Anda di halaman 1dari 41

LAPORAN KASUS

Ketoasidosis Diabetikum dengan Hipertensi

Pembimbing:
dr. Chofi Qolbi NA, Sp.PD

Pendamping:
dr. Desti Nurul Qomariyah

Disusun oleh:
dr. Herni Maulidyah

PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA


RUMAH SAKIT HERMINA CIRUAS
SERANG

2022
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.................................................................................................................1

BAB I LAPORAN KASUS...........................................................................................2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................................12

2.1 Ketoasidosis Diabetikum..............................................................................12

2.1.1 Definisi Ketoasidosis Diabetikum.......................................................12

2.1.2 Epidemiologi Ketoasidosis Diabetikum..............................................12

2.1.3 Etiologi Ketoasidosis Diabetikum........................................................13

2.1.4 Patofisiologi Ketoasidosis Diabetikum................................................14

2.1.5 Diagnosis Ketoasidosis Diabetikum.....................................................15

2.1.6 Diagnosis Banding Ketoasidosis Diabetikum......................................18

2.1.7 Tatalaksana Ketoasidosis Diabetikum.................................................19

2.1.8 Komplikasi Ketoasidosis Diabetikum..................................................24

2.1.9 Prognosis Ketoasidosis Diabetikum.....................................................25

2.2 Hipertensi.......................................................................................................26

BAB III PEMBAHASAN...........................................................................................35

1
BAB I

LAPORAN KASUS

I. Identitas Pasien

RM : 1210245902

Nama Pasien : Tn. S

Jenis Kelamin : Laki-laki

Usia : 51 tahun

Pekerjaan : karyawan swasta

Alamat : Serang, Banten

Tanggal masuk : 29 Agustus 2022

Tanggal pemeriksaan : 29 Agustus 2022

II. Anamnesis

Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis di ruang IGD RS Hermina Ciruas,


Serang.

Keluhan Utama

Badan terasa lemas sejak 2 minggu sebelum masuk rumah sakit


(SMRS).

2
Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang dengan keluhan badan terasa lemas sejak 2 minggu SMRS.
Keluhan disertai pusing, sering BAK bahkan sampai mengganggu saat tidur di malam
hari. Pasien mengatakan saat BAK berbau seperti gula sekitar 3 hari terakhir.
Keluhan mual, muntah, sesak napas, lemah anggota gerak tubuh, bicara pelo
disangkal. Pasien rutin konsumsi obat amlodipine 1 x 10 mg, candesartan 1 x 8 mg
dan velacom plus 1 x 1 tab.

Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien memiliki riw DM dan HT sekitar sudah 3 tahun, sekitar 1-2 tahun yang
lalu pasien memiliki riw dirawat di ICU karena keton dalam darah yang tinggi.

Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat diabetes mellitus, hipertensi, gangguan jantung ataupun stroke di


keluarga pasien disangkal.

Riwayat Kebiasaan

Pasien merupakan seorang pegawai swasta. Pasien sehari-hari tinggal


bersama istri dan kedua anaknya. Pasien cukup menjaga pola makan dan
aktivitasnya. Pasien jarang mengkonsumsi kopi, minuman dan makanan yang manis.
Pasien mengatakan sekali makan nasi sekitar setengah centong nasi. Makan tidak
banyak namun sering. Pasien berolahraga jalan sore atau naik sepeda seminggu
sekali. Kebiasaan mengkonsumsi alkohol atau merokok disangkal.

III. Pemeriksaan Fisik

Status Generalis

Keadaan Umum : Tampak sakit sedang


Kesadaran : GCS 15 (E4M6V5)
Tekanan darah : 110/70 mmHg
3
Nadi : 119 x/menit
Pernapasan : 20 x/menit
Suhu : 36.6 ⁰C
SpO2 : 97% room air
BB : 65 kg

Kepala dan Leher

 Bentuk : Normochepali
 Mata : Sklera ikterik (-/-), Konjungtiva anemis (-/-), pupil isokor
 THT : Napas cuping hidung (-), deviasi septum (-), sekret (-), bau keton (-)
 Leher : Pembesaran KGB (-), JVP tidak meningkat

Thorax

 Inspeksi : Bentuk dan pergerakan simetirs kanan dan kiri, retraksi (-)
 Palpasi : Pengembangan dada simetris, vocal fremitus simetris kanan dan kiri
 Perkusi : Sonor pada seluruh lapang paru
 Aukultasi : Vesikuler normal (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)

Jantung

 Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat


 Palpasi : Iktus cordis tidak teraba
 Perkusi : Batas jantung dalam batas normal
 Auskultasi: BJ I-II reguler, murmur (-), gallop

(-) Abdomen

 Inspeksi : perut datar, striae (-), caput medusa (-)


 Auskultasi: Bising usus normal (+)
 Perkusi : Timpani (+)
 Palpasi : Supel, Massa (-)

Ekstremitas : Akral hangat, capillary refill time <2 detik, edema (-)
4
IV. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium tanggal 29 Agustus 2022 pukul 22:15

Pemeriksaan Hasil Nilai Normal Satuan

Hematologi

Haemoglobin 15,2 13,2 – 17,3 g/dL

Hematokrit 42,9 40,0 – 52,0 %

Leukosit 5.950 3.800 – 10.600 /uL

Trombosit 257.000 150.000 – 350.000 /uL

Kimia Klinik

Glukosa Sewaktu 458 70 – 100 mg/dl

Ureum Darah 20 15,0 – 45,0 mg/dl

Kreatinin Darah 1.2 0.80 – 1.30 mg/dl

Keton Darah 1.6 ≤ 0.6 mmol/L

Elektrolit

Natrium 130,2 135 – 147 mmol/L

Kalium 3,79 3,50 – 5,00 mmol/L

Klorida 98,8 94 – 111 mmol/L

Serologi

Covid-19 Antigen Rapid Test Negatif Negatif

Kesan: hiperglikemia, ketonemia, hiponatremia

5
Pemeriksaan EKG

Interpretasi EKG

 Irama : reguler
 Aksis : normoaksis
 Laju Nadi : 88 x/menit
 Gelombang P : 0.04 s
 PR interval : 0.16 s
 Kompleks QRS : 0.12 s
 Segmen ST : ST depresi (-), ST elevasi (-)

Kesan: Sinus rythm

6
V. Resume

Pasien datang dengan kesadaran penuh mengeluhkan badan terasa lemas


sejak 2 minggu SMRS. Keluhan disertai pusing, sering BAK bahkan sampai
mengganggu saat tidur di malam hari. Pasien mengatakan saat BAK berbau
seperti gula. Keluhan mual, muntah, sesak napas, lemah anggota gerak tubuh,
bicara pelo disangkal. Pasien rutin konsumsi obat amlodipine 1 x 10 mg,
candesartan 1 x 8 mg dan velacom plus 1 x 1 tab. Pasien memiliki riw DM dan
HT sekitar sudah 3 tahun, sekitar 1-2 tahun yang lalu pasien memiliki riw dirawat
ICU karena keton dalam darah yang tinggi. Pasien memiliki kebiasaan cukup
menjaga pola makan dan aktivitasnya. Pasien jarang mengkonsumsi kopi,
minuman dan makanan yang manis. Pasien mengatakan sekali makan nasi sekitar
setengah centong nasi. Makan tidak banyak namun sering. Pasien berolahraga
jalan sore atau naik sepeda seminggu sekali. Kebiasaan mengkonsumsi alkohol
atau merokok disangkal.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang,


GCS E4M6V5, tekanan darah 110/70 mmHg, nadi 119 x/menit, pernapasan 20
x/menit, suhu 36.6 ⁰C, SpO2 97% room air. Pemeriksaan EKG menunjukkan
sinus ritmia. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan hiperglikemia dengan
GDS 458 mg/dl, ketonemia dengan keton 1,6 mmol/L, hiponatremia dengan
natrium 130,2 mmol/L.

