Anda di halaman 1dari 9

Etika islam dalam penerapan IPTEKS

PEMBAHASAN

A.    Pengertian  Etika Islam dan Ilmu Pengetahuan.


1.      Etika Islam
secara terminologi, beberapa ahli menguraikan definisi etika sebagai berikut:
1)      Mulyadhi Kartanegara:
“Etika adalah filsafat moral atau ilmu akhlak, tidak lain daripada ilmu atau “Seni” hidup (the
art of living) yang mengajarkan bagaimana cara hidup bahagia, atau bagaimana memperoleh
kebahagiaan. Etika sebagai seni hidup etika sebagai pengobatan spiritual.
2)      Ahmad Amin:
“Etika adalah suatu ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang
seharusnya dilakukan oleh sebagian manusia kepada lainnya, menyatakan tujuan yang harus
dituju oleh manusia di dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa
yang harus diperbuat.
3)      Poedjawiyatna mengatakan bahwa:
“Tindakan mungkin juga dinilai sebagai baik atau lawannya, ialah buruk. Kalau tindakan
manusia dinilai atas baik-buruknya, tindakan itu seakan-akan keluar dari manusia, dilakukan
dengan sadar atas pilihan, dengan satu perkataan: sengaja. Faktor kesengajaan ini mutlak
untuk penilaian baik-buruk, yang disebut etis atau moral.
4)      Sudarsono:
“Etika adalah ilmu yang membahas perbuatan baik dan perbuatan buruk manusia sejauh yang
dapat dipahami oleh pikiran manusia. Etika disebut pula akhlak atau disebut pula moral.
Apabila disebut “akhlaq” berasal dari bahasa arab. Apabila disebut “moral” berarti adat
kebiasaan
Secara etimologi, etika berasal dari bahasa Yunani yaitu ethikos, ethos (adat, kebiasaan,
praktek). Sebagaimana digunakan Aristoteles istilah ini mencakup ide “karakter” dan “disposisi”
(kecondongan). Kata moralis diperkenalkan ke dalam kosa kata filsafat oleh Cirero. Baginya kata
ini ekuivalen dengan kata ethikos yang diangkat oleh Aristoteles. Kedua istilah itu menyiratkan
hubungan dengan kegiatan praktis. Sedangakan menurut Islam sendiri Etika adalah “Akhlak”.
Akhlak atau etika Islam lebih bersifat berkisar sekitar Tuhan. Karena dalam Islam, etika lebih
dikaitkan dengan pahala dan dosa.
Etika Islam merupakan bentuk frasa dan pemikiran yang muncul dalam   diri kaum
muslim itu sendiri. Munculnya etika Islam didasarkan pada Al-Qur’an dan As-Shunnah. Etika
Islam dalam penerapan Bidang Ilmu kini mendapat implikasi negative, dikarenakan perbedaan
agama, budaya dan gaya hidup dari negara-negara Barat yang menjadi produsen ilmu
tersebut. Sebab paradigma dan pelaksanaan komunikasi Barat yang lebih mengoptimalkan nilai-
nilai pragmatis, materialistis serta penggunaan media secara kapitalis.
Etika Islam dalam Ilmu Pengetahuan yang hangat diperbincangkan akhir-akhir ini
terutama menyangkut teori dan prinsip-prinsip etika Islam, serta pendekatan Islam tentang Ilmu
Pengetahuan. Titik penting munculnya aktivisme dan pemikiran mengenai etika Islam ditandai
dengan terbitnya beberapa media social, sebut saja salah satunya Friendster. Ini semakin
menunjukkan jati diri etika seorang muslim yang tengah mendapat perhatian dan sorotan
masyarakat tidak saja di belahan negara berpenduduk Muslim tetapi juga di negara-negara Barat.
Isu-isu yang dikembangkan dalam media sosial tersebut menyangkut Islam dan komunikasi yang
meliputi perspektif Islam terhadap media, pemanfaatan media massa pada era pascamodern,
kedudukan dan perjalanan media massa di negara Muslim serta perspektif politik terhadap Islam
dan Ilmu Pengetahuan.
Etika Islam yang berfokus pada ayat-ayat Al-Qur’an yang dikembangkan oleh para
pemikir Muslim. Tujuan akhirnya adalah menjadikan etika Islam sebagai landasan utama dalam
penerapan Ilmu Pengetahuan, terutama dalam menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang
bersesuaian dengan fitrah penciptaan manusia. Kesesuaian nilai-nilai Al-Qur’an dengan dimensi
penciptaan fitrah kemanusiaan itu memberi manfaat terhadap kesejahteraan manusia sejagat.
Sehingga dalam perspektif ini, etika Islam merupakan proses penyaringan atau tukar menukar
informasi yang menggunakan prinsip dan kaedah etika islam dalam Alquran. Etika Islam dengan
demikian dapat didefenisikan sebagai proses penyaringan nilai-nilai Islam dari
komunikator/produktor kepada komunikan/konsumen dengan menggunakan prinsip-
prinsip etika yang sesuai dengan Alquran dan Hadis.
Dalam Islam, prinsip etika merupakan hak eksklusif dan bahan komoditi yang
bersifat memikat, tetapi ia memiliki norma-norma dan moral imperatif yang bertujuan sebagai
service membangun kualitas manusia secara paripurna. Jadi Islam meletakkan inspirasi tauhid
sebagai parameter pengembangan teori ilmu pengetahuan dan Alquran menyediakan seperangkat
aturan dalam prinsip dan tata beretika dalam penerapan ilmu pengetahuan.
Dalam masalah ketelitian menerima Penemuan Sains dan Teknologi, Alquran misalnya
memerintahkan untuk melakukan check and recheck terhadap informasi yang diterima. Dalam
surah al-Hujurat ayat 6 dikatakan

