Anda di halaman 1dari 17

TUGAS MAKALAH

TENTANG
“MANUSIA DAN TANGGUNG JAWAB”

Di susun oleh : Kelompok VI SEMESTER 1

NAMA :

1. RENI WAHYUNI BUSOU


2. NUR AYU MAKATITA
3. NUR SARIA UKRATALO
4. PINA NEPE WALEURU

SEKOLAH TINGGI ILMU ADMINISTRASI SAID


PERINTAH MASOHI
TAHUN AJARAN 2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan hidayah-Nya,
penulis dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul "Susunan tugas dan
wewenang Mahkama Agung (MA)" dengan tepat waktu.

Makalah disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Dasar-Dasar Pemerintahan.


Selain itu, makalah ini bertujuan menambah wawasan tentang Mahkama Agung bagi
para pembaca dan juga bagi penulis.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada bapak Wahid Yaurwarin ,SH.,MH.


selaku dosen Mata Pelajaran Dasar-Dasar Pemerintahan. Ucapan terima kasih juga
disampaikan kepada semua pihak yang telah membantu diselesaikannya makalah ini.

Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, saran dan
kritik yang membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Masohi 17,oktober 2021

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................................

DAFTAR ISI............................................................................................................................

BAB I .....................................................................................................................................
(PENDAHULUAN)................................................................................................................
1.1 Latar Belakang.................................................................................................................
1.2. Rumusan Masalah...........................................................................................................
1.3 Tujuan..............................................................................................................................

BAB II
(PEMBAHASAN).....................................................................................................................
2.1 Pengertian dan Sejarah Mahkamah Agung...............................................................
2.2 Kedudukan Mahkamah Agung (MA)...............................................................................
2.3 Wewenang dan Fungsi Mahkamah Agung................................................................
2.4 Pengangkatan dan Pemberhentian Hakim Agung.........................................................

BAB III
(PENUTUP)...........................................................................................................................
3.1 Kesimpulan........................................................................................................................
3.2 Saran...................................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang


     Ketentuan yang menunjuk kearah badan Kehakiman yang tertinggi adalah pasal 24 ayat 1
Undang-Undang Dasar 1945.Eksistensi Mahkamah Agung ditetapkan setelah
diundangkannya Undang-Undang No. 7 tahun 1947 tentang susunan kekuasaan Mahkamah
Agung dan Kejaksaaan Agung yang mulai berlaku pada tanggal 3 Maret 1947.Undang-
Undang No. 7 tahun 1947 kemudian diganti dengan Undang-Undang No. 19 tahun 1948
yang dalam pasal 50 ayat 1 menyebutkan Mahkamah Agung Indonesia ialah pengadilan
tertinggi. Undang-Undng No. 14 tahun 1970 tentang "Ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman" tanggal 17 Desember 1970, antara lain dalam pasal 10 ayat (2)
disebutkan bahwa Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara tertinggi dalam arti
Mahkamah Agung sebagai badan pengadilan kasasi (terakhir) bagi putusan-putusan yang
berasal dari Pengadilan-pengadilan lain yaitu yang meliputi keempat lingkungan peradilan
yang masing-masing terdiri dari:
1. Peradilan Umum;
2. Pemdilan Agama;
3. Peradilan Militer;
4. Peadilan Tata Usaha Negara.
     Pembentukan Mahkamah Agung (MA) pada pokoknya memang diperlukan karena
bangsa kita telah melakukan perubahan-perubahan yang mendasar atas dasar undang-undang
dasar 1945. Dalam rangka perubahan pertama sampai dengan perubahan keempat UUD
1945. Bangsa itu telah mengadopsi prinsip-prinsip baru dalam system ketenegaraan, yaitu
antara lain dengan adanya system prinsip “Pemisahan kekuasaan dan cheeks and balance”
sebagai pengganti system supremasi parlemen yang berlaku sebelumnya.
     Sebagai akibat perubahan tersebut, maka perlu diadakan mekanisme untuk memutuskan
sengketa kewenangan yang mungkin terjadi antara lembaga-lembaga yang mempunyai
kedudukan yang satu sama lain bersifat sederajat, yang kewenanganya ditentukan dalam
Undang-Undang Dasar. Maka dari itu MA di bentuk agar (the supreme law of the land )
benar-benar dijalankan atau ditegakan dalam penyelenggaran kehidupan kenegaraan sesuai
dengan prinsip-prinsip negara Hukum modern, dimana Hukumlah yang menjadi factor bagi
penentu bagi keseluruhan dinamika kehidupan sosial, ekonomi, dan politik suatu bangsa.