7
VI. Diagnosis
- Differential diagnosis:
1. Ketosis Diabetikum
2. Ketoasidosis Diabetikum

- Working Diagnosis:
Ketoasidosis Diabetikum dengan Hipertensi

VII.Tatalaksana
Terapi IGD
 O2 nasal cannule 3 lpm
 Loading NaCl 0.9% 2 liter dalam 1 jam pertama
Rencana Tatalaksana
Advis spesialis penyakit dalam:
 Rawat ICU
 NaCl 0,9% loading 1 L / jam selama 4 jam
 Selanjutnya NaCl 0,9% 500 cc / jam selama 4 jam
 Maintenance NaCl 0,9% 20 TPM
 Cek Kalium
 Cek AGD: jika pH < 7 --> masuk bicnat, jika pH > 7 --> tidak perlu bicnat
 Insulin sliding scale / 6 jam
 Amlodipine dan candesartan yang rutin diminum lanjutkan, velacom plus
nya di stop.

VIII. Prognosis

Quo ad vitam : dubia

Quo ad sanactionam : dubia

Quo ad functionam : dubia

8
IX. Follow Up

Tanggal Keadaan Klinis Assessment Rencana Terapi

29 Agustus S/ badan terasa lemas - Ketoasidosis Konsul spesialis penyakit


dalam:
2022 diabetikum
O/
- HT
KU: TSS - Rawat ICU  menolak
- Maintenance NaCl 0,9%
GCS: 15 (E4M6V5) 20 TPM
TD: 125/82 mmHg - Insulin sliding scale / 6
jam
N: 90 x/menit
- Tidak cek AGD bila
klinis baik
RR: 18 x/menit

S: 36.6 ⁰C

SpO2: 99%

GDS : 458

30 Agustus S/ badan terasa lemas - Ketoasidosis Konsul spesialis penyakit


dalam:
2022 diabetikum
O/
- HT
KU: TSS - Ryzodeg 0 -14 – 0

GCS: 15 (E4M6V5) - Cek GDP per hari

TD: 120/88 mmHg - Amlodipin dan


candesartan lanjut (1 x 10
N: 90 x/menit
mg, Candesartan 1 x 8
RR: 20 x/menit mg)
S: 36.8 ⁰C

SpO2: 99%

GDS : 349

9
31 Agustus S/ badan sudah tidak - Ketoasidosis Konsul spesialis penyakit
lemas dalam:
2022 diabetikum
O/ - HT - Diet DM 1700 kkal dibagi

KU: TSS 3 makan besar 2 selingan


(snack) diantara pagi dan
GCS: 15 (E4M6V5)
siang , dan snack malam
TD: 161/111 mmHg - Ryzodeg 0 -14 - 0 sc,

N: 78 x/menit sekarang masuk actrapid 6


unit sc
RR: 20 x/menit
- Nanti malam cek GDS jam
S:36.6 ⁰C 20.00, jika GD 201-249
SpO2: 99% masuk actrapid 4 unit extra ,
jika GD 250-299 masuk
GDS : 272
actrapid 8 unit sc , jika GD
300-350 masuk actrapid 12
unit SC , jika GD > 350
masuk actrapid 16 unit SC
- Cek GDP per hari,
amlodipin lanjut dan
candesartan nasik 16 mg.

1 September S/ tidak ada keluhan - Insulin Konsul spesialis penyakit


dalam:
2022 dependent
O/
diabetes - BLPL
KU: TSS mellitus
- ryzodeg 0-0-14 sc
GCS: 15 (E4M6V5) - HT
- tensivask 1x5 mg
TD: 150/88 mmHg - candotens 1x8 mg

N: 84 x/menit

RR: 20 x/menit

10
S: 36 ⁰C

SpO2: 99%

GDS: 221

11
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Ketoasidosis Diabetikum

Diabetes Mellitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolic


dengan karakteristuk hiperglikemia yang terjadi akibat kelainan sekresi insulin, kerja
insulin atau keduanya. Adapun klasifikasi DM menurut American Diabetes
Association (ADA), antara lain DM tipe 1 yang ditandai dengan destruksi sel beta,
dan biasanya sampai kepada defisiensi insulin yang absolut, dan DM tipe 2 yang
ditandai dengan resistensi insulin dengan defisiensi insulin relatif, DM gestasional
dan DM tipe spesifik lainnya akibat penyakit lain. Kondisi hiperglikemia pada pasien
dengan DM ditandai dengan adanya keluhan klasik berupa poliuira, polidipsia dan
polifagia.1

Ketoasidosis diabetikum (KAD) adalah gangguan metabolik akut yang


ditandai dengan peningkatan badan keton dalam sirkulasi yang berlanjut menjadi
ketosis dan asidosis berat dengan hiperglikemia tidak terkontrol akibat defisiensi
insulin. Umumnya KAD ditemukan pada pasien dengan insulin dependent diabetes
mellitus atau diabetes mellitus (DM tipe 1) dan pada pasien yang tidak patuh terapi
insulin (DM tipe 2) atau dengan infeksi berat.2 KAD perlu dikenali dan dikelola
segera karena jika terlambat akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas dengan
biaya perawatan yang tinggi.3

2.1.1 Epidemiologi Ketoasidosis Diabetikum

Prevalensi kasus KAD berkisar pada 4 – 8 kasus pada setiap 1000 orang
pengidap diabetes dan masih menjadi masalah di rumah sakit, terutama pada rumah
sakit dengan fasilitas yang minimal. Angka kematian pada kasus KAD berkisar pada
12
0.5 – 7% tergantung dari kualitas pusat pelayanan yang mengelola pasien KAD
tersebut. Di negara barat dengan angka kejadian diabetes tipe 1 yang lebih tinggi,
kematian banyak diakibatkan oleh edema serebri, sedangkan di negara yang sebagian
besar tipe diabetes yang diderita adalah tipe 2, penyakit penyerta dan pencetus KAD
seringkali dapat menjadi penyebab kematian.3 Walaupun data komunitas di Indonesia
sendiri belum ada, diperkirakan bahwa insiden KAD tidak sebanyak di negara barat,
mengingat prevalensi DM tipe 1 yang lebih rendah. Laporan insiden KAD di
Indonesia umumnya berasal dari data rumah sakit dan terutama dilaporkan terjadi
pada pasien dengan DM tipe 2.4

