 2,1 g perhari telah dikaitkan dengan efek samping hipotensi

Setelah terapi Intravena dilanjutkan dengan terapi oral,untuk ketentuan konversi


dari terapi intravena ke oral, Gunakan rejimen berikut ini sebagai panduan:
<1 minggu I.V. infus: 800-1600 mg / hari 1 hingga
3 minggu I.V. infus: 600-800 mg / hari
> 3 minggu I.V. infus: 400 mg.
Konversi dari terapi intravena ke terapi oral belum dievaluasi secara formal. Beberapa ahli
merekomendasikan untuk me 1-2 hari tumpang tindih ketika merubah dari terapi intravena ke
terapi oral terutama ketika mengobati aritmia ventrikel. Pada pasien - pasien yang biasa
mendapatkan terapi amiodarone secara oral jangka panjang (yaitu, ≥ 4 bulan), waktu paruh
eliminasi plasma dari metabolit aktif amiodarone adalah 61 hari. penggantian terapi ke intravena
mungkin tidak diperlukan pada pasien tersebut, jika terapi oral dihentikan untuk jangka waktu <2
minggu, karena setiap perubahan konsentrasi amiodaron serum selama periode ini mungkin tidak
signifikan secara klinis.13
1
Gambar 4. Penatalaksanaan Jangka Pendek SVT Algoritma
2) Penanganan Jangka Panjang
Umur pasien dengan SVT digunakan sebagai penentu terapi jangka panjang SVT.
Di antara yang menunjukkan tanda dan gejala SVT, kurang lebih sepertiganya akan
membaik sendiri dan paling tidak setengah dari jumlah pasien dengan takikardi atrial
automatic akan mengalami resolusi sendiri. Berat ringan gejala takikardi berlangsung dan
kekerapan serangan merupakan pertimbangan penting untuk pengobatan.

Gambar 5. Algoritma Manajemen Jangka Panjang SVT

a. Medikamentosa
Pada sebagian besar pasien tidak diperlukan terapi jangka panjang karena
umumnya tanda yang menonjol adalah takikardi dengan dengan gejala klinis ringan
dan serangan yang jarang dan tidak dikaitkan dengan preeksitasi.
Pasien yang sensitif terhadap pengobatan adenosine dapat diberikan long acting
β blocker, yang telah terbukti aman digunakan dan tidak membutuhkan monitoring
spesifik. Pada pasien yang mengalami syok atau sulit untuk dilakukan kardioversi,
dapat diberikan obat-obatan antiaritmia yang lebih kuat, seperti sotalol, flecainide atau
amiodarone yang masing-masing membutuhkan monitoring intensif. Konsentrasi
flecainide dalam darah harus diukur pada pemberian hari ke tujuh untuk memastikan
tidak tercapainya konsentrasi yang bersifat toksik. Pada pemberian sotalol, harus
dilakukan monitoring terhadap interval QT. Dosis yang diberikan dapat diterima jika
interval QT mencapai 0,5 detik. Sotalol memiliki beberapa efek β blocker dan harus
diperhatikan kemungkinan terjadinya disfungsi miokard. 12
Digoksin kadang-kadang digunakan sebagai obat tambahan yang
dikombinasikan dengan obat-obatan tersebut 13. Digoksin tidak diunakan sebagai terapi
tunggal karena dianggap kurang efektif. Penggunaannya juga berpotensi memberikan
resiko terjadinya atrial takikardi di masa mendatang. Penggunaan digoksin
dikontraindikasikan untuk pasien dengan Wolff-Parkinson-White (WPW) karena
meningkatkan sifat konduksi dari jalur aksesori dan merupakan predisposisi untuk
mempercepat terjadinya fibrilasi atrium dan kematian mendadak pada pasien. 14
Pada pasien dengan serangan yang sering dan berusia di atas 5 tahun,
radiofrequency ablasi catheter merupakan pengobatan pilihan. Pasien yang
menunjukkan takikardi pada kelompok umur ini umumnya takikardinya tidak mungkin
mengalami resolusi sendiri dan umunya tidak tahan atau kepatuhannya kurang dengan
pengobatan medikamentosa. Terapi ablasi dapat dilakukan bila SVT refrakter terhadap
obat anti aritmia atau ada potensi efek samping obat pada pemakaian jangka panjang.
Pada tahun-tahun sebelumnya, alternatif terhadap pasien dengan aritmia yang refrakter
dan mengancam kehidupan hanyalah dengan anti takikardi pace maker atau ablasi
pembedahan. 15
Tabel 1. Klasifikasi obat-obatan yang biasa digunakan dalam manajemen takikardi.
Klasifikasi Obat-Obatan
Kelas 1 : Sodium channel blocker Flecainide, propafenone
Kelas 2 : β blockers Atenolol, propanolol, esmolol,
nodolol
Kelas 3 : potassium channel Amiodarone, sotalol
blocker
Kelas 4 : calcium channel blocker Verapamil, diltiazem