1.2  Rumusan Masalah


1. Apa Pengertian dan sejarah Mahkamah Agung?
2. Bagaimana Kedudukan Mahkamah Agung?
3. Jelaskan Wewenang dan Fungsi Mahkamah Agung?
4. Jelaskan Pengangkatan dan Pemberhentian Hakim Agung?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui Pengertian dan sejarah Mahkamah Agung.
2. Mengetahui Kedudukan Mahkamah Agung.
3. Mengetahui Wewenang dan Fungsi Mahkamah Agung.
4. Mengetahui Pengangkatan dan Pemberhentian Hakim Agung.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Dan Sejarah Mahkamah Agung


     Mahkamah agung adalah lembaga tertinggi dalam system ketatanegaraan Indonesia yang
merupakan pemegang kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah Konstitusi.
Mahkamah agung membawahi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha
Negara.
     Saat ini lembaga Mahkamah Agung berdasarkan pada UU. No. 48 Tahun 2009 tentang
kekuasaan kehakiman UU ini juga telah mencabut dan membatalkan berlakunya UU No. 4
tahun 2004. Undang-undang ini di susun karena UU No.4 Tahun 2004 secara substansi
dinilai kurang mengakomodir masalah kekuasaan kehakiman yang cakupannya cukup luas,
selain itu juga karena adanya judicial review ke Mahkamah Konstitusi atas pasal 34 UU
No.4 Tahun 2004, karena setelah pasal dalam undang-undang yang di-review tersebut
diputus bertentangan dengan UUD, maka saat itu juga pasal dalam undang-undang tersebut
tidak berlaku, sehingga untuk mengisi kekosongan aturan/hukum, maka perlu segera
melakukan perubahan pada undang-undang dimaksud.
Sejarah Mahkamah Agung
Masa penjajahan Belanda atas Indonesia, selain memengaruhi roda pemerintahan, juga
sangat besar pengaruhnya terhadap peradilan di Indonesia. Baik sejak masa
penjajahan Belanda (Herman Willem Daendels – Tahun 1807), kemudian oleh Inggris (Thomas
Stanford Raffles – Tahun 1811 Letnan Jenderal), dan masa kembalinya Pemerintahan Hindia
Belanda (1816-1842).
Pada masa penjajahan Belanda, Hooggerechtshof merupakan pengadilan tertinggi yang
berkedudukan di Jakarta/Batavia dengan wilayah hukum meliputi seluruh Hindia Belanda pada
waktu itu. Hooggerechtshof beranggotakan seorang Ketua, 2 orang anggota, seorang Pokrol
Jenderal, 2 orang Advokat Jenderal dan seorang Panitera yang dibantu oleh seorang Panitera
Muda atau lebih. Jika perlu, Gubernur Jenderal dapat menambah
susunan Hooggerechtshof dengan seorang wakil serta seorang atau lebih anggota.

Setelah kemerdekaan, tepatnya tanggal 18 Agustus 1945, Presiden


Soekarno melantik/mengangkat Mr. Dr. R.S.E. Koesoemah Atmadja sebagai Ketua Mahkamah
Agung Republik Indonesia yang pertama. Hari pengangkatan itu kemudian ditetapkan sebagai
Hari Jadi Mahkamah Agung melalui Surat Keputusan KMA/043/SK/VIII/1999 tentang
Penetapan Hari Jadi Mahkamah Agung Republik Indonesia. Tanggal 18 Agustus 1945 juga
merupakan tanggal disahkannya UUD 1945 beserta pembentukan dan pengangkatan Kabinet
Presidentil. Mahkamah Agung terus mengalami dinamika sesuai dinamika ketatanegaraan.
Antara tahun 1946 sampai dengan 1950 Mahkamah Agung pindah ke Yogyakarta sebagai ibu
kota Republik Indonesia. Pada saat itu terdapat dua lembaga peradilan tertinggi di Indonesia
yaitu
1. Hooggerechtshof di Jakarta dengan:
1. Ketua: Dr. Mr. Wirjers
2. Anggota Indonesia:
1. Mr. Notosubagio,
2. Koesnoen
3. Anggota Belanda:
1. Mr. Peter,
2. Mr. Bruins
4. Procureur-Generaal: Mr. Urip Kartodirdjo
2. Mahkamah Agung Republik Indonesia di Yogyakarta dengan:
1. Ketua: Mr. Dr. R.S.E. Koesoemah Atmadja
2. Wakil: Mr. R. Satochid Kartanegara
3. Anggota:
1. Mr. Husen Tirtaamidjaja,
2. Mr. Wirjono Prodjodikoro,
3. Sutan Kali Malikul Adil
4. Panitera: Mr. Soebekti
5. Kepala TU: Ranuatmadja
Kemudian terjadi kapitulasi Jepang, yang merupakan Badan Tertinggi disebut Saikoo Hooin (最
高法院, saikō-hōin) yang kemudian dihapus dengan Osamu Seirei (Undang-Undang No. 2
Tahun 1944). Pada tanggal 1 Januari 1950 Mahkamah Agung kembali ke Jakarta dan mengambil
alih (mengoper) gedung dan personil serta pekerjaan Hooggerechtschof. Dengan demikian, para
anggota Hooggerechtschof dan Procureur-Generaal meletakkan jabatan masing-masing dan
pekerjaannya diteruskan pada Mahkamah Agung Republik Indonesia Serikat (MA-RIS) dengan
susunan:[5]

1. Ketua: Mr. Dr. R.S.E. Koesoemah Atmadja


2. Wakil: Mr. Satochid Kartanegara
3. Anggota:
1. Mr. Husen Tirtaamidjaja,
2. Mr. Wirjono Prodjodikoro,
3. Sutan Kali Malikul Adil
4. Panitera: Mr. Soebekti
Jaksa Agung: Mr. Tirtawinata