٦‫ُوا َعلَ ٰى َما فَ َع ۡلتُمۡ ٰنَ ِد ِمين‬


ْ ‫صبِح‬ ْ ‫صيب‬
ۡ ُ‫ُوا قَ ۡو ۢ َما بِ َج ٰهَلَ ٖة فَت‬ ُ ۢ ‫ٰيََٓأيُّهَا ٱلَّ ِذينَ َءا َمنُ ٓو ْا ِإن َجٓا َء ُكمۡ فَا ِس‬
ِ ُ‫ق بِنَبَ ٖإ فَتَبَيَّنُ ٓو ْا َأن ت‬
Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, .
maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum
.tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu
Oleh karena itu, penerapan etika islam dalam menanggapi perkembangan
ilmu Pengetahuan sangat di perlukan, agar terciptanya masyarakat muslim yang madani dan
tidak terlalu jauh menikmati kefaanaan alam dunia ini. Selain itu, proses pendidikan
Islam juga merupakan rangkaian usaha membimbing, mengarahkan, potensi hidup manusia yang
berupa kemampuan-kemampuan dasar dan kemampuan belajar, sehingga terjadilah perubahan
dalam kehidupan pribadinya sebagai makhluk individual, dan sosial serta dalam hubungannya
dengan alam sekitar dimana nilai- nilai Islam, yaitu nilai-nulai yang melahirkan norma-norma
syariah dan akhlak karimah.
Tujuan kependidikan Islam adalah merupakan penggambaran nilai-nilai Islami yang
hendak diwujudkan dalam pribadi manusia, dengan istilah lain tujuan pendidikan Islam
perwujudan nilai-nilai Islami dalam diri manusia didik. Jadi kesanalah pendidikan Islam
seharusnya diarahkan, agar pendidikan Islam tidak hanyut terbawa arus modernisasi dan
kemajuan IPTEK.
2.      Pengertian Ilmu Pengetahuan
Berdasarkan sudut pandang filsafat ilmu, pengetahuan dan ilmu pengetahuan mempunyai
makna yang berbeda. Pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui manusia melalui
pancaindra. Sedangkan ilmu adalah pengetahuan yang telah disusun, diklasifikasikan, dan
diverifikasi sehingga menghasilkan kebenaran objektif dan dapat diuji ulang secara ilmiah.
Dalam Al-Quran ilmu digunakan dalam proses pencapaian pengetahuan dan objek pengetahuan
sehingga memperoleh kejelasan.
Sedangkan Ilm dari segi etimologi berarti kejelasan, karena itu segala yang terbentuk dari
akar katanya mempunyai ciri kejelasan. Ilmu adalah pengetahuan yang jelas tentang sesuatu.
Menurut az-Zubardi, terjadi perdebatan panjang tentang istilah ‘ilm sehingga sekelompok
pakar berpendapat bahwa ‘ilm tidak dapat didefinisikan karena kejelasannya. Ada pula yang
mengatakannya karena sulitnya (mendefinisikannya). Demikian pula dengan pendapat-pendapat
lain, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, seperti disebutkan oleh Imam Abul hasan al-
Yusi dalam kitab Qanun ul-‘Ulum.
Al-Manawi dalam kitab at-Taiqif berkata, “ilmu adalah keyakinan kuat yang tetap sesuai
dengan realita. Bisa juga berarti sifat yang membuat perbedaan tanpa kritik. Atau, ilmu adalah
tercapainya bentuk sesuatu dalam akal.
Imam Raghib al-Ashfahani dalam kitabnya, Mufradat al-Qur’an, berkata, “ilmu adalah
mengetahui sesuatu sesuai dengan hakikatnya. Ia terbagi dua: pertama, mengetahui inti sesuatu
itu (oleh ahli logika dinamakan thasawwur). Kedua, menghukum adanya sesuatu pada sesuatu
yang ada, atau menafikan sesuatu yang tidak ada (oleh ahli logika dinamakan tashdiq,
maksudnya mengetahui hubungan sesuatu dengan sesuatu).
Raghib al-Ashfahani membagi ilmu dari sisi lain, yakni menjadi ilmu teoritis dan
aplikatif. Ilmu teoritis berarti ilmu yang hanya membutuhkan pengetahuan tentangnya. Jika telah
diketahui berarti telah sempurna, seperti ilmu tentang keberadaan dunia. Sedangkan, ilmu
aplikatif adalah ilmu yang tidak sempurna tanpa dipraktekkan, seperti limu tentang ibadah,
akhlak, dan sebagainya.
Selanjutnya ar-Raghib menjelaskan, dari sudut pandang lainnya ilmu dapat pula dibagi
menjadi dua bagian: Ilmu rasional dan doktrinal. Ilmu rasional adalah ilmu yang didapat dengan
akal dan penelitian, sedangkan ilmu doktrinal merupakan ilmu yang didapat dengan pemberitaan
wahyu