2.1.2 Etiologi Ketoasidosis Diabetikum

Ketoasidosis diabteikum lebih sering ditemukan terjadi pada pasien dengan


DM tipe 1, namun dapat juga terjadi pada pasien dengan DM tipe 2. Pada pasien
dengan KAD yang sudah diketahui menderita DM sebelumnya, 80% dapat dikenali
adanya faktor pencetus, sementara 20% lainnya tidak diketahui faktor pencetusnya. 4
Pencetus paling umum terjadinya KAD adalah infeksi, dan diperkirakan sebagai
pencetus lebih dari 50% kasus KAD. Pada infeksi akan terjadi peningkatan sekresi
kortisol dan glukagon sehingga terjadi peningkatan kadar gula darah yang bermakna.
Infeksi yang diketahui paling sering mencetus KAD antara lain adalah infeksi saluran
kemih dan pneumonia. Kondisi medis yang mendasari lainnya seperti infark miokard
atau stroke dapat memicu produksi hormon kontra-regulator sehingga meningkatkan
risiko terjadinya KAD. Faktor lainnya adalah penyalahgunaan alkohol, trauma, stress
psikologis, obat-obatan, DM tipe 1 yang baru diketahui, ketidakpatuhan pengobatan
dan terapi insulin yang tidak adekuat. Obat-obatan yang memengaruhi metabolisme
karbohidrat seperti kortikosteroid, thiazide, pentamidine dan obat simpatomimetik
seperti dobutamin dan terbutaline dapat mencetuskan KAD.5

13
2.1.3 Patofisiologi Ketoasidosis Diabetikum

Ketoasidosis diabetikum disebaabkan oleh defisiensi insulin baik secara relatif


atau absolut yang dikombinasikan dengan kelebihan hormon kontra-regulator seperti
glukagon, katekolamin, kortisol dan growth hormone. Dibutuhkan adanya defisiensi
insulin dan glukagon berlebih untuk dapat terjadi KAD. Penurunan rasio insulin
terhadap glukagon memicu gluconeogenesis, glikogenolisis dan pembentukan badan
keton di hepar, serta peningkatan transpor substrat seperti free fatty acid dan asam
amino dari otot dan jaringan lemak ke hepar. Pada KAD dapat ditemukan juga
peningkatan penanda inflamasi seperti sitokin dan C-reactive protein.6 Defisiensi
insulin dan peningkatan hormone kontra regulator juga mengaktivasi hormon lipase
sensitif pada jaringan lemak yang mengakibatkan peningkatan lipolysis. Peningkatan
lipolysis dan ketogenesis ini akan memicu terjadinya ketonemia dan asidosis
metabolik. Walaupun sudah terbentuk banyak benda keton sebagai sumber energi,
namun sel-sel tetap mengalami kelaparan dan terus membentuk glukosa.
Hiperglikemia dan hiperketonemia mengakibatkan diuresis osmotik, dehidrasi dan
kehilangan elektrolit. Perubahan tersebut memicu lebih lanjut pelepasan hormon
stress sehingga terjadi hiperglikemia dan hiperketonemia lebih lanjut. Jika siklus ini
tidak diinterupsi dengan pemberian insulin dan cairan, maka dapat terjadi dehidrasi
berat dan asidosis metabolik yang fatal. Ketoasidosis juga dapat semakin diperburuk
oleh asidosis laktat akibat perfusi jaringan yang buruk.3

Defisiensi insulin relatif dapat terjadi akibat peningkatan konsentrasi dari


hormon kontra regulator sebagai respon terhadap kondisi stress seperti sepsis, trauma,
penyakit gastrointestinal berat, infark miokard akut, stroke dan lain-lain. Dengan
adanya kondisi stress metabolic tertentu ini, jumlah insulin yang biasanya cukup
untuk menekan lipolisis menjadi tidak cukup secara relatif karena insulin yang
dibutuhkan untuk metabolisme dan menekan lipolisis menjadi lebih banyak.3

14
Gambar 2.1 Patofisiologi KAD7

2.1.4 Diagnosis Ketoasidosis Diabetikum

Untuk menegakkan diagnosis KAD perlu dilakukan melalui anamnesis yang


detail, pemeriksaan fisik yang teliti dan dibantu dengan pemeriksaan penunjang yang
diperlukan.

 Manifestasi Klinis

Langkah pertama yang harus diambil pada pasien KAD terdiri dari
anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cepat dan teliti, terutama memperhatikan
patensi jalan napas, status mental, status ginjal dan kardiovaskular, serta status
hidrasi. Melalui langkah-langkah tersebut, dapat ditentukan jenis pemeriksaan
laboratorium yang selanjutnya harus dilakukan, sehingga penatalaksanaan dapat
segera dimulai tanpa penundaan. Meskipun gejala DM yang tidak terkontrol
mungkin sudah tampak dalam beberapa hari, namun perubahan metabolik yang
khas untuk KAD umumnya tampak dalam jangka waktu pendek (< 24 jam).

15
Gambaran klinis klasik termasuk poliuria, polidipsia dan polifagia, penurunan
berat badan, muntah, sakit perut, dehidrasi, lemah, clouding if sensorium dan
akhirnya koma. Adanya riwayat pemberhentian penggunaan insulin juga
kadang dapat menjadi pemicu dari KAD.6

Pemeriksaan fisik termasuk turgor kulit yang menurun, respirasi


Kussmaul, takikardia, hipotensi, perubahan status mental, syok dan koma.
Hiperglikemia dapat menyebabkan terjadinya glukosuria, penurunan volume
dan takikardia. Hipotensi dapat terjadi akibat penurunan volume cairan yang
dikombinasikan dengan vasodilatasi perifer.8 Pernapasan Kussmaul dan fruity
odor pada napas pasien, yang diakibatkan oleh asidosis metabolik serta
peningkatan aseton, juga merupakan tanda klasik dari KAD yang dapat
ditemukan pada pemeriksaan fisik. Tanda-tanda infeksi, yang dapat menjadi
pemicu KAD, harus dicari pada pemeriksaan fisik, walaupun tidak ditemukan
demam.1

Gambar 2.2 Manifestasi klinis KAD6

16
 Pemeriksaan Penunjang

Trias biokimiawi pada KAD adalah hiperglikemia, ketonemia dan atau


ketonuria, serta asidosis metabolik dengan beragam derajat. Pada awal evaluasi,
kebutuhan pemeriksaan penunjang disesuaikan dengan keadaan klinis.
Umumnya dibutuhkan pemeriksaan dasar seperti gula darah, elektrolit, analisa
gas darah, darah perifer lengkap dengan hitung jenis, anion gap, EKG dan foto
polos dada.3

Kunci diagnosis pada KAD adalah adanya peningkatan total benda


keton di sirkulasi. Metode lama untuk mendeteksi adanya benda keton di darah
dan urin adalah dengan mengunakan reaksi nitroprusside untuk memperkirakan
kadar asetoasetat dan aseton secara semikuantitatif. Walaupun sensitif, namun
metode ini tidak dapat mengukur keberadaan beta hidroksibutirat yang
merupakan benda keton utama sebagai produk ketogenesis. Peningkatan benda-
benda keton inilah yang akan mengakibatkan peningkatan anion gap.3

Gula darah lebih dari 250 mg/dl dianggap sebagai kriteria diagnosis
utama KAD dengan disertai keadaan klinis yang sesuai. Derajat keasaman
darah (pH) yang kurang dari 7.35 dianggap sebagai ambang adanya asidosis,
walaupun dalam keadaan yang terkompensasi seringkali pH menunjukkan
angka normal. Pada keadaan tersebut, jika nilai HCO3 kurang dari 18 mEq/l
ditambah dengan keadaan klinis lain yang sesuai, maka sudah cukup untuk
menegakkan KAD. Pada saat datang, seringkali dapat ditemukan leukositosis
pada pasien dengan KAD akibat stress metabolik dan dehidrasi, sehingga tidak
perlu terburu-buru memberikan antibiotic bila nilai leukosit masih berada
dalam batas 10.000 –
15.000 m3.3 Serum natrium umumnya menurun akibat adanya perpindahan
cairan secara osmotik dari intrasel ke ekstrasel akibat hiperglikemia.5
Peningkatan kadar blood urea nitrogen (BUN) dan serum kreatinin
menandakan adanya penurunan volume intravaskular.