2.2 Kedudukan Mahkamah Agung (MA)


     Mahkamah Agung merupakan pengadilan tinggi negara sebagaimana yang tercantum
dalam Ketetapam Majelis Permusyarawatan Rakyat Republik Indonesia Nomor
III/MPR/1978 dan merupakan Lembaga Peradilan tertinggi dari semua lembaga peradilan
yang dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari pengaruh pemerintah dan pengaruh-
pengaruh lainnya. Mahkamah Agung membawai 4 badan peradilan yaitu Peradilan Umum,
Peradilan Militer, Peradilan Agama, dan Peradilan Tata Usaha Negara. Sejak Amandemen
Ke-3 UUD 1945 kedudukan Mahkamah Agung tidak lagi menjadi satu-satunya puncak
kekuasaan kehakiman, dengan berdirinya Mahkamah Konstitusi pada tahun 2003 puncak
kekuasaan kehakiman menjadi 2, Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, namun
tidak seperti Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi tidak membawahi suatu badan
peradilan. MA adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagai Lembaga Tinggi
Negara yang merupakan Pengadilan Negara Tertinggi dari semua Lingkungan Peradilan,
dimana dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari pengaruh pemerintah dan pengaruh-
pengaruh lain. Mahkamah Agung berkedudukan di ibukota Negara Republik Indonesia.
(UU. No.14 Tahun 1985 pasal 1,2,3).
2.3 Wewenang dan Fungsi Mahkamah Agung
Menurut Undang-undang Dasar 1945, wewenang Mahkamah Agung adalah:
a. Mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir
oleh pengadilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah
Agung, kecuali undang-undang menentukan lain;
b. menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-
undang; dan
c. kewenangan lainnya yang diberikan undang-undang.
Sedangkan Fungsi Mahkamah Agung menurut UUD 1945 ada 5, yaitu:
a. Fungsi Peradilan
 Sebagai Pengadilan Negara Tertinggi, Mahkamah Agung merupakan pengadilan kasasi
yang bertugas membina keseragaman dalam penerapan hukum melalui putusan kasasi
dan peninjauan kembali menjaga agar semua hukum dan undang-undang diseluruh
wilayah negara RI diterapkan secara adil, tepat dan benar.
 Disamping tugasnya sebagai Pengadilan Kasasi, Mahkamah Agung berwenang
memeriksa dan memutuskan pada tingkat pertama dan terakhir.
1. semua sengketa tentang kewenangan mengadili. permohonan peninjauan kembali
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 28, 29,30,33
dan 34 Undang-undang Mahkamah Agung No. 14 Tahun 1985).
2. semua sengketa yang timbul karena perampasan kapal asing dan muatannya oleh
kapal perang.
3. Republik Indonesia berdasarkan peraturan yang berlaku (Pasal 33 dan Pasal 78
Undang-undang Mahkamah Agung No 14 Tahun 1985).
 Erat kaitannya dengan fungsi peradilan ialah hak uji materiil, yaitu wewenang
menguji/menilai secara materiil peraturan perundangan dibawah Undang-undang tentang
hal apakah suatu peraturan ditinjau dari isinya (materinya) bertentangan dengan peraturan
dari tingkat yang lebih tinggi (Pasal 31 Undang-undang Mahkamah Agung Nomor 14
Tahun 1985).
b. Fungsi Pengawasan
 Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap jalannya peradilan di semua
lingkungan peradilan dengan tujuan agar peradilan yang dilakukan Pengadilan-pengadilan
diselenggarakan dengan seksama dan wajar dengan berpedoman pada azas peradilan yang
sederhana, cepat dan biaya ringan, tanpa mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa
dan memutuskan perkara (Pasal 4 dan Pasal 10 Undang-undang Ketentuan Pokok
Kekuasaan Nomor 14 Tahun 1970).
 Mahkamah Agung juga melakukan pengawasan :
1. Terhadap pekerjaan Pengadilan dan tingkah laku para Hakim dan perbuatan
Pejabat Pengadilan dalam menjalankan tugas yang berkaitan dengan pelaksanaan
tugas pokok Kekuasaan Kehakiman, yakni dalam hal menerima, memeriksa,
mengadili, dan menyelesaikan.
2. setiap perkara yang diajukan kepadanya, dan meminta keterangan tentang hal-hal
yang bersangkutan dengan teknis peradilan serta memberi peringatan, teguran dan
petunjuk yang diperlukan tanpa mengurangi kebebasan Hakim (Pasal 32 Undang-
undang Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 1985).
3. Terhadap Penasehat Hukum dan Notaris sepanjang yang menyangkut peradilan
(Pasal 36 Undang-undang Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 1985).
c. Fungsi Mengatur
 Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran
penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam
Undang-undang tentang Mahkamah Agung sebagai pelengkap untuk mengisi kekurangan
atau kekosongan hukum yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan
(Pasal 27 Undang-undang No.14 Tahun 1970, Pasal 79 Undang-undang No.14 Tahun
1985).
 Mahkamah Agung dapat membuat peraturan acara sendiri bilamana dianggap perlu untuk
mencukupi hukum acara yang sudah diatur Undang-undang.
d. Fungsi Nasehat
 Mahkamah Agung memberikan nasihat-nasihat atau pertimbangan-pertimbangan dalam
bidang hukum kepada Lembaga Tinggi Negara lain (Pasal 37 Undang-undang Mahkamah
Agung No.14 Tahun 1985). Mahkamah Agung memberikan nasihat kepada Presiden
selaku Kepala Negara dalam rangka pemberian atau penolakan grasi (Pasal 35 Undang-
undang Mahkamah Agung No.14 Tahun 1985). Selanjutnya Perubahan Pertama Undang-
undang Dasar Negara RI Tahun 1945 Pasal 14 Ayat (1), Mahkamah Agung diberikan
kewenangan untuk memberikan pertimbangan kepada Presiden selaku Kepala Negara
selain grasi juga rehabilitasi. Namun demikian, dalam memberikan pertimbangan hukum
mengenai rehabilitasi sampai saat ini belum ada peraturan perundang-undangan yang
mengatur pelaksanaannya.
 Mahkamah Agung berwenang meminta keterangan dari dan memberi petunjuk kepada
pengadilan disemua lingkunga peradilan dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 25
Undang-undang No.14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman. (Pasal 38 Undang-undang No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung).
e. Fungsi Administratif
 Badan-badan Peradilan (Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan
Peradilan Tata Usaha Negara) sebagaimana dimaksud Pasal 10 Ayat (1) Undang-undang
No.14 Tahun 1970 secara organisatoris, administrative dan finansial sampai saat ini masih
