Anda di halaman 1dari 19

REFRESHING

HIV

Disusun Oleh :
Herni Maulidyah
2015730054

KEPANITERAAN KLINIK
ILMU PENYAKIT DALAM
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH SAYANG CIANJUR
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas karuniaNya sehingga penulis
dapat menyelesaikan tugas refreshing dengan judul “HIV”. Refreshing ini penulis ajukan
sebagai salah satu persyaratan untuk menyelesaikan kepanitraan klinik stase Ilmu Penyakit
Dalam di Program Studi Kedokteran, Fakultas Kedokteran dan Kesehatan, Universitas
Muhammadiyah Jakarta.
Penulis menyadari refreshing ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kritik
dan saran sangat diharapkan guna perbaikan selanjutnya. Atas selesainya refreshing ini,
penulis menyampaikan terima kasih kepada dokter yang telah memberikan arahan dan
bimbingannya. Semoga tugas refreshing ini dapat menambah ilmu pengetahuan bagi penulis
dan para pembaca.

Jakarta, April 2020


Penulis

Herni Maulidyah

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................1
DAFTAR ISI..............................................................................................................................2
BAB I.........................................................................................................................................3
PENDAHULUAN.....................................................................................................................3
BAB II........................................................................................................................................4
PEMBAHASAN........................................................................................................................4
2.1. Definisi........................................................................................................................4
2.2. Epidemiologi...............................................................................................................4
2.3. Etiologi........................................................................................................................4
2.4. Patogenesis..................................................................................................................4
2.5. Gambaran klinis..........................................................................................................5
2.6. Alur diagnosis..............................................................................................................9
2.7. Pemeriksaan penunjang.............................................................................................11
2.8. Tatalaksana................................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................17
BAB I
PENDAHULUAN

Masalah HIV/AIDS merupakan masalah besar yang dapat mengancam Indonesia dan
banyak dialami oleh negara lain di seluruh dunia. UNAIDS, badan WHO yang mengatasi
masalah AIDS, memperkirakan jumlah odha di seluruh dunia pada Desember 2004 sebesar 35,9
– 44,3 juta orang. Saat ini tidak ada negara yang terbebas dari HIV/AIDS. Negara Indonesia
merupakan negara urutan ke-5 paling berisiko HIV/AIDS di Asia1,2.

Berdasarkan UNAIDS pada tahun 2014, di seluruh dunia 35 juta orang hidup dengan
HIV dan 19 juta orang tidak menyadari bahwa mereka positif HIV. Di Indonesia laporan kasus
HIV terus mengalami peningkatan setiap tahunnya, pada tahun 2014 angka pencapaian kasus
sebesar 32.711 dan mengalami penurunan pada tahun 2015 mencapai 30.935. Namun kasus terus
menerus mengalami kenaikan. Pada tahun 2017 angka positif HIV mencapai 48.300 kasus.
Persentase penderita berdasarkan jenis kelamin pada tahun 2017 banyak diderita oleh laki-laki,
dengan persentase 38% perempuan dan 62% laki-laki2.

HIV dan virus-virus sejenisnya umumnya dapat ditularkan melalui kulit lapisan dalam
(membran mukosa) atau aliran darah, cairan tubuh dari penderita HIV seperti darah, air mani,
cairan vagina, cairan preseminal dan ASI. Penularan dapat terjadi melalui hubungan intim,
transfusi darah, jarum suntik, antara ibu dan bayi selama kehamilan, bersalin pervaginam,
menyusui3.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Definisi

AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) diartikan sebagai kumpulan dari


beberapa gejala atau penyakit yang disebabkan oleh menurunnya sistem imun atau daya
tahan tubuh akibat infeksi virus HIV. Virus HIV termasuk famili retroviridae. Dan AIDS
merupakan tahap akhir dari infeksi HIV1.