17
Gambar 2.3 Kriteria diagnosis KAD dan HHS5

2.1.5 Diagnosis Banding Ketoasidosis Diabetikum

Ketoasidosis diabetikum harus dibedakan dengan status hiperglikemi


hyperosmolar (SHH), walaupun pengelolaannya hampir sama, karena memiliki
prognosis yang sangat berbeda. Kriteria diagnosis pada HHS adalah kadar gula darah
>600 mg/dL (hiperglikemia berat), pH darah >7.3, serum bikarbonat >18 mEq/L,
keadaan hiperosmolar (>320 mOsm/mL), tanpa adanya ketonuria atau ketonemia
yang signifikan. Pada HHS, terdapat derajat dehidrasi yang lebih berat yang
disebabkan oleh diuresis osmotik dan selalu disertai dengan gangguan kesadaran
tanpa ketoasidosis yang berat. Defisiensi insulin yang relatif ada pada HHS, dan
sekresi insulin secara endogen didapatkan lebih tinggi dibandingkan pada KAD.
Kadar insulin pada HHS tidak adekuat dalam memfasilitasi utilisasi glukosa pada
jaringan, namun masih mampu mencegah terjadinya lipolisis dan ketogenesis.3,5

Beberapa keadaan ketoasidosis karena sebab lain juga harus dipikirkan saat
menangani pasien yang dicurigai memiliki KAD. Ketoasidosis alkoholik dan ketosis
starvasi dapat disingkirkan dengan anamnesis yang baik dan hasil pada keadaan
tersebut, hasil gula darah berada pada nilai yang rendah sampai meningkat ringan.
Asidosis metabolik dengan anion gap tinggi karena etiologi lain juga perlu

18
disingkirkan, seperti karena obat-obatan (salisilat, ethylene glycol dan paraldehyde),
dan juga asidosis metabolik pada gagal ginjal akut atau kronik.3

Gambar 2.4 Perbandingan nilai laboratorium pada DKA dan HHS6

2.1.6 Tatalaksana Ketoasidosis Diabetikum

Keberhasilan penatalaksanaan KAD membutuhkan koreksi terhadap


dehidrasi, hiperglikemia, gangguan elektrolit, komorbiditas dan pemantauan selama
perawatan. Penatalaksanaan KAD bersifat multifactorial, sehingga memerlukan
pendekatan yang terstruktur. Terdapat banyak pedoman penatalaksanaan KAD pada
literatur kedokteran, dan hendaknya semua itu tidak diikuti secara ketat, namun
disesuaikan dengan kondisi pasien yang ditangani.

19
 Terapi Cairan

Prioritas utama pada penatalaksanaan KAD adalah terapi cairan. Terapi


insulin hanya akan efektif bila cairan diberikan pada tahap awal terapi. Studi
menunjukkan bahwa selama empat jam pertama, lebih dari 80% penurunan kadar
gula darah disebabkan oleh rehidrasi. Secara umum, pemberian cairan adalah langkah
awal penatalaksanaan KAD setelah resusitasi kardiorespirasi.5

Terapi cairan bertujuan untuk ekspansi cairan intraselular, intravaskular dan


restorasi perfusi ginjal. Diperkirakan bahwa hilangnya cairan pada KAD mencapai
100 ml/kgBB, sehingga jika pada pasien tidak terdapat masalah jantung atau penyakit
ginjal kronik berat, maka cairan yang dapat diberikan adalah cairan garam fisiologis
yaitu NaCl 0.9% sebanyak 1 sampai 2 liter dalam 1 jam pertama, kemudian jam
kedua diberikan 1 liter.9 Tindak lanjut cairan pada jam-jam berikutnya bergantung
pada keadaan hemodinamik, status hidrasi, elektrolit dan produksi urin. Ketika kadar
gula darah mencapai 200 mg/dl, cairan diganti dengan dextrose 5% dengan NaCl
0.45% dengan kecepatan 150 – 250 ml/jam dengan tujuan menghindari hipoglikemia
dan mengurangi kemungkinan edema serebral akibat penurunan gula darah yang
terlalu cepat.4

Umumnya cairan NaCl 0.45% diberikan jika kadar natrium serum tinggi atau
normal dengan kecepatan 250 – 500 ml/jam. Sementara apabila kadar natrium serum
rendah, maka tetap dapat digunakan NaCl 0.9% dengan kecepatan 250 – 500 ml/jam.
Pemberian cairan harus sudah dapat mengganti perkiraan kekurangan cairan dalam
jangka waktu 24 jam pertama. Pada pasien dengan kelainan ginjal, jantung atau hati,
terutama pasien lanjut usia, perlu dilakukan pemantauan osmolalitas serum dan
penilaian fungsi jantung, ginjal dan status mental yang berkesinambungan selama
resusitasi cairan untuk menghindari overload cairan iatrogenik.4

20
 Insulin

Terapi insulin harus segera dimulai sesaat setelah diagnosis KAD dibuat dan
rehidrasi yang memadai. Pemakaian insulin akan menurunkan kadar hormon
glukagon, sehingga menekan produksi benda keton di hati, pelepasan asam lemak
bebas dari jaringan lemak, pelepasan asam amino dari jaringan otot dan
meningkatkan utilisasi glukosa oleh jaringan. Hingga tahun 1970 penggunaan insulin
umumnya secara bolus intravena, intramuskular ataupun subkutan. Namun, sejak
pertengahan tahun 1970, protokol pengelolaan KAD dengan drip insulin intravena
dosis rendah mulai digunakan. Cara ini lebih dianjurkan karena dapat menurunkan
kadar glukosa darah lebih lambat, efek insulin lebih cepat menghilang, masuknya
kalium ke intrasel yang lebih lambat, serta komplikasi hipoglikemia dan hipokalemia
lebih sedikit.4