berada dibawah Departemen yang bersangkutan, walaupun menurut Pasal 11 (1) Undang-
undang Nomor 35 Tahun 1999 sudah dialihkan dibawah kekuasaan Mahkamah Agung.
 Mahkamah Agung berwenang mengatur tugas serta tanggung jawab, susunan organisasi
dan tata kerja Kepaniteraan Pengadilan (Undang-undang No. 35 Tahun 1999 tentang
Perubahan Atas Undang-undang No.14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman).
2.4  Pengangkatan dan Pemberhentian Hakim Agung
1.  Pengangkatan Hakim Agung
Terdapat beberapa perbedaan antara pengangkatan Hakim Agung sebelum reformasi,
dan setelah reformas, dengan amandemen UUD 1945.Pada masa Orde Lama proses
pengangkatan (rekrutmen) Hakim Agung melibatkan ketiga lembaga tinggi negara yaitu
eksekutif (Presiden) dan Menteri Kehakiman, yudikatif (MA) dan legislatif (DPR). Aturan ini
khusus ditetapkan bagi pemilihan Hakim Agung, sedangkan dalam pemilihan hakim biasa
hanya melibatkan pihak yudikatif dan eksekutif. Dalam Pasal 4-11 Ayat (2) KRIS ditetapkan
bahwa Ketua, Wakil Ketua dan hakim Mahkamah Agung diangkat oleh Presiden atas anjuran
DPR dari sekurang-kurangnya 2 (dua) calon bagi tiap-tiap pengangkatan. Pengangkatan
(pemilihan) Hakim Agung pada masa Orde Lama meski melibatkan lembaga negara lainnya
yakni DPR, namun keputusan akhir tetaplah berada di tangan eksekutif (Presiden).
Salah satu penyimpangan dan politisasi dalam pemilihan Hakim Agung yang sekaligus
memperlihatkan begitu berkuasanya eksekutif (Kepala Negara) saat itu adalah dengan
diangkat dan ditetapkannya Ketua MA sebagai penasehat hukum Presiden dengan pangkat
Menteri berdasarkan Per. Pres. 4/1962, LN 38). Meskipun Ketua MA pada saat itu berkilah
bahwa ia tidak akan menjadi pejabat eksekutif dan menjadi alat dari pemerintah, Namun
secara birokrasi MA telah kehilangan kebebasannya dan kemandiriannya dan sangat
dimungkinkan pengaruh dari eksekutif.
Pada masa Orde baru, proses rekrutmen hakim agung diawali dengan diadakanya forum
yang melibatkan Mahkamah Agung dan pemerintah yang biasanya dikenal dengan sebutan
Forum Mahkamah Angung dan Departemen (MahDep). MahDep merupakan forum yang
digunakan sebagai ajang konsultasi antara Mahkamah Agung dab Depatrtemen dalam
membicarakan daftar kandidat hakim agung yang akan diajukan ke Mahkamah Agung da
Pemerintah ke Dewan Perwakilan Rakyat. Biasanya Mahkamah Angung berinisiatif
memberikan nama-nama calon hakim agung ke Departemen terlebih dahulu.
            Ketua Mahkamah Agung biasanya melakukan konsultasi dengan pimpinan Mahkamah
Agung sebelum mengajukan proposal nama ke Departemen. Namun dalam praktiknya Ketua
Mahkamah Agung seringkali memegang kontrol yang dominan dalam menentukan nama-
nama calon yang dimasukkan dalam proposal.
Selanjutnya, nama-nama calon dipresentasikan dalam MahDep. Pada saat presentasi, 
biasanya Departemen mengusulkan beberapa perubahan, misalya dengan memasukkan nama-
nama dari militer maupun kejaksaan. Setelah usulan nama-nama kandidat hakim agung
dibahas, kemudian nama-nama tersebut diserahkan ke Dewan Perwakilan Rakyat yang
kemudian diangkat sebagai hakim agung oleh presiden.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa peran MahDep dalam rekruitmen hakim
agung jauh lebih signifikan apabila dibandingkan dengan peran Dewan Perwakilan Rakyat.
Hal ini terkait denga lemahnya posisi Dewan Perwakilan Rakyat. Dibandingkan dengan
kekuasaan pemerintah (eksekutif).
Setelah tahun 1998, terjadi reformasi, kata “reformasi” tiba-tiba menjadi hangat
dibicarakan. “Reformasi ekonomi”, “reformasi struktural”, dan “reformasi politik” menjadi
bahan diskursus berbagai kalangan, baik kalangan pemerintah, lembaga swadaya masyarakat
(LSM), kampus,  hingga rakyat jelata. Pada intinya, semua pihak mendambakan reformasi
yang segera agar dapat keluar dari himpitan krisis ekonomi pada saat itu dan diantaranya
reformasi dalam bidang hukum. Menurut Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia,
bentuk-bentuk reformasi hukum dikelompokkan  menjadi 7 (tujuh),yaitu:
1. kajian dan forum ilmiah;
2. perancangan peraturan;
3. implementasi peraturan;
4. pelatihan hukum
5. advokasi dan kesadaran masyarakat;
6. lembaga hukum; dan
7. penyusunan rencana.
Reformasi hukum tersebut salah satunya dituangkan dalam bentuk amandemen UUD
Republik Indonesia 1945. Setelah Amandemen, mekanisme rekruitmen Hakim Agung
berbeda dari hakim biasa. Calon hakim agung diseleksi oleh Komisi Yudisial dan diajukan
untuk mendapatkan persetujuan DPR sebagaimana mestinya. Menurut ketentuan Pasal 24A
ayat (3) UUD 1945,yang berbunyi :
 “Calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk
mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai Hakim Agung oleh Presiden”
Keberadaan Komisi Yudisial menjadi penting dalam upaya pembaruan penradilan, termasuk
di dalamnya menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
Keberadaan Komisi Yudisial ini di masa yang akan datang diharapkan dapat menjadi salah
satu mitra kerja Mahkamah Agung untuk terus melakukan upaya-upaya dalam rangka
pembaruan badan peradilan.
            Komisi Yudisial bertindak sebagai pengusul, sedangkan DPR sebagai pemberi
persetujuan atau penolakan, dan selanjutnya ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Dari
ketentuan tersebut jelas bahwa Dewan Perwakilan Rakyat tidak ditentukan harus mengadakan
‘fit and proper test’ dan pemilihan hakim agung sebanyak sepertiga dari jumlah yang
dicalonkan oleh Komisi Yudusial. Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 hanya menyatakan bahwa
calon Hakim Agung diajukan oleh Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan
selanjutnya ditetapkan menjadi Hakim Agung dengan Keputusan Presiden. Hak untuk
menyetujui atau menolak inilah yang disebut sebagai hak konfirmasi (the right to confirm)
yang dimiliki Dewan Perwakilan Rakyat dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan
terhadap pengangkatan dan pemberhentian pejabat publik yang dipandang tidak boleh
dibiarkan ditentukan sendiri secara sepihak oleh Presiden. Karena itu, fungsi pengawasan oleh
DPR itu dilakukan tidak saja menyangkut pelaksanaan kebijakan klegislatif berupa  tindakan