b)      Sumber Ilmu Pengetahuan


           Dalam pemikiran Islam ada dua sumber ilmu yaitu akal dan wahyu. Keduanya tidak boleh
dipertentangkan, karena manusia diberi kebebasan dalam mengembangkan akal budinya
berdasarkan tuntutan al-Qur’an dan sunnah rasul. Atas dasar itu, ilmu dalam pemikiran Islam ada
yang bersifat abadi (perennial knowledge) dan tingkat kebenarannya bersifat mutlak (absolute)
karena bersumber dari wahyu Allah dan ilmu yang bersifat perolehan (aquired knowledge)
tingkat kebenarannya bersifat nisbi (relative) karena bersumber dari akal pikiran manusia.
           Maka dari itu tidak ada istilah final dalam suatu produk ilmu pengetahuan, sehingga setiap
saat selalu terbuka kesempatan untuk melakukan kjian ulang atau perbaikan kembali.
Kedua sumber ilmu tadi akan dijelaskan sebagai berikut:
1)    Sumber ilmu dari Allah SWT atau Wahyu
Ilmu yang bersumber pada agama atau Allah SWT diturunkan kepada manusia melalui para
Rasul-Rasul Allah, berupa wahyu Allah yang diabadikan dalam kitab suci masing-masing
diantaranya:
a.    Zabur (mazmur), kitab Nabi Daud as.
b.    Taurat (thorah),  kitab Nabi Musa as.
c.    Injil, kitab Nabi Isa al-masih as.
d.    Al-Quranul karim, kitab Nabi Muhammad SAW.
2)    Sumber ilmu dari akal atau Filsafat
Semua ilmu pengetahuan yang kita kenal sekarang ini bersumber dari Filsafat (Philosophia),
yang dianggap sebagai induk dari segala ilmu pengetahuan. Filsafat pada masa itu mencakup
pula segala pemikiran mengenai masyarakat. Lama-kelamaan sejalan dengan perkembangan
zaman dan tumbuhnya peradaban manusia, berbagai ilmu pengetahuan yang semula tergabung
dalam filsafat, memisahkan diri dan berkembang mengejar tujuan masing-masing. Dalam islam
kita juga mengenal banyak ilmuwan-ilmuwan atau para filosof misalnya, Imam Hanafi, Imam
Maliki, Imam Syafi'i, dan Imam Hambali adalah tokoh islam dalam bidang ilmu fiqih, Abu
Hasan Al Asy'ari adalah tokoh ilmuwan muslim di bidang ilmu tauhid, Imam Ghazali adalah
tokoh yang terkenal dalam bidang ilmu tafsir, ilmu fiqih, ilmu filsafat, dan ilmu akhlak, Ibnu
Sina adalah tokoh dalam bidang kedokteran dan filsafat, Al Biruni adalah ahli dalam ilmu fisika
dan ilmu astronomi, Jabir ibn Hayyan adalah ahli kimia dari kalangan kaum muslimin, Al
Khawarizmi di bidang matematika dan Al Mas'udi yang terkenal sebagai ahli geografi serta
sejarah.
Dari berbagai ragam ilmu pengetahuan yang berinduk dari filsafat tersebut pada garis besarnya
dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok besar, yaitu:
a.    Ilmu-ilmu Alamiah (Natural Sciences), yang meliputi fisika, kimia, astronomi, biologi,
botani dan sebagainya.
b.    Ilmu-ilmu Sosial (Social Sciences), yang terdiri dari sosiologi, antropologi, psikologi,
ekonomi, politik, sejarah, hukum dan sebagainya.
c.    Ilmu-ilmu budaya (Humanities), yang terdiri dari cinta kasih, agama, ilmu, budaya, kesenian,
bahasa, kesusastraan dan sebagainya.
c)      Batasan pengembangan Ilmu Pengetahuan dalam islam
            a.    Al-Quran
            b.    Hadist
            c.    Ijtihad
            Orang yang melakukan ijtihadnya dengan benar (para mujtahid) akan mendapat dua
pahala.
 Seni akan menjadi haram jika:
             a. Seni suara dan seni musik (membuat orang lupa akan Allah),       Al-Khamr (minuman
arak) , dan al-qainat (penyanyi cabul).
            b.    Seni rupa (gambar, terutama patung), yang ada hubungannya dengan jiwa