Jika pada pasien tidak terdapat hipokalemia (K < 3.3 mEq/l), maka dapat
diberikan insulin reguler 0.15 U/kgBB, diikuti dengan infus kontinu 0.1 U/kgBB/jam
(5 – 7 U/jam). Jika kadar kalium < 3.3 mEq/l, maka perlu dilakukan koreksi terlebih
dahulu untuk mencegah perburukan hipokalemia karena dapat menyebabkan aritmia
jantung. Sebagai alternatif, dapat juga diberikan infus insulin setiap jam dengan dosis
0.14 U/KgBB, atau setara dengan 10 U/jam pada pasien dengan berat badan 70 kg.
Protokol pemberian insulin dosis rendah umumnya dapat menurunkan glukosa darah
dengan kecepatan 50 – 75 mg/dl/jam. Apabila glukosa plasma tidak berkurang
sebanyak 50 – 75 mg dari nilai awal dalam 1 jam pertama, infus insulin perlu
dinaikkan tiap jam sampai didapatkan penurunan kadar glukosa yang konstan. Ketika
kadar glukosa darah mencapai 200 mg/dl, dosis infus insulin dapat diturunkan
menjadi 0.02
– 0.05 U/KgBB/jam dan glukosa darah dipertahankan dalam rentang 150 – 200 mg/dl
sampai terjadi resolusi dari KAD.5

Kriteria resolusi KAD antara lain adalah kadar glukosa darah < 200 mg/dl,
serum bikarbonat ≥ 18 mEq/l, pH vena > 7.3 dan anion gap ≤ 12 mEq/l. Setelah
terjadi resolusi, dapat dimulai terapi dengan insulin subkutans sesuai kebutuhan setiap

21
4 jam. Untuk menghindari rekurensi dari hiperglikemia atau ketoasidosis selama
periode

22
transisi menuju insulin subuitan, perlu diberikan overlap dengan cara melanjutkan
pemberian infus insulin sampai 1 – 2 jam setelah insulin subkutan dimulai untuk
memastikan kadar insulin dalam plasma tetap adekuat. Pada pasien yang sudah
pernah mendapatkan terapi insulin sebelumnya, diberikan insulin dengan dosis yang
diterima sebelum pasien KAD, sementara pada pasien yang belum pernah mendapat
terapi insulin sebelumnya, dosis dimulai dari 0.5 – 1.0 U/kgBB/hari, diberikan terbagi
menjadi minimal 2 dosis dalam regimen yang termasuk short dan long acting insulin
sampai dosis optimal tercapai. Duapertiga dosis harian ini diberikan pagi hari dan
sepertignya diberikan sore hari sebagai split-mixed dose.5

Metode pemberian insulin intramuskular terutama dilakukan di pusat pelyanan


medis yang tidak memungkinkan untuk melakukan drip insulin. Metode ini diawali
dengan pemberian insulin dosis awal (loading dose) sebesar 20 Unit dan kemudian
dilanjutkandengan pemberian insulin intramuskular dosis rendah 5 unit secara berkala
hingga glukosa darah terkendali. penurunan kadar glukosa darah yang dicapai dengan
pemberian insulin secara intramuskular lebih lanjut dibandingkan dengan cara
pemberian drip insulin.

 Kalium

Terapi dengan insulin, koreksi asidosis, dan ekspaksi volume pada terapi
KAD dapat mengurangi konsentrasi kalium dalam serum. Untuk mencegah
hipokalemia, penggantian kalium diinisiasi setelah kadar serum kurang dari batas
tertinggi batasan normal dari kalium darah yakni 5.0 - 5.2 mEq/l. Tujuan dari terapi
ini adalah untuk menjaga agar kadar kalium dalam darah teteap ada dalam batasan
normal yakni 4-5 mEq/l. Secara umum, pemberian kalium sebanyak 20-30 mEq
dalam tiap liter cairan terapi yang diberikan cukup untuk menjaga kadar kalium
dalam darah. Pada kasus tertentu, pasien dengan KAD dapat disertai dengan
hipokalemia sehingga penggantian kalium perlu diberikan bersamaan dengan terapi
cairan, dan terapi insulin harus dimulai hanya jika kadar kalium darah pasien telah
terestorasi pada >3.3.mEq/l untuk menghindari aritmia dan kelemahan otot
pernapasan akibat hipokalemia.5

23
 Bikarbonat
Pemberian terapi bikarbonat pada KAD masih bersifat kontroversial karena
beberapa ahli berpendapat bahwa selama terapi, seiring dengan penurunan kadar
keton akan disertai dengan kadar bikarbonat yang adekuat kecuali pada pasien
dengan asidosis berat. Keadaan asidosis metabolik yang berat dapat mengarah pada
gangguan kontraktilitas miokard, vasodilatasi serebral dan koma, serta komplikasi
gastrointestinal. Berdasarkan algoritme oleh American Diabetes Association,
pemberian 100 mmol sodium bikarbonat dalam 400 ml cairan isotonik dengan 20mEq
KCl direkomendasikan pada pasien dengan pH <6.9 hingga pH mencapai >7.0.
Apabila setelah pemberian regimen tersebut pH masih belum mencapai target,
pemberian regimen diulang dalam setiap 2 jam hingga pH mencapai >7.0.4

 Fosfat

Untuk menghindari potensi kelemahan otot skelet dan pernapasan oleh


hipofosfatemia, pemberian terapi fosfat dapat diindikasikan pada pasien dengan
gangguan jantung, anemia, dan pada pasien dengan kadar fosfat dalam serum <1.0
mg/dL. Apabila diperlukan, kalium fosfat sebanyak 20-30 mEq/L dapat ditambahkan
pada pemberian cairan. Kadar maksimal dalam terapi fosfat yang dinilai aman untuk
mengatasi hipofosfatemia berat adalah sebanyak 4.5 mmol/jam (1.5 ml/jam K2PO4).4

24
Gambar 2.5 Protokol terapi pada pasien dengan KAD atau HHS5

25
2.1.7 Komplikasi Ketoasidosis Diabetikum

Hipoglikemia merupakan komplikasi paling umum dari KAD selama terapi,


dimana ditemukan terjadi pada 5 – 25% pasien dengan KAD. Efek samping dari
kondisi hipoglikemia antara lain mencakup kejang, aritmia dan gangguan
kardiovaskuler. Untuk mencegah komplikasi ini, penting untuk dilakukan monitor
gula darah per jam selama terapi di fase akut.10

Hipokalemia merupakan salah satu komplikasi yang juga umum dijumpai


pada KAD. Hipokalemia berat dapat menyebabkan kelemahan otot, gangguan irama
jantung dan henti jantung, sehingga penting untuk dilakukan pemantauan terhadap
kadar kalium pasien. Gangguan elektrolit lainnya yang dapat terjadi pada kondisi
KAD adalah hiperkloremia, hipomagnesemia dan hiponatremia.10

Edema serebri merupakan komplikasi dari KAD yang lebih umum dijumpai
pada anak dibandingkan dengan dewasa. Beberapa faktor risikonya antara lain seperti
usia yang lebih muda, diabetes kasus baru, durasi gejala yang lebih lama, PCO2 yang
lebih rendah, asidosis berat, nilai HCO3 awal yang rendah, nilai natrium yang rendah,
kadar glukosa yang tinggi saat pasien datang dan pemberian cairan yang agresif.10

Gagal napas akut juga dapat menjadi komplikasi dari KAD yang disebabkan
oleh kondisi-kondisi seperti pneumonia, gagal napas akut dan edema paru. Terdapat
dua variasi edema paru pada KAD yang ditemukan, yaitu edema paru akibat
peningkatan tekanan vena pulmonal dan akibat peningkatan permeabilitas kapiler
pulmonal.10