2.2. Epidemiologi
Badan WHO yang megatasi masalah AIDS, diperkirakan jumlah ODHA di seluruh
dunia pada Desember 2004 telah mencapai 35,9 – 44,3 juta orang. Berdasarkan UNAIDS
pada 2014, di seluruh dunia terdapat 35 juta orang hidup dengan HIV dan 19 juta orang
tidak mengetahui bahwa mereka positif menderita HIV. Di Indonesia laporan kasus HIV
setiap tahunnya terus mengalami kenaikan, pada tahun 2014 angka pencapaian kasus
sebesar 32.711 kasus dan mengalami penurunan pada tahun 2015 mencapai 30.935 kasus.
Namun setelah itu terus menerus mengalami kenaikan kasus. Pada tahun 2017 angka
positif HIV mencapai 48.300 kasus. Persentase penderita berdasarkan jenis kelamin pada
tahun 2017 banyak diderita oleh laki-laki, dengan persentase 38% perempuan dan 62%
laki-laki2.

HIV dan virus-virus sejenisnya umumnya dapat ditularkan melalui kulit lapisan
bagian dalam (membran mukosa) atau aliran darah, cairan tubuh dari penderita HIV seperti
darah, air mani, cairan vagina, cairan preseminal dan ASI. Penularan dapat terjadi melalui
hubungan intim, jarum suntik, transfusi darah, dapat terjadi antara ibu dan bayi selama
masa kehamilan, bersalin melalui pervaginam, menyusui3.

2.3. Etiologi
HIV termasuk dari famili Retrovirus subfamili Lentivirus. HIV merupakan
penyebab AIDS pertama1.

2.4. Patogenesis
Sel target utama dari infeksi HIV merupakan Limfosit CD4+ karena virus tersebut
memiliki afinitas terhadap molekul permukaan CD4. Fungsi dari CD4+ itu sendiri untuk
mengkoordinasi sejumlah fungsi imunologis yang penting. Jika fungsi tersebut telah hilang
maka dapat menyebabkan gangguan respon imun tubuh yang progresif1.

Setelah virus HIV masuk ke dalam tubuh, virus akan menuju ke kelenjar limfe dan
berhinggap di dalam sel dendritik selama beberapa hari. Kemudian terjadilah sindrom
retroviral akut dengan gejala yang mirip seperti sedang mengalami flu. Sehingga timbul
respon imun humoral maupun seluler pada tubuh. Sindrom ini akan hilang dengan
sendirinya setelah 1-3 minggu. Sistem imun dalam tubuh dapat menurunkan kadar virus
tersebut1,3.

Proses ini berlangsung selama berminggu- minggu sehingga terjadi keseimbangan


antara pembentukan virus baru dan upaya untuk eliminasi oleh respon imun tubuh. Titik
keseimbangan disebut dengan set point dan sangat penting karena menentukan perjalanan
penyakit selanjutnya. Bila tinggi, perjalanan penyakit menuju AIDS akan berlangsung
dengan lebih cepat1,3.

Serokonversi merupakan perubahan antibodi dari hasil negative menjadi positif,


yang terjadi 1-3 bulan setelah terinfeksi, tetapi ada juga yang dilaporkan sampai 8 bulan.
Selanjutnya pasien akan memasuki masa tanpa gejala. Dalam masa ini terjadi penurunan
bertahap pada jumlah CD4 ( nilai normal 800-1000) yang akan terjadi setelah replikasi
persisten HIV dengan kadar RNA virus relative konstan1,3.

Sebagian kasus menunjukkan gejala yang tidak khas pada infeksi HIV akut, yaitu 3-
6 minggu setelah terinfeksi. Masa tanpa gejala biasanya berlangsung selama 8-10 tahun.
Namun ada juga sekelompok kecil orang yang perjalanan penyakitnya sangat cepat, dapat
terjadi berkisar hanya 2 tahun, dan ada juga yang perjalanan penyakitnya lambat1.