implementasi UU, penjabaran pengaturan UU dalam peraturan pelaksanaan yang lebih
operasional, dan dalam bentuk pengawasan terhadap pengangkatan dan pemberhentian
pejabat publik tertentu yang tidak boleh dibiarkan ditentukan sendiri secara sewenang-wenang
oleh Presiden.
            Dengan demikian, calon yang diajukan oleh Komisi Yudisial cukup sebanyak yang
diperlukan, yang apabila tidak mendapat persetujuan, barulah diajukan lagi alternatif calon
penggantinya. Artinya, mekanisme yang ditempuh untuk pengusulan ini sama dengan yang
berlaku terhadap calon Kepala POLRI dan calon Panglima TNI yang diajukan oleh Presiden
untuk mendapatkan persetujuan atau penolakan dari DPR. Setelah DPR menyatakan
persetujuannya, barulah calon Hakim Agung itu diajukan oleh Komisi Yudisial untuk
ditetapkan dengan Keputusan Presiden dan dilantik di Istana dengan disaksikan oleh Presiden.
Dengan demikian, pengangkatan Hakim Agung melibatkan semua fungsi kekuasaan yang
terpisah, yaitu Komisi Yudisial sebagai lembaga administratif, DPR sebagai cabang
kekuasaan legislative, dan Presiden sebagai cabang kekuasaan eksekutif.
            Profesi secara umum dapat diartikan sebagai pekerjaan yang berwujud karya
pelayanan yang dijalankan dengan penguasaan dan penerapan pengetahuan di bidangkeilmuan
tertentu, yang pengembangannya dihayati sebagai suatu panggilan hidup, dan pelaksanaannya
terikat pada nilai-nilai etika tertentu yang dilandasi semangat pengabdian terhadap sesama
manusia, demi kepentingan umum, serta berakar pada penghormatan dan upaya untuk
menjunjung tinggi martabat manusia.
            Definisi profesi secara singkat adalah sebuah sebutan untuk jabatan pekerjaan, di
mana orang yang menyandangnya dianggap mempunyai keahlian khusus yang  diperoleh
melalui training dan pengalaman kerja. Terminologi profesi paralel dengan profesionalitas
yang dicirikan dengan tiga karakter penting. Pertama, keterkaitan profesi  tersebut dengan
disiplin ilmu yang dipelajarinya dan karenanya bersifat khusus. Kedua, mempunyai
kemampuan merealisasikan teori-teori ilmunya dalam ranah praktis dengan baik. Ketiga,
mempunyai banyak pengalaman kerja.
            Adanya keterlibatan DPR dalam proses pengangkatan Hakim Agung tersebut juga
berkaitan dengan kepentingan untuk menjamin adanya akuntabilitas (public accountability)
dalam pengangkatan, dan juga dalam pemberhentian Hakim Agung. Bagaimanapun juga,
pengakuan akan penting dan sentralnya prinsip independensi peradilan (the independence of
judiciary) sebagai Negara Hukum modern harus lah diimbangi dengan penerapan prinsip
akuntabilitas publik1. Karena itu, fungsi partisipasi publik dipandang penting, dan hal itu
terkait dengan fungsi di DPR, bukan di KY sebagai lembaga teknis yang bersifat
administratif.
            Cara perekrutan hakim Mahkamah Agung dapat disebut multi-voters model karena
melibatkan banyak pihak. UUD 1945 menegaskan peran Komisi Yudisial sebagai panitia
tetap seleksi MA yang hasil akhirnya ditentukan oleh pilihan Komisi III DPR. Presiden hanya
menerbitkan keputusan pengangkatan hakim agung. KY mengimbangi Presiden dan DPR
meski anggota KY diangkat oleh presiden dengan persetujuan DPR.
            Sebagai lembaga teknis administrasi, KY harus dijamin independen dari campur
tangan politik dari pemerintah ataupun dari lembaga politik kekuasaan legislative. Bahkan
sebaiknya, KY juga diamankan dari keterlibatannya dengan pengaruh-pengaruh politik
lembaga swadaya masyarakat. Dengan demikian, Komisi Yudisial benar-benar dapat
bertindak sebagai lembaga antara yang kritis dan objektif, semata-mata untuk mencapai
kehormatan, kepercayaan dan martabat hakim dan lembaga peradilan. Karena dalam Pasal
24B ayat (1) UUD 1945 dinyatakan bahwa “Komisi Yudisial bersifat mandiri yang
berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam
rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim”.
2.      Pemberhentian Hakim Agung
            Hakim Agung juga dapat diberhentikan di tengah jabatannya. Komisi Yudisial
berwenang untuk mengevaluasi dan menilai setiap hakim agung. Dalam hal terjadi
pelanggaran kode etika, maka terhadap hakim agung yang bersangkutan dikenakan sanksi
etika sebagaimana mestinya. Dalam hal hakim agung melakukan pelanggaran yang berat, baik
pelanggaran etika maupun pelanggaran hukum, yang menyebabkannya terancam sanksi
pemberhentian, maka usul pemberhentian itu diajukan oleh Komisi Yudisial untuk
mendapatkann persetujuan atau penolakan dari DPR sebagaimana mestinya. Apabila DPR
menyetujui usul pemberhentian itu barulah usul itu diajukan kepada Presiden untuk
ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Apabila DPR menyatakan menolak usul
pemberhentian tersebut, maka sanksi pemberhentian yang diusulkan oleh Komisi Yudisial
tidak dapat dilaksanakan, dan Komisi Yudisial wajib mengadakan penyesuaian terhadap
keputusannya menyangkut Hakim Agung yang bersangkutan dengan sebaik-baiknya.
            Maksud dibentuknya Komisi Yudisial dalam struktur kekuasaan kehakiman di
Indonesia adalah agar warga masyarakat di luar struktur resmi lembaga parlemen dapat
dilibatkan dalam proses pengangkatan, penilaian kinerja dan kemungkinan pemberhentian
hakim. Semua ini dimaksudkan untuk menjaga dan menegakkan kehormatan serta keluhuran
martabat dan perilaku hakim.
            Jika usul pemberhentian Hakim Agung itu mendapat persetujuan DPR, maka Komisi
Yudisial segera mengajukan usul itu kepada Presiden untuk ditetapkan secara administratif
dengan Keputusan Presiden. Untuk mengsi kekosongan itu, Komisi Yudisial segera
mengajukan usul calon pengganti kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan sebelum
diajukan kepada Presiden untuk ditetapkan sebagai Hakim Agung sebagaimana mestinya.
Untuk menghadapi kemungkinan kekosongan jabatan semacam ini, sebaiknya, Komisi
Yudisial telah memiliki daftar bakal calon Hakim Agung yang dicadangkan dari proses
seleksi yang sudah dilakukan sebelumnya. Dengan demikian, kekosongan dalam jabatan
Hakim Agung dapat dicegah dengan sebaik-baiknya di masa mendatang.