Penurunan kesadaran merupakan salah satu presentasi klinis penderita DM


yang dapat ditemukan di unit gawat darurat akibat komplikasi dari penyakit tersebut.
Terdapat beberapa penyebab penurunan kesadaran dari kondisi tersebut, dimana salah
satunya adalah akibat KAD. Penurunan kesadaran juga dapat disebabkan oleh
komplikasi lain dari DM seperti SSH, asidosis laktat, ensefalopati uremikum dan
hipoglikemia.1,11

26
Gambar 2.5 Patofisiologi penurunan kesadaran pada penderita DM.1

2.1.8 Prognosis Ketoasidosis Diabetikum

Angka kematian pasien dengan KAD di negara maju kurang dari 5%.
Sedangkan di klinik dengan sarana sederhana dan pada pasien dengan usia lanjut,
angka kematian dapat mencapai 25 – 50%. Angka kematian menjadi lebih tinggi pada
beberapa keadaan yang menyertai KAD, seperti sepsis, syok berat, infark miokard
akut yang luas, pasien usia lanjut, kadar glukosa darah awal yang tinggi, uremia dan
kadar keasaman darah yang rendah. Kematian pada pasien KAD usia muda umumnya
dapat dihindari dengan diagnosis cepat, pengobatan yang tepat dan rasional sesuai
dengan patoÞ siologinya. Pada pasien kelompok usia lanjut, penyebab kematian lebih
sering dipicu oleh faktor penyakit dasarnya.4

27
2.2. Hipertensi

2.2.1 Definisi
Menurut The Seventh Report of the Joint National Committee on detection,
education, and treatment of high blood pressure (JNC VII), hipertensi adalah suatu
keadaan di mana tekanan darah sistolik lebih dari atau sama dengan 140 mmHg dan
tekanan diastolik lebih dari atau sama dengan 90 mmHg.

2.2.2 Etiologi
Berdasarkan etiologinya, hipertensi dibagi atas hipertensi esensial dan hipertensi
sekunder.
1. Hipertensi esensial, juga disebut hipertensi primer atau idiopatik,adalah
hipertensi yang tidak jelas etiologinya. Lebih dari 90% kasus hipertensi termasuk
dalam kelompok ini. Biasanya hipertensi esensial terjadi pada usia antara 25-55
tahun dan jarang pada usia dibawah 20 tahun. Faktor predisposisi genetik ini dapat
berupa sensitivitas pada natrium, kepekaan terhadap stress, peningkatan reaktivitas
vascular (terhadap vasokonstriktor), dan resistensi insulin. Paling sedikit ada 3 faktor
lingkungan yang dapat menyebabkan hipertensi yakni, makan garam (natrium)
berlebihan,stress psikis, dan obesitas. 
2. Hipertensi Sekunder. Prevalensinya hanya sekitar 5-8 % dari seluruh penderita
hipertensi. Hipertensi ini dapat disebabkan oleh penyakit ginjal (hipertensi renal),
penyakit endokrin (hipertensiendokrin), obat, dan lain-lain.
Hipertensi renal dapat berupa:
1) Hipertensi renovaskular, adalah hipertensi akibat lesi pada arteri ginjal
sehingga menyebabkan hipoperfusi ginjal.
2) Hipertensi akibat lesi pada parenkim ginjal menimbulkan gangguan fungsi
ginjal. Hipertensi endokrin terjadi misalnya akibat kelainan korteks adrenal, tumor di
medulla adrenal, akromegali, hipotiroidisme, hipertiroidisme, hiperparatiroidisme,
dan lain-lain. Penyakit lain yang dapat menimbulkan hipertensi adalah
koarktasioaorta, kelainan neurogenik, stres, polisitemia, dan lain-lain.

28
Penyakit ginjal
Penyakit ginjal adalah penyebab terbanyak pada hipertensi sekunder.
Hipertensi dapat timbul dari penyakit diabetes nefropati ataupun inflamasi
glomerulus, penyakit intertisial tubulus, dan polikista ginjal. Kebanyakan kasus
berhubungan dengan peningkatan volume intravascular atau peningkatan system
renin-angiotensin-alodesteron.
Renal vascular hypertension
Arteri stenosis ginjal dapat muncul pada 1-2 % pasien hipertensi.
Penyebabnya pada orang muda adalah fibromuscular hyperplasia. Penyakit
pembuluh darah ginjal yang lain adalah karena aterosklerosis stenosis dari arteri
renal proksimal. Mekanisme hipertensinya berhubungan dengan peningkatan renin
berlebih karena pengurangan dari aliran darah ke ginjal. Hipertensi pembuluh darah
ginjal harus dicurigai jika terdapat keadaan seperti berikut: (1) terdapat pada usia
sebelum 20 tahun atau sesudah usia 50 tahun. (2) bruit pada epigastrik atau artery
renal. (3) jika terdapat penyakit atrerosklerosis dari arteri perifer, 15-25 % pasien
dengan aterosklerosis tungkai bawah yang simtomatik terdapat artery stenosis ginjal.
(5) terjadi penurunan fungsi ginjal setelah pemberian penghambat ACE.
Hiperaldosteron primer
Penyakit ini timbul karena sekresi yang berlebihan dari aldosteron oeh
korteks adrenal. Pada pasien hipertensi dengan hipokalemia, krn pengeluaran kalium
yang berlebih melalui urin (biasanya > 40 mEq/L).
Sindrom Cushing
Pada penderita sindroma Cushing, hipertensi timbul sekitar 75-85 %.
Patogenesis tentang terjadinya hipertensi pada sindroma Cushing masih tidak jelas.
Mungkin dihubungkan dengan retensi garam dan air dari efek mineralocorticoid
karena glukokortikoid berlebih.
Pheochromocytoma
Tumor yang mensekresikan katekolamin yang berada di medulla adrenal dan
menyebabkan hipertensi sekitar 0,05 %.
Coarctation of the aorta
Coarctation of the aorta merupakan penyakit jantung congenital tersering
yang menyebabkan hipertensi. Insiden sekitar 1-8 per 1000 kelahiran.
29
2.2.3 Faktor Risiko
Faktor risiko hipertensi dapat dibagi menjadi dua, yaitu faktor risiko yang
reversible dan irreversibel. Faktor risiko yang reversibel adalah usia, ras Afrika-
Amerika, dan riwayat keluarga yang memiliki hipertensi. Sedangkan faktor risiko
yang bersifat reversible adalah prehipertensi, berat badan berlebih, kurang
aktivitas, konsumsi makanan yang mengandung natrium tinggi, merokok, dan
sindroma metabolik.
 Usia

Tekanan darah meningkat seiring dengan berjalanya usia. Tekanan sistolik


meningkat sesuai dengan usia, sedangkan tekanan diastolik tidak berubah mulai
dekade ke-5. Hipertensi sistolik isolasi merupakan jenis hipertensi yang paling
banyak ditemukan pada orang tua.
 Ras Afrika-Amerika

Hipertensi lebih sering terdapat pada ras Afrika-Amerika dibandingkan


dengan orang kulit putih, dan pada kedua ras tersebut biasanya lebih banyak pada
golongan sosioekonomi rendah.
 Berat Badan Berlebih