kemusyrikan dan penyembahan berhala. Pelukisan Tuhan merupakan menyekutukanNya
sehingga itu merupakan kesenian yang diharamkan.
C.    Ilmu untuk Kemaslahatan Hidup
           Islam adalah agama yang sama sekali tidak menginginkan umatnya buta huruf, tolol bin
bodoh alias goblok. Tapi islam adalah agama yang menginginkan umatnya memiliki kecerdasan
intelektual dan spiritual. Pantas dalam falsafah hidup yang dikatakan oleh Sastrawan dan
Budayawan Madura D. ZAWAWI IMRAN asal Sumenep. Beliau mengatakan bahwa : “ lebih
baik mati ikut air kencing ibu dari pada hidup tidak dapat memberikan manfaat sama sekali,
karena pentingnya menjadi orang-orang yang berilmu. Perlu diketahui bahwa orang-orang yang
berilmu memiliki keutamaan dan derajat yang tinggi disis Allah swt.
Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman didalam Al Qur’an surat Al Mujadalah ayat 11 :
Yang artinya : “ Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-
orang yang diberi ilmu pengetahuan bebarapa derajat “.
Kata iman dan ilmu disebut secara beriringan, mengandung arti bahwa Iman tidak boleh
dipisahkan dengan Ilmu. Pantas kalau ilmuwan barat Albert Einstein mengatakan : “ science
without religion is bland, but religion without is lame “( ilmu pengetahuan tanpa agama akan
buta, sedangkan agama tanpa ilmu pengetahuan akan lumpuh ).
Ada sebuah cerita yang diceritakan oleh Prof. Dr Ahmad Saboe yang pernah meraih
hadiah nobel di Pakistan dalam bukunya Pendekatan Ilmiyah tentang Eksistensi Tuhan dan
Makhluk Ciptaanya. Dia menceritakan tentang Dr. Ehrenfest yang telah menulis surat kepada
temanya Dr. Paul Konstam sebelum Dr. ehrenfest meninggal dunia, dia mengatakan bahwa : “
aku telah berhasil dalam meraih keduniawian, ilmu pengetahuan aku punya, aku sangat paham
dan ahli dalam bidang kedokteran bahkan kekayaan pun aku punyai namun ada satu hal yang aku
remehkan, yang itu membuat hidupku hancur bahkan aku bunuh diri dan membunuh anak dan
istriku sendiri, yaitu bahwa selama ini aku tidak pernah mengenal tuhanku “.
Dari cerita tadi dapat di artikan bahwa agar IPTEK dapat memberikan kemaslahatan
umat, maka kita harus membekali diri sejak dini dengan IMAN dan TAQWA kepada Allah swt.
Mantan Presiden RI. Prof. Bj Habibie mengatakan bahwa : keseimbangan IPTEK dan IMTAQ
merupakan refleksi dua unsur penting dalam kehidupan manusia yang senantiasa dijaga.
Menurut Bj Habibie, IPTEK diperlukan untuk membawa perubahan positif, kemajuan dan
kesejahteraan dalam kehidupan. Sedangkan IMTAQ menjaga agar manusia tidak tersesat dalam
kehidupan.
“ Otak boleh Jerman, namun Hati harus tetap berIMAN “
“ Otak boleh Amerika, namun Hati harus tetap berTAQWA “
“ Otak boleh Berfikir, namun Hati harus tetap Berdzikir “
d)     Keutamaan Orang Berilmu dan Beramal
            Perbuatan baik seseorang tidak akan  bernilai amal shaleh apabila perbuatan tersebut
tidak dibangun atas nilai-nilai iman dan ilmu yang benar. Sama halnya dengan perkembangan
IPTEKS yang lepas dari keimanan dan ketakwaan tidak akan bernilai ibadah serta tidak akan
menghasilkan kemaslahatan bagi umat manusia dan alam lingkungannya.    Manusia sebagai
makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna, kesempurnaannya karena dibekali seperangkat
potensi. Potensi yang paling utama adalah akal. Dan akal tersebut berfungsi untuk berpikir hasil
pemikirannya adalah ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.