Hakim dilarang untuk merangkap jabatan. Yang dimaksud dengan “merangkap jabatan”
antara lain:
a. wali, pengampu, dan pejabat yang berkaitan dengan suatu perkara yang diperiksa
olehnya;
b. pengusaha; dan
c. advokat.
           
Dalam hal Hakim yang merangkap sebagai pengusaha antara lain Hakim yang merangkap
sebagai direktur perusahaan, menjadi pemegang saham perseroan atau mengadakan usaha
perdagangan lain.
Di dalam pasal 23 ayat (1) UUKY ditegaskan mengenai usul penjatuhan sanksi yang dapat
diberikan Komisi Yudisial kepada hakim sesuai dengan tingkat pelanggarannya, yaitu:
a. Teguran tertulis;
b. Pemberhentian sementara; atau
c. Pemberhentian.
Manakala hakim akan diperiksa Komisi Yudisial, maka pasal 22  ayat (4) menegaskan:
“Badan peradilan dan hakim wajib memberikan keterangan atau data yang diminta Komisi
Yudisial dalam rangka pengawasan terhadap perilaku hakim dalam jangka waktu paling
lambat 14 hari terhitung sejak tanggal permintaan Komisi Yudisial diterima.
            Yang dimaksud dengan hakim dalam ketentuan ini termasuk hakim pelapor, hakim
terlapor, atau hakim lain yang terkait. Sedangkan yang dimaksud dengan keterangan itu dapat
diberikan secara lisan dan/atau tertulis” (penjelasan pasal 22 ayat 4).
            Dalam hal badan peradilan atau hakim tidak memenuhi kewajiban tersebut,
Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi wajib memberikan penetapan berupa
paksaan kepada badan peradilan atau hakim untuk memberikan keterangan atau data yang
diminta (Pasal 22 ayat 5).
            Apabila badan peradilan atau hakim telah diberikan peringatan atau paksaan tetapi
tetap tidak melaksanakan kewajibannya, maka pimpinan badan peradilan atau  hakim yang
bersangkutan dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan perundangundangan dibidang
kepegawaian (pasal 22 ayat 6). Semua keterangan dan data ini  bersifat rahasia (pasal 22 ayat
7). Sedangkan mengenai ketentuan tata cara pelaksanaan tugas sebagai mana dimaksud pada
pasal 22 ayat (1) di atur oleh Komisi Yudisial.
            Usul pemberhentian sanksi teguran tertulis ini disertai alasan kesalahannya, bersifat
mengikat, disampaikan Komisi Yudisial kepada pimpinan Mahkamah Agung dan/atau
Mahkamah Konstitusi (pasal 23 ayat 2). Sedangkan usul penjatuhan sanksi pemberhentian
sementara dan pemberhentian ini diserahkan Komisi Yudisial kepada Mahkamah Agung
dan/atau Mahkamah Konstitusi (pasal 23 ayat 3). Untuk hakim yang dijatuhkan sanksi
pemberhentian sementara dan pemberhentian diberi  kesempatan secukupnya untuk membela
diri di hadapan Majelis Kehormatan Hakim  (pasal 23 ayat 4). Dalam hal pembelaan ditolak,
usul pemberhentian hakim diajukan  oleh Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi
kepada presiden paling  lambat 14 hari sejak pembelaan ditolak oleh Majelis Kehormatan
(pasal 23 ayat 5).
            Keputusan Presiden mengenai pemberhentian hakim, ditetapkan dalam jangka waktu 
paling lama 14 hari sejak presiden menerima usul Mahkamah Agung (pasal 23 ayat ) Secara
universal, kewenangan pengawasan Komisi Yudisial tidak menjangkau Hakim Agung pada
Mahkamah Agung, karena Komisi Yudisial adalah merupakan mitra dari Mahkamah Agung
dalam melakukan pengawasan terhadap para hakim  pada badan peradilan di semua
lingkungan peradilan yang ada dibawah Mahkamah  Agung;
Adapun usul penjatuhan sanksi terhadap Hakim menurut Pasal 21 jo Pasal 23 ayat (3) dan
ayat (4) dilakukan oleh Komisi Yudisial yang diserahkan kepada Mahkamah Agung dan
kepada Hakim yang akan dijatuhi sanksi pemberhentian diberi  kesempatan untuk membela
diri dihadapan Majelis Kehormatan Hakim. Di samping itu khusus mengenai usul
pemberhentian terhadap Hakim Agung dilakukan oleh  Ketua Mahkamah Agung dan kepada
Hakim Agung yang bersangkutan diberi kesempatan untuk membela diri lebih dahulu
dihadapan Majelis Kehormatan  Mahkamah Agung sebagaimana diatur dalam Pasal 12
Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung.
            Secara universal, kewenangan pengawasan Komisi Yudisial tidak menjangkau Hakim
Agung pada Mahkamah Agung, karena Komisi Yudisial adalah merupakan mitra dari
Mahkamah Agung dalam melakukan pengawasan terhadap para hakim pada badan peradilan
di semua lingkungan peradilan yang ada dibawah Mahkamah Agung; Pasal 32 Undang-
undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung yang berbunyi sebagai berikut :
1. Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap  penyelenggaraan peradilan
di semua lingkungan peradilan dalam menjalankan kekuasaan kehakiman;
2. Mahkamah Agung mengawasi tingkah laku dan perbuatan pada Hakim di semua
lingkungan peradilan dalam menjalankan tugasnya;
            Adapun usul penjatuhan sanksi terhadap Hakim menurut Pasal 21 jo Pasal 23 ayat (3)
dan ayat (4) dilakukan oleh Komisi Yudisial yang diserahkan kepada Mahkamah Agung dan
kepada Hakim yang akan dijatuhi sanksi pemberhentian diberi kesempatan untuk membela
diri dihadapan Majelis Kehormatan Hakim. Di samping itu khusus mengenai usul
pemberhentian terhadap Hakim Agung dilakukan oleh Ketua Mahkamah Agung dan kepada
Hakim Agung yang bersangkutan diberi kesempatan untuk membela diri lebih dahulu
dihadapan Majelis Kehormatan  Mahkamah Agung sebagaimana diatur dalam Pasal 12
Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung.
            Mahkamah Agung juga diharapkan meningkatkan pengawasan  terutama dengan cara
lebih membuka diri dalam merespons kritik, harapan, dan saran dari berbagai pihak. Prinsip
kebebasan hakim oleh hakim sendiri harus dimaknai sebagai adanya kewajiban untuk
mewujudkan peradilan yang bebas (fair trial) yang merupakan prasyarat bagi tegaknya rule of
law. Oleh karena itu, dalam prinsip kebebasan hakim tersebut terkandung kewajiban bagi
hakim untuk membebaskan dirinya dari bujuk rayu, tekanan, paksaan, ancaman, atau rasa
takut akan adanya tindakan balasan karena kepentingan politik atau ekonomi tertentu dari
pemerintah atau kekuatan politik yang berkuasa, kelompok atau golongan tertentu, dengan
imbalan atau janji imbalan berupa keuntungan jabatan, keuntungan ekonomi, atau  bentuk
lainnya, serta tidak menyalah gunakan prinsip kebebasan hakim sebagai perisai untuk
berlindung dari pengawasan;
BAB III
PENUTUP