Semakin tinggi berat badan, semakin banyak darah yang dibutuhkan untuk
memenuhi kebutuhan oksigen dan nutrisi jaringan. Volume darah meningkat di
dalam pembuluh darah dan terjadi peningkatan tekanan dinding arteri.
 Kurang Aktivitas

Orang yang kurang aktivitas cenderung memiliki denyut jantung yang lebih
banyak. Semakin tinggi denyut jantung, semakin berat jantung harus bekerja pada
setiap kontraksi dan lebih kuat tekanan pada arteri.
 Konsumsi Tinggi Natrium

Konsumsi makanan yang mengandung banyak natrium dapat menyebabkan


tertahannya air di dalam pembuluh darah, sehingga meningkatkan tekanan darah.
Kalium membantu menyeimbangkan banyaknya natrium di dalam sel. Jika kurang
mengkonsumsi natrium, maka akan banyak terakumulasi natrium di dalam darah.
30
 Merokok

Zat-zat kimia pada rokok dapat menyebaban kerusakan pada dinding arteri
yang menyebabkan penyempitan arteri sehingga dapat meningkatkan tekanan
darah.
 Sindroma Metabolik

Sindroma metabolik didefinsikan sebagai jika tiga dari kriteria terpenuhi:


lingkar perut membesar (pria: > 100 cm, wanita: 90 cm), gula puasa darah
terganggu (normal < 126 md/dl), peningkatan tekanan darah 130/85 mmHg,
trigliserida plasma 150 mg/dl, atau kolesterol HDL <40 mg/dL , <50 mg/dL pada
wanita. Di hipotesiskan bahwa resistensi insulin mungkin merupakan patofisiologi
teradinya sindroma metabolik.

2.2.4 Epidemiologi
Data WHO 2015 menunjukkan sekitar 1,13 milyar orang di dunia menderita
hipertensi. Artinya, 1 dari 3 orang di dunia terdiagnosis menderita hipertensi, hanya
36,8% diantaranya yang minum obat.
Di Indonesia, berdasarkan data Riskesdas 2013, prevalensi hipertensi di
Indonesia sebesar 25,8%, prevalensi tertinggi terjadi di Bangka Belitung (30%) dan
yang terendah di Papua (16,8%). Sementara itu, data Survei Indikator Kesehatan
Nasional (Sirkesnas) tahun 2016 menunjukkan peningkatan prevalensi hipertensi
pada penduduk usia 18 tahun ke atas sebesar 32,4%.

2.2.5 Patofisiologi
Tekanan darah arteri adalah tekanan yang diukur pada dinding arteri dalam
millimeter merkuri. Dua tekanan darah arteri yang biasanya diukur, tekanan darah
sistolik (TDS) dan tekanan darah diastolik (TDD). TDS diperoleh selama kontraksi
jantung dan TDD diperoleh setelah kontraksi sewaktu bilik jantung diisi.

31
Pengaturan tekanan darah sangat kompleks dan mencakup interaksi antara
berbagai faktor genetik dan lingkungan yang mempengaruhi dua variabel
hemodinamik yakni curah jantung dan resistensi perifer. Curah jantung dipengaruhi
oleh volume darah yang sangat tergantung secara independen dengan konsentrasi
natrium serum. Resistensi perifer diatur pada tingkat arteriol dan dipengaruhi oleh
faktor neuronal dan hormonal. Tonus vaskulur normal dipengaruhi oleh zat
vasokonstriktor (angiotensin II dan katekolamin) dan vasodilator (kinin,
prostaglandin dan nitrit oksida). Resistensi pembuluh darah diatur oleh autoregulasi
dimana peningkatan tekanan darah akan memicu vasokonstriksi untuk mencegah
hiperperfusi jaringan. Faktor lokal seperti pH dan hipoxi serta interaksi neuronal
antara α dan β adrenerdik juga terlibat.

32
Ginjal dan kelenjar adrenal berperan penting pada regulasi tekanan darah dan
berinteraksi satu sama lain untuk mengatur tonus tekanan darah dan volume tekanan
darah. Ginjal mempengarhi resistensi perifer dan homeostasis natrium secara
langsung melalui sistem RAAS. Renin merupakan enzim proteolitik yang dihasilkan
di ginjal oleh sel jukstaglomerular di arterior aferen. Saat volume atau tekanan darah
turun terjadi penurunan tekanan pada arteriol aferen, penurunan GFR dan
peningkatan resorpsi natrium tubulus proksima sehingga terjadi konservasi natrium
dan ekspansi voume darah. Sel jukstaglomerular berespn dengan melepaskan renin.
Renin mengkatabolisme angiotensinogen plasma menjadi angiotensin I yang
kemudia dikonversi menjadi angiotensin II oleh Angiotensin converting enzyme di
perifer. Angiotensin II meningkatkan tekanan arah dengan meningkatkan resistensi
perifer dengan merangsang kontraksi sel otot polos vaskular, meningkatkan volume
plasma dengan merangsang sekresi aldosteron pada adrenal, meningatkan reabsorbsi
natrium tubulus. Atrium jantung juga mensekresika atrial natriuretik peptita (ANP)
sebagai respon terhadap ekspansi volume jantung pada gagal jantung dan
menghambat reabsorbi natrium di tubulus ginjal dan menyebabkan vasodilatasi
sistemik.
Hampir 95% hipertensi adalah idiopatik (hipertensi esensial) . Kebanyakan
pasien tetap stabil seumur hidup dan sebagian mengalami komplikasi infark miokard,
strokea tau komplikasi lain. Sisanya adalah hipertensi sekunder yang disebabkan oleh
33
penyempitan arteri renalis biasanya oleh plak aterosklerosis (hipertensi
renovaskular). Yang jarang terjadi adalah hipertensi akibat penyakit adrenal seperti
aldosteronisme perifer, sindrom cushing, feokromositoma atau penyakit lain.
Sekitar 5% hipertensi menunjukkan peningkatan tekanan darah cepat yang
jika tidak terdeteksi dapat menyebaban kematian dalam 1-2tahun. Hipertensi maligna
atau accelerated secara klinis ditandai oleh hipertensi berat (DBP >120mmHg), gagal
ginjal, perdarahan retina dan eksudat dengan atau tanpa papiledema. Hipertensi
maligna dapat terjadi pada hipertensi yang sudah ada, esensial maupun
sekunder.Faktor resiko hipertensi mencakup faktor genetik dan faktor lingkungan.
Faktor genetik. Beberapa gen tunggal dapat menyebabkan hipertensi dengan
mempengaruhi reaborbsi natrium. Hipertensi juga dipengaruhi oleh polimorfisme
lokus angitensin. Pengaruh genetik dan ras pada sistem RAAS belum jelas namun
diduga melibatkan perbedaan pada regulasi tekanan darah mencakup loading natrium
ginjal, peningkatan reaktivitas vaskular terhadap vasoprotektor atau proliferasi otot
polos vaskular. Faktor lingkungan: modifikasi ekspresi genetik seperti stres obesitas,
merokok, inaktivitas fisik dan konsumsi garam. Hubungan antara diet tinggi natrium
dan prevalensi hipertensi berbeda pada populasi yang berbeda secara impresif.
Banyak faktor yang mengontrol tekanan darah berkontribusi secara potensial
dalam terbentuknya hipertensi; faktor-faktor tersebut adalah 10
- Meningkatnya aktifitas sistem saraf simpatik (tonus simpatis dan/atau variasi
diurnal), mungkin berhubungan dengan meningkatnya respons terhadap stress
psikososial dll
- Produksi berlebihan hormon yang menahan natrium dan vasokonstriktor
- Asupan natrium (garam) berlebihan
- Tidak cukupnya asupan kalium dan kalsium
- Meningkatnya sekresi renin sehingga mengakibatkan meningkatnya produksi
angiotensin II dan aldosteron
- Defisiensi vasodilator seperti prostasiklin, nitrik oxida (NO), dan peptide natriuretik
- Perubahan dalam ekspresi sistem kallikrein-kinin yang mempengaruhi tonus vaskular
dan penanganan garam oleh ginjal

