Anda di halaman 1dari 3

 Juara All England 4 kali (1990, 1991, 1993, 1994)

 Juara Piala Uber bersama tim Uber Indonesia 2 kali (1994 dan 1996)
 Juara Piala Sudirman bersama tim nasional Indonesia, 1989
 Juara World Badminton Grand Prix 6 kali (1990, 1991, 1992, 1993, 1994 dan 1996)
 Juara Indonesia Open 6 kali (1989, 1991, 1994, 1995, 1996, dan 1997)
 Juara Malaysia Open 4 kali (1993, 1994, 1995, dan 1997)
 Juara Japan Open 3 kali (1992, 1994, dan 1995)
 Juara Thailand Open 4 kali (1991, 1992, 1993, dan 1994)
 Juara Denmark Open 2 kali (1991 dan 1992)
 Juara China Taipei Open 2 kali (1991 dan 1994)
 Juara Korea Open, 1995
 Juara Dutch Open, 1993

Ia memulai karir bulutangkis di klub milik pamannya, PB Tunas Tasikmalaya. Setelah berlatih
selama 7 tahun di sana dan memenangkan kejuaraan bulutangkis tingkat junior, pada tahun 1985
ia pindah ke Jakarta. Saat itu ia kelas 2 SMP, namun telah berpikir untuk serius di dunia
bulutangkis.

Di Jakarta, Susi tinggal di asrama dan bersekolah di sekolah khusus untuk atlet. Pergaulannya
terbatas dengan sesama atlet, bahkan pacaran pun dengan atlet pula. Jadwal latihannya pun
sangat padat. Enam hari dalam sepekan, Senin s.d. Sabtu mulai dari pukul 07.00 hingga pukul
11.00. Kemudian disambung lagi dari pukul 15 sampai pukul 19.00. Ada aturan tersendiri untuk
makan, jam tidur, sampai tentang pakaian. Ia tidak diperbolehkan menggunakan sepatu dengan
hak tinggi untuk menghindari kemungkinan keseleo. Untuk berjalan-jalan ke mall pun hanya
bisa pada hari Minggu. Itu pun jarang dilakukan karena lelah berlatih.

Untuk menjadi juara ia memang harus selalu disiplin dan konsentrasi. Akhirnya ia pun
menyadari dalam meraih prestasi memang perlu perjuangan dan pengorbanan. “Kalau mau santai
dan senang-senang terus, mana mungkin cita-cita saya untuk jadi juara bulutangkis tercapai?
Sekarang rasanya puas banget melihat pengorbanan saya ada hasilnya. Ternyata benar juga kata
pepatah: Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian,” kata Susi mengenang.

Pada awal kariernya di tahun 1989, Susi sudah berhasil menjadi juara di Indonesian Open. Selain
itu berkat kegigihan dan ketekunannya, Susi berhasil turut serta menyumbangkan gelar Piala
Sudirman pada tim Indonesia untuk pertama kalinya dan belum pernah terulang sampai saat ini.
Setelah itu ia pun mulai merajai kompetisi bulutangkis wanita dunia dengan menjuarai All
England sebanyak empat kali (1990, 1991, 1993, 1994) dan menjadi Juara Dunia pada tahun
1993.

Puncak karier Susi bisa dibilang terjadi pada tahun 1992 pada saat ia menjadi juara tunggal putri
cabang bulutangkis di Olimpiade Barcelona, 1992. Susi menjadi peraih emas pertama bagi
Indonesia di ajang Olimpiade. Uniknya, Alan Budikusuma yang merupakan pacarnya ketika itu,
turut menjadi juara di tunggal putra. Mereka berhasil mengawinkan gelar juara tunggal putra dan
putri bulutangkis pada Olimpiade Barcelona. Media asing menjuluki mereka sebagai “Pengantin
Olimpiade”, sebuah julukan yang terjadi menjadi kenyataan di kemudian hari.

Susi kembali berhasil meraih medali, kali ini medali perunggu pada Olimpiade 1996 di Atlanta,
Amerika Serikat. Selain itu, Susi turut serta menorehkan prestasi dengan merebut Piala Uber
tahun 1994 dan 1996 bersama tim Uber Indonesia, gelar yang telah lama lepas dari genggaman
srikandi-srikandi kita. Puluhan gelar seri grand prix juga berhasil ia raih sepanjang karirnya..

Saat masih aktif menjadi pemain, Susi selalu berusaha menjadikan dirinya sebagai contoh yang
baik bagi pemain lainnya. Ia sangat disiplin terhadap waktu latihan atau pun di luar latihan.
Kiprah Susi Susanti di dunia bulutangkis memang luar biasa. Dalam setiap pertandingan, ia
selalu menunjukkan sikap yang tenang dan tanpa emosi bahkan pada saat tertinggal jauh
perolehan angkanya. Semangatnya yang pantang menyerah selalu berhasil membuat para
pendukungnya yakin Susi akan memberikan usaha yang terbaik.

Walaupun telah puluhan gelar tingkat internasional ia raih, ada satu sikap yang tidak pernah
hilang dari diri Susi Susanti. Ia selalu bersikap rendah hati dan terus berusaha untuk menjadi
lebih baik lagi. Baginya, kekalahan bukanlah akhir dari segalanya, namun justru kesempatan
untuk memperbaiki kemampuan dan menghindarkan dari sikap sombong. Sungguh satu sikap
yang patut dicontoh oleh para generasi muda bangsa Indonesia!!

sumber referensi:
Biografi Taufik Hidayat

Anda mungkin juga menyukai