Perjalanan penyakit pada HIV2,3


1. Transmisi virus
2. Infeksi HIV primer ( sindrom retroviral akut ) 2-6 minggu
3. Serokonversi
4. Infeksi kronik asimptomatik
5. AIDS ( CD4 <200/mm3 ), infeksi oportunistik
6. Infeksi HIV lanjut ( CD4<50/mm3)

2.5. Gambaran Klinik


Pada umumnya penderita HIV tidak memberikan gejala karena memiliki sistem
kekebalan tubuh yang baik. Infeksi oportunistik sering didapati pada penderita AIDS.
Infeksi oportunistik tertentu yang dapat diderita oleh pasien AIDS, juga tergantung pada
tingkat kekerapan terjadinya infeksi tersebut di wilayah geografis dimana pasien tersebut
tinggal. HIV dapat mempengaruhi atau memberika dampak kelainan hampir semua organ
tubuh4.

Pada masa infeksi HIV akut, terdapat gejala yang tidak khas. Seperti, demam, nyeri
menelan, pembesaran kelenjar getah bening, ruam pada kulit, masalah pencernaan seperti
diare, atau batuk. Semakin memburuknya sistem imun tubuh, ODHA (orang dengan HIV
AIDS) mulai menunjukkan gejala oportunistik seperti berat badan yang menurun, demam
lama, keringat terutama terjadi pada malam hari, merasa kedinginan, tubuh terasa lemah,
pembesaran kelenjar getah bening, diare, TB, infeksi jamur, herpes, dan lain-lain1.

Dapat ditemukan gejala sistemik berupa:


1. Penyakit paru-paru:
Dapat terjadi pneumonia yang disebabkan oleh Pneumocystis jirovecii.
Namun ini jarang terjadi pada orang sehat yang memiliki daya tahan tubuh yang
baik, tetapi umumnya dijumpai pada orang yang terinfeksi HIV1.

Selain itu dapat terjadi tuberkulosis (TBC) yang merupakan infeksi unik di
antara infeksi-infeksi lainnya yang terkait dengan HIV, karena dapat ditularkan
kepada orang yang sehat (imunokompeten) melalui rute pernapasan (respirasi).
Dapat mudah ditangani jika telah terindentifikasi lebih cepat, dapat muncul pada
stadium awal HIV, serta dapat juga dicegah melalui terapi pengobatan. Walaupun
demikian, resistensi TBC terhadap berbagai obat merupakan masalah potensial
pada penyakit ini1.

2. Penyakit saluran pencernaan


Dapat terjadi esofagitis. Pada penderita HIV ini terjadi karena infeksi jamur
(yang disebabkan oleh jamur kandidiasis) atau virus (seperti herpes simpleks-1
atau virus sitomegalo). Diare kronis juga dapat terjadi karena berbagai penyebab
seperti infeksi bakteri dan parasit yang umum (seperti Salmonella, Shigella,
E.coli), serta infeksi oportunistik yang tidak umum dan virus (seperti
kriptosporidiosis, mikrosporidiosis dan vrius sitomegalo (CMV))1.
3. Penyakit kulit
Antara lain dapat terjadi herpes zoster, papular pruritic eruptions, dermatitis
seboroik1.

Menurut KPA (2007) gejala klinis terdiri dari 2 gejala yaitu gejala mayor (umum
terjadi) dan gejala minor (tidak umum terjadi):
Gejala mayor:
a. Berat badan menurun lebih dari 10% dalam 1 bulan

b. Diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan

c. Demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan

d. Penurunan kesadaran dan gangguan neurologis

e. Demensia/ HIV ensefalopati

Gejala minor:
a. Batuk menetap lebih dari 1 bulan

b. Dermatitis generalisata

c. Adanya herpes zoster multisegmental dan herpes zoster berulang

d. Kandidias orofaringeal

e. Herpes simpleks kronis progresif

f. Limfadenopati generalisata
g. Retinitis virus Sitomegalo

Menurut Mayo Foundation for Medical Education and Research (MFMER) (2008),
gejala klinis dari HIV/AIDS dibagi atas beberapa fase, yaitu:
a. Fase awal
Pada awal infeksi, mungkin tidak ditemukan gejala dan tanda-tanda infeksi. Tapi
terkadang juga ditemukan gejala mirip flu seperti demam, sakit kepala, sakit tenggorokan,
ruam pada kulit dan pembesaran kelenjar getah bening. Walaupun tidak mempunyai gejala
infeksi pada penderita HIV/AIDS, penderita tersebut tetap dapat menularkan virus kepada
orang lain.
b. Fase lanjut
Penderita akan tetap bebas dari gejala infeksi selama 8 sampai 9 tahun atau lebih.
Tetapi seiring dengan perkembangan virus dan hancurnya sel imun dalam tubuh, penderita
HIV/AIDS akan mulai memperlihatkan gejala yang kronis seperti pembesaran kelenjar getah
bening (sering merupakan gejala yang khas), diare, berat badan menurun, demam, batuk dan
pernafasan yang pendek.

c. Fase akhir
Selama fase akhir dari HIV, terjadi sekitar 10 tahun atau lebih setelah terinfeksi
HIV, gejala yang lebih berat akan mulai muncul dan infeksi tersebut akan berakhir pada
penyakit yang disebut AIDS.

Stadium klinis HIV menurut WHO5:

1. Stadium klinis 1 : tidak bergejala, limfadenopati meluas persisten, aktivitas normal


2. Stadium klinis 2 : simptomatis, aktivitas normal

o BB menurun <10% dari BB semula


o Kelainan kulit dan mukosa ringan seperti dermatitis seboroik, Papular Prurutic
Eruption (PPE), infeksi jamur kuku, ulkus oral yang rekuren, cheilitis angularis
o Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir
o ISPA, seperti sinusitis bacterial

3. Stadium klinis 3 : selama 1 bulan terakhir tinggal di tempat tidur <50%

o BB menurun >10% dari BB semula


o Diare kronis yang tidak diketahui penyebabnya > 1 bulan
o Demam tanpa sebab yang jelas > 1 bulan (intermiten atau konstan)
o Kandidiasis oral
o Hairy leukoplakia oral
o TB paru dalam 1 tahun terakhir
o Infeksi bakteri berat (pneumonia)
o Angiomatosis basiler
o Herpes zoster yang berkomplikasi

4. Stadium klinis 4 : berbaring di tempat tidur selama 1 bulan terakhir > 50%
o HIV wasting syndrome (BB turun 10% + diare kronik >1bulan atau demam > 1
bulan yang tidak disebabkan penyakit lain)
o Pneumonia pneumocystis (PCP)
o Toksoplasmosis pada otak
o Kriptosporidosis, Microsporidiosis dengan diare > 1 bulan
o Kriptokokosis ekstra paru
o Cytomegalovirus (CMV) pada 1 organ selain hati, limpa, kelenjar getah bening
(mis:retinitis)
o Herpes simplex virus (HSV) mukokutaneus >1 bulan
o Kandidiasis esophagus, trakea, bronkus atau paru-paru
o Mikobakteriosis atipik disseminate atau di paru
o Septikemi salmonella non tifoid
o TB ekstra paru
o Limfoma
o Sarkoma Kaposi
o Ensefalopati HIV (gangguan dan/atau disfungsi motorik yang mengganggu aktivitas
hidup sehari-hari dan berlangsung beberapa minggu/bulan yang tidak disertai
penyakit lain.

2.6. Alur Diagnosis3,5


1. Lakukan anamnesis untuk mengetahui gejala infeksi oportunistik dan kanker yang
terkait dengan AIDS
2. Mencari tahu perilaku berisiko yang memungkinkan terjadinya penularan
3. Pemeriksaan fisik untuk mencari tanda infeksi oportunistik dan kanker yang dapet
terkait. Dan juga melakukan pemeriksaan apakah ada perubahan pada kelenjar dan
pemeriksaan mulut.
4. Dalam pemeriksaan penunjang mencari tahu total jumlah limfosit dan antibodi HIV.