34
- Abnormalitas tahanan pembuluh darah, termasuk gangguan pada pembuluh darah
kecil di ginjal
- Diabetes mellitus
- Resistensi insulin
- Obesitas
- Meningkatnya aktivitas vascular growth factors
- Perubahan reseptor adrenergik yang mempengaruhi denyut jantung, karakteristik
inotropik dari jantung, dan tonus vaskular
- Berubahnya transpor ion dalam sel

2.2.6 Klasifikasi
Klasifikasi hipertensi menurut JNC (Joint National Committee On Prevention,
Detection, Evaluation, And The Treatment Of High Blood Pressure) VII

35
2.2.7 Guideline

36
BAB III
PEMBAHASAN

 Analisa Kasus
Pasien Tn. S datang dengan keluhan badan terasa lemas sejak 2 minggu
SMRS. Pasien juga mengeluhkan pusing, sering BAK di malam hari sampai
mengganggu tidurnya dan BAK berbau seperti gula. Pasien memiliki riwayat DM dan
HT sudah 3 tahun, dan riw dirawat di ICU sekitar 1-2 tahun yang lalu karena keton
darah yang tinggi. Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran CM, TD 110/70
mmHg, nadi 119x/menit, pernapasan 20x/menit, tidak ada tanda – tanda pernapasan
kussmaul, nafas tidak berbau keton. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil
GDS 458 mg/dL, keton 1.6 mmol/L, natrium 130.2 mmol/L.
Berdasarkan anamensis, pemeriksaan fisik dan penunjang yang dilakukan
terhadap pasien maka didapatkan diagnosis Ketoasidosis Diabetikum dengan riw HT.
Pasien dianjurkan untuk dirawat di ICU untuk observasi lebih ketat namun pasien
menolak. Pasien dirawat di ruang rawat inap biasa selama 4 hari, selama dirawat di

37
ruangan biasa, 2 hari terakhir di ruang perawatan TD meningkat namun keadaan
pasien cukup stabil.

 Kesimpulan
1. DM (Diabetes mellitus) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi akibat kelianan sekresi insulin, kerja insulin
atau keduanya.
2. KAD (Keetoasidosis Diabetikum) adalah gangguan metabolik akut yang ditandai
dengan peningkatan badna keton dalam sirkulasi yang berlanjut menjadi ketosis dan
asidosis berat dengan hiperglikemia tidak terkontrol akibat defisiensi insulin.
3. Tatalaksana awal yang diberikan kepada pasien dengan melakukan rehidrasi
dengan loading NaCl 0.9% sebanyak 2000 cc dalam jam pertama. Karena dalam
keadaan hiperglikemia menyebabkan dehidrasi.
4. Hipertensi adalah suatu keadaan dimana tekanandarah sistolik lebih dari atau sama
dengan 140 mmHg dan tekanan diastolik lebih dari atau sama dengan 90 mmHg.
5. Hipertensi memiliki faktor risiko seperti riwayat hipertensi pada keluarga pasien,
riwayat diabetes mellitus, kebiasaan merokok, pola makan, obesitas.
6. Pada hiperetensi pedoman JNC VIII populasi dengan DM, terapi farmakologi bila
SBP ≥140 mmHg atau DBP ≥ 90 mmHg. Target SBP<140 dan DPB<90. Dengan
rekomendasi terapi inisial golongan ACE-I atau ARB, diberikan sendiri atau
digabung dengan golongan lain.

38
DAFTAR PUSTAKA

1. Huang I. Patofisiologi dan Diagnosis Penurunan Kesadaran pada Penderita


Diabetes Mellitus. Medicinus. 2018;5(2):48–57.

2. Miarta A, Zulkifli, Zulfariansyah A. Tatalaksana Pasien Ketoasidosis


Diabetikum yang Disertai Syok Sepsis Management of Diabetic Ketoacidosis
Patient Complicated with Septic Shock. Anaesth Crit Care. 2019;37(3):90–6.

3. Tarigan TJE. Ketoasidosis Diabetik. In: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 6th
ed. Jakarta: Interna Publishing; 2018. p. 2375–80.

4. Gotera W, Agung Budiyasa D. Penatalaksanaan Ketoasidosis Diabetik (Kad). J


Intern Med. 2010;11(2):126–38.

5. Kitabchi AE, Umpierrez GE, Miles JM, Fisher JN. Hyperglycemic crises in
adult patients with diabetes. Diabetes Care. 2009;32(7):1335–43.

6. Powers AC. Diabetes Mellitus: Diagnosis, Classification, and


Pathophysiology. In: Kasper D, Fauci A, Hauser S, Longo D, Jameson J,
Loscalzo J, editors. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 19th ed. United
States: McGraw-Hill Education; 2015. p. 2399.

7. Wolfsdorf J, Glaser N, Sperling MA. Diabetic ketoacidosis in infants, children,


and adolescents: A consensus statement from the American Diabetes
Association. Diabetes Care. 2006;29(5):1150–9.

8. Celotto AC, Capellini VK, Baldo CF, Dalio MB, Rodrigues AJ, Evora PRB.
Effects of acid-base imbalance on vascular reactivity. Brazilian J Med Biol
Res. 2008;41(6):439–45.

9. Saksono D. Ketoasidosis Diabetik. In: Setyohadi B, Arsana PM, Soeroto AY,


Suryanto A, Abdullah M, editors. Kegawatdaruratan Penyakit Dalam PAPDI.
1st ed. Jakarta: Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia;
2014. p. 318.

10. Lizzo J, Goyal A, Gupta V. Adult Diabetic Ketoacidosis. StatPearls. 2022. p. 1.

11. Sinning A, Hübner CA. Minireview: PH and synaptic transmission. FEBS Lett
[Internet]. 2013;587(13):1923–

39
12. 2003 World Health Organization (WHO)/International Society of Hypertension (ISH)
statement on management of hypertension. J Hypertens 2003;21:1983-1992
13. The Eighth Repot of the Joint national Comitte on P revention, detection, evaluation, and
Treatment of High Blood Pressure (JNC VIII). 2014
14. The Seventh Repot of the Joint national Comitte on Prevention, detection, evaluation,
and Treatment of High Blood Pressure (JNC VII). 2004
15. Norman M. Kaplan’s Clinical Hypertension 9th edition. Philadephia, USA: Lippincott
Williams& Wilkins:2006

40

Anda mungkin juga menyukai