b. Ablasi Kateter
Prosedur elektrofisiologi hampir selalu diikuti oleh tindakan kuratif berupa
ablasi kateter. Ablasi kateter pertama sekali diperkenalkan oleh Gallagher dkk tahun
1982. Sebelum tahun 1989 ablasi kateter dilakukan dengan sumber energi arus
langsung yang tinggi (high energy direct current) berupa DC Shock menggunakan
kateter elektroda multipolar yang diletakkan di jantung. Karena pemberian energi
dengan jumlah tinggi dan tidak terlokalisasi maka banyak timbul komplikasi. Saat ini
ablasi dilakukan dengan energi radiofrekuensi sekitar 50 watt yang diberikan sekitar
30-60 detik. Energi tersebut diberikan dalam bentuk gelombang sinusoid dengan
frekuensi 500.000 siklus per detik (hertz).
Selama prosedur ablasi radiofrekuensi (ARF) timbul pemanasan resistif akibat
agitasi ionik. Jadi jaringan yang berada di bawah kateter ablasi yang menjadi sumber
energi panas, bukan kateter itu sendiri. Thermal injury adalah mekanisme utama
kerusakan jaringan selama prosedur ARF. Meningkatnya suhu jaringan menyebabkan
denaturasi dan evaporasi cairan yang kemudian menimbulkan kerusakan jaringan lebih
lanjut dan koagulasi jaringan dan darah. Kerusakan jaringan permanen timbul pada
temperatur sekitar 50 derajat celsius.
Prosedur ARF adalah prosedur invasif minimal dengan memasukkan kateter
ukuran 4-8 mm secara intravaskular (umumnya ke jantung kanan) dengan panduan
sinar X. Biasanya prosedur ini bersamaan dengan pemeriksaan elektrofisiologi.
Selanjutnya kateter ablasi diletakkan pada sirkuit yang penting dalam mempertahankan
kelangsungan aritmia tersebut di luar jaringan konduksi normal. Bila lokasi yang tepat
sudah ditemukan, maka energi radiofrekuensi diberikan melalui kateter ablasi.
Umumnya pasien tidak merasakan adanya rasa panas tapi kadang-kadang dapat juga
dirasakan adanya rasa sakit. Bila tidak terjadi komplikasi pada pasien, hanya perlu
dirawat selama 1 hari bahkan bisa pulang hari.
Indikasi untuk ARF bergantung pada banyak hal seperti lama dan frekuensi
takikardi, toleransi terhadap gejala, efektivitas dan toleransi terhadap obat anti aritmia,
dan ada tidaknya kelainan struktur jantung. Untuk SVT yang teratur, banyak penelitian
yang menunjukkan bahwa ARF lebih efektif daripada obat dalam aspek peningkatan
kualitas hidup pasien dan penghematan biaya daripada obat anti aritmia.
Dari beberapa meta analisis didapatkan angka keberhasilan rata-rata ARF pada
SVT adalah 90-98% dengan angka kekambuhan sekitar 2-5%. Angka penyulit sekitar
1%. ARF dipertimbangkan sebagai terapi lini pertama dibandingkan dengan obat-
obatan. 16
DAFTAR PUSTAKA

1. American Heart Association, 2011. Guidelines for cardiopulmonary resuscitation and


emergency cardiovascular care: Advanced life support. Circulation, Volume 112, pp. 167-
187.
2. Doniger, S. J. & Sharieff, G. Q., 2010. Dysrythmias. Clinics of North America, Volume
53, pp. 85-105.

3. Chun, T. U. H. & Van Hare, G. F., 2010. Advances in the approach to treatment of
supraventricular tachycardia in population. Current Cardiology Reports, Volume 6, pp.
322-326.

4. Sekar, R. P., 2013. Epidemiology of Arrhythmias. Indian Pacing and Electrophysiology


Journal, Volume 8, pp. 8-13.

5. Manole, M. D. & Saladino, R. A., 2013. Emergency Department Management of the


Patient With Supraventricular Tachycardia. Emergency Care, 23(3), pp. 176-189.

6. Delacrétaz, E., 2012. Supraventricular Tachycardia. New England Journal of Medicine,


354(10), pp. 1039-1051.

7. Dubin, A., 2012. Cardiac arrhythmias. In: R. Kliegmann, R. Behrmann, H. Jenson & B.
Stanton, eds. Philadelphia: Saunders, Elsevier, pp. 1942-1950.

8. Hanash, C. R. & Crosson, J. E., 2010. Emergency Diagnosis and Management of


Arrhythmias. J Emerg Trauma Shock, Volume 3(3), p. 251–260.

9. Link, M. S., 2012. Evaluation and Initial Treatment of Supraventricular Tachycardia. The
New England Journal of Medicine, 367(15),

10. Schlechte, E. A., Boramanand, N. & Funk, M., 2011. Supraventricular Tachycardia in the
Primary Care Setting: Agerelated Presentation, Diagnosis, and Management. Journal of
Health Care, 22(5), pp. 289-299.

11. Hanisch, D., 2012. Arrhythmias. Journal of Nursing, Volume 16, pp. 351-362.

12. Iyer, V. R., 2013. Drug Therapy Considerations in Arrhythmias. Indian Pacing and
Electrophysiology Journal, Volume 8 (3), pp. 202-210.

13. BlomstromLundqvist C. ACC/AHA/ESC guidelines for the management of patients with


supraventricular arrhythmias—executive summary A Report of the American College of
Cardiology/American HeartAssociation Task Force on Practice Guidelines and the European
Society of Cardiology Committee for Practice Guidelines(Writing Committee to Develop Guidelines
for the Management of Patients With Supraventricular Arrhythmias)Developed in collaboration with
NASPE–Heart Rhythm Society. European Heart Journal. 2003;24(20):1857-1897.
14. Wong, K. K., Potts, J. E., Etheridge, S. P. & Sanatani, S., 2012. Medications used to
manage supraventricular tachycardia: A North American Survey. Cardiology, Volume 27,
pp. 199-203.

15. Kothari, D. S. & Skinner, J. R., 2013. Tachycardias: an update. Volume 91, p. 136–144.

16. Kim, Y. H., Park, H.-S., Hyun, M. C. & Kim, Y.-N., 2012. Tachyarrhythmia and
Radiofrequency Catheter Ablation: Results From 1993 to 2011. Korean Circulation
Journal, Volume 42, pp. 735-740.

Anda mungkin juga menyukai