Ilmu-ilmu yang dikembangkan atas dasar keimanan dan ketakwaan pada Allah SWT, akan
memberikan jaminan kemaslahatan bagi kehidupan umat manusia termasuk bagi lingkungannya.
Allah berjanji dalam Q.S 58(Al-Mujadalah):11:
‫د ََر َجاتٍ ْال ِع ْل َمُأوتُوا َوالَّ ِذينَ ِم ْن ُك ْمَآ َمنُوا الَّ ِذينَ هَّللا ُ يَرْ فَ ِع‬
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang
diberi ilmu beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadilah: 11)
           Menurut Al-Gazhali bahwa makhluk yang paling mulia adalah manusia, sedangkan
sesuatu yang paling mulia pada diri manusia adalah hatinya, tugas utama pendidik adalah
menyempurnakannya, membersihkan dan mengiringi peserta didik agar hatinya selalu dekat
kepada Allah swt, melalui perkembangan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, para pendidik akan
selalu dikenang oleh anak didiknya. Kemudian al-Gazhali memberikan argumentasi yang kuat,
baik berdasarkan al-Qur’an as Sunnah, maupun argumentasi secara rasional. Sehingga kita dapat
mengatakan bahwa mengajarkan ilmu bukan hanya  termasuk aspek ibadah kepada Allah swt,
melainkan juga termasuk khalifah Allah swt, karena hati orang alim telah dibukakan oleh Allah
SWT.
           Keutamaan orang yang berilmu menurut Al-Ghazali :
-    Bagaikan matahari, selain menerangi dirinya juga penerang orang lain.
-    Bagaikan minyak kasturi yang selalu menyebarkan keharuman bagi orang yang berpapasan
dengannya.
Ada dua fungsi utama manusia di dunia, yaitu sebagai abdun (hamba Allah) dan khalifah
fil ardhi. Essensi dari abdun adalah ketaatan kepada Allah, dan essensi khalifah adalah tanggung
jawab terhadap diri sendiri dan alam lingkungannya. Manusia sebagai khalifah bertanggung
jawab untuk menjaga keseimbangan alam dan lingkungannya, mengeksplorasi sumberdaya alam
untuk sesuatu yang bermanfaat. Oleh karena itu, tanggung jawab kekhalifahan banyak bertumpu
pada ilmuwan dan para intelektual yang mampu memanfaatkan sumber daya alam ini.
A.    Ayat dan Hadis
            Al-Qur’an menganggap begitu pentingnya bukti dan kesahihan, sehingga menasihatkan
orang-orang yang beriman agar tidak menerima sesuatu yang berada di luar pengetahuan mereka.
Ayat sucinya yang berbunyi, “Janganlah menuruti sesuatu yang engkau tidak tahu apa-apa
tentangnya. Sesungguhnya, telinga, mata, dan akal harus bertanggung jawab untuk itu..
a.      Objek ilmu
Objek ilmu menurut ilmuwan muslim mencakup alam materi dan nonmateri. Tentu ada
tata cara dan sarana yang harus digunakan untuk meraih pengetahuan tentang hal tersebut
·         Surah Al-Nahl ayat 78  berbunyi:
            “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui
sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.”
(Q.S. Al-Nahl/16: 78).
            Ayat ini mengisyaratkan penggunaan empat sarana yaitu:
Pendengaran, mata (penglihatan) dan akal, serta hati.
Trial and error (coba-coba), pengamatan, percobaan, dan tes-tes kemungkinan
(probability) merupakan cara-cara yang digunakan ilmuwan untuk meraih pengetahuan. Hal itu
disinggung juga oleh al-Qur’an, seperti dalam ayat-ayat yang memerintahkan manusia untuk
berfikir tentang alam raya, melakukan perjalanan, dan sebagainya, kendatipun hanya berkaitan
dengan upaya manusia alam materi.
·         Surah Yunus ayat 101:
ِ ‫ت َواَأل ْر‬
‫ض‬ َّ ‫قُ ِل انظُ ُرو ْا َما َذا فِي ال‬
ِ ‫س َما َوا‬
Terjemahnya:  Katakanlah: "Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi.” (Q.S.
Yunus/10: 101).