Bila hasil pemeriksaan antibodi positif maka dilakukan pemeriksaan jumlah CD4,
protein purified derivative (PPD), serologi toksoplasma, serologi sitomegalovirus, serologi
PMS, hepatitis, dan pap smear. Sedangkan pada pemeriksaan untuk follow up diperiksa
jumlah CD4. Bila > 500 maka pemeriksaan diulang tiap 6 bulan. Sedangkan bila jumlahnya
200-500 maka diulang tiap 3-6 bulan, dan bila < 200 diberikan profilaksis pneumonia
Pneumocystis carinii. Pemberian profilaksis INH tidak tergantung pada jumlah CD4.
Perlu juga dilakukan pemeriksaan viral load untuk mengetahui awal pemberian obat
antiretroviral dan memantau hasil pengobatan. Bila tidak tersedia peralatan untuk
pemeriksaan CD4 (mikroskop fluoresensi) untuk kasus AIDS dapat digunakan rumus CD4 =
1/3 X jumlah limfosit total.

Terdapat algoritme strategi untuk mendiagnosis HIV1:


2.7. Pemeriksaan Penunjang
Untuk menegakkan diagnosis HIV dengan mengkombinasikan antara gejala klinis
dan pemeriksaan laboratorium. Misalnya pada pemeriksaan laboratorium dengan
melakukan pemeriksaan antigen p24, PCR HIV-RNA atau kultur virus, atau dengan cara
yang tidak langsung adalah dengan deteksi respon imun terhadap infeksi HIV atau dampak
klinis dari infeksi HIV. Terdapat “window period” adalah ketika tubuh telah terinfeksi
namun pemeriksaan antibodi menunjukkan hasil negatif. Masa ini berlangsung hingga 6
bulan, tetapi sebagian besar berlangsung kurang dari 3 bulan1.

 Pemeriksaan antigen p24


Dilakukannya pemeriksaan antigen p24 yang terdapat pada serum, plasma dan cairan
serebropsinal. Kadarnya dapat meningkat pada masa awal infeksi dan beberapa saat
sebelum memasuki stadium akhir. Pada penderita yang baru terinfeksi, hasilnya positif
sampai 45 hari setelah terinfeksi1.

 Kultur HIV
Dapat diambil sampelnya dari cairan plasma, serum, peripheral blood mononuclear
cells (PBMCs), cairan serebrospinal, saliva, lendir serviks, ASI. Pada masa kultur
biasanya tumbuh dalam waktu 21 hari1.

 HIV-RNA
Sering juga disebut sebagai “viral load” yang menggunakan teknologi PCR untuk
mengetahui jumlah virus dalam darah. Pemeriksaan ini penting untuk mengetahui
dinamika virus dalam tubuh. Selain itu, pemeriksaan ini juga sebagai monitoring
pengobatan ARV1.

 Pemeriksaan antibodi
Secara umum dijadikan sebagai pemeriksaan skrining dan konfirmasi. Untuk metode
skrining yang sering digunakan adalah ELISA (Enzyme linked immunosorbent assay).
Selain ELISA, terdapat pemeriksaan serologi lain yang lebih sederhana seperti
aglutinasi, imunofiltrasi, imunokromatografi dan uji celup. Sampai saat in,
pemeriksaan untuk konfirmasi diagnosis yang sering digunakan adalah Western Blot
(WB)1.

2.8. Tatalaksana1,3,5
Penemuan obat anti retroviral yang kuat pada tahun 1996 mendorong suatu revolusi
dalam pengobatan ODHA di Negara maju. Walaupun belum terbukti dapat menyembuhkan
penyakit AIDS dan menambah tantangan dalam hal efek samping serta resistensi kronis
terhadap obat, namun dapat menunjukan angka kematian dan kesakitan, peningkatan
kualitas hidup ODHA3.