3.1    Kesimpulan
     Wewenang Mahkamah Agung sangat banyak,tidak hanya mengadili pada tingkat kasasi
terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan di semua lingkungan
peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung, kecuali undang-undang menentukan
lain,menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-
undang; dan kewenangan lainnya yang diberikan undang-undang.seperti yang tercantum pada
pasal 20 UU no 48 tahun 2009 ayat 2 tentang Kekuasaan Kehakiman, tetapi juga meliputi
Mahkamah Agung dapat dapat memberi keterangan, pertimbangan, dan nasihat masalah
hukum kepada lembaga negara dan lembaga pemerintahan dan terhadap putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat
mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan
tertentu yang ditentukan dalam undang-undang, Pimpinan Mahkamah Agung bersama
pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat bisa menjadi saksi pengambilan sumpah Presiden
dan Wakil Presiden apabila Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat
terdapat suatu hal yang bersifat memaksa atau keadaan lain yang membuat Majelis
Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat tidak bisa menyelenggarakan
sidang, Mahkamah Agung bisa memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam hal
Pemberian Grasi dan RehabilitasiMahkamah Agung berhak untuk mengajukan 3 orang Hakim
Konstitusi dan Pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan pada semua badan
peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung dalam menyelenggarakan kekuasaan
kehakiman.