·         Surah Al-Ghasyiyah ayat 88:


“Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan,. Dan langit,
bagaimana ia ditinggikan?. Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan?. Dan bumi
bagaimana ia dihamparkan? (Q.S. al-Ghasyiyah/88: 17-20”.

·         Surah Al-Syu’araa ayat:


“Dan apakah mereka tidak memperhatikan bumi, berapakah banyaknya Kami tumbuhkan di
bumi itu pelbagai macam tumbuh-tumbuhan yang baik? (Q.S. Al-Syu’araa’/26: 7)”.
Di samping mata, telinga, dan fikiran sebagai sarana meraih pengetahuan, al-Qur’an pun
menggarisbawahi pentingnya peranan kesucian hati.
Wahyu dianugrahkan atas kehendak Allah dan berdasarkan kebijaksanaan-Nya tanpa
usaha dan campur tangan manusia. Sementara firasat, intiusi, dan semacamnya, dapat diraih
melalui penyucian hati. Dari sini para ilmuwan muslim menekankan pentingnya tazkiyah an-
nafs (penyucian jiwa) guna memperoleh hidayat (petunjuk/pengajaran Allah), karena mereka
sadar terhadap kebenaran firman Allah:
ِ ‫ص ِرفُ عَنْ آيَاتِ َي الَّ ِذينَ يَتَ َكبَّرُونَ فِي اَأل ْر‬
ِّ ‫ض بِ َغ ْي ِر ا ْل َح‬
‫ق َوِإن يَ َر ْو ْا ُك َّل آيَ ٍة الَّ يُْؤ ِمنُو ْا بِ َها‬ ْ ‫سَأ‬
َ ...
Terjemahnya: Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi
tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku. Mereka jika melihat tiap-tiap ayat
(Ku),...(Q.S. Al-A’raf/7: 146).