Tujuan pengobatan ARV3:


1. Mengurangi laju penularan HIV di masyarakat
2. Menurunkan angka kesakitan dan kematian yang berhubungan dengan HIV
3. Memperbaiki kualitas hidup ODHA
4. Memulihkan/ memelihara fungsi kekebalan tubuh.
5. Menekan replikasi virus secara maksimal dan secara terus menerus.

Indikasi pemberian ART:


ODHA dewasa seharusnya segera mulai ART manakala infeksi HIV telah ditegakan
secara laboratorium disertai salah satu kondisi dibawah ini.
 Secara klinis sebagai penyakit tahap lanjut dari infeksi HIV :
 Infeksi HIV stadium IV, tanpa memandang jumlah CD4
 Infeksi HIV stadium III dengan jumlah CD4 < 350
 Infeksi HIV stadium I atau II dengan jumlah CD4 < 200

Artinya bahwa ART untuk penyakit stadium IV ( sesuai dengan kriteria WHO yang
disebut AIDS secara klinis), tidak harus tergantung pada jumlah CD4. Untuk stadium III,
bila tersedia sarana pemeriksaan CD4 akan membantu untuk menentukan saat pemberian
terapi yang lebih tepat.

Untuk kondisi stadium III dengan batas nilai 350/mm3 karena pada nilai dibawahnya
biasanya kondisi pasien mulai menunjukkan perkembangan penyakit yang cepat
memburuk dan sesuai dengan pedoman yang ada. Bagi pasien dalam stadium I atau II,
maka jumlah CD4 < 200 /mm3 merupakan indikasi pemberian terapi.
Pada pedoman WHO terdahulu pada tahun 2002 direkomendasikan bahwa rejimen
lini pertama terdiri atas dua NRTI ditambah salah satu NNRTI atau Abacavir atau protease
inhibitor5.
Stavudin seringkali menimbulkan lipoatrofi, dan kelainan metabolisme lain di
negara maju, termasuk adanya asidosis laktat, terutama bila dikombinasikan dengan
Didanosine ( ddl). Dapat juga mengakibatkan neuropati perifer dan pankreatitis. AZT juga
dapat berdampak pada komplikasi metabolik dengan derajat yang lebih rendah dibanding
stavudin. AZT dan d4T bekerja secara antagonistik, sehingga tidak boleh digunakan secara
bersamaan5.
Ada kemungkinan perlu mengganti ART baik oleh karena toksisitas atau kegagalan
terapi1,3.
a) Toksisitas
Toksisitas terkait dengan ketidakmampuan untuk menahan efeksamping dari obat,
sehingga terjadi disfungsi dari organ yang cukup berat. Bila toksisitas terkait dengan obat
atau rejimen yang dapat diidentifikasi dengan jelas, maka diganti dengan obat yang tidak
memiliki efek samping yang serupa, misalnya, mengganti AZT dengan d4T ( untuk
anemia).
b) Kegagalan terapi
Kegagalan terapi dapat didefinisikan secara klinis dengan menilai perkembangan penyakit,
secara imunologis dengan penghitungan CCD4 atau secara virologist dengan mengukur
viral- load.
DAFTAR PUSTAKA

1. Setiati S, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Ed.VI. Jakarta: InternaPublishing. 2014
2. Situasi Umum HIV/AIDS dan Tes HIV. Jakarta: Pusat Data dan Informasi Kemenkes RI. 2017
3. Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan
Penyehatan Lingkungan. Jakarta: Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral. 2004
4. Baratawidjaja, Karnen, Iris Rengganis. Imunologi Dasar Edisi IX. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2010
5. https://aidsinfo.nih.gov/ guidelines

Anda mungkin juga menyukai