3.2    Saran
     Mengenai Perekrutan Hakim Agung, perlu diatur bahwa seluruh hakim baik hakim agung
maupun hakim konstitusi, pengusulannya harus diusulkan oleh KY. Dengan demikian seluruh
hakim akan diawasi oleh pengawas eksternal yaitu KY. MA maupun MK tidak perlu
membentuk majelis kehormatan yang bertugas mengawasi perilaku hakim, yang anggotanya
diambil dari lingkungan hakim  itu sendiri. Dengan kata lain, ke depan tugas mengawasi
hakim cukup diserahkan ke KY baik hakim , Hakim Agung Maupun Hakim Kostitusi. Hasil
pengawasan KY direkomendasikan kepada ketua MA maupun MK untuk ditindaklanjuti.
Dewan kehormatan di MA maupun MK bersifat ad hoc saja, dan mereka ada dan bertindak
setelah rekomendasi KY.
DAFTAR PUSTAKA

 Jimly Asshiddiqie, Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat,  


Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002
 E. Soemaryono, Etika Profesi Hukum, Norma-norma bagi Penegak Hukum, Yogyakarta:
Penerbit Kanisius,1995, hlm. 32.
 Satya Arinanto, “Reformasi Hukum, Demokrasi, dan Hak-hak Asasi Manusia”, Hukum
dan Pembangunan, Nomor 1-3, Tahun XXVIII, Januari-Juni 1998,         hlm. 124-125.
 Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, Peta Reformasi Hukum di     Indonesia
1999-2001: Transisi di Bawah Bayang-bayang Negara, Jakarta:  Komisi Hukum Nasional
Republik Indonesia, 2002, hlm. 35.
 UU no 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
 UU no 5 tahun 2004 tentang Mahkamah Agung
 https://muhfathurrohman.wordpress.com/2012/09/09/mahkamah-agung
 http://raha-x.blogspot.com/2011/04/tugas-dan-wewenang-mahkamah-agung.html

Anda mungkin juga menyukai