Para ilmuwan muslim juga menggarisbawahi pentingnya mengamalkan ilmu. Dalam


konteks ini, ditemukan ungkapan yang dinilai oleh sementara pakar sebagai hadis Nabi Saw.
‫من عمل بما عمل او رثه هللا مالم يعلم‬
Terjemahnya:   Barangsiapa mengamalkan yang diketahuinya maka Allah menganugrahkan
kepadanya ilmu yang belum diketahuinya”
Sebagian ulama merujuk kepada al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 282 untuk memperkuat hadis
tersebut:
٢٨٢﴿ ‫…﴾ َواتَّقُو ْا هّللا َ َويُ َعلِّ ُم ُك ُم هّللا ُ َوهّللا ُ بِ ُك ِّل ش َْي ٍء َعلِي ٌم‬
Terjemahnya: … Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu.  (Q.S. al-Baqarah/2: 282).
Atas dasar itu semua, al-Qur’an memandang bahwa seseorang yang memiliki ilmu harus
memiliki sifat dan ciri tertentu pula, antara lain yang paling menonjol adalah sifat khasyat (takut
dan kagum kepada Allah).
            Rasulullah Saw.menegaskan bahwa:
‫ة هللا‬gg‫ العلم علمان علم فى القلب فذاك العلم النافع وعلم على اللسان فذاك حب‬:‫عن جابر أن رسول هللا صلى هللا عليه وسلم قال‬
‫على ابن أدم‬
Terjemahnya:   Ilmu itu ada dua macam, ilmu di dalam dada, itulah yang bermanfaat, dan ilmu
sekedar di ujung lidah, maka itu akan menjadi saksi yang memberatkan manusia.

b.    Kategori Ilmu
Dalam khazanah Islam, terdapat dua kategori ilmu pengetahuan:
Ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu agama. Adanya ilmu-ilmu umum dipahami dari surat
Fathir/35:27-28, dan adanya ilmu-ilmu agama dari surat at-Taubah/9:122.
Terjemahnya:“Tidakkah kamu melihat bahwasanya Allah menurunkan hujan dari langit
lalu Kami hasilkan dengan hujan itu buah-buahan yang beraneka macam jenisnya. Dan di
antara gunung-gunung itu ada garis-garis putih dan merah yang beraneka macam warnanya
dan ada (pula) yang hitam pekat.” (Q.S. Fathir/35: 27)”.                     
Di dalam ayat ini, Tuhan meminta manusia agar memperhatikan bagaimana hujan turun
dari langit. Hal ini minimal bisa membuahkan pengembangan ilmu-ilmu meteorology.
Pengamatan terhadap hujan yang menumbuhkan aneka ragam tumbuh-tumbuhan paling kurang
dapat memicu berkembangnya ilmu-ilmu biologi dan kimia. Manusia juga diminta untuk
memperhatikan gunung-gunung, menyangkut struktur dan kelakuannya. Ini bisa menjadi cikal-
bakal pengembangan ilmu-ilmu geologi dan fisika. Ayat tersebut, dengan demikian,
menghendaki pengembangan kelima cabang ilmu alam.
·         Dalam ayat berikutnya:
Terjemahnya: “Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan
binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya
yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah
Maha perkasa lagi Maha Pengampun.” (Q.S. Fathir/35: 28)”.
                        Dalam ayat ini, Allah menyuruh manusia agar mengamati dirinya sendiri, hewan,
dan ternak, yang beragam jenisnya. Bila pengamatan dilakukan, di samping akan
mengembangkan ilmu-ilmu alam di atas, juga akan memajukan ilmu-ilmu sosial, termasuk ilmu
ekonomi. Pengamatan terhadap manusia tentu akan melahirkan ilmu-ilmu budaya (humaniora).
Jadi, ayat tersebut jelas menghendaki pengembangan ilmu-ilmu sosial dan humaniora.
·         Di pihak lain, dalam surah at-Taubah/9:122
Terjemahnya: “Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mu'min itu pergi semuanya (ke medan
perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk
memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada
kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.”
(Q.S. at-Taubah/9: 122)”.          
Allah mencela sikap yang selalu mengejar dunia saja. Dalam setiap golongan, Allah
menghendaki adanya sekelompok orang yang mendalami agama, menasehati dan memajukan
masyarakat.
Pengembangan kedua golongan besar ini harus proporsional. Memang, fungsi ilmu-ilmu
umum bagi kemajuan di dunia, tidak diragukan. Tetapi, hendaknya perlu disadari bahwa ilmu-
ilmu agama ikut berperan dalam membangun kehidupan dunia. Sebab, jika ilmu-ilmu umum
membangun ketahanan fisik, maka ilmu-ilmu agama membekali pelaku pembangunan dengan
ketahanan mental dan moral yang sangat penting bagi kesuksesan pembangunan. Dengan
demikian kedua jenis ilmu tersebut mesti dipelajari dan diperankan secara seimbang. Kedua
ilmuwan di bidangnya masing-masing hendaklah terlibat secara penuh.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ilmu yang diisyaratkan al-Qur’an dalam banyak
hal, meliputi segala pengetahuan yang bisa menyingkap hakikat segala sesuatu serta dapat
menghilangkan kabut kebodohan dan keraguan dari akal manusia. Obyeknya dapat berupa alam
atau pun manusia, wujud maupun gaib. Demikian pula metode pengetahuannya, bisa berupa
indra dan empiris ataupun akal.
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari berbagai uraian pada bab sebelumnya, maka dapat dikemukakan beberapa kesimpulan
sebagai berikut:
1.    Etika adalah filsafat moral atau ilmu akhlak, tidak lain dari pada ilmu atau “seni” hidup (the
art of living) yang mengajarkan bagaimana cara hidup bahagia, atau bagaimana memperoleh
kebahagiaan. Etika sebagai seni hidup etika sebagai pengobatan spiritual.
2.    Agama merupakan kebutuhan paling esensial manusia yang bersifat universal. Karena itu,
agama adalah kesadaran spiritual yang di dalamnya ada satu kenyataan yang tampak ini, yaitu
bahwa manusia selalu mengharap belas kasih-Nya, bimbingan tangan-Nya, serta belaian-Nya,
yang secara ontologism tidak diingkari, walaupun oleh manusia yang paling komunis sekalipun.
3.    ‘Ilm dari segi etimologi berarti kejelasan, karena itu segala yang terbentuk dari akar katanya
mempunyai ciri kejelasan. Ilmu adalah pengetahuan yang jelas tentang sesuatu.
4.    Etika dalam Islam (bisa dikatakan) identik dengan ilmu akhlak, yakni ilmu tentang
keutamaan-keutamaan dan bagaimana cara mendapatkannya agar manusia berhias dengannya;
dan ilmu tentang hal yang hina dan bagaimana cara menjauhinya agar manusia terbebas
daripadanya. Etika, di lain pihak, seringkali dianggap sama dengan akhlak.
B. Saran
Mungkin inilah yang bisa kami sampaikan pada penulisan tugas  makalah “Etika Islam
dalam Ilmu Pengetahuan”. Meskipun makalah ini jauh dari sempurna minimak kita dapat
mengambil manfaat dan ilmu dari makalah ini. Masih banyak kesalahan dari penulisan yang
kami buat, karena kami hanyalah manusia yang adalah tempat salah dan dosa, dan kami juga
butuh saran/kritikan agar bisa menjadi motivasi untuk masa depan yang lebih baik dari pada
masa sebelumnya.
            Dengan selesainya makalah ini kami berharap kita dapat lebih mendekatkan diri kepada
ALLAH SWT sebagai rasa syukur kita terhadap belas kasih-NYA kepada kita, dan tak lupa pula
kita sebagai manusia yang tak luput dari salah tentunya meminta maaf atas ketidaksempurnaan
penyusunan makalah ini karena kami sadar kami masih dalam tahap belajar.
DAFTAR PUSTAKA

http://dhamalo.blogspot.com/

Amin, Ahmad, Etika (ilmu akhlak), Cet. VII; Jakarta: Bulan Bintang, 1993.

Abdullah, M. Amin, The Idea of Universality of Ethical Norms in Ghazali and Kant,


diterjemahkan oleh Hamzah, Antara al-Ghazali dan Kant: Filsafat Etika Islam, Cet.. II;
Bandung: Mizan 1423/2002.

Anda mungkin juga menyukai